Anda di halaman 1dari 56

TESIS

HUBUNGAN ANTARA QUICK OF BLOOD DENGAN ADEKUASI


HEMODIALISIS PADA PASIEN ESRD

RELATIONSHIP BETWEEN QUICK OF BLOOD WITH


HEMODIALISIS ADEQUACY ON PATIENT ESRD

YULIANA TOLA’BA
P4200215023

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017

i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini , saya:


Nama : Yuliana Tola’ba
NIM : P4200215023
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas : Kedokteran
Judul tesis : Hubungan Antara Quick of Blood Dengan Adekuasi
Hemodialysis Pada Pasien ESRD

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil penelitian saya sendiri, bukan merupakan pemikiran orang
lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa tesis ini hasil
karya orang lain saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Agustus 2017


Yang menyatakan,

Yuliana Tola’ba

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

“ Hubungan Antara Quick Of Blood Dengan Adekuasi Hemodialisis Pada Pasien

ESRD “ Maksud dan tujuan penyusunan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu

syarat dalam menempuh Program Strata Dua pada Program Magister Ilmu

Keperawatan.

Peneliti menyadari dalam penyusunan tesis ini, peneliti banyak mendapat

kesulitan namun berkat bimbingan, pengarahan, bantuan dan motivasi dari berbagai

pihak sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan, untuk itu pada kesempatan

ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan hormat yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp.,M.Kes. , Ketua Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar yang telah memberikan

kesempatan kepada peneliti untuk menyelesaikan tugas akhir pada program

Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan .

2. Prof.Dr.dr.A.Wardihan Sinrang,MS,Sp.And., sebagai pembimbing I yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan serta pengarahan dalam

penyusunan tesis ini.

3. Dr.Yuliana Syam,S.Kep,Ns,M.Kes., sebagai pembimbing II yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam

penyusunan tesis ini.

iv
4. Dr.dr. Burhanuddin Bahar, MS selaku penguji I yang telah banyak memberikan

masukan , kritik serta saran yang bersifat membangun dalam penyusunan tesis

ini.

5. Dr.Takdir,S.Kep.,Ns., selaku penguji II yang telah banyak memberikan masukan

, kritik serta saran yang bersifat membangun dalam penyusunan tesis ini.

6. Syahrul, S.Kep.,Ns.,M.Kes.,Ph.D selaku penguji III yang telah banyak

memberikan masukan , kritik serta saran yang bersifat membangun dalam

penyusunan tesis ini.

7. Dr Thomas Soharto, M.Kes., Direktur RS Stella Maris Makassar yang telah

memberikan ijin kepada peneliti untuk mengambil data di RS Stella Maris

Makassar.

8. Prof. dr. Agus Tessy sebagai dokter penanggung jawab, Kepala Unit dan para

perawat Unit Hemodialisis RS Stella Maris Makassar yang telah memberikan

kesempatan dan bantuan selama peneliti mengambil data di Unit Hemodialisis.

9. Seluruh Responden yang telah membantu peneliti untuk memperoleh data

dalam penelitian ini sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

10. Ketua STIK Stella Maris beserta Staf yang telah memberikan kesempatan untuk

melanjutkan pendidikan dan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.

11. Direktur dan Staf RS Stella Maris Makassar yang telah memberikan kesempatan

untuk melanjutkan pendidikan dan motivasinya untuk menyelesaikan tesis ini.

12. Bapak, Bapak/Ibu mertuaku, sanak saudaraku yang penulis cintai yang selalu

memberikan semangat dan doa selama mengikiti pendidikan hingga selesainya

tesis ini.

v
13. Suamiku Pertrus Natan Bussan, kedua anakku Vianney Putra Pratama dan Viony

Aurelia yang selalu memberikan semangat lewat doa dan cinta serta pengertian

dan dukungan baik moril maupun materiel selama mengikuti pendidikan hingga

selesainya tesis ini.

14. Seluruh rekan perawat di Unit hemodialysis RS Stella Maris Makassar yang

dengan penuh pengertian dan telah banyak memberi semangat dan bantuan

kepada penulis selama mengikuti pendidikan hingga selesainya tesis ini.

15. Teman-teman mahasiswa S2 Keperawatan Angkatan 2015 yang telah

memberikan dukungan dan masukan kepada penulis selama mengikuti

pendidikan hingga selesainya tesis ini.

Kiranya semua amal baik Bapak , Ibu , saudara/i sekalian mandapatkan balasan yang

setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan,

oleh karena itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan masukan demi

perbaikan tesis ini.

Makassar, Agustus 2017

Peneliti

Yuliana Tola’ba

vi
ABSTRAK

Yuliana Tola’ba. Hubungan antara Quick of blood dengan Adekuasi Hemodialisis


Pada Pasien ESRD (dibimbing oleh Wardihan Sinrang dan Yuliana Syam)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara quick of


blood dengan adekuasi hemodialysis pada pasien ESRD.
Desain penelitian yang digunakan adalah kajian potong lintang dengan
subjek penelitian (n = 60 ) yaitu pasien ESRD yang menjalani terapi hemodialysis
di Unit HD RS Stella Maris Makassar. Subjek penelitian berusia 26 – 80 tahun.
Quick of blood diobservasi dengan melihat nilai yang tertera pada mesin HD dan
adekuasi hemodialysis dihitung dengan menggunakan rumus URR dan Kt/V.
Hasil obsevasi Qb menunjukkan rata-rata 228,98 ml/menit dengan standar
deviasi 21,15 dan hasil pengukuran adekuasi hemodialysis dengan rumus URR
ditemukan rata-rata 67,61 standar deviasi 7,98 dan pangukuran adekuasi
hemodialysis dengan rumus Kt/V ditemukan rata-rata 1,35 standar deviasi 0,30 .
Hasil penelitian dengan analisis uji Pearson menunjukkan ada hubungan bermakna
antara quick of blood dengan adekuasi hemodialysis ( p = 0.000). Untuk mencapai
adekuasi hemodialysis yang optimal pengaturan quick of blood sebaiknya antara
240 ml/menit sampai 295 ml/menit dengan memperhatikan toleransi pasien
terhadap pengaturan Qb.

Kata kunci: hemodialysis, quick of blood, Adekuasi hemodialysis

vii
ABSTRACT

Yuliana Tola'ba. The relationship between Quick of blood with Hemodialysis


Adequacy In ESRD Patients (guided by Wardihan Sinrang and Yuliana Syam)

The research aimed to investigate the correlation between quick of blood


with hemodialysis adequacy in ESRD patients.
The research design used the cross-sectional design, and the research
subjects (n = 60) consisted of ESRD patients who underwent hemodialysis therapy
in HD Unit of Stella Maris Hospital, Makassar, aged 26 - 80 years. The Quick of
blood was observed in order to look at value showen on HD machine and then
the hemodialysis adequacy was counted using URR and Kt/V formula.
The result of observation showed the mean Qb 228,967 ml/minute with the
devition standard 21,15 while the measurement of hemodialysis adequacy using
URR formula revealed the mean 67,61 and the deviation standard of 7,98 and the
hemodialysis adequacy using Kt / V revealed the mean of 1,35 and the deviation
standard of 0.30. The result using the analisis of Pearson test indicated a
significant correlation between the quick of blood and hemodialysis adequacy (p =
0.000). To achieve optimal hemodialysis adequacy, setting quick of blood should
between 240 ml/minute to 295 ml/minute with respect to patient tolerance to Qb
setting.

Keywords: hemodialysis, quick of blood, hemodialysis adequacy

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………. ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ..……………………….. iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. iv
ABSTRAK …………………………………………………………………... vii
ABSTRACT ………………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………... xi
DAFTAR BAGAN…... ……………………………………………………... xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... xiii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. xiv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………..... 7
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………… 8
E. Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 9
A .Tinjauan Literatur ............................ ……………………........... 9
1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) ……………………………... 9
2. Hemodialysis ………………………………………………… 13
3. Quick of Blood (Qb) …………………………………………. 22
4. Adekuasi hemodialysis ………………………………………. 25
5. Hubungan Quick of Blood dengan Adekuasi HD……………. 30
6. Peran perawat Hemodialisis …………………………………. 31
7. Konsep Teori Calista Roy ………………………………….... 33
B. Kerangka Teori ………………………………………………… 42

ix
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN … 43
A. Kerangka Konseptual Penelitian ……………………………… 43
B. Variabel Penelitian ...................................................................... 44
C. Defenisi Operasional & Kriteria Objektif ................................... 45
D. Hipotesis Penelitian ..................................................................... 47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN…………………………………… 48
A. Desain Penelitian ………………………………………………. 48
B. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 48
C. Populasi dan Sampel ……………………………………………... 49
D. Tehnik Sampling ………………………………………………… 50
E. Instrumen , Metode, dan Prosedur pengumpulan Data ………….. 50
F. Analisa Data ……………………………………………………... 54
G. Etika Penelitian ………………………………………………….. 56
1. Prinsip Dasar Etika Penelitian ………………………………. 56
2. Prosedur Etik Sebelum Penelitian …………………………... 57
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………. 59
A. Hasil Penelitian …………………………………………………. 59
B. Pembahasan …………………………………………………..… 66
C. Keterbatasan Penelitian ……………………………………….… 75
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………… 76
A. Kesimpulan ………………………………………………........... 76
B. Saran ………………………………………………………….…. 76
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…… 77
LAMPIRAN - LAMPIRAN ………………………………………………...... 81

