Anda di halaman 1dari 17

1.

Leukoplakia
 Leukoplakia  lesi putih prekanker dengan risiko bertransformasi menjadi ganas.
 Prekanker yang paling sering terjadi pada rongga mulut adalah leukoplakia dan
erythroplakia.
 Leukoplakia  plak berwarna putih yang tidak dapat dikarakteristikan secara
klinis atau patologis sebagai penyakit apapun (WHO, 1978). Definisi ini tidak memiliki
konotasi histologis dan digunakan sebagai deskripsi klinis. Risiko transformasi menjadi
ganas tergantung dari klinis dan histologis, tetapi risiko menjadi ganas diperkirakan
sekitar 4-6%.
a. Etiologi
Faktor penyebab :
1) Tembakau
 paling berhubungan  80% pasien leukoplakia adalah perokok.
 perkembangan leukoplakia pada perokok  tergantung pada durasi pemakaian
(insiden lesi pada perokok berat > perokok ringan)
 berhenti merokok  dapat menresolusi lesi leukoplakia secara parsial atau total
 Smokeless tobacco  juga menjadi etiologi leukoplakia  potensial
transformasi menjadi gaas lebih kecil dibanding smoking-induced lesions.
2) Alkohol
 konsumsi alcohol sendiri  tidak berhubungan dengan peningkatan risiko
perkembangan leukopakia, tetapi alkohol diperkirakan menjadi promoter dengan
tembakau yang menyebabkan efek sinergis yang kuat  perkembangan
leukoplakia dan kanker oral
3) Sunlight (sinar matahari  radiasi UV)
 faktor etiologi pada leukoplakia di vermilion border bibir bawah
4) Candidiasis
 Candida albicans sering ditemukan pada pemeriksaan histologis leukoplakia 
sering ditemukan pada (60% kasus) nodular leukoplakias, tetapi jarang (3%) in
homogeneous leukoplakias
 Sering disebut dengan “candidal leukoplakia” dan “hyperplastic candidiasis”
 Candida membentuk kofaktor  produksi keratin
5) Reaksi electrogalvanic
6) (kemungkinan) herpes simplex dan papilomavirus
 Human papillomavirus (HPV)  subtypes HPV-16 dan HPV-18
 HPV-16 berhubungan dengan peningkatan risiko transformasi menjadi ganas
Beberapa bukti menyatakan  oral leukoplakia in nonsmokers memiliki risiko yang lebih
besar menjadi ganas dibandingkan dengan oral leukoplakia in smokers

b. Gambaran Klinis
 Insiden leukoplakia tergantung : lokasi geografis dan kebiasaan pasien
 smokeless tobacco  leukoplakia (prevalensi tinggi)
 Leukoplakia lebih sering ditemukan pada pria, dapat terjadi pada permukaan
mukosa, namun jarang menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri.
 Leukoplakia sering terjadi pada dewasa yang lebih tua dari 50 tahun.
 Prevalensi meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada pria (8% dari
pria usia > 70 tahun)
 70% lesi leukoplakia oral ditemukan pada mukosa bukal, vermillion border
bibir bawah, dan gingival
 Jarang terjadi pada palatum, mukosa maksila, area retromolar, dasar mulut,
dan lidah.
 Lesi pada lidah dan dasar mulut  90% menunjukkan displasia dan
karsinoma

Subtipe
1) Homogenous Leukoplakia
 Homogeneous leukoplakia” (or “thick leukoplakia”)  batas
jelas, terlokalisasi atau ekstensif, agak lebih menonjol, dan permukaan memiliki
fissure, kerutan, atau bergelombang.
 Ketika dipalpasi terasa leathery (kenyal), atau seperti cracked
mud-like.

2) Nodular (speckeld) Leukoplakia


 Nodular (speckled) leukoplakia  granular atau nonhomogeneous
 Lesi merah dan putih dengan nodul atau patch puthih tersebar dengan latar
belakang erythematous.
 Tipe leukoplakia ini memiliki transformasi mejadi ganas yang tinggi, dengan
2/3 dari kasus ini menunjukkan displasia epitel atau karsinoma

3) Verrucous Leukoplakia
 “Verrucous leukoplakia” or “verruciform leukoplakia”  lesi putih tetal
dengan permukaan papillary pada rongga mulut.
 Lesi ini umumnya banyak terkeratinisasi dan sering terlihat pada dewasa tua
(usia 60-80 tahun).
 Beberapa dari lesi ini memperlihatkan pola perkembangan exophytic.
4) Proliferative verrucous
leukoplakia (PVL)
 Proliferative
verrucous leukoplakia (PVL)  extensive papillary or plak putih verrucoid dan
umumnya melibatkan daerah mukosa secara lambat hingga dapat bertranformasi
menjadi karsinoma sel skuamosa setelah beberapa tahun.
 PVL memiliki risiko
yang sangat tinggi untuk bertransformasi menjadi displasia, karsinoma sel
skuamosa, dan verrucous carcinoma. Verrucous carcinoma perkembangan
lambat dan lesi well-differentiated yang jarang bermetastasis.

