Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Leukokoria, yang disebut juga “white pupil” atau pupil putih, merupakan suatu penanda

penting dari berbagai kelainan yang terjadi pada cairan vitreous dan retina mata. Terdapat

banyak penyakit yang berhubungan dengan leukokoria, diantaranya retinoblastoma, katarak

kongenital, prematur retinopati, persistent fetal vasculature, coast disease, perdarahan pada

vitreous, toxocariasis dan uveitis.

Retinoblastoma merupakan penyakit kanker yang menakutkan yang meyerang anak-anak

berumur 0-5 tahun. Penyakit ini ditandai dengan bercak putih, yang disebut juga dengan

leukokoria. Berdasarkan data badan kesehatan dunia penderita kanker ini terus meningkat

mencapai 2-4% diseluruh dunia. Di Indonesia retinoblastoma menduduki peringkat tertinggi

untuk jumah penderita kanker pada mata.

Leukokoria merupakan penanda yang paling sering pada retinoblastoma sekitar 56,1%

kasus, yang terjadi karena proses kalsifikasi intraretina pada pertumbuhan tumor. Oleh karena itu

sangat penting bagi klinisi untuk dapat mengenali leukokoria sedini mungkin sehingga

kecurigaan terhadap retinoblastoma meningkat. Semakin cepat diagnosis retinoblastoma semakin

cepat dapat ditatalaksana sehingga prognosisnya pun akan lebih bagus.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leukokoria

2.1.1 Defenisi

Leukokoria berarti “white pupil”. Tergantung dari letak lesinya, pupil dapat terlihat
normal dalam ruangan terang, tetapi dapat ditemukan tanpa “red reflex” pada pemeriksaan
oftalmoskopi.

2.1.2 Diferensial Diagnosis

Diferensial diagnosis dari leukokoria diantaranya :

1. Retinoblastoma
2. Persistent Fetal Vasculature, dikenal juga dengan “persistent hyperplastic
primary vitreous”
3. Prematur Retinopati
4. Katarak
5. Corioretinal coloboma
6. Uveitis
7. Toxocariasis
8. Congenital Renital Fold
9. Coats Disease
10. Vitreous Hemorrage
11. Retinal Displasia

2.2 RETINOBLASTOMA
1. Anatomi dan fungsi retina

2
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, membentang dari papil saraf
optik ke depan sampai Oraserata.

Retina mempunyai ketebalan 0,23 mm pada polus posterior dan 0,1 mm pada Oraserata yang
merupakan lapisan paling tipis.

Embriologi dan Anatomi Retina

Retina berasal dari bagian dalam cawan optik yang timbul dari bagian sefal tabung neural
embrio. Bagian luar cawan ini akan menjadi satu lapisan epitel pigmen. Sel bakal retina tersebut
terus berkembang dari satu jenis sel embrional akhirnya menjadi 5 jenis sel yang tersusun teratur.

1. Sel-sel reseptor, berupa sel batang dan kerucut.


Sel kerucut (cones) paling banyak terdapat di bagian sentral yang dinamakan sebagai
daerah macula lutea. Pada sentral macula lutea, yaitu daerah fovea sentralis yang tidak
tercampuri sel-sel batang. Besar macula lutea 1-2 mm, daerah ini daya penglihatannya
paling tajam terutama di fovea sentralis. Struktur macula lutea :
a. Tidak ada sel saraf
b. Sel sel ganglion sangat banyak di pinggir
c. Lebih banyak sel kerucut daripada sel batang. Pada fovea sentralis hanya terdapat sel
kerucut.

Pada nasal dari macula lutea terdapat papilla nervi opticum yaitu tempat dimana
nervus II menembus sclera. Papil ini hanya terdiri dari serabut saraf, tidak mengandung
sel batang atau sel kerucut sama sekali. Oleh karena itu, tidak dapat melihat sama sekali
dan disebut titik buta (skotoma fisiologis, blind spot). Bentuk papil lonjong, berbatas

3
tegas, pinggirnya lebih tinggi dari retina sekitarnya. Bagian tengahnya ada lekukan yang
tampak agak pucat besarnya 1/3 diameter papil yang disebut ekskavasasi fisiologis. Dari
tempat ini keluarlah arteri dan vena retina sentral yang kemudian bercabang-cabang ke
temporal dan ke nasal, keatas dan ke bawah.

Fungsi sel kerucut adalah untuk photoptic vision (melihat warna, cahaya
intensitas tinggi dan penglihatan sentral/ketajaman penglihatan). Persepsi detail dan
warna pada cahaya yang cukup terang. Pada cahaya yang remang-remang sel kerucut ini
kurang berfungsi. Didalam sel kerucut terdapat 3 macam pigmen yang masing-masing
peka terhadap sinar merah, hijau, biru. Pigmen yang peka terhadap sinar merah, spectrum
absorbsinya luas, 575 mA. Pigmen yang peka terhadap sinar hijau mempunyai frekuensi
maksimal 540 mA, sedang pigmen yang peka terhadap sinar biru frekuensi absorbs
maksimalnya 430 mA. Sel-sel batang lebih banyak di bagian perifer terutama di sekitar
makula. Fungsinya adalah untuk penglihatan di tempat gelap untuk scotoptic vision, yaitu
untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah tidak dapat melihat warna, untuk
penglihatan perifer dan orientasi ruangan.

2. Sel-sel bipolar
Yaitu penghubung dari sel sel reseptor dengan sel ganglion. Bentuknya ada yang
khusus menyambungkan satu sel reseptor kerucut dengan sel ganglion dan ada pula
bercabang banyak yang menghubungkan beberapa sel batang ke satu sel ganglion.
3. Sel ganglion
Sel ganglion menyampaikan impuls ke arah otak. Aksonnya panjang meliputi
lapisan permukaan retina, yang terus berkumpul di saraf optic dan selanjutnya sampai di
badan genikulatum lateral untuk bersinaps di sini dengan sel sel saraf yang melanjutkan
impuls visual kekorteks ke daerah fissure calcarina lobus oksipitalais.
4. Neuron Lainnya : sel Horizontal dan sel amakrin
Diduga berfungsi mengatur atau menggabungkan dan menyaring aliran impuls
dari masing-masing sel saraf sebelumnya.
5. Sel Muller
Bukan sel saraf tapi fungsinya penting sebagai membentuk sistem kerangka
penunjang jaringan retina. Membran limitasi interna dan eksterna adalah bagian yang

4
dibentuknya. Sel muller berfungsi sebagai depot glikogen yang penting untuk energi sel
lainnya.

Histologi neuroretina terdiri atas 9 lapisan, 10 dengan lapisan epitel pigmen yaitu (dari
dalam keluar)

1. Lapisan membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.

5
2. Lapisan serat saraf dari sel ganglion, yang mengandung akson-akson sel ganglion
yang berjalan menuju ke nervus optikus.
3. Lapisan inti sel ganglion
4. Lapisan molikuler (flexiform) dalam, yang mengandung sambungan-sambungan
(sinaps) sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar.
5. Lapisan nukleus dalam, merupakan lapisan aselular yang merupakan tempat sinaps
sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
6. Lapisan flexiform luar, merupakan lapisan aselular mengandung sambungan-
sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor.
7. Lapisan nuklearis luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan sel batang
8. Lapisan membrane limitan eksterna, merupakan membrane ilusi
9. Lapisan segmen luar dari sel reseptor
10. Epitel pigmen

Pendarahan pada Retina

Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral
masuk retina melalui papil syaraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Dari
ekskavasasi fisiologis papilla nervi optisi keluarlah arteri dan vena retina sentral yang kemudian
bercabang-cabang ke temporal dan ke nasal, juga ke atas dan ke bawah. Arteri ini merupakan
arteri terminal dan tidak ada anastomose (end artery). Kadang-kadang didapat anastomose antara
pembuluh darah arteri siliaris dan arteri retina sentral yang disebut arteri silioretina yang
biasanya terletak di daerah makula.

Pada pemeriksaan funduskopi, dinding pembuluh darah tidak dapat dilihat. Yang tampak
pada pemeriksaan adalah kolom darah :

6
Arteri : diameter lebih kecil dengan perbandingan a:v = 2:3. Warnanya lebih merah, bentuknya
lebih lurus di tengah-tengahnya terdapat reflex cahaya.

Vena : lebih besar, warna lebih tua dan bentuk lebih berkelok-kelok.

Retina menerima darah dari 2 sumber :

1. Koriokapilaris yang mendarahi 1/3 luar retina termasuk lapisan flexiform luar dan lapisan
inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen retina.
2. Arteri retina sentral yang mendarahi 2/3 sebelah dalam retina.

Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh koriokapilaris. Pembuluh darah retina mempunyai


lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah retina. Sawar darah retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.

3. Fisiologi Retina

Retina berfungsi sebagai bidang di mana gambar ruang luar terproyeksikan atau terfokuskan.
Energi cahaya yang membentuk gambar itu menimbulkan perubahan kimia dari rhodopsin yang
banyak terkumpul di segmen luar sel-sel reseptor. Dengan cara tertentu perubahan kimia tersebut
menyebabkan pengaturan keluar masuknya ion Na, K, Ca lewat “ion gate” sehingga
menimbulkan perubahan potensial pada membrane sel. Penjalaran perubahan potensial dinding
membran sel yang kemudian terjadi terus di sampaikan ke sel-sel bipolar dan ke sel-sel Ganglion
menerjemahkan potensial menjadi rentetan impuls saraf yang diteruskan kearah otak secara
berantai lewat beberapa neuron lainnya.

Di dalam retina diduga terdapat sel-sel khusus yang memantau kekuatan/jumlah cahaya yang
diterimanya. Bila cahaya berlebihan, maka sel itu memberikan perintah lewat suatu busur reflex
untuk penyempitan lobang pupil.

2. Definisi

Retinoblastoma adalah neoplasma murni dari sel retina. Diantara insiden kasus tumor pada
anak, retinoblastoma adalah tumor dengan insiden yang rendah yakni 3% dari keganasan pada
anak dibawah 15 tahun, tetapi merupakan keganasan primer intraokuler yang paling sering pada
anak.

7
3. Epidemiologi

Retinoblastoma terjadi 1 dalam 14000-20.000 kelahiran kelahiran anak. Untuk umur 1-4
tahun, insiden 10,6 per satu juta penduduk; untuk 5-9 tahun, 1,53 per satu juta penduduk; dan
untuk 10-14 tahun, 0,27 per satu juta penduduk. Tidak ada perbedaan insiden berdasarkan jenis
kelamin atau antara mata kanan dengan mata kiri. 95 % kasus didiagnosis sebelum umur 5 tahun.

Ada dua bentuk pola retinoblastoma. Pola herediter (germinal) dan nonheredditer (non
germinal). Yang herediter dapat timbul unilateral sekitar atau bilateral pada mata, dan
kebanyakan unilateral pada yang nonherediter, dimana anak-anak dengan retinoblastoma
bilateral lebih cendrung untuk bentuk herediter. Pada herediter retinoblastoma, tumor terjadi
pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan yang nonherediter. Untuk bisa melihat
hubungan lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini ;

4. Etiologi

Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi pada gen Rb1 yaitu gen yang berfungsi menekan
perkembangan retinoblastoma sendiri. Kedua kopi gen Rb1 ini harus bermutasi supaya dapat
terbentuk tumor. Gen Rb1 berlokasi pada lengan panjang kromosom 13 lokus 14 (13q14). Rb1
yang cacat ini dapat diwariskan dari salah satu orang tua, biasanya mengenai kedua mata dan
cenderung berkembang pada usia yang muda. Namun pada beberapa kasus lain mutasi baru
terjadi pada tahap awal perkembangan janin berupa kesalahan anak pada tahap awal
perkembangan janin berupa kesalahan pada proses penyalinan ketika sel membelah.

8
5. Patofisiologi

Awalnya retinoblastoma dianggap sel glia, sehingga disebut pseudoglia, dan saat ini
diterima bahwa tumor ini berasal dari sel neuroblastik pada lapisan inti retina. Penelitian
imunohistokimia membuktikan bahwa retinoblastoma berasal dari keganasan sel kerucut,
diperlihatkan oleh hasil positif tumor untuk neuron spesifik enulase, rod spesifik antigen S-
fotoreseptor segmen luar, dan rodopsin. Tumor sel mensekresikan substansi ekstrasel yang
disebut retinoid interfotoreseptor binding protein, normalnya merupakan produk dari
fotoreseptor.

6. Klasifikasi dan stadium

Klasifikasi Retinoblastoma yang digunakan berdasarkan Reese-Ellsworth

Stadium Retinoblastoma :

1. Stadium tenang :

Pupil melebar. Di pupil tampak reflek kuning yang disebut “amourotic cat’s eye”. Hal
inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian berobat. Pada fundoskopi,
tampak bercak yang bewarna kuning mengkilap, dapat menonjol kedalam badan kaca.
Dipermukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan. Dapat disertai dengan ablasi retina.

2. Stadium glaukoma :

9
Oleh karena tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meninggi, glaucoma
sekunder yang disertai dengan rasa sakit yang sangat. Media refrakta menjadi keruh,
sehingga pada fundoskopi sukar menentukan besarnya tumor

3. Stadium ekstra okuler :

Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar, menyebabkan eksoftalmus, kemudian
dapat pecah kedepan sampai keluar dari rongga orbita, disertai nekrose diatasnya.
Pertumbuhan dapat pula terjadi kebelakang sepanjang N.II dan masuk keruang tengkorak.
Penyebaran ke kelenjar getah bening, juga dapat masuk ke pembuluh darah, untuk kemudian
menyebar ke seluruh tubuh.

7. Diagnosis dan Diagnosis banding

Pemeriksaan pada retinoblastoma seharusnya menjadi sebagian dari pemeriksaan pada


bayi normal yang baru lahir hingga bayi berumur 3 bulan, antaranya adalah :

a) Red reflex : pemeriksaan retina mata dengan menggunakan alat ophthalmoscope atau
retinoscope untuk melihat reflex reddish-orange yang normal dengan jarak 30 cm / 1
kaki, dilakukan di dalam ruangan yang kurang cahaya atau rungan gelap.
b) Corneal light reflex : pemeriksaan untuk melihat kesimetrisan reflek cahaya pada titik
yang sama pada tiap mata saat cahaya dipancarkan ke tiap kornea, untuk membedakan
apakah kedua mata bersilangan atau tidak
c) Eye examination : mendeteksi semua kelainan struktur

Temuan klinis seluruh stadium retinoblastoma bervariasi

1. Leukokoria
Leukokoria (refleks pupil putih atau refleks mata kucing) merupakan gambaran klinis
yang paling sering sekitar 56,1% kasus, terjadi karena proses kalsifikasi intraretina pada
pertumbuhan tumor. Leukokoria terjadi karena ada kandungan masa putih menutupi
refleks merah pupil.

10
2. Strabismus (esotropia 11% dan exotropia 9%)
Strabismus bisa berupa ekstropia maupun esotropia. Terjadi akibat gangguan fiksasi
akibat pertumbuhan tumor di daerah macula. Strabismus muncul sebagai temuan kedua
yang sering didapatkan. Jadi pemeriksaan fundoskopi melalui pupil yang berdilatasi
dengan baik harus dilakukan pada seluruh kasus strabismus pada anak-anak
3. Retinoblastoma dapat menyebabkan perubahan sekunder di mata termasuk glaukoma,
sobekan retina dan inflamasi sekunder karena nekrosis tumor
 Pseudouveitis, dengan mata merah dan nyeri yang berhubungan dengan hipopion
dan hipema merupakan gambaran klinis yang jarang muncul. Pada pseudouveitis
ini sel-sel tumor menginvasi retina secara difus tanpa membentuk massa tumor
yang nyata
 Inflamasi orbital menyerupai selulitis orbital dapat terjadi pada mata dengan
tumor yang nekrosis.

8. Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium
 Spesimen darah harus diambil tidak hanya dari pasien tetapi juga dari orang tua
untuk analisa DNA : RB gene, serum carcinoembrionik antigen (CEA), serum
alpha fetoprotein.
Ada metode direk dan indirek untuk analisa gen retinoblastoma. Metode direk
bertujuan untuk menemukan mutasi inisial yang mempercepat pertumbuhan
tumor. Jadi, pemeriksaan ini menentukan apakah mutasi terjadi pada sel benih

11
pasien. Metode indirek dapat digunakan pada kasus dimana mutasi awal tidak
dapat terlokalisasi atau tidak jelas apakah mutasi tersebut ada
 Assay level Enzyme Humor Aqeous
Dapat digunakan untuk memperoleh informasi yang berguna pada pasien dengan
kecurigaan retinoblastoma. Laktat Dehidrogenase (LDH) adalah enzim glikolitik
yang menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Enzim ini terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi dalam sel yang aktif secara metabolis. Secara normal,
konsentrasinya di dalam serum dan aqeous humor rendah. Pada pasien dengan
retinoblastoma menunjukkan peningkatan aktivitas LDH
 Pemeriksaan cairan cerebrospinal dan sumsum tulang
b) Pemeriksaan pencitraan
 CT-Scan Kranial dan Orbital, merupakan metode yang sensitif untuk didiagnosis
dan deteksi kalsifikasi intraokuler dan menunjukkan perluasan tumor intraokuler
bahkan pada keadaan tidak adanya kalsifikasi

 USG berguna dalam membedakan retinoblastoma dari keadaan non neoplastik.


