Anda di halaman 1dari 12

ISSUE DIBIDANG DIETETIK

“DIET AUTISME”

DOSEN
NANY SURYANI S.Gz. M.Biomed
OLEH KELOMPOK 4 :

1. ANNISA DEWI LESTARI


2. DIAN PARAMITHA UTAMI
3. NINA CAHYA SAPUTRI
4. RIRIN YUNI ASFITA
5. SITI RAHMATINA

PROGRAM STUDI S1 GIZI

STIKES HUSADA BORNEO

BANJARBARU

MEI 2019
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Autisme berasal dari kata "Auto”yang mempunyai arti “sendiri” dimana
kesendrian diartikan sebagai yang memiliki suatu kelainan perkembangan yang
sangat besar mempengaruhi anak secara mendalam. Kelainan tersebut
mengakibatkan anak mengalami gangguan pada interaksi sosial, sensorik
motorik, komunikasi, bahasa dan bicara, serta keterlambatan dalam bidang
kognitif.gejala ini terlihat saat anak masih kecil sebelum usia tiga tahun (Iswari.
2019).

Anak autis lebih rentan terhadap alergi dan sensitif terhadap makanan
tertentu daripada anak pada umumnya (Judarwanto, 2006). Diet yang umumnya
dikenal pada anak autis adalah diet GFCF (gluten free casein free). Makanan
tertentu yang mengandung protein susu sapi (kasein) dan protein gandum
(gluten) dapat membentuk kaseomorfin dan gluteomorfin sehingga dapat
menyebabkan gangguan perilaku seperti hiperaktif. Makanan yang mengandung
gluten dan kasein tidak bisa dicerna dengan baik oleh saluran pencernaan anak
autis karena terjadi kebocoran saluran cerna (leaky gut syndrom) sehingga
menyebabkan berbagai makromolekul protein susu sapi dan zat toksik dapat
melewati dinding saluran cerna ke darah hingga sampai ke otak. Morfin palsu
yang berupa gluteomorfin dan kaseomorfin berikatan dengan reseptor morfin
diotak sehingga terjadi gangguan perilaku (Siregar, 2003).