c. Gambaran Histopatologis
 Metode untuk mendiagnosa lesi leukoplakia 
pemeriksaan mikroskopis dari specimen biopsy yang adekuat
 Bentuk jinak dari leukoplakia  hyperkeratosis dan
inflamasi kronis.
 Leukoplakia jinak  dapat bertransformasi menjadi
ganas
 Waldron and Shafer, meneliti lebih dari 3,000 kasus
leukoplakia, menemukan 80% lesi hyperkeratosis jinak (ortho- or parakeratindengan
atau tanpa penebalan spinous layer (acanthosis).
 17% kasus  epithelial dysplasias or carcinomas in
situ
 Perubahan displastik berawal dari zona basal dan
prebasal dari epithelium
 Semakin banyak melibatkan epitel, semakin tinggi
tingkat displasia
 Perubahan displastik epitelium ditandai dengan inti
yang membesar dan hiperkromatik, pleomorphism sel dan inti, keratinisasi prematur
sel, peningkatan ratio nucleocytoplasmic, peningkatan aktivitas mitotik, dan
kehilangan polaritas dan orientasi sel.
 Ketika seluruh epitel (dari atas sampai bawah)
terlibat  carcinoma in situ (CIS)
 Hanya 3% dari lesi leukoplakik yang berevolusi
menjadi karsinoma sel skuamosa
d. Diagnosis dan Perawatan
 untuk mendiagnosis diperlukan  pemeriksaan
klinis dan histologis yang adekuat
 kriteria klinis penting : lokasi, gambaran klinis,
iritan, patogenesis.
 Banyak lesi putih yang mirip dengan leukoplakia :
o lichen planus,
o lesions caused by cheek biting,
o frictional keratosis,
o smokeless tobacco–induced keratosis,
o nicotinic stomatitis,
o leukoedema,
o white sponge nevus.
 Jika lesi leukoplakia hilang secara spontan ketika eliminasi iritan  tidak perlu
pemeriksaan lebih lanjut
 Jika lesi persisten  biopsi
 Metode pendukung : vital staining with toluidine blue and cytobrush techniques 
membantu mempercepat biopsy dan / atau memilih spot yang tepat untuk dibiopsi.
 Toluidine blue staining menggunakan 1% aqueous solution of the dye that is
decolorized with 1% acetic acid. Warna akan menempel pada dysplastic and
malignant epithelial cells dengan tingkat akurasi yang tinggi.
 The cytobrush technique menggunakan sikat yang lembut yang dapat mengambil sel
dari epitel sel skuamosa.  Teknik ini lebih akurat dibanding dengan teknik sitologi
yang lain yang digunakan pada rongga mulut.
Tetapi perlu diingat bahwa staining dan cytobrush techniques hanya membantu tetapi
tidak bisa menggantikan incisional biopsy.
 Jika biopsi sudah dilakukan tetapi lsi tidak hilang  perlu biopsi ketika terjadi
perubahan tanda dan gejala
 Perawatan definitif :
o eksisi bedah  cryosurgery dan laser ablation lebih dianjurkan karena memiliki
presisi yang baik dan penyembuhan yang cepat
o total eksisi agresif  ada microscopic dysplasia (apalgi displasia yang severe
dan moderate).
o Penggunaan vitamin dan antioksidan  tunggal atau kombinasi dosis dari
vitamin A,C, dan E, beta carotene, dan makanan dengan antioksidan tinggi dan
cell growth suppressor proteins (buah dan sayur)
 Umumnya leukoplakia  risiko rendah terhadap perubahan menjadi ganas
 Setalah pengangkatan  dapat terjadi rekurensi jika eksisi tidak adekuat atau
kebiasaan yang menjadi penyebab terus dilakukan
 Pasien harus terus dipantau karena ada risiko lesi menjadi ganas

e. Prognosis
 setelah operasi pengankatan  perlu dilakukan monitoring jangka panjang dari
daerah lesi karena leukoplakia memiliki rekurensi yang tinggi.
 Rekurensi setelah 3,9 tahun rata-rata mencapai 20%.
 Lesi jinak kecil tanpa displasia  harus dipantau  memiliki risiko menjadi ganas 4-
6%
 Lesi besar tanpa displasia  bisa diangkat atau follow-up evaluation, dengan atau
tanpa medikasi
 Kunjungan dan biopsi untuk follow up  penting  apalagi ketika eliminasi iritan
tidak sempurna
 Hasil studi  perubahan menjadi ganas terjadi setelah 2-4 tahun setelah onset dari
leukoplakia tetapi dapat juga terjadi setelah beberapa bulan atau juga setelah beberapa
dekade
 Setiap gambaran klinis dari leukoplakia memiliki perbedaan potensi menjadi ganas.
 Urutan dari yang memiliki potensi menjadi ganas paling tinggi :
o Speckled (nodul) leukoplakia,
o verrucous leukoplakia,
o homogeneous leukoplakia
 Untuk dysplastic leukoplakia  harus cek histologis ketika ingin melakukan
perawatan dan follow up. Semakin tinggi tingkat displasia, semakin tinggi
kemungkinan untuk berubah menjadi ganas
 Banyak faktor yang terlibat dalam perawatan yang optimal, misalnya : lama persisten
lesi, perkembangan leukoplakia pada perokok, lesi timbul pada daerah dengan risiko
tinggi seperti di dasar mulut, palatum lunak, oropharynx, atau permukaan ventral
lidah.