USG berguna juga untuk mendeteksi kalsifikasi

12
 MRI dapat berguna untuk memperkirakan derajat diferensiasi retinoblastoma
namun tidak spesifik CT-Scan karena kurangnya sensitivitas mendeteksi kalsium.
MRI juga berguna dalam mengidentifikasi retinoblastoma yang berhubungan
dengan perdarahan atau ablasio retina eksudatif
 X-Ray. Pada daerah dimana USG dan CT-Scan tidak tersedia, pemeriksaan X-ray
dapat merupakan modalitas untuk mengidentifikasi kalsium intraocular pada
pasien dengan media opaq
c) Gambaran Histopatologi
Penemuan histology klasik pada retinoblastoma adalah Flexner-Wintersteiner
Rosettes, merupakan sel dengan susunan kuboid mengelilingi suatu lumen dengan
nucleus di daerah basal, inti besar warna gelap dan sedikit sitoplasma

9. Diagnosis banding

a) Persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV) : kelainan congenital pada mata terjadi
pada kegagalan embriologi, vitreous primer dan vaskuler hyaloid menyempit, dimana
bola mata memendek, terbentuknya katarak, dan dilihat pupil memutih.
b) Coat’s disease : karakteristik kelainan unilateral yang tipikal dengan terbentuknya
pembuluh darah di belakang retina yang abnormal, menyebabkan kelainan pada
pembuluh darah retina dan perlengketan retina menyerupai seperti retinoblastoma.
c) Toxocara canis : penyakit infeksi pada mata yang berhubung dengan paparan infeksi dari
anak anjing, yang menyebabkan lesi pada retina dan terjadi perlengketan retina.
d) Retinopathy of prematurity (ROP) : berhubung dengan berat badan lahir rendah pada bayi
yang menerima bantuan oksigen emergency setelah lahir, bisa menyebabkan jaringan
retina rusak dan perlengketan retina.
e) Katarak congenital, perdarahan vitreus, uveitis anterior

10. Penatalaksanaan

Medis

Terapi medis adalah untuk pengawasan tumor dan pertahankannya sebisa mungkin. Jika
kanker tidak memberikan respon terhadap pengobatan, mungkin perlu diangkat. Jika kanker
hanya menyerang satu mata, maka keseluruhan bola mata diangkat bersamaan dengan sebagian

13
nervus optikus. Jika kanker menyerang kedua mata, digunakan teknik bedah mikro khusus untuk
mengangkat atau menghancurkan tumor, sehingga kedua mata tidak harus diangkat.

External Beam Radiation Therapy, EBRT

EBRT menghambat pertumbuhan tulang dimana terjadi hipoplasia. EBRT juga


meningkatkan resiko kanker sekunder. EBRT masih diindikasi untuk beberapa keadaan :

Signifikan vitreous seading

Pada anak-anak yang perjalanan penyakitnya walaupun sedang menjalani terapi kemoreduksi.

Pada tumor yang berkembang melewati batas pemotongan nervus optikus setelah enukleasi.

Plaq Isotop Radioaktif

Biasanya digunakan radioaktif cobalt 60, iodine 125, iridium 192 dan ruthneum 106.
Keuntungannya adalah secara langsung diarahkan ke tumor sehingga meminimalisir radiasi ke
jaringan normal. Namum kerugiannya adalah dosis yang tinggi ke sclera.

Kemoterapi

Kemoterapi neoadjuvant primer atau kemoreduksi digunakan untuk terapi retinoblastoma


intraokuler group C dan D atau stadium 3. Kemoterapi profilaksis dianjurkan jika tumor sudah
menyokong nervus optikus yang telah melewati lamina kribosa.

Pembedahan

Terapi pembedahan tumor merupakan standar terapi untuk kasus tahap lanjut.

Enukleasi

Dilakukan pada tumor endofilik. Enukleasi dilakukan saat tidak ada kesempatan untuk
pertahankan penglihatan pada mata. Biasanya orang yang perlukan enukleasi adalah orang
dengan sobekan retina total atau segmen posterior penuh dengan tumor. Enukleasi diikuti dengan
Pemotongan N II dan radioterapi.

Kemoterapi

Dapat digunakan secara primer untuk tumor yang berukuran kecil yang berlokasi di
anterior berpindah dari diskus dan macula. Dapat diguna juga untuk rekuren setelah radioterapi.

Fotokoagulasi
14
Dapat digunakan untuk tumor yang kecil di posterior. Fotokoagulasi dapat juga
digunakan untuk tumor rekuren setelah EBRT. Caranya dengan merusak pembuluh darah tumor.

Exenterasi orbita

Dilakukan pada tumor eksofilik tapi tidak memperlihatkan tanda destruksi pada tulang.

Jika satu mata yang terserang, pengobatan bergantung pada kalsifikasi tumor:

Golongan I dan II dengan pengobatan lokal (radiasi, cryotherapy, fotokoagulasi laser). Kadang-
kadang digabung dengan kemoterapi.

Jika tumor besar (golongan IV dan V) mata harus dienukleasi segera. Mata tidak terkena
dilakukan radiasi sinar X dan kemoterapi

11. Prognosis

Prognosis retinoblastoma baik jika dilakukan terapi yang tepat. Angka kesembuhannya
hampir 90% jika nervus optikus tidak terlibat dan enukleasi dilakukan sebelum tumor melewati
lamina kribosa. Angka ketahanan hidup jadi 60% jika tumor meluas melewati lamina kribosa.
Kematian terjadi kerana perluasan intrakranial. Di US 98% dari penderita retinoblastoma
mempunyai survival rate yang baik tapi di negara berkembang survival rate hanya 50%. Selain
itu factor lain juga mempengaruhi prognosis penderita retinoblastoma seperti :

- Hasil patalogis

- Penyebaran ke tempat lain.

12. Komplikasi

Tumor non okuler sekunder dapat muncul pada penderita retinoblastoma. Contohnya
adalah ostoesarkoma, berbagai jenis sarkoma jaringan lunak yang lain, melanoma maligna,
leukemia dan limfoma. Selain itu, kekambuhan semula retinoblastoma setelah dioperasi.

2.3 KATARAK KONGENITAL


1. Anatomi dan Fisiologi Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir transparan
sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di belakang iris, lensa ditahan di

15
tempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula (Zonula Zinnii), yang tersusun dari
banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa. Di sebelah
anterior terdapat aquaeus humor, di sebelah posteriornya vitreus humor.

Permukaan lensa bagian posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa
terdiri dari Kapsul anterior dan posterior, Epitel lensa, Korteks anterior dan posterior, serta
Nukleus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semi permeabel yang akan memperbolehkan
air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Epitel lensa di
ekuator dan bawah kapsul depan membentuk korteks yang berlapis-lapis. Nukleus lensa lebih
keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamella konsentris yang panjang.
Masing-masing serat lamella mengandung sebuah inti gepeng yang berada di bagian perifer lensa
di dekat ekuator dan bersambung dengan lapisan epitel subkapsul.

16
2. Fisiologi Lensa

Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein, dan sedikit sekali
mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa
daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk
teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah, atau saraf di lensa.

Secara fisiologik, lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu kenyal atau lentur karena
memegangn peranan terpenting dalam akomodasi menjadi cembung. Selain itu, lensa jernih atau
transparan karena diperlukan dalam media penglihatan, dan terletak pada tempatnya.

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk memfokuskan
cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula dan
memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil. Fungsi retina
memfokuskan objek jauh ke retina ini dinamakan Refraksi. Dalam posisi ini, daya refraksi lensa
diperkecil sehingga berkas cahaya paralel akan terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya
dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi, sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa
yang elastik kemudian mempengaruhi lensa mejadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya
biasnya. Kerjasama fisiologik antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda
dekat ke retina dikenal sebagai Akomodasi.

