i
ii
PRINSIP DAN APLIKASI BIOSTRATIGRAFI
VIJAYA ISNANIAWARDHANI
iii
Copyright @2017, Vijaya Isnaniawardhani
Cetakan 1, 2017
Diterbitkan oleh Unpad Press
Grha Kandaga, Perpustakaan Unpad Lt 1
Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Bandung 45363
e-mail: press@unpad.ac.id / pressunpad@gmail.com
http://press.unpad.ac.id
Anggota IKAPI dan APPTI
Vijaya Isnaniawardhani
Prinsip dan Aplikasi Biostratigrafi / Penulis, Vijaya Isnaniawardhani.
Editor, Lili Fauzielly dan Teuku Yan W. Muda Iskandarsyah. -- Cet. I -
Bandung; Unpad Press; 2017
viii, 137 h; 25 cm
ISBN 978-602-439-226-0
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga buku
Prinsip dan Aplikasi Biostratigrafi dapat terselesaikan. Buku ini disusun sebagai
buku ajar pada Program-program Studi Teknik Geologi, mengingat buku
referensi yang ada jarang sekali yang ditulis dalam Bahasa Indonesia.
Pentingnya penelitian biostratigrafi bagi perkembangan industri, khususnya
migas, di Indonesia ditambah beberapa kajian yang dibuat oleh peneliti-peneliti
dunia maupun peneliti Indonesia telah mendorong penulis untuk menyusun
buku ini. Buku ini selain berisikan mengenai prinsip-prinsip dalam
biostratigrafi, juga dilengkapi dengan aplikasi biostratigrafi dengan beberapa
studi kasus di Indonesia.
Penulisan buku ini didukung oleh bantuan dan diskusi dengan berbagai pihak,
khususnya rekan-rekan biostratigrapher dan mikropaleontologis dari berbagai
perguruan tinggi dan pusat atau lembaga penelitian di seluruh Indonesia.
Penulisan dan penerbitan buku ini terwujud karena dukungan dari pimpinan
serta sivitas akademika almamater Universitas Padjadjaran. Semoga Allah SWT
selalu memberikan limpahan rahmat dan kurnia-Nya.
Penulis
v
vi
DAFTAR ISI
vii
4.6. Intepretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentik
Kecil ................................................................................................................... 74
4.7. Intepretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentik
Besar .................................................................................................................. 85
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 87
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan biostratigrafi dan satuan
biostratigrafi
2. Mendeskripsikan fosil sebagai objek yang dipelajari dalam biostratigrafi
3. Menjelaskan keterkaitan biostratigrafi dengan litostratigrafi dan
kronostratigrafi
4. Menceritakan pengenalan studi biostratigrafi
1
Adapun satuan biostratigrafi didefinisikan sebagai tubuh lapisan batuan yang
dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri – ciri paleontologi sebagai
sendi pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya (Pasal 31)(1).
Biostratigraphic units are distinct from all other kinds of stratigraphic units
because their contained fossils record the unidirectional process of organic
evolution. As such, the stratigraphic record as a whole contains an
unrepeated sequence of fossil taxa that may be used to determine the relative
age of their enclosing strata (Article 48, Fundamental of biostratigraphy) (2).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud kandungan fosil adalah fosil
yang terdapat dalam batuan yang seumur (kontemporer) dengan pengendapan
batuan. Fosil rombakan, apabila mempunyai makna yang penting dapat
dipakai dalam penentuan satuan biostratigrafi (tak resmi) (1). Studi
biostratigrafi mengkaji suksesi organisma berturut-turut sepanjang waktu
geologi. Setiap unit strata dapat ditentukan umur dan ditandai/dicirikan oleh
kandungan fosilnya. Selain urutan waktu, studi biostratigrafi dapat
memberikan gambaran ruang.
2
ditemukan, hal ini sangat tergantung pada umur dan lingkungan
pengendapannya.
Mikrofosil adalah fosil berukuran kecil yang biasanya hanya bisa dipelajari
secara mikroskopis (dengan mikroskop atau lensa tangan), termasuk protista,
hewan dan tumbuhan. Sebaliknya makrofosil adalah fosil yang cukup besar
untuk diamati secara langsung atau mata telanjang. Pengelompokan ini tidak
didasarkan pada hubungan satu sama lain, tetapi hanya karena ukuran dan
metode studi yang berbeda. Sampel batuan yang mengandung mikrofosil
harus diproses dengan cara tertentu untuk membersihkannya dan mikroskop
harus digunakan untuk mempelajarinya.
Mikrofosil kecil berukuran mulai dari yang dapat dilihat dengan mudah
menggunakan lensa tangan hingga bentuk mikroskopis. Jenis yang paling
umum adalah foraminifera kecil, polen, spora, radiolaria, conodont, diatom
dan nanofosil. Fosil-fosil ini biasanya terkandung dalam serpih, batulempung,
batulanau, kapur (chalk) dan batuan silika atau tufaan. Beberapa jenis fosil,
seperti foraminifera, umumnya cukup mudah dipisahkan dari batuan dengan
metode pencucian dan menggunakan saringan di laboratorium, kemudian
mikroskop digunakan untuk mengidentifikasinya. Jenis fosil lainnya
dipisahkan melalui proses dekomposisi batuan dalam asam. Secara
mikroskopik, spora dan polen dapat dipisahkan dari serpih karbonan dan
batugamping dengan cara ini.(6) Mikrofosil yang agak besar dapat diamati
secara langsung dengan mata telanjang dan dapat diidentifikasi dengan lensa
tangan. Contohnya adalah foraminifera besar (fusulinids, nummulites, dan
orbitoids), ostracoda, dan conodont besar. Fosil ini biasanya dijumpai pada
batugamping, serpih dan rijang (baik berlapis dan nodular), tetapi juga pada
berbagai batupasir. Jika batuan klastik, foraminifera besar kemungkinan
menempel pada lapisan-lapisan gampingan atau concretions(6).
3
Selain mikro dan makrofosil, dikenal pula fosil jejak (Trace fossils /
Ichnofossils), yaitu hasil aktifitas organisma berupa lintasan (track),
jalur/seretan (trail), liang (burrow), lubang (boring) dan struktur lainnya yang
dibuat oleh organisma pada permukaan perlapisan (bedding surfaces) atau di
dalam lapisan (within bed) sering disebut sebagai fosil jejak (trace fossil).
Trace fossils juga dikenal sebagai ichnofossil, atau lebenspuren(7).
4
pembeda dengan tubuh batuan sekitarnya(1).
Di sisi lain, sangat umum unit-unit stratigrafi yang ditentukan secara biologis
(biostratigrafi) atau kronostratigrafi dapat memotong batas-batas atau unit
litostratigrafi. Beberapa unit biostratigrafi dapat menerus atau melampar pada
bagian-bagian dari dua unit litostratigrafi yang berbeda (anggota atau
formasi).
5
Gambar 1.1 Hubungan biostratigrafi, litostratigrafi dan kronostratigrafi.
6
Mohawkian Periode Ordovisium Atas. Berdasarkan taksa fosil dalam
batugamping Trenton Limestone dapat disimpulkan bahwa penyebaran dan
pembentukan batuan ini berada pada pergantian strata Ordovisian Atas,
sehingga ditentukan sebagai skala waktu Ordovisium Atas(3, 9).
7
digunakan di Indonesia sejak akhir 1970-an sebagai metode yang cukup baik
untuk menentukan umur endapan laut terbuka(8).
8
Daftar Pustaka:
(1) Anonim, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia,
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 25 hlm
(2) Anonym, 1983, The North American Stratigraphic Code, Appendix B, Articles
(3) http://www.mcz.harvard.edu/Departments/InvertPaleo/Trenton/Intro/GeologyPa
ge/Sedimentary%20Geology/biostrat.htm
(4) Bates, Robert L., dan Jackson, Julia, A., 1987, Glossary of Geology, Third
Edition, American Geological Institute, Alexandria, Virginia, 788 hlm
(5) Braiser, M.D., 1985, Microfossils, Fourth Edition, George, Allen and Unwin
(Publisher) Ltd.
(6) Compton, Robert R., 1961, Manual of Field Geology, Wiley Eastern PVT. Ltd.,
Publisher
(7) Boggs, Sam Jr., 2006, Principles of Sedimentology dan Stratigraphy, Fourth
Edition, Upper Saddle River, New Jersey 07458, hlm. 102-112
(8) van Gorsel, J. T., 1988, Biostratigraphy in Indonesia: Methods, Pitfalls and New
Directions, Proceedings Indonesian Petroleoum Association Seventeenth Annual
Convention, Indonesia, hlm. 275 - 300
(9) http://strats.home.xs4.all.nl/biostrat.htm
9
BAB 2
SATUAN BIOSTRATIGRAFI
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Menyebutkan prinsip dan konsep biostratigrafi
2. Menjelaskan pengertian azas biostratigrafi
3. Menjelaskan penggolongan satuan biostratigrafi
4. Menjelaskan pengertian dan pembagian unit biostratigrafi menurut Sandi
Stratigrafi Indonesia tahun 1996
5. Menjelaskan pengertian dan pembagian unit biostratigrafi menurut standar
stratigrafi internasional atau The North American Stratigraphic Code
10
containing the same major fossil assemblages. D'Orbigny mendefinisikan
batas stages ditandai dengan pemunculan akhir (last appearance atau
disappearance) suatu kumpulan dan digantikan oleh kumpulan lainnya.
Konsep yang dikemukakan D'Orbigny dikenal sebagai concept of stages(1).
Pada tahun 1856 Oppel menyusun gagasan bahwa unit skala kecil
didefinisikan oleh rentang stratigrafi spesies fosil yang terdapat dalam lapisan
yang mengandung fosil (fossil-bearing beds), yang dikenal sebagai zona.
Oppel menemukan bahwa rentang vertikal beberapa spesies sangat pendek,
serta kumpulan fosil yang menandai strata memiliki rentang fosil yang
tumpang tindih. Zona didefinisikan mengikuti jarak vertikal masing-masing
spesies yang berlainan(1).
Setiap zona ditandai oleh kehadiran bersama spesies yang tidak ditemukan
bersama di atas atau di bawah zona ini. Dengan demikian, kisaran beberapa
spesies dimulai di dasar zona (pemunculan awal spesies/the first appearance
of a species), beberapa spesies punah di puncak dari sebuah zona
(pemunculan terakhir spesies/the last appearance of a species), sementara
spesies yang lain berkisar melalui zona atau bahkan lebih panjang. Oppel
mencatat bahwa dengan menggunakan rentang spesies, batas unit-unit batuan
skala kecil dapat digambarkan dan kisaran kumpulan fosil khas dapat
dibedakan(1).
Sebuah zona mewakili waktu antara kehadiran atau punahnya suatu spesies
yang dipilih sebagai dasar zona (base of the zone) dan kehadiran atau
punahnya spesies lain yang dipilih sebagai batas zona berikutnya.
Pengenalan zona memungkinkan pembatasan unit waktu skala kecil yang
jelas. Masing-masing zona Oppel dinamai menurut spesies fosil tertentu,
yang disebut fosil indeks, atau spesies indeks, yaitu salah satu spesies dalam
kumpulan spesies yang menjadi ciri zona tersebut(1).
