Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MANAJEMEN LINGKUNGAN TERNAK


LANGKAH-LANGKAH UNTUK MENGHASILKAN KINERJA DAN
PRODUKTIVITAS TERNAK BURUNG MERPATI YANG TINGGI

Di susun oleh :
1. Imam Sutrisno D1A017122
2. Eka Purwati D1A017235
3. Fikri Mubarok D1A015222
4. Retno Kurniasih D1A017051

PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II ETIKA LINGKUNGAN ............................................................................ 2
BAB III TERNAK BURUNG MERPATI .............................................................. 4
3.1 Burung Merpati ............................................................................................. 4
3.2 Karakteristik Kualitatif Merpati Tinggi Lokal .............................................. 4
BAB IV LANGKAH-LANGKAH SENTIENTISME .......................................... 11
4.1 Persiapan Kandang ...................................................................................... 11
4.2 Penjodohan .................................................................................................. 11
4.3 Perkawinan .................................................................................................. 12
4.4 Pakan dan Air Minum ................................................................................. 12
4.5 Penetasan ..................................................................................................... 13
4.6 Pemeliharaan Induk dan Anak .................................................................... 13
4.7 Pemeliharaan Burung Balap dan Pedaging ................................................. 13
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 14
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 14
5.2 Saran ............................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Burung merpati merupakan salah satu unggas yang dekat dengan manusia.
Merpati merupakan burung yang mudah beradaptasi di daerah liar atau di kondisi
lingkungan pemukiman. Kelebihan merpati dibandingkan dengan binatang lain
adalah kemampuan mengenali medan, tidak banyak menuntut persyaratan khusus
untuk kelangsungan hidupnya, makanan dan perawatannya cukup mudah,
gampang dikembangbiakkan, termasuk ternak yang mudah untuk dijinakkan, dan
juga keragaman jenisnya.
Merpati tidak hanya dipelihara sebagai satwa kesayangan, yaitu sebagai
ternak hias dan balap, melainkan termasuk salah satu penghasil daging yang
cukup baik. Sampai saat ini, cara pemeliharaan burung merpati umumnya masih
tradisional. Burung merpati dipelihara secara ekstensif, yaitu merpati dilepas dan
sering berkeliaran mencari makan sendiri. Pakan burung merpati berupa jagung,
beras merah dan terkadang sisa makanan yang ada ditanah. Manajemen
pemeliharaan yang kurang baik, seperti pemberian pakan, kondisi kandang serta
sanitasi yang kurang baik dapat menurunkan produktivitas burung merpati.
Budidaya burung merpati tidak memerlukan biaya yang tinggi serta dapat
dilkakukan di lahan yang sempit. Masyarakat saat ini membudidayakan burung
merpati sebagai pekerjaan sambilan. Kandang budidaya seringkali memanfaatkan
pekarangan dekat rumah yang cukup sempit. Manajemen pemeliharaan yang
dilakukan masyarakat belum sepenuhnya baik agar produktivitas burung merpati
tinggi dan dapat menjadi usaha andalan, masih banyak permasalahan manajemen
pemeliharaan burung merpati.
1.2 Tujuan

- Mengetahui karakteristik Burung Merpati


- Mengetahui langkah sentrisme yang di ambil dalam peternakan
Burung Merpati

1
BAB II

ETIKA LINGKUNGAN

Lingkungan adalah suatu media di mana makhluk hidup tinggal, mencari,


dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal
balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia
yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil. Menurut Elly M. Setiadi,
(Rusdiana, 2012), bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya. Lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari ekosistem atau sistem
ekologi. Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas
makhluk hidup (dari berbagai jenis) dengan berbagai benda mati yang membentuk
suatu sistem. Komponen lingkungan terdiri dari faktor abiotik (tanah, air, udara,
cuaca, suhu) dan faktor biotik (tumbuhan, hewan dan manusia). Lingkungan bisa
terdiri atas lingkungan alam dan buatan. Lingkungan sosial adalah wilayah tempat
berlangsungnya berbagai kegiatan, yaitu interaksi sosial antara berbagai kelompok
(Rusdina A. 2015).
Etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia
terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam
semesta yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada
alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara
keseluruhan (A. Sonny, 2010).
Etika lingkungan terdiri dari egoisme, humanisme, vitalisme, sentrientisme,
dan altouisme. Egoisme adalah etika terhadap diri sendiri yang bertujuan untuk
mencapai keinginan diri sendiri. Humanisme adalah etika terhadap sesama
manusia bertujuan agar orang lain bahagia. Vitalisme adalah etika terhadap
sumber daya alam hayati (flora dan fauna). Sentrientisme adalah etika terhadap
sumber daya alam hayati berperasa (dalam hal ini yang telah bergaul dengan
manusia seperti ternak). Altouisme adalah etika terhadap sumber daya alam non
hayati (sumber daya alam abiotik seperti air, udara, gedung). Lima etika
lingkungan dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu etika lingkungan untuk diri