2. Oral Hairy Leukoplakia


 Lesi putih berombak yang biasanya muncul di permukaan lateral dan ventral lidah
individu dengan imunodefisiensi berat. Penyakit yang paling sering terkait adalah
infeksi HIV, 25% dari penderita HIV dewasa. 80% pada penderita AIDS. Epstein-Bar
Virus salah satu penyebab hairy leukoplakia oral ini. Selain itu juga ditemukan pada
individu dengan kondisi imunosupresan, seperti penerima
donor organ, dalam terapi steroid yang lama.

1) Predileksi

Lidah sisi lateral dan ventral. Dapat meluas ke dorsal.

2) Gambaran Khas
 Lesi berombak dengn penampakan
berkerut dan mengikuti bagian lidah yang terkunyah. Dapat berbentuk seperti
plak. Umumnya lesi bilateral. Hiperkeratosis yang berat dari epitel dengan
permukaan yang irregular, acanthosis dengan edema superficial, dan beberapa sel
koilocytic (virally affected “balloon” cells) di spinous layer.
 Terdapat inklusi virus homogen dengan adanya residual rim dari
kromatin normal

3) Perawatan dan Prognosis


 Penegakkan diagnosis
EPV dapat dibantu dengan hibridisasi in situ, mikroskop electron, polymerase
chain reaction (PCR)

3. Oral Lichen Planus


 Oral lichen planus (OLP) merupakan chronic immunologic inflammatory
mucocutaneous disorder yang memiliki tampakan yang bervariasi, mulai dari keratotik
(retikular atau seperti plak), erythematous, dan ulseratif.

Sekitar 28% pasien dengan OLP juga memiliki lesi kulit. Umumnya terdapat pada lengan
bawah, kulit kepala, dan genital. Tidak seperti lesi oral, lesi kulit umumnya self-limiting, akan
menghilang sekitar setahun kemudian.

Kurangnya penelitian epidemiologi OLP, dan bervariasinya gejala OLP, menyebabkan


sulitnya memprediksi prevalensi kasus OLP.

a. Etiologi dan Diagnosis


Etiologi liken planus meliputi cell-mediated yang secara imunologik mempengaruhi
degenerasi lapisan sel basal pada epitelium. Liken planus merupakan penyakit dengan
jaringan yang sangat luas yang mana secara imunologik mempengaruhi lesi lichenoid
yang merupakan denominator yang umum. sehingga terdapat banyak kemiripan, klinis
dan histologis, antara likenplanus, lichenoid dermatoses, dan stomatitis yang berhubungan
dengan obat, beberapa penyakit autoimun, serta graft-versus-host reaction. Terdapat
beberapa faktor yang diduga merupakan faktor risiko OLP, antara lain stres, diabetes,
hepatitis C, trauma, dan hipersensitivitas terhadap obat dan metal, ketiga faktor terakhir
memiliki beberapa bukti yang cukup meyakinkan.

Etiologi OLP yang sebenarnya tidak dapat diidentifikasi. Bagaimanapun perubahan


klinis dan mikroskopis yang konsisten dengan OLP seringkali terjadi sebagai respon
terhadap beberapa agen (obat-obatan, bahan kimia, metal, dan makanan). Saat manifestasi
ini terjadi, hal ini disebut reaksi ‘likenoid’. Saat agen atau antigen dihilangkan, gejala
akan hilang.

Untuk menentukan diagnosis, diperlukan pemeriksaan klinis dan histologis yang


menyeluruh untuk melihat kemungkinan adanya displasia dan karsinoma. Biopsi juga
diperlukan jika terjadi perubahan tanda dan gejala.

b. Gambaran Klinis
Umumnya terjadi pada usia 50 tahun-an, dan lebih sering pada wanita. Tempat
kemunculan OLP umumnya pada mukosa bukal, diikuti dengan lidah, gingiva, dan bibir.
Gejala yang terjadi adalah rasa sakit dan tidak nyaman, yang dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Umumnya sekitar 1% pasien memiliki cuteneous lichen planus. Prevalensi
OLP berkisar antara 0,1-2,2%. Lesi kulit liken planus dideskripsikan sebagai papul ungu,
pruritik, dan poligonal.
A B C

OLP diklasifikasikan sebagai:


1) Reticular (lacelike keratotic mucosal configurations)
 Umumnya asimtomatik dan berkembang lambat.
 Bentuk ini terdiri dari (1) slightly elevated fine whitish line (Wickham’s striae)
yang menghasilkan pola seperti tali/renda (lacelike) atau pattern of fine radiating
lines atau (2) lesi anular.
 Bentuk OLP yang paling umum dan mudah dikenali
 Tempat predileksi: mukosa bukal (paling sering, umumnya bilateral), diikuti
dengan lidah, bibir, gingiva, lantai mulut, dan palatum.
 Whitish elevates lesions umumnya berdiameter 1,5-1 mm.
2) Atrophic (kombinasi perubahan keratotik dengan eritema mukosal)
 Muncul sebagai area terinflamasi pada mukosa oral, dilapisi oleh thinning red-
appearing epithelium
 Umumnya terasa sakit/nyeri
3) Erosive (kombinasi pseudomembrane-covered ulcerations dengan keratosis dan
eritema)
 Mungkin berkembang sebagai komplikasi dari proses atrophic saat thin
epithelium mengalami pengelupasan atau ulserasi.
 Gejala bervariasi, mulai dari mild-burning hingga rasa sakit yang parah.
4) Bullous (kombinasi tampakan vesikobulosa dengan pola retikular atau erosif)
 Jarang terjadi.
 Terkadang menyerupai bentuk dari linear IgA disease.

