Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PERSPEKTIF GLOBAL DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Mata Kuliah : Kebijakan Pelayanan Kebidanan


Dosen pengampu : Reni Yuli Astutik, SST, M.Kes

Nama-nama Kelompok IV
1. Norma Bairsady 2281A0039
2. Jeni N Benu 2281A0037
3. Febronia Emanuela Un Tae 2281A0015
4. Suci Wulan Rahmadhani 2281A0051
5. Ayu Tirta Sari 2281A0064
6. Maria Apliana Kaka 2281A0025
7. Rahmawati 2281A0049
8. Nurdiana 2281A0056
9. Angelia Rambu Natar Tunggu Djama 2281A0027

INSTITUT ILMU KESEHATAN STRADA INDONESIA


PRODI S1 KEBIDANAN ALIH JENJANG
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatnya
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah dengan judul “PERSPEKTIF GLOBAL DALAM
PELAYANAN KEBIDANAN”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan
baik dari segi penulisan maupun tata bahasa.
Demikian makalah ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya. Kami mengharapkan saran dan kritik dari berbagai bidang yang bersifat
membangun.

Kediri, 29 Mei 2023

Kelompok IV

ii
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Perspektif Global Pada Pelayanan Kebidanan.............................................2
B. Trend Global Pada Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak..............................3
C. Politik Global Terkait Pelayanan Kebidanan di Daerah Pedesaan Dan
Terpencil......................................................................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................................18
B. Saran.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Republik Indonesia membentuk kepulauan yang meliputi tiga zona waktu antara India dan
Samudera Pasifik. Merupakan negara keempat dengan populasi ternesar di dunia, dan
diperkirakan populasi pada tahun 2010 adalah 237,6 juta jiwa. Indonesia merupakan negara
dengan berbagai macam etnik, sekitar 300 kelompok etnik dari 17.508 pulau, dan
diperkirakan sepuluh pulau dengan populasi terbanyak. Indonesia memiliki 31 provinsi (dan
dua daerah istimewa) dengan berbagai tingkatan ekonomi. Pada tahun 2005, Bank Dunia
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah.
Situasi ibu dan anak di Indonesia telah mengalami kemajuan, dan pada beberapa indikator,
Indonesia telah berada di jalur untuk mencapai MDGs 2015. Sebagai contoh, Indonesia telah
berusaha dengan baik untuk mencapai pendidikan dasar dan tantangan yang tersisa serakang
adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk indikator lain seperti rasio angka
kematian ibu, pemerintah harus bekerja lebih keras.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan tentang perspektif global pada pelayanan kebidanan?
2. Menjelaskan tentang trend global pada pelayanan kesehatan ibu dan anak?
3. Menjelaskan tentang politik terkait pelayanan kebidanan di daerah pedesaan dan terpencil?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perspektif global pada pelayanan kebidanan?
2. Untuk mengetahui trend global pada pelayanan kesehatan ibu dan anak?
3. Untuk mengetahui politik terkait pelayanan kebidanan di daerah pedesaan dan terpencil?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perspektif Global Pada Pelayanan Kebidanan


Kehidupan yang layak dan kesejahteraan penduduk merupakan tujuan dari pembangunan
di setiap negara, agar keadaan bumi yang aman, makmur, dan sejahtera dapat tercapai. Untuk
mewujudkan semua itu, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang
diwakili oleh kepala negara dan kepala pemerintahan sepakat untuk melahirkan sebuah
deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia dikenal
sebagai Tujuan Pembagunan Millenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan yang
inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. (Adisasmito,
2008).
Setiap tujuan (goal) dari MDGs memiliki satu atau beberapa target dengan beberapa
indikatornya. MDGs memiliki 8 tujuan, 18 target, dan 48 indikator yang telah disusun oleh
konsensus para ahli dari sekertariat PBB, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi
untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) dan Bank Dunia. Masing-masing
indikator digunakan untuk memonitor perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
(Adisasmito, 2008). Delapan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang semuanya
ditargetkan 2015 membentuk cetak biru yang disepakati oleh semua negara di dunia dan
semua lembaga pembangunan terkemuka. (UN, 2015).
The Millennium Development Goals itu adalah : 1) Memberantas kemiskinan dan
kelaparan yang ekstrim; 2) Mewujudkan pendidikan dasar; 3) Mempromosikan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan; 4) Menurunkan Angka Kematian Anak; 5)
Meningkatkan kesehatan ibu; 6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; 7)
Memastikan kelestarian lingkungan; dan 8) Mengembangkan kemitraan global untuk
pembangunan. Setiap goal memiliki target, dan target masing-masing memiliki indikator
untuk memantau kemajuan. (UNDP’s, 2014).

