Anda di halaman 1dari 151

PERGESERAN PENGGUNAAN BAHASA

DALAM KOMUNIKASI MASYARAKAT DI DESA BUKIT MULIA


KABUPATEN TANAH LAUT

SKRIPSI

Oleh

Deni Hermawan
NIM 1810116210028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
BANJARMASIN
2022
PERGESERAN PENGGUNAAN BAHASA
DALAM KOMUNIKASI MASYARAKAT DI DESA BUKIT MULIA
KABUPATEN TANAH LAUT

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaiakan
Program Strata S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh
Deni Hermawan
NIM 1810116210028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
BANJARMASIN
2022

i
1i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Deni Hermawan


NIM : 1810116210028
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan/Sarjana
Universitas Lambung Mangkurat

menyatakan bahwa skripsi yang telah ditulis ini benar-benar merupakan hasil karya
sendiri, bukan tiruan atau pikiran orang lain yang diakui sebagai hasil tulisan atau pikiran
sendiri. Jika nanti terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil tiruan, penulis bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Banjarmasin, Januari 2021

Yang membuat pernyataan

Deni Hermawan
NIM 1810116210028

ii
ABSTRAK

Hermawan, Deni. 2021. Pergeseran Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi


Masyarakat di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.
FKIP. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Pembimbing: (I) Prof. Dr.
Jumadi, M.Pd.; (II) Dr. Moh. Fatah Yasin, M.Pd.
Kata kunci: pergeseran bahasa, komunikasi, masyarakat
Desa Bukit Mulia merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Tanah Laut.
Masyarakat yang bermukim di sana berasal dari Pulau Jawa melalui program transmigrasi
pemerintah pada tahun 1984. Pada awalnya bahasa yang digunakan masyarakat untuk
berkomunikasi ialah bahasa Jawa. Seiring berjalannya waktu, penggunaan bahasa asli
masyarakat Desa Bukit Mulia, yaitu bahasa Jawa perlahan-lahan mulai mengalami
pergeseran. Masyarakat beralih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud pergeseran penggunaan bahasa
dalam komunikasi masyarakat Desa Bukit mulia yang terbagi dalam ranah keluarga,
masyarakat, dan pemerintahan serta mengetahui faktor penyebabnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu wawancara, observasi,
dan simak. Data dalam penelitian ini berupa tuturan langsung masyarakat. Sumber data
dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga ranah, yaitu keluarga, masyarakat, dan
pemerintahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa di Desa Bukit
Mulia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah keluarga dan pemerintahan telah
menggeser keberadaan bahasa Jawa. Selain itu, dalam ranah masyarakat keberadaan
bahasa Jawa mulai tergeser oleh bahasa Indonesia dan bahasa Banjar. Pengaruh
penggunaan bahasa dalam ketiga ranah tersebut dipengaruhi oleh waktu dan tempat
(setting and science), pihak terlibat (paticipants), maksud dan tujuan (ends), bentuk dan
isi ujaran (act sequences), nada dan cara (key), norma aturan (norms of interaction and
interpretations), dan bentuk penyampaian (genres). Faktor yang memengaruhi
pergeseran bahasa di desa tersebut ada 7, yaitu: 1) pendidikan; 2) keluarga; 3) lingkungan;
4) media elektronik; 5) transmigrasi; 6) arus mobilisasi; 7) usia.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan berkah,
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Pergeseran Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat di Desa Bukit
Mulia Kabupaten Tanah Laut. Solawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam yang telah menuntun semua insan di bumi
ini menuju jalan kebaikan. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi syarat
memperoleh gelar S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu, yakni:

1. Dr. Chairil Faif Pasani, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lambung
Mangkurat;
2. Dr. Jumariati, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni;
3. Dr. Sabhan., M.Pd., selaku Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia;
4. Prof. Dr. Jumadi, M.Pd., selaku Pembimbing I;
5. Dr. Moh. Fatah Yasin., selaku Pembimbing II;
6. Dosen dan Staf Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
ULM yang telah memberikan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa;
7. Ayah, Ibu, dan Seluruh Keluarga yang selalu memberikan dukungan dan kasih
sayang kepada penulis;
8. Aparat Desa dan Masyarakat Desa Bukit Mulia yang telah sudi membantu
pelaksanaan penelitian;
9. Semua Temanku Angkatan 2018 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan kebahagian selama
proses pembelajaran;

iv
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya, dan pembaca umumnya. Semoga Allah Swt. senantiasa melimpahkan
pahala dan karunia-Nya kepada kita.

Banjarmasin, 18 Januari 2022


Penulis,

Deni Hermawan
NIM 1810116210028

v
DAFTAR ISI

PENGESAHAN..................................................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................................ ii
ABSTRAK....................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................................vi
DAFTAR BAGAN ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
1.5 Penegasan Istilah ............................................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................................... 11
2.1 Sosiolinguistik .................................................................................................11
2.2 Masalah-Masalah Sosiolinguistik ...................................................................12
2.3 Peristiwa Tutur ................................................................................................ 13
2.4 Alih Kode dan Campur Kode..........................................................................15
2.5 Bilingualisme ..................................................................................................17
2.6 Pergeseran Bahasa........................................................................................... 18
2.7 Pergeseran Penggunaan Bahasa ......................................................................23
2.8 Faktor Penyebab Pergeseran Bahaa ................................................................ 25
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 29
3.1 Pendekatan Penelitian ..................................................................................... 29
3.2 Tempat Penelitian ........................................................................................... 29
3.3 Data dan Sumber Data .................................................................................... 30
3.4 Teknik Pengumpulan Data ..............................................................................31
3.5 Teknik Analisis Data ....................................................................................... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................ 35
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................... 35
4.1.1 Ranah Keluarga .................................................................................... 35
4.1.2 Ranah Masyarakat ................................................................................ 42
4.1.2.1 Kegiatan Keagamaan ................................................................ 42
4.1.2.2 Transaksi Jual Beli....................................................................49
4.1.2.3 Posyandu ................................................................................... 52
4.1.2.4 Resepsi Pernikahan ...................................................................59
4.1.3 Ranah Pemerintahan .............................................................................68
4.1.3.1 Rapat Evaluasi Tahunan Remaja Masjid ..................................68
4.1.3.2 Rapat Tingkat Dusun dan Desa ................................................ 72
4.1.4 Faktor Penyebab Pergeseran Bahasa .................................................... 75
4.2 Pembahasan .....................................................................................................90
BAB V PENUTUP ........................................................................................................104
5.1 Simpulan .......................................................................................................104
5.2 Saran.............................................................................................................. 106

vi
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................107
LAMPIRAN .................................................................................................................. 112
Lampiran 1 Pedoman Observasi .................................................................................... 113
Lampiran 2 Pedoman Wawancara ................................................................................. 115
Lampiran 3 Hasil Wawancara ....................................................................................... 117
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian .............................................................................131
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian ................................................................................... 141

vii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 ......................................................................................................................... 21


Bagan 4.1 ......................................................................................................................... 92
Bagan 4.2 ......................................................................................................................... 99
Bagan 4.3 ....................................................................................................................... 100

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Bukit Mulia merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Tanah

Laut. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Desa Bukit Mulia berasal dari Pulau

Jawa melalui program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1984.

Luas wilayah Desa Bukit Mulia adalah 1.034 Ha dengan jumlah penduduk sebesar

628 KK atau sekitar 2758 jiwa. Namun, penduduk di Desa Bukit Mulia terbagi

menjadi dua wilayah, sehingga tidak semua penduduk berada dalam satu lingkup

wilayah. Sekitar setengah dari jumlah penduduk desa berada di sekitar jalan provinsi

atau disebut dengan nama wilayah Blok C dan sisanya lagi menetap di wilayah

perkebunan kelapa sawit milik perusahaan atau biasa dikenal dengan nama wilayah

Pondok. Pada awalnya bahasa yang digunakan masyarakat untuk berkomunikasi

sehari-hari ialah bahasa Jawa, tetapi seiring dengan perkembangan zaman masyarakat

sedikit demi sedikit beralih menggunakan bahasa lain untuk berkomunikasi

Berdasarkan hasil pengamatan awal yang didapat oleh peneliti bahwa ada tiga

bahasa yang digunakan oleh masyarakat Desa Bukit Mulia untuk berkomunikasi

sehari-hari, yaitu bahasa Jawa sebagai bahasa dominan, bahasa Banjar, dan bahasa

Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut cenderung disesuaikan oleh masyarakat

setempat tergantung dengan lawan tutur berdasarkan usia. Penutur tua akan memilih

menggunakan bahasa Indonesia jika berbicara dengan keturunan muda mereka.

1
Namun, penutur tua tetap menggunakan bahasa mereka jika berbicara dengan lawan

tutur seusia dengan beberapa campuran bahasa Indonesa dan bahasa Banjar.

Sahril (2018) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi

bahasa dapat dipertahankan oleh penuturnya. Faktor-faktor tersebut juga menjadi

alasan mengapa bahasa dapat bergeser atau sebaliknya dapat dipelihara. Faktor yang

paling jelas yang dapat memengaruhi pergeseran bahasa adalah sikap penutur

terhadap bahasa daerahnya sendiri. Selaras dengan pendapat tersebut, penutur tua

memilih untuk mempertahakan bahasanya untuk menujukkan identitas sosialnya agar

tidak luntur dan tetap ada tetapi hal itu akan berdampak pada hilangnya identitas sosial

pada generasi muda. Para orang tua yang memiliki anak kecil lebih memilih

menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dibandingkan dengan bahasa

Jawa kepada anak-anak mereka. Mustikasari dan Astuti (2020) menyatakan

penggunaan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu,

menyebabkan anak-anak pada tingkat Taman Kanak-Kanak dan Kelompok Bermain

mengalami pergeseran penggunaan bahasa Jawa. Hal tersebut terjadi dalam ranah

pendidikan di Desa Bukit Mulia. Berbeda dengan zaman sebelumnya yang masih

mengajarkan anak-anaknya berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Dikemukakan oleh Amar (dalam Mardikantoro, 2007:43) bahwa proses

pergeseran bahasa merupakan satu peristiwa sejarah karena lambat laun bahasa ibu

bagi kelompok penutur ini akan mengalami kepunahan sama sekali. Pergeseran

bahasa merupakan fenomena sosiolinguistik yang rentan terjadi pada masyarakat

pengguna lebih dari satu bahasa atau dwibahasa. Masyarakat dwibahasa di Desa Bukit

Mulia banyak terjadi pada kalangan remaja yang tengah menempuh pendidikan dan

bekerja baik di dalam maupun luar daerah. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari

2
untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di dalam desa tentu berbeda dengan

yang di luar daerah. Hal tersebut menimbulkan adanya pergeseran bahasa yang lambat

laun akan memunahkan bahasa asal di Desa Bukit Mulia. Syarifuddin dan Irmayani

(2010) mengungkapkan kebutuhan berkomunikasi secara verbal diperlukan oleh

semua manusia dari berbagai lapisan. Berbeda dengan kelompok yang lain, kelompok

remaja memiliki kekhasan tersendiri. Remaja cenderung menggunakan pilihan bahasa

yang dianggapnya baru dan tidak kuno untuk berkomunikasi dengan teman

sebayanya.

Penggunaan bahasa daerah dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern oleh

generasi muda. Mereka cenderung memakai bahasa nasional dan bahasa gaul untuk

berkomunikasi. Tidak sedikit dari mereka juga memakai bahasa yang memiliki

mobilitas tinggi di wilayah tersebut yakni bahasa Banjar, bahasa daerah asli dari

Kalimantan Selatan. Rafiek (2010) menyatakan bahasa yang mengalami pergeseran

dan keterdesakan ditandai oleh adanya penutur dari bahasa tersebut yang didominasi

oleh para tetua dan warga separuh bayanya, yang merefleksikan tidak adanya

pengalihan bahasa itu ke generasi mudanya. Hal tersebut mengindikasikan pula

adanya bahasa lain yang dianggapnya penting untuk masa depannya. Peristiwa itu

merupakan salah satu pemicu terjadinya pergeseran bahasa di wilayah tersebut.

Bahasa Banjar adalah bahasa lokal daerah Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, sangat

lazim apabila remaja di Desa Bukit Mulia sering mendengarkan dan berbicara

langsung menggunakan bahasa Banjar dengan penduduk asli Kalimantan Selatan di

daerah perkotaan saat ia menempuh pendidikan atau bekerja. Sehingga hal tersebut

terbawa ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang sesama suku Jawa bahkan

dengan anak-anaknya.

3
Bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri akan hilang secara perlahan

karena tidak ada yang menggunakannya. Pergeseran bahasa yang terjadi di setiap

ranah lingkungan membawa dampak bagi lunturnya identitas sosial masyarakat.

Pelestarian bahasa daerah kepada generasi selanjutnya penting untuk dilakukan agar

tidak terjadi kepunahan bahasa. Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan anak-

anak banyak tercatat sebagai bilingualisme. Masruddin (2015) mengungkapkan

bilingualisme mengacu pada seseorang yang mampu menggunakan lebih dari satu

atau dua bahasa. Kedwibahasaan (bilingualsm) tersebut merupakan sebuah fenomena

yang berdampak pada penggunaan bahasa pada seseorang dalam proses komunikasi

terhadap penguasaan berbagai bahasa. Bahasa yang didapat oleh anak-anak

cenderung beragam jika ia berasal dari keluarga transmigran. Orang tua akan

berbahasa Indonesia kepada anak mereka untuk menyesuaikan diri dengan bahasa

dilingkungannya yang sudah bercampur dengan masyarakat di daerah tersebut. Hal

tersebut selaras dengan Mustika (2018) yang menyatakan pola penggunaan bahasa

yang tidak stabil cenderung menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa (language

shifting), bahasa daerah atau bahasa ibu akan tergeser oleh penggunaan bahasa

nasional dan bahasa asing dikalangan masyarakat.

Pada kenyataanya, saat ini bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa

yang prestsius atau populer, yang artinya bahasa Indonesia digunakan oleh golongan

berstrata sosial menengah dan memiliki pendidikan tinggi sehingga bahasa Indonesia

dianggap sebagai bahasa orang-orang yang berada atau kaum elit di Indonesia.

Indikasi fenomena pergeseran penggunaan bahasa yang terjadi di Desa Bukit Mulia,

dipengaruhi oleh kecenderungan mereka dalam menggunakan bahasa Indonesia dan

bahasa Banjar untuk berkomunikasi baik dalam ranah keluarga hingga masyarakat.

4
Jika dilihat dari sudut pandang ilmu sosiolinguistik, masyarakat Jawa dikenal dengan

masyarakat yang menjunjung tinggi norma kesantuan dan menjaga adat istiadat,

seharusnya sebagai masyarakat Desa Bukit Mulia semakinj terbiasa dan mahir dalam

berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa, baik ngoko maupun kromo. Di dalam

suatu keluarga, idealnya penggunaan bahasa yang dipakai adalah bahasa ibu yaitu

bahasa Jawa. Namun, realitanya saat bahasa Indonesia sudah dijadikan bahasa ibu

oleh masyarakat Desa Bukit Mulia. Bahasa Jawa hanya diperkenalkan sekilas dan

sepintas ketika proses komunikasi terjadi.

Penelitian mengenai peristiwa pergeseran bahasa sudah dilakukan oleh peneliti

terdahulu yaitu penelitian berjudul “Pergeseran Bahasa Sasak di Sebamban

Kabupaten Tanah Bumbu” yang dilakukan oleh Kamariah dan Abdillah (2016).

Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pergeseran bahasa Sasak dapat

dibuktikan dari banyaknya penutur bahasa Sasak asli yang justru lebih memilih

menggunakan bahasa lain, seperti bahasa Banjar dan bahasa Indonesia. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Sururi yang berjudul “Pergeseran

Penggunaan Bahasa Jawa di Kalangan Anak-Anak di Desa Sukoharjo Kabupaten

Banyuasin”. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa telah terjadi peristiwa

pergeseran penggunaan bahasa Jawa terhadap bahasa nasional yang dialami anak-

anak di Desa Sukoharjo. Pergeseran bahasa tersebut terjadi dalam tiga ranah

kehidupan, yaitu keluarga, lingkungan dan keagamaan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sahril (2018) dengan judul “Pergeseran

Bahasa Daerah pada Anak-Anak di Kuala Tanjung Sumtera Utara”. Penelitiannya

mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa daerah oleh orang tua dan anak dalam

ranah keluarga tetap memicu terjadinya pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa

5
di kalangan anak-anak meskipun bahasa daerah tersebut dituturkan di daerah asalnya.

Penelitian lain tentang pergeseran bahasa dilakukan oleh Putri (2018) dengan judul

“Pergeseran Bahasa Daerah Lampung pada Masyarakat Kota Bandar Lampung”. Di

dalam penelitiannya ditemukan bahwa bahasa daerah Lampung telah mengalami

pergeseran bahasa karena masyarakat Lampung asli bukanlah sebagai mayoritas.

Fakta yang ada pada lapangan menunjukkan bahasa Lampung tidak menjadi tuan

rumah di daerah sendiri. Masyarakat asli yang ditinggal di Kota Lampung tidak

percaya diri memakai bahasa Lampung untuk berkomunikasi. Selain itu, masyarakat

Lampung asli tidak mampu memengaruhi pendatang atau transmigran menggunakan

bahasa Lampung. Jika peristiwa tersebut terus dibiarkan terjadi, tentu hal tersebut bisa

saja mengakibatkan bahasa Lampung akan punah dan menjadi bahasa yang

ditinggalkan oleh penutur asli.

Selain itu, berdasarkan 11 bahasa daerah yang dikemukakan oleh Rafiek (2010)

yaitu bahasa Angkola, Bali, Cina (di Medan), Karo, Lampung, Mandailing, Melayu

Banjar, Melayu Loloan, Melayu Medan, Mentawai, dan Tonsea (Sulut), terdapat

sebanyak 7 bahasa daerah tersebut yang mengalami peristiwa pergeseran bahasa dan

hanya ada 4 bahasa yang masih melakukan pemertahanan. Bahasa-bahasa yan telah

bergeser yaitu bahasa daerah Angkola, Bali, Lampung, Mandailing, Melayu Medan,

Mentawai, dan Tonsea (Sulut). Sedangkan bahasa yang masih mengalami

pemeratahan yaitu bahasa Cina (di Medan), Karo, Melayu Banjar, dan Melayu

Loloan. Sebagian besar bahasa yang telah mengalami pergeeran disebabkan oleh

bilingualisme (kedwibahasaan). Melalui hal ini, keberadaan bahasa Jawa tampaknya

akan mengalami nasib yang sama seperti ke 7 bahasa yang telah mengalami

pergeseran. Masyarakat Desa Bukit Mulia merupakan masyarakat yang dwibahasa,

6
mereka mampu memahami dan menggunakan dua bahasa dalam suatu komunikasi

sehingga memungkinkan bahasa Jawa sebagai bahasa asli masyarakat Desa Bukit

Mulia akan tergeser oleh penggunaan bahasa lainnya, yaitu bahasa Indonesia dan

bahasa Banjar.

Penelitian ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan untuk dijadikan bahan

kajian. Peristiwa pergeseran bahasa sangat nampak di Desa Bukit Mulia khususnya

bagi generasi muda yang sudah tidak menggunakan bahasa Jawa untuk

berkomunikasi. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk mendeskripsikan wujud

pergeseran bahasa yang terjadi di masyarakat dan menganalisis faktor-faktor

penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah

mengapa masyarakat Desa Bukit Mulia lebih sering menggunakan bahasa Indonesia

dan bahasa Banjar untuk berkomunikasi dengan penutur yang lebih muda. Selain itu,

penelitian pergeseran bahasa akan menghasilkan temuan baru yang bersifat ilmiah

dan dapat teruji kebenarannya, sehingga dari penelitian ini peneliti bisa memberikan

solusi dari masalah pergeseran bahasa yang dialami oleh masyarakat di Desa Bukit

Mulia. Bahasa daerah yang seharusnya memiliki posisi sebagai lambang kebanggaan

dan identitas daerah, serta fungsinya sebagai bahasa komunikasi utama dalam

kehidupan keluarga dan bermasyarakat kini telah tergantikan oleh bahasa lain.

Fenomena inilah yang mendorong peneliti untuk melaksanakan penelitian dengan

judul “Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat di Desa Bukit Mulia

Kabupaten Tanah Laut”.

7
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, rumusan masalah dari

penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana wujud pergeseran bahasa dalam ranah keluarga, masyarakat, dan

pemerintahan di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut?

2. Bagaimana faktor-faktor yang dapat memengaruhi pergeseran bahasa pada

masyarakat di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari

penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan wujud pergeseran penggunaan bahasa dalam ranah keluarga,

masyaarakat, dan pemerintahan di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut.

2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pergeseran bahasa pada masyarakat

di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat toeritis dan praktis.

manfaat teoritis dari penelitian berjudul “Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi

Masyarakat Transmigrasi Jawa di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut”

diharapkan mampu memberikan sumbangan dan wawasan pengetahuan bagi

perkembangan ilmu pendidikan dan pengetahuan terutama dalam disiplin ilmu

Sosiolinguistik tentang pemakaian bahasa Jawa, bahasa Banjar, dan bahasa Indonesia

8
di era saat ini. Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat bagi pembaca, pendidik,

dan peneliti. Di dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah, bahasa yang

dipakai ialah bahasa nasional. Namun, penggunaan bahasa daerah juga harus tetap

digunakan untuk menjaga identitas sosial agar tidak hilang dari jati diri peserta didik.

Bagi pendidik, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam

penyesuaian penggunaan bahasa saat pembelajaran di sekolah maupun luar sekolah

agar pendidik dapat berkomunikasi dan menjalin hubungan yang erat antara pendidik

dan peserta didik. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

pengetahuan dan wawasan tentang pergeseran bahasa yang terjadi di masyarakat

terutama di daerah transimgrasi. Bagi peneliti, penelitian ini dapat digunakan untuk

mengetahui fenomena pergeseran bahasa yang telah terjadi di lingkungannya sendiri.

Selain itu, bagi lembaga pendidikan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan kajian khususnya untuk mahasiswa Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia.

1.5 Penegasan Istilah

Penegasan istilah digunakan untuk memberikan penjelasan dan batasan agar

dapat membantu pembaca dalam memahami penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan

agar tidak terjadi kesalahpahaman antara peneliti dan pembaca. Oleh karena itu,

peneliti memberikan batasan-batasan sebagai berikut.

Pergeseran bahasa adalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau

sekelompok penutur yang terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke

masyarakat tutur yang lain. Pergeseran bahasa mengacu pada proses perpindahan atau

pergantian bahasa satu ke bahasa yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena

masyarakat bahasa itu mulai meninggalkan bahasa yang telah digunakannya dan

9
beralih menggunakan bahasa lainnya. Pergeseran bahasa yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah peralihan penggunaan bahasa dari bahasa Jawa ke bahasa

Indonesia dan bahasa Banjar.

Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak yang

lainnya agar memperoleh kesepemahaman antara dua belah pihak. Pada penelitian ini

yang akan diteliti ialah komunikasi lisan yang terjadi di antara masyakarat saat

berinteraksi satu sama lain.

Masyarakat adalah sekelompok orang yang hidup dan tinggal bersama dalam

suatu wilayah sehingga terjadi interaksi antara mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Pada penelitian masyrakat yang akan diteliti terdiri dari empat orang remaja dan tiga

orang dewasa.

10
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sosiolingistik

Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat, mengaitkan

antara dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah yakni bahasa oleh masyarakat dan

bahasa oleh linguistik. Sosiolinguistik terdiri dari dua unsur yaitu socio dan linguistic.

Socio memiliki arti sosial yang erat kaitannya dengan masyarakat dan kelompok-

kelompok sosal, sedangkan linguistic merupakan ilmu yang mempelajari bahasa.

Istilah sosiolinguistik pertama kali dikenalkan Haver C. Currie pada tahun 1952

dalam sebuah karangan yang dimuat dalam A. Varius Language, yang di dalamnya

terdapat saran tentang penelitian yang berfokus pada perilaku ujaran dengan strata

sosial masyarakat (Rafiek, 2010). Hudson (dalam Rafiek, 2010:2) mengartikan

sosiolinguistik nerupana studi yang mengkaji mengenai bahasa yang digabungkan

dengan dengan masyarakat. Bahasa dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang

tak dapat dipisahkan. Di dalam satu lingkup masyarakat pasti terdapat bahasa asli

yang digunakan untuk berkomunikasi.

Chaer dan Agustina (2010) mendefinisikan sosiolinguistik adalah sebuah cabang

ilmu linguistik yang memiliki sifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi serta objek

penelitian yang berhubungan dengan bahasa dan faktor-faktor sosial dalam satu

lingkup masyarakat tutur. Nababan (1993) menyatakan sosiolinguistik adalah studi

yang membahas mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan bahasa dan masyarakat

atau kemasyarakatan bahasa, khususnya variasi bahasa. Sosiolinguistik merupakan

kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa

11
digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah

sebagai subjek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara

kelompok yang satu dengan yang lain.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli yang telah dipaparkan, peneliti mengartikan

bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang

hubungan antara bahasa dan masyarakat. Bahasa tidak terlepas dari masyarakat.

Fenomena bahasa yang terjadi di masyarakat akan terus terjadi sepanjang waktu. Oleh

karena itu, cabang ilmu sosiolinguistik selalu berkaitan dengan aspek-aspek sosial

masyarakat.

2.2 Masalah-Masalah Sosiolinguistik

Permasalahan cabang ilmu sosiolinguistik telah dikonferensikan pertama kali

pada tahun 1964 di University of California, Los Angeles. Pada konferensi tersebut

telah dirumuskan bahwa terdapat tujuh dimensi yang menjadi masalah-masalah

sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut adalah; 1) Identitas sosial dari penutur; 2)

Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam komunikasi; 3) Lingkungan sosial

tempat peristiwa tutur terjadi; 4) Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek

sosial; 5) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk

ujaran; 6) Tingkatan variasi dan ragam linguistik; dan 7) Penerapan praktis dari

penelitian sosiolingistik. Dari berbagai permasalahan sosiolinguistik tersebut,

identitas sosial memiliki peran aktif dalam pergeseran bahasa dalam penelitian ini.

Nababan (1993) menjelaskan terdapat tiga masalah utama yang dibahas dalam

sosilingustik, yakni; 1) mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan; 2)

menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa melalui situasi

12
serta faktor-fakor sosial dan budaya; dan 3) mengkaji fungsi-fungsi sosial dan

penggunaan bahasa dalam masyarakat. Setiap topik yang menjadi masalah dalam

sosiolinguistik memiliki unsur-unsur yang dapat dikaji, seperti masalah pergeseran

bahasa yang memiliki kaitan antara bahasa, konteks sosial masyarakat, dan

kebudayaan.

2.3 Peristiwa Tutur

Chaer dan Agustina (2010) menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah proses

terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau

lebih yang melibatkan antara dua pihak yaitu penutur dan mitra tutur dengan satu

pokok pikiran dan terjadi dalam satu waktu, tempat, dan situasi. Peristiwa tutur sering

kita alami di kehidupan sehari-hari, baik saat kita sedang berkomunikasi dengan

keluarga di rumah, teman-teman di sekolah, dan rekan kerja di kantor. Peristiwa tutur

dilakukan agar kedua belah pihak memperoleh tujuan dan maksud tertentu. Dell

Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 48) menjelaskan bawah terdapat delapan

komponen yang harus terpenuhi dalam suatu peristiwa tutur. Komponen-komponen

itu jika dirangkai akan membentuk akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu

adalah:

1) Speaking (Setting dan scene)

Setting berkenaan dengan waktu dan tempat kejadian peristiwa tutur

berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat, waktu, dan kondisi

psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan tentu sangat

berpengaruh dalam penggunaan bahasa seseorang. Berbicara saat berada di

lapangan sepak bola saat situasi yang ramai penonton tentu berdengan dengan

13
berbicara saat berada di perpustakaan yang terdapat banyak orang sedang

membaca buku dan dalam keadaan yang sunyi. Pada saat di lapagan sepak bola

kita bisa berbicara dengan keras, tetapi saat di ruang perpustkaan kita akan

mengceilkan nada suara ketika berbicara.