c. Gambaran Histologis
Tiga gambaran penting untuk diagnosis histopatologis dari liken planus:
1) Area hiperparakeratosis atau hiperortokeratosis, seringkali dengan penebalan lapisan
sel granular dan tampakan saw-toothed to the rete pegs
2) ‘liguefaction degeneration’ atau nekrosis lapisan sel basal, yang seringkali digantikan
oleh sebuah pita eosinofilik
3) Sebuah pita epitelial padat dari limfosit
Penelitian imunohistochemical telah mengkonfirmasi bahwa rasio T4/T8 dari limfosit
dari epitelium dan lamina propria pada lesi likenoid lebih tinggi daripada mukosa normal
maupun mukosa leukoplakic, dengan demikian hal ini akan membantu membedakan
leukoplakia dari reaksi likenoid.

d. DD
1) Lesi likenoid (drug-induced lesions, hipersensitivitas merkuri-kontak,
erythema multiforme, lupus erythematosus, dan graft-versus-host-reaction)
2) Leukoplakia
3) Squamous cell carcinoma
4) Mucous membrane pemphigoid
5) Candidiasis
Riwayat yang detail dari tampakan klinis dan distribusi lesi akan sangat berguna.
Biopsi sebaiknya dilakukan sebelum perawatan, dikarenakan jika dilakukan setelah
atau saat perawatan, pemakaian kortikosteroid akan mengacaukan hasil biopsi. Biopsi
pada papular dan plaquelike OLP dilakukan untuk melihat kemungkinan parubahan
displastik dan leukoplakia. Umumnya biopsi dilakukan pada OLP yang berbentuk erosive
dan bullous, dikarenakan lesi-lesi ini simtomatik (sehingga dokter gigi akan sangat
memperhatikannya) dan untuk membedakan dengan lesi-lesi vesikobulosa lainnya.

e. Clinical Course and Prognosis


Lesi pada Oral Lichen Planus tampak, menghilang dan terlihat kembali dengan cara
yang berbeda-beda pada tiap individu. Seorang ahli menyatakan bahwa beberapa lesi OP
sembuh dengan spontan, yaitu lesi atrofik 12%, lesi plaque-like 7% dan lesi erosif 0%
(harus dengan perawatan).

Bentuk OLP sebagai lesi yang premalignant masih didebatkan. Namun beberapa studi
kasus menyatakan bahwa insiden berkembangnya OLP menjadi squamous cell carcinoma
terjadi sekitar 0.4 – 2%, dan kebanyakan terjadi pada lidah dan mukosa bukal.

f. Treatment
 Kortikosteroid topikal/ sistemik biasanya diberikan pada pasien. Medikasi secara
topikal biasanya lebih sering digunakan, yaitu flucinonide 0.05% dan clobetasol
0.05%, dalam bentuk pasta atau gel. Bentuk topikal diaplikasikan tiap hari sesuai
dengan kebutuhan pasien dan cara pengaplikasiannya dengan dioleskan dengan kapas
atau kassa (terutama pada mukosa bukal).

 Selain itu, lesi erosif yang mengalami perluasan pada gingiva (desquamative
gingivitis) dapat dirawat dengan menggunakan occlusive splints sebagai carrier dari
kortikosteroid. Terapi occlusive ini dapat menyebabkan absorpsi sitemik dari high-
potency kortikosteroid, maka pasien harus memonitor penggunaan dosis seminimal
mungkin tiap harinya. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan obat kumur
antibacterial seperti chlorhexidine sebelum penggunaan steroid dapat mencegah
perkembangan jamur

 Steroid sistemik jarang digunakan. Obat yang biasanya digunakan secara sistemiki
adalah tablet prednisone dengan dosis 40-80 mg per hari untuk 10 hari, namun
penggunaan dosisnya tetap berdasarkan status medis pasien, beratnya penyakit dan
respon terhadap perawatan terdahulu. Bila ada penyakit sistemis, maka pasien wajib
dikonsul terlebih dahulu, sebelum menggunakan obat-obatan steroid.

 Retinoid juga dapat digunakan, bersamaan dengan penggunaan kortikosteroid topical.


Aplikasi topical retinoid dalam bentuk pasta atau gel dapat mengeliminasi lesi-lesi
khusus, seperti plaque-like lesions pada banyak pasien. Penggunaan retinoid secara
sistemis dapat menyebabkan disfungsi liver, cheilitis dan teratogenisitas, namun ada
obat sistemik yang cukup aman, yaitu temarotene  meminimalkan efek samping.
Selain itu obat-obat lain yang dapat digunakan secara sistemik dan topical adalah
dapsone, doxycycline dan antimalarials.

