Anda di halaman 1dari 32

EVALUASI STUNTING DI NTT INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evaluasi Kebijakan Publik

Dosen Pengampu :
Retno Sunu

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1. Aida Safira (14020118130133)


2. Farichah Zahrotul Achmar (14020118130137)
3. Dinda Febria Istifira (14020118140073)
4. Adam Nurfaizi Rosyan (14020118140110)

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut Unicef (2013), masalah anak pendek (stunting) merupakan salah satu
permasalahan gizi yang dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi anak
sejak di dalam kandungan hingga mencapai usia 24 bulan. Penyebab terjadinya stunting pada
balita meliputi banyak faktor, yaitu kurangnya asupan makan, adanya penyakit infeksi,
pengetahuan ibu yang kurang, pola asuh yang salah, sanitasi dan hygiene yang buruk, hingga
rendahnya pelayanan kesehatan (Unicef, 1990).

Data Joint Child Malnutrition Eltimates tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita pendek
(stunting) di dunia pada tahun 2017 mencapai 22.2% dan Asia menyumbang lebih dari setengah
balita stunting di dunia sebesar 55%. Dalam menyikapi tingginya prevalensi stunting ini, yang
terkonsentrasi di beberapa dunia negara-negara termiskin, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah mengusulkan target global penurunan kejadian stunting pada anak dibawah usia lima tahun
sebesar 40 % pada tahun 2025 (Mitra, 2015). World Health Assembly tahun 2012 menginisiasi
upaya percepatan perbaikan gizi sebagai upaya global dalam penanggulangan Stunting di dunia.
Adapun target yang telah ditetapkan dalam upaya penurunan prevalensi stunting antara lain:
menurunnya prevalensi stunting, wasting dan dan mencegah terjadinya overweight pada balita,
menurunkan prevalensi anemia pada wanita usia subur, menurunkan prevalensi bayi berat lahir
rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI eksklusif (Aryastami dan Ingan, 2017).

Sebagai negara anggota PBB dengan prevalensi stunting yang tinggi, Indonesia turut
berupaya dan berkomitmen dalam upaya percepatan perbaikan gizi dengan bergabung dalam
Gerakan Global Scaling Up Nutrition (SUN) movement pada tahun 2011. Upaya tersebut tidak
terlepas dari rencana jangka panjang, menengah dan jangka pendek dengan mengacu kepada
undang-undang yang telah ditetapkan. Undang-Undang nomor 17/2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (2005- 2025) menyebutkan, pembangunan pangan dan perbaikan
gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi
pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Selanjutnya,
Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan, arah
perbaikan gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui, perbaikan pola
konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas
fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Sejalan dengan kedua
undang-undang tersebut, terbit Undang-Undang tentang Pangan nomor 18 tahun 2012 yang
menetapkan kebijakan di bidang pangan untuk perbaikan status gizi masyarakat. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) tahun. Dari ketiga
undang-undang tersebut selanjutnya diterbitkan Peraturan Presiden No.2/2015 tentang Rencana
Jangka Menengah (2015-2019) yang menjadikan penurunan prevalensi stunting menjadi prioritas
nasional. Namun, angka prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong tinggi. Indonesia sendiri
menempati urutan ketiga rata-rata prevalensi balita pendek (stunting) di Regional Asia tahun
2005-2017 sebesar 36.4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi
stunting di Indonesia dari tahun 2016 hingga 2018 selalu mengalami peningkatan yaitu pada tahun
2016 sebesar 27.5%, kemudian meningkat pada tahun 2017 sebesar 29.6%, dan meningkat
kembali pada tahun 2018 sebesar 30.8%.

Stunting merupakan masalah serius dan merupakan masalah gizi utama yang sedang
dihadapi oleh Indonesia (Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, 2018). Bila masalah ini
bersifat kronis, maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah
dan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus
kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK)
memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa. Aryastami (2017) mengungkapkan
bahwa masalah stunting memiliki dampak yang cukup serius; antara lain, jangka pendek terkait
dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/balita, jangka menengah terkait dengan intelektualitas
dan kemampuan kognitif yang rendah, dan jangka panjang terkait dengan kualitas sumberdaya
manusia dan masalah penyakit degeneratif di usia dewasa. Jika angka prevalensi stunting ini
masih tinggi, maka tentu akan berdampak pada kualitas SDM di di Indonesia. Stunting juga dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja (Saputri dan
Tumangger, 2019).

Sebagai bagian dari provinsi di Indonesia, Pemerintah Daerah Provinsi NTT turut
berupaya dalam menangani permasalahan gizi di wilayahnya. Pemerintah Daerah Provinsi NTT
membuat kebijakan gizi yang tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dengan fokus sasaran menurunnya kasus balita gizi kurang menjadi
7.64% dan gizi buruk menjadi 0.76% tahun 2018 sebagai landasan pembangunan gizi di Provinsi
NTT. Selain itu, Provinsi NTT juga memiliki Peraturan Gubernur Nomor 46 Tahun 2016 tentang
Rencana Aksi Daerah Percepatan Pemenuhan Pangan dan Gizi Provinsi NTT Tahun 2016-2020.
Kebijakan gizi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah gizi di Provinsi NTT. Namun
data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya peningkatan masalah gizi stunting di
Provinsi NTT, pada tahun 2016 prevalensi stunting di NTT sebesar 38.75% menjadi 40.3% pada
tahun 2017, kemudian meningkat kembali pada tahun 2018 sebesar 42.6%. Bahkan, provinsi NTT
menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia pada tahun 2015, 2017, dan
2018. Pada tahun 2016, provinsi NTT hanya disusul oleh provinsi Sulawesi Barat menjadi
provinsi dengan prevalensi stunting terbesar kedua di Indonesia.
Uraian yang telah disampaikan diatas mendorong kami untuk melakukan evaluasi
terjadinya stunting di provinsi NTT. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkan stunting sangat
mempengaruhi kondisi SDM di Indonesia termasuk di provinsi NTT, namun angka prevalensi
baik di Indonesia maupun di provinsi NTT masih terbilang tinggi. Oleh karena itu mendorong
kami untuk melakukan evaluasi terjadinya stunting di provinsi NTT.

Tinjauan Pustaka

Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan bermaksud untuk mencapai tujuan
tertentu. Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, maka tahap terakhir dari proses kebijakan adalah melakukan evaluasi kebijakan.
Evaluasi kebijakan menekankan pada estimasi atau pengukuran dari suatu kebijakan, termasuk
juga materi, implementasi, pencapaian tujuan, dan dampak dari kebijakan tersebut, bahkan
evaluasi juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat digunakan
sebagai bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut akan dilanjutkan, diubah,
diperkuat atau diakhiri (Anderson, 1997: 272).

Menurut Bryan & White (1987:15) pengertian evaluasi mengandung makna sebagai alat
penilaian, pengertian lain evaluasi ialah proses mencatat, melakukan penilaian tentang apa yang
terjadi dan penyebabnya, secara elementer evaluasi adalah mengumpulkan informasi tentang
keadaan sebelum dan sesudah pelaksanaan suatu program/rencana. Selanjutnya Charles O. Jones
menyatakan evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya
dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya.