11
stratigrafi berdasarkan kandungan dan penyebaran fosil. Dalam
penggunaannya, semua azas stratigrafi berlaku untuk biostratigrafi. Azas-azas
tersebut(2) antara lain:
Zona atau biozona adalah dasar satuan biostratigrafi. Zona tidak memiliki
ketebalan atau tingkat geografis tertentu. Zona dapat memiliki ketebalan
perlapisan tipis, beberapa meter sampai ribuan meter dan melampar secara
geografis dari unit lokal sampai dengan unit sangat luas yang terdistribusi di
seluruh dunia(3).
12
a. Ada-tidaknya kandungan fosilnya.
b. Adanya kumpulan fosil (assemblage) atau adanya fosil-fosil dari
jenis tertentu.
c. Atas kumpulan takson yang mencirikan suatu selang stratigrafi
tertentu.
d. Adanya ikatan alamiah fosil-fosil yang tertentu.
e. Kisaran hidup dari suatu takson fosil, atau banyak takson fosil.
f. Melimpahnya atau jumlah kelimpahan (abundance) fosil spesimen
tertentu.
g. Kenampakan morfologi suatu fosil atau fosil-fosil.
h. Cara hidup atau habitat suatu kelompok fosil.
i. Derajat perkembangan evolusi suatu fosil.
Bab IV
Satuan Biostratigrafi
Pasal 31
Azas Tujuan
13
pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya.
Penjelasan:
a. Kandungan fosil yang dimaksud disini ialah fosil yang terdapat dalam
batuan yang seumur (kontemporer) dengan pengendapan batuan.
b. Fosil rombakan, apabila mempunyai makna yang penting dapat dipakai
dalam penentuan satuan biostratigrafi (tak resmi).
Pasal 32
Satuan Resmi Dan Tak Resmi
Satuan biostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi
sedangkan satuan biostratigrafi tak resmi adalah satuan yang tidak seluruhnya
memenuhi persyaratan Sandi.
Pasal 33
Kelanjutan Satuan
Kelanjutan satuan biostratigrafi ditentukan oleh penyebaran kandungan fosil
yang mencirikannya.
Pasal 34
Tingkat dan jenis satuan biostratigrafi:
1. Zona ialah satuan dasar biostratigrafi.
2. Zona adalah suatu lapisan atau tubuh batuan yang dicirikan oleh satu
takson fosil atau lebih.
3. Urutan tingkat satuan biostratigrafi resmi, masing – masing dari besar
sampai kecil ialah: Super Zona, Zona, Sub Zona, dan Zonula
Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi satuan biostratigrafi,
dibedakan: Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, Zona Selang, Zona
Rombakan dan Zona Padat.
14
Pasal 35
Zona Kumpulan (Gambar a)
1. Zona Kumpulan ialah satu lapisan atau kesatuan sejumlah lapisan yang
terciri oleh kumpulan alamiah fosil yang khas atau kumpulan sesuatu jenis
fosil.
2. Kegunaan Zona Kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan
kehidupan purba dapat juga dipakai sebagai penciri waktu.
3. Batas dan kelanjutan Zona Kumpulan ditentukan oleh batas – batas
terdapat kebersamaannya (kemasyarakatan) unsur – unsur utama dalam
kesinambungan yang wajar.
4. Nama Zona Kumpulan harus diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang
menjadi penciri utama kumpulannya.
Penjelasan:
a. Kumpulan alamiah fosil yang dimaksud disini adalah fosil – fosil yang
mempunyai lingkungan hidup yang sama dan terdapat dalam lapisan –
lapisan batuan yang seumur dengan saat pengendapan lapisan batuan
tersebut.
b. Seandainya suatu kumpulan terciri oleh takson A, B dan C maka nama
zonanya dinamakan Zona Kumpulan A, Zona Kumpulan B atau Zona
Kumpulan C atau gabungan dari takson – takson yang khas misalnya
Zona Kumpulan A – B. Pemberian penamaan dapat dilihat pada Gambar
a.
Pasal 36
Zona Kisaran (Gambar b)
1. Zona Kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran
stratigrafi unsur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada.
2. Kegunaan Zona Kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh – tubuh
lapisan batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan – batuan
dalam sekala waktu geologi.
3. Batas dan kelanjutan Zona Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan
mendatar takson (takson –takson) yang mencirikannya.
4. Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis fosil atau lebih yang menjadi
ciri utama Zona.
15
Penjelasan:
a. Zona Kisaran dapat berupa kisaran satu unsur takson, kumpulan kisaran
takson, takson – takson bermasyarakat, silsilah takson atau ciri
paleontologi lain yang menunjukkan kisaran.
b. Fosil rombakan tidak dapat dipakai dalam penentuan Zona Kisaran.
c. Sebagai contoh Zona Kisaran Takson ialah Zona Kisaran Globorotalia
margaritae, sedangkan kisaran takson ganda ialah Zona Kisaran
Globigerinoides sicanus – Globigerinetella insueta (Gambar b).
Pasal 37
Zona Puncak (Gambar c)
1. Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan
perkembangan maksimum suatu takson tertentu.
2. Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah untuk menunjukkan
kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat dipakai
sebagai petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba.
3. Batas vertikal dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat objektif.
4. Nama Zona Puncak diambil dari nama takson yang berkembang secara
maksimum dalam Zona tersebut.
Penjelasan:
a. Fosil – fosil rombakan tidak dapat dipergunakan untuk penentuan Zona
Puncak.
b. Pada umumnya yang dimaksud dengan perkembangan maksimum adalah
jumlah populasi suatu takson dan bukan seluruh kisarannya (Gambar c).
Pasal 38
Zona Selang (Gambar d)
1. Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal /akhir dari
dua takson penciri (Gambar d).
2. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh – tubuh
lapisan batuan.
3. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan
awal atau akhir dari takson – takson penciri.
16
4. Nama Zona Selang diambil dari nama – nama takson penciri yang
merupakan batas atas dan bawah Zona tersebut.
Penjelasan:
a. Pemunculan awal/akhir dari takson ialah awal/akhir dari munculnya
takson – takson penciri pada sayatan stratigrafi. Bidang dimana titik – titik
tempat pemunculan awal/akhir tersebut berada disebut sebagai biohorison
dan sering dikenal sebagai biodatum.
b. Dalam kegunaannya pada korelasi inter regional atau global sebaiknya
umur mutlak (pentarikhan radiometrik) disertakan.
Sebagai contoh penamaan Zona Selang dengan ciri pemunculan awal
adalah Zona Selang Globigerinoides sicanus/Orbulina suturalis, contoh
dengan ciri pemunculan akhir adalah Zona Selang Truncorotaloides
rohri/Globigerinita howei.
17
Gambar a. Bagan Zona Kumpulan
18
Pasal 39
Zona Rombakan
Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya
fosil rombakan, berbeda jauh dari pada tubuh lapisan batuan di atas dan di
bawahnya.
Penjelasan:
a. Zona Rombakan umumnya khas berhubungan dengan penurunan muka air
laut relatif yang cukup besar dan sering bersifat lokal, regional sampai
global.
b. Zona Rombakan ini merupakan satuan biostratigrafi tak resmi.
Pasal 40
Zona Padat
Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil
dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak dari pada tubuh batuan di atas
dan di bawahnya.
Penjelasan:
Zona Padat ini umumnya diakibatkan oleh sedikitnya pengendapan material
selain fosil.
Pasal 41
Prosedur Penetapan Satuan Biostratigrafi
Pengusulan suatu satuan biostratigrafi resmi harus dinyatakan secara terbuka
dan tertulis. Pernyataan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Pernyataan tentang maksud pengusulan suatu satuan resmi;
b. Nama tingkat satuan yang diusulkan;
c. Adanya stratotipe atau lokasitipe, pemerian ciri – ciri fosil atau litologi;
d. Hubungan antara satuan yang diusulkan dengan satuan lain dan
keterangan tentang batas satuan;
e. Pelamparan secara lateral dan penyebarannya kearah vertikal;
f. Hubungan dengan satuan stratigrafi lainnya misalnya dengan umur
geologi (Zaman atau yang lebih kecil);
19
g. Keterangan mengenai nama – nama yang dipergunakan sebelumnya dan
h. Prosedur penerbitan harus resmi.
Pasal 42
Satuan Resmi Bawah Permukaan
1. Satuan resmi biostratigrafi bawah permukaan ialah satuan yang diperoleh
berdasarkan data bawah permukaan.
2. Selain prosedur yang tercantum dalam Pasal 29, masih diperlukan
tambahan yang meliputi keterangan lengkap tentang:
a. sumur tipe atau tambang tipe,
b. penampang geologi bawah permukaan/penampang geologi sumur,
c. penampang geofisika (misalnya penampang seismik) atau yang lainnya,
bilamana diperlukan,
d. tempat penyimpangan conto batuan (tahibor), intibor dan contoh
sejenisnya.
Penjelasan:
a. Keterangan lengkap mengenai lokasi geografi, nama perusahaan yang
bertanggung jawab atas data bawah permukaan, kedalaman lubang bor,
letak geografis dan nivo tambang tempat contoh batuannya.
b. Penampang geologi sumur memperlihatkan penyebaran vertikal dan
pelamparan lateral serta memperlihatkan hubungannya dengan satuan
stratigrafi lainnya.
c. Tempat penyimpanan contoh fosil dan contoh batuan harus terbuka untuk
studi (umum).
d. Sumurtipe dan tambangtipe mempunyai makna sama seperti lokasitipe.
20
2.5. The North American Stratigraphic Code (1993)(3)
21
e. Abundance biozone is a body of rock in which the abundance of a
particular taxon or specified group of taxa is significantly greater than
that in adjacent parts of the section. Abundance zones may be of limited,
local utility because adundances of taxa in the geologic record are largely
controlled by paleoecology, taphonomy, and diagenesis. The only way to
identify a particular abundance zone is to trace it laterally (3).
Lima jenis biozona ini tidak terkait secara hirarki. Kata "range," "interval,"
"lineage," "assemblage," dan "abundance" hanyalah istilah deskriptif. Kata-
kata tersebut mewakili pendekatan yang berbeda dalam penentuan dan
penamaan biozona. Jenis biozona yang dipilih akan tergantung pada sifat
biota, pendekatan dan preferensi ilmuwan individual, serta masalah spesifik
yang sedang diteliti. Biozona yang sering dipilih adalah biozona yang batas
bawah dan batas atasnya didasarkan pada pemunculan awal (the lowest
occurrences) dari taksa individual. Dua taksa tersebut mungkin memiliki
hubungan filogenetik langsung. Kisaran taksa, yang batas kemunculan bawah
atau atasnya didefinisikan sebagai batas biozona, tidak terbatas pada biozona,
atau tepat pada batasnya, dimana taksa tersebut melewati biozona (3).
22
Gambar 2.3. Contoh-contoh dari assemblage dan abundance zones
(Articles 51)(3).
A single body of rock may be divided into more than one kind of biozone. A
biozone may be based on a single taxonomy group or on several different
taxonomic group. Biozone boundaries derived from one taxonomic group
need not, and commonly do not, coincide with those of another taxonomic
group. Biozones vary greatly in their stratigraphic thickness and geographic
extent, and taxonomic refinement or revision may increase or decrease the
extent of a biozone(3).
A biozone may be completely or partly divided into subbiozones. All rules for
defining and characterizing biozones are also applicable to subbiozones3(3).
A biozone may be completely or partly divided into subbiozones. All rules for
defining and characterizing biozones are also applicable to subbiozones3(3).
Nomenklatur biostratigrafi
The name of biozone consist of the name of one or more distinctive taxa or
parataxa (for trace fossils) found in the biozone, followed by the word
“Biozone” (e.g. Turborotalia cerrozaulensis Biozone, or Cyrtograptus
lundgreni-Testograptus testis Biozone. The name of the species whose lowest
occurrences defines tha base of the zone is the most common choice for the
biozone name. Names of the nominate taxa, and hence the names of the
biozones, conform to the rules of the international codes of zoological or
botanical nomenclature or, in the case of trace fossils, internatiomally
accepted standard practice(3).
24
Daftar Pustaka:
(1) Boggs, Sam Jr., 2006, Principle of Sedimentology and Stratigraphy, Fourth
Edition, Upper Saddle River, New Jersey 07458
(2) Tahir, Hj. S., Musta, B., 2007, Pengenalan Kepada Stratigrafi, Penerbit UMS,
231 hlm
(3) Anonym, 1983, The North American Stratigraphic Code, Appendix B, Articles
49-52, North American Commission on Stratigraphic Nomenclature
(4) Anonim, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia,
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 25 hlm
25
BAB 3
ZONASI BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANKTIK
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Mendeskripsikan keterdapatan fosil foraminifera planktik sebagai objek
studi biostratigrafi
2. Menyusun zonasi biostratigrafi foraminifera planktik sejak Kapur sampai
dengan Resen
3. Menyebutkan foraminifera penciri Kapur sampai dengan Resen
4. Menentukan marker dan menyusun biostratigrafi foraminifera planktik di
Indonesia
5. Mengintepretasi lingkungan pengendapan berdasarkan foraminifera
planktik
3.1. Foraminifera
26
dicuci bersih, dilalukan melalui saringan mesh halus (63um), dan
foraminifera dapat dipisahkan dengan sikat halus atau jarum dari sisa residu,
atau langsung diidentifikasi dan dicatat di bawah mikroskop stereo
menggunakan pembesaran 10 sampai 60x.
27
didasarkan pada material Karibia dan Atlantik. Lebih dari 40 zona dapat
dikenali dalam Kenozoikum (selama rata-rata hingga 1,5 m.y.)(3).
28
Umur: Eosen Akhir bagian tengah(5).
29
zona ini terletak pada horison pemunculan awal evolusioner dari Globigerina
angulisuturalis.
Umur: Oligosen bagian tengah sampai akhir(5).
30
Zona N.8 (Zona Globigerinoides sicanus- Globigerinatella insueta)
Dikategorikan sebagai partial range zone, dimana bagian bawah dari zona ini
terletak pada horizon pemunculan awal evolusioner Globigerinoides sicanus
(=G. bisphericus), sebuah horizon yang terjadi dalam kisaran
Globigerinatella insueta.
Umur: Miosen Awal, Burdigalian akhir(5).
31
Zona N.13 (Zona Sphaeroidinellopsis subdehiscens subdehiscens –
Globigerina druryi)
Dikategorikan sebagai partial range zone, dimana bagian bawah dari zona ini
terletak pada horison pemunculan awal evolusioner Sphaeroidinellopsis
subdehiscens subdehiscens, dari nenek moyangnya S. seminulina seminulina,
yang terjadi dalam kisaran Globigerina druryi.
Umur: Langhian, bagian, Miosen tengah(5).
32
Zona N.18 (Zona Globorotalia (G.) tumida tumida – Sphaeroidinellopsis
subdehiscens paenedehiscens)
Dikategorikan sebagai partial range zone, dimana bagian bawah dari zona ini
terletak pada horison pemunculan awal evolusioner Globorotalia (G.) tumida
tumida.
Umur: Miosen Akhir – Pliosen Awal, Messinian akhir – Zanclian awal(5).
33
Umur: Plistosen(5).
34
7) Zona Globorotalia siakensis,
8) Zona Globorotalia menardii,
9) Zona Globorotalia acostaensis,
10) Zona Globorotalia dutretrei,
11) Zona Globorotalia margaritae,
12) Zona Globoquadrina altispira,
13) Zona Globorotalia tosaensis, dan
14) Zona Globorotalia truncatulinoides(6).
Untuk membagi interval waktu selama 55 juta tahun dari Hauterivian sampai
akhir Maastrictian, 28 Zona diusulkan oleh Caron (1986), dari tua ke muda
sebagai berikut(7):
35
4. Zona Schackoina cabri
Dikategorikan sebagai total range zone, yaitu interval kisaran hidup
Schackoina cabri.
Umur: Aptian awal hingga Aptian akhir.
36
9. Zona Biticinella breggiensis
Dikategorikan sebagai interval zone, yaitu interval dari pemunculan
awal Biticinella breggiensis hingga pemunculan awal Rotalipora
subticinensis.
Umur: Albian akhir.
37
15. Zona Rotalipora cushmani
Dikategorikan sebagai total range zone, yaitu interval dari total kisaran
Rotalipora cushmani. Pemunculan awal, bagian bawah Zona Whiteinella
baltica dan bagian atas Zona Whiteinella paradubia,
Helvetoglobotruncana praehelvetica dan Dicarinella algeriana.
Kepunahan genus Rotalia menandai batas atas zona.
Umur: Cenomanian tengah sampai akhir.
38
Umur: Coniacian akhir sampai Santonian awal.
39
27. Zona Gansserina gansseri
Dikategorikan sebagai interval zone, yaitu interval dari pemunculan
awal Gansserina gansseri hingga pemunculan awal Abthomphasus
mayaroensis.
Umur: Maastrichtian akhir.
1. Paleosen Awal:
40
2. Paleosen Tengah:
3. Paleosen Akhir:
4. Eosen Awal:
41
Morozovella velascoensis dan kepunahan Morozovella edgari.
Umur: Eosen Awal.
5. Eosen Tengah:
42
zona pemunculan awal Globigerinatheka mexicana mexicana hingga
kepunahan Morozovella lehneri.
Umur: Eosen Tengah.
6. Eosen Akhir:
43
7. Zona Eosen berdasarkan silsilah evolusi Turborotalia cerroazulensis:
44
3.2.5. Zonasi Foraminifera Planktik Lintang Rendah menurut Bolli dan
Saunders (1986)(9)
45
6. Zona Globigerinoides primordius
Dikategorikan sebagai Concurrent range zone, yaitu interval dari
pemunculan awal terus menerus Globigerinoides primordius dan/atau G.
trilobus s.l. hingga kepunahan Globorotalia kugleri.
Penulis: Blow (1969) emended Bolli dan Saunders (1986).
Umur: Miosen Awal.
46
Globorotalia fohsi Zona s.l. :
Cushman dan Stainforth memperkenalkan 'Zone III Upper (Globorotalia
fohsi) Zone' tanpa secara formal menentukannya. Berdasarkan
subspesies stratigrafi berturut-turut Globorotalia fohsi, Bolli (1951,
1957), Blow and Banner (1966), Bolli (1967) membagi zona menjadi
subzona. Batas antara zona fohsi didasarkan pada subspesies berturut-
turut yang pertama. Karena perubahan morfologi membentuk satu
subspesies ke generasi berikutnya yang lebih muda secara bertahap,
penentuan batas zona tetap sedikit subjektif. Kecuali untuk garis
keturunan fohsi yang berkembang pesat, interval tersebut tidak begitu
baik namun dapat digunakan apabila tidak adanya spesies marker lain.
47
14. Zona Globorotalia fohsi robusta
Dikategorikan sebagai Lineage zone, yaitu kisaran marker zona.
Penulis: Bolli (1957).
Umur: Miosen Tengah.
48
19. Zona Globorotalia humerosa
Dikategorikan sebagai Interval zone, yaitu interval dengan marker zona
pemunculan awal hingga pemunculan awal Globorotalia margaritae s.l.
Penulis: Bolli dan Bermudez (1965), dinamai ulang oleh Bolli dan
Saunders (1985).
Umur: Miosen Akhir.
49
a) Globigerinoides trilobus fistulosussubzona
Dikategorikan sebagai Interval zone, yaitu interval dengan submarker
zona, antara kepunahan Globorotalia margaritae evoluta dan kepunahan
submarker zona.
Penulis: Bolli dan Premoli Silva (1973).
Umur: Pliosen Tengah.
b) Globorotalia exilissubzona
Dikategorikan sebagai Interval zone, yaitu interval dengan marker zona,
dari kepunahan Globigerinoides trilobus fistulosus hingga kepunahan
Globorotalia miocenica atau G. exilis.
Penulis: Bolli dan Premoli Silva (1973).
Umur: Pliosen Tengah.
50
b) subzona Globorotalia crassaformis hessi
Dikategorikan sebagai Interval zone, yaitu interval dengan submarker
zona, dari pemunculan awal Globorotalia crassaformis hessi hingga
pemunculan awal Globigerina calida calida.
Penulis: Bolli dan Premoli Silva (1973).
Umur: Plistosen.
Makalah penting lainnya mengenai subjek ini, dengan zonasi dan informasi
tambahan yang serupa, dikemukakan oleh Bronnimann dan Resig (1971),
Stainforth dkk. (1975), serta Kennett dan Srinivasan (1983). Beberapa datum
level tambahan yang mungkin digunakan adalah perubahan arah putaran
cangkang pada beberapa genera, dan penambahan (incursion) spesies air
dingin, yang mencerminkan perubahan iklim(3).
51
3.3. Genus dan Spesies Marker Foraminifera Planktik
52
hexagana; Neogloboquadrina: N. asonoi, N. blowi, N. eggeri, N.
humerosa, N. pachyderma, N. pseudohumerosa, N. humiensis, N. dutertei;
Globorotalia: G. hirsuta, G. inflata, G. oceanica, G. scitula, G. tosaensis,
G. hessi, G. ronda; Neocarinina: N. blowii; Globorotalia (keeled): G.
frimbiata, G. flexuosa, G. menardii, G. tumida, G. pertenuis, G. theyeri,
G. truncatuloides, G. cultrata, G. ungulata, G. viola; Globorotalia: G.
bermudezi, G. crassaformis, G. inflata, G. planispira; Pulleniatina: P.
finalis, P. obliqueloculata, P. primalis, P. pracursor; Sphaeroidinella: S.
dehiscens, S. excavate; Globigerinita: G. glutinata, G. iota, G. uvula, G.
minuta; Berggrenia: B. praepumilio, B. pumilio, B. riedelli; Candeina: C.
nitida; dan Streptochilus: S. tokelauae(10).
53
Tabel 3.1. Kisaran dari marker foraminifera planktik terpilih (Blow, 1979)(5)
54
(Lanjutan)
Pada beberapa sampel sedimen klastik halus berumur Miosen Tengah dari
Formasi Jatiluhur di daerah Lulut (perselingan batulempung, batulempung
dan batupasir) beberapa indeks taksa foraminifera planktik terekam (12).