Penyandang autism didunia mencapai 35 juta jiwa (UNESCO, 2011). Di


Indonesi tercatat jumlah penderita autis dengan usia dibawah 15 tahun
mencapai 112.000 jiwa (DepKes RI 2013). Data anak autis di Kalimantan
Selatan pada sekolah luar biasa Negeri yaitu sebesar 188 orang sedangkan
pada sekolah luar biasa Swasta jumlah penderita autism sebanyak 52 orang
(Suhardi,2016 dalam buku Statistik sekolah luar biasa (SLB)).
PEMBAHASAN
A PENGERTIAN AUTISME
Autisme berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti “sendiri”. Autisme
merupakan suatu gangguan perkembangan komunikasi, sosial, dan perilaku pada
anak (WHO, 2011). Gangguan perkembangan biasanya muncul sebelum usia tiga
tahun yang menyebabkan anak dengan autisme tidak mampu membentuk hubungan
sosial atau mengembangkan komunikasi normal. Anak autis menjadi terisolasi dari
kontak dengan orang lain dan tenggelam pada dunianya sendiri yang diekspresikan
dengan kegiatan yang di ulang-ulang. Kelainan pada anak autis disebut dengan
autism spectrum disorder (ASD) (Jasaputra DK, 2003 dalam Nisa K, 2016).
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang berat yang antara lain
dapat mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berhubungan
dengan orang lain (Hadis, 2006 dalam Iswari Mega 2019). Autisme adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis dari masalah neurologis yang
mempengaruhi pikiran, persepsi, dan perhatian. Kelainan ini dapat menghambat,
memperlambat, atau mengganggu sinyal dari mata, telinga, dan organ sensori yang
lain. Hal ini umumnya memperlemah kemampuan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain, mungkin pada aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan
komunikasi seperti bicara, kemampuan imajinasi dan menarik kesimpulan. Sehingga
kelainan ini mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Sutadi, 2003 dalam Iswari Mega
2019).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Dan anak autistik adalah anak
yang mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial,
gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi. (Depdiknas, 2002).
B PENYEBAB TERJADI AUTISME
Penyebab Autisme itu sendiri, menurut para ahli dalam hasil penelitiannya
menyatakan bahwa bibit autisme telah ada jauh hari sebelum bayi yang dilahirkan
bahkan sebleum vaksinasi dilakukan. Patricia Rodier, seorang ahli embrio dari
Amerika menyatakan bahwa gejala autisme dan cacat lahir itu disebabkan karena
terjadinya kerusakan jaringan otak yang terjadi sebelum 20 hari pada saat
pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa anak yang
terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi
lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini membuktikan bahwa gangguan
perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada
saat kelahiran bayi.
Menurut Gayatri Pamoedji (2007:3) penyebab autis adalah gangguan
perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gangguan pada fungsi susunan
otak. Penyebab utama dari gangguan ini hingga saat ini masih terus diselidiki oleh
para ahli meskipun beberapa penyebab seperti keracunan logam berat, genetik,
vaksinasi, populasi, komplikasi sebelum dan setelah melahirkan disebut-sebut
memiliki andil dalam terjadinya autisme.
Menurut Handojo (2004: 15) menyatakan penyebab autisme bisa terjadi pada
saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor pemicu biasanya terdiri dari ;
infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb), keracunan logam berat, zat aditif
(MSG, pengawet, pewarna), maupun obat-obatan lainnnya. Selain itu, tumbuhnya
jamur berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian antibotika yang berlebihan,
dapat menyebabkan kebocoran usus (leaky-gut syndrome) dan tidak sempurnanya
pencernaan kasein dan gluten. Secara neurobiologis diduga terdapat tiga tempat
yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda yang dapat menyebabkan autisme
yaitu :
1. Gangguan fungsi mekanisme kortikal menyeleksi atensi, akibat adanya
kelainan pada proyeksi asending dari serebelium dan batang otak.
2. Gangguan fungsi mekanisme limbic untuk mendapatkan informasi, misalnya
daya ingat.
3. Gangguan pada proses informasi oleh korteks asosiasi dan jaringan
pendistribusiannya. (Handojo, 2004: 14).
Studi Epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali berisiko lebih
tinggi daripada wanita. Sementara resiko autism jika memiliki saudara
kandung yang juga autism sekitar 3%. Studi lain menunjukkan, saudara
kembar dengan jenis kelamin yang sama tapi monozigotik, mempunyai risiko
300 kali lebih besar daripada dizigotik (Yoder, 2004).
C CIRI-CIRI AUTISME
Gejala umumnya sudah dapat dilacak sebelum berumur 2,5 tahun sebagai
deteksi awal. Pada kasus autism infantile (gangguan autism yang terjadi pada anak
sejak lahir), bahwa anak pada usia empat bulan, perilaku anak yang autism sudah
berbeda dengan perilaku anak pada umumnya (Hadis, 2006). Secara umum
karakteristik klinik yang ditemukan pada anak autism menurut Yatim (2007), meliputi
1. Sangat lambat dalam perkembangan bahasa, kurang memahami bahasa, pola
berbicara yang khas atau penggunaan kata-kata tidak disertai arti yang normal.
2. Sangat lambat dalam mengerti hubungan sosial, sering menghindari kontak
mata, sering menyendiri dan kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
3. Ditandai dengan pembatasan aktivitas dan minat, anak autism sering
memperlihatkan gerakan tubuh berulang, seperti bertepuk-tepuk tangan,
berputar-putar, memelintir atau memandang suatu objek secara terus-menerus.
4. Pola yang tidak seimbang pada fungsi mental dan intelektual, anak autism
sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan bereaksi secara emosional
kemampuan intelektual sebagian besar mengalami kemunduran atau
inteligensia yang rendah dan sekitar 20% mempunyai inteligensia diatas rata-
rata.

