Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH MATA KULIAH FIQIH MUAMALAH

JUAL BELI

DISUSUN OLEH

Musriana Silitonga (0505162059)


Riska Azizah (0505161010)
Muhammad Rozali (0505163062)
Dani Suryani Hasibuan (0505161026)

JURUSAN ASURANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur dengan rahmat Allah SWT,


yang telah memudahkan kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan
baik. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW,
rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh
rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Makalah berjudul Jual Beli ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Muamalah. Kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai
dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari
kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang kami susun ini belum
mencapai tahap kesempurnaan.

Kami mengucapkan terima kasih dan mudah-mudahan makalah ini dapat


memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari.

Medan, 27 Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 5
C. Tujuan M .................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 6
A. Defenisi, Landasan, dan Rukun Jual-Beli .................................................................. 6
1.Pengertian Jual-Beli.................................................................................................6
2. Landasan Hukum Syara’.........................................................................................7
3. Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli...........................................................................8
B. Syarat Sah-Nya Jual-Beli ........................................................................................... 8
a. Ijab Kabul ................................................................................................................ 9
b. Orang yang melakukan jual beli............................................................................10
c. Syarat objek jual beli ............................................................................................. 11
D. Hukum dan Sifat Jual Beli........................................................................................11
E. Riba Buyu' (Riba dalam Jual Beli)............................................................................11

F. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam.......................................................................12


1. Terlarang Sebab Ahliah ( ahli akad) ................................................................. 12
2. Terlarang sebab shighat .................................................................................... 13
3. Terlarang sebab ma’qud alaih (barang jualan) .................................................. 14
4. Terlarang sebab syara’ ...................................................................................... 15
G. Macam-Macam Jual Beli..........................................................................................16
H. Manfaat dan Hikmah Jual Beli.................................................................................18

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 19


A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 19
B. SARAN.....................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan


seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut muamalah ma’allah dan
mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah
mu’annas. Hubungan dengan sesame inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu
dalam islam yang dikenal dengan fiqh muamalah. Manusia sebagai makhluk sosial
tidak bisa lepas dari bermuamalh antaara satu dengan yang lainnya. Muamalah
sesame manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai
kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,aturan Allah yang terdapat
dalam Al-qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu.
Itulah sebabnya ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat
prinsip dalam muamalah dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar.
Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur dalam
agama islam salah satunya adalah dalam jual beli. Jual beli yang didalamnya terdapat
aturan – aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli adalah
menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Jual
beli dapat didefinisihkan memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling
mengganti, dikatakan:” Ba’a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya,
dan ba’ahu jika dia membelinya dan memasukkanya ke dalam hak miliknya, dan ini
masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia
mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-qur’an yang berarti haid dan
suci.Mengingat prinsip berlakunya jual beli adalah atas dasar suka sama suka, maka
syari’at islam memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan
akad jual beli untuk memilih antara kemungkinan, yaitu antara melangsungkan jual
beli atau mengurungkannya. Dalam melangsungkan akad jual beli agar tidak terjadi
penipuan dan merasakan dirugikan.

4
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah untuk memaparkar isi


makalah. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain, yaitu:
a. Bagaimana islam mengatur pelaksanaan jual beli dan,
b. Bagaimana jual-beli yang dilarang oleh islam
c. Bagaimana hubungan jual beli terhadap riba
d. Apa pengertian jual beli dalam Islam?
e. Bagaimanakah dasar hukum jual beli dalam Islam ?
f. Apa saja rukun dan syarat jual beli?
h. Apa saja manfaat dan hikmah dari jual beli?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah yang telah diuraikan, maka
dapat di simpulkan beberapa tujuan masalah antara lain, yaitu:
a. Dapat mengetahui pelaksanaan jual-beli
b. Dapat mengetahui jual-beli yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
c. Dapat mengetahui bagaimana jual-beli yang mengandung riba.
d. Untuk mengetahui bagaimanakah dasar hukum jual beli dalam Islam.
e. Untuk mengetahui rukun dan syarat jual beli.
f. Untuk mengetahui manfaat dan hikmah dari jual beli.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi, Landasan, dan Rukun Jual-Beli

