Anda di halaman 1dari 57

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kepemimpinan

2.1.1. Pengertian Kata dan Defenisi

Secara etimologis, kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti

bimbing, tuntun. Kemudian lahirlah kata benda pemimpin, yakni orang yang

berfungsi membimbing atau menuntun. Jadi kepemimpinan artinya menunjuk

kepada suatu tindakan dalam pelaksanaan tugas memimpin (band. KBBI, 1995).

Kata kepemimpinan dapat ditemukan dalam semua bahasa. Dalam bahasa

Yunani ada dua kata kerja yakni archien, artinya membimbing, menuntun, dan

prattein, mencapai dan dalam bahasa Latin, agree, membimbing, memimpin.

(Jeanings, 1960). Dalam bahasa Inggris, kata “pemimpin” sudah dipakai lebih

dari 1000 tahun yang sedikit berubah dari bahasa Anglo Saxon, yakni dari akar

kata laedere, yang berarti pemandu petualangan (Bolman & Deal 1991). Dalam

bahasa modern, kata pemimpin tidak selamanya berarti sama. Dalam bahasa

Jerman, Fuhrer, dalam bahasa Perancis le meneur ( Klenke, 1997).

Di Indonesia dikenal adanya trilogi kepemimpinan yang diajarkan dan

dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Kepemimpinan adalah: di depan menjadi

contoh/panutan; di tengah orang yang dipimpin/masyarakat yang dipimpinya ia

menjadi penggerak/pemrakarsa; dan di belakang ia menjadi pengendali yang

partisipatif dan berpengaruh/berwibawa (ing ngarso sung tulodo, ing madya

mangun karsa, tut wuri handayani).

21
Warren Bennis dan Burt Nanus (1997) melaporkan mereka telah

menemukan 850 rumusan tentang kepemimpinan. Ragam rumusan tentang

kepemimpinan, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi memberi teladan sehingga

melalui proses itu seseorang (atau tim pimpinan) mendorong suatu

kelompok untuk mencapai tujuan yang dituju oleh pemimpin atau dipegang

bersama pemimpin dan para pengikutnya.

2. Kepemimpinan atas manusia dilaksanakan jika dalam persaingan atau

konflik dengan orang-orang lain, orang dengan memberi motivasi dan tujuan

tertentu menggerakkan, sumberdaya kelembagaan, politik, psikologis, dan

sumberdaya yang lain sehingga membangkitkan, melibatkan dan

memuaskan motivasi para pengikutnya.

3. Kepemimpinan adalah pengaruh, kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi orang lain.

4. Soerjono Soekanto mengutip pendapat Selo Soemarjan yang mengatakan,

“sejak mula terbentuknya suatu kelompok sosial, seseorang atau beberapa

orang diantara warga-warganya melakukan peranan yang lebih aktif

daripada rekan-rekannya, sehingga orang tadi atau beberapa orang tampak

lebih menonjol dari lainnya. Itulah asal mulanya timbulnya kepemimpinan.

Mengenai pengertian kepemimpinan, banyak yang mendefinisikannya

dengan berbagai batasan. Stogdill (1974). mencatat sebelas kelompok pendapat

tentang kepemimpinan yang berbeda antara satu dengan yang lain

Pengelompokan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1. Kepemimpinan sebagai titik pusat dari proses-proses kelompok;

22
2. Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dengan kekuatan pengaruh;

3. Kepemimpinan sebagai seni dalam menciptakan kesepahaman dan

kesepakatan;

4. Kepemimpinan sebagai perwujudan pengaruh;

5. Kepemimpinan sebagai tindakan atau perilaku;

6. Kepemimpinan sebagai suatu persuasif;

7. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuatan/kekuasan;

8. Kepemimpinan sebagai sarana untuk pencapaian tujuan;

9. Kepemimpinan sebagai hasil dari suatu interaksi;

10. Kepemimpinan sebagai awal dari struktur,

11. Kepemimpinan sebagai suatu pemilahan peran.

Berdasarkan proses lahirnya kepemimpinan, terlihat bahwa kepemimpinan

dibentuk dan dipengaruhi oleh kelompok dan lingkungannya. Pada sisi lain,

kepemimpinan juga kemudian mempengaruhi para pengikutnya melalui perannya

yang strategis. Jadi, ada hubungan saling mempengaruhi antara pemimpin sebagai

individu dengan kelompoknya. Bogardus (1934) melihat kaitan antara individu

(pemimpin sebagai pelaksana kepemimpinan) dengan kelompoknya, sebagai

relasi dari suatu hubungan vital resiprokal, artinya individuality dan sociality

bersifat saling mempengaruhi.

Secara individuality dalam kepemimpinan menunjuk kepada unsur

kepribadian atau sifat-sifat menonjol di dalam diri seorang pemimpin. Dengan itu,

kepemimpinan mempengaruhi kelompok melalui fungsinya yang menguasai,

mengatur dan mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Secara sosiality,

23
menyangkut fungsi organisasi dengan pembagian kekuasaan dalam pengambilan

keputusan yang didasarkan atas pola-pola kekuasan dan otoritas.

Hubungan saling mempengaruhi tadi menyebabkan terjadinya proses

perubahan dan penyesuaian, baik secara individu maupun kelompok. Menurut

Mar’at (1985) kepemimpinan dapat dikatakan selalu ada dalam masyarakat dan

milik masyarakat. Hanya karena lokasi , zaman dan kebudayaan yang berbeda

maka terjadi corak-corak kepemimpinan yang bervariasi baik dari segi struktur

maupun proses terbentuknya.

Seorang motivator terkenal di abad ini, John Maxwell ( 1993) mengatakan

kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan

mengarahkan orang lain, bawahan, atau kelompok untuk mencapai tujuan

organisasi atau kelompok. Ia kemudian mempopulerkan istilah “kepemimpinan itu

adalah pengaruh”. Dari arti kepemimpinan yang disebutkan diatas bahwa terlihat

kepemimpinan itu adalah kuasa.

Pengembangan kemampuan itu adalah suatu proses yang berlangsung

terus menerus dengan maksud agar yang bersangkutan semakin memiliki ciri-ciri

kepemimpinan (Yukl (2005). Walaupun belum ada kesatuan pendapat para ahli

mengenai syarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, akan

tetapi beberapa di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :

1. Kekuatan atau energi

Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan lahiriah dan rohaniah

sehingga mampu bekerja keras dan banyak berfikir untuk memecahkan masalah-

masalah yang dihadapi.

24
2. Penguasaan emosional

Seorang pemimpin harus dapat menguasai perasaannya dan tidak mudah

marah dan putus asa.

3. Pengetahuan mengenai hubungan kemanusiaan

Seorang pemimpin harus dapat mengadakan hubungan yang manusiawi

dengan bawahannya dan orang-orang lain, sehingga mudah mendapatkan bantuan

dalam setiap kesulitan yang dihadapinya.

4. Kecakapan berkomunikasi

Kemampuan menyampaikan ide, pendapat serta keinginan dengan baik

kepada orang lain, sertadapat dengan mudah mengambil intisari pembicaraan.

5. Kemampuan teknis kepemimpinan

Mengetahui azas dan tujuan organisasi. Mampu merencanakan,

mengorganisasi, mendelegasikan wewenang, mengambil keputusan, mengawasi,

dan lain-lain untuk tercapainya tujuan.Seorang pemimpin harus menguasai baik

kemampuan managerial maupun kemampuan teknis dalam bidang usaha yang

dipimpinnya.

6. Percaya terhadap kemampuan orang lain

Setiap orang akan senang jika mereka merasa dipercaya dan banyak orang

akan mengerjakan apa saja untuk memenuhi kepercayaan tersebut. Berilah

kepercayaan kepada orang yang kita pimpin sesuai dengan kemampuan dan

wilayah kerjanya, namun sampaikan terlebih dahulu dengan jelas apa yang harus

dia lakukan.

7. Mendengar apa yang disampaikan orang lain

Dengarkan dan perhatikan apa yang di sampaikan orang lain disekitar kita,

25
ketika hal tersebut dilakukan sesungguhnya kita membangun hubungan terhadap

orang lain dan mereka akan merasa dihargai. Karena pada dasarnya setiap orang

pasti ingin dirinya dihargai, maka berikanlah hal itu. Orang yang tidak pernah

menghargai orang lain, jangan pernah berharap dia akan dihargai apalagi dicintai.

8. Kemampuan memahami orang lain

Setiap orang sebenarnya ingin didengar, dihormati dan dipahami, ketika

orang melihat bahwa mereka dipahami, mereka akan merasa dimotivasi dan

dipengaruhi secara positif. Sesungguhnya cara paling halus dan jitu untuk

mempengaruhi dan mengambil hati orang lain adalah dengan memahami dan

mendengarkan apa yang dia sampaikan. Berikan sepenuhnya apa yang sudah

menjadi hak mereka tanpa harus melalaikan pendidikan untuk mereka sadar akan

kewajiban mereka juga.

9. Menjadi arah (navigator) bagi orang lain

Berarti mengidentifikasi tempat tujuan. Ketika seseorang memiliki potensi

pribadinya maka ia memerlukan arah untuk mengembangkan potensi tersebut.

Dengan mengarahkan orang lain kepada kesuksesan, tanpa kita sadari kita pun

telah melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih sukses. Ilmu kita

meningkat, pengalaman kita bertambah, kemampuan kita semakin diasah, relasi

atau jaringan kita bertambah dan kebaikan kita pun berlipat ganda.

10. Memperlengkapi orang lain

Artinya ketika ada kepercayaaan orang lain dengan sebuah keputusan

penting maka pemimpin harus dengan senang mendukungnya. Ketika diberi

wewenang kepada orang lain maka pemimpin telah meningkatkan kemampuan

orang lain tanpa menurunkan kemampuan pemimpin itu sendiri . Maksudnya jika

26
seorang pemimpin telah mampu mendelegasikan tugas dengan baik kepada

bawahannya, berarti ia telah membuat langkah cerdas dalam kerjanya, tugas yang

tercapai lebih banyak dan lebih cepat. Bawahannya semakin pintar dan pada

akhirnya tujuan bersama pun tercapai dengan hasil terbaik. Namun syarat sebelum

pendelegasian adalah berikan penjelasan dan ilmu sampai orang yang kita

delegasikan tersebut paham benar tentang apa yang harus ia lakukan.

2.1.2. Peran Kepemimpinan

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam

hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan.

Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam

kelompok kecil. Oleh sebab itu diantara para anggota kelompok tentulah

membutuhkan seseorang yang bisa memimpin kelompok itu, sebab jika tidak ada

pemimpin maka akan terpecah belahlah kelompok tersebut. Untuk mengelolanya,

diperlukan pemimpin yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik serta dapat

menjadi panutan untuk anggota kelompoknya.

Pemimpin adalah figur seseorang yang bijaksana, berani mengambil

keputusan dan yang paling penting berwibawa dan bisa memimpin untuk

mencapai tujuan bersama. Sekarang sudah sangat sedikit orang yang mempunyai

ciri-ciri seorang pemimpin yang baik didalam organisasi maupun badan-badan

usaha, bisnis, dan pemerintahan.

Dalam praktek sehari-hari, sering diartikan sama antara pemimpin dan

kepemimpinan, padahal kedua hal tersebut berbeda. Pemimpin adalah orang yang

tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus

dimiliki seorang pemimpin. Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain,

27
dengan latihan dan peningkatan pengetahuan oleh pihak maka pengaruh tersebut

akan bertambah dan berkembang.

Organisasi adalah sebagai alat dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh

beberapa orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan.

Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam

mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu.

Sorang sosiolog, Ralft Dahrendorft (Ritzer, 2011) memusatkan

perhatiannya pada fakta sosial yakni posisi dan peran. Dahrendorft mengatakan

dalam tesisnya bahwa otoritas (kekuasaan) tidak terdapat pada individu namun

pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah elemen kunci. Otoritas

selalu berarti subordinasi dan superordinasi. Mereka yang menduduki posisi

otoritas tersebut diharapkan akan mengendalikan subordinat; jadi mereka

mendominasi karena harapan dari mereka yang mengelilinginya, bukan karena

karakter psikologisnya.