Sebagian kecil anak autism menunjukkan masalah perilaku yang sangat


menyimpang seperti melukai diri sendiri atau menyerang orang lain.Menurut
Depdiknas (2002) mendeskripsikan anak dengan autisme berdasarkan jenis
masalah gangguan yang dialami anak dengan autisme. Karakteristik dari masing-
masing masalah/gangguan itu di deskripsikan sebagai berikut:
1. Masalah/gangguan di bidang komunikasi dengan karakteristiknya sebagai
berikut:
a. Perkembangan bahasa anak autistic lambat atau sama sekali tidak ada. Anak
tampak seperti tuli, dan sulit bicara.
b. Kadang-kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
c. Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat
dimengerti orang lain.
d. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi senang meniru atau membeo
(echolalia).
e. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan,
misalnya bila ingin meminta sesuatu.
2. Masalah/gangguan di bidang interaksi sosial dengan karakteristik berupa:
a. Anak autistic lebih suka menyendiri
b. Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau meghindari tatapan
muka atau mata orang lain.
c. Tidak tertarik bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya maupun yang
lebih tua.
d. Bila diajak bermain, anak autistik itu tidak mau dan menjauh.
3. Masalah/gangguan di bidang sensoris degan karakteristiknya berupa:
a. Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b. Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c. Anak autistic senang mencium-cium atau menjilat-jilat mainan atau benda-
benda yang ada disekitarnya.
d. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut
4. Masalah/gangguan di bidang pola bermain karakteristiknya berupa:
a. Anak autistic tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Anak autistik tidak suka bermain dengan teman sebayanya
c. Anak autistik tidak bermain sesuai dengan fungsi mainan, misalnya sepeda
dibalik lalu rodanya diputar.
5. masalah/gangguan di bidang perilaku karakteristiknya berupa:
a. Anak autistik dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif (hiperaktif) dan
berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
b. Anak autistik memperlihatkan stimulasi diri atau merangsang diri sendiri seperti
bergoyang-goyang mengepakan tangan seperti burung.
c. Anak autistik tidak suka kepada perubahan
d. Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong.
6. Masalah/gangguan di bidang emosi karakteristiknya berupa:
a. Anak autistic sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan
menangis tanpa alasan.
b. Anak autistik kadang agresif dan merusak
c. Anak autistik kadang-kadang menyakiti dirinya sendiri
d. Anak autistik tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain yang
ada di sekitarnya.
D Kelainan yang dapat dijumpai pada Penyandang Autisme
1. Gangguan fungsi enzim
Berbagai penelitian telah mendapatkan hasil bahwa sistem enzim sulfotransferase
tidak berfungsi dengan baik pada penyandang autisme. Hal ini mempengaruhi
metabolisme secara luas. Anak dengan defisiensi enzim ini tidak dapat
memetabolisme makanan dan zat kimia yang mengandung fenol (pewarna) dan
amin (apel,jeruk, asam sitrat, parasetamol, coklat) dengan sempurna. Phenol sulfur
transferase berperan penting dalam memecah hormon, komponen beberapa
makanan, dan zat toksik dalam tubuh. Bila terjadi defisiensi enzim ini tubuh tidak
dapat mendetoksifikasi zat toksik tersebut (Shattock P, Whiteley P, 2001).
Terganggunya fungsi enzim ini dapat menyebabkan kebocoran dinding usus (leaky
gut) sehingga mengakibatkan absorpsi protein yang tidak sempurna, seperti kasein
dan glutein. Kasein adalah fosfoprotein dari susu yang memiliki struktur molekul
yang mirip dengan glutein, sedangkan glutein merupakan protein yang terdapat
pada tumbuhan monocotyledone. Tumbuhan ini meliputi gandum dan turunannya
(wheat, oats, rye, barley) (Ginting dkk, 2016).
2. Pertumbuhan jamur yang berlebihan
Dari penelitian didapatkan bahwa kira - kira 50% penyandang autisme mengalami
pertumbuhan jamur (candida) yang berlebihan pada usus. Candida yang
berproliferasi dalam saluran cerna dapat mengalami perubahan anatomi dan fisiologi
menjadi jamur yang berbeda, disebut mycelial fungus, yang dapat merusak dinding
usus (Ginting dkk, 2016). Keadaan ini dapat diperberat oleh pemakaian antibiotik
yang sering. Antibiotik dapat mengganggu keseimbangan flora normal usus.
Dikatakan penyandang autisme rentan terhadap infeksi, seperti infeksi telinga
tengah, radang
tenggorokan, diare, dan lain – lain.. Untuk mengatasi pertumbuhan jamur yang
berlebihan harus dicegah pemakaian antibiotik yang berlebihan, menghindari
makanan yang membuat pertumbuhan jamurbertambah subur (misalnya gula, ragi),
dan menjaga keseimbangan flora normal usus (Ginting dkk, 2016).
3. Analisa Urin
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat variasi yang nyata tentang
kandungan peptida pada urin normal dengan urin penyandang autisme. Analisis urin
penyandang autisme menunjukkan 2 puncak utama yang tidak dijumpai pada urin
anak normal. Puncak pertama diidentifikasi sebagai betacasomorphin yang berasal
dari susu, sedang puncak ke-dua diduga merupakan peptida dari glutein. Sekitar
70–80% penyandang autisme menunjukkan peningkatan kadar zat - zat tersebut di
atas.Betacasomorphin tidak terlihat lagi dalam urin setelah semua bahan makanan
yang terbuat dari susu dihilangkan dari diet, sementara peptida dari glutein masih