2) Participants

Particpants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam suatu pertuturan. Pada

komponen ini, status sosial partisipan menentuka ragam bahasa yang digunakann.

Hal tersebut dapat dicontohkan apabila terdapat seorang anak yang menggunakan

ragam atau gaya bahasa yang berbeda jika ia berbicara dengan orang tuanya atau

gurunya dibandikan saat ia berbicara dengan teman-teman sebayanya. Jika

berbicara dengan orang tua dan guru, anak terkesan lebih sopan dan menghindari

kata-kata gaul yang biasa ia gunakan kepada teman-temannya.

3) Ends

Ends mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan. Contohnya saat peristiwa

tutur yang terjadi di sebuah kelas dalam perkuliahan linguistik. Dosen

memberikan dan menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami oleh mahasiswa.

Namun, barangkali di antara para mahasiswa ada yang datang hanya untuk

mengisi presensi agar tidak di absen pada mata kuliah linguistik.

4) Act Squences

Act Squences merujuk pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran

berkaitan dengan kata-kata yang digunakan dan bagaimana konteks

penggunaannya. Bentuk ujaran yang terjadi dalam seminar nasional dan

percakapan biasa tentu berda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan di

dalamnya.

14
5) Key : tone or spirit of act

Key mengacu pada nada, cara, dan semangat dalam suatu tuturan. Suatu

pesan dapat disampaikan dengan senag hati, serius, marah, sedih, dan lain-lain.

Hal ini juga bisa ditunjukkan dengan gerakan tubuh dan bahasa isyarat.

6) Instrumentalities

Insttrumentalities merujuk pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur

lisan dan tertulis. Hal ini juga berkaitan dengan kode ujaran yang digunakan,

seperti bahasa, dialek, fragam atau register.

7) Norms of interaction and interpretation

Norm of interaction and interpretation merujuk pada norma aturan ketika

berinteraksi. Contohnya segala hal yang berhubungan dengan sanggahan, intrupsi,

bertanya, dan sebagainya.

8) Genres

Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, doa,

pepatah, dan lain-lain.

2.4 Alih Kode dan Campur Kode

Alih kode dan campur kode merupakan suatu peristiwa yang lazim terjadi pada

kehidupan masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih dalam komunikasi

sehari-hari. Para ahli ada yang mengatakan bahwa kedua hal ini memiliki kesamaan

dan susah untuk dibedakan. Menurut Hill dan Hill (dalam Rafiek, 2010: 61) dalam

penelitiannya tentang penggunaan bahasa pada masyarakat bilingual bahasa Spanyol

dan Nahuali di Kelompok Indian Meksiko, menyatakan bahwa tidak terdapat harapan

untuk bisa membedakan antara alih kode dan campur kode. Berdasarkan pernyataan

15
tersebut, alih kode dan campur kode adalah hal yang sama. Persamaan antara alih

kode dan campur koede yaitu terdapat pada penggunaan dua bahasa atau lebih dalam

satu masyarakat tutur. Namun, terdapat juga ahli yang membedakan dua hal tersebut.

Appel (dalam Chaer dan Aguustina, 2010:106) menyatakan bahwa alih kode

merupaka suatu gejala peralihan bahasa karena berubahnya situasi. Peristiwa alih

kode dapat digambarkan pada suatu berikut ini. Joko dan Roni merupakan orang yang

berasal dari suku Jawa. Mereka sedang berbincang-bincang menggunakan bahasa

Jawa, kemudian Toni mendatangi mereka dan ingin bergabung dalam percakapannya.

Namun, sayangnya Toni tidak bisa berbahasa Jawa karena Toni berasal dari suku

Banjar. Agar percakapan ketiga orang tersebut bisa berjalan lancar dan sama-sama

saling memahami, maka mereka beralih menggunakan bahasa Indonesia. Itulah yang

dinamakan dengan peristiwa alih kode.

Rafiek (2010) membagi alih kode menurut waktu atau lama terjadinya terbagi

menjadi dua, yakni alih kode sementara dan alih kode tetap. Alih kode sementara

terjadi ketika terdapat peralihan kode bahasa yang sifatnya hanya sementara saat

proses komunikasi berlangsung antara penutur dan lawan tutur. Contohnya penutur

bahasa Dayak Ngaju yang berkomunikasis memnggunakan bahasa Banjar atau bahasa

Indoensia saat melakukan interkasi dengan orang yang berasal dari luar sukunya.

Namun, saat ia berkomunikasi dengan sesama suku dan keluarganya maka ia akan

kembali menggunakan bahasa pertamanya. Sementara itu, alih kode tetap merupakan

peristiwa alih kode yang terjadi secara tetap oleh penutur atau lawan tutur. Contohnya

seorang yang tinggal di daerah yang masyarakatnya hanya mampu menggunakan satu

bahasa saja sehingga mengaharuskan dia untuk menyesuaikan penggunaan bahasa

disekitarnya.

16
Sedikit berbeda dengan alih kode, ciri yang paling menonjol dari campur kode

berdasarkan Nababan (1993) adalah terletak pada kesantaian atau situasi informal.

Pemakaian campur kode juga memiliki tujuan untuk lebih mengakrabkan antara

penutur dan mitra tutur. Contohnya saat mahasiswa sedang berbicara dengan dosen,

ia memasukan bahasa Banjar dalam percakapannya dengan tujuan lebih

mengakrabkan diri karena berasal dari latar belakang suku yang sama. Campur kode

jarang terjadi pada situasi yang formal. Jika terdapat campur kode dalam situasi

tersebut dapat disebabkan tidak adanya kata atau ungkapan yang tepat dalam bahasa

yang sedang dipakai, sehingga penutur memilih menggunakan kata atau ungkapan

dari bahasa lain. Rafiek (2010) membagi campur kode menjadi dua, yaitu campur

kode disengaja dan tidak disengaja. Campur kode disengaja adalah pencampuran kode

bahasa yang dilakukan secara senagaja oleh penutur agar mitra tutur mudah

memahami maksud tuturan. Sedangkan campur kode tidak sengaja terjadi apabila

penutur dan mitra tutur terlalu asyik berkomunikasi sehingga melupakan bahasa yang

sebelumnya mereka pakai.

2.5 Bilingualisme

Bilinguaslime berasal dari bahasa inggris yaitu bilingualism yang artinya

kedwibahasaan. Secara harfiah, bilingualisme berkaitan dengan penggunaan dua

bahasa atau dua kode bahasa. Kridalaksana (dalam Rafiek, 2010:38) mendefinisikan

kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih pada seseorang atau suatu

masyarakat tutur. Apabila di dalam suatu wilayah terdapat dua bahasa atau lebih yang

digunakan oleh masyarakat, maka masyarakat di dalam wilayah tersebut disebut

masyarakat bilngualisme. Namun, bilingualisme tidak hanya dimiliki oleh kelompok,

17
tetapi juga bisa terjadi pada seseorang atau individu. Kridalaksana membagi

bilingualisme menjadi tiga jenis, yakni kedwibahasaan koordinat, kedwibahasaan

majemuk, dan kedwibahasaan subordinat. Kedwibahasaan koordinat adalah

kedwibahasaan dengan dua suatu sistem bahasa atau lebih yang terpisah.

Kedwibahasaan koordinat terjadi apabila seseorang yang sedang menggunakan satu

bahasa, dia tidak menampakkan unsur-unsur dari bahasa yang lain. Kedwibahasaan

majemuk adalah kedwibahasaan dengan dua sistem bahasa atau lebih yang terpadu.

Seseorang yang mengalami kedwibahasaan majemuk sering mengacaukan unsur-

unsur kedua bahasa atau lebih yang dikuasainya. Kedwibahasaan subordinat adalah

kedwibahasaan dengan dua sistem bahasa atau lebih yang terpisah, tetapi masih

terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang dwibahasawan subordinat terkadang

masih mencampurkan kedua bahasa saat berkomunikasi.

2.6 Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa terjadi ketika suatu kelompok masyarakat mulai

meninggalkan bahasa yang digunakan sebelumnya dan beralih menggunakan bahasa

lainnya. Pergeseran bahasa berjalan secara bertahap atau berangsur-angsur, artinya

perrgeseran bahasa bisa saja terjadi karena penduduk usia tua tidak lagi mengajarkan

dan menggunakan bahasanya kepada usia muda. Coulmas (dalam Ulandari, 2019)

menyatakan seseorang membuat pilihan bahasa untuk berbagai tujuan. Seseorang

memilih kata-kata, ragam bahasa, gaya bahasa, dan bahasa untuk memenuhi berbagai

tujuan komunikasi yang terkait dengan penyampaian ide, keanggotaan atau

pemisahan diri dari suatu kelompok atau komunitas, dan pembentukan atau

18
pembelaan dominasi diri. Pergeseran bahasa dapat terjadi apabila seseorang memilih

untuk menggunakan bahasa lain daripada bahasanya sendiri.

Pergeseran bahasa berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa oleh kelompok

penutur yang bisa terjadi sebagai akibat dari perpindahan satu masyarakat tutur ke

masyarakat tutur lain. Rokhman (2013) menyatakan apabila seseorang atau

sekelompok penutur pindah ke tempat lain dan menggunakan bahasa lain, dan

berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut maka akan terjadilah

pergeseran bahasa. Lambat laun pergeseran bahasa akan menyebabkan kepunahan

bahasa yang membuat hilangnya identitas sosial suatu masyarakat. Selaras dengan hal

itu, Fasold (dalam Ulandari, 2019:31) mengungkapkan bahwa pergeseran bahasa itu

terjadi manakala masyarakat pemakai bahasa memilih suatu bahasa baru untuk

mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat memilih menggunakan

bahasa lain yang dianggapnya lebih baru untuk berkomunikasi.

Bahasa yang sedang mengalami pergeseran dapat dilihat dari seberapa banyak

penutur tua atau sesepuh yang masih menggunakan bahasa tersebut. Namun,

berbanding terbalik dengan generasi muda yang sudah jarang menggunakan bahasa

itu. Generasi muda cenderung meninggalkan bahasa lama dan beralih ke bahasa yang

dianggapnya lebih baru dan tidak ketinggalan zaman. Masruddin (2015)

mengungkapkan pergeseran bahasa kadang-kadang merupakan proses awal dari

kepunahan bahasa (language death). Kepunahan bahasa terjadi ketika sebuah

komunitas bahasa secara keseluruhan berpindah ke bahasa yang baru. Oleh karena

itu, pergeseran bahasa yang terjadi saat ini menjadi pemicu yang cukup besar

punahnya bahasa daerah dalam suatu wilayah karena generasi tua tidak mengajarkan

bahasa daerahnya kepada generasi selanjutnya.

19
Amar (dalam Amin dan Suyanto, 2017:18) menyatakan proses pergeseran

bahasa merupakan satu peristiwa sejarah karena lambat laun bahasa ibu bagi

kelompok penutur ini akan mengalami kepunahan sama sekali. Selaras dengan

pendapat tersebut, masyarakat Desa Bukit Mulia banyak menggunakan bahasa

Indonesia untuk berkomunikasi dengan generasi muda. Mereka hanya menggunakan

bahasa Jawa jika berkomunikasi dengan penutur seusianya. Sumarsono dan Partana

(dalam Ulandari, 2019:29) mendefinisikan pergeseran bahasa sebagai fenomena

ketika suatu komunitas meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai

bahasa lain. Oleh karena itu, bahasa Jawa dalam Desa Bukit Mulia mulai terancam

punah karena kurangnya jumlah penutur bahasa Jawa. Selain itu, penggunaan bahasa

Banjar juga menjadi faktor pergeseran bahasa di Desa Bukit Mulia. Hal tersebut

dikarenakan mobilitas sosial yang tinggi bagi masyarakat setempat.

Kebiasaan masyarakat menggunakan dua atau lebih bahasa dalam suatu

komunikasi, tanpa disadari hal tersebut membawa dampak pada pergeseran bahasa.

Penggunaan dua bahasa atau lebih tersebut bisa dikarenakan mereka berasal dari

daerah yang berbeda. Hadiati (2013) menyatakan bahwa penggunaan bahasa yang

berbeda diantara dua orang atau individu yang satu dengan yang lainnya dapat

menyebabakan munculnya penggunaan dwibahasa yang akhirnya berujung pada

peristiwa pergeseran bahasa. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahasa setiap

individu mampu memengaruhi individu lain. Sebagai contoh, masyarakat Jawa yang

bermukim di Kalimantan Selatan. Secara otomatis, masyarakat Jawa mau tidak mau

juga harus mempelajari bahasa asli Kalimantan Selatan agar mereka memahami

maksud tuturannya. Lambat laun, masyarakat Jawa pun memahami bahasa Banjar dan

20
mulai menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari hingga melupakan bahasa

aslinya.

Peristiwa pergeseran bahasa merupakan peristiwa yang sangat rentan terjadi

dalam masyarakat yang menguasai lebih dari dua bahasa. Masyarakat tersebut

cenderung akan lebih memilih menggunakan bahasa yang dianggapnya universal dan

dipahami oleh orang lain. Pada daerah transmigran, masyarakat harus berbaur dan

bersosialisasi dengan penduduk asli. Hal tersebut mengharuskan masyarakat

pendatang belajar dan memahami bahasa baru. Peristiwa serupa dipaparkan oleh

Fishman dalam Chaer & Agustina (2010) bahwa telah terjadi peristiwa pergeseran

para imigran di Amerika. Pergeseran bahasa ditnjukkan oleh Fishman dalam diagaram

di bawah ini.

Monolingual Bilingual bawahan Bilingual setara


(B-ib) (B-ib-B-in) (B-ib-B-in)

Monolingual Bilingual bawahan


(B-in-B-ib)
(B-in)

Bagan 2.1 Diagram pergeseran bahasa para imigran di Amerika oleh Fishman.

Pada diagram pertama, para imigran masih menggunakan satu bahasa untuk

berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka masih tetap mempertahankan

bahasa ibu. Kotak pertama terjadi saat mereka baru saja datang dan menetap di sana

dalam beberapa tahun. Kotak kedua menunjukkan bahwa masyarakat imigran telah

21
menjadi bilingual bawahan yang artinya mereka mampu menggunakan bahasa ibu dan

bahasa Inggris dalam komunikasi. Namun, pada tahap ini bahasa ibu masih

mendominasi setiap tuturan dari masyarakat imigran. Bahasa Inggris hanya mereka

gunakan dalam situasi dan kondisi tertentu saja. Seiring berjalannya waktu, seperti

dipaparkan dalam kotak ketiga, masyarakat imigran telah berubah lagi menjadi

bilingualisme setara yang artinya penguasaan mereka terhadap bahasa ibu dan bahasa

Inggris sudah seimbang. Mereka mampu berbahasa Inggris dengan masyarakat lain

seperti sama baiknya mereka berkomunikasi menggunakan bahasa ibu.

Pada kotak keempat, masyarakat kembali menjadi bilingual bawahan. Namun,

pada tahap ini penguasaan bahasa mereka tidak seperti pada saat masa bilingual

bawahan yang pertama. Dalam masa bilingual bawahan yang ke dua ini, penguasaan

masyarakat terhadap penggunaan bahasa Inggris jauh lebih baik dibandikan dengan

bahasa ibu. Masyarakat sudah mulai menggunakan bahasa Inggris di kehidupan

sehari-hari dan perlahan meninggalkan bahasa ibu mereka. Tahap terakhir terjadi pada

kotak kelima, masyarakat kembali menjadi monolingual seperti pada kota pertama.

Namun, perbedaan terdapat pada penguasaan bahasa Inggris yang menjadi satu-

satunya bahasa mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap terakhir ini,

masyarakat imigran sudah melupakan bahasa ibu atau bahasa leluhur secara

keseluhuruhan.

Holmes (dalam Sahril, 2018:217) menjelaskan bahwa pergeseran bahasa secara

normal terjadi dalam kelompok bahasa minoritas yang berpindah ke tempat yang jauh

dari tanah kelahirannya. Berdasarkan pendapat hal tersebut sesuai dengan kondisi

yang dialami oleh masyarakat Desa Bukit Mulia yang sebagian besar adalah warga

transmigrasi dari Pulau Jawa. Mereka juga harus menyesuaikan dengan penggunaan

22
bahasa masyarakat di Kalimantan Selatan. Masyarakat ini cenderung sering

menggunakan bahasa mereka dengan tujuan untuk menunjukkan identitas diri. Oleh

karena itu, mereka juga lebih menyukai tinggal bersama secara berkelompok untuk

memudahkan mereka untuk selalu bertemu dan juga mempertahankan bahasanya

karena digunakan sehari-hari untuk berinteraksi satu sama lain. Namun, terlalu sering

mereka berinteraksi dengan orang yang bukan warga transmigrasi atau bukan suku

jawa, kebiasan penggunaan bahasa daerah Banjar dan bahasa Indonesia terkadang

mereka gunakan bahkan dengan orang yang sama-sama transmigrasi. Hal tersebutlah

yang memicu terjadinya pergeseran bahasa.

2.7 Pergeseran Penggunaan Bahasa

Penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat transmigrasi khususnya

meruapakan suatu hal yang wajar. Hal ini dikarenakan masyarakat transmigrasi belum

mampu menggunakan bahasa penduduk asli untuk berkomunikasi. Oleh karena itu,

tak jarang masyarakat transmigrasi mengalami pergeseran penggunaan bahasa dalam

kehidupan sehari-hari. Bahasa yang akan digunakan oleh mereka adalah bahasa

Indonesia. Bahasa Indonesia dipilih karena merupakan bahasa Nasional yang

sebagian besar orang Indonesia memahaminya. Chaer dan Agustina (2010)

menyatakan bahwa di Indonesia digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain

sasaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa Indonesia

digunakan oleh masyarakat pada domain keindonesiaan seperti dalam pembicaraan

antarsuku dan pendidikan. Bahasa daerah digunakan pada domain kedaerahan seperti

upacara pernikahan, percakapan dalam keluarga, dan komunikasi antarpenutur

sedaerah. Sementara itu, bahasa asing digunakan untuk kepentingan komunikasi

23
antarbangsa. Namun, apabila terdapat peristiwa pergeseran penggunaan bahasa maka

domain-domain tersebut akan tersusun tidak teratur. Saat ini bahasa Indonesia sudah

memasuki domain keluarga dan beberapa kegiatan masyarakat. Hal tersebut sebabkan

bahasa Indonesia sudah mendapatkan anggapan sebagai bahasa yang lebih prestise

dibandingkan dengan bahasa lain.

Teori tersebut sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Taner

(dalam Chaer dan Agustina, 2010:156) mengenai penggunaan bahasa oleh

sekelompok masyarakat Indoenesia yang termasuk golongan orang-orang terdidik

atau terpelajar yang tengah menempuh studi di Amerika Serikat. Pada penelitian

tersebut menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan

bahasa asing sudah sesuai dengan domain-domainnya. Bahasa Indonesia digunakan

untuk komunikasi antarsuku, bahasa daerah digunakan untuk komunikasi intrasuku,

dan bahasa asing dipakai dalam komunikasi antarbangsa. Namun, pada kenyataanya

saat ini bahasa Indonesia banyak digunakan sebagai bahasa yang digunakan untuk

berkomunikasi sesama suku. Lebih jelasnya Chaer dan Agusina (2010) menambahkan

bahwa perluasan penggunaan bahasa Indonesia dari yang awalnya hanya digunakan

untuk komunikasi antarsuku saat ini juga digunakan sebagai komunikasi antarsuku

karena dianggap lebih sederhana dan adanya dorongan motivasi serta tujuan-tujuan

sosial tertentu. Bahasa Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi daripada bahasa

lain. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tallei (dalam Chaer

dan Agustina, 2010:160) tentang perkembangan bahasa Minahasa yang mulai

ditinggalkan oleh penuturnya karena adanya dorongan untuk menggunakan bahasa

Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang jangakuannya lebih luas daripada bahasa

24
asli mereka. Mereka memiliki anggapan bahwa bahasa Indonesia lebih dapat

berfungsi diberbagai aspek dalam kehidupan mereka.

2.8 Faktor Penyebab Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa yang terjadi di suatu wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor.

Faktor-faktor tersebutlah yang memengaruhi masyarakat untuk berpindah

menggunakan bahasa lain untuk berkomunikasi sehari-hari. Pergesaran bahasa dalam

masyarakat bisa terjadi sepenuhnya dalam komunikasi atau dengan mengganti

beberapa kosa kata dengan bahasa lain. Budhiono (2007) menjelaskan bahwa

pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah atau wilayah yang memberi

harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang

imigran atau transmigran untuk mendatanginya. Wilayah yang memiliki potensi

tinggi untuk mendapatkan penghasilan ekonomi yang baik cenderung akan

mengundang banyak orang dari berbagai daerah untuk datang ke wilayah tersebut.

Hal itu membuat suatu wilayah memiliki keberagaman bahasa yang berdampak pada

pergeseran bahasa tertentu.

Rokhman (2013) masalah pergeseran bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh

faktor yang di latar belakangi oleh situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan.

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, dan bahasa sehingga

tergolong masyarakat majemuk. Selaras dengan pendapat tersebut, bebrapa situasi

tertentu sangatlah berhubungan dengan peristiwa pergeseran bahasa . Pada umumnya

situasi tersebut adalah kedwibahasaan (bilingualism) dalam masyarakat.

Bilingualisme yang terjadi di suatu masyarat akan menggeser pemakaian bahasa yang

dianggapmya lebih modern daripada menggunakan bahasa daerah yang dianggap

25
ketinggalan zaman. masykarakat Desa Bukit Mulia tergolong dalam jenis

kedwibahasaan majemuk (compound) karena kelompok kedwibahasaan ini masih

sering mengacaukan unsur-unsur kedua bahasa atau lebih yang dikuasainya. Misalnya

pencampuran bahasa dalam komunikasi dengan dialek yang berbeda di antara bahasa

yang dipakai, seperti penggunaan bahasa Banjar yang masih terdengar dialek bahasa

Jawa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah kemampuan yang

dimiliki oleh individu maupun kelompok sosial untuk memahami informasi baik

melalui tulisan atau percakapan dalam dua bahasa atau lebih.

Rokhman (2013) juga menjelaskan sekolah atau pendidikan sering juga menjadi

penyebab bergesernya bahasa, karena sekolah memperkenalkan bahasa kedua (B2)

anaknya. Bahasa yang digunakan di sekolah adalah bahasa nasional atau bahasa

Indonesia. Seringnya anak berada di sekolah melalui proses pembelajaran, maka anak

akan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman-

teman dan gurunya baik di dalam maupun luar lingkungan sekolah. Bahasa Indonesia

yang digunakan untuk berkomunikasi akan menggeser bahasa asli daerah setempat

sehingga terjadilah pergeseran bahasa. Peristiwa tersebut apabila berlangsung secara

lama maka daerah tersebut akan mengalami kepunahan bahasa. Selain itu, faktor lain

yang banyak dikemukakan oleh ahli sosiolinguistik lainnya ialah faktor usia, jenis

kelamin, dan kekerapan kontak dengan bahasa lain.

Sahril (2018) menyatakan faktor yang paling jelas yang dapat memengaruhi

pergeseran bahasa adalah sikap penutur terhadap bahasa daerahnya sendiri.

Permasalahan yang terdapat dari pernyataan ini adalah apakah penutur masih

memiliki kesadaran untuk mempertahankan bahasanya sebagai bentuk pertahanan

identitas sosial. Hal tersebut tampaknya cukup sulit untuk dilakukan karena arus

26
mobilisasi dan teknologi yang terus berkembang menyebabkan bahasa pun turut serta

bervariasi berdasarkan konteks situasinya. Banyaknya penutur yang tidak memiliki

kesadaran untuk mempertahankan bahasanya akan mengakibatkan kepunahan bahasa

asli. daerah setempat sehingga hanya penutur tua saja yang memakainya dalam

komunikasi.

Holmes (dalam Putri, 2018:88), pergeseran bahasa (language shifting) atau

pemertahanan bahasa (language maintainance) dapat terjadi di berbagai sektor

kehidupan, misalnya ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, pemerintahan dan

sebagainya. Peristiwa pergeseran bahasa tentu harus diikuti dengan data-data

penggunaan masyarakat penutur dalam proses komunikasi. Selain itu, kesadaran yang

dimiliki masyarakat dalam pendidikan, peningkatan kondisi ekonomi, dan mobilitas

penduduk yang tinggi ternyata berpengaruh pada penggunaan bahasa sehari-hari.

Jumlah penutur dan konsentrasi pemukiman juga menjadi faktor pergeseran

bahasa. Ulandari (2019) menyatakan jumlah penutur ialah jumlah atau banyaknya

masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sehingga secara langsung ataupun

tidak langsung itu merupakan salah satu cara untuk mempertahankan suatu bahasa

agar tidak terjadi pergeseran Penutur tua yang lebih banyak menggunakan bahasa asli

daripada penutur muda yang beralih menggunakan bahasa lain menyebabkan

terjadinya pergeseran bahasa dalam suatu wilayah. Lebih lanjutnya Ulandari (2019)

menjelaskan konsentrasi pemukiman ialah fokus kepada pemukiman atau tempat

tinggal seseorang berada dan selalu menyesuaikan peggunaan bahasa. Seseorang akan

menggunakan bahasa tergantung di mana ia sedang berada.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pergeseran bahasa dapat digolongkan

menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan permasalahan

27
yang berada di dalam diri pribadi seseorang sedangkan faktro eksternal merupakan

faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Hutapea (2019) menggolongkan faktor-

faktor penyebab pergeseran bahasa menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal terdiri dari (1) minimnya intensitas penmakaian bahasa asli daerah

tersebut dalam kehidupan sehari-hari (2) Rasa malu ketika menggunakan bahasa

daerah (3) kurangnya sosialiasi penggunaan bahasa daerang di lingkungan masyarakat

(4) Faktor interaksi dengan lingkungan yang sering menggunakan bahasa lain. Faktor

eksternal terdiri dari (1) Faktor pendidikan yang mewajibkan setiap anak

menggunakan bahasa nasional/bahasa Indonesia dan (2) Faktor lingkungan yang

memberikan tuntutan kepada individu untuk menggunakan bahasa yang lebih mudah

dipahami oleh masyarakat sekitar.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

deskriptif. Creswell (dalam Samsu, 2017:86) mendefinisikan pendekatan kualitatif

sebagai proses penelitian yang digunakan untuk memaknai permasalahan sosial yang

terjadi di masyarakat yang diuraikan secara terperinci melalui kata-kata berdasarkan

perspektif peneliti dan disusur dalam latar ilmiah. Pendekatan ini dilakukan untuk

mendeskripsikan atau memberi sebuah gambaran yang bersifat aktual terhadap wujud

pergeseran bahasa dan faktor-fakor yang memengaruhi terjadinya pergeseran bahasa

dalam komunikasi masyarakat di Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut.

Penelitian bertujuan untuk memahami fenomena bahasa yang terjadi di Desa

Bukit Mulia. Oleh karena itu, data yang diperoleh melalui pendekatan ini tidak berupa

angka-angka tetapi kata-kata lisan yang nantinya akan ditranskripsikan dalam bentuk

tulisan.

