RAN HIV Health Sector Action Plan 2015 2019 FINAL 070615 PDF
RAN HIV Health Sector Action Plan 2015 2019 FINAL 070615 PDF
Pengendalian HIV-AIDS
Tahun 2015 - 2019
Kementerian Kesehatan RI
Rencana Aksi Nasional
Pengendalian HIV dan AIDS
Bidang Kesehatan
2015-2019
2
Sambutan Direktur Jenderal Pencegahan
Pengendalian Penyakit
Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan 2015-2019
merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 – 2019 dan
merupakan kelanjutan dari rencana pengendalian penyakit HIV dan AIDS sebelumnya
yang telah berakhir pada tahun 2014. Dalam penyusunan rencana aksi ini juga mengacu
pada Visi, Misi, dan Nawacita Presiden yang ditetapkan pada Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2015-2019.
Rencana aksi ini berisi upaya pengendalian yang dijabarkan dalam bentuk strategi,
kegiatan, indikator dan target sampai dengan kerangka pendanaan yang bertujuan untuk
menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030 sesuai dengan situasi epidemi
di setiap wilayah serta kondisi sumber daya yang tersedia. Rencana aksi ini menjadi dasar
dalam penyelenggaraan program pengendalian HIV dan AIDS untuk digunakan sebagai
acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program dalam kurun waktu 2015-2019,
serta dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan jajaran kesehatan baik di Pusat
maupun Daerah termasuk dukungan lintas sektor pemerintah maupun swasta serta dunia
usaha.
Semoga penyusunan dan penerbitan Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan
AIDS Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019 ini mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha
Esa. Aamiin.
i
ii
Ringkasan Eksekutif
iii
iv
Daftar Isi
v
4.2.2.1
Memperkuat Sistem Pembiayaan Program .................................................. 69
4.2.2.2
Penguatan Manajemen Program....................................................................... 70
4.2.2.3
Pengembangan Sumber Daya Manusia .......................................................... 72
4.2.2.4
Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan
Evaluasi ...................................................................................................................... 75
4.2.2.5 Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV-AIDS dan IMS ................ 76
4.2.2.6 Memperkuat Jejaring Kerja dan Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat ............................................................................................................... 82
Bab 5 Pembiayaan ............................................................................................................................... 84
5.1 Prinsip Penganggaran ............................................................................................................ 84
5.2 Transparansi dan Akuntabilitas......................................................................................... 85
5.3 Kapasitas Fiskal dan Upaya Fasilitasi .............................................................................. 85
Bab 6 Monitoring dan Evaluasi ...................................................................................................... 87
6.1 Monitoring .................................................................................................................................. 87
6.2 Evaluasi........................................................................................................................................ 87
Penutup ....................................................................................................................................................... 88
Daftar Pustaka .......................................................................................................................................... 89
vi
Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun 2000-
2025 ....................................................................................................................................... 20
Gambar 2. Jumlah kasus Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin
sampai dengan September 2014 ................................................................................ 20
Gambar 3. Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia per Provinsi, tahun 2012 ...................... 21
Gambar 4. Kaskade Pengobatan ARV .............................................................................................. 24
Gambar 5. Kerangka Kerja Layanan Komprehensif Berkesinambungan .......................... 28
Gambar 6. Jumlah Pasien PTRM aktif pertahun, Tahun 2010- September 2014 ........... 29
Gambar 7. Jumlah Orang yang dites HIV pertahun, Tahun 2010- Sept 2014 .................. 29
Gambar 8. Skema Sistem Rujukan Laboratorium HIV dan IMS ............................................ 54
Gambar 9. Jumlah Fasyankes yang memberikan Layanan PTRM dan
Perkembangan Jumlah Kumulatif Pasien yang dilayani (2007 – 2014) ..... 58
Gambar 10. Jumlah Unit Transfusi Darah Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2013 ...... 64
Gambar 12. Hasil Uji Saring IMLTD tahun 2005-2013 ............................................................. 66
Gambar 13. Dukungan Sistem Kesehatan dalam Pelaksanaan LKB .................................... 68
Gambar 14. Siklus Manajemen Logistik Program ...................................................................... 79
vii
Daftar Istilah dan Singkatan
viii
PKVHI : Perhimpuan Konselor VCT HIV Indonesia
POGI : Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia
PPIA : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
PP INH : Pengobatan Preventif Isoniazid (IPT = Isoniazid preventive therapy)
PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia
PPU : Pekerja Penerima Upah
PTRM : Pelayanan Terapi Rumatan Metadon
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RAN : Rencana Aksi Nasional
Renja : Rencana Kerja
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RKA-KL : Rencana Kerja dan Anggaran – Kementerian dan Lembaga
RKP Rencana Kerja Pemerintah
RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RS : Rumah Sakit
Rutan : Rumah Tahanan
SCP : Survei Cepat Peri laku
SIKDA : Sistem Informasi Kesehatan Daerah
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
SKPD – KUA : Satuan Kerja Perangkat Daerah – Kebijakan Umum Anggaran
SKPD - RKA : Satuan Kerja Perangkat Daerah – Rencana Kerja Anggaran
SPM : Standar Pelayanan Minimum
SRAN : Strategi dan Rencana Aksi Nasional (untuk HIV dan AIDS)
SSH : Surveilans Sentinel HIV
STBP : Survei Terpadu Bilogis dan Peri laku
TB : Tuberculosis
TEMPO : Temukan secara aktif, Pisahkan dan Obati
TKHIV : Tes, Konseling HIV
TWG : Technical Working Group
UN : United Nations (Persatuan Bangsa-Bangsa)
UNAIDS : Joint United Nations Programme on HIV/AIDS
UNDP : United Nations Development Programme
UNFPA : United Nations Population Fund
UNICEF : United Nations Children’s Fund
UNGASS : United Nations General Assembly Special Session
UTD : Unit Transfusi Darah
Waria : Wanita Pria (Trans-gender)
WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan (penghuni Lapas dan Rutan)
WHO : World Health Organization
WPSL : Wanita Pekerja Seks Langsung
WPSTL : Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung
ix
Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan
AIDS Bidang Kesehatan
Tahun 2015-2019
Bab 1 Pendahuluan
Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS (Kemkes, 2014), memperkirakan lebih dari
satu juta orang Indonesia akan terinfeksi HIV pada tahun 2025. Angka estimasi dapat
meningkat bila upaya percepatan penanggulangan HIV dan AIDS tidak segera dilakukan.
Tantangan yang dihadapi sangat besar, dipandang dari segi geografis maupun
sosial-ekonomi. Indonesia berpenduduk terbesar ke-empat di dunia dan terdiri 17,500
pulau serta dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi mencakup 508 kabupaten/kota
di 34 provinsi. Jika Indonesia mampu mengendalikan HIV dan AIDS di seluruh wilayah,
maka dapat memberikan manfaat juga bagi upaya pengendalian HIV dan AIDS secara
global.
Dalam pelaksanaan pengendalian HIV dan AIDS selama periode 2009-2014, telah
banyak terjadi perkembangan dan kesepakatan baru di tingkat nasional, regional
maupun global, yang mempengaruhi arah pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia untuk
tahun 2015-2019, seperti:
• Di tingkat global: adanya komitmen politik dan penetapan target global untuk
mencapai cakupan pengobatan ARV sebanyak 15 juta pada tahun 2015 oleh
negara anggota PBB.
• Di tingkat regional: disepakatinya Gettting to Zero1 termasuk Universal Access
terhadap pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan AIDS
pada pertemuan KTT ASEAN di Bali.
• Berdasarkan bukti ilmiah dari berbagai negara terutama Afrika, pada tahun 2013
WHO merekomendasikan inisiasi ART dini untuk mencegah angka kematian terkait
AIDS, dan mencegah 3,5 juta orang tertular HIV. (Sumber: WHO and UNAIDS.
Global update on HIV treatment: results, impact and opportunities, Geneva, WHO,
2013).
• Di Indonesia, rekomendasi WHO ini diadaptasi dengan melakukan akselerasi
temuan kasus HIV2,3 dan memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan
1
Menurunkan jumlah kasus baru, menurunkan angka kematian, menurunkan stigma dan diskriminasi
10
pengobatan ARV berapapun jumlah CD4 nya pada kelompok populasi kunci (WPS,
Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu hamil, pasien ko-infeksi TB-HIV,
pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan tetapnya HIV negatif)
• Dengan tersedianya bukti bahwa pemberian ARV mengendalikan HIV hingga tidak
terdeteksi dan memperbaiki kualitas hidup serta menurunkan risiko penularan,
maka pemberian ARV dapat dilakukan di tingkat Fasyankes primer, oleh dokter
sebagai kewenangan dasar melakukan inisiasi dini pengobatan ARV, bahkan pada
situasi epidemi generalisata dapat dilakukan task-shifting kepada petugas
kesehatan lain yang terlatih
• Hasil Kajian Eksternal Respon Sektor Kesehatan terhadap HIV dan AIDS di
Indonesia pada tahun 2011 dalam rangka akselerasi pencapaian Getting to Zero,
dapat diidentifikasi beberapa hal yang perlu perhatian khusus, seperti:
o revitalisasi pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Puskesmas dan RS,
o penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota,
o peningkatan keterlibatan odha dan keluarganya, komunitas/LSM peduli
AIDS, populasi kunci dan kader masyarakat dalam upaya penjangkauan,
o perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas,
o perluasan kampanye peningkatan pengetahuan komprehensif tentang
pencegahan penularan HIV dan AIDS dan bahaya Napza di lingkungan
pendidikan formal dan non-formal, terstruktur (kurikuler) maupun tidak
terstruktur (nonkurikuler).
o penguatan penanganan pencegahan penularan lebih lanjut berupa
distribusi kondom dan layanan alat suntik steril (LASS) di Fasyankes,
Rencana Aksi Nasional (RAN) ini disusun dengan merujuk pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan 2015-2019 dimana isu HIV dan AIDS menjadi bagian dari strategi
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. RAN ini akan menjadi acuan
pengembangan strategi dan pelaksanaannya di sektor pemerintahan, swasta, para mitra
kerja dan masyarakat dalam pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia dengan
memperhatikan prioritas nasional dalam memantapkan pembangunan kesehatan secara
menyeluruh dengan mengedepankan keunggulan kompetitif sesuai struktur budaya dan
sosial dan SDM yang berkualitas untuk pemenuhan hak rakyat Indonesia di bidang
kesehatan, khususnya HIV-AIDS dan IMS di Indonesia.
Dokumen ini juga akan menjadi acuan untuk penyusunan RAPBN dan RAPBD serta
pengembangan rencana aksi masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sebagai
pemenuhan UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, di tingkat nasional dokumen ini menjadi
perangkat untuk mobilisasi dana ke tingkat nasional maupun internasional. Kegiatan
yang dipaparkan dalam RAN ini berorientasi pada kegiatan-kegiatan intervensi yang
2
Surat Edaran Kementrian Kesehatan no. 129 tahun 2013
3
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
11
terstruktur terpadu , dengan prioritas sasaran adalah masyarakat berisiko tinggi dan
orang terinfeksi HIV, serta masyarakat rentan lainnya dengan pendekatan pelayanan
komprehensif berkesinambungan, mulai dari tahap promosi, pencegahan, deteksi
dini/penemuan kasus dengan tes HIV dan diagnosis, pengobatan sampai perawatan dan
dukungan serta rehabilitasi kesehatan.
Dasar Hukum RAN ini menjadi dasar dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS di semua
tingkatan untuk:
1. Mobilisasi sumber daya baik nasional maupun daerah secara optimal sebagai
investasi pembangunan nasional, termasuk sumber pendanaan internasional serta
dukungan para mitra lainnya
2. Mengembangkan pelayanan HIV dan AIDS secara terintegrasi sesuai dengan
epidemi HIV setempat dalam kerangka kerja layanan komprehensif
berkesinambungan (LKB)
3. Menentukan rincian target pencapaian tahunan (indikator tahun 2015-2019, dan
memasukannya dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja
Satuan Kerja Pemerintah Daerah-Kebijakan Umum Anggaran (Renja SKPD-KUA) dan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah-Rencana Kerja Anggaran (SKPD-RKA)
4. Menetapkan indikator yang dapat dilakukan oleh wilayahnya, serta memantau
perkembangannya dengan mengacu pada indikator yang tertuang dalam RAN ini.
5. Meningkatkan koordinasi pengendalian HIV dan AIDS secara berjenjang dan terpadu
12
14. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
15. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
16. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
17. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
18. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
19. Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular.
20. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintahan Propinsi dan pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
21. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah.
22. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.
23. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika
24. Peraturan Pemerintah RI Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif
25. Peraturan Pemerintah RI Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
26. Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi
Kesehatan
27. Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
28. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
29. Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional.
30. Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
31. Peraturan Presiden RI Nomor 76 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten Oleh
Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral.
32. Peraturan Presiden RI Nomor 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
33. Peraturan Presiden RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019
34. Peraturan Presiden RI Nomor 3 tahun 2015 tentang perubahan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2015
35. Peraturan Bersama Mendagri Nomor 15 Tahun 2010 dan Menkes Nomor
162/Menkes/PB/I/2010 tentang Pelaporan Kematian dan Penyebab Kematian
36. Peraturan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 2 Tahun 2007
tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan
Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik.
13
37. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / KaBappenas Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional
38. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang
Rekam Medis
39. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/MENKES/PER/VII/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran.
40. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang SPM
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
41. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 411/Menkes/Per/III/2010 tentang
Laboratorium Klinik
42. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
43. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
44. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin
dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
45. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan.
46. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia
Kedokteran
47. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat.
48. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 46 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang telah Diputus oleh
Pengadilan.
49. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 tahun 2013 tentang Penugasan Khusus
Tenaga Kesehatan.
50. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21
Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
51. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2013 tentang Cara
Penyelenggaraan Laboratorium Klinik yang Baik.
52. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
53. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pekerjaan Perekam Medis
54. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57 tahun 2013 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona
14
55. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas.
56. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 tahun 2013 tentang Pedoman
Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.
57. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan
pada Jaminan Kesehatan Nasional
58. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2014 tentang Cara Distribusi Alat
Kesehatan yang Baik
59. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
60. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik
61. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan
Anak
62. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas
63. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV
64. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas
65. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 tahun 2014 tentang Penanggulangan
Penyakit Menular
66. Kesepakatan Bersama Menkes, Mendagri, Mendikbud, Menag dan Mensos RI
tentang Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV dan AIDS pada Penduduk
Usia 15 sampai dengan 24 Tahun
67. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1190/MENKES/SK/X/2004 tentang
Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retro Virat (ARV)
untuk HIV/AIDS.
68. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 567 Tahun 2006 tentang Pengurangan
Dampak Buruk Penggunaan Napza
69. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.
70. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.
71. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 451/MENKES/SK/XII/2012 tentang
Rumah Sakit Rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS.
72. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 328/Menkes/SK/VIII/2013 Tentang
Formularium Nasional
73. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 445/Menkes/SK/XI/2013 Tentang
Kelompok Kerja Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan.
74. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor GK/MENKES/001/I/2013 tentang
Layanan Pencegahan Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Dari Ibu ke
Anak (PPIA)
15
75. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Pengendalian HIV DAN AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
76. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Nomor HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang Alokasi Pembiayaan
Logistik Program Pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS.
