ADE SUNARMA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Ade Sunarma
NIM C161110131
RINGKASAN
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HIBRIDISASI INTERPOPULASI
IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepinus
YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA
ADE SUNARMA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo, MSi
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Ade Sunarma
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1. Alur penelitian hibridisasi interpopulasi ikan lele 6
2. Produksi ikan (di luar rumput laut) nasional dan produksi ikan lele di
Indonesia (diolah dari FAO 2016) 9
3. Pengukuran morfometrik ikan lele 16
4. UPGMA dendrogram berdasarkan jarak genetik lima populasi ikan lele
Afrika dan ikan lele lokal berdasarkan marka DNA mitokondria lokus
ND5/6 19
5. Plot komponen utama pada analisis truss-morfometri lima populasi ikan
lele Afrika dan ikan lele lokal 19
6. Program seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele Afrika yang
disarankan 46
DAFTAR LAMPIRAN
1. Elektroforegram hasil amplifikasi produk PCR DNA mitokondria lokus
ND5/6 pada ikan lele 59
2. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim AluI pada ikan lele 60
3. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HaeIII pada ikan lele 61
4. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HhaI pada ikan lele 62
5. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HinfI pada ikan lele 63
6. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HpaII pada ikan lele 64
7. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim PstI pada ikan lele 65
8. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim TaqI pada ikan lele 66
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
didatangkan pada tahun 1985, terdapat banyak nama lokal untuk ikan lele Afrika,
diantaranya: ikan lele Dumbo, Sangkuriang, Sangkuriang2, Paiton, Mesir, Thailand,
Masamo, Mutiara, Mandalika dan Burma. Diantara beragam nama tersebut,
sebagian merupakan hasil introduksi langsung dan sebagian lainnya merupakan
hasil perbaikan genetik yang telah dirilis oleh Pemerintah. Secara umum, introduksi
ikan lele Afrika di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan asal negara, yaitu
populasi Taiwan (selanjutnya disebut populasi Sangkuriang), Thailand, Mesir,
Kenya dan Belanda (Tabel 1).
Populasi Sangkuriang merupakan hasil perbaikan mutu genetik yang telah
dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi tahun 2000-2004 yang telah dirilis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Perbaikan mutu tersebut menggunakan teknik silang-balik
ikan lele Afrika populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985, secara lokal dikenal
dengan nama lele dumbo, antara keturunan kedua (F2) dengan keturunan di atas
generasi keenam (>F6) (Sunarma et al. 2005). Populasi Thailand merupakan hasil
introduksi dari Thailand oleh perusahaan swasta sekitar tahun 2002 dan 2008,
populasi Mesir diintroduksi sekitar tahun 2007 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, populasi Belanda diintroduksi dan dikembangkan
di Universitas Brawijaya pada tahun 1985 dan introduksi oleh BBPBAT Sukabumi
pada tahun 2011, dan populasi Kenya merupakan populasi yang diintroduksi tahun
2011 oleh BBPBAT Sukabumi atas hasil pertukaran dengan ikan lele Sangkuriang
dari Pemerintah Kenya. Populasi Sangkuriang, Thailand dan Belanda merupakan
tipe budidaya, yaitu populasi yang sudah lama berkembang biak pada kegiatan
budidaya. Populasi Mesir dan Kenya merupakan tipe liar, yaitu populasi yang
berasal dari tangkapan langsung dari alam atau populasi yang belum dibudidayakan
secara intensif.
Salah satu program pemuliaan yang dapat dilakukan dengan ketersediaan
beragam jenis populasi ikan lele tersebut adalah hibridisasi. Program pemuliaan
ikan dengan metode hibridisasi berpotensi dapat menghasilkan benih hibrida
unggul dalam waktu yang relatif lebih singkat, yaitu satu generasi, dibandingkan
dengan metode lain, misalnya seleksi yang memerlukan lebih dari tiga generasi.
Secara umum, hibridisasi dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki
performa yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau
heterosis) (Tave 1986; Bartley et al. 2001). Hibridisasi juga dilakukan untuk
penggabungan karakter yang dikehendaki dari populasi/spesies berbeda ke dalam
suatu populasi/spesies tunggal, produksi ikan steril, produksi ikan kelamin tunggal
dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya (Bartley et al.
2001; Chen 2010). Hibridisasi dapat terjadi baik di dalam satu jenis ikan yang sama
tetapi berbeda populasi (interpopulation crossbreeding) atau antar genus/famili
yang berbeda (interspecific hybridization) (Hulata, 2001). Baik secara alamiah
ataupun akibat campur tangan manusia, hibridisasi diperkirakan terjadi pada sekitar
25% spesies tanaman dan 10% spesies hewan (Mallet 2005).
Hibridisasi yang dilakukan secara sengaja untuk kepentingan akuakultur telah
banyak dilakukan. Heterosis dilaporkan didapatkan pada beberapa jenis ikan, di
antaranya: pertumbuhan ikan nila Oreochromis niloticus (Bentsen et al. 1998;
Nguyen et al. 2009), rohu Labeo rohita (Gjerde et al. 2002), ikan mas Cyprinus
carpio (Vandeputte 2003; Nielsen et al. 2010), udang biru Pasifik Penaeus
stylirostris (Goyard et al. 2008), udang galah Macrobrachium rosenbergii (Thanh
3
Tabel 1 Perbedaan sejarah introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia yang digunakan
pada penelitian
et al. 2010), silver perch Bidyanus bidyanus (Guy et al. 2009), brook trout
Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011), rasio bobot daging terhadap bobot tubuh
pada hibrida antara ikan channel catfish Ictalurus punctatus dengan ikan blue
catfish I. furcatus (Argue et al. 2003), dan kelangsungan hidup larva ikan gupi
Poecilia reticulata (Shikano & Taniguchi 2002). Namun demikian, heterosis tidak
selalu didapatkan pada proses hibridisasi, misalnya pada pertumbuhan,
kelangsungan hidup dan indeks fagositosis hibridisasi antar populasi ikan lele
Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009). Munculnya heterosis pada
hibridisasi, diantaranya bergantung pada variasi genetik di dalam populasi tetuanya
atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang digunakan (Fjalestad 2005;
Goyard et al. 2008).
Upaya peningkatan heterosigositas dan jarak genetik antar populasi dapat
dilakukan dengan introduksi kembali ikan lele dari habitat alaminya ke sistem
budidaya (Schönhuth et al. 2003; Wachirachaikarn et al. 2009). Meskipun variasi
genetik pada level molekuler belum menjamin adanya variasi pada karakter
fenotipe kuantitatif (Reed & Frankham 2001; Overturf et al. 2003; Borrel et al.
2004; Wachirachaikarn et al. 2009), tetapi variasi genetik yang tinggi dapat menjadi
basis bagi program pemuliaan dalam jangka panjang. Pada ikan rainbow trout
4
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah menghasilkan hibrida unggul ikan
lele yang berasal dari hasil persilangan. Secara khusus, tujuan setiap kegiatan
adalah:
6
Manfaat Penelitian
Hibrida unggul ikan lele yang berasal dari hasil persilangan pada penelitian
ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan produksi ikan lele secara nasional.
Kejelasan status spesies dan material dasar ikan lele akan memberikan manfaat bagi
penentuan teknik pemuliaan yang akan diterapkan.
Hipotesis
Kebaruan
Genus Clarias tersebar secara luas di benua Asia dan Afrika. Genus ini terdiri
atas 61 spesies (Fishbase 2016), beberapa sudah dibudidayakan, diantaranya: C.
anguillaris (Sanda et al. 2015), C. batrachus (Senanan et al. 2004), C. fuscus
(Huang et al. 2005), C. gariepinus (Ponzoni & Nguyen 2008) dan C.
macrocephalus (Senanan et al. 2004). Hingga tahun 2014, budidaya genus Clarias,
termasuk hibrida interspesies, sudah dilakukan di 54 negara dengan produksi
mencapai 1.16 juta ton dengan nilai $ 2327 juta (FAO 2016) (Tabel 2). Di antara
genus Clarias, lele Afrika merupakan spesies yang paling banyak disebarkan ke
luar Afrika dan sudah mengalami domestikasi yang sangat panjang. Ikan lele Afrika,
Tabel 2 Produksi budidaya ikan genus Clarias di dunia pada tahun 2014
(FAO 2016)
diantaranya diintroduksi ke Belanda dari Afrika Selatan pada tahun 1974 (Holcik
1991), ke Vietnam dari Afrika Tengah pada tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett
2009) dan ke Taiwan pada tahun 1975 (Huang et al. 2005).
Ikan lele Afrika diintroduksi ke Indonesia pertama kali pada tahun 1985 dari
Taiwan. Seiring dengan perkembangan budidayanya, introduksi kemudian
dilakukan kembali, baik untuk digunakan pada kegiatan produksi budidaya secara
langsung maupun untuk tujuan perbaikan mutu genetik, yaitu berturut-turut pada
9
tahun 2002 dan tahun 2008 dari Thailand, tahun 2005 dari Mesir dan tahun 2011
dari Kenya dan Belanda.
Budidaya ikan lele Afrika di Indonesia mengalami perkembangan pesat
terutama sejak tahun 2000-an. Produksi ikan lele meningkat dari 56000 ton pada
tahun 2004 menjadi 678000 ton pada tahun 2014 dengan peningkatan rata-rata 29%
per tahun dibanding dengan produksi ikan total (di luar rumput laut) sebesar 15%
per tahun. Kontribusi produksi ikan lele terhadap produksi ikan nasional (di luar
rumput laut) meningkat dari 5.3% pada tahun 2004 menjadi 15.8% pada tahun 2014
(FAO 2016) (Gambar 2).
Peningkatan produksi ikan lele Afrika ini didukung oleh perkembangan
sistem budidaya yang digunakan di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan
budidaya ikan lele di negara lain yang menggunakan sistem budidaya berteknologi
tinggi, misalnya di Belanda yang menggunakan teknik pemijahan dengan cara
produksi ikan lele nasional meningkat dari 2.5% pada tahun 2006 menjadi sekitar
30% pada tahun 2014. Selain ikan lele Sangkuriang, di masyarakat sudah pula
beredar ikan lele hasil perbaikan mutu genetik, diantaranya adalah ikan lele Mutiara
yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian dan Pemuliaan Ikan Sukamandi pada tahun
2015.
Persilangan Ikan
jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011), asal induk yang digunakan dengan
introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al. 2004) atau variasi genetik di
dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang
digunakan (Goyard et al. 2008).
Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu
populasi berperan sebagai jantan atau sebagai betina (efek resiprok), dapat
menghasilkan performa yang berbeda, seperti yang ditemukan pada persilangan
ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004), ikan nila (Bentsen et al. 1998; Lutz et
al. 2010), brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan persilangan
blunt snout bream (Luo et al. 2014). Efek resiprok ini mungkin berkaitan dengan
pengaruh maternal atau paternal, penurunan sitoplasmik dan keterkaitan genetik
antara gen seks dengan gen performa (Bentsen et al. 1998; Crespel et al. 2012).
