Anda di halaman 1dari 23

REPRESENTASI EROTISME PADA TARI GANDRUNG

BANYUWANGI
(ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES TERHADAP
TARI GANDRUNG BANYUWANGI)

TUGAS AKHIR

KELLINA MAHADEWI
1171903053

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS BAKRIE
JAKARTA
2019
Universitas Bakrie

REPRESENTASI EROTISME PADA TARI GANDRUNG


BANYUWANGI
(ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES TERHADAP
TARI GANDRUNG BANYUWANGI)

TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi

KELLINA MAHADEWI
1171903053

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS BAKRIE
JAKARTA
2019

2
Universitas Bakrie

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tugas Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Kellina Mahadewi


NIM : 1171903053
Tanda Tangan :
Tanggal : 23 Agustus 2019

3
Universitas Bakrie

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:


Nama : Kellina Mahadewi
NIM : 1171903053
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ekonomi dan Ilmu Sosial
Judul Skripsi : Representasi Erotisme pada Tari Gandrung Banyuwangi (Anaisis Semiotika
Roland Barthes terhadap Tari Gandrung Banyuwangi)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Program
Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Bakrie.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dessy Kania, B.A., M.A. ( )


Penguji 1 : Oktaviana Purnamasari, S.Sos., M.Si. ( )
Penguji 2 : Vivid F Argarini, B.Arts., Dr. ( )

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 16 Agustus 2019

ii
Universitas Bakrie

UNGKAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya,
penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulisan Tugas Akhir ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Bakrie. Saya menyadari bahwa,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
Tugas Akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dessy Kania, B.A., M.A., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;
2. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi yang telah banyak membantu
dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan;
3. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral;
4. Clara Novita Anggraini, M.A., yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan
selama proses penyusunan skripsi ini;
5. Maudisha Alifa Rahman, S.I.Kom., atas doa dukungan dalam berbagai bentuk;
6. drh. Yanuar Prakosa, atas dukungannya berupa motivasi dan kepercayaan yang telah
diberikan; serta
7. Para sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga Tugas Akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu.

Jakarta, 23 Agustus 2019

Penulis

iii
Universitas Bakrie

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai sivitas akademik Universitas Bakrie, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Kellina Mahadewi
NIM : 1171903053
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ekonomi dan Ilmu Sosial
Jenis Tugas Akhir : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas


Bakrie Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya
ilmiah saya yang berjudul:

Representasi Erotisme pada Tari Gandrung Banyuwangi (Anaisis Semiotika Roland


Barthes terhadap Tari Gandrung Banyuwangi)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini
Universitas Bakrie berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta untuk
kepentingan akademis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Agustus 2019

Yang menyatakan

(Kellina Mahadewi)

iv
Universitas Bakrie

Representation of Eroticism in the Banyuwangi Gandrung Dance (Roland Barthes


Semiotic Analysis of the Banyuwangi Gandrung Dance)

Kellina Mahadewi

ABSTRACT

This study discusses about the representation of erotism towards Gandrung Banyuwangi Dance.
The theory used in this research is representation theory. The research method used in this study
is qualitative research with Roland Barthes's semiotic research. This study discusses to learn how
FPI represents Gandrung dance as something added. The researcher collected data in the form of
video observations and secondary data in the form of books, journals, articles on the internet that
supported this research. There is no eroticism that discusses this dance which lies in the movement
of the hips and shoulders and the fashion that addresses the area that forms the dancers' body curves
clearly. The results showed that Gandrung dance did not have aspects of variation. Erotism is the
result of the connotation of each individual and can vary between individuals with each other.
Every cultural product cannot be refuted as something that can be enlarged or does not
contain the motive of seeing and must use the right viewpoint. If a cultural product supports it with
the aim of educating the public, it will be different from the supporting cultural products with the
aim of improving. In addition to the motives and point of view, the location of the crossing must
also be adjusted. If it is held in public space it will not be a problem, different discussions if the
activity is carried out in Islamic boarding schools.