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan

Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan mempengaruhi orang atau

kelompok menuju tujuan tertentu, kita pemimpin, dipengaruhi oleh beberapa

faktor.Faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan adalah sebagai berikut :

A. Faktor Kemampuan Personal

Pengertian kemampuan adalah kombinasi antara potensi sejak pemimpin

dilahirkan ke dunia sebagai manusia dan faktor pendidikan yang ia dapatkan. Jika

seseorang lahir dengan kemampuan dasar kepemimpinan, ia akan lebih hebat jika

mendapatkan perlakuan edukatif dari lingkungan, jika tidak, ia hanya akan

menjadi pemimpin yang biasa dan standar. Sebaliknya jika manusia lahir tidak

28
dengan potensi kepemimpinan namun mendapatkan perlakuan edukatif dari

lingkunganya akan menjadi pemimpin dengan kemampuan yang standar pula.

Dengan demikian antara potensi bawaan dan perlakuan edukatif lingkungan

adalah dua hal tidak terpisahkan yang sangat menentukan hebatnya seorang

pemimpin.

B. Faktor Jabatan

Pengertian jabatan adalah struktur kekuasaan yang pemimpin duduki.

Jabatan tidak dapat dihindari terlebih dalam kehidupan modern saat ini, semuanya

seakan terstrukturifikasi. Dua orang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang

sama tetapi satu mempunyai jabatan dan yang lain tidak maka akan kalah

pengaruh. sama-sama mempunyai jabatan tetapi tingkatannya tidak sama maka

akan mempunya pengaruh yang berbeda.

C. Faktor Situasi dan Kondisi

Pengertian situasi adalah kondisi yang melingkupi perilaku

kepemimpinan. Disaat situasi tidak menentu dan kacau akan lebih efektif jika

hadir seorang pemimpin yang karismatik. Jika kebutuhan organisasi adalah sulit

untuk maju karena anggota organisasi yang tidak berkepribadian progresif maka

perlu pemimpin transformasional. Jika identitas yang akan dicitrakan oragnisasi

adalah religiutas maka kehadiran pemimpin yang mempunyai kemampuan

kepemimpinan spritual adalah hal yang sangat signifikan. Begitulah situasi

berbicara, ia juga memilah dan memilih kemampuan para pemimpin, apakah ia

hadir disaat yang tepat atau tidak.

Karena dalam suatu organisasi memiliki tujuan yang sama, pemimpin dan

anggota harus saling mendorong dan menasehati dalam hal kebaikan, dalam

29
halnya kasus yang lain jika seorang pemimpinnya saja sudah tidak baik

bagaimana dengan anggotanya. Dalam suatu partai/organisasi pemimpin yang

tegas dan jujur sangatlah dibutuhkan, agar tidak menyesatkan anggota yang

lainnya.

Seorang pemimpin harus mempunyai keahlian dan pengetahuan yang

sangat luas yang diperoleh melalui pengembangandiri. Pengembangan diri ini

menghasilkan keterampilan-keterampilan seperti keterampilan teknis,

keterampilan manajemen sumber daya manusia, dan keterampilan konseptual.

Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam

mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Jika semakin tinggi

kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut

daripadanya kemampuan berfikir secara konsepsional, strategis dan makro.

Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia akan semakin

generalis, dan semakin besar tanggung jawab terhadap suatu kelompok atau

organisasi yang ia pimpin, sedangkan semakin rendah kedudukan seseorang

dalam organisasi maka ia menjadi spesialis.

Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin

bukan dari kekuasaannya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan

kepribadiannya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras untuk memperbaiki

dirinya sendiri sebelum dia sibuk memperbaiki diri orang lain. Pemimpin bukan

hanya sekedar mendapatkan gelar atau jabatan yang diberikan dari luar namun

melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.

Kepemimpinan lahir dari proses internal.

30
Dalam memilih seorang pemimpin diharuskan mempunyai keahlian dan

pengetahuan yang sangat luas. Tidak hanya pengetahuan umum tetapi harus

memiliki keterampilan khusus, diantaranya keterampilan dalam mengelola sumber

daya manusia, keterampilan teknis. Seorang pemimpin harus memiliki adab dan

perilaku yang baik, karena seorang pemimpin menjadi panutan atau contoh untuk

bawahannya. Seorang. pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan, jujur dan

rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya.

2.2. Kepemimpinan dan Masyarakat ( Sosiologi Agama)

Agama merupakan institusi universal, tidak ada satu masyarakat yang

tanpa gejala keagamaan. Durkheim menganggap ajaran dan praktek keagamaan

sebagai suatu mekanisme yang digunakan oleh masyarakat untuk memelihara

komitmen terhadap norma moral dasar yang terdapat dalam kesadaran sosial.

Dengan mendalamnya orang melekatkan dirinya pada komitmen keagamaan,

mereka akan kuat loyalitasnya terhadap masyarakat. Malah menurut Durkheim

agama merupakan sumber kebudayaan yang sangat tinggi, Karl Marx

menganggap agama sebagai candu masyarakat (Djamari, 1993)

Ekspresi sosial dari ajaran serta kepercayaan agama dihidupkan dan

dipelihara oleh adanya organisasi keagamaan. Tidak ada satu agama pun yang

dapat terus tanpa organisasi. Dalam hal inilah sangat jelas sekali pengaruh

kepemimpinan . Fenomena keagamaan terjalin dalam berbagai kegiatan, mulai

dari kehidupan keluarga sampai bidang-bidang sosial-ekonomi. Dalam

masyarakat-masyarakat yang kompleks, organisasi agama diperlukan demi

terselenggaranya pertemuan, pengajaran, ritual dan untuk menjalin hubungan

31
antar anggota secara internal, maupun antar kelompok dalam masyarakat

(Djamari, 1993).

Menurut Durkheim, tipe masyarakat di mana kedudukan perempuan

sangat kuat, maka kehidupan agamanya pun sangat berorientasi pada perempuan

begitu juga sebaliknya (Djamari, 1993) . Misalnya dalam masyarakat kecil dengan

mata pencaharian berburu dan meramu, di Australia, stratifikasi sosial pada

masyarakat ini hanya berdasarkan usia dan jenis kelamin. Orangtua panutan yang

lebih muda dan perempuan. Gambaran seperti itu tampak pada struktur agama,

perempuan tidak diikutsertakan dalam upacara keagamaan bahkan dilarang.

Jika dilihat masyarakat suku bangsa yang mata pencahariaan utamanya

adalah bertani, tampak agama dan struktur masyarakat telah berubah. Beberapa

masyarakat yang lebih besar, mempunyai pemukiman dan telah mempunyai

akumulasi kekayaan. Mereka biasanya terstruktur sekitar sistem keluarga. Ada

aturan-aturan insect tentang kepada siapa orang boleh atau tidak boleh kawin. Di

beberapa masyarakat peran perempuan penting. Sehingga ada istilah matrilineal

(anak mewarisi nama dan kekayaan dari garis ibu), matrilokal (suami diam dan

menggunakan sebagian waktu hidupnya di lingkungan keluarga istri). Karena itu

tidak mengherankan jika dalam masyarakat seperti ini aspek keagamaan

cenderung diperankan oleh perempuan. Lain halnya dengan masyarakat patrilineal

(anak mewarisi nama dan kekayaan dari garis ayah). Struktur masyarakat yang

menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-

galanya. Dan perempuan berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya.

32
2.2.1 Pengertian Pendeta

Sebutan Pendeta adalah jabatan pemimpin umat dalam keagamaan. Ini

dipakai secara umum kepada pemuka atau pemimpin agama Hindu dan Protestan

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014). Ada sejumlah pengertian sehubungan

dengan istilah pendeta. Defenisi umum, seperti dikemukan oleh Havilland (1988),

menyebut pendeta dalam artian seorang spesialis keagamaan laki-laki atau

perempuan yang bekerja secara penuh, dengan tugas memimpin dan

menyempurnakaan tindak keagamaan orang lain. Spesialis ini mahir dalam

berkomunikasi, mempengaruhi dan memanipulasi kekuatan-kekuatan supranatural

dan keahlian tersebut diperoleh melalui pendidikan khusus.

Dalam kitab Injil sebutan pendeta adalah gembala atau gembala sidang

yang memiliki makna pemimpin jemaat, namun sekaligus juga menjadi

penatalayanan yang harus melayani jemaat. Dengan demikian dapat disebutkan

bahwa pendeta adalah seorang atasan (pimpinan) jemaat, namun ia sekaligus

adalah bawahan dari Yesus Kristus. Impilkasinya adalah di satu pihak jemaat

wajib taat kepada pendeta, di lain pihak pendeta atau pemimpin gereja harus

tunduk kepada Yesus Kristus yang merupakan pemimpin dari segala pemimpin

gereja.

• Pekerjaan Pendeta

Tugas utama adalah bersama dengan pelayan khusus atau majelis jemaat,

(pertua dan diaken) adalah melayani, memelihara dan memimpin jemaat

berdasarkan firman Tuhan. Tugas utama itu lebih jauh dapat dirinci sebagai

berikut: melayani pemberitaan firman Tuhan , melayani sakramen, melayani

katekisasi, melayani pemberkatan nikah. Kemudian menyebarluaskan ajaran

33
Alkitab, memngunjungi warga jemaat secara rutin maupun non rutin dalam

penyelengaraan ibadah rumah tangga, ibadah kelompok-kelompok kaum ibu,

kaum bapa pemuda, dan anak-anak serta orang tua lanjut usia yang dilakukan

secara bergilir, melakukan bimbingan dan konsultasi, mengunjungi dan

memimpin upacara penguburan warga jemaat yang meninggal.

• Syarat- syarat Menjadi Pendeta

Persyaratan-persyaratan yang diperlukan untuk menjadi pendeta :

 Tamatan pendidikan Sekolah Tinggi Teologia yang direkomendasi oleh

Gereja bersangkutan

 Telah menyelesaikan proses sebagai calon pendeta atau vikaris dengan

melakukan pelayanan kepada jemaat di suatu lingkungan dengan baik

sekurang-kurangnya 2 tahun

 Sudah dilantik/ditahbiskan menjadi pendeta melalui upacara khusus yang

dilakukan di tengah-tengah warga jemaat oleh Sinode (Pimpinan Pusat)

(disarikan berdasarkan Tata Gereja GBKP, Toraja, GMIM, GMIT).

2.3.1. Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan artinya adalah kekuasaan yang selalu identik dengan laki-

laki. Sebab perempuan hanyalah the second sex- seperti juga sering disebut

sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan

Konstruksi sosial yang telah menggambarkan dua wilayah kekuasaan yakni publik

dan domestik. Wilayah kekuasaan ini membentuk gambaran dominasi dan

subordinat. Dominasi adalah laki-laki dan subordinat adalah perempuan.

Pandangan inilah yang menyulitkan perempuan untuk tampil sebagai pemimpin.

34
Di Indonesia, hasil sensus tahun 2014 menunjukkan jumlah perempuan

masih tetap lebih banyak daripada laki-laki. Dari segi kuantitas, perempuan adalah

sumber daya manusia yang sama besarnya dengan laki-laki. Jika dilihat dari

partisipasi perempuan dalam berbagai sektor serta kesempatan dan kemampuan

pengambilan keputusan. Perempuan Indonesia tertinggal di dalam kehidupan

publik. Kesenjangan gender yang senantiasa muncul dalam indikator sektor sosial

menjadi sebuah tantangan berskala nasional. Indonesia memiliki angka melek

huruf yang tinggi pada orang dewasa yaitu sebesar 92 persen, namun perempuan

jumlahnya mencapai 63% dari 7,7 juta orang yang masih buta huruf. Tingkat

kematian ibu juga tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih

menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN. Angka

harapan hidup pada tahun 2008 adalah 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun

untuk laki-laki. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja masih 49 persen jika

dibandingkan dengan 80,2 persen laki-laki (BPS, 2014).

Di antara perempuan yang bekerja di sektor pemerintahan, kurang dari 1

persennya menduduki posisi eselon atas dan keterwakilan mereka di lembaga

legislatif hanya 18 persen. Meskipun jumlah perempuan tenaga kerja di sektor

pelayanan publik adalah sebesar 45,4 persen, keberadaan mereka sebagian besar

ada di eselon-eselon yang rendah (2, 3 dan 4). Hanya 9 persen dari mereka yang

ada di eselon satu adalah perempuan (UNDP, 2010).

Fenomena yang ada menunjukkan banyak perempuan yang telah

menduduki jabatan sebagai pemimpin kepala desa, kepala kantor, kepala sekolah,

manager perusahaan, direktur rumah sakit, direktur bank, presiden, perdana

menteri, dan lain-lain. Namun persentase perempuan sebagai pemimpin

35
dibandingkan dengan populasi perempuan secara keseluruhan jauh lebih rendah

dibandingkan dengan persentase laki-laki sebagai pemimpin (Bass, 1990).