2
sendiri, untuk sesama manusia, sumber daya alam yang lain. Tiga kelompok dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu etika lingkungan untuk diri sendiri dan pihak
lain. Etika lingkungan dari pengelompokkan yang ada pada intinya tujuan akhir
untuk diri sendiri.
Etika lingkungan terhadap ternak yang disebut sentrientisme yaitu bagaimana
cara memperlakukan ternak dengan baik. Etika lingkungan berupa tindakan yang
sesuai dan melanggar. Contoh etika lingkungan stientisme adalah memberi makan
ternak sesuai dengan kebutuhan, memandikan ternak agar terhindar dari penyakit,
membuat kandang untuk berlindung ternak. Beberapa contoh tersebut merupakan
erika lingkungan sentrientisme yang sesuai. Contoh etika lingkungan
sentrientisme yang melanggar yaitu tindakan yang membiarkan ternak seperti
tidak membiarkan pakan ternak dan menyediakan kandang untuk ternak.

3
BAB III

TERNAK BURUNG MERPATI

3.1 Burung Merpati

Merpati adalah burung yang banyak digemari baik kalangan muda


maupun tua di seluruh dunia. Merpati merupakan salah satu jenis burung yang
cukup pintar, memiliki daya ingat yang kuat, kemampuan navigasi, dan memiliki
naluri alamiah yang dapat kembali ke sarang meskipun sudah terbang tinggi
dengan jarak yang jauh dan waktu yang lama (Soeseno, 2003).
Grizmek (1972) menyatakan bahwa merpati dapat dijumpai di seluruh
bagian bumi, kecuali bagian kutub. Hal ini ditunjukan dengan ditemukan fosil –
fosil burung merpati di benua Eropa dan Amerika. Menurut Tyne dan Berger
(1976), merpati terdapat di seluruh bagian bumi kecuali di benua Amerika bagian
Utara dan Selatan serta beberapa kepulauan Oceanian. Pigeon (2002) mengatakan
bahwa merpati berasal dari Asia beberapa juta tahun lalu.
Indonesia, rata-rata merpati adalah hasil perkawinan silang antara ras
Yansson (hidung besar) dan Delbar (jambul) dari Belgia dengan ras unggulan
lainnya. Seekor merpati betina umumnya bertelur sebanyak dua butir. Telur
tersebut dierami oleh merpati jantan dan betina secara bergantian. Anak burung
merpati dapat terbang dalam jarak yang dekat pada usia 60 hari. Untuk menjadi
merpati unggulan, merpati terlebih dahulu harus dilatih oleh pelatih khusus.
Pelatihan baru dapat dilakukan untuk merpati yang berusia tujuh bulan (Rasyaf,
1982).
3.2 Karakteristik Kualitatif Merpati Tinggi Lokal

Karakteristik kualitatif merpati tinggi lokal adalah suatu ukuran ciri khas
dari merpati tinggi lokal yang menyangkut perbedaan dari bentuk tubuh, warna
bulu, bentuk kepala, bentuk paruh, bentuk mata, bentuk hidung, bentuk leher,
bentuk sayap, bentuk ekor, yang mencakup nilai ekstrinsik keseluruhan dari
merpati tinggi lokal (Yahya, 2004).
1. Bentuk kepala