Pendekatan Prof. Sofyan Effendi yang diikuti oleh Nugroho (2006:153-154) bahwa
evaluasi kebijakan publik mempunyai tiga lingkup makna, yaitu :
1. Evaluasi Formulasi/ Perumusan Kebijakan Publik.
Secara umum, evaluasi formulasikebijakan publik berkenaan denganapakah formulasi
kebijakan publik telahdilaksanakan;
2. Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik,
Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik dibagi menjadi tiga menurut timing evaluasi, yaitu
sebelum dilaksanakan ,pada waktu dilaksanakan, dan setelahdilaksanakan. Evaluasi pada
waktupelaksanaan biasanya disebut evaluasiproses. Evaluasi setelah kebijakan disebut juga
evaluasi konsejuensi (output) kebijakan, atau evaluasiimpak/ pengaruh(outcome) kebijakan,
atau evaluasisumatif.
3. Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Pada prinsipnya, evaluasi lingkungankebijakan publik memberikan sebuahdeskripsi yang lebih
jelas bagaimanakonteks kebijakan dirumuskan dandiimplementasikan. Sebagian besar
dariupaya ini memang jatuh ke sisi deskriptifdengan tujuan membangun sebuahpemahaman
bersama untuk membangungeneral wisdomuntuk dapat memahamikinerja kebijakan publik.

Menurut Parsons (2008: 549-552 ) terdapat dua jenis dalam evaluasi, yakni:
1. Formative evaluation
Palumbo dalam Parsons (2008:549), mengemukakan bahwa evaluasi formatif adalah
evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program sedangdiimplementasikan merupakan
analisis tentang “seberapa jauh sebuahprogramdiimplementasikan dan apa kondisi yang bisa
meningkatkan keberhasilanimplementasi”. Fase implementasi membutuhkan evaluasi
“formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk
menghasilkanumpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses
implementasi.Rossiand Freemandalam Parson (2008:550) mendeskripsikan metode evaluasi
inisebagai evaluasi pada tiga persoalaan, yaitu:
1) Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat;
2) Apakah penyampaian pelayanan konsisten dengan spesifikasi desainprogram atau tidak;
3) Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam pelaksanaan program
2. Summative Evaluation
Palumbo dalam Parson (2008:552) mendefinisikan evaluasi sumatif digunakanuntuk
mengukur bagaimana sebuah kebijakan atau program telah memberikandampak terhadap
masalah yang ditangani. Evaluasi sumatif berusaha memantaupencapaian tujuan dan target
formal setelah suatu kebijakan atau programditerapkan untuk jangka waktu tertentu.Evaluasi
sumatif dilakukan pasca-implementasi, dimana evaluasi dimaksudkan untuk untuk
memperkirakandanmembandingkan dampak dari intervensi terhadap satu kelompok
dengankelompok lain.
Menurut Dunn (2003:609), evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama, yaitu:
1) Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya.
Evaluasi tersebut mengenai kinerja kebijakanyaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai,dan
kesempatan telah dicapai melaluitindakan publik.
2) Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadapnilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai-nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan
mengoperasikantujuan dan target. Nilai juga dikritikdengan menanyakan secarasistematis
kepantasan tujuan dantarget dalam hubungan denganmasalah yang dituju. Dalam
alternatifsumber nilai (misalnya, kelompokkepentingan dan kelompok-kelompok klien)
maupun landasan mereka dalam berbagai bentukrasionalitas (teknis, ekonomis, legal,sosial,
substantif).
Dari uraian diatas dapat dirinci tentang manfaat evaluasi kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh informasi tentang kinerja kebijakan
2. Mendorong seseorang untuk lebih memahami maksud, kualitas dan dampak kebijakan
3. Umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/penyempurnaan implementasi
4. Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan.

Berkaitan dengan topik yang sedang dibahas maka manfaat dilakukannya evaluasi stunting
di Provinsi NTT adalah untuk memperoleh informasi tentang kinerja kebijakan penanggulangan
stunting di Provinsi NTT, dapat memahami maksud, kualitas, dan dampak kebijakan
penanggulangan stunting dalam menekan angka prevalensi stunting di Provinsi NTT, sebagai
rangka perbaikan/penyempurnaan implementasi kebijakan penanggulangan stunting di Provinsi
NTT dalam mencapai tujuan kebijakannya, dan memberikan rekomendasi pada pembuatan
kebijakan sebagai hasil dari evaluasi stunting di Provinsi NTT.

METODE EVALUASI
Metode yang digunakan dalam melakukan evaluasi adalah desriptif kualitatif dengan
pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka kajian literatur jurnal-jurnal terkait stunting dari
berbagai sumber. Metode deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau
keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pa-da saat penelitian dilakukan.
Jurnal-jurnal yang digunakan sebagai kajian literatur dalam pengumpulan data sekunder adalah
jurnal-jurnal Politik, Kebijakan, Kesehatan, dan Gizi Pangan serta pada periode waktu penerbitan
jurnal 5 tahun terakhir yaitu antara tahun 2015-2020.
EVALUASI STUNTING DI NTT INDONESIA

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah
gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta
balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia,
proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
(0,9%).

Gambar 1. Tren Prevalensi Balita Pendek di Dunia Tahun 2000-2017

sumber: Joint Child Malnutrition Eltimates, 2018


Tabel Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-2017

Negara Presentase (%)


Thailand 10,5
Sri Lanka 17,3
Maldives 20,3
Korea Utara 27,9
Myanmar 29,2
Bhutan 33,6
Nepal 35,8
Bangladesh 36,1
Indonesia 36,4
India 38,4
Timor Leste 50,2
Sumber: Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2018

Grafik Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-2017

Chart Title

Thailand
Malaysia
Vietnam
Brunei D.
Filipina
Kamboja
Myanmar
Indonesia Sumber: Child stunting data
Laos
0 50 100 150 200 250 300 visualizations dashboard, WHO,
2018

Sumber: Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2018

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia
Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia
tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

Tabel Prevalensi Stunting di Kawasan ASEAN (2015)


Negara Presentase (%)
Laos 43,8
Indonesia 36,4
Myanmar 35,1
Kamboja 32,4
Filipina 30,3
Brunei D. 19,7
Vietnam 19,4
Malaysia 17,2
Thailand 16,3

Sumber : United Nations Childrens Fund (UNICEF), 2017

GrafikPrevalensi Stunting di Kawasan ASEAN (2015)

Chart Title
Thailand
Malaysia
Vietnam
Brunei D.
Filipina
Kamboja
Myanmar
Indonesia
Laos
0 50 100 150 200 250 300

Sumber : United Nations Childrens Fund (UNICEF), 2017

Prevalenstuting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia pada 2015 sebesar
36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta balita mengalami masalah gizi di mana
tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya. Stunting tersebut berada di atas ambang yang
ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting/kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di
kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%.
 
Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, balita yang mengalami stunting
tercatat sebesar 26,6%. Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8%
kategori pendek. Dalam 1.000 hari pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi
kenyataannya masih banyak balita usia 0-59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi.

