Bab 1 ECT
Bab 1 ECT
PENDAHULUAN
Permasalahan gangguan jiwa di Indonesia dianggap sebagai penyakit yang kronis dan
akut. Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat setiap tahunnya. Permasalahan kesehatan
jiwa tersebut perlu mendapatkan penanganan yang tepat. Dunia kesehatan telah menemukan
terapi yang cukup efektif untuk pasien penderita masalah kejiwaan. Terapi tersebut yakni
ECT sebelumnya dikenal sebagai terapi kejut listrik. ECT diperkenalkan pertama kali
oleh Carleti dan Bini pada tahun 1937, menggunakan aliran listrik yang menimbulkan kejang.
Efek samping yang ditimbulkan setelah dilakukan terapi ECT sangat beraneka ragam seperti
konvusi, delirium, gangguan daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Sehingga terapi ECT
(Nandinanti, 2015)
ECT adalah suatu bentuk terapi fisik yang masih sering digunakan oleh psikiater dengan
menggunakan suatu alat yang menghantarkan arus listrik pada elektroda dan dipasang pada
kepala sehingga menyebabkan konvulsi. Semakin banyak ditemukan bukti tentang efektivitas
ECT dalam membantu mengatasi gejala skizofrenia yang tidak respon terhadap psikoterapi
atau antidepresan, namun ECT juga mengundang banyak kontroversi karena efek samping
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan
kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh
anestesi dengan menggunakan alat khusus. Pasien berada di bawah anestesi umum. Terdapat
kejang yang telah dimodifikasi oleh muscle relaxant. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu
kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama
15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini
masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan
kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada
pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. Terapi ini menghasilkan
kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien melalui elektroda-
elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit
kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan dikendalikan, menyebabkan
kejang-kejang singkat di otak. Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan
kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien
diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar, akan
2
menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk membatasi respon otot selama
episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan
kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit
kemudian, tidak ingat kejadian seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung
(Pridmore, 2009)
Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu,
catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan
3
B. Penggunaan Anesthesia
Methohexitol, 0.5-1 mg/kg, agen, onset cepat dan masa kerja singkat, sedikit
seminggu
4
2.3 Penempatan Elektrode
A. ECT Bilateral
Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada gambar 2.3 (A). Pusat
elektroda harus 4 cm di atas dan tegak lurus, titik tengah dari garis antara sudut lateral mata
dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi kepala dan posisi ini
disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT frontotemporal.) Ini
merupakan posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral karena ini telah
menjadi posisi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat
diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral. Ada eksperimen lain untuk posisi
elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal di mana jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2
inchi) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung. Sebuah modifikasi lebih baru
di mana elektroda diterapkan lebih lanjut selain telah diteliti karena para peneliti menyarankan
bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral tradisional tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari
Gambar 2.3 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia’s positioning (B)
5
B. ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti dalam ECT
bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan parietal dari kulit kepala.
Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan
jarak antara elektroda untuk mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur
elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral
biasanya diaplikasikan di atas belahan non dominan yang merupakan sisi kanan kepala
dikebanyakan orang . Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah
menjadi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat
diekstrapolasi untuk posisi lainnya.Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan
yang lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan
sendirian.Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.3 (B).
Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d’ient’s head.ECT unilateral
dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim klinik ECT.
Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk mengaktifkan ke sisi kiri
sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota staf anestesi sangat penting untuk
6
2.4 Indikasi
Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap antidepresan atau yang
Gangguan afek yang berat seperti pasien dengan gangguan bipolar dan gangguan depresi
2. Gangguan skizofrenia
Skizofrenia katatonik tipe stupor memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah
hyperexcited), segeralakukan ECT. Pasienpsikotik akut (teruta mati peskizoaktif) yang tidak
berespon spademedikasis aja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada
sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).
3. Indikasi lain seperti parkinsonisme, status epilepticus dan neuroleptic malignant syndrome
2.5 Kontraindikasi
Menurut American Psychiatric Association (APA) 2001 tidak ada kontra indikasi absolute
/mutlak untuk ECT Tetapi beberapa kondisi menimbulkan resiko yang relative tinggi seperti
peningkatan intraknial karena tumor otak atau infek sisitem saraf pusat, infark miokard dan
7
BAB III
KESIMPULAN
Teknologi diartikan sebagai ilmu terapan dari rekayasa yang diwujudkan dalam bentuk
karya cipta manusia yang didasarkan pada prinsip ilmu pengetahuan. teknologi adalah hal-hal
yang baru yang belum diketahui, diterima dan digunakan banyak orang dalam suatu lokasi
dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh
anestesi dengan menggunakan alat khusus. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang
tonik klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama
15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
8
DAFTAR PUSTAKA
Willy F. Maramis, Albert A. Maramis .2012. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Jakarta :
Pratiwi, Arum dan Enita Dewi. 2016. Jurnal. “Reality Orientation Model for Mental Disorder
Patients Who Experienced Auditory Hallucinations”. Jurnal INJEC Vol. 1 No. 1 Juni 2016: 82–
Nandinanti, Ikky Nabila, Yaslinda Yaunin, dan Siti Nurhajjah. Jurnal. “Efek Electro Convulsive
Therapy (ECT) terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang. Volume
15.30 WIB.