3.2 Tempat Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini bertempat di Desa Bukit Mulia, Kabupaten Tanah

Laut. Desa Bukit Mulia merupakan desa transmigrasi dari Pulau Jawa pada tahun

1984. Seiring perkembangan zaman, masyarakat yang tinggal di desa tersebut mulai

mengalami pergeseran bahasa. Bahasa awal yang digunakan oleh masyarakat dalam

berkomunikasi adalah bahasa Jawa. Namun, saat ini masyarakat mulai berkomunikasi

29
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar karena perkembangan teknologi

dan komunikasi yang semakin maju.

Alasan memilih lokasi penelitian di Desa Bukit Mulia adalah masyarakatnya

yang sebagian besar sudah mulai meninggalkan bahasa asli untuk berkomunikasi.

Mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan anak-

anaknya dan bahasa daerah lainnya untuk berkomunikasi. Selain itu, masyarakat yang

tinggal di Desa ini masih berada dalam lingkungan kultur jawa. Adat istiadat jawa

pun masih berlaku di tempat ini, sehingga pergeseran bahasa sangat tampak terjadi di

masyarakat.

3.3 Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjagi tiga ranah, yaitu keluarga,

masyarakat, dan pemerintah. Ranah masyarakat terdiri dari empat kegiatan

masyarakat, yakni kegiatan keagamaan, transaksi jual beli, posyandu, dan resepsi

pernikahan. Kegiatan keagamaan diambil pada saat kegiatan Maulid Nabi

Muhammad Saw, acara yasinan rutin mingguan oleh ibu-ibu masyarakat Desa Bukit

Mulia, dan acara tahlilan 100 hari. Kegiatan transaksi jual beli dilakukan di toko

sekitar lokasi penelitian. Ketiga, ranah pemerintahan terdiri dari rapat evaluasi

tahunan remaja masjid, rapat tingkat dusun, dan tingkat kelurahan.

Data dalam penelitian ini adalah berupa kata-kata yang diperoleh dari tuturan yang

dituturkan oleh masyarakat pada saat observasi dan wawancara yang dilakukan

dengan sekretaris Desa Bukit Mulia, petugas kesehatan, dan beberapa warga desa.

Data tersebut digunakan untuk menunjukkan wujud pergeseran bahasa Jawa yang

digantikan oleh bahasa lain di Desa Bukit Mulia.

30
3.5 Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Observasi

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi yang dilakukan

secara langsung. Peneliti melakukan pengamatan langsung di Desa Bukit Mulia

untuk mendapatkan data secara lisan maupun tulisan. Seluruh percakapan hasil

observasi dan pengamatan langsung akan direkam menggunakan alat perekam agar

memudahkan proses reduksi dan penyajian data. Teknik observasi ini dilakukan

untuk mengetahui secara langsung bagaimana wujud penggunaan dan pergeseran

bahasa yang terjadi pada masyarakat Desa Bukit Mulia.

2. Teknik Wawancara

Wawancara digunakan untuk memperdalam data mengenai pergeseran

bahasa. Pada teknik ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara

langsung kepada narasumber untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang

memengaruhi pergeseran bahasa di desa tersebut. Pertanyaan yang diajukan

berdasarkan tujuan penelitian agar jawaban yang diberikan narasumber tidak

meluas sehingga mempersulit proses selanjutnya. Penelitian ini menggunakan

teknik wawancara secara mendalam (indepth interview). Wawancara dilakukan

dengan Sekretaris Desa Bukit Mulia yaitu Bapak M. Muhaimin , Ibu Hj. Habibah

yang berprofesi sebagai petugas kesehatan, Ibu Isti Kharoh dan Ibu Sulis Rovita

sebagai warga desa.

3. Teknik Simak

31
Teknik simak adalah salah satu metode penelitian yang digunakan untuk

mendapatkan data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. teknik simak yang

digunakan adalah, sebagai berikut:

a. Teknik simak libat cakap, dalam kegiatan menyadap seorang peneliti harus

berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan, sehingga

peneliti melakukan dialog secara langsung dengan informan.

b. Teknik simak bebas libat cakap, dalam teknik ini seorang peneliti tidak

dilibatkan secara langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan

pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data

yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada diluar

dirinya.

c. Teknik rekam, dalam hal ini peneliti berusaha merekam pembicaraan dengan

informan yang dilakukannya tanpa sepengetahuannya, serta digunakan sebagai

bukti penelitian.

d. Teknik catat, di samping perekaman penelitian ini juga menggunakan teknik

catat untuk memudahkan pada proses selanjutnya..

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data

kualitataif. Teknik analisis ini berkaitan dengan data yang berupa kata atau kalimat

yang didapatkan dari hasil penelitian dan kejadian-kejadian yang berada di sekitar

objek penelitian. Peneliti menggambarkan wujud pergeseran bahasa melalui hasil

analisis berbentuk kata-kata untuk memperoleh kesimpulan.

32
Miles dan Huberman (dalam Retnosari, 2013:36), menyatakan tahap analisis adalah

sebagai berikut.

1. Pengumpulan Data

Peneliti mencatat keseluruhan data secara objektif dan apa adanya berdasarkan

hasil wawancara dan observasi langsung yang telah dilaksanakan. Pengumpulan

data diperoleh dari hasil observasi secara langsung yang dilakukan dalam ranah

keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Peneliti mengamati langsung tuturan-

tuturan yang diucapkan oleh masyarakat Desa Bukit Mulia. Selain observasi,

pengumpulan data juga dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan

dengan cara mengajukan pertanyaan terkait penggunaan bahasa sehari-hari dan

untuk mengethaui faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa di Desa

Bukit Mulia.

2. Reduksi Data

Data yang telah terkumpul kemudian dipilah oleh peneliti sesuai dengan

tujuan penelitian. Data yang dipilih adalah data yang sesuai dengan fokus

penelitian yaitu wujud pergeseran bahasa dalam komunikasi masyarakat Desa

Bukit Mulia dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Peneliti menganalisis hasil

wawancara dan observasi langsung melalui rekaman dan catatan saat penelitian

berlangsung. Peneliti mengabaikan data-data yang tidak diperlukan agar hasil

penelitian tetap fokus pada tujuan penelitian agar memudahkan dalam proses

analisis dan penarikan kesimpulan.

3. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan setalah proses reduksi data. Data yang telah terpilih

dari hasil observasi dan wawancaraakan disajikan dalam bentuk deskriptif melalui

33
teori-teori yang digunakan oleh peneliti. Data yang dipilih adalah data yang

berkaitan dengan wujud penggunaan bahasa masyarakat Desa Bukit Mulia yang

mengalami pergeseran.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah langkah terakhir dalam analisis data.

Kesimpulan diambil berdasarkan reduksi dan penyajian data. Apabila dalam

penarikan kesimpulan terdapat kekurangan, peneliti dapat mencari data kembali

pada proses reduksi data.

34
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Ranah Keluarga

Peristiwa 1

Deskripsi Situasi

Seorang ibu dan anak baru saja datang dari luar dan hendak bersantai di

ruang tengah pada sore hari. Anak hendak meminta bermain gawai ibunya.

Namun, si anak tidak mau menggunakan gawai ibunya. Setelah itu si anak juga

tidak bisa bagaimana cara membuka gawai tersebut sehingga terjadilah

percakapan di antara mereka.

Tuturan

Anak : “Hp, bu?” (1)


Ibu : “Ibu mau pulang.” (2)
Anak : “Aaa.” (3)
Ibu : “Ya iya to?. Kamu kalau mau di sini aja.” (4)
Anak : “Hp? Ngga mau hp yang jelek.” (5)
Ibu : “Tadi nyariin ini dah ibu ambilkan” (6)
Anak : “Anuin?” (7)
Ibu : “Kenapa ke situ? Nggak ke situ, keluarin.” (8)
Anak : “Ini?” (9)

Berdasarkan percakapan di atas, dari tuturan (1) sampai (8) bahasa yang

digunakan oleh Ibu dan Anak adalah bahasa Indonesia. Namun, tetap ada

pengaruh bahasa daerah ketika mereka berkomunikasi. Ditunjukkan dengan

35
kata “to” yang menjadi kebiasaan orang Jawa ketika bertanya pada tuturan (4).

Walaupun si Ibu sudah terpengaruh bahasa daerah pada tuturan (4), tetapi si

anak tetap konsisten menggunakan bahasa Indonesia dan tidak terpengaruh

bahasa daerah ibunya.

Peristiwa 2

Deskripsi Situasi :

Peristiwa 2 terjadi ketika kakak dan adik sedang bercengkrama pada sore

hari di ruang keluarga. Sambil menonton televisi mereka berbincang-bincang

mengenai keadaan si adik yang tengah sakit gatal.

Tuturan :

Kakak : “Sini, Fah.” (1)


Adik : “Iya” (2)
Kakak : “Hi… Gatalan. Iya, Fah? Ya Allah.. Berat banget. Beratnya dua
puluh dua.” (3)
Adik : “Aduh sakit kelekku.” (4)
Kakak : “Kelekmu sakit? Coba sini lihat yang gatel mana? Ini
belakangnya?” (5)
Adik : “Nggak boleh” (6)
Kakak : “Dia gatelen.” (7)

Kutipan percakapan pada peristiwa 2 menujukkan adanya penggunaan dua

bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia tampak

dominan digunakan dalam komunikasi antara kakak dan adik. Pengaruh bahasa

daerah dalam penggunaan bahasa Indonesia masih ditunjukkan dalam tuturan-

tuturan di atas, yaitu pada tuturan (5) dan (7), kata “gatal” dalam bahasa

Indonesia berubah menjadi “gatel”. Pada tuturan (4) dan (5), digunakan oleh

kakak dan adik kata “kelek” untuk mengartikan “ketiak”. Hal tersebut

menujukkan bahwa pemaikan bahasa Jawa tidak digunakan seluruhnya dalam

36
proses komunikasi. Kakak dan adik lebih memilih memakai bahasa Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, bahasa Jawa mengalami pergeseran yang cukup

siginifikan dalam ranah keluarga. Bahasa Jawa sudah tidak dipakai lagi dalam

kegiatan komunikasi mereka.

Peristiwa 3

Deskripsi Situasi :

Dua orang anak sedang bermain di dalam rumah pada malam hari. Pada

peristiwa tutur ini, peneliti menyimak percakapana antara ke dua anak tersebut

tanpa ikut terlibat dalam komunikasi.

Tuturan :

Anak 1 : “Nala, aku yang jadi kakaknya ya kamu adiknya?” (1)


Anak 2 : “Aku mamaknya.” (2)
Anak 1 : “Kamu adiknya aja.”(3)
Anak 2 : “Enggak” (4)
Anak 1 : “Mbak Ovi aja yang jadi mama.” (5)
Anak 2 : “Aku” (6)
Anak 1 : “Enggak. Kita mainan Elsa dan Ana yuk.” (7)

Berdasarkan percakapan pada peristiwa di atas, bahasa yang tampak

adalah bahasa Indonesia. Dari tuturan (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), bahasa

Indonesia merupakan bahasa dominan yang mereka gunakan. Bahasa Jawa

hanya digunakan untuk sapaan agar lebih sopan, terlihat pada tuturan (5)

menggunakan kata “Mbak” untuk memanggil perempuan yang lebih tua. Selain

itu, pengaruh bahasa daerah juga tidak dalam peristwa tutur di atas. Hal ini

menujukkan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa dalam ranah keluarga.

Bahasa Jawa sudah tidak digunakan lagi oleh kedua anak tersebut. Padahal

bahasa Jawa merupakan bahasa pertama atau bahasa asli yang ada di Desa Bukit

37
Mulia. Namun, orang tua dari anak-anak tersebut kemungkinan tidak

mengajarkan bahasa Jawa kepada anaknya sehingga anak-anak terbiasa

bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia dengan teman sebaya maupun

orang tua.

Peristiwa 4

Deskripsi Situasi :

Peristiwa 4 terjadi ketika seorang ibu dan dua anaknya sedang makan

malam. Anak tersebut berumur sembilan tahun. Si Ibu bertanya kepada anaknya

mengenai makanan apa saja yang ada di dalam berkat. Berkat dalam bahasa

Indonesia artinya makanan yang didapat dan dibawa pulang oleh seseorang yang

ikut sebuah acara keagamaan.

Tuturan :

Ibu : “Jajannya apa aja tadi?” (1)


Anak : “Ada yang manis-manis, sama apa ya itu?” (2)
Ibu : “dimangan sopo? Kamu?” (3)
Anak : “Aku” (4)
Ibu : “Yang roti ada tapenya?” (5)
Anak : “Yang kayak tape.” (6)
Ibu : “Terus apa lagi? Itu aja? Kamu makan jajan satu aja? (7)
Anak : “Enggak” (8)

Percakapan di atas memperlihatkan percakapan antara ibu dan anak yang

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Jawa hanya

digunakan pada sebagian tuturan (3) yaitu “dimangan sopo” yang artinya

“dimakan siapa”. Sedangkan bahasa dominan yang digunakan bahasa Indonesia

terdapat pada tuturan (1), (2), (4), (5), (6), (7), dan (8). Berdasarkan percakapan

di atas, mengindikasikan adanya peristiwa pergeseran penggunaan bahasa

38
dalam ranah keluarga. Hal ini tampak pada bahasa yang digunakan sang anak

dan ibu yang usdah tidak terlalu menjunjukkan bahasa Jawa dalam

komunikasinya. Padahal, berdasarkan kenyataan yang ada di Desa Bukit Mulia

bahwa bahasa yang pertama kali ada dan digunkakan di desa tersebut adalah

bahasa Jawa.

Peristiwa 5

Deskripsi Situasi :

Peristiwa 5 terjadi malam hari ketika ibu dan anak-anaknya berisap untuk

tidur. Anak 1 berumur sembilan tahun sedangkan anak 2 berumur tiga tahun.

Anak 2 hendak tidur bersama kakanknya (anak 1) di ruang tamu, kemudian ibu

mendatangi anaknya sehingga terjadilah komunikasi di antara mereka.

Tuturan :

Ibu : “Lha terus Bunda bubuk sama siapa?” (1)


Anak 1 : “Sama kucing. Sama hantu sama setan.” (2)
Anak 2 : “Sama hantu. Sama setan.” (4)
Ibu : “Omongan opo iku lho. Yo kono ngko ben Akmal seng digondol.” (5)
Anak 1 : “Enggak.” (6)
Anak 2 : “Iya, kan, Bun?” (7)

Pada kutipan percakapan peristiwa 5 menujukkan adanya penggunaan dua

bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa

terdapat pada tuturan (1) dan (3). Namun, pada tuturan (1) tidak semua tuturan

menggunakan bahasa Jawa . Terjadi peristiwa campur kode pada tuturan (1).

Ibu menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan (1). Berikut

adalah tuturan (1) apabila Ibu tetap menggunakan bahasa Jawa dalam

berkomunikasi dengan anaknya.

39
Ibu : “Lha terus Bunda bubuk sama siapa?” (tuturan asli)
“Lha terus Bunda bubuk karo sopo?” (bahasa Jawa)
“Terus Bunda tidur sama siapa” (bahasa Indonesia)

Bahasa Indonesia yang digunakan oleh ibu dan anak dalam peristiwa

adalah bahasa Indonesia nonbaku. Bahasa yang dominan digunakan pada

komunikasi di atas adalah bahasa Indonesia, terdapat pada tuturan (2), (4), (6),

dan (7). Dalam tuturan-tuturan tersebut, tidak ditemukan penggunaan bahasa

Jawa yang mengindikasikan adanya pergeseran bahasa di dalam ranah keluarga.

Ketika si Ibu berkomunikasi menggunakan bahasa jawa pada tuturan 5

Ibu : “Omongan opo iku lho. Yo kono ngko ben Akmal seng digondol.”

Jawaban anak 1 pun tetap menggunakan bahasa Indonesia, disahut juga

oleh anak 2 yang sama menggunakan bahasa Indonesia.

Anak 1 : “Enggak.”
Anak 2 : “Iya, kan, Bun?”

Dari kutipan percakapan di atas, walaupun Ibu menggunakan bahasa Jawa,

anak 1 dan anak 2 tetap memahami maksud dari perkataan ibu. Namun, karena

mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi,

jawaban anak 1 dan anak 2 atas perkataan ibunya sebelumnya juga tetap

memakai bahasa Indonesia tidak bahasa Jawa.

Penggunaan bahasa Indonesia pada ranah keluarga telah menggeser bahasa

Jawa atau bahasa asli masyarakat. Masyarakat Desa Bukit Mulia banyak yang

beranggapan bahwa pentingnya mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak

sejak kecil agar mereka mampu berkomunikasi baik dengan teman sebayanya.

40
Selain itu, alasan keluarga mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya

adalah agar anak-anaknya tidak tertinggal dalam proses pembelajaran ketika ia

berada di lingkungan sekolah. Dalam lingkungan sekolah, bahasa yang

digunakan tentunya adalah bahasa Indonesia. Keterbiasaan orang tua dan anak

yang menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi menyebabkan

hilangnya bahasa ibu di Desa Bukit Mulia. Bahkan, kebanyakan apabila orang

tua berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan anak, anak tidak

mengatahui apa yang dimaksud orang tuanya. Hal inilah yang menimbulkan

peristiwa pergeseran bahasa dalam ranah keluarga.

“Dari kecil sudah komunikasinya sudah pakai bahasa Indonesia di rumah


tadi. Jadi otomatis mereka sama temen-temennya pun pakai bahasa
Indonesia karena bahasa Jawa mungkin juga mereka kurang paham betul.”
(Isti Kharoh, warga Desa Bukit Mulia, tanggal 15 November 2021)

Kekuranganpahaman anak-anak terhadap bahasa Jawa diakibatkan karena

faktor keluarga yang tidak mengajarkan anaknya menggunakan bahasa Jawa.

Banyak orang tua di Desa Bukit Mulia yang sudah beralih menggunakan bahasa

Indonesia untuk berkomunikasi dengan anaknya. Namun, tak sedikit dari

mereka yang masih menyelipkan sedikit bahasa Jawa di dalam tuturan-

tuturannya. Apabila hal ini terus menerus berlanjut dari satu generasi ke

generasi lainnya, bahasa Jawa akan mengalami kepunahan di wilayah ini. Lebih

banyaknya kaum muda dibandingkan golongan tua di desa ini juga akan

menyebabkan lunturnya bahasa asli masyarakat Desa Bukit Mulia.

Berdasarkan lima peristiwa dalam ranah keluarga, data menunjukkan bahwa

bahasa Indonesia merupakan bahasa dominan yang digunakan antara anak-anak

dan orang tua ketika berkomunikasi. Wujud penggunaan bahasa Indonesia lebih

41
banyak dari bahasa Jawa. Semua tuturan yang terdapat dalam ke lima peristiwa

menunjukkan bahwa pengunaan bahasa Indonesia pada ranah keluarga lebih

aktif daripada menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa bukan lagi menjadi

bahasa pertama atau bahasa ibu yang mereka pelajari sedari kecil. Keberadaan

bahasa Jawa dalam ranah keluarga telah tergeser oleh adanya penggunaan

bahasa Indonesia yang diajarkan oleh orang tua mereka. Bahasa Jawa masih

digunakan sebagian orang tua dalam komunikasi dengan anaknya, tetapi hanya

untuk beberapa situasi saja seperti terdapat dalam peristiwa 5. Ketika orang tua

berbicara menggunakan bahasa Jawa, anak-anak dapat memahaminya tetapi

mereka tidak akan menjawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa juga.

Namun, tidak semua anak di Desa Bukit Mulia mampu menggunakan bahasa

Jawa dengan baik mereka lebih memprioritaskan penggunaan bahasa Indonesia

dalam kehidupan sehari-hari seperti bercengkrama bersama keluarga dan

teman-temannya. Hal tersebut tampak pada peristiwa 2 dan 3 yang

menggambarkan penggunaan bahasa Indonesia lebih dominan mereka gunakan

daripada bahasa Jawa.

Pergeseran bahasa yang sangat nampak di Desa Bukit Mulia terjadi pada

ranah keluarga terutama antara tuturan orang tua dengan anak-anaknya. Anak-

anak di Desa Bukit Mulia saat ini telah menggunakan bahasa Indonesia untuk

berkomunikasi, baik dengan teman-temannya maupun orang lain. Peran

keluarga mungkin sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.

“Kalau sepengetahuan saya, rata-rata sekarang memakai bahasa Indonesia.


Mereka (anak-anak) bercanda atau berkomunikasi dengan temannya
kelihatannya seperti itu sudah nampak bahasa Indonesia digunakan.”
(Muhaimmin, Sekretaris Desa, Tanggal 15 November 2021)

42
Ada banyak mengapa bahasa Indonesia lebih dominan digunakan dalam

ranah keluarga. Sebagian masyarakat berdalih bahwa bahasa Indonesia yang

diajarkan di sekolah terbawa ke ranah keluarga.

“…Kita kan di sini kan dia kan sekolah juga otomatis di sekolahan itu kan
sudah pakai bahasa Indonesia. Jadi dari kecil itu bahasa Indonesia ya. (Sulis
Rovita, Warga Desa Bukit Mulia, tanggal 4 Desember 2021)

Penggunaan bahasa Indonesia di sekolah membawa dampak terhadap cara

anak berkomunikasi di rumah. Namun, kebanyakan orang tua tidak

mempermasalahkan hal tersebut. Orang tua juga sedari kecil mengajarkan

anaknya bahasa Indonesia karena dianggap agar mempermudah proses

pembelajaran anakanya ketika berada di sekolah.

4.1.2 Ranah Masyarakat

4.1.2.1 Kegiataan Keagamaan

Peristiwa 1

Deskripsi Situasi :

Kegiatan keagamaan dalam peristiwa 1 diambil pada acara peringatan

Maulid Nabi yang diadakan di salah satu surau di Desa Bukit Mulia.

Wujud penggunaan bahasa yang diperhatikan dalam peristiwa ini

adalah tuturan-turuan penceramah dalam menyampaikan tausiyahnya.

Tuturan 1 :

Peceramah : “Yang saya hormati, Bapak Kepala Desa, Bapak


Pambakal. Alhamdulillah, masyaAllah, ketemu tarus kita.
Lawas pak lah kada tatamu. Gara-gara ‘cakrona’. Inggih,

43
pian pang. Pian pang ngundang cak rona, jadi kada lah?
Mun ulun kada ulun undang, ulun usir. Yang saya
horomati Bapak Kepala Desa, Bapak Parno, yang
alhamdulillah beliau sek ketok seger waras, mugi-mugi
diparingiaken umur, mugi-,mugi nambah riskine nambah
keberkahane, ya nek oleh nambah bojo yo rapopo. Yang
saya muliakan, romobongan maulid Habsi, Ahbabul
Mustofa dari Masjid Al-Hidayah. Hadirin Wal Hadirah,
ini saya mau nanya dulu. Ini kira-kira sampean maunya
berapa jam, Bu?”

Pada persitiwa 1 tuturan 1 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat tiga

jenis bahasa yang digunakan yaitu bahasa Indonesia, bahasa Banjar,

dan bahasa Jawa. Penceramah lebih dominan menggunakan bahasa

Indonesia daripada bahasa Jawa. Bahasa Jawa hanya digunakan ketika

penceramah mengajak jamaah untuk tertawa. Pengunaan bahasa Jawa

juga mulai digantikan fungsi dengan bahasa Banjar yang dibuktikan

dengan tuturan pencermah yakni “Lawas pak lah kada tatamu. Gara-

gara ‘cakrona’. Inggih, pian pang. Pian pang ngundang cak rona, jadi

kada lah? Mun ulun kada ulun undang, ulun usir”. Penceramah

menggunakan bahasa Banjar kepada jamaah agar jamaah tertawa.

Berdasarkan tuturan 1, terjadi pergeseran bahasa Jawa ke bahasa

Indonesia dan Banjar dalam ranah keagamaan. Kegiatan keagamaan

seperti ceramah agama sudah tidak menggunakan bahasa Jawa lagi,

melainkan telah tergantikan dengan bahasa lain. Tuturan 1 adalah

bagian pembuka dari ceramah. Pada bagian isi, penceramah lebih

dominan menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan

jamaah. Tuturan 2 adalah bagian isi.

44
Tuturan 2 :

Penceramah : “Bahkan ada Imam Gazzali dalam kitab Ihya, beliau


mengatakan nikmat Allah ini tidak pernah berhenti sedetik
pun. Jangankan satu jam, sedetik pun nggak pernah
berhenti nikmat Allah. Mulai kapan? Mulai awake dewe
nyuwun sewu, mulai kita dalam perut ibu kita sudah
mendapat rizki diberi nikmat oleh Allah”

Berdasarkan tuturan 2 di atas, pencermah dominan memakai

bahasa Indonesia untuk menyampaikan isi ceramahnya. Penggunaan

bahasa Jawa juga terdapat di dalam bagian isi, tetapi tidak secara

keseluruhan hanya beberapa kata saja yaitu “mulai awake dewe nyuwun

sewu” yang berarti “mulai dari kita, mohon maaf”. Hal ini

mengindikasikan terjadinya pergeseran penggunaan bahasa dalam

ranah keagamaan.

Peristiwa 2

Deskripsi Situasi :

Ranah keagamaan diambil saat acara rutin agama oleh ibu-ibu

Desa Bukit Mulia atau biasa disebut yasinan. Kegiatan itu dilaksanakan

rutin setiap pekan pada hari Jum’at. Bahasa yang digunakan ibu-ibu

dalam kegiatan itu adalah bahasa Indonesia sepenuhnya. Acara dimulai

dengan pembukaan, siraman rohani, pembacaan surah yasin dan tahlil,

do’a, dan diakhir dengan penutup.

Tuturan :

MC : “Acara kita selanjutnya yaitu siraman rohani yang


langsung dipimpin oleh Ibu Yamsi. Kepada beliau kami
persilahkan.”

45
Pada tuturan di atas, pembawa acara dalam acara yasinan sudah

sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sudah tidak

digunakan lagi sebagai bahasa pengantar mereka dalam melangsungkan

acara. Hal ini berbeda jauh pada saat bahasa Jawa masih digunakan

dalam setiap lini kegiatan keagamaan. Bahasa yang digunakan tempo

dulu oleh masyarakat Desa Bukit Mulia dalam acara keagamaan adalah

bahasa Jawa.

“Di sini kepada Mbak Hada sekeluarga selaku tuan rumah yang saya
hormati dan seluruh jamaah yasin baik ketua pengurus lainnya di sini
kan ada pengurus-pengurus dan ada ibu sekretaris desa, ada ibu guru,
ada ibu hajah ada ibu dusun ibu RT lengkap di jamaah yasinan maka
semuanya yang saya hormati dan semuanya sama-sama mendapat
rahmat dari Allah Swt. Aamiin. Di sini saya menekankan kembali nggeh
Bu nggeh. Marilah sama-sama kita memanjatkan puji syukur kita
kepada Allah Swt. Dengan ucapan alhamdulilah”

Tuturan di atas merupakan bagian pembuka dari tokoh agama yang

akan menyampaikan siraman rohani. Bahasa yang digunakan oleh tokoh

agama dalam tuturan tersebut adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Namun, bahasa Jawa hanya digunakan untuk penyebutan sapaan

“Mbak” . Kata “nggeh” juga digunakan oleh tokoh agama agar bahasa

yang dituturkan menjadi lebih santun. Pada bagian pembuka siraman

rohani, pemilihan kata-kata dari tokoh agama lebih dominan

menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam

kegiatan keagamaan dianggap lebih daripada menggunakan bahasa

Jawa. Bahasa Jawa yang memeiliki tingkatan tinggi hanya bisa dikuasai

oleh penutur tua saja sedangkan jamaah yasinan ibu-ibu terdiri dari

berbagai rentang usia. Oleh karena itu, pemilihan penggunaan bahasa

46
Indonesia merupakan solusi yang tepat agar acara yasinan dapat berjalan

lancar. Hal tersebut tanpa disadari mengindikasikan adanya pergeseran

bahasa dalam ranah keagamaan.