tetap terdeteksi di dalam urin, meskipun diet bebas glutein sudah dijalankan. Pada
percobaan di Inggris didapatkan bahwa pengurangan kadar peptida glutein dalam
urin hanya terjadi sebesar 26%, setelah selama 5 bulan diet bebas glutein. Hal ini
disebabkan karena peptida glutein dapat masuk ke dalam jaringan tubuh (Ginting
dkk, 2016).
4. Teori Peningkatan Opioid (opioid excess theory)
Pada tahun 1980 sejumlah peneliti melihat adanya kemiripan antara efek opioid
terhadap perilaku binatang dengan gejala pada penyandang autisme. Ada juga teori
yang mengatakan bahwa pada penyandang autisme terdapat peningkatan kadar
opioid di dalam otak yaitu beta endorphins yang disebut dengan runner’s high. Hal
ini dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar bahan serupa endorphin di dalam
cairan likuor serebrospinalis pada beberapa penyandang autisme, terutama yang
tahan terhadap rangsang sakit dan menunjukkan perilaku melukai diri sendiri (self
injury). Beberapa penelitian mendukung hipotesis bahwa autisme merupakan hasil
kerja peptida yang mempengaruhi neurotransmiter di susunan saraf pusat. Peptida
(caseomorphin dan gluteomorphin) yang ikut dalam peredaran darah dapat
menembus sawar darah otak dan menduduki reseptor opioid, menyebabkan sistem
saraf pusat terganggu, seperti fungsi persepsi, kognitif, emosi, tingkah laku, dan lain
- lain. Adanya opioid juga mempengaruhi sistem imun penyandang autisme. Pada
anak normal kadar peptida di usus sangat rendah dan yang mencapai susunan saraf
pusat juga sangat rendah, sehingga efeknya dapat diabaikan.Beberapa cara untuk
mengatasi hal tersebut di atas dapat dilakukan dengan pengobatan anti opioid yaitu
naltrexon. Pemberian obat tersebut dapat mengurangi gejala gangguan sistem saraf
pusat, hanya saja obat ini rasanya sangat pahit sehingga sering dimuntahkan oleh
anak - anak. Cara lain yang tidak kalah penting adalah dengan melakukan diet
bebas kasein dan glutein pada anak (Ginting dkk, 2016).
E Diet penyadang Autisme
a Diet bebas kasein dan glutein
Tidak semua anak autisme harus menjalani diet bebas kasein dan glutein.
Untuk mengetahui apakah anak perlu menjalani terapi diet, dapat dilakukan
pemeriksaan feses, urin, darah, rambut Pemeriksaan tersebut memerlukan biaya
yang sangat mahal. Salah satu cara yang mudah dan biaya murah adalah dengan
melakukan diet bebas kasein dan glutein pada anak. Selanjutnya dipantau ada
tidaknya perbaikan pada anak tersebut, dengan mencatat bahan makanan apa saja
yang diberikan kepada anak dan perubahan reaksi yang muncul. Bila pada saat
anak mendapat bahan makanan tersebut terlihat peningkatan perilaku autisme,
maka diduga kuat anak menderita alergi terhadap makanan tersebut. Cara ini
mempunyai kelemahan, yaitu tidak memungkinkan untuk menguji semua bahan
makanan sekaligus. Indikasi terapi diet pada penyandang autism.
 Gangguan bicara yang berat.
 Pada tahun pertama perkembangan anak normal, tetapi selanjutnya anak
mengalami kemunduran yang nyata dalam perkembangannya.
 Gangguan buang air besar.
 Sering mendapat pengobatan dengan antibiotic
 Sering merasa haus
 Banyak mengkonsumsi produk susu dan gandum.
 Pucat
 Bayangan yang gelap di kelopak mata bawah
 Kongesti nasal yang persisten
 Warna kulit kemerahan di sekitar anus
 Eksim
 Cara melakukan Diet
Diet tidak dapat dilakukan sembarangan dengan menghilangkan makanan
tertentu begitu saja. Sebelum melakukan diet, sebaiknya ditambahkan makanan lain
yang diperbolehkan, sehingga anak tidak kekurangan zat gizi dan mencoba
makanan yang baru. Menghilangkan makanan yang mengandung susu dan gandum
berarti mengurangi pemasukan vitamin dan mineral, oleh karena itu anak harus
diberi cukup suplementasi vitamin dan mineral.
Diet harus dilakukan secara bertahap, mula - mula hanya makan malam,
kemudian makan pagi dan selanjutnya makan siang, dan akhirnya juga makanan
selingan. Bila diet dilakukan sekaligus akan timbul efek withdrawal. Efek withdrawal
biasanya tidak lama, akan tetapi bisa sangat parah terutama pada anak yang lebih
muda.Tahapan diet dapat dilakukan dengan mengikuti protokol Sunderland. Protokol
ini membagi diet dalam 3 tahap yaitu :
1. Tahap gencatan senjata (cease fire)
 Membuang kasein dari makanan dalam 3 minggu.
 Membuang gluten dari makanan dalam 3 bulan.
2. Tahap perundingan awal (preliminary agreement)
 Membuat catatan harian makanan (food diary) untuk melihat makanan apa saja
yang menyebabkan perubahan perilaku pada anak selain kasein dan gluten
(telur, kacang, jagung, kedelai, tomat , dan lain sebagainya).
 Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar mineral, vitamin
dalam tubuh. Berikan suplementasi bila ada kekurangan.
 Pemeriksaan mikro organisme dalam usus (jamur, parasit, bakteri).
3. Membangun kembali secara aktif (active reconstruction)
 Koreksi kekurangan sulfat
 Mengaktifkan enzim dengan memberikan trimethyl glycine (TMG) Diperkirakan
pada penyandang autism terjadi penurunan asam lambung, akibatnya enzim
yang bekerja di lambung tidak dapat berfungsi dengan baik. Tri methyl glycine
berfungsi menambah kadar asam lambung.
 Pemberian asam lemak tak jenuh, seperti evening primrose oil, fish oil, cold liver
oil.
 Pemberian L-glutamin akan memperkuat kekebalan tubuh dan membantu
penyembuhan dinding usus. Glutamin juga mempunyai efek meningkatkan
fungsi mental dan memperbaiki otot-otot skeletal. Dikatakan juga glutamin
mengurangi keinginan yang berlebihan untuk mengkonsumsi gula.