2
B. Trend Global Pada Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
1. Kemiskinan dan asupan gizi
Kemiskinan menjadi isu yang harus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan
termasuk kesehatan. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan terkait
dengan daya beli dan akses dari masyarakat. Kemiskinan juga menjadi hambatan besar
dalam pemenuhan kebutuhan terhadap makanan yang sehat dan bergizi sehingga dapat
melemahkan daya tahan tubuh yang dapat berdampak pada kerentanan untuk terserang
penyakit-penyakit tertentu. Fenomena gizi buruk dan kurang seringkali dikaitkan dengan
kondisi ekonomi yang buruk jika merujuk pada fakta keterbatasan pemenuhan pangan
dan gizi masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat dinilai dengan menggunakan beberapa
indikator yang mencerminkan kondisi mortalitas (kematian), status gizi dan morbiditas
(kesakitan). Selain dipengaruhi oleh faktor kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan
ketersediaan sumber daya kesehatan, derajat kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh
faktor lain seperti faktor ekonomi, pendidikan, maupun lingkungan sosial.
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan pencapaiannya dalam MDGs
adalah status gizi balita. Target MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 untuk indikator
ini sebesar 15,5%. Masalah gizi dan kesehatan di Indonesia mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 dan 2010. Status gizi pada
balita misalnya, sebanyak 18.4% balita mengalami gizi buruk dan kurang pada tahun 2007,
17.9% pada tahun 2010 dan 18.9% pada tahun 2013. Sedangkan balita yang berstatus
pendek dan sangat pendek sebanyak 36.8% pada tahun 2007, 35.6% pada tahun 2010 dan
37.2% pada tahun 2013. Berbeda dengan balita yang berstatus kurus dan sangat kurus serta
gemuk, mengalami penurunan sekitar masing-masing 1.0%. Kondisi yang hampir
sama juga ditemukan pada anak umur 5-18 tahun, terdapat selisih tinggi badan anak
dengan tinggi badan standar WHO sekitar 12.5 cm pada laki-laki dan 9.8 cm pada
perempuan. Meskipun terjadi peningkatan tinggi badan anak jika dibandingkan dengan
data tahun 2007 dan 2010, akan tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan. Sementara itu
pada orang dewasa (umur >18 tahun), terjadi peningkatan persentase obesitas
sentral dari 18.8% pada tahun 2007 menjadi 26.6% pada tahun 2013. Di sisi lain,
proporsi wanita usia subuh (WUS) yang berisiko Kurang Energi Kronis (KEK) juga

3
mengalami peningkatan sekitar 7.7% pada WUS yang hamil dan sekitar 6.7% pada WUS
yang tidak hamil (Riskesdas, 2013).
Dalam penanganan masalah gizi, beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain,
adalah masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya kesehatan lingkungan, belum
optimalnya kerjasama lintas sektor dan lintas program, melemahnya partisipasi
masyarakat, terbatasnya aksesibilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga
miskin, masih tingginya penyakit infeksi, belum memadainya pola asuh ibu, dan
rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar. Undang-Undang No. 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025
menegaskan bahwa “Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor
meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi
yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya”.
Ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan
Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010
menginstruksikan perlunya disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dan
Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat provinsi yang dalam proses penyusunannya
melibatkan kabupaten dan kota. Rencana Aksi Pangan dan Gizi disusun dalam program
berorientasi aksi yang terstruktur dan terintegratif dalam lima pilar rencana aksi yaitu
perbaikan gizi masyarakat, peningkatan aksesibilitas pangan, peningkatan pengawasan
mutu dan keamanan pangan, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta
penguatan kelembagaan pangan dan gizi. Rencana aksi ini disusun sebagai panduan dan
arahan dalam pelaksanaa pembangunan bidang pangan dan gizi di tingkat pusat, provinsi
dan kabupaten dan kota, baik bagi institusi pemerintah maupun masyarakat dan pihak-
pihak lain yang terkait dalam perbaikan pangan dan gizi. Sebagai pendamping dari rencana
aksi ini, akan disusun pedoman rencana aksi daerah agar dapat dihasilkan produk dokumen
rencana aksi daerah yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional.
Dalam rencana aksi ini kebijakan pangan dan gizi disusun melalui pendekatan lima pilar
pembangunan pangan dan gizi yang meliputi :
a. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak melalui
peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan

4
difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi, dan anak
baduta.
b. Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam melalui peningkatan ketersediaan dan
aksesibiltas pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin
c. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan pengawasan
keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan
produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi
d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan
pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal, terutama dalam
peribahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih
dan sehat, serta merevitalisasi posyandu
e. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan pangan dan
gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan
merumuskan kebijakan dan program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber daya
serta penelitian dan pengembangan.
Rencana aksi ini bertujuan untuk menjadi panduan dalam melaksanakan pembangunan
pangan dan gizi bagi institusi pemerintah, organisasi non pemerintah, institusi swasta,
masyarakat dan pelaku lain, baik pada tataran nasional, provinsi, maupun kabupaten dan
kota. Perbaikan gizi memiliki kaitan yang sangat erat dengan kemampuan menyediakan
makanan di tingkat keluarga dan adanya penyakit terutama penyakit menular. Kedua faktor
ini berhubungan dengan pendapatan, pelayanan kesehatan, pengetahuan dan pola asuh
yang diterapkan keluarga. Mengingat luasnya dimensi yang mempengaruhi faktor gizi,
maka penanggulangan masalah gizi harus dilakukan dengan multi disiplin ilmu serta secara
lintas kementerian/lembaga dengan melibatkan organisasi profesi, perguruan tinggi,
organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat itu sendiri.
Keterkaitan pembangunan pangan, kesehatan dan gizi dengan penanggulangan
kemiskinan, pendidikan, pemberdayaan keluarga dan penyelenggaraan urusan wajib
pelayanan masyarakat di daerah perlu diperjelas sehingga setiap Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dapat mengalokasikan kegiatan-kegiatan prioritas yang saling menunjang
sekaligus memberi arah pembangunan kewilayahan. Tantangan yang ada karena disparitas

5
kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan antar wilayah dan antar penduduk perlu dihadapi
dengan strategi yang berbeda. Demikian juga berbagai isu sosial budaya yang menghambat
percepatan pencapaian MDGs, yaitu persepsi hak asasi manusia, persepsi kesehatan
reproduksi dan pengarus-utamaan gender perlu penanganan khusus. Berbagai perilaku di
masyarakat yang tidak menunjang kesehatan dan gizi, seperti tabu terhadap makanan
tertentu, juga perlu mendapat perhatian.
2. Kesehatan ibu
Sebelum pembahasan lebih jauh, akan ditampilkan bagaimana kondisi kesehatan Ibu di
negara-negara ASEAN sampai dengan 2010 sebagai berikut
Gambar 1. Trend Kematian Ibu Negara ASEAN pada tahun 2010

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, trend percepatan
pencapaian target MDGs bidang kesehatan (penurunan AKI) di Indonesia begitu
menjanjikan.

Hasil Risekesdas 2013 mengungkapkan bahwa di antara perempuan berusia 10-54


tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen
menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan
reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk
bereproduksi. Angka kehamilan penduduk perempuan berusia 10-54 tahun adalah 2,68
persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan
kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak

6
dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana (KB) akan
mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia.

Hampir seluruh ibu hamil di Indonesia (95,4%) sudah melakukan pemeriksaan


kehamilan (K1) dan frekuensi kehamilan minimal 4 kali selama masa kehamilannya adalah
83,5 persen. Adapun untuk cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada trimester
pertama adalah 81,6 persen dan frekuensi ANC 1-1-2 atau K4 (minimal 1 kali pada
trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester3)
sebesar 70,4 persen. Tenaga yang paling banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan
(88%) dan tempat pelayanan ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (52,5%).
Persalinan di fasilitas kesehatan adalah 70,4 persen dan masih terdapat 29,6 persen di
rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (dokter
spesialis, dokter umum dan bidan) mencapai 87,1 persen, namun masih bervariasi antar
provinsi. Terdapat 81,9 persen ibu bersalin yang mendapat pelayanan nifas pertama pada
periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan (KF1), periode 7 sampai 28 hari setelah
melahirkan (KF2) sebesar 51,8 persen dan periode 29 sampai 42 hari setelah melahirkan
(KF3) sebesar 43,4 persen. Akan tetapi angka nasional untuk KF lengkap yang dicapai
baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat pelayanan KB pasca bersalin
mencapai 59,6 persen.

Namun demikian, berdasarkan hasil survei Demogafi dan Kependudukan Indonesia


(SDKI) 2012, terdapat kenaikan angka kematian ibu (AKI) yang cukup drastis dari 228
per 100 ribu kelahiran menjadi 359 per 100 ribu kelahiran pada tahun 2012 (Wardah,
2013) dan hal ini berkaitan langsung dengan banyaknya kehamilan pada wanita usia di
bawah 19 tahun (Suhanda, 2014). Faktor yang paling mungkin berpengaruh terhadap
fenomena ini adalah tingginya seks bebas di kalangan remaja dan kurangnya pemahaman
tentang kesehatan reproduksi wanita.

ada tatanan global, gencarnya gerakan ISIS melakukan rekrutmen terhadap wanita
wanita muda untuk menjadi pengantin ISIS memicu terjadinya hubungan seks di usia dini
yang berpotensi menimbulkan kehamilan usia dini. Beberapa situs pornografi juga telah
merekrut perempuan remaja untuk menjadi pelaku pornografi. Salah satu penyebab yang
dianggap sebagai penghambat peningkatan kesehatan ibu adalah dari segi kemiskinan.

7
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998
Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin.
(Astuti, 2014). Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu
dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien, pemerintah pun
memulai cara baru dengan menetapkan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis
asuransi sosial. Upaya yang tengah digalakkan saat ini ialah system kesehatan nasional
(SKN) dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui program badan penyelenggara
jaminan social (BPJS) (Anonim, 2013).