Guna menekan masalah gizi balita, pemerintah melakukan gerakan nasional pencegahan
stunting dan kerjasama kemitraan multi sektor. Tim Nasional Percepatan Penanggulanan
Kemiskinan (TNP2K) menerapkan 160 kabupaten prioritas penurunan stunting. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat 15 kabupaten/kota dengan prevalensi stunting di atas
50%.
Tabel Prevalensi Stunting pada Anak Balita di Indonesia
Tahun 2007 2010 2013 2015 2016 2017 2018
Presentase
36,8 35,6 37,2 29 27,5 29,6 30,8
(%)
Sumber : Riskesdas 2007, 2010, 2013, dan 2018 dan Buletin Jendela Pusat Data dan Informasi
Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Grafik Prevalensi Stunting pada Anak Balita di Indonesia


Sumber: Pusat Data dan Informasi
Prevalensi Stunting pada Anak Balita di Indonesia
Kementerian Kesehatan
40
36.8 35.6 37.2
35 30.8
29 29.6
30 27.5
25 Prevalensi stunting anak
20
15
balita di Indonesia cenderung
10 statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar
5
0 (Riskesdas) tahun 2007
2007 2010 2013 2015 2016 2017 2018
menunjukkan prevalensi stunting
di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun
prevalensi stunting kembali meningkat pada tahun 2013, yaitu menjadi 37,2%. Berdasarkan hasil
Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015, prevalensi stunting di Indonesia adalah 29%. Angka
ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%, namun kembali meningkat menjadi
29,6% pada tahun 2017. Riskesdas 2018 menunjukan adanya perbaikan pada status gizi balita di
Indonesia. Proporsi stunting atau balita pendek karena kurang gizi kronik turun dari 37,2%
(riskesdas 2013), menjadi 30,8% pada riskesdas 2018.
Persentase Balita Pendek Dan Sangat
Provinsi Pendek (Persen)
2015 2016 2017 2018
ACEH 31.6 26.4 35.7 37.1
SUMATERA UTARA 33.2 24.44 28.5 32.4
SUMATERA BARAT 27.7 25.54 30.6 29.9
RIAU 23.9 25.07 29.7 27.4
JAMBI 25.9 27 25.2 30.1
SUMATERA
SELATAN 23.4 19.24 22.8 31.7
BENGKULU 18.1 22.96 29.4 28
LAMPUNG 22.7 24.78 31.6 27.3
KEP. BANGKA
BELITUNG 18.9 21.92 27.3 23.4
KEP. RIAU 22.9 22.85 21 23.6
DKI JAKARTA 23 20.06 22.7 17.6
JAWA BARAT 25.6 25.13 29.2 31.1
JAWA TENGAH 24.8 23.87 28.5 31.2
DI YOGYAKARTA 20.6 21.84 19.8 21.4
JAWA TIMUR 27.1 26.13 26.7 32.8
BANTEN 23.2 26.99 29.6 26.6
BALI 20.6 19.7 19.1 21.8
NUSA TENGGARA
BARAT 33.9 29.97 37.2 33.5
NUSA TENGGARA
TIMUR 41.2 38.75 40.3 42.6
KALIMANTAN
BARAT 34.1 34.93 36.5 33.3
KALIMANTAN
TENGAH 33.4 34.11 39 34
KALIMANTAN
SELATAN 37.2 31.13 34.2 33.1
KALIMANTAN
TIMUR 26.7 27.14 30.6 29.2
KALIMANTAN
UTARA 31 31.6 33.4 26.9
SULAWESI UTARA 22.2 21.21 31.4 25.5
SULAWESI TENGAH 35.3 32.04 36.1 32.3
SULAWESI
SELATAN 34.1 35.6 34.8 35.7
SULAWESI
TENGGARA 31.4 29.57 36.4 28.7
GORONTALO 36.5 33.04 31.7 32.5
SULAWESI BARAT 38.4 39.71 40 41.6
MALUKU 32.3 28.98 30 34
MALUKU UTARA 24.5 24.59 25 31.4
PAPUA BARAT 29.5 30.28 33.3 27.7
PAPUA 28.6 27.99 32.8 33.1
INDONESIA 29 27.54 29.6 30.8
Tabel Persentase Balita Pendek Dan Sangat Pendek Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2015-2018
Grafik Prevalensi Balita Stunting Menurut Provinsi di Indonesia Tahun
2015 (Persen)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
U A A U EN AU H BI UR A A H A T N O T
UL RT AR IA RI
A PU AR CE AR RA TA AL RA
K KA T .R NT NG J A M IM A T A T A A T A
G A I U P B A TE T P U U B EL N IB
BE
N
GY ES KE A W
A
AN RA RA S IS ORO ES
O W JA T E A E
Y LA
W
JA AN AT G G AW
DI IL M M NG AW UL
SU U TE L S
KA
S SU
U SA
N

Sumber : Badan Pusat Statistik

Grafik Prevalensi Balita Stunting Menurut Provinsi di Indonesia Tahun


2016 (Persen)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
T I T T
AN TA TA U H A U
RA EH MB A A
PU G AR AR A TAR
A
AL
O
RA IMU
R
T AR AR R IA G A T AR R IA
A AC A T A
LA AK AK P. N U B J PA B U N B T
SE IJ KE TE G
RO
A GY A KU RA EN PUA TAN AN AR A
ER DK YO W U
AT
E I T O T
I JA AL ES PA AN
G AN G
AT D M U M W IM I M E NG
M S LA L L T
S U
SU KA KA SA
N U

Sumber : Badan Pusat Statistik


Grafik Prevalensi Balita Stunting Menurut Provinsi di Indonesia Tahun
2017 (Persen)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
LI U N BI G H LU AU AT RA LO AT N EH A AT AT
BA R IA
A TA A M
T UN N GA KU RI AR TA TA AR ATA AC G AR AR AR
. L J I G B U N B L B B
KE
P SE L TE N I O SE NG I
A BE A BE ER
A
ES OR APU
A
N TE AR
A ES
E R KA W T W G A I G W
AT NG
JA A A P T ES G
UL
A
M A UM S UL AN W EN S
B S M A T
SU P. LI L
SA
KA SU
KE NU

Sumber : Badan Pusat Statistik

Grafik Prevalensi Balita Stunting Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018


(Persen)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
TA LI U N NG
T RA T AT R A G AH LO AN AT H AN AT
AR BA R IA
N TE U ARA A A RA AR TA TA AT AR GA AT AR
. P G N N
AK P B A M B
NG
B B U
IT
E O N
SE
L B T E
SE
L I B
IJ KE LA A
TE ER
A A U
OR
N
SI ES
DK A PU I T J A W
LUK ES G A N
N TA T AN E W
P ES A A W T A AN W
UL
A
W UM M
U LA AN LIM M LA S
A S S M I U
L LI KA L S
SU KA KA