Persilangan antar populasi liar dengan populasi budidaya tidak selalu
menghasilkan performa yang lebih baik. Pada ikan tilapia, persilangan antar
populasi liar (betina Kenya x jantan Mesir) telah menghasilkan bobot tubuh lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi murninya dan persilangan antar populasi liar
dengan populasi budidaya (Bentsen et al. 1998), sedangkan pada udang galah M.
rosenbergii, persilangan populasi budidaya dengan populasi liar menghasilkan
bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetuanya (Thanh et al.
2009). Hasil berbeda ditunjukkan pada ikan brook trout S. fontinalis yang
menunjukkan populasi budidaya menghasilkan bobot yang lebih tinggi
dibandingkan persilangan populasi budidaya dengan populasi liar (Granier et al.
2011) dan pada ikan Atlantik salmon Salmo salar yang menunjukkan bahwa
performa ikan hasil persilangan berada di antara performa ikan populasi budidaya
dan populasi liar (Glover et al. 2009).
Dengan beragam fakta tersebut di atas, dapat diketahui bahwa persilangan,
baik antar populasi dalam satu spesies ataupun antar spesies, belum tentu
menghasilkan performa hibrida yang diinginkan. Karena itu, Hulata (2001)
menyebutkan bahwa identifikasi secara eksperimental penting dilakukan untuk
menentukan kombinasi persilangan spesifik.
Abstrak
Hingga saat ini, status spesies ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia masih
diperdebatkan, yaitu sebagai ikan hibrida antar spesies atau spesies C. gariepinus.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keragaman genetik dan status spesies dua
populasi liar dan tiga populasi budidaya ikan lele Afrika dengan menggunakan
analisis marka DNA mitokondria, analisis truss-morfometri dan analisis performa
reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman dan jarak genetik pada
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia, relatif tinggi dan sebanding dengan
lele Afrika di habitat aslinya. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat
perbedaan karakter di antara lima populasi tersebut yang dapat dipisahkan sebagai
spesies berbeda. Persilangan antar lima populasi tersebut juga menghasilkan tingkat
pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kelima populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia
merupakan spesies C. gariepinus.
Pendahuluan
Menurut data FAO (2016), Indonesia adalah negara terbesar produsen ikan
lele dari hasil budidaya. Di dalam negeri, pada awalnya, ikan ini dikenal dengan
nama ikan lele Dumbo. Perkembangan selanjutnya, muncul nama lain berdasarkan
keputusan pemerintah ataupun inisiatif swasta, seperti: ikan lele Sangkuriang,
Mutiara dan Mandalika yang berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan terkait dengan pelepasan varietas ikan, ikan lele Paiton, Masamo,
Thailand, Burma, Mesir, dan lain-lain yang berdasarkan inisiatif swasta yang
14
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan status ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
upaya perbaikan mutu genetik ikan lele Afrika di Indonesia.
menggunakan GelRed (Biotium Inc., California, USA) dengan alat bantu Gel Doc
XR+ dan program Quantity One (Biorad Inc., California, USA).
Analisis truss-morfometri dilakukan pada ikan lele afrika populasi
Sangkuriang, Mesir, Thailand, Belanda dan Kenya masing-masing diwakili 30, 20,
49, 36 dan 12 sampel dengan bobot 200-500 gram/ekor dan ikan lele lokal (C.
batrachus) sebanyak 15 sampel dengan bobot 100-150 gram/ekor. Pengukuran
karakter morfometri mengikuti Teugels (1986), meliputi: panjang standar (SL),
panjang antara ujung mulut sampai pangkal sirip punggung (PDL), panjang antara
ujung mulut sampai pangkal sirip anal (PAL), panjang antara ujung mulut sampai
pangkal sirip perut (PPL), panjang antara ujung mulut sampai pangkal sirip dada
(PPEL), panjang sirip punggung (DFL), panjang sirip anal (AFL), panjang kepala
(HL), jarak antara dua bola mata (IOW), panjang antara lekukan dan ujung tonjolan
di tulang kepala (OPL) dan lebar antar lekukan di tulang kepala (OPW) (Agnese et
al. 1997) (Gambar 3).
Analisis reproduksi dilakukan hanya pada ikan lele Afrika. Setiap populasi
diwakili tiga jantan dan tiga betina (Tabel 5). Kantung sperma dari induk jantan
ikan lele diambil dengan cara pembedahan kemudian dibelah untuk mengeluarkan
cairan spermanya. Pengenceran cairan sperma dilakukan dengan menambahkan
larutan garam 0.9% dengan pengenceran 1000x. Kepadatan sel spermatozoa
dihitung dibawah mikroskop dengan menggunakan sedgwick rafter counting
chamber. Motilitas sel spermatozoa dianalisis dibawah mikroskop dengan
melakukan aktifasi pergerakan sel dengan menggunakan air pada perbandingan
1:99.
Untuk pengukuran diameter, telur diambil dari induk betina matang gonad
dengan teknik intra-ovarian biopsy menggunakan kanulator. Diameter telur diukur
dibawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Untuk perhitungan
fekunditas relatif, telur dikeluarkan dari induk betina dengan cara diurut setelah
17
mencapai tahap ovulasi 10-12 jam setelah dilakukan penyuntikan dengan Ovaprim
0.2 mL/kg induk.
Cairan sperma sekitar 20 mL dicampurkan dengan telur sekitar 10 mg untuk
proses pembuahan buatan. Pembuahan buatan dilakukan inter dan intra populasi
sehingga terbentuk 25 populasi baru masing-masing dengan tiga ulangan.
Campuran telur dan sperma kemudian diberi 15-20 mL air untuk proses aktifasi
sperma sehingga merangsang terjadinya pembuahan. Campuran kemudian disebar
ke dalam akuarium untuk proses penetasan telur.
Pola pemotongan enzim restriksi pada DNA mitokondria dikumpulkan pada
setiap enzim restriksi sehingga dapat ditentukan tipe digesti, ukuran fragmen dan
tipe komposit haplotipe pada setiap ikan sampel. Keragaman haplotipe dalam satu
populasi dihitung dengan menggunakan persamaan Nei & Tajima (1981). Jarak
genetik dan dendrogram UPGMA dihitung dan dibuat dengan software TFPGA
(Miller 1997). Data trus-morfometri ditransformasi log kemudian diolah
menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA) dengan software
PAST versi 2.17 (University of Oslo, Oslo, NO; Geological Museum, Copenhagen,
DK). Normalitas data performa reproduksi diuji dengan menggunakan uji Shapiro-
Wilk. Data yang berupa persentase dan data kepadatan sel spermatozoa dilakukan
transformasi log. Pengaruh populasi terhadap performa reproduksi diuji
menggunakan ANOVA. Bila terdapat perbedaan (p<0.05), dilakukan uji lanjut
menggunakan uji Tukey.
Hasil
Tabel 6 Haplotipe pada ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
Frekuensi Keragaman
Populasi Tipe Komposite
Haplotipe Haplotipe
Karakter reproduksi induk, baik pada jantan maupun betina, dan hasil
pemijahan tidak berbeda di antara lima populasi yang digunakan, kecuali diameter
telur dan indeks gonado-somatik jantan (Tabel 8). Persilangan berhasil dilakukan
antar populasi meskipun variasi tingkat pembuahan dan penetasan telur cukup
tinggi, yaitu masing-masing pada kisaran 26.40% – 92.04% dan 55.74% – 96.89%
(Tabel 9). Tingkat pembuahan telur tidak berbeda nyata pada 17 persilangan dan
hanya berbeda pada persilangan MS (62.42%), MB (61.45%) dan MK (26.40%).
Tabel 7 Jarak genetik antar lima populasi ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
(Nei’s Genetic Distance 1972) berdasarkan marka DNA mitokondria
lokus ND5/6
Pada umumnya, tingkat penetasan telur adalah tinggi (>74%), kecuali pada BK
(70.39%), MK (65.58%) dan TS (55.74%)
Pembahasan
Tabel 8 Karakter reproduksi induk betina dan jantan serta hasil pemijahannya pada
setiap populasi ikan lele Afrika
ikan salmon (Cronin et al. 1993), ikan nila (Rognon & Guyomard 1997; Li et al.
2002), ikan mas (Gross et al. 2002; Zhou et al. 2003), dan ikan lele (Agnese et al.
1997; Mohindra et al. 2007). Analisis PCR-RFLP juga dapat digunakan untuk
identifikasi populasi hibrida seperti dilaporkan pada ikan Salmo trutta (Hansen et
al. 2000), ikan Salvelinus (Wilson & Bernatchez 1998), ikan Pseudoplatystoma
(Prado et al. 2011; Hashimoto et al. 2013; Porto-Foresti et al. 2013), ikan-ikan
Serrasalmid (Hashimoto et al. 2011) dan ikan-ikan Atherinid (Strussmann et al.
1997).
Keragaman haplotipe pada penelitian ini (0.611-0.695) lebih rendah
dibandingkan dengan ikan lele C. gariepinus di Danau Victoria, Kenya, yaitu pada
kisaran 0.741-0.754 (Barasa et al. 2014) dan Afrika Selatan, yaitu 0.852 (Roodt-
Wilding et al. 2010) namun jumlah haplotipe yang ditemukan (tiga haplotipe per
populasi) masih relatif sebanding dengan yang ditemukan di Afrika bagian timur
yaitu kisaran 0 – 5 haplotipe per populasi (Giddelo et al. 2002), di Senegal yaitu
enam haplotipe per populasi (Agnese et al. 1997) dan di India, yaitu tiga haplotipe
per populasi (Mohindra et al. 2007). Jumlah haplotipe pada populasi Belanda lebih
banyak dibandingkan dengan empat populasi lainnya. Hal ini diduga berkaitan
dengan keragaman sumber genetik yang tinggi pada ikan lele yang diintroduksi ke
21
Tabel 9 Tingkat pembuahan dan penetasan telur pada persilangan interpopulasi ikan
lele Afrika
Belanda dan proses seleksi yang sudah dilakukan dapat tetap mempertahankan
keragaman tersebut.
Dari hasil keragaman haplotipe yang ditemukan pada ke lima populasi yang
diamati, setiap populasi memiliki haplotipe yang tidak dimiliki oleh populasi
lainnya. Adanya perbedaan haplotipe ini dapat diduga berkaitan dengan asal
wilayah/habitat alami dan tidak adanya aliran gen antar populasi. Mengacu pada
penelitian Giddelo et al. (2002) yang berhasil memisahkan populasi ikan lele di
Afrika, kemungkinan wilayah alami ikan lele yang diintroduksi ke Indonesia
berasal dari wilayah yang berbeda. Hal ini didukung dengan jarak genetik antar
populasi ikan lele yang diperoleh pada penelitian ini.
Jarak genetik antar populasi (kisaran 0.118-0.582) lebih tinggi dibandingkan
dengan antar populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke India, 0.028 (Mohindra
et al. 2007) dan Thailand, 0.036-0.144 (Wachirachaikarn et al. 2009) namun masih
sebanding dengan di Nigeria (Anene & Tianxiang 2007). Berdasarkan jarak genetik
ini, semakin memperkuat bukti bahwa tidak ada aliran genetik antar populasi. Ikan
yang digunakan pada penelitian ini masih dipelihara secara terpisah dan belum
dilakukan pemijahan persilangan antar populasi sebelumnya. Jarak genetik antar
populasi yang relatif tinggi juga menunjukkan adanya potensi untuk dilakukan
22
populasi budidaya di Belanda, 0.37-0.75% (Viveiros et al. 2002) dan Thailand, 0.6-
0.9 (Wachirachaikarn et al. 2009).
Persilangan dapat dilakukan antar populasi dalam satu spesies, antar spesies
atau antar genus. Pada penelitian ini, persilangan antar lima populasi ikan lele dapat
dilakukan dan menghasilkan tingkat pembuahan dan penetasan telur yang tinggi,
kecuali masing-masing pada silangan populasi Mesir x Kenya dan populasi
Thailand x Sangkuriang. Persilangan antar populasi budidaya ikan lele Afrika sudah
dilaporkan oleh Wachirachaikarn et al. (2009). Persilangan antar spesies ikan lele
Afrika telah berhasil dilakukan dengan C. fuscus (Wu et al. 1990), C. meladerma
(Lenormand et al. 1998) dan C. macrocephalus (Na-Nakorn et al. 2004; Senanan
et al. 2004). Sedangkan persilangan antar genus sudah berhasil dilakukan dengan
lele Heterobranchus longifilis (Legendre et al. 1992). Persilangan ikan lele Afrika
tidak berhasil dilakukan dengan C. batrachus, C. nieuhofii dan C. teijsmanni
(Lenormand et al. 1998). Persilangan dengan betina C. fuscus menghasilkan hibrida
dengan karakter morfologi yang mendekati bentuk C. fuscus dan jantan steril (Wu
et al. 1990) dan warna tubuh yang dapat secara jelas dibedakan dengan C.
gariepinus (Huang et al. 2005). Persilangan dengan betina C. macrocephalus
menghasilkan hibrida betina fertil dan jantan yang tidak dapat menghasilkan
keturunan (Abol-Munafi et al. 2006) sedangkan morfologi hampir sama dengan C.
macrocephalus (Senanan et al. 2004). Persilangan dengan betina C. meladerma
menghasilkan hibrida steril sedangkan pada resiproknya tidak berhasil hidup
(Lenormand et al. 1998).
Pada silangan populasi Mesir x Kenya dan populasi Thailand x Sangkuriang
masing-masing diperoleh tingkat pembuahan dan penetasan telur yang lebih rendah
secara signifikan dibandingkan dengan populasi silangan lainnya. Keberhasilan
tingkat pembuahan dan penetasan telur sangat dipengaruhi oleh kualitas telur dan
sperma (Bobe & Labbe 2010). Selain itu, tingkat pembuahan yang rendah dapat
berkaitan dengan interaksi antara sel spermatozoa dengan sel telur. Interaksi kedua
sel yang menyebabkan kegagalan pembuahan diantaranya akibat ketidak-sesuaian
ukuran sel spermatozoa dengan lubang mikrofil telur betina atau gagalnya
penggabungan pronukleus jantan dan betina setelah spermatozoa berhasil
memasuki telur (Lyman-Gingerich & Pelegri 2007; Kinsey et al. 2007). Sedangkan
kegagalan penetasan telur dapat diakibatkan oleh temperatur (Thepot & Jerry 2015),
pH (Gao et al. 2011), kandungan oksigen terlarut (Oyelese 2006), terlalu cepat atau
terlalu lambat proses pengeluaran telur (stripping) setelah waktu ovulasi (Agbebi
et al. 2013), atau adanya substansi yang mengganggu sistem endokrin (Cheek et al.
2001). Pada penelitian ini, kualitas telur dan sperma dapat dipastikan sudah baik
karena sperma dan telur pada silangan lain dapat berhasil dengan baik. Kondisi
temperatur, oksigen terlarut, waktu ovulasi dan substansi pengganggu juga tidak
memberikan pengaruh berbeda pada penelitian ini. Karena terjadi pada silangan
tertentu, tingkat pembuahan dan penetasan telur yang rendah diduga berkaitan
dengan interaksi sel spermatozoa dan sel telur. Namun demikian, penyebab pasti
tingkat pembuahan dan penetasan telur yang rendah yang diperoleh pada penelitian
ini perlu dikaji lebih lanjut.
24
Simpulan
Keragaman haplotipe dan jarak genetik pada ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia, masing-masing 0.611-0.695 dan 0.118-0.582, relatif
tinggi dan sebanding dengan yang ditemukan di alam. Analisis morfometri
menunjukkan tidak ada karakter morfometri yang dapat menjadi pembeda antar
populasi ikan lele. Analisis performa reproduksi menunjukkan bahwa karakter
reproduksi pada jantan dan betina relatif sebanding dengan populasi ikan lele Afrika
di alam. Persilangan antar populasi ikan lele introduksi juga berhasil dilakukan dan
mendapatkan tingkat pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Berdasarkan
hasil-hasil tersebut, kelima populasi yang digunakan pada penelitian ini dapat
dipastikan merupakan spesies ikan lele Afrika C. gariepinus. Mengingat
kebanyakan populasi ikan lele yang saat ini dibudidayakan di masyarakat telah
terwakili pada penelitian ini, sehingga penamaan ilmiah untuk ikan lele yang
diproduksi di Indonesia seharusnya menggunakan nama ilmiah C. gariepinus.
4 PERSILANGAN INTERPOPULASI BUDIDAYA DAN LIAR
IKAN LELE AFRIKA PADA TAHAP PEMBENIHAN
Abstrak
Pendahuluan
Di Indonesia, budidaya ikan lele sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan
menggunakan ikan lele lokal (C. batrachus). Pada awalnya, benih ikan lele
dikumpulkan dari alam dan dipelihara pada bak-bak di samping rumah. Seiring
dengan masuknya ikan lele Afrika (C. gariepinus) pada tahun 1985, masyarakat
beralih membudidayakan ikan lele introduksi ini karena memiliki keunggulan
komparatif dibandingkan dengan lele lokal. Ikan lele Afrika memiliki pertumbuhan
yang lebih cepat, daya tahan terhadap penyakit yang lebih tinggi dan dapat
dipijahkan secara buatan sehingga suplai benih lebih terjamin. Peralihan jenis ikan
lele yang dibudidayakan ini telah menyebabkan kegiatan budidaya lele di
masyarakat berkembang pesat sejak periode tahun 1990-an. Produksi ikan lele telah
meningkat dari 91 metrik ton pada tahun 2007 menjadi 337 metrik ton pada tahun
2011 atau sekitar 40 % per tahun (KKP 2013).
Sayangnya, perkembangan budidaya ikan lele yang pesat tidak diimbangi
dengan upaya penyediaan induk dan benih yang berkualitas unggul untuk
digunakan oleh masyarakat. Nurhidayat et al. (2003) sudah melaporkan adanya
tekanan inbreeding pada ikan lele yang diintroduksi ke Indonesia setelah 18 tahun
dibudidayakan dengan menggunakan penduga fluktuasi asimetri yang menandakan
terjadinya penurunan kualitas genetik. Penurunan pertumbuhan diduga berkaitan
dengan kurangnya upaya mempertahankan kualitas genetik dan kerusakan genetik
pada ikan yang dibudidayakan (Dunham et al. 2001) seperti yang dilaporkan pada
ikan lele Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).
Dengan mempertimbangkan dugaan terjadinya penurunan genetik tersebut,
upaya perbaikan mutu telah dilakukan sejak tahun 2000-an oleh lembaga
pemerintah perusahaan swasta, baik terhadap ikan lele Afrika yang diintroduksi
pada tahun 1985 maupun dengan melakukan kembali introduksi. Introduksi telah
dilakukan berturut-turut pada tahun 2002 dan tahun 2008 dari Thailand, tahun 2005
dari Mesir dan tahun 2011 dari Kenya dan Belanda. Kelima populasi ikan lele
Afrika tersebut diharapkan memiliki kelebihan secara genetik. Berdasarkan sejarah
domestikasi, populasi Sangkuriang, Thailand dan Belanda – khususnya populasi
Belanda, yang telah dibudidayakan pada lingkungan yang spesifik untuk rentang
waktu yang panjang dan sangat berbeda dengan lingkungan alaminya dibandingkan
dengan populasi Mesir dan Kenya – khususnya populasi Kenya, yang dapat
digolongkan sebagai populasi liar yang hidup di perairan alaminya. Secara umum,
perbedaan sejarah domestikasi ini diharapkan akan mengubah heterosigositas dan
ketahanan tubuh (fitness) pada setiap populasi.
Ketersediaan beragam populasi ikan lele Afrika tersebut dapat digunakan
untuk program pemuliaan ikan lele Afrika di Indonesia, baik dengan teknik seleksi
maupun dengan persilangan. Teknik persilangan telah digunakan pada beragam
spesies untuk mendapatkan performa yang lebih baik pada keturunannya, produksi
ikan steril, serta sebagai tahap awal pada penerapan teknik seleksi melalui
pembentukan populasi dasar (Bartley et al. 2001; Gjedrem 2005) seperti dilaporkan
27
Pada tahap kedua, ikan dipelihara dengan kepadatan 8 ekor per liter dalam
akuarium 100 L dan diberi pakan buatan (protein 40%, size 0 – 0.3 mm) dengan
frekuensi empat kali per hari secara at-satiation selama minggu pertama dilanjutkan
dengan pakan buatan (protein 39-40%, size 0.5 – 0.7 mm) selama tiga minggu
terakhir. Setelah empat minggu, ikan dipanen dan disortasi berdasarkan panjang
tubuh. Seperti pada tahap 1, ikan over-size dibuang dan tidak digunakan pada tahap
selanjutnya.
Pada tahap ketiga, ikan dipelihara dengan kepadatan 4 ekor per liter dalam
akuarium 100 L. Pakan buatan (protein 39-41%, size 0.5 – 0.7 mm) diberikan tiga
kali per hari secara at-satiation selama minggu pertama dilanjutkan dengan pakan
buatan (protein 39-41%, size 0.7 – 1.0 mm) hingga akhir pemeliharaan. Untuk
mempertahankan kualitas air yang layak untuk pertumbuhan ikan lele, penggantian
air diakukan setiap dua hari sebanyak 100% pada tahap 2 dan tahap 3.
Panjang total tubuh (TL), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan over-size
(OS) diukur dan dihitung setiap akhir tahap pemeliharaan. Untuk TL, sampel
sebanyak 30 ekor ikan diukur. Nilai SR dan OS dihitung dari setiap akuarium dan
digunakan untuk menghitung korelasinya pada setiap tahap pemeliharaan. Laju
pertumbuhan spesifik (SGR) dan koefisien variasi (CV) dihitung berdasarkan
Bhujel (2008). Nilai SGR (%) TL pada akhir pemeliharaan dihitung dengan rumus
100× (LnTL1 − LnTL0)/T, di mana TL1= panjang tubuh pada akhir pemeliharaan,
TL0= panjang tubuh pada umur 4 hari (mm), T= lama waktu pemeliharaan (hari).
Akumulatif SR dihitung dengan rumus 100 x (SR1% x SR2% x SR3), di mana
SR1%, SR2% dan SR3% masing-masing adalah kelangsungan hidup tahap 1, tahap
2 dan tahap 3. Nilai CV (%) dihitung dengan rumus 100 x (sd1 + sd2 + sd3) / (x1 +
x2 + x3), di mana sd dan x masing-masing adalah standar deviasi dan rataan panjang
total pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3. Rataan OS dihitung dengan rumus 100 x
(OS1 + OS2 + OS3) / (N1 + N2 + N3), di mana OS dan N masing-masing adalah
jumlah ikan over-size dan jumlah ikan yang hidup pada setiap akhir masa
pemeliharaan.
Distribusi normal diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data SR dan OS
yang tidak terdistribusi normal ditransformasi dengan log. Analisis varians satu
arah (ANOVA) digunakan untuk menganalisis pengaruh silangan terhadap setiap
karakter yang diamati, dan nilai tengah dibandingkan dengan menggunakan uji
Dunnet (P<0.05) dengan menggunakan populasi Sangkuriang sebagai kontrol.
Hubungan SR dan OS dihitung dengan uji Person.
Hasil
Nilai koefisien variasi (CV) tidak berbeda nyata antar populasi. Nilai CV pada
kisaran 12.47% – 16.97% termasuk pada kisaran moderat menurut Benhaïm et al.
(2011). Meskipun keseragaman ukuran panjang tubuh termasuk moderat, pada
setiap populasi selalu terdapat individu over-size (OS) dibandingkan dengan ukuran
yang mendekati rataan populasi. Rataan nilai OS berbeda secara nyata di antara
populasi dengan kisaran 0.22% – 2.86%. Populasi MB menghasilkan OS terendah
dan berbeda nyata terhadap populasi SS sedangkan populasi lainnya tidak berbeda
nyata. Kisaran nilai OS pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 masing-masing adalah
0.08% – 2.25%, 0.32% – 5.76%, dan 0.02% – 6.61%. Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai OS berkorelasi dengan SR pada setiap tahap pemeliharaan dan
30
korelasi ini semakin menurun pada tahap pemeliharaan lebih lanjut, yaitu koefisien
korelasi (r) tahap 1= 0.930 (p<0.01), r tahap 2= 0.803 (p<0.01) dan r tahap 3= 0.776
(p<0.01). Secara akumulatif, korelasi OS dengan SR adalah r = 0.819 (p<0.01).
Pembahasan
hidup lebih baik daripada populasi SS. Kelangsungan hidup hasil persilangan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kedua populasi induknya ditunjukkan pada udang
biru Pasifik (Goyard et al. 2008) dan ikan mas (Nielsen et al. 2010), tidak terdapat
perbedaan pada ikan Rohu carp Labeo rohita (Gjerde et al. 2002) dan ikan Chinook
salmon (Bryden et al. 2004), dan lebih rendah pada ikan salmon pink Oncorhynchus
gorbuscha (Gilk et al. 2004).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan performa pada
persilangan resiprok, yaitu persilangan dua populasi dengan skema jantan atau
betina yang berbeda. Populasi BM menghasilkan kelangsungan hidup dan ikan
over-size yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi MB. Hal yang sama
juga ditemukan pada laju pertumbuhan populasi ST, MK dan TM dibandingkan
dengan persilangan resiproknya, tetapi tidak ditemukan pada populasi persilangan
lainnya. Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu
populasi berperan sebagai jantan atau betina, dapat menghasilkan perbedaan
performa, seperti yang sudah dilaporkan pada persilangan ikan nila (Lutz et al.
2010), ikan brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan ikan blunt
snout bream Megalobrama amblycephala (Luo et al. 2014). Pengaruh resiprok ini
diduga berkaitan dengan pengaruh parental dan keterkaitan genetik antara gen seks
dengan gen performa (Crespel et al. 2012).
Kelangsungan hidup ikan pada tahap 1 dan tahap 3 lebih tinggi dibandingkan
dengan tahap 2. Kelangsungan hidup yang rendah pada tahap 2 sejalan dengan
jumlah ikan over-size yang tinggi. Meskipun dinamika kanibalisme pada ikan lele
Afrika lebih banyak terjadi pada umur dua minggu pertama (Adamek et al. 2011)
namun pemeliharaan larva pada tahap 1 dan tahap 3 pada penelitian ini telah
berhasil mempertahankan kelangsungan hidup >50%. Pada penelitian lain
menggunakan sistem kolam plastik di luar ruangan, kelangsungan hidup selama
pemeliharaan larva 21 hari adalah 18-42% (Sunarma et al. 2013). Pada tahap 2,
pemeliharaan selama 4 minggu atau pemeliharaan akumulatif selama 7 minggu,
telah menyebabkan terjadinya penurunan kelangsungan hidup akibat kanibalisme
tinggi karena tidak teramati adanya kematian ikan. Pada pemeliharaan selama 7
minggu, kontribusi kematian akibat kanibalisme dapat mencapai 50 – 90%
(Adamek et al. 2011). Pada tahap 3, pemeliharaan selama 4 minggu atau
pemeliharaan akumulatif 11 minggu, kelangsungan hidup dapat meningkat kembali
karena kanibalisme sudah semakin menurun. Pada ikan lele Afrika ukuran bobot
sekitar 10 g/ekor, rasio panjang predator dengan mangsa dapat mencapai 2.18
(Baras & Jobling 2002).
Hubungan antara tingkat kanibalisme dengan kelangsungan hidup dapat
dilihat dari adanya korelasi yang kuat antara jumlah ikan over-size dengan
kelangsungan hidup. Makin banyak ikan over-size, makin rendah tingkat
kelangsungan hidup. Namun demikian, jumlah ikan over-size tidak terlihat pada
koefisien keragaman pada populasi ikan bersangkutan. Hal ini karena ikan over-
size lebih mampu menghindar ketika dilakukan pengambilan sampel. Jumlah ikan
over-size baru dapat diketahui ketika dilakukan penyortiran pada saat dilakukan
pemanenan. Ikan over-size dapat timbul akibat sifat agresif dan kanibalisme yang
secara alamiah dimiliki ikan lele Afrika. Sifat agresif atau perilaku menyerang
dapat menyebabkan ikan lain terluka dan menjadi lemah yang kemudian
mendorong terjadinya kanibalisme (Mukai et al. 2013). Menurut Baras & Jobling
(2002), pada tahap larva, ikan lele Afrika dapat memangsa sesamanya yang
32
memiliki ukuran sama. Larva yang menjadi predator akan berkembang lebih cepat
dibanding yang lainnya sehingga dengan ukuran yang lebih besar dapat
meningkatkan peluang untuk memangsa kembali ikan lainnya dan lebih agresif
untuk bersaing mendapatkan makanan.
Nilai CV panjang total pada penelitian ini, yaitu 12.47% – 16.97%, termasuk
kisaran moderat berdasarkan Benhaïm et al. (2011). Nilai CV bobot tubuh pada
ikan lele Afrika dapat mencapai 13-26% pada umur 15 hari (Baras & d’Almeida
2001) dan 41-51% pada pemeliharaan larva selama tujuh minggu (Adamek et al.
2011). Volckaert & Hellemans (1999) melaporkan nilai CV yang rendah pada bobot
tubh ikan lele umur satu dan sembilan bulan, yaitu masing-masing 6.7-11.9 dan 4.5-
8.1 dengan melakukan pengambilan ikan over-size untuk mengurangi kanibalisme.
Secara umum, nilai CV fenotipe pada ikan adalah 20–30% (Gjedrem & Baranski
2009). Bagaimanapun, nilai CV tidak cukup untuk dijadikan gambaran adanya
keragaman ukuran pada ikan yang memiliki sifat kanibalisme (Appelbaum &
Kamler 2000)
Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan populasi
galur murni Indonesia lebih rendah dibandingkan populasi galur murni lainnya,
baik populasi budidaya, yaitu Belanda dan Thailand, ataupun populasi liar, yaitu
Mesir dan Kenya. Hal ini semakin memperjelas adanya penurunan mutu genetik
pada ikan lele Afrika yang saat ini digunakan di Indonesia, seperti juga terjadi pada
tilapia yang dibudidayakan di Asia ((Bentsen et al. 1998). Populasi Belanda tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan populasi lainnya diduga berkaitan dengan proses
seleksi yang sudah dilaksanakan dengan baik pada populasi tersebut, seperti telah
dilaporkan pada ikan brook trout (Granier et al. 2011) dan Atlantik salmon Salmo
salar (Morris et al. 2011).
Simpulan
Abstrak
202% dan 5.5%, respectively. Our study showed potential to exploit BT population
in aquaculture production.
Pendahuluan
Hibridisasi dapat terjadi baik akibat campur tangan manusia ataupun secara
alamiah. Mallet (2005) memperkirakan hibridisasi telah terjadi setidaknya pada
sekitar 25% spesies tanaman dan 10% spesies hewan. Hibridisasi ikan, baik untuk
kepentingan akuakultur ataupun hanya untuk menguji performa persilangan, telah
dilakukan setidaknya pada 35 persilangan spesies dalam 17 famili (Bartley et al.
2001). Untuk kepentingan akuakultur, hibridisasi merupakan salah satu cara
perbaikan mutu genetik yang dapat menghasilkan ikan unggul dalam waktu yang
singkat melalui peningkatan heterosigositas dan eksploitasi variasi genetik dominan
(Guy et al. 2009). Hibridisasi dilakukan untuk penggabungan karakter yang
dikehendaki dari populasi/spesies berbeda ke dalam suatu populasi/spesies tunggal
dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki performa yang lebih
baik dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau heterosis), baik laju
pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit, produksi ikan steril, produksi kelamin
tunggal dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya
(Bartley et al. 2001; Hulata 2001; Vandeputte et al. 2014).
Hibridisasi dapat terjadi antar populasi/subpopulasi dalam satu spesies yang
sama (interpopulation crossbreeding) atau antar genus/famili yang berbeda
(interspecific hybridization). Sebagai upaya perbaikan mutu genetik, persilangan
hibridisasi ikan dapat menghasilkan heterosis pada hibrida-F1, meskipun belum
tentu dapat dicapai pada setiap kasus atau bahkan menghasilkan anakan yang
kurang baik (outbreeding depression) (Dunham et al. 2001; Whitlock et al. 2013)
sehingga diperlukan identifikasi secara eksperimental untuk menentukan
kombinasi heterosis spesifik (Hulata 2001).
Munculnya heterosis pada hibridisasi bergantung pada variasi genetik di
dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang
digunakan (Goyard et al. 2008), skema persilangan dimana satu populasi berlaku
hanya sebagai jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011) dan asal induk yang
digunakan dengan introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al. 2004).
Parental yang memiliki sejarah inbreeding dapat menyebabkan heterosis tidak
berhasil didapatkan, seperti pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).
Di Indonesia, sebagai spesies introduksi, produksi ikan lele Afrika telah
meningkat secara pesat dari 91 000 ton pada tahun 2007 menjadi 337 000 ton pada
tahun 2011 atau sekitar 40 % per tahun (KKP 2013). Jumlah produksi ini telah
menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar ikan lele di dunia. Berdasarkan
sejarah introduksinya, setidaknya terdapat lima populasi ikan lele, yaitu populasi
Sangkuriang (hasil pemuliaan dari populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985),
populasi Thailand yang diintroduksi tahun 2002, populasi Mesir tahun 2007,
populasi Belanda tahun 2011 dan populasi Kenya tahun 2011 (Tabel 1). Tiga
populasi, yaitu Sangkuriang, Belanda dan Thailand, merupakan populasi budidaya,
35
sedangkan dua populasi lainnya, yaitu Mesir dan Kenya, merupakan populasi alami
yang baru diintroduksi ke dalam sistem budidaya. Ikan lele Afrika diintroduksi dan
sudah dikembangkan di Taiwan sejak tahun 1975 (Huang et al. 2005). Di Indonesia,
populasi Taiwan ini dikenal sebagai ikan lele dumbo sebelum kemudian diganti
oleh populasi ikan lele Sangkuriang pada tahun 2004. Populasi Belanda
diintroduksi dari Afrika Selatan 1974 (Holcik 1991) dan sudah diseleksi massal
(Fleuren 2008). Populasi Thailand berawal dari populasi introduksi dari Afrika
Tengah ke Vietnam tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett 2009).
Ikan lele populasi dumbo diindikasikan telah mengalami penurunan
pertumbuhan akibat tekanan inbreeding (Nurhidayat et al. 2003). Meskipun
perbaikan genetik telah dilakukan, namun akibat populasi parental awal dan
penggunaan induk pada pemijahan selanjutnya yang terbatas, dapat mendorong
terjadinya kehilangan keragaman genetik dan akumulasi inbreeding (Imron et al.
2011). Sebagai upaya perbaikan mutu genetik lebih lanjut, sejauh ini belum ada
laporan mengenai persilangan antar populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke
Indonesia. Persilangan dengan memanfaatkan dua stok induk inbreed yang berbeda
dapat memperbaiki performa F1-hibrid (Gjøen & Bentsen 1997; Goyard et al.
2008) sedangkan studi oleh Thanh et al. (2009) menunjukkan persilangan antara
populasi budidaya dengan populasi liar dapat menghasilkan performa F1 yang lebih
baik. Pada penelitian ini dievaluasi performa dan heterosis persilangan
interpopulasi ikan lele Afrika introduksi dengan menggunakan populasi budidaya,
yaitu populasi Sangkuriang, populasi Belanda dan populasi Thailand, dan populasi
liar, yaitu populasi Mesir dan populasi Kenya.
secara gradual yaitu pada minggu ke-4 menjadi 8 ekor per liter dan pada minggu
ke-8 menjadi 4 ekor per liter. Pada saat pengurangan kepadatan, benih dengan
ukuran mendekati rataan famili dipelihara lebih lanjut. Pada minggu ke-11, ikan
dari setiap populasi dipanen dan disortasi untuk kemudian digunakan pada kegiatan
penelitian ini.
Ikan dari setiap populasi dipelihara di dalam hapa dengan kepadatan 100 ekor
per hapa selama 13 minggu. Hapa dengan ukuran 1.5x1.0x1.0 m2 (kedalaman air
dalam hapa 0.8 m) sebanyak 75 buah dipasang di kolam ukuran 300 m2 (kedalaman
air 1.0-1.2 m). Ikan diberi pakan buatan kandungan protein 30-31% secara at-
satiation dengan frekuensi pemberian tiga kali per hari. Selama pemeliharaan, tidak
dilakukan sortasi ukuran ikan.
Panjang total dan bobot ikan diukur pada sampel sebanyak 30 ekor ikan pada
akhir tahap pembesaran. Kelangsungan hidup dihitung berdasarkan jumlah ikan
pada awal dan akhir setiap tahap. Biomassa ikan diukur dari keseluruhan ikan yang
hidup pada akhir pemeliharaan.
Laju pertumbuhan (SGR) dihitung sebagai berikut: 100× (LnBWt −
LnBWo)/T, di mana BWt= bobot ikan pada umur t hari, BWo= bobot ikan pada
umur o hari, T= periode pemeliharaan dalam hari (Bhujel 2008). Heterosis dihitung
baik terhadap performa rataan kedua tetuanya (mid-parent heterosis, MPH) maupun
terhadap performa terbaik pada salah satu tetua (best-parent heterosis, BPH)
(Gjedrem & Baranski 2009). MPH dan BPH dihitung sebagai berikut: MPH (%) =
((performa silangan – rataan performa tetua) / rataan performa tetua) x 100, dan
BPH (%) = ((performa silangan – performa tetua terbaik) / performa tetua terbaik)
x 100 (Guy et al. 2009).
Normalitas data diuji dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Transformasi log digunakan untuk data karakter yang tidak terdistribusi normal.
Pengaruh populasi silangan terhadap karakter diuji dengan menggunakan ANOVA.
Bila menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05), dilakukan uji perbedaan
antar populasi dengan menggunakan uji lanjut Tukey. Data heterosis diuji dengan
ANOVA (p<0.05) dan uji lanjut Tukey bila data terdistribusi normal atau dengan
perbandingan Kruskal-Wallis bila tidak terdistribusi normal. Semua analisis
dijalankan pada program Minitab.
Hasil
Tabel 11 Performa karakter pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika tahap
pembesaran
(8.63 kg) dan BK (8.13 kg). Laju pertumbuhan tertinggi pada populasi MK (3.70 %)
tapi hanya berbeda nyata dengan populasi KB (2.50 %), TM (2.48 %), ST (2.40 %)
dan KK (1.91 %) (Tabel 11).
Heterosis, baik mid-parent (MPH) maupun best-parent heterosis (BPH),
dihasilkan pada penelitian ini. MPH positif pada bobot tubuh, kelangsungan hidup,
biomassa, konversi pakan dan laju pertumbuhan masing-masing diperoleh pada 14,
5, 8, 9 dan 13 silangan. Sebagian besar MPH positif dapat dikategorikan sebagai
heterosis moderat-tinggi, yaitu >10%, kecuali pada konversi pakan. Secara umum,
MPH di dalam populasi bervariasi tinggi namun perbedaan signifikan antar
38
populasi masih didapatkan pada semua karakter kecuali konversi pakan. Pada MPH
bobot tubuh (kisaran 146.28 – -47.93%), populasi MK (146.28%) berbeda
signifikan dengan populasi lainnya, kecuali populasi SK (66.78%) dan KS
(44.80%). Pada MPH kelangsungan hidup (kisaran 35.64 – -51.34), populasi SM
(35.64%) tidak berbeda dengan MB (20.01%), BT (19.71%), KM (15.23%), MK
(5.19%), SB (-4.06%), ST (-11.55%) dan MT (-13.72%) tetapi berbeda signifikan
dengan populasi lainnya. Pada MPH biomassa (kisaran 183.11 – -70.85), perbedaan
signifikan diperoleh antara populasi MK (183.11) dengan BS (-70.85), TM (-60.49),
TK (-50.67), ST (-40.88), dan TS (-40.88) dan tidak berbeda dengan populasi
lainnya. Pada MPH laju pertumbuhan (53.52 – -29.86), populasi MK (53.52%)
berbeda signifikan dengan populasi BT (7.76), BM (3.97), TB (0.37), SM (0.31),
KB (-1.55), MB (-7.71), TS (-11.87), BS (-16.84), SB (-18.10), TM (-21.21) dan
ST (-29.86) (Tabel 12).
BPH positif pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa, konversi pakan
dan laju pertumbuhan masing-masing diperoleh pada 6, 4, 6, 6 dan 7 silangan. Di
antara BPH positif, tidak dapat perbedaan signifikan pada BPH bobot tubuh (57.12
– 0.62%), kelangsungan hidup (20.92 – 0.77%), biomassa (91.69 – 0.28%),
konversi pakan (12.25 – 3.76%) dan laju pertumbuhan (26.92 – 0.26%) (Tabel 13).
39
Tabel 13 Best-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika tahap
Pembesaran
Silangan BW SR BIO FCR SGR
bc
SB -45.52±16.99 -12.42±5.52abcde -39.87±20.62 -17.37±14.06 -20.30±6.05b
a
bc
ST -48.09±8.52 -18.97±2.50abcde -57.88±7.02 -6.60±15.59a -31.33±10.43b
c
BS -60.40±4.49 -49.69±4.30de -75.62±2.95 -16.04±15.46a -18.81±9.61b
ab
BT 25.72±15.59 0.77±2.38abc 36.43±19.30 10.08±11.79a 3.10±2.37ab
bc
TS -29.67±14.58 -31.85±2.44bcde -52.02±9.92 -12.44±8.72a -13.16±5.92ab
TB 17.54±16.54abc -37.38±4.94bcde -21.28±9.92 -3.55±13.75a -3.20±13.85ab
Pembahasan
Performa Karakter
Penelitian ini telah menghasilkan populasi BT yang menunjukkan performa
lebih baik dibandingkan dengan populasi lainnya pada bobot tubuh, kelangsungan
hidup, biomassa dan laju pertumbuhan. Hasil penelitian persilangan interpopulasi
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia ini berbeda dengan yang
diintroduksi ke Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009). Perbedaan hasil ini diduga
berkaitan dengan perbedaan asal induk yang digunakan. Pada penelitian ini, induk
yang digunakan memiliki sejarah introduksi dan domestikasi yang berbeda, yaitu
persilangan antar populasi yang sudah lama dibudidayakan dengan populasi liar.
Sayangnya, tidak terdapat data akurat mengenai tingkat generasi pada ikan
lele sejak didomestikasi. Namun, dengan mempertimbangkan usia produktif ikan
lele >1.5 tahun (Fleuren 2008) dan interval satu generasi per tahun (Koolboon et al.
2014) serta sejarah domestikasi sekitar 35 – 36 tahun, ikan lele Afrika yang
dibudidayakan (populasi Sangkuriang, Belanda dan Thailand) diharapkan sudah
40
performa ikan hasil persilangan berada di antara performa ikan populasi budidaya
dan populasi liar (Glover et al. 2009).
Heterosis
Menurut Falconer & Mackay (1996), ekspresi heterosis pada persilangan dua
populasi, sebagian, akan bergantung pada perbedaan frekuensi gen dan interaksi
gen di antara populasi tersebut, termasuk pengaruh dominan dan epistasis. Namun
demikian, munculnya heterosis pada persilangan sulit diprediksi dan dapat
bergantung pada tahap perkembangan ikan (Granier et al. 2011).
Dari 20 persilangan, hanya populasi BT memperoleh MPH positif dan BPH
positif pada semua karakter yang diamati. Populasi BT mencapai MPH penting,
yaitu >10%, pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa dan konversi pakan.
Sedangkan pada BPH, populasi BT menunjukkan performa yang melebihi performa
terbaik induknya pada semua karakter. Pada persilangan populasi budidaya, selain
populasi BT, hanya populasi TB yang memperoleh MPH positif, yaitu pada bobot
tubuh, konversi pakan dan laju pertumbuhan. Pada persilangan lele Afrika populasi
budidaya yang diintroduksi ke Thailand, heterosis tidak ditemukan pada
pertumbuhan, kelangsungan hidup, titer antibodi dan indeks fagositosis
(Wachirachaikarn et al. 2009). Heterosis antar populasi budidaya dilaporkan telah
didapatkan pada persilangan ikan mas populasi Tata dengan populasi Szarvas 15
(Nielsen et al. 2010) dan ikan nila (Neira et al. 2016; Thoa et al. 2016).
Pada persilangan populasi liar, baik populasi MK maupun KM, memperoleh
heterosis positif pada semua karakter kecuali pada konversi pakan. Hal ini
menunjukkan bahwa persilangan kedua populasi liar, yaitu Mesir dan Kenya, dapat
menghasilkan progeni yang lebih baik dibandingkan kedua induknya. Heterosis
positif pada persilangan antar populasi liar juga telah dilaporkan diperoleh pada
ikan lele Heterobranchus longifilis (Nguenga et al. 2000), ikan silver perch
Bidyanus bidyanus (Guy et al. 2009), ikan mas (Nielsen et al. 2010) dan ikan brook
trout (Crespel et al. 2012). Persilangan antar populasi liar dapat juga tidak
menghasilkan heterosis seperti dilaporkan pada ikan black bream Acanthopagrus
butcheri (Doupe et al. 2003).
Pada persilangan antar populasi budidaya (Sangkuriang, Belanda dan
Thailand) dengan populasi liar (Mesir dan Kenya), heterosis yang dihasilkan
bervariasi. Pada bobot tubuh, 10 dari 12 persilangan menunjukkan MPH positif,
sedangkan pada kelangsungan hidup sebaliknya, hanya 2 dari 12 persilangan yang
menghasilkan MPH positif. Sementara itu, pada biomassa dan konversi pakan,
MPH positif dicapai sekitar setengah dari total persilangan. Secara keseluruhan,
tidak ada populasi persilangan yang menghasilkan MPH positif pada semua
karakter yang diamati. Namun demikian, MPH tinggi (>20%) masih diperoleh pada
karakter dan populasi tertentu, contohnya bobot tubuh pada populasi SK (66.78%),
KS (44.80%), KT (24.96%) dan BK (34.84%), kelangsungan hidup pada populasi
SM (35.64%) dan MB (20.01%), dan biomassa pada SM (56.28%), SK (43.03%),
MB (22.93%) dan KS (20.27%). Heterosis positif dilaporkan dapat diperoleh pada
persilangan populasi liar dengan populasi budidaya pada udang galah (Thanh et al.
2010; Suburamanian et al. 2015) dan ikan Chinook salmon Oncorhynchus
tshawytscha (Bryden et al. 2004).
Pada best-parent heterosis, populasi BT menunjukkan BPH positif pada
semua karakter pada tahap pembesaran. Dari sudut pandang budidaya, BPH lebih
42
Simpulan
Hasil Penelitian
lebih luas, meskipun perlu penelitian lebih lanjut untuk proses persilangan ikan lele
Afrika dengan ikan lele lokal lainnya.
Dengan mempertimbangkan hasil penelitian tahap pertama (Bab 3),
persilangan ikan lele Afrika dilakukan dengan menggunakan skema persilangan
interpopulasi. Keberhasilan dalam pemuliaan ikan dengan skema persilangan
adalah dengan dihasilkannya anakan/progeni yang memiliki performa budidaya
yang lebih baik dibandingkan performa rata-rata induk/tetuanya atau performa
terbaik salah satu induknya (heterosis). Munculnya heterosis pada hibridisasi,
meskipun tidak selalu, dapat bergantung pada skema persilangan dimana satu
populasi berlaku hanya sebagai jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011), asal
induk yang digunakan dengan introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al.
2004) atau variasi genetik di dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak
genetik antar tetua yang digunakan (Goyard et al. 2008).
Penelitian ini dilakukan pada kedua tahap pembenihan (Bab 4) dan
pembesaran (Bab 5), karena secara fakta, budidaya ikan lele Afrika di pembudidaya
Indonesia telah dilakukan tersegmentasi pembenihan dan pembesaran. Bergantung
pada kepentingan penelitian, beberapa publikasi hanya mempertimbangkan hasil
persilangan pada tahap pembesaran, seperti pada persilangan ikan lele biru
Ictalurus furcatus jantan and channel catfish Ictalurus punctatus betina (Bosworth
& Waldbieser 2014), ikan mas (Buchtova et al. 2006; Su et al. 2013), olive flounder
Paralichthys olivaceus (Kim et al. 2012), chinook salmon Oncorhynchus
tshawytscha (Bryden et al. 2004), brook trout Salvelinus fontinalis (Crespel et al.
2012), blunt snout bream Megalobrama amblycephala (Luo et al. 2014), ikan nila
Oreochromis niloticus (Moreira et al. 2005) dan European sea bass Dicentrarchus
labrax (Vandeputte et al. 2014). Selain itu, karakteristik biologi unik pada
perkembangan ikan lele Afrika menjadi pertimbangan melakukan penelitian pada
tahap pembenihan dan tahap pembesaran. Ikan lele Afrika memiliki sifat kanibal
terutama pada tahap perkembangan awal hidupnya yang dapat berpengaruh
terhadap variasi ukuran, kelangsungan hidup dan biomassa (Adamek et al. 2011).
Pengaruh paternal terhadap pertumbuhan pada ikan lele Afrika juga berbeda, pada
umur 1 bulan berhubungan dengan pengaruh induk betina sedangkan pada umur 9
bulan berhubungan dengan pengaruh induk jantan (Volckaert & Hellemans 1999).
Pada tahap pembenihan (Bab 4), secara umum, belum terdapat perbedaan
performa antara populasi persilangan dengan populasi galur murni, kecuali antara
populasi MB dengan populasi SS. Pada tahap yang relatif sama, tidak ada perbedaan
pada bobot tubuh, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada umur 78 hari
pada hasil persilangan antar populasi vundu catfish Heterobranchus longifilis
(Nguenga et al. 2000), bobot tubuh, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada
umur 72 hari pada hasil persilangan silver perch Bidyanus bidyanus (Guy et al.
2009) dan bobot tubuh pada persilangan ikan nila (Thoa et al. 2016). Hasil berbeda
didapatkan pada bobot tubuh umur 90 hari pada hasil persilangan black bream
Acanthopagrus butcheri (Doupe et al. 2003). Bagaimanapun, pada umur yang
hampir sama, bobot tubuh populasi silangan pada penelitian ini (5 – 11 g), lebih
rendah dibandingkan dengan persilangan lele Afrika yang diintroduksi ke Thailand
(31 – 57 g) (Wachirachaikarn et al. 2009). Hal ini diduga berkaitan dengan
perbedaan padat tebar yang digunakan pada penelitian ini (berturut-turut 1500, 800
dan 400 ekor per 100 liter) dengan laporan tersebut (200 ekor per 90 liter).
45
Biomassa yang lebih tinggi dan konversi pakan yang lebih rendah akan dapat
meningkatkan keuntungan usaha. Hasil penelitian ini menunjukkan populasi BT
dapat menghasilkan bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa dan konversi
pakan masing-masing 145%, 21%, 202% dan 5.5%, lebih baik dibandingkan
dengan ikan lele populasi Sangkuriang yang saat ini sudah beredar. Dalam jangka
pendek, pemanfaatan skema persilangan interpopulasi dengan menggunakan
populasi BT untuk menggantikan populasi Sangkuriang sangat direkomendasikan.
Dalam jangka panjang, dengan mempertimbangkan koefisien variasi yang
moderat (Bab 4 dan Bab 5) dan heterosis (Bab 5) yang didapatkan pada penelitian
ini, penerapan program seleksi harus dilakukan. Program seleksi hendaknya
disusun dengan menghindari terjadinya akumulasi inbreeding dan hilangnya
keragaman genetik dalam jangka panjang (Ponzoni et al. 2010; Imron et al. 2011;
Knibb et al. 2014; Yanes et al. 2014). Pada seleksi individu, untuk mempertahankan
laju inbreeding <1%, Bentsen & Olesen (2002) menyarankan untuk melakukan
pemijahan dengan minimum 50 pasang dan memilih 30-50 progeni per pasang
untuk generasi selanjutnya. Dengan mempertimbangkan faktor biologis ikan,
penguasaan teknik budidaya dan peluang ketersediaan fasilitas, disarankan untuk
menerapkan seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele. Program seleksi
Keterangan:
HI : Hibridisasi interpopulasi pada penelitian ini
BT : Persilangan populasi Belanda betina x Thailand jantan yang merupakan
persilangan terbaik pada penelitian ini
P0 : Lima populasi awal ikan lele, yaitu S=Sangkuriang, M=Mesir, K=Kenya,
B=Belanda dan T=Thailand
G0 : Lima kohor garis betina (dam) hasil hibridisasi interpopulasi
G1 : Lima kohor garis betina (dam) generasi pertama seleksi individu
Gambar 6 Program seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele Afrika
yang disarankan
47
Abol-Munafi AB, Liem PT, Ambak MA. 2006. Effects of maturational hormone
treatment on spermatogenesis of hybrid catfish (Clarias macrocephalus x
C. gariepinus). J Sustain Sci Manag. 1:24-31.
Adamek J, Kamler E, Epler P. 2011. Uniform maternal age/size and light
restrictions mitigate cannibalism in Clarias gariepinus larvae and
juveniles reared under production-like controlled conditions. Aquac Eng.
45:13-19.
Agbebi OT, Faseluka O, Idowu AA. 2013. Effects of various latency periods on the
fertilization, hatchability and survival of Clarias gariepinus. J Fish Aquatic
Sci. 8:178-183.
Agnese JF, Teugels GG, Galbusera P, Guyomard R, Volckaert FA. 1997.
Morphometric and genetic characterization of sympatric population of
Clarias gariepinus and C. anguillaris from Senegal. J Fish Biol. 50:1143-
1157.
Aho T, Rönn J, Piironen J, Björklund M. 2006. Impacts of effective population size
on genetic diversity in hatchery reared Brown trout (Salmo trutta L.)
populations. Aquaculture 253:244-248.
Aiyelari TA, Adebayo IA, Osiyemi AS. 2007. Reproductive fitness of stressed
female broodstock of Clarias gariepinus (Burchell 1809). J Cell Anim Biol.
1:078-081.
Anene NS, Tianxiang G. 2007. Is the Dutch domesticated strain of Clarias
gariepinus (Burchell, 1822) a hybrid? Afr J Biotechnol. 6:1072-1076.
Argue BJ, Liu Z, Dunham RA. 2003. Dress-out and fillet yields of channel catfish
(Ictalurus punctatus), blue catfish (Ictalurus furcatus), and their F1, F2 and
backcross hybrids. Aquaculture. 228:81-90.