Keywords: Gandrung Banyuwangi Dance, Erotism, Representation, Semiotic

v
Universitas Bakrie

Representasi Erotisme pada Tari Gandrung Banyuwangi (Anaisis Semiotika Roland


Barthes terhadap Tari Gandrung Banyuwangi)

Kellina Mahadewi

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai representasi erotisme terhadap Tari Gandrung Banyuwangi.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori representasi. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika Roland
Barthes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana FPI merepresentasikan tari
Gandrung sebagai sesuatu yang erotis. Peneliti mengumpulkan data berupa observasi video dan
data sekunder berupa buku, jurnal, artikel di internet yang mendukung penelitian ini. Unsur
erotisme yang dinilai terdapat dalam tarian ini yaitu terletak pada gerakan pinggul dan bahu serta
tata busana yang memperlihatkan area dada serta membentuk lekuk tubuh penari dengan jelas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari Gandrung tidak memiliki aspek erotis. Erotisme
merupakan hasil dari konotasi setiap individu dan dapat berbeda-beda antar individu satu dengan
lainnya.
Setiap produk budaya tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang erotis atau tidak tanpa
menilik motif dan harus menempatkan sudut pandang yang tepat. Jika produk budaya ditampilkan
dengan tujuan mengedukasi masyarakat, maka akan berbeda degan produk budaya yang
ditampilkan dengan tujuan untuk menggoda. Selain motif dan sudut pandang, lokasi
penyalenggaraannya pun harus disesuaikan. Jika digelar di ruang publik tidak akan menjadi
masalah, berbeda halnya jika kegiatan tersebut dilaksanakan di dalam pesantren.

Kata Kunci: Tari Gandrung Banyuwangi, Erotisme, Representasi, Semiotik

vi
Universitas Bakrie

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………...………………………… i
Lembar Pengesahan………..……………………………………………………… ii
Ungkapan Terima Kasih…………………………………………………………... iii
Lembar Persetujuan Publikasi Tugas Akhir…………………………………….. iv
Abstrak……………………………………………………………………………… v
Daftar isi………………………………………………...………...………………... vii
Daftar Gambar………………………………………..…………………………… viii
Daftar Tabel…………………………………………..……………………………. ix
1. Pendahuluan……………………………………...……………………………... 1
1.1 Latar Belakang………………………...……...……………………………… 1
1.2 Perumusan Masalah……………………......………………………………… 10
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………..…………… 10
1.4 ManfaatPenelitian…………………………………………………………..... 11
2. Tinjauan Pustaka……..………………………………………………………... 12
2.1 Tinjauan Pustaka Berdasarkan Penelitian Terdahulu………………..………. 12
2.2 Tinjauan Pustaka Berdasarkan Kerangka Pemikiran………………………… 27
2.2.1 Erotisme……………………………………………………………….. 27
2.2.2 Semiotika……………………………………………………………… 35
2.2.3 Tari Gandrung Banyuwangi…………………………………………… 43
2.2.4 Youtube………………………………………………………………... 55
2.3 Kerangka Pemikiran………………………………………………………….. 59
3. Metodologi Penelitian…………………………………………………………... 61
3.1 Metodologi Penelitian………………………………………………………... 61
3.2 Objek Penelitian……………………………………………………………… 64
3.2.1 Unit Analisis…………………………………………………………... 64
3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data………………………………... 82
3.3.1 Sumber Data…………………………………………………………… 82
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….. 83
3.4 Definisi Konseptual dan Operasionalisasi Konsep…………………………... 84
3.4.1 Definisi Konseptual……………………………………………………. 84
3.4.2 Definisi Operasional…………………………………………………... 85
3.5 Teknik Analisis Data…………………………………………………………. 90
3.6 Teknik Pengujian Keabsahan Data…………………………………………... 92
3.7 Keterbatasan Peneliti…………………………………………………………. 94
4. Hasli Penelitian dan Pembahasan………………………………...…………… 95
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian………………………………………….. 95
4.1.1 Kearifan Lokal Kabupaten Banyuwangi……………………………… 95
4.1.2 Tari Gandrung Banyuwangi…………………………………………... 98
4.1.3 Gambaran Umum Triangulator……………………………………….. 101
4.2 Hasil Penelitian………………………………………………………………. 103
4.2.1 Tata Busana Tari Gandrung Banyuwangi…………………………….. 103
4.2.2 Gerakan Tari Gandrung Banyuwangi…………………………………. 112
4.2.3 Teknik Pengambilan Gambar…………………………………………. 116
5. Penutup………………………………………………………………………….. 118

vii
Universitas Bakrie

5.1 Simpulan………………………………………………………………… 118


5.2 Saran…………………………………………………………………….. 120
Daftar Pustaka……………………………………………………………………... x
Lampiran Transkrip Wawancara Narasumber…………………………………. xiv
Lampiran Transkrip Wawancara Triangulator 1..……………………………… xviii
Lampiran Transkrip Wawancara Triangulator 2……………………………….. xxii