Sumber : Badan Pusat Statistik

Balita pendek dan sangat pendek menurut provinsi di indonesia tahun 2015 sampai 2018
yang pertama daerah aceh pada tahun 2015 adalah 31,6% balita pendek dan sangat pendek
kemudian ditahun 2016 terjadi penurunan 5,2% menjadi 26,4% kemudian pada tahun 2017 terjadi
kenaikan hingga 9,3 menjadi 35,7% dan di tahun 2018 terjadi kenaikan sekitar 1,4% menjadi 37,
1℅. Di sumatera utara presentase balita pendek dan sangat pendek dari tahun 2015 sampai 2018
terjadi presentasi paling tinggi di tahun 2015 sekitar 33,2% dan paling rendah terjadi pada 2016
sekitar 24,44%. di Sumatera Barat balita pendek dan sangat pendek di tahun 2017 paling tinggi
sekitar 30,6% dan paling rendah di tahun 2016 sekitar 25,54%. di Riau terjadi peningkatan pada
tahun 2017 sekitar 29,7℅dan persentase paling rendah terjadi pada tahun 2015 yaitu 23,9%. di
provinsi Jambi terjadi peningkatan pada tahun 2018 yaitu 30,1% dan persentasi paling rendah itu
di tahun 2017 sekitar 25,2%.
Di Provinsi Sumatera Selatan terjadi peningkatan di tahun 2018 juga yaitu 31,7% dan
persentase terendah terjadi pada tahun 2017 juga yakni 22,8%. kemudian di Provinsi Bengkulu
yaitu terjadi paling tinggi presentasi di tahun 2017 sekitar 29,4% dan persentase terendah di tahun
2015 sekitar 18,1%. di provinsi Lampung di tahun 2017 yaitu presentasi tertinggi sekitar 31,6%
dan persentase terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu 22,7%. di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung pada tahun 2017 yaitu presentasi paling tinggi sekitar 27,3 Dan di tahun 2015 yaitu
persentasi terendah sekitar 18,9%. di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun pada tahun 2016 paling
tinggi presentasinya itu sekitar 22,85% dan paling rendah itu di tahun 2017 sekitar 21%. di
ibukota DKI Jakarta terjadi penurunan di tahun 2018 hingga 17,6% dan paling tinggi itu di tahun
2017 sekitar 22,7%. kemudian di Jawa barat paling tinggi tuh di tahun 2018 mencapai 31,1% dan
paling rendah itu pada tahun 2015 sekitar 25,6%. di Jawa Tengah terjadi peningkatan pada tahun
2018 dan terjadi paling rendah itu presentase di tahun 2016 sekitar 23,87%. di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta terjadi penurunan pada tahun 2017 sekitar 19,8% dan paling tinggi
persentasenya itu di tahun 2016 sekitar 21,84%. di provinsi Jawa Timur persentase balita pendek
dan sangat pendek paling tinggi itu terjadi pada tahun 2018 mencapai 32,8% dan paling rendah itu
pada tahun 2017 yaitu 26,7%. di Provinsi Banten presentasi balita pendek dan sangat pendek itu
terjadi peningkatan pada tahun 2017 hingga 29,6 dan penurunan terjadi pada tahun 2015 yaitu
23,2%. di provinsi Bali itu persentase balita pendek dan sangat pendek terjadi peningkatan pada
tahun 2018 mencapai 21,8% dan paling rendah itu pada tahun 2017 sampai 19, 1%.
Di provinsi Nusa Tenggara Barat Iya itu prosentase paling tinggi itu pada tahun 2015
sekitar 33,9% dan paling rendah itu terjadi pada tahun 2016 sekitar 29,97%. dan di provinsi Nusa
Tenggara Timur ini yaitu paling tinggi presentase balita pendek dan sangat pendek di seluruh
provinsi di Indonesia yaitu mencapai 42,6% di tahun 2018 dan paling rendah itu hanya 38,75℅. di
Provinsi Kalimantan Barat presentasi balita pendek dan sangat pendek terjadi paling tinggi di
tahun 2017 sekitar 36,5% dan paling rendah itu pada tahun 2018 sekitar 33,3%. di provinsi
kalimantan tengah itu terjadi peningkatan di tahun 2017 mencapai 39% dan terjadi penurunan atau
yang paling rendah itu pada tahun 2015 hingga 33,4%. di Provinsi Kalimantan Selatan presentasi
balita pendek dan sangat pendek terjadi paling tinggi pada tahun 2015 mencapai 37,2% dan terjadi
penurunan yaitu paling rendah hingga 31,3% pada tahun 2016. di Provinsi Kalimantan Timur
terjadi peningkatan pada tahun 2017 sampai 30, 6% dan penurunan hingga 26,7% di tahun 2015.
di Provinsi Kalimantan Utara presentasi balita pendek dan sangat pendek terjadi paling tinggi itu
pada tahun 2017 mencapai 33,4% dan paling rendah pada tahun 2018 hingga 26,9%. di provinsi
Sulawesi Utara persentase balita pendek dan sangat pendek itu paling tinggi pada tahun 2017
mencapai 31,4% dan paling rendah pada tahun 2015 yaitu 22,2%. di Sulawesi Tengah presentasi
balita pendek dan sangat pendek yang paling tinggi itu pada tahun 2017 hingga 35,7% dan paling
rendah di tahun 2015 yaitu 34,1%. di Provinsi Gorontalo presentasi balita pendek dan sangat
pendek paling tinggi terjadi pada tahun 2015 sekitar 36,5% dan paling rendah terjadi pada tahun
2017 hingga 31,7%. di Provinsi Sulawesi Barat persentase balita pendek dan sangat pendek terjadi
paling tinggi di tahun 2018 sekitar 41,6% dan paling rendah itu di tahun 2015 hanya 38,4%. di
Maluku presentasi balita pendek dan sangat pendek paling tinggi pada tahun 2018 mencapai 34%
dan paling rendah itu hanya 28,98% di tahun 2016. di provinsi Maluku Utara persentase balita
pendek dan sangat pendek terjadi paling tinggi di tahun 2018 hingga 31,4% dan paling rendah di
tahun 2015 hanya 24,5%. di Provinsi Papua Barat itu terjadi paling tinggi persentase balita pendek
dan sangat pendek di tahun 2017 hingga 33,3% dan paling rendah itu hanya 29,5% di tahun 2015.
di Provinsi Papua itu presentasi balita pendek dan sangat pendek paling rendah pada tahun 2016
sekitar 27,909% dan paling tinggi persentasenya terjadi pada tahun 2018 sekitar 33,1%. dan di
Indonesia sendiri itu perhitungan dari seluruh Provinsi paling tinggi terjadi pada 2018
peningkatannya mencapai 30,8% rata-rata dari seluruh provinsi dan paling rendah rata-rata dari
seluruh provinsi di tahun 2016 yaitu 27,54%.
Tabel 1. Prevalensi proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita menurut
kabupaten/kota, provinsi NTT Riskesdas 2013-2018

Prevalensi proporsi status gizi sangat pendek dan pendek


pada balita menurut kabupaten/kota, provinsi NTT
NO Kabupaten/Kota Riskesdas 2013-2018