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik…………………................. 9


Tabel 2.2. Konsentrasi larutan Dialisat…………………………………… 19
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, akses vaskuler,dialiser, durasi HD…….. 60
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan umur, BB interdialisis,
quick of blood, adekuasi hemodialysis (URR), adekuasi HD (Kt/V),
menjalani hemodialysis………………………………………… 61
Tabel 5.3 Hubungan antara jenis kelamin, umur, BB interdialisis, durasi HD,
dengan adekuasi hemodialysis (URR) .………………………… 62
Tabel 5.4 Hubungan antara jenis kelamin, umur, BB interdialisis, durasi HD,
Qb, dengan adekuasi hemodialysis (Kt/V)...…………………….. 64

xi
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy……………………………………………. 37


Bagan 2.2. Adaptasi Tubuh Terhadap ketidaknyamanan pada pasien ESRD. 41
Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian …………………………………… 44
Bagan 4.1. Alur Prosedur Penelitian ……………………………………….. 53

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekomendasi Persetujuan Etik…………………………………. 81


Lampiran 2 Permohonan Izin Penelitian …………………………………… 82
Lampiran 3 Permohonan Menjadi Responden…………………………….;... 83
Lampiran 4 Lembar Persetujuan responden ………………………………… 84
Lampiran 5 Lembar Pengumpulan Data Demokrafi Responden ..……….. … 85
Lampiran 6 Lembar Pengumpulan data karakteristik Respoden.. ……........... 86
Lampiran 7 Lembar Pengumpulan Data Quick Of Blood …...….................. 87
Lampiran 8 Lembar Pengumpulan Data Adekuasi Hemodialisis.…………… 88
Lampiran 9 Prosedur Pengambilan Sampel Darah Untuk Pemeriksaan
Ureum Pre HD…………………………………………………………….. 89
Lampiran 10 Prosedur Pengambilan Sampel Darah Untuk Pemeriksaan
Ureum Post HD……………………………………………………………. 90
Lampiran 11 Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian …..………… 91
Lampiran 12 Hasil Analisis SPSS..…………………………………………. 92

xiii
DAFTAR SINGKATAN

BB = berat badan

CKD = chronic kidney desease

CDL = Catheter Double Lumen

ESRD = end state renal desease

Qb = quick of blood

IWL = insensible water loss

ML = milliliter

HD = hemodialysis

URR = urea reduktion rasio

RS = rumah sakit

PGK = penyakit ginjal kronik

DM = diabetes mellitus

GNC = glomerulo nefritis chronis

IRR = indinesian renal registration

LFG = laju filtrasi glomerulus

AVF = arterial venous fistula

AVBL = arterial venous blood line

Kg = kilogram

KUF = koofisien ultrafiltrasi

L = liter

Mmol = milimol

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik adalah suatu kerusakan ginjal terdeteksi eksresi

albumin >30 mg /hari atau ekivalen dengan penurunan fingsi ginjal dengan

estimasi glomerulus filtrasi rate kurang dari 60 ml/menit /173 m2 selama 3

bulan atau lebih (Lestariningsih, 2014). Penyakit ginjal kronik terdiri dari 5

stadium , pada stadium akhir disebut dengan penyakit ginjal tahap akhir atau

end state renal disease (ESRD) dengan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) <15

ml/menit /173 m2 (KDIGO, 2013).

Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) atau end state renal disease (ESRD)

membutuhkan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan fungsi tubuh.

Terapi pengganti ginjal dapat berupa transplantasi ginjal atau dialysis yang

terdiri atas hemodialysis dan peritoneal dialysis. Saat ini terapi pengganti yang

banyak digunakan adalah terapi hemodialisis dan jumlahnya dari tahun ke

tahun semakin meningkat(Amini et al., 2011). Di Amerika Serikat pada tahun

2009 lebih dari 380.000 penderita ESRD yang menjalani terapi hemodialysis

(USRDS, 2011, dalam Kandarini Y, 2012) dan pada tahun 2012 diperkirakan

lebih dari 400.000 penderita ESRD menjalani hemodialisis reguler

(NKF/KDOQI, 2015). Di Negara Iran pada tahun 2006 sebanyak 12.500

mengalami ESRD dan sekitar 48.5% menjalani perawatan Hemodialisis

(Aghighi, Rouchi, & Zamyadi, 2008). Be rdasarkan laporan UK Kidney

1
Alliance tahun 2001 melaporkan sekitar 0.03% menderita ESRD dan sebanyak

60.4% memilih terapi hemodialisis (Thomas, 2002).

Di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 15128 pasien baru menjalani

HD dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD

sebanyak 2064 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 17193 pasien yang

baru menjalanai hemodialysis. Berdasarkan distribusi pasien hemodialysis

perkorwil tahun 2014 jumlah pasien baru yang menjalani hemodialisis

terbanyak di Jawa Barat berjumlah 5029 orang sedangkan provinsi Sumatera

Barat adalah wilayah yang paling sedikit memiliki pasien baru yang menjalani

hemodialisis berjumlah 104 orang dan Sulawesi merupakan wilayah masuk

peringkat ke 8 dari 11 korwil di Indonesia yang memiliki jumlah pasien baru

yang menjalani hemodialysis sebanyak 453 orang (IRR, 2014).

Hemodialysis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang

digunakan untuk membuang produk sisa metabolisme berupa larutan dan air

yang ada pada darah ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut

melalui membrane semipermeable atau dialayser. Prinsip kerja perpindahan

larutan dan air pada hemodialysis adalah difusi, osmosis dan ultrafultrasi

(Thom as 2002; Dewi 2010; Mutakin & Sari , 2011; Thomas 2014). Proses

perpindahan larutan dan air dari kompartemen darah menuju kompartemen

dialisat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah (quick of blood), kecepatan

aliran dialisat,penggunaan dialyser higth flux dan waktu dialisis (Thomas,

2014) .

Kecepatan aliran darah (quick of blood ) merupakan jumlah darah yang

dapat dialirkan dalam satuan waktu/per menit (ml/menit). Semakin banyak

2
darah yang dapat dialirkan menuju dialiser dalam permenit maka semakin

banyak zat-zat toksik dan cairan yang dapat dikeluarkan dari tubuh pasien

(Dewi, 2010; Thomas, 2014). Penelitian Borzou et al., (2009) mengatakan

peningkatan blood flow rate (quick of blood/Qb) dapat meningkatkan efisiensi

hemodialysis. Pengaturan kecepatan aliran darah (Qb) yang tepat sangat

diperlukan untuk tercapainya bersihan ureum yang optimal (Kallenbach,

Gutch, Martha, & Corca, 2005).

Keberhasilan hemodialisis ditentukan dengan terpenuhinya dosis

hemodialisa sesuai dengan kebutuhan pasien. Jika dosis hemodialisis tidak

mencukupi maka pasien akan mengalami berbagai gangguan seperti, sesak

nafas, sakit kepala, kaki kram, mual dan muntah, hipotensi dan pruritus

(Locatelli, Buoncristiani, Canaud, Kohler, Petitclerc, & Zucchelli, 2005).

Kecukupan dosis hemodialisis diukur dengan istilah adekuasi hemodialisis

(Thomas, 2002).

Adekuasi hemodialysis merupakan kecukupan jumlah proses

hemodialysis yang ditandai dengan pasien merasa lebih baik dan nyaman serta

semakin panjang usia hidup pasien (Thomas, 2014). Septiwi (2010)

menyatakan ada hubungan yang kuat antara adekuasi hemodialisis dengan

morbiditas dan mortalitas pada pasien ESRD (Septiwi, 2010).

Pourfarziani et al (2008) menyatakan bahwa ketidakadekuatan

hemodialisis dapat dinilai dari kadar urea yang tidak opimal sehingga dapat

mengakibatkan peningkatan progresivitas kerusakan ginjal menyebabkan

morbiditas dan mortalitas pada pasien ESRD makin meningkat. Hemodialisis

yang tidak optimal juga mengakibatkan kerugian material dan menurunnya

3
produktivitas pada pasien ESRD yang menjalani hemidialisis (Pourfarziani,

Ghanbarpour, Nermati, Taheri, & Einollahi, 2008).