Padahal, sejarah telah mencatat dalam dunia modern ini bahwa sudah ada

beberapa bangsa yang dipimpin oleh perempuan seperti India, Pakistan, Israel,

Filipina, Inggris, Indonesia, dan lain-lain. Sejalan dengan gerakan emansipasi dan

gerakan kesetaraan gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak

perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah

terjadi pergeseran dalam mempersepsi tentang sosok perempuan. Mereka tidak

dipandang lagi sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang,

namun mereka bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam

berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.

Secara esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya

tidak akan jauh berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa tokoh

perempuan yang berhasil menjadi pemimpin, Margareth Teacher di Inggris yang

dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di

Philipina, Megawati di Indonesia dan tokoh-tokoh perempuan lainnya.

Dari catatan sejarah ataupun dari angka statistik, perempuan ternyata

mampu mengisi kedudukan kepemimpinan di wilayah publik, seperti menjadi

jendral, menteri, duta besar, direktur ekssekutif, pendiri dan pimpinan surat

kabar, direktur bank, manajer dan sebagainya. Malah sejarah juga mencatat

perempuan yang berkedudukan sebagai ratu dan presiden yang memimpin

negara seperti tersebut di atas. Keberhasilan perempuan menjadi pemimpin

seperti yang tersebut di sebelumnya ternyata prosentasi sangat kecil sekali. Ini

antara lain tantangan budaya patriarki dalam masyarakat secara umum. Dalam

36
budaya patriarki, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan

emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani

dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk

yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki.

Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena

mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki.

Tidak saja budaya tapi juga dalam ajaran agama. Undang-undang Hindu

Brahmana menganggap perempuan tidak punya kemampuan, dan laki-laki

menaunginya sepanjang masa. Sebagai contoh, butir 148 disebutkan bahwa

perempuan senantiasa mengikuti laki-laki. Pada awal kehidupannya perempuan

mengikuti bapaknya, dan setelah menikah mengikuti suaminya. Apabila suaminya

meninggal, maka ia harus mengikuti anak-anak suaminya. Jika suaminya tidak

punya anak, maka ia harus mengikuti kerabat suaminya. Dalam agama Yahudi,

Talmud menyuruh berhati-hati terhadap perempuan dan menganggapnya sebagai

bahaya. Sehingga masyarakat Yahudi mengatakan “Lebih baik berjalan di

belakang singa daripada berjalan di belakang perempuan” (Ja,far, 1998).

Di lingkungan agama Islam contohnya di Muhammadiyah sendiri peran

perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi otonom Aisyiyah dan

Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam Aisyiyah dan

Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran dalam

kepemimpinan Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya

bukan organisasi kaum laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak

didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat sedikit wanita yang menduduki posisi

37
pimpinan dalam Muhammadiyah. Kalaupun ada mungkin hanya di Majelis atau

Lembaga Pembantu Pimpinan (Salenda Kasjim, 2012).

Selain faktor agama dan budaya ternyata, kendala bukan dari luar saja

tetapi juga dari diri perempuan itu sendiri. Dari penelitian yang dilakukan

didapati bahwa masih banyak perempuan yang belum berani mengambil

kesempatan yang tersedia baginya, terlebih lagi untuk kesempatan. Ini terdapat

dalam disertasi penelitian terhadap pendeta perempuan karena tersubordinasi

dalam bias gender, maka pendeta perempuan masih banyak yang enggan

berkompetisi dengan pendeta laki laki untuk menduduki jabatan tertinggi di

tingkat Mupel dan Sinodal di GPIB (Mantik, 2012).

Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa

para perempuan di Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya

berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang

memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah

menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal pendidikan.

Fakta lain terkait dengan proposi perempuan dalam angkatan kerja dan

usaha yang sejak dulu sampai sekarang ini, usaha perdagangan cukup diminati

oleh perempuan. Akan tetapi dalam kesempatan memperoleh bantuan kredit

peningkatan usaha, pengusaha perempuan masuk dalam kelompok penerima

modal kecil dan menengah. Persentase laki-laki pengusaha yang menggunakan

modal pinjaman masih lebih tinggi dibandingkan perempuan pengusaha (BPS,

2011) .

Hal yang tidak jauh berbeda di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) dalam

hasil penelitian Mathelda sendiri telah memperlihatkan adanya diskriminasi

38
terhadap pendeta perempuan dan adanya superioritas dari pendeta laki-laki dan

tidak adanya kekonsistenan dari GMIT terhadap sistem gereja presbiterial sinodal

dimana hal ini dapat terlihat dari struktur gereja yang hirarkis. Sehingga, orang

bawah tidak dapat mengembangkan kreatifitas masing-masing karena sudah

dipolakan dalam satu aturan yang keras dan kaku. Berbagai hambatan yang

muncul dalam masyarakat dan gereja telah sangat menghambat peran

kepemimpinan pendeta perempuan. Di mana berbagai permasalahan tersebut telah

membuat mental pendeta perempuan menjadi mundur sebelum melangkah.

Pendeta perempuan akan dapat berperan dalam gereja jika ada kesempatan bagi

pendeta perempuan dan kemampuan pendeta perempuan tidak dipandang dari

sudut pandang laki-laki (Mathelda, Tesis,1999).

Adapun tantangan yang berat dihadapi oleh pendeta perempuan menjadi

pemimpin di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah ketidakadilan dan

ketidaksetaraan gender yang kuat dipengaruhi budaya patriarki (Ratna, 2012). Ini

juga ditegaskan dalam penelitian Mantik (2012) di Gereja Prostestan Indonesia

Bagian Barat (GPIB), karena tersubordinasi dalam bias gender, maka pendeta

perempuan masih banyak enggan berkompetisi dengan pendeta laki-laki untuk

menduduki jabatan tertinggi di tingkat Mupel dan Sinodal.

Pengaruh akulturasi budaya Barat : nilai-nilai agama baru Kristen dan

nilai budaya Barat yang patriarkhi disosialisasikan lewat lembaga gereja dan

lembaga-lembaga pendidikan, yang kemudian membuat perempuan Toraja

mengalami ketersisihan seperti dialami oleh pendeta perempuan di Gereja Toraja.

Padahal dalam budaya Toraja yang memiliki sistem kekerabatan yang bilateral

dan memiliki pula unsur-unsur matrifokal, yakni masyarakat di mana peranan ibu,

nenek, atau mertua wanita adalah sentral, baik secara struktural, budaya maupun

39
afektif dan dalam masyarakat tersebut wanita maupun pria merupakan pelaku-

pelaku yang sama penting dalam kehidupan ekonomi dan religi. Masyarakat

tersebut relative menunjukkan hubungan kesetaraan dan saling melengkapi

(Priyanti: 1998).

2.3.1. Kepemimpinan Perempuan dan Gender

Kepemimpinan yang didefinisikan sebagai tugas memimpin yang sering

identik dengan laki-laki. Stereotipe gender yang dilekatkan pada perempuan

misalnya tidak tegas, lamban mengambil keputusan, dan lemah dipadukan dengan

nilai-nilai androsentrisme yang tetap membelenggu hak-hak dana kebebasan

perempuan maupun nilai-nilai keagamaan yang mengusung konsep patriarki,

mempertegas bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Penolakan

kepemimpinan perempuan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi

merasuk sampai ke negara modern dan maju sekalipun seperti Jepang (Sihite,

1997).

Gender masih sering dipahami secara salah, yaitu sebagai ide ataupun

perilaku yang menentang laki-laki. Dari penelitian yang terdahulu didapatkanlah

pemahaman gender yang mengatakan bahwa gender adalah perempuan yang

menentang laki-laki ( Sofian, 2002). Apakah gender? Secara historis konsep

gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley

yaitu ia membedakan antara gender dan sex. Perbedaan sex berarti perbedaan atas

dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (mensturasi,

hamil,melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis

atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik

dengannya. Gender adalah pembedaan peran, perilaku dan perangai laki-laki dan

40
perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan

biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tetapi

dikenal melalui proses (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh

karena itu gender dapat disesuaikan dan diubah.

Istilah gender pada mulanya dikembangkan sebagai alat analisis ilmu

sosial untuk memahamai berbagai permasalahan ketidakadilan terhadap

perempuan (Elly, 2002). Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk

mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gender sebagai keyakinan

dan konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat dinternalisasi melalui

proses secara turun menrun. Dalam perkembangannya konstruksi gender ini

menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan (Harmona,

2007).

Di lapangan masih dijumpai pemahaman diskriminasi terhadap

perempuan..Aktivitas domestik sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Hal

tersebut bahkan sudah ada jauh sebelum kebanyakan perempuan lahir. Hal itu

kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan

sebagai manusia pekerja domestik (homemaker) yang dinilai tidak dapat

berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari

sekadar aktivitas dalam rumah. Di kemudian hari, terutama di dunia kerja, banyak

posisi strategis yang aksesnya tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap

tidak pantas memimpin dalam pekerjaan karena dinilai sebagai makhluk yang

terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil keputusan dengan bijak.

Pelekatan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama

diyakini kebenarannya. Perempuan selalu dikaitkan dengan beberapa kata,

41
“sumur, dapur, kasur” yang hingga kini digugat eksistensinya. Wacana tersebut

dinilai sebagai wacana usang yang tidak dapat dibuktikan secara nyata karena

banyak perempuan yang juga mengambil bagian penting di ranah produktif.

Walaupun pada tataran kenyataan, secara mendalam perempuan masih terus

dilekatkan dengan “sumur, dapur dan kasur” dan belum mampu keluar secara utuh

tanpa tendensi apapun.

BPS mencatat dari 100 penduduk yang bekerja sebagai: (a) tenaga

kepemimpinan dan ketatalaksanaan, 18 orang adalah perempuan dan 82 adalah

laki-laki; (b) bekerja dengan status berusaha dibantu buruh dibayar/tidak dibayar,

23 orang perempuan dan 77 orang laki-laki; (c) bekerja dengan status

pegawai/buruh/karyawan, 34 orang perempuan dan 66 orang laki-laki; (d) pekerja

keluarga/tidak dibayar, 73 perempuan dan 27 laki-laki. Data ini memperlihatkan

perempuan yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Perempuan

masih tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi yang membutuhkan

keahlian pengambilan kebijakan. Status pekerjaan sebagai pengusaha (berusaha

sendiri dan berusaha dibantu buruh) dan buruh/pegawai/karyawan saat ini masih

didominasi laki-laki. Sementara status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/tidak

dibayar didominasi perempuan (Abdullah, 2001). Sebagaimana dikatakannya:

“Pembagian kerja secara seksual tidak hanya terjadi antara bidang


domestik dan publik, tetapi dalam bidang publik pun terjadi
segmentasi yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada
segmen yang berbeda. Karena itu, subordinasi dalam stratifikasi
gender menunjukkan bentuk yang jelas dalam kehidupan ekonomi
dimana perempuan berada posisi subordinat terhadap laki-laki.
Seperti halnya perbedaan domestik dan publik, stratifikasi dalam
struktur ekonomi juga merupakan alat penegasan arah hubungan
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.”

42
Dalam masyarakat, pemimpin sering dilekatkan sebagai jabatan laki-laki,

sedangkan perempuan selalu dilekatkan sebagai unsur pendukungnya. Andaikata

mendapatkan posisi dalam pekerjaan, biasanya perempuan dilekatkan dengan

pekerja keluarga yang tidak diperhitungkan jerih payahnya. Ini menunjukkan

bahwa peningkatan kuantitatif partisipasi perempuan di ranah produktif belum

sesuai dengan semangat kesetaraan gender. Kesetaraan gender hanya dipahami

sebagian besar masyarakat dengan kesetaraan kesempatan perempuan dan laki-

laki. Namun secara kontekstual, pemahaman tersebut masih sangat dangkal, tabu

dan bekerja di ranah mitos. Struktur upah juga menunjukkan gejala yang sama.

Perempuan mengalami diskriminasi yang sangat tidak adil. Perempuan dilabelkan

sebagai sumberdaya yang lemah, kurang kompeten dan layak dibayar murah

karena tidak mempunyai tanggungjawab sebesar laki-laki dalam kehidupannya,

serta dilekatkan dengan pekerjaan yang tidak strategis.