17
3. Embriologi, Pertumbuhan, dan Perkembangan Lensa

Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm permukaan, termasuk
derivatnya yaitu crista neuralis; ektoderm neural; dan mesoderm. Lensa berasal dari ektoderm
permukaan. Pada usia 4 minggu, vesikel optik terbentuk dari pertumbuhan ektoderm neural ke
luar dan arah permukaan. Vesikel optik berhubungan dengan otak depan melalui tangkai optik.
Pada tahap ini terjadi penebalan ektoderm permukaan (lempeng lensa) berhadapan ujung-ujung
vesikel optik.

Saat vesikel berinvaginasi membentuk mangkuk optik, dinding luar vesikel mendekati
dinding dalamnya. Invaginasi permukaan ventral dari tangkai optik dan dari vesikel optik terjadi
bersamaan dan menghasilkan alur yaitu Fissura Optikum. Tepian mangkuk optik kemudian
tumbuh mengitari fissura optik. Bersamaan dengan ini, lempeng lensa berinvaginasi pertama-
tama membentuk mangkuk, kemudian membentuk bola berongga yang dikenal sebagai vesikel
lensa. Vesikel lensa lalu melepaskan diri dari ektoderm permukaan dan terdapat bebas dekat
tepian mangkuk optik.

Pada usia 6 minggu, sel-sel pada dinding posteriornya mulai memanjang, mengisi rongga
yang kosong, dan akhirnya memenuhinya. Lalu sel-sel lensa mensekresi sebuah kapsul hialin.
Serat-serat lensa sekunder memanjang dari daerah ekuatorial dan bertumbuh ke depan di bawah
epitel subkapsular, yang tetap berupa selapis sel epitel kuboid. Serat-serat ini bertemu
membentuk sutura lentis (Y) tegak di anterior dan (Y) terbalik di posterior, yang rampung pada
bulan ke tujuh. Pertumbuhan dan proliferasi serat-serat lensa berlangsung terus selama hidup,
tetapi dengan kecepatan yang makin menurun. Karenanya, lensa dengan perlahan membesar,
sehingga menekan serat-serat lensa.

Saat lahir, lensa berbentukk lebih bulat daripada kemudian, menghasilkan daya refraksi
yang lebih kuat sebagai kompensasi diameter anteroposterior mata yang pendek. Lensa
bertumbuh seumur hidup dengan menambahkan serat-serat baru di tepian, sehingga bertambah
gepeng. Konsistensi lensa saat lahir seperti plastik lunak, sedangkan pada usia lanjut
konsistensinya mirip kaca.

4. Definisi

18
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies dan bahasa Latin Cataracta yang berarti
air terjun. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya.

Katarak kongenital merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mulai terjadi sebelum atau
segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan
penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat.

5. Epidemiologi

Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan terbanyak pada anak-anak di seluruh


dunia. Berdasarkan data WHO, terdapat sekitar 15% kebutaan yang terjadi pada anak merupakan
katarak kongenital bilateral. Tiga dari 1000 anak yang lahir di negara industri didiagnosis katarak
kongenital pada tahun pertama kelahiran.

Katarak kongenital lebih banyak terjadi di negara berkembang. Dua puluh persen dari
kejadian katarak kongenital bilateral disebabkan familial, 20% disebabkan sindroma atau
kelainan metabolik, 5% disebabkan infeksi intrauterin, dan 50% idiopatik.

6. Etiologi

Pada kebanyakan pasien, penyebab atau etiologi yang mendasari katarak kongenital ini
tidak diketahui atau idiopatik. Tapi dari berbagai penelitian, faktor keturunan atau herediter
memainkan peranan yang besar dalam penyakit ini. Katarak kongenital ini diturunkan secara
autosomal dominan sebanyak 23% dari seluruh kejadian katarak kongenital. Sering disertai
dengan kelainan kongenital lainnya seperti mikroftalmus, aniridia, koloboma iris, keratokonus,
lensa ektopik, displasia retina, dan megalokornea.

Selain herediter katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-
ibu yang menderita infeksi ketika masa kehamilannya. Infeksi intra uterin ini antara lain berupa
infeksi Rubella, Varicella, Toxoplasmosis, Herpes Simplex, Rubeola, Cytomegalo virus, serta
Poliomyelitis, terutama yang terjadi saat kehamilan trimester I .

Penyebab lain yang diketahui adalah yang berhubungan dengan kelainan kromosom seperti
Trisomi 21 (Sindrom Down), Sindrom Turner, Trisomi 13, Trisomi 18, Sindrom Cri du Chat.
Selain itu, ada yang berhubungan dengan gangguan metabolik seperti Galaktosemia, Defisiensi
galaktonase, Hipokalsemia, Hipoglikemia, Diabetes Mellitus.

19
Ada juga yang diinduksi oleh pemakaian obat-obatan selama kehamilan seperti
Kortikosteroid dan Klorpromazine; diinduksi oleh paparan radiasi; berhubungan dengan
Retardasi Mental; Sindrom kraniofasial; Penyakit neurometabolik; Penyakit muskular; dan
Penyakit Dermatologikal.

7. Patogenesis

Katarak kongenital merupakan kekeruhan lensa yang didapatkan sejak lahir, dan terjadi
akibat gangguan perkembangan embrio intrauterin. Biasanya kelainan ini tidak meluas mengenai
seluruh lensa. Letak kekeruhan sangat tergantung pada saat terjadinya gangguan metabolisme
serat lensa. Katarak kongenital yang terjadi sejak perkembangan serat lensa terlihat segera
setelah bayi lahir sampai berusia 1 tahun. Katarak ini terjadi karena gangguan metabolisme serat-
serat lensa pada saat pembentukan serat lensa akibat infeksi virus atau gangguan metabolisme
jaringan lensa pada saat bayi masih di dalam kandungan, dan gangguan metabolisme oksigen.

Pada katarak kongenital, kelainan utama terjadi di nucleus fetal atau nucleus embrional
(tergantung pada waktu stimulus kataraktogenik), atau di kutub anterior atau posterior lensa
apabila kelainannya terletak di kapsul lensa. Stimulasi faktor-fakator kataraktogenik (seperti
infeksi intrauterine, trauma, penyakit metabolic) ke nukleus atau serat lentikuler, dapat
menyebabkan kekeruhan pada media lentikuler yang jernih.

Kekeruhan pada katarak kongenital jarang sekali mengakibatkan keruhnya seluruh lensa.
Letak kekeruhannya tergantung saat terjadinya gangguan pada kehidupan janin, sesuai dengan
perkembangan embriologik lensa. Bentuk katarak congenital memberikan kesan tentang
perkembangan embriologik lensa, juga saat terjadinya gangguan pada perkembangan tersebut.

Infeksi intrauterine menyebabkan katarak kongenital bilateral. Katarak yang terjadi pada
infeksi intrauterine kekeruhannya sentral dan bisa

8. Klasifikasi

Katarak lamelar atau zonular, katarak polaris anterior (piramidalis anterior, kutub anterior),
katarak polaris posterior (piramidalis posterior, kutub posterior), katarak inti (nukleus), katarak
sutural.

Katarak Lamellar atau Zonular. Di dalam perkembangan embriologik dimana pada


permulaan terdapat perkembangan serat lensa maka akan terlihat bagian lensa yang sentral yang

20
lebih jernih. Kemudian terdapat serat lensa keruh dalam kapsul lensa. Kekeruhan berbatas tegas
dengan bagian perifer tetap bening. Katarak lamelar ini mempunyai sifat herediter dan
ditransmisi secara dominan. Katarak biasanya bilateral. Terlihat segera sesudah bayi lahir.
Kekeruhan dapat menutupi seluruh celah pupil, sehingga bila tidak dilakukan dilatasi pupil
sering dapat mengganggu penglihatan. Gangguan penglihatan pada katarak Zonullar tergantung
pada derajat kekeruhan lensa. Bila kekeruhan sangat tebal sehingga fundus tidak dapat terlihat
pada pemeriksaan oftalmoskopi, maka perlu dilakukan aspirasi dan irigasi lensa.

Katarak Polaris Anterior. Gangguan terjadi pada kornea belum seluruhnya melepaskan
lensa dalam perkembangan embrional. Hal ini yang mengakibatkan terlambatnya pembentukan
bilik mata depan pada perkembangan embrional. Kadang-kadang didapatkan suatu bentuk
kekeruhan yang terdapat di dalam bilik mata depan yang menuju kornea sehingga
memperlihatkan bentuk kekeruhan seperti piramid. Katarak jenis ini tidak progresif. Pengobatan
sangat tergantung keadaan kelainan. Bila sangat mengganggu tajam penglihatan atau tidak
terlihatnya fundus pada pemeriksaan oftalmoskopi, maka dilakukan pembedahan.

21
Katarak Polaris Posterior. Disebabkan karena menetanya selubung vaskuler lensa.
Kadang-kadang terdapat arteri hialoid yang menetap, sehingga mengakibatkan kekeruhan pada
lensa bagian belakang. Pengobatan dengan melakukan pembedahan lensa.

Katarak Inti (Nuklear). Jarang ditemukan dan tampak sebagai bunga karang. Kekeruhan
terletak di daerah nukleus lensa. Sering hanya merupakan kekeruhan berbentuk titik-titik.
Gangguan terjadi pada waktu kehamilan 3 bulan pertama. Biasanya bilateral dan berjalan tidak
progresif. Biasanya herediter dan bersifat dominan. Tidak mengganggu tajam penglihatan.
Pengobatan, bila tidak mengganggu tajam penglihatan maka tidak memerlukan tindakan.

Katarak Sutural. Y suture merupakan garis pertemuan serat-serat lensa primer dan
membentuk batas depan dan belakang daripada inti lensa. Katarak sutural merupakan kekeruhan
lensa pada daerah sutura fetal, bersifat statis, terjadi bilateral dan familial. Karena letak
kekeruhan ini tidak tepat mengenai media penglihatan maka ia tidak akan mengganggu
penglihatan. Biasanya tidak dilakukan tindakan.

22
9. Manifestasi Klinis

Pada pupil mata bayi yang menderita katarak congenital, akan terlihat bercak putih atau
suatu leukokoria. Leukokoria dapat terjadi parsial maupun total, dan bisa terjadi pada satu mata
(unilateral) atau pada kedua mata (bilateral). Pada setiap leukokoria diperlukan pemeriksaan
yang lebih teliti untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Pemeriksaan leukokoria
dilakukan dengan melebarkan pupil. Selain itu, bayi gagal menunjukkan kesadaran visual
terhadap lingkungan sekitarnya.

Pada katarak kongenital total, penyulit yang dapat terjadi adalah macula lutea yang tidak
cukup mendapat rangsangan. Macula ini tidak akan berkembang sempurna sehingga walaupun
dilakukan ekstraksi katarak, maka visus biasanya tidak akan mencapai 5/5. Hal ini disebut
ambliopia sensoris (ambliopia ex anopsia). Katarak kongenital dapat menimbulkan komplikasi
lain berupa nistagmus dan strabismus.

10. Pemeriksaan

Selain memperhatikan manifestasi klinis yang terjadi, pemeriksaan lain yang bisa
dilakukan adalah dengan melihat refleks fundus. Untuk mengetahui penyebab katarak congenital,
diperlukan riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubella pada kehamilan trimester I dan pemakaian
obat selama kehamilan. Kadang-kadang terdapat riwayat kejang, tetani, ikterus, atau
hepatosplenomegali pada ibu hamil.

Bila katarak disertai uji reduksi pada urin yang positif, mungkin katarak ini terjadi akibat
galaktosemia. Sering katarak congenital ditemukan pada bayi prematur dan gangguan system

23
saraf seperti retardasi mental. Pemeriksaan darah pada katarak kongenital perlu dilakukan karena
ada hubungannya dengan diabetes mellitus, kalsium, dan fosfor.

11. Penatalaksanaan

Katarak kongenital merupakan katarak perkembangan sehingga sel-sel atau serat lensa
masih muda dan berkonsistensi cair. Umumnya tindakan bedah dilakukan dengan disisio lentis
atau ekstraksi linear. Tindakan bedah biasanya dilakukan pada usia 2 bulah untuk mencegah
ambliopia eks-anopsia. Pasca bedah pasien memerlukan koreksi untuk kelainan refraksi matanya
yang telah menjadi afakia.

a. Konservatif

Pada katarak yang belum memerlukan tindakan operasi, pada tahap awal dapat diberikan
obat untuk dilatasi pupil seperti atropine ED 1%, midriasil ED 1%, dan homatropin ED.
Pemberian obat ini hanya bersifat sementara, karena jika kekeruhan lensa sudah tebal sehingga
fundus tidak dapat dilihat, maka harus dilakukan operasi. Oleh karena itu, katarak congenital
dengan kekeruhan sedikit atau parsial perlu dilakukan follow-up yang teratur dan pemantauan
yang cermat terhadap visusnya.

b. Operatif

Pada beberapa kasus, katarak congenital dapat ringan dan tidak menyebabkan gangguan
penglihatan yang signifikan, dan pada kasus seperti ini tidak memerlukan tindakan operatif. Pada
kasus yang sedang hingga berat yang menyebabkan gangguan penglihatan, operasi katarak
merupakan terapi pilihan. Operasi katarak congenital dilakukan bila reflex fundus tidak tampak.
Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada pasien 2 bulan atau lebih muda
bila telah dapat dilakukan pembiusan.

Tindakan bedah pada katarak congenital yang umum dikenal adalah disisio lensa, ekstraksi
linear, dan ekstraksi dengan aspirasi. Pengobatan katarak congenital bergantung pada:

1. Katarak total bilateral, sebaiknya dilakukan pembedahan secepatnya segera setelah katarak
terlihat.

2. Katarak total unilateral, dilakukan pembedahan 6 bulan sesudah terlihat atau segera
sebelum terjadinya juling; Pada katarak congenital total unilateral, mudah sekali terjadi

24
ambliopia. Karena itu sebaiknya dilakukan pembedahan secepat mungkin dan diberikan
kacamata segera dengan latihan bebat mata.

3. Katarak bilateral parsial, biasanya pengobatan lebih konservatif, sehingga sementara dapat
dicoba dengan kacamata atau midriatika. Bila terjadi kekeruhan yang progresif disertai
dengan mulainya tanda-tanda juling dan ambliopia, maka dilakukan pembedahan, biasanya
mempunyai prognosis yang lebih baik.

Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler (EKEK) merupakan terapi operasi pilihan. Berbeda
dengan ekstraksi lensa dewasa, sebagian besar ahli bedah mengangkat kapsul posterior dan
korpus vitreum anterior dengan menggunakan alat mekanis dan pemotong korpus vitreum. Hal
ini untuk mencegah pembentukan kekeruhan kapsul sekunder, atau katarak ikutan, oleh karena
pada mata yang muda kekeruhan lensa terjadi sangat cepat.

Tindakan bedah pada disisio lentis adalah dengan menusuk atau merobek kapsul anterior
lensa dengan harapan badan lensa yang cair keluar. Badan lensa yang keluar akan mengalir
bersama cairan mata (aquos humor), atau difagositosis oleh makrofag. Setelah terjadi absorbsi
sempurna, maka mata menjadi afakia atau tidak mempunyai lensa lagi.

Disisio lensa sebaiknya dilakukan sedini mungkin, karena fovea sentralisnya harus
berkembang waktu bayi lahir sampai umur 7 bulan. Kemungkinan perkembangan terbaik adalah
pada umur 3-7 bulan. Syarat untuk perkembangan ini fovea sentralis harus mendapatkaan
rangsangan cahaya yang cukup. Jika katarak dibiarkan sampai anak berumur lebih dari 7 bulan,
biasanya fovea sentralisnya tidak dapat berkembang 100%, visusnya tidak akan mencapai 5/5
walaupun dioperasi. Operasi dilakukan pada satu mata dahulu. Bila mata ini sudah tenang, mata
sebelahnya dapat dioperasi pula.

Koreksi optis sangat penting bagi bayi dan anak. Koreksi tersebut dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain dengan implantasi lensa buatan (IOL) setelah dilakukan ekstraksi
lensa, pemberian kacamata atau lensa kontak. Implantasi lensa buatan pada bayi masih
controversial. Alasannya antara lain karena kesulitan dalam menentukan kekuatan lensa yang
harus diberikan, terutam pada mata yang masih dalam pertumbuhan. Selain itu lensa buatan tidak
dapat berakomodasi. Oleh karena itu, beberapa pakar lebih menganjurkan penggunaan lensa
kontak dan kacamata sebagai koreksi optis pada anak dan bayi setelah bedah katarak.

25
12. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada katarak congenital adalah kehilangan penglihatan,
ambliopia, strabismus, dan nistagmus.

13. Prognosis

Prognosis penglihatan pasien dengan katarak congenital yang memerlukan pembedahan


tidak sebaik prognosis untuk pasien senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali
syaraf optikus atau retina, membatasi tingkat pencapaian penglihatan pada pasien. Perbaikan
visus setelah tindakan operasi katarak kongental unilateral sekitar 40% mencapai 20/60 atau
lebih baik, sedangkan pada katarak congenital bilateral sekitar 70% mencapai 20/60 atau lebih
baik. Prognosis lebih jelek pada pasien dengan kelainan okuler dan penyakit sistemik lainnya.

2.4 PREMATUR RETINOPATI


1. Definisi

Prematur retinopati adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada pembentukan
pembuluh darah retina pada bayi prematur. Retinopati yang berat ditandai dengan proliferasi
pembuluh retina, pembentukan jaringan parut dan pelepasan retina. Retinopati prematuritas
terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen
konsentrasi tinggi (kondisi ketika oeonatus hams bertahan akibat ketidakmatangan paru).
Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina
sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina (vaskulogeuesis). Hal ini
menimbulkan daerah iskemia pada retina.

ROP terjadi bila pembuluh darah normal tumbuh dan menyebar ke seluruh retina,
jaringan lapisan bagian belakang mata. Abnormal pembuluh ini rapuh dan bisa bocor, jaringan
parut retina dan menariknya keluar dari posisi. Hal ini menyebabkan ablasi retina. detasemen
retina adalah penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan pada ROP.

2. Epidemiologi

Frekuensi. Penelitian di Korea melaporkan insidensi 20.7% (88 dari 425 bayi prematur)
dan melaporkan bahwa usia gestasi ≤ 28 minggu dan berat lahir ≤ 1000 gr adalah faktor risiko
yang paling signifikan. Penelitian lainnya melaporkan insidensi 29.2% (165 dari 564 bayi dengan
BBLASR). Usia median dari onset ROP adalah 35 minggu ( range 31-40 minggu).

26
Mortalitas dan morbiditas. Setiap tahunnya, 500-700 anak mengalami kebutaan akibat
ROP di Amerika Serikat, 2100 bayi akan mengalami gejala sisa sikatrisial, termasuk miopia,
strabismus, kebutaan, dan ablasio retina. Terdapat kurang-lebih 20% dari semua bayi prematur
yang mengalami suatu bentuk strabismus dan kelainan refraksi pada usia 3 tahun. Hal inilah
mengapa bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu atau berat kurang dari 1500 gr harus
melakukan kontrol kesehatan mata setiap 6 bulan, terlepas dari ada atau tidaknya ROP.

3. Patofisiologi
ROP merupakan kelainan vaskular retina imatur. Pembuluh darah retina belum
berkembang penuh sampai sekitar kehamilan 34-36 minggu. Semakin bayi kurang bulan,
semakin besar resiko menglami ROP. Vasokontriksi arteri retina terjadi sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2), vasokontriksi ini merupakan respon protektif dan
tidak mebahayakan bagi retina yang sudah berkembang penuh, tetapi hipoperfusi dan hipoksemia
setempat pada retina dengan vaskularisasi tidak lengkap merangsang proliferasi pembentukan
pembuluh darah baru (neovaskularisasi) sebagai upaya mensuplai daerah yang kurang mendapat
perfusi. Perdarahan selanjutnya ke dalam badan kaca dan retina menyebabkan proliferasi fibrosa,
retraksi parut dan pada kasus terburuk lepasnya retina dan kebutaan.

Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan


oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina (vaskulogenesis)
Hal ini menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pada kondisi normal, retina mempunyai
kepekaan terhadap kerusakan oksidatif yang disebahkan tiga hal, yaitu

1. Berlimpahnya substrat untuk reaksi oksidatif dalam bentuk asam lemah tak jenuh
ganda
2. Retina memproses cahaya sedangkan cahaya merupakan inisiator pembentukan
oksigen radikal hebas, dan
3. Adanya aliran oksigen lintas membran yang relatif tinggi.

Pada bayi prematur, kepekaan retina terhadap stres oksidatif disebabkan oleh
(1) Retina mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap reaksi kimia yang mampu
merambatkan kerusakan oksidatif sesuai jaringan yang diturunkan,

27
(2) Bayi prematur mengalami hiperoksia tidak hanya diakibatkan oleh pembahan
konsentrasi oksigen di utrerus ke udara behas, tetapi juga akibat peningkatan oksigen inspirasi,
dan
(3) Bayi prematur tidak mempunyai pengganti komponen antioksidan retina. Retinopati
prematur merupakan manifestasi alamiah akibat toksisitas pemherian oksigen pada bayi
prematur.
Prematur retinopati terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir Amat Sangat
Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah,
usia gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat ( misalnya respiratory distress
syndrome, displasia bronkopulmoner, sepsis) merupakan faktor-faktor yang terkait. Bayi yang
lebih kecil, lebih tidak sehat, dan lebih immatur memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk
menderita penyakit ini.

4. Patogenesis
Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal.
Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang
terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu
pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular,
sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner. menjelaskan akan adanya dua fase pada proses
terjadinya ROP. Fase pertama, fase hiperoksik, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi
pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler yang irreversibel. Keadaan hyperoxia-
vasocessation ini dikenal sebagai stadium I dari retinopati prematuritas.

28
Gambar 2.3 ROP Stadium I

Seiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti vascular


endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan retina
yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini bersifat
immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang normal.
Segera setelah itu, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui difusi dari
kapiler-kapiler yang berada pada lapisan choroid. Retina terus tumbuh semakin tebal dan
akhirnya melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring waktu, terjadilah
hipoksia retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pembuluh
darah yang berlebihan; keadaan hypoxia-vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP
stadium II.8

29
Gambar 2.4 ROP Stadium II

5. Klinis

Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam zona-zona pada retina (1, 2, dan
3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12), dan tingkat keparahan penyakit
dalam stadium (0-5). Dalam anamnesis dari bayi prematur, harus mencakup hal-hal berikut ini :

 Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu
 Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr
 Faktor risiko lainnya yang mungkin ( misalnya terapi oksigen, hipoksemia,
hipercarbia, dan penyakit penyerta lainnya)

Pemeriksaan Fisik. ROP dikategorisasikan dalam zona-zona, dengan stadium yang


menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Semakin kecil dan semakin muda usia bayi saat
lahir, semakin besar kemungkinan penyakit ini mengenai zona sentral dengan stadium lanjut.

6. Prosedur Pemeriksaan

Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan
oftalmoskopi binokular indirek. Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan depresi
skleral. Instrumen yang digunakan adalahs:

1) spekulum Sauer (untuk menjaga mata tetap dalam keadaan terbuka),

30
2) depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata),

3) lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat).

Bagian pertama dari pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis


retina, bila ada. Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan pada kutub posterior, untuk
mengidentifikasi adanya penyakit plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi ada atau
tidaknya penyakit zona 1. Apabila pembuluh nasal tidak terletak pada nasal ora serrata, temuan
ini dinyatakan masih berada pada zona 2. Apabila pembuluh nasal telah mencapai nasal ora
serrata, maka mata berada pada zona 3.

7. Penatalaksanaan

Terapi Medis

Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis
terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Terapi –terapi lainnya yang pernah dicoba dapat
berupa mempertahankan level insulinlike growth factor (IGF-1) dan omega-3-polyunsaturated
fatty acids (PUFAs) dalam kadar normal pada retina yang sedang berkembang.

Terapi Bedah

a. Terapi bedah ablatif (Ablative surgery)


 Dilakukan apabila terdapat tanda kegawatan
 Terapi ablatif saat ini terdiri dari krioterapi atau terapi laser untuk menghancurkan
area retina yang avaskular
 Biasanya dilakukan pada usia gestasi 37-40 minggu
 Apabila ROP terus memburuk, mungkin dibutuhkan lebih dari satu tindakan
b. Krioterapi
Krioterapi merupakan terapi utama ROP sejak era 1970an. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat stress prosedur yang cukup tinggi, maka
mungkin dibutuhkan bantuan ventilator setelah prosedur ini selesai. Komplikasi yang paling
umum terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom konjunctiva, laserasi konjunctiva, dan
bradikardia.
c. Terapi Bedah Laser

31
Saat ini, terapi laser lebih disukai daripada krioterapi karena dipertimbangkan lebih efektif
untuk mengobati penyakit pada zona 1 dan juga menghasilkan reaksi inflamasi yang lebih
ringan. Fotokoagulasi dengan laser tampaknya menghasilkan outcome yang kurang-lebih sama
dengan krioterapi dalam masa 7 tahun setelah terapi. Sebagai tambahan, dalam data-data
mengenai ketajaman visus dan kelainan refraksi, terapi laser tampaknya lebih menguntungkan
dibandingkan krioterapi, dan juga telah dibuktikan bahwa terapi laser lebih mudah dilakukan
dan lebih bisa ditoleransi oleh bayi.

