Anda di halaman 1dari 5

Berdasarkan hasil praktikum kami, diperoleh sifat fisik urine sebagai berikut: semua

sampel memiliki bau khas urine. Bau ini sesuai dengan bau urine normal yaitu memiliki bau
aromatik lemah. Sampel urine A, C, dan D jernih, sedangkan sampel B keruh. Urine yang
sehat adalah urine yang jernih dan tidak keruh. Menurut Ophart (2003), urin yang terlalu keruh
menandakan tingginya kadar unsur-unsur yang terlarut didalamnya. Hal ini bisa terjadi karena faktor
makanan dan adanya infeksi yang mengeluarkan bakteri atau konsumsi air yang kurang. Semua
sampel urine tidak memiliki endapan, bahkan setelah disentrifugasi juga tidak menimbulkan
endapan pelet sehingga tidak dilakukan uji sedimentasi.
Urine yang kami analisis, memiliki pH netral hingga cenderung asam. Urine A
memiliki pH 6, urine B memiliki pH 7, urine C dan D memiliki pH 5. Urine normal memiliki
pH dengan kisaran 4,8 – 7,5. Keadaan asam pada urine dapat disebabkan oleh adanya gugus
badan keton pada urine, sedangkan urine yang bersifat basa menunjukkan individu adalah
seorang vegetarian, mengkonsumsi alkohol, hingga menunjukkan infeksi saluran kemih
(Uliyah, 2008). Kondisi urine yang asam dapat disebabkan adanya badan keton pada urine,
beberapa di antaranya adalah β hidroksibutirat, asam asetoasetat, dan aseton yangs eharusnya
tidak ditemukan dalam urine normal. Pada penderita diabeter melitus, seorang alkoholisme,
dan yang menderita kelaparan berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan metabolisme
karbohidrat yang disertai peningkatan metabolisme lipid. Pada kondisi ini terjadi peningkatan
produksi badan keton dalam hati yang selanjutnya akan diekskresikan ke dalam urine. Untuk
memastikan adanya badan keton sebagai penyebab sifat asam pada urine, sebaiknya
dilakukan uji badan keton sebelum mendiagnosa seseorang tersebut menderita ketonuria
hanya karena pH urine yang terlalu asam (Soewoto dan Hafiz, 2001).
Pada pengujian glukosa urine, semua urine berwarna biru setelah ditetesi larutan
fehling AB namun belum dilakukan pemanasan. Setelah dipanaskan, urine A berubah warna
menjadi kuning kehijauan dan jingga. Urine B tidak berubah warna, atau tetap berwarna biru,
namun mengandung endapan berbentuk gumpalan berwarna putih. Urine Cdan D berubah
warna menjadi hijau. Hal ini menunjukkan bahwa sampel urine A, C, dan D positif
mengandung glukosa dengan urine A mengandung kadar glukosa tertinggi. Hasil positif pada
uji glukosa urine dapat disebabkan oleh konsumsi glukosa yang berlebih, dan atau adanya
masalah dalam produksi hormon insulin. Urine yang mengandung glukosa mengindikasikan
adanya penyakit diabetes mellitus yang diderita individu pemilik sampel (Uliyah, 2008).
Kandisi urine yang mengandung glukosa dapat disebut sebagaik glukosuria (Azrimaidaliza,
2011)
Pada uji albumin urine, setelah ditetesi asam asetat glasial, urine A, C, dan D tidak
memunculkan gumpalan awan, sedangkan urine B memunculkan gumpalan putih seperti
awan. Gumpalan awan pada sampel urine B menunjukkan adanya protein dalam sampel yang
digumpalkan oleh reagen asam asetat glasial. Urine yang normal seharusnya tidak
mengandung molekul protein. Apabila terdapat protein dalam urine menunjukan ginjal akibat
kerusakan glomerulus yang mengganggu proses filtrasi dan atau gangguan reabsorbsi tubulus
ginjal. Adanya protein dalam urine juga dapat disebabkan ketika seseorang mengonsumsi obat-
obatan tertentu sebelum dilakukan analisis urine (Uliyah 2008).