1. Pengertian Jual-Beli

Islam adalah agama yang sempurna, datang dengan mengatur hubungan


antara Sang Khaliq (Allah SWT) dan makhluk, dalam ibadah untuk membersihkan
jiwa dan mensucikan hati. Islam datang denganmengatur hubungan di antara sesama
makhluk, sebagian mereka bersama sebagian yang lain, seperti jual beli, nikah,
warisan, had dan yang lainnya agar manusia hidup bersaudara di dalam rasa damai,
adil dan kasih sayang. Hal demikian secara umum didasari dalam konsep akad
(transaksi). Secara umum, akad (transaksi) terbagi tiga, yaitu :
a. Akad pertukaran secara murni, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan syarikat
(persero)
b. Akad pemberian secara murni, seperti hibah, sedekah, pinjaman, dan jaminan
c. Akad pemberian dan pertukaran secara bersama-sama, seperti qardh (hutang),
maka termasuk pemberian karena ia dalam makna sedekah, dan pertukaran di mana ia
dikembalikan dengan semisalnya. Secara terminologi, jual beli atau perdagangan
berarti “al-Bai’”, “al-Tijarah”, “al-Mubadalah” dan asy_syira’ mengandung makna
menjual, mengganti, menukar sesuatu dengan sesuatu (yang lain).1Berkenaan dengan
kata at-tijarah, dalam al-qur’an surah Fathir ayat 29 dinyatakan:

َ ‫ارةَ لَنَ تَب‬


َ‫ُور‬ َ ‫يَر ُجو تِ َج‬
Artinya: “mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”(QS.
Fathir:29)2 Adapun jual beli menurut terminology antara lain adalah sebagai berikut:

a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepas
hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.3
b. Menurut ulama Hanafiyah “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan
cara khusus (yang dibolehkan).”4
c. Menurut Imam Nawawi “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”5

1
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. Ke-2, hal. 111.
2
Departemen Agama RI, Al-Qu'ran dan Terjemahannya, hal. 700.
3
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hal. 67.
4
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 73.
5
Ibid., hal. 74.

6
d. Menurut Ibnu Qudamah “Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan
milik.”6

Dari beberapa pengertian di atas, Ahmad Sarwat menyimpulkan pengertian


jual beli, "menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu
dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar
saling merelakan".7Seyogyanya, masih para ulama dan ekonom muslim yang
mencoba merumuskan pengertian tentang jual beli atau perdagangan, di antaranya
sebagaimana pengertian yang dikemukakan di atas. Namun, dari beberapa pengertian
dikemukakan oleh para ulama di atas, sehingga dapat dipahami bahwa jual atau
perdagangan adalah akad (transaksi) tukar menukar barang atau jasa yang mengakibat
terjadinya perpindahan hak kepemilikan. Adapun kepemilikan yang dimaksud adalah
kepemilikan individu (private property).

2. Landasan Hukum Syara’

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan ijma,
yakni:

a. Al-Qur’an, diantaranya:
َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
ِّ ‫ّللاه ا ْل َب ْي َع َوح ََّر َم‬
ۚ ‫الربَا‬

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah :275)
‫َوأ َ ْش ِهد ُوا ِإذَا ت َ َبا َي ْعت ُ ْْم‬
Artinya: “Dan persiapkanlah apabila kamu berjual-beli.” (QS. Al-Baqarah :282)

ْ‫ن ت ََراضْ ِم ْن ُك ْم‬ ْْ َ ‫ّل ْأ‬


َ ‫ن ت َ ُكونَْ تِ َج‬
ْْ ‫ارةْ َع‬ ْ َ ‫ِإ‬
Artinya: “Kenalilah dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka” (QS.
An-Nisa:29)

b. As-sunah, diantaranya:

Artinya: Nabi SAW, ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau
menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-bali yang
mabrur.”(HR. Bajjar, Hakim menyahihkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur
dalam hadis di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan
merugikan orang lain.