viii
Universitas Bakrie

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1……………………………………………………………………. 3
Gambar 1.2……………………………………………………………………. 5
Gambar 1.3……………………………………………………………………. 7
Gambar 2.1……………………………………………………………………. 40
Gambar 2.2……………………………………………………………………. 55

ix
Universitas Bakrie

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1………………………………………………………………………… 12
Tabel 2.2………………………………………………………………………… 39
Tabel 3.1………………………………………………………………………… 63

x
Universitas Bakrie

DAFTAR PUSTAKA

Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi: CV Jejak.
Anoegrajekti, N. (2006). Gandrung Banyuwangi Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama
Merebutkan Representasi Identitas Using. Depok: Universitas Indonesia.
Atman, D. (2018). Asma Cinta. Tangerang: Atmoon Selfpublishing.
Bakry, U. S. (2016). Pedoman Penulisan SKripsi Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Deepublish.
Berger, A. A. (1999). Media Analysis Technique. Yogyakarta: Andi Offset.
Berger, A. A. (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Brata, V. B. (2007). Videografi dan Sinematografi Praktis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Burgerss, J., & Green, J. (2009). YoutubeDigital Media and Society Series. Cambridge: Polity
Press.
Dananjaya, A. (1986). Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Binaan Pressindo.
Danesi, M. (2010). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Darmojuwono, S. (1994). Erotisme dalam Bahasa. Seri Penerbitan Ilmiah, 24-32.
Dayakisni, T., & Yuniardi, S. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
El-Syafa, Z. A. (2018). 16 Dosa Meninggalkan Salat Wajib. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Kompas-Gramedia.
Faiqah, F. N., & Amir, A. S. (2016). Youtube sebagai Sarana Komunikasi bagi Komunitas
Makassarvidgram. Jurnal Komunikasi KAREBA, 259-272.
Febriani, N. S., & Dewi, W. W. (2018). Teori dan Praktis Riset Komunikasi Pemasaran Terpadu.
Malang: UB Press.
Fitrah, M., & Luthfiyah. (2017). Metodologi Penelitian: Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas &
Studi Kasus. Sukabumi: CV Jejak.
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. New York: The Crowell-Collier Publishing Company.
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe.
Gunawan, F. R. (2003). Mengebor Kemunafikan Inul, Seks dan Kekuasaan. Tangerang: Galang
Press.
Guru, T. M. (2007). Ilmu Pengetahuan Sosial Sosiologi Untuk SMP dan MTS Kelas VII 2. Jakarta:
Esis.

xi
Universitas Bakrie

Hadi, S. (2019, July 21). Makna Gerakan Tari Gandrung Banyuwangi. (K. Mahadewi, Interviewer)
Hall, S., Evan, J., & Nixon, S. (2013). Representation Second Edition. New York: SAGE
Publications Ltd.
Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.
Yogyakarta: Kanisius.
Hershberger, A. K. (2008). Seksualitas Pemberian Allah. Jakarta: BPK.
Hoed, B. H. (2001). Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang: Yayasan Indonesiatera.
Hoed, B. H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hoed, B. H. (2014). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand De Saus Roland Barthes,
Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sanders Peirce, Marcel Danesi & Paul Perron,
dll. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, R. (2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.
Istijanto. (2005). Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Juliansyah, N. (2017). Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (1998). Pengantar Antropologi, Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lantowa, J., Maharayu, N. M., & Khairussibyan, M. (2017). Semiotika Teori, Metode, dan
Penerapannya dalam Penelitian Sastra. Yogyakarta: Deepublish.
Mills, J. (1993). Erotic Literature. Great Britain: Harper Collins Publisher.
Mujinem, M. (2010). NILAI-NILAI KEHIDUPAN SOSIAL DALAM PERMAINAN
TRADISIONAL ANAK DI DAERAH ISTIMEWA. Journal Humanika UNY, 45.
Retrieved from Journal Humanika UNY:
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/download/21000/11036
Murgiyanto, S. M., & Munardi, A. (1991). Seblang dan Gandrung : Dua Bentuk Tari Tradisi di
Banyuwangi. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan Jakarta.
Negara, D. A., Pratamawati, E. S., & Supriyono. (2012). Makna Tata Busana Tari Gandrung
Banyuwangi. Labas, 1-10.
Sare, Y., & Citra, P. (2008). Antropologi SMA/MA Kls XII. Jakarta: Grasindo.
Sinyo. (2014). Anakku Bertanya tentang LGBT. Jakarta: Kompas Gramedia.
Sobur, A. (2001). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Su'adah. (1992). Nilai Budaya di Era Modernisasi. Bestari, 81.
Sudjana, I. M. (1990). Nagari Blambangan (1736-1774). Jakarta: Universitas Indonesia.

xii
Universitas Bakrie

Sumardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.


Sumardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB Press.
Sutrisno, M., & Putranto, H. (2005). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tobing, N. L. (1993). Pola Kehidupan Sosial Budaya Using di Kabupaten Banyuwangi Propinsi
Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan.
Widyastutieningrum, S. R. (2007). Tayub di Blora Jawa Tengah: Seni Pertunjukan Ritual
Kerakyatan. Surakarta: ISI Press.

xiii
Universitas Bakrie

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN NARASUMBER

Narasumber: Bapak Sumitro Hadi (Budayawan Kabupaten Banyuwangi)


Diwawancarai pada hari Minggu, 21 Juli 2019 pukul 20:00 melalui sambungan telepon

Penulis: “Selamat malam, benar ini dengan Bapak SUmitro Hadi?”

Sumitro: “Malam Mbak. Iya benar”

Penulis: “Bagaimana kabarnya pak?”

Sumitro: “Alhamdulillah sehat-sehat. Ada yang bisa Saya bantu?”

Penulis: “Saya Kellina dari Universitas Bakrie ingin mewawancarai Bapak sebentar untuk tanya-
tanya perihal makna gerakan Tari Gandrung Banyuwangi”

Sumitro: “O iya, silakan Mbak”

Penulis: “Sebelumnya saya sudah melihat video Tari Gandrung pak. Di sana ada enam belas
gerakan yang sudah Saya catat. Saya mulai dengan gerakan pertama ya pak? Gerakan
ngiwir itu maknanya apa ya pak?”

Sumitro: “Ngiwir itu kan memegang sampur kemudian diangkat ke atas. Kalau orang melihat
sampur yang bergerak, diharapkan dapat tergerak hatinya nonton tari ini. Gerakan ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton. Jika sampur sudah diangkat,
diharapkan penonton tertarik untuk menyaksikan Tari Gandrung sampai selesai.”

Penulis: “Kalau gerakan penghormatan pak?”

Sumitro: “Kalau di jawa ada sembah panggung, nah fungsinya untuk menghormati penonton yang
datang.”

xiv
Universitas Bakrie

Penulis: “Kalau gerakan gedruk kiri?”

Sumitro: “Dalam masyarakat Jawa, kiri dianggap sesuatu yang kurang sopan dan kurang baik (gak
ilok). Dalam hal ini diharapkan penari Gandrung dapat membedakan hal-hal yang baik
dan tidak baik selama pertunjukan. Yang tidak supaya tidak dikerjakan.”

Penulis: “sedangkan gedruk kanan?”

Sumitro: “Dalam masyarakat Jawa, kanan dianggap sesuatu yang baik. Oleh karena itu
kebanyakan aktivitas sehari-hari menggunakan tangan kanan. Dalam hal ini diharapkan
penari Gandrung dapat membedakan hal-hal yang baik dan tidak baik selama
pertunjukan, supaya tidak melanggar norma.”

Penulis: “sedangkan gerakan sagah kiri dan kanan apa pak?”

Sumitro: “Dalam istilah di Banyuwangi, sagah berarti gagah atau tangguh. Hal ini mencerminkan
masyarakat Banyuwangi (baik laki-laki maupun perempuan) memiliki sifat tangguh,
meskipun terlihat lemah lembut tampak luar.”

Penulis: “kalau ngalang pak?”

Sumitro: “Ngalang, berarti melalang. Harapan dari pencipta Tari Gandrung, agar tarian ini dapat
melalang buana, bisa diterima dan dinikmati orang banyak.”

Penulis: “kalau gerakan sagah kanan dan kiri?”

Sumitro: “Sagah itu kan kalau Bahasa Banyuwangi gagah. Jadi menggambarkan sikap tangguh
dan gagah Masyarakat Banyuwangi, meskipun tampak lemah lembut dari luar.”