Uji bilirubin pada sampel urine yang kami gunakan semuanya menunjukkan hasil yang
sama yaitu tidak memunculkan cincin berwarna hijau yang berarti urine tidak mengandung
bilirubin. Adanya bilirubin 0,05-1 mg/dL urine akan memberikan basil positif dan keadaan ini
menunjukkan kelainan hati atau saluran empedu. Bilirubin merupakan pigmen warna kuning
yang terdapat dalam garam empedu sebagai hasil metabolisme hemoglobin. Hepatitis dan
kondisi kelainan hati menyebabkan berkurangnya bilirubin yang diekskresikan ke dalam usus
sehingga menyebabkan pembentukan urobilinogen berkurang. Sementara bilirubin
terkonjugasi dalam hepar akan masuk kembali ke dalam darah karena pengosongan langsung
ke saluran limfe yang meninggalkan hepar serta pecahnya kanalikuli biliaris yang
terbendung. Bilirubin terkonjugasi dalam darah kemudian akan dieksresikan ginjal ke dalam
urin. Pada urine akan ditemukan menurunnya kadar urobilinogen urine dan terdapat bilirubin
urine (Guyton & Hall, 2011). Kondisi adanya bilirubin dalam urine disebut bilirubinuria
(Makay dkk, 2016).
Komposisi urine normal adalah 95% air, 25-30 gram urea sebagai hasil akhir
metabolisme protein yaitu sebesar 2%, amonia 0,05%, kreatinin dan kreatin 20-26 mg/kg BB
pada laki-laki dan 14-22 mg/kg BB pada perempuan, 0,03% asam urat sebagai hasil akhir
oksidasi purin. Kelainan kadar komposisi urine normal dapa mengindikasikan adanya
kelainan pada tubuh seseorang. Pada penderita diabetes millitus, kandungan amonia dalam
urinnya sangat tinggi. Pengeluaran asam urat meningkat pada penderita leukimia, penyakit
hati berat. Selain itu, adanya komposisi lain dalam urine juga mengindikasikan sejumlah
kelainan. Adanya glukosa dalam urine mengindikasikan diabetes mellitus, adanya protein
dalam urine menandakan proteinuria. Kandungan bilirubin dalam urine yang berlebih
menunjukkan gangguan fungsi hati hingga hepatitis. Selain molekul-molekul besar ada pula
ion yang terkandung dalam urine normal yaitu 120-240 mmol Cl-, 100-150 mmol Na+, 60-80
mmol K+, 30-60 mmol SO22-, 10-40 mmol HPO42-, 4-11 mmol Ca2+, dan 3-6 mmol Mg2+
(Guyton dan Hall, 2011).
Urin normal berwarna kuning pucat. Warna urin sangat sulit ditiru karena merupakan
campuran dari beberapa pigmen dan tidak selalu dalam jumlah yang sama. Pigmen warna
urin adalah dari urobilin sebagai pemberi warna kuning berasal dari hemoglobin yang telah
diuraikan. Urin mempunyai bau khas amonia. Seperti bau asam-asam volatil. Bau urin juga
dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan obat. Urin mempunyai berat jenis antara 1003-1030
g/L dan dapat bervariasi menurut konsentrasi zat-zat yang terlarut dalam urin. Urin
mempunyai pH yang bervariasi antara 4,8 – 7,5, tetapi pada umumnya urin bersifat asam.
Jenis makanan dapat mempengaruhi pH urin, misalnya makanan yang mengandung protein
menyebabkan urin bersifat asam. Dalam 24 jam urin mempunyai kepadatan antara 1,015 –
1,022 kg/liter urin. Volume urin dalam waktu 24 jam sekitar 0,5 – 2 L. Volume urin ini
tergantung oleh konsumsi cairan (Guyton dan Hall, 2011).
