Anda di halaman 1dari 15

BAHAN AJAR DAN

KETERBACAAN
►Setiap guru, bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan
bacaan yang layak untuk siswanya, terlebih-lebih untuk guru bahasa
Indonesia. Mengapa? Karena pengajaran membaca secara formal
dibebankan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia.
►Buku paket atau buku teks sebagai buku pegangan dasar dalam
melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak
jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku terhadap bahan
ajar yang ada.
►Dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk
konsumsi baca ini terasa sangat beragam, dapat berupa buku teks,
buku ilmiah, surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain.
►Kesemua bahan bacaan tersebut berpeluang untuk dijadikan bahan
ajar membaca atau mungkin untuk tugas membaca.
Masalahnya, apakah semua bahan bacaan
yang tersedia serta mudah didapat tersebut
layak untuk konsumsi baca siswa kita?
Bagaimana kita dapat menentukan kriteria
kelayakan dimaksud? Seberapa jauh peran
guru dalam memilihkan bahan bacaanyang
layak baca untuk para siswanya ?
Pengertian dan Latar Belakang
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability
merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya
dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan
mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk
dasarnya.

Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau
ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi,
"keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan
suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.

Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu


bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan
wacananya.

Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh


karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang
akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat
kelas tertentu,
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan

►Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek


penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak
berabad-abad yang lalu.
►Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya
Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan
tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang
digunakan.
►Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad,
namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan.
Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor
keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat
dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana.
►Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya
keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289
faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan
signifikan.
beberapa formula
keterbacaan
►Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim
digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana.
►Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat
kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan
menghitung berbagai variabel.
►Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor utama
yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-
pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya,
semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka
bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan
katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana
yang mudah.
►Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan
untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya
berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi.
►Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan
tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale &
Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
Keterbacaan & Penyediaan Bahan Ajar
► Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru
dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan
tentang tingkat kemampuan membaca berguna, terutama bagi guru yang
memiliki perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi
pemilihan buku-buku teks atau bahan bacaan lainnya.
► Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam
memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun salah
satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber
ilmu yang dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara
untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca.
Lebih baik jika kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan membaca
mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak lain.
►Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksi-
koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat
kabar, jurnal, pamflet-pamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh
pihak sekolah melainkan oleh setiap kelas. Dengan demikian, setiap sekolah
di samping harus memiliki perpustakaan sekolah juga harus memiliki
perpuatakaan-perpustakaan kelas yang terletak di setiap sudut masing-
masing kelas.

► Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi


bacaan yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat
Keterbatasan2 Formula Keterbacaan
► Formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini mendasarkan pada dua hal yakni
panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kedua faktor yang menjadi
landasan bagi formula-formula keterbacaan ini mengundang pertanyaan pada kita.
► Bagaimana dengan konsep-konsep yang terkandung dalam wacana yang bersangkutan?
Bukankah konsep-konsep makna yang terkandung dalam suatu wacana yang tidak
terjakau oleh pembacanya akan berdampak pada keterpahaman pembacanya.
►Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula
keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks.
Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep yang terkandung dalam bacaan
sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan. Dengan kata
lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat
keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
►Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala dihadapkan pada bahan
bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi menggunakan kata-kata dan kalimat-
kalimat yang pendek-pendek, namun tingkat keterbacaan puisi justru malah menjadi
rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa unsur semantis tidak
dapat terjangkau oleh alat ukur keterbacaan yang ada.
►Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya dengan kriteria
kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbacaan? Bukankah
jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah berbicara tentang
makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas
unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan didasarkan atas unsur panjang-
pendek kata yang bersangkutan.
►Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud
(struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang,
artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. sebaliknya, jika sebuah kalimat atau
perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
A. Ini Budi.
Ini ibu Budi.
Ibu Budi sedang memasak.
Ini Wati.
Wati kakak Budi.
Wati sedang menyiram bunga.
Pak Ahmad ayah Budi.
Beliau sedang membaca koran.
Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu.
tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.

B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan
berkakakkan seorang perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak,
kakaknya melakukan pekerjaan lain, yakni menyiram bunga; sedangkan
ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu
yang letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya.

Bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan kalimat-kalimat


yang tertulis pada contoh B!
►Ditinjau dari segi informasi/maksud kalimat, kedua contoh penyajian kalimat-
kalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk penyajian
kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud yang sama. Namun
dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat, seperti
tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat
perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan
kalimat-kalimat yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B
menggunakan kalimat-kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang.
Penggunaan Formula Keterbacaan
►Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim
dipakai ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada
tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula
tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui
berbagai pengkajian, formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan
keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan
tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakan banyak
waktu.
►Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas
ialah rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan
pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun
menggunakan panjang kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor
penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus ini pun cukup kompleks dan
memakan banyak waktu.
►Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan
mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor
tradisional: panjang-pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan.
Namun, kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku
katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang
dikembangkannya itu (Grafik Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90,
sedangkan dengan formula Dale-Chall berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu
menunjukkan adanya keajegan rumus-rumus dan ketepercayaan penggunaan
alat ukur yang diciptakannya.
Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry
► Keterbacaan dari Edward Fry yang kemudian kita kenal dengan
sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry
ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai
dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah "Journal of
Reading". Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.