Penulis: “Selanjutnya ada ngiwir lagi. Ini sama seperti ngiwir yang di awal ya pak?”

xv
Universitas Bakrie

Sumitro: “Iya sama, untuk estetik aja supaya penonton tertarik”

Penulis: “Lalu tinjakan awal pak?”

Sumitro: “Dalam gerakan ini, penari meletakkan pandangannya ke bawah. Maksudnya agar penari
melihat apa yang dilangkahi dan berpikir dahulu sebelum melangkah.”

Penulis: “Kalau tinjakan akhir?”

Sumitro: “Ya sama saja seperti tinjakan awal”

Penulis: “Lanjut ke songkloh pak”

Sumitro: “Songkloh dalam istilah banyuwangi berarti pasrah. Hal ini mencermintan sifat pasrah
terhadap kehendak Tuhan atas segala hal yang terjadi.”

Penulis: “Kalau gerakan pengembangan sagah kanan tambah ngeupeut?”

Sumitro: “Kipas, dalam Tari Gandrung melambangkan getaran kesuburan. Tari ini pada dasarnya
merupakan permohonan masyarakat kepada Dewi Sri untuk memberikan hasil panen
yang melimpah.”

Penulis: “Kalau gerakan Nglayung pak?”

Sumitro: “Gerakan ini mempunyai makna sikap keseimbangan hidup, antara kehidupan duniawi
dan kehidupan pasca dunia yang dipegang teguh oleh Masyarakat Banyuwangi.”

Penulis: “kalau kencik nyerik kanan?”

Sumitro: “Merupakan gerakan perpindahan (transisi). Hal ini juga diharapkan penari Gandrung
dapat berpindah hidupnya menuju yang lebih baik.”

xvi
Universitas Bakrie

Penulis: “kalau sampur kipas ngiri?”

Sumitro: “Gerakan ini memiliki makna sapu jagad (tolak bala). Diharapkan Dewi Sri turun dari
Kayangan ke bumi untuk melindungi dari berbagai keburukan serta memberikan
kesuburan kepada para petani.”

Penulis: “kalau ngiwir sampur kipas pak?

Sumitro: “Ngiwir sampur memiliki makna terbang. Gerakan ini memiliki makna kembalinya Dewi
Sri ke Kayangan setelah memberikan berkahnya di Bumi.”

Penulis: “SUdah cukup pak. Terima kasih banyak atas waktu dan informasinya. Saya boleh minta
alamat Bapak? Saya ada souvenir”

Sumitro: “Ya, sama-sama, Mbak. Boleh, nanti saya SMS saja ya”

xvii
Universitas Bakrie

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN TRIANGULATOR

Narasumber: Dr. Devie Rahmawati, M.Hum., CPR


(Pengamat Sosial Universitas Indonesia)

Penulis: “Selamat Pagi Mbak Devie. Bagaimana kabarnya? Seperti yang sudah Saya jelaskan
sebelumnya melalui Whatsap bahwa maksud kedatangan Saya pagi ini ialah untuk
mewawancarai Mbak Devie sebagai Triangulator dalam skripsi Saya yang berjudul
“Representasi Erotisme FPI Banyuwangi terhadap Tari Gandrung Banyuwangi”.

Devie: “Selamat pagi. Kabar baik”

Penulis: “Jadi akhir tahun 2018 lalu terjadi pertentangan oleh FPI Banyuwangi yang memprotes
kegiatan Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, dengan alasan kegiatan tersebut dinilai
erotis dan sarat akan kemaksiatan. Bagaimana Tanggapan Mbak Devie selaku pengamat
sosial?”

Devie: “Ini kan memang problemnya sekarang ada kontestasi ideologi sejak reformasi itu karena
keran demokrasi dibuka itu menyebabkan ideologi apapun termasuk kelompok identitas
dari jazirah arab kemudian menyerbu bersama dengan aliran-aliran lain. Jadi ini satu proses
yang alamiah karena memang keran demokrasinya dibuka. Di zaman orde baru tidak ada,
karena hanya ada satu ideologgi, ideologi Pancasila. Nah kalau memang kemudian apa
yang akan terjadi ke depaannya dengan perilaku-perilaku FPI ini tepat atau tidak. Satu-
saunya cara kemudian untuk memastikan bahwa setiap masyarakat dapat hidup
berdampingan ya hukum. Nah artinya kita berkaca pada misalnya eropa, bagaimana
kemudian prancis misalnya sebagai studi kasus. Dia tidak mengizinkan simbol-simbol
agama apapun masuk ke prancis, di singapura juga misalnya demikian itu hanya diizinkan
dikenakan dilakukan di ruang ruang privat. Apa yang kemudian diusung oleh teman-teman
FPI misalnya jelas itu kaitannya erat dengan simbol agama tertentu. Nah sebenarnya
dengan mudah kita menengahi hal ini dengan ideologi Pancasila yang sampai saat ini masih
menjadi komitmen bersama. Artinya, apa yang dilakukan oleh FPI kalau sekedar