Penilaian adekuasi hemodialysis secara kuantitatif dapat dihitung

menggunakan rumus Urea Reduktion Ratio (URR) atau menggunakan rumus

Kt/V. URR merupakan presentasi dari ureum yang dapat dibersihkan dalam

sekali tindakan hemodialysis. Kt/V merupakan rasio dari bersihan ureum dan

durasi hemodialysis dengan volume ureum yang terdistribusi pada cairan

tubuh pasien. Target Kt/V untuk HD 3 x per minggu selama 3 - 4 jam adalah

1,4 minimal 1,2, target URR 70% minimal 65% dan Kt/V 1,8, URR 80%

untuk HD 2 kali perminggu selama 4-5 jam perkali HD (Nainggolan, 2015;

Thomas 2014; NKF/KDOQI, 2015). Penelitian Amini et al (2011) terhadap

pada 4004 pasien pada 127 senter dialysis di Iran untuk mengevaluasi adekuasi

hemodialysis pada pasien hemodialysis. Hasil penelitian ditemukan Kt/v

kurang dari 1,2 (56,7%) dan URR< 65% (65,2%) sehingga disimpulkan bahwa

adekuasi hemodialysis di Iran belum memadai dibandingkan dengan KDOKI

guideline. Penelitian Sheikh & Ghzali (2016) untuk mengevaluasi adekuasi

hemodialysis pada 100 pasien CKD di Unit Hemodialysis RS Unuversitas

Tanta , Mesir ditemukan 65% dari populasi belum memadai adekuasi

heodialisis.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2014), menyimpulkan bahwa

semakin tinggi QB maka URR semakin tinggi yang artinya semakin banyak

ureum yang terbuang. Namun penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) di

RS Tabanan Bali pada pasien ESRD yang menjalani terapi hemodialysis

mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara quick of blood dengan adekuasi

4
hemodialysis. Untuk mencapai adekuasi hemodialysis perawat perlu

melakukan pemantauan dan pengaturan quick of blood selama proses

hemodialysis.

Peran perawat selama pasien menjalani terapi hemodialysis adalah

memantau dan mengatur kecepatan aliran darah (quick of blood/Qb) (Salehi et

al, 2016). Pengaturan QB pada pasien hemodialysis ditentukan dengan

memperhatikan berat badan (Kim et al, 2004) , ukuran lumen kateter, akses

vakuler, penyakit kardiovaskuler yang menyertai serta kenyaman pasien

(Daugirdas, Blake, & Ing , 2007; Dewi, 2010). Pada pasien ESRD yang

menjalani terapi hemodialysis, tubuh pasien akan mengalami respon fisiologis

dengan melakukan adaptasi terhadap ketidaknyamanan selama menjalani

hemodialysis. Ketidak nyamanan yang sering dialami oleh pasien yang sedang

menjalani terapi hemodialysis antara lain hipotensi, nyeri dada, sakit kepala,

rasa kram, mual dan muntah, gatal, demam dan menggigil (Tambunan, 2015).

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai perawat yang bertugas di

Ruang HD RS Stella Maris , terapi hemodialysis dilakukan 2- 3 kali/minggu

dengan durasi 3-5 jam setiap kali HD , jenis akses vaskuler 90% menggunakan

AV fistula (Cimino), 10% menggunakan akses vena femoral dan CDL untuk

pasien yang baru menjalani HD . Ukuran lumen cateter yang digunakan adalah

16, dan menggunakan dialyser jenis low flux. Kecepatan aliran dialisat (quick

of dialisat/QD) diberikan sebesar 500 ml/menit selama terapi hemodialysis

berlangsung. Kecepatan aliran darah atau QB diberikan mulai dengan

kecepatan awal 100 ml/menit selanjutnya dinaikkan berkisar antara kecepatan

150 – 280 ml/menit sesuai dengan kondisi pasien . Selama proses hemodialysis

5
berlangsung apabila pasien mengalami komplikasi maka perawat ruangan

melakukan pengaturan QB sampai pasien merasa nyaman. Pemeriksaan

laboratorium ureum, kreatinin pre dan post HD serta pemeriksaan darah rutin

telah dilakukan setiap 3 bulan tetapi belum dilakukan penilaian terhadap

adekuasi hemodialysis. Menurut Konsensus Pernefri (2003) adekuasi

hemodialysis diukur secara berkala setiap bulan sekali minimal 6 bulan sekali

(Nainggolan, 2015).

Berdasarkan fenomena diatas , penulis melihat pengaturan QB berbeda

pada setiap pasien akan memberi pengaruh terhadap adekuasi HD pada setiap

pasien. Mengingat pentingnya penilaian adekuasi hemodialysis maka salah

satu peran perawat adalah berkolaborasi dengan dokter mengevaluasi

efektifitas proses hemodialysis pada pengaturan kecepatan aliran darah (quick

of blood). Sampai saat ini belum ada penelitian tentang hubungan antara QB

dengan adekuasi HD yang dilaksanakan di Makassar . Berdasarkan hal tersebut

kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ hubungan antara

quick of blood (QB) dengan adekuasi hemodialysis pada pasien ESRD yang

menjalani terapi hemodialisis”.

B. Rumusan Masalah

Angka kejadian penyakit ginjal kronik dari tahun ke tahun semakin

meningkat. Penyakit ginjal kronik terdiri dari beberapa tahap dan pada tahap V

yang disebut penyakit ginjal tahap akhir atau ESRD. Penatalaksanaan pada

pasien ESRD adalah terapi pengganti ginjal berupa hemodialysis, peritoneal

dialysis dan transplantasi ginjal. Terapi pengganti yang banyak dipilih saat ini

6
adalah hemodialysis. Hemodialysis sangat efektif mengeluarkan cairan,

elektrolit dan sisa metabolisme tubuh untuk membantu kelangsungan hidup

pasien.

Adekuasi hemodialysis merupakan kecukupan jumlah proses

hemodialysis untuk menjaga kondisi yang optimal dan terbaik bagi pasien

ESRD yang menjalani hemodialisis. Salah satu faktor yang mempengaruhi

tercapainya adekuasi hemodialysis adalah quick of blood. Oleh karena itu

selama proses hemodialysis perawat perlu melakukan pemantauan dan

pengaturan kecepatan aliran darah atau quick of blood. Namun penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Dewi (2010) di RS Tabanan Bali mengatakan

bahwa tidak ada hubungan antara quick of blood dengan adekuasi

hemodialysis.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara quick of blood dengan

adekuasi hemodialysis pada pasien ESRD yang menjalani terapi hemodialysis

di Ruang HD RS Stella Maris?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara QB dengan adekuasi hemodialysis pada

pasien ESRD yang menjalani terapi hemodialysis.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi rerata Qb, URR dan Kt/V pada pasien ESRD

7
b. Mengidentifikasi hubungan antara QB dengan adekuasi hemodialysis

(URR, Kt/V) pada pasien ERSD .

c. Menganalisis hubungan antara umur, jenis kelamin, berat badan

interdialisis, durasi HD dan surface area dialiser dengan adekuasi

hemodialysis pada pasien ESRD .

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Aplikatif

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai data dasar untuk menentukan

pengaturan QB yang tepat untuk mencapai adekuasi hemodialysis yang

optimal dan meningkatkan pengetahuan perawat yang bertugas di ruang

hemodialysis tentang pentingnya pengaturan QB untuk meningkatkan

adekuasi hemodialysis.

2. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai media dalam

peng embangan pengetahuan keperawatan khsususnya dalam pemantauan

dan pengaturan QB serta hubungannya dengan adekuasi hemodialysis

serta dapat dijadikan sebagai referensi evidence based-nursing practice.

E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pasien ESRD yang sedang menjalani terapi

hemodialysis di Ruang HD RS Stella Maris Makassar.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab II menguraikan dasar dasar teori yang berkaitan dengan: Penyakit ginjal kronik

, Hemodialisis, Quick of Blood (QB),adekuasi hemodialysis, peran perawat dan

konsep teori Calista Roy

A. Tinjauan Literatur

1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Penyakit ginjal kronik adalah ditemukannya kelainan struktur atau

fungsi ginjal yang abnormal >3 bulan , klasifikasi PGK termasuk individu

sehat berdasarkan etiologi , kategori glomerular filtration rate dan kategori

albuminuria (KDIGO, 2013). Penyakit ginjal kronik adalah adanya kerusakan

ginjal terdeteksi eksresi albumin >30 mg/hari atau ekivalen dengan penurunan

fungsi ginjal estimasi glomerular filtration rate / eGFR <60 ml/menit selama

3 bulan atau lebih atau petanda lain (Lestariningsih, 2014).

Klasifikasi PGK berdasarkan estimasi glomelurar filtration rate

(eGFR) dibedakan menjadi 6 stage (KDIGO, 2012) dapat dilihat pada tabel 1:

Sumber: KDIGO, ( 2013)

9
Klasifikasi PGK berdasarkan nilai laju fitrasi glomerulus (LFG) dapat

diestimasi dengan menggunakan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut

(Martakusumah, 2014 ):

Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki :

LFG (ml/menit/1,73 m2) = (140-umur) x berat badan


72 x serum Creatin

Sedangkan untuk wanita adalah : di kalikan 0,85

Beberapa penyakit secara permanen merusak nefron menyebabkan

terjadinya penyakit gijal kronik. Etiologi penyakit ginjal kronik bervariasi

antara satu negara dengan negara lainnya. Di Amerika Serikat pada tahun 2011

penyebab PGK peringkat pertama adalah DM tipe 2 44,2%, dan ke dua

hipertensi 28% (Bailey, Wang, Zhu, & Rupnow, 2014). Penelitian yang

dilakukan oleh Ghali (2012) di Irak ditemukan penyebab PGK adalah

hipertensi 50%, DM 36%, lain-lain 7%, pyelonephritis 4% dan GN 3%.