2013 2018
1. Kota Kupang 36,70% 23,30%
2. Ende 36% 32,80%
3. Sikka 41,30% 33,00%
4. Ngada 62,20% 34,70%
5. Nagekeo 44,30% 36%
6. Sumba Timur 51,30% 39,30%
7. SBD 61,20% 40%
8. Kupang 46,30% 41,40%
9. NTT 51,70% 42,60%
10. Malaka - 43%
11. Lembata 55,10% 43,10%
12. Manggarai 58,80% 43,30%
13. Rote Ndao 55,30% 44%
14. Manggarai Barat 49,30% 44,30%
15. Sumba Tengah 63,60% 45,40%
16. Alor 55,70% 45,50%
17. Sabu Raijua 62,50% 46,50%
18. Flores Timur 46,50% 44,20%
20. Belu 46,80% 38,60%
21. Sumba Barat 55,40% 47,80%
22. Manggarai Timur 59% 48,40%
23. TTS 70,50% 56%
24. TTU 56,80% 39,90%
Grafik 1. Prevalensi proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita
menurut kabupaten/kota, provinsi NTT Riskesdas 2013-2018

Prevalensi Balita Sangat Pendek dan Pendek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi


NTT Tahun 2018 (Persen)
1000
800
600
400
200
0
g e a a o r a g a a ai o t h r r a lu rat ur n ra
pan End Sikk gad eke imu Day pan alak bat gar Nda ara nga Alo imu aiju Be a i m lata Uta
g T B T B T
Ku N
Na ba ara
t Ku M Lem ang te rai Te s R
ba rai h S gah
e
ota m B M R o
g a ba ore abu m a ga n
l S u g
K Su ba g
an Su
m F S ng Ten r Te
m M a o
Su M or im
m T
Ti

Grafik 2. Prevalensi Balita Sangat Pendek dan Pendek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Tahun 2018 (Persen)
Sumber : Badan Pusat Statistik

Di Indonesia, sekitar 11,5 % anak balita mengalami stunting (Riskesdas 2018) dan
di seluruh dunia. Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi dengan prevalensi
stunting terbesar. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi stunting di
provinsi NTT tahun 2013 sebanyak 51,7 % dan menurun menjadi 42,6% di tahun 2018
(riskesdas 2018), kependekan ini akan terlihat sampai anak berusia 5-12 tahun,
dimana anak pada usia diatas akan menjadi pendek hingga dewasa.

Kajian Bank Dunia dan Kementerian Kesehatan menemukan bahwa sebagian


besar ibu hamil dan anak berusia di bawah Berdasarkan Riskesdas 2018, Provinsi NTT
mempunyai prevalensi stunting diatas 40 %, NTT termasuk yang sangat tinggi, selain
stunting, prevalensi kurus (wasting) di beberapa kabupaten/kota juga sangat tinggi,
yaitu diatas 15 % (Riskesdas 2013). Hal ini mengindikasikan besarnya kasus
kekurangan gizi akut, dengan resiko kematian yang sangat tinggi, yaitu 11 kali lebih
besar dibandingkan dengan anak normal.

Dari grafik prevalensi stunting balita hasil Riskesdas tahun 2013-2018 Provinsi
NTT dari 22 kabupaten/kota yang ada , 3 kabupaten yaitu Timor Tengah Utara, Belu
dan Flores Timur mengalami kenaikan stunting sebanyak 2,3 % sampai dengan 16,9 %
sedang 18 kabupaten/kota mengalami penurunan stunting yaitu Kota Kupang,
Kabupaten Kupang, Ende, Timor Tengah selatan, manggarai Timur, Sumba Barat, Sabu
Raijua, Alor, Sumba Tengah, Manggarai Barat,Rote Ndao, Manggarai, Lembata, Sumba
Barat Daya, Sumba Timur, Nagekeo dan Sikka.

Penurunan stunting tertinggi adalah Kabupaten Ngada sebesar 27,5 % dari 62,2
% (2013) turun 34,4 % (2018) dan penurunan yang terendah adalah Kabupaten
Kupang sebesar 4,9 % yaitu 46,3 % (2013) turun menjadi 41,4 % (2018). Ada 1
kabupaten yang angka prevalensinya tidak berubah atau tetap yaitu Kabupaten Malaka
43,0 % pada tahun 2013 dan 2018.
ANALISIS EVALUASI STUNTING DI NTT INDONESIA