Selain pada bagian pembuka, bagian isi juga menunjukkan adanya

penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang lebih sering

digunakan dalam ranah keagamaan.

“… Kita tidak boleh percaya neng gone sesaji-sesaji, karena itu


adalah tidak ada dasarnya seng bakale awak e dewe niki mbesok dituntut
neng hari kiamat. Sesaji niku lho Bu’. Jadi tidak boleh, Bu’. Malam
jum’at nopo nggawe kembang segelas niku ngundang setan. Lha malam
jumat niku setan menuhi Bu teng griyo …. Jadi rumah itu selalu
dikerumuni oleh setan kalau kita menyediani sajian setan. Paham, Bu?.
Jadi kita disajikan dengan sajian yang apik kalimat Laillahaillallah
Muhammad Rasulullah niku mengke ilang Bu setan. Wedi kaleh kalimat
apik. Jadi jangan sampai ibu-ibu pengajian itu masih untuk
memperbudayakan kentelnya adat seng bakal dijaluki tanggung jawab.
Niku sirik Bu mboten angsal. ”

Berdasarkan tuturan di atas, terdapat dua penggunaan bahasa yaitu

bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada pagian isi, tokoh agama yang

merupakan sesepuh di Desa Bukit Mulia menyampaikan pesan

menggunakan percampuran dua bahasa. Penutur tua memang lebih

memahami mengenai bahasa Jawa. Oleh karena itu tuturan-tuturan

tokoh agama pada bagian isi cukup banyak dalam menggunakan bahasa

Jawa. Namun, bahasa Indonesia tetap mendominasi setiap tuturan-

tuturan dalam kegiatan keagamaan.

Peristiwa 3

Deskripsi Situasi :

47
Ranah keagamaan dalam peristiwa 3 diambil pada saat acara

tahlilan 100 hari di rumah salah seorang warga pada malam hari. Acara

dibuka oleh seorang pemuka agama di wilayah tersebut. Acara diimulai

dengan salam, penyampaian maksud dan tujuan berkumpulnya di tempat

tersebut, pembacaan tahlil, dan penutup.

Tuturan 1:

“Dan yang ketiga kalinya syukur alhamdulillah, atas berkat Allah Yang
Mahakuasa. Pada malam hari ini kita masih diberi nikmat rahmat yang
besar yaitu merupakan nikmat umur, nikmat sehat jasmani rohani
sehingga pada malam hari kita semua masih bisa memenuhi undangan
dari Pak Sagi sekeluarga dan juga Bapak Sumarsono dalam keadaan
sehat walafiat.”

Berdasarkan tuturan di atas, hanya terdapat satu bahasa yang

digunakan oleh pemuka agama pada bagian pembuka acara tersebut,

yaitu bahasa Indonesia. Tidak terdapat penggunaan bahasa Jawa di

dalam tuturan tersebut. Pada ranah kegamaan peristiwa 3 ini,

menunjukkan adanya pergeseran bahasa karena bahasa Jawa sebagai

bahasa asli masyarakat sudah tidak digunakan lagi pada ranah ini.

Tuturan 2:

“Di sini saya sebagai wakil dari Bapak Sagi dan Mas Sumarsono
sekeluarga mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kerelaannya
dengan memenuhi undangannya. Mudah-mudahan kita semua yang
hadir pada malam hari ini selalu mendapatkan barokah dan ridho dari
Allah Swt. …. Dan selanjutnya di sini saya menyampaikan tujuan dari
sohibul bait sekeluarga yaitu minta bantuannya do’a yang mana nanti
akan dikhususkan kepada almarhum Ahmad Faiza Alfandi pas pada saat
ini adalah 100 harinya.”

Tuturan 2 merupakan bagian penyampaian maksud dan tujuan.

Pada bagian tersebut pemuka agama dominan menggunakan bahasa

Indonesia. Hanya ada satu kata yang menggunakan bahasa Jawa yaitu

48
pada kata “Mas” yang berarti sapaan untuk orang laki-laki agar terdengar

sopan di dalam norma adat suku Jawa. Di dalam tuturan tersebut, jelas

mengindikasikan adanya pegeseran penggunaan bahasa, sebab bahasa

Jawa tidak lagi digunakan untuk menyampaikan maksud dari pemuka

agama.

4.1.2.2 Transaksi Jual Beli

Peristiwa 1

Deskripsi Situasi :

Kegiatan transaksi jual beli diambil oleh peneliti di sebuah toko.

Terdapat satu orang penjual dan satu orang pembeli di dalam toko

tersebut. Pembeli sedang bertanya-tanya mengenai harga barang yang

akan dibelinya.

Tuturan :

Penjual : “Apa, mbak?” (1)


Pembeli : “Gantungane, seng apa ya?” (2)
Penjual : “Seng gede opo seng cilik?” (3)
Pembeli : “Seng gede aja” (4)
Penjual : “Tapi seng Lion Star iki. Seng apik. Enam puluh lima
… Nek iki tiga puluh ae” (5)
Pembeli : “Yang ini aja, nggak papa. Enam puluh?” (6)
Penjual : “Enam puluh lima..” (7)
Pembeli : “Terima kasih” (8)
Pembeli : “Sama-sama” (9)

Berdasarkan peristiwa 1 di atas dapat ditemukan dua bahasa, yaitu

bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa terdapat pada tuturan

2, 3, 4, dan 5. Namun, di dalam tuturan tersebut juga masih terdapat

penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa secara

49
keseluruhan hanya terdapat pada tuturan 3. Tuturan 2, 4, dan 5 beberapa

kata sudah memakai bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bahasa

Jawa. Sedangkan bahasa yang paling dominan digunakan pada peristiwa

tersebut adalah bahasa Indonesia, terdapat pada tuturan 1, 6, 7, 8, dan 9.

Peristiwa 1 di atas mengindikasikan adanya pergeseran

penggunaan bahasa dalam ranah masyarakat pada kegiatan bertransaksi

jual beli. Pada tuturan di atas harga barang sudah tidak dinyatakan

dengan bahasa daerah tetapi sudah diganti menggunakan bahasa

Indonesia. Dinyatakan dalam tuturan di atas bahwa harga barang adalah

enam puluh lima. Penjual dan pembeli sama-sama menggunakan bahasa

Indonesia untuk menyatakan harga barang. Selain itu, tuturan di atas

lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dari bahasa Jawa.

Peristiwa 2

Deskripsi Situasi :

Transaksi jual beli pada peristiwa 2 terjadi di sebuah toko

perabotan rumah tangga. Terdapat dua orang pembeli yaitu ibu (P1) dan

anak (P2) , serta satu orang penjual. Pembeli sedang bertanya-tanya

mengenai barang yang akan dibelinya.

Tuturan :

P1 : “Lain Lion Star, Bu, lah?” (1)


Penjual : “Lain, yang biasa. Sepuluh ribu aja.” (2)
P1 : “Ini kah?” (bertanya kepada anak di sampingnya) (3)
P2 : “Mau bola” (4)
P1 : “Bola itu piro, Bu?” (5)
Penjual : “Iya, pian ambil. Handak mainan bola, kah? Iya, turunakan”
(6)
P1 : “Iya. Muka rumah ni pang.” (7)

50
Penjual : “Anu, kawannya banyak jua.” (8)
P1 : “Inggih” (9)

Berdasarkan tuturan peristiwa 2, ada tiga bahasa yang digunakan

yaitu bahasa Indonesia, bahasa Banjar, dan bahasa Jawa. Bahasa

Indonesia terletak pada tuturan (2) dan (4), bahasa Banjar terdapat pada

tuturan (1), (3), (6), (7), (8), dan (9), dan bahasa Jawa hanya terdapat

pada tuturan (5). Sehingga, bahasa dominan yang digunakan dalam

transaksi jual beli di atas adalah bahasa Banjar.

Pada tuturan di atas hanya terdapat satu tuturan yang menggunakan

bahasa Jawa. Dalam tuturan (5), tidak semua kata dalam kalimat yang

dituturkan pembeli menggunakan bahasa Jawa. Hanya satu saja yang

memakai bahasa Jawa yaitu kata “piro” yang berarti “berapa”. Pada

peristiwa tersebut, terjadi pergeseran bahasa Jawa ke bahasa Indonesia

dan bahasa Banjar dalam kegiatan transaksi jual beli,

Peristiwa 3

Deskripsi Situasi :

Pada peristiwa 3, terjadi transaksi jual beli di salah satu toko di

Desa Bukit Mulia. Di dalam transaksi tersebut, terdapat seorang penjual

dan pembeli yang akan membeli pisau.

Tuturan :

Pembeli : “Pisau, selain ini?” (1)


Penjual : “Nggak ada.” (2)
Pembeli : “Yang cutter pang?” (3)
Penjual : “Nggak ada. Itu landep itu.” (4)
Pembeli : “Aduh ae, kadada ulun semalam ulun sudah manukar ini
manyuruh kananakan. Gasan menyiang iwak. Kada bisa” (5)
Penjual : “Oiya, lemes.” (6)

51
Pembeli : “Berapa ini?” (7)
Penjual : “Lima ribu” (8)

Berdasarkan tuturan di atas, ada tiga bahasa yang digunakan oleh

penjual dan pembeli dalam berkomunikasi. Ketiga bahasa tersebut

adalah bahasa Indonesia, bahasa Banjar, dan bahasa Jawa. Bahasa

Indonesia terdapat pada tuturan (1), (2), (7), dan (8), bahasa Banjar

terdapat tuturan (3), dan (5), dan bahasa Jawa terdapat pada tuturan (4)

dan (6).

Pada tuturan (4) penjual melakukan campur kode menggunakan

bahasa Jawa yaitu melalui kata “landep” yang berarti tajam. Namun,

pembeli pada tuturan (5) juga memahami maksud kata tersebut dan

menjawabnya dengan bahasa Banjar.

Pembeli : “Aduh ae, kadada ulun semalam ulun sudah manukar ini
manyuruh kananakan. Gasan menyiang iwak. Kada bisa”
(Aduh, tidak ada. Saya kemarin meminta anak-anak untuk
membeli ini untuk membersihkan sisik ikan. Tidak bisa)

Pada peristiwa ini penjual dan pembeli lebih memilih

berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut lebih dibuktikan

dengan banyaknya tuturan bahasa Indonesia daripada bahasa Banjar.

Peristiwa ini mengindikasikan adanya pergeseran penggunaan bahasa

dalam ranah transaksi jual beli.

4.1.2.3 Posyandu

Kegiatan posyandu dilaksanakan setiap satu bulan sekali pada

pukul 08.00-selesai di Desa Bukit Mulia. Di dalam kegiatan tersebut

52
terdapat petugas kesehatan, peserta posyandu, dan beberapa aparat desa.

Peserta posyandu terdiri dari ibu-ibu hamil dan menyusui, ibu-ibu lanjut

usia, dan balita. Kegiatan diawali dengan senam bersama ibu-ibu lansia

di halaman balai desa selama kurang lebih 25 menit. Setelah agenda

senam selesai, mereka mengambil nomor urut antrean yang telah

disiapkan petugas. Pada ranah posyandu peneliti mengamati bahasa

yang digunakan antara peserta posyandu dengan peserta posyandu,

peserta posyandu dengan petugas kesehatan, dan petugas kesehatan

dengan petugas kesehatan. Semua orang yang ada di tempat tersebut

berasal dari Desa Bukit Mulia. Bahasa yang digunakan selama kegiatan

tersebut ada tiga, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa

Banjar. Namun, menurut petugas kesehatan bahasa yang dominan

digunakan ketika posyandu adalah bahasa Indonesia.

“Karena ini, ibu-ibukan pada muda-muda ya? Nah, kita


komunikasinya sebagian sudah bahasa Indonesia ... Kan ibu-
ibunya nih muda-muda.” (Habibah, petugas kesehatan, tanggal 15
November 2021)

Berdasarkan pernyataan petugas kesehatan di atas, bahasa Indonesia

lebih banyak digunakan kepada orang-orang muda. Namun, apabila

berkomunikasi dengan orang tua terkadang juga masih menggunakan

bahasa Jawa.

a) Peserta posyandu dengan peserta posyandu

Peneliti memilih dua ibu-ibu yang sedang bercakap-cakap di teras

balai desa. Saat itu, peneliti mencoba untuk mendekati kedua ibu-ibu

tersebut dan mencoba terlibat dalam percakapan.

53
P1 : “Podo mawon, Bu” (1)
P2 : “Sampun? Dereng to?” (2)
P1 : “Nggeh.” (3)
P2 : “Sepedahmu di sana to?” (4)
Peneliti : “Iyo.” (5)
P1 : “O bawa sepedah sendiri tadi?” (6)
P2 : “Enggeh, lha niki keng deso mau mlaku ketemu kulo
teng mriki terus kulo goceng. Pun, monggo, Bu.” (7)
P1 : “Nggeh, nggeh.” (8)
P2 : “Nyebrang meleh.” (9)

Berdasarkan tuturan-turan di atas, terdapat dua penggunaan

bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia

hanya terdapat dalam tuturan (4), (5), dan (6). Sedangkan bahasa

Jawa digunakan dalam tuturan (1), (2), (3), (7), (8), dan (9).

Komunikasi yang dilakukan antara peserta posyandu masih

mengunakan bahasa Jawa. Namun, ketika P1 dan P2 melakukan

komunikasi dengan peneliti, mereka beralih menggunakan bahasa

Indonesia. Setelah P1 dan P2 bercakap-cakap pada tuturan (1), (2),

dan (3) yang masih menggunakan bahasa Jawa, kemudian P2 beralih

menggunakan bahasa Indonesia ketika bertanya dengan peneliti.

P2 : “Sepedahmu di sana to?” (4)


Peneliti : “Iyo.” (5)
P1 : “O bawa sepedah sendiri tadi?” (6)
P2 : “Enggeh, lha niki keng deso mau mlaku ketemu kulo teng
mriki terus kulo goceng. Pun, monggo, Bu.” (7)

Saat peneliti berusaha tetap untuk berkomunikasi menggunakan

bahasa Jawa pada tuturan (5), tetapi P1 kemudian juga beralih

menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan

peneliti. Hal tersebut dikarenakan rentang usia antara peserta

54
posyandu dengan peneliti. Orang tua cenderung menggunakan

bahasa Indonesia ketika berbicara dengan yang lebih muda. Pada

tuturan (7), P2 kembali menggunakan bahasa Jawa dalam

berkomunikasi dengan P1. Hal tersebut menandakan bahwa

penggunaan bahasa Jawa masih digunakan apabila berbicara dengan

penutur yang lebih muda saja.

b) Peserta posyandu dengan petugas kesehatan

Bahasa yang digunakan antara peserta posyandu dan petugas

kesehatan saat berkomunikasi adalah bahasa Indonesia dan bahasa

Jawa. Namun, petugas kesehatan melihat rentang usia peserta

posyandu, apabila peserta posyandu berasal dari kalangan muda

maka petugas kesehatan menggunakan bahasa Indonesia. Namun,

apabila peserta posyandu adalah kalangan lansia maka petugas

kesehatan memilih berkomunikasi menggunakan dua bahasa yaitu

bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penggunaan dua bahasa tersebut

dimaksudkan agar lansia lebih memahami apa yang dituturkan

petugas kesehatan. Bahkan, untuk meminimalisir kesalahpahaman

antara petugas dan peserta lansia, terkadang petugas meminta

bantuan kepada orang yang lebih muda untuk menerjemahkan ke

bahasa Jawa halus agar peserta lansia memahaminya. Berikut adalah

tuturan Petugas Kesehatan (PK) dengan peserta posyandu lansia

(PL).

55
PK : “Mbah Kaminah. Keluhane nopo Ibu?” (1)
PL : “Nyeri-nyeri cilik. Kakinya nyeri-nyeri.” (2)
PK : “Sakit maleh? Lutut e? ” (3)
PL : “Enggeh.” (4)
PK : “Selain niku wonten maleh?” (5)
PL : “Gatel kadang-kadang” (6)
PK : “Gatel e kadang-kadang, nggeh?” (7)

PL : “Wonten alergi nopo mboten?” (8)


PK : “Mboten” (9)
PL : “Darahe satus seket e. Kadang-kadang kepalanya pusing
tapi obat darah tinggi ada?” (10)
PK : “Nggeh, wonten. Tapi njenengan mboten gadah tekanan
darah tinggi to?. Paling tinggi pinten?” (11)
PL : “Kadang sampe rongatus tapi mpun lama. Pas wingi
vaksin satus patang puluh. Tapi mengke kulo nedi obat
darah tinggine ben ora ngelu.” (12)
PK : “Nggeh. Kulo paringi tekanan darah e seratus lima
puluh nggeh.” (13)
PL : “Nggeh.” (14)

Berdasarkan tuturan di atas, bahasa yang digunakan dalam

komunikasi tersebut yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Di

dalam semua tuturan antara PK dan PL, banyak terjadi

percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada tuturan (2),

PL menjelaskan mengenai keluhan yang dialaminya yaitu nyeri

pada kaki.

PL : “(2.1) Nyeri-nyeri cilik. (2.2)Kakinya nyeri-nyeri.”

Pada kalimat (2.1), PL menggunakan bahasa Jawa “Nyeri-

nyeri cilik” yang artinya PL merasakan sedikit nyeri. Kemudian

diperjelas lagi menggunakan bahasa Indonesia pada kalimat (2.2)

“Kakinya nyeri-nyeri” untuk menegaskan kepada PK tentang

keluhannya. Penegasan menggunakan bahasa Indonesia yang

dilakukan oleh PL mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa

Jawa telah mengalami pergeseran dan digantikan bahasa lain. PL

56
memilih menegaskan menggunakan bahasa Jawa untuk

mempermudah komunikasi dengan PK yang umurnya lebih muda.

Pada tuturan (11), PK bertanya kepada PL menggunakan

bahasa Indonesia dan bahasa Jawa “Paling tinggi pinten?” artinya

dalam bahasa Indonesia “paling tinggi berapa?”. Di dalam tuturan

tersebut, PK memilih menggunakan Bahasa Indonesia untuk

menyatakan frasa “paling tinggi” dan menggunakan bahasa jawa

untuk kata “berapa”. Apabila tuturan menggunakan bahasa Jawa

sebagai bahasa asli masyarakat Desa Bukit Mulia adalah “Paling

duwur pinten?”. Selain itu, PK dalam tuturan (13) memilih

menggunakan bahasa Indonesia untuk menyatakan angka. Hal

tersebut mengasumsikan bahwa PK takut mengatakan hal yang

salah jika menggunakan bahasa Jawa atau PK tidak menguasai

bahasa Jawa untuk menyatakan bilangan.

PL : “Nggeh. Kulo paringi tekanan darah e seratus lima


puluh nggeh.” (14)

PK lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk

mengatakan angka “seratus lima puluh” daripada bahasa Jawa “-

satus seket”. Hal ini menandakan bahwa, penggunaan bahasa Jawa

untuk menyatakan bilangan pada ranah posyandu sudah jarang

digunakan oleh petugas kesehatan.

c) Petugas kesehatan dengan petugas kesehatan

Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dominan digunakan antara

petugas kesehatan dengan petugas kesehatan. Hal tersebut dikarena

57
usia petugas kesehatan masih terbilang muda sehingga bahasa Jawa

sangat jarang digunakan saat mereka berkomunikasi. Pun jika

mereka menggunakan bahasa Jawa hanya untuk sekadar

memperjelas komunikasi dan bercanda. Berikut adalah tuturan

antara petugas kesehatan dengan petugas kesehatan.

PK 1 : “Ini yang bulan kemarin normal ditaruh aja kah dulu?” (1)
PK 2 : “Kalau nggak ada keluhan, nggeh mboten nopo-nopo.” (2)
PK 1 : “Berati kita komunikasikan kembali?” (3)
PK 2 : “Nggeh. Kalau misal yang kolestrol normal aja, kalau
nggak ada keluhan, kayak gatal batuk-batuk.” (4)

Dari ke 4 tuturan di atas, bahasa dominan yang digunakan

antara PK 1 dan PK 2 adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa hanya

digunakan dalam tuturan (2). Namun, pada tuturan (2) PK 2 tidak

penuh dalam mengungkapkan semua maksud menggunakan bahasa

Jawa. Kalimat “Nggeh. Mboten nopo-nopo” pada tuturan (2) yang

artinya “Iya. Tidak apa-apa” digunakan oleh PK 2 untuk

menambahkan jawaban atas pertanyaan PK 1. PK 2 kemudian

menanyakan kembali, tetapi tidak menggunakan bahasa Jawa

melainkan bahasa Indonesia. “Berarti kita komunikasikan

kembali?”, dari pertanyaan PK 2 dapat diartikan bahwa PK 2 tidak

terlalu menguasai bahasa Jawa sehingga saat PK 1 menjelaskan

menggunakan bahasa Jawa PK 2 kembali mengemukakan

pertanyaan.

Pertanyaan PK 1 pada tuturan (3) dijawab oleh PK 2 dalam

tuturan (4). Jawaban dituturkan oleh PK 2 menggunakan bahasa

Indonesia agar PK 1 lebih mengetahui. Berdasarkan tuturan-tuturan

58
antara petugas kesehatan di atas, bahasa Jawa sudah tidak digunakan

ketika mereka berkomunikasi. Mereka lebih memilih menggunakan

bahasa Indonesia agar tidak terjadi kesalahapahaman dan untuk

memperjelas maksud. Bahasa Jawa cenderung hanya digunakan

untuk memperhalus atau agar perkataan terdengar lebih sopan. Hal

itu ditunjukkan dengan kata “Nggeh.” yang berarti “Iya” seperti yang

dituturkan oleh PK 1 secara berulang-ulang dalam tuturan (2) dan

(4). Selain itu, komunikasi antara PK 1 dan PK 2 lebih

mengedepankan penggunaan bahasa Indonesia.

4.1.2.4 Resepsi Pernikahan

Pada umumnya, setiap kegiatan masyarakat yang diadakan dalam

daerah pedesaan tak lepas dari adat istiadat. Penggunaan bahasa daerah

pun masih tetap digunakan dalam acara tersebut termasuk ketika acara

resepsi pernikahan. Pada resepsi pernikahan dalam penelitian ini,

penggunaan bahasa akan difokuskan pada saat sambutan yang diberikan

oleh kedua perwakilan dari pihak laki-laki dan perempuan.

1) Sambutan dari perwakilan pihak laki-laki (Penyerahan mempelai

laki-laki kepada keluarga perempuan)

Berikut adalah tuturan perwakilan pihak laki-laki dalam

menyampaikan sambutan penyerahan mempelai laki-laki kepada

pihak perempuan:

“Bapak, Ibu, Saudara-saudara yang berbahagia kedatangan kami di


sini yaitu silaturizqi, silaturami, silaturahim yang kita laksanakan
saat ini alhamdulillah membawa sedikit rizqi alakadarnya yang

59
merupakan nanti bisa digunakan bekal untuk mempelai wanita
dalam membina dalam mengarungi hidup berumah tangga dan
tentunya apa barang barang yang kami bawa ini jangan dilihatkan
dari harga atau pun bentuknya. Namun, dari kasih sayang kami
kepada mempelai wanita. Khususnya kasih sayang Ananda Luqman
kepada Ananda Ella.”

Tuturan di atas merupakan tuturan pada bagian pembuka. Bahasa

yang digunakan oleh penutur di atas adalah bahasa Indonesia. Dalam

bagian pembuka sambutan, tidak ditemukan satu kata pun yang

menggunakan bahasa Jawa. Penutur lebih memilih menggunakan

bahasa Indonesia untuk menyampaikan sambutan pada kesempatan

itu dan tidak sedikit pun terdapat unsur bahasa daerah. Hal ini

mengindikasikan adanya peristiwa pergeseran bahasa yang terjadi

dalam kegiatan masyarakat, khususnya saat acara resepsi

pernikahan.

“Kemudian yang ketiga, tujuan kami di sini yaitu silatudo’a


bagaimana kita berharap dan selalu berdoa mudah-mudahan berkat
pernikahan antara Ananda Luqman dan Ella ini nantinya menjadi
sebuah keluarga yang harmonis, yang langgeng, dan tentunya
dibingakai oleh sakinah, mawadah, warahmah sampai ajal
menjemput. Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Hadirin yang berbahagia,
mengingat Ananda Luqman ini merupakan baru pertama menikah
dan insyaAllah juga ini yang terakhir dan tentunya belum banyak
pengalaman. Kami mohon kepada keluarga besar mempelai wanita
apabila Ananda Luqman selama dia di tengah-tengah keluarga, Haji
Lutfi sekeluarga terdapat kekurangan ataupun kekhilafan mohon
tentunya untuk dibimbing, dinasihati. Supaya dalam menjalani
kehidupan mereka berdua senantiasa selalu dalam lindungan Allah
Swt.”

Tuturan di atas adalah tuturan yang disampaikan pada bagian isi.

Bahasa yang digunakan dalam tuturan di atas adalah bahasa

Indonesia. Sama seperti bagian pembuka, perwakilan pihak laki-laki

60
tetap konsisten menggunakan bahasa Indonesia dan sama sekali

tidak terdapat unsur kedaerahan saat memberikan sambutan. Di

dalam sambutannya, berulang-ulang kali perwakilan laki-laki

menggunakan kata “Ananda” yang berasal dari bahasa Indonesia.

Kata tersebut bisa diubah ke dalam bahasa Jawa yaitu “Mas” yang

biasanya sering digunakan untuk memperhalus atau mempersopan-

kan tuturan dalam menyebut orang. Namun, di dalam tuturan

tersebut kata “Ananda” tetap digunakan sampai pada bagian isi. Hal

ini juga mengindikasikan adanya pergeseran bahasa.

“Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, yang berbahagia. Mungkin ini saja


yang dapat saya sampaikan. Mudah-mudahan kedatangan kami
di sini dapat diterima oleh keluarga besar Haji Lutfi dan
sebelum saya akhiri izinkan saya untuk berpantun.
Ikan hiu makan tomat
Anak kucing pergi ke Mekah
Mari kita berdoa dengan hikmat
Semoga pengantin ini sakinah, mawaddah, wa rahmah”

Tuturan di atas terdapat dalam bagian penutup. Dari bagian

pembuka, isi, hingga penutup, bahasa yang digunakan oleh

perwakilan pihak laki-laki adalah bahasa Indonesia. Berdasarkan

semua tuturan yang ada, tampak pergeseran terhadap bahasa Jawa

yang merupakan bahasa asli masyarakat Desa Bukit Mulia. Bahasa

Jawa saat ini sudah jarang digunakan lagi ketika komunikasi dalam

kegiatan-kegiatan masyarakat.

2) Sambutan dari pihak perempuan (Penerimaan mempelai laki-laki

oleh keluarga perempuan)

61
Penggunaan bahasa yang digunakan oleh perwakilan pihak

perempuan untuk menerima mempelai laki-laki sama seperti

perwakilan pihak laki-laki. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa

Indonesia. Di dalam tuturan ini, juga tidak terdapat unsur kedaerahan

yang digunakan.

“… Kami terima dengan lapang dada dan juga dengan tangan


terbuka. Dan juga sekaligus dengan rombongan dari pengantin
laki-laki juga semuanya kami terima dengan terbuka dan juga
dengan lapang dada sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Dan selanjutnya karena semuanya sudah kami terima maka
perlu kami sampaikan juga namanya Luqman tadi dari pihak
laki-laki berangkat atau datang dari jauh sampai ke sini ya tentu
saja seperti yang dikatakan penyerahan tadi meskinya orang
jauh datang ke tempat kita semuanya kemungkinan banyak
berbeda baik segi budaya, sikap, dan sebagainya. Oleh sebab itu
maka tetep kami pihak mempelai perempuan menerima dengan
tangan terbuka.”