77. Surat Edaran Direktur Jenderal BUK Nomor HK.03.03/III/0992/2014 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Orng dengan HIV-AIDS di Rumah Sakit
78. Surat Direktur PPML Nomor BN.01.01/III.2/2482/2013 Perihal Surat
Pemberitahuan Proses Aktivasi Layanan ARV
16
Sesuai dengan visi pembangunan “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri,
dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”, maka pembangunan nasional
2015-2019 akan diarahkan untuk mencapai sasaran utama yang mencakup:
a. Sasaran Makro;
b. Sasaran Pembangunan Manusia dan Masyarakat:
c. Sasaran Pembangunan Sektor Unggulan;
d. Sasaran Dimensi Pemerataan;
e. Sasaran Pembangunan Wilayah dan Antarwilayah;
f. Sasaran Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan
17
kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan
perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu
Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5) terpenuhinya
kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan responsivitas
sistem kesehatan.
Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS menjadi salah satu sasaran
penting dari pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya pengendalian penyakit
sebagaimana dapat dilihat pada tabel rencana pencapaian yang diukur dengan
indikator-indikator sebagai berikut:
18
Bab 2 Analisis Situasi
Secara global, epidemi HIV mengalami penurunan sekitar 33% sejak 2001, sehingga
pada tahun 2012 diperkirakan terjadi hanya sekitar 2,3 juta infeksi baru pada dewasa dan
anak. Kematian yang dikaitkan dengan AIDS menurun sampai 30% sejak 2005 karena
peningkatan akses pengobatan ARV, termasuk kematian yang dikaitkan dengan TB, juga
menurun sampai 30% sejak 2004 (WHO, Global Update on HIV treatment, 2013).
Dalam setahun, telah terjadi peningkatan 20% dalam pengobatan ARV karena
hampir 10 juta orang dari negara-negara berkembang mendapat akses pengobatan ARV.
Diperkirakan di tahun 2013 dan seterusnya akan ada tambahan 10 juta ODHA lagi yang
masuk ke dalam kriteria pengobatan sebagai dampak dari perubahan batas ambang nilai
CD4 untuk pengobatan ARV yang diperlonggar dari 350 cell/mm3 menjadi 500 cell/mm3 4.
Beberapa negara bahkan telah menjalankan Test and Treat dimana inisiasi pengobatan
ARV dilakukan segera setelah hasil tes HIV nya positif, tanpa perlu merujuk pada nilai
CD4-nya.
Pengendalian HIV dan AIDS di Asia Pasifik cukup sukses dengan perkiraan
penurunan infeksi baru HIV sampai dengan 26% sejak 2001. Jika dihitung pencapaian
keseluruhan region Asia Pasifik, cakupan pengobatan ARV mencapai 51%, atau
peningkatan sampai 46% sejak tahun 2009. Kematian yang dikaitkan dengan AIDS
diperkirakan menurun sampai 270.000 orang atau 18% sejak 2005 sampai 2012.
Dengan estimasi dan proyeksi HIV dan AIDS yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan tahun 2012, dapat diperkirakan pada tahun 2013 terdapat 80.000 infeksi baru
HIV, 600.000 orang dengan HIV dan AIDS, dan 30.000 orang meninggal terkait AIDS di
Indonesia. Situasi ini akan terus mengalami peningkatan jika tidak dibarengi dengan
upaya yang strategis.
4
Pedoman WHO 2013
19
Pada daerah epidemi terkonsentrasi, infeksi HIV terjadi dengan angka prevalensi
tinggi pada populasi kunci, seperti laki-laki suka seks dengan laki-laki (LSL), waria, wanita
pekerja seks (WPS) dan pelanggannya, serta pengguna napza suntik (penasun). Pada
tahun 2012, diperkirakan estimasi jumlah populasi kunci tersebut sebesar 8 juta orang.
Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun 2000-
2025
Gambar 2. Jumlah kasus Infeksi HIV Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin sampai
dengan September 2014
20
Laporan kasus HIV sejak tahun 2008 – hingga September 2014 menunjukkan bahwa
proporsi perempuan terinfeksi HIV mengalami peningkatan dari 34% menjadi 42%.
Peta di dibawah ini menunjukkan sebaran ODHA di Indonesia yang bervariasi antar
wilayah. Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali
merupakan 7 (tujuh) provinsi dengan jumlah ODHA terbesar, yaitu melebihi 25.000 orang.
Indonesia telah melaksanakan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada
populasi kunci di dua kelompok daerah yang berbeda. Satu kelompok dilakukan pada
tahun 2007 dan 2011, sementara kelompok lainnya dilakukan pada tahun 2009 dan 2013.
Selain itu, untuk mendapatkan situasi epidemi pada wilayah STBP tahun 2007 dan 2011,
maka pada tahun 2013 Kemenkes melakukan kegiatan surveilans sentinel HIV (SSH) dan
survei cepat perilaku (SCP) bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. STBP
pada populasi umum dilaksanakan di Tanah Papua tahun 2006 dan 2013 pada kelompok
usia 15-49 tahun.
Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan
infeksi menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti dibawah ini:
1. Penasun
Prevalensi HIV pada penasun menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007
menjadi 41% di tahun 2011. Pada kelompok lokasi sampel yang berbeda
(Tangerang, Yogyakarta, Pontianak) tampak terjadi kenaikan prevalensi HIV rata-
rata dari 27% di tahun 2009 menjadi 39,5% di tahun 2013. Pada periode waktu yang
sama, proporsi penasun berbagi alat suntik pada saat terakhir menyuntik
mengalami kenaikan di 3 kabupaten/kota tersebut, yaitu 18% menjadi 26% di
Yogkarta, 36% menjadi 47% di Tangerang, dan 23% menjadi 45% di Pontianak.
21
2. LSL
Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang
signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3%
menjadi 12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013
menunjukkan prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota
Tangerang, Kota Yogyakarta, dan Kota Makasar antara 19%-20%. Prevalensi gonore
juga mengalami peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21%
dan klamidia meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin
berhubungan dengan masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat
hubungan seks anal terakhir seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9%
pada STBP 2011 menjadi 53% pada SSH/SCP 2013.
3. Waria
Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria
mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22
kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling
signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%.
Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan
prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di
beberapa lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun
signifikan dari 27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi
di Kota Malang dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari
26,4% menjadi 14% dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS
lainnya juga terjadi pada STBP 2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda.
Prevalensi klamidia turun dari 24% menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota
Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota Makasar. Prevalensi gonore juga mengalami
penurunan pada periode waktu yang sama.
Prevalensi HIV pada WPSL mengalami penurunan yang signifikan di Jakarta dan
Bandung seperti yang dapat dilihat dari hasil SSH/SCP 2013 dan STBP 2013, yaitu
dari 10,5% menjadi 3,8% dan dari 20,7% menjadi 9,4%, sedangkan kota Malang
mengalami peningkatan secara signifikan dari 36,4% menjadi 59,1%.
Secara keseluruhan, prevalensi sifilis pada WPSTL menurun dari 9,8% pada STBP
2011 menjadi 5,7% pada SSH/SCP 2013 di 15 lokasi survei. Prevalensi sifilis pada
WPSTL menurun signifikan di 5 dari 15 lokasi survei tersebut, yaitu Deli Serdang dari
16,6% menjadi 4,8%, Kota Batam dari 11,6% menjadi 3,3%, Kota Bandung dari
22
10,4% menjadi 2,8%, Kota Surabaya dari 12,4% menjadi 4,6% dan Kota Batang dari
13,4% menjadi 1,2%.
Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013
di 9 lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak,
Samarinda, Bitung, Makasar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari
39,5% menjadi 30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL.
Prevalensi gonore mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.
5. Tanah Papua
Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia 15-49 tahun di Tanah
Papua, 2,3% populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2% pada
perempuan. Hasil survei juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara
sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, dimana infeksi HIV terjadi pada 2,4%
laki-laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki-laki yang disirkumsisi. Pada
perempuan, asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang
melakukan hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%,
sedangkan 2,2% perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya. Secara statistik
tidak ada perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%)
dan 2013 (2,3%) di Tanah Papua.
Prevalensi sifilis aktif dilaporkan sebesar 4,7% pada laki-laki dan 4,2% pada
perempuan. Diantara laki-laki yang tidak sirkumsisi ditemukan prevalensi cukup
tinggi yaitu 4,8% jika dibandingkan dengan laki-laki yang disirkumsisi sebesar 1,1%.
Hasil STBP juga menunjukkan perilaku seksual berisiko masih terus terjadi di Tanah
Papua, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada satu
tahun teakhir, termasuk dengan pasangan seks yang diberikan imbalan pada laki-
laki sebesar 12,7% dan perempuan 3,6%. Penggunaan kondom pada hubungan seks
komersial terakhir pada laki-laki mengalami kenaikan signifikan dari 14,1% (STBP
23
2006) menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan yang
positif pada perilaku seks yang aman.
Peningkatan juga terjadi pada akses ODHA untuk mendapatkan perawatan HIV dan
pengobatan ARV. Sampai dengan Bulan September 2014 terdapat 45.631 ODHA yang
dalam pengobatan ART dan 2.398 diantaranya anak-anak. Cakupan pengobatan ARV
secara nasional mencapai 23% dari ODHA yang membutuhkan pengobatan ARV (dengan
dasar perhitungan mengacu pada pedoman WHO tahun 2010 tentang syarat pemberian
ARV dengan batas ambang CD4 350 cell/mm3). Percepatan cakupan program dan
pengobatan ARV masih menghadapi tantangan besar sebagaimana dapat dilihat dari
kaskade pengobatan ARV. Data kumulatif perawatan HIV dan pengobatan ARV tahun
2013 mengindikasikan diantara orang yang masuk perawatan HIV dan memenuhi syarat
ART, sekitar 75% memulai ART dan berdasarkan laporan kohort tahun 2013, 71% masih
dalam pengobatan setelah 1 tahun, 29% dilaporkan meninggal dan gagal follow-up.
Cakupan pengobatan ARV pada ibu hamil dan anak-anak dengan HIVjuga meningkat,
namun masih dibawah 20% (ibu hamil) dan 15% (anak-anak).
Dengan demikian, akselerasi cakupan tes HIV dan pengobatan ARV serta perbaikan
kualitas layanan HIV dan AIDS akan menjadi prioritas dalam 5 tahun mendatang.
Pada saat ditemukan kasus AIDS pertama di Bali pada tahun 1987, upaya
pengendalian HIV dan AIDS dimulai secara lokal di beberapa kota, bekerja sama dengan
mitra lembaga internasional dan negara / lembaga donor. Respon sektor kesehatan
24
secara nasional dimulai setelah Kementerian Kesehatan membentuk Komisi AIDS Nasional
yang diketuai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (P2MPL). Upaya pengendalian AIDS menjadi lebih intensif dengan adanya
Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1994 tentang pembentukan Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko
Kesra), yang salah satu tugasnya adalah menyusun strategi nasional dan rencana lima
tahun pengendalian HIV dan AIDS. Kementerian Kesehatan menjadi Wakil Ketua 1 Bidang
Kesehatan dan berperan lebih aktif dalam pengendalian HIV dan AIDS.
Tahun 2011 telah dilaksanakan Kajian Eksternal Upaya Sektor Kesehatan dalam
Pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia, di bawah kepemimpinan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), melibatkan mitra program dari Pemerintah,
organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, lembaga mitra internasional
dan lembaga donor, serta didukung secara teknis oleh WHO. Dibandingkan tahun 2007,
perkembangan program secara keseluruhan selama empat tahun terakhir telah
meningkat secara signifikan. Kemajuan dan peningkatan komitmen nyata terlihat di
banyak daerah, namun demikian, cakupan intervensi belum merata di seluruh provinsi,
25
termasuk beberapa daerah dengan beban HIV dan AIDS tertinggi, yaitu di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat).
Kemajuan dan peningkatan komitmen pada upaya pengendalian HIV dan AIDS di
Tanah Papua dapat dilihat pada peningkatan anggaran baik nasional maupun lokal, dan
peningkatan koordinasi program. Hasilnya dapa dilihat dari angka penggunaan kondom
tertinggi di Indonesia pada kelompok WPS, namun demikian, cakupan pencegahan dan
pengobatan masih menjadi tantangan dengan hanya sekitar 38% ODHA mendapatkan
pengobatan ARV. Di beberapa daerah, koordinasi antar layanan masih belum sebaik yang
diharapkan dan tantangan yang harus dihadapi di daerah sulit masih sangat berat, antara
lain infrastruktur kesehatan yang lemah dan akses ke layanan sangat sulit karena jarak
dan tingginya biaya yang harus dibayar pasien.
Upaya pencegahan juga terlihat meningkat sejak kajian terakhir. Hasil STBP 2013
menunjukkan dampak dari upaya yang ada. Program pencegahan, terutama penggunaan
kondom, pengendalian IMS, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan
cakupan program LASS menunjukkan kemajuan meskipun masih sangat terbatas.
Beberapa tantangan besar yang masih harus dihadapi antara lain tidak konsistennya
penyediaan layanan di provinsi maupun antar provinsi, kurangnya jejaring antar layanan
dan antar komponen program, rendahnya cakupan program serta keberlanjutan program
pencegahan. Beberapa tahun terakhir telah tampak kemajuan signifikan dalam hal
pengembangan jumlah layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP) dan
cakupan ART, namun retensi pengobatan ARV masih perlu ditingkatkan. Beberapa
layanan PDP telah tampak ada kemajuan, sementara beberapa layanan lain tetap menjadi
tantangan, seperti layanan infeksi oportunistik dan HIV pediatrik.
26
madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan
kualitas pelayanan
• Memperbaiki dampak pengobatan HIV dalam model layanan terintegrasi dan
terdesentralisasi di tingkat kabupaten/ kota.
Ketiga unsur utama dalam LKB yaitu 1) layanan kesehatan (primer, sekunder, dan
tersier) termasuk layanan swasta maupun pemerintah, 2) unsur koordinasi melalui KPAD
dan 3) unsur masyarakat termasuk LSM, Ormas, organisasi keagamaan dan kelompok
populasi kunci, merupakan jejaring yang harus terkait satu sama lain dalam suatu
kerangka kerja sebagaimana tergambar di bawah ini.
Sampai dengan akhir tahun 2014 LKB telah terlaksana di 90 kabupaten/kota dan
akan diperluas ke seluruh kabupaten/kota secara bertahap dengan memobilisasi berbagai
sumber daya yang ada.
27
Gambar 5. Kerangka Kerja Layanan Komprehensif Berkesinambungan
COMMUNITY
KPA
ORGANIZER
Fasyankes Fasyankes
Sekunder Primer
RS Kab/Kota PUSKESMAS
KADER
Masyarakat
Keluar
ga
PBM:
LSM, Ormas,
Kelompok Orsos, Relawan
Fasyankes Dukungan
PBR:
Tersier Keluarga ODHA
RS Provinsi
COMMUNITY
ORGANIZER
Promosi Kesehatan
Pada tahun 2012, pemerintah berupaya untuk menciptakan kondisi yang kondusif
untuk peningkatan pengetahuan tentang HIV dan AIDS bagi masyarakat melalui
Kesepakatan Bersama 5 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri
Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Upaya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman di kalangan remaja dilakukan melalui melalui program Aku
Bangga Aku Tahu (ABAT) yang diintegrasikan dalam kegiatan pendidikan formal dan non-
formal (SMP, SMA, MTs, MA, Perguruan Tinggi, Karang Taruna). Program ABAT dilengkapi
dengan 325 fasilitator terlatih yang berasal dari 65 Kabupaten/kota di 13 provinsi.
