Anda di halaman 1dari 8

SIKAP PEMERINTAH DALAM MENGHADAPI STUNTING

Dosen Pengampu Dr. Putri Retnosari, S.S.,M.Phil

Anggota Kelompok:
 Jocky Fernanda (1412300116)
 M. El islam Ariefillah (1412300126)
 Evan Ferdio (1412300133)
 Bagas Firman (14123001)
 Fadhilah Lestari (1412300148)

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
20223
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting pada anak dan gagal tumbuh akibat kekurangan nutrisi dalam jangka panjang
merupakan masalah serius dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini memberikan dampak
yang signifikan terhadap tumbuh kembang anak dan memerlukan perhatian serius baik oleh
individu maupun keluarga, serta oleh pemerintah sebagai lembaga yang berperan strategis
dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016), stunting terjadi saat indeks
pertumbuhan anak, khususnya indeks panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U),
berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/stunted) dan <-3
SD (sangat pendek/severely stunted). Asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama,
terutama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi, menjadi
penyebab utama stunting. Hal ini dapat terjadi mulai dari janin dalam kandungan hingga anak
berusia dua tahun, dan jika tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar), stunting
dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan serta berbagai masalah kesehatan baik fisik
maupun mental pada anak.
Di Indonesia, prevalensi stunting pada anak kecil mencapai 36,4% pada tahun 2015, dengan
lebih dari sepertiga, atau sekitar 8,8 juta anak, mengalami kekurangan gizi karena tinggi
badan di bawah normal untuk usia mereka. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan di atas
memang ada. Meski nilai tersebut berada di atas ambang batas 20% yang ditetapkan WHO,
namun data pemantauan status gizi (PSG) mencatat penurunan hingga 26,6% pada tahun
2017. Namun, masih banyak bayi usia 0 hingga 59 bulan yang mengalami permasalahan gizi,
terutama pada 1.000 hari pertama kehidupannya, masa emas pertumbuhan optimal.
Untuk mengatasi tantangan gizi pada balita, pemerintah Indonesia melalui Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melaksanakan berbagai program stunting
dan membangun kemitraan lintas sektor. Gerakan nasional ini melibatkan tokoh agama,
tokoh adat, pemerintah desa, lembaga desa, PKK, karang taruna, pengurus Posyandu, bidan
desa, guru PAUD, serta masyarakat yang mempunyai kepentingan di bidang kesehatan dan
pendidikan.Berbagai pihak terlibat. Namun berdasarkan Survei Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, masih terdapat kabupaten/kota yang angka stuntingnya diatas 50% sehingga
menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penanggulangan stunting.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Dasar (Riskdas) tahun 2018, angka stunting mengalami
penurunan dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8%. Penilaian status gizi anak dibawah 5
tahun khususnya dengan menggunakan pengukuran antropometri seperti BB/U, TB/U, dan
BB/TB sangat penting untuk mengidentifikasi kasus stunting. Pendidikan kesehatan
masyarakat khususnya bagi ibu merupakan langkah penting untuk meningkatkan pemahaman
dan pencegahan stunting. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stunting antara lain
kurangnya asupan gizi, penularan penyakit, pola asuh orang tua yang tidak tepat, dan
kebersihan yang tidak memadai.
Pemahaman masyarakat terhadap stunting masih rendah khususnya di kalangan mahasiswa
dan khususnya di Kota Surabaya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pendidikan kesehatan
yang intensif sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk memerangi masalah stunting.
Laporan ini mengkaji dan menganalisis sikap pemerintah Indonesia dalam mengatasi
stunting, termasuk kebijakan, program dan upaya kerjasama yang dilaksanakan. Diharapkan
dengan memahami lebih dalam mengenai posisi pemerintah, kita dapat berkontribusi aktif
dalam menyusun langkah-langkah kebijakan lebih lanjut dan meningkatkan efektivitas upaya
pemerintah dalam memerangi stunting untuk menciptakan generasi yang sehat dan produktif.

1.2 Identifikasi Permasalahan

Permasalahan sikap pemerintah terhadap stunting adalah pemerintah menawarkan program


khusus untuk mengatasi masalah tersebut, terutama di daerah yang angka stuntingnya tinggi.
Selain itu, angka stunting di Indonesia melebihi batasan WHO dan masih cukup tinggi di
Indonesia. Stunting merupakan masalah gizi yang mempengaruhi kehidupan sosial dan
ekonomi di Indonesia. Stunting juga mempunyai dampak jangka panjang terhadap anak di
bawah usia lima tahun. Artinya, hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam pertumbuhan
dan perkembangan di masa depan, pendidikan, dan produktivitas. Oleh karena itu,
permasalahan stunting merupakan permasalahan serius yang memerlukan program khusus
dari pemerintah.

1. Angka stunting di Indonesia melebihi batasan WHO, terutama di daerah dengan


angka stunting yang tinggi, hal ini menunjukkan adanya masalah kesehatan serius
terkait gizi.
2. Stunting mempunyai dampak jangka panjang terhadap kehidupan sosial dan ekonomi
di Indonesia, yang menunjukkan kesenjangan dan tantangan ekonomi di masa depan.
3. Masalah stunting dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak di bawah
usia lima tahun serta dapat berdampak jangka panjang terhadap pendidikan dan
produktivitas.
4. Stunting dapat menyebabkan kesulitan dalam pertumbuhan, pendidikan dan
produktivitas di masa depan dan dapat menimbulkan risiko jangka panjang bagi
generasi mendatang.
5. Adanya program khusus pemerintah menunjukkan bahwa masalah stunting dianggap
serius, namun efektivitas dan cakupan program sangat penting untuk menyelesaikan
masalah secara keseluruhan.

BAB II. GAMBARAN UMUM PROYEK

BAB III. METODE PELAKSANAAN PROYEK


Metode ini dilaksanakan di Surabaya, dan melibatkan beberapa mahasiswa Universitas yang
ada di Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal…… .
Metode yang digunakan yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Bogdan dan Tylor
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati
(Lexy J. Moleong, 2010: 4)

(nambah katakata)

BAB IV. HASIL YANG DICAPAI


4.1 Hasil yang Dicapai dalam Pelaksanaan PROYEK

4.2 Faktor Penghambat dan Keberhasilan Pelaksanaan PROYEK


Beberapa faktor penghambat:
1. Beberapa narasumber tidak ingin diwawancarai sehingga mencari narasumber yang
lain.
2. Narasumber tidak ingin diperlihatkan wajahnya saat pengambilan dokumentasi.
3. Anggota kelompok yang tidak lengkap pada saat pelaksanaan wawancara.

BAB V. PENUTUP

5.1 Simpulan
5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai