Anda di halaman 1dari 83

HIBRIDISASI INTERPOPULASI

IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepinus


YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA

ADE SUNARMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Hibridisasi


Interpopulasi Ikan Lele Afrika yang Diintroduksi di Indonesia adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016

Ade Sunarma
NIM C161110131
RINGKASAN

ADE SUNARMA. Hibridisasi Interpopulasi Ikan Lele Afrika Clarias gariepinus


yang Diintroduksi di Indonesia. Dibimbing oleh ODANG CARMAN,
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.

Indonesia adalah produsen terbesar ikan genus Clarias di dunia dengan


produksi hingga 678 000 ton pada tahun 2014. Seluruh produksi ikan Clarias adalah
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia. Saat ini, terdapat lima populasi ikan
lele Afrika introduksi, yaitu populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985
(selanjutnya disebut populasi Sangkuriang), populasi Thailand tahun 2002 dan
2008, populasi Mesir tahun 2005, populasi Kenya tahun 2011 dan populasi Belanda
tahun 2011. Tiga tahapan penelitian dirancang untuk mengevaluasi performa
genotipe dan fenotipe kelima populasi ikan lele tersebut.
Penelitian pertama bertujuan untuk menentukan status ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia. Karakter genotipe dan fenotipe kelima populasi ikan
diuji dengan menggunakan analisis PCR-RFLP DNA mitokondria lokus ND5/6,
analisis truss-morfometri pada 10 karakter morfometri dan analisis performa
reproduksi pada induk jantan dan betina dan persilangan antar populasi. Hasil
penelitian menunjukkan keragaman haplotipe dan jarak genetik pada ikan lele
Afrika yang diintroduksi ke Indonesia relatif tinggi, yaitu masing-masing 0.611-
0.695 dan 0.118-0.582. Analisis morfometri tidak menunjukkan adanya karakter
morfometri yang yang dapat menjadi indikasi adanya persilangan antar populasi
ikan lele sebelumnya. Analisis performa reproduksi menunjukkan bahwa karakter
reproduksi pada jantan dan betina relatif sebanding dengan populasi ikan lele Afrika
di alam. Persilangan antar populasi ikan lele introduksi juga berhasil dilakukan dan
mendapatkan tingkat pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Berdasarkan
hasil-hasil tersebut, kelima populasi yang digunakan pada penelitian ini dapat
dipastikan merupakan spesies ikan lele Afrika C. gariepinus.
Penelitian tahap kedua dilakukan untuk melakukan evaluasi performa ikan
hasil persilangan interpopulasi hingga umur 81 hari (tahap pembenihan). Lima
populasi ikan lele digunakan untuk membentuk lima populasi galur murni dan 20
populasi persilangan. Hasil penelitian menunjukkan persilangan Mesir betina x
Belanda jantan (MB) menunjukkan performa terbaik yaitu laju pertumbuhan
(SGR), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan over-size (OS) masing-masing
9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antara OS dengan SR, makin tinggi OS, makin rendah SR.
Korelasi ini cenderung makin menurun pada pemeliharaan ikan yang semakin
besar. Namun demikian, secara umum, performa SGR, SR dan OS antar silangan
relatif rendah atau tidak berbeda.
Penelitian tahap ketiga dilakukan untuk mengevaluasi persilangan
interpopulasi lima populasi ikan lele Afrika pada tahap pembesaran (13 minggu).
Performa dan heterosis dihitung pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa,
konversi pakan dan laju pertumbuhan. Persilangan Belanda betina x Thailand jantan
(BT) menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan populasi lainnya, yaitu
bobot tubuh (241.39 g) dan kelangsungan hidup (93.67%), biomassa (22.59 kg),
konversi pakan (1.01) dan laju pertumbuhan (3.56%). Di antara 20 populasi
silangan, hanya populasi BT yang menghasilkan mid-parent dan best-parent
heterosis positif pada semua karakter yang diamat. Dibandingkan dengan
menggunakan populasi galur murni yang terbaik, populasi BT dapat meningkatkan
produksi biomassa hingga 36% dan menurunkan konversi pakan hingga 10% dan
202% dan 5.5% bila dibandingkan dengan menggunakan ikan lele populasi
Sangkuriang. Dari hasil ini menunjukkan potensi pemanfaatan populasi BT dalam
produksi akuakultur

Kata kunci: ikan lele Afrika, persilangan interpopulasi, performa, heterosis


SUMMARY

ADE SUNARMA. Interpopulation Crossbreeding of Introduced African Catfish


Clarias gariepinus in Indonesia. Supervised by ODANG CARMAN,
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.

Indonesia is the biggest producer of Clarias in the world by production up to


678 000 ton in 2014. Mostly, Clarias production was African catfish that introduced
to Indonesia. African catfish was introduced since 1985 from Taiwan (hereinafter
as Sangkuriang population) and subsequently in 2002 and 2008 from Thailand, in
2005 from Egypt and 2011 from Kenya and the Netherlands. Three phases of the
study was designed to evaluate the performance of genotypic and phenotypic of five
populations of introduced African catfish in Indonesia.
The first study was conducted to examine of species status introduced African
catfish using PCR−RFLP analysis of mitochondrial DNA ND 5/6 locus, truss-
morphometry of 10 morphometric traits, and reproductive performance analysis of
both parents and its crosses. The results showed high haplotipe diversity and genetic
distance among introduced African catfish. Morphometric analysis showed that
there were no differences characters among five populations that can be separated
as a distinct species. Reciprocal crosses also resulted high fertilization and hatching
rate. Based on the genotype and phenotype, introduced African catfish in Indonesia
can be ascertained is the species C. gariepinus.
The second study evaluated growth and survival performances up to 81 days
post hatching (nursing stage) of reciprocally interpopulation crossbreeding. Five
populations was used to form five purebred and 20 crossbreed population. The
results showed the Egypt female x Dutch male (ED) crossbreed showed the best
performance with SGR, SR, and OS of 9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%,
respectively. The result also revealed a correlation evidence between the OS and
the SR; the higher OS, the lower SR. This correlation tended to be weak at the
sequentially nursing stages. However, generally, the performance of SGR, SR and
OS among crossbreeds relatively low or no different.
The third study examined of interpopulation crossbreeding of different
introduced history of African catfish in Indonesia at grow-out stage (13 weeks).
Performance and heterosis calculated on body weight, survival, biomass, feed
conversion and growth rate at growing up stage. The Netherlands female x
Thailand male (BT) crossbreed achieved consistently better performance than other
populations, i.e. body weight (241.39 g), survival (93.67%), biomass (22.59 kg),
feed conversion (1.01) and growth rate (3.56%). Among 20 crossbreed populations,
only BT population obtained positive mid-parent and best-parent heterosis on all
observed traits. Compared to use best purebred populations and Sangkuriang
population, BT population could be increase biomass production up to 36% and
202%, respectively, and decrease feed conversion up to 10% and 5.5%, respectively.
Our study showed potential to exploit BT population in aquaculture production.

Keywords: African catfish, interpopulation hybridization, performance, heterosis


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HIBRIDISASI INTERPOPULASI
IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepinus
YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA

ADE SUNARMA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo, MSi

Dr Ir Ratu Siti Aliah, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo, MSi

Dr Ir Ratu Siti Aliah, MSc


Judul Disertasi : Hibridisasi Interpopulasi Ikan Lele Afrika Clarias gariepinus
yang Diintroduksi di Indonesia
Nama : Ade Sunarma
NIM : C161110131

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Odang Carman, MSc


Ketua

Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc Dr Alimuddin, SPi MSc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Budidaya Perairan

Dr Ir Widanarni, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:


Tertutup : 20 Juli 2016
Promosi : 12 Agustus 2016
PRAKATA

Alhamdulillah, penulisan disertasi ini akhirnya selesai. Disertasi ini telah


ditulis sebaik yang dapat dilakukan berdasarkan hasil riset yang telah dikerjakan
dan didukung dengan literatur yang berhasil dikumpulkan. Mudah-mudahan isi
disertasi ini dapat berguna bagi siapapun yang membutuhkan dan bagi
pengembangan akuakultur Indonesia.
Banyak orang yang memberikan kontribusi selama studi hingga penulisan
disertasi ini yang cukup sulit untuk penulis menyebut setiap peran mereka, namun
pasti peran mereka adalah sangat besar. Untuk itu, penulis sangat menghargai dan
menyampaikan terima kasih kepada siapapun yang telah memberikan dukungan
dan bantuan apapun selama studi dan penelitian. Beberapa pihak memberikan peran
yang sangat penting sehingga penulis merasa perlu menyampaikan terima kasih
secara khusus, yaitu kepada Bapak Dr Ir Odang Carman MSc, Bapak Prof Dr Ir
Muhammad Zairin Junior MSc dan Bapak Dr Alimuddin SPi MSc selaku komisi
pembimbing; Bapak Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo MSi dan Ibu Dr Ir Ratu Siti
Aliah MSc selaku penguji luar komisi; Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP,
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia KKP dan Kepala BBPBAT
Sukabumi yang telah memberikan kesempatan penulis mengambil pendidikan S3
dan segala bantuan fasilitas selama penelitian; Kementerian Riset dan Teknologi
yang telah memberikan biaya bagi sebagian penelitian melalui Insentif Riset Sistem
Inovasi Nasional; Kedutaan Besar Republik Indonesia di Nairobi, Kenya, yang
telah membantu dalam pengadaan ikan lele Afrika populasi Kenya dan Belanda;
Mahasiswa S3 Program Studi Akuakultur angkatan 2011 yang telah bersama-sama
dengan penulis menempuh pendidikan; Bapak M. Abduh Nurhidajat, Dikdik
Koswara, Adi Sucipto, Cucu Muktiana, Gemi Triastutik dan Putri Zulfania atas
beragam bantuan yang telah diberikan; dan staf BBPBAT Sukabumi yang telah
memberikan bantuan yang sangat memuaskan selama penulis melakukan
penelitian. Kelancaran studi dan penelitian juga tidak lepas atas dukungan dan doa
dari Ema dan (alm) Abah Haji, istri dan anak-anak, keluarga dan masyarakat di
kampung penulis.
Sejak awal, penulis sudah berniat menempuh program doktor sebagai ibadah,
belajar dan contoh. Ibadah sebagai seorang mahluk, belajar agar dapat memberi
manfaat yang lebih baik bagi manusia, dan sebagai contoh untuk anak-anak penulis.
Semoga semua itu dapat tercapai. Aamiin.

Bogor, Agustus 2016

Ade Sunarma
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 6
Hipotesis 6
Kebaruan 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 8
Budidaya Ikan Lele Afrika di Indonesia 8
Persilangan Ikan 10
Basis Genetik pada Persilangan 11
3 MENELUSURI STATUS SPESIES IKAN LELE AFRIKA YANG
DIINTRODUKSI DI INDONESIA 13
Abstrak 13
Pendahuluan 13
Bahan dan Metode 15
Hasil 17
Pembahasan 19
Simpulan 24
4 PERSILANGAN INTERPOPULASI BUDIDAYA DAN LIAR IKAN
LELE AFRIKA PADA TAHAP PEMBENIHAN 25
Abstrak 25
Pendahuluan 26
Bahan dan Metode 27
Hasil 28
Pembahasan 30
Simpulan 32
5 PERFORMA DAN HETEROSIS PADA PERSILANGAN
INTERPOPULASI IKAN LELE PADA TAHAP PEMBESARAN 33
Abstrak 33
Pendahuluan 34
Bahan dan Metode 35
Hasil 36
Pembahasan 39
Simpulan 42
6 PEMBAHASAN UMUM 43
Hasil Penelitian 43
Implikasi terhadap Akuakultur Indonesia 45
7 KESIMPULAN UMUM 48
DAFTAR PUSTAKA 49
LAMPIRAN 59
RIWAYAT HIDUP 67
DAFTAR TABEL
1. Perbedaan sejarah introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia yang
digunakan pada penelitian 3
2. Produksi budidaya ikan genus Clarias di dunia pada tahun 2014 (FAO
2016) 8
3. Program PCR pada amplifikasi DNA Mitokondria ikan lele 15
4. Prosedur restriksi hasil amplifikasi PCR 15
5. Induk betina dan jantan ikan lele Afrika yang digunakan 16
6. Haplotipe pada ikan lele Afrika dan ikan lele lokal 18
7. Jarak genetik antar lima populasi ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
(Nei’s Genetic Distance 1972) berdasarkan marka DNA mitokondria
lokus ND5/6 18
8. Karakter reproduksi induk betina dan jantan serta hasil pemijahannya
pada setiap populasi ikan lele Afrika 20
9. Tingkat pembuahan dan penetasan telur pada persilangan interpopulasi
ikan lele Afrika 21
10. Laju pertumbuhan (SGR), kelangsungan hidup akumulatif (SR),
koefisien variasi (CV) dan jumlah ikan over-size (OS) pada persilangan
interpopulasi ikan lele Afrika pada tahap pembenihan 29
11. Performa karakter pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika tahap
pembesaran 37
12. Mid-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika tahap
pembesaran 38
13. Best-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika tahap
Pembesaran 39

DAFTAR GAMBAR
1. Alur penelitian hibridisasi interpopulasi ikan lele 6
2. Produksi ikan (di luar rumput laut) nasional dan produksi ikan lele di
Indonesia (diolah dari FAO 2016) 9
3. Pengukuran morfometrik ikan lele 16
4. UPGMA dendrogram berdasarkan jarak genetik lima populasi ikan lele
Afrika dan ikan lele lokal berdasarkan marka DNA mitokondria lokus
ND5/6 19
5. Plot komponen utama pada analisis truss-morfometri lima populasi ikan
lele Afrika dan ikan lele lokal 19
6. Program seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele Afrika yang
disarankan 46
DAFTAR LAMPIRAN
1. Elektroforegram hasil amplifikasi produk PCR DNA mitokondria lokus
ND5/6 pada ikan lele 59
2. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim AluI pada ikan lele 60
3. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HaeIII pada ikan lele 61
4. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HhaI pada ikan lele 62
5. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HinfI pada ikan lele 63
6. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HpaII pada ikan lele 64
7. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim PstI pada ikan lele 65
8. Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim TaqI pada ikan lele 66
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akuakultur mempunyai peran penting bagi penyediaan sumber protein


hewani. Secara global, produksi akuakultur meningkat hampir dua kali lipat dalam
dekade terakhir dengan rata-rata peningkatan 6.1% per tahun, dari 36.8 juta ton
pada tahun 2002 menjadi 66.6 juta ton pada tahun 2012 (FAO 2014). Secara
nasional, produksi akuakultur Indonesia juga meningkat empat kali lipat, yaitu dari
1.05 juta ton pada tahun 2004 menjadi 4.29 juta ton pada tahun 2014 (FAO 2016).
Salah satu komoditas ikan yang memberikan kontribusi tinggi terhadap peningkatan
produksi akuakultur Indonesia adalah ikan lele. Produksi ikan lele meningkat dari
56 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 678 ribu ton pada tahun 2014 atau setara
dengan peningkatan 29% per tahun (FAO 2016).
Namun demikian, perkembangan produksi akuakultur tersebut masih jarang
memanfaatkan ikan dari hasil program pemuliaan yang efisien dan sistematik
(Gjedrem 2005). Secara global, kontribusi ikan hasil pemuliaan hanya sekitar 1%
pada tahun 1993, 5% pada tahun 2002, 8.2% pada tahun 2010 dan 10% pada tahun
2012 (Gjedrem 2012; Gjedrem et al. 2012). Rendahnya kontribusi ikan hasil
pemuliaan berkaitan dengan masih terbatasnya jenis ikan yang telah diperbaiki
secara genetik. Secara global, hanya sekitar 25 spesies yang sudah/sedang
dilakukan upaya perbaikan mutu genetik (Neira 2010; Rye et al. 2010) dari sekitar
540 jenis ikan akuakultur yang diproduksi (FAO 2016). Pada sisi lain,
perkembangan produksi yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya penurunan
mutu genetik ikan yang dibudidayakan akibat penggunaan induk dan benih yang
tidak terkontrol, seperti diindikasikan terjadi pada ikan lele di Indonesia.
Nurhidayat et al. (2003) telah melaporkan adanya indikasi penurunan pertumbuhan
ikan lele akibat tekanan inbreeding. Berdasakan marka mikrosatelit DNA
(Deoxyribo Nucleic Acid), Imron et al. (2011) melaporkan adanya penurunan
keragaman genetik dan akumulasi inbreeding pada ikan lele.
Dengan kondisi tersebut, perbaikan mutu genetik pada ikan lele telah
mendesak untuk dilakukan. Pemanfaatan ikan hasil perbaikan mutu genetik sudah
terbukti dapat meningkatkan efisiensi produksi pada ikan salmon, yaitu
meningkatkan pertumbuhan hingga 113% dan menurunkan konversi pakan hingga
20% (Gjedrem et al. 2012). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
program perbaikan mutu genetik adalah penggunaan ikan yang memiliki tingkat
keragaman genotipe dan fenotipe yang tinggi. Program pemuliaan ikan nila
menggunakan delapan populasi dari hasil budidaya di Asia dan populasi alami dari
Afrika (Eknath et al. 2007) sedangkan ikan salmon di Norwegia menggunakan
empat populasi dasar yang menggunakan material genetik masing-masing berasal
dari 8, 13, 18 dan 24 sungai selama empat tahun pengumpulan (Holtsmark et al.
2008). Pemanfaatan populasi campuran budidaya dan alami diharapkan dapat
meningkatkan variasi genetik pada populasi dasar yang akan dibentuk karena
populasi budidaya biasanya sudah mengalami penurunan mutu genetik
(Wachirachaikarn et al. 2009; McKinna et al. 2010).
Pada ikan lele Afrika di Indonesia, perbaikan mutu genetik dapat dilakukan
dengan memanfaatkan beragam populasi yang telah diintroduksi. Sejak
2

didatangkan pada tahun 1985, terdapat banyak nama lokal untuk ikan lele Afrika,
diantaranya: ikan lele Dumbo, Sangkuriang, Sangkuriang2, Paiton, Mesir, Thailand,
Masamo, Mutiara, Mandalika dan Burma. Diantara beragam nama tersebut,
sebagian merupakan hasil introduksi langsung dan sebagian lainnya merupakan
hasil perbaikan genetik yang telah dirilis oleh Pemerintah. Secara umum, introduksi
ikan lele Afrika di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan asal negara, yaitu
populasi Taiwan (selanjutnya disebut populasi Sangkuriang), Thailand, Mesir,
Kenya dan Belanda (Tabel 1).
Populasi Sangkuriang merupakan hasil perbaikan mutu genetik yang telah
dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi tahun 2000-2004 yang telah dirilis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Perbaikan mutu tersebut menggunakan teknik silang-balik
ikan lele Afrika populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985, secara lokal dikenal
dengan nama lele dumbo, antara keturunan kedua (F2) dengan keturunan di atas
generasi keenam (>F6) (Sunarma et al. 2005). Populasi Thailand merupakan hasil
introduksi dari Thailand oleh perusahaan swasta sekitar tahun 2002 dan 2008,
populasi Mesir diintroduksi sekitar tahun 2007 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, populasi Belanda diintroduksi dan dikembangkan
di Universitas Brawijaya pada tahun 1985 dan introduksi oleh BBPBAT Sukabumi
pada tahun 2011, dan populasi Kenya merupakan populasi yang diintroduksi tahun
2011 oleh BBPBAT Sukabumi atas hasil pertukaran dengan ikan lele Sangkuriang
dari Pemerintah Kenya. Populasi Sangkuriang, Thailand dan Belanda merupakan
tipe budidaya, yaitu populasi yang sudah lama berkembang biak pada kegiatan
budidaya. Populasi Mesir dan Kenya merupakan tipe liar, yaitu populasi yang
berasal dari tangkapan langsung dari alam atau populasi yang belum dibudidayakan
secara intensif.
Salah satu program pemuliaan yang dapat dilakukan dengan ketersediaan
beragam jenis populasi ikan lele tersebut adalah hibridisasi. Program pemuliaan
ikan dengan metode hibridisasi berpotensi dapat menghasilkan benih hibrida
unggul dalam waktu yang relatif lebih singkat, yaitu satu generasi, dibandingkan
dengan metode lain, misalnya seleksi yang memerlukan lebih dari tiga generasi.
Secara umum, hibridisasi dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki
performa yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau
heterosis) (Tave 1986; Bartley et al. 2001). Hibridisasi juga dilakukan untuk
penggabungan karakter yang dikehendaki dari populasi/spesies berbeda ke dalam
suatu populasi/spesies tunggal, produksi ikan steril, produksi ikan kelamin tunggal
dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya (Bartley et al.
2001; Chen 2010). Hibridisasi dapat terjadi baik di dalam satu jenis ikan yang sama
tetapi berbeda populasi (interpopulation crossbreeding) atau antar genus/famili
yang berbeda (interspecific hybridization) (Hulata, 2001). Baik secara alamiah
ataupun akibat campur tangan manusia, hibridisasi diperkirakan terjadi pada sekitar
25% spesies tanaman dan 10% spesies hewan (Mallet 2005).
Hibridisasi yang dilakukan secara sengaja untuk kepentingan akuakultur telah
banyak dilakukan. Heterosis dilaporkan didapatkan pada beberapa jenis ikan, di
antaranya: pertumbuhan ikan nila Oreochromis niloticus (Bentsen et al. 1998;
Nguyen et al. 2009), rohu Labeo rohita (Gjerde et al. 2002), ikan mas Cyprinus
carpio (Vandeputte 2003; Nielsen et al. 2010), udang biru Pasifik Penaeus
stylirostris (Goyard et al. 2008), udang galah Macrobrachium rosenbergii (Thanh
3

Tabel 1 Perbedaan sejarah introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia yang digunakan
pada penelitian

Populasi Asal Negara dan Sejarah Domestikasi


Waktu Introduksi
Sangkuriang Taiwan, 1985 Populasi ini diintroduksi dan dibudidayakan di
Taiwan sejak tahun 1975 (Huang et al. 2005).
Di Indonesia, produksi massal telah dimulai
sejak 30 tahun lalu dan sudah dilakukan silang-
balik inter-generasi pada tahun 2000
Mesir Mesir, 2005 Sejarah domestikasi populasi ini di Mesir tidak
ditemukan. Produksi ikan lele di Mesir telah
dilaporkan sejak tahun 1996 dan baru
meningkat secara nyata pada tahun 2005 (El-
Naggar 2008).
Kenya Kenya, 2011 Ditangkap secara langsung dari habitat
alaminya dan dikarakterisasi sebagai populasi
liar
Belanda Belanda, 2011 Populasi ini diintroduksi ke Belanda dari Afrika
Selatan tahun 1974 (Holcik 1991) dan sudah
dilakukan seleksi massal untuk pertumbuhan
(Fleuren 2008).
Thailand Thailand, 2002 Populasi ini berasal dari populasi yang
diintroduksi ke Vietnam dari Afrika Tengah
pada tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett
2009). Diintroduksi ke Thailand pada tahun
1987 dan sudah memberikan kontribusi nyata
terhadap produksi akuakultur (Wachirachaikarn
et al. 2009)

et al. 2010), silver perch Bidyanus bidyanus (Guy et al. 2009), brook trout
Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011), rasio bobot daging terhadap bobot tubuh
pada hibrida antara ikan channel catfish Ictalurus punctatus dengan ikan blue
catfish I. furcatus (Argue et al. 2003), dan kelangsungan hidup larva ikan gupi
Poecilia reticulata (Shikano & Taniguchi 2002). Namun demikian, heterosis tidak
selalu didapatkan pada proses hibridisasi, misalnya pada pertumbuhan,
kelangsungan hidup dan indeks fagositosis hibridisasi antar populasi ikan lele
Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009). Munculnya heterosis pada
hibridisasi, diantaranya bergantung pada variasi genetik di dalam populasi tetuanya
atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang digunakan (Fjalestad 2005;
Goyard et al. 2008).
Upaya peningkatan heterosigositas dan jarak genetik antar populasi dapat
dilakukan dengan introduksi kembali ikan lele dari habitat alaminya ke sistem
budidaya (Schönhuth et al. 2003; Wachirachaikarn et al. 2009). Meskipun variasi
genetik pada level molekuler belum menjamin adanya variasi pada karakter
fenotipe kuantitatif (Reed & Frankham 2001; Overturf et al. 2003; Borrel et al.
2004; Wachirachaikarn et al. 2009), tetapi variasi genetik yang tinggi dapat menjadi
basis bagi program pemuliaan dalam jangka panjang. Pada ikan rainbow trout
4

Onchorhynchus mykiss, heterosigositas pada lokus alozim berhubungan dengan


karakter fenotipe yang terkait dengan ketahanan tubuh (Thelen & Allendorf 2001).
Persilangan pada ikan/udang yang memiliki jarak genetik yang tinggi dapat
menghasilkan perbaikan performa, baik ketahanan tubuh atau kebugaran (fitness)
seperti pada ikan gupi (Shikano & Taniguchi 2002) maupun pertumbuhan seperti
pada udang biru Pasifik (Goyard et al. 2008).
Pada ikan lele Afrika di Indonesia, informasi variasi genotipe setiap populasi
belum tersedia. Selain itu, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai status
spesies ikan lele Afrika. Ada pendapat yang menyatakan sebagai ikan hibrida
interspesies, tapi sebagian lainnya menyatakan sebagai spesies Clarias gariepinus.
Perbedaan tersebut diakibatkan tidak adanya dokumentasi yang memadai ketika
ikan ini diintroduksi. Analisis variasi genotipe dan penelusuran asal-usul ikan lele
dapat dilakukan dengan memanfaatkan marka DNA mitokondria. Selain itu,
penelusuran status spesies/hibrida juga dapat dilakukan dengan analisis truss-
morfometri dan analisis performa reproduksi.
DNA mitokondria diturunkan secara maternal sehingga bersifat non-
mendelian (Liu 2009). Marka DNA mitokondria banyak digunakan pada analisis
genetika populasi karena genom mitokondria berubah lebih cepat dibandingkan
dengan genom inti sehingga menyebabkan polimorfik yang tinggi (Liu 2009).
Berdasarkan analisis lokus ND5/6 (NADH (nicotinamide adenine dinucleotide)
dehydrogenase 5/6) DNA mitokondria dengan menggunakan PCR-RPLP
(polymerase chain reaction - restriction fragment length polymorphism), struktur
populasi ikan lele C. gariepinus di Afrika dapat dipisahkan menjadi tiga grup
filogenetik, yaitu grup Afrika bagian Timur, bagian Utara dan bagian zona kontak
antara Timur dengan Tengah-Selatan, meskipun ketiga populasi tersebut memiliki
kesamaan morfologi (Giddelo et al. 2002). Dengan analisis DNA mitokondria juga
dapat dibedakan antara ikan lele yang dibudidayakan di Afrika Selatan yang berasal
dari Belanda dengan ikan lele yang secara asli terdapat di perairan negara tersebut
(Roodt-Wilding et al. 2010). Lokus ND 5/6 berhasil memisahkan populasi ikan
salmon (Cronin et al. 1993), ikan nila (Rognon & Guyomard 1997; Li et al. 2002),
ikan mas (Gross et al. 2002; Zhou et al. 2003), dan ikan lele (Giddelo et al. 2002;
Mohindra et al. 2007). Analisis truss-morfometri sudah berhasil memisahkan
beragam ikan lele di Afrika (Teugel 1986; Agnese et al. 1997) dan Asia (Ng 1999;
Sudarto 2002). Performa reproduksi dapat digunakan untuk identifikasi ikan hibrida
karena persilangan antar spesies bisa menghasilkan ikan hibrida yang fertil atau
yang steril (Wu et al. 1990; Lenormand et al. 1998; Senanan et al. 2004).
Selain informasi karakter genotipe, Nguyen & Ponzoni (2008) menyarankan
perlu didapatkannya karakter fenotipe unggul dari setiap stok yang ada pada tahap
awal program pemuliaan ikan. Pada banyak spesies, karakter fenotipe yang dipilih
adalah pertumbuhan, misalnya pada ikan nila (Eknath et al. 2007), ikan salmon
(Gjedrem 2010) dan Cherax destructor (Jerry et al. 2005). Pada ikan lele Afrika di
Indonesia, karakter pertumbuhan juga menjadi pilihan utama pada perbaikan mutu
genetik.
Sejauh ini, karakteristik genotipe dan performa budidaya kelima populasi
ikan lele Afrika introduksi dan potensi hibridisasi di antara kelimanya belum
dipublikasikan. Karakteristik genotipe dapat menginformasikan asal-usul dan
keragaman kelima populasi tersebut. Performa budidaya dapat menginformasikan
potensi pertumbuhan dari setiap populasi dan potensi hibridisasi dapat
5

menginformasikan persilangan terbaik di antara kelima populasi yang dapat


dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan lele Afrika.

Perumusan Masalah

Data FAO (2016) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan produsen


terbesar ikan lele di dunia dengan kontribusi sekitar 58%. Dalam lima tahun
terakhir, peningkatan rata-rata produksi ikan lele hampir mencapai 40% per tahun
(KKP 2013). Laju peningkatan produksi yang tinggi tersebut telah menyebabkan
terjadi penurunan mutu genetik akibat adanya akumulasi inbreeding dan penurunan
keragaman genetik (Nurhidayat et al. 2003; Imron et al. 2011). Namun demikian,
sejauh ini, perbaikan mutu genetik ikan lele, baik di tingkat nasional maupun
internasional, belum menghasilkan populasi yang unggul seperti halnya pada ikan
nila dan udang vaname. Secara global, riset yang terkait dengan program pemuliaan
ikan lele dilakukan melalui teknik ginogenesis dan androgenesis (Bongers et al.
1995; Galbusera et al. 2000), hibridisasi inter-generik (Senanan et al. 2004), seleksi
(Rezk 2008), dan persilangan intra-spesies (Wachirachaikarn et al. 2009). Di
Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, telah
dilepas sebanyak empat populasi ikan lele hasil pemuliaan, yaitu ikan lele
Sangkuriang, benih hibrida ikan lele Sangkuriang2, ikan lele Mutiara dan benih
hibrida ikan lele Mandalika.
Upaya lebih lanjut perbaikan mutu genetik pada ikan lele Afrika di Indonesia
dapat dilakukan dengan memanfaatkan beragam populasi yang ada dengan
memanfaatkan populasi yang sudah dibudidayakan dan populasi yang baru
didomestikasi dari alam. Saat ini, koleksi ikan lele Afrika di BBPBAT Sukabumi
meliputi lima populasi, yaitu: populasi Sangkuriang, populasi Thailand, populasi
Belanda, populasi Mesir dan populasi Kenya. Tiga populasi pertama berasal dari
sistem budidaya (tipe kultur) sedangkan dua populasi yang terakhir merupakan tipe
liar yang berasal dari habitat alaminya. Semua populasi tipe kultur diduga berasal
dari populasi yang terpisah yang sudah mengalami adaptasi pada lingkungan yang
berbeda sedangkan populasi Mesir dan Kenya masih pada proses adaptasi terhadap
lingkungan budidaya.
Untuk kepentingan tersebut, karakterisasi genotipe, baik untuk kepentingan
penelusuran status spesies maupun untuk mendapatkan variabilitas genetik pada
kelima populasi yang ada perlu dilakukan. Potensi budidaya pada kelima populasi
diperlukan dengan melakukan hibridisasi di antara populasi tersebut. Dengan
pendekatan secara genotipe maupun fenotipe tersebut diharapkan dapat dihasilkan
hibrida unggul yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi budidaya ikan lele
sehingga produksi perikanan budidaya dapat meningkat (Gambar 1).

Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah menghasilkan hibrida unggul ikan
lele yang berasal dari hasil persilangan. Secara khusus, tujuan setiap kegiatan
adalah:
6

Gambar 1 Alur penelitian hibridisasi interpopulasi ikan lele

1. Menentukan kekerabatan dan status spesies ikan lele yang diintroduksi di


Indonesia,
2. Menghasilkan ikan hibrida yang memiliki karakter unggul,
3. Menghasilkan informasi dan material dasar untuk proses seleksi selanjutnya.

Manfaat Penelitian

Hibrida unggul ikan lele yang berasal dari hasil persilangan pada penelitian
ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan produksi ikan lele secara nasional.
Kejelasan status spesies dan material dasar ikan lele akan memberikan manfaat bagi
penentuan teknik pemuliaan yang akan diterapkan.

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:


1. Ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia merupakan spesies C.
gariepinus dan bukan merupakan ikan hibrida hasil persilangan interspesies,
2. Persilangan interpopulasi ikan lele Afrika akan menghasilkan hibrida unggul
yang dicirikan dengan pertumbuhan, kelangsungan hidup, biomassa dan
konversi pakan yang lebih baik dibandingkan ikan lele yang saat ini
digunakan di masyarakat.

Kebaruan

Berdasarkan penelusuran literatur, penelitian mengenai persilangan ikan lele


Afrika dengan memanfaatkan sumber genetik yang beragam belum pernah
dilakukan/dipublikasikan sehingga penelitian ini merupakan yang pertama
7

dilakukan di Indonesia. Kebaruan yang berhasil diperoleh pada penelitian ini


adalah:
1. Pendekatan fenotipe dan genotipe berhasil membuktikan bahwa ikan lele
yang diintroduksi di Indonesia adalah spesies Clarias gariepinus
2. Persilangan interpopulasi ikan lele introduksi telah menghasilkan populasi
hibrida unggul yang dapat meningkatkan biomassa hingga 200%
dibandingkan dengan penggunaan ikan lele yang banyak beredar di
masyarakat saat ini,
3. Persilangan interpopulasi pada ikan lele merupakan metode yang dapat
memperbaiki mutu genetik secara cepat (1 generasi).
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan baik untuk
peningkatan produksi akuakultur berupa ikan hibrida dengan karakter unggul
maupun untuk penerapan teknik pemuliaan lebih lanjut berupa informasi mengenai
karakteristik genotipe dan fenotipe dan populasi dasar ikan lele Afrika yang
diintroduksi di Indonesia.
2 TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Ikan Lele Afrika di Indonesia

Genus Clarias tersebar secara luas di benua Asia dan Afrika. Genus ini terdiri
atas 61 spesies (Fishbase 2016), beberapa sudah dibudidayakan, diantaranya: C.
anguillaris (Sanda et al. 2015), C. batrachus (Senanan et al. 2004), C. fuscus
(Huang et al. 2005), C. gariepinus (Ponzoni & Nguyen 2008) dan C.
macrocephalus (Senanan et al. 2004). Hingga tahun 2014, budidaya genus Clarias,
termasuk hibrida interspesies, sudah dilakukan di 54 negara dengan produksi
mencapai 1.16 juta ton dengan nilai $ 2327 juta (FAO 2016) (Tabel 2). Di antara
genus Clarias, lele Afrika merupakan spesies yang paling banyak disebarkan ke
luar Afrika dan sudah mengalami domestikasi yang sangat panjang. Ikan lele Afrika,
Tabel 2 Produksi budidaya ikan genus Clarias di dunia pada tahun 2014
(FAO 2016)

Negara Jumlah (ton)


Indonesia 677 916.56
Nigeria 158 531.00
Thailand 113 520.00
Uganda 57 626.00
Malaysia 46 122.01
Nigeria 35 823.00
Vietnam 20 000.00
Mesir 13 109.00
Myanmar 9 019.00
Kuba 6 700.00
Bangladesh 5 104.00
Kenya 4 337.00
Philipina 3 632.00
Kambodia 3 500.00
Hungaria 2 187.00
Nepal 1 280.00
Ghana 1 260.00
Belanda 1 200.00
Lain-lain 4 088.88
Total 1 164 955.45

diantaranya diintroduksi ke Belanda dari Afrika Selatan pada tahun 1974 (Holcik
1991), ke Vietnam dari Afrika Tengah pada tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett
2009) dan ke Taiwan pada tahun 1975 (Huang et al. 2005).
Ikan lele Afrika diintroduksi ke Indonesia pertama kali pada tahun 1985 dari
Taiwan. Seiring dengan perkembangan budidayanya, introduksi kemudian
dilakukan kembali, baik untuk digunakan pada kegiatan produksi budidaya secara
langsung maupun untuk tujuan perbaikan mutu genetik, yaitu berturut-turut pada
9

tahun 2002 dan tahun 2008 dari Thailand, tahun 2005 dari Mesir dan tahun 2011
dari Kenya dan Belanda.
Budidaya ikan lele Afrika di Indonesia mengalami perkembangan pesat
terutama sejak tahun 2000-an. Produksi ikan lele meningkat dari 56000 ton pada
tahun 2004 menjadi 678000 ton pada tahun 2014 dengan peningkatan rata-rata 29%
per tahun dibanding dengan produksi ikan total (di luar rumput laut) sebesar 15%
per tahun. Kontribusi produksi ikan lele terhadap produksi ikan nasional (di luar
rumput laut) meningkat dari 5.3% pada tahun 2004 menjadi 15.8% pada tahun 2014
(FAO 2016) (Gambar 2).
Peningkatan produksi ikan lele Afrika ini didukung oleh perkembangan
sistem budidaya yang digunakan di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan
budidaya ikan lele di negara lain yang menggunakan sistem budidaya berteknologi
tinggi, misalnya di Belanda yang menggunakan teknik pemijahan dengan cara

Gambar 2 Produksi ikan (di luar rumput laut) nasional dan


produksi ikan lele di Indonesia (diolah dari FAO 2016)
buatan dan pemeliharaan ikan di dalam sistem resirkulasi di dalam ruangan tertutup
(Fleuren 2008), budidaya lele di Indonesia kebanyakan menggunakan teknik
pemijahan alami dan produksi benih dan ikan konsumsi menggunakan wadah
plastik di luar ruangan (Sunarma et al. 2013). Dengan teknik budidaya seperti itu,
biaya investasi untuk produksi ikan lele menjadi jauh lebih murah sehingga dapat
diterapkan pada skala rumah tangga.
Sejalan dengan peningkatan produksi tersebut, upaya perbaikan mutu induk
ikan lele juga sudah dilakukan. Pada tahun 2004, Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Tawar Sukabumi, sebuah lembaga pemerintah di bawah Kementerian Kelautan
dan Perikanan, telah mengeluarkan dan menyebarkan induk ikan lele Sangkuriang.
Ikan lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan mutu genetik melalui penerapan
teknik silang-balik ikan lele Afrika yang diintroduksi tahun 1985 antara generasi
kedua dengan generasi keenam (Sunarma et al. 2005). Perbaikan mutu genetik
kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan ikan lele Sangkuriang2 pada tahun
2013. Penggunaan ikan lele Sangkuriang di masyarakat sudah turut memberikan
peningkatan produksi ikan lele nasional. Kontribusi lele Sangkuriang terhadap
10

produksi ikan lele nasional meningkat dari 2.5% pada tahun 2006 menjadi sekitar
30% pada tahun 2014. Selain ikan lele Sangkuriang, di masyarakat sudah pula
beredar ikan lele hasil perbaikan mutu genetik, diantaranya adalah ikan lele Mutiara
yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian dan Pemuliaan Ikan Sukamandi pada tahun
2015.

Persilangan Ikan

Persilangan (crossbreeding/hybridization) dapat terjadi antar


populasi/subpopulasi dalam satu spesies yang sama (interpopulation
crossbreeding) atau antar genus/famili yang berbeda (interspecific hybridization).
Hibridisasi dapat terjadi baik akibat campur tangan manusia ataupun secara alamiah.
Mallet (2005) memperkirakan hibridisasi telah terjadi setidaknya pada sekitar 25%
spesies tanaman dan 10% spesies hewan. Hibridisasi ikan, baik untuk kepentingan
akuakultur ataupun hanya untuk menguji performa persilangan, telah dilakukan
setidaknya pada 35 persilangan spesies dalam 17 famili (Bartley et al. 2001). Untuk
kepentingan akuakultur, hibridisasi merupakan salah satu cara perbaikan mutu
genetik yang dapat menghasilkan ikan unggul dalam waktu yang singkat melalui
peningkatan heterosigositas dan eksploitasi variasi genetik dominan (Guy et al.
2009). Hibridisasi dilakukan untuk penggabungan karakter yang dikehendaki dari
populasi/spesies berbeda ke dalam suatu populasi/spesies tunggal dengan tujuan
untuk mendapatkan keturunan yang memiliki performa yang lebih baik
dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau heterosis), baik laju pertumbuhan,
ketahanan terhadap penyakit, produksi ikan steril, produksi ikan kelamin tunggal
dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya (Bartley et al.
2001; Hulata 2001; Vandeputte et al. 2014). Menurut Falconer & Mackay (1996),
ekspresi heterosis pada persilangan dua populasi, sebagian, akan bergantung pada
perbedaan frekuensi gen dan interaksi gen di antara populasi tersebut, termasuk
pengaruh dominan dan epistasis. Namun demikian, munculnya heterosis pada
persilangan sulit diprediksi dan dapat bergantung pada tahap perkembangan ikan
(Granier et al. 2011).
Pemanfaatan heterosis dari hasil hibridisasi yang dilakukan secara sengaja
untuk kepentingan akuakultur telah banyak dilakukan. Heterosis dilaporkan
didapatkan pada beberapa jenis ikan, di antaranya: pertumbuhan ikan nila
Oreochromis niloticus (Bentsen et al. 1998; Nguyen et al. 2009), rohu Labeo rohita
(Gjerde et al. 2002), ikan mas Cyprinus carpio (Vandeputte 2003; Nielsen et al.
2010), udang biru Pasifik Penaeus stylirostris (Goyard et al. 2008), udang galah
Macrobrachium rosenbergii (Thanh et al. 2010), silver perch Bidyanus bidyanus
(Guy et al. 2009), brook trout Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011), rasio bobot
daging terhadap bobot tubuh pada hibrida antara ikan channel catfish Ictalurus
punctatus dengan ikan blue catfish I. furcatus (Argue et al. 2003), dan
kelangsungan hidup larva ikan gupi Poecilia reticulata (Shikano & Taniguchi
2002). Namun demikian, heterosis tidak selalu didapatkan pada proses hibridisasi,
misalnya pada pertumbuhan, kelangsungan hidup dan indeks fagositosis hibridisasi
antar populasi ikan lele Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).
Munculnya heterosis pada hibridisasi, meskipun tidak selalu, dapat
bergantung pada skema persilangan di mana satu populasi berlaku hanya sebagai
11

jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011), asal induk yang digunakan dengan
introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al. 2004) atau variasi genetik di
dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang
digunakan (Goyard et al. 2008).
Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu
populasi berperan sebagai jantan atau sebagai betina (efek resiprok), dapat
menghasilkan performa yang berbeda, seperti yang ditemukan pada persilangan
ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004), ikan nila (Bentsen et al. 1998; Lutz et
al. 2010), brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan persilangan
blunt snout bream (Luo et al. 2014). Efek resiprok ini mungkin berkaitan dengan
pengaruh maternal atau paternal, penurunan sitoplasmik dan keterkaitan genetik
antara gen seks dengan gen performa (Bentsen et al. 1998; Crespel et al. 2012).
Persilangan antar populasi liar dengan populasi budidaya tidak selalu
menghasilkan performa yang lebih baik. Pada ikan tilapia, persilangan antar
populasi liar (betina Kenya x jantan Mesir) telah menghasilkan bobot tubuh lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi murninya dan persilangan antar populasi liar
dengan populasi budidaya (Bentsen et al. 1998), sedangkan pada udang galah M.
rosenbergii, persilangan populasi budidaya dengan populasi liar menghasilkan
bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetuanya (Thanh et al.
2009). Hasil berbeda ditunjukkan pada ikan brook trout S. fontinalis yang
menunjukkan populasi budidaya menghasilkan bobot yang lebih tinggi
dibandingkan persilangan populasi budidaya dengan populasi liar (Granier et al.
2011) dan pada ikan Atlantik salmon Salmo salar yang menunjukkan bahwa
performa ikan hasil persilangan berada di antara performa ikan populasi budidaya
dan populasi liar (Glover et al. 2009).
Dengan beragam fakta tersebut di atas, dapat diketahui bahwa persilangan,
baik antar populasi dalam satu spesies ataupun antar spesies, belum tentu
menghasilkan performa hibrida yang diinginkan. Karena itu, Hulata (2001)
menyebutkan bahwa identifikasi secara eksperimental penting dilakukan untuk
menentukan kombinasi persilangan spesifik.

Basis Genetik pada Persilangan

Heterosis pada tingkat populasi muncul karena adanya hubungan antara


fitness populasi dengan heterosigositas pada populasi tersebut secara keseluruhan
(Lippman & Zamir 2006). Interaksi gen antara dua populasi homozigot membentuk
suatu hibrida heterosigot yang memiliki performa lebih baik dari kedua tetuanya.
Secara umum, hipotesis interaksi gen pada suatu persilangan dapat berupa dominan
atau overdominan (Hochholdinger & Hoecker 2007; Chen 2010). Interaksi
dominan terjadi ketika terdapat aksi saling melengkapi (complementary) alel
dominan superior dari kedua populasi inbreed induknya pada multi-lokus yang
melebihi alel yang tidak dikehendaki sehingga memunculkan perbaikan performa
pada hibridanya (AAaa x bbBB menghasilkan AABB). Interaksi overdominan
terjadi ketika interaksi alel pada satu atau multi-lokus sehingga menghasilkan
hibrida yang superior dibanding kedua induknya (A’A’BB x AAB’B’
menghasilkan AA’BB’). Teori heterosis berdasarkan interaksi gen memberikan
konsekuensi bahwa terdapat gen atau alel tertentu yang bertanggung jawab
12

sehingga heterosis muncul. Interaksi gen juga menyebabkan terjadinya peningkatan


keragaman genetik yang akan menyebabkan meningkatnya fitness pada hibridanya.
Bagaimanapun, interaksi gen pada hibridisasi melibatkan banyak gen yang
memberikan kontribusi dan banyak gen yang belum dapat diidentifikasi
hubungannya dengan sifat fenotipe yang muncul pada hibridanya. Dengan dasar itu,
sebagian ahli ada yang berpendapat bahwa kemunculan heterosis lebih karena
adanya peningkatan keragaman genetik semata (Lippman & Zamir 2006). Pada sisi
lain, selain bisa memunculkan heterosis (yang bersifat positif), interaksi gen juga
bisa menimbulkan tekanan outbreeding yang menyebabkan hibrida kehilangan
fitness. Karena itu, sulit untuk memformulasikan dasar genetik pada kemunculan
heterosis (Birchler et al. 2006).
Beberapa studi menunjukkan bahwa variasi genetik pada level molekuler
belum menjamin adanya variasi pada karakter fenotipe quantitatif (review oleh
Reed & Frankham 2001; Overturf et al. 2003; Borrel et al. 2004; Wachirachaikarn
et al. 2009), meskipun variasi genetik yang tinggi dapat menjadi basis bagi program
pemuliaan dalam jangka panjang. Studi yang dilakukan Bougas et al. (2010)
menjelaskan bahwa konsekuensi hibridisasi terhadap tingkat transkriptome dan
fenotipe adalah sangat berkaitan dengan arsitektur genetik spesifik populasi
silangan sehingga keberhasilan persilangan sangat sulit diprediksi.
3 MENELUSURI STATUS SPESIES IKAN LELE AFRIKA
YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA

Abstrak

Hingga saat ini, status spesies ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia masih
diperdebatkan, yaitu sebagai ikan hibrida antar spesies atau spesies C. gariepinus.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keragaman genetik dan status spesies dua
populasi liar dan tiga populasi budidaya ikan lele Afrika dengan menggunakan
analisis marka DNA mitokondria, analisis truss-morfometri dan analisis performa
reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman dan jarak genetik pada
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia, relatif tinggi dan sebanding dengan
lele Afrika di habitat aslinya. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat
perbedaan karakter di antara lima populasi tersebut yang dapat dipisahkan sebagai
spesies berbeda. Persilangan antar lima populasi tersebut juga menghasilkan tingkat
pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kelima populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia
merupakan spesies C. gariepinus.

Kata Kunci: Lele Afrika, DNA mitokondria, truss-morfometri, performa reproduksi

Tracing of Species Status of Introduced African Catfish in Indonesia.


Abstract – There are two arguments about species status of introduced African
catfish in Indonesia, i.e. as interspecific hybrid or as purebreed C. gariepinus. Our
research was conducted to examine of genetic diversity and species status of two
wild populations and three farm populations of introduced African catfish using
mitochondria DNA marker, truss-morphometry and reproductive performance
analysis. Our current research showed the genetic diversity and distance of African
catfish were introduced to Indonesia, is relatively high and comparable to African
catfish in their natural habitat. Our result also showed no different characters among
five populations that can be used to separate as different species. All reciprocal
crosses among populations obtained high fertilization and hatching rate. Our
research proven that five introduced African catfish populations, as representatively
Clarias production in Indonesia, as C. gariepinus.

Keywords: African catfish, mitochondrial DNA, truss-morphometry, reproductive


performance

Pendahuluan

Menurut data FAO (2016), Indonesia adalah negara terbesar produsen ikan
lele dari hasil budidaya. Di dalam negeri, pada awalnya, ikan ini dikenal dengan
nama ikan lele Dumbo. Perkembangan selanjutnya, muncul nama lain berdasarkan
keputusan pemerintah ataupun inisiatif swasta, seperti: ikan lele Sangkuriang,
Mutiara dan Mandalika yang berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan terkait dengan pelepasan varietas ikan, ikan lele Paiton, Masamo,
Thailand, Burma, Mesir, dan lain-lain yang berdasarkan inisiatif swasta yang
14

menjual atau penamaan oleh masyarakat. Mengingat wilayah perairan tawar


Indonesia merupakan habitat ikan lele liar (setidaknya terdapat 15 spesies ikan lele
(Fishbase 2016), dengan merujuk tempat asalnya dari Afrika, maka ikan lele
introduksi ini untuk selanjutnya disini disebut sebagai ikan lele Afrika.
Di dalam negeri, masih terdapat dua pendapat mengenai klasifikasi ikan lele
Afrika tersebut, yaitu: pendapat pertama meyakini bahwa ikan tersebut merupakan
hasil hibrida antara C. gariepinus dengan C. fuscus (atau sebaliknya), sementara
pendapat lainnya menyebutkan bahwa ikan lele Afrika adalah spesies C. gariepinus
(Iswanto 2013). Perbedaan ini terutama akibat tidak adanya bukti tertulis ketika
ikan tersebut diintroduksi pada tahun 1985 dari Taiwan (beberapa sumber
menyatakan introduksi pada tahun 1984 dan 1985 (Iswanto 2013)). Diantara alasan
ikan ini diyakini sebagai ikan lele hibrid karena memiliki kesesuaian ciri-ciri yang
termasuk kepada C. gariepinus dan C. fuscus (Prof. Komar Sumantadinata, 2012,
komunikasi pribadi).
Selain dari Taiwan, ikan lele Afrika juga telah diintroduksi dari Belanda pada
tahun 1985 (Na-Nakorn & Brummett 2009). Setelah itu, beberapa introduksi juga
telah dilakukan secara berturut-turut, yaitu dari Thailand pada tahun 2002 dan 2008,
dari Mesir tahun 2007, dari Kenya tahun 2011 dan dari Belanda tahun 2011 (untuk
selanjutnya, introduksi ikan lele Afrika tersebut disebut sebagai populasi menurut
asal introduksinya). Populasi Belanda 1985 dan 2011 diyakini sebagai ikan lele C.
gariepinus berdasarkan sejarah domestikasi lele di Belanda (Holcik 1991). Populasi
Thailand dimungkinkan merupakan species C. gariepinus atau hasil persilangan C.
macrocephalus dengan C. gariepinus (Senanan et al. 2004). Populasi Mesir dan
Kenya diidentifikasi sebagai populasi C. gariepinus karena merupakan populasi liar
yang diintroduksi dari habitat alaminya.
Kejelasan status spesies ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia
diperlukan karena akan terkait dengan strategi upaya perbaikan mutu genetik ikan
lele Afrika. Strategi perbaikan mutu genetik ikan hibrid akan berbeda dengan ikan
yang murni. Pada ikan hibrid, perbaikan mutu genetik harus dilakukan pada kedua
populasi indukan. Hal ini karena ikan hibrid yang fertil yang kemudian anakannya
digunakan sebagai indukan dapat menyebabkan hilangnya hibrid vigour untuk
pertumbuhan dan ketahanan penyakit (Senanan et al. 2004). Sementara itu, pada
ikan yang murni, perbaikan mutu genetik hanya dilakukan pada satu populasi
tersebut dan anakan yang dihasilkan dapat digunakan kembali sebagai indukan.
Penelusuran status spesies ikan lele Afrika dapat dilakukan dengan
memanfaatkan marka DNA mitokondria, analisis truss-morfometri dan performa
reproduksi ketika dilakukan persilangan. Marka DNA mitokondria banyak
digunakan pada analisis genetika populasi karena genom mitokondria berubah lebih
cepat dibandingkan dengan genom inti sehingga menyebabkan polimorfik yang
tinggi (Liu, 2009) dan dapat menelusuri spesies tetua betinanya pada ikan hibrid
karena mitokondria hanya diturunkan melalui garis ibu (Agnese et al. 1997;
Strussmann et al. 1997). Analisis truss-morfometri sudah berhasil memisahkan
beragam ikan lele di Afrika (Teugel 1986; Agnese et al. 1997) dan Asia (Ng 1999;
Sudarto 2002). Performa reproduksi dapat digunakan untuk identifikasi ikan hibrida
karena persilangan antar spesies bisa menghasilkan ikan hibrida yang fertil atau
yang steril (Wu et al. 1990; Lenormand et al. 1998; Senanan et al. 2004).
15

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan status ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
upaya perbaikan mutu genetik ikan lele Afrika di Indonesia.

Bahan dan Metode

Ikan lele Afrika yang digunakan merupakan koleksi BBPBAT Sukabumi,


sedangkan ikan lele lokal (C. batrachus) merupakan ikan liar hasil tangkapan dari
daerah Sukabumi bagian Selatan. Ikan lele Afrika terdiri atas lima populasi, yaitu:
populasi Sangkuriang, populasi Belanda, populasi Thailand, populasi Mesir dan
populasi Kenya. Populasi Sangkuriang merupakan generasi ke-2 dari hasil silang-
balik ikan lele Afrika yang diintroduksi dari Taiwan tahun 1985 antara F2 betina
dan F6 jantan.
Analisis marka DNA mitokondria dilakukan pada ikan lele Afrika dan ikan
lele lokal. Setiap populasi diwakili oleh 10 sampel. Genom DNA dari sampel sirip
diekstraksi dan dipurifikasi menggunakan Puregene kit (Qiagen Inc., USA). Lokus
ND5/6 pada DNA-mitokondria diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer
forward 5’-AATAGTTTATCC(A/G)TTGGTCTTAGG-3’ dan reverse 5’-
TTACAACGATGGTTTTTCAT(G/A)TCA-3’ (Cronin et al., 1993) dengan
tahapan seperti pada Tabel 3. Hasil amplifikasi dipotong menggunakan enzim
restriksi Alu I, Hae III, Hha I, Hinf I, Hpa II, Pst I dan Taq I dengan prosedur
mengikuti petunjuk produsen seperti pada Tabel 4. Produk PCR yang telah
dipotong kemudian dielektroforesis pada 1,5% gel agarosa dan DNA divisualisasi

Tabel 3 Program PCR pada amplifikasi DNA Mitokondria ikan lele

Tahapan Temperatur (oC) Waktu Siklus


Pradenaturasi 95 5 menit
Denaturasi 95 45 detik
Annealing 50 30 detik 32
Ekstensi 72 2,5 menit
Pascaekstensi 72 3 menit

Tabel 4 Prosedur restriksi hasil amplifikasi PCR

Inkubasi Stop Ekspresi


Enzim
Produsen Temperatur Waktu Temperatur
restriksi o Waktu (menit)
( C) (jam) (oC)
Hha I Fermentas 37 16 Penambahan EDTA 1: 25
Hpa II Fermentas 37 16 80 20
Hae III Fermentas 37 16 80 20
Alu I Fermentas 37 16 65 20
Taq I Fermentas 65* 16* Penambahan EDTA 1: 25
Pst I Fermentas 37 16 Penambahan EDTA 1: 25
Hinf I Fermentas 37 16 65 20
Keterangan:
* Menggunakan minyak parafin
16

menggunakan GelRed (Biotium Inc., California, USA) dengan alat bantu Gel Doc
XR+ dan program Quantity One (Biorad Inc., California, USA).
Analisis truss-morfometri dilakukan pada ikan lele afrika populasi
Sangkuriang, Mesir, Thailand, Belanda dan Kenya masing-masing diwakili 30, 20,
49, 36 dan 12 sampel dengan bobot 200-500 gram/ekor dan ikan lele lokal (C.
batrachus) sebanyak 15 sampel dengan bobot 100-150 gram/ekor. Pengukuran
karakter morfometri mengikuti Teugels (1986), meliputi: panjang standar (SL),
panjang antara ujung mulut sampai pangkal sirip punggung (PDL), panjang antara
ujung mulut sampai pangkal sirip anal (PAL), panjang antara ujung mulut sampai
pangkal sirip perut (PPL), panjang antara ujung mulut sampai pangkal sirip dada
(PPEL), panjang sirip punggung (DFL), panjang sirip anal (AFL), panjang kepala
(HL), jarak antara dua bola mata (IOW), panjang antara lekukan dan ujung tonjolan
di tulang kepala (OPL) dan lebar antar lekukan di tulang kepala (OPW) (Agnese et
al. 1997) (Gambar 3).

Keterangan singkatan lihat teks


Gambar 3 Pengukuran morfometrik ikan lele
Tabel 5 Induk betina dan jantan ikan lele Afrika yang digunakan

Populasi Betina (kg) Jantan (kg)


Sangkuriang 5.41 ± 1.96 2.03 ± 0.45
Belanda 1.33 ± 0.22 1.68 ± 0.62
Thailand 3.70 ± 0.43 2.78 ± 0.09
Mesir 3.10 ± 0.67 2.59 ± 0.12
Kenya 1.85 ± 0.31 1.54 ± 0.14

Analisis reproduksi dilakukan hanya pada ikan lele Afrika. Setiap populasi
diwakili tiga jantan dan tiga betina (Tabel 5). Kantung sperma dari induk jantan
ikan lele diambil dengan cara pembedahan kemudian dibelah untuk mengeluarkan
cairan spermanya. Pengenceran cairan sperma dilakukan dengan menambahkan
larutan garam 0.9% dengan pengenceran 1000x. Kepadatan sel spermatozoa
dihitung dibawah mikroskop dengan menggunakan sedgwick rafter counting
chamber. Motilitas sel spermatozoa dianalisis dibawah mikroskop dengan
melakukan aktifasi pergerakan sel dengan menggunakan air pada perbandingan
1:99.
Untuk pengukuran diameter, telur diambil dari induk betina matang gonad
dengan teknik intra-ovarian biopsy menggunakan kanulator. Diameter telur diukur
dibawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Untuk perhitungan
fekunditas relatif, telur dikeluarkan dari induk betina dengan cara diurut setelah
17

mencapai tahap ovulasi 10-12 jam setelah dilakukan penyuntikan dengan Ovaprim
0.2 mL/kg induk.
Cairan sperma sekitar 20 mL dicampurkan dengan telur sekitar 10 mg untuk
proses pembuahan buatan. Pembuahan buatan dilakukan inter dan intra populasi
sehingga terbentuk 25 populasi baru masing-masing dengan tiga ulangan.
Campuran telur dan sperma kemudian diberi 15-20 mL air untuk proses aktifasi
sperma sehingga merangsang terjadinya pembuahan. Campuran kemudian disebar
ke dalam akuarium untuk proses penetasan telur.
Pola pemotongan enzim restriksi pada DNA mitokondria dikumpulkan pada
setiap enzim restriksi sehingga dapat ditentukan tipe digesti, ukuran fragmen dan
tipe komposit haplotipe pada setiap ikan sampel. Keragaman haplotipe dalam satu
populasi dihitung dengan menggunakan persamaan Nei & Tajima (1981). Jarak
genetik dan dendrogram UPGMA dihitung dan dibuat dengan software TFPGA
(Miller 1997). Data trus-morfometri ditransformasi log kemudian diolah
menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA) dengan software
PAST versi 2.17 (University of Oslo, Oslo, NO; Geological Museum, Copenhagen,
DK). Normalitas data performa reproduksi diuji dengan menggunakan uji Shapiro-
Wilk. Data yang berupa persentase dan data kepadatan sel spermatozoa dilakukan
transformasi log. Pengaruh populasi terhadap performa reproduksi diuji
menggunakan ANOVA. Bila terdapat perbedaan (p<0.05), dilakukan uji lanjut
menggunakan uji Tukey.

Hasil

Keragaman genetik populasi ikan lele yang diintroduksi ke Indonesia relatif


tinggi seperti ditunjukkan pada variasi restriksi lokus ND5/6 DNA mitokondria
pada penelitian ini. Secara keseluruhan, amplifikasi DNA mitokondria lokus ND5/6
dihasilkan pada ukuran sekitar 2.4 kb (Lampiran 1). Semua enzim berhasil
melakukan pemotongan (Lampiran 2 - Lampiran 8). Hasil analisis menunjukkan
terdapat 17 haplotipe dengan rata-rata tiga haplotipe per populasi. Keragaman
haplotipe pada populasi Sangkuriang, Mesir, Kenya, Belanda dan Thailand masing-
masing adalah 0.611, 0.611, 0.611, 0.695 dan 0.611 sedangkan pada ikan lele lokal
tidak didapatkan keragamannya (Tabel 6). Antar populasi lele Afrika, jarak genetik
tertinggi diperoleh antara populasi Sangkuriang dengan populasi Kenya (0.582) dan
terendah antara populasi Belanda dengan populasi Mesir (0.118) sedangkan
dibandingkan dengan ikan lele lokal, jarak terjauh adalah dengan populasi
Sangkuriang dan Mesir (0.881) dan terendah dengan populasi Belanda (0.830)
(Tabel 7) (Gambar 4).
Analisis komponen utama memungkinkan adanya pemisahan morfometrik
antara ikan lele Afrika dengan ikan lele lokal tapi tidak terdapat terdapat perbedaan
morfometrik pada ikan lele Afrika pada sepuluh karakter yang dihitung (Gambar
5). Ikan lele Afrika dapat dibedakan dari ikan lele lokal terutama pada karakter jarak
antara dua bola mata, panjang antara lekukan dan ujung tonjolan di tulang kepala
dan lebar antar lekukan di tulang kepala.
18

Tabel 6 Haplotipe pada ikan lele Afrika dan ikan lele lokal

Frekuensi Keragaman
Populasi Tipe Komposite
Haplotipe Haplotipe

Thailand AAAAAAA 0.50 0.611


AAABAAA 0.10
BBABAAB 0.40

Mesir CCBCBAA 0.50 0.611


DCBDBAB 0.10
ECBDBAB 0.40

Sangkuriang CDBEAAA 0.40 0.611


CEBEAAA 0.10
CFBFAAB 0.50

Belanda CDBCCAA 0.10 0.695


CDBCBAA 0.40
FFBDBAB 0.40
GFBDBAB 0.10

Kenya HGAABAC 0.50 0.611


IHAGBAD 0.40
JHAGBAD 0.10

Lele Lokal KICHDBE 1.00 0.000


Keterangan: Urutan enzim restriksi AluI, HaeIII, HhaI, HinfI, HpaII, PstI, TaqI

Karakter reproduksi induk, baik pada jantan maupun betina, dan hasil
pemijahan tidak berbeda di antara lima populasi yang digunakan, kecuali diameter
telur dan indeks gonado-somatik jantan (Tabel 8). Persilangan berhasil dilakukan
antar populasi meskipun variasi tingkat pembuahan dan penetasan telur cukup
tinggi, yaitu masing-masing pada kisaran 26.40% – 92.04% dan 55.74% – 96.89%
(Tabel 9). Tingkat pembuahan telur tidak berbeda nyata pada 17 persilangan dan
hanya berbeda pada persilangan MS (62.42%), MB (61.45%) dan MK (26.40%).

Tabel 7 Jarak genetik antar lima populasi ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
(Nei’s Genetic Distance 1972) berdasarkan marka DNA mitokondria
lokus ND5/6

Populasi Thailand Mesir Sangkuriang Belanda Kenya Lele Lokal


Thailand X
Mesir 0.519 X
Sangkuriang 0.377 0.333 X
Belanda 0.468 0.118 0.218 X
Kenya 0.375 0.439 0.582 0.402 X
Lele Lokal 0.853 0.881 0.881 0.830 0.844 X
19

Pada umumnya, tingkat penetasan telur adalah tinggi (>74%), kecuali pada BK
(70.39%), MK (65.58%) dan TS (55.74%)

Pembahasan

Analisis PCR-RFLP DNA mitokondria dapat digunakan baik untuk


identifikasi/pemisahan spesies dalam satu genus maupun populasi dalam satu
spesies. Berdasarkan analisis lokus ND5/6 DNA mitokondria, struktur populasi
ikan lele C. gariepinus di Afrika dapat dipisahkan menjadi tiga grup filogenetik,
yaitu grup Afrika bagian Timur, bagian Utara dan bagian zona kontak antara Timur
dengan Tengah-Selatan, meskipun ketiga populasi tersebut memiliki kesamaan
morfologi (Giddelo et al. 2002). Lokus ND 5/6 juga berhasil memisahkan populasi

Gambar 4 UPGMA dendrogram berdasarkan jarak genetik lima populasi


ikan lele Afrika dan ikan lele lokal berdasarkan marka DNA
mitokondria lokus ND5/6

Gambar 5 Plot komponen utama pada analisis truss-morfometri lima populasi


ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
20

Tabel 8 Karakter reproduksi induk betina dan jantan serta hasil pemijahannya pada
setiap populasi ikan lele Afrika

Karakter Sangkuriang Belanda Thailand Mesir Kenya


Betina
Diameter telur
1.61±0.08a 1.58±0.01a 1.59±0.04a 1.54±0.08ab 1.39±0.04b
(mm)
Indeks gonado
14.94±0.76a 11.47±0.81a 14.62±0.52a 11.27±2.09a 15.27±4.26a
somatik (%)
Fekunditas
78593.11 ± 66106.53 ± 86525.71 ± 63862.79 ± 99121.49 ±
(telur/kg induk
12211.74a 6667.63a 5770.08a 9764.87a 24877.26a
betina)
Jantan
Konsentrasi
spermatozoa 1.10±0.07a 1.58±0.20a 0.78±0.06a 0.93±0.17a 1.32±0.32a
(x1010 sel/mL)
Motilitas
93.33±11.55a 80.00±0.00a 90.00±10.00a 86.67±11.55a 76.67±5.77a
spermatozoa (%)
Indeks Gonado
0.62±0.08ab 0.81±0.10a 0.47±0.09ab 0.50±0.08ab 0.39±0.09b
Somatik (%)
Hasil Pemijahan
Tingkat
pembuahan telur 76.17±8.94a 83.36±5.47a 87.94±2.60a 68.41±10.98a 61.83±5.33a
(%)
Tingkat
penetasan telur 74.74±7.11a 62.89±14.26a 80.70±7.38a 87.63±5.18a 89.73±8.59a
(%)
Keterangan:
Nilai rata-rata±SD dari tiga ulangan. Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan
tidak ada perbedaan nyata (p>0.05). Analisis statistik fekunditas dan kepadatan sperma adalah
hasil transformasi log tetapi data yang ditampilkan adalah angka numerik

ikan salmon (Cronin et al. 1993), ikan nila (Rognon & Guyomard 1997; Li et al.
2002), ikan mas (Gross et al. 2002; Zhou et al. 2003), dan ikan lele (Agnese et al.
1997; Mohindra et al. 2007). Analisis PCR-RFLP juga dapat digunakan untuk
identifikasi populasi hibrida seperti dilaporkan pada ikan Salmo trutta (Hansen et
al. 2000), ikan Salvelinus (Wilson & Bernatchez 1998), ikan Pseudoplatystoma
(Prado et al. 2011; Hashimoto et al. 2013; Porto-Foresti et al. 2013), ikan-ikan
Serrasalmid (Hashimoto et al. 2011) dan ikan-ikan Atherinid (Strussmann et al.
1997).
Keragaman haplotipe pada penelitian ini (0.611-0.695) lebih rendah
dibandingkan dengan ikan lele C. gariepinus di Danau Victoria, Kenya, yaitu pada
kisaran 0.741-0.754 (Barasa et al. 2014) dan Afrika Selatan, yaitu 0.852 (Roodt-
Wilding et al. 2010) namun jumlah haplotipe yang ditemukan (tiga haplotipe per
populasi) masih relatif sebanding dengan yang ditemukan di Afrika bagian timur
yaitu kisaran 0 – 5 haplotipe per populasi (Giddelo et al. 2002), di Senegal yaitu
enam haplotipe per populasi (Agnese et al. 1997) dan di India, yaitu tiga haplotipe
per populasi (Mohindra et al. 2007). Jumlah haplotipe pada populasi Belanda lebih
banyak dibandingkan dengan empat populasi lainnya. Hal ini diduga berkaitan
dengan keragaman sumber genetik yang tinggi pada ikan lele yang diintroduksi ke
21

Tabel 9 Tingkat pembuahan dan penetasan telur pada persilangan interpopulasi ikan
lele Afrika

Silangan Tingkat pembuahan telur (%) Tingkat penetasan telur (%)


SM 92.04±2.24a 89.50±3.97abc
SK 83.60±6.71a 78.85±6.00abcd
SB 85.22±7.61a 91.85±5.41ab
ST 86.05±3.88a 87.17±8.20abc
MS 62.42±11.48bc 84.01±12.82abc
MK 26.40±1.77d 65.58±2.89cd
MB 61.45±4.89c 82.63±2.21abc
MT 86.60±5.47a 86.31±4.85abc
KS 91.17±1.05a 94.79±3.47ab
KM 76.73±2.57abc 88.82±5.93abc
KB 86.48±2.65a 77.28±5.82abcd
KT 88.33±3.38a 82.37±5.68abc
BS 84.07±2.56a 83.03±4.22abc
BM 85.55±4.63a 74.65±2.52abcd
BK 82.38±3.34ab 70.39±4.48bcd
BT 86.59±4.57a 76.06±7.15abcd
TS 82.20±2.14ab 55.74±3.83d
TM 83.98±3.52a 89.26±1.71abc
TK 75.78±3.64abc 93.46±2.92ab
TB 86.47±4.57a 96.89±3.02a
Keterangan:
Nilai rataan ± SE dari tiga ulangan. Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). S= Sangkuriang, M= Mesir, K= Kenya, B= Belanda,
T= Thailand. Notasi silangan adalah betina-jantan.

Belanda dan proses seleksi yang sudah dilakukan dapat tetap mempertahankan
keragaman tersebut.
Dari hasil keragaman haplotipe yang ditemukan pada ke lima populasi yang
diamati, setiap populasi memiliki haplotipe yang tidak dimiliki oleh populasi
lainnya. Adanya perbedaan haplotipe ini dapat diduga berkaitan dengan asal
wilayah/habitat alami dan tidak adanya aliran gen antar populasi. Mengacu pada
penelitian Giddelo et al. (2002) yang berhasil memisahkan populasi ikan lele di
Afrika, kemungkinan wilayah alami ikan lele yang diintroduksi ke Indonesia
berasal dari wilayah yang berbeda. Hal ini didukung dengan jarak genetik antar
populasi ikan lele yang diperoleh pada penelitian ini.
Jarak genetik antar populasi (kisaran 0.118-0.582) lebih tinggi dibandingkan
dengan antar populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke India, 0.028 (Mohindra
et al. 2007) dan Thailand, 0.036-0.144 (Wachirachaikarn et al. 2009) namun masih
sebanding dengan di Nigeria (Anene & Tianxiang 2007). Berdasarkan jarak genetik
ini, semakin memperkuat bukti bahwa tidak ada aliran genetik antar populasi. Ikan
yang digunakan pada penelitian ini masih dipelihara secara terpisah dan belum
dilakukan pemijahan persilangan antar populasi sebelumnya. Jarak genetik antar
populasi yang relatif tinggi juga menunjukkan adanya potensi untuk dilakukan
22

persilangan antar populasi. Dengan jarak genetik yang tinggi diharapkan


persilangan antar populasi dapat memberikan hasil heterosis yang tinggi pula.
Karakteristik morfometri antar populasi ikan lele introduksi tidak dapat
dibedakan berdasarkan sepuluh parameter yang diamati namun dapat dibedakan
dengan ikan lele lokal. Hal ini sejalan dengan penelitian Agnese et al. (1997) yang
melaporkan tidak adanya pemisahan antar populasi ikan lele Afrika C. gariepinus
namun secara jelas dapat dipisahkan dengan spesies C. Anguillaris yang
dikumpulkan dari habitat aslinya di Senegal. Perbedaan morfometri banyak
digunakan untuk melakukan klasifikasi spesies ikan, termasuk ikan lele (Teugel
1986; Agnese et al. 1997; Ng 1999; Sudarto 2002). Hasil penelitian ini
menunjukkan tidak ditemukan adanya penanda morfometri yang dapat dijadikan
indikasi adanya persilangan antar spesies ikan lele sebelumnya.
Berdasarkan karakter reproduksi, baik pada betina maupun jantan, tidak
terdapat perbedaan antar populasi ikan lele Afrika, kecuali pada diameter telur dan
indeks gonado-somatik jantan. Pada induk betina, diameter telur (kisaran 1.39-1.75
mm) sebanding dengan diameter telur yang ditemukan di habitat alaminya, yaitu
1.0-1.7 mm (Clay 1979). Diameter telur populasi budidaya, yaitu populasi
Sangkuriang, Belanda dan Thailand, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi liar, yaitu populasi Mesir dan Kenya. Populasi Belanda memiliki diameter
telur yang lebih besar sedangkan populasi Kenya memiliki diameter yang paling
kecil dibandingkan dengan populasi lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan
sejarah domestikasi dan budidaya yang telah dilakukan. Semakin lama proses
domestikasi, semakin teradaptasi dalam pemanfaatan nutrisi untuk pembentukan
telur sehingga memiliki diameter telur yang lebih besar.
Populasi Kenya memiliki diameter telur yang kecil namun indeks gonado
somatik relatif lebih tinggi sehingga menghasilkan fekunditas yang lebih tinggi
dibandingkan populasi lainnya. Indeks gonado-somatik (kisaran 11-15%) tidak
berbeda antara populasi liar dengan populasi budidaya. Pada habitat alaminya di
Danau Victoria, Kenya, indeks gonado-somatik ikan lele hanya mencapai <5% di
luar musim pijah dan 5-10% pada musim pijah (de Graff & Janseen, 1996) dan di
Afrika Selatan mencapai 4.53-5.53% (Barnhoorn et al. 2004), sedangkan pada
populasi budidaya di Nigeria dapat mencapai 7-17% (Aiyelari et al. 2007; Sule
2010) dan di Belanda pada kisaran 5-12% (Fleuren 2008).
Pada ikan jantan, tidak terdapat perbedaan konsentrasi dan motilitas
spermatozoa antar populasi. Konsentrasi spermatozoa, 0.78-1.58 x 1010, pada
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan pada populasi budidaya di Belanda,
yaitu 0.55-1.60 x 109 (Viveiros et al. 2002) dan Thailand, yaitu 0.7-0.8 x 108
(Wachirachaikarn et al. 2009). Motilitas spermatozoa, 76-93%, pada penelitian ini
relatif sama dengan yang diukur pada populasi budidaya di Hungaria, 80-90%
(Kovacs et al. 2010) namun lebih tinggi dibandingkan dengan populasi liar dari
Afrika Selatan, yaitu 10-17% (Marchand et al. 2008) dan 30-50% (Wagenaar et al.
2012) serta populasi budidaya di Thailand, 30-50% (Wachirachaikarn et al. 2009)
dan Malaysia, 40-80% (Kamaruding et al. 2012). Indeks gonado-somatik pada
populasi Belanda lebih besar secara nyata dibanding populasi Kenya. Indeks
gonado-somatik populasi lainnya berada diantara populasi Belanda dan Kenya.
Indeks gonado-somatik yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu pada kisaran 0.39-
0.81%, hampir sama dengan yang ditemukan pada populasi liar di Afrika Selatan,
yaitu 0.17-0.22% (Barnhoorn et al. 2004) dan 0.10-0.66% (Kruger et al. 2013) dan
23

populasi budidaya di Belanda, 0.37-0.75% (Viveiros et al. 2002) dan Thailand, 0.6-
0.9 (Wachirachaikarn et al. 2009).
Persilangan dapat dilakukan antar populasi dalam satu spesies, antar spesies
atau antar genus. Pada penelitian ini, persilangan antar lima populasi ikan lele dapat
dilakukan dan menghasilkan tingkat pembuahan dan penetasan telur yang tinggi,
kecuali masing-masing pada silangan populasi Mesir x Kenya dan populasi
Thailand x Sangkuriang. Persilangan antar populasi budidaya ikan lele Afrika sudah
dilaporkan oleh Wachirachaikarn et al. (2009). Persilangan antar spesies ikan lele
Afrika telah berhasil dilakukan dengan C. fuscus (Wu et al. 1990), C. meladerma
(Lenormand et al. 1998) dan C. macrocephalus (Na-Nakorn et al. 2004; Senanan
et al. 2004). Sedangkan persilangan antar genus sudah berhasil dilakukan dengan
lele Heterobranchus longifilis (Legendre et al. 1992). Persilangan ikan lele Afrika
tidak berhasil dilakukan dengan C. batrachus, C. nieuhofii dan C. teijsmanni
(Lenormand et al. 1998). Persilangan dengan betina C. fuscus menghasilkan hibrida
dengan karakter morfologi yang mendekati bentuk C. fuscus dan jantan steril (Wu
et al. 1990) dan warna tubuh yang dapat secara jelas dibedakan dengan C.
gariepinus (Huang et al. 2005). Persilangan dengan betina C. macrocephalus
menghasilkan hibrida betina fertil dan jantan yang tidak dapat menghasilkan
keturunan (Abol-Munafi et al. 2006) sedangkan morfologi hampir sama dengan C.
macrocephalus (Senanan et al. 2004). Persilangan dengan betina C. meladerma
menghasilkan hibrida steril sedangkan pada resiproknya tidak berhasil hidup
(Lenormand et al. 1998).
Pada silangan populasi Mesir x Kenya dan populasi Thailand x Sangkuriang
masing-masing diperoleh tingkat pembuahan dan penetasan telur yang lebih rendah
secara signifikan dibandingkan dengan populasi silangan lainnya. Keberhasilan
tingkat pembuahan dan penetasan telur sangat dipengaruhi oleh kualitas telur dan
sperma (Bobe & Labbe 2010). Selain itu, tingkat pembuahan yang rendah dapat
berkaitan dengan interaksi antara sel spermatozoa dengan sel telur. Interaksi kedua
sel yang menyebabkan kegagalan pembuahan diantaranya akibat ketidak-sesuaian
ukuran sel spermatozoa dengan lubang mikrofil telur betina atau gagalnya
penggabungan pronukleus jantan dan betina setelah spermatozoa berhasil
memasuki telur (Lyman-Gingerich & Pelegri 2007; Kinsey et al. 2007). Sedangkan
kegagalan penetasan telur dapat diakibatkan oleh temperatur (Thepot & Jerry 2015),
pH (Gao et al. 2011), kandungan oksigen terlarut (Oyelese 2006), terlalu cepat atau
terlalu lambat proses pengeluaran telur (stripping) setelah waktu ovulasi (Agbebi
et al. 2013), atau adanya substansi yang mengganggu sistem endokrin (Cheek et al.
2001). Pada penelitian ini, kualitas telur dan sperma dapat dipastikan sudah baik
karena sperma dan telur pada silangan lain dapat berhasil dengan baik. Kondisi
temperatur, oksigen terlarut, waktu ovulasi dan substansi pengganggu juga tidak
memberikan pengaruh berbeda pada penelitian ini. Karena terjadi pada silangan
tertentu, tingkat pembuahan dan penetasan telur yang rendah diduga berkaitan
dengan interaksi sel spermatozoa dan sel telur. Namun demikian, penyebab pasti
tingkat pembuahan dan penetasan telur yang rendah yang diperoleh pada penelitian
ini perlu dikaji lebih lanjut.
24

Simpulan

Keragaman haplotipe dan jarak genetik pada ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia, masing-masing 0.611-0.695 dan 0.118-0.582, relatif
tinggi dan sebanding dengan yang ditemukan di alam. Analisis morfometri
menunjukkan tidak ada karakter morfometri yang dapat menjadi pembeda antar
populasi ikan lele. Analisis performa reproduksi menunjukkan bahwa karakter
reproduksi pada jantan dan betina relatif sebanding dengan populasi ikan lele Afrika
di alam. Persilangan antar populasi ikan lele introduksi juga berhasil dilakukan dan
mendapatkan tingkat pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Berdasarkan
hasil-hasil tersebut, kelima populasi yang digunakan pada penelitian ini dapat
dipastikan merupakan spesies ikan lele Afrika C. gariepinus. Mengingat
kebanyakan populasi ikan lele yang saat ini dibudidayakan di masyarakat telah
terwakili pada penelitian ini, sehingga penamaan ilmiah untuk ikan lele yang
diproduksi di Indonesia seharusnya menggunakan nama ilmiah C. gariepinus.
4 PERSILANGAN INTERPOPULASI BUDIDAYA DAN LIAR
IKAN LELE AFRIKA PADA TAHAP PEMBENIHAN

Abstrak

Ikan lele Afrika Clarias gariepinus telah diintroduksi dan dibudidayakan di


Indonesia sejak tahun 1985 dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
produksi akuakultur. Namun demikian, perkembangan cepat budidaya ikan lele
tidak selaras dengan upaya perbaikan mutu induk sehingga menyebabkan terjadinya
penurunan performa ikan. Salah satu metode perbaikan mutu genetik adalah teknik
persilangan. Penelitian ini mengevaluasi performa pertumbuhan dan kelangsungan
hidup hingga umur 81 hari (tahap pembenihan) ikan hasil persilangan interpopulasi
dari lima populasi ikan lele, yaitu populasi Sangkuriang, Mesir, Kenya, Belanda
dan Thailand. Pemijahan buatan antar populasi dilakukan untuk membentuk lima
populasi galur murni dan 20 populasi persilangan. Terdapat perbedaan yang nyata
pada laju pertumbuhan panjang (SGR), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan
over-size (OS). Persilangan betina Mesir x jantan Belanda (MB) menunjukkan
performa terbaik yaitu SGR, SR dan OS masing-masing 9.69±0.03%, 83.49±6.72%
and 0.22±0.04%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara
OS dengan SR, makin tinggi OS, makin rendah SR. Korelasi ini cenderung makin
menurun pada pemeliharaan ikan yang semakin besar. Dari hasil penelitian ini kami
menyimpulkan bahwa persilangan MB berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan pada
upaya perbaikan kualitas benih ikan lele Afrika.

Kata Kunci: Lele Afrika, persilangan interpopulasi, variasi pertumbuhan,


kelangsungan hidup, over-size

Interpopulation Crossbreeding of Farmed and Wild of Introduced African


Catfish Clarias gariepinus in Indonesia at Nursing Stage (Burchell 1822).
Abstract – Introduced African catfish has been cultivated since 1985 and made a
significant contribution to aquaculture production in Indonesia. Unfortunately, the
rapid development of catfish farming was not accompanied with a proper genetic
improvement of broodstock and this has lead to poor production performances. One
method that can potentially provide a rapid improvement in the genetic quality of
a broodstock is the crossbreeding technique. The present study evaluated growth
and survival performances up to 81 days post hatching (nursing stage) of
reciprocally interpopulation crossbreeds generated from five existing introduced
African catfish populations in Indonesia i.e. Sangkuriang, Egypt, Kenya, Dutch and
Thailand. Artificially spawning were applied to form five purebred populations and
20 crossbreed populations. There were significant differences in the body length
growth (SGR), survival (SR) and number of over-size fish (OS) average. The Egypt
female x Dutch male (ED) crossbreed showed the best performance with SGR, SR,
and OS of 9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%, respectively. The result also
revealed a correlation evidence between the OS and the SR; the higher OS, the
lower SR. This correlation tended to be weak at the sequentially nursing stages. Our
study suggested that the ED crossbreed has highly potential to improve seed quality
in the near future.
26

Keywords: African catfish, interpopulation crossbreed, growth variation, survival,


over-size fish

Pendahuluan

Di Indonesia, budidaya ikan lele sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan
menggunakan ikan lele lokal (C. batrachus). Pada awalnya, benih ikan lele
dikumpulkan dari alam dan dipelihara pada bak-bak di samping rumah. Seiring
dengan masuknya ikan lele Afrika (C. gariepinus) pada tahun 1985, masyarakat
beralih membudidayakan ikan lele introduksi ini karena memiliki keunggulan
komparatif dibandingkan dengan lele lokal. Ikan lele Afrika memiliki pertumbuhan
yang lebih cepat, daya tahan terhadap penyakit yang lebih tinggi dan dapat
dipijahkan secara buatan sehingga suplai benih lebih terjamin. Peralihan jenis ikan
lele yang dibudidayakan ini telah menyebabkan kegiatan budidaya lele di
masyarakat berkembang pesat sejak periode tahun 1990-an. Produksi ikan lele telah
meningkat dari 91 metrik ton pada tahun 2007 menjadi 337 metrik ton pada tahun
2011 atau sekitar 40 % per tahun (KKP 2013).
Sayangnya, perkembangan budidaya ikan lele yang pesat tidak diimbangi
dengan upaya penyediaan induk dan benih yang berkualitas unggul untuk
digunakan oleh masyarakat. Nurhidayat et al. (2003) sudah melaporkan adanya
tekanan inbreeding pada ikan lele yang diintroduksi ke Indonesia setelah 18 tahun
dibudidayakan dengan menggunakan penduga fluktuasi asimetri yang menandakan
terjadinya penurunan kualitas genetik. Penurunan pertumbuhan diduga berkaitan
dengan kurangnya upaya mempertahankan kualitas genetik dan kerusakan genetik
pada ikan yang dibudidayakan (Dunham et al. 2001) seperti yang dilaporkan pada
ikan lele Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).
Dengan mempertimbangkan dugaan terjadinya penurunan genetik tersebut,
upaya perbaikan mutu telah dilakukan sejak tahun 2000-an oleh lembaga
pemerintah perusahaan swasta, baik terhadap ikan lele Afrika yang diintroduksi
pada tahun 1985 maupun dengan melakukan kembali introduksi. Introduksi telah
dilakukan berturut-turut pada tahun 2002 dan tahun 2008 dari Thailand, tahun 2005
dari Mesir dan tahun 2011 dari Kenya dan Belanda. Kelima populasi ikan lele
Afrika tersebut diharapkan memiliki kelebihan secara genetik. Berdasarkan sejarah
domestikasi, populasi Sangkuriang, Thailand dan Belanda – khususnya populasi
Belanda, yang telah dibudidayakan pada lingkungan yang spesifik untuk rentang
waktu yang panjang dan sangat berbeda dengan lingkungan alaminya dibandingkan
dengan populasi Mesir dan Kenya – khususnya populasi Kenya, yang dapat
digolongkan sebagai populasi liar yang hidup di perairan alaminya. Secara umum,
perbedaan sejarah domestikasi ini diharapkan akan mengubah heterosigositas dan
ketahanan tubuh (fitness) pada setiap populasi.
Ketersediaan beragam populasi ikan lele Afrika tersebut dapat digunakan
untuk program pemuliaan ikan lele Afrika di Indonesia, baik dengan teknik seleksi
maupun dengan persilangan. Teknik persilangan telah digunakan pada beragam
spesies untuk mendapatkan performa yang lebih baik pada keturunannya, produksi
ikan steril, serta sebagai tahap awal pada penerapan teknik seleksi melalui
pembentukan populasi dasar (Bartley et al. 2001; Gjedrem 2005) seperti dilaporkan
27

pada ikan Heterobranchus longifiliis (Valenciennes 1840) (Nguenga et al. 2000),


ikan guppy Poecilia reticulata (Peters 1859) (Nakadate et al. 2003), ikan Chinook
salmon Oncorhynchus tshawytscha (Walbaum 1792) (Bryden et al. 2004), udang
biru Pasifik Penaeus stylirostris (Stimpson 1871) (Goyard et al. 2008), ikan silver
perch Bidyanus bidyanus (Mitchell 1838) (Guy et al. 2009), ikan mas Cyprinus
carpio (Linnaeus 1758) (Zak et al. 2007; Nielsen et al. 2010), dan ikan nila
Oreochromis niloticus (Linnaeus 1758) (Neira et al. 2016; Thoa et al. 2016).
Pada penelitian ini, kami melakukan evaluasi performa persilangan
interpopulasi lima populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia untuk
mendapatkan persilangan yang cocok untuk produksi yang lebih baik.

Bahan dan Metode

Induk ikan lele yang digunakan merupakan koleksi BBPBAT Sukabumi.


Induk terdiri atas lima populasi, yaitu: populasi Sangkuriang, populasi Mesir,
populasi Kenya, populasi Belanda dan populasi Thailand (Tabel 1). Induk jantan
dan induk betina masing-masing sebanyak sepuluh ekor setiap populasi
dipersiapkan untuk digunakan pada proses persilangan. Semua ikan yang
digunakan diberi penanda dengan menggunakan passive inductive transponder
(PIT) tag. Induk dipelihara dalam bak fiberglass dengan aliran resirkulasi di dalam
ruangan. Pakan yang diberikan berupa pakan buatan (kandungan protein 45%)
yang dilengkapi dengan serbuk Spirulina platensis (dosis 3% bobot pakan) dan
Vitamin E (dosis 100 mg/kg pakan). Pemberian pakan sebanyak 1,0% dari bobot
biomassa ikan dengan frekuensi satu kali per hari.
Setelah dipelihara selama tiga bulan, induk jantan dan induk betina masing-
masing sebanyak tiga ekor dari setiap populasi digunakan untuk persilangan
interpopulasi resiprokal. Fertilisasi dilakukan secara buatan untuk membentuk 20
populasi silangan dan lima populasi murni. Untuk memudahkan terminologi, huruf
pertama pada setiap populasi digunakan menandakan persilangan dengan notasi
betina-jantan, contohnya SM adalah populasi Sangkuriang betina x Mesir jantan,
sedangkan SS adalah populasi murni Sangkuriang dan MM adalah populasi murni
Mesir.
Larva umur empat hari dipelihara hingga umur 81 hari pada tiga tahap
pembenihan, yaitu 21, 28 dan 28 hari masing-masing pada tahap 1, tahap 2 dan
tahap 3. Pada tahap pertama, larva ditebar pada kepadatan 15 ekor per liter. Larva
diberi pakan cacing sutera selama 7 hari pertama, kombinasi cacing sutera dengan
pakan buatan berbentuk tepung kandungan protein 40% dari hari ke-8 sampai
dengan hari ke-12 dan dilanjutkan dengan pakan buatan sampai hari ke-21. Cacing
sutera diberikan secara ad-libitum sedangkan pakan buatan secara at-satiation
dengan frekuensi pemberian empat kali per hari. Sejak pemberian pakan buatan,
dilakukan penggantian air media pemeliharaan sebanyak 100% setiap dua hari.
Pada akhir pemeliharaan, ikan dipanen dan disortasi berdasarkan panjang tubuh.
Ikan over-size dibuang dan tidak digunakan pada tahap selanjutnya untuk
menghindari tingginya kanibalisme. Ikan over-size diidentifikasi berdasarkan
panjang tubuh sekitar dua kali dari rataan panjang tubuh populasi (Baras and
Jobling 2002).
28

Pada tahap kedua, ikan dipelihara dengan kepadatan 8 ekor per liter dalam
akuarium 100 L dan diberi pakan buatan (protein 40%, size 0 – 0.3 mm) dengan
frekuensi empat kali per hari secara at-satiation selama minggu pertama dilanjutkan
dengan pakan buatan (protein 39-40%, size 0.5 – 0.7 mm) selama tiga minggu
terakhir. Setelah empat minggu, ikan dipanen dan disortasi berdasarkan panjang
tubuh. Seperti pada tahap 1, ikan over-size dibuang dan tidak digunakan pada tahap
selanjutnya.
Pada tahap ketiga, ikan dipelihara dengan kepadatan 4 ekor per liter dalam
akuarium 100 L. Pakan buatan (protein 39-41%, size 0.5 – 0.7 mm) diberikan tiga
kali per hari secara at-satiation selama minggu pertama dilanjutkan dengan pakan
buatan (protein 39-41%, size 0.7 – 1.0 mm) hingga akhir pemeliharaan. Untuk
mempertahankan kualitas air yang layak untuk pertumbuhan ikan lele, penggantian
air diakukan setiap dua hari sebanyak 100% pada tahap 2 dan tahap 3.
Panjang total tubuh (TL), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan over-size
(OS) diukur dan dihitung setiap akhir tahap pemeliharaan. Untuk TL, sampel
sebanyak 30 ekor ikan diukur. Nilai SR dan OS dihitung dari setiap akuarium dan
digunakan untuk menghitung korelasinya pada setiap tahap pemeliharaan. Laju
pertumbuhan spesifik (SGR) dan koefisien variasi (CV) dihitung berdasarkan
Bhujel (2008). Nilai SGR (%) TL pada akhir pemeliharaan dihitung dengan rumus
100× (LnTL1 − LnTL0)/T, di mana TL1= panjang tubuh pada akhir pemeliharaan,
TL0= panjang tubuh pada umur 4 hari (mm), T= lama waktu pemeliharaan (hari).
Akumulatif SR dihitung dengan rumus 100 x (SR1% x SR2% x SR3), di mana
SR1%, SR2% dan SR3% masing-masing adalah kelangsungan hidup tahap 1, tahap
2 dan tahap 3. Nilai CV (%) dihitung dengan rumus 100 x (sd1 + sd2 + sd3) / (x1 +
x2 + x3), di mana sd dan x masing-masing adalah standar deviasi dan rataan panjang
total pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3. Rataan OS dihitung dengan rumus 100 x
(OS1 + OS2 + OS3) / (N1 + N2 + N3), di mana OS dan N masing-masing adalah
jumlah ikan over-size dan jumlah ikan yang hidup pada setiap akhir masa
pemeliharaan.
Distribusi normal diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data SR dan OS
yang tidak terdistribusi normal ditransformasi dengan log. Analisis varians satu
arah (ANOVA) digunakan untuk menganalisis pengaruh silangan terhadap setiap
karakter yang diamati, dan nilai tengah dibandingkan dengan menggunakan uji
Dunnet (P<0.05) dengan menggunakan populasi Sangkuriang sebagai kontrol.
Hubungan SR dan OS dihitung dengan uji Person.

Hasil

Laju pertumbuhan (9.22 – 9.69%) berbeda nyata antar silangan, namun


sebagian besar yaitu 19 silangan tidak berbeda nyata. Uji lebih lanjut menunjukkan
terdapat 12 silangan yang berbeda dengan populasi Sangkuriang (SS) sebagai
kontrol. Kelangsungan hidup (SR) pada semua populasi menunjukkan nilai yang
lebih bervariasi (7.10% – 63.98%) dibandingkan dengan laju pertumbuhan dan
kebanyakan mengindikasikan nilai yang sebanding atau lebih rendah dibandingkan
populasi SS. Hanya SR pada populasi MB yang berbeda nyata dengan populasi SS
sedangkan populasi lainnya tidak berbeda nyata (Tabel 10).
29

Tabel 10 Laju pertumbuhan (SGR), kelangsungan hidup akumulatif (SR),


koefisien variasi (CV) dan jumlah ikan over-size (OS) pada persilangan
interpopulasi ikan lele Afrika pada tahap pembenihan

Crossbreed SGR (%) SR (%) CV (%) OS (%)


SS (kontrol) 9.22±0.08 22.81±7.94 13.99±1.45 2.39±0.80
MM 9.53±0.01* 7.10±2.58 16.46±0.92 2.32±0.55
KK 9.36±0.05 9.22±3.45 12.97±0.97 2.86±1.26
BB 9.66±0.01* 11.58±1.97 15.01±1.26 1.75±0.39
TT 9.51±0.04* 12.85±5.09 14.23±0.64 2.03±0.22
SM 9.42±0.02 22.71±13.66 13.14±0.49 1.88±0.44
SK 9.38±0.03 32.03±7.41 14.72±0.43 0.97±0.07
SB 9.45±0.03 37.24±12.43 12.96±0.54 0.73±0.08
ST 9.58±0.08* 14.08±1.59 14.24±0.19 2.00±0.29
MS 9.31±0.04 13.52±1.89 13.41±0.20 2.09±0.44
MK 9.55±0.03* 30.36±5.60 14.86±1.03 0.90±0.07
MB 9.69±0.03* 63.98±6.57* 14.00±0.98 0.22±0.04*
MT 9.40±0.06 27.89±8.89 12.47±0.98 0.82±0.18
KS 9.40±0.02 41.36±4.65 15.74±1.12 0.78±0.31
KM 9.39±0.04 34.65±12.11 15.73±2.79 1.27±0.14
KB 9.53±0.12* 20.81±8.62 16.37±0.88 1.37±0.11
KT 9.37±0.02 26.41±8.21 16.27±0.76 0.98±0.07
BS 9.32±0.11 15.19±10.42 14.90±0.73 2.35±0.52
BM 9.62±0.06* 16.81±2.32 15.29±1.72 1.55±0.42
BK 9.47±0.04* 21.67±7.29 14.93±0.42 0.95±0.06
BT 9.64±0.04* 16.09±2.45 16.97±1.31 1.48±0.33
TS 9.44±0.06 21.24±5.64 13.01±0.57 1.54±0.15
TM 9.52±0.01* 13.97±3.03 15.30±0.93 1.60±0.17
TK 9.29±0.09 33.98±7.15 13.57±1.19 0.79±0.16
TB 9.66±0.07* 15.93±5.74 15.75±0.44 2.01±0.24
Keterangan:
Data disajikan dalam rataan ± SE dari tiga ulangan. Kelangsungan hidup dan jumlah ikan
over-size dihitung setelah transformasi log tapi disajikan secara numerik. * menunjukkan
perbedaan nyata (p<0.05) terhadap kontrol. S= Sangkuriang, M= Mesir, K= Kenya, B=
Belanda, T= Thailand. Notasi persilangan adalah betina-jantan.

Nilai koefisien variasi (CV) tidak berbeda nyata antar populasi. Nilai CV pada
kisaran 12.47% – 16.97% termasuk pada kisaran moderat menurut Benhaïm et al.
(2011). Meskipun keseragaman ukuran panjang tubuh termasuk moderat, pada
setiap populasi selalu terdapat individu over-size (OS) dibandingkan dengan ukuran
yang mendekati rataan populasi. Rataan nilai OS berbeda secara nyata di antara
populasi dengan kisaran 0.22% – 2.86%. Populasi MB menghasilkan OS terendah
dan berbeda nyata terhadap populasi SS sedangkan populasi lainnya tidak berbeda
nyata. Kisaran nilai OS pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 masing-masing adalah
0.08% – 2.25%, 0.32% – 5.76%, dan 0.02% – 6.61%. Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai OS berkorelasi dengan SR pada setiap tahap pemeliharaan dan
30

korelasi ini semakin menurun pada tahap pemeliharaan lebih lanjut, yaitu koefisien
korelasi (r) tahap 1= 0.930 (p<0.01), r tahap 2= 0.803 (p<0.01) dan r tahap 3= 0.776
(p<0.01). Secara akumulatif, korelasi OS dengan SR adalah r = 0.819 (p<0.01).

Pembahasan

Pada penelitian ini, persilangan interpopulasi menggunakan populasi ikan lele


Afrika yang memiliki sejarah introduksi berbeda ke Indonesia, yaitu asal negara,
waktu introduksi dan latar belakang sebagai populasi liar dan budidaya. Sumber
genetik yang beragam tersebut diharapkan memberikan kontribusi untuk
peningkatan variasi genetik ikan lele sehingga dapat memberikan pengaruh positif
terhadap perbaikan pertumbuhan dan fitness lainnya (Bartley et al. 2001), seperti
yang telah dilaporkan pada ikan nila (Bentsen et al. 1998) dan udang galah
Macrobrachium rosenbergii (Thanh et al. 2010). Hasil penelitian ini
mengindikasikan adanya perbaikan pertumbuhan, kelangsungan hidup dan jumlah
ikan over-size pada populasi persilangan dibandingkan dengan populasi
Sangkuriang (SS) dan populasi galur murni lainnya.
Populasi Mesir-Belanda (MB) menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan
hidup tertinggi, dan jumlah ikan over-size terendah. Hal ini menunjukkan
konsistensi populasi MB dibandingkan dengan populasi SS. Sedangkan diantara
populasi silangan lainnya, sebagian besar menunjukkan tidak terdapat perbedaan
pada parameter yang diamati. Persilangan ikan lele Afrika yang diintroduksi ke
Thailand tidak menunjukkan perbedaan pada bobot tubuh, panjang tubuh dan
kelangsungan hidup pada umur 5 minggu dan 14 minggu (Wachirachaikarn et al.
2009). Peneliti tersebut menggunakan ikan lele Afrika yang sudah dibudidayakan
sejak tahun 1987 tanpa ada introduksi baru. Hal ini berbeda dengan populasi ikan
lele Afrika di Indonesia yang digunakan pada penelitian ini. Populasi MB
menunjukkan hasil terbaik karena merupakan persilangan antara populasi liar yang
baru didomestikasi ke dalam sistem budidaya (populasi Mesir) dengan populasi
yang sudah diperbaiki secara genetik (populasi Belanda). Populasi Kenya sebagai
populasi liar, belum cukup terdomestikasi secara baik, dan ini memberikan
kontribusi terhadap performanya yang rendah yang diindikasikan dengan
pertumbuhan dan kelangsungan yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi
galur murni lainnya. Sementara itu, populasi Thailand dan Sangkuriang, meskipun
sudah terdomestikasi dengan baik, namun diduga belum terseleksi dengan baik
seperti pada populasi Belanda. Bagaimanapun, beberapa laporan menunjukkan
persilangan ikan populasi budidaya dengan populasi alami tidak selalu
menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan kedua tetuanya. Persilangan
populasi liar dengan budidaya menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan populasi galur murninya pada udang galah (Thanh et al.
2010), biomassa populasi budidaya lebih tinggi dibandingkan dengan populasi liar
dan persilangannya pada ikan brook trout Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011),
dan populasi liar menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dibandingkan populasi
budidaya pada ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004).
Populasi MB menunjukkan kelangsungan hidup akumulatif paling tinggi dan
berbeda nyata dengan populasi SS. Secara umum, kelangsungan hidup pada
penelitian <30% dan terdapat sembilan populasi yang menghasilkan kelangsungan
31

hidup lebih baik daripada populasi SS. Kelangsungan hidup hasil persilangan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kedua populasi induknya ditunjukkan pada udang
biru Pasifik (Goyard et al. 2008) dan ikan mas (Nielsen et al. 2010), tidak terdapat
perbedaan pada ikan Rohu carp Labeo rohita (Gjerde et al. 2002) dan ikan Chinook
salmon (Bryden et al. 2004), dan lebih rendah pada ikan salmon pink Oncorhynchus
gorbuscha (Gilk et al. 2004).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan performa pada
persilangan resiprok, yaitu persilangan dua populasi dengan skema jantan atau
betina yang berbeda. Populasi BM menghasilkan kelangsungan hidup dan ikan
over-size yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi MB. Hal yang sama
juga ditemukan pada laju pertumbuhan populasi ST, MK dan TM dibandingkan
dengan persilangan resiproknya, tetapi tidak ditemukan pada populasi persilangan
lainnya. Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu
populasi berperan sebagai jantan atau betina, dapat menghasilkan perbedaan
performa, seperti yang sudah dilaporkan pada persilangan ikan nila (Lutz et al.
2010), ikan brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan ikan blunt
snout bream Megalobrama amblycephala (Luo et al. 2014). Pengaruh resiprok ini
diduga berkaitan dengan pengaruh parental dan keterkaitan genetik antara gen seks
dengan gen performa (Crespel et al. 2012).
Kelangsungan hidup ikan pada tahap 1 dan tahap 3 lebih tinggi dibandingkan
dengan tahap 2. Kelangsungan hidup yang rendah pada tahap 2 sejalan dengan
jumlah ikan over-size yang tinggi. Meskipun dinamika kanibalisme pada ikan lele
Afrika lebih banyak terjadi pada umur dua minggu pertama (Adamek et al. 2011)
namun pemeliharaan larva pada tahap 1 dan tahap 3 pada penelitian ini telah
berhasil mempertahankan kelangsungan hidup >50%. Pada penelitian lain
menggunakan sistem kolam plastik di luar ruangan, kelangsungan hidup selama
pemeliharaan larva 21 hari adalah 18-42% (Sunarma et al. 2013). Pada tahap 2,
pemeliharaan selama 4 minggu atau pemeliharaan akumulatif selama 7 minggu,
telah menyebabkan terjadinya penurunan kelangsungan hidup akibat kanibalisme
tinggi karena tidak teramati adanya kematian ikan. Pada pemeliharaan selama 7
minggu, kontribusi kematian akibat kanibalisme dapat mencapai 50 – 90%
(Adamek et al. 2011). Pada tahap 3, pemeliharaan selama 4 minggu atau
pemeliharaan akumulatif 11 minggu, kelangsungan hidup dapat meningkat kembali
karena kanibalisme sudah semakin menurun. Pada ikan lele Afrika ukuran bobot
sekitar 10 g/ekor, rasio panjang predator dengan mangsa dapat mencapai 2.18
(Baras & Jobling 2002).
Hubungan antara tingkat kanibalisme dengan kelangsungan hidup dapat
dilihat dari adanya korelasi yang kuat antara jumlah ikan over-size dengan
kelangsungan hidup. Makin banyak ikan over-size, makin rendah tingkat
kelangsungan hidup. Namun demikian, jumlah ikan over-size tidak terlihat pada
koefisien keragaman pada populasi ikan bersangkutan. Hal ini karena ikan over-
size lebih mampu menghindar ketika dilakukan pengambilan sampel. Jumlah ikan
over-size baru dapat diketahui ketika dilakukan penyortiran pada saat dilakukan
pemanenan. Ikan over-size dapat timbul akibat sifat agresif dan kanibalisme yang
secara alamiah dimiliki ikan lele Afrika. Sifat agresif atau perilaku menyerang
dapat menyebabkan ikan lain terluka dan menjadi lemah yang kemudian
mendorong terjadinya kanibalisme (Mukai et al. 2013). Menurut Baras & Jobling
(2002), pada tahap larva, ikan lele Afrika dapat memangsa sesamanya yang
32

memiliki ukuran sama. Larva yang menjadi predator akan berkembang lebih cepat
dibanding yang lainnya sehingga dengan ukuran yang lebih besar dapat
meningkatkan peluang untuk memangsa kembali ikan lainnya dan lebih agresif
untuk bersaing mendapatkan makanan.
Nilai CV panjang total pada penelitian ini, yaitu 12.47% – 16.97%, termasuk
kisaran moderat berdasarkan Benhaïm et al. (2011). Nilai CV bobot tubuh pada
ikan lele Afrika dapat mencapai 13-26% pada umur 15 hari (Baras & d’Almeida
2001) dan 41-51% pada pemeliharaan larva selama tujuh minggu (Adamek et al.
2011). Volckaert & Hellemans (1999) melaporkan nilai CV yang rendah pada bobot
tubh ikan lele umur satu dan sembilan bulan, yaitu masing-masing 6.7-11.9 dan 4.5-
8.1 dengan melakukan pengambilan ikan over-size untuk mengurangi kanibalisme.
Secara umum, nilai CV fenotipe pada ikan adalah 20–30% (Gjedrem & Baranski
2009). Bagaimanapun, nilai CV tidak cukup untuk dijadikan gambaran adanya
keragaman ukuran pada ikan yang memiliki sifat kanibalisme (Appelbaum &
Kamler 2000)
Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan populasi
galur murni Indonesia lebih rendah dibandingkan populasi galur murni lainnya,
baik populasi budidaya, yaitu Belanda dan Thailand, ataupun populasi liar, yaitu
Mesir dan Kenya. Hal ini semakin memperjelas adanya penurunan mutu genetik
pada ikan lele Afrika yang saat ini digunakan di Indonesia, seperti juga terjadi pada
tilapia yang dibudidayakan di Asia ((Bentsen et al. 1998). Populasi Belanda tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan populasi lainnya diduga berkaitan dengan proses
seleksi yang sudah dilaksanakan dengan baik pada populasi tersebut, seperti telah
dilaporkan pada ikan brook trout (Granier et al. 2011) dan Atlantik salmon Salmo
salar (Morris et al. 2011).

Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa persilangan interpopulasi antara populasi


Mesir betina dengan populasi Belanda jantan telah menghasilkan populasi hibrida
yang memiliki laju pertumbuhan, kelangsungan hidup dan jumlah ikan over-size
lebih baik dibandingkan dengan populasi Sangkuriang sebagai kontrol. Namun
demikian, secara umum, performa fenotipe pada tahap pembenihan bervariasi
relatif tinggi dan sebagian besar tidak berbeda nyata antar silangan.
5 PERFORMA DAN HETEROSIS PADA PERSILANGAN
INTERPOPULASI IKAN LELE PADA TAHAP
PEMBESARAN

Abstrak

Penelitian ini mengevaluasi performa dan heterosis persilangan interpopulasi ikan


lele Afrika Clarias gariepinus yang memiliki sejarah introduksi berbeda di
Indonesia. Lima populasi introduksi, yaitu populasi Sangkuriang, populasi Mesir,
populasi Kenya, populasi Belanda dan populasi Thailand, disilangkan untuk
membentuk lima populasi murni dan 20 populasi silangan. Performa dan heterosis
dihitung pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa, konversi pakan dan laju
pertumbuhan pada tahap pembesaran (lama pemeliharaan 13 minggu). Populasi
Belanda betina x Thailand jantan (BT) secara konsisten menunjukkan performa
yang lebih baik dibandingkan populasi lainnya, yaitu bobot tubuh (241.39 g) dan
kelangsungan hidup (93.67%), biomassa (22.59 kg), konversi pakan (1.01) dan laju
pertumbuhan (3.56%). Di antara 20 populasi silangan, hanya populasi BT yang
menghasilkan mid-parent dan best-parent heterosis positif pada semua karakter
yang diamati. Dibandingkan dengan menggunakan populasi galur murni yang
terbaik, populasi BT dapat meningkatkan produksi biomassa hingga 36% dan
menurunkan konversi pakan hingga 10%. Sedangkan dibandingkan dengan
populasi Sangkuriang, keunggulan populasi BT pada bobot tubuh, kelangsungan
hidup, biomassa dan konversi pakan masing-masing adalah 145%, 21%, 202% dan
5.5%. Dari hasil ini menunjukkan potensi pemanfaatan populasi BT dalam produksi
akuakultur.

Kata Kunci: Lele Afrika, persilangan interpopulasi, performa, heterosis

Performance and Heterosis of Interpopulation Crossbreeding among


Different Introduced History of African Catfish Clarias gariepinus (Burchell)
and Implication to Indonesia Aquaculture.
Abstract – This study examined performance and heterosis of interpopulation
crossbreed of different introduced history of African catfish Clarias gariepinus in
Indonesia. Five populations, namely, Sangkuriang population, Egypt population,
Kenya population, Netherlands population and Thailand population, were
reciprocally crossbreed to form five purebred and 20 crossbreed populations.
Performance and heterosis calculated on body weight, survival, biomass, feed
conversion and growth rate at growing up stage (13 weeks rearing). Netherlands
female x Thailand male (BT) population achieved consistently better performance
than other populations, i.e. body weight (241.39 g), survival (93.67%), biomass
(22.59 kg), feed conversion (1.01) and growth rate (3.56%). Among 20 crossbreed
populations, only BT population obtained positive mid-parent and best-parent
heterosis on all observed traits. Compared to use best purebred populations, BT
population could be increase biomass production up to 36% and decrease feed
conversion up to 10%. And, compared to Sangkuriang population, prominent of BT
population on body weight, survival, biomass and feed conversion were 145%, 21%,
34

202% dan 5.5%, respectively. Our study showed potential to exploit BT population
in aquaculture production.

Keywords: African catfish, interpopulation crossbreed, performance, heterosis

Pendahuluan

Hibridisasi dapat terjadi baik akibat campur tangan manusia ataupun secara
alamiah. Mallet (2005) memperkirakan hibridisasi telah terjadi setidaknya pada
sekitar 25% spesies tanaman dan 10% spesies hewan. Hibridisasi ikan, baik untuk
kepentingan akuakultur ataupun hanya untuk menguji performa persilangan, telah
dilakukan setidaknya pada 35 persilangan spesies dalam 17 famili (Bartley et al.
2001). Untuk kepentingan akuakultur, hibridisasi merupakan salah satu cara
perbaikan mutu genetik yang dapat menghasilkan ikan unggul dalam waktu yang
singkat melalui peningkatan heterosigositas dan eksploitasi variasi genetik dominan
(Guy et al. 2009). Hibridisasi dilakukan untuk penggabungan karakter yang
dikehendaki dari populasi/spesies berbeda ke dalam suatu populasi/spesies tunggal
dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki performa yang lebih
baik dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau heterosis), baik laju
pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit, produksi ikan steril, produksi kelamin
tunggal dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya
(Bartley et al. 2001; Hulata 2001; Vandeputte et al. 2014).
Hibridisasi dapat terjadi antar populasi/subpopulasi dalam satu spesies yang
sama (interpopulation crossbreeding) atau antar genus/famili yang berbeda
(interspecific hybridization). Sebagai upaya perbaikan mutu genetik, persilangan
hibridisasi ikan dapat menghasilkan heterosis pada hibrida-F1, meskipun belum
tentu dapat dicapai pada setiap kasus atau bahkan menghasilkan anakan yang
kurang baik (outbreeding depression) (Dunham et al. 2001; Whitlock et al. 2013)
sehingga diperlukan identifikasi secara eksperimental untuk menentukan
kombinasi heterosis spesifik (Hulata 2001).
Munculnya heterosis pada hibridisasi bergantung pada variasi genetik di
dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang
digunakan (Goyard et al. 2008), skema persilangan dimana satu populasi berlaku
hanya sebagai jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011) dan asal induk yang
digunakan dengan introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al. 2004).
Parental yang memiliki sejarah inbreeding dapat menyebabkan heterosis tidak
berhasil didapatkan, seperti pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).
Di Indonesia, sebagai spesies introduksi, produksi ikan lele Afrika telah
meningkat secara pesat dari 91 000 ton pada tahun 2007 menjadi 337 000 ton pada
tahun 2011 atau sekitar 40 % per tahun (KKP 2013). Jumlah produksi ini telah
menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar ikan lele di dunia. Berdasarkan
sejarah introduksinya, setidaknya terdapat lima populasi ikan lele, yaitu populasi
Sangkuriang (hasil pemuliaan dari populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985),
populasi Thailand yang diintroduksi tahun 2002, populasi Mesir tahun 2007,
populasi Belanda tahun 2011 dan populasi Kenya tahun 2011 (Tabel 1). Tiga
populasi, yaitu Sangkuriang, Belanda dan Thailand, merupakan populasi budidaya,
35

sedangkan dua populasi lainnya, yaitu Mesir dan Kenya, merupakan populasi alami
yang baru diintroduksi ke dalam sistem budidaya. Ikan lele Afrika diintroduksi dan
sudah dikembangkan di Taiwan sejak tahun 1975 (Huang et al. 2005). Di Indonesia,
populasi Taiwan ini dikenal sebagai ikan lele dumbo sebelum kemudian diganti
oleh populasi ikan lele Sangkuriang pada tahun 2004. Populasi Belanda
diintroduksi dari Afrika Selatan 1974 (Holcik 1991) dan sudah diseleksi massal
(Fleuren 2008). Populasi Thailand berawal dari populasi introduksi dari Afrika
Tengah ke Vietnam tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett 2009).
Ikan lele populasi dumbo diindikasikan telah mengalami penurunan
pertumbuhan akibat tekanan inbreeding (Nurhidayat et al. 2003). Meskipun
perbaikan genetik telah dilakukan, namun akibat populasi parental awal dan
penggunaan induk pada pemijahan selanjutnya yang terbatas, dapat mendorong
terjadinya kehilangan keragaman genetik dan akumulasi inbreeding (Imron et al.
2011). Sebagai upaya perbaikan mutu genetik lebih lanjut, sejauh ini belum ada
laporan mengenai persilangan antar populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke
Indonesia. Persilangan dengan memanfaatkan dua stok induk inbreed yang berbeda
dapat memperbaiki performa F1-hibrid (Gjøen & Bentsen 1997; Goyard et al.
2008) sedangkan studi oleh Thanh et al. (2009) menunjukkan persilangan antara
populasi budidaya dengan populasi liar dapat menghasilkan performa F1 yang lebih
baik. Pada penelitian ini dievaluasi performa dan heterosis persilangan
interpopulasi ikan lele Afrika introduksi dengan menggunakan populasi budidaya,
yaitu populasi Sangkuriang, populasi Belanda dan populasi Thailand, dan populasi
liar, yaitu populasi Mesir dan populasi Kenya.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar


(BBPBAT), Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, yang berlokasi di Sukabumi, Jawa Barat. Induk ikan yang digunakan
sebanyak lima populasi merupakan milik BBPBAT, yaitu: populasi Sangkuriang,
Mesir, Kenya, Belanda dan Thailand. Induk jantan dan induk betina masing-masing
sebanyak tiga ekor dari setiap populasi digunakan untuk proses pemijahan secara
buatan dengan mengikuti prosedur pada Sunarma et al. (2013). Pematangan dan
ovulasi oosit pada induk betina dirangsang dengan suntikan tunggal ovaprim 0.2
mL/kg induk. Cairan sperma dicampurkan dengan telur sehingga terbentuk lima
populasi murni dan 20 populasi silangan masing-masing dalam tiga ulangan induk
yang berbeda. Semua populasi diberi notasi betina-jantan, sebagai contoh SS
merupakan populasi murni Sangkuriang, BB populasi murni Belanda, ST populasi
silangan Sangkuriang betina x Thailand jantan, MK populasi silangan Mesir betina
x Kenya jantan.
Larva umur empat hari dari setiap populasi dipelihara dalam akuarium 100 L
selama 11 minggu. Larva diberi pakan cacing sutera pada minggu ke-1 dilanjutkan
dengan kombinasi cacing sutera dengan pakan buatan kandungan protein 40% pada
minggu ke-2 dan pakan buatan kandungan protein 39-41% pada minggu ke-3
sampai minggu ke-11. Cacing sutera diberikan secara ad-libitum sedangkan pakan
buatan secara at-satiation dengan frekuensi pemberian empat kali per hari.
Kepadatan ikan pada penebaran awal adalah 15 ekor per liter, kemudian dikurangi
36

secara gradual yaitu pada minggu ke-4 menjadi 8 ekor per liter dan pada minggu
ke-8 menjadi 4 ekor per liter. Pada saat pengurangan kepadatan, benih dengan
ukuran mendekati rataan famili dipelihara lebih lanjut. Pada minggu ke-11, ikan
dari setiap populasi dipanen dan disortasi untuk kemudian digunakan pada kegiatan
penelitian ini.
Ikan dari setiap populasi dipelihara di dalam hapa dengan kepadatan 100 ekor
per hapa selama 13 minggu. Hapa dengan ukuran 1.5x1.0x1.0 m2 (kedalaman air
dalam hapa 0.8 m) sebanyak 75 buah dipasang di kolam ukuran 300 m2 (kedalaman
air 1.0-1.2 m). Ikan diberi pakan buatan kandungan protein 30-31% secara at-
satiation dengan frekuensi pemberian tiga kali per hari. Selama pemeliharaan, tidak
dilakukan sortasi ukuran ikan.
Panjang total dan bobot ikan diukur pada sampel sebanyak 30 ekor ikan pada
akhir tahap pembesaran. Kelangsungan hidup dihitung berdasarkan jumlah ikan
pada awal dan akhir setiap tahap. Biomassa ikan diukur dari keseluruhan ikan yang
hidup pada akhir pemeliharaan.
Laju pertumbuhan (SGR) dihitung sebagai berikut: 100× (LnBWt −
LnBWo)/T, di mana BWt= bobot ikan pada umur t hari, BWo= bobot ikan pada
umur o hari, T= periode pemeliharaan dalam hari (Bhujel 2008). Heterosis dihitung
baik terhadap performa rataan kedua tetuanya (mid-parent heterosis, MPH) maupun
terhadap performa terbaik pada salah satu tetua (best-parent heterosis, BPH)
(Gjedrem & Baranski 2009). MPH dan BPH dihitung sebagai berikut: MPH (%) =
((performa silangan – rataan performa tetua) / rataan performa tetua) x 100, dan
BPH (%) = ((performa silangan – performa tetua terbaik) / performa tetua terbaik)
x 100 (Guy et al. 2009).
Normalitas data diuji dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Transformasi log digunakan untuk data karakter yang tidak terdistribusi normal.
Pengaruh populasi silangan terhadap karakter diuji dengan menggunakan ANOVA.
Bila menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05), dilakukan uji perbedaan
antar populasi dengan menggunakan uji lanjut Tukey. Data heterosis diuji dengan
ANOVA (p<0.05) dan uji lanjut Tukey bila data terdistribusi normal atau dengan
perbandingan Kruskal-Wallis bila tidak terdistribusi normal. Semua analisis
dijalankan pada program Minitab.

Hasil

Bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa dan laju pertumbuhan berbeda


secara signifikan antar populasi silangan, sedangkan pada konversi pakan tidak
berbeda secara nyata. Populasi BT menunjukkan bobot tubuh (241.39 g) lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi lainnya meskipun tidak berbeda nyata dengan
populasi TB (225.05 g), MK (208.27 g), BB (196.87 g), BM (189.55 g), TT (186.86
g), MT (184.78 g), MB (168.73 g) dan BK (156.87 g). Populasi BT menghasilkan
kelangsungan hidup (93.67%) lebih tinggi dibanding populasi lainnya dan berbeda
nyata dengan populasi BS (39.00 %), TK (41.00 %), KB (42.67 %), BM (45.00 %),
KT (50.00 %), BK (52.00 %), TM (53.55 %), MS (53.33 %), TB (58.33 %) dan
MM (60.00 %). Populasi BT mencapai biomassa tertinggi (22.59 kg) meskipun
tidak berbeda secara signifikan dengan populasi TT (17.47 kg), MK (14.88 kg), TB
(13.20 kg), MB (12.42 kg), BB (12.74 kg), SM (12.38 kg), MT (12.03 kg), BM
37

Tabel 11 Performa karakter pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika tahap
pembesaran

Silangan BW (g) SR (%) BIO (kg) FCR SGR (%)


SS 100.11±11.21def 78.00±6.03abc 7.93±1.51bcdefg 1.10±0.15a 3.30±0.05abc
BB 196.87±19.61abc 63.67±5.93abcdef 12.72±2.42abcde 1.24±0.04a 3.14±0.12abc
TT 186.86±31.27abcd 93.00±1.53ab 17.47±3.24ab 1.17±0.19a 3.46±0.28abc
MM 132.51±3.05bcde 60.00±6.35bcdef 7.91±0.67bcdefg 1.01±0.05a 2.91±0.06abcd
KK 36.66±2.51f 75.67±2.33abcd 2.76±0.11g 1.18±0.06a 1.91±0.06d

SB 101.49±22.94def 67.67±1.33abcdef 6.89±1.63bcdefg 1.25±0.05a 2.63±0.16abcd


ST 101.97±34.14def 75.33±2.19abcd 7.75±2.69bcdefg 1.14±0.09a 2.40±0.49cd
BS 77.06±7.84ef 39.00±3.06f 2.97±0.20fg 1.23±0.05a 2.69±0.36abcd
BT 241.39±8.14a 93.67±1.45 a
22.59±0.52a 1.01±0.02a 3.56±0.23abc
TS 124.25±13.54bcdef 63.33±1.86abcdef 7.82±0.66bcdefg 1.23±0.16a 2.97±0.05abcd
TB 225.05±10.81a 58.33±5.24cdef 13.20±1.62abcd 1.16±0.05a 3.28±0.20abc

MK 208.27±6.64ab 71.33±9.35abcdef 14.88±2.09abc 1.11±0.09a 3.70±0.31a


cdef
KM 105.42±25.53 78.33±6.01abc 8.22±1.90bcdefg 1.10±0.04a 3.15±0.30abc

SM 131.52±18.65bcde 93.67±4.48a 12.38±2.01abcde 1.10±0.09a 3.12±0.19abc


SK 107.69±25.98cdef 63.33±1.86abcdef 6.89±1.83bcdefg 1.09±0.13a 3.11±0.25abcd
MS 132.54±15.02bcde 53.33±1.45cdef 7.10±0.94bcdefg 1.08±0.07a 3.43±0.17abc
MB 168.73±10.13abcde 74.33±7.33abcde 12.42±0.68abcde 1.05±0.05a 2.78±0.03abcd
MT 184.78±10.80abcd 66.00±7.51abcdef 12.03±0.69abcde 1.09±0.08a 3.62±0.20ab
KS 97.21±1.95def 62.33±7.97abcdef 6.08±0.87bcdefg 0.97±0.14a 2.92±0.04abcd
def
KB 103.92±23.70 42.67±7.62def 4.79±1.89fg 1.12±0.08a 2.50±0.43bcd
KT 132.50±8.29bcde 50.00±15.04cdef 6.60±1.89cdefg 1.10±0.15a 3.19±0.17abc
BM 189.55±7.31abcd 45.00±8.66cdef 8.63±1.95abcdef 1.17±0.07a 3.14±0.11abc
BK 156.87±8.56abcde 52.00±7.09cdef 8.13±1.10abcdef 1.13±0.17a 3.22±0.04abc
TM 87.14±14.63ef 53.33±2.73cdef 4.63±0.81efg 1.13±0.16a 2.48±0.19bcd
bcdef
TK 117.83±19.70 41.00±5.13ef 4.65±0.37defg 1.02±0.15a 3.37±0.04abc
Keterangan:
Data disajikan sebagai nilai rataan ± SE, dari tiga ulangan. BIO dianalisis setelah
transformasi log tapi disajikan dalam numerik. Superskrip berbeda pada kolom sama
menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). BW= Bobot tubuh, SR= Kelangsungan
hidup, BIO= Bobot biomassa, FCR= Konversi pakan, SGR= Laju pertumbuhan. S=
Sangkuriang, M= Mesir, K= Kenya, B= Belanda, T= Thailand. Notasi silangan adalah
betina – jantan.

(8.63 kg) dan BK (8.13 kg). Laju pertumbuhan tertinggi pada populasi MK (3.70 %)
tapi hanya berbeda nyata dengan populasi KB (2.50 %), TM (2.48 %), ST (2.40 %)
dan KK (1.91 %) (Tabel 11).
Heterosis, baik mid-parent (MPH) maupun best-parent heterosis (BPH),
dihasilkan pada penelitian ini. MPH positif pada bobot tubuh, kelangsungan hidup,
biomassa, konversi pakan dan laju pertumbuhan masing-masing diperoleh pada 14,
5, 8, 9 dan 13 silangan. Sebagian besar MPH positif dapat dikategorikan sebagai
heterosis moderat-tinggi, yaitu >10%, kecuali pada konversi pakan. Secara umum,
MPH di dalam populasi bervariasi tinggi namun perbedaan signifikan antar
38

Tabel 12 Mid-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika


tahap pembesaran
Silangan BW SR BIO7 FCR SGR
SB -31.01±16.73bc -4.06±3.66abcde -32.61±15.35 -7.53±6.83a -18.10±6.75de
ST -31.51±15.82bc -11.55±5.28abcde -40.88±14.54 -4.43±17.76a -29.86±11.65e
BS -47.93±5.98c -45.07±1.68e -70.85±3.00 -5.89±6.88a -16.84±8.93cde
bc
BT 27.73±12.59 19.71±2.58ab 52.31±15.23 15.89±4.64a 7.76±1.33bcde
bc
TS -9.98±18.40 -25.91±0.23bcde -35.34±13.43 -9.10±6.30 -11.87±2.46bcde
a

TB 19.67±15.21bc -25.01±8.70bcde -10.06±17.12 3.09±6.40a 0.37±10.67bcde

MK 146.28±7.60a 5.19±13.19abcd 183.11±47.51 -1.00±7.72a 53.52±13.17a


KM 25.72±32.68bc 15.23±5.78abc 53.93±35.83 -0.61±5.29a 30.30±10.81ab

SM 14.20±18.65bc 35.64±4.64a 56.28±23.74 -4.67±5.84a 0.31±4.89bcde


SK 66.78±52.95ab -17.18±4.58bcde 43.03±51.92 4.78±6.26a 19.21±8.29abcd
MS 16.11±18.54bc -22.59±3.42bcde -8.11±17.07 -3.05±3.10a 10.40±3.98abcde
MB 3.66±11.30bc 20.01±7.42ab 22.93±12.48 7.25±3.95a -7.71±3.69bcde
MT 17.18±10.51ab -13.72±9.24abcde -1.71±13.06 -0.51±5.22a 13.46±2.84abcd
KS 44.80±15.08abc -17.58±14.27bcde 20.27±26.10 15.87±5.57a 11.74±0.64abcde
KB -8.66±22.82bc -37.15±14.66de -31.04±30.95 6.94±8.10a -1.55±15.71bcde
KT 24.96±22.45bc -40.53±18.15de -34.66±17.73 7.14±4.14a 19.51±10.73abcd
BM 15.30±1.88bc -27.22±12.74bcde -17.17±13.02 -3.41±6.45a 3.97±1.20bcde
BK 34.84±3.15bc -23.80±14.66bcde 10.30±23.63 6.23±14.76 a
27.62±2.95ab
TM -43.00±13.29bc -30.18±2.91cde -60.49±10.57 -4.40±12.80 a
-21.21±9.25de
TK 12.72±28.27bc -51.34±6.21e -50.67±10.24 13.59±5.24 a
26.02±6.58abc
Keterangan:
Data disajikan sebagai nilai rataan ± SE, dari tiga ulangan. BIO dianalisis setelah
transformasi log tapi disajikan dalam numerik. Superskrip berbeda pada kolom sama
menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). BW= Bobot tubuh, SR= Kelangsungan hidup,
BIO= Bobot biomassa, FCR= Konversi pakan, SGR= Laju pertumbuhan. S= Sangkuriang,
M= Mesir, K= Kenya, B= Belanda, T= Thailand. Notasi silangan adalah betina – jantan.

populasi masih didapatkan pada semua karakter kecuali konversi pakan. Pada MPH
bobot tubuh (kisaran 146.28 – -47.93%), populasi MK (146.28%) berbeda
signifikan dengan populasi lainnya, kecuali populasi SK (66.78%) dan KS
(44.80%). Pada MPH kelangsungan hidup (kisaran 35.64 – -51.34), populasi SM
(35.64%) tidak berbeda dengan MB (20.01%), BT (19.71%), KM (15.23%), MK
(5.19%), SB (-4.06%), ST (-11.55%) dan MT (-13.72%) tetapi berbeda signifikan
dengan populasi lainnya. Pada MPH biomassa (kisaran 183.11 – -70.85), perbedaan
signifikan diperoleh antara populasi MK (183.11) dengan BS (-70.85), TM (-60.49),
TK (-50.67), ST (-40.88), dan TS (-40.88) dan tidak berbeda dengan populasi
lainnya. Pada MPH laju pertumbuhan (53.52 – -29.86), populasi MK (53.52%)
berbeda signifikan dengan populasi BT (7.76), BM (3.97), TB (0.37), SM (0.31),
KB (-1.55), MB (-7.71), TS (-11.87), BS (-16.84), SB (-18.10), TM (-21.21) dan
ST (-29.86) (Tabel 12).
BPH positif pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa, konversi pakan
dan laju pertumbuhan masing-masing diperoleh pada 6, 4, 6, 6 dan 7 silangan. Di
antara BPH positif, tidak dapat perbedaan signifikan pada BPH bobot tubuh (57.12
– 0.62%), kelangsungan hidup (20.92 – 0.77%), biomassa (91.69 – 0.28%),
konversi pakan (12.25 – 3.76%) dan laju pertumbuhan (26.92 – 0.26%) (Tabel 13).
39

Tabel 13 Best-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika tahap
Pembesaran
Silangan BW SR BIO FCR SGR
bc
SB -45.52±16.99 -12.42±5.52abcde -39.87±20.62 -17.37±14.06 -20.30±6.05b
a
bc
ST -48.09±8.52 -18.97±2.50abcde -57.88±7.02 -6.60±15.59a -31.33±10.43b
c
BS -60.40±4.49 -49.69±4.30de -75.62±2.95 -16.04±15.46a -18.81±9.61b
ab
BT 25.72±15.59 0.77±2.38abc 36.43±19.30 10.08±11.79a 3.10±2.37ab
bc
TS -29.67±14.58 -31.85±2.44bcde -52.02±9.92 -12.44±8.72a -13.16±5.92ab
TB 17.54±16.54abc -37.38±4.94bcde -21.28±9.92 -3.55±13.75a -3.20±13.85ab

MK 57.12±2.12a -5.98±10.78abcd 91.69±31.94 -8.66±5.27a 26.92±8.23a


abc
KM -20.08±19.86 4.22±11.42ab 3.48±22.67 -8.48±3.93a 8.21±10.03ab

SM -0.20±16.01abc 20.92±7.31a 66.03±38.46 -8.33±4.63a -5.67±4.77ab


SK 15.91±37.89abc -17.80±6.87abcde 0.28±38.11 -0.44±11.43a -5.78±7.19ab
MS 0.62±13.35abc -30.66±6.37bcde -0.49±26.28 -6.71±1.74a 3.81±3.85ab
MB -11.67±13.45abc 16.77±3.59a 2.46±13.38 -3.21±2.73a -10.94±4.18ab
MT 3.49±15.10abc -28.94±8.51bcde -27.02±12.28 -7.04±4.07a 4.88±3.11ab
KS -0.14±12.27abc -18.09±15.16abcde -16.26±20.55 12.25±2.37a -11.72±1.90ab
KB -45.06±14.50bc -42.90±12.06cde -56.33±20.22 3.76±10.08a -21.20±10.58b
KT -24.54±14.30abc -46.58±15.45de -61.97±10.43 5.30±5.10a -5.91±12.20ab
BM -2.56±5.90abc -30.56±7.66bcde -32.57±7.62 -15.84±11.42a 0.26±0.90ab
BK -19.63±3.49abc -30.55±11.85bcde -31.09±16.50 3.83±13.48a 2.95±3.72ab
TM -48.64±14.18bc -42.63±3.02cde -70.39±8.73 -11.41±13.53a -26.60±10.82b
TK -31.73±17.88bc -55.91±5.57e -71.03±6.38 12.25±0.88a -1.09±9.31ab
Keterangan:
Data disajikan sebagai nilai rataan ± SE, dari tiga ulangan. BIO dianalisis setelah
transformasi log tapi disajikan dalam numerik. Superskrip berbeda pada kolom sama
menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). BW= Bobot tubuh, SR= Kelangsungan
hidup, BIO= Bobot biomassa, FCR= Konversi pakan, SGR= Laju pertumbuhan. S=
Sangkuriang, M= Mesir, K= Kenya, B= Belanda, T= Thailand. Notasi silangan adalah
betina – jantan.

Pembahasan

Performa Karakter
Penelitian ini telah menghasilkan populasi BT yang menunjukkan performa
lebih baik dibandingkan dengan populasi lainnya pada bobot tubuh, kelangsungan
hidup, biomassa dan laju pertumbuhan. Hasil penelitian persilangan interpopulasi
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia ini berbeda dengan yang
diintroduksi ke Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009). Perbedaan hasil ini diduga
berkaitan dengan perbedaan asal induk yang digunakan. Pada penelitian ini, induk
yang digunakan memiliki sejarah introduksi dan domestikasi yang berbeda, yaitu
persilangan antar populasi yang sudah lama dibudidayakan dengan populasi liar.
Sayangnya, tidak terdapat data akurat mengenai tingkat generasi pada ikan
lele sejak didomestikasi. Namun, dengan mempertimbangkan usia produktif ikan
lele >1.5 tahun (Fleuren 2008) dan interval satu generasi per tahun (Koolboon et al.
2014) serta sejarah domestikasi sekitar 35 – 36 tahun, ikan lele Afrika yang
dibudidayakan (populasi Sangkuriang, Belanda dan Thailand) diharapkan sudah
40

mencapai sekitar 20 generasi. Domestikasi jangka panjang tersebut dapat


menyebabkan penurunan keragaman genetik dan terjadinya inbreeding pada
populasi ikan, seperti ditunjukkan pada ikan mas Cyprinus carpio (Kohlmann et al.
2005), ikan brown trout Salmo trutta (Aho et al. 2006) dan ikan lele Afrika
diintroduksi ke Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009) dan ke Indonesia (Imron et
al. 2011). Bagaimanapun, ikan lele Afrika yang diintroduksi telah didomestikasi
secara terpisah dan diharapkan tidak ada aliran gen antar populasi. Persilangan antar
populasi inbreed yang terpisah telah dibuktikan menghasilkan F1-hibrid yang
memiliki performa lebih baik dibandingkan kedua tetuanya pada udang biru Pasifik
Penaeus stylirostris (Goyard et al. 2008). Penulis tersebut melaporkan persilangan
udang biru Pasifik yang telah dibudidayakan secara terpisah antara populasi CC-
2005 dan CC-2006 yang terdomestikasi hingga 35 generasi dengan populasi HH-
2005 dan HH-2006 yang sudah terdomestikasi hingga 9 generasi.
Hasil penelitian Goyard et al. (2008) pada udang biru Pasifik sejalan dengan
hasil penelitian ini. Persilangan antar populasi budidaya telah menghasilkan
populasi BT yang menunjukkan bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa,
konversi pakan dan laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan
populasi lainnya, baik galur murni maupun persilangan, yang berasal dari budidaya.
Populasi BT menunjukkan bobot tubuh dan kelangsungan hidup lebih baik
dibandingkan dengan populasi lainnya sehingga menghasilkan biomassa yang
paling tinggi. Hasil ini sejalan dengan persilangan udang biru Pasifik yang
menghasilkan konsistensi pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi
dibandingkan dengan galur murni (Goyard et al. 2008), persilangan ikan mas
Hungaria dengan ikan mas Israel (Zak et al. 2007), persilangan ikan mas scaly
(Buchtova et al. 2006) dan persilangan ikan nila Oreochromis niloticus (Thoa et al.
2016). Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, namun populasi BT
menunjukkan konversi pakan yang lebih rendah dan laju pertumbuhan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi lainnya. Hal ini semakin memperkuat
keunggulan populasi BT dibandingkan dengan populasi lainnya.
Pada persilangan antar populasi liar, yaitu Mesir dan Kenya, menghasilkan
populasi MK yang menunjukkan bobot tubuh dan biomassa lebih tinggi secara
signifikan dibanding populasi persilangan resiprok dan populasi murninya namun
kelangsungan hidup tidak berbeda nyata. Sedangkan persilangan antara populasi
budidaya dan populasi liar telah menghasilkan populasi silangan yang
menunjukkan bobot tubuh, kelangsungan hidup dan biomassa lebih baik dibanding
silangannya, yaitu populasi BM, MT, MB dan BK pada bobot tubuh, populasi SM,
MB, MT, SK dan KS pada kelangsungan hidup dan populasi MB, SM, MT, BM
dan BK pada biomassa. Persilangan antar populasi liar dengan populasi budidaya
tidak selalu menghasilkan performa yang lebih baik. Pada ikan tilapia, persilangan
antar populasi liar (betina Kenya x jantan Mesir) telah menghasilkan bobot tubuh
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi murninya dan persilangan antar populasi
liar dengan populasi budidaya (Bentsen et al. 1998), sedangkan pada udang galah
Macrobrachium rosenbergii, persilangan populasi budidaya dengan populasi liar
menghasilkan bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetuanya
(Thanh et al. 2009). Hasil berbeda ditunjukkan pada ikan brook trout Salvelinus
fontinalis yang menunjukkan populasi budidaya menghasilkan bobot yang lebih
tinggi dibandingkan persilangan populasi budidaya dengan populasi liar (Granier et
al. 2011) dan pada ikan salmon Atlantik Salmo salar yang menunjukkan bahwa
41

performa ikan hasil persilangan berada di antara performa ikan populasi budidaya
dan populasi liar (Glover et al. 2009).

Heterosis
Menurut Falconer & Mackay (1996), ekspresi heterosis pada persilangan dua
populasi, sebagian, akan bergantung pada perbedaan frekuensi gen dan interaksi
gen di antara populasi tersebut, termasuk pengaruh dominan dan epistasis. Namun
demikian, munculnya heterosis pada persilangan sulit diprediksi dan dapat
bergantung pada tahap perkembangan ikan (Granier et al. 2011).
Dari 20 persilangan, hanya populasi BT memperoleh MPH positif dan BPH
positif pada semua karakter yang diamati. Populasi BT mencapai MPH penting,
yaitu >10%, pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa dan konversi pakan.
Sedangkan pada BPH, populasi BT menunjukkan performa yang melebihi performa
terbaik induknya pada semua karakter. Pada persilangan populasi budidaya, selain
populasi BT, hanya populasi TB yang memperoleh MPH positif, yaitu pada bobot
tubuh, konversi pakan dan laju pertumbuhan. Pada persilangan lele Afrika populasi
budidaya yang diintroduksi ke Thailand, heterosis tidak ditemukan pada
pertumbuhan, kelangsungan hidup, titer antibodi dan indeks fagositosis
(Wachirachaikarn et al. 2009). Heterosis antar populasi budidaya dilaporkan telah
didapatkan pada persilangan ikan mas populasi Tata dengan populasi Szarvas 15
(Nielsen et al. 2010) dan ikan nila (Neira et al. 2016; Thoa et al. 2016).
Pada persilangan populasi liar, baik populasi MK maupun KM, memperoleh
heterosis positif pada semua karakter kecuali pada konversi pakan. Hal ini
menunjukkan bahwa persilangan kedua populasi liar, yaitu Mesir dan Kenya, dapat
menghasilkan progeni yang lebih baik dibandingkan kedua induknya. Heterosis
positif pada persilangan antar populasi liar juga telah dilaporkan diperoleh pada
ikan lele Heterobranchus longifilis (Nguenga et al. 2000), ikan silver perch
Bidyanus bidyanus (Guy et al. 2009), ikan mas (Nielsen et al. 2010) dan ikan brook
trout (Crespel et al. 2012). Persilangan antar populasi liar dapat juga tidak
menghasilkan heterosis seperti dilaporkan pada ikan black bream Acanthopagrus
butcheri (Doupe et al. 2003).
Pada persilangan antar populasi budidaya (Sangkuriang, Belanda dan
Thailand) dengan populasi liar (Mesir dan Kenya), heterosis yang dihasilkan
bervariasi. Pada bobot tubuh, 10 dari 12 persilangan menunjukkan MPH positif,
sedangkan pada kelangsungan hidup sebaliknya, hanya 2 dari 12 persilangan yang
menghasilkan MPH positif. Sementara itu, pada biomassa dan konversi pakan,
MPH positif dicapai sekitar setengah dari total persilangan. Secara keseluruhan,
tidak ada populasi persilangan yang menghasilkan MPH positif pada semua
karakter yang diamati. Namun demikian, MPH tinggi (>20%) masih diperoleh pada
karakter dan populasi tertentu, contohnya bobot tubuh pada populasi SK (66.78%),
KS (44.80%), KT (24.96%) dan BK (34.84%), kelangsungan hidup pada populasi
SM (35.64%) dan MB (20.01%), dan biomassa pada SM (56.28%), SK (43.03%),
MB (22.93%) dan KS (20.27%). Heterosis positif dilaporkan dapat diperoleh pada
persilangan populasi liar dengan populasi budidaya pada udang galah (Thanh et al.
2010; Suburamanian et al. 2015) dan ikan Chinook salmon Oncorhynchus
tshawytscha (Bryden et al. 2004).
Pada best-parent heterosis, populasi BT menunjukkan BPH positif pada
semua karakter pada tahap pembesaran. Dari sudut pandang budidaya, BPH lebih
42

bermakna digunakan daripada MPH karena BPH menunjukkan persilangan yang


memiliki performa lebih baik dari induk terbaik, daripada terhadap rataan induk.
Bentsen et al. (1998) menyatakan bahwa penggunaan hasil persilangan untuk
akuakultur bukan hanya mempertimbangkan heterosis dari rataan kedua tetua
(MPH) namun juga perlu membandingkan dengan performa tetua terbaik dari
semua populasi tetua yang digunakan (BPH). Dalam hal ini, Bentsen et al. (1998)
menunjukkan persilangan ikan nila antara populasi Ghana jantan dengan Thailand
betina yang memiliki heterosis paling baik dibandingkan dengan populasi Kenya
sebagai populasi murni yang memiliki performa paling baik. Mengikuti skema
tersebut, populasi BT pada penelitian ini, selain menghasilkan BPH positif terhadap
salah satu tetua terbaiknya juga menunjukkan performa yang lebih baik
dibandingkan dengan performa terbaik dari semua tetua yang digunakan pada
penelitian ini. BPH populasi BT dibandingkan dengan populasi tetua terbaik pada
bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa, konversi pakan dan laju pertumbuhan
masing-masing adalah 25.72%, 0.77%, 36.43%, 10.08% dan 3.10%. Sedangkan
bila dibandingkan dengan populasi Sangkuriang yang saat ini banyak beredar di
masyarakat, keunggulan populasi BT pada bobot tubuh, kelangsungan hidup,
biomassa dan konversi pakan masing-masing adalah 145%, 21%, 202% dan 5.5%.

Simpulan

Penelitian ini telah menghasilkan populasi BT sebagai silangan terbaik


berdasarkan konsistensi performa bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa,
konversi pakan dan laju pertumbuhan yang selalu lebih baik dibandingkan dengan
populasi lainnya. Meskipun pada setiap karakter yang diamati, terdapat populasi
lain yang menunjukkan performa yang tidak berbeda secara statistik dengan
populasi BT, namun populasi lainnya tidak menunjukkan konsistensi performa,
yaitu bobot tubuh tinggi tapi kelangsungan hidup rendah atau sebaliknya.
Penelitian ini juga berhasil menunjukkan heterosis pada bobot tubuh,
kelangsungan hidup, biomassa, konversi pakan dan laju pertumbuhan. Di antara 20
populasi persilangan, hanya populasi BT menghasilkan mid-parent dan best-parent
heterosis positif pada semua karakter.
Dari hasil penelitian ini, pemanfaatan silangan BT akan dapat meningkatkan
produksi biomassa lele Afrika hingga 36% dan menurunkan konversi pakan hingga
10%, dibandingkan dengan menggunakan populasi galur murni terbaik dan 202%
dan 5.5% bila dibandingkan dengan menggunakan ikan lele populasi Sangkuriang.
Bagaimanapun, diperlukan penelitian lanjutan mengenai performa silangan BT
pada kondisi lingkungan akuakultur lapangan.
6 PEMBAHASAN UMUM