xviii
Universitas Bakrie

mengajukan protes itu adalah hak demokrasi, artinya siapapun boleh mengutarakan
pendapatnya. Namun ketika dalam mengutarakan pendapatnya prosesnya dilakukan
dengan cara-cara kekerasan itu yang menjadi problem. Jadi yang perlu kita pahami bahwa
siapapun elemen masyarakat ketika mereka merasa memiliki pendapat boleh sah-sah saja
menyatakan ini tidak bagus, ini tidak suka kemudian akan terbentuk ruang diskusi. Namun
ketika protes itu dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan yang mengganggu
kebebasan pendapat orang lain, sudah semestinya akan berhadapan dengan hukum yang
ada. Jadi cara yang paling adil dalam hal ini untuk menengahi permasalahan sosial di
masyarakat yakni kita berkaca pada komitmen bersama yakni konstitusi UUD’45 dan
hukum yang berlaku. Kemudian kalau anda sudah memukul orang untuk kemudian
mengikuti pendapat anda itu kan sudah criminal, tidak ada lagi dengan pendapatnya dia
karena perilaku itu kan sudah menyakiti orang lain. Jadi untuk pendapatnya sah-sah saja,
bagi kelompok yang mendukung ini merupakan sesuatu yang baik-baik saja.”

Penulis: “Berarti ini apakah menunjukkan kalau belum adanya toleransi antara FPI dengan
kearifan lokal setempat?”

Devie: “Nah itu dengan hadirnya banyak ideologi di negeri ini termasuk ideologi import atau
ideologi asing, tentu saja akan terjadi benturan budaya. Apa sih toleransi itu? toleransi ialah
suatu kondisi di mana kita, saya tidak perlu berpura-pura menjadi kamu dan kamupun tidak
perlu berpura-pura menjadi saya, tapi kita saling menghormati, menghargai, dan tidak
saling mengganggu. Artinya toleransi itu bukan berarti menjadikan orang lain menjadi kita,
atau sebaliknya kita menjadi orang lain. Demokrasi kita kan memang baru terutama setelah
orde baru. ini masih on the making atau masih dalam proses. Nah tidak heran makanya
kalau banyak kelompok masyarakat yang belum matang dalam memaknai apa sih
kebebasan itu. Kebebasan itu kan artinya kita menghormati kebebasan hak-hak orang lain,
bukan berarti saya bebas kamu terpenjara. Itu bukan demokrasi itu bukan kebebasan.
selama kemudian hak-hak mereka tidak mengganggu kita ya kita tidak boleh menyikapinya
secara berlebihan. Kalau FPI merasa ini porno ya tidak usah ditonton, kan sesimple itu
kalau anda merasa terganggu dengan hal ini. Dan ini kan juga dilakukannya di ruang-ruang
tertentu, artinya tidak di setiap sekolah, tidak di pesantren, ya sudah. itu yang disebut

xix
Universitas Bakrie

dengan toleran, kita tahu ada kelompok yang tidak nyaman dengan produk budaya ini dan
tentu saja produk budaya ini tidak akan dipamerkan di tempat itu. Tapi ini merupakan
proses yang wajar dalam memahami, memaknai, dan mengaktualisasi demokrasi. Pada
kasus ini terjadi adanya gap antara pemahaman dan aktualisasi. FPI begitu ekspresif
dengan pemikiran-pemikirannya yang kemudian dia sosialisasikan begitu luas kepada
masyarakat dan menarik perhatian karena sering kali menggunakan kekerasan kemudian
dia mengambil porsi apparat, misalnya melakukan sweeping. Anda tidak punya hak akan
itu, atas dasar apa? itu sudah menyalahi hukum. itu yang tidak boleh. Jadi bukan sekedar
tidak toleran dengan kearifan lokal tapi memang secara umum mereka belum paham apa
itu toleransi. Hal ini memungkinkan adanya arus balik, seperti yang saat ini ditunjukkan
orang bahwa semua orang kesal dengan perilaku-perilaku kekerasan yang sering dilakukan
FPI kemudian melakukan berbagai advokasi agar FPI tidak diperpanjang izinnya. Memang
mereka merasa kelompoknya yang paling hebat dan paling berhak mengatur negeri ini,
itulah yang menjadi problem, jadi bukan hanya sekedar pertentangan dengan budaya
lokal.”