 Jika lesi terdapat pada mukosa di dekat restorasi amalgam dan pasien memiliki hasil
positif pada saat tes merkuri dan metal lainnya, pengangkatan restorasi amalgam
dapat dilakukan untuk penyembuhan pasien. Bedah eksisi tidak dianjurkan untuk OLP
kecuali terjadi kasus dysplasia/keganasan.

4. Reaksi Lichenoid
Reaksi lichenoid dan lichen planus memiliki gambaran histopatologis yang sama.
Sedangkan perbedaannya adalah : (1) hubungan reaksi lichenoid dengan penggunaan obat-
obatan, kontak dengan logam metal, penggunaan perasa makanan dan penyakit sistemis (2)
penyembuhan reaksi lichenoid setelah obat-obatan atau faktor lainnya dieliminasi atau setelah
lesi dirawat. Secara klinis, reaksi Lichenoid menyerupai tampakan dari Lichen Planus
a) Drug-Induced Lichenoid Reactions
 drug-induced lichenoid reactions adalah lesi mukosa oral yang memiliki karakteristik
klinis dan histopatologi yang sama dengan lichen planus, dan yang berhubungan
dengan penggunaan obat-obatan dan sembuh setelah penggunaan obat-obatan
tersebut. Sejarah penggunaan obat-obatan merupakan hal yang penting ditanyakan
pada saat pemeriksaan pasien dengan reaksi lichenoid pada kulit,mukosa oralnya.

 Secara klinis, terdapat sedikit pembeda antara lichen planus dengan reaksi ini  pada
lesi lichenoid yang melibatkan bibir dan yang penyebarannya asimetris dan
melibatkan kulit, biasanya merupakan reaksi dari penggunaan obat-obatan. Secara
histopatologis, erupsi lichenoid karena penggunaan obat memperlihatkan infiltrasi
limfositik secara superficial yang dalam, berbeda dengan lichen planus yang
infiltrasinya berupa band-like. Eosinofil, sel plasma dan neutrofil juga dapat terlihat
pada infiltratnya.

 Reaksi ini dapat sembuh seiring dengan berhentinya penggunaan obat-obatan.


Bagaimanapun, banyak lesi yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dapat
sembuh. Terapi obat-obatan yang menyebabkan reaksi ini adalah terapi NSAIDs,
diuretic, antihipersensitif lain dan agen hypoglikemik oral (tipe sulfonylurea).
Frekuensi timbulnya reaksi ini pada pengguna NSAIDs adalah 10 x lebih besar
daripada obat-obatan yang lain. Pada kasus yang melibatkan sistemis, reaksi lichenoid
ini juga dapat menyebabkan penyakit lupus erythematosus.

b) Graft-versus-Host Disease (GVHD)


 GVHD adalah fenomena imunologi multisitemik kompleks yang dikarakteristikan
dengan interaksi dari sel-sel imunokompeten dari individu donor pada individu host
yang tidak hanya mengalami imunodefidiensi, tetapi juga memiliki iso antigen
transplantasi terhadap graft dan dapat terstimulais. Reaksi ini terjadi sebesar 70%
pada pasien yang menjalani transplantasi tulang sumsum allogen, biasanya untuk
perawatan leukemia refraktori akut.

 Reaksi ini memiliki betuk akut (< 100 hari setelah transplantasi tulang sum-sum) dan
kronis ( > 100 hari setelah transplantasi).

 Tampakan klinis. Lesi epidermis dari GVHD akut berkisar antara bercak-bercak
ringan sampai kerak-kerak difus yang parah. Lesi ini dapat melibatkan nekrolisi toxic
epidermal yang ditemukan pada pasien EM (erythema multiforme)  adanya bulla
berukuran besar yang berkembang dengan terlepasnya epidermis kulit, meninggalkan
tampakan kulit yang terbakar. Lesi pada oral mukosa terjadi hanya pada 1/3 kasus.

 sedangkan pada GVHD kronis, biasanya berhubungan dengan lesi lichenoid dan
mengenai kulit dan membrane mukosa. Lesi oral terjadi pada 80% kasus GVHD,
epithelium dari kelenjar saliva dan lakrimal biasanya juga terlibat. Pada beberapa
kasus, lesi lichenoid intraoral biasanya meluas dan melibatkan pipi, lidah, bibir dan
gingival. Pada kebanyakan pasien dengan GVHD oral, terlihat adanya jaringan
reticular striae putih yang menyerupai OLP. Pasien biasanya mengeluh adanya rasa
terbakar pada mukosa oralnya. Xerostomia bioasanya dikeluhkan ketika kelenjar
saliva ikut terlibat. Kronik GVHD juga dapat memperlihatkan keterlibatan pyogenic
granuloma pada lidah.

 DD dari GVHD adalah candidiasis dan infeksi lainnya, dan juga infeksi virus (herpes
dan CMV). Karena adanya potensi keterlibatan kelenjar saliva pada GVHD kronis,
maka diperlukan juga biopsy dari kelenjar saliva minor.