►Sebelum sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk


menentukan tingkat keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali
dulu grafik dimaksud dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa, bahwa
formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor
utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata
yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang
membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Silakan anda
perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud, seperti tertera di bawah
ini. Hal ini penting anda camkan agar pada saat mengenali grafik
Fry, anda sudah paham cara menggunakannya. Hal ini akan
menjadi dasar pertimbangan kita pada saat melakukan penafsiran
terhadapnya.
Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik kita dapati deretan
angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud
menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel
yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada
grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan
salah satu dari dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan
dimaksud.
Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan
seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini merupakan
perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-
pendek kalimat.
Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari
grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1
menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca
1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada
peringkat universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik
merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah
gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk
peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti
dengah wacana lain.
Mengapa harus "seratus" perkataan? Angka tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai
jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya
itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran
keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman
terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan.
Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif
tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga
kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil dari halaman-
halaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari
halaman-halaman akhir buku itu.
Apakah pengukuran keterbacaan wacana yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100
perkataan itu hasilnya benar-benar dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara
keseluruhan? Mari kita bandingan proses pengukuran keterbacaan dimaksud dengan proses
pengukuran suhu tubuh oleh para dokter terhadap pasienya dengan stetoskop: dia hanya akan
memilih bagian-bagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel.
Petunjuk penggunaan Grafik
Langkah (1)
Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur
tingkat keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah perkataan
daripadanya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini ialah sekelompok
lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian,
lambang-lambang berikut, seperti Budi, IKIP, 1999, =, masing-masing
dianggap sebagai satu perkataan. Yang dimaksud dengan "representatif"
dalam memilih penggalan wacana ialah pemilihan wacana sampel yang
benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana yang diselingi dengan
gambar-gambar, kekosongan-kekosongan halaman, tabel-tabel, rumus-
rumus yang mengandung banyak angka-angka, dan lain-lain dipandang tidak
representatif untuk dijadikan sampel wacana.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga
perpuluhan yang terdekat. Maksudnya, jika kata yang termasuk ke dalam
hitungan 100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat,
maka penghitungan kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan ada sisa.
Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan
kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan
sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termasuk
ke dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal
(perpuluhan).
Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry
Pertama, untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku (yang biasanya relatif tebal jumlah
halamnnya), pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga
kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Si pengukur hendaknya mengambil
tiga pilihan sampel wacana, yakni wacana dari bagian awal buku, dari bagian tengah buku, dan dari
bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya
cukup dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, setelah si pengukur menempuh langkah-
langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil rata-
rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana
buku tersebut.
Kedua, Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui,
struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal
sistem suku katanya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh
sederhana berikut.
1) I go to school.
2) Saya pergi ke sekolah.
Pada contoh kalimat 1) (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam kalimat 2)
(bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris, pada umumnya sering kita
jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita periksa kosakata nama diri dalam bahasa
Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head, hair dan seterusnya; kemudian mari kita
bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki, bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan
contoh-contoh berikut, kita berkesimpulan bahwa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia
pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan
sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia,
pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan kenyataan tersebut,
dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa
Indonesia yang cocok untuk peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik
pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata
akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir. Melihat kasus contoh wacana yang kita sajikan di
Daftar Konversi untuk Grafik Fry
Kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang
jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes,
petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau
petunjuk-petunjuk penggunaan obata-obatan tertentu.
Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang jumlah
katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan
yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur
penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry.
Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah berikut ini:
Langkah (1)
Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan
bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54
buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah
wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut. Kegiatan ini
dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan
Grafik Fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu.
Langkah (3)
Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan langkah 2
tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi seperti yang tampak di
bawah ini. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry menurut tata
tertib seperti yang sudah dijelaskan terdahulu.Dengan kata lain, data yang diplotkan ke
dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.
DAFTAR KONVERSI UNTUK GRAFIK FRY
jika jumlah kata dalam wacana itu berjumlah:perbanyaklah jumlah suku-kata dan kalimat
dengan bilangan berikut:303,3402,5502,0601,67701,43801,25901,1
Mari kita perhatikan contohnya. Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap tanda
garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putus-putus tersebut kita
umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Selanjutnya, coba anda
tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas berapakah wacana
tersebut?
Wacana jumlah
suku-kata
---- -- -- -- -- --- ---- - --- -, 25
- --- -- -- -- --? -- -- - -- - 20
-- --- -- - -- --- --? 15
______________
Jumlah 60
Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan kita
dapati data berikut ini.
(a) Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan ke
dalam golongan angka 30
(b) Jumlah kalimatnya ada 2 buah.
(c) Jumlah suku katanya ada 60 suku kata.
(d) Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah
kata 30 adalah 3.3. Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata hasil konversi
menjadi:
* jumlah kalimat : 2 X 3.3 = 6.6
* jumlah suku kata: 60 X 3.3 = 198
(e) Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat (6.6)
dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat keterbacaan
wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.

Anda mungkin juga menyukai