Berdasarkan data 7th Report of Indonesian Renal Registry (2014) di Indonesia

urutan penyebab PGK yang mendapatkan terapi hemodialisis adalah karena

hipertensi (37%), penyakit dibetes mellitus atau Nefropati Diabetik (27%),

kelainan bawaan atau Glomerulopati Primer (10%), gangguan penyumbatan

saluran kemih atau Nefropati Obstruksi (7%), karena Asam Urat (1%),

penyakit lupus (1%) dan penyebab lain-lain (18%). Berdasarkan data yang

diambil dari masing- masing Korwil di seluruh Indonesia Tahun 2014. Tiga

korwil : Bali, Sumatera Barat, Kalimantan dan DKI Jakarta menempatkan

nefropati diabetik sebagai etiologi pasien Penyakit Ginjal Kronik yang harus

didialisis. Di Sulawesi penyebab PGK yang menjalani hemodialysis urutan

10
tertinggi adalah penyakit ginjal hipertensi 81 orang, nefropati diabetic 77 orang

, nefropati obstruksi 21 orang.

Berbagai macam faktor dapat mempangaruhi progresi penyakit ginjal

kronik dari tahap awal sampai tahap lanjut. Menurut Bakri (2014) progresi

penyakit ginjal kronik melalui tiga fase yaitu terjadi injuri awal pada ginjal (1)

kemudian mekanisme penyembuhan yang tidak optimal menyebabkan

kerusakan nefron (2). Dengan hilangnya sebagian nefron, maka terjadi proses

adaptasi (3) pada nefron yang sisa dengan meningkatkan aktivitasnya baik

secara fungsional maupun peningkatan massa berupa hiperfiltrasi pada

glomerulus dan hipertropi /hiperplasi sel untuk mempertahankan LFG. Faktor

yang sangat berperan dalam progresi penykit ginjal kronik adalah proteinuria,

hipertensi dan hiperglikemia (Bakri, 2014) .

Proteinuria merupakan petanda kerusakan glomerulus dan faktor

prognostic penting pada progressi penyakit ginjal kronik. Kerusakan menetap

pada selektivitas barrier glomerulus yang berperan pada filtrasi protein akan

mengakibatkan proteinuria. Adanya protein dalam urin dapat menyebabkan

efek proinflamasi dan profibrotik yang secara langsung berkontribusi terhadap

kerusakan tubulointerstitial kronik yang berkontribusi menginduksi

progresivitas kerusakan ginjal (Bakri, S. 2014).

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron yang sisa

menghadapi tugas yang makin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut

rusak. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron terjadi pembentukan

jaringan parut dan aliran darah ke ginjal berkurang. Pelepasan renin akan

meningkat bersama dengan kelebihan volume cairan sehingga menyebabkan

11
hipertensi (Mutakin & sari, 2011). Tekanan darah sistemik yang meningkat

ditransmisikan ke glomerulus sehingga akan memperberat hipertensi

intraglomerulus dan akan menyebabkan cascade yang akan berakhir pada

glomerulosklerosis (Bakri, 2014).

Secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif , GFR

total menurun lebih jauh sehingga ginjal tidak mampu membuang sisa

metabolisme dari tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan

creatinin serum (Mutakin & Sari, 2011). Tertimbunnya produk sisa

metabolisme dalam darah yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal akan

mengganggu kerja system tubuh meliputi system pernapasan, gastrointestinal ,

cardiovaskuler, integumen, hematologi, neurologis, reproduksi,

muskuloskeletal, dan endokrin (Black & Hawks, 2014). Sampai pada LFG 60

% pasien masih belum ada keluhan (asimtomatik). Saat LFG <30% tampak

tanda dan gejala pada pasien seperti anemia, peningkatan tekanan darah,

pruritus, badan lemah, mual, muntah, nafsu makan kurang, mudah terkena

infeksi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada LFG <15% terjadi

gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah membutuhkan terapi

pengganti (Suwitra, 2015).

Terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialysis

dan transplantasi ginjal. Terapi dialysis terdiri dari hemodialysis dan peritonia

l dialysis. Saat ini terapi dialysis yang banyak dipilih adalah hemodialysis oleh

karena prosesnya yang lebih singkat dan lebih efisien terhadap pembersihhan

terhadap zat-zat dengan berat molekul rendah (Suharjono, 2015).

12
2. Hemodialisis

a. Pengertian

`Hemodialysis merupakan suatu proses yang digunakan pada

pasien dengan keadaan sakit akut atau memerlukan terapi dialysis jangka

pendek atau pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) yang

membutuhkan terapi jangka panjang. Hemodialysis merupakan salah satu

terapi pengganti ginjal yang digunakan untuk membuang produk sisa

metabolisme berupa larutan dan air yang ada pada darah ketika ginjal tidak

mampu melaksanakan proses tersebut melalui membrane semipermeable

atau dialayser ( Mutakin & Sari , 2011; Thomas 2014).

Tujuan terapi hemodialysis adalah membuang sisa hasil

metabolisme dan cairan tubuh yang berlebihan dan menjaga

keseimbangan asam basa dan elektrolit untuk meningkatkan kualitas

hidup dan memperpanjang hidup pasien (Mutakin & Sari, 2011; Thomas,

2014)

b. Prinsip Hemodialisis

Prinsip yang mendasari kerja hemodialysis yaitu difusi, ultrafiltrasi

dan osmosis. Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membrane

semipermeable berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul.

Dialisat mengandung zat terlarut penting yang mirip dengan serum

normal namun tidak mengandung produk limbah seperti ureum dan

kreatinin sehingga zat ini akan melintasi membrane dari konsentrasi tinggi

(darah pasien) ke konsentrasi rendah (dialisat). Peningkatan aliran darah

melalui dialiser akan meningkatkan klirens dari zat terlarur dengan berat
13
molekul rendah seperti urea, creatinine, elektrolit dengan tetap

mempertahankan gradient konsentrasi yang tinggi (Thomas, 2014).).

Ultrafiltrasi adalah perpindahan zat terlarut dan air melewati

membrane semipermiabel akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik

dan tekanan osmotik (Tambunan, 2015). Ultrafiltrasi terjadi akibat dari

perbedaan tekanan positif pada kompartemen darah dengan tekanan

negative yang terbentuk dalam kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh

pompa dialisat atau transmembrane pressure (TMP). TMP dapat dihitung

dengan cara melakukan pengurangan antara tekanan kompartemen darah

dengan tekanan kompartemen dialisat (Suharjono, 2015).

c. Komponen hemodialysis

Komponen hemodialysis terdiri dari akses vaskuler, sirkuit darah ,

dialiser dan sikuit dialisat.

1) Akses vaskuler

Akses vaskuler hemodialysis diperlukan untuk memperoleh

aliran darah yang cukup dari tubuh pasien menuju dialiser. Akses

vaskuler yang digunakan pada pasien yang mendapat terapi

hemodialysis dibagi 2 kategori yaitu cateter intra vena (subclavi,

jugularis dan femoralis) dan fistula yang terdiri dari arteri vena fistula

(Cimino) dan Arteri Venus Graff (Thomas, 2014).

Akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada hemodialysis

darurat dicapai melalui kateterisasi subklavia untuk pemakaian

sementara dengan memasukkan catheter double lumen (CDL).

14
Pemakaian CDL memiliki resiko: cedera vaskuler seperti hematom,

pneumothorax, infeksi, thrombosis vena subclavia, dan aliran darah

yang tidak adekuat. Penggunaan CDL hanya dapat digunakan beberapa

minggu/ bulan. Kateter dapat dimasukkan dalam vena femoralis untuk

pemakaian segera dan sementara (Black & Hawks, 2014). Kateter

tersebut dapat dikeluarkan jika sudah tidak diperlukan dan karena

kondisi pasien sudah membaik atau sudah ada akses vaskuler Arteri

Venus Fistula (AVF) atau graff.

Akses AVF (Cimino) merupakan akses permanen dibuat melalui

pembedahan pada lengan bawah (arteri radialis dan vena cephalika atau

arteri brakhialis dan vena basilica) (Thomas, 2014) dengan melakukan

anastomosis arteri ke vena dimana dibuat anastomosis end to side atau

side to side sehingga terbentuk suatu arterilisasi dari vena. Dibutuhkan

waktu 4-6 minggu (Suharjono, 2015) menurut Thomas (2015)

dibutuhkan 2-3 bulan untuk pematangan dari AVF, hal ini

memungkinkan untuk dilakukan penusukan jarum yang besar ke dalam

sirkulasi sehingga dapat mengalirkan darah sampai 800-1000 ml/menit

(Thomas, 2014). Menurut Fluck & Kumweda (2011) perencanaan

untuk pemasangan AVF sudah harus dilakukan pada pasien CKD stage

4, namun merupaka suatu tantangan untuk pembuatan dan

pemeliharaan akses vaskuler jangka panjang pada pasien CKD dengan

penyakit pembuluh darah, orang tua dan diabetes mellitus (Thomas,

2014).