Tuturan di atas terdapat pada bagian isi yang menjelaskan bahwa

mempelai laki-laki dan rombongannya diterima dengan baik oleh

pihak perempuan. Pemilihan kata hingga kalimat oleh penutur dari

bagian pembuka hingga penutup tidak ada yang menggunakan

bahasa Jawa. Berikut adalah tuturan pada bagian penutup sambutan.

“Mudah-mudahan anak kami ini nantinya berdua menjadi


pasangan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah dan juga akan
mendapatkan atau menghadirkan keturuan yang soleh solehah
yang bisa berbakti kepada agama, nusa, dan bangsa. Kira-kira
tidak perlu panjang lebar maaf sebelumnya tidak ada pantun
kami karena kurang siap tadi.”

Wujud penggunaan bahasa pada ranah masyarakat dibedakan menjadi tiga

yaitu kegiatan keagamaan, transaksi jual beli, dan posyandu (kesehatan). Dalam

62
kegiatan kegamaan, didapatkan tiga peristiwa yakni peringatan maulid nabi, acara

rutin yasinan, dan acara tahlilan 100 hari. Berdasarkan hasil analisis data setiap

tuturan dalam tiga peristiwa tersebut didaptkan bukti bahwa penggunaan bahasa

Indonesia sudah mendominasi setiap kegiatan keagamaan dalam masyarakat.

Selain bahasa Indonesia, bahasa asli Kalimantan Selatan yaitu bahasa Banjar juga

sudah mulai memasuki ranah kegamaan. Seiring berjalannya waktu masyarakat

Desa Bukit Mulia mulai memahami bahasa Banjar sehingga dalam kegiatan

keagamaan terkadang juga diselingi penggunaan bahasa Banjar untuk situasi

tertentu. Misalnya pada peristiwa 1, bahasa Banjar digunakan oleh penceramah

untuk bercanda dengan jamaah padahal jamaah adalah orang asli Desa Bukit

Mulia yang bersuku Jawa. Dalam kegiatan tersebut bahasa Jawa telah mengalami

pergeseran dengan bahasa-bahasa lain, yaitu bahasa Banjar dan bahasa Indonesia.

Bahasa yang digunakan pada peristiwa 1 dalam kegiatan keagamaan terdiri

dari tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa Banjar,dan bahasa Jawa. Dari

peristiwa tersebut menandakan bahwa bahasa Banjar merupakan bahasa baru yang

mulai dipahami oleh masyarakat Desa Bukit Mulia. Sedangkan bahasa Indonesia

adalah bahasa yang lebih dulu menggeser bahasa asli. Bahasa Indonesia dipilih

oleh penceramah untuk mempermudah komunikasi dengan jamaah. Ada dua

kemungkinan mengapa penceramah memilih menggunakan bahasa Indonesia tida

menggunakan bahasa Jawa. Pertama, penceramah kurang mahir dalam berbahasa

Jawa sehingga ia dominan menggunakan bahasa Indonesia untuk menyampaikan

ceramahnya. Kedua, penceramah lebih menguasai penggunaan bahasa Indonesia

daripada bahasa Jawa. Selain itu, masyarakat pun lebih memilih bahasa Indonesia

sebagai perantara komunikasi antara penceramah dan jamaah. Hal tersebut

63
dikarenakan bahasa Indonesia sudah menjadi kebiasaan mereka setiap hari-

harinya.

Berdasarkan peristiwa 2 dalam acara yasinan ibu-ibu di Desa Bukit Mulia,

bahasa pengantar yang digunakan dalam acara tersebut adalah bahasa Indonesia.

Pemakaian bahasa Jawa terkadang dipakai oleh tokoh agama dalam

menyampaikan isi atau pesan dalam sirama rohani. Namun, bahasa Jawa tidak

digunakan secara keseluruhan. Terdapat percampuran penggunaan bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa yang tujuannya untuk mempermudah komunikasi

antara tokoh agama dan jamaah yasinan. Anggota jamaah yasinan tentu tidak

semuanya merupakan masyarakat Jawa. Sebagian dari mereka merupakan

penduduk asli yang lebih dulu menetap di Kalimantan Selatan. Selain itu, jamaah

yasinan juga terdiri dari golongan ibu-ibu yang masih tergolong muda yang tidak

terlalu fasih dalam menggunakan bahasa Jawa. Apabila tokoh agama

menyampaikan siraman rohaninya menggunakan bahasa Jawa secara

keseluruhan, maka akan ada beberapa jamaah yang tidak memahaminya. Oleh

karena itu, tokoh agama memilih menggunakan dua bahasa untuk berkomunikasi

dengan para jamaah.

Wujud penggunaan bahasa pada peristiwa 3 di acara tahlilan 100 hari,

komunikasi yang digunakan oleh pemuka agama kepada orang yang hadir

menggunakan bahasa Indonesia. Tuturan-tuturan yang dihasilkan menandakan

bahwa bahasa Jawa sudah tidak digunakan dalam acara keagamaan tersebut.

Bahasa Jawa hanya digunakan untuk keperluan dan konteks tertentu, misalnya

untuk menyebutkan “Mas” yang berarti sapaan panggilan kepada orang laki-laki

yang lebih tua atau dihormati. Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan kenyataan

64
di awal Desa Bukit Mulia mulai terbentuk saat bahasa Jawa masih digunakan

dalam acara kegamaan. Lunturnya bahasa Jawa dalam ranah ini akan

menyebabkan hilangnya ciri khas atau karakteristik masyarakat Jawa.

“Kalau bisa jangan dihilangkan yo Mas. Jangan dihilangkan karena itu


istilahnya nanti yang orang-orang jawa kehilangan ciri khasnya.” (Isti
Kharoh, warga, tanggal 15 November 2021)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, warga Desa Bukit Mulia telah

menyadari bahwa telah terjadi penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap aspek

kehidupan masyarakat. Namun, masyarakat tetap berusaha untuk melestarikan

bahasa Jawa dengan cara-cara mereka sendiri.

Penyebutan nominal harga barang juga tidak lagi dalam bahasa Jawa

melainkan menggunakan bahasa Indonesia. Pada peristiwa 1 penyebutan harga

oleh penjual menggunakan bahasa Indonesia yaitu “enam puluh lima”, apabila

nominal harga tersebut menggunakan bahasa Jawa menjadi “suwidak limo”.

Dalam peristiwa 2 dan 3 secara berturut-turut penjual menyatakan harga juga

dalam bahasa Indonesia yaitu “sepuluh ribu” dan “lima ribu”, jika tuturan

tersebut menggunakan bahasa Jawa menjadi “sepuluh ewu” dan “limangewu”.

Perbandingan wujud bahasa Indonesia dan Jawa dalammenyebutkan tentu

berbeda. Unsur bahasa Jawa sudah tidak tampak lagi dala transaksi jual beli di

Desa Bukit Mulia, terlihat dalam peristiwa 2 dan 3 yang sudah sangat tampak

penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar.

Bahasa Banjar cukup tampak dalam kegiatan transaksi jual beli. Hal ini

dikarenakan masyarakat asli Kalimantan Selatan sudah banyak yang berdatangan

ke Desa Bukit Mulia dan ditambah dengan arus mobilisasi yang tinggi dari

masyarakat. Keadaan penggunaan bahasa Banjar pada masyarakt saat dulu dan

65
kini sangat berbeda. Pada awal terbentuknya Desa Bukit Mulia, bahasa Banjar

memang sudah ada tetapi masyarakat belum mempelajari dam memahami bahasa

tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu masyarakat perlahan mulai

memahami dan mencobanya dalam komunikasi sehari-hari. Seperti yang

dituturkan oleh Sekretaris Desa Bukit Mulia berikut.

“Kalau bahasa Banjar di desa kita ini sejak awal sudah ada. Sejak awal
kita masuk di transmigrasi Desa Bukit Mulia sudah ada. Namun, dari
beberapa warga kita memang belum memahami, kan begitu. Ya, karena
mungkin baru ya. Baru datang, tapi untuk saat ini kita rata-rata sudah
memahami lah anak-anak sekarang tentang bahasa Banjar itu.”
(Muhammad Muhaimin, Sekretaris Desa Bukit Mulia, tanggal 15
November 2021)

Berdasarkan keterangan yang dituturkan oleh salah satu aparat desa,

didapatkan keterangan bahwa bahasa Banjar merupakan bahasa yang mulai

berkembang di Desa Bukit Mulia. Keberadaan bahasa baru ini juga menggeser

bahasa Jawa yang menjadi bahas awal masyarakat. Contohnya pada kata “pian”

yang digunakan penjual dalam peristiwa 2 yang artinya “kamu”. Kata “pian”

apabila diubah ke dalam bahasa Jawa akan menjadi “sampean-

/njenengan/panjenengan”.

Wujud penggunaan bahasa dalam kegiatan posyandu dibedakan menjadi tiga,

yaitu peserta posyandu dengan posyandu, peserta posyandu dengan petugas

kesehatan, dan petugas kesehatan dengan petugas kesehatan. Berdasarkan tuturan-

tuturan yang telah dianalisis, komunikasi yang terjadi dalam kegiatan posyandu

di Desa Bukit Mulia lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada

bahasa Jawa. Bahasa Jawa hanya digunakan apabila mereka berkomunikasi antara

peserta posyandu dengan peserta posyandu. Sebagian petugas kesehatan hanya

menggunakan bahasa Jawa saat keadaan tertentu saja. Artinya, bahasa Indonesia

66
merupakan bahasa aktif dan bahasa Jawa adalah bahasa pasif dalam kegiatan

posyandu. Penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan ini banyak digunakan

ketika penutur yang lebih tua berkomunikasi dengan penutur yang lebih muda.

Pada komunikasi yang terjadi antara peserta posyandu dengan peserta

posyandu, bahasa Jawa masih terlihat aktif digunakan karena usia penutur tidak

jauh berbeda. Bahasa yang digunakan antara peserta posyandu masih

mempertahankan penggunaan bahasa Jawa. Namun, peralihan penggunaan

bahasa Indonesia juga kerap kali terjadi mereka berbicara dengan penutur yang

lebih muda atau anak mereka. Apabila hal tersebut berangsur-angsur terjadi di

Desa Bukit Mulia, bahasa Jawa akan mengalami kepunahan bahasa karena tidak

adanya lagi yang menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa hanya digunakan pada

penutur sesama usia dan tidak diajarkan ke genrasi berikutnya. Hal ini selaras

dengan Rafiek (2010) menyatakan bahasa yang mengalami pergeseran dan

keterdesakan ditandai oleh adanya penutur dari bahasa tersebut yang didominasi

oleh para tetua dan warga separuh bayanya, yang merefleksikan tidak adanya

pengalihan bahasa itu ke generasi mudanya. Para penurus lebih diutamakan untuk

mempelajari bahasa Indonesia untuk berkomunikasi daripada bahasa asli mereka,

hal tersebutlah yang bisa menyebabkan kepunahan bahasa.

Peserta posyandu didominasi oleh ibu-ibu lanjut usia, oleh karena itu

penggunaan bahasa mereka masih mengandung unsur kedaerahan jika mereka

berkomunikasi menggunakan bahasa lain. Dalam komunikasi antaran peserta

posyandu dengan petugas kesehatan, bahasa yang digunakan adalah bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa. Petugas kesehatan lagi-lagi melihat rentang usia

ketika berkomunikasi. Di dalam tuturan-tuturan antara peserta posyandu dan

67
petugas kesehatan yang diperoleh peneliti, terjadi percampuran penggunaan

bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Peserta posyandu yang umurnya berada di atas

petugas kesehatan mulai mencoba menggunakan bahasa Indonesia untuk

berkomunikasi dan memperjelas maksud. Walaupun petugas kesehatan juga

memahami bahasa Jawa, peserta posyandu terkadang memilih menggunakan

bahasa Indonesia dalam tuturannya karena mereka ingin memperjelas tuturan agar

petugas kesehatan memahaminya. Bahasa Jawa memang masih digunakan dalam

kegiatan ini, tetapi keberadaan bahasa Indonesia tidak dapat dipungkiri karena

perlahan-lahan akan menggeser bahasa Jawa sebagai bahasa asli masyarakat Desa

Bukit Mulia.

4.1.3 Ranah Pemerintahan

4.1.3.1 Rapat Evaluasi Tahunan Remaja Masjid

Rapat evaluasi tahunan remaja masjid diadakan di teras Masjid Al-

Hidayah pada malam hari. Rapat tersebut dihadiri oleh Ketua Takmir

Masjid Al-Hidayah dan anggota Remaja Masjid Al-Hidayah. Agenda

dalam rapat itu membahas mengenali evaluasi kinerja remaja masjid

selama tahun 2021.

“Saya di sini juga meminta maaf kalau misalnya dalam satu tahun
ini ada kekurangan atau kesalahan dalam menjalankan tugas saya.
Semoga untuk ke depannya kita bisa lebih baik lagi dan bisa lebih
saling bekerja sama dan suatu acara yang kita adakan semoga itu
kita bisa lebih bekerja sama semua jangan cuma itu-itu aja
orangnya. Kita harus semuanya kita bekerja samanya.”

68
Tuturan tersebut merupakan tuturan salah satu anggota remaja masjid

yang menjabat sebagai bendahara. Pada tuturan di atas, bendahara

menyampaikan permintaan maaf atas segala kesalahan dan

kekurangannya dalam menjalankan tugasnya sebagai pemegang

keuangan remaja masjid. Penutur juga mengharapkan kepada anggota

remaja masjid lainnya untuk bisa saling lebih bekerja sama di tahun-

tahun berikutnya ketika mengadakan suatau acara. Bahasa yang

digunakan dalam tuturan di atas semuanya adalah bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Indonesia dianggap lebih santai dan mudah dalam

menyampaikan sesuatu di dalam suatu perkumpulan. Penggunaan

bahasa Indonesia tidak hanya digunakan oleh penutur itu saja, bahasa

Indonesia juga digunakan oleh setiap orang di dalam rapat evaluasi

tersebut.

“Yang kurang ya aku, Mas. Beberapa acara nggak pernah bantuin


dari pagi paling bisa bantu malam. Karena masalah pekerjaan juga
kadang nggak bisa ngambil off (libur) pas ada acara, tapi nanti
diusahakanlah kalo misalnya nanti buat tahun depan kalau masih
ada rejekinya di sini diusahainlah buat bantuin kalau ada acara bisa
off nantinya biar enak terus. Kalau pas ada acarakan mohon maaf
sebelumnya nggak bisa bantu dari pagi.”

Bahasa dominan yang digunakan dalam tuturan di atas adalah

bahasa Indonesia. Penutur memilih menggunakan bahasa Indonesia

untuk berkomunikasi menyampaikan evaluasi untuk diri sendiri

khususnya karena tidak bisa membantu dan mengikuti sepenuhnya

ketika ada suatu kegiatan yang berlangsung. Bahasa Jawa hanya

digunakan pada kata “Mas”, hal ini mengandung makna bahwa nilai

sopan santun masyarakat masih diwujudkan dalam penggunaan bahasa

69
meskipun bahasa yang digunakan tidak bahasa Jawa. Penggunaan

bahasa Indonesia dipilih dalam agenda tersebut untuk mempermudah

pemahaman karena sebagian ada yang berasal dari masayarakt asli

Kalimantan Selatan dan beberapa anak-anak yang tidak menguasai

bahasa Jawa. Selain ketika menyampaikan evaluasi, dalam memberikan

tanggapan pun mereke cenderung menggunakan bahasa Indonesia.

“Sama tambahan dikit, Mas. Kalau misalnya nanti kita mau ada
acara, kalau bisa kalau gitu misal kita butuh dananya banyak nggak
bisa cukup dari kas kita sebulan sebelum acara kita sudah persiapan
jadi nggak terlalu mepet, beberapa kali kita bikin acara mepet terus
kadang 2 minggu 1 minggu sebelum acara makanya dananya lambat
kemarin selesai acara baru dapat dananya kalau bisa satu bulan
sebelum acara …”
Tanggapan tersebut diberikan oleh salah satu anggota ketika sedang

menyampaikan evaluasinya. Tanggapan yang diberikan terkait

pengajuan proposal yang harus diserahkan kepada pihak terkait sebulan

sebelum acara dilaksanakan. Pengajuan proposal pada kegiatan-kegiatan

yang sudah terlaksana sebelumnya sangat berdekatan dengan hari saat

acara berlangsung. Bahkan, ketika acara sudah terlaksana dana proposal

tersebut baru saja muncul. Bahasa dominan yang digunakan oleh

penutur dalam menyamapaikan tanggapannya adalah bahasa Indonesia.

Bahasa Jawa hanya digunakan pada kata “Mas”.

“Kemarin ada masukan, kalau untuk yang ke depannya kita nggak


buat pribadi. Jadi setiap acara nantikan dipinjemin habis itu
dikembalikan lagi. Kalau untuk yang pertama ini kan kita udah
terlanjur sudah kita kasih nama masing-masing. Jadi itu untuk
pribadi yang kedua itu untuk umum kalau udah ada dana lagi baru
kita buat.”

70
Tuturan di atas juga merupakan tanggapan yang diberikan pada saat

rapat evaluasi. Penggunaan bahasa di dalam tuturan tersebut secara

keseluruhan adalah bahasa Indonesia. Tanggapan tersebut kemudian

juga direspon oleh ketua takmir masjid yang juga menggunakan bahasa

Indonesia.

“Berarti hak pakai aja, Mbak, nggeh? Pinjam pakai mawon nggeh.
Jadi harus ada beberapa ukuran juga ini, L, XL. Terus untuk
pembuatan jasnya itu nomor kontaknya masih ada? Soalnya kan
harus sama, Mas.”

Ketua takmir menanggapi mengenai jas atau pakaian khusus untuk

remaja masjid yang dikenakan saat ada agenda berlangsung. Di dalam

tuturan tersebut bahasa dominan yang digunakan adalah tetap bahasa

Indonesia. Namun, terdapat juga bahasa Jawa yang hanya digunakan

untuk selingan-selingan atau pelengkap komunikasi saja, seperti kata

“Mbak, Mas, Nggeh dan Mawon”. Kata-kata tersebut apabila tidak

dipakai pun dalam komunikasi juga tidak memengaruhi makna tuturan,

tetapi penggunaan kata-kata tersebut untuk menunjukkan nilai sopan

santun dan memperjelas maksud tuturan. Selain itu, kegiatan ditutup

dengan evaluasi dari Ketua Takmir Masjid Al-Hidayah.

“Jadi secara pribadi saya mengucapkan banyak terima kasih


kepada rekan-rekan teman AREMA (Asosiasi Remaja Masjid Al-
Hidayah) yang banyak membantu kegiatan-kegiatan di masjid ini
sangat luar biasa sekali. Terlebih ditambah dengan banyaknya ide
yang mucul dari rekan-rekan semua dari teman-teman semua,
Banyak sekali acara di tahun 2021 terutama kemudian di tahun 2022
monggo kita bersama-sama untuk lebih meningkatkan kinerja
kerjasamanya agar lebih kompak lagi biar lebih guyub rukun dan
selalu mengerjakan sesuatu itu dengan bersama-sama.”

71
Pada bagian tuturan evaluasi oleh ketua takmir masjid, bahasa yang lebih

sering digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan

penggunaan bahasa Jawa yang hanya terdapat satu kata dalam tuturan

tersebut yaitu pada kata “monggo” yang berarti “silakan”.

“Selanjutnya yang ketiga tadi sudah disinggung juga, jadi di tahun


2022 kita reng-reng kegiatan biar lebih matang lagi. Jadi selaku
takmir ini sangat luar biasa sekali selalu support kegiatan-kegiatan
tersebut. Kalau ada kendala-kendala monggo mari kita bicarakan
bersama-sama kita rembuk bareng-bareng biar masalah tersebut
bisa teratasi dan acara tersebut bisa berjalan lancar seperti itu, Pak
Ketua. Mungkin hanya itu aja sedikit yang bisa saya sampaikan,
Pak Ketua. Jadi, ini sangat luar biasa sekali dengan keberadaan
AREMA juga support dari desa karena sebelum-sebelumnya remaja
masjid itu tidak ada jadi baru beberapa tahun tapi perkembangannya
itu sangat laur biasa sekali.”
Penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya digunakan pada saat

bagian awal saja oleh ketua takmir. Namun, secara keseluruhan bahasa

yang paling dominan digunakan adalah bahasa Indonesia. Peristiwa ini

menandakan bahwa bahasa Jawa sebagai bahasa asli masyarakat Desa

Bukit Mulia sudah tidak digunakan lagi dalam komunikasi untuk

kegiatan dalam ranah pemerintahan. Keberadaan bahasa Jawa mulai

tergeser oleh bahasa Indonesia.

4.1.3.2 Rapat Tingkat Dusun dan Tingkat Desa

Perkembangan bahasa di Desa Bukit Mulia tidak hanya berada

pada ranah keluarga dan masyarakat. Penggunaan bahasa lain selain

bahasa Jawa juga sudah memasuki ranah pemerintahan. Dalam segala

aspek kegiatan di desa, penggunaan bahasa Indonesia telah

mendominasi dan mampu menggeser kedudukan bahasa Jawa. Pun

72
ketika aparat-aparat desa sedang berada di lingkungan kantor, mereka

cenderung lebih senang menggunakan bahasa Indonesia untuk

berkomunikasi. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan

Bapak Muhammad Muhaimin selaku Sekretaris Desa Bukit Mulia. Pada

segala kegiatan yang ada di desa, termasuk rapat tingkat dusun dan

tingkat desa bahasa yang digunakan sejak dulu adalah bahasa Indonesia

bukan bahasa Jawa.

“Pada tempo dulu. Karena kita campuran daerah di Jawa, yang


saya tahu sejak saya sudah dewasa mengetahui bahwa yang digunakan
bahasa mereka bahasa Indonesia. Sudah menggunakan bahasa
Indonesia.” (Muhaimmin, Sekretaris Desa Bukit Mulia, Tanggal 15
November 2021)

Berdasarkan pernyataan tersebut, bahasa Jawa telah mengalami

pergeseran sejak lama dalam ranah pemerintahan. Hal itu dikarenakan

masyarakat di Desa Bukit Mulia merupakan masyarakat pendatang,

sehingga ada beberapa penduduk yang merupakan masyarakat asli

Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, bahasa Indonesia lebih diutamakan

agar mereka sama-sama saling memahami. Sampai sekarang pun semua

rapat-rapat yang diselenggarakan oleh desa tetap menggunakan bahasa

Indonesia. Namun, bahasa Jawa masih digunakan hanya untuk

memperjelas maksud atau makna, bahan bercandaan, dan menujukkan

bahasa yang sopan.

“Mungkin ada beberapa kosakata yang tidak dipahami warga.


Sehingga kita harus menjelaskan sebagaimana bahasa asal mereka.”
(Muhaimmin, Sekretaris Desa, Tanggal 15 November 2021)

73
Sebagian kecil masyarakat Desa Bukit Mulia masih kurang

memamahi jika pihak desa menjelaskan menggunakan bahasa

Indonesia. Terkadang pihak desa hanya menyelipkan penggunaan

bahasa Jawa dalam komunikasiknya agar warga desa memahami

maksud tuturan.

Pada ranah pemerintahan, penggunaan bahasa Indonesia pun lebih

banyak digunakan oleh aparat desa dalam tuturan setiap harinya.

Bahasa Jawa hanya digunakan oleh aparat desa pada konteks tertentu

saja. Selebihnya mereka dominan menggunakan bahasa Indonesia

untuk berkomunikasi walaupun terkadang bahasa Jawa masih mereka

gunakan hanya untuk konteks tertentu misalnya bercanda dan

memperjelas maksud/tujuan tuturan. Bahasa Indonesia sudah

menggeser keberadaan bahasa Jawa disetiap lini kegiatan di desa.

Masyarakat sudah terbiasa untuk berkomunikasi menggunakan bahasa

Indonesia dan hanya menggunakan bahasa Jawa untuk beberapa

keperluan saja.

Pada saat kegiatan perkumpulan, bahasa Indonesia digunakan

sebagai sarana komunikasi antara mereka. Hal itu disebabkan karena

terdapat masyarakat asli Kalimantan Selatan yang belum memahami

bahasa Jawa sepenuhnya.

“Karena diperkumpulan itu nggak semuanya orang Jawa, orang


Banjar ya ada juga kalau orang Banjar belum pasti kan dia bisa
nerima bahasa dari kita bahasa Jawa. Jadi lebih mudah itu pakai
bahasa Indonesia. Jadi semua orang itu bisa memahami, lebih
ngerti dia.” (Sulis Rovita, warga Desa Bukit Mulia, tanggal 4
Desember 2021)

74
Percampuran masyarakat antara Jawa dan Banjar membuat

masyarakat transmigrasi tidak bisa sepenuhnya menggunakan bahasa

Jawa. Bahasa Indonesia dipilih karena agar kedua-duanya saling

memahami dan menghindari ketidakpahaman terhadap hal yang

dibahas pada perkumupulan tersebut. Penyampaian menggunakan

bahasa Indonesia juga dianggap lebih mudah karena merupakan bahasa

yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

4.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Pergeseran Bahasa

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi pergeseran bahasa di Desa Bukit

Mulia adalah sebagai berikut:

1) Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting dalam perkembangan bahasa.

Dalam domain pendidikan, bahasa yang digunakan umumnya adalah bahasa

nasional. Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan dapat menyebabkan

pergeseran bahasa. Bahasa Jawa tidak digunakan secara aktif dalam semua

lini proses pembelajaran di sekolah. Bahkan muatan pendidikan yang

berbasis kedaerahan pun sudah tidak lagi di ajarkan di sekolah. Hal tersebut

dikarenakan sistem pendidikan yang berada pada daerah Kalimantan Selatan.

Mau tidak mau pendidik dan peserta didik juga harus mempelajari

kebudayaan dan bahasa daerah Kalimantan Selatan.

“Yang jelas untuk itu adalah faktor pendidikan. Jadi dari pendidikan mereka
mungkin dari SDnya, dari Madrasahnya, dari guru-guru, dari anak-anak kita

75
sudah memakai bahasa Indonesia. Jadi durasi waktu mereka kan banyak di
sekolahan ibaratnya. Jadi bahasa yang digunakannya pun lebih sering
menggunakan bahasa Indonesia.” (Muhammad Muhaiammin, Sekretaris
Desa Bukit Mulia, tangal 15 November 2021)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, guru memiliki peran penting dalam

memengaruhi bahasa peserta didik. Keterbiasaan guru dalam menggunakan

bahasa Indonesia akan mudah ditiru dan dijadikan standar oleh peserta didik

bahwa penggunaan bahasa Indonesia merupakan bahasa yang harusnya

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa

bahasa Indonesia merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam

komunikasi antara guru dan peserta didik juga peserta didik dengan peserta

didik. Panjang durasi keberadaan anak-anak di sekolah juga berpengaruh

terhadap penggunaan bahasa mereka. Di Desa Bukit Mulia, waktu mereka

bersekolah adalah pukul 07.30 – 13.00 kemudian disambung lagi dengan

sekolah agam pada pukul 14.30 – 16.00. Lamanya durasi mereka berada pada

lingkungan pendidikan menyebabklan anak-anak mulai terbiasa dengan

penggunaan bahasa Indonesia.

Selain itu, Ulandari (2019) menyatakan bahwa pendidikan

merupakan kewajiban bagi setiap warga negara sehingga mampu mendorong

masyarakat untuk keluar dari lingkungan mereka guna menempuh jenjang

sekolah yang lebih tinggi lagi. Sekolah-sekolah tinggi yang berada di luar

wilayah Desa Bukit Mulia pun menjadi faktor pergerseran bahasa.

Kebanyakan sekolahh-sekolah tinggi berada di daerah perkotaan, sehingga

penggunaan bahasa mereka saat berada di sana pun berbeda dengan di daerah

pedesaan.