4
Burung merpati tinggi lokal memiliki bentuk kepala besar dengan batok
kepala yang lebih tinggi dari pada batok kepala belakang yang memiliki derajat
kemiringan antara pangkal hidung dengan atas batok kepala sebesar 45 – 60
derajat (Sutejo, 1989).
Menurut Sutejo (1989), merpati tinggi lokal mampu memiliki derajat
kemiringan hingga 90 derajat, namun bentuk kepala seperti ini jarang dimiliki
oleh pecinta merpati tinggi lokal karena kontrol merpati tinggi lokal kurang baik
saat akan melalukan pendaratan dari ketinggian di atas permukaan udara. Merpati
lokal yang memiliki kemiringan bentuk kepala 45 – 60 drajat dapat mendarat
dengan baik saat merpati akan turun dari ketinggian, selain itu merpati dengan
bentuk kepala seperti ini mempunyai tingkat kecerdasan untuk mengingat yang
lebih baik (Grizmek, 1972).
Menurut Yonatan (2003), terdapat jenis – jenis bentuk kepala merpati tinggi lokal
diantaranya :
a. bentuk kepala jenong ;
b. bentuk kepala perkutut ;
c. bentuk kepala kotak ;
d. bentuk kepala bulat .
perbedaan karakteristik bentuk kepala pada merpati jantan dan betina tinggi lokal
yaitu pada merpati jantan permukaan kepalanya terlihat kasar dan terlihat lebih
maskulin sedangkan merpati tinggi betina permukaan kepalanya terlihat rata dan
halus (Tanudimandja, 1978).
2. Warna iris mata
Mata adalah senjata utama bagi merpati tinggi lokal untuk menentukan
penglihatan jarak jauh maupun dekat. Ketajaman penglihatan merpati sangat di
pengaruhi oleh warna iris mata yang nantinya akan memengaruhi pada kecepatan
terbang (Noor, 2000).
Iris adalah diafragma muscular yang terletak di depan lensa yang
berfungsi mengontrol jumlah cahaya yang masuk mata (Wikipedia, 2013).
Pupil terletak di tengah iris mata yang terbuka dan berfungsi sebagai jalan
masuknya cahaya kedalam rongga mata. Bentuk pupil yang sempurrna akan

5
memengaruhi kemampuan pupil membesar dan mengecil untuk mengukur
jarak dan melihat tujuan dari pendaratan terbang merpati tinggi (Sutejo, 1998).
Menurut Sutejo (1998), burung merpati tinggi lokal memiliki berbagai
macam warna mata diantaranya berwarna merah, berwarna kuning berpaduan
dengan oren, berwarna putih berpaduan dengan merah, berwarna hitam, berwarna
hijau berpaduan dengan merah dan berwarna selewah (mata kiri dan mata kanan
berbeda warna). Burung merpati tinggi lokal mempunyai cincin lingkar mata
yang menempel pada kedua bola mata dengan warna kehijauan (Rasyaf, 1982).
3. Bentuk paruh
Berbagai bentuk paruh merpati tinggi lokal mempunyai kelebihan dan
kelemahan, Noor (1991) menyatakan paruh berperan untuk menentukan jalan
pulang merpati. Menurut Yonathan (2003), ada beberapa macam jenis paruh pada
merpati yaitu sebagai berikut:
a. Paruh rambon
Paruh merpati tinggi yang berukuran besar, panjang, dan menggembung.
Paruh tersebut dapat dikatakan paruh jenis rambon (turunan dari merpati pos),
paruh yang berbentuk seperti ini mempunyai warna kapur pekat dan pangkal
paruh bagian bawah menjorok kebagian belakang.
b. Paruh trypes
Paruh merpati tinggi yang berukuran besar dan pendek. Paruh tersebut
dapat dikatakan paruh jenis trypes, hidung merpati jenis ini memiliki warna kapur
yang pekat akan tetapi terlihat garis – garis samar sejajar berwarna kemerah –
merahan diseluruh bagian hidungnya, dan pangkal hidung bagian bawah
menjorok kebelakang.
c. Paruh runcing
Paruh merpati tinggi yang berukuran kecil, runcing dan lancip. Paruh
tersebut dapat dikatakan sebagai jenis paruh runcing, paruh berbentuk ini bila
mempunyai warna kapur pekat dan pangkal hidung bagian bawah menjorok
kebelakang. Apabila pada pangkal hidung berbentuk lurus, burung merpati ini
hanya dapat melewati jarak terbang yang pendek. Dari ketiga jenis – jenis paruh
merpati tinggi lokal dapat dikatakan bahwa paruh yang berukuran kecil, runcing
dan lancip merupakan jenis paruh unggulan yang baik.