 Perawatan dan prognosis. Prinsip dasar dari perawatannya adalah pemeriksaan


histokompatibilitas pasien dan penggunaan obat-obatan imunnosupresif. Pada
beberapa kasus, kortikosteroid topical dan medikasi paliatif dapat memfasilitasi
penyembuhan ulserasi. Terapi radiasu dengan sinar ultraviolet A dapat efektif juga
untuk penyembuhan lesi.

 suspensi azathioprine dapat digunakan sebagai obat kumur-kumur yang kemudian


ditelan. Biasanya digunakan untuk mengatasi lesi yang resisten terhadap perawatan
sebelumnya.
5. Linea Alba
 Umumnya ditemukan: alur horizontal pada mukosa setinggi bidang oklusal, meluas
dari lip commissure sampai gigi posterior, biasanya berhubungan dengan tekanan, iritasi
friksional, atau sucking trauma.

2) Gambaran Klinis
 Umumnya bilateral, lebih sering terjadi pada individu dengan
reduced overjet pada gigi posterior, dan terbatas pada rahang yang
bergigi.

3) Perawatan
 Tidak ada perawatan yang diindikasikan.
6. Stomatitis Nikotin /stomatitis nicotina palati / smoker’s palate
 Lesi putih pada palatum lunak dan keras dari perokok berat (pipa, cerutu, rokok)
yang. Semakin jarang ditemukan semenjak rokok pipa tidak populer lagi. Bukan merupakan lesi
pra-ganas.
 Juga terdapat pada individu yang sering minum minuman sagat panas, sehingga
disimpulkan penyebab utamanya adalah panas dari asap bukan toksiknya.
Epidemiologi  amerika selatan dan asia, terkait kultur mereka: kebiasaan
mematikan asap di oral  lesi dapat menjadi eritroplakia = pre-ganas.

1) Predileksi
 Terkonsentrasi pada
bagian palatum lunak dan keras yang terpapar asap panas paling sering saat
inhalasi asap

2) Gambaran Khas

Karena suatu kondisi kronis, palatum menjadi berwarna
keabuan atau putih (fig A). Terdapat sejumlah papul
yang sedikit penonjolannya dengan bagian tengah
bertanda merah  inflamasi. Juga terlihat duktus
kelenjar saliva minor mengalami metaplasia.
3) Perawatan dan Prognosis
 Penghentian merokok  jaringan berangsur pulih dan kembali normal setelah 2
minggu.
 Biopsi jarang diindikasikan, kecuali lesi menetap setelah 1 bulan setelah berhenti
merokok.

7. Geographic Tongue
 Asimtomatic, namun beberapa pasien merasakan sensasi terbakar
 Lesi berbentuk annular, circinate, serpiginous dan adanya batas putih serta
fisur
 Pasien dengan geographic tounge memiliki riwayat keluarga asma,
eczema, dan hay fever
 Pasien anemia juga memiliki resiko geographic tounge.
 Kondisi hormone juga mempengaruhi geographic tounge.

8. Hairy Tounge (Black Hairy Tounge)


 Merupakan defek sel deskuamasi yang membentuk secondary filiform papilla
berkeratin membentuk formasi seperti rambut.
 Warna hitam dapat disebabkan karena merokok,psikotropic agen,radiasi, antibiotic
spectrum luas, dan steroid sistemis.
 Penggunaan obat kumur oxidizing dan overgrowth dari jamur serta bakteri juga
menyebabkan hairy tounge.
 OH buruk akan memperparah penyakit.
 Predileksi : 2/3 anterior dorsum lidah pada bagian midline lidah
 Klinis: lidah menebal, papilla filiform yang memanjang
 Treatment : menghilangkan factor predisposisi, podophillin resin 1%, topical
tretinoin.

9. Leukoedema
 Merupakan perubahan mukosa yang umum atau variasi dari kondisi yang normal.
 Terjadi pada 90% orang dewasa berkulit hitam dan 50% remaja berkulit hitam.
 Juga terjadi di permukaan mukosa lain, seperti vagina dan laring.

4) Gambaran Klinis
 Daerah paling sering terkena: mukosa bukal secara bilateral, jarang terjadi
pada: mukosa labial, palatum lunak, dan dasar mulut.
 Biasanya memiliki gambaran: lesi putih yang tipis, difus, dan memiliki
lapisan (filmy appearance).
 Lesi tersebut tidak dapat dikikis (scrap) dan akan menghilang/menjadi kabur jika
mukosa diregangkan.
 Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan: penebalan epitel, dengan edema
intraseluler yang signifikan pada stratum spinosum.
 Permukaan epitel dapat memperlihatkan penebalan lapisan parakeratin.

5) Perawatan
 Tidak ada indikasi untuk melakukan perawatan. Tidak ada laporan perubahan lesi
menjadi ganas.