6
Ibid.,
7
Ahmad Sarwat, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kampus Syariah, 2009), Cet. Ke-1, hal. 8.

7
c. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alas an bahwa manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti
dengan barang orang lainnya yang sesuai.

3. Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli.

Dalam menetapkan rukun jual-beli, di antara para ulama terjadi perbedaan


pendapat . Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupu perbuatan.
Adapun rukun jual-beli, yang dikemukakan oleh jumhur ulama yaitu:
a. Adanya orang yang berakad bai’ (penjual) dan mustari (pembeli)
b. Adanya shigat (lafal ijab dan Kabul)
c. Adanya barang yang dibeli (ma’qud alaih)
d. Adanya nilai tukar pengganti barang.8

B. Syarat Sah-Nya Jual-Beli

Dalam jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad
(in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat
lujum.Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk
menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang
sedang akad, menghindari jual-beli gharar (terdapat unsure penipuan), dan lain-lain.
Jika jual-beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak
memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak
memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan
menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat
lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun
membatalkan. Untuk mengetahui apakah jual beli itu sah (halal) atau tidak, maka jual
beli atas 4 yakni9 :
a. Harus ada ijab kabul, yakni kerelaan kedua belah pihak yakni penjual dan
pembeli untuk melakukan jual beli, kerelaan tersebut diwujudkan dengan cara
penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab kabul ini dapat
dilakukan dengan tulisan, lisan atau utusan.
b. Penjual dan pembeli sam-sama berhak melakukan tindakan hukum. yakni
berakal sehat, dan baligh (dewasa).

8
Rifa’i, kifayatul Akhar, penerjemah: Khulashah, (Semarang: Toha Putra), hal. 186-187.
9
Abdul Fatah Idris, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 152-153.

8
c. Obyek jual beli harus suci (bukan barang najis), dapat dimanfaatkan, milik
sendiri penjual, dapat diserahkan secara nyata.
d. Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli dimana penjual
mengatakan: “Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita
sepakati nantinya.”10

1) Ijab Kabul
Syarat pertama dalam jual beli adalah ijab kabul sebagai wujud kerelaan kedua belah
pihak. Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan
dengan hati kerelaan dapat diketahui melalui tanda lahirnya tanda yang jelas
menunjukkan kerelaan. kerelaan adalah ijab dan Kabul, firman Allah dalam
surat An-Nisa ayat 29:
ُْ َ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ ْ ْ ‫م َب ْي َن ُك‬ ُ َ ُ ُ ْ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
ْ‫ن ت َراضْ ِمنك ْم‬
ْ ‫ون ِتجارةْ ع‬
ْ ‫ن تك‬
ْ ‫ل لْ أ‬
ْ ِ ‫اط‬
ِ ‫م ِبالب‬ ْْ ‫ل تأكلوا ْم َوال ْك‬ ْ ‫ين آمنوا‬
ْ ‫ْيا أيها ال ِذ‬
ُ َ َ َ َّ َ َ ُ ُ َْ ُُ ْ َ ََ
ْ‫ان ِبك ْمْ َ ْر ِحيما‬
ْ ‫ّلل ك‬
ْ ‫ان‬ْ ‫نك‬ ْ ْ ‫ل تقتلوا أنف َس ْك‬
ْ ‫م ْۚ ِإ‬ ْ‫و‬

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu
sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.11

Jual beli yang menjadi kebiasaan misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan
sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut
fatwa ulama syafi'iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul,
tetapi menurut Imam al-Nawawi dan ulama muta'akhirin Syafi'iyah berpendirian
bahwa boleh jual beli barang barang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti
membeli sebungkus rokok. Syarat-syarat sah ijab kabul ialah sebagai berikut :

a. Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual
mengatakan ijab dan qabul.
b. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
c. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam benda-benda tertentu,
misal seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada
pembeli yang beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut
merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-
orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.
Firmannya, yaitu:
i. ‫ولنْيجغلْاهللااْللكفرىنْعلْالمومنينْسبيال‬

10
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), Cet-4. Hal. 104-105.
11
Depag RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, hal. 69

9
Artinya: "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman. ( Q.S. An-Nisa' : 141)12

2) Orang yang melakukan jual beli.