Bentuk kampanye lain yang dilakukan adalah melalui media sosial (Microsite,
tweeter dan facebook), media elektronik (media televisi, radio dan talkshow) dan media
cetak (periklanan pada koran dan pesan kampanye pada kereta rel listrik di jabodetabek),
menjalin kemitraan dengan dunia usaha, koordinasi dan konsolidasi dengan lintas sektor.
Sejak tahun 2006, Puskesmas telah melaksanakan LASS bagi penasun. Sampai
dengan tahun 2013, terdapat 194 unit LASS dimana 162 unit adalah Puskesmas dan 32
unit di LSM, yang tersebar di 19 propinsi dan 72 kabupaten/kota. Review program LASS
oleh KPAN menyimpulkan akses alat suntik steril di kota-kota seperti Makassar, Surabaya,
Medan, Jakarta dan Bandung bagi penasun sudah tidak menjadi masalah. Dari hasil STBP
28
2011 juga disebutkan bahwa 33% penasun memperoleh alat suntik steril secara mandiri
dari apotek.
Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM) umumnya diberikan oleh RS,
namun di beberapa kota dengan tingkat kebutuhan yang cukup tinggi seperti di Provinsi
DKI Jakarta, Pulau Jawa dan Bali maka layanan terapi rumatan metadon tersedia di
Puskesmas dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terpilih. Sampai dengan Bulan
September 2014, layanan PTRM berjumlah 86 unit dimana 35 unit di RS, 42 unit di
Puskesmas dan 9 unit di Lapas dan Rutan, yang tersebar di 17 provinsi. Jumlah pasien
metadon yang aktif cenderung stabil, seperti terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Jumlah Pasien PTRM aktif pertahun, Tahun 2010- September 2014
Selama 5 tahun terakhir, fasilitas layanan konseling dan tes HIV meningkat 6 kali
lipat dari 156 layanan di 27 provinsi pada tahun 2008 menjadi 990 layanan di 33 provinsi
pada tahun 2013 dan terus bertambah. Jumlah orang yang dites HIV juga mengalami
peningkatan yang signifikan, seperti terlihat pada grafik dibawah ini
Gambar 7. Jumlah Orang yang dites HIV pertahun, Tahun 2010- Sept 2014
29
Pemanfaatan layanan tes HIV yang meningkat dikonfirmasi oleh data STBP yang
menunjukkan telah terjadi peningkatan pada populasi kunci, waria 45% menjadi 54%,
WPSL 54% menjadi 67%, WPSTL 31% menjadi 42%, penasun 40% menjadi 54%, LSL 25%
menjadi 38% (STBP 2009 dan STBP 2013).
Data STBP 2011 dan STBP 2013 mengungkapkan tetap tingginya angka IMS di
kalangan populasi kunci. Angka penggunaan kondom pada seks komersial dilaporkan
telah meningkat, tapi angka klamidia dan gonore pada WPSL dan WPSTL meningkat
sedangkan prevalensi sifilis dilaporkan berkurang. Prevalensi IMS di populasi umum tidak
diketahui dan surveilans IMS tidak secara rutin dilaksanakan.. Kondom mulai tersedia di
beberapa klinik, bahkan beberapa Puskesmas sudah mulai menyediakan kondom di
tempat-tempat yang mudah diakses. Antibiotik untuk pengobatan sifilis (benzatin
penisilin), gonore (sefiksim) dan klamidia (azitromisin) tersedia di klinik IMS, namun
pengobatannya terkadang tidak sesuai standar,pemberitahuan pada pasangan dan
penanganannya juga tidak rutin dilaksanakan. Belum semua layanan IMS terintegrasi
dengan layanan KIA dan skrining sifilis pada ibu hamil tidak secara rutin dilaksanakan.
Dilaporkan bahwa pemeriksaan sifilis pernah dilakukan secara rutin di layanan ibu hamil
tetapi berhenti pada beberapa tahun terakhir dengan alasan yang tidak jelas.
Jumlah layanan IMS telah bertambah dari 301 layanan pada tahun 2011 menjadi
1.287 layanan di bulan September 2014, 1.174 di antaranya adalah Puskesmas di 124
kabupaten dan 70 kota di 34 provinsi. Dukungan pemeriksaan laboratorium dasar untuk
diagnosis IMS masih kurang memadai, begitu pulapemantapan mutu eksternal nya.
Jumlah layanan IMS dan jejaring antara layanan IMS dengan layanan lainnya masih
terbatas. Surveilans untuk resistensi terhadap antibiotik juga belum dilakukan secara
rutin.
Berdasarkan hasil proyeksi, prevalensi ibu hamil yang positif cenderung meningkat
dari 0,34% pada tahun 2011 menjadi 0,49% di tahun 2016 (Estimasi 2012). Dengan
meningkatnya jumlah perempuan usia reproduktif yang terinfeksi HIV, maka penularan
HIV dari ibu ke anak akan cenderung meningkat jika upaya pencegahan tidak dipercepat
dan diperluas. Sampai September 2014, jumlah unit layanan PPIA telah mencapai 119
Rumah Sakit dan 91 Puskesmas. Sebanyak 236 fasyankes terlatih layanan PPIA di 65
kab/kota di 21 provinsi. Jumlah ibu hamil yang mengikuti tes HIV meningkat secara
signifikan dari 100,926 orang (2013) menjadi 215.879 (September 2014), dimana 3.1%
(2013) dan 0.9% (September 2014) diantaranya HIV positif.
Sesuai rekomendasi hasil kajian ekternal tahun 2011, maka pada tahun 2013
Kementerian Kesehatan mengeluarkan (1) Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 1 tahun
30
2013 tentang Pelayanan PPIA, (2) Peraturan Menteri Kesehatan No 51 tahun 2013,
tentang Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), (3)
Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (RAN PPIA) 2013-2017,
dan (4) Pedoman Pelaksanaan PPIA bagi Petugas Kesehatan. Dokumen-dokumen tersebut
mendukung perluasan cakupan tes HIV pada ibu hamil yang datang ke pelayanan
antenatal.
Di beberapa layanan, penerimaan atas penawaran tes HIV di kalangan ibu hamil
yang dilakukan pada ANC cukup tinggi, namun beberapa layanan konseling dan tes HIV
nampak secara pasif menawarkan tes HIV. Dokter spesialis kebidanan belum banyak
dilibatkan dan umumnya masih merekomendasikan persalinan melalui bedah sesar tanpa
memandang status klinis ataupun terapi ARV. Meskipun banyak ibu hamil yang
melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas, namun kunjungan antenatal pertama
di Puskesmas seringkali dilakukan pada kehamilan yang telah lanjut bahkan sering sudah
mendekati persalinan. Program monitoring dan evaluasi yang komprehensif atas program
layanan PPIA selain pelaporan rutin PPIA mulai dikembangkan melibatkan kedua
program.
Dalam kurun waktu 2009 sampai dengan September 2014 terjadi peningkatan
jumlah layanan PDP dari 154 menjadi 329 Rumah Sakit rujukan ARV, 15 Puskesmas
Rujukan Mandiri, dan 6 fasyankes lainnya serta 120 unit layanan satelit ARV. Layanan
ART masih terpusat di RS, dan masih menjadi kendala bagi beberapa ODHA untuk
mengakses ARV karena sulitnya transportasi. Cakupan pengobatan ARV nasional baru
23% dari estimasi jumlah ODHA yang membutuhkan pengobatan ARV. Perluasan layanan
ARV sampai ke Puskesmas akan memudahkan ODHA untuk mengakses yang akan
meningkatkan cakupan ARV bagi ODHA.
Infeksi oportunistik merupakan penyebab kematian pada ODHA, dan yang paling
sering dilaporkan adalah kandidiasis (mencapai 30% dari seluruh kasus infeksi
oportunistik) Tuberkulosis (22%), dan diare kronis (22%). (Kemenkes, September 2014).
31
Sistem pencatatan dan pelaporan rutin dari unit pelayanan kesehatan sampai
nasional merupakan bagian dari respon nasional untuk pengendalian HIV–AIDS dan IMS.
Sistem informasi yang disebut Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS (SIHA) tersebut
diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan pada akhir Desember 2012, dan telah berfungsi
dengan baik di 686 fasilitas pelayanan kesehatan pada 146 kabupaten/kota di 24
provinsi.
STBP pada populasi berisiko dilaksanakan secara periodik pada 2 kelompok wilayah
yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari 22 kab/kota di 11 provinsi, dan kelompok
kedua terdiri dari 9 kab/kota di 9 provinsi. STBP pada kelompok pertama dilaksanakan
tahun 2007 dan 2011 dan kelompok kedua pada tahun 2009 dan 2013. STBP juga
dilakukan pada populasi umum di Provinsi Papua dan Papua barat, yang dilaksanakan
pada tahun 2006 dan tahun 2013.
Estimasi populasi kunci dan proyeksi epidemi HIV telah dilakukan untuk memahami
situasi epidemi dalam suatu area, memperkirakan beban penyakit, dan menyusun
prioritas yang sesuai dalam merespon epidemi HIV. Kementerian Kesehatan telah
melakukan beberapa kali estimasi, yaitu pada tahun 2002, 2004, 2006, 2009, dan 2012.
Sedangkan untuk estimasi dan proyeksi epidemi HIV telah dilakukan pada tahun 2008 dan
2012.
Tiga kegiatan utama HIV-DR yang telah dilaksanakan adalah (1) pelaksanaan survei
ambang batas (threshold survey) 5 untuk memantau mutasi resistensi transmisi, (2)
5
Threshold survey pertama telah dilakukan pada orang yang baru terkena HIV pada bulan April 2006 sampai September
2007 di lima lokasi pilot (RSCM, RSK Dharmais, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, dan RSPAD Gatot Soebroto),
dan pada tahun 2012 di antara pengunjung yang datang ke layanan KTS di dua lokasi (Yayasan Kerti Praja,
Puskesmas Kuta Selatan).
32
monitoring indikator kewaspadaan dini (Early Warning Indicators/EWI) di layanan ART6;
dan (3) survei pemantauan (monitoring survey) untuk memonitor munculnya mutasi yang
resisten selama pengobatan7.
Laporan Kajian Paruh Waktu tahun 2013 terhadap pelaksanaan SRAN 2010-2014
menyimpulkan bahwa meskipun ada respon yang meningkat seperti yang digambarkan di
atas, Indonesia masih belum memenuhi target dan dampak program sebagaimana yang
diharapkan. MDG menargetkan 95% populasi umum usia 15-24 tahun memiliki
pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. Hasil Riskesdas dan Survei Cepat pada
tahun 2010, dan 2012 menunjukkan peningkatan dua kali lipat, dari 11,4% pada tahun
2010 menjadi 20,6% pada tahun 2012. Meskipun demikian, tentu saja hasil ini masih
jauh dari target MDG.. SRAN 2010-2014 menargetkan 70% populasi kunci memiliki
pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. Namun hasil STBP 2011 dan 2013 pada
populasi kunci, menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti, yaitu antara 15% - 43%
(IBBS 2011) menjadi 15% - 42% (STBP 2013). Penasun memiliki tingkat pengetahuan
komprehensif tentang HIV dan AIDS yang tertinggi pada hasil STBP 2011 dibandingkan
populasi kunci lain (44%), namun ada penurunan dibandingkan tahun 2007 (60%).
Hanya sedikit atau tidak ada penurunan prevalensi HIV di antara populasi kunci,
kecuali penasun dan WPS langsung yang baru. Bahkan prevalensi di kalangan LSL menjadi
dua kali lipat, dan meningkat di antara pelanggan. Kajian Paruh Waktu menggarisbawahi
pendekatan yang berpotensi memberi dampak positif di masa mendatang seperti
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang disertai dengan penggunaan
strategis obat antiretroviral (Strategic Use of ARV - SUFA).
Hasil analisis finansial tahun 2014 oleh KPAN menunjukkan 49% sumber pendanaan
pengendalian HIV dan AIDS berasal dari pembiayaan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dimana 5/6 nya berasal dari APBN. Dengan asumsi kontribusi pemerintah pusat
6
EWIs monitoring di 16 RS di 6 Propinsi pada tahun 2011. Rumah sakit yang melaksanakan EWIs 2011 adalah RSK
Dharmais, RSPAD Gatot Soebroto, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, RS Hasan Sadikin, RS dr. Kariadi, RS
Sardjito, RS dr. Soetomo, RS Karang Tembok, RS Ramelan, RS Sanglah, RS Buleleng, RS Wangaya, RS Badung, RS
Sanjiwani, dan RS Tabanan. Pengembangan EWIs tahun 2012 dilaksanakan pada 82 RS di 18 propinsi.
7
Monitoring survey HIV DR pertama kali dilakukan di RSPI Sulianti Saroso Jakarta pada tahun bulan September 2008
sampai Juli 2009 dengan hasil menunjukkan bahwa rejimen lini pertama masih efektif
33
naik 10% per tahun, pemerintah daerah naik 20% per tahun, dan sektor swasta (filantrofi,
CSR, swasta lain) naik 0.5-2% per tahun, maka sampai dengan tahun 2019 Indonesia
diperkirakan masih kekurangan dana 55,810,000 USD (ICA 2014).
Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS, menetapkan tugas dan kewajiban di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota
dalam menyelenggarakan pengendalian HIV dan AIDS. Surat Edaran Dirjen PP dan PL
tahun 2013 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS
yang mengatur agar pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan obat dan bahan
habis pakai melalui anggaran yang menyatu atau terpisah dengan anggaran kesehatan
(lihat tabel 1, dalam kegiatan pengadaan).
Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 ini perlu dikawal
melalui upaya mobilisasi sumber daya lokal yang ada. Sumber daya dan otoritas di tingkat
desa juga menjadi penting dengan adanya UU Desa no. 6/2014 yang mengatur bahwa
desa ikut dalam mengelola program termasuk mengelola anggaran yang dialokasikan
kabupaten/kota bagi desa tersebut.
34
Bab 3 Kebijakan, Tujuan dan Target
3.1 Kebijakan
Dasar kebijakan RAN Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2015-2019
sebagaimana tertuang dalam Permenkes no. 21 tahun 2013, sebagai berikut:
Beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam pengendalian HIV dan AIDS adalah:
35
g) melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yang
terdampak HIV dan AIDS;
h) memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang terdampak HIV dan
AIDS agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang layak dan
produktif.
3.2 Tujuan
RAN HIV dan AIDS Bidang Kesehatan ini disusun untuk mencapai tujuan
pengendalian HIV dan AIDS.
Tujuan umum:
Menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030.
Tujuan khusus:
• Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru
• Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang
berkaitan dengan AIDS
• Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA
3.3 Target
Sejalan dengan kebijakan mencapai Fast Track maka akselerasi kegiatan dilakukan
semaksimum mungkin dengan melakukan mobilisasi berbagai sumber baik pemerintah
maupun dukungan ekternal dalam mencapai target 90/90/90.