Pembatasan perempuan untuk mencapai puncak karier sering terhalang

oleh sterotipe yang menggambarkan perempuan sebagai mahluk yang emosional

sehingga mereka tidak tepat untuk menjadi pemimpin baik sebagai ketua

organisasi, manager, maupun politisi. Menurut Kanters (Nasaruddin, 1999)

mengatakan bahwa ketimpangan peran gender di dalam berbagai organisasi

disebabkan perempuan memiliki keterbatasan bukan saja karena adaya persepsi

bahwa secara alamiah laki-laki adalah kaum unggul, tetapi karena sering

ditemukan perempuan kurang terampil daripada laki-laki.

Berkaitan dengan pengembangan karier, perempuan yang bekerja acapkali

harus mengikuti kegiatan pelatihan atau pendidikan. Pada umumnya untuk

mengikuti kegiatan peningkatan karier ini, perempuan sangat sulit maju karena

43
harus meminta ijin dari suami. Bahkan persetujuan suami bersifat formal.

Akibatnya perempuan selalu memiliki posisi yang marginal. Persoalan

pengembangan karier bagi perempuan cukup kompleks. Bidang pekerjaan yang

terbuka bagi perempuan sebenarnya tidak terbatas oleh waktu seperti malam,

tengah malam ataupun subuh. Stereotipe perempuan adalah mahluk lemah

sehingga malam hari tidak boleh berada di luar rumah, dan anggapan bahwa

perempuan yang bekerja di luar rumah pada malam hari adalah perempuan yang

tidak baik masih berkembang luas. Akibatnya, kesempatan mengejar karier bagi

perempuan terbatas.

Dengan analisis gender, diskriminasi terhadap perempuan hendak diatasi.

Dengan pendekatan tersebut mengarah pada penyelesaian isu-isu struktural

perempuan, yaitu isu-isu yang mempertanyakan dominasi pihak-pihak yang kuat

terhadap yang lemah.

2.3.2 Pengaruh Agama terhadap Gender.

Ajaran agama memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender

yang bias. Dalam konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi dan

dorongan munculnya ketidakadilan gender. Tentu saja potensi ketidakadilan

bukan bersumber dari prinsip agama, melainkan proses berkembangnya agama

yang didominasi oleh budaya patriarki.

Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya stuktur budaya

patrarki. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah

daripada laki-laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas perempuan

diberbagai bidang kehidupan. Menurut sejarah, patriarchy private (dalam

keluarga) muncul pada waktu agama di Eropa menentukan bahwa kawin satu istri,

44
satu suami merupakan perkawinan yang diakui gereja. Aturan ini meresmikan

domestisitas perempuan. Dalam keluarga, kedudukan suami lebih dominan. Dan

ini terus berkembang dari patriarchy private menjadi state patriarchy. Patriarki

menjadi warna dalam kehidupan sosial.

Alkitab sesungguhnya mengajarkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan. Sebagai pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengelola alam

ciptaanNya, manusia, laki-laki dan perempuan diwaibkan untuk bekerjasama. Dan

dalam kerjasama itu mereka diciptakan setara. Hal ini terlihat jelas dalam kitab

Perjanjian Lama (kejadian) dan kitab Perjanjian Baru ( Galatia). Dalam kitab

Kejadian pasal 1 ayat 27 berbunyi : “Maka Allah menciptakan manusia itu

menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan

perempuan diciptakanNya mereka “ dan Galatia pasal 3 ayat 28 berbunyi: “Dalam

hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang

merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu

dalam Kristus Yesus”.

Dari kedua ayat tersebut diatas yang tercantum dalam Alkitab terlihat

bahwa agama Kristen mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan

perempuan setara. Dalam Alkitab juga kita temukan tokoh-tokoh perempuan yang

menjadi pemimpin baik dalam keluarga, suku, ataupun bangsa: Hakim Debora,

Ratu Ester dan Ratu Wasti, Ruth dan Naomi, Abigail, Perempuan Bijak yang di

tuliskan dalam Amsal 31:10-31, Priskila, Maria, Febe, Eunike, Lidya, Dorkas dan

lain-lain. Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan bahwa manusia diciptakan

sama derajatnya, baik laki-laki dan perempuan.

45
Beberapa perikop dalam kitab suci, ditafsirkan oleh Bapa Gereja dengan

sangat memojokkan perempuan: Teologia Antiperempuan. Teologia yang

dibangun selama berabad-abad merupakan warisan pemikiran para teolog yang

berasal dari dunia Barat. Bahwa ciri utama teologia barat adalah teologia yang

didominasi oleh kaum laki-laki serta memandang perempuan lebih rendah dari

laki-laki. Ini juga tetap terlihat pada kaum reformator: Martin Luther, Johanes

Calvin. Pandangan Luther dan Calvin terhadap perempuan bisa dikatakan

dikotomi, di satu pihak ia melihat perempuan terutama yang menikah dengan

pujian namun di pihak lain ia memandang perempuan lebih rendah daripada kaum

laki-laki.

Para pendukung Luther, dari abad XVI hingga sekarang melihat bahwa

serangan Luther terhadap hidup selibat dan penekanan kepada sisi positif

perkawinan telah melepaskan perempuan dari pelecehan dan misogyny zaman

skolstik. Luther mengakui bahwa perempuan diciptakan sederajat dengan laki-

laki, namun demikian perempuan berbeda dengan laki-laki karena perempuan

lebih lemah tubuh dan inteleknya. Keadaan perempuan yang lebih rendah dari

laki-laki, menurut Luther adalah inheren dalam keberadaannya dan telah berlaku

sejak penciptaan.

Seperti tokoh reformasi yang lain, Calvin membicarakan pokok tentang

peranan dan kebebasan perempuan dalam konteks ajaran imamat am orang

percaya. Perempuan dan laki-laki mengalami suatu kebebasan yang baru dari

kekuasaan hierarki rohaniwan dan pemahaman yang baru tentang martabatnya

sebagai warga gereja. Namun dalam banyak hal kebebasan yang baru muncul itu

kurang dialami oleh kaum perempuan dibandingkan oleh kaum laki-laki. Dalam

46
komentarnya atas Kejadian 2:18 yang menuliskan bahwa perempuan diciptakan

sebagai penolong, juga menegaskan bahwa laki-lakilah yang diciptakan segambar

dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus a secondary degree, oleh karena

itu sepanjang zaman perempuan harus dikucilkan dari kepemimpinan publik. (J.

Dempsey Douglas, 1985: 53) Pendapat Johanes Calvin ini didasarkannya atas

tafsirannya terhadap ayat-ayat Alkitab yakni Kejadian 1:27, dengan

menterjemahkan kata adam adalah manusia, man¸ laki-laki. Masih ada anggapan

bahwa karena laki-laki lebih dulu diciptakan dan perempuan hanyalah bagian dari

laki-laki (Kej. 1:27, 2:18, 21-22) maka laki-laki dianggap lebih penting, lebih

tinggi derajatnya sebab itu laki-laki mendominasi kehidupan. Bahkan ada yang

mengutip dari surat Rasul Paulus I Kor 14:34-35 yang melarang perempuan

berbicara di hadapan jemaat.

Bersumber dari materi yang tertulis dari kitab suci, dibuat ajaran dan

peraturan untuk ibadah. Kekuasaan mulai ditentukan. Seperti di gereja Katholik

yang berkuasa adalah laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi imam dan

pemimpin upacara/ibadah. Namun sekarang gereja mulai mmberi kesempatan

kepada perempuan untuk memimpin ibadah. Gereja Kristen sudah mentahbiskan

pendeta perempuan. Namun kepemimpinan gereja tetap masih dikuasai oleh laki-

laki.

2.4. Gerakan Feminisme

2.4.1 Sejarah Gerakan Feminisme

Gerakan feminisme ini awalnya ada di negara Eropa. Munculnya gerakan

feminisme pada masyarakat Barat tidak terlepas dari sejarah masyarakat Barat

47
yang memandang rendah terhadap kedudukan perempuan, dan kekecewaan

masyarakat Barat terhadap pernyataan kitab suci mereka terhadap perempuan.

Pakar sejarah Barat, Philip J.Adler dalam buku “World Civilization”

menggambarkan bagaimana kekejaman masyarakat Barat dalam memandang dan

memperlakukan perempuan. Sampai abad ke 17, masyarakat Eropah masih

memandang perempuan sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk

menggoda manusia, dan meyakini bahwa sejak awal penciptaannya, perempuan

merupakan ciptaan yang tidak sempurna.

Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan

yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki.

Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai

digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan

perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini

kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak

hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki.

Sifat patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan

penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga

sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender.

Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional

ideologis yang saat ini berlaku.

Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap

bertahannya hegemoni patriarki. Segala analisis dan teori yang kemudian

dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena

segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah

48
perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan

hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang

abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. Seperti yang telah disebutkan

di atas bahwa ada konstruksi sosial, bahwa pemimpin itu adalah laki-laki.

Perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan agama adalah warga kelas

dua. Laki-laki mendominasi dan menjadi penentu dalam kehidupan perempuan

sehingga mereka tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan bagi dirinya

sendiri. Terinternalisasi suatu pemahaman bahwa laki-laki adalah pihak penguasa

sementara perempuan adalah pihak yang dikuasai dan hal ini adalah kodrat yang

sejak semula menjadi hakekat manusia. Hal ini menyebabkan perempuan

termarginalisasi sehingga peran, kedudukan , hak dan tanggung jawab mereka

terbatas dalam lingkungan domestik.

Realitas subordinasi dalam seluruh bidang kehidupan yang dialami oleh

perempuan menjadi salah satu pendorong munculnya pemikiran feminisme.

Feminisme merupakan pemikiran dan teori kritis terhadap konstruksi patriarki

yang melakukan dominasi terhadap perempuan. Feminisme juga dapat dimengerti

sebagai ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua

pendekatannnya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan

karena jenis kelaminnya ( Humm (ed), 2002).

Namun feminisme tidak hanya bersoal pada pemikiran dan konsep semata.

Pemikiran ini lahir dari pengalaman perempuan. Sebagai gerakan yang berawal

dari akar rumput, feminism memungkin setiap perempuan untuk berpikir dengan

pemikiran sendiri dan pada gilirannya pemikiran (teori atau ide) tersebut

49
melahirkan gerakan yang membebaskan perempuan dari belenggu patriarki sesuai

dengan konteks yang melatar belakanginya.

Secara umum sejarah dan perkembangan feminisme di bagi dalam tiga

gelombang utama (Arivia, 2003). Gelombang feminisme awal dimulai sejak

tahun 1800-an dan berkaitan dengan terjadinya revolusi Prancis, 1789. Feminis

gelombang ini menyibukkan diri sebagaiaktivis pergerakan perempuan. Pada

tahun1700-an di Eropa, segala kemungkinan yang berkaitan dengan semangat,

penemuan dan ide-ide pembaruan terbuka lebar termasuk dalam diskusi-diskusi

kebebasan. Pada waktu itu muncul gerakan perempuan dan salah satu puncaknya

terjadi pada tahun1960-an ketika di Prancis berlangsung Konferensi Komisi

Persamaan Hak Kesempatan Kerja. Perempuan kurang puas dengan jalannya

konferensi yang tidak memberi kesempatan bagi penyampaian ide-ide baru.

Kemudian gelombang kedua muncul dan berkembang pada awal tahun 1960-an

yang ditandai dengan beranjaknya gerakan feminis dari aktivitas yang bersifat

praktis menuju aktivitas yang bersifat teoritis-sistematis. Pada gelombang ini

muncul kesadaran bahwa penting untuk melihat factor yang menyebabkan

penindasan kepada perempuan. Gelombang ini juga memfokuskan diri pada

persoalan-persoalan yang mengarah kepada pemikiran bahwa perempuan

memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Sedangkan gelombang terakhir

sangat dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme yang memfokuskan diri

kepada alternative bagi yang termarginaslisasi.

Ketiga gelombang besar feminis di atas kemudian melahirkan keragaman

pemikiran feminis. Teori feminis modern bertolak dari pertanyaan

1.Bagaimana dengan perempuan,

50
2. Mengapa situasi perempuan seperti sekarang ini?

3. Bagaimana perempuan dapat merubah dan memperbaiki dunia sosial?

4. Bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan ?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini menghasilkan variasi teori feminis

(Ritzer dan Goodman, 2008). Ada delapan arus utama pemikiran tersebut:

Feminisme Liberal merupakan pemikiran feminisme yang berkeinginan untuk

membebaskan perempuan dari peran gender yang digunakan sebagai alasan atau

pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan

tempat sama sekali bagi perempuan. Feminisme Radikal muncul ketika

seksualitas perempuan, khususnya perempuan Barat dieksploitasi. Feminisme

Marxis dan Sosialis memberikan pemikiran mengenai pembagian kerja

berdasarkan jenis kelamin. Feminisme Psikoanalisis dan Gender mempertanyakan

kembali suatu pemikiran yang berhubungan dengan subordinasi perempuan dan

menganalisa mengapa masyarakat menerima pemikiran tersebut. Feminisme

Eksistensialis merupakan feminisme yang memotori merebaknya feminisme

sebagai suatu wacana atau gerakan. Feminisme Postmodern memperbincangkan

akar dari pengabaian terhadap perempuan yang diassosiasikan dengan tubuh.