Hasil Penelitian

Perbedaan pendapat mengenai status ikan lele Afrika yang diintroduksi ke


Indonesia telah mengakibatkan beberapa hal, diantaranya: tidak adanya konsistensi
penyebutan nama ilmiah, perbedaan pemanfaatan hasil pemuliaan dan branding
internasional yang kurang kuat. Inkosistensi penyebutan nama ilmiah dapat dilihat
diantaranya pada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terkait dengan lele dumbo
dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (SK MKP) terkait pelepasan
ikan. SNI terkait lele dumbo pada awalnya menyebut nama latin Clarias gariepinus
x C. fuscus (BSN 2000) namun kemudian direvisi menjadi Clarias spp (BSN 2011)
dan Clarias sp. (BSN 2014). SK MKP terkait pelepasan ikan menyebut ikan lele
Afrika dengan nama ilmiah berbeda, yaitu Clarias sp. untuk ikan lele Sangkuriang
tahun 2004, Clarias spp. untuk benih sebar hibrida ikan lele Sangkuriang2 tahun
2013 dan benih sebar hibrida ikan lele Mandalika tahun 2014, dan Clarias
gariepinus untuk ikan lele Mutiara tahun 2015. Inkonsistensi ini juga berdampak
pada klasifikasi ikan lele yang diproduksi di Indonesia berdasarkan FAO (2016)
yang menyebut sebagai Clarias nei. Status ikan hibrida atau galur murni akan
berpengaruh terhadap pemanfaatan hasil persilangan sebagai salah satu langkah
pemuliaan. Ikan hibrida (dalam arti interspesies), bila dapat dijadikan induk yang
fertil, akan menghasilkan keturunan dengan performa budidaya yang lebih rendah
(Argue et al. 2003; Senanan et al. 2004). Hal ini akan berbeda bila ikan lele Afrika
sebagai spesies murni meskipun bila dilakukan persilangan dalam satu spesies
(dalam arti interpopulasi). Keturunan yang dihasilkan masih memungkinkan
memiliki performa yang sama atau tidak ditemukan adanya tekanan outbreeding
(Lehnert et al. 2014). Dengan kejelasan statusnya juga, pendataan produksi ikan
lele dapat diklaim dengan nama C. gariepinus seperti untuk kepentingan pendataan
FAO.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia merupakan spesies C. gariepinus (Bab 3). Berdasarkan
karakter genotipe dengan menggunakan pendekatan analisis marka DNA
mitokondria, keragaman haplotipe dan jarak genetik antar populasi ikan lele relatif
tinggi. Bagaimanapun, hasil ini belum bisa menjadi indikasi adanya perbedaan
spesies atau telah terjadi persilangan antar spesies sebelumnya, namun hasil ini juga
memberikan peluang untuk mendapatkan heterosis bila dilakukan persilangan antar
populasi. Berdasarkan karakter fenotipe dengan pendekatan analisis truss-
morfometri dan analisis reproduksi, tidak terdapat perbedaan di antara kelima
populasi. Dengan menempatkan populasi liar (Kenya dan Mesir) sebagai populasi
acuan, populasi budidaya – terutama dua diantaranya, yaitu Indonesia dan Thailand,
yang dicurigai sebagai hasil hibrida, tidak menunjukkan adanya perbedaan terhadap
populasi liar.
Selain itu, berdasarkan kegagalan persilangan atau hanya menghasilkan
hibrida steril antara ikan lele Afrika dengan beberapa populasi ikan lele Asia (C.
batrachus, C. nieuhofii, C. teijsmanni dan C. meladerma) (Lenormand et al. 1998),
dapat diduga bahwa introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia tidak akan
mengganggu gene pool ikan lele lokal – terutama C. batrachus yang penyebarannya
44

lebih luas, meskipun perlu penelitian lebih lanjut untuk proses persilangan ikan lele
Afrika dengan ikan lele lokal lainnya.
Dengan mempertimbangkan hasil penelitian tahap pertama (Bab 3),
persilangan ikan lele Afrika dilakukan dengan menggunakan skema persilangan
interpopulasi. Keberhasilan dalam pemuliaan ikan dengan skema persilangan
adalah dengan dihasilkannya anakan/progeni yang memiliki performa budidaya
yang lebih baik dibandingkan performa rata-rata induk/tetuanya atau performa
terbaik salah satu induknya (heterosis). Munculnya heterosis pada hibridisasi,
meskipun tidak selalu, dapat bergantung pada skema persilangan dimana satu
populasi berlaku hanya sebagai jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011), asal
induk yang digunakan dengan introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al.
2004) atau variasi genetik di dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak
genetik antar tetua yang digunakan (Goyard et al. 2008).
Penelitian ini dilakukan pada kedua tahap pembenihan (Bab 4) dan
pembesaran (Bab 5), karena secara fakta, budidaya ikan lele Afrika di pembudidaya
Indonesia telah dilakukan tersegmentasi pembenihan dan pembesaran. Bergantung
pada kepentingan penelitian, beberapa publikasi hanya mempertimbangkan hasil
persilangan pada tahap pembesaran, seperti pada persilangan ikan lele biru
Ictalurus furcatus jantan and channel catfish Ictalurus punctatus betina (Bosworth
& Waldbieser 2014), ikan mas (Buchtova et al. 2006; Su et al. 2013), olive flounder
Paralichthys olivaceus (Kim et al. 2012), chinook salmon Oncorhynchus
tshawytscha (Bryden et al. 2004), brook trout Salvelinus fontinalis (Crespel et al.
2012), blunt snout bream Megalobrama amblycephala (Luo et al. 2014), ikan nila
Oreochromis niloticus (Moreira et al. 2005) dan European sea bass Dicentrarchus
labrax (Vandeputte et al. 2014). Selain itu, karakteristik biologi unik pada
perkembangan ikan lele Afrika menjadi pertimbangan melakukan penelitian pada
tahap pembenihan dan tahap pembesaran. Ikan lele Afrika memiliki sifat kanibal
terutama pada tahap perkembangan awal hidupnya yang dapat berpengaruh
terhadap variasi ukuran, kelangsungan hidup dan biomassa (Adamek et al. 2011).
Pengaruh paternal terhadap pertumbuhan pada ikan lele Afrika juga berbeda, pada
umur 1 bulan berhubungan dengan pengaruh induk betina sedangkan pada umur 9
bulan berhubungan dengan pengaruh induk jantan (Volckaert & Hellemans 1999).
Pada tahap pembenihan (Bab 4), secara umum, belum terdapat perbedaan
performa antara populasi persilangan dengan populasi galur murni, kecuali antara
populasi MB dengan populasi SS. Pada tahap yang relatif sama, tidak ada perbedaan
pada bobot tubuh, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada umur 78 hari
pada hasil persilangan antar populasi vundu catfish Heterobranchus longifilis
(Nguenga et al. 2000), bobot tubuh, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada
umur 72 hari pada hasil persilangan silver perch Bidyanus bidyanus (Guy et al.
2009) dan bobot tubuh pada persilangan ikan nila (Thoa et al. 2016). Hasil berbeda
didapatkan pada bobot tubuh umur 90 hari pada hasil persilangan black bream
Acanthopagrus butcheri (Doupe et al. 2003). Bagaimanapun, pada umur yang
hampir sama, bobot tubuh populasi silangan pada penelitian ini (5 – 11 g), lebih
rendah dibandingkan dengan persilangan lele Afrika yang diintroduksi ke Thailand
(31 – 57 g) (Wachirachaikarn et al. 2009). Hal ini diduga berkaitan dengan
perbedaan padat tebar yang digunakan pada penelitian ini (berturut-turut 1500, 800
dan 400 ekor per 100 liter) dengan laporan tersebut (200 ekor per 90 liter).
45

Pada tahap pembesaran (Bab 5) telah dihasilkan populasi Belanda betina x


Thailand jantan yang secara konsisten menunjukkan performa yang lebih baik
dibandingkan populasi lainnya, yaitu bobot tubuh (241.39 g) dan kelangsungan
hidup (93.67%), biomassa (22.59 kg), konversi pakan (1.01) dan laju pertumbuhan
(3.56%). Di antara 20 populasi silangan, hanya populasi BT yang menghasilkan
mid-parent dan best-parent heterosis positif pada semua karakter yang diamat.
Dibandingkan dengan menggunakan populasi galur murni yang terbaik, populasi
BT dapat meningkatkan produksi biomassa hingga 36% dan menurunkan konversi
pakan hingga 10%.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan performa pada
persilangan sebaliknya. Populasi TB menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih
rendah secara nyata namun bobot tubuh tidak berbeda dengan populasi BT.
Perbedaan performa pada persilangan resiprok juga ditemukan pada populasi SB
dengan populasi BS tapi tidak ditemukan pada populasi ST dengan populasi TS.
Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu populasi
berperan sebagai jantan atau sebagai betina, dapat menghasilkan performa yang
berbeda, seperti yang ditemukan pada persilangan ikan Chinook salmon (Bryden et
al. 2004) ikan nila (Bentsen et al. 1998; Lutz et al. 2010), brook trout (Granier et
al. 2011; Crespel et al. 2012) dan persilangan blunt snout bream (Luo et al. 2014).
Bagaimanapun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa satu populasi yang
berperan sebagai jantan atau sebagai betina, tidak selalu menunjukkan performa
yang serupa atau dikenal sebagai efek resiprok. Pada persilangan dengan populasi
Belanda sebagai betina, populasi BT menghasilkan bobot tubuh, kelangsungan
hidup dan biomassa yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan populasi BS.
Hal yang sama diperoleh pada persilangan populasi Thailand yang berperan sebagai
jantan, populasi ST menghasilkan performa yang lebih baik secara signifikan
dibandingkan dengan populasi BT. Efek resiprok ini mungkin berkaitan dengan
pengaruh maternal atau paternal, penurunan sitoplasmik dan keterkaitan genetik
antara gen seks dengan gen performa (Bentsen et al. 1998; Crespel et al. 2012).
Bagaimanapun, seperti disarankan Hulata (2001), identifikasi secara eksperimental
penting dilakukan untuk menentukan kombinasi persilangan spesifik. Studi yang
dilakukan Bougas et al. (2010) menjelaskan bahwa konsekuensi hibridisasi
terhadap tingkat transkriptome dan fenotipe adalah sangat berkaitan dengan
arsitektur genetik spesifik populasi silangan sehingga keberhasilan persilangan
sangat sulit diprediksi.

Implikasi terhadap Akuakultur Indonesia

Mengingat kebanyakan populasi ikan lele yang saat ini dibudidayakan di


masyarakat telah terwakili pada penelitian ini, penamaan untuk ikan lele yang
diproduksi di Indonesia seharusnya menggunakan nama ilmiah C. gariepinus.
Nama ini seharusnya digunakan pada semua kebutuhan pemerintahan ataupun
kebutuhan ilmiah. Sejauh memungkinkan, beragam dokumen yang sudah
menggunakan nama lain, misalnya Clarias sp., atau sebagai ikan hibrida, sedapat
mungkin diubah.
Biomassa dan konversi pakan adalah dua faktor penting yang dapat
menentukan efisiensi usaha budidaya ikan lele Afrika di tingkat pembudidaya.
46

Biomassa yang lebih tinggi dan konversi pakan yang lebih rendah akan dapat
meningkatkan keuntungan usaha. Hasil penelitian ini menunjukkan populasi BT
dapat menghasilkan bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa dan konversi
pakan masing-masing 145%, 21%, 202% dan 5.5%, lebih baik dibandingkan
dengan ikan lele populasi Sangkuriang yang saat ini sudah beredar. Dalam jangka
pendek, pemanfaatan skema persilangan interpopulasi dengan menggunakan
populasi BT untuk menggantikan populasi Sangkuriang sangat direkomendasikan.
Dalam jangka panjang, dengan mempertimbangkan koefisien variasi yang
moderat (Bab 4 dan Bab 5) dan heterosis (Bab 5) yang didapatkan pada penelitian
ini, penerapan program seleksi harus dilakukan. Program seleksi hendaknya
disusun dengan menghindari terjadinya akumulasi inbreeding dan hilangnya
keragaman genetik dalam jangka panjang (Ponzoni et al. 2010; Imron et al. 2011;
Knibb et al. 2014; Yanes et al. 2014). Pada seleksi individu, untuk mempertahankan
laju inbreeding <1%, Bentsen & Olesen (2002) menyarankan untuk melakukan
pemijahan dengan minimum 50 pasang dan memilih 30-50 progeni per pasang
untuk generasi selanjutnya. Dengan mempertimbangkan faktor biologis ikan,
penguasaan teknik budidaya dan peluang ketersediaan fasilitas, disarankan untuk
menerapkan seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele. Program seleksi

Keterangan:
HI : Hibridisasi interpopulasi pada penelitian ini
BT : Persilangan populasi Belanda betina x Thailand jantan yang merupakan
persilangan terbaik pada penelitian ini
P0 : Lima populasi awal ikan lele, yaitu S=Sangkuriang, M=Mesir, K=Kenya,
B=Belanda dan T=Thailand
G0 : Lima kohor garis betina (dam) hasil hibridisasi interpopulasi
G1 : Lima kohor garis betina (dam) generasi pertama seleksi individu

Gambar 6 Program seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele Afrika
yang disarankan
47

tersebut dapat menggunakan lima populasi yang tersedia (Tabel 1) dengan


pemijahan minimum 20 pasang per populasi (total 100 pasang per generasi) dan
memilih minimum 80 progeni per populasi (Gambar 6). Program seleksi dipilih
juga dengan pertimbangan sudah terbukti efektif pada beragam ikan dan udang
(Gjedrem et al. 2012), tidak ada kontra-produktif terhadap ikan hasil pemuliaan dan
keterbatasan informasi marka molekuler yang dapat diterapkan di ikan lele. Sebagai
tambahan, informasi heterosis sudah dieksploitasi dengan ekstensif pada seleksi
tanaman, sebagai contoh di Amerika 95% dan dunia 65% jagung yang ditanam
adalah hasil seleksi/hibridisasi (Hochholdinger & Hoecker 2007).
Dengan mempertimbangkan produksi ikan lele Afrika di Indonesia
kebanyakan dilakukan pada skala rumah tangga dan menyebar secara luas, adalah
penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang menekankan pada uji
performa populasi BT di tingkat pembudidaya dan evaluasi multi-lokasi yang
mewakili perbedaan wilayah iklim. Selain itu, juga perlu dilakukan uji performa
keturunan populasi BT (F2 hibrida) untuk mengevaluasi potensi terjadinya tekanan
outbreeding. Sebagai tambahan, produksi massal populasi BT ataupun program
seleksi untuk pemuliaan genetik ikan lele juga perlu digabungkan dengan hasil
penelitian lain, contohnya marka MHC untuk ketahanan terhadap Aeromonas
hydrophila (Azis et al. 2015).
7 KESIMPULAN UMUM

Berdasarkan pendekatan marka DNA mitokondria, morfometri dan performa


reproduksi, ikan lele yang diintroduksi di Indonesia dapat dipastikan merupakan
spesies ikan lele Afrika C. gariepinus. Keragaman haplotipe dan jarak genetik antar
populasi ikan lele Afrika yang cukup tinggi dengan variasi fenotipe pada kisaran
moderat dan heterosis yang tinggi, populasi hasil persilangan interpopulasi dapat
dijadikan sebagai populasi dasar sintetik untuk proses seleksi selanjutnya.
Persilangan interpopulasi pada ikan lele merupakan metode dalam upaya
perbaikan mutu genetik secara cepat (1 generasi) dan telah menghasilkan hibrida
unggul baik pada tahap pembenihan maupun tahap pembesaran dibandingkan
dengan populasi Indonesia. Pada tahap pembenihan, telah dihasilkan persilangan
Mesir betina x Belanda jantan yang memiliki performa yang lebih baik
dibandingkan populasi galur murni Indonesia. Namun secara umum, persilangan
ini tidak berbeda dengan persilangan lainnya. Pada tahap pembesaran, telah
dihasilkan persilangan Belanda betina x Thailand jantan sebagai silangan terbaik
berdasarkan konsistensi performa bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa,
konversi pakan dan laju pertumbuhan yang selalu lebih baik dibandingkan dengan
populasi lainnya. Persilangan interpopulasi ikan lele introduksi telah menghasilkan
populasi hibrida unggul yang dapat menghasilkan bobot tubuh, kelangsungan hidup,
biomassa dan konversi pakan masing-masing 145%, 21%, 202% dan 5.5%, lebih
baik dibandingkan dengan penggunaan ikan lele populasi Sangkuriang yang banyak
beredar di masyarakat saat ini. Dengan hasil tersebut, dapat disarankan untuk
melakukan produksi perbanyakan populasi Belanda dan populasi Thailand agar
dapat digunakan pada kegiatan proses produksi ikan lele di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abol-Munafi AB, Liem PT, Ambak MA. 2006. Effects of maturational hormone
treatment on spermatogenesis of hybrid catfish (Clarias macrocephalus x
C. gariepinus). J Sustain Sci Manag. 1:24-31.
Adamek J, Kamler E, Epler P. 2011. Uniform maternal age/size and light
restrictions mitigate cannibalism in Clarias gariepinus larvae and
juveniles reared under production-like controlled conditions. Aquac Eng.
45:13-19.
Agbebi OT, Faseluka O, Idowu AA. 2013. Effects of various latency periods on the
fertilization, hatchability and survival of Clarias gariepinus. J Fish Aquatic
Sci. 8:178-183.
Agnese JF, Teugels GG, Galbusera P, Guyomard R, Volckaert FA. 1997.
Morphometric and genetic characterization of sympatric population of
Clarias gariepinus and C. anguillaris from Senegal. J Fish Biol. 50:1143-
1157.
Aho T, Rönn J, Piironen J, Björklund M. 2006. Impacts of effective population size
on genetic diversity in hatchery reared Brown trout (Salmo trutta L.)
populations. Aquaculture 253:244-248.
Aiyelari TA, Adebayo IA, Osiyemi AS. 2007. Reproductive fitness of stressed
female broodstock of Clarias gariepinus (Burchell 1809). J Cell Anim Biol.
1:078-081.
Anene NS, Tianxiang G. 2007. Is the Dutch domesticated strain of Clarias
gariepinus (Burchell, 1822) a hybrid? Afr J Biotechnol. 6:1072-1076.
Argue BJ, Liu Z, Dunham RA. 2003. Dress-out and fillet yields of channel catfish
(Ictalurus punctatus), blue catfish (Ictalurus furcatus), and their F1, F2 and
backcross hybrids. Aquaculture. 228:81-90.
Azis, Alimuddin, Sukenda, Zairin M Jr. 2015. MHC I molecular marker inheritance
and first generation catfish (Clarias sp.) resistance against Aeromonas
hydrophila infection. Pak J Biotechnol. 12:131-137.
Barasa JE, Abila R, Grobler JP, Dangasuk OG, Njahira MN, Kaunda-Arara B. 2014.
Genetic diversity and gene flow in Clarias gariepinus from Lakes Victoria
and Kanyaboli, Kenya. Afr J Aquat Sci. 39:287-293.
Barnhoorn IEJ, Bornman MS, Pieterse GM, van Vuren JHJ. 2004. Histological
evidence of intersex in feral Sharptooth Catfish (Clarias gariepinus) from
an estrogen-polluted water source in Gauteng, South Africa. Environ
Toxicol. 19:603-608.
Bartley DM, Rana K, Immink AJ. 2001. The use of inter-spesific hybrids in
aquaculture and fisheries. Rev Fish Biol Fish. 10:325-337.
Bentsen HB, Eknath AE, Vera MSP, Danting JC, Bolivar HL, Reyes RA, Dionisio
EE, Longalong FM, Circa AV, Tayamen MM, Gjerde B. 1998. Genetic
improvement of farmed tilapias: growth performance in a complete diallel
cross experiment with eight strains of Oreochromis niloticus. Aquaculture.
160:145-173.
Bentsen HB, Olesen I. 2002. Designing aquaculture mass selection programs to
avoid high inbreeding rates. Aquaculture. 204:349-359.
50

Bhujel RC. 2008. Statistics for Aquaculture. Iowa (US): Wiley-Blackwell. 240 p.
Birchler JA, Yao H, Chudalayandi S. 2006. Unraveling the genetic basis of hybrid
vigor. Proc Natl Acad Sci USA. 103:12957-12958
Bobe J, Labbe C. 2010. Egg and sperm quality in fish. Gen Comp Endocrinol.
165:535–548.
Bongers ABJ, Ngueriga D, Eding EH, Richter CJJ. 1995. Androgenesis in the
African catfish (Clarias gariepinus). Aquat Living Resour. 8:329-332.
Bosworth B, Waldbieser G. 2014. General and specific combining ability of male
blue catfish (Ictalurus furcatus) and female channel catfish (Ictalurus
punctatus) for growth and carcass yield of their F1 hybrid progeny.
Aquaculture. 420–421:147-153.
Bryden CA, Heath JW, Heath DD. 2004. Performance and heterosis in farmed and
wild chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) hybrid and purebred
crosses. Aquaculture 235:249-261.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Produksi benih ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus x C. fuscus) kelas benih sebar. SNI 01-6484.4-2000. Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Ikan lele dumbo (Clarias spp.) – Bagian
5: Produksi pembesaran di kolam. SNI 6484.5:2011. Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014. Ikan lele dumbo (Clarias sp.) Bagian 4 :
Produksi benih. SNI 6484.4:2014. Jakarta.
Buchtova H, Svobodova Z, Kocour M, Velisek J. 2006. Evaluation of growth and
dressing out parameters of experimental scaly crossbreds in 3-year-old
common carp (Cyprinus carpio Linnaeus 1758). Aquac Res. 37:466-471.
Cheek AO, Brouwer TH, Carroll S, Manning S, McLachlan JA, Brouwer M. 2001.
Experimental evaluation of vitellogenin as a predictive biomarker for
reproductive disruption. Environ Health Perspect. 109:681-690.
Chen ZJ. 2010. Molecular mechanisms of polyploidy and hybrid vigor. Trends
Plant Sci. 15:57-71.
Crespel A, Audet C, Bernatchez L, Garant D. 2012. Effects of rearing environment
and strain combination on heterosis in brook trout. N Am J Aquac. 74:188-
198.
Cronin MA, Spearman WJ, Wilmot RL, Patton JC, Bickman JW. 1993.
Mitochondrial DNA variation in chinook (Oncorhynchus tshawytscha) and
chum salmon (O. keta) detected by restriction enzyme analysis of
Polymerase Chain Reaction (PCR) products. Can J Fish Aquat Sci. 50:708-
715.
Doupe RG, Lymbery AJ, Greeff J. 2003. Genetic variation in the growth traits of
straight-bred and crossbred black bream (Acanthopagrus butcheri Munro)
at 90 days of age. Aquac Res. 34:1297-1301.
Dunham RA, Majumdar K, Hallerman E, Bartley D, Mair G, Hulata G, Liu Z,
Pongthana N, Bakos J, Penman D, Gupta M, Rothlisberg P, Hoerstgen-
Schwark G. 2001. Review of the status of aquaculture genetics. Di dalam:
Subasinghe RP, Bueno P, Phillips MJ, Hough C, McGladdery SE, Arthur
JR, editor. Aquaculture in the Third Millennium. Technical Proceedings of
the Conference on Aquaculture in the Third Millennium; 2000 February 20-
25; Bangkok, Thailand. Bangkok (TH) dan Rome (IT): NACA and FAO. p
137-166.
51

Eknath AE, Bentsen HB, Ponzoni RW, Rye M, Nguyen NH, Thodesen J, Gjerde B.
2007. Genetic improvement of farmed tilapias: Composition and genetic
parameters of a synthetic base population of Oreochromis niloticus for
selective breeding. Aquaculture. 273:1-14.
Falconer D, Mackay T. 1996. Quantitative Genetics. New York (US): Longman Inc.
p464.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2014. FAO
Yearbook. Fishery and Aquaculture Statistics. 2012. 76 halaman. Rome (IT).
[diunduh 28 November 2014]. http://www.fao.org/3/a-i3720e/index.html.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2016. Fisheries
and aquaculture software. FishStatJ - software for fishery statistical time
series. In: FAO Fisheries and Aquaculture Department [online]. Rome (IT).
Updated 23 June 2015. [Diunduh 19 May 2016].
http://www.fao.org/fishery/statistics/software/fishstatj/en
FishBase. 2007. A Global information system on fishes.
http://www.fishbase.org/home.htm. Diakses 16 Mei 2016.
Fjalestad KT. 2005. Breeding strategis. Di dalam: Gjedrem T, editor. Selection
and Breeding Programs in Aquaculture. Dordrecht (NL): Springer. p 145-
159.
Fleuren W. 2008. Reproductive and growout management of African catfish in the
Netherlands. Di dalam: Ponzoni RW, Nguyen NH, editors. Proceedings of
a Workshop on the Development of a Genetic Improvement Program for
African catfish Clarias gariepinus. Penang (MY): The WorldFish Center. p
73-78.
Galbusera P, Volckaert FAM, Ollevier F. 2000. Gynogenesis in the African catfish
(Clarias gariepinus Burchell 1822): III. Induction of endomitosis and the
presence of residual genetic variation. Aquaculture. 185:25-42.
Gao Y, Kim SG, Lee JY. 2011. Effects of pH on fertilization and the hatching rates
of Far Eastern Catfish (Silurus asotus). Fish Aquat Sci. 14:417-420.
Giddelo CS, Arndt AD, Volckaert FAM. 2002. Impact of rifting and hydrography
on the genetic structure of Clarias gariepinus in Eastern Africa. J Fish Biol.
60:1252-1266.
Gjedrem T. 2005. Status and scope of aquaculture. Di dalam: Gjedrem T, editor.
Selection and Breeding Programs in Aquaculture. Dordrecht (NL):
Springer. p 1-8.
Gjedrem T. 2010. The first family-based breeding program in aquaculture. Rev
Aquaculture. 2:2-15.
Gjedrem T. 2012. Genetic improvement for the development of efficient global
aquaculture: A personal opinion review. Aquaculture. 344-349:12-22.
Gjedrem T, Baranski M. 2009. Selective Breeding in Aquaculture: An Introduction.
Dordrecht (NL): Springer. 221 p.
Gjedrem T, Robinson N, Rye M. 2012. The importance of selective breeding in
aquaculture to meet future demands for animal protein: A review.
Aquaculture. 350-353:117-129.
Gjerde B, Reddy PVGK, Mahapatra KD, Saha JN, Jana RK, Meher PK, Sahoo M,
Lenka S, Govindassamy P, Rye M. 2002. Growth and survival in two
complete diallele crosses with five stocks of Rohu carp (Labeo rohita).
Aquaculture. 209:103-115.
52