Stunting merupakan permasalahan serius yang berdampak pada bayi dan balita. Hal ini
berkaitan erat dengan kesehatan serta gizi bayi dan balita. Ketidakmampuan ibu hamil atau orang
tua dalam pemenuhan gizi pada saat masa kehamilan mengakibatkan prevelensi stunting semakin
meningkat di Indonesia. Pengentasan angka stunting juga memiliki hubungan dengan berbagai
kebijakan, khususnya kebijakan mengenai pangan. Indonesia menempati posisi kedua di Asia
Tenggara dengan penderita stunting terbanyak kedua setelah negara Laos. Di Indonesia sendiri
provinsi yang masih tinggi angka stunting adalah provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam tabel
pada hasil evaluasi menunjukan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur menempati posisi
pertama penderita stunting di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, provinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan
pertama prevelensi bayi pendek dan mungil terbanyak di Indonesia yang rata – rata sebanyak
40% keatas. Hal ini menandakan bahwa kebijakan yang berhubungan dengan pemenuhan gizi di
provinsi ini sangat kurang. Adapun kita analisis setiap jabupaten dan kota di provinsi nusa
tenggara timur. Dari tabel diatas, bahwa kabupaten yang memiliki angka pravelensi bayi mungil
atau pendek teredapat pada Kabupaten Timor Tengah Utara dengan besar angka 56,8% bayi
yang lahir di kabupaten ini. sedangkan urutan kedua menepati Kabupaten Timor Tengah Selatan
sebesar 56%.
Jika kita lihat pada tabel proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita
menurut kabupaten/kota, provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2013 sampai dengan 2018
sebenarnya mengalami penurunan pada kedua kabupaten yang memiliki angka stunting tertinggi
di provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah daerah dapat menekan
angka pravelensi bayi mungil dan pendek, namun angkanya masih sama saja besar.
Jika kita amati bersama, bahwa angka terendah stunting berada di Kota Kupang yang
merupakan ibukota dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Kita dapat mendiagnosa bahwa
percepatan penanganan stunting di Nusa Tenggara Timur ini masih tergantung pada kemampuan
setiap daerahnya dalam mengendalikan. Kita lihat bahwa Kota Kupang merupakan kota paling
modern dan pastinya sarana prasarana dalam menekan angka stunting cukup bagus. Hal yang
wajib dilakukan pemerintah provinsi adalah memberikan kelengkapan baik secara sumberdaya
manusia ataupun fasilitas kesehatan seperti tenaga medis yang cukup serta rumah sakit yang
memadai. Pemerataan juga sangat diperlukan, tidak hanya pada ibukota provinsi saja, namun
diseluruh kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Stunting juga sangat identik dengan pemenuhan gizi ibu hamil. Menurut Rencana Aksi
Daerah Percepatan Pemenuhan Gizi dan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengatakan
bahwa, Gizi ibu, terutama ibu hamil dan menyusui, berkolerasi tinggi dengan status gizi anak. Di
Nusa Tenggara Timur 24 persen wanita usia subur mengalami resiko KEK (Riskesdas, 2018
sementara itu penelitian di 7 kabupaten di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 51 persen
anak mengalami stunting dan 24.4 persen kurus (wasting) dari ibu dengan berat badan rendah
(underweight) (hasil kajian bersama Pemerintah NTT dan badan PBB 2018).
Menurut Rencana Aksi Daerah juga, kecukupan gizi ibu hamil di Indonesia cukup
memprihatinkan, dari penduduk yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (<70
persen angka kecukupan gizi), 44.2 persen adalah ibu hamil. Di Nusa Tenggara Timur persentase
ibu hamil menderita KEK mencapai 21.6 persen (Profil Kesehatan NTT, 2018). Rendahnya
kecukupan gizi perempuan juga berdampak pada tingginya angka ibu hamil resiko
tinggi/komplikasi. Di Nusa Tenggara Timur, 13.2 persen ibu hamil mengalami resiko tinggi di
Flores Timur 26.5 persen, dan terendah di Sabu Raijua, yakni 3.7 persen.
Jika kita simpulkan bahwa. Kebijakan dalam hal pemenuhan gizi dan di turunkan lagi
pada kebijakan pemenuhan pangan sangatlah penting untuk dilakukan, terutama di daerah
tertinggal seperti kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Pemerintah pusat harus lebih
memperhatikan kebijakan pemenuhan pangan yang baik di provinsi ini, mengingat angka
stunting yang masih cukup tinggi, selain itu, jangan sampai ada kerawanan pangan yang
mengakibatkan kurang gizi dan nantinya pemenuhan gizi ibu hamil akan terpengaruh dan angka
stunting akan semakin meningkat.
Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik
yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan
maupun kombinasi diantara keenamnya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin
mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara
kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme yang tepat.
Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan
kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara
efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan
penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya
serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang
memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan
masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-
masing anggota rumah tangga.
Menurut data Badan Pusat Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2019
mengatakan bahwa, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Rote Ndao,
Kupang, Sabu Raijua, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Belu, Sumba Timur dan
Manggarai memiliki lebih dari 50 persen kecamatan yang rentan terhadap rawan pangan,
sedangkan Kabupaten Manggarai Barat, Sikka, Ngada, Nagekeo, Alor, Ende, Lembata, Flores
Timur dan Manggarai Timur memiliki persentase tinggi untuk kecamatan yang lebih tahan
pangan. Sehingga perhatian yang lebih besar perlu diberikan kabupaten dengan lebih banyak
kecamatan rentan rawan pangan.
Bila kita korelasikan dengan angka stunting pada setiap kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur bahwa antara kerawanan pangan dengan tingginya angka stunting sangat
berhubungan. Hal ini harus menjadi bahan evaluasi. Peningkatan pemenuhan pangan dengan
bantuan pangan atau non tunai dari pemerintah pusat harus dimaksimalkan. Pemerintah daerah
juga dapat berperan aktif untuk pendistribusian bantuan kepada masyarakat secara merata.
Dari analisis diatas kita juga dapat menarik beberapa faktor pendorong dan penghambat
terjadinya stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan juga beberapa referensi dari Jurnal.
Faktor pendorong terjadinya stunting diantaranya :
1. Kurangnya gizi ibu hamil pada saat masa mengandung.
2. Kurangnya akses pangan atau pendistribusian pangan yang nantinya berdampak pada
gizi ibu hamil.
3. Pemanfaatan pangan yang kurang baik oleh masyarakat.

Menurut pembahasan dari Jurnal Ilmu Gizi oleh Khoirun, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga, ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya stunting.

1. Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada
kelompok balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,8%).
Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian stunting dengan OR sebesar 4,643. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Arifi n (2012) dan Fikadu, et al. (2014) di Ethiopia Selatan yang menunjukkan
bahwa balita yang tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama memiliki risiko
yang lebih besar terhadap kejadian stunting.
2. Keluarga pada kelompok balita normal cenderung berpenghasilan cukup (50%)
dibandingkan dengan keluarga balita stunting (23,5%). Hasil analisis Chi Square
menunjukkan bahwa pendapatan keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita (p=0,044) dengan OR sebesar 3,250. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Candra (2013), di Semarang dan Ramli et al. (2009), di Maluku Utara
yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
stunting pada balita. Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang
signifikan terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013).
Menurut Bishwakarma (2011), keluarga dengan status ekonomi baik akan dapat
memeroleh pelayanan umum yang lebih baik seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
akses jalan, dan lainnya sehingga dapat memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya
beli keluarga akan semakin meningkat sehingga akses keluarga terhadap pangan akan
menjadi lebih baik.
3. Ibu balita stunting (61,8%) memiliki pengetahuan gizi yang lebih rendah daripada ibu
balita normal (29,4%). Hasil analisis Chi-Square menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita (p=0,015)
dengan OR sebesar 3,877. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nasikhah dan Margawati
(2012) di Semarang Timur yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu merupakan faktor
risiko kejadian stunting pada balita. Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk
balita dalam upaya peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai
tingkat pengetahuan gizi yang baik (Lestariningsih, 2000). Ketidaktahuan mengenai
informasi tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan
keluarga khususnya makanan yang dikonsumsi balita (Sjahmien, 2003). Salah satu
penyebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi dan kemampuan seseorang
menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan
gizi ibu memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan makanan, yang lebih
lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya (Suhardjo, 2003).

Menurut jurnal tentang stunting yang lain, ada beberapa faktor terjadinya stunting.
Seperti Jurnal Kajian Kebijakan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di Indonesia, oleh Ni
Ketut Aryasasmi, Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, mengatakan bahwa :

Hasil-hasil Riskesdas menunjukkan, status kesehatan reproduksi di Indonesia masih


rendah. Bila hal ini dihubungkan dengan masalah gizi dalam lingkaran kehidupan, maka sangat
beralasan bila masalah stunting sulit untuk diturunkan dan stagnan selama periode 2007 hingga
2013. Pendek merupakan kondisi yang tidak dapat diperbaiki lagi ketika usia sudah dewasa.
Pertumbuhan mengalami puncak pertumbuhannya pada usia remaja (pada wanita usia 10-12
tahun pada laki-laki usia 12-14 tahun). Pertumbuhan setelah usia tersebut masih terjadi, tetapi
melambat dan hampir terhenti setelah melampaui usia 20 tahun. Tinggi badan kurang dari 150
cm pada ibu hamil berisiko untuk melahirkan anak BBLR terkait plasenta dan pinggul ibu yang
kecil.