Pemikiran feminisme yang terakhir adalah Feminisme Multikultural dan Global,

serta Ekofeminisme yang lahir karena adanya kesadaran bahwa posisi subordinat

perempuan tidak semata-mata karena seorang perempuan adalah perempuan,

melainkan juga karena ia adalah perempuan dengan ras, kelas, agama, atau latar

belakang tertentu. Kedelapan arus utama pemikiran feminisme tersebut lahir dari

pengalaman yang berbeda namun menuju suatu gerakan yang sama yakni

perjuangan bagi kebebasan perempuan dari dominasi patriarki (Tong, 2006).

51
2.4.2. Teologi Feminis: Teologi yang Membebaskan Perempuan

Gerakan perjuangan pembebasan perempuan tidak hanya di dunia sekuler

namun juga di dalam gereja. Gerakan feminisme melahirkan munculnya teologi

feminis. Teologi feminis adalah teologi perempuan yang tidak rela memahami

perempuan sebagai obyek melainkan sebagai subyek yang sedang mencari sejarah

dari jati dirinya sendiri. Teologi feminis dalam arti modern mulai berkembang di

Amerika dengan radikal. Penggagas teologia feminisn ini adalah Mary Daly

(1973) dan dikembangkan dalam tradisi Kristen oleh teolog-teolog perempuan

lainnya. Teolog-teolog perempuan terus membawa ide-ide mengenai keadilan

dan kesetaraan bagi perempuan dalam gereja. Pada tahun1948 dalam salah satu

pertemuan World Council of Churches (WCC) di Amsterdam, Kathleen Bliss dan

Olive Wyon menulis dan menyampaikan sebuah laporan yang berkaitan denga

kehidupan dan pekerjaan perempuan dalam gereja. Sejak saat itu peran

perempuan dalam gereja menjadi salah satu agenda dalam pertemuan-pertemuan

WCC (Paterson, 1999:4). Pada tahun 1987 diperkenalkan sebuah Ecumenical

Decade –Churches in Solidaritas with Woman yang berlangsung dari tahun 1988-

1998. Dekade tersebut dimaksudkan untuk membangun kesadaran dan

kesempatan bagi perempuan dalam kehidupan bergereja baik secara lokal,

nasional dan regional maupun internasional. Dekade ini memberi pengaruh positif

bagi gerakan teolog feminis di seluruh dunia.

Teologi Feminis di Asia secara terorganisir dimulai pad tahun 1970-an.

Teologia feminis Asia dimulai ketika perempuan Asia berkumpul mendiskusikan

Alkitab dan iman mereka dalam konteks realitas Asia dan pengalaman mereka

sendiri. Konteks subordinasi perempuan Asia adalah dipandang sebagai pelengkap

52
laki-laki, kurang berhak atas warisan, kedudukannya lemah, dibeli oleh suami

dengan mas kawin, dibayar murah dan patuh pada sektor industry modern,

kesehatan tidak dilindungi dan diperjualbelikan sebagai pelacur. Sementara itu,

konteks masyarakat yang mendominasi mereka adalah multikultural dan

multireligius serta terjajah dan miskin. Dalam konteks seperti inilah lahir

kesadaran akan kebebasan dari belenggu diminasi sosial, budaya, dan agama yang

patriarki. Dalam konteks ini pula, Kwok Pui-I (2000), menawarkan hermeneutik

feminis Asia yang dipraktekkan dalam kehidupan bergereja, rekonstruksi atas

konsep Allah dalam konteks keagamaan yang pluralistik di Asia, dan pengkajian

ulang atas pemahaman gereja atas Kristus dan penyelamatan dari dosa.

Di Indonesia, Marianna Katoppo, seorang teolog feminis, mengingatkan

bahwa wajah setiap orang yang menderita karena ketidakadilan dan penindasan

adalah wajah Kristus yang disalibkan. Perempuan adalah yang dipaksa untuk

bungkam karena sistem, ajaran dan tradisi dalam gereja yang mengkondisikan hal

yang demikian. Walaupun mayoritas warga jemaat yang menghadiri seluruh

kegiatan gerejawi adalah perempuan, namun representasi laki-laki dalam

organisasi resmi (pengambil keputusan) didominasi oleh laki-laki, khususnya

dalam gereja Katholik (Elizabeth, 1984). Dari buku Hasil-hasil Pertemuan Raya

Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV PGI tahun 2004 di Kinasih dicatat dan

didiskusian berbagai diskriminasi dan kekerasaan yang masih terus dialami oleh

perempuan dan anak-anak sebagai kaum yang kehidupan didominasi oleh budaya

yang patriarki (lihat Hasil-hasil Pertemuan Raya Wanita Gereja Pra Sidang Raya

PGI XIV PGI, 2004).

53
Mengamati perkembangan gerakan feminisme dan studi gender di

Indonesia ada harapan yang menjanjikan akan adanya perubahan kedudukan

perempuan untuk lebih sejajar dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan.

Kesadaran yang universal dan perubahan pandangan terhadap peranan perempuan

menjadi isu yang mendunia di setiap negara. Perubahan perilaku sosial secara

global timbul karena adanya kesadaran kesetaraan laki-laki dan perempuan. Isu

mengenai kesadaran gender bergema di seluruh dunia. Kesempatan bagi kaum

perempuan terbuka lebar.

Perubahan masyarakat yang dicita-citakan oleh gerakan perempuan adalah

masyarakat yang bebas dari penindasan, bebas dari ketidakadilan. Seringkali kita

mendengar ungkapan bahwa perempuan berbeda dari laki-laki, mengapa

memperjuangkan kesamaan. Yang ditolak bukan perbedaan, melainkan

ketidakadilan. Yang diperjuangkan bukan kesamaan, melainkan kesetaraan. Cita-

cita gerakan perempuan adalah komunitas yang egalitarian, komunitas yang

memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mengusahakan

pembebasan untuk semua orang. Tanpa pembebasan kaum perempuan, tidak ada

pembebasan bagi semua.

2.4.3 Gerakan Feminisme di GBKP

Feminis sebagai suatu kerangka berpikir di dalam menganalisis

ketimpangan, ketidakadilan yang dialami kaum perempuan secara khusus.

Perjuangan yang dihadapi di GBKP adalah berpangkal dari budaya patriarki.

Anak perempuan dalam masyarakat Karo tidak dipandang sederajat denga anak

laki-laki. Anak laki-laki dipandang sebagai ahli waris orangtuanya dan

menyandang merga atau penerus silsilah dari orangtua laki-laki. Jika seorang

54
tidak mempunyai anak laki-laki maka orang tersbut dinamai masap atau terhapus,

dalam arti identitasnya hilang, karena tidak ada lagi penggantinya. Seorang yang

telah menikah tapi tidak dikarunia anak laki-laki-laki selalu berpoligami demi

untuk mendapatkan anak laki-laki (Suenita, ed, 2008).

Perjalanan sejarah pemikir GBKP dalam penerimaan perempuan pendeta

tidak terlepas dari sejarah tumbuhnya dan kemajuan kaum perempuan GBKP

(Moria) juga hubungan oikumenis GBKP baik dalam negeri dalam Persekutuan

Gereja-gereja di Indonesia (PGI) maupun dengan gereja-gereja Luar Negeri antara

lain: Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council if Churches), persekutuan

Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (World Alliance of Reformed Churches),

Persekutuan Gereja-gereja Asia (Christian Confernce of Asia), Persekutuan Misi

Injili Gereja-gereja di Tiga Benua Eropa (Jerman, Asia, Afrika /United Evanglical

Mission ) dan lain-lain (Suenita, (ed), 2008).

Sebelumnya pun melalui pekabaran Injil oleh NZG ke orang Karo

berusaha memperbaiki dan memperbaharui kehidupan orang Karo. Usaha-usaha

yang dijalankan adalah menyebarluaskan pandangan tentang kesetaraan laki-laki

dan perempuan. Untuk itu dibentuklah CMCM (Christellyke Meisjes Club Maju,

Perkumpulan Maju Perempuan Kristen pada tanggal 10 Agustus 1933. Dalam

CMCM, anak perempuan belajar berorganisasi modern: belajar memimpin,

belajar alkitab, nyanyian Gereja, Koor, menjahit dan merajut wool. Juga membaca

dan menulis, kesehatan, kebersihan lingkungan dan memasak. Perkembangan

CMCM banyak didukung oleh pengulu-pengulu bahkan Raja-raja Urung. Tetapi

kegiatan CMCM terhenti sewaktu Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942.

Nyonya Pendeta Neumann dan para suster Rumah Sakit yang selama ini giat

55
menjalankan program CMCM ditangkap Jepang dan dimasukkan dalam penjara

(Suenita, (ed),2008).

Pada akhir tahun 1949 di jemaat GBKP sudah ada beberapa jemaat yang

mengadakan kegiatan pelayanan terhadap perempuan, khusus kepada ibu rumah

tangga. Pada sidang sinode di Tigabinanga tahun 1956, muncullah suatu usul

untuk membentuk wadah atau organisasi kaum Ibu untuk seluruh kaum Ibu jemaat

GBKP. Usul itu diterima dan pada tanggal 16 Oktober 1957 diadakan

musyawarah kaum Ibu GBKP dikantor Sinode GBKP di Kabanjahe. Peserta

musyawarah secara bulat memutuskan membentuk suatu organisasi kaum Ibu atau

pernanden GBKP yang dinamai Moria. Pasca pengaruh Injil, kedudukan

perempuan mejadi lebih tinggi dari sebelumnya walaupun belum terjadi

kesetaraan (EP Gintings, 2015). Dewan gereja-gereja sedunia membuat dekade

1890-1990 sebagai sosialisasi kesadaran-kesadaran laki-laki dengan perempuan.

Penyadaran dekade kesetaran perempuan dengan laki-laki juga dilakukan di

GBKP.

Program-program yang dijalankan oleh Moria antara lain adalah

mengangkat isu kesetaraan baik itu melalui seminar-seminar juga buku-buku PA,

yang dipakai dalam perkumpulan kaum Ibu tersebut setiap Minggunya. Moria

juga aktif mengikuti seminar-seminar baik tingkat nasional dan internasional

berkaiatan dengan tema feminisme.

2.5 Posisi Pendeta Perempuan di Dalam Gereja

Menjadi pendeta di Agama Kristen Protestan, misalnya bukanlah sesuatu

sejak semula dianggap sebagai bidang perempuan (Doeka-Souk, 1999). Dalam

56
konteks Asia penahbisan perempuan sebagai pendeta merupakan persoalan yang

masih berlarut-larut dan masih diperjuangkan (Pui-lan, 2000). Perempuan Asia

secara umum tidak memiliki pendidikan yang sepadan dengan laki-laki, oleh

karena itu refleksi teologis perempuan Asia sering kali diremehkan oleh laki-laki

(Kyung, 1990).

Gereja dapat dikatakan terlambat jika dibandingkan dengan perkembangan

organisasi kemasyarakatan umum yang sangat dinamis sesuai dengan

perkembangan zaman. Sebagaimana diungkapkan oleh Pdt Agustina Lumentut

bahwa gereja ternyata ketinggalan dibandingkan dengan masyarakat yang telah

banyak memberi peluang bagi perempuan untuk berkarier, di gereja masih saja

terdengar kurangnya persamaan persepsi mengenai perempuan sebagai mitra

Allah (Stephen (ed), 1995). Semestinya gereja sebagai sebuah komunitas alternatif

memberikan contoh yang lebih baik atas kesetaran perempuan sebagai pengambil

keputusan, dalam hal ini di lingkup organisasi gereja.

Selain faktor tradisi dan ajaran, pembedaan partisipasi laki-laki dan

perempuan dalam gereja juga dipengaruhi oleh faktor sosiologis. Gereja yang

hidup dan melembaga di tengah masyarakat yang terikat oleh tempat dan

kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai serta adat istiadat dalam

kebudayaan tersebut mempengaruhi gereja termasuk sikap terhadap perempuan

(Hommes, 1992:81-82). Seorang feminis Indonesia, Marrianne Katoppo

mengatakan bahwa gereja-gereja berbeda satu dengan yang lain, bukan terutama

melalui faktor denominasi melainkan melalui faktor etnis dan kebudayaan.