Di bawah ini adalah baseline dan target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun
2019:
36
VARIABEL BASELINE 2013/2014 2019
Jumlah populasi kunci yang di tes 0% = 23,4% ;
HIV dan menerima hasil pada • Waria =
tahun berjalan 4,874/38,031x100%
DO: Jumlah populasi kunci yang di = 12,8% ;
tes HIV pada tahun berjalan • LSL =
dibagi estimasi jumlah populasi 15,164/144,636x10
kunci pada tahun berjalan 0% = 10,5%;
dikurangi populasi kunci yang • Penasun =
hasil tesnya positif tahun 8,896/74,326x100%
sebelumnya dikali 100% = 12,0%;
d) Cakupan tes HIV pada Ibu hamil 4,5% 70%
DO: jumlah ibu hamil yang dites HIV
dibagi jumlah seluruh ibu hamil x
100%
e) Cakupan tes Sifilis pada ibu hamil NA 70%
DO: jumlah ibu hamil yang di-tes
Sifilis dibagi jumlah ibu hamil X
100%
f) Cakupan tes sifilis pada Populasi NA 70%
kunci
DO: jumlah populasi kunci yang di-
tes Sifilis dibagi jumlah populasi
kunci X 100%
g) Persentase pasien TB yang dites 9,5% Untuk wilayah epidemi
HIV meluas 80%
DO: jumlah pasien TB yang hasil tes Untuk wilayah epidemi
HIV tercatat diregister TB dibagi terkonsentrasi 50%
jumlah pasien TB baru tercatat
pada tahun berjalan X 100%
8
2. Penurunan kematian yang NA 25%
disebabkan oleh keadaan yang
berkaitan dengan AIDS
a) Cakupan ODHA yang mendapat 22% 70%
pengobatan ARV (Lap. Triwulan 3 Th.
DO: jumlah ODHA on ART dibagi 2014 & Proyeksi 2012
ODHA yang memenuhi syarat Th. 2014)
pengobatan ARV x 100%
b) Prosentase ibu hamil HIV yang 74,4% 100%
mendapatkan pengobatan ARV
DO: jumlah ibu hamil HIV yang
mendapat ARV dibagi jumlah ibu
hamil HIV x 100%
c) Cakupan pasien ko-infeksi TB- 51% 100%
HIV yang mendapatkan
pengobatan ARV
DO: jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV
8
Proyeksi kematian akibat AIDS 48,440 (2019) jika respon Indonesia terhadap AIDS masih seperti sekarang (Sumber: ICA
2014)
37
VARIABEL BASELINE 2013/2014 2019
yang mendapatkan ARV dibagi
jumlah pasien koinfeksi TB-HIV x
100%
d) Cakupan pengobatan profilaksis 83,12% 100%
ARV pada bayi
DO: jumlah bayi lahir dari ibu HIV
mendapatkan ARV profilaksis
dibagi jumlah bayi lahir hidup
dari ibu HIV X 100%.
3. Penurunan diskriminasi terhadap -
ODHA
a) Proporsi kab/kota yang =90/247 x 100% = 90%
melaksanakan LKB 36,4%
DO: Jumlah Kab/kota yg
melaksanakan LKB dibagi Jumlah
kab/kota yang melaporkan kasus
HIV dikali 100%
38
Bab 4 Strategi dan Kegiatan
RAN Pengendalian HIV-AIDS dan IMS Sektor Kesehatan 2015-2019 akan dipaparkan
secara sistematis dalam bentuk kegiatan yang terstruktur dan selaras dengan RAN bidang
kesehatan dan non-kesehatan lain (misalnya SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS, RAN
KIA, RAN TB, RAN Malaria, RAN Kespro, dan rencana aksi di sektor lain) untuk mencapai
tujuan penurunan infeksi baru HIV dengan pendekatan khusus pada populasi kunci,
populasi khusus maupun kelompok masyarakat rentan terhadap HIV–AIDS dan IMS.
RAN ini akan terus mendorong perkembangan dan pemantapan LKB yang
merupakan strategi dan kebijakan nasional serta harus dilaksanakan di seluruh daerah di
Indonesia. Rencana aksi yang berfokus pada LKB meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk layanan HIV-AIDS dan IMS, seperti
kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian
faktor risiko, layanan konseling dan tes HIV dan IMS, PDP, PPIA, PDBN (LASS dan PTRM),
layanan IMS, pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya,
kegiatan monitoring dan evaluasi serta surveilans epidemiologi di Puskesmas, Rumah
Sakit Rujukan kabupaten/kota dan fasyankes lainnya, termasuk fasyankes swasta. Dengan
demikian, kegiatan yang dilakukan diharapkan dapat mendukung pencapaian target SRAN
2015-2019.
4.1 Strategi
Strategi dalam RAN ini merupakan kelanjutan dari strategi dalam RAN 2009-2014
dengan memperhatikan hasil-hasil pelaksanaannya. Strategi yang dikembangkan
berupaya menjawab berbagai tantangan yang ada, dan sesuai hasil rekomendasi Kajian
Eksternal Upaya Sektor Kesehatan dalam Pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia tahun
2008-2011 dan Kajian Paruh Waktu SRAN 2010-2014.
Mengacu pada strategi pengendalian HIV dan AIDS dalam Permenkes no. 21 tahun
2013, maka dapat dirangkum 2 strategi pengendalian sebagai berikut:
Berbagai upaya untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS yang telah dilakukan selama
ini masih belum mencapai hasil yang optimal sehingga perlu dilakukan akselerasi.
Kegiatan-kegiatan dikelompokkan berdasarkan isu spesifik akan dijalankan selama tahun
2015-2019 untuk mencapai tujuan pengendalian disusun dalam bentuk Rencana Aksi
39
Nasional (RAN) 2015-2019. Target secara rinci dan waktu pelaksanaan dari masing-masing
komponen dari kegiatan utama dapat dilihat dalam Lampiran 1. Tabel Kegiatan Utama
Kegiatan utama strategi-1 : Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB
1. Peningkatan Konseling dan Tes HIV
2. Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV
3. Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS)
4. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu dan Anak (PPIA),
5. Kolaborasi TB-HIV
6. Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS
7. Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN)
8. Kewaspadaan Standar
9. Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS
10. Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain
Sampai dengan September 2014, layanan konseling dan tes HIV sudah dilaksanakan
di 1.608 layanan yang terdiri dari 352 RS, 1234 Puskesmas, serta 22 klinik di Lapas/Rutan
dan fasyankes lainnya yang tersebar di 237 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Meskipun
cakupan konseling dan tes HIV sudah meningkat, namun kesenjangan antara perkiraan
jumlah ODHA dengan yang sudah didiagnosis masih besar. Perluasan layanan akan
dilakukan ke seluruh Indonesia sehingga sampai tahun 2019 akan tersedia 10.759
Fasyankes pemerintah maupun non-pemerintah yang mampu memberikan layanan
konseling dan tes HIV. Perluasan layanan di Puskesmas akan dilakukan secara bertahap
40
sehingga di tahun 2019 seluruh Puskesmas mampu melakukan konseling dan tes HIV.
Sedangkan perluasan layanan di Rumah Sakit akan menjangkau seluruh Rumah Sakit
Pemerintah termasuk RS milik TNI/Polri dan 269 Fasyankes lainnya termasuk
Lapas/Rutan, KKP serta klinik dan Rumah Sakit swasta. Tahapan pengembangan layanan
konseling dan tes HIV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3. Rencana Pengembangan Layanan Konseling dan Tes HIV tahun 2015-
2019 di Indonesia
Peningkatan jumlah layanan tes HIV dan konseling Total
Tingkat
Baseline 2015 2016 2017 2018 2019* 2015-2019
Provinsi 34 - - - - - 34
Kabupaten 216 50 60 70 80 32 508
RS 352 80 85 100 105 49 771
PKM 1234 766 1383 2100 2100 2136 9719
Lain-lain (termasuk Fasyankes 22 50 50 50 50 50 269
Swasta, Klinik Swasta, NGO,
BUMN, Lapas/Rutan)
Total Pengembangan di 1608 836 1503 2230 2300 2283 10759
tahun tsb
Tabel 5. Target cakupan tes HIV pada bumil, pasien TB dan pasien IMS
41
Dengan adanya penawaran tes HIV yang lebih aktif dan pengobatan ARV lebih dini,
maka konseling pasca tes perlu diperkuat dan dikembangkan lebih luas meliputi:
konseling kepatuhan, konseling pasangan, konseling keluarga, dan konseling
berkelanjutan. Selain akses konseling dan tes HIV, pemeriksaan laboratorium
penunjangnya seperti CD4 dan VL juga perlu ditingkatkan akses layanannya. Untuk itu,
kerjasama dengan komunitas penting ditingkatkan untuk menjangkau populasi sasaran.
Luaran dari kegiatan peningkatan cakupan Konseling dan Tes HIV adalah:
1. Meningkatnya cakupan tes HIV pada
a. populasi kunci dan populasi khusus seperti pasien TB, pasien hepatitis,
ibu hamil, pasangan ODHA dan WBP di wilayah dengan epidemi HIV
terkonsentrasi
b. populasi kunci dan populasi khusus seperti pasien TB, pasien hepatitis,
ibu hamil, pasangan ODHA, WBP dan pasien di fasyankes di wilayah
epidemi HIV meluas
2. Mempercepat inisiasi ARV pada ODHA
3. Tersedianya 11.419 petugas kesehatan / konselor terlatih konseling di 10.638
layanan konseling HIV yang tersebar di 34 propinsi dan 508 kota/kabupaten
Uraian Kegiatan
1. Perluasan layanan konseling dan tes HIV
1.1 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di wilayah Provinsi
1.2 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di wilayah Kabupaten / kota
1.3 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di Rumah Sakit
1.4 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di Puskesmas
1.5 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di fasyankes (termasuk RS
Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan, DPS dll).
2. Pembentukan jejaring Faskes dengan petugas penjangkau
3. Pembentukan jejaring rujukan antar Fasyankes
4. Meningkatkan Cakupan tes HIV
4.1 Pelaksanaan layanan konseling dan tes HIV pada populasi kunci di wilayah
dengan epidemi HIV terkonsentrasi
4.2 Pelaksanaan layanan konseling dan tes HIV populasi khusus (pasien IMS, TB dan
hepatitis; ibu hamil, WBP, dan pasangan ODHA). di wilayah dengan epidemi HIV
terkonsentrasi serta konseling dan tes HIV donor darah reaktif sebagai tindak
lanjut hasil skrining darah di UTD
Jumlah layanan PDP yang telah mencapai 454 Fasyankes masih belum memadai,
terlebih dalam mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang mengakses layanan PDP
sesuai dengan kebijakan terkini mengenai pengobatan ARV. Pengembangan layanan ARV
akan dilakukan secara bertahap dengan harapan pada tahun 2019 akan tersedia 3949
Fasyankes pemerintah maupun non-pemerintah yang mampu memberikan layanan PDP
bagi ODHA di seluruh Indonesia.
42
Di tiap kabupaten/kota, minimal terdapat 1 RSUD yang menjadi rujukan layanan
HIV-AIDS dan IMS termasuk layanan ARV. Sampai dengan tahun 2019, direncanakan akan
ada pengembangan di 295 Rumah Sakit seiring dengan pengembangan kabupaten/kota,
sehingga diharapkan akan tersedia 647 RS Pemerintah maupun non pemerintah yang
mampu memberikan layanan ARV. Puskesmas yang mampu menginisiasi ARV akan
diprioritaskan pada Puskesmas dengan layanan rawat inap. Sampai dengan Desember
2013, Puskesmas dengan rawat inap berjumlah 3.352 Puskesmas diantara 9.719
Puskesmas yang ada, dengan kemungkinan akan terjadi penambahan lagi setiap
tahunnya. Kemenkes juga akan memperluas kemitraan dengan Kementerian Hukum dan
HAM serta sektor swasta, agar klinik di Lapas Rutan serta klinik dan fasyankes swasta
lainnya akan mampu menginisiasi ARV. Perluasan ini direncanakan akan dapat ditambah
dengan minimal 50 fasyankes baru tiap tahun sehingga sampai dengan tahun 2019
menjadi sekitar 269 layanan.
Layanan PDP tersebut akan terintegrasi dengan layanan terkait HIV lainnya. Rincian
tahapan pengembangan layanan PDP selama 5 tahun mendatang dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini.
Denomin Base
Indikator 2015 2016 2017 2018 2019
ator line
Jumlah dan Target 50.400 65.609 87.778 112.051 138.498 167.120
Persentase
% 17% 20% 25% 30% 35% 40%
ODHA Dewasa
(>14th) Est ODHA
memenuhi memenuh 305.061 328.046 351.112 373.503 395.708 417.799
syarat, i syarat
mendapat ART
43
Denomin Base
Indikator 2015 2016 2017 2018 2019
ator line
Jumlah ODHA Target 2.026 5.655 8.813 10.576 14.101 14.101
anak (<14th) % 14% 35% 50% 60% 80% 80%
memenuhi
Est ODHA
syarat,
anak
mendapat ART 14.751 16.157 17.626 17.626 17.626 17.626
memenuh
i syarat
Uraian kegiatan:
44
3.2 Pertemuan kader / koordinator KDS dengan tenaga kesehatan dan pasien
di fasyankes
4. Memberikan pengobatan profilaksis kotrimoksasol pada ODHA yang membutuhkan
termasuk pasien TB-HIV
5. Meningkatkan kemitraan Fasyankes dengan komunitas/LSM peduli AIDS dan
keluarga ODHA untuk meningkatkan akses layanan HIV dan kepatuhan terapi
ARV
5.1 Pemberian KIE kepada ODHA,anggota keluarga dan masyarakat untuk
meningkatkan retensi terapi ARV
5.2 Perluasan jejaring layanan perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS
Jumlah layanan IMS yang telah mencapai 1.029 Fasyankes masih belum memadai
untuk menurunkan risiko penularan HIV. Oleh karena itu, direncanakan akan dilakukan
perluasan layanan IMS secara bertahap sehingga pada tahun 2019 seluruh Puskesmas
(9.719) akan mampu memberikan layanan IMS. Rencana pengembangan ini merupakan
amanat dari Peraturan Menteri Kesehatan No 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, dimana
IMS menjadi salah satu pelayanan kesehatan standar yang harus ada di Puskesmas.
Layanan IMS dengan pemeriksaan laboratorium akan tersedia di Puskesmas dengan
layanan rawat inap. Sementara penanganan kasus IMS di 6.367 Puskesmas lainnya
minimal berdasarkan pendekatan sindrom. Layanan IMS juga akan diperluas dengan
melibatkan 649 fasyankes lain seperti klinik swasta, LSM dan Lapas/Rutan sampai tahun
2019.
45
diagnosis dan
pengobatan IMS
Layanan IMS dengan 83 100 669 500 3.352
pemeriksaan 1.000 1.000
laboratorium
Layanan lain (termasuk 19 40 100 200 200 90 649
Fasyankes Swasta,
Klinik Swasta, NGO,
BUMN, Lapas/Rutan)
Total Pengembangan 1.048 988 1.753 2.270 2.270 2.808 11.137
Layanan IMS di tahun
tsb
Cakupan layanan IMS akan terus ditingkatkan secara bertahap dengan sasaran
utama pada populasi kunci dan populasi rentan, dan disesuaikan dengan pengembangan
layanan HIV. Pengembangan cepat pada jumlah layanan ini harus diikuti dengan
peningkatan kapasitas petugas di layanan dan kemitraan dengan komunitas. Perubahan
pada pola pelayanan IMS tidak dapat mengabaikan begitu saja perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat, misalnya ditutupnya lokalisasi dan pola pola transaksi seksual yang
makin beragam. Untuk itu, kerjasama dengan komunitas penting ditingkatkan untuk
dapat menjangkau populasi sasaran yang diharapkan. Pengamatan dan pemantauan akan
dilakukan dengan lebih cermat dari waktu kewaktu agar pengembangan dapat terlaksana
dengan baik
46
Di layanan kesehatan, penanganan IMS merupakan bagian dari kegiatan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT). Ruang lingkup dari PKRT tsb adalah :
1. KIA
2. KB
3. Kesehatan Reproduksi Remaja
4. Penanganan IMS dan HIV
5. Kesehatan reproduksi lanjut usia
Uraian Kegiatan :
1. Menyediakan layanan IMS sesuai standar di seluruh Puskesmas dan fasyankes
lainnya
1.1 Memperluas jangkauan layanan IMS di wilayah Provinsi
1.2 Memperluas jangkauan layanan IMS di wilayah Kabupaten/ Kota
1.3 Meningkatkan jumlah RS yang menyediakan layanan IMS
1.4 Meningkatkan jumlah Puskees,as yang menyediakan layanan IMS
1.5 Meningkatkan jumlah PKM yang menyediakan layanan IMS dengan
pemeriksaan laboratorium
1.6 Meningkatkan layanan IMS di Lain-lain (termasuk Fasyankes Swasta, Klinik
Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan)
2. Meningkatkan cakupan pemeriksaan dan pengobatan IMS
2.1 Melakukan pemeriksaan rutin IMS dan penapisan sifilis untuk populasi
kunci di Kab/ kota secara berkala.