Berdasarkan identifikasi foraminifera planktik mengacu pada Postuma
(1971), Saito, dkk. (1981), Kennett dan Srinivasan (1983) serta Bolli dan
Saunders (1996), indeks tersebut adalah(11):
55
f. Hastigerina siphonifera (d’Orbigny)
g. Orbulina suturalis Bronnimann
a) Globorotalia acostaensis
Pemunculan awal Globorotalia acostaensis diperkirakan sekitar 10 juta tahun
lalu (Berggren, 1972 dan Saito, 1977). Bolli dan Saunders (1986) menandai
pemunculan awal spesies ini adalah 11,3 juta tahun lalu.
b) Globorotalia plesiotumida
Pemunculan awal Globorotalia plesiotumida ditentukan sedikit di bawah
datum Pulleniatina primalis pada sekitar 6,2 juta tahun lalu (Saito, 1977).
c) Globorotalia tumida
Pemunculan awal Globorotalia tumida telah diidentifikasi oleh banyak
peneliti, sangat dekat dengan batas Miosen - Pliosen. Tidak ada skala waktu
radiometrik yang mencatat datum ini di wilayah Asia.
d) Sphaeroidinella dehiscens
Pemunculan awal Sphaeroidinella dehiscens telah dikenali sebagai marker
horizon untuk batas Miosen-Pliosen pada 5,3 juta tahun lalu (Salvador,
1985). Bergreen (1972) menandai pemunculan awal spesies ini sekitar 5 juta
tahun lalu.
56
Untuk tujuan menyusun level korelasi di Cekungan Bogor, berdasarkan zona
selang yang terletak di antara dua horizon spesies marker foraminifera
planktik, empat zona Miosen Akhir diperkenalkan, mulai dari yang tertua
sampai yang termuda(11):
57
Umur : Miosen bagian paling akhir (< 5,3 juta tahun lalu)
Keterangan: Pemunculan awal Globorotalia tumida digunakan untuk
menentukan batas bawah Zona N.18 (Blow, 1969, 1979) dekat Batas Miosen-
Pliosen.
Tabel
Tabel 3.2.
3.2. Korelasi
Korelasi biostratigrafi
biostratigrafi foraminifera
foraminifera planktik
planktik Miosen
Miosen Akhir
Akhir di
di
Cekungan Bogor bagian tengah dengan zonasi foraminifera
Cekungan Bogor bagian tengah dengan zonasi foraminifera
standar
standar hasil
hasil penelitian sebelumnya(12)
penelitian sebelumnya (13)
PLIOSEN
MIOSEN
ATAS
58
pada persentase kelimpahan foraminifera planktik banyak dipergunakan
untuk interpretasi batimetri. Peningkatan persentase spesies planktik dalam
kumpulan foraminifera terekam sebanding dengan kedalaman(13).
Penelitian lain mencatat bahwa pada kondisi sedimentasi ideal, terutama pada
endapan klastik, peningkatan persentase planktik dalam kumpulan
foraminifera lebih kurang menunjukkan peningkatan yang teratur terhadap
kedalaman air. Dari sekitar 20% di sublitoral tengah (30-100 m), 40-80% di
sublitoral luar (100-200 m) sampai 90% atau lebih dalam zona batial (lebih
dari 200 m). Variabilitas presentase agak besar ini dipengaruhi oleh nutrisi,
pola sirkulasi, dan sebagainya(3).
59
keragamannya rendah dan terbatas pada bentuk seperti Globigerinoides dan
Globigerina bulloides. Pada zona batial, beberapa spesies bercangkang tebal
dan resistan terhadap pelarutan seperti Sphaeroidinellopsis dan Globorotalia
dijumpai mendekati Calcium Carbonate Compensation Depth (CCD),
sebaliknya Orbulina dan Globigerinoides tidak dijumpai di sekitar garis CCD
(3)(14)
.
60
Daftar Pustaka:
(1) Loeblich, A.R. Jr. dan Tappan, H, 1998, Foramniferal Genera and Their
Classification, Jilid 1 dan 2, van Nostrand Reinhold, New York, 970 hlm.
(2) Braiser, M.D., 1985, Microfossils, Fourth Edition, George, Allen and Unwin
(Publisher) Ltd
(3) van Gorsel, J. T., 1988, Biostratigraphy in Indonesia: Methods, Pitfalls and
New Directions, Proceedings Indonesian Petroleoum Association Seventeenth
Annual Convention, Indonesia, hlm. 275 - 300
(4) Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminiferal
Biostratigraphy: International Conference Planktonic Microfossils 1st, Geneva
(1967), Proc. Leiden, E.J. Brill. V.1. hlm. 199 – 422
(5) -. 1979. The Cenozoic Globigerinida, Leiden, E.J Brill
(6) Postuma, J.A. 1971. Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing
Company, Amsterdam, London, New York, 398 hlm.
(7) Caron, Michele. 1986. Cretaceous Planktic Foraminifera, dalam Plankton
Stratigraphy, editor: Bolli, H.M., Saunders, J.B., dan Perch-Nielsen, K.,
Cambridge University Press, hlm. 17-86
(8) Toumarkine, Monique, dan Luterbacher, Hanspeter. 1986. Paleocene and
Eocene Planktic Foraminifera, dalam Plankton Stratigraphy, editor: Bolli,
H.M., Saunders, J.B., dan Perch-Nielsen, K., Cambridge University Press, hlm
87 - 154
(9) Bolli, H. M., dan Saunders, J. B. 1986. Oligocene to Holocene Low Latitude
Planktic Foraminifera, dalam Plankton Stratigraphy, editor: Bolli, H.M.,
Saunders, J.B., dan Perch-Nielsen, K., Cambridge University Press, hlm. 155
– 262.
(10) Saito, T., Thompson, P.T., Dee Breger. 1981. Systematic Index of Recent and
Pleistocene Planktonic Foramnifera, University of Tokyo Press, 190 hlm.
(11) Isnaniawardhani, V., Rinawan, R. dan Prianggoro, B. 2012. The fossil
assemblages features of limestone and clastic sedimentary rock in Lulut Area,
61
Cileungsi District, Bogor, West Java, Bulletin of Scientific Contribution
Volume 10, Nomor 2, Agustus 2012
(12) Isnaniawardhani, V, Adhiperdana, B.G, dan Nurdradjat. 2013. Late Miocene
Planktic Foraminifera Biostratigraphy of Central Bogor Through, Indonesia,
Pustaka Ilmiah Universitas Padjadjaran, http://pustaka.unpad.ac.id/archives/
126510
(13) Grimsdale, T.F, dan Markoven, F.P.C.M., 1955, The ratio between pelagic and
benthonic foraminifera, IV Word Petroleoum Congress Proceedings, Section 1,
Roma, hlm. 473-491.
(14) Disimpulkan dari laporan-laporan biostratigrafi oleh perusahaan jasa untuk
eksplorasi migas (Corelab, Lemigas, Geoservice, dll.)
62
BAB 4
ZONASI BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA BENTIK
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Mendeskripsikan fosil foraminifera bentik kecil sebagai objek studi
biostratigrafi
2. Menyusun zonasi biostratigrafi foraminifera bentik kecil di Indonesia
3. Mendeskripsikan fosil foraminifera besar sebagai objek studi biostratigrafi
4. Menyusun zonasi biostratigrafi foraminifera besar
5. Menentukan marker dan menyusun biostratigrafi foraminifera besar di
Indonesia
6. Mengintepretasi lingkungan pengendapan berdasarkan foraminifera bentik
kecil
7. Mengintepretasi lingkungan pengendapan berdasarkan foraminifera besar
Antara tahun 1930 dan 1960, zonasi ini banyak digunakan oleh ahli
paleontologi perusahaan minyak di Indonesia untuk melakukan zonasi dan
korelasi. Di Sumatera Tengah, misalnya, ahli paleontologi Stanvac membagi
63
Miosen Awal di bagian atas zona Uvigerina 4 (laut dalam), tengah zona
Rotalia 5 (terutama prodelta) dan zona di bagian bawah Elphidium 8
(terutama delta front-delta plain). Untuk jarak yang lebih jauh tidak
dimungkinkan menyusun zonasi berdasarkan ini, di mana fasies berubah
secara lateral, suksesi tidak dapat dikenali. Zonasi foraminifera bentik
tersebut tidak lagi digunakan. Namun, di laut dangkal bentik foraminifera
biasanya satu-satunya mikrofosil umum, dan spesies tertentu mungkin
memiliki umur penting. Billman dan Witoelar (1974) dan Billman dkk.
(1980) mengusulkan zonasi untuk seri delta akhir Miosen Akhir sampai
Miosen Awal di Kalimantan Timur. Soeka dkk. (1980) mengusulkan enam
zona foram bentik di Miosen Tengah sampai Resen di Cekungan Jawa Barat.
Mohler (1946) serta Djamas dan Luwarno (1982) mengemukakan bahwa
miliolida kecil, Sigmoilina personata, adalah spesies marker yang baik untuk
lapisan Eosen di Kalimantan Timur(1).
64
berdiameter 2-5 mm; varian raksasa Cycloclypeus, Eulepidina dan
Nummulites lebih dari 5 cm). Foraminifera (biasanya berukuran besar) yang
tersemenkan (batugamping, batupasir keras) perlu dipelajari dalam sayatan
tipis.
Korelasi zona huruf dengan zona foraminifera planktik dan skala waktu pada
grafik zonasi ini dikompilasi dari Clarke dan Blow (1969), Haak dan
Postuma (1975), Chaproniere (1984) dan Van Gorsel (1988). Terbatasnya
jumlah kumpulan foraminifera planktik dan foraminifera besar diagnostik
yang terdokumentasi dengan baik, maka kalibrasi kedua zonasi ini masih
memerlukan revisi di masa depan. Resolusi yang lebih tinggi dalam
penanggalan umur relatif dapat diperoleh dengan menggunakan stage
berturut-turut dari garis keturunan evolusioner yang dipelajari dengan baik
65
(yang didefinisikan secara kualitatif atau kuantitatif)(1).
66
Tabel 4.1. Kisaran spesies marker foraminifera besar terpilih(2)
PALEO
EOSEN OLIGOSEN MIOSEN
KAPUR SEN PLIOSEN
ATAS BAWAH TENGAH ATAS
KUARTER
BAWAH TENGAH ATAS BAWAH TENGAH
BAWAH ATAS BAWAH ATAS
67
4.5. Marker dan Zonasi Biostratigrafi Foraminifera Bentik Besar di
Indonesia (Studi Kasus)
PLIOSEN
FORMASI
CISUBUH
AKHIR
FORMASI
ATAS
PARIGI
TENGAH
FORMASI
CIBULAKAN
AWAL
ATAS
ATAS
FORMASI BAWAH
AKHIR
OLI VULKANIK
GOSEN JATIBARANG
68
Metoda yang praktis untuk memudahkan mengenal beberapa spesies yang
umum terdapat di dalam sedimen Indonesia dengan menggunakan sistem
biometri telah diuraikan oleh Adisaputra (1992). Kumpulan-kumpulan
spesies foraminifera besar yang biasa dijumpai terutama dalam batugamping
dan batugamping pasiran, hanya dapat dikenal dengan melihat susunan kamar
bagian dalamnya. Untuk itu diperlukan beberapa sayatan yang dapat
mewakili umtuk setiap formasi atau anggota dari urutan seri batuan
tersebut(5).
69
spiralis, M. digitate, M. kotoi, M. sabahensis, dan M. tani(8).
