Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan gangguan jiwa di Indonesia dianggap sebagai penyakit yang kronis dan

akut. Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat setiap tahunnya. Permasalahan kesehatan

jiwa tersebut perlu mendapatkan penanganan yang tepat. Dunia kesehatan telah menemukan

terapi yang cukup efektif untuk pasien penderita masalah kejiwaan. Terapi tersebut yakni

Electroconvulsive Therapy (Pratiwi dan Ernita 2016).

ECT sebelumnya dikenal sebagai terapi kejut listrik. ECT diperkenalkan pertama kali

oleh Carleti dan Bini pada tahun 1937, menggunakan aliran listrik yang menimbulkan kejang.

Efek samping yang ditimbulkan setelah dilakukan terapi ECT sangat beraneka ragam seperti

konvusi, delirium, gangguan daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Sehingga terapi ECT

banyak mengundang kontroversi yang dikarenakan efek samping yang ditimbulkan

(Nandinanti, 2015)

ECT adalah suatu bentuk terapi fisik yang masih sering digunakan oleh psikiater dengan

menggunakan suatu alat yang menghantarkan arus listrik pada elektroda dan dipasang pada

kepala sehingga menyebabkan konvulsi. Semakin banyak ditemukan bukti tentang efektivitas

ECT dalam membantu mengatasi gejala skizofrenia yang tidak respon terhadap psikoterapi

atau antidepresan, namun ECT juga mengundang banyak kontroversi karena efek samping

yang ditimbulkannya (Nandinanti, 2015).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan

kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan

mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk

membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009)

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik

dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh

anestesi dengan menggunakan alat khusus. Pasien berada di bawah anestesi umum. Terdapat

kejang yang telah dimodifikasi oleh muscle relaxant. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu

kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama

15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan

kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini

masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan

kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada

pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. Terapi ini menghasilkan

kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien melalui elektroda-

elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit

kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan dikendalikan, menyebabkan

kejang-kejang singkat di otak. Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan

kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien

diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar, akan

2
menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk membatasi respon otot selama

episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan

kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit

kemudian, tidak ingat kejadian seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung

(Pridmore, 2009)

2.2 Cara ECT

A. Prosedur Pelaksanaan ECT

 Informed Consent

Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu,

dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan

pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam

catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan

untuk tidak menerima pengobatan.

 Pasien dipuasakan 8 – 12 jam

 Premedikasi dengan injeksi atropin 0,6 – 1,2 mg I.M atau S.C

 Pemeriksaan gigi geligi dan pemasangan tounge spatel

 Diberi perelaksasi otot suksinil kholin (0,5-1,5 mg/kg)

3
B. Penggunaan Anesthesia

 Induksi cepat dengan anestesi

 Methohexitol, 0.5-1 mg/kg, agen, onset cepat dan masa kerja singkat, sedikit

dampaknya terhadap ambang kejang

 Propofol, 0.5-2mg/kg, meningkatkan ambang kejang .

 Pencegahan trauma akibat kejang

 Succinylcholine, paling sering digunakan .

 Beta blocker seperti labetolol 10-20 mg IV, terutama untuk induksi.

C. Jumlah dan frekwensi E.C.T. :

 Jumlahnya bervariasi dan ditentukan berdasarkan respon klinis. Biasanya efektif

berkisar antara 6 – 12 kali

 Frekwensi biasanya 3x seminggu pada yang bilateral, sedang unilateral 4 – 5 kali

seminggu

Gambar 2.1 ECT

4
2.3 Penempatan Elektrode

A. ECT Bilateral

Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada gambar 2.3 (A). Pusat

elektroda harus 4 cm di atas dan tegak lurus, titik tengah dari garis antara sudut lateral mata

dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi kepala dan posisi ini

disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT frontotemporal.) Ini

merupakan posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral karena ini telah

menjadi posisi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat

diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral. Ada eksperimen lain untuk posisi

elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal di mana jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2

inchi) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung. Sebuah modifikasi lebih baru

di mana elektroda diterapkan lebih lanjut selain telah diteliti karena para peneliti menyarankan

bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral tradisional tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari

efek samping kognitif. (Kellner, 2015)

Gambar 2.3 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia’s positioning (B)

5
B. ECT Unilateral

Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti dalam ECT

bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan parietal dari kulit kepala.

Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan

jarak antara elektroda untuk mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur

elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral

biasanya diaplikasikan di atas belahan non dominan yang merupakan sisi kanan kepala

dikebanyakan orang . Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah

menjadi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat

diekstrapolasi untuk posisi lainnya.Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan

yang lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan

sendirian.Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.3 (B).

Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d’ient’s head.ECT unilateral

dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim klinik ECT.

Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk mengaktifkan ke sisi kiri

sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota staf anestesi sangat penting untuk

melakukan tugas memutar kepala pasien. (Kellner,2015)

6
2.4 Indikasi

1. Gangguan depresif mayor

Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap antidepresan atau yang

tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007).

Gangguan afek yang berat seperti pasien dengan gangguan bipolar dan gangguan depresi

dengan psikotik (Thomb, 2004)

2. Gangguan skizofrenia

Skizofrenia katatonik tipe stupor memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah

antipsikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delirium

hyperexcited), segeralakukan ECT. Pasienpsikotik akut (teruta mati peskizoaktif) yang tidak

berespon spademedikasis aja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada

sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).

3. Indikasi lain seperti parkinsonisme, status epilepticus dan neuroleptic malignant syndrome

juga merupakan indikasi penggunaan ECT (Stuard, 2007)

2.5 Kontraindikasi

Menurut American Psychiatric Association (APA) 2001 tidak ada kontra indikasi absolute

/mutlak untuk ECT Tetapi beberapa kondisi menimbulkan resiko yang relative tinggi seperti

peningkatan intraknial karena tumor otak atau infek sisitem saraf pusat, infark miokard dan

kehamilan (ECT Guide, 2006; Mankad, 2010).

7
BAB III
KESIMPULAN

Teknologi diartikan sebagai ilmu terapan dari rekayasa yang diwujudkan dalam bentuk

karya cipta manusia yang didasarkan pada prinsip ilmu pengetahuan. teknologi adalah hal-hal

yang baru yang belum diketahui, diterima dan digunakan banyak orang dalam suatu lokasi

tertentu baik berupa ide maupun berupa benda atau barang.

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik

dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh

anestesi dengan menggunakan alat khusus. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang

tonik klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama

15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan

kesadarannya dan mengalami rejatan. Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis

pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang

ditempatkan pada pelipis.

8
DAFTAR PUSTAKA

Willy F. Maramis, Albert A. Maramis .2012. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Jakarta :

Airlangga Universty Press.

Pratiwi, Arum dan Enita Dewi. 2016. Jurnal. “Reality Orientation Model for Mental Disorder

Patients Who Experienced Auditory Hallucinations”. Jurnal INJEC Vol. 1 No. 1 Juni 2016: 82–

89. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Nandinanti, Ikky Nabila, Yaslinda Yaunin, dan Siti Nurhajjah. Jurnal. “Efek Electro Convulsive

Therapy (ECT) terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang. Volume

4, Nomor 3. journal.fk.unand.ac.id/index. php/jka/article/view/381, diunduh pada 16 Januari 2018,

15.30 WIB.

Pridmore. Download of Psychiatry Chapter 28: Electro Convulsive Therapy. 2009

Riyadi, Sujono. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graham Ilmu

Kellner, Charles,MD. 2015. Contemporary ECT for Depression. Volume 32.

Anda mungkin juga menyukai