6
Terdapat perbedaan karakteristik bentuk paruh pada merpati jantan dan
betina tinggi lokal yaitu pada merpati jantan permukaan paruh lebih terlihat kering
dan lancip sedangkan paruh pada merpati tinggi betina lebih tipis dan panjang
serta ujung paruh lebih melengkung kebawah (Sutejo, 1998).
4. Bentuk sayap merpati tinggi lokal
Sayap merupakan sarana gerak untuk merpati terbang (Sutejo, 1989).
Menurut Elien (2001), bentuk melengkung pada sayap merpati menghasilkan
permukaan atas lebih cembung dan permukaan bawah sedikit cekung atau malah
sama sekali rata.
Perbedaan kecepatan angin di bawah dan di atas permukaan udara
menghasilkan perbedaan pada tekanan udara. Tekanan udara pada permukaan
atas lebih kecil sehingga terjadi daya dorong dari bawah permukaan ke atas
permukaan sayap sehingga badan merpati mengalami daya angkat melawan
gravitasi bumi (Soeseno 2003).
Menurut Noor (2002), terdapat jenis – jenis sayap yang baik pada merpati lokal.
a. Bahu sayap pada merpati harus kuat dan lentur (jangan kaku) hal inidiharapkan
sayap dapat bervariasi saat melakukan penerbangan.
b. Bulu sayap pada merpati tebal dan kencang tidak bergelombang dan memiliki
jarak antar bulu sayap satu ke bulu sayap lainnya disertakan bulu ujung yang
meruncing.
c. Tulang bulu sayap besar, kuat dan lentur pada ujung permukaan bulu hal
inidapat mempengaruhi kualitas merpati saat proses pendaratan.
Suara kepakan sayap, bila di perhatikan suara kepakan sayap merpati
tentunya berbeda. Suara kepakan merpati yang sudah terbang akan terdengar
lebih ringan dibandingkan dengan merpati yang sudah terbang tinggi, sedangkan
sayap merpati yang jarang terbang akan terdengar lebih berat (Yonathan, 2003).
Terdapat perbedaan karakteristik bentuk sayap pada merpati jantan dan
betina tinggi lokal yaitu pada merpati jantan permukaan sayap lebih tebal dengan
bagian bulu syap yang lebih lebar dan panjang, berbeda dengan merpati tinggi
betina permukaan sayap lebih tipis dan bagian bulu sayap lebih kecil hal ini
membedakan bahwa kecepatan terbang merpati jantan lebih unggul di bandingkan
merpati tinggi betina.

7
5. Bentuk dada merpati tinggi lokal
Menurut Mosca (2000), bentuk dada merpati lokal terdapat berbagai
macam bentuk yaitu berbentuk huruf V (kalau dilihat dari depan), dan yang
berbentuk O, serta berbentuk elips mendatar.
Bentuk dada merpati tinggi yang berhuruf O biasanya akan turun kencang
dari arah manapun, berbeda dengan merpati yang berbentuk dada huruf V
biasanya kecepatan turun merpati sedikit melambat.
Perbedaan karakteristik bentuk dada pada merpati jantan dan betina tinggi
lokal yaitu pada merpati jantan permukaan dada lebih lebar dan bulat sedangkan
merpati tinggi betina memiliki bentuk dada yang lebih pipih dan kecil.
6. Bentuk ekor
Ketebalan dan bentuk ekor merpati sangat memengaruhi ketajaman saat
melakukan pedaratan. Bulu ekor merpati mempunyai 12 helai atau lembar yang
berfungsi mengatur saat merpati berjalan atau terbang saat merpati akan turun, hal
ini sangat perlu diperhatikan agar merpati dapat terbang dengan jarak yang jauh
(Sutejo 1998).
Menurut Cartmill (1991), bulu ekor merpati terdiri dari bulu ekor penutup
bagian atas, bulu ekor utama dan bulu ekor bagian bawah. Bulu ekor mempunyai
peran yang penting ketika merpati terbang, bulu ekor digunakan ketika merpati
akan meluncur dan berhenti.
Ekor merpati saat mengembang digunakan untuk mengerem ketika
sayapnya tidak lagi dikepakan. Ekor merpati juga dapat digunakan untuk
mementukan arah terbang merpati (Ellien, 2001).
Gerak bulu ekor
a. Ekor merpati saat bekur yang mempunyai kecepatan atau bulu ekornya merapat
dengan cepat biasanya dimiliki oleh merpati yang memiliki pinggang rapat,
dan ini sangat memengaruhi kemampuan turun pada merpati tinggi.
b. Ekor merpati yang selalu megar atau terlihat jarak – jatrak dari bulu ekornya,
akan mempunyai kemampuan turun yang kalah baik bila dibandingkan dengan
tipe yang pertama (Mosca, 2000).
7. Warna bulu pada merpati