Azis, Alimuddin, Sukenda, Zairin M Jr. 2015. MHC I molecular marker inheritance
and first generation catfish (Clarias sp.) resistance against Aeromonas
hydrophila infection. Pak J Biotechnol. 12:131-137.
Barasa JE, Abila R, Grobler JP, Dangasuk OG, Njahira MN, Kaunda-Arara B. 2014.
Genetic diversity and gene flow in Clarias gariepinus from Lakes Victoria
and Kanyaboli, Kenya. Afr J Aquat Sci. 39:287-293.
Barnhoorn IEJ, Bornman MS, Pieterse GM, van Vuren JHJ. 2004. Histological
evidence of intersex in feral Sharptooth Catfish (Clarias gariepinus) from
an estrogen-polluted water source in Gauteng, South Africa. Environ
Toxicol. 19:603-608.
Bartley DM, Rana K, Immink AJ. 2001. The use of inter-spesific hybrids in
aquaculture and fisheries. Rev Fish Biol Fish. 10:325-337.
Bentsen HB, Eknath AE, Vera MSP, Danting JC, Bolivar HL, Reyes RA, Dionisio
EE, Longalong FM, Circa AV, Tayamen MM, Gjerde B. 1998. Genetic
improvement of farmed tilapias: growth performance in a complete diallel
cross experiment with eight strains of Oreochromis niloticus. Aquaculture.
160:145-173.
Bentsen HB, Olesen I. 2002. Designing aquaculture mass selection programs to
avoid high inbreeding rates. Aquaculture. 204:349-359.
50
Bhujel RC. 2008. Statistics for Aquaculture. Iowa (US): Wiley-Blackwell. 240 p.
Birchler JA, Yao H, Chudalayandi S. 2006. Unraveling the genetic basis of hybrid
vigor. Proc Natl Acad Sci USA. 103:12957-12958
Bobe J, Labbe C. 2010. Egg and sperm quality in fish. Gen Comp Endocrinol.
165:535–548.
Bongers ABJ, Ngueriga D, Eding EH, Richter CJJ. 1995. Androgenesis in the
African catfish (Clarias gariepinus). Aquat Living Resour. 8:329-332.
Bosworth B, Waldbieser G. 2014. General and specific combining ability of male
blue catfish (Ictalurus furcatus) and female channel catfish (Ictalurus
punctatus) for growth and carcass yield of their F1 hybrid progeny.
Aquaculture. 420–421:147-153.
Bryden CA, Heath JW, Heath DD. 2004. Performance and heterosis in farmed and
wild chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) hybrid and purebred
crosses. Aquaculture 235:249-261.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Produksi benih ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus x C. fuscus) kelas benih sebar. SNI 01-6484.4-2000. Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Ikan lele dumbo (Clarias spp.) – Bagian
5: Produksi pembesaran di kolam. SNI 6484.5:2011. Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014. Ikan lele dumbo (Clarias sp.) Bagian 4 :
Produksi benih. SNI 6484.4:2014. Jakarta.
Buchtova H, Svobodova Z, Kocour M, Velisek J. 2006. Evaluation of growth and
dressing out parameters of experimental scaly crossbreds in 3-year-old
common carp (Cyprinus carpio Linnaeus 1758). Aquac Res. 37:466-471.
Cheek AO, Brouwer TH, Carroll S, Manning S, McLachlan JA, Brouwer M. 2001.
Experimental evaluation of vitellogenin as a predictive biomarker for
reproductive disruption. Environ Health Perspect. 109:681-690.
Chen ZJ. 2010. Molecular mechanisms of polyploidy and hybrid vigor. Trends
Plant Sci. 15:57-71.
Crespel A, Audet C, Bernatchez L, Garant D. 2012. Effects of rearing environment
and strain combination on heterosis in brook trout. N Am J Aquac. 74:188-
198.
Cronin MA, Spearman WJ, Wilmot RL, Patton JC, Bickman JW. 1993.
Mitochondrial DNA variation in chinook (Oncorhynchus tshawytscha) and
chum salmon (O. keta) detected by restriction enzyme analysis of
Polymerase Chain Reaction (PCR) products. Can J Fish Aquat Sci. 50:708-
715.
Doupe RG, Lymbery AJ, Greeff J. 2003. Genetic variation in the growth traits of
straight-bred and crossbred black bream (Acanthopagrus butcheri Munro)
at 90 days of age. Aquac Res. 34:1297-1301.
Dunham RA, Majumdar K, Hallerman E, Bartley D, Mair G, Hulata G, Liu Z,
Pongthana N, Bakos J, Penman D, Gupta M, Rothlisberg P, Hoerstgen-
Schwark G. 2001. Review of the status of aquaculture genetics. Di dalam:
Subasinghe RP, Bueno P, Phillips MJ, Hough C, McGladdery SE, Arthur
JR, editor. Aquaculture in the Third Millennium. Technical Proceedings of
the Conference on Aquaculture in the Third Millennium; 2000 February 20-
25; Bangkok, Thailand. Bangkok (TH) dan Rome (IT): NACA and FAO. p
137-166.
51
Eknath AE, Bentsen HB, Ponzoni RW, Rye M, Nguyen NH, Thodesen J, Gjerde B.
2007. Genetic improvement of farmed tilapias: Composition and genetic
parameters of a synthetic base population of Oreochromis niloticus for
selective breeding. Aquaculture. 273:1-14.
Falconer D, Mackay T. 1996. Quantitative Genetics. New York (US): Longman Inc.
p464.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2014. FAO
Yearbook. Fishery and Aquaculture Statistics. 2012. 76 halaman. Rome (IT).
[diunduh 28 November 2014]. http://www.fao.org/3/a-i3720e/index.html.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2016. Fisheries
and aquaculture software. FishStatJ - software for fishery statistical time
series. In: FAO Fisheries and Aquaculture Department [online]. Rome (IT).
Updated 23 June 2015. [Diunduh 19 May 2016].
http://www.fao.org/fishery/statistics/software/fishstatj/en
FishBase. 2007. A Global information system on fishes.
http://www.fishbase.org/home.htm. Diakses 16 Mei 2016.
Fjalestad KT. 2005. Breeding strategis. Di dalam: Gjedrem T, editor. Selection
and Breeding Programs in Aquaculture. Dordrecht (NL): Springer. p 145-
159.
Fleuren W. 2008. Reproductive and growout management of African catfish in the
Netherlands. Di dalam: Ponzoni RW, Nguyen NH, editors. Proceedings of
a Workshop on the Development of a Genetic Improvement Program for
African catfish Clarias gariepinus. Penang (MY): The WorldFish Center. p
73-78.
Galbusera P, Volckaert FAM, Ollevier F. 2000. Gynogenesis in the African catfish
(Clarias gariepinus Burchell 1822): III. Induction of endomitosis and the
presence of residual genetic variation. Aquaculture. 185:25-42.
Gao Y, Kim SG, Lee JY. 2011. Effects of pH on fertilization and the hatching rates
of Far Eastern Catfish (Silurus asotus). Fish Aquat Sci. 14:417-420.
Giddelo CS, Arndt AD, Volckaert FAM. 2002. Impact of rifting and hydrography
on the genetic structure of Clarias gariepinus in Eastern Africa. J Fish Biol.
60:1252-1266.
Gjedrem T. 2005. Status and scope of aquaculture. Di dalam: Gjedrem T, editor.
Selection and Breeding Programs in Aquaculture. Dordrecht (NL):
Springer. p 1-8.
Gjedrem T. 2010. The first family-based breeding program in aquaculture. Rev
Aquaculture. 2:2-15.
Gjedrem T. 2012. Genetic improvement for the development of efficient global
aquaculture: A personal opinion review. Aquaculture. 344-349:12-22.
Gjedrem T, Baranski M. 2009. Selective Breeding in Aquaculture: An Introduction.
Dordrecht (NL): Springer. 221 p.
Gjedrem T, Robinson N, Rye M. 2012. The importance of selective breeding in
aquaculture to meet future demands for animal protein: A review.
Aquaculture. 350-353:117-129.
Gjerde B, Reddy PVGK, Mahapatra KD, Saha JN, Jana RK, Meher PK, Sahoo M,
Lenka S, Govindassamy P, Rye M. 2002. Growth and survival in two
complete diallele crosses with five stocks of Rohu carp (Labeo rohita).
Aquaculture. 209:103-115.
52
Gjøen HM, Bentsen HB. 1997. Past, present, and future of genetic aquaculture.
ICES J Mar Sci. 54:1009-1014.
Glover KA, Ottera HO, Olsen RE, Slinde E, Taranger GL, Skaala O. 2009. A
comparison of farmed, wild and hybrid Atlantic salmon (Salmo salar L.)
reared under farming conditions. Aquaculture. 286:203-210.
Goyard E, Goarant C, Ansquer D, Brun P, de Decker S, Dufour R, Galinie C,
Peignon JM, Pham D, Vourey E, Harache Y, Patrois J. 2008. Cross
breeding of different domesticated lines as a simple way for genetic
improvement in small aquaculture industries: heterosis and inbreeding
effects on growth and survival rates of the Pacific blue shrimp (Penaeus
(Litopenaeus) styrostris). Aquaculture. 278:43-50.
Granier S, Audet C, Bernatchez L. 2011. Heterosis and outbreeding depression
between strains of young-of-the-year brook trout (Salvelinus fontinalis).
Can J Zool. 89:190-198.
Gross R, Kohlmann K, Kersten P. 2002. PCR–RFLP analysis of the mitochondrial
ND-3/4 and ND-5/6 gene polymorphisms in the European and East Asian
subspecies of common carp (Cyprinus carpio L.). Aquaculture. 204:507-
516.
Guy JA, Jerry DR, Rowland SJ. 2009. Heterosis in fingerlings from a diallel cross
between two wild strains of silver perch (Bidyanus bidyanus). Aquac Res.
40:1291-1300.
Hansen MM, Ruzzante DE, Nielsen EE, Mensberg KD. 2000. Microsatellite and
mitochondrial DNA polymorphism reveals life-history dependent
interbreeding between hatchery and wild brown trout (Salmo trutta L.). Mol
Ecol. 9:583-594.
Hashimoto DT, Mendonça FF, Senhorini JA, Oliveira C, Foresti F, Porto-Foresti F.
2011. Molecular diagnostic methods for identifying Serrasalmid fish (Pacu,
Pirapitinga, and Tambaqui) and their hybrids in the Brazilian aquaculture
industry. Aquaculture. 321:49-53.
Hashimoto DT, Prado FD, Senhorini JA, Foresti F, Porto-Foresti F. 2013. Detection
of post-F1 fish hybrids in broodstock using molecular markers: approaches
for genetic management in aquaculture. Aquac Res. 44:876-884.
Hochholdinger F, Hoecker N. 2007. Towards the molecular basis of heterosis.
Trends Plant Sci. 12:427-432.
Holcik J. 1991. Fish introductions in Europe with particular reference to its Central
and Eastern part. Can J Fish Aquatic Sci. 48(Suppl. 1):13-23.
Holtsmark M, Klemetsdal G, Sonesson AK, Woolliams JA. 2008. Establishing a
base population for a breeding program in aquaculture, from multiple
subpopulations, differentiated by genetic drift: I. Effects of the number of
subpopulations, heritability and mating strategies using optimum
contribution selection. Aquaculture. 274:232-240.