Penulis: “Tapi kan saat ini muncul berbagai wacana bahwa antara budaya dengan agama tidak bisa
disatukan, menurut Mbak Devie bagaimana?”

Devie: “Sebagian ilmuwan dunia mengatakan bahwa agama bagian dari budaya. Banyak negara
yang memisahkan agama dengan politik dengan memilih menggunakan agama sebagai hak
privat yang tidak boleh diekspresikan di luar publik demi menjaga keharmonisan
masyarakat. Jadi tidak boleh ada simbol-simbol agama apapun, jadi sifatnya sangat adil.
Jadi banyak negara yang memisahkan agama dengan politik, bukan dengan budaya, karena
terminology budaya bagi beberapa ilmuwan dunia agama merupakan budaya.”

Penulis: “Tadi kan mbak devie sempat menyaksikan cuplikan tari gandrung, apakah menurut mbak
devie secara pribadi sebagai seorang penonton itu adalah sesuatu yang erotis?”

Devie: “Bicara persepsi, setiap orang pasti berbeda berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dan
rujukan dia pribadi akan sangat subjektif. Orang-orang seperti FPI juga punya rujukan

xx
Universitas Bakrie

sendiri mengenai erotisme, jadi jangankan yang seperti ini. Yang tidak memakai hijab atau
tersingkap sedikit misalnya sudah dianggap tertentu. Jadi kalau saya ditanya ini akan sangat
subjektif dan tidak bisa mewakili apapun, bisa saja melihatnya sebagai sesuatu yang erotis.
Tapi di sini kita melihatnya bukan erotisnya, tapi ditarikan dalam satu konteks tertentu
yakni dalam pameran budaya dengan konteks budaya ya tidak erotis. Tapi kalau
ditampilkannya dengan motif untuk menggoda ya bisa saja itu erotis. Contoh lain misalnya
ada pameran lukisan dengan tampilan tubuh yang terbuka itu tidak bisa dikatan semata-
mata sebagai erotisme, kalau itu tujuannya adalah bagian dari karya seni atau karya ilmu
pengetahuan untuk lebih mengenal tubuh misalnya itu kan akan berbeda. Jadi ini kita lihat
dari perspektif yang mana dulu, kalau dalam perspektif diskusi agama tentu saja akan
berbeda kalau dalam perspektif diskusi budaya tentu akan berbeda lagi. Kalau bicara seni
sebenarnya hampir sama di seluruh dunia. Gerakan tarian seperti ini (pada tari gandrung)
juga dapat ditemui di banyak negara, di Eropa, bahkan di Arab pun ada tari perut. Jadi
sebenarnya tidak ada yang berbeda. ini menunjukkan bahwa kita semua punya akar yang
sama. erotisme ini merupakan bagian seni yang ada di seluruh bangsa. Negara Arab yang
dianggap sebagai tuan rumah religiusitas agama tertentu punya budaya yang sama kan? tari
perut.”

Penulis: “FPI ini sebenarnya khawatir jika Tuhan akan menurunkan peringatan berupa azab kepada
masyarakat Banyuwangi karena telah menggelar kegiatan berbau maksiat. Mereka
bercermin pada bencana Palu. Bagaimana menurut Mbak Devie?”

Devie: “Ini sesuatu hal yang menarik. Bagaimana pemahaman mistis kalau dia benar-benar
menjalani agama Islam kan tidak boleh percaya dengan hal-hal demikian kita harus percaya
sama Allah SWT. Mau ada tarian seperti apapun kalau memang kata Tuhan belum ya tidak
akan terjadi bencana. Ini kan menarik antara kepercayaan bahwa azab/mistik/dan
sebagainya kemudian bercampur dengan kepercayaan agama.”

Penulis: “Terima kasih Banyak Mbak, atas waktu dan informasi yang telah diberikan”

Devie: “Sama-sama”

xxi

Anda mungkin juga menyukai