76
“Kalau mereka nanti anggap aja kuliah ke kota dan bergaul dengan temannya
di sana, paling enggak kan itu bahasa yang dipakai bahasa Indonesia.”
(Habibah, petugas kesehatan, tanggal 15 November 2021)

Berdasarkan keterangan narasumber dalam wawancara di atas,

tuntuan pengunaan bahasa Indonesia itu berasal dari sekolah tempat mereka

belajar. Semakin tinjggi pendidikan mereka maka penggunaan bahasa

Indonesia semakin ditekankan. Di daerah perkotaan, komunikasi yang

dilakukan menggunkan bahasa daerah khususnya bahasa Jawa sangat jarang

terjadi. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa faktor pendidikan

merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa.

Di era globalisasi saat ini, komponen yang harus dikuasi oleh seseorang

adalah keterampilan seseorang dalam menguasai bahasa untuk

berkomunikasi. Bahasa nasional dianggap oleh anak-anak muda memiliki

kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa daerah. Semakin

fasih seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia maka akan

dianggap pula oleh masyarakat bahwa ia memiliki taraf pendidikan yang

tinggi. Hal tersebut sering terjadi dalam masyarakat pedesaan dan tanpa

disadari pemikiran semacam itu akan membuat seseorang melupakan bahasa

aslinya untuk beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Faktor pendidikan erat kaitanya dengan faktor keluarga. Dalam

lingkungan keluarga menganggap bawah pendidikan anak-anak di sekolah

menggunakan bahasa Indonesia, oleh karena itu di lingkungan keluarga pun

mereka juga harus berbahasa Indonesia.

77
2) Faktor Keluarga

Bahasa digunakan dalam komunikasi untuk menjalin hubungan sosial.

Interaksi yang terjadi dalam keluarga dapat mempengaruh terjadinya

pergeseran bahasa. Keluarga merupakan tempat awal komunikasi bagi anak.

Keluarga mengajarkan pada anak mengenai bahasa yang digunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Pada tempo dulu, orang tua masih mengajarkan

anaknya untuk berbahasa Jawa dalam berkomunikasi. Namun, keadaan

berbanding terbalik dengan saat ini orang tua tidak lagi menggunakan bahasa

Jawa untuk berbicara dengan anak-anaknya. Pun jika berbicara dengan

anggota yang lain, saat ini kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia.

“Waktu dulu rata-rata ya masih pakai Jawa, bahasa Jawa yang halus, kalau
kita terhadap orang yang tua paling tidak kita gunakan bahasa Jawa yang
lebih sopan meskipun kita tidak terlalu kalau istilahnya bahasa Jawa itu
ngoko, tetapi kita sebagai anak tetap berbahasa yang lebih halus terhadap
orang tua.” (Muhammad Muhaimmin, Sekretaris Desa Bukit Mulia, tanggal
15 November 2021)

Bahasa Jawa masih digunakan dalam percakapan antara anggota keluarga

pada tempo dulu terrutama dalam komunikasi antara orang tua dan anak.

Keluarga merupakan tempat sosialisasi bagi anak. Di dalam keluargalah anak

diajarkan bicara menggunakan bahasa. Pada saat ini, banyak keluarga di Desa

Bukit Mulia sudah tidak mengajarkan anak-anaknyaya menggunakan bahasa

Jawa dalam komunikasi di kehidupan sehari-hari. Mereka memilih

menggunakan bahasa nasional sebagai sarana untuk berkomunikasi. Bahasa

Indonesia dianggap lebih cocok diajarkan kepada anak karena berguna untuk

pendidikannya.

78
Salah satu tanda bahwa telah terjadinya pergeseran bahasa adalah

adanya penggunaan bahasa lain yang dianggapnya lebih berperan untuk masa

depannya daripada bahasa asli masyarakat wilayah tersebut. Masyarakat

Desa Bukit Mulia memilih menggunakan bahasa Indonesia kepada anaknya

agar saat memasuki ranah pendidikan mereka sudah terbiasa seperti yang

diungkapkan oleh seorang warga Desa Bukit Mulia yang sekaligus bekerja

sebagai petugas kesehatan.

“Jadi kalau anak-anak sudah diajarkan dari mudanya dari kecilnya


menggunakan bahasa Indonesia jadi mereka tidak kagok, tidak bingung lagi
menggunakan bahasa itu. Kalau bahasa Banjar dan Jawa anggap ajalah 30%
- 40% tetapi tetap kita fokuskan bahasa Indonesia.” (Habibah, petugas
kesehatan, tanggal 15 November 2021)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa

utama yang diajarkan keluarga kepada anak. Keluarga berpatokan dengan

pendidikan yang sama-sama menggunakan bahasa Indonesia dalam segala

pembelajarannya. Kekhawatiran orang tua terhadap anaknya berpengaruh

pada pemilihan bahasa. Aspek utama yang menjadi alasan keluarga memilih

bahasa Indonesia adalah aspek pendidikan. Selain itu, banyaknya keluarga

yang mengajarkan anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia sedari kecil

juga diikuti oleh genersi-generasi selanjutnya.

“Takutnya di sekolah, di sekolah dia akan ketinggalan menggunakan bahasa


Indonesia. Jadi kami tanamkan sejak kecil di rumah cucu-cucu ini
menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia kan merupakan
bahasa persatuan kita” (Isti Kharoh, warga Desa Bukit Mulia, tanggal 15
November 2021)

Bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga akan digunakan juga dalam

ranah pendidikan. Pada ranah keluarga, bahasa ibu sudah tidak digunakan

79
lagi untuk berkomunikasi dan dalam ranah pendidikan bahasa nasional

merupakan bahasa yang harus dikuasai oleh siswa. Hal tersebutlah yang

menyebabkan keluarga lebih bersikeras mengajarkan anaknya untuk

berbahasa Indonesia. Bahasa Jawa juga masih digunakan dalam keluarga

tetapi hanya untuk konteks tertentu saja. Bahasa Indonesia dinilai lebih

mudah oleh diajarkan karena tidak memiliki tingkatan-tingkatan seperti

bahasa Jawa. Namun, nilai sopan santun dalam bahasa Jawa ketika

berkomunikasi tetap ditanamkan oleh keluarga kepada anak.

Satu alasan lagi mengapa keluarga memilih bahasa Indonesia yang

diajarkan kepada anaknya yaitu untuk memberikan pengetahuan kepada

mereka bahwa ada bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia tetapi hal ini juga

tidak lepas dengan aspek pendidikan.

“Untuk mempelajari ya, istilahnya memberi pengetahuan kepada mereka


bahwaa ada bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia sehingga nanti waktu
di dunia pendidikan atau yang lebih tingginya biar lebih memahami bahasa
Indonesia yang lebih baik. Sejak awal kita harus mengajari.” (Muhammad
Muhaimmin, Sekretaris Desa Bukit Mulia, tanggal 15 November 2021)

Pengenalan bahasa baru bagi anak juga mendorong terjadinya peristiwa

pergeseran bahasa. Bahasa Jawa kini tidak digunakan secara aktif dalam

ranah keluarga. Bahasa Indonesia sudah menjadi dominan pada komunikasi

yang terjadi di dalam ranah keluarga. Artinya, pergeseran bahasa Jawa telah

terjadi dalam ranah keluarga dan hal ini jika terus menerus diturunkan dari

generasi ke generasi akan dapat menyebabkan kepunahan bahasa.

3) Faktor Lingkungan

80
Desa Bukit Mulia merupakan desa transmigrasi dari berbagai daerah di

Jawa. Seiring perkembangan zaman, masyarakat tidak hanya bisa berbahasa

Jawa tetapi juga bisa berbahasa asli masyarakat Kalimantan Selatan atau

bahasa Banjar. Penggunaan bahasa Banjar di lingkungan Desa Bukit Mulia

cukup berpengaruh terhadap keberadaan bahasa Jawa. Masyarakat Banjar

saat ini sudah banyak yang mulai bermukim di Desa Bukit Mulia. Oleh

karena itu, masyarakat mulai mencoba mengaplikasikan penggunaan bahasa

Banjar yang telah mereka pelajari selama bertahun-tahun. Masyarakat mulai

terbiasa menggunakan bahasa Banjar untuk beberapa istilah atau kosakata

karena saat ini mereka sudah bisa berbaur di lingkungan dengan orang-orang

asli Kalimantan Selatan.

Lingkungan pergaulan masyarakat Desa Bukit Mulia yang mulai meluas

menyebabkan mereka kini mampu berbicara dengan beberapa bahasa.

Bergesernya bahasa ditunjukkan oleh penggunaan bahasa mereka ketika

berbicara dengan orang yang sesama berasal dari suku Jawa. Bahasa Jawa

dan Bahasa Banjar sama-sama memiliki tingkatan bahasa. Ketika

berkomunikasi sesama masyarakat, seringkali mereka menggunakan

tingkatan bahasa Banjar dan tidak menggunakan tingkatan bahasa Jawa.

Contoh yang paling nampak dalam kehidupan masyarakat adalah kata “ulun-

pian” yang saat ini sudah menggeser kata “kulo-njenengan”. Letak Desa

Bukit Mulia yang tidak jauh dari perkotaan menyebabkan masyarakat Banjar

dengan mudah mengakses wilayah ini. Akibatnya, bahasa Banjar pun dengan

mudah masuk ke Desa Bukit Mulia. Namun, bahasa Indonesia tetap lebih

menjadi prioritas masyarakat dalam berkomunikasi.

81
Keluarga yang sudah terlebih dahulu mengenalkan bahasa Indonesia

kepada generasi berikutnya berpengaruh dalam lingkungan kehidupan

masyarakat. Akibat banyaknya keluarga yang berkomunikasi menggunakan

bahasa Indonesia, maka keluarga-keluarga yang baru terbentuk pun

mengikuti pola bahasa masyarakat terdahulu yang menggunakan bahasa

Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, bahasa Jawa telah mengalami

pergeseran di dalam masyarakat. Komunikasi yang seharusnya masih mereka

lakukan menggunakan bahasa Jawa tetapi saat ini sudah beralih

menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat memiliki asumsi bahwa bahasa

yang lebih baru itu lebih cocok dipakai karena sudah mengikuti

perkembangan zaman.

Lingkungan sekitar juga menuntut generasi penerus untuk

menggunakan bahasa Indonesia ketika ia sedang berada di luar lingkungan

rumah. Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa dominan dalam komunikasi

anak-anak. Saat melakukan segala aktivitas mereka tetap menggunakan

bahasa Indonesia meskipun saat berbicara dengan orang tuanya.

“Bahasa Indonesia. Misalnya ada temannya datang, dia pasti nanya ini di

mana anaknya di mana terus ngajakin ke rumahnya pasti pakai bahasa

Indonesia.” (Sulis Rovita, warga Desa Bukit Mulia, tanggal 4 Desember

2021)

Masyarakat Desa Bukit Mulia adalah masayarakat dwibahasa. Mereka

mampu berkomunikasi menggunakan dua bahasa. Generasi muda yang saat

ini lebih senang menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa

82
berpengaruh terhadap penggunaan bahasa di lingkungan masyarakat.

Penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya terjadi sesama generasi muda saja,

tetapi juga antara generasi muda dan generasi tua. Peralihan bahasa cukup

tampak dalam komunikasi sehari-hari di lingkungan masyarakat baik itu,

ketika melakukan kegiatan agama, transaksi jual beli, dan kegiatan-kegiatan

dari desa seperti posyandu. Dalam kegiatan kegamaaan, masyarakat

cenderung mengikuti penggunaan bahasa dalam ranah keluaga yaitu

menggunakan bahasa Indonesia. Kegiatan transaksi jual beli pun juga sama

tetapi karena sudah cukup banyak masyarakat Banjar yang menetap di Desa

Bukit Mulia, bahasa Banjar mulai bereksistensi di lingkungan masyarakat.

Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang berprestise di

kalangan masyarakat. Penggunaan bahasa di lingkungan Desa Bukit Mulia

tampaknya masih dijadikan tolak ukur untuk menunjukkan kelas sosial di

masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat berusaha untuk menggunakan

bahasa Indonesia dengan baik untuk menunjukkan dan meningkatkan kelas

sosial dari keluarga di mata masyarakat. Melalui penggunaan bahasa

Indonesia, mereka merasa menjadi keluarga yang modern yang sudah

mengikuti perkembangan zaman. Hal tersebut merupakan bentuk sikap

sebagian masyarakat yang mencoba bereksistensi di lingkungan sekitarnya.

4) Faktor Media Elektronik

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi yang berkembang saat ini

berpengaruh terhadap perkembangan bahasa. Tayangan-tayangan di media

elekronik mampu membawa dampak dalam cara mereka berkomunikasi.

83
Teknologi yang semakin maju membuat masyarakat haus akan ilmu

pengetahuan, kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan luar, dan tentunya

sebagai sarana memperoleh hiburan. Mereka menggunakan media elektronik

untuk menjangkau hal-hal tersebut. Melalui penggunaan media elektronik

masyarakat menonton dan mendengarkan penggunaan bahasa dari tayangan-

tayangan yang ditonton. Berdasarkan hasil pengamatan, bahasa Indonesia

merupakan bahasa mencolok yang ditiru oleh anak-anak ketika ia menonton

Youtube di smartphone. Cara anak-anak berbahasa terkesan lebih berbahasa

Indonesia karena yang ditonton mereka adalah tayangan-tayangan yang

menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sering ditemui anak-anaky

mengikuti ragam bahasa Indonesia yang baku untuk berkomunikasi.

“Ada faktor penting yang memengaruhi mereka untuk berbahasa Indonesia


adalah mungkin dengan adanya alat-alat elektronik seperti komputer,
gadegetnya, itukan memakai bahasa Indonesia. Faktor teknologi yang
mungkin memengaruhi di sana.” (Muhammad Muhaimmin, Sekretaris Desa
Bukit Mulia, Tanggal 15 November 2021)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, alat-alat elektronik merupakan

faktor penting yang memengaruhi mengapa masyarakat menjadikan bahasa

Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Masyarakat yang modern di Desa Bukit

Mulia menjadikan media eletronik merupakan salah satu hal yang tak lepas

dalam kehidupan sehari-harinya. Baik itu saat di rumah maupun luar rumah,

alat elektronik selalu berada di jangkauannya. Tingginya intensitas

penggunaan media elektronik tentu berpengaruh dalam penggunaan bahasa.

Semakin tinggi kemampuan seseorang dalam menguasai media maka tinggi

pula kemampuan bahasa Indonesianya. Masyarakat lebih banyak yang

84
senang melihat dan mendengar tayangan-tayangan di media elektronik yang

menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Hal tersebutlah yang

membuat keberadaan bahasa Jawa semakin tergeser mengingat anak-anak

pada saat ini sudah mampu mengoperasikan media eletronik dengan sangat

baik.

Penggunaan media elektronik bagi anak-anak cukup menjadi sorotan

dalam penelitian ini. Anak-anak terlalu sering disuguhkan smartphone oleh

keluarga mereka. Ketergantungan anak terhadap tayangan-tayangan di

smartphone akan menyebabkan keterbiasaan mereka untuk mengikuti apa

yang terjadi di sana. Oleh karena itu, saat ini sering ditemui anak-anak yang

menguasai hitungan menggunakan bahasa asing. Dalam kaitannya dengan

peristiwa pergeseran bahasa, contoh tersebut dapat dianalogikan dengan

kemampuan berhitung anak menggunakan bahasa Indonesia lebih fasih

daripada menggunakan bahasa Jawa. Tayangan-tayangan yang disukai anak-

anak di media elekronik adalah tayangan animasi yang berbahasa Indonesia.

Oleh karena itu, ini menjadi salah satu faktor mengapa anak berbahasa

Indonesia.

Media elektronik merupakan hal yang sudah tidak bisa lebas pada era

saat ini. Seorang warga Desa Bukit Mulia menyebut bahwa media elektronik

berada pada urutan pertama yang menjadi penyebab bahasa Indonesia

mampu menggeser bahasa asli masyarakat.

“Kemungkinan faktor media elektonik, juga sekolah itu sangat


berpengaruh. Jadi mungkin kebawa sampai di rumah termasuk ke teman-
temannya. Faktor perkembangan zaman juga.” (Sulis Rovita, warga Desa
Bukit Mulia, tanggal 4 Desember 2021)

85
Dari anak-anak hingga orang tua saat ini dapat menggunakan media

elektronik di mana pun dan kapan pun. Media elektronik memberikan ruang

baru bagi masyakat Desa Bukit Mulia menemukan bahasa lain, termasuk

bahasa Indonesia yang keberadaanya telah menggeser bahasa Jawa.

Tidak hanya anak-anak yang cukup lihai dalam menggunakan media

elektronik. Para orang tua di Desa Bukit Mulia juga sudah menujukkan

kemampuannya dalam memanfaatkan media eletronik. Tak jarang

masyarakat menggunakan bahasa Indonesia ketika sedang berbagi kisahnya

melalui platform-platform dalam smartphone. Tanpa disadari hal tersebut

lama-lama menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,

tayangan-tayangan berbahasa Indonesia juga dinilai cukup tinggi dalam

memengaruhi para orang tua untuk meninggalkan bahasa Jawa dalam proses

komunikasi. Masyarakat menilai penggunaan bahasa Indonesia yang mereka

tonton di media elektronik lebih berkualitas atau terkesan lebih berkelas

daripada menggunakan bahasa daerah.

5) Faktor Transmigrasi

Desa Bukit Mulia merupakan desa transmigrasi yang terbentuk pada

tanggal 30 November 1984. Pada awal mula terbentuk desa ini bahasa awal

yang digunakan masyarakat untuk berkomunikasi adalah bahasa Jawa.

Selaras dengan Budhiono (2007) menjelaskan bahwa pergeseran bahasa

biasanya terjadi di negara, daerah atau wilayah yang memberi harapan untuk

kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran

atau transmigran untuk mendatanginya. Wilayah Kalimantan Selatan

86
merupakan satu deaerah yang akan didatangi oleh masyarakat transmigran.

Wilayah ini dinilai mempunyai kemungkinan yang tinggi bagi masyarakat

untuk mendapatkan penghasilan ekonomi yang baik daripada sebelumnya.

Hal inilah yang menjadikan Kaliaman Selatan sebagai tujuan transmigrasi.

Melalui adanya program transmigrasi yang dicanagkan pemerintah, program

tersebut mampu mengakibatkan terjadinya peristiwa pergeseran bahasa.

Masyarakat yang mengikuti program transmigrasi adalah masyarakat

yang memiliki bahasa asli yaitu bahasa Jawa. Ketika mereka datang di suatu

wilayah yang memiliki bahasa baru, mereka mau tidak mau harus dituntut

untuk meempelajari bahasa tersebut agar mempermudah komunikasi antar

masyarakat. Pada awal berdirinya Desa Bukit Mulia, mereka belum mampu

memahami bahasa Banjar tetapi saat ini rata-rata masyarakt Desa Bukit

Mulia sudah mampu memakai bahasa Banjar ketika berkomunikasi dengan

masyarakat asli Kaliimantan Selatan. Program transmigrasi menjadikan Desa

Bukit Mulia sebagai wilayah memiliki keberagaman bahasa. Bahasa yang

sering digunakan masyarakat untuk berkomunikasi di sana adalah bahasa

Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Banjar. Adanya keberagaman bahasa di

suatu wilayah akan berdampak pada pergeseran bahasa tertentu. Bahasa Jawa

kini perlahan mulai tergeser oleh bahasa-bahasa lain.

Apabila masyarakat yang bermukim di Desa Bukit Mulia tidak

mengikuti program transmigrasi dan mereka masih tetapi tinggal di daerah

asal mereka. Kemungkinan bahasa Jawa akan tetap dipertahankan dan

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan peristiwa yang telah

terjadi di Desa Bukit Mulia, terlihat jelas bahwa pergeseran bahasa

87
merupakan masalah yang rentan terjadi dalam masyarakat dwibahasa yang

menggunakan berbagai bahasa secara berdampingan. Oleh karena itu,

kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa merupakan faktor penting

untuk teteap melestarikan dan mempertahankan penggunaan bahasa asli

masyarakat setempat. Rasa bangga terhadap bahasa daerah sendiri

merupakan hal penting yang harus ditanamkan pada setiap masyarakat.

6) Faktor Arus Mobilisasi

Seiring dengan berjalannya waktu, arus mobilisasi di Desa Bukit Mulia

cukup tinggi ditambah letaknya yang tak jauh dari daerah perkotaan membuat

desa ini semakin berkembang dalam segi penguasaan bahasa. Bahasa yang

dikuasai masyarakat pada saat ini tidaklah bahasa Jawa saja, melainkan

bahasa Indonesia dan bahasa Banjar. Arus mobilisasi turut berperan dalam

terjadinya pergeseran bahasa. Masyarakat desa yang sering berkunjung ke

daerah perkotaan dalam rangka liburan, kepenting pribadi, berdagang, dan

sebagainya mau tidak mau mereka harus berinteraksi dengan masyarakat asli

yang menggunakan bahasa Banjar. Penggunaan bahasa Banjar di Desa Bukit

Mulia juga sudah memasuki beberapa ranah karna masyarakat Banjar sudah

mulai berkembang di desa. Pemakaian bahasa lain yang digunakan

masyarakat ketika pergi ke kota akan terbawa saat ia kembali ke desa. Hal

tersebut terjadi secara berulang-ulang yang memungkinkan terjadinya

pergeseran bahasa.

Interaksi sosial yang sering terjadi antara masyarakat asli Kalimantan

Selatan dengan masyarakat transmigran menyebabkan masyarakat

88
transmigran terbiasa untuk mengikuti penggunaan bahasa masyarakat Banjar.

Melalui proses interaksi sosial yang terjadi, tanpa disadari masyarakat juga

mulai terbiasa untuk menggunakan bahasa yang sama saat mereka

berkomunikasi dengan masyarakat Banjar dengan penduduk transmigran.

Masyarakat menilai bahwa terdapat bahasa daerah baru yang harus mereka

pelajari karena untuk kepentingan hidup ke depannya. Meningkatnya arus

mobilisasi di Desa Bukit Mulia menjadi faktor yang tidak bisa dipungkiri

yang dapat menimbulkan terjadinya peristiwa pergeseran bahasa.

7) Faktor Usia

Masyarakat Desa Bukit akan menentukan bahasa apa yang akan mereka

gunakan dengan lawan tutur. Saat ini, masyarakat akan memilih menggunakan

bahasa Indonesia dengan seseorang memiliki usia di bawahnya. Hal ini

termasuk pergeseran penggunaan bahasa karena bahasa Jawa sebagai bahasa

asli masyarakat Desa Bukit Mulia sudah tidak digunakan lagi dalam

percakapan atau komunikasi lintas generasi. Berbeda dengan saat awal mula

Desa Bukit Mulia terbentuk bahasa Jawa masih mereka gunakan dan ajarkan

kepada anak-anak untuk berkomunikasi. Pergeseran penggunaan bahasa di

Desa Bukit Mulia saat ini terjadi pada generasi ke tiga. Generasi pertama yaitu

orang-orang yang pertama kali datang ke desa melalui program transmigrasi

yang dilaksanakan oleh pemerintah. Generasi kedua yaitu keturunan dari

generasi pertama, sementara generasi ketiga adalah anak-anak dari generasi

kedua.

89
4.2 Pembahasan

Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan negara Indonesia. Warga negara

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantara atau penghubung dari suku

satu ke suku lain agar dapat sama-sama saling memahami. Pergeseran bahasa

merupakan peristiwa yang sering terjadi di daerah transmigrasi. Sejak awal berdirinya

Desa Bukit Mulia pada tahun 1982 bahasa Banjar memang sudah ada, tetapi

masyarakat belum memahami sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, saat ini

masyarakat mulai memahami dan mencoba menggunakan bahasa tersebut dalam

kehidupan sehari-hari juga ditambah kuatnya arus mobilisasi masyarakat Desa Bukit

Mulia ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan. Hal tersebut merupakan salah satu

yang memengaruhi berkembangnya penggunaan bahasa lain yang mampu menggeser

bahasa asli masyarakat Desa Bukit Mulia. Pada bagian pembahasan ini, akan

dipaparkan mengenai hasil penelitian terhadap teori-teori dan penelitian terdahulu

mengenai pergeseran bahasa.

Peralihan penggunaan bahasa di Desa Bukit Mulia merupakan peristiwa

pergeseran bahasa karena saat ini ketika berkomunikasi mereka lebih mengedepankan

penggunaan bahasa Indonesia. Selaras dengan Fasold (dalam Ulandari, 2019:31)

mengungkapkan bahwa pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat pemakai

bahasa memilih suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata

lain, masyarakat memilih menggunakan bahasa lain yang dianggapnya lebih baru

untuk berkomunikasi. Saat ini bahasa Indonesia sudah memasuki domain keluarga

dan banyak kegiatan masyarakat. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Chaer dan Agustina (2010) bahwa bahasa Indonesia saat ini tidak hanya digunakan

dalam komunikasi antarsuku, penggunanan bahasa Indonesia sudah mulai digunakan

90
pada komunikasi antarsuku karena adanya tujuan-tujuan sosial tertentu. Masyarakat

Desa Bukit Mulia memilih penggunaan bahasa Indonesia karena dianggap penting

untuk menjalani kehidupan.

Tidak hanya bahasa Indonesia, masyarakat Desa Bukit Mulia juga mulai

menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa asli penduduk Kalimantan Selatan untuk

berkomunikasi sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah peristiwa pergeseran

penggunaan bahasa. Bahasa Jawa yang merupakan bahasa asli masyarakat Desa Bukit

Mulia kini mulai bergeser ke bahasa Indonesia dan bahasa Banjar. Banyaknya bahasa

yang digunakan oleh masyarakat Desa Bukit Mulia untuk berkomunikasi

menyebabkan mereka menjadi bilingualisme. Masyarakat Desa Bukit Mulia masih

sering mencampuradukan lebih dari satu bahasa dalam suatu komunikasi. Mereka

sering memasukan penggunaan bahasa satu ke bahasa yang lain. Oleh karena itu,

masyarakat Desa Bukit Mulia masuk ke dalam jenis kedwibahasaan subordinat.

Berdasarkan lima peristiwa yang terjadi dalam ranah keluarga membuktikkan

bahwa orang tua dan anak-anak mulai meninggalkan bahasa asli mereka karena

tuturan-tuturan yang ada dominan menggunakan bahasa lain. Saat ini, bahasa pertama

dari anak-anak di Desa Bukit Mulia adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai

bahasa kedua mereka. Berbanding terbalik dengan keadaan pada saat awal desa ini

terbentuk yang mana bahasa Jawa masih menjadi bahasa pertama. Hal tersebut selaras

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Sururi (2020) berjudul “Pergeseran

Penggunaan Bahasa Jawa di Kalangan Anak-Anak di Desa Sukoharjo Kabupaten

Banyuasin”. Di dalam penelitiannya, dijelaskan bahwa peristiwa pergeseran bahasa

terjadi cukup signifikan di dalam ranah keluarga. Para pengguna bahasa Jawa di

dalam keluarga kini beralih menggunakan bahasa Indonesia.

91
“Enggak, kalau sepenuhnya kayaknya enggak. Paling sebagian jawa sebagian
Indonesia. Sering itu saya dengar. Bahkan kadang sering anak saya sendiri pun
nggak tau. Bu, ini artinya apa, bu? Biasanya kayak gitu.” (Sulis Rovita, warga
Desa Bukit Mulia, tanggal 4 Desember 2021)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dalam ranah keluarga anak-anak saat ini

tidak mampu menggunakan bahasa Jawa secara penuh ketika melakukan komunikasi.

Mereka lenih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa minim

digunakan dalam kalangan anak-anak. Hal tersebut dikarena ketidaktahuan mereka

terhadap kosakata dalam bahasa Jawa. Anak-anak cenderung lebih memahami

kosakata dalam bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Oleh karena itu, pemilihan-

pemilihan kata bagi anak-anak ketika berkomunikasi lebih banyak dalam bahasa

Indonesia tidak bahasa Jawa. Dari wawancara di atas, didapat bahwa peran keluarga

berpengaruh dalam pengetahuan anak terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa asli

masyarakat Desa Bukit Mulia.