Pada prakrikum ini digunakan larutan fehling A dan fehling B sebagai larutan penguji
adanya kandungan gula tereduksi dalam sampel urine. Pengujian menggunakan fehling
berdasarkan pada keberadaan gugus aldehid atau keton yang bebas. Larutan fehling dibagi
atau dua macam yaitu larutan fehling A (CuSO4) dan larutan fehling B (KOH dan Natrium
kalium tartarat). Ketika larutan fehling A dan B dicampur menimbulkan reaksi kimia yang
menghasilkan Cu(OH)2. Cu(OH)2 yang bersifat basa ini ketika dipanaskan dalam sampel
yang mengandung gula tereduksi akan menghasilkan warna kuning yang tidak larut atau
warna merah sebagai endapan cari Cu2O (Umar, 2008). Warna fehling AB sebelum bereaksi
adalah biru, sehingga adanya warna kuning sebagai endapan Cu2O berangsur-angsur
mengubah warna larutan menjadi hijau, kuning kehijauan, kuning, jingga, hingga merah yang
mengindikasikan kandungan gula pereduksi sangat tinggi. Reaksi lengkapnya adalah sebagai
berikut:
CuSO4 + 2KOH → Cu(OH)2 + K2SO4
Cu(OH)2 dipanaskan → CuO + H2O
Gugus aldehid + 2 CuO dipanaskan → Gugus karboksilat + Cu2O (mengendap merah
bata)
Penggunaan asam cuka glasial adalah sebagai koagulan protein. Kebanyakan protein
hanya berfungsi aktif biologis pada daerah pH yang terbatas. Jika pH melewati batas tersebut,
protein akan mengalami denaturasi atau perubahan struktur protein. Perubahan struktur ini
dapat teramati dengan terbentuknya gumpalan protein. Protein akan menggumpal pada pH
asam, yaitu pada pH sekitar 4,5. Penambahan asam cuka glasial pada uji protein adalah
sebagai pembawa suasana asam yang melebihi batas toleransi protein sehingga menyebabkan
protein dalam urine terdenaturasi membentuk gumpalan putih yang dapat teramati (Naga dkk,
2010).
Yodium tinctur digunakan dalam uji bilirubin, yaitu sebagai agen oksidasi bilirubin
menjadi biliverdin. Bilirubin merupakan pigmen warna empedu sebagai hasil metabolisme
hemin pada hemoglobin. Bilirubin memberikan warna kekuningan pada garam empedu.
Biliverdin juga merupakan pigmen garam empedu hasil metabolisme hemoglobin, yang
memberikan warna kehijauan pada garam empedu. Reaksi oksidasi ilirubin menjadi
biliverdin menggunakan yodium tincture dapat mempermudah pengamatan adanya
kandungan bilirubin pada urine, karena bilirubin berwarna kuning yang cenderung sama
seperti urobilin sebagai pigmen normal urine sehingga pengamatan bilirubin tanpa konversi
menjadi senyawa lain akan sulit untuk diamati. Perubahan bilirubin yang berwarna kuning
menjadi biliverdin yang berwarna kehijauan akan menimbulkan kontras pada sampel uji urine
dan mempermudah pengamatan adanya bilirubin pada urine. Jika tidak terdapat bilirubin
pada urine dan hanya urobilin yang memberikan warna kuning pada urine, maka penambahan
yodium tincture tidak akan menimbulkan perubahan warna pada sampel urine
(INFOLabMed, 2017).
Setelah dipanaskan sampai beberapa saat, beberapa sampel urine masih menunjukkan
perubahan warna sebagai tanda bahwa urine mengandung glukosa. Pemanasan sampel urine
berfungsi untuk menghasilkan perubahan warna pada uji glukosa menggunakan larutan
fehling AB. Tetap terjadinya perubahan warna setelah urine dipanaskan, menunjukkan bahwa
pemanasan tidak menyebabkan perubahan struktur glukosa sehingga tetap dapat dideteksi
keberadaannya oleh larutan fehling AB. Pemanasan juga dapat dilakukan untuk menguraikan
molekul karbohidrat kompleks seperti disakarida dan bahkan polisakarida untuk dapat terurai
menjadi monosakarida sehingga pengujian menggunakan fehling AB akan semakin
menunjukkan perubahan warna yang jelas (Umar, 2008).