70
Tabel 4.4. Resume stratigrafi dan umur yang diusulkan untuk unit-unit stratigrafi di Cekungan Jawa Timur(8)
71
Tabel 4.5. Korelasi kumpulan foraminifera bentik besar yang teridentifikasi dari Jawa Timur dan kisaran
stratigrafinya(8)
72
Di Jawa Timur, biostratigrafi foraminifera besar yang dikalibrasi dengan
penentuan umur dengan isotop strontium pada lapisan-lapisan batugamping
Oligosen-Miosen dapat mengenali beberapa spesies yang khas yaitu:
Lepidocyclina banneri, L. stratifera, L (Eulepidina) favosa, L
(Neprolepidina) tourneri, Miogypsina spiralis, L (E) formosa, L (N) ferreroi,
L (N) kathiawarensis, L (N) ngampelensis, L (N) sumatrensis, L (N)
verrucosa, Katacycloclypeus annulatus, Myogypsinella boninensis,
Myogypsinoides dehaarti, Miogypsina digitate, M. sabahensis, dan M. tani.
Batuan tertua, Formasi Kujung Bawah, dengan kisaran umur 28,78 + 0,74
hingga 28,20 + 0,74 juta tahun berkorelasi dengan Oligosen awal hingga
akhir, Ruppellian hingga Chattian awal, (P21) ditandai oleh kehadiran
Heterostegina borneensis, Lepidocyclina banneri, L. sp., L (E) formosa,
Myogypsinoides sp. dan Myogypsinella boninensis. Formasi Kujung Tengah,
ditandai oleh kehadiran foraminifera planktik Globigerina ciperoensis (P22).
Formasi Kujung Atas menunjukkan kisaran umur 23,44 + 0,74 dan 24,31 +
0,74 juta tahun (Oligosen Akhir). Pada interval ini, dijumpai kumpulan
foraminifera bentik yang mengandung Lepidocyclina (E) formosa, L (N)
sumatrensis, Miogypsina sabahensis, Miogypsinoides dehaarti berkorelasi
dengan Aquitanian stage. Foraminifera planktik Globorotalia kugleri,
Globigerinoides primordius, Globoquadrina dehiscens, Globigerinoides
quadrilobatus, G. primordius dan G. trilobus. Unit karbonat pasiran Formasi
Tuban paling tua menunjukkan kisaran umur 20,80 + 0,74 juta tahun.
Karbonat Tuban berumur 20,17 + 0,74 juta tahun (dasar Burdigalian, N5).
Unit ini mengandung asosiasi Austotrillina howchini, Lepidocyclina (N)
ferreroi, L (N) martini, L. delicata, L (N) stratifera, L (N) inflata, L (N)
angulosa, L (broweri), L(N) tournoueri, L (N) irregularis, L (N)
kathiawarensis, L (N) verbeeki), Myogypsina digatata dan Katacycloclypeus
annulatus. Sampel diatasnya, Formasi Ngrayong, menunjukkan umur 15,34 +
1,36 juta tahun dan 15,25 + 1,36 juta, ditandai oleh kehadiran
Katacycloclypeus annulatus, Orbulina sp. dan Orbulina suturalis ke arah
Tuban Karbonat paling atas(8).
73
4.6. Intepretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera
Bentik Kecil
74
4. Marginal marine (intertidal zone), litoral
a. Di pantai berpasir, energi tinggi, salinitas normal:
- Keanekaragaman rendah.
- Foraminifera kadang-kadang absen.
- Foraminifera planktik, foraminifera besar dan bentik calcareous
tidak ada.
- Quinqueloculina, Milliolinella, Ammonia beccarii, Operculina dan
Ephidium adalah spesies yang khas.
- Spesimen tidak terawetkan dengan baik, banyak spesimen kecil
atau bercangkang tipis hancur.
- Banyak ditemukan bentuk alochonous.
d. Rawa pasang surut / tidal marshes and mangrove swamps dapat terbagi
menjadi tiga kelompok menurut salinitas: hyposaline marshes, normal
saline marshes dan hypersaline marshes. Interpretasi lingkungan rawa
sulit dilakukan, karena cangkang mudah hancur, dan keanekaragaman
rendah yang terdiri dari spesies arenaceous kecil seperti Trochammina,
Haplophragmoides, dan Ammobaculifes cenderung menunjukkan rawa.
Lempung dan lempung abu-abu tua kaya organik, banyak mengandung
akar dan sisa tanaman sering mengindikasikan deposit ini. Pirit biasa
terjadi, karena kondisi reduksi.
1) Rawa hyposaline:
- Kelimpahan foraminifera paling tinggi, meski keragamannya
rendah.
- Didominasi spesies arenaceous (Miliammina, Ammonium dan
Trochhammina inflata) dan rotaloid (Elphidium), tidak ada
miliolid.
75
2) Rawa normal saline:
- Spesies arenaceous dominan dengan miliolid kecil
(Quinqueloculina) dan rotalid (Elphidium, Ammonia beccarii).
3) Rawa hypersaline marshes:
- Persentase spesies arenaceous, miliolid dan rotalid hampir sama.
- Jenis kosmopolitan yang khas adalah: Ammotium salsum, Areno
parrella mexicana, Miliammina fusca, Trochammina
macrescens dan T. polystoma.
76
Protelphidium.
3) Laguna hypersaline (tidak ada pencampuran air tawar):
Quinqueloculina, Triloculina, Miliolinella, Peneropis, Glabratella,
Ammonia beccarii dan Elphidium.
5. Laut dangkal (neritik dalam / inner neritic; dari garis surut hingga 30 m)
Distribusi foraminifera dipengaruhi oleh berbagai faktor, banyak peneliti
menganggap kedalaman air yang paling signifikan, namun sebenarnya,
berbagai kondisi fisik dan kimia yang terkait dengan kedalaman
merupakan faktor pengendalinya. Variabilitas temperatur, kesediaan
cahaya, laju sedimentasi, karakter dasar, kondisi energi dan tekanan
merupakan faktor yang mempengaruhinya.
77
Studi ekologi foraminifera Resen memberikan kriteria yang jelas
mengenai hubungan lingkungan pengendapan dengan kumpulan
foraminifera yang bisa diaplikasikan pada batuan sedimen, sebagai
berikut:
a. Jumlah total spesies dan individu meningkat menjauhi garis pantai,
dan dengan meningkatnya kedalaman air, hingga mencapai nilai
maksimum di paparan luar dan batial atas.
b. Foraminifera bentik porselen bervariasi pada lingkungan laut
dangkal dan dekat pantai.
c. Foraminifera bentik arenaceous dengan struktur dinding sederhana
dominan di perairan dangkal atau di daerah intertidal. Persentase
kehadiran arenaceous mencapai maksimum di daerah yang
dipengaruhi arus sungai.
d. Cangkang calcareous lebih kecil dan tipis di dekat air tawar. Di
lingkungan karbonat, cangkang bisa mencapai ukuran yang lebih
besar dan sangat kuat.
e. Kehadiran foraminifera dipengaruhi oleh variabilitas lingkungan.
Pada daerah yang tidak menguntungkan menunjukkan
kecenderungan dominasi spesies tunggal.
f. Foraminifera bentik dengan struktur cangkang labirin lebih
melimpah di batial atau lebih dalam. Pada sedimen yang
terendapkan di bawah carbonate compensition depth (CCD) bentuk
ini menjadi dominan karena cangkang gampingan akan terlarutkan.
g. Secara umum dipercaya bahwa peningkatan kedalaman sebanding
dengan peningkatan persentase spesies planktik sebagaimana telah
dibahas pada bab sebelumnya.
Neritik dalam (inner neritic) atau inner shelf, inner sublittoral dangkal,
paparan dalam:
- Keanekaragaman rendah dengan satu atau dua spesies yang
mendominasi, umumnya tersusun oleh bentik bercangkang
gampingan.
- Ammonia, Pararotalia, Asterorotalia, Nonion, Elphidium, Cibicides,
Quinqueloculina, Operculina dan Amphistegina merupakan genus
khas yang mungkin dijumpai melimpah.
78
- Planorbulinella spp., Chrysalidinella limbatum, Massilina,
Cymbaloporetta squamosal, Baculogypsina sphaerulata, Cellanthus
craticulatus dan Loxostom limbatum juga sering dijumpai.
- Dalam kondisi yang menguntungkan, dijumpai foraminifera besar
(akan dibahas pada sub bab selanjutnya).
79
didominasi bentuk planktik.
- Bentik calcareous dan arenaceous hampir seimbang.
- Anomalinid, Buliminid seperti Uvigerina, Bulimina,
Bolivina/Brizalina dan bentuk-bentuk lain termasuk Nodosaria
dijumpai pada lingkungan ini.
- Gyroidina acuta, Pullenia quinqueloba, Gyroidina soldanii,
Uvigerina soendaensis, Hoglundina elegans, Bulimina striata,
Cassidulina, Bulimina marginata, Fursenkoina, Lenticulina,
Cassidulina, Siphonina dan Sphaeroidina bulloides adalah taksa
khas dari neritik luar.
- Rotaloid yang khas untuk neritik tengah berkurang signifikan.
80
berikut:
- Bolivina albatrossi, Bulimina striate mexicana, Chilostomella
oozina, Eponides reguza, Gyroidina altiformis cushmani,
Discorbis translucens, dan Uvigerina peregrina: kelimpahan
tertinggi pada 200 m.
- Bulimina acuzeala, Bulimina rostrata alazanensis, Osangularia
rugosa, Uvigerina peregrina dirupta, dan Uvigerina peregrina
mediterranea: kelimpahan tertinggi pada 300 m.
- Cibicides banteonensis, Gyroidina orbicularis,
Reticulophragmium venezuelanum, dan Cyclammina cancellata:
kelimpahan tertinggi pada 400-500 m.
- Cibicides kullenbergi, Cibicides rugosus, Eponides polilus,
Oriidorsalis tener umbonatus, Osangularia culter, dan
Pleurostomella bolivinoides: kelimpahan tertinggi pada 700-800
m.
81
Bathysiphon) yang ditemukan di dasar laut paling dalam (abisal) di
bawah CCD.
82
2. Struktur Cangkang (Miliolid-Rotalia-Textularina/Aglutinated Ternary
Diagram)(10)
Meskipun ada beberapa tumpang-tindih lingkungan, analisis ini sangat
berguna untuk membedakan lingkungan perairan dangkal.
a. Komposisi cangkang porselen > 20% terbatas pada lagun
hypersaline dan laut normal, dan biasanya < 20% di daerah
paparan.
b. Cangkang aglutinin mendominasi daerah payau dan zona abisal (di
bawah CCD).
Gambar 4.2. Diagram triangular rasio tipe cangkang membagi wilayah yang
ditentukan oleh kumpulan foraminifera bentik dari lingkungan tertentu(10).
83
morfologi yang kecil, didominasi oleh cangkang planispiral,
trochospiral, milliolid dan annular. Cangkang biserial dan fusiform
umumnya tidak ada di lingkungan ini.
b. Cangkang uniserial umumnya hanya terjadi pada zona energi
rendah yang terkait dengan lingkungan paparan, lereng, dan batial.
c. Cangkang miliolid terutama ditemukan di paparan, dan jarang
ditemukan di lereng dan laut dalam.
d. Foraminifera aglutinan dapat diklasifikasikan dalam empat
kelompok morfologi (morphogroup) yang tersebar secara jelas pada
lingkungan modern:
• Morphogroup A (unilocular, tubular atau bercabang) khas
untuk laut dalam.