10. White Sponge Nevus (WSN)

 Merupakan kelainan dominan autosomal yang jarang dengan


derajat penetrasi yang tinggi dan tampilan yang bervariasi.
 Dominan berpengaruh pada epitel skuamosa berlapis tanpa lapisan
tanduk.
 Biasanya melibatkan mukosa oral dan juga dapat terjadi pada
(jarang) membran mukosa hidung, esofagus, genital, dan rektum.
 Dapat terjadi pada kelahiran dan semakin intens pada saat
pubertas.
 Analisis genetik mengidentifikasi adanya missense mutation pada 1 alel dari keratin
13 yang menyebabkan substitusi prolin dengan leucine dalam cluster gen keratin pada
kromosom 17.

i. Gambaran Klinis
i. Umumnya:
a) Plak putih, simetris bilateral, lunak, “spongy”, atau plak tebal seperti beludru
pada mukosa bukal.
b) Asimtomatis dan tidak memperlihatkan perubahan menjadi ganas
ii. Dapat juga terjadi di
tempat lain, seperti: ventral lidah, dasar mulut, mukosa labial, palatum lunak, dan
mukosa alveolar.
iii. Karakteristik
histopatologis: penebalan epitel, parakeratosis, kondensasi perinuklear peculiar
dari sitoplasma, dan vakuolisasi lapisan suprabasal dari keratinosit.

ii. DD
i. Mirip dengan:
a) sindrom mukosal herediter lain seperti: hereditary benign intraepithelial
dyskeratosis, pachyonychia congenita.
b) lesi infeksi seperti: kandidiasis
c) lesi traumatik pada cheek chewing
d) chemical burns atau preneoplastik/proses neoplastik
ii. Paling baik dibedakan
dengan interpretasi spesimen biopsi insisional.

iii. Perawatan
i. Tidak ada indikasi untuk
dilakukan perawatan.
ii. Perawatan paliatif
diberikan pada pasien dengan simtom, seperti berkumur dengan tetrasiklin.
11. Dyskeratosis Congenita
 Merupakan dermatosis terkait gen resesif, berhubungan dengan kelainan kromosom
X.
 Gambaran yang ada: mukosa oral leukoplakia yang atrofi,
paling sering pada lidah dan pipi. Muncul sebelum usia 10
tahun dengan daerah mukosa yang putih, berulser, nekrotik
dan sering terinfeksi Candida.
 Perubahan pada mukosa oral terjadi berasosiasi dengan kuku
yang distrofik dan hiperpigmentasi kulit wajah, leher, dan dada.
 Banyak kasus juga menampilkan perubahan hematologik seperti: pancytopenia,
hypersplenism, dan anemia aplastik.

12. Fordyce’s Granules


 Adalah kelenjar sebaceous ectopic. Terdapat pada 80-90% populasi.
 Klinis : warna putih kekuningan atau papul putih

 Predileksi : mukosa bukal serta vermillion border bibir atas,


retromolar pad
 Granules muncul ketika pubertas dan bertambah seiring umur. Lebih
sering terdapat pada pria.

Treatment : no treatment

13. KARSINOMA SEL SKUAMOSA

Karsinoma sel skuamosa adalah suatu neoplasma ganas yang berasal dari mukosa.
Ini adalah tipe yang paling umum dari kanker mulut, terhitung lebih dari 90% dari semua
neoplasma ganas rongga mulut. Kanker mulut dapat terjadi pada semua usia. Lebih dari
95% karsinoma mulut terjadi pada usia > 40 th. Sekarang prevalensi 2:1 karena
meningkatnya jumlah wanita perokok.
Penyebab pasti tidak diketahui. Atipisme sitologik dan mutagenesis dapat
merupakan akibat dan pajanan dari banyak faktor yang berkaitan dengan penuaan dan
pajanan terhadap berbagai bahan biologik, kimia, fisik seperti: infeksi Treponema
pallidum, virus herpes simpleks, HPV atau Candida albicans, penggunaan berlebihan
alkohol dan tembakau, defisiensi nutrisi, OH buruk, teauma kronis, radiasi, imunosupresi.
Predileksi: paling umum tepi lateral dan permukaan ventral lidah.
Lainnya: orofaring, dasar mulut, gusi, mukosa pipi, bibir, palatum.

Gambaran klinis:
 90% mempunyai komponen eritroplakia, 60% leukoplakia.
 Lesi dini sering tanpa gejala, tumbuh lambat. Ketika lesi berkembang maka
tepinya menjadi difus dan ireguler, keras, tidak dapat digerakkan.
 Permukaan oral berulserasi  keluhan sakit, kebas, atau terbakar, pembengkakan,
sulit bicara atau menelan.
 Jika perawatan terlambat, lesi dapat melebar hingga beberapa cm metastasis
merusak struktur tulang vital.
 Penyebaran terjadi dengan perluasan setempat atau melalui jalur pembuluh-
pembuluh limfatik.

Pemeriksaan penunjang: biopsy


Terapi: bedah dan radiasi
Prognosis: tergantung pada ukuran, luas, daerah yang terkena, tahap klinis saat diagnosis, respon
imunologik.