15
Gangguan pada pembuluh darah perifer dapat menyebabkan

kegagalan pembentukan AVF sehingga dibutuhkan pamasangan graff.

Graff terbuat dari bahan sintesis seperti polytetrafluoroethylene

(Thomas, 2014) digunakan untuk membuat vena buatan. Salah satu

ujung graff dianastomosis pada arteri dan ujung lainnya dianastomosis

pada vena. Graff bisa digunakan 2 minggu setelah pemasangan (Black

& Hawkas, 2014).

2). Sirkuit darah

Sirkuit darah merupakan sirkulasi yang mengalirkan darah

dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi ektrakorporeal melalui kanula

dengan bantuan blood pump ke dalam dialiser dengan quick of blood

/Qb antara 200 – 400 ml/menit kemudian ke venus blood line (VBL)

dan dialirkan kembali ke tubuh pasien melalui kanula outlet. Sirkuit

darah terdiri dari kanula inlet, arteri blood line, kompartemen darah

pada dialiser, venous blood line dan kanula outlet. Sirkuit darah

dilengkapi dengan sarana untuk monitoring tekanan arteri, tekanan

vena, udara dan pemberian antikoagulan (Pardede, 2013).

Tekanan vena dan arteri dapat meningkat apabila aliran darah

mengalami hambatan yang disebabkan karena adanya bekuan darah

sirkut darah atau tertekuk pada kanula dan Arteri venous blood line

(AVBL), venous line terklem, ukuran jarum outlet kecil, pembuluh

darah kecil, posisi kanula outlet yang tidak tepat. Tekana vena dan

arteri akan menurun apabila posisi kanula inlet tidak tepat, kanula inlet

tertekuk, lemahnya akses darah (inlet) (Pardede, 2013). Perubahan

16
tekanan arteri dan tekanan vena pada sirkuit darah akan menyebabkan

perubahan pada kecepatan aliran darah yang dapat mempengaruhi

adekuasi hemodialysis. Selain komponen diatas sirkuit darah juga

dilengkapi dengan menitor udara.

Detektor udara merupakan sarana untuk mendeteksi udara ,

busa di sirkulasi ekstrakorporeal. Gelembung udara atau busa yang

ada dalam sirkulasi ekstrakorporeal akan terperangkap dalam buble

trup arteri dan buble trup vena . Apabila udara di buble trup vena akan

terdeteksi oleh sensor dari air detector, klem tertutup dan blood pump

akan berhenti sehingga udara tidak masuk ke tubuh pasien (Pardede,

2013). Dengan adanya detector udara, darah yang kembali ke tubuh

pasien bebas dari udara sehingga menghindari terjadinya emboli udara

(Dewi,2010).

Sirkuit darah juga dilengkapi dengan sarana tempat pemberian

antikoagulan yang berada pada arteri blood line. Darah akan

mengalami pembekuan ketika masuk kedalam sirkuit darah sehingga

diperlukan dosis anti pembekuan darah yang tepat. Pemberian

antikoagulan pada pasien hemodialysis: pada saat persiapan mesin

sebesar 1500 unit , Pemberian dosis awal 25 – 100 unit/kg/BB,

pemberian dosis selanjutnya 500 – 2000 unit /jam dan dihentikan 1

jam sebelum hemodialysis berakhir (Pardede, 2013).

3). Dialiser

Dialiser merupakan unit fungsional dari sirkuit ekstracorporeal

yang fungsinya sama dengan nefron pada ginjal sehingga disebut

17
ginjal buatan. Terdapat 2 jenis dialiser diantaranya adalah jenis hallow

fiber dan parallel plat. Jenis dialiser yang banyak digunakan saat ini

adalah hellow fiber (Thomas, 2014). Dialiser terdiri dari 2

kompartemen yaitu kopartemen darah dan kompartemen dialisat yang

dibatasi oleh membrane yang bersifat semipermeable. (Amini et al.,

2011)

Pemilihan jenis membrane penting bagi pasien hemodialysis

sebagai bagian dari peresepan dialysis. Membrane yang memiliki

permeabilitas dan biokompatibilitas yang baik akan menghasilkan

bersihan yang optimal. Saat ini tersedia 2 jenis membrane yaitu low

flux dan high-flux. Membrane high-flux merupakan membrane tipis

dengan pori-pori besar yang mempunyai kemampuan membuang zat

terlarut dengan berat melekul sampai 30 kDa. Membrane low-flux

kurang permeable terhadap air dan zat terlarut tetapi memberikan

clearance yang baik terhadap zat terlarut dengan berat molekul sampai

10 kDa (Thomas, 2014).

Permeabilitas membrane terhadap air digambarkan sebagai

koofisien ultrafiltrasi (KUF) yang diukur dalam ml/jam/mmHg

(jumlah milliliter perjam cairan yang dikeluarkan untuk setiap 1 unit

tekanan melintasi membrane). Efisiensi bersihan zat terlarur diukur

dengan perpindahan massa urea (KoA) (Thomas, 2014) .

4). Sirkuit dialisat

Dialisat merupakan cairan yang digunakan pada pasien

hemodialysis yang dipompakan kedalam dialiser secara berlawanan

18
arah dengan aliran darah dan dibatasi oleh membrane semipermeabel

yang berfungsi untuk memperbaiki komposisi kimia darah dan

mengurangi limbah uremik dan elektrolit yang berlebihan .

Dialisat diproduksi dengan mencampur larutan pekat

(konsentrat) dengan bikarbonat dan air dengan perbandingan 1:34

yang artinya 1 bagian konsentrat di campur dengan 34 bagian air.

Jumlah konsentrat yang dibutuhkan untuk satu kali hemodialysis (5

jam) adalah 3-5 liter dan air 150 liter dengan kecepatan dialisat 500

ml/menit (Pardede,2013). Komposisi dialisat dapat disesuaikan

dengan kebutuhan individu (terutama kalium, kalsium dan natrium),

namun secara keseluruhan menyerupai komposisi biokimia serum

normal.

Konsentrasi larutan dialisat dapat dilihat pada tabel 2.2 :

Larutan Konsentrasi

Sodium (mmol / l) 135- 143

Kalium (mmol / l) 0 - 4

Klorida (mmol / l) 100-111

Kalsium (mmol / l) 1,25 - 1,75

Magnesium (mmol / l) 0,75 - 1,5

Bikarbonat (mmol / l) 30 - 35

Glukosa (g / 100 ml) 0 - 0,25

Sumber: Thomas, (2014)

19
5). Proses Hemodialisis

Proses hemodialysis dimulai dengan persiapan pasien dan

pemasangan sikuit darah dan sirkuit dialisat pada mesin hemodialysis

dengan melakukan proses priming dan soking yang bertujuan untuk

mengisi dan membilas sirkuit darah dan dialisat. Kemudian dilakukan

pemasangan akses vaskuler dengan melakukan insersi pada AV

fistula/ AV graff atau menggunakan akses vascular sementara

(Pardede, 2013).

Setelah blood line terpasang darah di alirkan dari pasien melalui

arteri blood line ke dalam dialiser untuk proses penyaringan. Darah

mulai mengalir dengan bantuan pompa darah dengan kecepatan 200-

400 ml/menit (Price & Wilson , 2005, dalam Anna, 2010) Cairan

normal salin di letakkan sebelum pompa darah untuk mengantisipasi

adanya hipotensi intradialitik. Infus heparin diletakkan sebelum atau

sesudah pompa darah ,tergantung peralatan yang digunakan.

Darah yang sudah di saring meninggalkan dialiser akan

meliwati detector udara kemudian dialirkan kembali kedalam tubuh

melalui venus blood line . Dialysis diakhiri dengan menghentikan

darah dari pasien, membuka normal salin dan membilas sirkuit darah

untuk mengembalikan darah ke pasien (Pardede, 2013 ).

6). Komplikasi Hemodialisis

Tindakan hemodialysis saat ini mengalami perkembangan yang

cukup pesat, namun tidak bisa dihindari akan masalah medis yang

sering dialami pasien selama menjalani terapi hemodialysis.

20
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang sedang menjalani

terapi hemodialysis (Tambunan, 2015) adalah:

a). Komplikasi yang sering terjadi:

(i) Hipotensi

Hipotensi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi

pada pasien sedang menjalani hemodialysis diperkirakan

sekitar 15 – 25 % ( Thomas, 2014). Hipotensi intradialitik

dapat disebabkan karena penurunan berat badan yang terlalu

cepat, ultrafiltrasi > berat badan kering, penggunaan dialisat

rendah natrium, penggunaan dialisat asetat, teperatur dialisat,

makan saat HD dan penggunaan anti hipertensi (Thomas,

2014: Tambunan, 2015).