Masalah retain effect (efek sisa) dapat berlanjut dari dalam kandungan hingga posnatal,
bahkan hingga usia dewasa. Hipotesis Barker tentang fetal programming menyatakan,
konsekuensi masalah gizi didalam kandungan dapat berlanjut hingga dewasa, yang dapat
menjadi faktor risiko penyakit . degeneratif.14 Penelitian melalui hewan coba menunjukkan,
resistensi insulin sebagai predisposing faktor terjadinyua penyakit degeneratif akibat gangguan
pertumbuhan sel organ yang belum mencapai puncaknya ketika lahir.15 Efek sisa pertumbuhan
anak pada usia dini terbawa hingga usia pra-pubertas. Peluang kejar tumbuh melampaui usia
dini masih ada meskipun kecil. Ada hubungan kondisi pertumbuhan (berat badan lahir, status
sosial ekonomi) usia dini terhadap pertumbuhan pada anak usia 9 tahun.16 Anak yang tumbuh
normal dan mampu mengejar pertumbuhannya setelah usia dini 80% tumbuh normal pada usia
pra-pubertas. Tingginya masalah stunting di Indonesia tidak semata-mata karena faktor BBLR
yang memiliki prevalensi sebesar 10,2%, tetapi panjang badan lahir yang tidak optimal (<48 cm)
yang mencapai 20,2%. Pendek pada usia dini berisiko 4,5 kali stunting pada usia 4-6 tahun dan
3,8 kali pada usia pra-pubertas.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Faktor yang menyebabkan kurang gizi
telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa
tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung maupun tidak
langsung. Berdasarkan Soekirman dalam materi aksi pangan dan gizi nasional (Depkes RI 2000)
penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyebab langsung yaitu makanan
anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya
disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit.Anak yang mendapat makanan
yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian
pula anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah
terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersamasama
merupakan penyebab kurang gizi.Menurut Prasetyawati (2012) bahwa kesehatan tubuh anak
sangat erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi.Zatzat yang terkandung dalam makanan
yang masuk dalam tubuh sangat mempengaruhi kesehatan. Menurut Menkes (2011), faktor yang
cukup dominan yang menyebabkan keadaan gizi kurang meningkat ialah perilaku memilih dan
memberikan makanan yang tidak tepat kepada anggota keluarga termasuk anakanak 2. Penyebab
tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik
mutunya.Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian,
dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental, dan sosial.Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.Faktor-faktor tersebut
sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga.Makin tinggi
pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan
pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan
pelayanan yang ada.Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga
pangan, daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. (Sibarani 2016)

Selain itu, adapaun faktor penghambat terjadinya stunting, khususnya di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, diantaranya :

1. Tenaga Kesehatan yang memadai di setiap kabupatan dan kota.


2. Menambah jumlah rumah sakit agar penanganan mengenai permasalahan ibu hamil
khususnya di daerah pelosok dapat ditangani dengan baik.
3. Akses pangan harus lancar dengan diimbangi infrastruktur antar daerah yang
memadai.
4. Sosialisasi pentingnya pemenuhan gizi ibu hamil di kabupaten yang terdampak cukup
besar mengenai stunting seperti Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah
Selatan.
5. Percepatan bantuan pangan dari pemerintah pusat untuk didistribusikan kepada
rumahtangga terdampak atau rentan.
PENUTUP
Kesimpulan

Menurut pembahasan dari Jurnal Ilmu Gizi oleh Khoirun, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga, ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya stunting.

1. Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada
kelompok balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,8%).
Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian stunting dengan OR sebesar 4,643. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Arifi n (2012) dan Fikadu, et al. (2014) di Ethiopia Selatan yang menunjukkan
bahwa balita yang tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama memiliki risiko
yang lebih besar terhadap kejadian stunting.
2. Keluarga pada kelompok balita normal cenderung berpenghasilan cukup (50%)
dibandingkan dengan keluarga balita stunting (23,5%). Hasil analisis Chi Square
menunjukkan bahwa pendapatan keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita (p=0,044) dengan OR sebesar 3,250. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Candra (2013), di Semarang dan Ramli et al. (2009), di Maluku Utara
yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
stunting pada balita. Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang
signifikan terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013).
Menurut Bishwakarma (2011), keluarga dengan status ekonomi baik akan dapat
memeroleh pelayanan umum yang lebih baik seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
akses jalan, dan lainnya sehingga dapat memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya
beli keluarga akan semakin meningkat sehingga akses keluarga terhadap pangan akan
menjadi lebih baik.
3. Ibu balita stunting (61,8%) memiliki pengetahuan gizi yang lebih rendah daripada ibu
balita normal (29,4%). Hasil analisis Chi-Square menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita (p=0,015)
dengan OR sebesar 3,877. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nasikhah dan Margawati
(2012) di Semarang Timur yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu merupakan faktor
risiko kejadian stunting pada balita. Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk
balita dalam upaya peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai
tingkat pengetahuan gizi yang baik (Lestariningsih, 2000). Ketidaktahuan mengenai
informasi tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan
keluarga khususnya makanan yang dikonsumsi balita (Sjahmien, 2003). Salah satu
penyebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi dan kemampuan seseorang
menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan
gizi ibu memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan makanan, yang lebih
lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya (Suhardjo, 2003).

Menurut jurnal tentang stunting yang lain, ada beberapa faktor terjadinya stunting.
Seperti Jurnal Kajian Kebijakan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di Indonesia, oleh Ni
Ketut Aryasasmi, Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, mengatakan bahwa :

Hasil-hasil Riskesdas menunjukkan, status kesehatan reproduksi di Indonesia masih


rendah. Bila hal ini dihubungkan dengan masalah gizi dalam lingkaran kehidupan, maka sangat
beralasan bila masalah stunting sulit untuk diturunkan dan stagnan selama periode 2007 hingga
2013. Pendek merupakan kondisi yang tidak dapat diperbaiki lagi ketika usia sudah dewasa.
Pertumbuhan mengalami puncak pertumbuhannya pada usia remaja (pada wanita usia 10-12
tahun pada laki-laki usia 12-14 tahun). Pertumbuhan setelah usia tersebut masih terjadi, tetapi
melambat dan hampir terhenti setelah melampaui usia 20 tahun. Tinggi badan kurang dari 150
cm pada ibu hamil berisiko untuk melahirkan anak BBLR terkait plasenta dan pinggul ibu yang
kecil.

