Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN KULIAH KERJA NYATA (KKN)

INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)


WILAYAH KERJA MAHASISWA
KELURAHAN SESETAN II

Disusun Oleh : Kelompok 2

Aynun Mardiah P07124019034


Putu Serli Handiani P07124019040
Mutia Isimi Septina P07120019051
I Putu Yudiartana P07120019068
Pande Komang Riska Kayobi P07120019086
Ni Kadek Kusumawati P07120019025
Ni Wayan Mertha Dirma Asih P07131019001
Margareta Lourdes Dores Tato P07125019059
Lisdya Meliantha Putri Fiandara P07125019056
Ni Made Nia Juniarti P07133019009
Ni Made Ari Mahayani P07134019056
Ni Kadek Gita Rahayuni P07134019132
Ni Luh Komang Trie Widyastuti P07134019144
Ni Nyoman Sekar Alit Suwartini P07134019081
Ni Putu Puspita Yanti P07134019133
Ni Putu Ayu Paramita Wulandari P07134019054
Ni Wayan Agustina Savitri Handayani P07131218046
Ni Putu Diah Jayanti Mandasari P07131218072
Claudia Noftaliani Dwi Waso P07133218013
Gusti Ayu Putri Diah Saraswati P08120218009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah kegiatan pengabdian mahasiswa kepada

masyarakat dengan berbagai ilmu dan memberikan bantuan dalam waktu dan daerah

tertentu yang dilaksanakan sekitar satu hingga dua bulan di daerah tingkat desa

(Sultan, 2020).

Kuliah Kerja Nyata merupakan salah satu wujud Tri Dharma Perguruan

Tinggi dengan memberikan pengalaman belajar dan bekerja kepada para Mahasiswa

tetntang penerapan dan pengembangan ilmu dan teknologi di luar kampus. KKN

diharapkan memberikan pencerahan dan pemberdayaan agar masyarakat mampu

berdiri untuk peningkatan kualitas kehidupannya.

Interprofessional Education atau disingkat dengan IPE adalah sebuah inovasi

yang sedang dieksplorasi dalam dunia pendidikan profesi kesehatan. Internasional

education merupakan suatu proses dimana sekelompok mahasiswa atau profesi

kesehatan yang memiliki perbedaan latar belakang profesi melakukan pembelajaran

bersama dalam periode tertentu, berinteraksi sebagai tujuan yang utama serta untuk

berkolaborasi dalam upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan jenis

pelayanan kesehatan yang lain (Neny, 2018).

Interprofessional Education (IPE) merupakan salah satu bentuk pembelajaran

bagi Mahasiswa untuk berkoordinasi dianatara berbagai profesi dalam kegiatan

mengatasi suatu masalah. Interprofessional Education (IPE) is “ occurs when two or


more professions learn about collaboration and improve health outcomes “

(WHO,2010).

KKN Interprofesional Education (IPE) yang dilaksanakan oleh Poltekkes

Kemenkes Denpasar Tahun 2022 dilaksanakan pada tanggal 10 Januari sampai

dengan 5 Februari 2022 di seluruh kabupaten Provinsi Bali . KKN IPE kali ini

difokuskan pada keluarga dengan entry point (pintu masuk pencarian keluarga)

keluarga dengan ibu hamil (bumil), remaja usia >17 tahun, bawah lima tahun (balita),

calon pengantin, fokus pada promotive dan preventif stunting tanpa mengabaikan

masalah Kesehatan lainnya yang ditemui di keluarga.

KKN IPE kali ini masih dilakukan ditengah pandemi covid-19 yang belum

berakhir sehingga tema KKN IPE kali adalah Penguatan Peran Keluarga dalam

Pencegahan Stunting pada Masa Adaptasi Kehidupan Baru Covid 19. Lingkungan,

Kesehatan Gigi, Teknologi Laboratorium Medis . KKN IPE ini melibatkan 519 mahasiswa

tingkat akhir dari seluruh prodi di Poltekkes Kemenkes Denpasar, yang terdiri dari

mahasiswa D3 (384 orang) dan serjana terapan (D4) sebanyak 135 orang, yang

berasal dari enam jurusan yaitu jurusan Keperawatan, Kebidanan, Gizi, Kesehatan

gigi, Teknologi Laboratorium Medis dan Kesehatan Lingkungan. Mahasiswa dibagi

menjadi 26 Kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 18-24 orang,

setiap kelompok terdiri dari lebih dari 6 jursan yang terdapat di Poltekkes. KKN IPE

kali ini dilakukan secara daring dan luring (kombinasi) dengan beberapa core

kompetensi yang diharapkan bisa tercapai untuk setiap profesi kesehatan yang ada di

Poltekkes Kemenkes Denpasar.

Khususnya di Kelurahan Sesetan dibagi menjadi 2 Kelompok yakni Sesetan I

dan Sesetan II. Khususnya di kelompok Sesetan II terdiri dari 20 Orang Mahasiswa

dimana setiap Mahasiswa harus mencari 3 keluarga binaan dimana dalam keluarga
tersebut terdapat ibu hamil, remaja >17 tahun atau calon pengantin dan dibawah lima

tahun ( balita ) sehingga menjadi 60 sasaran keluarga binaan. Setelah dilakukan

pengkajian dan analisis didapatkan ada 3 masalah yang menjadi prioritas masalah,

yakni :

Pertama, Stunting pada Balita. Stunting menggambarkan status gizi kurang

yang bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal

kehidupan. Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut

umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan

menurut WHO (WHO, 2010). Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat

menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung

dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit

tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko

melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO, 2010). Status

gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan janin.

Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan berat lahir rendah

(WHO, 2014). Penelitian di Nepal menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir

rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi stunting (Paudel, et al.,

2012). Panjang lahir bayi juga berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian di

Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang lahir yang pendek berisiko tinggi

terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari dan Isnawati, 2014). Faktor lain

yang berhubungan dengan stunting adalah asupan ASI Eksklusif pada balita.

Penelitian di Ethiopia Selatan membuktikan bahwa balita yang tidak mendapatkan

ASI eksklusif selama 6 bulan berisiko tinggi mengalami stunting (Fikadu, et al.,

2014). Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang

tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan

bahwa kejadian stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan

orang tua yang rendah.

Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting (UNICEF, 2013). Di

Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, terdapat

37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase tersebut,

19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Prevalensi stunting ini mengalami

peningkatan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%. Riskedas

tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%.

Berdasarkan Batasan WHO, Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang

tinggi. Provinsi Bali sendiri memiliki angka prevalensi stunting sebesar 31,0%, yaitu

lebih rendah dari angka nasional. Data Dashboard Sigizi Terpadu dari Kementerian

Kesehatan RI menyatakan jumlah balita stunting tiga lokus kabupaten di Bali per

Agustus 2020 yaitu, Buleleng mencapai 2.057 balita atau 7,2 persen, Gianyar

mencapai 1.223 balita atau 4,8 persen, dan Bangli 798 balita atau 6,3 persen.

Kedua, kekurangan energi kronik (KEK) pada ibu hamil. Menurut teori

kekurangan energi kronik merupakan keadaan dimana ibu menderita keadaan

kekurangan kalori dan protein (malnutrisi) yang berlangsung menahun (kronis) yang

mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu hamil. Seorang ibu yang

mengalami KEK di ukur dengan Pita LILA. Pengukuran LILA kurang dari 23,5 cm 3

atau dibagian merah pita LILA maka ibu menderita KEK, jika LILA ibu lebih dari

23,5 maka tidak berisiko menderita KEK (Andriani & Susilawati, 2019). Menurut

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pravelensi anemia pada

kehamilan dan KEK secara global 35-75% secara signifikan meningkat pada

trismester ketiga dibandingkan trimester pertama dan kedua kehamilan (Fitrianingtyas


et al., 2018). Di Indonesia presentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) di

Indonesia masi tergolong tinggi yaitu 21,6 (Stephanie & Kartika, 2016). Di Provinsi

Bali pravelensi KEK mencapai 10,1% (Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian

dan Pengembangan, 2018). Berdasarkan survey 43 keluarga binaan yang di survey di

wilayah Kabupaten Badung diperoleh 9% LILA ibu tersebut mengalami Kekurangan

Energi Kronik (KEK).

Ketiga, kekurangan energi kronik (KEK) pada remaja. Beberapa

permasalahan gizi di Indonesia yang belum teratasi antara lain yaitu berat badan bayi

lahir rendah, obesitas, kekurangan energi kronik, anemia, gizi kurang, dan gizi lebih.

Permasalahan gizi yang ada mayoritas menyerang kelompok rawan seperti bayi dan

balita, remaja perempuan, dan ibu hamil serta menyusui. Di Indonesia kasus

kekurangan energi kronik utamanya disebabkan karena kurang asupan gizi seperti

energi dan protein, sehingga zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak tercukupi.

Seseorang yang kekurangan energi dapat mengalami penurunan berat badan dan

memicu rendahnya simpanan energi dalam tubuh yang akan menyebabkan kurang

energi kronik Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada siswa putri di

Surakarta yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan tingkat konsumsi energi dan

protein dengan kejadian kurang energi kronik (KEK). Memperbaiki pola konsumsi

makanan yang sesuai yaitu dengan gizi seimbang dan juga sesuai kebutuhan dapat

mencegah risiko kejadian KEK pada remaja putri khususnya. Hal ini sesuai dengan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di dalam Pasal 141 ayat 2

yang menyebutkan bahwa peningkatan mutu gizi dapat dilakukan melalui empat pilar

yaitu: (1) perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; (2)

perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; (3) peningkatan akses dan

mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan (4)
peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.1 Di Indonesia umumnya berat

badan calon ibu tidak ketahui sehingga digunakanlah lingkar lengan atas (LILA)

sebagai indikator KEK pada ibu hamil.4, 5 Hasil pengukuran LILA ada 2

kemungkinan yaitu kurang dari 23,5 cm atau lebih dari atau sama dengan 23,5 cm.

Apabila hasil pengukuran kurang dari 23,5 cm berarti berisiko melahirkan bayi

dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jika lebih dari atau sama dengan 23,5 cm

berarti tidak berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).6

Secara nasional prevalensi risiko kejadian KEK wanita usia subur (WUS) tahun 2013

yaitu 20,8%.

Berdasarkan Riskesdas 2013 diketahui bahwa prevalensi risiko KEK pada

wanita usia 15 - 45 tahun di provinsi Bali cukup tinggi yaitu 12,8%. Sebaran menurut

kabupaten berkisar antara 8,3% sampai 17,6%. Persentase tertinggi terdapat di

Kabupaten Karangasem (17,6%) dan jumlah persentase terendah adalah di Kabupaten

Klungkung 8,3%.

Dalam mengatasi 3 prioritas masalah diatas mahasiswa melakukan intervensi

pemecahan masalah dengan bersama-sama dengan melakukan komunikasi yang baik

dengan lintas profesi yang berbeda melalui edukasi penyuluhan. Tujuannya agar

keluarga binaan mempunyai pengetahuan yang cukup terkait masalah tersebut dan

dapat melakukan pencegahan sehingga masalah-masalah yang ada di keluarga binaan

dapat teratasi.

Anda mungkin juga menyukai