(2). Kram

Menurut Tambunan (2015) pathogenesis tidak diketahui

dengan pasti dan sebagai predisposisi dari rasa kram pada

pasien hemodialysis adalah hipotensi, BB < BB kering dan

Na dialisat < Na plasma dengan angka kejadian 5-20%.

(3). Mual dan muntah

Mual dan mumtah terjadi sekitar 5 – 15% pada pasien dialysis

yang disebabkan oleh multifaktorial dan kebanyakan

disebabkan oleh karena hipotensi (Thomas, 2014 ; Tambunan,

2015)

(4). Sakit kepala

(5). Gatal

21
(6). Nyeri dada

(7). Nyeri punggung

(8). Demam dan menggigil

b). Komplikasi yang jarang terjadi:

(1). Disequilibrium syndrome

(2). Reaksi-reaksi hipersensitif

(3). Arithmia

(4). Tamponade jantung

(5). Perdarahan intracranial

(6). Kejang

(7). Hemolysis

(8). Emboli udara

3. Quick Of Blood (Qb)

Quick of blood adalah jumlah darah yang dapat dialirkan dalam

satuan menit. Bersihan ureum dipengaruhi quick of blood atau kecepatan

aliran darah, makin tinggi QB makin banyak darah yang melintasi

membrane dialiser semakin banyak darah yang di proses makin banyak

ureum yang berdifusi ke kompartemen dialisat sehingga bersihan ureum

dapat dicapai dengan optimal (Thomas, 2014). Penelitian yang dilakukan

Borzou et al (2009) di Iran untuk meneliti tentang efek peningkatan

kecepatan aliran darah terhadap adekuasi dialisis pada 42 pasien HD regular

dibagi 2 kelompok . Kt/V dan URR dinilai pada kelompok QB 200

ml/menit dan kelompok QB 250 ml/menit . Hasil penelitian disimpulkan

22
bahwa peningkatan kecepatan aliran darah sebesar 25% efektif dalam

meningkatkan adekuasi dialysis. Untuk meningkatkan adekuasi

hemodialysis perlu dilakukan pengaturan kecepatan aliran darah atau quick

of blood (QB).

Pengaturan kecepatan aliran darah atau Qb yang tepat dapat

ditentukan berdasarkan berat badan (Kim et al, 2004), ukuran lumen kateter,

akses vaskuler dan berat badan (Kallenbach,Gutch, Stoner & Corca, 2005).

Daugirdas, Blake, & Ing (2007) menyampaikan bahwa pengaturan QB

yang dilakukan pada pasien hemodialysis perlu memperhatikan penyakit

cardiovaskuler yang diderita dan kenyamanan pasien. Pemilihan ukuran

lumen kateter yang tepat dapat membantu peningkatan aliran darah selama

sesi hemodiaisis. Ukuran lumen kateter yang disarankan adalah ukuran 15

– 16 karena dapat mengalirkan darah sebanyak 350 ml/menit

(Kallenbach,Gutch, Stoner & Corca, 2005).

Pengaturan QB perlu memperhatikan penyakit kardio vaskuler yang

diderita pasien dan kenyamanan pasien . Kenyamanan pasien berkaitan

dengan komplikasi intra dialysis yang dialami oleh pasien seperti hipotensi,

hipertensi , kram, mual, muntah, pusing, nyeri dada. Bila terjadi angina

pectoris selama sesi hemodialysis disarankan untuk menurunkan QB secara

bertahap sampai nyeri dada tidak dikeluhkan oleh pasien (Daugirdas, Blake,

& Ing, 2007).

Pengaturan Qb pada setiap pasien dapat ditentukan berdasarkan

berat badan pasien. Menurut Daugirdas, Blake, & Ing (2007) dosis

peresepan Qb diatur berdasarkan berat badan dengan menggunakan rumus

23
Qb = 4 x berat badan. Penelitian yang dilakukan Sudiharto, Mardiono &

Arwani (2014) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaturan Qb

berdasarkan berat badan terhadap rasio reduksi ureum didapatkan hasil pada

kelompok intervensi terjadi penurunan ureum secara signifikan (p =

0,001)sehingga dimpulkan bahwa QB harus diatur secara tepat, diresepkan

sesuai dengan berat badan sehingga URR mencapai ≥65%. Penelitian yang

dilakukan Ni’mah, Ediyono & Winarto (2014) tentang perbedaan

pengaturan Qb berdasarkan perubahan berat badan dan kenyaman pasien

terhadap pencapaian adekuasi hemodialysis di RSUD Banyumas didapatkan

hasil pada kelomok QB berdasarkan kenyamanan pasien p value = 0,725

dan kelompok Qb sesuai dengan perubahan berat badan p value = 0,000

sehingga disimpulkan bahwa pengaturan Qb sesuai dengan berat badan

lebih banyak membersihkan sisa metabolisme dan nilai adekuasi

hemodialysis lebih optimal. Pengaturan Qb yang tepat dapat ditentukan

selain berat badan dapat juga ditentukan berdasarkan akses vaskuler.

Pengaturan Qb dapat ditentukan berdasarkan akses vaskuler. Akses

vaskuler yang digunakan harus mampu menghasilkan kecepatan aliran

darah atau QB yang optimal. Pada pasien yang sedang menjalani terapi

hemodialysis diperlukan aliran darah yang sangat cepat sehingga penting

untuk mendapatkan akses ke pembuluh darah besar. Menurut Lewis et al

(2014) akses vaskuler yang dapat digunakan pada pasien hemodialysis

adalah Cateter double lumen, arteri vena fistula (Cimino) dan arteri venus

graff. Akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada hemodialysis

darurat dicapai melalui kateterisasi subklavia untuk pemakaian sementara

24
dengan memasukkan catheter doubel lumen (CDL). Fistula memungkinkan

darah arteri mengalir melalui pembuluh darah vena dengan kaliber besar dan

dinding menjadi tebal. Fistula memerlukan waktu 4-6 minggu untuk

menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk

memberi kesempatan agar fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat

menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16 dan aliran darah yang

dibutuhkan dapat terpenuhi (200 - 400 ml/menit) (Thomas, 2014).

Kerusakan pada akses vaskuler dapat menyebabkan gangguan kecepatan

aliran darah/QB yang dapat mempengaruhi adekuasi hemodialysis dan

akibatnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien .

4. Adekuasi Hemodialisis

Adekuasi hemodialysis merupakan kecukupan dosis hemodialysis

yang dicapai selama proses hemodialysis . Pencapaian kecukupan dosis

hemodialysis penting untuk menjaga kondisi yang optimal dan

meningkatkan kualitas hidup pasien . Pemberian dosis hemodialysis yang

sesuai dengan kebutuhan pasien dapat dinilai dari adekuasi hemodialysis.

Penilaian adekuasi hemodialysis secara kuantitatif dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Kt/v atau URR (Nainggolan, 2015).

Rasio dari bersihan ureum dan waktu hemodialysis dengan volume

distribusi ureum dalam cairan tubuh pasien disebut juga Kt/V. K merupakan

klirens dialiser terhadap urea dalam liter/menit, t adalah lama dialysis dalam

menit dan V adalah volume distribusi urea dalam cairan tubuh. Rumus Kt/V

25
yang digunakan untuk menentukan dosis HD berikutnya (Dewi, 2010:

Nainggolan, 2015; Thomas, 2014) adalah sebagai berikut :

Kt/V = -ln (R - 0,008t) + (4 – 3,5R) x (BB pre HD – BB post HD)

BB post HD

Keterangan:

Ln = logaritma natural

R = Urea post HD/urea pre HD

t = lamanya HD (jam )

BB = berat badan

Sedangkan Nilai URR merupakan reduksi urea dari pre

hemodialysis sampai post hemodialysis dengan rumus sebagai berikut :

URR = 100 x (1 – Ct/Co)

Keterangan :

Ct = ureum post HD

Co = ureum pre HD ( Nainggolan, 2015 ; Thomas, 2014).

Target Kt/V untuk HD 3 x per minggu selama 3 - 4 jam setiap sesi

hemodialisis adalah minimal 1,2 (URR 65%) target dosis yang disarankana

1,4, URR > 70% (Thomas, 2014; KDOQI, 2015) dan 1,8, URR 80% untuk

HD 2 kali perminggu selama 4-5 jam perkali HD (Nainggolan, 2015).

Penelitian cross-sectional studi yang dilakukan oleh Amini et al

(2011) di Iran dengan melibatkan 4004 pasien di 127 senter hemodialysis

didapatkan hasil Kt/V < 1,2 (56%) dan URR <65% sebanyak 65%. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa di Iran adekuasi hemodialysis belum

memadai dibandingkan dengan standar dari Kidney Disease Outcomes

26
Quality Initiative (KDOQI). Dengan demikian dosis hemodialysis perlu

ditingkatkan untuk mendapatkan adekuasi yang lebih optimal.