8
Merpati memiliki bulu halus yang tampak mengkilat seperti sutra, bila
dipegang akan terasa licin dan halus seperti kapas. Apabila merpati dilihat
sepintas bulu merpati berminyak dan apabila di siram air sulit menempel (Sutejo,
1998).
Noor (1996) menyatakan bahwa bulu burung merpati terdiri atas dasar
warna hitam, coklat, dan merah. Ketiga warna tersebut akan membentuk variasi
warna lain yaitu warna megan, prumpung, blantong, blorok, tritis, hitam, dan
gambir (Salis, 2002).
Soesono (2003) menyatakan merpati pada umumnya memiliki berbagai
macam warna dan sebutan bagi merpati, berikut ini nama – nama serta penjelasan
mengenai warna dan sebutan pada merpati tinggi lokal.
a. Tritis
Tritis adalah sebutan untuk merpati berwarna hitam didominasi dengan warna
abu – abu dan di bagian sayap terdapat warna kecoklatan yang menyerupai garis.
b. Gambir
Gambir adalah sebutan untuk merpati berwarna coklat muda, bulu – bulu merpati
dipenuhi dengan warna coklat muda diseluruh permukaan tubuh.
c. Megan
Megan adalah sebutan untuk merpati berwarna biru dengan didominasi warna
hitam di bagian ekor dan sayap.
d. Perumpung
Perumpung adalah sebutan untuk merpati berwarna coklat tua, hampir di setiap
permukaan tubuhnya di dominasii dengan warna coklat tua.
e. Blorok
Blorok adalah sebutan untuk merpati yang didominasi dengan 2 sampai 3 warna
pada seluruh permukaan tubuh merpati. Warna ini dihiasi oleh warna yang tidak
menyeluruh melaikan hanya campuran totol – totol dibagian tubuh merpati.
f. Belantong
Blantong adalah sebutan untuk merpati berwarna putih didominasi oleh warna
lainnya yaitu, megan, gambir, prumpung, atau hitam.
g. Lampik

9
Lampik adalah sebutan untuk merpati yang memiliki warna bulu sayap putih
dengan didominasi warna lain yaitu, megan, perumpung, gambir, atau hitam.
h. Combres
Combres adalah sebutan warna merpati yang memiliki corak putih di bagian
kepala dan sekitar mata dengan didominasi warna lain seperti gambir.
8. Warna kulit pada merpati tinggi lokal
Menurut Yahya (2004), merpati memiliki bentuk kerangka yang berongga
dengan tulang yang berbobot sangat ringan. Menurut Sutejo (1998), merpati
tinggi lokal memiliki daging yang gembur dengan dibungkus kulit ari yang tipis
dan bersih namun memiliki warna yang berbeda.

10
BAB IV

LANGKAH-LANGKAH SENTIENTISME DALAM PEMELIHARAAN


BURUNG MERPATI

4.1 Persiapan Kandang

Setiap unit kandang dilengkapi tempat pakan, tempat minum dan sangkar.
Sangkar diberi alas litter. Sebelum pasangan merpati dimasukkan ke dalam
kandang, maka kandang harus dibersihkan, dicuci kemudian dikapur. Kandang
diberi nomor, sehingga penempatan pasangan merpati berdasarkan pengacakan
nomor kandang.
4.2 Penjodohan