• Morphogroup B1 (globular) dan B2 (coiled-flattened) hanya
mewakili sebagian kecil kumpulan, tetapi sangat umum di
lingkungan laut dalam.
• Morphogroup B3 (multilocular, planispiral/trochospiral,
lenticular) sangat umum ditemukan di paparan dan tepi laut.
• Morphogroup C1 (elongate) tidak dijumpai pada lingkungan
rawa dan laguna, namun mendominasi di paparan dan batial
atas (hingga 1000 m).
• Morphogroup C2 (elongate quinqueloculine) dan D
(trochospiral conical) khas untuk daerah rawa dan laguna.
84
Gambar 4.3. Distribusi foraminifera (F) dan ostracoda (O) di Delta
Mahakam(1).
85
4. Di dataran terumbu dan laguna dangkal dijumpai Calcarina dan Miliolid
besar (Marginopora dan Peneroplis)
5. Di paparan dalam (inner shelf) atau zona neritik dalam (inner neritic)
pada kondisi yang menguntungkan, foraminifera besar seperti
Operculina, Heterostegina, Calcarina, Marginopora dan Baculogypsina
dapat ditemukan.
6. Di paparan tengah, Operculina dan Amphistegina, khususnya A. quoyi,
umum ditemukan melimpah.
7. Foreslope yang dangkal didominasi oleh Miogypsinida, ke arah dalam
didominasi oleh Lepidocyclina, Spiroclypeus, Nummulites dan
Discocyclina, dekat dengan zona photic didominasi oleh Cycloclypeus.
8. Foreslope yang dalam dan paparan terbuka dalam zona euphotic
seringkali ditandai oleh kehadiran Amphistegina lessonii dan
Alveolinida.
86
Daftar Pustaka:
(1) van Gorsel, J. T., 1988, Biostratigraphy in Indonesia: Methods, Pitfalls and
New Directions, Proceedings Indonesian Petroleoum Association Seventeenth
Annual Convention, Indonesia, hlm. 275 - 300
(2) Adam, C. G., 1984, Neogene Larger Foraminifera, Evolutionary and
Geological Events in the Context of Datum Planes, In: Ikebe, N. and Tsuchi, R.
(Eds.), Pacific Neogene Datum Planes, Univ. Tokyo Press
(3) Isnaniawardhani, V., Rinawan, R. dan Prianggoro, B. 2012. The fossil
assemblages features of limestone and clastic sedimentary rock in Lulut Area,
Cileungsi District, Bogor, West Java, Bulletin of Scientific Contribution
Volume 10, Nomor 2, Agustus 2012
(4) Pringgoprawiro, H dan R. Kapid, 2000, Foraminifera: Pengenalan Mikrofosil
dan Biostratigrafi, ITB, Bandung
(5) Adisaputra, M.K., 1992, Penentuan Umur Berdasarkan Biometri dan
Lingkungan Pengendapan Foraminifera Besar Tersier-Kuarter, Pusat
Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung, 43 hlm.
(6) BouDagher-Fadel, M., K., Wilson, 2000, A Revision of Some Larger
Foraminifera of the Miocene of Southeast Kalimantan, Micropaleontology,
Vol. 46, No. 2, hlm. 153-165
(7) BouDagher-Fadel, M., K., Lokier, S.W., 2005, Significant Miocene Larger
Foraminifera from South Central Java, Revue de Paleobiologie, Geneve, 24
(1), hlm. 291-309
(8) Sharaf, E. F., BouDagher-Fadel, M., K., Simo, J. A (T), Carroll, 2005,
Biostratigraphy and Strontium Isotope Dating of Oligocene-Miocene Strata,
East Java, Indonesia, Stratigraphy, Vol. 2, No.3, hlm. 239-258
(9) Disimpulkan dari laporan-laporan biostratigrafi oleh perusahaan jasa untuk
eksplorasi migas (Corelab, Lemigas, Geoservice, dll.)
(10) Murray, John. W., 2006, Ecology and Applications of Benthic Foraminifera,
Cambridge University Press.
87
(11) BouDagher-Fadel, M. K., 2008, Evolution and Geological Significance of
Larger Benthic Foraminifera, Second Edition, UCL Press, 693 hlm.
88
BAB 5
ZONASI BIOSTRATIGRAFI NANOFOSIL
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Mendeskripsikan nanofosil sebagai objek studi biostratigrafi
2. Menyusun zonasi biostratigrafi nanofosil Mesozoikum
3. Menyusun zonasi biostratigrafi nanofosil Kenozoikum
4. Menentukan marker dan menyusun biostratigrafi nanofosil di Indonesia
5. Mengintepretasi lingkungan pengendapan berdasarkan nanofosil
5.1. Nanofosil
Nanofosil gampingan telah hidup di lautan selama kurang lebih 200 juta
tahun (dari Periode Trias) serta telah berevolusi dan berubah terus seiring
berjalannya waktu. Misalnya, jika seorang ahli paleontologi melihat sedimen
dasar laut dari 1 juta tahun yang lalu dan membandingkannya dengan
sedimen yang diendapkan 60 juta tahun yang lalu, spesies nano dalam dua
sampel akan sama sekali berbeda. Seorang spesialis nanofosil gampingan
dapat mengamati sedimen dasar laut yang diendapkan kurang dari 200 juta
tahun yang lalu (yang mengandung nanofosil gampingan) dari seluruh dunia
89
dan menentukan berapa umur batuan tersebut dengan keakuratan 1-4 juta
tahun atau bahkan kurang(2).
90
5.2.1. Zonasi Biostratigrafi Nanofosil Mesozoikum
Stardner (1983) merintis studi kumpulan nanofosil Jura dan Kapur sebagai
dasar penyusunan nanofosil zonation Mesozoikum. Sebagaimana deskripsi
sebelumnya dilakukan oleh Kamptner (1931), Deflandre (1939, 1952),
Deflandre dan Deflandre- Rigaud (1959), Bronnimann (1955), Noel (1956,
1958), Martini (1961) serta Stadner (1961, 1962) Studi pada kumpulan
Mesozoikum membawanya untuk mengusulkan subdivisi Jura dan Kapur
yang ditandai oleh asosiasi nanofosil khas(5).
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, cukup informasi atratigrafi tentang
nanofosil telah terkumpul sehingga subdivisi biostratigrafi Mesozoik dapat
diaplikasikan. Cepek dan Hay (1969) adalah yang pertama mengusulkan
sebuah zonasi untuk interval Cenomaian sampai Maastrichtian berdasarkan
pada urutan di Kansas dan Alabama. Ini diikuti oleh upaya lain untuk
membuat zonasi Kapur, misalnya Bukry dan Bramlette (1970; Campanian-
Maastrichtian), Manivit (1971; Aptian-Danian), Bukry (1973, Kapur akhir),
Roth (1973; Aptian-Maastrichtian), Roth dan Thierstein (1972; Barriasian-
Maastrichtian), Thierstein 1971, 1973; Kapur awal), Bukit (1976; Kapur
awal) dan Verbeek (1976, Kapur akhir)(5).
Barnard dan Hay (1975) pertama kali mengusulkan zonasi untuk Jura,
berdasarkan sampel dari Inggris selatan dan Prancis utara. Mereka
mengkorelasikan batas zona dengan stage kronostratigrafi melalui hubungan
even nanofosil ke dalam zona amonit. Setelah itu, Thierstein (1976)
mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang ada mengenai horison
biostratigrafi Jura dan Kapur dan dikompilasi, untuk interval Jura-Kapur
91
akhir, korelasi antara biohorizon, stage Eropa, dan magnetostratigrafi.
Thierstein membedakan antara penyebaran yang baik, dan taksa
kosmopolitan dan taksa provinsi, yang berguna dalam penentuan umur
sekuen Jura- Kapur. Setelah studi ini, penelitian biostratigrafi lainnya telah
menambahkan lebih banyak detail dan telah membuktikan hasil sebelumnya.
Termasuk dilakukan oleh Sissingh (1977), Manivit dkk. (1977), Taylor
(1978), Hamilton (1979), Medd (1979), Moshkovitz (1979), serta Deres dan
Acheriteguy (1980). Namun, skema biostratigrafi Barnard dan Hay dan
Thierstein tetap menjadi yang paling umum digunakan untuk subdivisi
coccolith Mesozoikum. Perch-Nielsen (1979) telah mempresentasikan ulasan
yang sangat baik tentang biostratigrafi nanoplankton Kapur, paleoekologi,
dan tren phyletic evolusioner(5).
92
Tabel 5.1. Zonasi nanoplankton Kapur menurut Sissingh(6)
93
dan Martini (1964), Sullivan (1964, 1965), Gartner (1969), Bukry dan
Bramlette (1970), Roth (1970), Bukry (1971), Gartner (1971), Edward
(1973), Roth (1973, 1974), Edwards dan Perch-Nielsen (1975), dan beberapa
karyatulis oleh Bukry dan co-penulis yang dipublikasikan dalam Laporan
Awal DSDP. Zonasi komposit untuk Kenozoikum yang banyak digunakan
saat ini didasarkan pada zona yang diusulkan oleh Hay dan Mohler (1967)
(Paleosen-Eosen awal), Hay et al. (1967) (Paleosen-Eosen dan Pliosen Akhir-
Resen), serta Bramlette dan Wilcoson (1967) (Oligosen-Miosen). Upaya ini
mengarah pada penyusunan zonasi Kenozoikum standar oleh Martini (1971),
yang mencakup banyak data dari urutan singkapan di darat dan mengandung
bias. Skema zona komposit yang diusulkan Okada dan Bukry (1980) dan
studi selanjutnya memberikan hasil yang lebih baik karena didapat dari
penelitian laut dalam. Versi berikutnya dari zonasi biostratigrafi nanofosil
(misalnya, Bukry, 1981) dimana sebagian besar didasarkan pada taksa yang
tersebar luas di samudra, lebih sesuai untuk aplikasi di laut dalam(5).
94
Sampai saat ini, perkiraan biokronologi nanofosil yang andal untuk even
datum umur hanya tersedia untuk Neogen akhir dan Plistosen, berdasarkan
studi batuan inti pemboran yang sebelumnya telah diuji paleomagnetiknya.
Gartner (1973) pertama kali mempresentasikan estimasi biokronologi
tersebut untuk even nanofosil Neogen akhir dari inti di lautan tropis tropis.
Ryan dkk (1974) menyajikan perbandingan yang sama antara
magnetostratigrafi dan even datum planktik Neogen (nanofosil, foraminifera
planktik, dan radiolarian). Magnetostratigrafi tersebut didasarkan pada inti
dari Pasifik khatulistiwa, dimana data biostratigrafi yang dibandingkan
berasal dari urutan batuan Neogen di wilayah Mediterania(5).
Dan, oleh karena itu, dengan korelasi orde kedua, ditandai beberapa stages
Neogen. Haq dkk (1996 dan 1980) juga memperkirakan umur beberapa even
nanofosil selama 8 juta tahun, korelasi pertama even polaritas magnetik
terhadap batuan inti Pasifik dan Atlantik. Mazzei dkk (1979) mengkalibrasi
even planktik gampingan Neogen akhir dengan magnetostratigrafi di site
DSDP di barat laut Afrika; dimana estimasi tersebut menunjukkan
kesepakatan substansial dengan penelitian terdahulu(5).