K/DOQI (2006) memberikan rekomendasi untuk meningkatkan

dosis hemodialysis dapat memperhatikan jenis kelamin dan ukuran tubuh

(berat badan dan usia). Pemberian dosis hemodialysis yang tinggi pada

perempuan dan laki-laki dengan berat badan yang sama akan lebih

menguntungkan pada perempuan karena secara alami perempuan

mempunyai nilai V lebih rendah dari laki-laki. Hal ini terjadi karena

presentase jumlah total cairan tubuh perempuan lebuh rendah (55%)

dibandingkan dengan laki-laki (65%) (Thomas, 2014) . Nilai V yang rendah

akan menghasilkan nilai Kt/V yang tinggi pada perempuan (Dewi, 2010).

Menurut Mactier et al, (2011) dalam Thomas (2014) jika URR

dipertahankan >70% dan Kt/V 1,3 pada pasien perempuan akan

meningkatkan ketahanan hidup pasien.

Pada penderita dengan HD reguler dengan ukuran tubuh yang lebih

kecil (tanpa malnutrisi) mempunyai proporsi cairan tubuh yang lebih

banyak dibanding dengan pasien dengan ukuran tubuh yang lebih besar.

Pasien dengan usia 20 – 45 tahun mempunyai proporsi cairan tubuh lebih

banyak di banding dengan pasien dengan usia >45 tahun. Berdasarkan hal

tersebut K/DOQI menyarankan untuk meningkatkan dosis hemodialysis

pada pasien dengan ukuran badan yang lebih kecil dan usia 20 – 45 tahun

(Dewi, 2010)

Berat badan interdialisis merupakan berat badan antara 2 waktu

dialysis. Penambahan berat badan interdialisis dihitung berdasarkan berat

27
badan kering (dry weight) pasien yaitu berat badan post dialysis setelah

sebagain besar cairan dibuang melalui proses ultrafiltrasi, berat badan paling

rendah yang dicapai tanpa disertai keluhan dan gejala hipotensi (Reams &

Elder , 2003). Peningkatan berat badan interdialisis pada pasien yang

menjalani terapi hemodialysis dapat digunaka sebagai pedoman untuk

penarikan cairan selama proses hemodialysis. Guideline K/DOQI (2006)

menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitis sebaiknya tidak melebihi dari

4,8% BB kering. Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD

melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg (Kandarini, Y, 2012). Peningkatan

berat badan diantara 2 sesi hemodialysis dikategorikan ringan (penambahan

berat badan <4% dari berat badan kering ), rata-rata (peningkatan BB

mencapai 4-6%) dan berat bila peningkatan BB >6% dari berat badan

kering (Yetti, 2001). Semakin tinggi penambahan berat badan interdialisis

maka proporsi cairan tubuh semakin tinggi (nilai V semakin tinggi)

sehingga nilai Kt/V semakin rendah.

Adekuasi hemodialysis dapat dipengaruhi oleh . bersihan ureum

yang tidak optimal, waktu dialysis yang kurang dan kesalahan laboratorium

dalam pemeriksaan ureum (Kallenbach, et al 2005, (Dewi, 2010)). Bersihan

ureum dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah/QB, kecepatan aliran

dialisat/QD, koefisien luas permukan transfer dialiser/KoA dan durasi

hemodialysis (Thomas, 2014). Untuk memperoleh bersihan ureum yang

optimal dibutuhkan kecepatan aliran darah sebesar 200-600 ml/menit.

Dengan kecepatan aliran darah 200 ml/menit dapat diperoleh bersihan

ureum sebanyak 150 ml/menit dan bersihan ureum 200 ml/menit dapat

28
diperoleh dengan kecepatan aliran darah 400 ml/menit (Daugirdas, Blake,

Ing, 2007).

Selain QB bersihan ureum dapat juga dipengaruhi oleh kecepatan

aliran dialisat. Semakin cepat aliran dialisat maka efisiensi difusi ureum dari

kompartemen darah ke kompartemen dialisat semakin optimal. Untuk

menciptakan gradient yang tinggi aliran dialisat diposisikan berlawanan

arah dengan arus aliran darah. QD biasanya diatur dengan kecepatan 5 00

ml/menit namun saat ini kecepatan aliran dialisat diatur dengan

perbandingan QB : QD = 1:2 yang artinya bila kecepatan darah (Qb) 250

ml/menit maka kecepatan aliran dialisat 500 ml/menit (Thomas, 2014).

Kecepatan aliran dialisat 800 ml/menit dan QB 350 ml/menit

dengan menggunakan dialyser high flux dapat meningkatkan bersihan

ureum sebanyak 12% . Koefisien luas permukaan transfer dialiser

merupakan kemampuan membrane dialiser terhadap penjernihan darah

dari ureum pada kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat.

Dialiser dengan efisiensi tinggi memiliki nilai KOA > 700 ml/menit

(Daugirdas, Blake, Ing, 2012). Amini et al (2011) menyatakan bahwa faktor

yang berpengaruh terhadap nilai Kt/V dan URR adalah luas permukaan

dialiser. Penelitian yang dilakukan secara multicenter study di Iran terhadap

penggunaan dua jenis dialiser yaitu low-flux dialyser sebanyak 97,6%

pasien dan 2,4% dengan dialyser high flux pada pasien hemodialysis 3 kali

seminggu selama 4 jam. Diperoleh hasil 56, 7% pasien nilai Kt/V nya <1,2

(tidak adekuat). Kt/V pada pasien dengan low flux dialyser adalah 1,17 dan

pada pasien dengan high flux dialyser sebesar 1,36 sehingga disimpulkan

29
bahwa terdapat perbedaan Kt/V pada kedua jenis dialyser yang berbeda

tersebut ( p < 0,001).

5. Hubungan Quick Of Blood dengan Adekuasi HD

Quick of blood (QB) adalah jumlah darah yang dapat dialirkan

dalam satuan waktu (ml/menit) . Bersihan ureum dipengaruhi quick of

blood atau kecepatan aliran darah, makin tinggi QB makin banyak darah

yang melintasi membrane dialiser semakin banyak darah yang di proses

makin banyak ureum yang berdifusi ke kompartemen dialisat sehingga

bersihan ureum dapat dicapai dengan optimal (Thomas, 2014).

Adekuasi hemodialysis merupakan kecukupan jumlah

hemodialysis yang dicapai selama proses hemodialysis untuk menjaga

kondisi yang optimal. (Nainggolan, 2015). Adekuasi hemodialysis dapat

dipengaruhi oleh . bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialysis yang

kurang dan kesalahan laboratorium dalam pemeriksaan ureum (Kallenbach,

et al 2005). Bersihan ureum dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran

darah/QB, kecepatan aliran dialisat/QD, koefisien luas permukan transfer

dialiser/KoA dan durasi hemodialysis (Thomas, 2014). Untuk memperoleh

bersihan ureum yang optimal dibutuhkan kecepatan aliran darah sebesar

200-600 ml/menit. Dengan kecepatan aliran darah 200 ml/menit dapat

diperoleh bersihan ureum sebanyak 150 ml/menit dan bersihan ureum 200

ml/menit dapat diperoleh dengan kecepatan aliran darah 400 ml/menit

(Daugirdas, Blake, Ing, 2007). Menurut Borzou et al, (2009) dengan

meningatkan BFR akan meningkat adekuasi hemodialysis yang pada

30
gilirannya akan mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien ESRD yang

menjalani terapi hemodialysis.

Komplikasi yang paling sering terjadi dan merupakan penyebab

peningkatan morbilitas dan mortalitas pada pasien yang sedang menjalani

terapi hemodialysis adalah hipotensi dengan angka kejadian 15 – 30%

(Sulowicz & Radziszewski, 2006) akibat penurunan volume darah atau

penurunan aktivasi kardiovaskuler sebagai respon terhadap penurunan

pengisian jantung (Nette, 2005). Hipotensi dapat disertai dengan gejala

kram otot, sakit perut, dan dada, mual dan muntah dyspnea, pusing, lemah,

pucat dan berkeringat (Sulowicz & Radziszewski, 2006). Penelitian yang

dilakukan Schytz et al (2015) untuk mengevaluasi pengaruh perubahan

BFR pada tekanan darah , denyut nadi, cardiac output pada pasien

hemodialysis dengan aksesvaskuler AVF ditemukan tekanan darah sistolik

signifikan lebih tinggi pada BFR 200 ml/menit dibandingkan dengan BFR

300 ml/menit (p <0,05). Namun tidak signifikan bila dibandingkan dengan

BFR 400ml/menit (p = 0,20).

6. Peran Perawat Hemodialisis

Perawat hemodialysis adalah perawat professional bersertfikat

pelatihan dialysis yang bertanggung jawab melaksanakan perawatan dan

bekerja secara tim di ruang hemodialysis. Perawat hemodialysis mempunyai

peran penting sebagai pemberi asuhan, advokasi, konsultan, peneliti dan

pemberi edukasi pada pasien ESRD yang menjalani terapi hemodialysis

untuk mencapai adekuasi hemodialysis. Peran perawat hemodialysis selama

31
proses hemodialysis adalah mempersiapkan pasien sebelum proses

hemodialysis berlangsung , memantau kondisi pasien selama hemodialysis

dan berkolaborasi untuk melakukan penilaian pencapaian adekuasi sehingga

dapat meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan mobiditas dan

mortalitas pasien. hemodialisis. (Kallenbach et al, 2005; Pourfarziani et

al, 2008) . Menurut (Kallenbach et al, 2005) peran perawat selama proses

hemodialysis adalah sebagai berikut:

a. Persiapan Hemodialysis

Saat pasien didiagnosis dengan ESRD, maka peran perawat

adalah memberikan edukasi tentang ESRD dan penatalaksanaannya.