A Hubungan Gluten dan Kasein Terhadap Perubahan Perilaku Anak Autis


Makanan tertentu yang mengandung protein susu sapi (kasein) dan protein
gandum (gluten) dapat membentuk kaseomorfin dan gluteomorfin sehingga dapat
menyebabkan gangguan perilaku seperti hiperaktif. Makanan yang mengandung
gluten dan kasein tidak bisa dicerna dengan baik oleh saluran pencernaan anak
autis karena terjadi kebocoran saluran cerna (leaky gut syndrom) sehingga
menyebabkan berbagai makromolekul protein susu sapi dan zat toksik dapat
melewati dinding saluran cerna ke darah hingga sampai ke otak. Morfin palsu yang
berupa gluteomorfin dan kaseomorfin berikatan dengan reseptor morfin diotak
sehingga terjadi gangguan perilaku (Siregar, 2003).
Peptida merupakan komponen bioaktif dan dapat menghasilkan gejala seperti
yang tampak pada autisme. Mayoritas peptida tersebut terdeposit di urin. Adanya
peptida urin yang abnormal menunjukkan bahwa terjadi pola peningkatan level
peptida yang abnormal (Knivsberg et al., 2003). Peptida yang meningkat tersebut
terjadi karena tidak sempurnanya pencernaan protein gluten dan kasein pada
penyandang autis sebagai akibat dari gangguan metabolisme enzim
dipeptidylpentidase IV (DPPIV). Sebagian kecil peptida akan menuju otak karena
terjadi kebocoran saluran cerna (leaky gut syndrom) akibat tidak seimbangnya
bakteri dan jamur. Hal ini menyebabkan berbagai makromolekul protein susu sapi
atau zat toksik dapat melewati dinding saluran cerna ke darah sehingga
menyebabkan terjadinya gangguan susunan dan fungsi otak yang pada akhirnya
berpengaruh pada gangguan tingkah laku, gangguan perkembangan, dan gangguan
proses belajar. Morfin palsu yang berupa gluteomorfin dan kaseomorfin tersebut
berikatan dengan reseptor morfin sehingga terjadi gangguan perilaku (Siregar,
2003).

Anda mungkin juga menyukai