Merpati jantan dan betina ditempatkan pada suatu kurungan besar dan
diberi kesempatan memilih jodohnya. Apabila jantan dan betina mulai berjodoh
yang ditandai dengan saling meloloh dan betina mau dikawin oleh pasangan
jantannya maka pasangan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kandang
individual sesuai dengan hasil pengacakan nomor kandang.
Penjodohan burung merpati dapat dilakukan secara alami dan buatan.
Burung merpati diberi kesempatan memilih sendiri pasangannya pada penjodohan
alami. Hal ini dapat dilakukan dalam kandang koloni atau fly pen yaitu beberapa
ekor burung merpati jantan dan betina dimasukkan ke dalam satu kandang koloni,
burung merpati yang berjodoh dapat dilihat jika jantan berbunyi atau bekur
(bahasa Jawa) sambil mengelilingi betina dan betina mengangguk-anggukan
kepalanya saat jantan bekur, jantan mengikuti terus gerakan betina atau mengejar
apabila betina terbang. Jantan meloloh betina atau bercumbu maka tingkah laku
tersebut menunjukkan keduanya berjodoh. Selanjutnya pasangan burung merpati
yang baru berjodoh tersebut dimasukkan ke dalam kandang individu.
Penjodohan burung merpati secara buatan dilakukan dengan cara (1)
betina dimasukkan ke dalam kandang individu kemudian jantan yang akan
dijodohkan dimasukkan ke dalam kandang individu yang berisi betina calon
pasangannya. 65 Apabila jantan berbunyi (bekur) dan betina mau menerima
jantan, dilanjutkan jantan mengikuti atau mengejar betina kemana pergi kemudian
keduanya bercumbu yaitu jantan meloloh betina berarti keduanya berjodoh. (2)

11
calon jantan dan betina yang akan dipasangkan masing-masing dimasukkan ke
dalam kandang individual yang berdampingan dan bersekat sehingga keduanya
bisa saling melihat, jika keduanya berkontak maka dicoba dibuka sekatnya, jika
keduanya berjodoh maka jantan bekur dan betina menari-nari sambil
menganggukkan kepala kemudian saling meloloh maka keduanya berjodoh. (3)
calon burung merpati yang akan dijodohkan disekap dalam ruangan gelap dan saat
dikeluarkan dari ruangan gelap hanya mereka berdua tidak ada burung yang lain,
kalau keduanya berjodoh ditandai dengan tingkah laku berjodoh seperti pada
penjodohan alami.
4.3 Perkawinan

Setelah masa giring berakhir dan jantan telah diberi kesempatan kawin
dengan pasangannya, dan setelah pasangan betinanya bertelur, maka pasangan
tersebut akan mengerami telurnya secara bergantian hingga telur menetas. Setelah
piyik menetas, dilanjutkan periode meloloh piyik hingga piyik disapih.
Selama ini merpati dikenal monogami dan setiap periode penetasan anak
merpati yang diperoleh rata-rata dua ekor. Hal ini menyebabkan produktivitas
sepasang merpati per tahun 12-14 ekor anak. Upaya meningkatkan produktivitas
merpati dengan poligami pada penelitian ini yaitu seekor pejantan berpasangan
dengan lebih satu betina. Untuk penjodohan poligami ini jantan dan betina yang
telah siap berjodoh dipelihara dalam koloni besar sehingga pejantan dan betina
mempunyai kesempatan memilih jodoh. Pasangan yang telah berjodoh yaitu
menunjukkan tingkah laku bercumbu dan betina tidak menghindar jika didekati
pejantan yang akan menjadi pasangannya, kemudian dimasukkan ke dalam
kandang individual. Selain dalam kandang individual yaitu satu jantan dengan
betina lebih dari satu, pengamatan poligami dengan cara menggilir jantan ke
pasangan betina, sedangkan betina-betina pasangannya berada pada kandang
individual terpisah. Jantan dimasukkan ke dalam kandang betina secara bergiliran.
4.4 Pakan dan Air Minum

Pakan dan air minum diberikan ad libitum dua kali sehari pada pagi dan
sore hari. Jenis pakan ada dua macam yaitu biji jagung bulat, dan ransum
komersial ayam ras pedaging fase finisher berbentuk crumble.