Pada tingkat individu, terdapat suatu hubungan yang sangat erat antara pendidikan yang
diraih dan pendapatan, dan akses yang lebih besar terhadap pendidikan yang lebih baik
adalah sebuah kunci strategi pengurangan kemiskinan pada negara-negara di dunia
berkembang. Pendidikan orang tua, terutama pendidikan ibu, sangat kuat pengaruhnya
terhadap angka kelahiran yang lebih rendah, kematian ibu yang lebih rendah dan keadaan
kesehatan dan nutrisi anak yang lebih baik. Oleh karena itu: kebijakan peningkatan
kesehatan ibu senantiasa berdampingan dengan kebijakan pendidikan (Wiku, 2009).

3. Kesejahteraan Anak
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa namun tanpa sarana kesehatan yang layak
mereka akan rentan terhadap bahaya. Itu sebabnya mengapa penurunan angka penurunan
balita akibat berbagai penyakit dan kurangnya sarana kesehatan menjadi tujuan penting
dalam pencapaian MGDs. Kurangnya informasi perawatan atau pencegahan penyakit bagi
anak-anak akan berisiko peningkatan mortalitas dan morbiditas anak diusia dini. Perawatan
rutin baik oleh paramedis dan orang tua merupakan hal penting bagi perkembangan anak.
Program imunisasi yang dicanangkan oleh pemerintah merupan salah satu bentuk
perawatan penting bagi anak-anak.
Lebih dari 300 pemerintahan, yayasan dan bisnis di seluruh dunia telah bergabung
dengan inisiatif yang dipimpin PBB untuk memajukan layanan kesehatan bagi jutaan
perempuan dan anak-anak miskin. Gerakan yang disebut ‘Setiap Perempuan Setiap Anak’
itu melaporkan bahwa hasilnya tingkat kematian ibu dan anak telah berkurang di Negara
negara sasaran. Setiap Perempuan Setiap Anak,’ atau disingkat EWEC, diluncurkan oleh
Sekjen PBB Ban Ki-moon pada tahun 2010 untuk mempercepat kemajuan mencapai
Tujuan Pembangunan Milenium, atau MDGs, demi kesehatan.

8
Laporan dari UNICEF menunjukan bahwa secara global terdapat pengurangan dramatis
terhadap angka kematian anak. Jumlah kematian balita turun setiap tahunya dari estimasi
12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012. Selama 22 tahun
terakhir terselamatkan sekitar sembilan puluh juta jiwa balita. Di indonesia jumlah
kematian anak dibawah usia lima tahun telah berkurang dari 385.000 pada tahun 1990
menjadi 152.000 pada tahun 2012. Akan tetapi di indonesia masih terdapat 400 balita
meninggal setiap harinya. Sebagian besar adalah anak-anak dari keluarga miskin dan
terpinggir penyebab kematian adalah penyakit menular dan mudah diobati seperti
pneoumonia dan diare (UNICEF, commiting to child survial: a promise renewed progress
report, 2013).
Laporan comiting to child survial yang menganalisis penyebab kematian utama balita
dan menyoroti upaya nasional-global untuk menyelamatkan nyawa anak-anak. Kemajuan
yang dibuat sampai saat ini adalah karena adanya upaya kolektif pemerintah, masyarakat
sipil dan sektor swasta serta intervensi berbasis bukti seperti kelambu nyamuk
berinsektisida, obat-obatan, vaksin, menyususi yang tepat, gizi suplemen dan makanan
serta pengobatan rehidrasi untuk diare.
Dalam perpres No 72 tahun 2012 tentang SKN yang menyebutkan bahwa kesehatan
nasional disusun berdasarkan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care)
yang meliputi cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata, pemberian pelayanan
kesehatan berkualitas yang berpihak kepada kepentingan dan harapan rakyat, kebijakan
kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat,
kepemimpinan, serta profesionalisme dalam pembangunan kesehatan. Hal ini menunjukan
bahwa pentingkan PHN dalam pencapaian derajat kesehatan.
Dalam pencapaian MGDs delapan komponen yang ada akan saling berpengaruh begitu
juga dalam upaya untuk mencapaian goal ke empat, sehingga pelayayan kesehatan dasar
dengan pendekatan global penting untuk dilakukan. Pendekatan ini melalu pemberian
pelayanan asuhan keperawatan yang peka budaya, penyetaraan gender dan memperhatikan
pendidikan terutama ibu, karena akan berpengaruh terhadap pola asuh yang diberikan ibu
kepada anak yang akan berdampak terhadap kesehatan anak.
Perawat mempunyai peranan penting dalam mewujudkan daerah binaan kerjasama
dengan dinas kesehatan setempat. Kaderasi, pengaktifan posyandu merupakan upaya

9
preventif dan promotif yang efektif untuk mencapai taget MGDs. Dengan daerah binaan
ini diharapkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam upaya kesehatan
akan meningkat, terutama bagi ibu. Situasi AKI dan AKB di Indonesia saat ini
digambarkan berikut ini :
Gambar 2. Gambaran Situasi AKI dan AKB di Indonesia