Perawat memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga dalam

mengambil keputusan untuk menjalani terapi hemodialysis.

b. Pre Hemodialisis

Peran perawat pada pre hemodialysis adalah melakukan

persiapan pasien dan persiapan mesin. Persiapan pasien antara lain

kelengkapan surat-surat, melakukan pengkajian berat badan

dibandingkan dengan berat badan setelah dialysis dan berat badan kering,

mengobservasi tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik, status mental,

kondisi akses vaskuler, pemeriksaan laboratorium. Sedangkan persiapan

mesin yaitu perawat melakukan pengecekan terhadap keakuratan mesin,

melakukan pemasangan AVBL dan dialiser, mengatur setting mesin

sesuai dosis yang diresepkan .

32
c. Intra Hemodialisis

Pada tahap ini peran perawat melakukan monitoring tanda-tanda

vital, akses vaskuler, memantau dan mengatur Qb, system alaram,

heparinisasi, komplikasi saat hemodialysis dan penanganannya serta

kolaborasi dengan dokter penanggungung jawab untuk mengatasi

komplikasi.

d. Post Hemodialysis

Setelah menjalani terapi hemodialysis perawat melakukan

pengkajian fisik, pemeriksaan vital signs, akses vaskuler, pengukuran

berat badan, melakukan pemeriksaan laboratorium dan bekerja sama

dengan dokter untuk menghitung adekuasi hemodialysis dan menentukan

dosis HD selanjutnya.

7. Konsep Teori Adaptasi Roy

Menurut Roy (1984) dikutip dalam Tommey & Alligood (2006)

sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok,

masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic adaptif system”dalam segala

aspek yang merupakan satu kesatuan. System adalah Suatu kesatuan yang

di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan

adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. System terdiri

dari proses input, output, kontrol dan umpan balik (Roy, 1991 dalam

Tommey & Alligood, 2006), dengan penjelasan sebagai berikut:

33
a. Input

Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan

kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang

dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu

stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.

1) Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan

seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi.

2) Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami

seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi

situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subjektif

dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana

dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti

anemia, isolasi sosial.

3) Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan

dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi

kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman

yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya

pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang

tidak.

b. Kontrol

Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk

mekanisme koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas

regulator dan kognator yang merupakan subsistem (Tommy &

Alligood, 2006):

34
1) Subsistem regulator.

Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen: input-

proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal.

Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin.

Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan spinal

cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem.

Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku

regulator subsistem.

2) Subsistem kognator.

Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun

internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi

stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol

proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses

informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi

berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi,

mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses

imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang

mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan

adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau

analisa.

c. Output.

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat di amati,

diukur atau secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam

maupun dari luar. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon

35
yang adaptif atau respon yang mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat

meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat

terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang

berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan

keunggulan. Sedangkan respon yang maladaptif perilaku yang tidak

mendukung tujuan ini.

Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk

menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa

mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik

(misalnya sel darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri

yang menyerang tubuh. Roy memperkenalkan konsep ilmu

Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut

Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan bagian

subsistem adaptasi. Dalam memelihara integritas seseorang, regulator

dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja sama. Tingkat

adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh

perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme

koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal

mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang

stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator,

Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka

untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator

sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy.

36
Skematik keterkaitan konsep stimulus, proses, efektor dan

output dalam model adaptasi Roy dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy

Sumber : Tommey & Alligood, 2006).

Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai

sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode adaptasi

meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.

a. Mode Fungsi Fisiologi

Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya.

Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus

dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua

bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5

kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri

dari 4 bagian yaitu :

1) Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya,

yaitu ventilasi, pertukaran gas dan transpor gas (Vairo,1984 dalam

Tommey & Alligood, 2006).


37
2) Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk

mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan

mengganti jaringan yang injuri. (Servonsky, 1984 dalam Tommey

& Alligood , 2006).

3) Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal

dan ginjal. (Servonsky, 1984 dalamTommey & Alligood, 2006)

4) Aktivitas dan istirahat: Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik

dan istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi

fisiologis dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponen-

komponen tubuh. (Cho,1984 dalam Tommey & Alligood, 2006).

5) Proteksi/perlindungan: Sebagai dasar defens tubuh termasuk

proses imunitas dan struktur integumen (kulit, rambut dan kuku)

dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma

dan perubahan suhu. (Sato, 1984 dalam Tommey & Alligood,

2006).

6) The sense/perasaan: Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan

bau memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan.

Sensasi nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan.

(Driscoll, 1984, dalam Tommey & Alligood, 2006).

7) Cairan dan elektrolit: Keseimbangan cairan dan elektrolit di

dalamnya termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler,

ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem

fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.

(Parly, 1984, Tommey & Alligood, 2006).

38
8) Fungsi syaraf/neurologis : Hubungan-hubungan neurologis

merupakan bagian integral dari regulator koping mekanisme

seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan

mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi

kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh

(Robertson, 1984 dalam Tommey & Alligood, 2006).

9) Fungsi endokrin : Aksi endokrin adalah pengeluaran horman sesuai

dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi

fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan

dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping

mekanisme (Howard & Valentine dalam Tommey & Alligood,

2006).

b. Mode Konsep Diri

Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan

penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia.

Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis

antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri

menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the

personal self.

The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang

dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya.

Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan,

seperti setelah operasi, amputasi atau hilang kemampuan

seksualitas.The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri,

39
ideal diri, moral-etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas,

hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam area ini.

c. Mode Fungsi Peran

Mode fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial

seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan

dalam peran primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana

seseorang dapat memerankan dirinya dimasyarakat sesuai

kedudukannya.

d. Mode Interdependensi

Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang

dijabarkan oleh Roy. Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi

dan menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling

menghargai.Interdependensi yaitu keseimbangan antara

ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk

dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi

dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan

berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya.Interdependensi

dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi

dan menerima.

Konsep adaptasi Roy memandang individu sebagai Holistic adaptif

system”dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan yang dapat

berespon terhadap berbagai stimulus yang ada di lingkungan . Pada pasien

ESRD yang menjalani terapi hemodialysis, tubuh pasien akan mengalami

respon fisiologis dengan melakukan adaptasi terhadap ketidak nyamanan

40
yang timbul akibat tindakan hemodialysis. Ketidak nyamanan yang sering

dialami oleh pasien yang sedang menjalani terapi hemodialysis antara lain

hipotensi, hipertensi, nyeri dada, sesak nafas, pusing, rasa kram, mual dan

muntah.

Peran perawat untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dialami

pasien ESRD selama proses hemodialysis adalah dengan melakukan

pengamatan dan pengaturan quick of blood (Qb) dengan tujuan agar pasien

dapat beradaptasi terhadap ketidak nyamanan yang dialami. Proses adaptasi

akibat ketidaknyamanan pada pasien ESRD yang menjalani terapi

hemodialysis dapat dijelaskan dengan skema sebagai berikut ini :

Input Proses Output

Ketidak Pengaturan/ Adaptasi


nyamanan pengamatan : Ketidaknyaman
selama an
Hemodialysis Quick of blood

Bagan 2.2 Adaptasi Tubuh terhadap Ketidaknyamanan

Sumber : Tomey & Alligood (2006), Thomas , 2014

41
B. Kerangka Teori
Etiologi GGK Hipetensi Iskemia/ nefrotoksin

1. Nefropati Diabetik
2. Glomerulonefritis
3. Nefropati Obstruksi 1. Aliran darah keginjal ↑
4. Asam Urat 2. Kerusakan sel tubulus
5. SLE 3. Kerusakan glomerulus
6. Penyebab lain

GFR ↓

1. G1 (GFR >90 ml/min/1,73m2)


2. G2 (GFR 60-89 ml/min/1,73m2)
3. G3a (GFR 45-59 ml/min/1,73m2)
4. G3b(GFR 30-44 ml/min/1,73m2)
5. G4 (GFR 15-29 ml/min/1,73m2)
6. G5 (GFR <15 ml/min/1,73m2)

ESRD

Kadar ureum dan kreatinin ↑

Teori adaptasi Roy


Sindrom uremia

Terapi pengganti ginjal :


Input
Hemodialisis

Proses Quick of blood /Qb

Volume darah ke dialiser ↑

Proses difusi ↑

Ureum Darah ↓

Output; Adekuasi Hemodialisis

Adaptasi terhadap ketidaknyamanan


Sumber : KDIGO, ( 2013); Lestariningsih (2014); IRR (2014);Thomas (2014); Mutakin & Sari
(2011); Tommey & Alligood (2006).

Anda mungkin juga menyukai