2.2 Penyediaan layanan bergerak untuk pemeriksaan rutin IMS dan penapisan
sifilis untuk populasi kunci oleh Kab / Kota
2.3 Menyediakan kondom sebagai alat pencegahan dan paket pengobatan IMS
2.4 Melakukan pemeriksaan IMS (sifilis) pada populasi berisiko
2.5 Mengobati kasus IMS (sifilis) yang ditemukan pada populasi berisiko
3. Mengurangi penularan IMS dan HIV dari ibu ke anaknya
3.1 Memperluas cakupan deteksi dini HIV, sifilis dan IMS lainnya pada ibu
hamil yang datang ANC
3.2 Mengobati ibu hamil dengan sifilis untuk pencegahan penularan sifilis dari
ibu ke bayi yang dikandungnya
47
4. Memastikan ketersediaan dan penggunaan informasi yang terpercaya dalam
pengendalian IMS
4.1 Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai standar
4.2 Mendorong inisiasi pencatatan dan pelaporan IMS dari layanan kesehatan
mandiri dan swasta
Program PPIA merupakan program pencegahan penularan vertikal dari seorang ibu
kepada bayi yang dikandungnya serta pada anak yang menyusu padanya. Kerangka kerja
program PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara
komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai
berikut9:
Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular
HIV
Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan pengidap
HIV
Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya dan
yang disusuinya
Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya
Sampai dengan September 2014, Fasyankes yang telah menyediakan layanan PPIA
di Indonesia berjumlah 408 Fasyankes yang tersebar di 65 kota/kabupaten. Dalam 5
tahun ke depan, diharapkan semua Fasyankes terutama pemerintah telah mampu
melakukan deteksi HIV pada ibu hamil dan bayi, sehingga:
1. Proporsi ibu hamil yang dites dan diobati sifilis menurun;
2. Proporsi ibu hamil yang dites HIV dan diobati ARV meningkat,
3. Proporsi bayi dari ibu HIV yang diperiksa dan diobati meningkat,
4. Proporsi bayi dari ibu sifilis yang diperiksa dan diobati meningkat
5. Angka kematian dan kecatatan pada bayi terkait sifilis, HIV dan IMS lainnya menurun.
9
Indikator utama masing-masing Prong dapat dilihat dalam lampiran
48
RS 172 20 70 70 70 245 647
Base Total
Indikator 2015 2016 2017 2018 2019
line 2019
Cakupan Ibu Hamil di tes 5,30% 20% 40% 60% 80% 80% 80%
HIV
Persentase Ibu Hamil HIV 78,80% 80% 90% 100% 100% 100% 100%
mendapat ARV* (2584) (3670) (4.942) (4.991) (3.921)
Persentase bayi lahir hidup 91,64% 95% 100% 100% 100% 100% 100%
dari Ibu HIV mendapat ARV (754) (544) (395) (250) (157)
profilaksis**
Luaran dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak ini adalah:
Kegiatan-kegiatan:
10
Termasuk layanan untuk Konseling penyiapan open status pada anak
49
1.1 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Provinsi
1.2 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di
wilayah Kabupaten
1.3 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di
Rumah Sakit
1.4 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di
Puskesmas
1.5 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di lain-
lain Faskes (termasuk Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan)
2. Memberikan ARV pada Bumil HIV (+)
3. Memberikan ARV profilaksis kepada bayi yang terlahir dari ibu HIV (+)
4. Memberikan profilaksis kotrimoksasol pada bayi yang terlahir dari ibu HIV(+)
5. Melaksanakan Diagnosis dini bagi bayi yang terlahir dari ibu HIV(+)
6. Melaksanakan pengobatan Sifilis bagi bayi yang mengidap sifilis kongenital
Berdasarkan data rutin Program Nasional Kemenkes capaian kolaborasi TB-HIV pada
tahun 2013 tercatat kurang dari 2% pasien TB telah mengetahui status HIV-nya. Diantara
pasien TB yang mengetahui status HIVnya tersebut, 40% merupakan pasien koinfeksi TB-
HIV. Tingginya angka positif pada pasien TB yang mengetahui status HIVnya tersebut
kemungkinan disebabkan belum semua pasien TB dilakukan tes HIV, masih berdasarkan
faktor risiko. Pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapatkan kotrimoksazol sebanyak 54% dan
yang menerima ART sebanyak 49% selama pengobatan TB.
Dari ODHA yang berkunjung ke layanan HIV, 83% dikaji status TBnya, dan 69%
ODHA dengan TB mendapat pengobatan TB. Oleh karena itu, penemuan kasus, diagnosis
dan pengobatan dini TB pada pasien HIV sangat penting dilakukan dan ditingkatkan
cakupannya.
Rumah Sakit ARV yang sudah menjalankan DOTS sampai dengan Desember 2013
adalah 262 (Data Dasar TB 2013). Dalam 5 tahun ke depan, diharapkan seluruh Fasyankes
11
2014: 8 provinsi, 2015: 16 provinsi, 2016: 10 provinsi
50
penyedia layanan ARV (4.617 Fasyankes) dapat menjalankan DOTS, yang terdiri dari 647
RS dan 3.321 Puskesmas serta 649 RS dan klinik-klinik swasta serta Lapas/Rutan.
Untuk memperkuat kolaborasi TB-HIV dan meningkatkan akses pasien TB untuk tes
HIV serta pasien dengan ko-infeksi TB-HIV, layanan tes dan ART perlu dikembangkan.
Tabel 6. Rencana Pengembangan layanan PDP tahun 2015-2019, dan indikator serta
target kolaborasi TB-HIV dijabarkan di tabel berikut.
Target
Indikator Baseline
2015 2016 2017 2018 2019
A. Membentuk dan memperkuat mekanisme kolaborasi TB-HIV
Jumlah Pokja/Forkom TB-HIV di 14 34 34 34 34 34
Provinsi yang aktif
Jumlah Provinsi yang memiliki 32 34 34 34 34 34
perencanaan bersama TB-HIV
Ada data prevalensi HIV pada pasien n/a n/a Ada Ada Ada Ada
TB, dan prevalensi TB pada ODHA
Jumlah Kab/Kota yang mempunyai 57 90 142 180 200 223
jejaring LSM/komunitas mendukung
kegiatan kolaborasi TB – HIV
B. Menurunkan Beban TB Pada ODHA dan Inisiasi Pemberian ART Dini
Persentase ODHA dikaji TB pada 83% 90% 95% 100% 100% 100%
kunjungan terakhir
Persentase ODHA-TB mendapat 69% 100% 100% 100% 100% 100%
pengobatan TB sesuai standar
Persentase ODHA baru yang NA 10% 20% 30% 40% 50%
menerima PP INH per tahun
Jumlah layanan perawatan HIV yang 14 60 140 215 290 324
melakukan PPI TB
C. Menurunkan Beban HIV Pada Pasien TB
Persentase pasien TB yang mengetahui 2% 20% 30% 40% 50% 60%
status HIV
Persentase pasien TB-HIV mendapat 54% 100% 100% 100% 100% 100%
PPK selama pengobatan TB
Persentase pasien TB-HIV mendapat 49% 100% 100% 100% 100% 100%
ART selama pengobatan TB
51
Provinsi 34 34
Kabupaten 174 59 70 70 70 65 508
Luaran
1. Menguatnya kolaborasi program TB -HIV di semua tingkatan
2. Mengurangnya beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
3. Mengurangnnya beban HIV pada pasien TB
4. Keterlibatan komunitas dan LSM dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV
Kegiatan
1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua tingkatan
1.1 Membentuk dan memperkuat mekanisme kolaborasi TB-HIV
1.2 Melaksanakan surveilans TB-HIV
1.3 Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV
1.4 Memperkuat Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV
2. Menurunkan Beban TB pada ODHA dan inisiasi pemberian ART dini
2.1 Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci HIV dan
memastikan pengobatan TB yang berkualitas
2.2 Pengobatan pencegahan dengan isoniazid pada ODHA
2.3 Penguatan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan yang
memberikan layanan HIV, termasuk tempat orang berkumpul (Lapas/ Rutan, panti
rehabilitasi untuk pengguna NAPZA)
52
pemeriksaan. Kegiatan ini berupa Pemantapan Mutu Internal (PMI), Pemantapan Mutu
Eksternal (PME) dan Peningkatan Mutu (quality improvement).
Pengkajian Mutu External (PME) atau External Quality Assessment (EQA) adalah
suatu proses yang terencana dan berkesinambungan yang dilakukan oleh laboratorium
rujukan yang ditetapkan untuk menilai mutu hasil pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS
di laboratorium pemeriksa Tiga metode yang dipakai untuk melaksanakan pengkajian
mutu external
• Uji silang yaitu pengiriman sediaan dari laboratorium pemeriksa HIV dan IMS ke
laboratorium rujukan pertama untuk dibaca ulang .
• Supervisi/ on site evaluation/ pembinaan yaitu pemantauan mutu dan bimbingan
teknis kegiatan laboratorium dengan kunjungan lapangan. Pembinaan ini
dilakukan berjenjang, baik dalam hal teknis pemeriksaan maupun manajemen
laboratorium.
• Tes panel (panel testing/ proficiency testing) yaitu pengiriman sediaan dari
laboratorium rujukan yang lebih tinggi ke laboratorium rujukan di tingkat yang
lebih rendah dan laboratorium pemeriksa, untuk dibaca ulang
Pemantapan Mutu Eksternal (PME) yang saat ini telah berjalan adalah untuk
pemeriksaan diagnosis anti-HIV (PME Imunologi) dan untuk pemeriksaan CD4. PME anti-
HIV telah diikuti oleh 519 (49%) dari 1,062 layanan HIV, sementara 543 layanan belum
mengikuti (Kemenkes, TW I tahun 2014). Ketersediaan mesin pemeriksaan hitung CD4
masih terbatas di 203 Fasyankes di 189 Kabupaten/Kota, sementara mesin pemeriksaan
viral load (V.L) masih terbatas di 15 Fasyankes di 16 Provinsi saja. PME CD4 telah diikuti
oleh 166 (66%) Fasyankes (RS pemerintah, RS Swasta, BLK maupun Puskesmas) dari 250
fasyankes memeriksa CD4 (Kemenkes, TW I tahun 2014). Pelaksanaan PME CD4 ini
melibatkan peserta baik yang menggunakan metode POCT maupun flowcitometry. PME
untuk laboratorium IMS yang telah dilaksanakan adalah 166 Fasyankes karena menjadi
satu paket dengan PME HIV.
Selama tahun 2015-2019, jumlah fasilitas kesehatan yang mengikuti PME akan
ditingkatkan seiring dengan penambahan sarana pemeriksaan sesuai dengan rencana
pengembangan layanan HIV dan IMS, dimana sampai dengan akhir tahun 2019,
diharapkan setiap kabupaten/kota telah memiliki minimal 1 mesin CD4, dan di tiap
provinsi memiliki minimal 1 mesin VL.
Semua peralatan harus dikelola demikian rupa sehingga penggunaan bisa lebih
efektif dan efisien, begitu juga penyimpanan sampel darah serta ketersediaan dan
distribusi reagen dengan memperhatikan jenis mesin, metode penggunaan dan rentang
kadaluarsa berbagai reagensia, termasuk reagensia untuk CD4 maupun viral load.
Pemantapan Mutu Internal (PMI) adalah suatu proses pemantauan yang terencana,
sistematik, dan efektif yang dilakukan oleh laboratorium itu sendiri untuk memastikan
53
bahwa proses pemeriksaan laboratorium dilaksanakan dengan benar dan baik, serta
untuk mendeteksi adanya kesalahan dan menganalisis kesalahan yang terjadi.
Pemantapan mutu internal pada pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS dilaksanakan
mulai dari persiapan penderita, pengambilan dan penanganan spesimen, pemeliharaan
semua alat yang digunakan, pengujian kualitas reagen, penyusunan protap sampai
dengan pencatatan dan pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS. Selama
5 tahun kedepan (2015 – 2019) akan terus dilakukan PMI di laboratorium yang
bersangkutan, dengan pengawasan dan pembinaan berjenjang melalui kegiatan
supportive supervision dan mentoring klinis.Jumlah laboratorium pemeriksa HIV dan IMS
akan terus ditingkatkan seiring dengan peningkatan jumlah fasilitas pelayanan HIV dan
IMS. Mutu pemeriksaan juga akan terus ditingkatkan dengan pemantapan mutu internal
dalam fasyankes tersebut, disertai dengan pengembangan jejaring rujukan nasional
laboratorium HIV DAN AIDS dan IMS untuk pemantapan mutu ekternalnya. Satu atau
beberapa Laboratorium rujukan nasional (National refference laboratory) akan disiapkan,
didukung oleh beberapa rujukan regional untuk pemantapan mutu external sebagai
pelaksana uji profisiensi. Tahun 2015 Kemenkes akan menunjuk 7 laboratorium rujukan
regional dan 1 laboratorium rujukan IMS yang melayani laboratorium pemeriksa di
seluruh Indonesia. Selama kurun waktu 2015 - tahun 2019 akan dikembangkan menjadi 4
laboratorium rujukan nasional dan 7 laboratorium rujukan regional yang tersebar di
seluruh Indonesia. Laboratorium Rujukan regional dibentuk berdasarkan perhitungan
jumlah beban kerja, yang dihitung dari jumlah fasyankes yang memiliki laboratorium
pemeriksa HIV dan IMS dan luas wilayah yang dijangkau. Dengan cara perhitungan ini,
maka wilayah binaan laboratorium rujukan regional, bisa hanya menjangkau satu provinsi
atau beberapa provinsi.
Laboratorium*
Rujukan*Nasional
54
1.2. Rapid test
1.3. Western blot (WB)
2. Early infants diagnosis
2.1. p24
3. Initiation and monitoring of ART
3.1. CD4
3.2. Viral Load
Luaran dari kegiatan penguatan laboratorium HIV dan IMS ini adalah:
1. Meningkatnya jumlah dan mutu pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS di
laboratorium pemeriksa
2. Terbentuknya jejaring laboratorium HIV dan IMS untuk memastikan bahwa
pelayanan laboratorium dilaksanakan dengan berkualitas sesuai standard.