Ini bisa dilihat dari pengalaman Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang

menerima penahbisan perempuan baru sekitar tahun 1980-an, walaupun beberapa

57
gereja seperti GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) telah menerima

perempuan menjadi pendeta sejak semula.GMIM berdiri pada tahun 1934. Pada

tahun 2014 GMIM memiliki 925 gereja (majelis jemaat local) yang dibagi ke

dalam 85 wilayah pelayanann dengan kurang lebih 1 juta anggota jemaat yang

dilayani oleh 1050 pendeta, 65% diantaranya adalah pendeta perempuan. Namun

belum pernah ada pendeta perempuan yang menduduki jabatan ketua sinode.

(Statistik GMIM, 2014 diolah penulis)

Demikian juga dengan GMIT, yang berdiri sejak tahun 1947, perempuan

sudah diterima menjadi pendeta tahun 1958. Jumlah Pendeta Laki-laki 439 dan

pendeta perempuan 663. Dalam struktur, di sinode pendeta perempuan menjabat

sebagai wakil ketua dan wakil sekretaris. Menjadi Ketua klasis, pendeta

perempuan 13 orang, pendeta laki-laki 31 orang (Statistik GMIT, 2013).

2.5.1. Perempuan dalam Dalam Pekabaran Injil oleh NZG ke Karo

Pekabaran Injil ke daerah Karo dilakukan oleh Badan Pekabaran Injil dari

negeri Belanda. Pada tanggal 18 April 1890, tibalah pekabar Injil yang pertama

yakni H.C. Kruyt dan Pontoh dari Minahasa (Smith,1990). Mereka mempelajari

dan memahami budaya dalam masyarakat Karo. Injil yang di bawa masuk ke

Karo oleh NZG (Nederlands Zendelingegnootschap) berusaha memperbaiki relasi

laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat. Sejak awal

pelayanannya NZG memberikan perhatian yang cukup bagi peningkatan martabat

perempuan di tengah-tengah masyarakat.

Usaha-usaha dilakukan untuk menyebarluaskan pandangan tentang

kesetaraan laki-laki dan perempuan. Membuat upaya agar orangtua yang Kristen

dan bukan Kristen memberi kesempatan kepada anak perempuan untuk

58
bersekolah. Sekolah-sekolah yang dibuka Zending pada awal pekabaran Injil telah

menerima murid laki-laki dan perempuan walaupun jumlah anak laki-laki jauh

melebihi anak perempuan.Menyebarluaskan bahwa perkawinan monogami adalah

yang terbaik dan yang dikehendaki Tuhan. Gereja membuat ketetapan bahwa

semua laki-laki Kristen yang berpoligami dan semua anak perempuan Kristen

kawin dengan laki-laki yang sudah beristri dikeluarkan keanggotaannya dari

Gereja. Konsep monogamy diajarkan dalam katekisasi sidi, PA, dalam pesta-pesta

adat perkawinan, dalam pembinaan kaum laki-laki dan perempuan. Lambat laun

pandangan gereja tentang perkawinan monogami meluas ketengah-tengah

masyarakat (Suenita, (ed) 2008)

Sejak kehadiran missionaris Belanda sudah muncul pikiran untuk

memajukan kaum Perempuan Karo. Mulai dari Missionaris pertama di Buluh

Awar, Pdt. H.C. Kruyt dan Nora Willemien de Light (1890-1892) dalam

pendekatan kepada orang Karo, mereka juga memberi perhatian kepada kaum

perempuan. Kesadaran untuk memajukan perempuan semakin diperkuat dengan

adanya Pembinaan Perempuan Karo oleh Nora Pdt. Van den Berg, Ny. Dr. de

Klijn, Suster Meyer, Nora Pdt. Neumann dan Nora Pdt. Vuurman . Pada tanggal

10 Agustus 1933 di Kabanjahe diadakan pertemuan kaum Perempuan Karo oleh

Nora Pdt. Neumann yang dihadiri lebih kurang 20 orang perempuan muda Karo

yang sudah berpendidikan dan yang sudah mengikuti pembinaan dari Nora-nora

misionaris Belanda. Mereka umumnya anak-anak pengulu, pegawai, guru agama,

guru seklah. Pada waktu itu dibentuk organisasi perempuan dengan nama

Christelyke Meisjes Club Majoe (CMCM). Organisasi ini makin berkembang

dalam jumlah maupun kegiatan mereka seperti belajar koor, membaca, menulis,

59
menjahit, Penelaahan Alkitab. Anggota bertambah bukan hanya pemudi saja,

melainkan juga ibu-ibu rumah tangga ( Sinuraya, 1989)

Dalam sejarah perjalanan Pekabaran Injil,kaum perempuan Karo sudah

mulai mengikuti pendidikan sekolah umum, pendidikan rohani dan gerejawi. Dari

pemahaman Alkitab, perempuan Karo mulai melihat dan menyadari bahwa

keadaan terkekang oleh adat istadat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat

sangat membatasi gerak hidup perempuan. Tapi tidaklah mudah untuk mencapai

kemajuan bagi perbaikan status perempuan. Artinya dalam upaya memajukan

keterlibatan , kehadiran dan peran aktif perempuan dalam gereja memakan waktu

yang tidak singkat. Namun proses ini berjalan maju. Dari latar belakang masuknya

Injil ke masyarakat Karo tidak ada penolakan terhadap keikusertaan perempuan

dalam perkembangan Injil dan kehidupan gereja GBKP (Suenita (ed), 2008).

Hal ini nampak ketika Pdt. J.V. Mulywijk membuka Sekolah Guru dan

Evangelis pada angkatan kedua tahun 1938-1940 di Kabanjahe dibuka

kesempatan kepada perempuan untuk mengikuti pendidikan Guru dan Evangelis.

Di antara 16 murid yang dididik, 6 orang diantaranya adalah perempuan.

Kehadiran guru-guru perempuan di desa-desa memberi pandangan yang lebih luas

terhadap peran perempuan dalam masyarakat Karo.

Pada tahun 1953, GBKP menahbiskan 11 Guru Agama, Guru Evangelis,

diantaranya adalah perempuan yakni Guru Agama Rahel br Sinuraya dan Guru

Agama Ruth br Tarigan (Gr. Ag. Rahel br Sinuraya terus bekerja sampai pensiun,

sedangkan Gr.Ag. Ruth br Tarigan berhenti ketika menikah dengan Gr.Ag. B.G.

Munthe). Sejak tahun 1960-an sudah ada pertua , diaken perempuan walaupun

pada mulanya pelayanannya masih terbatas pada menghitung kolekte, melakukan

pelayanan diakonia, mengurus keperluan konsumsi pada rapat Mejelis Gereja.

60
Baru di akhir dekade 80-an, pertua, diaken perempuan mulai berani memimpin

ibadah (Kebaktian Minggu) baik sebagai peliturgis maupun pengkhotbah (Suenita

(ed), 2008).

2.5.2 Perempuan dalam Budaya Karo dan Agama Pemena

Seorang feminis Indonesia, Marianne Katoppo (2007) mengatakan bahwa

gereja-gereja berbeda satu dengan yang lain bukan terutama faktor denominasi

(dogma gereja) melainkan melalui faktor etnis dan kebudayaannya. GBKP adalah

Gereja yang lahir di tengah kehidupan suku Karo. Suku Karo merupakan salah

satu suku bangsa Indonesia yang mendiami sebuah dataran tinggi di wilayah

Sumatera bagian Utara. Masyarakat suku Karo adalah salah satu suku di Indonesia

yang menganut sistem kebudayaan partriarki dan patrilineal (keharusan

mengikuti marga bapak menjadi marga anak) di mana setiap anak yang lahir

mengikuti garis keturunan bapak. Laki-laki menjadi kepala rumah tangga. Anak

laki-laki sebagai ahli waris dan penerus keturunan. Seperti yang ditulis oleh

Tridah Bangun (1986)

“Jika seorang anak perempuan (beru Ginting) kawin dengan marga


lain (misalnya Tarigan) maka anak perempuan sudah dibeli oleh
Marga Tarigan dan jika mereka mempunyai anak dengan sendirinya
ia masuk kepada golongan marga Tarigan. Inilah yang membuat anak
perempuan tidak berhak lagi pewaris marga ayah si perempuan
(Ginting). Hal itu dalam harta dan garis keturunan.”

Anak perempuan tidak mendapat bagian dalam warisan orang tuanya.

Perempuan-perempuan tidak boleh mewarisi harta pusaka, yang ada adalah “hak

pakai” disebutkan buat perkataan halus tentang “tidak bolah mewarisi” (Tamboen,

1952), kecuali jika saudara laki-lakinya dengan senang hati memberikan

sebagaian warisan kepadanya. Dalam perkawinan jika ada perceraian si istri tidak

61
berhak mendapat apa-apa dan tidak berhak mengasuh anak, pihak suamilah yang

berhak untuk itu.

Dalam sistem kebudayaan inilah, kedudukan perempuan Karo lebih

rendah daripada laki-laki. Tidak ada kesetaraan gender antara laki-laki dan

perempuan. Beban kerja ganda ditimpakan kepada perempuan Karo, sebagai istri

ia harus bekerja keras, tidak hanya melayani suami , memasak dan mengurus anak

tetapi juga harus ke ladang dan ke sawah (Cooley, 1976). Perempuan

tersubordinatkan. Laki-lakilah yang mendominasi dalam segala hal. Laki-lakilah

yang dianggap menjadi pemimpin, penguasa.

Sistem kehidupan masyarakat Karo tidak dapat dilepaskan dari

kebudayaannya. Pada umumnya dalam kehidupan berkeluarga, beragama dan

bermasyarakat orang Karo tidak melepaskan identitasnya sebagai orang Karo.

Identitas tersebut terwujud dalam kebudayaan yang diwarisi secara turun temurun,

inilah yang disebut adat istiadat Karo. Tatanan kehidupan masyarakat Karo diatur

dalam sebuah sistem kekeluargaan (kekerabatan). Inilah yang dikenal dengan

Merga Si Lima (Lima Merga) dan Rakut si Telu (Ikatan yang tiga tapi satu).

Marga (merga) merupakan pilar atau pendukung utama dalam penyusunan

kekerabatan. Sementara rakut si telu merupakan ikatan yang mengatur

kekerabatan yang disebabkan perkawinan dalam masyarakat Karo. Kedua sistem

ini berdasar pada hubungan kekerabatan yang patriakal dan patrilineal. Peran dan

posisi perempuan Karo tergantung pada seluruh sistem tersebut.

Sistem marga dalam masyarakat Karo berdasar pada sistem patrilineal.

Artinya, garis keturunan diambil dari marga ayah. Setiap anak yang lahir dalam

keluarga Karo baik laki-laki atau perempuan secara otomatis akan mewarisi

62
marga ayahnya. Garis keturunan patrilineal ini sudah mendarah daging dan

merupakan warisan budaya yang sudah berlangsung sejak lama.Walaupun seorang

perempuan menikah ia akan mewariskan beru-nya (garis keturunan jika pada

lelaki adalah marga, kepada perempuan disebut beru) kepada anak-anaknya

(anak-anak akan menerima beru ibunya sebagai bere-bere) baik laki-laki dan

perempuan, namun prinsip patriakhi tetap berlaku dalam sistem marga ini. Hal

tersebut karena bere-bere tersebut berasal dari beru ibu yang juga didapat dari

marga ayah.

Seorang anak perempuan Karo mengidentifikasikan dirinya dengan

menunjukkan bahwa dia adalah perempuan yang menjadi milik ayahnya

(Risnawati , 1994). Identifikasi diri seperti ini secara sederhana dapat dilihat

dalam pertemuan keluarga besar dimana tidak semua orang saling mengenal

dengan dekat.

Selanjutnya, setelah menikah maka identifkasi dirinya bergantung kepada

suami yang “membelinya” sebagai istri.Masyarakat Karo mengenal istilah diberu

tukur (perempuan yang dibeli). Ada mahar yang dibayarkan oleh pihak penerima

istri oleh pihak pemberi istri. Istilah lain yang menggambarkan ketidakberdayaan

perempuan Karo dalam mendefinisikan dirinya adalah si rukat nakan (yang

menanak nasi). Masyarakat Karo baik laki-laki maupun perempuan memiliki

pemahaman bahwa perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki terutama untuk

menanak nasi dan mempersiapkan segala keperluan laki-laki. Selain tidak bebas

mendefinisikan dirinya, perempuan Karo juga diperlakukan sebagai obyek. Dalam

pernikahan misalnya, perempuan seolah-olah adalah barang yang

diperjualbelikan. Perempuan dituntut untuk menjaga kehormatan keluarga.