95
Tabel 5.2. Zonasi nanoplankton Paleogen menurut Martini (1971)(4)
96
Tabel 5.3. Zonasi nanoplankton Neogen menurut Martini (1971)(4)
97
Tabel 5.4. Zonasi nanoplankton Kenozoikum oleh Okada dan Bukry (1980)
dan korelasinya dengan Zonasi Martini (1971)(8)
98
Tabel 5.5. Korelasi biozonasi nanoplankton dan foraminifera Paleogen
Martini (1971), Okada dan Bukry (1980), dan Blow (1969)(5)
99
Tabel 5.6. Korelasi biozonasi nanoplankton dan foraminifera Neogen
Martini (1971), Okada dan Bukry (1980), dan Blow (1969)(5)
100
Setelah zonasi biostratigrafi Okada dan Bukry (1980), Varol (l983)
mengajukan skema modifikasi untuk Miosen – Resen di Asia Tenggara.
Neogen dibagi menjadi delapan interval (A-H) dalam 1 hingga 5 juta tahun,
berdasarkan even-even penting, sebagai berikut:
a. Interval A (kepunahan Sphenolithus ciperoensis hingga pemunculan
awal Sphenolitus belemnos NN1-2/CN1a-c)
b. Interval B (pemunculan awal Sphenolitus belemnos hingga kepunahan
Sphenolitus belemnos NN3/CN2)
c. Interval C (kepunahan Sphenolitus belemnos hingga kepunahan
Spenolithus heteromorphus NN4-5/CN3-4)
d. Interval D (kepunahan Spenolithus heteromorphus hingga pemunculan
awal Catinaster NN6-7/CN5a-b)
e. Interval E (pemunculan awal Catinaster hingga bagian bawah
Reticulofenestra kecil NN8-10a/CN6-8a)
f. Interval F (batas bawah interval Reticulofenestra kecil hingga
kepunahan Discoaster quinqueramus NN10b-11/CN8b-9b)
g. Interval G (kepunahan Discoaster quinqueramus hingga kepunahan
Reticulofenestra pseudoumbilicus NN12-15/CN10a-11b)
h. Interval H (kepunahan Reticulofenestra pseudoumbilicus hingga
kepunahan Discoaster brouweri NN16-18/CN12a-d)(8).
Nanofosil digunakan secara luas untuk penentuan umur dan korelasi ber-
resolusi tinggi; tetapi belum banyak dilakukan di Indonesia. Di Jawa Timur,
Indonesia, banyak data permukaan dan bawah permukaan berkualitas baik
dapat digunakan untuk studi biostratigrafi nanofosil.
Total limabelas spesies marker telah dipilih dan dijadikan penanda untuk
interval Miosen di Jawa Timur, yaitu: Sphenolithus ciperoensis Bramlette
101
dan Wilcoxon, n. sp., Cyclicargoltihus abisectus (Muller), Discoaster druggi
Bramlette dan Wilcoxon, Sphenolithus heteromorphus Deflandre,
Sphenolithus belemnos Bramlette dan Wilcoxon, n. sp., Calcidiscus
macintyrei (Bukry dan Bramlette), Helicosphaera ampliaperta Bramlette dan
Wilcoxon, n. sp., Discoaster kugleri Martini dan Bramlette, Discoaster
hamatus Martini dan Bramlette, Discoaster neohamatus Bukry dan
Bramlette, Discoaster bellus Bukry dan Percival, Discoaster neorectus
Bukry, Discoaster quinqueramus Gartner, Amaurolithus primus (Bukry dan
Percival), dan Discoaster berggrenii (Bukry)(7).
Untuk tujuan menetapkan level korelasi antara urutan batuan permukaan dan
bawah permukaan di wilayah ini, ditentukan beberapa zona selang. Zona
selang adalah zona biostratigrafi yang berada di antara dua horison
pemunculan awal (first appearance/FA) atau kepunahan (last
appearance/LA) spesies marker. Atas dasar horison ini, delapan belas zona
dapat ditentukan. Mulai dari yang tertua, yaitu (7):
102
telah dilaporkan.
103
Umur: Miosen Awal.
Keterangan: Kepunahan Helicosphaera ampliaperta digunakan untuk
mendefinisikan bagian atas Zona NN4 (Martini, 1971) dan CN3 atau 15
juta tahun lalu (Okada dan Bukry, 1980).
104
Umur: Latest Miosen tengah bagian akhir.
Keterangan: Pemunculan awal Discoaster hamatus digunakan untuk
mendefinisikan batas bawah Zona NN8 atau 10,2 juta tahun lalu
(Martini, 1971).
105
q) Zona selang Discoaster quinqueramus - Amaurolithus primus
Definisi: interval dari pemunculan awal Discoaster quinqueramus
hingga pemunculan awal Amaurolithus primus.
Umur: Miosen akhir.
106
Tabel 5.7. Even nanofosil, zonasi biostratigrafi di Jawa Timur dan korelasinya dengan Zona Martini (1971) serta
Okada dan Bukry (1980)(7)
107
Gambar 5.1. Marker zonasi nanofosil gampingan Pliosen dan Plistosen(3).
108
5.4. Intepterasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Nanofosil
4. Batial.
- Kumpulan nannofosil dari batial atas biasanya melimpah dan
beragam, namun mungkin mengalami pelarutan dalam kolom air
dan/atau di dasar laut akibat meningkatya keasaman air laut dan di
109
lapisan paling atas dari sediman bersamaan dengan berkurangnya
oksigen.
- Kumpulan nanofosil didominasi oleh bentuk-bentuk yang kokoh
dan resistan terhadap pelarutan, seperti kelompok Coccolithus
pelagicus /eopelagicus, Cyclicargolithus floridanus, Discoaster,
Reticulofenestra/Dictyococcites spp. (besar) dan Sphenolithus.
110
Tabel 5.6. Kumpulan nannofosil dalam zona batimetri di Perairan Madura
(studi kasus)(10)
111
Daftar Pustaka:
(1) Braiser, M.D. 1985. Microfossils, Fourth Edition, George, Allen and Unwin
(Publisher) Ltd.
(2) http://geology.er.usgs.gov/paleo/nannos.shtml
(3) Perch-Nielsen. 1985. Cenozoic Calcareous Nannofossil, dalam Plankton
Stratigraphy, editor: Bolli, H.M., Saunders, J.B., dan Perch-Nielsen, K.,
Cambridge University Press, hlm. 427-554
(4) Martini, E. 1971. Standard Tertiary and Quaternary Calcareous
Nannoplankton Zonation, Proceedings of the II Planktonic Conference,
Roma, 1970, A. Farinacci, ed., Ediziioni Tecnoscienza, Rome, hlm. 739-785
(5) Haq, Bilal, U. 1984. Nannofossil Biostratigraphy, benchmark papers in
Geology/78, Hutchinson Ross Publishing Company, Stoundsburg
Pennsylvania, 386 hlm
(6) Sissingh, W. 1977. Biostratigraphy of Cretaceous Nannoplankton, Geologie
en Mijnbouw, volume. 56. The Royal Netherlands Geological dan Mining
Society, hlm. 37-65
(7) Isnaniawardhani, V., Suparka, E., dan Adisaputra, Mimin K. 2013. Miocene
Calcareous Nannofossil Biostratigraphy of East Java, Indonesia, Procceding
of the 9th International Congress on Pasific Neogene Stratigraphy,
Tsukuba, Japan
(8) Okada, H dan Bukry, D. 1980. Supplementary Modification and Introduction
of Code Numbers to the Low Latitude Coccolith Biostratigraphic Zonation
(Bukry, 1973; 1975), Marine Micropaleontologi Volume 5, hlm. 321-325
(9) disimpulkan dari laporan-laporan biostratigrafi oleh perusahaan jasa untuk
eksplorasi migas (Corelab, Lemigas, Geoservice, dll.)
(10) Isnaniawardhani, V., 2006, Biostratigrafi dan Paleoekologi Perairan Madura
Berdasarkan Nannoplankton, Disertasi, Institut Teknologi Bandung, tidak
dipublikasikan
112
BAB 6
POLEN – SPORA
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Mendeskripsikan polen dan spora sebagai objek studi biostratigrafi
2. Menyusun zonasi biostratigrafi polen dan spora
3. Mengintepretasi lingkungan pengendapan berdasarkan polen dan spora
Polen dan dan spora dapat sangat melimpah di endapan laut darat dan dekat
pantai. Kelompok yang berasal dari tanaman darat dan pohon adalah
kelompok utama mikrofosil yang digunakan untuk menentukan umur
endapan aluvial dan dataran pantai. Keragaman di wilayah Timur Jauh sangat
tinggi. Jumlah taxa Resen saja sekitar 30000 (Haseldonck 1977). Untuk
banyak bentuk, tidak ada tanaman pasti dari mana asal dan distribusi ekologi
dan stratigrafinya(1).
113
oleh pengujian yang independen(1).
114
Gambar 6.1. Zonasi Palinologi di Pulau Jawa(2).
115
- Mayoritas taksa air tawar non-arboreal yang berhubungan dengan
spora pteridophyx diindikasikan oleh pakis. Epifita yang melimpah
secara lokal atau flora darat mengindikasikan dataran aluvial atau
dataran delta bagian atas. Perkembangan vegetasi ini mungkin
berhubungan dengan faktor sedimentologis dan iklim.
Laevigatosporites spp., Verrucatosporites spp. dan
Verrucatosporites usmensis merupakan taksa yang paling sering
ditemui.
3. Tepi laut / marginal marine (intertidal zone dan areas of mixing of fresh
and marine waters), upper estuarine
- Dicirikan oleh taksa intertidal, upper estuarine termasuk brackish
water backmangrove seperti Nypa palm Spinizonocolpites
echinatus, Florschuetzia trilobata dan Discoidites borneensis
berasosiasi dengan dinocysts air payau atau marin dan/atau
microforaminiferal test linings.
- Vegetasi mangrove dan backmangrove merupakan vegetasi
pinggiran (fringe) lower delta plain tumbuh sepanjang sistem
sungai atau estuari dan garis pantai berenergi rendah dengan
pengaruh pasang surut.
- Vegetasi mangrove umumnya lebih toleran terhadap kenaikan
salinitas dibandingkan dengan taksa backmangrove.
- Nipa dijumpai kontinyu sebagai tumbuhan pinggiran yang
seringkali merepresentasikan intertidal, upper estuarine.
- Kumpulan palinomorf sangat mungkin dipengaruhi air tawar dari
daerah hulu maupun air laut dari hilir.
- Delta plain umumnya ditumbuhi Nipa dan vegetasi mangrove.
116
4. Marginal marine (intertidal zone dan areas of mixing of fresh and
marine waters), lower estuarine, transitional environment, brackish
water
- Asosiasi palinomorf dari intertidal, melimpahnya mangrove
Zonocostites ramonae (Rhizophora spp.-nama botani modern) dan
Florschuetzia levipoli (Sonneratia caseolaris), bersamaan dengan
peningkatan keragaman taksa air payau / microforaminiferal test
linings mencirikan lower estuarine.
- Vegetasi mangrove tumbuh di pinggiran sistem sungai ke arah laut /
muara dan sepanjang garis pantai dengan energi rendah di depan
vegetasi backmangrove.
117
- Spesimen tertentu seperti spora dan gymnosperma sangat kokoh
dan/atau berbutir ringan dan cenderung terkonsentrasi di bagian
offshore dengan pengaruh terrestrial minimal. Ketika pengaruh
terrestrial rendah, jumlah material organik amorf cenderung
meningkat akibat masuknya pelagik.