12
4.5 Penetasan

Merpati mengerami telurnya secara bergantian dengan pasangannya


selama 18 hari. Sebelum merpati bertelur terlebih dahulu disiapkan sarang di
dalam kandang sehingga merpati nyaman meletakkan telurnya selama
pengeraman hingga anak menetas. Setelah telur menetas keduanya meloloh anak
secara bergantian hingga anak menjelang disapih.
4.6 Pemeliharaan Induk dan Anak

Induk burung merpati dipelihara secara intensif. Setiap pasang


ditempatkan pada kandang individual berukuran 50x50x60 cm. Induk merpati
bertelur, mengeram dan mengasuh anak hingga anak disapih pada kandang
individual. Pemeliharaan anak merpati sejak menetas bersama induknya hingga
disapih pada umur lima minggu. Setelah disapih anak burung merpati dipisahkan
dari induknya dan dipelihara secara semi intensif hingga remaja dan siap
berjodoh. Selanjutnya burung merpati remaja dimasukkan ke dalam kandang
individual bila sudah memiliki pasangan.
4.7 Pemeliharaan Burung Balap dan Pedaging

Setiap pasangan induk merpati balap datar, balap tinggi dan pedaging
dikandangkan pada kandang individu yang dilengkapi tempat pakan, tempat
minum, dan sarang. Pakan dan air minum terdiri dari campuran jagung dan
ransum komersial. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Induk bersama
piyiknya dipelihara pada kandang individual yang sama hingga piyiknya berumur
28 hari.

13
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Langkah-langkah sentrientisme dalam pemeliharaan burung merpati adalah


Persiapan Kandang, Penjodohan, Perkawinan Pakan dan Air Minum, Penetasan,
Pemeliharaan Induk dan Anak.
2. karaketistik burung dara sangat bervariasi antara jenis satu dan jenis yang lain.
5.2 Saran

Semoga makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca,


dan semoga makalah ini dapat diperbaiki serta ditambah lagi dengan data yang
lebih baik agar lebih sempurna.

14
DAFTAR PUSTAKA

A. Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta : Kompas.


Blakely, J. dan D. A. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Terjemahan; B.
Bokhari, S. A. 1998. Starting a Squab Business. http://www. Bokhari. com
Canada. http://www. Magma. Ca/laded/feeding. htm diakses tanggal
Cartmill, A.M. 1991. Raising Pigeons. Kansas Pigeon Association Poultry.
Changjaya. 2000. Merpati Tinggi. http://www.changjaya abadi.comnatural
Co.,New York-Cincinnaati-Toronto-Melbourne.
Darya, S. N. 2005. Feeding of Breeding Flocks. Research Paper Hubbel Farm.
Gramedia. Jakarta
Grzimek, B. 1972. Anima Life Ancylopedia. Bird II (8). Van nostrand Reinhold
Hardjosubroto.W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT
Hatmono.H. 2001. Beternak Merpati. Penebar Swadaya. Jakarta
http://www.oznet,ksu.edu./library/lvstk2/mf987.pdf Diakses tanggal 21
Oktober 2018
Marshall, R. 2004. Feeding. http://www. Birdhealth.com/pigeon diakses tanggal
Noor, R.R. 1996. Genetika Ternak. PT Penebar Swadaya Jakarta.
Noor, R.R. 2000. Genetika Ternak. PT Penebar Swadaya Jakarta.
Nowland, W. 2001. Squab Raising. Fifth Edition. Animal Poultry. New South
Pigeon. 2002. Pigeon Facts. http//www.pleasebekind.com/pigeon.html. Diakses
Radiopoetro. 1985. Zoologi. Erlangga. Jakarta
Rasyaf, M. 1982. Beternak Burung Dara. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Rusdiana A. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Tresna
Bhakti.
Rusdina A. 2015. Membumikan Etika Lingkungan Bagi Upaya Membudayakan
Pengelolaan Lingkungan Yang Bertanggung Jawab. 244-263.
Salis. R. 2002. Studi Fenotipe Burung Merpati Lokal. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeseno, A. 2003. Memelihara dan Beternak Burung Merpati. PT Penebar
Swadaya. Jakarta
Srigandono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sutejo. 1998. Merpati Tinggi. PT Penebar Swadaya. Jakarta

15
tanggal 21 Oktober 2018
Tanudimadja. 1978. School of Environmental Conservation Management. Bogor.
Wales Departement of Agriculture. Australia.
Tyne, J. V and A.J Berger. 1976. Fundamentals of Ornithologi. Second Edition.
A Willey Interscience Publication. John Willey and Sons. New York-
London-Sidney-Torontalo
Yahya, H. 2004. Keajaiban Desain Alam. www.harunyahya.com/indo Diakses
tanggal 21 Oktober 2018
Yonathan, E. 2003. Merawat dan Memilihn Merpati Tinngi. Agromedia
Pustaka. Jakarta

16

Anda mungkin juga menyukai