Masalah retain effect (efek sisa) dapat berlanjut dari dalam kandungan hingga posnatal,
bahkan hingga usia dewasa. Hipotesis Barker tentang fetal programming menyatakan,
konsekuensi masalah gizi didalam kandungan dapat berlanjut hingga dewasa, yang dapat
menjadi faktor risiko penyakit . degeneratif.14 Penelitian melalui hewan coba menunjukkan,
resistensi insulin sebagai predisposing faktor terjadinyua penyakit degeneratif akibat gangguan
pertumbuhan sel organ yang belum mencapai puncaknya ketika lahir.15 Efek sisa pertumbuhan
anak pada usia dini terbawa hingga usia pra-pubertas. Peluang kejar tumbuh melampaui usia
dini masih ada meskipun kecil. Ada hubungan kondisi pertumbuhan (berat badan lahir, status
sosial ekonomi) usia dini terhadap pertumbuhan pada anak usia 9 tahun.16 Anak yang tumbuh
normal dan mampu mengejar pertumbuhannya setelah usia dini 80% tumbuh normal pada usia
pra-pubertas. Tingginya masalah stunting di Indonesia tidak semata-mata karena faktor BBLR
yang memiliki prevalensi sebesar 10,2%, tetapi panjang badan lahir yang tidak optimal (<48 cm)
yang mencapai 20,2%. Pendek pada usia dini berisiko 4,5 kali stunting pada usia 4-6 tahun dan
3,8 kali pada usia pra-pubertas.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Faktor yang menyebabkan kurang gizi
telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa
tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung maupun tidak
langsung. Berdasarkan Soekirman dalam materi aksi pangan dan gizi nasional (Depkes RI 2000)
penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyebab langsung yaitu makanan
anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya
disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit.Anak yang mendapat makanan
yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian
pula anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah
terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersamasama
merupakan penyebab kurang gizi.Menurut Prasetyawati (2012) bahwa kesehatan tubuh anak
sangat erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi.Zatzat yang terkandung dalam makanan
yang masuk dalam tubuh sangat mempengaruhi kesehatan. Menurut Menkes (2011), faktor yang
cukup dominan yang menyebabkan keadaan gizi kurang meningkat ialah perilaku memilih dan
memberikan makanan yang tidak tepat kepada anggota keluarga termasuk anakanak 2. Penyebab
tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik
mutunya.Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian,
dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental, dan sosial.Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.Faktor-faktor tersebut
sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga.Makin tinggi
pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan
pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan
pelayanan yang ada.Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga
pangan, daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. (Sibarani 2016)
Rekomendasi

1. Penambahan tenaga Kesehatan di kabupaten yang terdampak stunting paling parah harus
ditingkatkan. Hal ini nantinnya bertujuan untuk memberikan sosilalisasi kepada ibu hamil
untuk selalu memenuhi gizi yang baik, juga pada bayi dan balita untuk tetap melakukan
pemberian asi eksklusif selama 2 tahun. Selain itu, adanya tenaga medis juga bermanfaat
pada saat proses persalin agar tidak meningkatkan angka kematian bayi dan ibu pada saat
persalinan.
2. Pembangunan infrastruktur rumah sakit dan posyandu di setiap desa harus ditingkatkan.
Rumah sakit sangat bermanfaat apabila ibu hamil dan bayi yang mengalami masalah gizi
atau kesehatan. Masyarakat dapat langsung merujuk ke rumah sakit terdekat. Selain itu,
posyandu di setiap desa sangatlah penting untuk memberikan imunasasi dan pengecekan
gizi ibu hamil agar penekanan stunting dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Sosialisasi harus lebih digalakan. Hal ini berpengaruh pada kebiasaan ibu hamil.
Pemerintah khususnya dinas kesehatan di setiap kabupaten harus terjun langsung ke
masyarakat agar mereka paham dalam pemenuhan gizi untuk menekan angka stunting.
Selain itu, pemerintah juga dapat menggandeng tokoh adat setempat agar masyarakat
lebih mudah paham dan mau melakukan kebiasaan hidup sehat.
4. Bantuan non tunai seperti pangan harus tepat sasaran. Kebijakan ini sangat berpengaruh
pada pemenuhan gizi ibu hamil dan bayi. Ketika bantuan pangan dapat tepat
didistribusikan pada masyarakat, maka pemenuhan gizi juga dapat terpenuhi dengan baik.
Sinergitas antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat sangat perlu dilakukan,
khususnya dalam pendataan masyarakat yang pantas mendapatkan bantuan.
5. Budaya Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) yang dicanangkan oleh Kementerian
Kesehatan. Hidup bersih juga dapat menurunkan resiko terjadinya stunting pada ibu
hamil. Hal ini nantinya akan mempengaruhi pola berpikir dan pola hidup sehat
masyarakat untuk saling menjaga. Kesadaran masyarakat harus saling diingatkan untuk
menghindari stunting yang semakin melonjak di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
DAFTAR PUSTAKA

“6 Tahun Terakhir Angka Stunting Di Indonesia Turun 10, persen?”, https:// sains.kompas.com/
read/2019/10/18/180700523/, diakses 20 November 2010

Aryastami, Ni Ketut dan Ingan Tarigan. 2017. Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah
Gizi Stunting di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 45, No. 4.

Badan Pusat Statistika Provinsi Nusa Tenggara Timur

BKKBN. 2017. Laporan Sementara SDKI 2017 Kementerian Kesehatan R.I. 2014.

BPS. Macro-International. Laporan SDKI 2012.

Cahyono, Firmanu dkk. 2016. Faktor Penentu Stunting Anak Balita pada Berbagai Zona
Ekosistem di Kabupaten Kupang. Jurnal Gizi Pangan, Vol. 11, No. 1.

Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2018.

Deni & Dwiriani MC. 2009. Pengetahuan Gizi, Aktivitas Fisik,Konsumsi Snack dan Pangan
Lainnya pada Murid Sekolah Dasar di Bogor yang berstatus Gizi Normal dan Gemuk.
Jurnal gizi dan pangan, 4 (2), 92-97

Kementerian Kesehatan R.I. 2008. Laporan Riskesdas 2007.

Kementerian Kesehatan R.I. 2010. Laporan Riskesdas 2010.

Kementerian Kesehatan R.I. 2017. Laporan Sirkesnas 2016.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.

Khoirun, 2018. Faktor – Faktor Penyebab Stunting. Jurnal Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Airlangga.

Laporan Riskesdas 2013. Kementerian Kesehatan R.I. 2015. Laporan SKMI 2014.

Mitra. 2015. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah Terjadinya
Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol. 2, No.6.
Ni Ketut Aryasasmi,, 2017. Kajian Kebijakan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di
Indonesia, Jurnal Kajian Kebijakan Kesehatan, Badan Litbang Kementerian Kesehatan
RI.

Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu. Trihono, dkk. 2015. Pendek
(Stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya. Lembaga Penerbit Balitbangkes

Rahmad, Agus Hendra Al dan Ampera Miko. 2016. Kajian Stunting pada Anak Balita
Berdasarkan Pola Asuh dan Pendapatan Keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia, Vol. 8, No. 2.

Riskesdas 2007, 2010, 2013, dan 2018 dan Buletin Jendela Pusat Data dan Informasi Kesehatan
Kementerian Kesehatan.
Saputri, Rini Archda dan Jeki Tumangger. 2019. Hulu-Hilir Penangulangan Stunting di
Indonesia. Jurnal of Political Issues, Vol. 1, No. 1.

Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kementerian Kesehatan R.I. 2015. Rencana
Strategis Kemenkes 2015-2019; Kepmenkes No.HK. 02.02/MENKES/ 52/2015.

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

UNICEF. 2012. Programming Guide. Infant and Young Child Feeding, 2012. Lancet Series.
2013. Nutrition

UNICEF/WHO. 2007. Indicator for assessing Infant and Young Feeding Practices.

UNICEF/WHO. 2012. Guiding Principle for Complementary Feeding of breast fed child.

Anda mungkin juga menyukai