Setelah intervensi bedah, oftalmologis harus melakukan pemeriksaan setiap 1-2 minggu
untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan. Pasien yang dimonitor ini harus
menjalani pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur. Pada pasien yang tidak ditatalaksana,
ablasio retina biasanya terjadi pada usia postmensrual 38-42 minggu.
Selain itu, 20% dari bayi-bayi prematur menderita strabismus dan kelainan refraksi,
karena itu penting untuk melakukan pemeriksaan oftalmologis setiap 6 bulan hingga bayi berusia
3 tahun. Dan juga, 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita galukoma dikemudian hari,
maka pemeriksaan oftalmologis harus dilakukan setiap tahun.

8. Prognosis

Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya.

2.5 PERSISTENT FETAL VASCULATURE

Persistent Vetal Vasculate (PVF) adalah terminologi yang lebih akurat untuk kondisi yang
bertahun – tahun telah disebut sebagai persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV). Ini
adalah keadaan kongenital, biasanya unilateral, terisolasi, merupakan malformasi sporadik dari
mata. Kasus yang bilateral mungkin bersamaan dengan kelainan neurologis ataupun sindroma
yang sistemik. Kasus yang bilateral atau familial exudative vitreoretinopathy (FEVR) mungkin
adalah fenokopi. Spektrum dari keparahan penyakitnya luas. Kasus yang ringan biasanya
menampilkan mata dengan sisa tonjolan pembuluh darah hyaloid, large Mittendorf dots, dan
papil Bergmeister. Dan di spektrum akhir adalah mata mikroftalmia dengan pendangkalan
progresif dari ruang anterior dan penutupan sudut glaukoma dari invasi fibrovaskular lensa
melalui defek di kapsul posterior. Beberapa penulis mempercayai bahwa kebanyakan katarak
congenital unilateral disertai dengan PFV.

32
Penyatuan dari retina sentral perifer dan posterior juga mungkin terjadi pada beberapa keparahan
yang melibatkan mata. Arteri hyaloid mungkin digantikan dengan tangkai berserat yang tebal.
Proses siliar mungkin memanjang dan dapat dilihat melalui pupil yang berdilatasi, dan pembuluh
darah radial yang menonjol sering terlihat pada permukaan iris. Plak retrolental biasanya terpadat
pada sentral, dan itu biasanya mengandung banyak kartilago ataupun jaringan fibrovaskular. Plak
yang eksentrik juga biasa terjadi.

Riwayat mata yang tidak diobati biasanya lebih parah, bentuk katarak yang progresif seiring
dengan terjadinya pendangkalan dari ruang anterior, akhirnya menghasilkan penutuan sudut
glaukoma. Penyatuan retina, perdarahan intraocular, penyatuan badan siliar, dan penutupan sudut
glaukoma adalah komplikasi terparah dari PVF. Perdarahan kiranya berasal dari membrane
fibrovaskular di dalam ruang retrolental. Mata yang terkena biasanya lebih kecil daripada mata
normal, meskipun penemuan ini mungkin hanya terlihat dari USG atau pengukuran yang teliti
dari diameter kornea. Ini sangat penting untuk mendokumentasi mikroptalmos karena pada kasus
retinoblastoma sangat jarang ditemukan mata mikroptalmia, dan retinoblastoma mungkin
menjadi bagian dari diferensial diagnosis yang inisial. Adanya katarak adalah bukti untuk
melawan diagnosa dari retinoblastoma, meskipun kekeruhan dari lensa mungkin berkembang
pada kasus yang sudah lanjut.

Banyak mata dengan penyakit PFV dapat diselamatkan dengan pembedahan katarak yang
secepatnya dikombinasi dengan eksisi membran. Dengan catatan tidak ada keterlibatan bagian
posterior yang signifikan, sangat mungkin didapatkan beberapa derajat dari penglihatan sentral
jika intervensi bedah yang cepat diikuti dengan penggunaan lensa kontak yang konsisten,
dikombinasi dengan monitoring tambalan dari mata yang tidak terlibat. Prognosis dari
penglihatan sering bergantung derajat keterlibatan dari erkembangan retina dan apakah ada
perkembangan ke glaukoma.

Variasi pendekatan bedah kepada manajemen dari PVF telah dideskripsikan. Pada banyak kasus,
jaringan retrolentikular dapat dipisahkan dengan alat pemotong vitreus dan/atau gunting
intraocular, dan kauter intraokular seperlunya. Pendekatan baik dari limbal dan pars plicata/pars
plana telah sukses dikerjakan. Pendekatan dari anterior bisa menurunkan kemungkinan
penyatuan dari retina, karena pars plikata kemungkinan tidak normal pada anterior. Jika macula

33
dan saraf optic kelihatan normal setelah operasi, usaha yuang kuat harus dibuat untuk
memperbaiki aphakia dan tambalan, seperti yang akan dilakukan pada katarak unilateral.

2.6 COAST DISEASE


1. Definisi

Merupakan penyakit idiopatik yang ditandai dengan adanya perubahan pada pembuluh darah
retinaretina dan eksudat. Pertama kali di deskripsikan oleh Coats pada tahun 1908.

2. Etiologi

Terjadi penebalan pada endotel membrane basal pada pembuluh darah telangiectasiakarena
penumpukan PAS (positive acid Schiff) material.

Penyakit ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan
3:1, dan 80% kasusnya unilateral. 2/3 kasusnya bermanifestasi sebelum usia 10 tahun dengan
puncaknya pada usia 5 tahun. Tidak ada predileksi pada ras , genetik dan tidak ada hubungan
dengan penyakit sistemik.

3. Manifestasi klinis
- Bervariasi tapi progresif
- Tidak nyeri
- Penglihatan yang buruk
- Leukokoria
- Strabismus
- Visusnya 20/200 sampai 1/∞ presentasi cahaya

4. Tatalaksana

Tujuan utama terapinya adalah untuk mempertahankan atau meningkatkan visus atau jika
masih memungkinkan untuk mempertahankan integritas dari mata. Pilihan terapi untuk kasus
ringan sampai sedang adalah laser fotokoagulasi. Cryoterapi digunakan pada ablasi pembuluh
darah retina.

34
2.7 PERDARAHAN PADA VITREOUS

Adalah ekstravasasi atau kebocoran pembuluh darah ke dalam area vitreous mata.

1. Mekanisme perdarahan :
- Pembuluh darah yang abnormal, sebagai hasil dari vaskularisasi yang baru karena
iskemik pada penyakit seperti retinopati diabetikum, retinopati sicle cell, oklusi vena
retina.
- Rupture pembuluh darah, bisa terjadi pada pembuluh darah yang normal yang
mengalami tekanan mekanis yang lebih tinggi dari integritas pembuluh darahnya
seperti trauma pada mata.
- Perdarahan dari sumber yang berdekatan dengan vitreous. Bisa dari makroaneurime
retina, tumor, dan vaskularisasi baru dari khoroid bisa menyebar ke membrane
internal yang membatasi vitreous.
2. Tanda dan gejala
- Bervariasi biasanya painless pada mata unilateral dan juga penurunan visus.
- Perdarahan awal atau rinagn dapat digambarkan sebagai benda terapung, jaring laba-
laba, kabut, bayangan atau rona merah. Perdarahan lebih signifikan membatasi
ketajaman visual dan bidang visual atau dapat menyebabkan scotomas. Pasien sering
mengatakan visus lebih buruk di pagi hari karena darah telah menetap ke bagian
belakang mata, menutupi macula.
- Pasien harus dipertanyakan mengenai riwayat trauma, operasi mata, diabetes, anemia
sel sabit, leukemia, penyakit arteri karotis dan miopia tinggi. Pemeriksaan lengkap
terdiri dari oftalmoskopi langsung dengan depresi scleral, gonioscopy untuk
mengevaluasi neovaskularisasi sudut, TIO dan B-scan ultrasonografi jika tampilan
lengkap tiang posterior dikaburkan oleh darah. Pemeriksaan melebar dari mata
kontralateral dapat membantu memberikan petunjuk etiologi dari perdarahan vitreous,
seperti retinopati diabetik proliferatif.
- Kehadiran perdarahan vitreous tidak sulit untuk dideteksi. Pada slit lamp, sel darah
merah dapat dilihat di posterior lensa dengan balok celah set "off-axis" dan

35
mikroskop pada kekuatan tertinggi. Pada perdarahan yang tidak tersebar, pandangan
ke retina dimungkinkan dan lokasi dan sumber perdarahan vitreous dapat ditentukan.