Gumpalan urine yang terbentuk pada urine yang telah mendidih dan ditetesi asam cuka
glasial disebabkan oleh denaturasi protein pada urine. Protein merupakan senyawa amfoter
yang dapat bereaksi dengan asam maupun basa. Hal ini disebabkan karena molekulnya
mempunyai muatan positif dan negatif. Nilai pH pada saat asam amino tidak memiliki
muatan disebut titik isoelektrik. Pada saat titik isoelektrik dicapai, jumlah muatan positif dan
negatifnya adalah sama. Bila pH di atas titik isoelektrik, protein akan bermuatan negatif.
Sebaliknya bila pH berada di bawah titik isoelektrik, protein akan bermuatan positif. Protein
dapat diendapkan pada pH sekitar 4,7, karena stabilitas protein mulai terganggu pada pH 5,3.
Dalam kondisi ini dispersi tidak lagi stabil sehingga protein terkoagulasi (Naga dkk, 2010).
Cincin hijau yang terbentuk dalam uji bilirubin urine adalah tanda adanya senyawa
bilirubin pada urine yang bereaksi dengan yodium tinctur. Bilirubin merupakan suatu pigmen
empedu yang diproduksi oleh sel-sel hepar bersama dengan garam empedu sebagai cairan
empedu. Bilirubin yang terdapat dalam urin berasal dan diproses dari bilirubin yang
terkonjugasi secara aktif dan disalurkan bersama-sama dengan komponen empedu lainnya
menuju ke usus halus. Bilirubin yang tidak diserap masuk kedalam usus, diproses oleh
bakteri dan dieksresikan oleh ginjal dalam urin. Bilirubinuria menetap selama penyakit
berlangsung, namun uroblinogen kemih akan menghilang sementara waktu bilamana fase
obstruktif yang disebabkan oleh kolestatis dalam perjalanan penyakit selanjutnya dapat
timbul peningkatan urobilinogen kemih sekunder. Pembentukan cincin hijau pada uji
bilirubin menunjukkan bahwa bilirubin dalam urine mengalami oksidasi oleh yodium tincture
menjadi bliverdin yang mengasilkan warna hijau (INFOLabMed, 2017).
Uliyah, M. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Soewoto dan Hafiz. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta: UI Press.
Ophart, CE. 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College.
Azrimaidaliza, 2011. Asupan gizi dan penyakit diabetes mellitus. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 6(1): 36-41.
Guyton AC, Hall JE. 2011. Textbook of Medical Physiology 12th Ed. Philadelphia: Elsevier.
Makay, Faleriano, Glady I Rambert, Mayer F Wowor. 2016. Gambaran bilirubin dan
uroblilinogen urine pada pasien tuberkulosis paru dewasa di RSUP Prod Dr R D
Kandou Manado. Juenal 2-Biomedik 4(2).
Umar, S. 2008. Analisis Karbohidrat. Jakarta: Grafindo Persada.
Naga, Welly Surya, Berlian Adiguna, Ery Susiany Retnoningtyas, Aning Ayucitra. 2010.
Koagulasi protein dari ekstrak biji kecipir dengan metode pemanasan. Widya Teknik
9(1): 1-11.
INFOLabMed. 2017. Pemeriksaan Bilirubin Urine (Metode Rosin) | Seri Edukasi Teknologi
Laboratorium Medik. (online). (https://www.infolabmed.com/2017/04/pemeriksaan-
bilirubin-urine-metode.html) –diakses pada 23-10-2019.

Anda mungkin juga menyukai