Berikut ini syarat-syarat bagi orang yang melakukan jual-beli.13
a. Baligh (berakal)
Berakal dalam melakukan akad agar tidak mudah ditipu orang. Allah swt
berfirman:
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ‫وّلتؤتوالسفهلءامولكم ْالتى ْجعل ْهللاا ْلكم ْقيما‬
Artinya: "dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurnaْ akalnya, 24 harta (mereka yang ada dalam kekuasaan yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (QS. An-Nisa' : 5).14
Harta benda tidak boleh diserahkan kepada orang yang belum
sempurna akalnya. Hal ini berarti bahwa orang yang bukan merupakan
ahli tasharruf tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab
qabul ).

b. Beragama Islam
Syarat ini hanya tertentu untuk pembeli saja, bukan untuk penjual, yaitu
kalau didalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Allah walaupun satu
ayat, seperti membeli kitab al-Quran atau kitab-kitab Hadis Nabi. Begitu
juga kalau yang dibeli adalah budak yang beragama Islam. Kalau budak
Islam dijual kepada kafir, mereka akan merendahkan atau menghina Islam
dan kaum muslimin sebab mereka berhak berbuat apapun pada sesuatu
yang sudah dibelinya. Allah swt. Melarang keras orang-orang mukmin
memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina mereka. Firman Allah
swt:
‫ولن ْيجغل ْاهللاا ْللكفرىن ْعل ْالمومنين ْسبيال‬

Artinya:"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-


orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman. ( Q.S. An-Nisa' :
141)15

12
Depag RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, hal. 146.
13
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqh Madzhab Syafi'I Buku 2, hal. 28.
14
Depag RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, hal. 115 .
15
Depag RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, hal. 146.

10
3) Syarat objek jual beli
a. Suci atau untuk disucikan, sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis
seperti anjing, babi, darah dan yang lainnya.
b. Jangan ditaklikkan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada suatu hal.
c. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini kepada tuan
selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual beli
merupakan salah satu kecuali katentuan syara’.
d. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidak sah menjual
binatang
e. Miliki sendiri, tidak sah menjual barang orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
f. Dapat diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat
diketahui
banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran yang lainnya.

C. Hukum dan Sifat Jual Beli

Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, ulama membagi jual beli menjadi dua
macam yaitu jual beli yang dikategorikan sah ( sahih) dan jual beli yang dikaegorikan
tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yng memenuhi ketentuan syara’, baik rukun
maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak
memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau
batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama rusak dan batal memiliki arti yang
sama. Adapun ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah,
batal, dan rusak.

Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syari’at . Hukumnya,
sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad. Jual beli batal
adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak sesuai dengan
syari’at, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh
orang gila dan anak-anak. Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan
ketentuan syari’at pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syari’at pada sifatnya,
seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga
menimbulkan pertentangan. Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat
dengan jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.16

D. Riba Buyu’ (Riba Dalam Jual Beli)

Riba Buyu’ adalah riba yang timbul akibat pertukarang barang sejenis yang
berbeda kualitan dan kuantitasnya atau berbeda waktu penyerahannya (tidak tunai).
Riba buyu’ disebut juga riba fadhl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang

16
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 91-92.