Kegiatan-kegiatan:
1. Review dan update Pedoman dan Standar serta pengembangan Jejaring
Nasional Laboratorium HIV dan IMS
1.1 Penyusunan standar pemeriksaan reagen tes HIV
1.2 Penyusunan petunjuk teknis uji discordan reagen HIV (termasuk uji
pendahuluan discordant reagen HIV)
1.3 Pengembangan jejaring laboratorium HIV dan IMS
1.3.1 Persiapan pembentukan Laboratorium rujukan nasional. Satu untuk
wilayah barat di Jakarta dan satu lagi untuk wilayah timur di Surabaya
1.3.2 Persiapan pembentukan Laboratorium rujukan regional di 6 -8 lokasi
1.3.3 Pengembangan buku pedoman jejaring rujukan laboratorium HIV dan
IMS termasuk pemantapan mutu pemeriksaan HIV dan IMS
1.3.4 Pengadaan peralatan dan bahan habis pakai
1.3.5 Pengembangan modul pelatihan petugas laboratorium rujukan
1.3.6 Penyusunan instrument bimbingan teknis laboratorium HIV dan IMS
1.4 Penyusunan Pedoman Pelayanan Laboratorium Drug Resistance (DR) HIV
dan IMS
1.5 Penyusunan Pedoman laboratorium pemeriksaan IMS
1.6 Review pedoman laboratorium pemeriksa HIV dan IO
1.7 Penyusunan instrument bimbingan teknis laboratorium HIV dan IMS
2. Peningkatan kapasitas petugas laboratorium pemeriksa atau petugas kesehatan
lain yang menerima pendelegasian wewenang untuk menjalankan tugas sebagai
petugas laboratorium HIV dan IMS
2.1 Penyusunan modul pelatihan petugas laboratorium pemeriksa HIV dan IMS
bagi petugas kesehatan
2.2 Pelaksanaan pelatihan bagi petugas laboratorium pemeriksa di Fasyankes
primer dan Fasyankes rujukan
55
3. Pelaksanaan jaminan mutu bagi laboratorium pemeriksa yang memberikan
layanan HIV, meliputi CD4, viral load, EID dan IMS meliputi
3.1 Evaluasi reagen/ tes kit HIV
3.2 Evaluasi reagen post market (discordant >5%)
3.3 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa HIV dan IMS
3.4 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa CD4
3.5 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa Viral Load
3.6 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa EID
3.7 Pemantapan mutu eksternal Lab UTD
4. Peningkatan pelaksanaan pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS di fasilitas
pelayanan kesehatan, sesuai dengan rencana pengembangan pelayanan HIV dan
IMS
4.1 Pengembangan laboratorium regional Pemantapan Mutu External
terakreditasi SNI ISO 17043 sebagai pelaksana uji profisiensi
4.2 Penguatan sarana dan prasarana laboratorium regional
5. Pertemuan koordinasi laboratorium rujukan nasional HIV dan IMS dan evaluasi
hasil pelaksanaan Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
6. Supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Laboratorium
pemeriksa HIV dan IMS di RS dan Puskesmas dan fasyankes lainnya oleh
Laboratorium rujukan Nasional dan laboratorium rujukan regional.
Atas dasar situasi dan dinamika epidemi HIV & AIDS pada populasi pengguna napza
suntik (penasun), WHO mengembangkan rekomendasi paket komprehensif program
pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik yang terdiri dari sembilan (9)
komponen.
56
7. Terapi Antiretroviral.
8. Vaksinasi, Diagnosis dan Terapi untuk Hepatitis.
9. Pencegahan, Diagnosis dan Terapi untuk TB.
Data yang ada menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir program PDBN secara
umum telah berhasil menahan laju epidemi di kalangan Penasun.
Untuk mempertahankan hal tersebut, sebaran dan jumlah Fasyankes dengan LASS
perlu ditingkatkan terutama di 141 kota/kabupaten prioritas. Saat ini 194 Fasyankes
dengan LASS tersebar di 72 kota/kabupaten, Diharapkan dalam 5 tahun mendatang, 240
fasyankes dengan LASS akan tersedia di semua kota/kab prioritas, yang terdiri dari 200
Puskesmas serta 40 LSM dan klinik swasta lainnya. Layanan LASS yang telah ada selama
ini akan dikaji kembali dengan memperhatikan jumlah penasun yang dilayani - paling
tidak di atas 50 orang (disesuaikan dengan populasi penasun) per layanan. Rencana
pengembangan layanan alat suntik steril akan menjangkau 34 provinsi dengan 110
kabupaten/kota dan 240 fasyankes seperti pada tabel dibawah ini:
Data yang ada sampai dengan bulan September tahun 2014 menunjukkan bahwa
layanan PTRM yang sudah dapat diakses oleh klien terdapat di 87 Fasyankes yang berada
di 49 kota/kabupaten sebagaimana grafik jumlah fasyankes dibawah ini.Perkembangan
jumlah fasyankes dan pasien yang dilayani
57
Gambar 9. Jumlah Fasyankes yang memberikan Layanan PTRM dan
Perkembangan Jumlah Kumulatif Pasien yang dilayani (2007 – 2014)
Jumlah Fasyankes yg memberikan layanan PTRM Perkembangan Jumlah Fasyankes dan Jumlah pasien
Diharapkan dalam 5 tahun mendatang, akan tersedia 100 layanan PTRM yang
tersebar di sekitar 55 kota/kabupaten. Layanan PTRM tersebut minimal akan disediakan
oleh 40 Rumah Sakit, 48 Puskesmas dan 12 Lapas/Rutan. Pengembangan layanan PTRM
akan disesuaikan dengan layanan LASS karena penasun yang mengakses LASS akan
diarahkan ke PTRM.
Luaran dari rencana kegiatan Pengurangan Dampak Buruk Napza Suntik (PDBN)
selama tahun 2015 – 2019 ini adalah:
1. Tersedianya pedoman yang diperbaharui dalam melaksanakan LASS dan
metadon di tingkat Fasyankes dan mitra swasta
2. Meningkatnya kapasitas petugas kesehatan dalam pengurangan dampak
buruk di Fasyankes
58
3. Meningkatnya peran petugas penjangkau, kader dan petugas kesehatan dalam
menyelenggarakan kegiatan penjangkauan, kelompok dukungan untuk
komunitas, pasangan dan keluarga (penasun dan pasien metadon).
4. Meningkatnya peran pemangku kepentingan dalam menciptakan tatanan
sosial di lingkungan populasi yang kondusif
5. Meningkatnya pemahaman dan perubahan perilaku kelompok secara kolektif
dan perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga kerentanan terhadap
HIV berkurang
Kegiatan-kegiatan:
1. Penyediaan pedoman yang diperbaharui dalam melaksanakan LASS dan
metadon di tingkat Fasyankes dan mitra swasta
1.1. Pemutakhiran pedoman PDBN Suntik
1.2. Pemutakhiran Petunjuk Teknis LASS
1.3. Pemutakhiran Petunjuk Teknis PTRM
2. Penyediaan pedoman yang diperbaharui dalam melaksanakan LASS dan metadon di
tingkat Faskes dan mitra swasta
2.1. Pemutakhiran Juknis Suntik
2.2. Pemutakhiran Petunjuk Teknis PTRM
3. Meningkatkan kapasitas petugas penjangkau, kader dan petugas kesehatan dalam
menyelenggarakan kegiatan penjangkauan, kelompok dukungan untuk komunitas,
pasangan dan keluarga (penasun dan pasien metadon).
3.1. Peningkatan kapasitas petugas penjangkau/kader pendukung program PDBN
dalam bentuk workshop
3.2. Melaksanakan penjangkauan penasun untuk dirujuk ke layanan PTRM atau LASS
4. Sosialisasi layanan kepada pemangku kepentingan di tiap kabupaten/kota yang ada
layanan.
5. Pengembangan jejaring kemitraan LASS dengan apotik terutama dalam penyediaan
alat suntik steril bagi penasun yang sudah mengakses alat suntik steril secara mandiri.
5.1. Pertemuan dengan apotik daerah percontohan (DKI)
5.2. Rekrut konsultan
5.3. Mengembangkan konsep kemitraan dengan apotik
5.4. Melakukan uji operasional pelaksanaan kemitraan LASS dengan Apotik
5.5. Evaluasi hasil uji operasional
5.6. Perluasan bertahap jejaring kemitraan LASS dengan apotik
6. Meningkatkan pemahaman dan perubahan perilaku kelompok secara kolektif dan
perilaku setiap individu dalam kelompok
59
menekankan isolasi berdasarkan transmisi kontak, percikan dan udara diterapkan
kepada pasien yang terbukti atau diduga kasus penyakit menular.
Sebagian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi melalui darah yang
terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis C
adalah patogen melalui darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan
pajanan terhadap patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas
kesehatan di seluruh dunia.
Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah (bloodborne) seperti
hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan mendapatkan infeksi HIV. Sehingga
tatalaksana pajanan okupasional terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPI HIV
saja. Di seluruh fasyankes, kewaspadaan standar merupakan layanan standar minimal
untuk mencegah penularan patogen melalui darah. Fasyankes dan petugas kesehatan
wajib menerapkan kewaspadaan standar dalam memberi pelayanan kesehatan.
Kegiatan:
1. Penguatan penerapan kewaspadaan standar secara berkesinambungan di
Fasyankes
1.1. Penyusunan SoP tentang kewaspadaan standar, termasuk profilaksis
pasca pajanan okupasional
1.2. Sosialisasi SoP tentang kewaspadaan standar kepada tim PPI masing-
masing RS, termasuk profilaksis pasca pajanan okupasional
60
2. Menyediakan layanan dan memberikan profilaksis pasca pajanan bagi orang
terpajan HIV di lingkungan fasyankes.
3. Melaksanakan surveilans kecelakaan kerja di Fasyankes
4. Supervisi pelaksanaan kewaspadaan standar
5. Pengendalian infeksi HIV pada tenaga kesehatan yang terpajan di fasyankes.
Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS yang telah dilaksanakan berupa: edukasi
pencegahan HIV pada kelompok usia 15-24 tahun melalui Kampanye “Aku Bangga Aku
Tahu” (ABAT), kampanye melalui iklan layanan masyarakat (ILM) dan media massa,
pemberdayaan masyarakat, serta penguatan dukungan dan komitmen lintas program (LP)
dan lintas sektor (LS).
Beberapa kegiatan kampanye melalui ILM dan media massa dilakukan selama bulan
Oktober sampai dengan Desember 2014. Penayangan ILM “pencegahan HIV AIDS/ABAT”
di 3 televisi nasional dan ILM “ABAT” di 4 televisi daerah, serta pemasangan ILM ABAT di
kereta api commuter line jurusan Jabodetabek dan billboard di jalan tol. Edukasi tentang
HIV dan AIDS melalui media massa dilakukan melalui media online/social media, seperti
Twitter dan Youtube, konferensi pers, dan wawancara di televisi dan media
nasional/internasional lain, serta pemanfaatan “AIDS Digital” dan social media oleh
masyarakat.
Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS juga melibatkan peran serta
masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat. Strategi komunikasi PPIA, penyusunan
pedoman dukungan sebaya dalam PPIA (bagi kader dan petugas kesehatan), video
pembelajaran konseling pada PPIA, pedoman pendidikan sebaya HIV dan AIDS bagi siswa
SMP dan SMA, serta panduan bagi guru SMP dan SMA dalam membimbing dan
mendampingi pendidik sebaya HIV dan AIDS telah dikembangkan.
61
Semarang. Selain itu, pada 20 November 2014 Provinsi Papua melahirkan "Deklarasi
Keputusan Mubes Pemberantasan Miras, Narkoba, dan Pencegahan HIV/AIDS dalam
Enam Kabupaten di Wilayah Adat Mee Pago" untuk melindungi generasi muda Papua dari
HIV dan AIDS.
Penguatan dukungan dan komitmen lintas program dan lintas sektor yang telah
dilaksanakan meliputi pertemuan berkala LS dan Ormas dalam "Kelompok Kerja Remaja
untuk Penanggulangan HIV dan AIDS" berkoordinasi dengan KPAN; pertemuan 5
kementerian (Kemendikbud, Kemenag, Kemensos, Kemendagri, Kemenkes) yang
melakukan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pengetahuan Komprehensif HIV dan
AIDS; rapat koordiasi Kampanye ABAT LS dan LP, serta pertemuan dengan BPPSDMK
tentang Kampanye ABAT di Poltekes.
Selain itu, beberapa kegiatan terkait peringatan Hari AIDS Sedunia 2014 juga telah
dilaksanakan, a.l. "Gebyar Remaja Peduli HIV AIDS" dan Kegiatan Hari AIDS Sedunia yang
melibatkan 1000 siswa.
Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS dengan kelompok sasaran populasi
kunci yang dilaksanakan berupa peningkatan pengetahuan (edukasi) tentang penularan
HIV, risiko infeksi, upaya pencegahan IMS/HIV, dan perilaku pencarian pengobatan yang
benar, yang dilaksanakan dalam bentuk intervensi perubahan perilaku (IPP). Populasi
kunci yang berisiko terinfeksi HIV dan IMS meliputi pekerja seksual (wanita, waria, dan
pria); lelaki seks dengan lelaki (LSL); dan pengguna napza, termasuk penasun. Kegiatan
promosi pencegahan IMS pada populasi kunci dilaksanakan bekerja sama dengan LS-LP,
LSM, organisasi masyarakat sipil dan populasi kunci di wilayah "hotspot", yang
dikoordinasikan oleh KPA atau Pokja masyarakat setempat. Kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan berupa pelatihan pendidik sebaya, petugas/relawan
penjangkau, pendamping, dan kader (community organizer).
Luaran dari kegiatan Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS adalah:
1. Meningkatnya pengetahuan komprehensif yang benar tentang HIV dan AIDS
terutama di kalangan remaja dan masyarakat umum
2. Meningkatnya jumlah masyarakat termasuk populasi kunci yang mengetahui
status HIV nya
Kegiatan-kegiatan:
1. Meningkatnya pengetahuan komprehensif yang benar tentang HIV dan AIDS
terutama di kalangan remaja dan masyarakat umum
1.1 Penguatan kementerian/lembaga yang telah melakukan MoU dalam
Kampanya HIV AIDS untuk kelompok remaja
1.2 Bekerja sama dengan Kementerian Pemuda dan OR, Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Organisasi profesi kesehatan, dan mitra
lainnya
62
1.3 Memfasilitasi pemerintah daerah dalam melakukan kampanye ABAT ke
semua kabupaten/kota dengan dukungan dana APBD, pemanfaatan pajak
rokok, dan mitra
1.4 Jambore fasilitator ABAT (nasional) tahun 2015
1.5 Menerapkan pedoman pendidikan sebaya tentang Pencegahan HIV AIDS di
SMP dan SMA
1.6 Mengoptimalkan peran Ikatan Pelajar dan Mahasiswa dalam Kampanye
ABAT
1.7 Mendorong terbentuknya WPA dan Pokja pencegahan HIV dan IMS
masyarakat di daerah
1.8 Pemberdayaan masyarakat (?)
2. Meningkatnya jumlah masyarakat termasuk populasi kunci yang mengetahui
status HIV nya
2.1 Meningkatkan kapasitas komunitas untuk melaksanakan penjangkauan
dan pendampingan
2.2 Melaksanakan penjangkauan dan pendampingan ODHA
2.3 Meningkatkan partisipasi petugas penjangkau dan komunitas terlatih
sebagai tim bersama Puskesmas.