63
Pada sistem kebudayan yang patriarki dan patrilineal ini kemudian

memunculkan suatu sistem pembagian kerja yang dikotomis. Laki-laki

diidentikkan dengan pekerjaan diruang publik seperti mencari nafkah (bekerja di

luar rumah), mengambil keputusan, mengatur rumah tangga , kepala keluarga dan

lain-lain. Sementara perempuan diidentikkan dengan pekerjaan di ruang domestik

seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, merawat anak, mengurus suami

dan lain-lain. Pembagian kerja dalam masyarakat didasarkan pada jenis kelamin

dan hal ini dapat diterima sebagai sesuatu yang alamiah oleh masyarakat temasuk

perempuan ( Budiman, 1981: vii). Perempuan Karo memang mempunyai peranan

namun peranannya hanya sebagai orang kedua, subordinat. Dalam hal ini

perempuan belum mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Perempuan tersubordinat.

Oleh karena itu, perempuan harus tunduk menaati pimpinan laki-laki, bukan

laki-laki tunduk menaati pimpinan perempuan. Keadaan ini dikemukan dalam

perumpamaan yang bunyinya : “Bagi tudung ngarakken bulang “ (laki-laki di

depan, sedangkan perempuan di belakangnya ). Masyarakat memberi pengakuan

ada kalanya perempuan juga memiliki kualitas yang sama dengan laki-laki.

Keadaan ini dikemukan dalam perumpamaan yang bunyinya : “Bagi leto pingki,

rawan beruna asangken buganna” (Seperti burung puyuh pingki lebih kokoh,

aktif dan berani betinanya ketimbang jantannya) (M. Singarimbun, 1994).

Pikiran dan sikap kebanyakan orang dalam masyarakat patriarki

menganggap perempuan hanyalah mahluk lemah yang tanggung jawabnya

terbatas pada pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak.

Perempuan harus tunduk kepada suami, oleh karena itu perempuan tidak penting

64
mengikuti pendidikan akademis. Perempuan dianggap tidak memiliki

kemampuan dalam kepemimpinan.

Menurut E.P. Gintings (1995) persepsi masyarakat Karo terhadap

perempuan bersifat dikotomis. Pada satu sisi perempuan dihormati, dimintai

pendapatnya walaupun sebenarnya kesempatan perempuan untuk berbicara

dalam acara adat hanya sedikit. Perempuan selalu akan diminta pendapat dan

memiliki hak khusus (misalnya sirembah ku lau). Namun pada prakteknya

pendapat perempuan akan selalu mengikuti laki-laki, sebab akan dianggap tidak

sopan jika bertentangan dengan pendapat laki-laki (band. P Sinuraya, 1989).

Dalam pesta adat, pembicara selalu dari laki-laki, belum pernah ada perempun.

Pada sisi lain, perempuan dilecehkan karena kesuburan rahimnya. Jika perempuan

tidak dapat memberikan keturunan kepada suaminya maka perempuan dipandang

sebagai barang yang tidak berharga lagi. Kondisi ini menjadikan posisi laki-laki

berkuasa. Sehingga dalam perkawinan orang Karo, laki-laki boleh beristrikan

lebih dari seorang perempuan dan perempuan hanya boleh bersuamikan seorang

laki-laki saja (P. Tamboen, 1952).

Peran, kedudukan dan persepsi mengenai perempuan dalam sistem

kebudayaan Karo seperti telah dijelaskan di atas, dapat juga dilihat dalam struktur

masyarakat Karo tradisional yang terdiri dari subdivisi yang disebut kuta (artinya

kampung), urung (artinya kumpulan dari beberapa kampung, lebih kecil

wilayahnya dari kerajaan) dan kerajaan. Ketiganya memiliki peran yang sangat

penting dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Sejak

semula dalam masyarakat Karo tradisional, posisi-posisi kepemimpinan dalam

subdivisi tersebut dipimpin oleh laki-laki (Risnawati, 1994). Hal ini terus

65
diwariskan dan diwarisi sehingga posisi-posisi penting dalam masyarakat Karo

didominasi oleh laki-laki.

Hal tersebut dia atas membuat sangatlah sulit bagi perempuan Karo

menduduki posisi pemimpin baik di lembaga keagamaan, masyarakat ataupun di

pemerintahan. Ini bisa kita pelajari dari masa lampau ada beberapa cerita tentang

perempuan yang berhikmat yakni, Beru Ginting Pase (Si Mberu Medanak), Putri

Hijau, Beru Rengga Kuning (Buku-buku hikayat Karo). Namun pada catatan

sejarah orang Karo, belum pernah ada perempuan Karo menjadi pucuk pemimpin

di Karo ataupun di tempat lain. Bahkan dari cerita Beru Rengga Kuning,

tersebutlah seorang perempuan harus menyamar menjadi laki-laki dan ternyata

dalam penyamarannya tidak ada yang tahu kalau dia perempuan, dia bisa

mengalahkan para musuh yang menghalanginya untuk melakukan

misinya,melepaskan saudara laki-lakinya Naktaki, dia bisa berkelana dari satu

desa ke desa yang lain. Akhirnya dia bisa menang dalam satu pertarungan di mana

pesertanya adalah semua laki-laki (N. Ginting, 1984).

Juga dari hidup keagamaan masyarakat Karo, peranan laki-laki dan

perempuan sama pentingnya. Kepercayaan dalam masyarakat tradisional Karo

adalah kepercayaan kepada Dibata-dibata, roh-roh, dan kuasa-kuasa gaib (A.R.

Surbakti, 1983). Di antara roh-roh yang disembah terdapat roh-roh yang berjenis

kelamin perempuan, seperti Dewi Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang

Riah, yang dianggap ada dan berkuasa di Lau Debuk-debuk Berastagi (B. Putro,

1981). Juga umumnya menyangkut aspek-aspek ilmu kedukunan, hubungan

dengan dunia roh orang mati serta kekuatan gaib lainnya. Ilmu gaib sering berkait

dengan dengan kegiatan pengobatan yang dilakukan oleh guru (dukun) berjenis

66
kelamin pria, sedang pada ritus keagamaan, pemimpin upacara biasanya adalah

perempuan yang disebut guru si baso. Jabatan ini diperoleh berdasarkan kharisma,

yang wujudnya nampak dalam bentuk pemilikan ketrampilan khusus, antara lain :

memiliki sejenis penglihatan, sering memperoleh semacam ilham, dapat

mengalami kesurupan maupun berbicara dalam bahasa kerongkongan (Margaret,

1993).

Demikian juga dengan kehidupan kepercayaan tradisional Karo,

sepintas terlihat ada potensi kepemimpinan bagi kaum perempuan di suku Karo

terutama di bidang keagamaan. Agama pemena, sebagai agama yang dianut dalam

masyarakat tradisional Karo, merupakan fenomena yang menyebar dalam

berbagai aspek kehidupan kelompok-kelompok sosial ( O’Dea, 1985). Namun

agama ini tidak mengenal institusi keagamaan, sehingga pengorganisasian suatu

kegiatan agama dilakukan oleh kelompok sosial itu sendiri. Pemimpin agama

hanya berperan pada saat pelaksanaan ritus. Jadi, hubungan pemimpin agama

dengan para pengikutnya hanya terjalin selama upacara berlangsung. Sebab itu,

peran kepemimpinannya hanya bersifat temporer dan pengambilan kebijakannya

pun cenderung individual.

Hal tersebut sangat berbeda dengan GBKP yang memiliki sistem

pengorganisasian, pola ibadah dan ide-ide berdasarkan keyakinan. Peran

kepemimpinannya dilakukan secara teratur dan bersifat kolegial dengan

pembagian fungsi yang jelas. Perbedaan lainnya adalah tentang jenis kelamin

pemimpin. Pemimpin agama pemena umumnya adalah perempuan; sedangkan

kenyataannya di GBKP para majelis didominasi oleh laki-laki.

67
2.5.3. Pendeta Perempuan dan Tata Gereja GBKP

Karya penyelamatan Allah di tengah-tengah masyarakat Karo yang

diawali pada tanggal 18 April 1890 oleh NZG di Buluh Awar dinyatakan sebagi

hari jadi GBKP. Sejak Sidang Sinode I pada tanggal 23 Juli 1941 di Sibolangit

GBKP disahkan menjadi sebuah lembaga gereja serta menerima hak dan tanggung

jawab berikut hak milik NZG untuk dijadikan perlengkapan menjalankan visi dan

misi Gereja.

Sebagai sebuah lembaga sosial keagamaan, GBKP pun memiliki aturan

yang tertuang dalam tata gereja Fungsi tata gereja adalah menciptakan suasana

sopan dan teratur dan menetapkan peraturan-peraturan yang harus diikuti untuk

mewujudkannya. Gereja tidak bisa mengabaikan peraturan-peraturan sebab Gereja

berada di dunia. Gereja yang adalah persekutuan orang-orang yang sudah

dibenarkan tidak bisa hidup tanpa peraturan (Locher, 1995).

Sejak berdirinya GBKP, sudah ada tata gereja yang mengatur dan menjadi

pedoman seluruh anggota Gereja.Tata Gereja I di dalam GBKP dibuat pada tahun

1941, diterjemahkan ke dalam bahasa Karo tahun 1943. Tata Gereja II disusun

pada tahun 1949, Tata Gereja III disusun pada tahun 1954, tata gereja IV disusun

pada tahun 1959, tata gereja V disusun pada tahun 1964 , tata Gereja VI disusun

pada tahun 1971. Dalam parketknya, Tata Gereja ditinjau kembali setiap lima

tahun dan dapat diubah empat tahun setelah pengesahannya (Cooley, 1976).

Jika kita memperhatikan latar belakang masuknya Injil kepada masyarakat

Karo, dalam tata gereja GBKP tidak menolak keikutsertaan perempuan dalam

pekabaran Injil dan pelayanan GBKP. Pdt J.V. Muylwijk membuka sekolah Guru

dan evangelis angkatan kedua pada tahun 1938-1940 di Kabanjahe. Sekolah itu

68
menerima enam belas murid dan enam diantaranya adalah perempuan. Tahun

1953, GBKP mengangkat 2 orang Guru Injil Perempuan. Namun untuk

menetapkan perempuan ikut dalam kepemimpinan memiliki hak untuk membuat

keputuan atas perjalanan gereja masih belum terbuka. Ini terbukti dari fakta

bahwa di tahun 1970-an GBKP sudah ada 2 orang pendeta wanita, istri pendeta

GBKP, yang telah ditahbiskan sebagai Pendeta dalam gerejanya sebelum datang

ke Tanah Karo bersama suaminya (dari GMIM), tetapi GBKP tidak menerima

mereka sebagai pendeta penuh. Mereka diberi pekerjaan, khususnya dalam

pelayanan kaum wanita dan pendidikan agama Kristen, tetapi kependetaannya

belum diakui dan dimanfaatkan.

Kemandirian GBKP kemudian memungkinkan dilakukannya perubahan-

perubahan di antaranya perubahan atas tata gereja. Hal yang berkaitan dengan

perempuan adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1953, GBKP mengangkat 2 orang Guru Injil perempuan,

2. Tahun 1960-an, GBKP sudah menerima perempuan menduduki jabatan dalam

gereja sebagai pertua dan diaken.

3. Tahun 1979, GBKP mengirim mahasiswa perempuan ke Sekolah Tinggi

Teologia di Indonesia Timur (STT Intim) Makasassar

4. Tahun 1987, pentahbisan pertama seorang pendeta perempuan alumnus STT

Intim dan diterima menjadi pendeta sebagai pemimpin gereja

Tata Gereja GBKP yang dihasilkan dalam sidang Sinode GBKP ke

XXIX, 5-11 November 1984 yang dilaksanakan di Jakarta, adalah tonggak sejarah

yang amat besar bagi perempuan. Pada sidang sinode inilah untuk pertama

kalinya diputuskan perempuan diterima sebagai pendeta dan melayani di

69
jemaat.Keputusan ini dalam poin 4.12 : Pendeta Perempuan, Pandita Diberu.