C. Politik Global Terkait Pelayanan Kebidanan Di Daerah Pedesaan Dan Terpencil


1. Isu Publik
a. Pelayanan kesehatan primer di daerah perbatasan masih rendah
Puskesmas sebagai pemberi pelayanan primer yang menjadi andalan utama
pelayanan bagi masyarakat, belum mampu memberikan pelayanan bagi daerah terpencil
perbatasan dan kepulauan khususnya di daerah perbatasan. Wilayah kerja puskesmas
cukup luas, secara geografis sebagian sulit dijangkau, jumlah penduduk sedikit, tersebar
dalam kelompok-kelompok kecil yang saling berjauhan.

10
b. Sarana transportasi sangat terbatas dengan biaya mahal baik darat, sungai, laut maupun
udara
Salah satu penyebabnya adalah karena kondisi geografi yang sulit serta iklim/cuaca
yang sering berubah. Status kesehatan masyarakat dan cakupan pelayanan kesehatan di
daerah terpencil perbatasan masih rendah. Masyarakat secara umum belum mempunyai
pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Penggunaan puskesmas di daerah terpencil perbatasan antara lain dipengaruhi oleh
keterjangkauan (akses) pelayanan.
c. Akses terhadap pelayanan masih rendah
Akses pelayanan tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor
penentu (determinan) yaitu determinan penyediaan merupakan faktor-faktor pelayanan
dan determinan permintaan merupakan faktor-faktor pengguna (Timyan Yudith, et al.,
1997). Determinan penyediaan terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik,
tempat pelayanan, ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan
serta mutu pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor
pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta
tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin. Kebutuhan primer agar
memperoleh akses pelayanan yang efektif: adalah tersedianya fasilitas dan petugas,
jarak dan finansial terjangkau serta masalah sosial budaya yang dapat diterima oleh
pengguna.
d. Status dokter PNS dan PTT menjadi masalah terkait dengan reward
Dokter PNS sebagai kepala puskesmas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang lebih besar tetapi memperoleh reward yang lebih sedikit dibanding dengan dokter
PTT dengan tanggung jawab serta pengalaman yang lebih sedikit. Keberlangsungan
dokter PTT yang sering berganti akan memengaruhi manajemen puskesmas. Dokter
PTT dengan masa kontrak selama 1 tahun ternyata terlalu singkat untuk bisa mengelola
puskesmas dengan baik karena dengan kurun waktu tersebut belum menguasai program
puskesmas. Di samping itu dokter perlu adaptasi terhadap lingkungan serta dibutuhkan
waktu agar masyarakat bisa mengenalnya.

11
e. Jumlah perawat dan bidan cukup bila dilihat dari kebutuhan wilayah terutama untuk
pelayanan pengobatan di dalam gedung, tetapi sifatnya hanya menunggu kedatangan
pasien
Rendahnya kunjungan pasien ke puskesmas membuktikan bahwa puskesmas induk
sulit dijangkau oleh masyarakat hal ini terkait dengan letak geografis, kurangnya sarana
transportasi serta rendahnya kemampuan masyarakat untuk membayar biaya
transportasi. Masyarakat mengharapkan tenaga kesehatan puskesmas melakukan
pelayanan pengobatan di rumah atau di tempat yang dekat dengan tempat tinggal
mereka. Oleh karena itu masyarakat cenderung untuk memanggil tenaga kesehatan ke
rumah dengan pertimbangan biaya yang sama bila mereka harus mendatangi ke
puskesmas serta dipermudah dengan adanya telepon seluler. Keadaan ini menunjukkan
tingginya waktu yang tidak efektif digunakan oleh perawat dan bidan dalam
melaksanakan tugasnya di puskesmas. Keadaan ini didukung oleh penelitian Wasis dkk.
(2007) bahwa 32,9% waktu kerja perawat tidak efektif dan bidan 43,09%. Hal ini
menunjukkan tidak adanya kegiatan dan tidak bisa terekam dalam observasi.
f. Jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di puskesmas belum mampu menyelesaikan
seluruh upaya kesehatan wajib yang dilaksanakan di puskesmas terutama pelayanan di
luar gedung
Hal tersebut disebabkan karena luas wilayah puskesmas dan kesulitan untuk
menjangkau sasaran. Oleh karena itu beberapa kegiatan dikurangi jumlah kunjungannya
yang seharusnya sebulan sekali menjadi 3 bulan sekali terutama untuk desa yang sulit.
Sebagai akibatnya cakupan pelayanan di luar gedung menjadi lebih rendah dibanding
dengan desa yang lebih mudah dijangkau. Sebagai contoh gizi buruk di wilayah
puskesmas Sajingan, hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya pelaksanaan upaya
perbaikan gizi masyarakat yang merupakan upaya kesehatan wajib seperti tertuang
dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 128/MENKES/
SK/II/2004. (Depkes RI, 2004).