3. Melaksanakan kegiatan promosi pencegahan HIV/IMS terintegrasi dengan
promosi kesehatan lainnya (contoh: PHBS, KIA, KB, Kespro, TB, Gizi, Kesja OR,
PTM, dll)
4. Meningkatkan kapasitas petugas promkes di fasyankes untuk dapat
melaksanakan kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS 12.
4.1 Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di fasyankes, petugas
penjangkau, kader, guru dan pengelola program serta keluarga ODHA
dalam melaksanakan promosi pencegahan HIV dan IMS KIE dan IPP
4.2 Melaksanakan promosi pencegahan HIV dan IMS bagi pekerja sektor
formal dan informal melalui kemitraan pemerintah dan sektor swasta
4.3 Melaksanakan promosi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat
dalam bentuk kampanye dan melalui media massa untuk menghilangkan
stigma dan diskriminasi13;
4.4 Memanfaatkan media promosi kesehatan lainnya untuk promosi
pencegahan HIV dan IMS14.
12
Hal ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan model pendampingan yang dilakukan LSM dengan kader program
kesehatan lainnya seperti kader KB dan kader PMO TB
13
Pesan dalam kampanye massal salah satunya adalah dengan mengenalkan contoh dukungan keluarga dan
masyarakat kepada ODHA, menghilangkan mitos penularan HIV bahwa HIV bisa menular melalui jabat tangan, dll
14
Terintegrasi dengan kegiatan 1-5
63
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan donor darah, penyediaan darah, dan
pendistribusian darah. Saat ini terdapat 376 Unit-unit Transfusi Darah (UTD) yang
dikelola oleh pemerintah daerah (168) dan PMI (208) yang tersebar di 367 kabupaten
/kota di 34 provinsi dengan rincian seperti terpapar dalam tabel di bawah ini.
64
Gambar dibawah.
Pelayanan transfusi darah sangat rentan terhadap penyakit infeksi menular, salah
satu upaya untuk mengamankan darah untuk transfusi adalah dengan melakukan uji
saring darah donor terhadap infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi, seperti Sifilis,
Hepatitis B, HIV dan Hepatitis C serta malaria. Seperti diketahui berdasarkan data global
0,1% – 0,6% penderita HIV akibat transfusi darah, sedangkan data tahun 2013 didapatkan
hasil uji saring HIV reaktif di Indonesia sebesar 0,03% .
65
Gambar 11. Hasil Uji Saring IMLTD tahun 2005-2013
2.5*
2*
%*Reak4f*
1.5*
1*
0.5*
0*
2005* 2006* 2007* 2008* 2009* 2010* 2011* 2012* 2013*i
HepaGGs*B* 1.66* 1.78* 1.95* 2.13* 1.95* 1.8* 1.75* 1.64* 1.64*
HepaGGs*C* 0.33* 0.59* 0.58* 0.56* 0.59* 0.59* 0.55* 0.4* 0.41*
HIV* 0.08* 0.07* 0.05* 0.06* 0.04* 0.02* 0.03* 0.07* 0.22*
Sifils* 0.16* 0.37* 0.38* 0.45* 0.62* 0.66* 0.76* 0.84* 0.83*
Metode pemeriksaan uji saring yang digunakan oleh UTD pun beragam, antara lain
ada 250 UTD menggunakan metode rapid test, 113 UTD menggunakan metode Immuno
Assay dan 12 UTD selain menggunakan metode Immuno Assay juga metode Nucleic Acid
Amplification Technology Test (NAT).
Untuk meminimalkan penularan infeksi sebagai dampak buruk infeksi pada darah
donor dan produk darah lain, maka perlu dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas uji saring IMLTD yang dilaksanakan oleh UTD, dengan
meningkatkan jumlah UTD yang melaksanakan uji saring dengan metode
immunoassay (EIA/ChLIA)
2. Melaksanakan rujukan donor darah reaktif untuk diagnosa dan pengobatan
Baseline data awal per Juni 2014 bahwa terdapat 113 UTD yang telah menerapkan
melakukan uji saring IMLTD dengan Metode minimal Immunoassay (EIA/ChLIA).
Kemenkes mentargetkan sampai dengan 2019 seluruh darah donor harus melewati uji
saring IMLTD dengan metode minimal immunoassay (EIA/CLIA) di 200 UTD.
• Prioritas I: UTD dengan jumlah Donasi sekitar 60 / minggu (asumsi UTD dengan
Produksi darah minimal 2.700 pada tahun 2013 dengan proyeksi akan ada
penambahan donasi pada tahun 2014).
• Prioritas II: UTD pada propinsi atau regional tertentu yang belum ada Uji Saring
Immunoassay untuk rujukan dikab sekitarnya (Dibagi dalam prioritas II A dan II B
karena terkait dengan pembagian tahun pelaksanaan kegiatan)
• Prioritas III: UTD dengan produksi darah lebih dari 1.000 kantong/ tahun 2014
Tapi diperkirakan akan ada peningkatan dalam beberapa tahun atau Untuk
66
kepentingan pendidikan atau penelitian atau daerah dengan prevalensi IMLTD
yang tinggi
Tabel 16. Rencana Pengembangan UTD yang mampu melaksanakan uji saring
IMLTD dengan metode immunoassay tahun 2015-2019 di Indonesia
Jumlah layanan UTD Total
Tingkat
Baseline 2015 2016 2017 2018 2019 2015-2019
Provinsi 34 - - - - - 34
Khususnya untuk HIV, pencegahan penularan HIV melalui transfusi juga perlu
ditingkatkan dengan meningkatkan efektifitas memaksimalkan skrining darah donor dan
merujuk pendonor yang darahnya reaktif dari UTD ke Fasyankes rujukan untuk
tindaklanjut pemeriksaan dan pengobatan.
Luaran dari kegiatan pengamanan darah donor dan produk darah lain adalah:
1. Tersedianya pedoman pengamanan darah donor
2. Meningkatnya jumlah UTD yang melakukan ujisaring IMLTD sesuai standar
3. Terbentuknya jejaring rujukan pendonor yang reaktif HIV dari UTD ke layanan
HIV.
Kegiatan-kegiatan:
1. Sosialisasi dan advokasi tentang pengamanan darah donor
2. Peningkatan kapasitas petugas UTD dalam melakukan dan melaporkan hasil uji
saring serta merujuk pendonor yang reaktif HIV dari UTD ke layanan HIV
2.1 Pertemuan koordinasi antara UTD dan Fasyankes dengan Dinas Kesehatan
2.2 Membentuk jejaring UTD dengan layanan rujukan di setiap Kota/Kabupaten
2.3 Pertemuan nasional evaluasi pelaksanaan pengamanan darah donor
3. Supervisi fasilitatif tentang pelaksanaan pengamanan darah donor
67
melalui pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan serta
pemberdayaan masyarakat.
a. upaya kesehatan;
b. penelitian dan pengembangan kesehatan;
c. pembiayaan kesehatan;
d. sumber daya manusia kesehatan;
e. sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan;
f. manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan; dan
g. pemberdayaan masyarakat.
S.D.M*
Pembiayaan* Logis4k*
Layanan*
**Komprehensif*
Berkesinambungan!
Sistem* Pemberdayaan*
Informasi* Masyarakat*
68
4.2.2.1 Memperkuat Sistem Pembiayaan Program
Pada 1 Januari 2014, Indonesia memasuki era baru dalam pembangunan kesehatan
dengan mulai diberlakukannya Sistem JKN yang memberikan jaminan dan perlindungan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengintegrasian pembiayaan penanggulangan HIV dan
AIDS ke dalam JKN menjadi solusi alternatif dalam jaminan pembiayaan layanan HIV bagi
ODHA. Hambatan dan tantangan mulai dari sosialisasi, kepersertaan serta beberapa
aturan pelaksanaan masih dalam pembenahan dengan melibatkan semua stakeholders,
termasuk penerima manfaat atau ODHA, untuk menjamin ketersediaan dan akses
pembiayaan ke depan.
69
Luaran dari kegiatan pengembangan dan penguatan sistem pembiayaan adalah:
1. Terpenuhinya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan
barang publik (public good) dalam rancangan APBN maupun APBD.
2. Seluruh populasi kunci, ODHA dan keluarganya menjadi peserta JKN mandiri,
keluarga, Pekerja Penerima Upay (PPU) atau Tenaga Kerja
3. Seluruh populasi kunci dan ODHA dari keluarga Peserta Keluarga Harapan
(PKH) menjadi peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI)
4. Terpenuhinya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan
barang publik (public good) dalam rancangan APBN maupun APBD.
5. Terpenuhinya pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan bagi ODHA dan
populasi kunci yang mampu dengan menjadi peserta JKN Mandiri dan bagi
yang tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah dengan menjadi
peserta JKN PBI (Penerima Bantuan Iuran)
6. Meningkatnya pemahaman para petugas penjangkau, pendamping, populasi
kunci dan ODHA tentang prosedur pemanfaatan JKN yang benar.
7. Berhasilnya advokasi sehingga disetujuinya perubahan pasal-pasal, ayat-ayat
pada berbagai aturan yang mendiskriminasi populasi kunci dan ODHA untuk
mengakses layanan JKN
8. Terintegrasinya layanan HIV-AIDS dan IMS kedalam skema JKN, baik di FKTP
maupun di FKR
9. Dukungan pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan terkait HIV (KTHIV,
Pemeriksaan laboratorium IMS di Fasyankes)
Kegiatan-kegiatan:
1. Pertemuan konsultasi dan koordinasi dengan BPJS
2. Peningkatan kapasitas petugas kesehatan, LSM dan kader masyarakat melalui
edukasi manfaat JKN dalam pengendalian HIV dan AIDS,
3. Penyebaran informasi kepersertaan dan pemanfaatan JKN yang benar
terintegrasi dengan program lain di tingkat Fasyankes (dalam kegiatan
sosialisasi program, kegiatan support group ODHA dan keluarganya, dll),
4. Monitoring pemanfaatan JKN oleh populasi kunci, ODHA dan keluarganya.
5. Advokasi kepada manajemen tempat kerja untuk mendorong kepesertaan JKN
bagi Pekerja Penerima Upah (PPU) atau Tenaga Kerja guna pemanfaatan JKN
dalam mendukung pembiayaan kesehatan bagi ODHA pekerja
6. Advokasi pemerintah daerah dalam dukungan pelaksanaan KTHIV dan
pemeriksaan laboratorium IMS di Fasyankes
70
kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, regulasi,
sinkronisasi, dan harmonisasi berbagai subsistem SKN agar efektif, efisien, dan
transparan dalam penyelenggaraan SKN tersebut.
71
5. Melaksanakan kajian kebutuhan program terhadap peraturan peraturan
pendukung dan memfasilitasi penyusunan peraturan yang dibutuhkan untuk
pengembangan dan peningkatan pengendalian HIV-AIDS dan IMS
6. Melakukan review Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian HIV- AIDS
dan IMS dan menyusun edisi update Buku Pedoman Nasional Program
Pengendalian HIV- AIDS dan IMS
7. Melakukan kajian, pengembangan atau pemutakhiran pedoman, kebijakan dan
tatalaksana terkait HIV-AIDS dan IMS (TKHIV, PDP, IMS, PPIA, TB-HIV,
Laboratorium, PDBN, Kewaspadaan Standar, surveilans) (25 NSPK)*
a. Pemutakhiran pedoman program
b. Revisi Kebijakan terkait HIV-AIDS dan IMS
c. Pemutakhiran pedoman tatalaksana/teknis terkait HIV-AIDS dan IMS
8. Menyusun Pedoman Supervisi program dan Pedoman Bimbingan Teknis
Tatalaksana Klinis
9. Melaksanakan supervisi dan bimbingan tata kelola program serta bimbingan
teknis tata laksana klinis
a. Dari Nasional ke Provinsi
b. Dari Provinsi ke Kab Kota
10. Melaksanakan peningkatan tatakelola upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS
dengan strategi LKB di berbagai tingkatan melalui koordinasi dan konsultasi
rutin lintas sector dan komunitas
a. Pembentukan LKB di kab/kota
b. Pertemuan Koordinasi LKB di kab/kota setiap bulan
c. 2Pertemuan koordinasi di Puskesmas dan RS dengan Komunitas, kader,
LSM
11. Melakukan kajian kebutuhan riset operasional untuk pengembangan dan
peningkatan program (Research need assessment)
12. Advokasi dan sosialisasi peraturan perundangan tentang layanan HIV di
Fasyankes kepada semua pemangku kepentingan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan merupakan salah satu pilar
utama sistem kesehatan, yang sekaligus juga merupakan sub-sistem dari Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) yang ditetapkan pemerintah dengan Peraturan Presiden no. 72
tahun 2012. Sumber daya manusia kesehatan diperlukan dalam jenis dan jumlah yang
mencukupi dan kualitasnya memenuhi standar, serta terdistribusi secara adil dan merata,
sesuai kebutuhan pembangunan kesehatan. SDM kesehatan merupakan pelaksana upaya
kesehatan, dengan dukungan sub-sistem kesehatan lain yang meliputi pendanaan, sistem
informasi, logistik, dan dukungan manajemen organisasi yang dipayungi oleh kebijakan
dan aspek hukum yang berlaku
72
Program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS sebagai salah satu bagian dari
upaya kesehatan prioritas, pada pengembangannya memerlukan sumber daya manusia
(SDM) kesehatan dalam jumlah, jenis dan kualitas yang mencukupi, serta terdistribusi
secara adil dan merata, sesuai standar yang ditetapkan. SDM yang berkualitas diperlukan
untuk mengelola program mulai dari Pusat sampai ke kabupaten/kota dan untuk
memberikan layanan di fasyankes. Kebutuhan tenaga akan di identifikasi, mengacu pada
rencana pengembangan program dan desentralisasi layanan dengan memperhatikan
prioritas area dan tingkat epidemi HIV.
Dalam menerapkan kerangka kerja LKB untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS,
Kementerian Kesehatan memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memfasilitasi
pendidikan dan pelatihan petugas meliputi aspek manajemen, teknis dan administrasi
yang sifatnya Pelatihan untuk Pelatih = ToT (Traing of the Trainers) untuk mendorong dan
menyiapkan kemampuan petugas dan komunitas terutama populasi berisiko.
Tabel 17. Data Pelatihan terkait Program Pengendalian HIV-AID dan IMS yang
pernah dilaksanakan di Pusat tahun 2014
Jenis Pelatihan Jumlah batch Pelatihan Jumlah Tenaga dilatih
TOT KT-HIV 5 129
TOT PDP 5 139
TOT PMTCT 2 65
TOT IMS 5 140
TOT MONEV 2 75
TOT Sentinel 2 49
TOT LKB 5 215
TOT IPP 6 163
TOT Laboratorium 2 60
SDM kesehatan sebagai pelaksana upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS, secara
garis besar terbagi dalam Program Management dan Layanan di Fasyankes, dengan tugas
73
dan fungsi yang berbeda. Petugas manajemen program secara garis besar menangani
perencanaan dan penganggaran program, logistic and supply chain management,
suveilans, pengembangan SDM, mengkoordinasikan jejaring kesehatan dan melaksanakan
supportive supervision. Petugas layanan di fasyankes secara garis besar, menangani
manajemen kasus/pasien dengan tugas utama mendeteksi kasus/menemukan penderita
dengan melakukan pemeriksaan dan tes serta memberikan PDP (Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan).