Dalam keputusan tersebut ada beberapa butir yang isinya:

1. Pendeta Laki-laki dan perempuan itu sama;

2.Pendeta perempuan di GBKP menjalankan pelayanannya sesuai dengan

kemampuannya;

3. Dalam penempatan akan dipikirkan , disesuaikan dengan tempat dan situasi;

4. Mengingat status perempuan dalam rumah tangga, jika dia sudah menikah,

sesuai dengan adat maka Pendeta Perempuan bisa menjalankan tugasnya dengan

penuh sebagai personalia GBKP , kalau dia bisa memenuhi ketentuan yang akan

diadakan. Hal ini kemudian diatur dalam aturan Tata Gereja GBKP yang

disahkan dalam sidang Sinode tersebut di atas.

Dalam sejarah GBKP, meskipun GBKP sudah menerima pendeta

perempuan dan telah ditahbiskan serta melayani bukan berarti tanpa persoalan.

Contohnya adalah mengenai suami-istri pendeta di GBKP. Pada Tata Gereja

edisi tahun 1984-1994, bahwa perempuan sudah diterima menjadi pendeta,

namun suami istri pendeta itu belum diterima. Tata Gereja GBKP tentang

jabatan pendeta menyatakan bahwa kalau ada suami- istri pendeta , maka salah

satu saja yang dapat difungsikan sebagai pendeta secara fungsional maupun

struktural. Dengan aturan tersebut, tidak dimungkinkan lagi ada pasangan suami

istri yang ditahbiskan menjadi pendeta di GBKP.

Dari data yang ada beberapa pendeta di GBKP yang secara sebelumnya

sudah ditahbiskan sebagai pendeta di gereja asal mereka dan menikah dengan

pendeta laki-laki dari GBKP (Pdt. Nr.J. P. Sibero dan Pdt. Nr. M. Sinulingga).

Karena peraturan yang ada mereka tidak melanjutkan pelayanan sebagai pendeta.

70
Dengan kata lain, suami mereka yang melanjutkan pelayanan sebagai pendeta

struktural dan fungsional di GBKP.

Peranan pendeta perempuan adalah materi yang tetap hangat

diperbincangkan dalam setiap persidangan baik itu internasional dan regional.

Dan ini juga mewarnai persidangan di GBKP sehingga kemudian aturan ini

berubah pada tata gereja tahun 1994, suami istri secara bersama-sama dapat

diangkat menjadi pelayan khusus penuh waktu , kecuali Penatua dan Diaken

(pasal 14:5). Sejak tata gereja yang ditetapkan tahun 1994, perempuan sudah

sangat diberi kesempatan untuk menjadi pendeta jemaat, baik itu suami ataupun

istri secara bersamaan.

2.5.3.1 Rekrutman Pendeta Perempuan GBKP

GBKP mulai mengirim mahasiswa perempuan ke Sekolah Teologia di

Indonesia baru pada tahun 1979. (Laporan Moderamen ke Sinode GBKP 1979)

Tapi rupanya belum ada kepastian status masa depannya. Sebab dalam laporan

tersebut: “Dengan pengiriman mahasiswa perempuan ke STT Ujung Pandang

sudah perlu dipikirkan status mereka kelak. Moderamen belum menjanjikan

kedudukan bagi mereka nantinya selain melayani kaum ibu. Pada sidang Sinode

GBKP di Cibubur 1984 usul untuk menerima perempuan menjadi Pendeta sudah

menjadi keputusan.

Pada tanggal 15 Maret 1987, GBKP menahbiskan Pendeta perempuan

pertama ialah Rosmalia br Barus yang tamat dari Institut Theologia Makassar

dengan gelar Sarjana Muda Tehologia . Pada tahun yang sama yaitu 6 Desember

1987, 2 pendeta perempuan lagi ditahbiskan menjadi Pendeta ialah Pdt. Setia

Ulina br Tarigan, S.Th dan Pdt. Ratna br Sembiring yang tamat dari Fakultas

71
Theologia Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Demikian seterusnya

GBKP merekrut calon-calon mahasiswa perempuan ke sekolah-sekolah Theologia

di Indonesia.Guru-guru Evangelis ditingkatkan pendidikannya menjadi Pendeta

sehingga semakin banyak pendeta perempuan di GBKP.

Juga sejak Tata Gereja periode 1995-2005 GBKP sudah menerima suami-

istri secara secara bersama-sama menjadi pendeta atau Guru Evangelis, hal ini

juga membuat beberapa nora pendeta yang sebelumnya sudah menjadi Pendeta di

gereja asal mereka. Namun Pdt Nr. J. P. Sibero dan Pdt. Nr. M. Sinulingga tidak

sempat lagi diproses menjadi pendeta di GBKP. Sedangkan Pdt Merry Tatuwo

S.Th. dari GKI Irja ( Nr. Pdt Ephenetus Tarigan ) sudah diterima menjadi pelayan

khusus penuh waktu di GBKP tahun 2000. Ini juga berlaku untuk pendeta-pendeta

yang suami istri yang GBKP, kemudian mereka ditahbiskan menjadi pendeta di

GBKP, antara lain Pdt. Dewi br Sembiring (Nr. Pdt. Rudi Sembiring); Pdt. DR.

Risnawati br Sinulingga ( Nr. Pdt. Darma Bangun) dan semakin bertambah

banyak suami istri pendeta di GBKP. Hal ini juga membuat pertambahan pendeta

perempuan semakin meningkat.

2.5.3.3. Tugas-tugas Kepemimpinan Pendeta dalam Struktur di GBKP

A. Sinodal (Ketua Umum Moderamen) yang diatur dalam penjelasan tugas :

1. Menterjemahkan dan mengimplementasikan visi dan misi GBKP

2. Menggali dan memaksimalkan potensi warga GBKP untuk membangun

kesatuan dan persatuan GBKP sebagai tubuh Kristus

3. Memimpin tim pelayanan Moderamen dalam melaksanakan GBP, Tata

Gereja dan seluran yang peraturan yang berlaku di GBKP

72
4. Bersama dengan Moderamen melakukan pembinaan Personalia,

Persekutuan Kategorial, Biro, Yayasan, Badan Pelayanan dan Badan

Usaha, Klasis dan Unit Pelayanan lainnya

5. Memimpin Sidang Kerja dan Sidang Moderamen, Sidang Kerja Sinode,

Sidang Keuangan dan Program.

6. Membangun hubungan oikumene gereja dan oikumene kemasyarakatan

dalam dan luar negeri

7. Bersama dengan Sekretaris Umum mewakili GBKP dalam urusan ke

dalam dan ke luar

8. Bersama dengan Bendahara Umum bertanggungjawab dalam urusan

keuangan dan harta benda.

B. Ketua Klasis

1. Menterjemahkan dan mengimplementasikan visi dan misi GBKP

2. Menggali dan memaksimalkan potensi warga GBKP di Klasis untuk

membangun kesatuan dan persatuan GBKP sebagai tubuh Kristus

3. Memimpin tim pelayanan BP Klasis dalam melaksanakan GBP, Tata

Gereja dan seluruh yang peraturan yang berlaku di GBKP

4. Bersama dengan BP Klasis lainnya melakukan pembinaan Personalia,

Persekutuan Kategorial, Biro, Yayasan, Badan Pelayanan dan Badan

Usaha, Majelis Jemaat dan Unit Pelayanan lainnya

5. Memimpin Sidang BP Klasis dan Sidang Klasis

6. Membangun hubungan oikumene gereja dan oikumene kemasyarakatan

dalam dan luar negeri

73
7. Bersama dengan Sekretaris mewakili Klasis dalam urusan ke dalam dan

ke luar

8. Bersama dengan Bendahara bertanggungjawab dalam urusan keuangan

dan harta benda.

C. Ketua Runggun

1. Menterjemahkan dan mengimplemntasikan visi dan misi GBKP

2. Menggali dan memaksimalkan potensi warga GBKP di Majelis Jemaat

untuk membangun kesatuan dan persatuan GBKP sebagai tubuh Kristus

3. Memimpin tim pelayanan Majelis Jemaat dalam melaksanakan GBP, Tata

Gereja dan seluran yang peraturan yang berlaku di GBKP

4. Bersama dengan anggota BP Majelis Jemaat lainnya melakukan

pembinaan PKPW, Persekutuan Kategorial, Biro, Yayasan, Badan

Pelayanan dan Badan Usaha, Pertua dan Diaken dan Unit Pelayanan

lainnya

5. Memimpin Sidang Anggota Sidi Jemaat, Sidang Majelis Jemaat , Sidang

Badan Pekerja Majelis Jemaat

6. Membangun hubungan oikumene gereja dan oikumene kemasyarakatan

dalam dan luar negeri

7. Bersama dengan Sekretaris mewakili Majelis Jemaat ke dalam dan ke luar

8. Bersama dengan Bendahara bertanggungjawab dalam urusan keuangan

dan harta benda ( Tata Gereja, 2010).

74
2.6 Kajian Fenomenologis

Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan

logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai”yang berarti

menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya

sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena

bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan

sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan (Moeryadi, 2009).

Fenomenologi merupakan suatu pendekatan riset dan suatu filosofi Eropa

yang diperkenalkan pertama kali pada awal abad ke -20 oleh Edmund Hussrel

tepatnya pada tahun 1859-1938. Pendapat Husserl tentang perspektif fenomenolgi

adalah memberikan deskripsi, refleksi, interpretasi dan modus riset yang

meyampaikan intisari dari pengalaman kehidupan individu yang diteliti.

Fenomenologi berkontribusi medalami pemahaman tentang perilaku, tindakan ,

dan gagasan masing-masing individu terhadap dunia kehidupannya melalui sudut

pandang yang diketahui dan diterimanya secara benar ( Afiyanti, 2014: 67). Van

Manen (2007) menjelaskan apa yang dimaksud pengalaman individu berdasarkan

pendekatan fenomenolgiadalah berbagai persepsi individu tentang keberadaannya

di dunia, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimilikinya tentang sesuatu dari sudut

pandangnya.

Para fenomenologis menyatakan bahwa pengalaman yang dimaksud untuk

dapat diteliti dengan pendekatan fenomenogi adalah pengalaman yang bersifat

universal yang dialami oleh seorang individu terhadap suatu fenomena yang

dialaminya dalam kehidupannya sehari hari. Dalam tesis ini adalah pengalaman

para pendeta perempuan menjalani perannya sebagai seorang pendeta, pemimpin

75
umat dalam gereja sekaligus sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi

suaminya. Peneliti mengumpulkan informasi atau data dari para pendeta

perempuan. Hasil temuan merupakan penjelasan-penjelasan tentang “apa’ dan

“bagaimana” para pendeta perempuan mengalami penagalaman tersebut.

Fokus pendekatan fenomenologi adalah memahami keunikan fenomena

dunia kehidupan individu, bahwa realitas dunia kehidupan masing-masing

individu itu berbeda, dalam hal ini adalah respon-respon yang unik dan spesifik

yang dialami setiap individu termasuk interaksinya dengan orang lain, untuk

selanjutnya mengeksplorasi makan atau arti dari fenomena tersebut.

2.7. Kerangka Berpikir

Penelitian diarahkan kepada analisa gender. Dengan maksud tujuan untuk

memahami permasalahan terhadap Pendeta perempuan di GBKP. Pertambahan

jumlah pendeta perempuan di GBKP yang semakin besar namun tidak berbanding

lurus dengan pertambahan pendeta perempuan menduduki posisi dalam struktur di

GBKP. Dominasi laki-laki sangat besar dalam organisasi GBKP. Latar belakang

GBKP sebagai gereja bagi suku Karo, yang memiliki budaya patriarki dan latar

belakang penginjilan ke Karo oleh para misionaris dari Belanda (NZG) yang

beraliran calvinis yang mengganggap perempuan adalah kelas kedua, namun para

misionaris sangat berjuang mengangkat harkat dan martabat perempuan Karo dan

pada awalnya posisi perempuan dalam agama tradisional Karo juga cukup

penting.

Kepemimpinan yang erat kaitannya dengan kekuasaan mendorong penulis

untuk meneliti dalam kehidupan beragama yakni di gereja. GBKP sebagai

76
lembaga keagamaan yang berdiri di kehidupan masyarakat Karo. Analisis gender

adalah usaha untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan

1. Persepsi Majelis jemaat terhadap pendeta perempuan yang duduk sebagai

ketua di posisi struktural

2. Penyebab sedikitnya Kepemimpinan pendeta perempuan GBKP dalam

struktural

3. Pandangan pendeta perempuan terhadap sedikitnya pendeta perempuan

duduk dalam struktural.

77

Anda mungkin juga menyukai