12
g. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan di puskesmas di wilayah terpencil dan
perbatasan perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi puskesmas setempat
Di beberapa puskesmas ditemui petugas yang tidak kompeten dengan tanggung
jawab mereka. Sebagai contoh pelayanan obat, promosi kesehatan dan pemberantasan
penyakit menular dilakukan oleh pekarya yang hanya lulusan SMP atau SMA.
Perencanaan kebutuhan tenaga di puskesmas seharusnya dilakukan dengan analisis
tingkat makro pengaruh jangka panjang beragam strategi pelatihan dan perekrutan
pegawai. Selanjutnya juga dilakukan analisis mikro mengenai profil kegiatan tenaga
kesehatan. Dengan analisis makro akan diketahui jumlah personil untuk direncanakan
sedangkan analisis mikro akan menentukan jenis tenaga kesehatan yang seharusnya
direkrut. Menurut Rienke, Wiliam A, 1994 tentang analisis personil, disebutkan bahwa
penyebaran tenaga dimulai dengan penilaian kebutuhan pelayanan setempat setelah
melalui analisis fungsional. Menurut hasil penelitian Wasis dkk. (2005) di daerah
terpencil di kabupaten Sumenep dan Timor Tengah Selatan menunjukkan pengangkatan
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di daerah terpencil bukan merupakan prioritas.
Mengingat reward berupa insentif finansial untuk daerah terpencil sudah tidak ada lagi
maka akan menyulitkan dalam merekrut Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar mau menetap
di daerah terpencil. Sumber daya puskesmas khususnya di daerah terpencil perbatasan
masih perlu dibenahi terutama tentang keseimbangan masa kerja, beban kerja dan
reward bagi tenaga kesehatan PNS dan PTT.
h. Perolehan obat pada umumnya tidak sesuai dengan permintaan
Banyak keluhan petugas kesehatan tentang ketidaksesuaian antara jenis dan jumlah
obat dengan kasus penyakit yang ditangani merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Seharusnya di dalam pemenuhan kebutuhan obat perlu disesuaikan dengan
epidemiologi yang ada di wilayah puskesmas (Baker, TD, William A. Reinke, 1994).
Epidemiologi penyakit sangat penting dalam menetapkan prioritas dan populasi yang
menjadi sasaran. Dengan mempelajari penyebaran penyakit yang ada di wilayah
puskesmas dapat dipakai untuk menentukan titik fokus pelayanan yang terkait dengan
jenis dan jumlah obat serta jenis peralatan kesehatan.

13
i. Peralatan kesehatan dan sarana penunjang kesehatan (laboratorium) di puskesmas
kurang mencukupi
Kurangnya peralatan kesehatan dan sarana penunjang kesehatan (laboratorium) di
puskesmas sering mengecewakan masyarakat yang harus menempuh perjalanan yang
jauh dan sulit. Keadaan ini semakin menguatkan minat masyarakat untuk tidak berobat
ke puskesmas. Ketersediaan alat kesehatan, bahan habis pakai, obat perlu ditambah
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing puskesmas. Alat komunikasi dan
transportasi harus dipenuhi untuk mengefektifkan keterjangkauan puskesmas ke
masyarakat. Oleh karena itu perlu kelengkapan alat kesehatan dan bahan habis pakai
yang menunjang pelayanan kesehatan khususnya untuk kasus penyakit yang banyak
terjadi di puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peralatan untuk bidan di
polindes tidak tercukupi sepenuhnya, padahal bidan di desa mendapat beban kegiatan
pengobatan dan programprogram yang lain selain KIA. Kekurangan peralatan ini
dipenuhi dengan dibeli sendiri oleh bidan desa. Keadaan ini sama dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ristrini dkk. (2004) dan Handayani dkk. (2006) yang
menunjukkan kurangnya pemenuhan kebutuhan peralatan kesehatan di polindes.
Banyaknya kasus kegawatdaruratan membutuhkan peralatan dan keterampilan khusus,
tetapi dalam kenyataannya masih kurang. Mengingat puskesmas dan jaringannya
(pustu, polindes) adalah sasaran pertama untuk menangani kasus darurat maka
penyediaan peralatan gawat darurat perlu tersedia di semua jaringan puskesmas dan
perlu pemberian keterampilan kepada tenaga kesehatan yang bertanggung jawab di
fasilitas kesehatan tersebut.
j. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Puskesmas dan Jaringannya
Bila dilihat dari determinan penyediaan, persoalan penting di daerah terpencil
perbatasan adalah masalah transportasi di samping masalah sumber daya puskesmas.
Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan alat transportasi direncanakan dengan baik.
Estimasi mengenai kebutuhan alat transportasi tergantung kepada beberapa faktor
antara lain kondisi wilayah, jumlah dan penyebaran sasaran pelayanan serta jumlah dan
jenis kegiatan yang dilakukan (Baker, TD, William A. Reinke, 1994). Berkaitan dengan
hal tersebut di atas pihak Kementerian Kesehatan perlu memberikan perhatian khusus