3. Pengobatan

Kehadiran ablasi retina dapat ditentukan dengan menggunakan ultrasonografi jika tidak
memungkinkan untuk melihat segmen posterior. Vitrectomy dilakukan segera bila ablasi retina
diidentifikasi. Asalkan retina baik, tidak ablasi,pengamatan dapat dilakukan secara rawat jalan.
Jika penglihatan ke bagian posterior diblokir, pembatasan kegiatan dan elevasi kepala di tempat
tidur saat tidur memungkinkan darah untuk ke bagian inferior dan memberi izin bagi reina
bagian superior yang sering mengalami ablasi untuk beristirahat. Retina yang bocor dapat di
tutup dengan cryoterapi atau potokoagulasi laser. Jika retina yang bocor sudah teratasi pasien
dapat kembali ke aktivitas biasanya.

2.8 TOXOCARIASIS

Toxocariasis okuli disebabkan oleh larva nematode dari parasit intestinal anjing.
(Toxocara canis). Penyakit ini banyak terjadi pada anak-anak. Visceral Larva Migran (VLM)
adalah sebuah infeksi sistemik akut yang diproduksi oleh organisme ini dan umumnya terjadi
pada anak usia 2 tahun. Manifestasinya terkait demam, batuk, ruam, malaise, anorexia. Pada
pemerikaan darah rutin ditemukan eusinofilia. VLM dan toxocariasis okuli jarang terjadi pada
pasien yang sama, hal ini belum diketahui penyebabnya.

Toxocariasis okuli biasanya unilateral dan tidak berkaitan dengan penyakit sistemik atau
peningkatan eusinofil. Onset kejadian rata-rata pada umur 7,5 tahun.Pada pemeriksaan retina
ditemukan posterior pole granuloma, peripheral granuloma dengan traksi macular, dan
endoftalmitis.

Pasien dapat datang dengan tampilan leukokoria, strabismus, atau penurunan visus. Pemeriksaan
titer ELISA untuk Toxocara mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dan bermakna
dalam penegakan diagnosis penyakit ini.

36
Pengobatan terdiri dari observasi lesi perifer. Pemberian steroid periokular atau sistemik untuk
lesi posterior dan endofthalmitis, atau intervensi bedah untuk mengatasi traksi retina, katarak,
atau glaucoma. Pemberian antihelmintes tidak bermanfaat dalam terapi toxocariasis okuler,
karena organism penghasil inflamasi telah mati.

2.9 UVEITIS

Uveitis jarang ditemukan pada anak dibanding dewasa, diagnosis dan manajemennya
merupakan sebuah tantangan tertentu. Anak-anak lebih sering asimptomatik karena
ketidakmampuan mengutarakan keluhan atau karena sifat penyakitnya yang benar-benar
asimptomatik. Bahkan dalam kasus lanjut, orang tua mungkin tidak menyadari kelainan visual
sampai perkembangan dapat terlihat dari luar seperti keratopati pita, strabismus, atau leukokoria.
Karena itu, diagnosis sering terlambat dan komplikasi mungkin ditemukan saat kunjungan
pertama.

Pada anak-anak dengan ambliopia atau strabismus, diperlukan pemeriksaan yang teliti
untuk menyingkirkan uveitis sebagai penyebab primernya. Menurut klasifikasi anatomi uveitis
oleh Standardisasi Uveitis Nomenklatur (SUN) Working Group, Istilah "uveitis intermediate"
mendefinisikan sub set dari uveitis berdasarkan dimana vitreous adalah sumber utama
peradangan. Pars planitis adalah istilah diagnostic untuk uveitis intermediate idiopatik dimana
terdapat formasi snowbank dan snowball. Temuan klinis khas dapat ditemukan ringan sampai

37
inflamasi segmen anterior berat, bola salju, dan gundukan-gundukan salju yang terletak inferior.
Pita keratopati, endoteliopati kornea perifer, dan sinekia posterior dapat dilihat pada pars planitis
tetapi sangat jarang terjadi pada dewasa. Edema diskus optikus adalah komplikasi yang paling
sering.

Dense vitreous dapat menyebabkan kondensasi leukocoria, kadang-kadang mirip dengan


katarak. Namun, subcapsular posterior katarak juga dapat berkembang di awal dari penyakit,
Meskipun kabut vitreous dan katarak dapat menyebabkan ambliopia pada anak kecil dengan pars
planitis, edema makula adalah penyebab utama morbiditas visual. Dalam jangka panjang,
prognosis visual yang dilaporkan menjadi baik meskipun tingkat komplikasi tinggi pada anak
dengan pars planitis. Namun, penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan
onset penyakit pada usia 7 tahun atau lebih muda lebih berisiko komplikasi seperti katarak,
glaukoma, dan perdarahan vitreous, dan memiliki prognosis lebih buruk daripada anak-anak
yang lebih tua.

38
BAB III

KESIMPULAN

Leukokoria, yang disebut juga “white pupil” atau pupil putih, merupakan suatu penanda
penting dari berbagai kelainan yang terjadi pada cairan vitreous dan retina mata. Pada
kebanyakan pasien, penyebab atau etiologi leukokoria ini bisa berbagai macam. Diantaranya
retinoblastoma, katarak congenital, prematur retinopati, persistent fetal vasculature, coast
disease, perdarahan pada vitreous, toxocariasis dan uveitis.
Retinoblastoma merupakan neoplasma murni dari sel retina. Kejadian retinoblastoma pada
anak cukup rendah yakni 3%, namun merupakan keganasan primer intraokular yang paling
sering pada anak. Leukokoria yang terjadi merupakan gambaran klinis yang paling sering sekitar
56,1% kasus. Leukokoria terjadi karena ada proses kalsifikasi intraretina pada pertumbuhan
tumor.
Katarak kongenital merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mulai terjadi segera setelah
lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan
pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat. Pada pupil mata
bayi yang menderita katarak congenital, akan terlihat bercak putih atau suatu leukokoria.
Leukokoria dapat terjadi parsial maupun total, dan bisa terjadi pada satu mata (unilateral) atau
pada kedua mata (bilateral).
Prematur retinopati adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada pembentukan
pembuluh darah retina pada bayi prematur akibat terpajan oksigen tinggi dan lama. Persistent
fetal vasculature adalah keadaan congenital biasanya unilateral, terisolasi merupakan malformasi
dari mata.
Coast Disease merupakan penyakit idiopatik yang ditandai dengan adanya perubahan pada
pembuluh darah retina. Penyakit ini terjadi penebalan pada endotel membrane basal pada
pembuluh darah telangiectasiakarena penumpukan PAS (positive acid Schiff) material.
Tampilannya dapat terlihat leukokoria.

39
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton& Hall, buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. Jakarta: 2005

2. Jon Langmans & Langmans. Medical embryology. EGC. Jakarta: 2006

3. Richard. S Snell. Anatomi kuliah untuk mahasiswa kedokteran. EGC. Jakarta: 2005

4. Ilyas sidharta. Ilmu penyakit mata Ed 3. Balai penerbit FKUI. Jakarta: 2005

5. Vaughan Daniel G. Oftalmologi umum Ed14. Widya medika. Jakarta: 2000

6. American Academy of ophthalmology. Ophthalmologic Pathology and intraocular


tumors section 4. American academy of ophthalmology. San Francisco: 2008

7. Wijaya Nana. Ilmu Penyakit Mata.

8. Manchelle Aventura Isidro. Retinoblastoma. Medscape Continually update reference.


Diambil dari www.emedicine.com, 2014.

9. PERDAMI. Panduan Manajemen Klinis Perdami. Jakarta: PP PERDAMI.2006


10. Taylor, David;S.H. Greig. Pediatric Ophthalmology and Stabismus, third edition. USA:
Elsevier. 2005
11. Tejiro B,2006. Retinopathy of prematurity. Dalam: arch soc esp oftalmol; 81:129-130.
12. Gargely K,2010. Retinopathy of prematurity-epidemics, incidence, prevalence, blindness.
Faculty of medicine, comenicus university Bratistava, Slovakia
13. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. November 3, 2008. Cited Juli 2014.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
14. Yanoff,Myron. Opthalmology. Mosby : 2008.
15. Berdahl, John.P. Vitreous and Treatment. Cited Juli 2014. Available at
http://www.aao.org/publications/eyenet/200703/pearls.cfm

40
41

Anda mungkin juga menyukai