8. Batial atas
- Mengandung banyak miospores yang sangat ringan (terapung)
(seperti bisaccates).
- Seringkali memperlihatkan komposisi yang tidak seimbang atau
miskin miospora.
- Mikroplankton laut biasanya merupakan kelompok palinomorf
yang paling umum.
118
Daftar Pustaka:
(1) van Gorsel, J.T. 1988. Biostratigraphy in Indonesia: Methods, Pitfalls dan
New Directions, Proceedings Indonesian Petroleoum Association
Seventeenth Annual Convention, Indonesia, hlm. 275 – 300
(2) Rahardjo, AT, Polhaupessy. AA, Wiyono Sugeng, Nugrahaningsih, dan
Lelono, E. B. 1994. Zonasi Polen Tersier Pulau Jawa, Makalah Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 23
(3) disimpulkan dari laporan-laporan biostratigrafi oleh perusahaan jasa untuk
eksplorasi migas (Corelab, Lemigas, Geoservice, dll.)
119
BAB 7
PEMROSESAN SAMPEL DAN APLIKASI BIOSTRATIGRAFI
Tujuan Intruksional:
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa dapat:
1. Mengenali tipe-tipe sampel, dan mendeskripsikan perbedaannya
2. Mendeskripsikan batuan yang mengandung jenis fosil tertentu
3. Mendeskripsikan aturan penggunaan fosil dalam studi biostratigrafi
4. Menyebutkan faktor-faktor penyebab hasil analisis biostratigrafi kurang
akurat
5. Apa ciri-ciri fosil rombakan (reworked fossils)
6. Mendeskripsikan korelasi biostratigrafi
7. Menjelaskan perkembangan aplikasi biostratigrafi
Sampel permukaan (surface sample atau outcrop sample), yaitu sampel yang
diperoleh dalam survei geologi (walk-over survey, serta studi singkapan dan
lahan). Pengambilan sampel permukaan dasar laut dapat dilakukan pula
dengan metode grab sampling untuk mendapatkan sampel comot (grab
sampler), yang biasanya dilakukan pada sampel permukaan dasar laut atau
permukaan perairan yang lunak. Sampel permukaan dilakukan dengan
metoda spot sampling, maupun melakukan pengukuran penampang stratigrafi
(Measured Section) sehingga posisi sampel secara stratigafi dapat diketahui.
120
Sampel hasil pengukuran penampang stratigrafi akan memberikan hasil yang
lebih menyakinkan dibandingkan dengan spot sample.
121
Sampel bawah permukaan terdiri dari: Sampel inti (core sample), bentuk
silinder biasanya diperoleh dari pemboran dengan menekan pada material
subjek. Sampel inti dari pemboran eksplorasi umumnya memiliki sumbu
panjang yang berorientasi sejajar dengan poros lubang bor, berdiameter lebih
dari 150 mm, dengan panjang mencapai sekitar 100 meter atau lebih; Gravity
coring, dilakukan dengan metoda jatuh bebas (berbasis gaya gravitasi) untuk
mendapatkan gravity corer atau penginti jatuh bebas biasa digunakan untuk
mengambil sedimen lunak maupun keras dari dasar laut atau permukaan
perairan; serta Sidewall coring yang diambil dari bagian sampel inti, yang
diambil dengan alat masuk ke dinding bor (borehole wall) untuk mengambil
sampel (relatif) kecil dan pendek dari dinding lubang bor yang ada. Sampel
umum lainnya adalah cutting samples yang diperoleh selama proses coring
(dari lumpur pemboran).
122
Gambar 7.4. Gravity coring.
123
7.2. Batuan yang Mengandung Fosil
Prinsip biostratigrafi berkaitan dengan penemuan fosil dan posisi relatif dari
kejadiannya dalam ruang dan waktu (dikenal dengan sebutan umur relatif).
Berbagai kelompok fosil dapat ditemukan di lingkungan sedimen yang
berbeda. Secara garis besar, lingkungan pengendapan dibedakan menjadi
darat (terestrial) dan laut(1).
Dalam sedimen terestrial, spora dan polen adalah kelompok fosil yang umum
ditemukan. Vertebrata atau fosil besar lainnya hanya dapat digunakan jika
sampel sedimen cukup besar atau ditemukan pada singkapan. Keterbatasan
penggunaan spora / polen adalah oksidasi yang dialami oleh sedimen setelah
pengendapan. Oksigen akan menghilangkan bahan organik (spora / polen)
dari sedimen. Spora dapat digunakan untuk batuan sedimen Devon (sekitar
400 juta tahun lalu) hingga saat ini, sedangkan polen di Kapur atas (sekitar 80
juta tahun lalu) hingga sedimen saat ini(1).
Dalam sedimen yang kaya akan silika, mikrofosil silika seperti diatom dan
radiolarian dapat digunakan. Cakupan stratigrafinya cukup tinggi, terutama
pada umur Tersier (sekitar 65 juta tahun lalu), namun masih dalam
pengembangan untuk kerangka waktu lainnya(1).
124
gampingan (misalnya pada sedimen laut dalam). Penggunaannya sebagai
indikator lingkungan cukup terbatas, walaupun beberapa spesies diketahui
terkait dengan air hangat atau dingin(1).
Perkiraan umur dari fosil tersebut dapat berupa hasil numerik jika fosil yang
ditemui dalam sampel dapat dikaitkan dengan skema zonasi global yang ada
hingga saat ini(1).
125
ditemukan dalam pengamatan oleh biostratigrapher(2).
Pada akhirnya, taksiran fosil berkembang pada rentang umur yang pendek
namun luas sebagai penanda biostratigrafi terbaik yang digunakan dalam
korelasi. Jika taksa tertentu berukuran luas dan memiliki rentang umur
pendek, dan juga cukup kuat untuk terawetkan sebagai fosil, maka taksiran
sering disebut sebagai fosil indeks. Sebuah fosil indeks yang diidentifikasi
dalam batuan dapat digunakan sebagai batas umur batuan karena memiliki
interval waktu yang sangat spesifik ketika hidup (2).
Fosil taksa yang digunakan dalam investigasi biokronologi jarang ada yang
memenuhi semua aspek dari fosil indeks ideal. Artinya, mereka sering tidak
sesuai satu atau lebih dari kriteria berikut:
1) memiliki distribusi yang luas (fosil cenderung terbatas pada wilayah kecil
atau hanya ditemukan di lingkungan pengendapan tertentu yang
bertentangan dengan global);
Penanda biostratigrafi terbaik atau fosil indeks adalah taksa yang hidup di
kolom perairan terbuka baik itu planktik yang bebas mengambang atau yang
aktif berenang, nekton. Organisma semacam itu cenderung berkembang
dengan cepat, tersebar luas dan banyak diendapkan. Sebaliknya, organisma
bentik yang hidup pada atau sangat dekat dengan dasar lautan, cenderung
kurang luas penyebarannya, jumlahnya lebih sedikit, dan biasanya hanya
ditemukan di lingkungan tertentu. Meskipun demikian, nektik, planktik, dan
126
bentuk bentik dapat digunakan untuk membangun zonasi umur biostratigrafi
relatif(2).
Dalam urutan batuan klastik non gampingan, lapisan yang mengandung fosil
seperti moluska, echinodermata dan foraminifera besar biasanya mudah
ditemukan sebagai kerangka gampingan yang terawetkan. Fosil juga bisa
terjadi pada concretions gampingan. Permukaan singkapan yang lapuk
biasanya berlubang-lubang tidak beraturan dan fosil kadang dapat ditemukan
dengan mudah(3).
Dalam batuan sedimen dan vulkanik di lakustrin non marin, fluviatil, atau
delta, sisa- sisa vertebrata terestrial yang berharga paling sering ditemukan.
Batuan ini umumnya memiliki warna bervariasi merah, hijau, merah marun
atau abu-abu(3).
127
diperlukan peralatan untuk memisahkannya dari batuan segar(3).
Polen dan dan spora dapat sangat melimpah di endapan laut darat dan dekat
pantai. Kelompok yang berasal dari tanaman darat dan pohon adalah
kelompok utama mikrofosil yang digunakan untuk menentukan umur
endapan aluvial dan dataran pantai. Keragaman di wilayah Timur Jauh sangat
tinggi. Jumlah taxa Resen saja sekitar 30000 (Haseldonck 1977). Untuk
banyak bentuk, tidak ada tanaman pasti dari mana asal dan distribusi ekologi
dan stratigrafinya(4).
128
material batuan dari uphole/lubang bor dan fragmen sirkulasi). Ini
mungkin kesalahan yang paling sering terjadi pada penentuan fasies dan
umur batuan. Untuk meminimalkan kesalahan, setumpuk sampel cutting
dari bagian atas lubang bor harus diperiksa.
129
Dalam pengertian tersebut mengandung makna, bahwa pada fosil yang
ditemukan dalam lapisan sedimen, dapat terdiri dari Biocoenoses,
Thanatocoenoses dan Diplaced fossil (baik Reworked maupun Infiltrated).
130
l. Umurnya yang lebih tua, dan
m. Berasal dari level kedalaman yang lebih besar(4)(5).
b. Fade yang berubah. Posisi teratas atau terbawah dari kehadiran spesies
pada suatu bagian sumur sering disamakan dengan kepunahannya atau
kehadiran evolusioner pertama. Hal ini dapat dijadikan acuan bila tidak
ada indikasi perubahan lingkungan, namun saat puncak atau awal
kemunculan bersamaan dengan perubahan fasies, maka rentang umur
bisa berada di manapun dalam kisaran spesies tersebut.
131
(terutama prodelta atau teluk) yang dipicu oleh penguraian bahan
organik dan batuan yang mengalami pelapukan subaerial (pencucian air
tawar).
f. Sampel yang mungkin salah tanda (label) dalam pengumpulan data atau
tahap pemrosesan laboratorium, pekerjaan terburu-buru, kesalahan
penyusunan atau pengetikan.
Ada banyak sumber kesalahan yang mungkin terjadi, namun hampir semua
dapat dihindari dengan kerja keras dan ketelitian dalam tahap pengumpulan
data, pemrosesan, analisis dan pelaporan(4).
132
Tabel 5.8. Korelasi biostratigrafi di Indonesia(1)
133
(Lanjutan)
134
Tabel 5.9. Biokronologi Neogen
135
7.6. Biostratigrafi dalam Studi Stratigrafi yang Terintegrasi
136
Daftar Pustaka:
(1) http://strats.home.xs4.all.nl/biostrat.htm
(2) http://www.mcz.harvard.edu/Departments/InvertPaleo/Trenton/Intro/GeologyPa
ge/Sedimentary%20Geology/biostrat.htm)
(3) Compton, Robert R. 1961. Manual of Field Geology, Wiley Eastern PVT. Ltd.,
Publisher
(4) van Gorsel, J.T. 1988. Biostratigraphy in Indonesia: Methods, Pitfalls dan New
Directions, Proceedings Indonesian Petroleoum Association Seventeenth
Annual Convention, Indonesia, hlm. 275 – 300
(5) Bates, L, Robert, Jackson, A., Julia, Edts, 1987, Glossary of Geology, Third
Editions, American Geological Institute, Alexandria, Virginia
137
138