PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
masyarakat dengan berbagai ilmu dan memberikan bantuan dalam waktu dan daerah
tertentu yang dilaksanakan sekitar satu hingga dua bulan di daerah tingkat desa
(Sultan, 2020).
Kuliah Kerja Nyata merupakan salah satu wujud Tri Dharma Perguruan
Tinggi dengan memberikan pengalaman belajar dan bekerja kepada para Mahasiswa
tetntang penerapan dan pengembangan ilmu dan teknologi di luar kampus. KKN
bersama dalam periode tertentu, berinteraksi sebagai tujuan yang utama serta untuk
(WHO,2010).
dengan 5 Februari 2022 di seluruh kabupaten Provinsi Bali . KKN IPE kali ini
difokuskan pada keluarga dengan entry point (pintu masuk pencarian keluarga)
keluarga dengan ibu hamil (bumil), remaja usia >17 tahun, bawah lima tahun (balita),
calon pengantin, fokus pada promotive dan preventif stunting tanpa mengabaikan
KKN IPE kali ini masih dilakukan ditengah pandemi covid-19 yang belum
berakhir sehingga tema KKN IPE kali adalah Penguatan Peran Keluarga dalam
Pencegahan Stunting pada Masa Adaptasi Kehidupan Baru Covid 19. Lingkungan,
Kesehatan Gigi, Teknologi Laboratorium Medis . KKN IPE ini melibatkan 519 mahasiswa
tingkat akhir dari seluruh prodi di Poltekkes Kemenkes Denpasar, yang terdiri dari
mahasiswa D3 (384 orang) dan serjana terapan (D4) sebanyak 135 orang, yang
berasal dari enam jurusan yaitu jurusan Keperawatan, Kebidanan, Gizi, Kesehatan
setiap kelompok terdiri dari lebih dari 6 jursan yang terdapat di Poltekkes. KKN IPE
kali ini dilakukan secara daring dan luring (kombinasi) dengan beberapa core
kompetensi yang diharapkan bisa tercapai untuk setiap profesi kesehatan yang ada di
dan Sesetan II. Khususnya di kelompok Sesetan II terdiri dari 20 Orang Mahasiswa
dimana setiap Mahasiswa harus mencari 3 keluarga binaan dimana dalam keluarga
tersebut terdapat ibu hamil, remaja >17 tahun atau calon pengantin dan dibawah lima
pengkajian dan analisis didapatkan ada 3 masalah yang menjadi prioritas masalah,
yakni :
yang bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal
kehidupan. Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut
umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan
menurut WHO (WHO, 2010). Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO, 2010). Status
gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan janin.
(WHO, 2014). Penelitian di Nepal menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir
rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi stunting (Paudel, et al.,
2012). Panjang lahir bayi juga berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian di
Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang lahir yang pendek berisiko tinggi
terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari dan Isnawati, 2014). Faktor lain
yang berhubungan dengan stunting adalah asupan ASI Eksklusif pada balita.
ASI eksklusif selama 6 bulan berisiko tinggi mengalami stunting (Fikadu, et al.,
2014). Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang
tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan
bahwa kejadian stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan
Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, terdapat
37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase tersebut,
19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Prevalensi stunting ini mengalami
peningkatan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%. Riskedas
Berdasarkan Batasan WHO, Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang
tinggi. Provinsi Bali sendiri memiliki angka prevalensi stunting sebesar 31,0%, yaitu
lebih rendah dari angka nasional. Data Dashboard Sigizi Terpadu dari Kementerian
Agustus 2020 yaitu, Buleleng mencapai 2.057 balita atau 7,2 persen, Gianyar
mencapai 1.223 balita atau 4,8 persen, dan Bangli 798 balita atau 6,3 persen.
Kedua, kekurangan energi kronik (KEK) pada ibu hamil. Menurut teori
kekurangan kalori dan protein (malnutrisi) yang berlangsung menahun (kronis) yang
mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu hamil. Seorang ibu yang
mengalami KEK di ukur dengan Pita LILA. Pengukuran LILA kurang dari 23,5 cm 3
atau dibagian merah pita LILA maka ibu menderita KEK, jika LILA ibu lebih dari
23,5 maka tidak berisiko menderita KEK (Andriani & Susilawati, 2019). Menurut
kehamilan dan KEK secara global 35-75% secara signifikan meningkat pada
Indonesia masi tergolong tinggi yaitu 21,6 (Stephanie & Kartika, 2016). Di Provinsi
permasalahan gizi di Indonesia yang belum teratasi antara lain yaitu berat badan bayi
lahir rendah, obesitas, kekurangan energi kronik, anemia, gizi kurang, dan gizi lebih.
Permasalahan gizi yang ada mayoritas menyerang kelompok rawan seperti bayi dan
balita, remaja perempuan, dan ibu hamil serta menyusui. Di Indonesia kasus
kekurangan energi kronik utamanya disebabkan karena kurang asupan gizi seperti
energi dan protein, sehingga zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak tercukupi.
Seseorang yang kekurangan energi dapat mengalami penurunan berat badan dan
memicu rendahnya simpanan energi dalam tubuh yang akan menyebabkan kurang
energi kronik Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada siswa putri di
Surakarta yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan tingkat konsumsi energi dan
protein dengan kejadian kurang energi kronik (KEK). Memperbaiki pola konsumsi
makanan yang sesuai yaitu dengan gizi seimbang dan juga sesuai kebutuhan dapat
mencegah risiko kejadian KEK pada remaja putri khususnya. Hal ini sesuai dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di dalam Pasal 141 ayat 2
yang menyebutkan bahwa peningkatan mutu gizi dapat dilakukan melalui empat pilar
yaitu: (1) perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; (2)
perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; (3) peningkatan akses dan
mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan (4)
peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.1 Di Indonesia umumnya berat
badan calon ibu tidak ketahui sehingga digunakanlah lingkar lengan atas (LILA)
sebagai indikator KEK pada ibu hamil.4, 5 Hasil pengukuran LILA ada 2
kemungkinan yaitu kurang dari 23,5 cm atau lebih dari atau sama dengan 23,5 cm.
Apabila hasil pengukuran kurang dari 23,5 cm berarti berisiko melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jika lebih dari atau sama dengan 23,5 cm
berarti tidak berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).6
Secara nasional prevalensi risiko kejadian KEK wanita usia subur (WUS) tahun 2013
yaitu 20,8%.
wanita usia 15 - 45 tahun di provinsi Bali cukup tinggi yaitu 12,8%. Sebaran menurut
Klungkung 8,3%.
dengan lintas profesi yang berbeda melalui edukasi penyuluhan. Tujuannya agar
keluarga binaan mempunyai pengetahuan yang cukup terkait masalah tersebut dan
dapat teratasi.