14
kepada daerah-daerah terpencil perbatasan dengan memperhatikan kondisi wilayah,
jumlah, penyebaran sasaran pelayanan serta jumlah dan jenis kegiatan yang dilakukan.
Bila dilihat dari determinan permintaan yaitu dari faktor pengguna, kendala yang ada
adalah jarak tempat tinggal pengguna dari tempat pelayanan, sulitnya akses menuju
tempat pelayanan kesehatan, kekurangan dana untuk biaya transportasi serta
kekurangan dana untuk biaya pengobatan karena keadaan ekonomi masyarakat.
Diperlukan perhatian khusus dari Kementerian Kesehatan bersama-sama dengan
pemerintah daerah untuk mengatasi masalah tersebut.
Menurut Adi Utarini (2011), Pelayanan kesehatan yang benar-benar bermutu di
Indonesia saat ini harus diakui hanya dapat diperoleh oleh masyarakat yang memiliki
akses ke sarana pelayanan kesehatan bermutu, yaitu akses geografis (hanya di kota-kota
besar yang memiliki sarana dan klinisi yang lengkap dan kompeten), akses pembiayaan
(hanya kalangan menengah atas yang dapat membayar out-of-pocket yang dapat
mendapatkan pelayanan bermutu), akses hubungan baik (hanya sejawat dokter atau
keluarga dokter yang mendapatkan pelayanan “seperti keluarga sendiri”) atau akses
informasi (hanya orang-orang tertentu yang dapat memperoleh informasi mutu sarana
pelayanan kesehatan tertentu) dan berbagai akses khusus lainnya.
2. Isu Kebijakan
a. Daerah Perbatasan merupakan Etalase Negara
Daerah perbatasan selayaknya Etalase Negara atau bagian terdepan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seharusnya terlihat bagus karena terletak di
bagian depan (beranda), tetapi selama ini di daerah perbatasan masih terjadi disparitas
antara daerah kita dengan negara tetangga.
Daerah perbatasan bagi Indonesia masih layaknya halaman belakang, perbatasan
identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Infrastruktur perbatasan sangat minim,
di samping itu kondisi warga kita juga masih terbelit dengan pelbagai keterbatasan.
Mereka masih sulit mengakses kebutuhan dasar, semacam pendidikan, kesehatan,
kecukupan gizi dan lapangan kerja. Kondisi mereka serba papa, tidak demikian dengan
negeri tetangga. Sarana dan prasarana patroli bagi TNI di perbatasan Kalimantan Barat,
sangat minim. Adapun militer Malaysia amat modern dan baik. Warga Kabupaten

15
Karimun lebih memilih bekerja di Malaysia atau Singapura sebab menjanjikan
pendapatan lebih baik, selain juga bisa mereka tempuh dalam waktu singkat.
Oleh karena itu daerah perbatasan harus menjadi ruang antar muka sosial di mana
kosmopolitanisme masyarakat perbatasan dilihat sebagai kekuatan untuk membangun
halaman muka NKRI yang sejahtera.
b. Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) memiliki topografi yang ekstrem
Topografi berbukit-bukit terdapat di sepanjang perbatasan di wilayah perbatasan
wilayah Republik Indonesia dengan Malaysia khususnya di pulau Kalimantan. Di
samping itu kondisi geografis yang masih terisolir karena keterbatasan prasarana jalan,
transportasi darat, sungai serta fasilitas publik lainnya. Kondisi ini berdampak pada
kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan skill masyarakat daerah
perbatasan yang masih tertinggal dibanding dengan masyarakat daerah Serawak. Oleh
karena itu daerah perbatasan harus menjadi prioritas utama untuk pembangunan
infrastruktur karena jika tidak diperhatikan tidak menutup kemungkinan masyarakat di
daerah perbatasan akan berpindah kewarganegaraan negara tetangga. (http://shanteukie.
wordpress.com/2011/04)
c. Peran infrastruktur
Peran infrastruktur menjadi salah satu komponen fisik yang penting bagi wilayah
perbatasan. Sebab, terdapat korelasi yang signifikan antara kondisi infrastruktur dengan
denyut kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan juga kesejahteraan masyarakat di
perbatasan. Pengembangan infrastruktur yang sistematis, konsisten dan terarah, akan
mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan.
d. Ketersediaan pelayanan kesehatan dan sarana pendukungnya
Ketersediaan pelayanan kesehatan dan sarana pendukungnya di Daerah Tertinggal,
Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) masih rendah. Jika dilihat dari sumber daya yang
ada, jumlah tenaga kesehatan yang diperlukan, baik yang bergerak di bidang promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif masih banyak yang terpusat di kota-kota besar
saja. Meskipun jumlah tenaga kesehatan sudah mencukupi, namun persebarannya
kurang merata. Penyebaran tenaga-tenaga kesehatan lokal harus dioptimalkan,
khususnya ke daerah-daerah terpencil. Optimalisasi tenaga kesehatan merupakan salah