11
sejenis yang tidak memenuhi keriteria sama kualitas (mitslan bi mitslin), sama
kuantitasnya (sawa-an bi sawain) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
Jual beli atau pertukaran semacam ini mengandung gharar, yaitu ketidak adilan bagi
kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidak
jelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak,
atau pihak-pihak lain. Sebagian catatan yang dimaksud dengan transaksi jual beli
dalam defenisi ini adalah jual beli barang-barang ribawi (amwal ribawiyat), bukan
setiap jual beli sebagai mana yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw. Dalam hadis
dibawah ini:

“Ubadah bin Ash shomid r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
(penukaran) antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
syair dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam itu harus sama dan
dibayar kontan. Jika berbeda (penukaran) barang diatas, maka juallah barang tersebut
sekehendak kamu sekalian dengan syarat di bayar kontan.” (HR Ahmad) 17

E. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam

Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Menurut jumhur ulama
hukum jual beli terbagi dua yaitu jual beli sahih dan jual beli fasid, sedangkan
menurut ulama hanafiyah jual beli terbagi iga, yaitu jual beli sahih, fasid dan batal18.

1. Terlarang Sebab Ahliah ( ahli akad)


Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh
orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tsharruf secara bebas
dan baik. Yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor dan lain-lain.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli anak kecil ( belum memayyiz) dipandang
tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut
ulama syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab
tidak ada ahliah. Adapun menurut ulama malikiyah, hanafiyah, dan
hambaliyah jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka

17
Adiwarman A. Karim, Oni Sahroni. Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah:
Analisis Fikih dan Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Cet-1. Hal. 28-30.
18
Ibid., hal. 93-101

12
beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan
memberikan keleluasaan untuk jual beli. Maka Allah SWT berfirman:

‫وابتلوااليتامى ْحتى ْاذابلغواالنكاح ْفان ْاانستم ْمنهم ْرشدافاد ْفعوااليهم ْاموالهم‬

c. Artinya : “ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas( pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. (Q.S an-nisa :
6)
d. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika barang yang
dibelinya diberi sifat(diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama
syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan
barang yang jelek dan yang yang baik.
e. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa, seperti jual beli
fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni yang ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu, keafsahannya ditangguhkan sampai rela( hilang rasa
terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar. Adapun
menurut ulama syafi’iyah dan hanabillah, jual beli tersebut tidak sah sebab
tidak ada keridaan ketika akad.
f. Jual beli fudhul
Jul beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizing pemiliknya. Menurut
ulama hanafiyah dan malikiyah jual beli ditangguhkan sampai ada izin
pemilik. Adapun menurut ulama hanbillah dan syafi’iyah jual beli fudhul
tidak sah.
g. Jual beli yang terhalang
Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut,
ataupun sakit. Jual beli orang bodoh yang suka menghamburkan hartanya.
h. Jual beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk
menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid.
2. Terlarang sebab shighat
a. Ulama fiqh telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridhaan
antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab Kabul, berada
disuatu tempat dan tidak terpisah oleh pemisah.

13
b. Jual beli mu’adhah
Jual beli mu’adhah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad,
berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab Kabul.
c. Jual beli melalui surat ata utusan
Disepakati ulama fiqh bahwa jual beli melalui surat atau utusan adlah sah.
Tempat berakad adalah sampai surat atau utusan dari aqid pertama dari akad
kedua.
d. Jual beli dengan isyarat atua tulisan
Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi uzur
sebab sma dengan ucapan. Selain itu isyarat juga menunjukkan apa yang ada
dalam hati aqid.
e. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada ditempat
adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in’iqad(trjadinya akad).
f. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan Kabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika
lebih baik seperti meninggikan harga, menurut ulama hanafiyah
membolehkannya , sedangkan ulama syfi’iyah menganggapnya tidak sah.
g. Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah dikaitkan dengan suatu syaratatau ditangguhkan pada
waktu yang akan datang.
3. Terlarang sebab ma’qud alaih (barang jualan)
Ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad,
yang biasa disebut mabi’(barang jualan dan harga). Ada beberapa masalah yang
disepakati oleh sebagian ulama , tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya,
diantaranya sebagai berikut :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan
tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seprti barang yang ada di udara atau
ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu
dilarang dalam islam sebab rasulullah saw. Bersabda:

)‫ّلتشترواااشكْفىْالماءْفانهْغرور(رواهْاحمد‬

14
Artinya : “janganlah kamu membeli ikan didalam air karena jual beli seperti itu
termasuk gharar ( menipu)”. ( H.R Ahmad)

Menurut ibn jazi al-maliki19, gharar yang dilarang ada 10 macam:

1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam
kandungan induknya.
2. Tidak diketahui harga dan barang.
3. Tidak diketahui sifat barang atau harga.
4. Tidak diketahui ukuran barang dan harga.
5. Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti : “ saya jual kepadamu jika
jaed datang”
6. Menghargakan dua kali pada satu barang
7. Menjual barang yang diharapkan selamat.
8. Jual beli hushah.
9. Jual beli munabadzah
10. Jual beli mulasamah
a. Jual beli barang yang Najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamar.
b. Jual beli air
Disepakati jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur atau yang disimpan
ditempat pemiliknya dibolehkan leh jumhur ulama mazhab empat. Sebaiknya
ulama zairiyah melarang secara mutlak.
c. Jual beli barang yang tidak jelas (najhul)
Menurut ulama hanafiyah jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut
jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan dintara manusia.
d. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad (gaib) tidak dapat dilihat Menurut
ulama hanafiyah, jual beli seperti ini di bolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-
sifatnya, tetapi berhak khiyar ketika melihatnya.
e. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum,
dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
f. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi
belum matang, akadnya fasid. Adapun jika tumbuhan atau buah-buahan itu telah
matang akad yang dibolehkan.

19
Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, hal. 256.

15
4. Terlarang sebab syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memnuhi persyaratan dan rukunnya.
Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan diantara para
ulama, diantaranya sebagai berikut :
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama hanafiyah, tetapi batal
menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah disebut fasid( rusak ) dan terjadi atas akad atas
nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas
dari hadist bukhori dan muslim bahwa rasulullah saw mengharamkan jual beli
khamar, bangkai anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencagatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju
sehingga orang yang mencegatnya akan mendapat keuntungan.
d. Jual beli waktu azan jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat jum’at. Menurut
ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, sedangkan menurut ulama lainnya,
azan ketika khatib sudah berada di mimbar.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
Menurut ulama hanafiyah dan safi’iyah zahirnya sahih, tetapi makruh, sedangkan
menurut ulama malikiyyah dan hanabillah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang namun masih dalam khiyar,
kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab ia
membelinya dengan harga lebih tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti” saya akan
membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu.

F. Macam-Macam Jual Beli

Ulama membagi macam-macam jual beli sebagai berikut:20

1. Dilihat dari sisi objek yang diperjualbelikan, jual beli dibagi kepada tiga macam,
yaitu:

20
Mardani, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 174-175.

16
a) Jual beli muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa.
b) Jual beli sharf, yaitu jual beli antara satu mata uang dan mata uang lain.
c) Jual beli muqayyadah, yaitu jual pertukaran antara barang dengan barang
(barter), atau pertukaran antara barang dengan barang yang dinilai dengan
valuta asing.
2. Dilihat dari segi cara menetapkan harga, jual beli dibagi menjadi empat,yaitu:
a) Jual beli musawwamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika
penjual tidak memberitahukan harga pokok dan yang didapatnya.
b) Jual beli amanah, yaitu jual beli ketika penjual memberitahukan
modal jualnya (harga perolehan barang). Jual beli amanah ada 3
yaitu:
1. Jual beli murabahah, yaitu jual beli ketika penjual menyebut
harga pembelian barang dan keuntungan yang diinginkan.
2. Jual beli muwadha’ah (discount), yaitu jual beli dengan harga
dibawah harga modal dengan jumlah kerugian yang diketahui
untuk penjualan barang atau aktiva yang dinilai bukunya
sudah sangat rendah.
3. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan harga modal tanpa
keuntungan dan kerugian.
c) Jual beli dengan harga tangguh, ba’i bitsaman ajil, yaitu jual beli dengan
penetapan harga yang akan dibayar kemudian.
d) Jual beli muzayyadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran
dari penjual dan para pembeli menawar. Penawar tertinggi
terpilih sebagai pembeli. Kebalikannya, jual beli munaqadhah, yaitu jual
beli dengan penawaran pembeli untuk membelibarang dengan spesifikasi
tertentu dan para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian
pembeli akan membeli dari penjual yang menawarkan harga termurah.