Pergeseran bahasa pada ranah keluarga jika dipetakan menggunakan diagram

Fishman dalam Chaer & Agustina (2010) maka saat ini mereka berada pada tahap

bilingual bawahan (B-in-B-j). Berikut adalah diagram pergeseran bahasa yang terjadi

di Desa Bukit Mulia.

Monolingual Bilingual bawahan Bilingual setara


(B-j) (B-j-B-in) (B-j-B-in)

Monolingual Bilingual bawahan


(B-in) (B-in-B-j)
Bagan 4.1 Diagram pergeseran bahasa dalam ranah keluarga di Desa Bukit Mulia

92
Penguasaan bahasa Indonesia dalam ranah keluarga saat ini lebih baik daripada

bahasa Jawa. Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Desa Bukit Mulia dalam

kehidupan sehari-hari dengan baik. Perlahan mereka meninggalkan bahasa Jawa dan

beralih menggunakan bahasa Indonesia. Seiring berjalannya waktu, keluarga tidak

lagi mengajarkan kepada anak-anaknya bahasa Jawa, mereka mengajarkan anak-

anaknya menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini berpengaruh terhadap penguasaan

mereka terhadap bahasa Indonesia lebih baik daripada bahasa Jawa. Bahasa Indonesia

dalam tahap ini pun sudah menjadi bahasa pertama mereka. Sementara itu, orang tua

dalam ranah ranah keluarga pun juga perlahan melupakan bahasa Jawa karena terlalu

seringnya mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan anggota

kelaurganya. Jika dikaitkan menggunakan Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina,

2010:48 ) tentang delapan komponen peristiwa, maka setting and scene, participants,

ends, dan key berpengaruh terhadap penggunaan bahasa dalam ranah keluarga. Setting

and scene mempengaruhi penggunaan bahasa yang terjadi dalam keluarga. Hal ini

berkaitan dengan waktu, tempat, dan situasi psikologis pembicaraan. Participants

merupakan pihak-pihak terkait yang terlibat dalam peristiwa tutur. Dalam hal ini,

kelima peristiwa tutur tersebut terjadi antara anggota keluarga yaitu, orang tua dan

anak serta kakak dan adik. Bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi adalah

bahasa Indonesia. Orang tua akan menggunakan bahasa Indonesia ke anaknya karena

mereka memiliki anggapan bahwa bahasa Indonesia sangat penting untuk diajarkan

kepada anaknya. Namun, orang tua berbicara dengan sesama generasi mereka

cenderung untuk berbahasa Jawa dengan percampuran bahasa Indonesia. Ends

mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan. Orang tua memang cenderung untuk

menggunakan bahasa Indonesia kepada anaknya, tetapi tidak menunutup

93
kemungkinan jga untuk berkoumnikasi menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa

terkadang juga orang tua gunakan untuk memberikan penegasan kepada anaknya. Hal

ini terdapat dalam persitiwa tutur 5.

Ibu : “Omongan opo iku lho. Yo kono ngko ben Akmal seng digondol.”

Pada kutipan percakapan peristiwa 5 di atas, Ibu memberikan penegasan kepada

anaknya agar tidak berbicara seperti itu karena dirasa tidak sopan. Penegasan

dilakukan menggunakan bahasa Jawa untuk lebih menekankan pada maksud dan

tujuan tuturan Ibu karena apabila tetap menggunakan bahasa Indonesia hal tersebut

akan sama saja saat mereka berkomunikasi seperti biasa. Selain ends, peristwa ini

juga disebabkan oleh adanya nada, cara, dan seperti apa pesan tersebut disampaikan.

Hal ini lah yang disebut dengan Key. Pada tuturan di atas, ketika Ibu menggunakan

nada yang sedikit tegas dan menggunakan bahasa Jawa untuk mengingatkan kepada

anaknya bahwa perkataannya itu kurang sopan. Namun, pada percakapan sebelumnya

bahasa Indonesia masih mereka gunakan dalam percakapan yang santai seperti biasa

saat mereka berkomunikasi.

Peristiwa pergeseran bahasa tentu tak lepas dari alih kode dan campur

kode.Penggunaan dua bahasa atau lebih dalam komunikasi menyebabkan terjadinya

kedua hal tersebut. Rafiek (2010) menjelaskan bahwa alih kode terdiri dari alih kode

sementara dan alih kode tetap. Alih kode yang terjadi dalam ranah keluarga yaitu alih

kode yang bersifat sementara. Alih kode menggunakan bahasa Jawa dilakukan oleh

orang tua untuk menekankan maksud atau menegaskan tujuan tuturan kepada

anaknya. Setelah itu, orang tua dan anak akan kembali menggunakan bahasa

Indonesia untuk melajutkan tuturannya. Campur kode menurut Rafiek (2010) juga

dibedakan menjadi dua yaitu campur kode yang dilakukan secara sengaja dan tidak

94
sengaja. Pada ranah keluarga, campur kode menggunakan bahasa Jawa banyak

dilakukan secara sengaja oleh pihak-pihak tutur. Pada peristiwa 2 terdapat peristiwa

campur kode yang dilakukan oleh Adik. Dalam tuturannya ia menggunakan kata

“kelek” (Indonesia: ketiak). Hal tersebut terjadi karena Adik secara sengaja

menggunakan kata tersebut karena tidak bisa menemukan ungkapan yang tepat dalam

bahasa Indonesia. Selain itu, campur kode juga dilakukan oleh orang tua dalam

peristiwa 5 dalam kata “bubuk” (Indonesia: tidur). Campur kode menggunakan bahasa

tersebut dilakukan agar memudahkan pemahaman anaknya.

Bergesernya bahasa Jawa di Desa Bukit Mulia dalam ranah masyarakat tentu tak

lepas dari tuntutan zaman yang semakin maju sehingga mengakibatkan seluruh

lapisan masyarakat memiliki pemikiran yang lebih maju, salah satunya adalah

penggunaan bahasa Indonesia yang dianggapnya lebih modern daripada bahasa Jawa.

Hal tersebut selaras dengan Rafiek (2010) yang mengungkapkan bahwa indikasi

terjadinya pergeseran bahasa adalah penggunaan bahasa lain yang lebih diutamakan

oleh masyarakat karena dianggapnya lebih penting untuk masa depannya daripada

bahasa asli mereka. Masyarakat Desa Bukit Mulia saat ini lebih memilih untuk

berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia karena lebih prestisus dan untuk

menunjukkan bahwa dirinya adalah masyarakat modern. Selain itu, anggapan dari

masyarakat yang menyatakan bahasa Indonesia ini sangat penting untuk proses

pendidikan para generasinya untuk kehidupan selanjutnya. Salah satu hal tersebutlah

yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran bahasa dalam ranah masyarakat di Desa

Bukit Mulia.

“Kalau bisa jangan ya, jangan dihilangkan, karena bagaimana pun bahasa Jawa
itu kan bahasa kita orang Jawa. Kalau kita sampai kehilangan itu sangat
disayangkan. Tapi pada kenyataannya ya sebenarnya perlahan mulai hilang.Ya

95
kalau bisa jangan dihilangkan lah.” (Sulis Rovita, warga Desa Bukit Mulia,
tanggal 4 Desember 2021)

Bahasa Jawa sebagai bahasa asli masyarakat Desa Bukit Mulia saat ini perlahan-

lahan mulai hilang karena generasi tua tidak mengajarkan generasi muda untuk

berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Hal tersebut sebenarnya juga sudah

disadari sengaja oleh masyarakat. Namun, kesadaran akan pentingnya untuk

melestarikan bahasa Jawa masih belum tertanam kuat dalam diri masyarakat Desa

Bukit Mulia. Berdasarkan hasil wawancara di atas, sangat disayangkan apabila orang

Jawa tetapi telah kehilangan bahasa Jawanya. Peristiwa tersebut saat ini tengah terjadi

di dalam masyarakat Desa Bukit Mulia. Bahasa lain mulai berkedudukan aktif dalam

setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Hal ini selaras dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Kamariah dan Abdillah (2016) bahwa pergeseran bahasa Sasak

dibuktikan dengan banyaknya para penutur bahasa Sasak yang memilih untuk

menggunakan bahasa lain seperti bahasa Banjar dan Indonesia untuk berkomunikasi

di lingkungan masyarakat. Sama seperti di Desa Bukit Mulia, kegiatan-kegiatan

masyarakat pun mulai beralih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar,

seperti kegiatan keagamaan, transaksi jual beli, dan resepsi pernikahan.

Masyarakat di Desa Bukit Mulia saat ini termasuk masyarakat yang modern.

Mereka sudah mengenal teknologi-teknologi yang berkembang era saat ini. Salah

satunya penggunaan smartphone yang cukup berpengaruh dalam perkembangan

bahasa di masyarakat. Bahasa Indonesia tidak hanya mampu menggeser bahasa jawa

dalam kegiatan keagamaan. Pergeseran bahasa juga terindikasi terjadi dalam kegiatan

transaksi jual beli. Dalam kegiatan transaksi jual beli, terdapat tiga bahasa yang

digunakan untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa

96
Banjar. Peneliti meneliti tiga peristiwa dalam kegiatan transaksi jual beli. Secara

umum, bahasa yang digunakan ketika masyarakat melakukan transaksi jual beli sudah

tidak seluruhnya menggunakan bahasa Jawa.

Berdasarkan pendapat Rafiek (2010), maka alih kode yang terjadi dalam ranah

masyarakat Desa Bukit Mulia terbagi menjadi dua, yakni alih kode sementara dan alih

kode tetap. Alih kode sementara salah satunya terjadi saat kegiataan posyandu ketika

peneliti berusaha terlibat dalam percakapan. Peserta posyandu menggunakan bahasa

Indonesia untuk berkomunikasi dengan peneliti dan kembali menggunakan bahasa

Jawa saat melakuakn tuturan dengan sesama peserta posyandu. Alih kode tetap terjadi

saat resepsi pernikahan, penutur mengetahui bahwa para audiens hadir dalam acara

teserbut merupakan masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu, jika penutur

menggunakan bahasa Jawa maka akan terdapat beberapa kelompok yang tidak

memahami. Hal tersebutlah yang membuat penutur melakukan alih kode

menggunakan bahasa Indonesia dalam sambutannya. Campur kode menurut Rafiek

(2010) juga dibedakan menjad dua, yaitu campur kode disengaja dan tidak disengaja.

Campur kode dalam ranah masyarakat banyak dilakukan secara sengaja untuk

maksud tuturan bercanda atau senda gurau dan menegaskan tuturan, contohnya

terdapat dalam ranah kegamaan saat penceramah/tokoh agam sedang menyampaikan

tausiyah kepada jamaah.

Faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini dalam ranah masyarakat jika

dihubungkan dengan Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010:48) adalah waktu,

tempat, dan situasi tuturan (setting and scene), maskud dan tujuan tuturan (ends),

siapa yang melakukan tuturan (participants), dan jenis bentuk penyampaian (genre).

Pada setting and scene, penggunaan bahasa masyarakat pada acara rapat evaluasi

97
tahunan remaja masjid dengan kegiatan posyandu tetntu berbeda. Bahasa Indonesia

tampak banyak digunakan dalam situasi rapat berbeda dalam kegiatan posyandu yang

tuturan antara peserta posyandunya banyak menggunakan bahasa Jawa, tetapi tetap

ada percampuran bahasa Indonesia. Participants terkait dengan pihak terkait dalam

tuturan, karena masyarakat Desa Bukit Mulia terdiri dari orang-orang yang memiliki

bahasa yang berbeda maka bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa perantara mereka,

contohnya dalam acara keagamaan dan resepsi pernikahan agar mereka sama-sama

saling memahami. Ends berkaitan dengan maksud dan tujuan pertuturan. Hal ini

banyak terjadi pada saat kegiatan posyandu ketika petugas kesehatan berkomunikasi

dengan peserta posyandu. Terkadang peserta posyandu menggunakan bahasa

Indonesia untuk berkomunikasi dengan petugas kesehatan untuk menekankan maksud

dan tujuan tuturannya agar petugas kesehatan mampu memahami dengan baik

keluhan peserta posyandu. Genre tentu berpengaruh dalam penggunaan bahasa.

Bahasa yang digunakan saat sambutan resepsi pernikahan tentu berbeda saat transaksi

jual beli.

Pergeseran bahasa yang terjadi di Desa Bukit Mulia dalam ranah masyarakat

berada dalam tahapan bilingual setara (B-j-B-in-B-b). Penguasaan bahasa Jawa,

bahasa Indonesia, dan bahasa Banjar oleh masyarakat sudah sama baiknya.

Penggunaan bahasa Banjar sudah mulai dipahami dengan baik oleh masyarakat.

Masyarakat pun juga mulai menggunakan bahasa Banjar untuk berkomunikasi.

98
Monolingual Bilingual bawahan Bilingual setara
(B-j) (B-j-B-in-B-b) (B-j-B-in-B-b)

Monolingual Bilingual bawahan


(B-in) (B-in-B-b)

Bagan 4.2. Diagram pergeseran bahasa dalam ranah masyarakat di Desa Bukit Mulia

Pada tahap ini masyarakat memilih penggunaan bahasa berdasarkan beberapa

faktor. Faktor pertama yaitu rentang usia, karena penguasaan ketiga bahasa itu sudah

baik, masyarakat dengan mudah untuk memilih penggunaan bahasa. Apabila penutur

tua berkomunikasi dengan penutur tua mereka bisa memilih mana suka ketiga bahasa

tersebut atau mencampurkan beberapa bahasa tersebut. Namun, saat penutur tua

berkomunikasi dengan penutur muda, mereka cenderung untung menggunakan

bahasa Indonesia walaupun penguasaan ketiga bahasa mereka sama baiknya. Faktor

kedua yaitu asal mitra tutur, apabila terdapat penutur yang merupakan masyarakat asli

Kalimantan Selatan maka bahasa yang digunakan mereka adalah bahasa Indonesia

atau bahasa Banjar. Apabila sesama penutur dari masyarakat transmigrasi yang

sedang melakukan komunikasi maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan

bahasa Indonesia.

Pergeseran bahasa Jawa dalam ranah pemerintahan merupakan suatu perubahan

sosial dalam masyarakat. Aparat desa senang menggunakan bahasa nasional karena

keterbiasaan mereka ketika berkomunikasi di rumah menggunakan bahasa Indonesia.

Selain itu bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang sudah sering terdengar

di media elektronik. Contohnya ketika seorang pejabat negara melakukan pidato atau

rapat yang menggunakan bahasa Indonesia, hal tersebut akan menjadi patokan bagi

99
aparat-aparat desa karena dianggapnya itulah bahasa yang baik dan seharusnya

digunakan pada saat itu. Padahal tanpa mereka sadari perilaku tersebutlah yang

mengakibat terjadinya peristiwa pergeseran bahasa.

Sebagian besar masyarakat Desa Bukit Mulia lebih memilih menggunakan bahasa

Indonesia untuk menyampaikan aspirasi atau pendapatnya kepada pihak desa. Mereka

menyatakan bahwa jika menggunakan bahasa Indonesia maka penyampaian akan

teras lebih mudah daripada bahasa Jawa dan setiap orang pasti mengerti dengan

bahasa Indonesia Baik aparat desa maupun masyarakat pun saat ini lebih nyaman

dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.

Monolingual Bilingual bawahan Bilingual setara


(B-j) (B-j-B-in) (B-j-B-in)

Monolingual Bilingual bawahan


(B-in) (B-in-B-j)
Bagan 4.3 Diagram pergeseran bahasa dalam ranah pemerintahan di Desa Bukit Mulia

Apabila pergeseran bahasa dalam ranah pemerintahan dipetakan menggunakan

diagram Fishman, maka saat ini masyarakat Desa Bukit Mulia berada pada tahapan

bilingual bawahan (B-in-B-j). Pada tahap ini, penggunaan bahasa Indonesia lebih

sering digunakan oleh masyarakat dan aparat-aparat desa dalam kegitan rapat dan

sosial lainnya. Penguasaan bahasa Indonesia dinilai lebih baik daripada bahasa Jawa.

Hal ini ditunjukkan dengan pemakaian bahasa Indonesia yang telah menggeser bahasa

Jawa. Sejak tempo dulu, dalam ranah pemerintahan penggunaan bahasa Indonesia

100
sudah dilakukan. Hal tersebut lah yang juga menjadi penyebab mengapa bahasa

Indonesia dalam ranah pemerintahan lebih dikuasai daripada bahasa Jawa.

Apabila dikaitkan dengan Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 48)

tentang komponen peristiwa tutur, maka penyebab pergeseran bahasa dalam ranah

pemerintahan adalah setting and scene, participants, ends, act sequence, dan norm of

interaction and interpretation. Pada setting and scene, penggunaan bahasa saat

mereka sedang melakukan komunikasi saat bertransaki jual beli di toko dengan ketika

sedang melakukan rapat tingkat desa tentu berbeda. Bahasa Indonesia lebih dominan

mereka gunakan saat melakukan kegiatan rapat di desa. Participants dalam ranah

pemerintahan juga memengaruhi penggunaan bahasa. Apabila aparat desa berbicara

dengan sesamanya maka mereka cenderung untuk berkomunikasi menggunakan

bahasa Indonesia, berbeda saat mereka berkomunikasi dengan masyarakat desa yang

menggunakan percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Ends digunakan

untuk menekankan maksud tuturan agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat dan

aparat desa. Apabila terdapat ungkapan yang sukar ditemukan dalam satu bahasa,

maka seseorang tersebut akan beralih menggunakan bahasa lain untuk

mengungkapkannya. Bentuk ujaran (act sequences) yang terjadi saat kegiatan rapat

dan percakapan biasa di dalam rumah tentu berbeda. Bentuk ujaran pada saat agenda

rapat akan lebih menggunakan bahasa Indonesia yang formal, berbeda saat mereka

sedang melakukan percakapan biasa. Norm of interaction and interpretation berkaitan

dengan norma atau atuuran dalam berinteraksi. Hal ini terjadi saat agenda rapat

evaluasi tahunan remaja masjid. Peserta melakukan sanggahan saat rapat

menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana yang banyak dilakukan oleh pejabat

negara yang sering mereka lihat di media elektronik.

101
Hasil penelitian ini memiliki beberapa kemiripan dan perbedaan dengan penelitian

terdahulu yaitu penelitian yang dilakukan oleh skripsi Ulandari (2019) yang berjudul

“Analisis Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat Kampung Desa Maruala

Kabupaten Barru”. Pada penelitian tersebut, dipaparkan adanya peristiwa pergeseran

bahasa pada masyarakat Desa Maruala yang ditinjau dari faktor usia, yaitu anak-anak,

remaja, dan orang tua/dewasa. Hal tersebut selaras penelitian ini bahwa juga

ditemukan adanya peristiwa bahasa. Namun, terdapat perbedaan terletak pada aspek

yang ditinjau. Pada penelitian ini pergeseran bahasa ditinjau dari beberapa ranah,

yaitu ranah keluarga, ranah masyarakat, dan ranah pemerintahan. Ranah masyarakat

terdiri dari kegiatan keagamaan, transaksi jual beli, posyandu, dan resepsi pernikahan.

Selanjutnya ranah pemerintahan terdiri dari rapat evaluasi tahunan remaja masjid,

rapat tingkat dusun, dan tingkat desa. Selain itu, penelitian ini juga disertai dengan

faktror-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa di Desa Bukit Mulia.

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (2010) yang

menyatakan bahwa terdapat tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran yang

digunakan di Indonesia, Bahasa Indonesia digunakan dalam domain keindonesiaan

atau sifatnya nasional seperti pembicaraan antarsuku dan pendidikan, bahasa daerah

digunakan pada domain kedaerahan seperti upacara pernikahan dan komunikasi

sesama penturu daerah, sedangkan bahasa asing digunakan untuk penetingan

komunikasi antar bangsa. Hal tersebut berbeda dengan kenyataan yang terjadi pada

masyarakat Desa Bukit Mulia. Pergeseran penggunaan bahasa sudah terjadi dalam

domain-domain tersebut. Penggunaan bahasa Indonesia telah dipakai dalam

komunikasi di keluarga dan kegiatan masyarakat seperti kegiatan keagamaan, resepsi

pernikahan, dan posyandu. Hal ini sejalan dengan Tallei (dalam Chaer dan Agustina,

102
2010:160) pada penelitiannya mengenai perkembangan bahasa Minahasa yang mulai

ditinggalkan penuturnya karena menganggap bahasa Indonesia dapat digunakan lebih

luas daripada bahasa daerah mereka.

Selain itu, berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Putri (2018) yang

berjudul “Pergeseran Bahasa Daerah Lampung Pada Masyarakat Kota Bandar

Lampung”. Di dalam penelitiannya dinyatakan bahwa bahasa Lampung telah

mengalami pergeseran di masyarakat karena masyarakat Lampung asli bukanlah

mayoritas dan dalam kenyataannya bahasa Lampung bukan merupakan tuan rumah di

daerah mereka sendiri. Pada penelitian ini, pergeseran bahasa di Desa Bukit Mulia

dalam ranah masyarakat salah satunya dikarenakan bercampurnya masyarakat

transmigrasi Jawa dan masayarakat asli Kalimantan Selatan. Bukan karena

masyarakat transmigrasi Jawa menjadi kaum minoritas. Bahkan, presentase jumlah

masyarakat Jawa pada awal kedatangan melalui program tranmigrasi lebih banyak

daripada masayarakat Banjar yang lebih dulu menetep di Desa Bukit Mulia.

103
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuaraikan, maka dapat

ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Peristiwa pergeseran penggunaan bahasa telah terjadi pada generasi ke tiga dalam

ranah keluarga. Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa dominan yang digunakan

dalam komunikasi antara anggota keluarga, baik anak kepada orang tua, orang tua

kepada anak, adik kepada kakak, dan kakak kepada adik. Semua tuturan yang

terdapat dalam ke lima peristiwa menunjukkan bahwa pengunaan bahasa

Indonesia pada ranah keluarga lebih aktif daripada menggunakan bahasa Jawa.

Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa Indonesia ialah setting and scene,

participants, ends, dan key. Berdasarkan diagram Fishman, pergeseran bahasa

dalam ranah keluarga berada pada tahap Bilingual Bawahan (B-in-B-j). Artinya,

bahasa Indonesia telah digunakan dengan baik oleh masyarakat Desa Bukit Mulia

untuk berkomunikasi dengan setiap anggota keluarga. Perlahan mereka

meninggalkan bahasa Jawa dan beralih menggunakan bahasa Indonesia.

2. Wujud penggunaan bahasa dalam ranah masyarakat dibedakan menjadi empat

yaitu kegiatan keagamaan, transaksi jual beli, posyandu (kesehatan), dan resepsi

pernikahan. Dalam ranah masyarakat, terdapat tiga bahasa yang digunakan untuk

berkomunikasi yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Banjar.

Penggunaan bahasa dalam ranah masyarakat dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan

situasi tuturan (setting and scene), maskud dan tujuan tuturan (ends), siapa yang

melakukan tuturan (participants), dan jenis bentuk penyampaian (genre).

104
Pergesaran bahasa dalam ranah masyarakat berada pada tahap bilingual setara (B-

j-B-in-B-b). Penguasaan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Banjar oleh

masyarakat sudah sama baiknya.

3. Pergeseran penggunaan bahasa dalam ranah pemerintahan telah terjadi sejak awal

saat Desa Bukit Mulia mulai terbentuk. Pada ranah ini terdiri dari rapat evaluasi

tahunan remaja masjid, rapat tingkat dusun, dan desa. Di setiap kegiatan dalam

pemerintahan bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal ini karena

tidak semua masyarakat di Desa Bukit Mulia memahami bahasa Jawa

sepenuhnya. Faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa dalam ranah

pemerintahan adalah setting and scene, participants, ends, act sequence, dan norm

of interaction and interpretation. Pada ranah pemerintahan, pergeseran bahasa

berada pada tahapan bilingual bawahan (B-in-B-j). Pada tahap ini, penggunaan

bahasa Indonesia lebih sering digunakan dan dikuasai oleh masyarakat dan aparat-

aparat desa dalam segala kegiatan rapat dan sosial lainnya.

4. Peristiwa pergeseran bahasa yang terjadi di Desa Bukit Mulia disebabkan oleh

beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu (1) fakor pendidikan yang

menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan di lingkungan sekolah dan

tuntutan pendidikan ke jenjang yang llebih tinggi menjadikan bahasa Indonesia

merupakan bahasa yang harus dikuasai dengan baik oleh anak-anak; (2) faktor

keluarga yang sedari kecil sudah mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak

sebagai bahasa untuk berkomunikasi karena pengaruh dari faktor pendidikan dan

lingkungan; (3) faktor lingkungan masyarakat yang menuntut mereka untuk

mempelajari bahasa asli masyarakat Kalimantan Selatan; (4) faktor media

elektronik yang berkembang pesat dilingkungan masyarakat sehingga

105
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa mereka; (5) faktor transmigrasi dari

Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan yang memiliki bahasa daerah berbeda; (6) faktor

arus mobilisasi yang semakin meningkat pada masyarakat Desa Bukit Mulia; dan

(7) faktor usia penutur dan lawan tutur.

5.2 Saran

Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Pihak pemerintah Desa Bukit Mulia sudah seharusnya menggalakkan sosialisasi

penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan bermasyarakat agar bahasa Jawa yang

menjadi bahasa asli masyarakat di desa tidak punah dan tetap lestari meskipun

bahasa-bahasa lain sudah mereka kuasai.

2. Hendaknya masyarakat menyadari akan terjadinya peristiwa pergeseran bahasa

yang telah terjadi dalam aspek kehidupan sehari-hari, terutama dalam ranah

keluarga yang sangat kurang dalam memberikan pengajaran bahasa Jawa kepada

anak-anak. Oleh karena itu, adanya kesadaran terhadap kepemilikan bahasa Jawa

bagi masyarakat Desa Bukit Mulia perlu ditingkatkan lagi.

3. Perlunya upaya-upaya dari semua anggota masyarakat dan peneliti bahasa lain

untuk tetap melestarikan penggunaan bahasa Jawa di Desa Bukit Mulia melalui

pembuatan program-program yang nantinya bisa diajukan kepada pemerintah.

4. Perlunya mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa bagi anak-anak di lingkungan

sekolah agar bahasa Jawa masih tetap bisa dipahami oleh anak-anak sehingga

bahasa Jawa masih bisa bertahan dari generasi ke generasi.