Gjøen HM, Bentsen HB. 1997. Past, present, and future of genetic aquaculture.
ICES J Mar Sci. 54:1009-1014.
Glover KA, Ottera HO, Olsen RE, Slinde E, Taranger GL, Skaala O. 2009. A
comparison of farmed, wild and hybrid Atlantic salmon (Salmo salar L.)
reared under farming conditions. Aquaculture. 286:203-210.
Goyard E, Goarant C, Ansquer D, Brun P, de Decker S, Dufour R, Galinie C,
Peignon JM, Pham D, Vourey E, Harache Y, Patrois J. 2008. Cross
breeding of different domesticated lines as a simple way for genetic
improvement in small aquaculture industries: heterosis and inbreeding
effects on growth and survival rates of the Pacific blue shrimp (Penaeus
(Litopenaeus) styrostris). Aquaculture. 278:43-50.
Granier S, Audet C, Bernatchez L. 2011. Heterosis and outbreeding depression
between strains of young-of-the-year brook trout (Salvelinus fontinalis).
Can J Zool. 89:190-198.
Gross R, Kohlmann K, Kersten P. 2002. PCR–RFLP analysis of the mitochondrial
ND-3/4 and ND-5/6 gene polymorphisms in the European and East Asian
subspecies of common carp (Cyprinus carpio L.). Aquaculture. 204:507-
516.
Guy JA, Jerry DR, Rowland SJ. 2009. Heterosis in fingerlings from a diallel cross
between two wild strains of silver perch (Bidyanus bidyanus). Aquac Res.
40:1291-1300.
Hansen MM, Ruzzante DE, Nielsen EE, Mensberg KD. 2000. Microsatellite and
mitochondrial DNA polymorphism reveals life-history dependent
interbreeding between hatchery and wild brown trout (Salmo trutta L.). Mol
Ecol. 9:583-594.
Hashimoto DT, Mendonça FF, Senhorini JA, Oliveira C, Foresti F, Porto-Foresti F.
2011. Molecular diagnostic methods for identifying Serrasalmid fish (Pacu,
Pirapitinga, and Tambaqui) and their hybrids in the Brazilian aquaculture
industry. Aquaculture. 321:49-53.
Hashimoto DT, Prado FD, Senhorini JA, Foresti F, Porto-Foresti F. 2013. Detection
of post-F1 fish hybrids in broodstock using molecular markers: approaches
for genetic management in aquaculture. Aquac Res. 44:876-884.
Hochholdinger F, Hoecker N. 2007. Towards the molecular basis of heterosis.
Trends Plant Sci. 12:427-432.
Holcik J. 1991. Fish introductions in Europe with particular reference to its Central
and Eastern part. Can J Fish Aquatic Sci. 48(Suppl. 1):13-23.
Holtsmark M, Klemetsdal G, Sonesson AK, Woolliams JA. 2008. Establishing a
base population for a breeding program in aquaculture, from multiple
subpopulations, differentiated by genetic drift: I. Effects of the number of
subpopulations, heritability and mating strategies using optimum
contribution selection. Aquaculture. 274:232-240.
Huang CF, Lin YH, Chen JD. 2005. The use of RAPD markers to assess catfish
hybridization. Biodivers Conserv. 14:3003-3014.
Hulata G. 2001. Genetic manipulations in aquaculture: a review of stock
improvement by classical and modern technologies. Genetica. 111:155-173.
Imron, Sunandar D, Tahapari E. 2011. Microsatellite genetic variation in cultured
populations of African catfish (Clarias gariepinus) in Indonesia. Indones
Aquac J. 6(1):1-10.
53

Iswanto B. 2013. Menelusuri identitas ikan lele dumbo. Media Akuakultur 8:85-95.
Jerry DR, Purvis IW, Piper LR, Dennis CA. 2005. Selection for faster growth in
the freshwater crayfish (Cherax destructor). Aquaculture. 247:169-176.
Kamaruding NA, Embong WKW, Abdullah RB. 2012. Frozen-thawed sperm
motility characteristics of African catfish (Clarias gariepinus) by using
glycerol or DMSO based extender. Int J Environ Sci Dev. 3(1):49-55.
Kim JH, Kim HC, Lee JH, Noh JK. 2012. Feed intake, feed efficiency, growth,
body composition, and blood chemistry in reciprocal crosses of wild and
farmed Olive Flounder (Paralichthys olivaceus). J World Aquac Soc.
43(6):840-847.
Kinsey WH, Sharma D, Kinsey SC. 2007. Fertilization and egg activation in fishes.
Di dalam: Babin PJ, Cerda J, Lubzens E, editor. The Fish Oocyte: From
Basic Studies to Biotechnological Applications. Dordrecht (NL): Springer.
p 397-409.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Statistik kelautan dan
perikanan 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia,
Jakarta. 272 p.
Knibb W, Whatmore P, Lamont R, Quinn J, Powell D, Elizur A, Anderson T,
Remilton C, Nguyen NH. 2014. Can genetic diversity be maintained in long
term mass selected populations without pedigree information? A case study
using banana shrimp (Fenneropenaeus merguiensis). Aquaculture. 428-
429:71-78.
Kohlmann K, Kersten P, Flajshans M. 2005. Microsatellite-based genetic
variability and differentiation of domesticated, wild and feral common carp
(Cyprinus carpio L.) populations. Aquaculture 247:253-266.
Koolboon U, Koonawootrittriron S, Kamolrat W, Na-Nakorn W. 2014. Effects of
parental strains and heterosis of the hybrid between Clarias macrocephalus
and Clarias gariepinus. Aquaculture 424-425:131-139.
Kovacs E, Muller T, Marian T, Krasznai Z, Urbanyi B, Horvath A. 2010. Quality
of cryopreserved African catfish sperm following post-thaw storage. J Appl
Ichthyol. 26:737-741.
Kruger T, Barnhoorn I, van Vuren JJ, Bornman R. 2013, The use of the urogenital
papillae of male feral African sharptooth catfish (Clarias gariepinus) as
indicator of exposure to estrogenic chemicals in two polluted dams in an
urban nature reserve, Gauteng, South Africa. Ecotoxicol Environ Saf.
87:98–107.
Lehnert SJ, Love OP, Pitcher TE, Higgs DM, Heath DD. 2014. Multigenerational
outbreeding effects in Chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha).
Genetica 142:281-293.
Lenormand S. Slembrouck J, Pouyaud L, Subagja J, Legendre M. 1998. Evaluation
of hybridisation in five Clarias species (Siluriformes, Clariidae) of African
(C. gariepinus) and Asian origin (C. batrachus, C. meladerma, C. nieuhofii
and C. teijsmanni). Di dalam: Legendre M, Pariselle A, editors. Proceedings
of the mid-term workshop of the Catfish Asia Project. Jakarta (ID), Canto
(VN): IRD, Can Tho University. p 195-209.
Li S, Lu G, Dey M. 2002. Polymorphism of the ND5/6 Gene in mtDNA of strains
of Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Asian Fish Sci. 15:265-270.
54

Lippman ZB, Zamir D. 2006. Heterosis: revisiting the magic. Trends Genet. 23:60-
66.
Liu ZJ. 2009. Genome-based technologies useful for aquaculture research and
genetic improvement of aquaculture species. Di dalam: Burnell G, Allan G,
editor. New Technology in Aquaculture: Improving production efficiency,
quality and environmental management. Boca Raton (US): CRC Press. p
3-44.
Luo W, Zeng C, Yi S, Robinson N, Wang W, Gao Z. 2014. Heterosis and combining
ability evaluation for growth traits of blunt snout bream (Megalobrama
amblycephala) when crossbreeding three strains. Chin Sci Bull. 59(9):857-
864.
Lutz CG, Armas-Rosales AM, Saxton AM. 2010. Genetic effects influencing
salinity tolerance in six varieties of tilapia (Oreochromis) and their
reciprocal crosses. Aquaculture Research 41:e770-e780.
Lyman-Gingerich J, Pelegri F. 2007. Maternal factors in fish oogenesis and
embryonic development. . Di dalam: Babin PJ, Cerda J, Lubzens E, editor.
The Fish Oocyte: From Basic Studies to Biotechnological Applications.
Dordrecht (NL): Springer. Hlm 141-174.
Mallet J. 2005. Hybridization as an invasion of the genome. Trends Ecol Evol.
20:229-237.
Marchand MJ, Pieterse GM, Barnhoorn IEJ. 2008. Preliminary results on sperm
motility and testicular histology of two feral fish species, Oreochromis
mossambicus and Clarias gariepinus, from a currently DDT-sprayed area,
South Africa. J Appl Ichthyol. 24:423-429.
McKinna EM, Nandlal S, Mather PB, Hurwood DA. 2010. An investigation of the
possible causes for the loss of productivity in genetically improved farmed
tilapia strain in Fiji: inbreeding versus wild stock introgression. Aquac Res.
41:e730-e742.
Miller MP. 1997. Tools for population genetic analyses (TFPGA) version 1.3.
Department of Biological Sciences. Northern Arizona University.
http://www.marksgeneticsoftware.net/_vti_bin/shtml.exe/tfpga.htm.
Diunduh Juni 2016.
Mohindra V, Singh RK, Palanichamy M, Ponniah AG, Lal KK. 2007. Genetic
identification of three species of the genus Clarias using allozyme and
mitochondrial DNA markers. J Appl Ichthyol. 23(1):104-109.
Moreira AA, Moreira HLM, Hilsdorf AWS. 2005. Comparative growth
performance of two Nile tilapia (Chitralada and Red-Stirling), their crosses
and the Israeli tetra hybrid ND-56. Aquac Res. 36:1049-1055.
Nakadate M, Shikano T, Taniguchi N. 2003. Inbreeding depression and heterosis
in various quantitative traits of the guppy (Poecilia reticulata). Aquaculture
220:219-226.
Na-Nakorn U, Brummett RE. 2009. Use and exchange of aquatic genetic resources
for food and aquaculture: Clarias catfish. Rev Aquacult. 1:214-223.
Na-Nakorn UN, RangsinW, Boon-ngam J. 2004. Allotriploidy increases sterility in
the hybrid between Clarias macrocephalus and Clarias gariepinus.
Aquaculture. 237:73-88.
55

Naylor RL, Hardy RW, Bureau DP, Chiu A, Elliott M, Farrell AP, Forster I, Gatlin
DM, Goldburg RJ, Hua K, Nichols PD. 2009. Feeding aquaculture in an
era of finite resources. Proc Natl Acad Sci USA. 106(36):15103-15110.
Nazia AK, Suzana M, Azhar H, Thuy TTN, Azizah MNS. 2010. No genetic
differentiation between geographically isolated populations of Clarias
macrocephalus Gunther in Malaysia revealed by sequences of mtDNA
Cytochrome b and D-loop gene regions. J Appl Ichthyol. 26:568-570.
Nei M, Tajima F. 1981. DNA polymorphism detectable by restriction
endonucleases. Genetics. 97:146-163.
Neira R, García X, Lhorente JP, Filp M, Yáñez JM, Cascante AM. 2016. Evaluation
of the growth and carcass quality of diallel crosses of four strains of Nile
tilapia (Oerochromis niloticus). Aquaculture 451:213-222.
Neira R. 2010. Breeding in aquaculture species: genetic improvement programs in
developing countries. 9th World Congress on Genetics Applied to Livestock
Production [Internet]. 2010 August 1–6. Leipzig (DE): WCGALP. 8
halaman [diunduh 2012 Sep 13]. Tersedia pada:
http://www.kongressband.de/wcgalp2010/assets/pdf/0062.pdf.
Ng HH. 1999. Two species of catfishes of the genus Clarias from Borneo
(Teleostei: Clariidae). Raffles Bull. Zool. 47(1):17-32.
Nguenga D, Teugels GG, Ollevier F. 2000. Fertilization, hatching, survival and
growth rate in reciprocal crosses of two strains of an African catfish
(Heterobranchus longifilis) Valenciennes 1840 under controlled hatchery
conditions. Aquaculture Research 31:565-573.
Nguyen NH, Pongthana N, Ponzoni RW. 2009. Heterosis, direct and maternal
genetic effects on body traits in a complete diallel cross involving four
strains of red Tilapia (Oreochromis spp.). Proc Adv Anim Breed Gen. 18:
358-361.
Nguyen NH, Ponzoni RH. 2008. Prospects for development of a genetic
improvement program in African catfish (Clarias gariepinus). Di dalam:
Ponzoni RH, Nguyen NH, editor. Proceedings of the Workshop on the
Development of a Genetic Improvement Program for African Catfish
Clarias gariepinus; 2007 Nov 5-9; Accra, Ghana. Penang (MY):
WorldFish Center. p 104-115.
Nielsen HM, Ødegård J, Olesen I, Gjerde B, Ardo L, Jeney G, Jeney Z. 2010.
Genetic analysis of common carp (Cyprinus carpio) strains I: Genetic
parameters and heterosis for growth traits and survival. Aquaculture.
304:14-21.
Nurhidayat A, Carman O, Harris E, Sumantadinata K. 2003. Fluktuasi asimetri dan
abnormalitas pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) yang dibudidayakan di
kolam. J Penelit Perikan Indones. 9:55-60.
Overturf K, Casten MT, LaPatra SL, Rexroad C III, Hardy RW. 2003. Comparison
of growth performance, immunological response and genetic diversity of
five strains of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture. 217:93-
106.
Oyelese OA. 2006. Fry survival rate under different anoxic conditions in Clarias
gariepinus. Res J Biol Sci. 1:88-92.
56

Ponzoni RW, Nguyen NH. (eds). 2008. Proceedings of a workshop on the


development of a genetic improvement program for African catfish (Clarias
gariepinus). Penang (MY): The WorldFish Center. p130.
Ponzoni RW, Khaw HL, Nguyen NH, Hamzah A. 2010. Inbreeding and effective
population size in the Malaysian nucleus of the GIFT strain of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus). Aquaculture. 302:42-48.
Porto-Foresti F, Hashimoto DT, Prado FD, Senhorini JA, Foresti F. 2013. Genetic
markers for the identification of hybrids among catfish species of the family
Pimelodidae. J Appl Ichthyol. 29:643-647.
Prado FD, Hashimoto DT, Mendoca FF, Senhorini JA, Foresti F, Porto-Foresti F.
2011. Molecular identification of hybrids between Neotropical catfish
species Pseudoplatystoma corruscans and Pseudoplatystoma reticulatum.
Aquac Res. 42:1890-1894.
Reed DH, Frankham R. 2001. How closely correlated are molecular and
quantitative measures of genetic variation? A meta-analysis. Evolution. 55:
1095–1103.
Rezk MA. 2008. Genetic improvement of Clarias gariepinus at the Worldfish
Center, Abbassa, Egypt. Di dalam: Ponzoni RH, Nguyen NH, editor.
Proceedings of the Workshop on the Development of a Genetic
Improvement Program for African Catfish Clarias gariepinus; 2007 Nov
5-9; Accra, Ghana. Penang (MY): WorldFish Center. p 96-103.
Rognon X, Guyomard R. 1997. Mitochondrial DNA differentiation among East
and West African Nile tilapia populations. J Fish Biol. 51:204-207.
Roodt-Wilding R, Swart BL, Impson ND. 2010. Genetically distinct Dutch-
domesticated Clarias gariepinus used in aquaculture in Southern Africa.
Afr J Aquat Sci. 35(3):241-249.
Rye M, Gjerde B, Gjedrem T. 2010. Genetic development programs for
aquaculture species in developed countries. 9th World Congress on Genetics
Applied to Livestock Production [Internet]. 2010 August 1–6. Leipzig (DE):
WCGALP. 8 halaman [diunduh 2012 Sep 13]. Tersedia pada:
http://www.kongressband.de/wcgalp2010/assets/pdf/0963.pdf.
Sanda MK, Onyia LU, Ochokwu IJ, Michael KG. 2015. Growth and survival of
Clarias anguillaris, Heterobranchus bidorsalis fry and their reciprocal
hybrids reared in two different culture units. IOSR-JAVS. 8:54-57.
Schönhuth S, Luikart G, Doadrio I. 2003. Effects of a founder event and
supplementary introductions on genetic variation in a captive breeding
population of the endangered Spanish killifish. J Fish Biol. 63:1538-1551.
Senanan W, Kapuscinski AR, Na-Nakorn U, Miller LM. 2004. Genetic impacts of
hybrid catfish farming (Clarias macrocephalus x C. gariepinus) on native
catfish populations in central Thailand. Aquaculture. 235:167-184.
Shikano T, Taniguchi N. 2002. Relationships between genetic variation measured
by microsatellite DNA marker and fitness-related trait in the guppy
(Poecilia reticulata). Aquaculture. 209:77-90.
Strussmann CA, Akaba T, Ijima K, Yamagnehi K, Yoshizaki G, Takashima F. 1997.
Spontaneous hybridization in laboratory and genetic markers for
identification of hybrids between two Atherinid species, Odotesthes
bonariensis (Valenciennes 1835) and Patagonina latcheri (Eigenmann
1909). Aquac Res. 28:291-300.
57

Su S, Xu P, Yuan X. 2013. Estimates of combining ability and heterosis for growth


traits in a full diallel cross of three strains of common carp (Cyprinus carpio
L.). Afr J Biotechnol. 12(22):3514-3521.
Suburamanian D, Heo MS, Chellam B. 2015. Genetic assessment for growth
performance in diallel cross of wild and cultured giant freshwater prawn
(Macrobrachium rosenbergii). J Appl Aquac. 27:342-364.
Sudarto. 2002. Systematic revision and phylogenetic relationships among
populations of Clariid species in South East Asia. Disertasi. Universitas
Indonesia. 345 pp.
Sule SO. 2010. Reproductive fitness of stressed female catfish broodstock of
Clarias gariepinus (Burchell, 1822). Prod Agric Technol. 6(1):77-83.
Sunarma A, Nurhidayat MA, Maskur. 2005. Genetic improvement of African
catfish (Clarias gariepinus) using backcross strategy in Indonesia. Di
dalam: World Aquaculture 2005. World Aquaculture Society Meeting; 2005
Mei 09-13. Bali. Bali (ID): World Aquaculture Society. Buku abstrak.
nomor abstrak 197.
Sunarma A, Sarifin, Maskur, Nurhidajat MA. 2013. Nursing stage of african catfish
hybrid in outdoor plastic-based pond. Di dalam: Asia-Pasific Aquaculture
2013. Asia-Pacific Chapter – World Aquaculture Society Meeting; 2013
December 10-13. Ho Chi Mihn City (VN): World Aquaculture Society.
Buku abstrak. nomor abstrak 380.
Tave D. 1986. Genetics for Fish Hatchery Managers. Connecticut (US): AVI Pub.
p299.
Teugels GG. 1986. A systematic revision of the African species of the genus
Clarias (Pisces: Clariidae). Annales du Musée Royal de l’Afrique Centrale
247. 199 p.
Thanh NM, Ponzoni RW, Nguyen NH, Vu NT, Barnes A, Mather PB. 2009.
Evaluation of growth performance in a diallel cross of three strains of giant
freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) in Vietnam. Aquaculture
287:75-83.
Thanh NM, Nguyen NH, Ponzoni RW, Vu NT, Barnes AC, Mather PB. 2010.
Estimates of strain additive and non-additive genetic effects for growth
traits in a diallel cross of three strains of giant freshwater prawn
(Macrobrachium rosenbergii) in Vietnam. Aquaculture. 299:30-36.
Thelen GC, Allendorf FW. 2001. Heterozygosity-fitness correlations in rainbow
trout: effects of allozyme loci or associative overdominance? Evolution.
55:1180-1187.
Thepot V, Jerry DR. 2015. The effect of temperature on the embryonic
development of barramundi, the Australian strain of Lates calcarifer
(Bloch) using current hatchery practices. Aquac Rep. 2:132-138.
Thoa NP, Ninh NN, Hoa NT, Knibb W, Diep NH, Nguyen NH. 2016. Additive
genetic and heterotic effects in a 4x4 complete diallel cross-population of
Nile tilapia (Oreochromis niloticus, Linnaeus, 1758) reared in different
water temperature environments in Northern Vietnam. Aquac Res. 47:708-
720.
Vandeputte M. 2003. Selective breeding of quantitative traits in the common carp
(Cyprinus carpio): A review. Aquat Living Resour. 16:399-407.
58

Vandeputte M, Garouste R, Dupont-Nivet M, Haffray P, Vergnet A, Chavanne H,


Laureau S, Ron TB, Pagelson G, Mazorra C, Ricoux R, Marques P, Gameiro
M, Chatain B. 2014. Multi-site evaluation of the rearing performances of 5
wild populations of European sea bass (Dicentrarchus labrax). Aquaculture
424-425:239-248.
Viveiros ATM, Fessehaye Y, ter Veld M, Schulz RW, Komen J. 2002. Hand-
stripping of semen and semen quality after maturational hormone treatments,
in African catfish (Clarias gariepinus). Aquaculture 213:373-386.
Volckaert FAM, Hellemans B. 1999. Survival, growth and selection in a
communally reared multifactorial cross of African catfish (Clarias
gariepinus). Aquaculture 171:49-64.
Wachirachaikarn A, Rungsin W, Srisapoome P, Na-nakorn U. 2009. Crossing of
African catfish (Clarias gariepinus, Burchell 1822), strains based on strain
selection using genetic diversity data. Aquaculture. 290:53-60.
Wagenaar G, Botha T, Barnhoorn I. 2012. Sperm motility and testicular histology
as reproductive indicators in Clarias gariepinus from an eutrophic
impoundment, South Africa. J Appl Ichthyol. 28:990-997
Whitlock R, Stewart GB, Goodman SJ, Piertney SB, Butlin RK, Pullin AS, Burke
T. 2013. A systematic review of phenotypic responses to between-
population outbreeding. Environ Evid. 2:13
Wilson CC, Bernatchez L. 1998. The ghost of hybrids past: fixation of arctic charr
(Salvelinus alpinus) mitochondrial DNA in an introgressed population of
lake trout (S. namaycush). Mol Ecol 7:127-132.
Yanes JM, Bassini LN, Filp M, Lhorente JP, Ponzoni RW, Neira R. 2014.
Inbreeding and effective population size in a coho salmon (Oncorhynchus
kisutch) breeding nucleus in Chile. Aquaculture. 420-421:S15-S19.
Zak T, Perelberg A, Magen I, Milstein A, Joseph D. 2007. Heterosis in the growth
rate of Hungarian-Israeli common carp crossbreeds and evaluation of their
sensitivity to Koi Herpes Virus (KHV) disease. IJA Bamidgeh. 59:63-72.
Zhou JF, Wu QJ, Ye YZ, Ton JG. 2003. Genetic divergence between Cyprinus
carpio carpio and Cyprinus carpio haematopterus as assessed by
mitochondrial DNA analysis, with emphasis on origin of European
domestic carp. Genetica. 119: 93-97.
59

Lampiran 1 Elektroforegram hasil amplifikasi produk PCR DNA mitokondria


lokus ND5/6 pada ikan lele

Keterangan:
Mr : Marker
S : Sampel ikan lele populasi Sangkuriang
M : Sampel ikan lele populasi Mesir
K : Sampel ikan lele populasi Kenya
B : Sampel ikan lele populasi Belanda
T : Sampel ikan lele populasi Thailand
L : Sampel ikan lele lokal
K- : Sampel kontrol negatif berupa nuclease free water
60

Lampiran 2 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim AluI pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 1350+550+325+250+200 (2675)
B 1300+550+325+300+225+175 (2875)
C 1700+550+275+225+175+125 (3050)
D 1600+550+275+225+175+125 (2950)
E 1500+500+275+225+175+125 (2800)
F 1250+450+275+225+175+125 (2500)
G 1200+400+250+225+175+125 (2375)
H 1400+550+325+225 (2500)
I 1100+500+350+300+250+200+125 (2825)
J 1200+600+350+300+250+200+125 (3025)
K 1450+1100+300 (2850)
61

Lampiran 3 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim HaeIII pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 900+750+550+225+150 (2575)
B 700+600+450+225 (1975)
C 650+450+350+225+200+150 (2025)
D 700+450+350+225+200+150 (2075)
E 700+450+350+250+200+150 (2100)
F 550+425+400+325+225+200+150 (2275)
G 750+600+450+350+250+150 (2550)
H 600+450+400+325+225 (2000)
I 750+480+300+150 (1680)
62

Lampiran 4 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim HhaI pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 3000 (3000)
B 1500 (1500)
C 2000+200 (2200)
63

Lampiran 5 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim HinfI pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 1000+800+450+425 (2675)
B 800+650+400+300 (2150)
C 1200+950+450+125 (2725)
D 1000+800+425+125 (2350)
E 1350+1200+450 (3000)
F 1100+800+425 (2325)
G 800+650+425+400 (2275)
H 950+600+475+300+250+200+175 (2950)
64

Lampiran 6 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim HpaII pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 1700+1500 (3200)
B 1500+1400 (2900)
C 1600+1500 (3100)
D 3000 (3000)
65

Lampiran 7 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim PstI pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 3000 (3000)
B 3000+200 (3200)
66

Lampiran 8 Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6,


profil penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil
restriksi dengan enzim TaqI pada ikan lele
Keterangan:
Mr : Marker
S : populasi Sangkuriang
M : populasi Mesir
K : populasi Kenya
B : populasi Belanda
T : populasi Thailand
L : Ikan lele lokal

Haplotipe Ukuran Fragmen (Jumlah bp)


A 1100+650+525+500 (2775)
B 900+550+450+425+125 (2450)
C 1600+650+500 (2750)
D 1500+550+450 (2500)
E 2000+1100 (3100)
RIWAYAT HIDUP

Ade Sunarma, terlahir 29 Juli 1973 di Sukabumi. Anak


bungsu dari empat bersaudara. Seorang suami dan ayah dari
tiga anaknya. Melewati masa kecil dan mengenyam
pendidikan SD dan SMP di Kecamatan Kalibunder, bagian
selatan Kabupaten Sukabumi. Mulai menjelajah Kota
Sukabumi ketika melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1
Sukabumi dilanjutkan ke Bogor untuk studi di Program
Studi Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Lepas
dari IPB pada Tahun 1997 langsung diterima di BBAT
Sukabumi (sekarang menjadi BBPBAT Sukabumi). Tahun
2005-2007 mendapat kesempatan melanjutkan studi S2 di
Program Studi Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Pada tahun 2013 menerima
penghargaan Satya Lancana Wirakarya dan Satya Lancana Karya Satya X dari
Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2013 mengikuti Asia Pasific Aquaculture
di Vietnam dan mendapat kesempatan berkunjung ke Kenya sebagai Tim Ahli
untuk Evaluasi Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Kenya serta pada
tahun 2014 mengikuti World Aquaculture Adelaide 2014 di Australia. Hingga saat
ini aktif mengelola blog www.sunarma.id.

Anda mungkin juga menyukai