3. Dilihat dari segi pembayaran, jual beli dibagi empat, yaitu:


a) Jual beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung
b) Jual beli dengan pembayaran tertunda (bai muajjal), yaitu jual beli yang
penyerahan barang secara langsung (tunai) tetapi pembayaran dilakukan
kemudian dan bisa dicicil.
c) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda (deferred delivery), meliputi:
1. Jual beli salam, yaitu jual beli ketika pembeli membayar tunai di
muka atas barang yang dipesan (biasanya produk pertanian dengan
spesifikasi yang harus diserahkan kemudian
2. Jual beli istishna’, yaitu jual beli yang pembelinya membayar tunai
atau bertahap atas barang yang dipesan (biasanya produk

17
manufaktur) dengan spesifikasi yang harus diproduksi dan
diserahkan kemudian. Jual beli dengan penyerahan barang dan
sama-sama tertunda.

G. Manfaat dan Hikmah Jual Beli


manfaat dan hikmah jual beli diantaranya sebagai berikut:21
1. Manfaat jual beli
a. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai
hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing atas dasar
kerelaan.
c. Masing-masing merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhlas
dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dengan ikhlas dan
menerima barang.
d. Menjauhkan diri dari memakan atau memilki barang yang haram.
e. Penjual dan pemberi mendapat rahmat dari Allah swt.
f. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
2. Hikmah jual beli
Hikmah dibolehkannya jual beli adalah karena kebutuhan seseorang terhadap
suatu barang tergantung pada pemilik barang tersebut, sedangkan pemilik barang
tidak akan memberikan barangnya tanpa pengganti. Mengenai disyariatkannya jual

kepada tujuannya dan pemenuhan kebutuhannya. Diantara hikmahnya yang lain


adalah melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam karena dapat meredam
terjadinya perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan, dan penipuan

21
http://ridaerfar.blogspot.co.id/2012/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-
ar_2455.html, Diakses 25 Maret 2018, Jam 20.05 WIB

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual-beli itu diperbolehkan
dalam Islam. Hal ini dikarenakan jual-beli adalah sarana manusia dalam mencukupi
kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka. Namun demikian, tidak
semua jual beli diperbolehkan. Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak
memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah
adanya akad (ijab-kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai
syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua teah dijelaskan diatas. Walaupun
banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan
syariat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan , yang berbeda hanyalah
perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

B. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang serin dilakukan oleh setiap manusia,
namun pada zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum Islam. Oleh karena
itu, sering terjadi penipuan dimana-mana. Untuk menjaga agar tidak terjadinya jual
beli yang melanggar hukum islam maka ketika melakukan sebuah transaksi jual beli
perlu sebaiknya barhati-hati terlebih dahulu dengan mengetahui transaksi tersebut
melalui syarat dan rukun jual beli.
Allah SWT telah berfirman bahwasanya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukan
riba, karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah Idris. 2004. Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Qawanin Al-Fiqhiyah

Hendi Suhendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqh Madzhab Syafi'I Buku 2.

Karim, Adiwarman A, Oni Sahroni. 2015. Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi
Syariah: Analisis Fikih dan Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers.

Mardani. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mardani. 2016. Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana.

Nasrun, Haroen. 2007. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

RI, Departemen Agama. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Mahkota


Surabaya.

Rifa’i, kifayatul Akhar, penerjemah: Khulashah, Semarang: Toha Putra.

Rida. http://ridaerfar.blogspot.co.id/2012/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-
ar_2455.html

Syafe’i Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

20
21

Anda mungkin juga menyukai