106
DAFTAR RUJUKAN

Ayu Puspita Indah Sari, I. S. (2020). Pergeseran Penggunaan Bahasa Jawa di Kalangan
Anak-Anak di Desa Sidoharjo Kabupaten Banyuasin. KIBASP (Kajian Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya), 4(1), 49-60.
Budhiono, R. H. (2019). Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Jawa di Daerah
Transmigrasi di Kota Palangkaraya. Aksara, 31(2), 285-298.
Chaer, A., & Agustina, L. (2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Hadiati, Puji. (2013). Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Jawa Pada Komunitas Band
di Studio Orion Kabupaten Kebumen. Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan
Budaya Jawa, 3(6), 12-17
Hutapea, M. A. (2019). Pola Pergeseran Bahasa Pakpak - Batak Toba pada Masyarakat
Wilayah Perbatasan Desa JumaTeguh - Desa Juma Siulak dalam Ranah
Keluarga di Kecamatan Siempat Nempu, Kabupaten Dairi Kajian :
Sosiolinguistik. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara:
Medan.
Kamariah, M. A. (2016). Pergeseran Bahasa Sasak di Sebamban Kabupaten Tanah
Bumbu. Stilistika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 1(1), 64-76.
Mardikantoro, H. B. (2007). Pergeseran Bahasa Jawa dalam Ranah Keluarga pada
Masyarakat Multibahasa di Wilayah Kabupaten Brebes. Humaniora, 31(2), 43-
51.
Masruddin. (2015). Sosiolinguistik. (Madehang, Ed.) Palopo: Read Institute Press.
Mujid F. Amin, S. (2017). Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Ibu dalam Ranah
Rumah Tangga Migran di Kota Semarang. Nusa, 12(1), 15-26.
Mustika, K. I. (2018). Pergeseran Bahasa Bali Sebagai Bahasa Ibu di Era Global (Kajian
Pemertahanan Bahasa). Purwadita, 2(1), 94-102.
Mustikasari, R., & Astuti, C. W. (2020). Pergeseran Penggunaan Bahasa Jawa Pada Siswa
TK dan KB di Kelurahan Beduri Ponogoro. Aline: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya, 9(1), 64-75.
Nababan, P. (1993). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Putri, N. W. (2018). Pergeseran Bahasa Daerah Lampung pada Masyarakat Kota Bandar
Lampung. Prasasti: Journal of Linguistics, 3(1), 83-97.
Rafiek, M. (2010). Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Prisma.
Rokhman, F. (2013). Sosiolinguistik (Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam
Masyarakat Multikultural). Yogyakarta: Graha Ilmu.

107
Sahril. (2018). Pergeseran Bahasa Daerah pada Anak-Anak di Kuala Tanjung Sumatera
Utara. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 7(2), 210-228.
Samsu. (2017). Metode Penelitian (Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif,
Mixed Methods, serta Research & Development). (Rusmini, Ed.) Jambi: Pusaka
Jambi.
Ulandari, Nur. (2019). Analisis Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat
Kampung Desa Maruala Kabupaten Barru. Skripsi. Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar: Makassar

108
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jalan Brigjen H. Hasan Basri, Kayutangi, Banjarmasin 70123
Telepon/surel 0821.5129.8350/pbsi@ulm.ac.id

LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI

NAMA : Deni Hermawan


NIM : 1810116210028
Pembimbing 1 : Prof. Dr. Jumadi, M.Pd.
Judul Skripsi : Pergeseran Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat di Desa
Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut

No. Tanggal Materi Bimbingan Saran Paraf


Jum’at, 24 Konsultasi mengenai Lanjutkan
1 September 2021 Judul mengerjakan Bab
1, 2, dan 3
Jum’at, 1 Oktober Bab 1, 2, dan 3 Lanjut melakukan
2
2021 penelitian
Jum’at, 8 Oktober Konsultasi Bab 1, 2, Lanjut
3 2021 dan 3 melakukan
penelitian
Senin, Konsultasi skripsi Perbaiki abstrak
4
6 Desember 2021 lengkap dan Bab IV
5 Rabu, 8 Desember Konsultasi skripsi Perbaiki abstrak,
2021 lengkap pada bagian
pembahasan
tambahkan
penelitian
terdahulu dan
kaitkan dengan
teori–teori yang
ada.

109
Senin, 13 Konsultasi skirpsi Disetujui
6 Desember 2021 lengkap mengikuti
seminar hasil
Kamis, 23 Mengajukan seluruh Tambah kajian
Desember 2021 skripsi pustaka mengenai
7 pergeseran
penggunaan
bahasa
Jum’at 25 Konsultasi skripsi Disetujui
8 Desember 3021 lengkap mengikuti ujian
skripsi

110
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jalan Brigjen H. Hasan Basri, Kayutangi, Banjarmasin 70123
Telepon/surel 0821.5129.8350/pbsi@ulm.ac.id

LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI

NAMA : Deni Hermawan


NIM : 1810116210028
Pembimbing 2 : Dr. Moh. Fatah Yasin, M.Pd.
Judul Skripsi : Pergeseran Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat di Desa
Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut

No. Tanggal Materi Bimbingan Saran Paraf


Kamis, 7 Oktober Konsultasi judul Disetujui
1
2021 skripsi melanjutkan
Jum’at, 26 Bab 1, 2, 3, dan 4 Lanjutkan
2
November 201
Senin, 6 Konsultasi bab 4 dan Lanjut
3
Desember 2021 5
Selasa, Konsultasi seluruh Lanjutkan
4
14 Desember 2021 skripsi
5 Kamis, 6 Konsultasi skripsi Disetujui
Desember 2021 lengkap melanjutkan
seminar hasil
6 Kamis, 23 Mengajukan seluruh Disetujui
Desember 2021 skripsi mengikuti ujian
skripsi

111
LAMPIRAN

112
Lampiran 1 Pedoman Observasi

PEDOMAN OBSERVASI

PERGESERAN PENGGUNAAN BAHASA

DALAM KOMUNIKASI MASYARAKAT DESA BUKIT MULIA

KABUPATEN TANAH LAUT

A. Tujuan Observasi

 Mengetahui wujud pergeseran penggunaan bahasa dalam komunikasi masyarakat

di Desa Bukit Mulia pada ranah keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.

 Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran bahasa di

Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut

B. Sasaran Observasi

 Pada ranah keluarga, terdapat tiga keluarga yang menjadi sasaran observasi.

 Pada ranah masyarakat, sasaran observasi terdapat pada orang-orang yang terlibat

dalam empat kegiatan masyarakat, yaitu kegiatan keagamaan, transaksi jual beli,

posyandu, dan resepsi pernikahan.

 Pada ranah pemerintaha, sasaran observasi adalah semua pihak yang terlibat

dalam agenda rapat evaluasi tahunan remaja masjid, rapat tingkat dusun, dan desa.

113
C. Aspek-Aspek yang Diamati

 Gambaran umum masyarakat Desa Bukit Mulia Kabupaten Tanah Laut

 Wujud penggunaan bahasa masyarakat Desa Bukit Mulia yang terbagi dalam

ranah keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.

 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa dalam ranah

keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.

114
Lampiran 2 Pedoman Wawancara

PEDOMAN WAWANCARA

PERGESERAN PENGGUNAAN BAHASA

DALAM KOMUNIKASI MASYARAKAT DESA BUKIT MULIA

KABUPATEN TANAH LAUT

1. Bagaimanakah deskripsi atau gambaran singkat mengenai Desa Bukit Mulia, mulai

dari awal terbentuk hingga saat ini?

2. Bahasa apa yang digunakan oleh setiap warga baik anak-anak sampai orang tua pada

tempo dulu saat Desa Bukit Mulia mulai terbentuk?

3. Bahasa apa yang Bapak/Ibu gunakan ketika berkomunikasi dengan orang tua dan

sebaliknya?

4. Bahasa apa yang Bapak/Ibu gunakan kepada anak dan istri serta sebaliknya”

5. Mengapa memilih mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak untuk

berkomunikasi?

6. Pada saat kegiatan-kegiatan atau rapat-rapat di desa, bahasa apa yang digunakan?

7. Kira-kira mulai tahun berapakah bahasa Indonesia dan bahasa Banjar mulai aktif

digunakan di Desa Bukit Mulia?

8. Bahasa apa yang Bapak gunakan ketika berada di lingkungan perkantoran?

9. Bagaimana menurut Bapak/Ibu penggunaan bahasa pada anak-anak saat ini? Apakah

masih sama menggunakan bahasa Jawa seperti dulu

115
10. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu jika bahasa Jawa sebagai bahasa asli di desa ini

perlahan-lahan mulai menghilang?

11. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang mampu memengaruhi lunturnya atau

hilangnya bahasa Jawa di Desa Bukit Mulia?

12. Bagaimana deskripsi kegiatan posyandu di Desa Bukit Mulia?

13. Bahasa apa yang digunakan dalam kegiatan posyandu?

14. Bagaimana penggunaan bahasa Banjar dan Indonesia di kalangan masyarakat Desa

Bukit Mulia?

15. Bagaimana pemahaman Ibu terhadap bahasa asli masyarakat Kalimantan Selatan,

bahasa Banjar?

116
Lampiran 3 Hasil Wawancara

1. Nama : Muhammad Muhaimmin

Pekerjaan : Sektretaris Desa Bukit Mulia

Pertanyaan 1 :

“Bagaimanakah deskripsi atau gambaran singkat mengenai Desa Bukit Mulia,

mulai dari awal terbentuk hingga saat ini?”

Jawab :

“Desa Bukit Mulia adalah desa transmigrasi awalnya dan terbentuk menjadi

pemerintahan desa itu pada tahun 1984 tepatnya tanggal 30 November tahun

1984 dan untuk warganya rata-rata dari jawa Tengah, Jawa Timnur, Jawa

Barat, dan untuk penduduk aslinya cukup sedikit waktu awal transmigrasi untuk

penduudk lokalnya, khususnya untuk banjarnya. Jadi didominasi oleh warga

dari transmigrasi. Untuk mata pencaharian kita di awal ya banyak tapi rata-

rata fokus pada kegiatan di hutan seperti pembatangan atau perkayuan. Itu

untuk pertanian awal-awalnya masih belum dilaksanakan untuk kurang lebih 5

tahun awal lah setelah kedatangan.”

Pertanyaan 2 :

“Bahasa apa yang digunakan oleh setiap warga baik anak-anak sampai orang

tua pada tempo dulu saat Desa Bukit Mulia mulai terbentuk?”

Jawab :

117
“Pada zaman dulu masih fokus pada daerah masing-masing ya. Yang jelas

kalau dari Jawa Tengah ya menggunakan bahasa dari Jawa Tengah, Kebumen

ya mungkin sejenis ngapak seperti itu. Kemudian dari Jawa Timur ya ada dari

Kediri, Nganjuk, Bojonegoro, ya bahasa Jawa asalnyalah yang kita gunakan.

Pada awal-awal transmigrasi masih banyak ya rata-rata lah dari warga kita

masih menggunakan bahasa aslinya masing-masing. Bahasa Jawa.”

Pertanyaan 3 :

“Bahasa apa yang Bapak gunakan ketika berkomunikasi dengan orang tua

Bapak dan sebaliknya?”

Jawab :

“Waktu dulu ya rata-rata masih pakai Jawa yang halus. Kalau kita terhadap

orang tua ya paling tidak kita gunakan bahasa Jawa yang lebih sopan meskipun

kita tidak kalau istilahnya bahasa Jawa itu ngoko ya kan? Tetapi kita sebagai

anak-anak tetap berbahasa yang lebih halus terhadap orang tua dan orang tua

kita pun sejak awal harus tetap menghormati orang yang lebih tua. Jadi, bahasa

kita pun memakai bahasa-bahasa yang sedikit ngoko walaupun tidak 100%

bahasa halusnya, bahasa Jawanya.”

Pertanyaan 4 :

“Bahasa apa yang Bapak gunakan kepada anak dan istri Bapak serta

sebaliknya”

Jawab :

118
“Kalau kami dari keluarga setiap hari tetap menggunakan bahasa Jawa, yang

jelas seperti itu. Walaupun terkadang-kadang untuk menjelaskan sesuatu hal

kejadian atau apa. Untuk menjelaskan masalah atau apa itu tetap ya juga

menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana kepreluan kita dalam

pembahasan-pembahasan suatu keluarga. Seperti itu. Kalau kepada anak-anak,

kadang-kadang bahasa Jawa, tapi banyak menggunakan bahasa Indonesia.

Dominan bahasa Indonesia kita mengajarkan mereka.”

Pertanyaan 5 :

“Mengapa memilih mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak untuk

berkomunikasi?”

Jawab :

“Untuk mempelajari ya, istilahnya memberi pengetahuan kepada mereka

bahwa ada bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia sehingga nanti waktu

di dunia pendidikan atau yang lebih tingginya biar lebih memahami bahasa

Indonesia yang lebih baik. Sejak awal kita harus mengajari. ”

Pertanyaan 6 :

“Pada saat kegiatan-kegiatan atau rapat-rapat di desa, bahasa apa yang

digunakan?”

Jawab :

“Pada tempo dulu. Karena kita campuran daerah di Jawa, yang saya tahu sejak

saya sudah dewasa mengetahui bahwa yang digunakan bahasa mereka bahasa

Indonesia. Sudah menggunakan bahasa Indonesia. Saat ini juga masih bahasa

119
Indonesia, tetapi mungkin ada beberapa kosakata yang tidak dipahami warga.

Sehingga kita harus menjelaskan sebagaimana bahasa asal mereka.”

Pertanyaan 7 :

“Kira-kira mulai tahun berapakah bahasa Indonesia dan bahasa Banjar mulai

aktif digunakan di Desa Bukit Mulia?”

Jawab :

“Kalau bahasa Banjar di desa kita ini sejak awal sudah ada. Sejak awal kita

masuk di transmigrasi Desa Bukit Mulia sudah ada. Namun, dari beberapa

warga kita memang belum memahami, kan begitu. Ya, karena mungkin baru ya.

Baru datang, tapi untuk saat ini kita rata-rata sudah memahami lah anak-anak

sekarang tentang bahasa Banjar itu.”

Pertanyaan 8 :

“Bahasa apa yang Bapak gunakan ketika berada di lingkungan perkantoran?”

Jawab :

“Ya tetap masih campuran. Gimana ya?. Kalau dominan, dominan Indonesia”

Pertanyaan 9 :

“Bagaimana menurut Bapak penggunaan bahasa pada anak-anak saat ini?

Apakah masih sama menggunakan bahasa Jawa seperti dulu?”

Jawab :

120
“Kalau sepengetahuan saya, rata-rata sekarang memakai bahasa Indonesia.

Mereka (anak-anak) bercanda atau berkomunikasi dengan temannya

kelihatannya seperti itu sudah nampak bahasa Indonesia digunakan.”

Pertanyaan 10 :

“Bagaimana pendapat Bapak jika bahasa Jawa sebagai bahasa asli di desa ini

perlahan-lahan mulai menghilang?”

Jawab :

“Ini adalah satu tantangan yang buat kita untuk pemerintahan desa bagaimana

kita bisa mengememblikan bahasa kita ini paling tidak tidak hilang.Kita ada

pembentukan sebuah sanggar bagaimana anak-anak bisa berlatih tentang

bahasa, tentang tarinya, tentang kesenian-kesenian Jawa sehingga insyaAllah

dengan kegiatan-kegiatan seperti ini bisa mempertahankan bahasa Jawa di

Desa Bukit Mulia.”

Pertanyaan 11 :

“Menurut Bapak, faktor-faktor apa saja yang mampu memengaruhi lunturnya

atau hilangnya bahasa Jawa di Desa Bukit Mulia?”

Jawab :

“Yang jelas untuk itu adalah faktor pendidikan. Jadi dari pendidikan mereka

mungkin dari SDnya, dari Madrasahnya, dari guru-guru, dari anak-anak kita

sudah memakai bahasa Indonesia. Jadi durasi waktu mereka kan banyak di

sekolahan ibaratnya. Jadi bahasa yang digunakannya pun lebih sering

menggunakan bahasa Indonesia. Ada faktor penting yang memengaruhi mereka

121
untuk berbahasa Indonesia adalah mungkin dengan adanya alat-alat elektronik

seperti komputer, gadegetnya, itukan memakai bahasa Indonesia. Faktor

teknologi yang mungkin memengaruhi di sana.”

2. Nama : Isti Kharoh

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pertanyaan 1 :

“Mengapa Ibu lebih memilih mengajarkan anak-anak menggunakan bahasa

Indonesia tidak bahasa Jawa?”

Jawab :

“Takutnya di sekolah, di sekolah dia akan ketinggalan menggunakan bahasa

Indonesia. Jadi kami tanamkan sejak kecil di rumah cucu-cucu ini

menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia kan merupakan

bahasa persatuan kita”

Pertanyaan 2 :

“Menurut Ibu, bahasa apa yang banyak digunakan oleh masyarakat Desa Bukit

Mulia?”

Jawab :

“Kalau yang ada di rumah, anak-anak main itu pakai bahasa Indonesia sih.

Teman-temannya itu kan mainnya ke rumah, mereka komunikasinya

menggunakan bahasa Indonesia.”

122
Pertanyaan 3 :

“Menurut Ibu faktor apa sajakah yang memengaruhi sehingga banyak

masyarakat yang memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk

berkomunikasi daripada bahasa Jawa, khususnya anak-anak?”

Jawab :

“Mungkin ya itu tadi, Mas. Dari kecil sudah komunikasinya sudah pakai bahasa

Indonesia di rumah tadi. Jadi otomatis mereka sama temen-temennya pun pakai

bahasa Indonesia karena bahasa Jawa mungkin juga mereka kurang paham

betul, yo Mas.”

Pertanyaan 4 :

“Bagaimana pendapat Ibu jika bahasa Jawa sebagai bahasa asli di desa ini

perlahan-lahan mulai menghilang”

Jawab :

“Kalau bisa jangan dihilangkan yo Mas. Jangan dihilangkan karena itu

istilahnya nanti yang orang-orang jawa kehilangan ciri khasnya.

3. Nama : Hj. Habibah

Pekerjaan : Petugas kesehatan posyandu

Pertanyaan 1 :

“Bagaimana deskripsi kegiatan posyandu di Desa Bukit Mulia?”

123
Jawab :

“Kegiatan di posyandu ini, kita terbagi menjadi dua. Satu kegiatan posyandu

bayi, balita, dan ibu hamil. Kegiatan yang posyandu lansia.Sebenarnya itu

bisa dipisah sih bayi, balita, lansia, dan ibu hamil di bawahnya lagi. Dan

pesertanya itu sama banyaknya karena ini masa pandemi jadi yang datang ini

kita utamakan bayi balita yang diberikan vaksin, kalau untuk ibu hamil

diutamakan yang jadwali imunisasi TT ibu hamil, kalau lansia itu mereka yang

diutamakan yang sudah vaksin covid dan itupun bergilir perdusun. Jadi kita

tidak boleh sebanyak-banyaknya karena masih dalam masa pandemi. Kalau

sebelum masa pandemi orang-orang di sini banyak sekali. Penuh di sini. Kalau

nggak salah 150 lebih.”

Pertanyaan 2 :

“Bahasa apa yang dominan digunakan dalam kegiatan posyandu?”

Jawab :

“Alhamdulillah. Karena ini, ibu-ibukan pada muda-muda ya? Nah, kita

komunikasinya sebagian sudah bahasa Indonesia. Kebetulan ibu bidannya pun

orang Banjar Indonesia. Jadi mereka kalaunya komunikasi Indonesia. Kan

ibu-ibunya nih muda-muda. Lain embah-embahkan, embah-embah terdahulu

ya mbah.”

Pertanyaan 3 :

“Bahasa apa yang Ibu ajarkan kepada anak untuk berkomunikasi?”

Jawab :

124
“Kebetulan saya orang Banjar Indonesia. Lingkungan ini Jawa. Di rumah

Indonesia. Dominan bahasa Indonesia. Kalau di rumah dominan Indonesia.”

Pertanyaan 4 :

“Mengapa memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk diajarkan kepada

anak tidak bahasa daerah saja?”

Jawab :

“Kita tidak membuang bahasa itu, tapi Kalau mereka nanti anggap aja kuliah

ke kota dan bergaul dengan temannya di sana, paling enggak kan itu bahasa

yang dipakai bahasa Indonesia. Komunikasi pun kita melakukan penyuluhan

rata-rata menggunakan bahasa Indoenesia. Jadi kalau anak-anak sudah

diajarkan dari mudanya dari kecilnya menggunakan bahasa Indonesia jadi

mereka tidak kagok, tidak bingung lagi menggunakan bahasa itu. Kalau

bahasa Banjar dan Jawa anggap ajalah 30% - 40% tetapi tetap kita fokuskan

bahasa Indonesia.”

Pertanyaan 5 :

“Apakah penggunaan bahasa Indonesia saat ini dianggap lebih penting

daripada bahasa daerah? ”

Jawab :

“Semuanya penting sih,ya. Bahasa Indonesia penting, bahasa asli juga jangan

dibuang. Kan begitu ya?. Jadi, ya mungkin menurut saya,ini pendapat saya

sendiri. 40% dan 60% lah. 60% bahasa Indonesia, 40% bahasa Jawa dan

bahasa Banjar tadi, gabungan.”

125
4. Nama : Sulis Rovita

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pertanyaan 1 :

“Bahasa apa yang digunakan ketika berkomunikasi dalam kehidupan sehari-

hari di dalam kelurga, baik kepada suami dan anak-anak?”

Jawab :

“Kalau dengan suami sebenarnya bahasa Jawa, cuman ya kalau di sini kan kita

juga sering pakai bahasa Indonesia. Sama anak-anak juga sering bahasa

Indonesia. Bahasa Indonesia kejawa-jawaan.”

Pertanyaan 2 :

“Mengapa memilih berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia di

lingkungan keluarga tidak menggunakan bahasa Jawa?”

Jawab :

“Ya sambil belajar. Kita kan di sini kan dia kan sekolah juga otomatis di

sekolahan itu kan sudah pakai bahasa Indonesia. Jadi dari kecil itu bahasa

Indonesia ya. Iya. Tapi juga nggak lupa bahasa Jawanya .”

Pertanyaan 3 :

“Bahasa apa yang Ibu lebih pahami dan kuasai?”

Jawab :

126
“Lebih paham bahasa Indonesia malahan, karena kita kan di sini dari kecil

sudah apa ya? Sudah bercampur dengan orang-orang sekitar sini. Kalau kita

ada perkumupulan sama orang tua pasti pakai bahasa Jawa, bahasa Indonesia

yo sering sebanrnya. Kalau kita merasa susah pakai bahasa Jawa, kita pasti

pakai bahasa Indonesia, karena lebih mudah penyampaiannya pakai bahasa

Indonesia dan kebanyakan orang itu pasti ngerti. Karena diperkumpulan itu

nggak semuanya orang Jawa, orang Banjar ya ada juga kalau orang Banjar

belum pasti kan dia bisa nerima bahasa dari kita bahasa Jawa. Jadi lebih

mudah itu pakai bahasa Indonesia. Jadi semua orang itu bisa memahami, lebih

ngerti dia. ”

Pertanyaan 4 :

“Bahasa apa yang paling banyak digunakan dalam masyarakat di Desa Bukit

Mulia?”

Jawab :

“Bahasa Indonesia, ya kayaknya.”

Pertanyaan 5 :

“Bagaimana pengunaan bahasa di kalangan anak-anak di Desa Bukit Mulia?

Apakah masih menggunakan bahasa Jawa atau bahasa lain?”

Jawab :

“Bahasa Indonesia. Misalnya ada temannya datang, dia pasti nanya ini di mana

anaknya di mana terus ngajakin ke rumahnya pasti pakai bahasa Indonesia. ”

127
Pertanyaan 6 :

“Apakah anak-anak sekarang masih memahami bahasa Jawa sebagai bahasa

asli masyarakat Desa Bukit Mulia?”

Jawab :

“Enggak, kalau sepenuhnya kayaknya enggak. Paling sebagian jawa sebagian

Indonesia. Sering itu saya dengar. Bahkan kadang sering anak saya sendiri pun

nggak tau. Bu, ini artinya apa, bu? Biasanya kayak gitu.”

Pertanyaan 7 :

“Bagaimana penggunaan bahasa Banjar dan Indonesia di kalangan

masyarakat Desa Bukit Mulia?”

Jawab :

“Bahasa Banjar di sini ya ada sih, cuman nggak banyak. Tapi lebih banyak

bahkan kadang-kadang yang orang Banjar pun bahasa Indonesia. Mungkin

karena orang Jawa pun ada yang susah memahami bahasa Banjar..”

Pertanyaan 8 :

“Bagaimana pendapat Ibu jika bahasa Jawa sebagai bahasa asli di desa ini

perlahan-lahan mulai menghilang?”

Jawab :

“Kalau bisa jangan ya, jangan dihilangkan, karena bagaimana pun bahasa

Jawa itu kan bahasa kita orang Jawa. Kalau kita sampai kehilangan itu sangat

128
disayangkan. Tapi pada kenyataannya ya sebenarnya perlahan mulai

hilang.Ya kalau bisa jangan dihilangkan lah.”

Pertanyaan 9 :

“Menurut Ibu faktor apa sajakah yang memengaruhi sehingga banyak

masyarakat yang memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk

berkomunikasi daripada bahasa Jawa?”

Jawab :

“Kemngkinan faktor media elektonik, juga sekolah itu sangat berpengaruh. Jadi

mungkin kebawa sampai di rumah termasuk ke teman-temannya. Faktor

perkembangan zaman juga..”

Pertanyaan 10 :

“Apakah bahasa Jawa penting untuk dipertahankan dalam masyarakat?”

Jawab :

“Penting banget sih harusnya. Tapi tergantung kita juga gimana ngajarinnya

ya. Mungkin anak juga pasti bisa karena peran orang tua sebenarnya.”

Pertanyaan 11 :

“Apakah ada upaya dari pihak keluarga untuk kembali mempertahankan

bahasa Jawa?”

Jawab :

“Ya, upayanya ya kalau kita di rumah jangan selalu pakai bahasa Indonesia.

Walaupun nggak banyak tapi tetaplah kita ajari mengenal bahasa Jawa”

129
Pertanyaan 12 :

“Bagaimana pemahaman Ibu terhadap bahasa asli masyarakat Kalimantan

Selatan, bahasa Banjar?”

Jawab :

“Ya paham, paham. Cuman kadang-kadang orang itu paham tapi belum bisa

menyampaikan, tapi kalau paham mungkin paham aja. Sama halnya bahasa

Jawa orang seperti itu. Kadang-kadang paham kita ngomong apa, tapi cara

penyampaiannya agak susah.”

130
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Seorang anak dan ibu yang sedang bercakap-cakap (Dokumentasi 3


Desember 2021)

Gambar 2. Kakak dan adik (Dokumentasi 13 Oktober 2021)

131
Gambar 3. Anak-anak sedang bermain di dalam rumah (Dokumentasi 16
November 2021)

Gambar 4. Transaksi antara penjaul dan pembeli di suatu toko. (Dokumentasi


13 Oktober 2021)

132
Gambar 5. Acara yasinan rutinan ibu-ibu Desa Bukit Mulia

(Dokumentasi 3 Desember 2021)

Gambar 6. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. di Desa Bukit Mulia


(Dokumentasi 17 Oktober 2021)

133
Gambar 7. Kegiatan keagamaan di Desa Bukit Mulia (Dokumentasi 5
Oktober 2021)

Gambar 8. Kegiatan posyandu (Dokumentasi 15 November 2021)

134
Gambar 9. Petugas kesehatan yang sedang berkomunikasi dengan peserta
posyandu (Dokumentasi 15 November 2021)

Gambar 10. Peserta posyandu (Dokumentasi 15 November 2021)

135
Gambar 11. Wawancara bersama Hj. Habibah, petugas kesehatan posyandu.

(Dokumentasi 15 November 2021)

Gambar 12. Wawancara bersama salah seorang warga Desa Bukit Mulia
(Dokumentasi 4 Desember 2021 )

136
Gambar 13. Wawancara bersama Ibu Isti Kharoh

(Dokumentasi 15 November 2021)

Gambar 14. Foto bersama peserta posyandu (Dokumentasi 15 November 2021)

137
Gambar 15. Tempat transaksi jual beli antara penjual dan pembeli
(Dokumentasi 13 Oktober 2021)

Gambar 16. Anak-anak yang sedang menggunakan media elektronik


(Dokumentasi 4 Desember 2021)

138
Gambar 17. Rapat tingkat desa di Kantor Desa Bukit Mulia. (Dokumentasi 13
Oktober 2021)

Gambar 18. Kantor Desa Bukit Mulia (Dokumentasi 22 November 2021)

139
Gambar 19. Rapat Evaluasi Tahunan Remaja Masjid Al-Hidayah (Dokumentasi
6 Desember 2021)

140
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian

141

Anda mungkin juga menyukai