14. Kandidiasis
1. Definisi
Candidiasis atau candidosis merupakan bentuk paling umum dari mikosis oral
superficial.Cadidiasis oral merupakan infeksi oportunistik yang paling umum
mempengaruhi mukosa oral. Pada sebagian besar kasus, lesi tersebut disebabkan oleh
jamur Candida albicans.
2. Etiologi
Candidiasis utamanya disebabkan oleh Candida albicans, dan jarang karena spesies
candida lainnya. Candida albicans, Candida tropicalis, Candida glabrata bersama terdiri
lebih dari 80% dari spesies yang terisolasi dari infeksi Candida pada manusia.
3. Patogenesis
Untuk menginvasi lapisan mukosa, mikroorganisme harus menempel ke permukaan
epitel, oleh karena itu, strain Candida dengan potensi adhesi yang lebih baik lebih
patogenik daripada strain dengan adhesi yang kurasa.
Penetrasi jamur dari sel-sel epitel difasilitasi oleh produksi lipase mereka, dan agar
jamur bertahan diepitel, mengatasi deskuamasi konstan sel epitel permukaan. Terdapat
hubungan yang jelas antara kandidiasis oral dan pengaruh faktor predisposisi lokal dan
umum. Faktor predisposisi lokal yang mampu untuk mempromosikan pertumbuhan
candida atau mempengaruhi respon imun oral mucosa. Faktor predisposisi umum
biasanya berhubungan dengan status imun dan endokrin pasien.
4. Faktor Predisposisi
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya candidiasis. Faktor-
faktor tersebut adalah faktor predisposisi dan terbagi menjadi faktor predisposisi lokal dan
umum.
Status kekebalan tubuh dapat dipengaruhi oleh obat-obatan juga penyakit, yang
menekan sistem imun bawaan. Candidiasis pseudomembranous juga berhubungan dengan
infeksi jamur pada anak-anak, yang tidak memiliki sistem imun yang berkembanga
sempurna.
Denture stomatitis, angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis disebut sebagai
infeksi yang berhubungan dengan candida, dan lesi ini dapat, selain karena candida,
disebabkan oleh bakteri.
6. Gejala Klinis
a. Pseudomembranous Candidiasis.
Bentuk paling umum dari lesi ini dan ciri khas gambaran klinisnya adalah bercak puth
seperti krim, sedikit menonjol, dapat diseset. Sifat lesi ini terlokalisasi atau menyeluruh,
sering ditemukan pada mukosa pipi, palatum molle, lidah, dan bibir. Gejala yang sering
tibul ialah xerostmia, senasai terbakar,dan gangguan pengecapan.

b. Erythematous Candidiasis.
Dulu dikenal sebagai atrophic oral candidiasis. Permukaan eritema menunjukkan atrofi
dan peningkatan vaskularisasi. Lesi ini memiliki tepi yang difus, yang membantu
membedakannya dari erythroplakia, yang mempunyai demarkasi yang lebih tajam.
Candidiasis ini dianggap penerus candidiasis pseudomembran namun juga dapat muncul
sendiri.
Biasanya ditemui pada palatum dan dorsum lidah pada pasien yang menggunakan inhaler
steroid. Faktor predisposisi lain adalah merokok dan perawatan dengan antibiotic spectrum
luas. Bentuk akut dan kronisnya hadir dengan tampilan klinis yang identik.

c. Chronic Plaque-Type and Nodular Candidiasis.


Dulu disebut candidal leukoplakia. Dikarakteristikkan dengan plak putih, yang dapat
dibedakan dari oral leukoplakia. Gambaran klinis lesi berupa plak putih yang keras dan
menonjol.

d. Denture Stomatitis.
Area yang paling sering terkena adalah mukosa palatal yang tertutupi gigi tiruan, Tidak
sering terjadi di mandibula. Denture stomatitis diklasifikasikan menjadi 3 tipe, Tipe I terletak
di area eritema minor yang disebebkan oleh trauma dari gigi tiruan. Tipe II mempengaruhi
sebagian besar mukosa yang tertutupi gigi tiruan. Tipe III memiliki mukosa granular pada
bagian tengah palatum.

e. Angular Cheilitis.
Merupakan fissure yang terinfeksi dari komisura mulut, sering dikelilingi oleh eritema.
Lesi ini sering terinfeksi oleh Candida dan Staphylococcus aureus, kekurangan vitamin B12,
kekurangan zat besi, dan hilangnya dimensi vertikal dikaitkan berhubungan dengan kelainan
ini. Atopi juga dikaitkan degnan angular cheilitis. Kulit kering dapat mempercepat
perkembangan fissure di komisura, memungkinkan invasi mikroorganisme. Tiga puluh
persen pasien denture stomatitis juga mengalami angular cheilitis, yang hanya mempengaruhi
pasien pemakai gigi tiruan tanpa denture stomatitis.

f. Median Rhomboid Glossitis.


Dikarakteristikkan dengan lesi eritema pada tengah bagian posterior dorsal lidah. Lesi ini
memiliki konfigurasi oval. Area eritema ini dihasilkan dari atrofi papilla filiform dan
permukaan dapat menjadi lobulated. Etiologinya belum diklarifikasi, namun lesi sering
menunjukkan campuran microflora bakteri/fungal. Biopsi menunjukkan Candida hypnea
pada lebih dari 85% lesi. Perokok dan pemakai gigi tiruan meningkatkan terjadinya median
rhomboid glossitis, juga pada pasien yang menggunakan inhalasi steroid. Terkadang lesi
eritema bersamaan dapat dilihat pada mukosa palatal. Media rhomboid glossitis asimtomatik,
dan manajemennya dibatasai untuk mengurangi faktor predisposisi. Lesi tidak menyebabkan
risiko transformasi ganas.

Anda mungkin juga menyukai