Huang CF, Lin YH, Chen JD. 2005. The use of RAPD markers to assess catfish
hybridization. Biodivers Conserv. 14:3003-3014.
Hulata G. 2001. Genetic manipulations in aquaculture: a review of stock
improvement by classical and modern technologies. Genetica. 111:155-173.
Imron, Sunandar D, Tahapari E. 2011. Microsatellite genetic variation in cultured
populations of African catfish (Clarias gariepinus) in Indonesia. Indones
Aquac J. 6(1):1-10.
53
Iswanto B. 2013. Menelusuri identitas ikan lele dumbo. Media Akuakultur 8:85-95.
Jerry DR, Purvis IW, Piper LR, Dennis CA. 2005. Selection for faster growth in
the freshwater crayfish (Cherax destructor). Aquaculture. 247:169-176.
Kamaruding NA, Embong WKW, Abdullah RB. 2012. Frozen-thawed sperm
motility characteristics of African catfish (Clarias gariepinus) by using
glycerol or DMSO based extender. Int J Environ Sci Dev. 3(1):49-55.
Kim JH, Kim HC, Lee JH, Noh JK. 2012. Feed intake, feed efficiency, growth,
body composition, and blood chemistry in reciprocal crosses of wild and
farmed Olive Flounder (Paralichthys olivaceus). J World Aquac Soc.
43(6):840-847.
Kinsey WH, Sharma D, Kinsey SC. 2007. Fertilization and egg activation in fishes.
Di dalam: Babin PJ, Cerda J, Lubzens E, editor. The Fish Oocyte: From
Basic Studies to Biotechnological Applications. Dordrecht (NL): Springer.
p 397-409.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Statistik kelautan dan
perikanan 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia,
Jakarta. 272 p.
Knibb W, Whatmore P, Lamont R, Quinn J, Powell D, Elizur A, Anderson T,
Remilton C, Nguyen NH. 2014. Can genetic diversity be maintained in long
term mass selected populations without pedigree information? A case study
using banana shrimp (Fenneropenaeus merguiensis). Aquaculture. 428-
429:71-78.
Kohlmann K, Kersten P, Flajshans M. 2005. Microsatellite-based genetic
variability and differentiation of domesticated, wild and feral common carp
(Cyprinus carpio L.) populations. Aquaculture 247:253-266.
Koolboon U, Koonawootrittriron S, Kamolrat W, Na-Nakorn W. 2014. Effects of
parental strains and heterosis of the hybrid between Clarias macrocephalus
and Clarias gariepinus. Aquaculture 424-425:131-139.
Kovacs E, Muller T, Marian T, Krasznai Z, Urbanyi B, Horvath A. 2010. Quality
of cryopreserved African catfish sperm following post-thaw storage. J Appl
Ichthyol. 26:737-741.
Kruger T, Barnhoorn I, van Vuren JJ, Bornman R. 2013, The use of the urogenital
papillae of male feral African sharptooth catfish (Clarias gariepinus) as
indicator of exposure to estrogenic chemicals in two polluted dams in an
urban nature reserve, Gauteng, South Africa. Ecotoxicol Environ Saf.
87:98–107.
Lehnert SJ, Love OP, Pitcher TE, Higgs DM, Heath DD. 2014. Multigenerational
outbreeding effects in Chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha).
Genetica 142:281-293.
Lenormand S. Slembrouck J, Pouyaud L, Subagja J, Legendre M. 1998. Evaluation
of hybridisation in five Clarias species (Siluriformes, Clariidae) of African
(C. gariepinus) and Asian origin (C. batrachus, C. meladerma, C. nieuhofii
and C. teijsmanni). Di dalam: Legendre M, Pariselle A, editors. Proceedings
of the mid-term workshop of the Catfish Asia Project. Jakarta (ID), Canto
(VN): IRD, Can Tho University. p 195-209.
Li S, Lu G, Dey M. 2002. Polymorphism of the ND5/6 Gene in mtDNA of strains
of Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Asian Fish Sci. 15:265-270.
54
Lippman ZB, Zamir D. 2006. Heterosis: revisiting the magic. Trends Genet. 23:60-
66.
Liu ZJ. 2009. Genome-based technologies useful for aquaculture research and
genetic improvement of aquaculture species. Di dalam: Burnell G, Allan G,
editor. New Technology in Aquaculture: Improving production efficiency,
quality and environmental management. Boca Raton (US): CRC Press. p
3-44.
Luo W, Zeng C, Yi S, Robinson N, Wang W, Gao Z. 2014. Heterosis and combining
ability evaluation for growth traits of blunt snout bream (Megalobrama
amblycephala) when crossbreeding three strains. Chin Sci Bull. 59(9):857-
864.
Lutz CG, Armas-Rosales AM, Saxton AM. 2010. Genetic effects influencing
salinity tolerance in six varieties of tilapia (Oreochromis) and their
reciprocal crosses. Aquaculture Research 41:e770-e780.
Lyman-Gingerich J, Pelegri F. 2007. Maternal factors in fish oogenesis and
embryonic development. . Di dalam: Babin PJ, Cerda J, Lubzens E, editor.
The Fish Oocyte: From Basic Studies to Biotechnological Applications.
Dordrecht (NL): Springer. Hlm 141-174.
Mallet J. 2005. Hybridization as an invasion of the genome. Trends Ecol Evol.
20:229-237.
Marchand MJ, Pieterse GM, Barnhoorn IEJ. 2008. Preliminary results on sperm
motility and testicular histology of two feral fish species, Oreochromis
mossambicus and Clarias gariepinus, from a currently DDT-sprayed area,
South Africa. J Appl Ichthyol. 24:423-429.
McKinna EM, Nandlal S, Mather PB, Hurwood DA. 2010. An investigation of the
possible causes for the loss of productivity in genetically improved farmed
tilapia strain in Fiji: inbreeding versus wild stock introgression. Aquac Res.
41:e730-e742.
Miller MP. 1997. Tools for population genetic analyses (TFPGA) version 1.3.
Department of Biological Sciences. Northern Arizona University.
http://www.marksgeneticsoftware.net/_vti_bin/shtml.exe/tfpga.htm.
Diunduh Juni 2016.
Mohindra V, Singh RK, Palanichamy M, Ponniah AG, Lal KK. 2007. Genetic
identification of three species of the genus Clarias using allozyme and
mitochondrial DNA markers. J Appl Ichthyol. 23(1):104-109.
Moreira AA, Moreira HLM, Hilsdorf AWS. 2005. Comparative growth
performance of two Nile tilapia (Chitralada and Red-Stirling), their crosses
and the Israeli tetra hybrid ND-56. Aquac Res. 36:1049-1055.
Nakadate M, Shikano T, Taniguchi N. 2003. Inbreeding depression and heterosis
in various quantitative traits of the guppy (Poecilia reticulata). Aquaculture
220:219-226.
Na-Nakorn U, Brummett RE. 2009. Use and exchange of aquatic genetic resources
for food and aquaculture: Clarias catfish. Rev Aquacult. 1:214-223.
Na-Nakorn UN, RangsinW, Boon-ngam J. 2004. Allotriploidy increases sterility in
the hybrid between Clarias macrocephalus and Clarias gariepinus.
Aquaculture. 237:73-88.
55
Naylor RL, Hardy RW, Bureau DP, Chiu A, Elliott M, Farrell AP, Forster I, Gatlin
DM, Goldburg RJ, Hua K, Nichols PD. 2009. Feeding aquaculture in an
era of finite resources. Proc Natl Acad Sci USA. 106(36):15103-15110.
Nazia AK, Suzana M, Azhar H, Thuy TTN, Azizah MNS. 2010. No genetic
differentiation between geographically isolated populations of Clarias
macrocephalus Gunther in Malaysia revealed by sequences of mtDNA
Cytochrome b and D-loop gene regions. J Appl Ichthyol. 26:568-570.
Nei M, Tajima F. 1981. DNA polymorphism detectable by restriction
endonucleases. Genetics. 97:146-163.
Neira R, García X, Lhorente JP, Filp M, Yáñez JM, Cascante AM. 2016. Evaluation
of the growth and carcass quality of diallel crosses of four strains of Nile
tilapia (Oerochromis niloticus). Aquaculture 451:213-222.
Neira R. 2010. Breeding in aquaculture species: genetic improvement programs in
developing countries. 9th World Congress on Genetics Applied to Livestock
Production [Internet]. 2010 August 1–6. Leipzig (DE): WCGALP. 8
halaman [diunduh 2012 Sep 13]. Tersedia pada:
http://www.kongressband.de/wcgalp2010/assets/pdf/0062.pdf.
Ng HH. 1999. Two species of catfishes of the genus Clarias from Borneo
(Teleostei: Clariidae). Raffles Bull. Zool. 47(1):17-32.
Nguenga D, Teugels GG, Ollevier F. 2000. Fertilization, hatching, survival and
growth rate in reciprocal crosses of two strains of an African catfish
(Heterobranchus longifilis) Valenciennes 1840 under controlled hatchery
conditions. Aquaculture Research 31:565-573.
Nguyen NH, Pongthana N, Ponzoni RW. 2009. Heterosis, direct and maternal
genetic effects on body traits in a complete diallel cross involving four
strains of red Tilapia (Oreochromis spp.). Proc Adv Anim Breed Gen. 18:
358-361.
Nguyen NH, Ponzoni RH. 2008. Prospects for development of a genetic
improvement program in African catfish (Clarias gariepinus). Di dalam:
Ponzoni RH, Nguyen NH, editor. Proceedings of the Workshop on the
Development of a Genetic Improvement Program for African Catfish
Clarias gariepinus; 2007 Nov 5-9; Accra, Ghana. Penang (MY):
WorldFish Center. p 104-115.
Nielsen HM, Ødegård J, Olesen I, Gjerde B, Ardo L, Jeney G, Jeney Z. 2010.
Genetic analysis of common carp (Cyprinus carpio) strains I: Genetic
parameters and heterosis for growth traits and survival. Aquaculture.
304:14-21.
Nurhidayat A, Carman O, Harris E, Sumantadinata K. 2003. Fluktuasi asimetri dan
abnormalitas pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) yang dibudidayakan di
kolam. J Penelit Perikan Indones. 9:55-60.
Overturf K, Casten MT, LaPatra SL, Rexroad C III, Hardy RW. 2003. Comparison
of growth performance, immunological response and genetic diversity of
five strains of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture. 217:93-
106.
Oyelese OA. 2006. Fry survival rate under different anoxic conditions in Clarias
gariepinus. Res J Biol Sci. 1:88-92.
56
Keterangan:
Mr : Marker
S : Sampel ikan lele populasi Sangkuriang
M : Sampel ikan lele populasi Mesir
K : Sampel ikan lele populasi Kenya
B : Sampel ikan lele populasi Belanda
T : Sampel ikan lele populasi Thailand
L : Sampel ikan lele lokal
K- : Sampel kontrol negatif berupa nuclease free water
60