16
satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan kualitas tenaga
kesehatan, terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).
3. Opsi Kebijakan
a. Pemenuhan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar di DTP sesuai
topografi
Opsi ini sangat mendasar, karena kita dihadapkan pada harga diri sebagai bangsa di
hadapan bangsa lain (sebagai etalase untuk wilayah perbatasan). Kewajiban untuk
menyediakan pelayanan kesehatan seharusnya menjadi alasan paling utama, sedang
alasan ekonomi (efisiensi) seharusnya menjadi nomor sekian. Bila opsi ini tidak
dilakukan, ancaman disintegrasi atau beralihnya masyarakat di wilayah perbatasan ke
negara seberang akan mencederai nasionalisme dan rasa kebangsaan.
b. Pemenuhan ketersediaan transportasi untuk rujukan di DTP sesuai topografi
Opsi ini lebih sebagai opsi pendukung bagi opsi pertama. Opsi ini untuk menjamin
bahwa di manapun rakyat berada di wilayah NKRI, pemerintah tetap berusaha
menyediakan akses untuk pelayanan kesehatan sampai tingkat lanjut. Opsi ini menjadi
strategis untuk mencegah menyeberangnya penduduk perbatasan, khususnya di wilayah
perbatasan darat dengan Malaysia, yang pelayanan kesehatannya relatif lebih baik.
c. Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan yang sudah tersedia di DTP
Opsi ini sangat strategis, terutama untuk mengatasi dampak akibat kurangnya tenaga
kesehatan yang tersedia di DTP. Bila opsi ini tidak dilakukan dampak kurangnya tenaga
kesehatan akan semakin dirasakan penduduk di DTP.
d. Perlu kajian kebijakan sistem reward yang tersendiri untuk tenaga kesehatan di DTP
Opsi ini strategis untuk menarik tenaga baru agar mau bekerja di wilayah DTP, juga
strategis untuk mempertahankan tenaga yang sudah tersedia. Sistem reward tidak hanya
berupa gaji atau imbalan uang yang lebih tinggi, tapi bisa berupa jenjang karir yang
lebih menarik atau fasilitas pendukung yang lebih manusiawi. Bila opsi ini tidak
dilakukan, ketersediaan tenaga kesehatan di wilayah DTP tetap saja akan selalu menjadi
masalah. Merekrut tenaga-tenaga baru hanya akan berdampak sesaat, sustainabilitas
tidak akan terjamin.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap tujuan (goal) dari MDGs memiliki satu atau beberapa target dengan beberapa
indikatornya. MDGs memiliki 8 tujuan, 18 target, dan 48 indikator yang telah disusun oleh
konsensus para ahli dari sekertariat PBB, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi
untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) dan Bank Dunia. Masing-masing
indikator digunakan untuk memonitor perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
Fenomena gizi buruk dan kurang seringkali dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang buruk
jika merujuk pada fakta keterbatasan pemenuhan pangan dan gizi masyarakat. Derajat
kesehatan masyarakat dinilai dengan menggunakan beberapa indicator yang mencerminkan
kondisi mortalitas (kematian), status gizi dan morbiditas (kesakitan). Selain dipengaruhi oleh
faktor kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan ketersediaan sumber daya kesehatan, derajat
kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor ekonomi, pendidikan,
maupun lingkungan sosial.
Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan puskesmas dan jaringannya di
daerah perbatasan belum terpenuhi dengan baik – Pola pelayanan kesehatan puskesmas di
daerah perbatasan belum optimal – Petugas puskesmas di daerah perbatasan khususnya dokter
dan paramedis belum menerima reward yang sesuai dengan tugasnya.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, tentu tidak luput dari ketidaksempurnaan, untuk itu saran
dan kritik dari semua pihak terkait sangat dibutuhkan demi kesempurnaan pembuatan
makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, W. (2008). Case Studi Analisis Kebijakan Kesehatan : Analisis


Politik Nasional dan Millenium Development Goal. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
128/MENKES/ SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

Handayani L, Evie S, Siswanto, dkk. 2006. Upaya Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Puskesmas dan
Jaringannya dalam rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan
Kesehatan. Laporan Akhir Penelitian. Surabaya. Kementerian Kesehatan RI. 2010. P

Ristrini, Sulistyowati, Siswanto, dkk. 2004. Intervensi Pemberdayaan Masyarakat Melalui


Penumbuhkembangan Upaya Kesehatan yang Berbasis Masyarakat Miskin di Pedesaan
dalam rangka ”Making Pregnancy Safer”. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Laporan Akhir
Penelitian. Surabaya.

Wasis B, Agus Suprapto, Ristrini. 2007. Studi tentang Rekruitmen, Seleksi dan Alokasi Kegiatan Tenaga
Keperawatan di Daerah Terpencil di Jatim dan NTT. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 10 No. 2, April 2007. Surabaya

19

Anda mungkin juga menyukai