74
c. Menyusun rancangan pengembangan SDM pengelola program dan
layanan HIV-AIDS dan IMS perbaikan sistem pengelolaan logistik
program HIV-AIDS dan IMS
d. Melakukan review modul pelatihan manajemen program pengendalian
HIV -AIDS dan IMS dan melakukan revisi
2. Melakukan review modul pelatihan teknis tatalaksana HIV-AIDS dan IMS di
Faskes dan melakukan revisi modul yang meliputi: Modul Pelatihan Teknis 1)
TKHIV, 2) PDP, 3) IMS, 4) PPIA, 5) TB-HIV, 6) Laboratorium, 7) PDBN, 8)
Kewaspadaan Standar --> 18 Modul Pelatihan
3. Membentuk sistem pelatihan dan melatih Pelatih, Mentor dan Supervisor
untuk melaksanakan peningkatan kapasitas secara berjenjang
a. Membentuk Sistem Pelatihan Teknis
b. Melatih Pelatih (1. TKHIV; 2. PDP; 3. IMS; 4. PPIA; 5. TB-HIV; 6.
Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan Standar)(1. TKHIV; 2. PDP; 3.
IMS; 4. PPIA; 5. TB-HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan
Standar; 9. Tatakelola Logistik; termasuk 10. Home Based Care) di
Nasional untuk Provinsi
c. Melatih Mentor dan supervisor (1. TKHIV; 2. PDP; 3. IMS; 4. PPIA; 5. TB-
HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan Standar; 9. Tatakelola
Logistik; termasuk 10. Home Based Care) di Nasional utk 34 Prov
d. Melatih Pelaksana Layanan dan Pelaksana Program (1. TKHIV; 2. PDP; 3.
IMS; 4. PPIA; 5. TB-HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan
Standar; 9. Tatakelola Logistik; 10 Home Based Care) di Kab/ Kota
4. Meningkatkan kapasitas melalui supervisi berjenjang dan bimbingan di
lapangan serta kerja praktik/magang
a. Supervisi nasional ke Provinsi 10% prov / tahun
b. Supervisi semua Provinsi ke 5 Kab/ Kota/ th
c. Supervisi semua Kab Kota ke layanan ke 5 Layanan/ th
d. Magang petugas teknis 10 orang/kab/ tahun
5. Menyelenggarakan mentoring klinis tatalaksana HIV-AIDS dan IMS di setiap
Faskes
6. Mengembangkan kurikulum HIV DAN AIDS dan IMS di insitusi pendidikan
kesehatan bekerja sama dan berjejaring dengan institusi pendidikan kesehatan
dalam mempersiapkan calon-calon tenaga kesehatan (preservice training)
7. Advokasi dan kerjasama dengan asosiasi profesi
75
keputusan kesehatan dengan mempertimbangkan faktor desentralisasi, kecukupan data
termasuk data terpilih yang responsif gender, dan aspek kerahasiaan yang berlaku di
bidang kesehatan.
Selama kurun waktu 2015 – 2019 akan dilakukan penguatan dan peningkatan
sistem informasi strategis, monitoring dan evaluasi, sesuai dengan rencana
pengembangan dan peningkatan program pengendalian HIV-AIDS dan IMS.
Luaran dari kegiatan penguatan sistem informasi strategis dan monitoring dan
evaluasi adalah:
1. Terlaksananya kegiatan surveilans penyakit / infeksi HIV-AIDS dan IMS dan
surveiland perilaku
2. Terlaksananya monitoring dan evaluasi program pengendalian HIV-AIDS dan
IMS
3. Meningkatnya penggunaan informasi strategis sebagai dasarpenyusunan
kebijakan, perencanaan, penganggaran, pengalokasian sumber daya,
manajemen program dan penilaian kinerja serta akuntabilitas pelayanan
kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
4. Terintegrasinya sistem informasi HIV-IMS dengan Sistem Informasi Kesehatan
Nasional (SIKNAS) dan Sistem Informasi Daerah (SIKDA)
5. Tersedianya tenaga pengelola data dan sistem informasi yang kompeten
Kegiatan-kegiatan:
1. Sosialisasi pedoman nasional Surveilans HIV Generasi Kedua termasuk petunjuk
teknis dan modul pelatihan kepada pengelola program dan mitra terkait
1.1 Sosialisasi di tingkat provinsi
1.2 Sosialisasi di tingkat kab/ kota
2. Pemutakhiran pedoman dan modul pelatihan monitoring dan evaluasi sesuai
dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi
3. Peningkatan kapasitas petugas program pengendalian HIV/AIDS and IMS
tentang surveilans epidemiologi
3.1 Peningkatan kapasitas petugas program pengendalian HIV/AIDS and IMS
tentang surveilans epidemiologi di tingkat Nasional dan provinsi dengan
berkoordinasi dengan mitra terkait
76
3.2 Peningkatan kapasitas petugas program pengendalian HIV/AIDS and IMS
tentang surveilans epidemiologi yang diselenggarakan oleh provinsi untuk
petugas Kab/ kota
4. Pelaksanaan pemetaan populasi kunci, sosial, dan sumber daya untuk intervensi
program HIV di setiap Kab/ Kota
5. Pelaksanaan surveilans sentinel HIV dan Sifilis pada populasi kunci, ibu hamil,
WBP dan pasien IMS laki-laki
6. Pelaksanaan surveilans terpadu biologis dan perilaku pada populasi kunci dan
populasi umum di area terpilih
6.1 STBP di populasi umum (Papua)
6.2 STBP di populasi kunci dan sasaran
7. Pelaksanaan perhitungan estimasi jumlah populasi kunci dan proyeksi epidemi
HIV/AIDS
8. Pelaksanaan surveilans resistensi obat ARV15
8.1 Pelaksanaan pemantauan indikator kewaspadaan dini resistensi obat ARV
yang terintegrasi dengan monev ART (EWI)
8.2 Pelaksanaan surveilans resistensi obat sebelum terapi ARV selama waktu
tertentu (PDR)
8.3 Pelaksanaan surveilans resistensi obat setelah terapi ARV selama waktu
9. Pelaksanaan monitoring hasil pengobatan ARV (kohort)
10. Pengkajian data program sebagai berikut: estimasi jumlah populasi kunci dan
proyeksi epidemi HIV/AIDS, surveilans sentinel HIV, surveilans terpadu biologis
dan perilaku, cakupan dan kualitas pelaksanaan program
11. Diseminasi hasil analisis kajian program kepada pengambil kebijakan dan
pemangku kepentingan lainnya. Dilaksanakan secara rutin dan periodik
12. Melaksanakan kajian operasional terkait pengendalian HIV/AIDS dan MS
13. Perbaikan fitur sistem informasi dan pemanfaatan data oleh pelaku program di
daerah:
14. Sosialisasi penggunaan aplikasi SIHA (sistim informasi HIV DAN AIDS dan IMS)
kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, fasyankes dan mitra
terkait dalam kegiatan pengendalian HIV - AIDS dan IMS sebagai perangkat
standar dalam pencatatan dan pelaporan nasional.
15
Sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO) tahun 2014 tentang strategi monitoring HIVDR, Indonesia
perlu memperbaharui monitoring resistensi obat HIV yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu:
1. Monitoring indikator kewaspadaan dini (Early Warning Indicators/EWIs monitoring) yang bertujuan untuk melihat
indikator kewaspadaan dini yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya resistensi obat ARV di setiap
tempat pelayanan ARV. Kegiatan EWIs dilakukan dengan mengukur empat indikator yang dilihat dari pencatatan
dan pelaporan yang ada di rumah sakit. Survei ini menggunakan data rutin, sehingga pencatatan dan pelaporan di
unit pelayanan kesehatan harus dipastikan berjalan dengan baik.
2. Surveilans resistensi obat ARV pada saat inisiasi terapi ARV , termasuk restart (Surveillance of Pretreatment HIV
DR/PDR). Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan estimasi prevalensi HIVDR diantara semua yang inisiasi ART
secara nasional dan hasil survei dapat dibagi menjadi yang terpajan dan tidak terpajan obat HIV.
3. Surveilans resistensi obat ARV yang didapatkan setelah terapi ARV dalam waktu tertentu (Surveillance of Acquired
HIVDR/ADR). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menghitung estimasi prevalensi supresi viral load dan
resistensi obat HIV pada orang yang menerima ART pada 12 bulan (± 3 bulan) dan ≥48 bulan secara nasional.
Pelaksanaan ADR pada orang dewasa dan anak dilakukan terpisah.
77
14.1 Penguatan dan perluasan penggunaan aplikasi SIHA keseluruh Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, fasyankes dan mitra terkait
pemberi layanan HIV DAN AIDS dan IMS.
14.2 Peningkatan dukungan operasional fasilitas Sistem informasi (perangkat
keras, perangkat lunak, dan internet) serta pemeliharaan aplikasi SIHA
14.3 Konsultasi dan koordinasi dengan Pusdatin dan unit Data dan Informasi
(Datin) di daerah
14.4 Peningkatan kapasitas petugas data dan informasi di tingkat Kabupaten
15. Melakanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program disemua
tingkatan dan melakukan identifikasi kebutuhan peningkatan dan penyesuaian
program
15.1 Melakukan pemantauan dan analisis data hasil kegiatan dan cakupan
program melalui laporan rutin maupun hasil supervisi.
15.2 Mengirimkan umpan balik hasil analisis data, dari pusat ke Dinas
Kesehatan Provinsi, dan seterusnya secara berjenjang, Dinas Kesehatn
Provinsi dan kabupaten/kota melakukan hal yang sama
16. Melaksanakan pertemuan monitoring dan evaluasi kemajuan program secara
berjenjang, tingkat nasional minimal setahun sekali, di provinsi dan
kabupaten/kota minimal satu kali setiap semester
16.1 Pertemuan MONEV Provinsi di Nasional
16.2 Pertemuan MONEV Kab Kota di Provinsi
17. Mengembangkan standar agenda pertemuan dan tools yang dibutuhkan
Untuk menjamin ketersediaan logistik program HIV-AIDS dan IMS yang terdiri dari
obat ARV dan IMS serta komoditas lainnya yakni alat dan bahan terkait diagnostik dan
penunjang lainnya yang aman, bermutu, berkhasiat serta terjangkau, perlu dibangun satu
sistem manajemen logistik yang kuat dan baik. Pasokan tak terputus obat antiretroviral
(ARV) untuk pengobatan HIV-AIDS adalah prasyarat utama dan sekaligus tantangan besar
bagi terlaksananya program HIV-AIDS.
Sistem tata kelola logistik ini merupakan salah satu pilar utama dari Sistem
Kesehatan Nasional. Sistem ini menggunakan pendekatan siklus lima fungsi manajemen
logistik yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan
penggunaan, dengan dukungan sistem kesehatan lain yang meliputi organisasi,
78
pendanaan, sistem informasi, sumber daya manusia, dan jaga mutu. Rangkaian antara
siklus dan dukungan manajemen ini dipayungi oleh Kebijakan dan Aspek Hukum yang
berlaku.
Perencanaan*
Penggunaan* Pengadaan*
DUKUNGAN*
MANJEMEN:*
DUKUNGAN*MANJEMEN:*
Organisasi*
Organisasi*
SDM* SDM*
Pembiayaan*
Pembiayaan*
Sistem*
Sistem* Informasi*
Informasi*
Jaga*Mutu*
Jaga*Mutu*
Distribusi* Penyimpanan*
KEBIJAKAN*DAN*PERATURAN*
Untuk memastikan ketersediaan logistik program dalam jumlah dan jenis yang
cukup, telah terbit Surat Edaran Direktur Jenderal PP & PL no. HK.02.03/D/III.2/823/2013
tentang alokasi pembiayaan logistik program HIV-AIDS dan IMS (lihat table xx) yang
mengatur pembagian tanggungjawab pembiayaan obat, alat dan bahan terkait diagnostik
dan penunjang lainnya,
Sampai dengan akir tahun 2014, meskipun belum terpenuhi seluruhnya proporsi
budget sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran tersebut, tetapi sudah cukup
banyak provinsi dan kabupaten/kota yang telah mendapatkan alokasi anggaran untuk
memenuhi kebutuhan logistik tersebut.
Jenis Obat dan Komoditas Pengadaan oleh Pusat Pengadaan oleh Daerah
lainnya (% dari total kebutuhan) (% dari total kebutuhan)
Reagen tes HIV 45 55
Reagen Sifilis 50 50
Reagen Pewarnaan Gram - 100
Reagen CD4 45 55
Reagen VL 45 55
Obat ARV 100 -
Obat IO 40 60
Obat IMS 40 60
Metadon 100 -
79
(Sumber: Surat Edaran Direktur Jenderal PP & PL no. HK.02.03/D/III.2/823/2013)
Kegiatan-kegiatan:
1. Penyusunan pedoman sistem pengelolaan logistik program HIV-AIDS dan IMS
yang menggunakan pendekatan siklus lima fungsi manajemen logistik dan
mengacu pada kebijakan one gate policy.
80
a. Asesmen situasi pengelolaan logistik termasuk perencanaan,
pengadaan, penyimpanan, distribusi, penggunaan di tingkat pusat,
propinsi, kabupaten/kota dan layanan. (detail kegiatan)
b. Pertemuan analisa hasil assessment dan pengembangan buku
pedoman pengelolaan logistik program HIV-AIDS dan IMS
c. Melakukan kajian implementasi pengelolaan logistik program HIV-AIDS
mengacu pada kebijakan one gate policy
d. Evaluasi hasil kajian dan perbaikan sistem pengelolaan logistik program
HIV-AIDS dan IMS
e. Sosialisasi sistem pengelolaan logistik program HIV-AIDS dan IMS yang
mengacu pada kebijakan one gate policy pada Dinas Kesehatan
Propinsi dan Kabupaten/Kota
2. Memperluas desentralisasi logistik ke seluruh provinsi, kabupaten/kota dan
fasyankes sesuai dengan tugas dan fungsi masing masing
3. Membangun jaringan distribusi dan penyimpanan / penggudangan logistik
program yang memenuhi syarat dan standar yang ditetapkan.
4. Mengembangkan pelatihan sistem manajemen logistik, termasuk modul /
materi pelatihan dan manajemen pelatihan
5. Pengadaan dan pemeliharaan alat diagnostik seperti: alat hitung CD4 dan viral
load
a. Pengadaan dan pemeliharaan alat hitung CD4 dan viral load
b. Mesin viral Load
6. Pengadaan Reagen diagnostik
a. Pengadaan reagen CD4
b. Reagen tes viral load
c. Pengadaan tes kit HIV
d. Pengadaan reagen tes sifilis
7. Mengadakan, menyimpan dan mendistribusikan Obat ARV dan komoditas
lainnya sesuai dengan kebutuhan dan sistem yang telah dirancang
a. Obat ARV
b. Obat IMS
c. Obat Infeksi Oportunistik
d. Metadon
e. Pengadaan kotrimoksasol
f. Alat Suntik Steril
g. Kondom
8. Advokasi dan sosialisasi program pengendalian HIV-AIDS dan IMS kepada
industri farmasi dan alat kesehatan nasional
9. Memfasilitasi industri farmasi dan alat kesehatan nasional untuk mendapatkan
prakualifikasi untuk produk-produk terkait program pengendalian HIV-AIDS
dan IMS
81
10. Menguatkan sistem informasi rantai pasokan yang terintegrasi dalam sistem
pengelolaan logistik nasional
a. Menguatkan sistem informasi rantai pasokan yang terintegrasi dalam
sistem pengelolaan logistik nasional di tingkat Nasional
b. Menguatkan sistem informasi rantai pasokan yang terintegrasi dalam
sistem pengelolaan logistik nasional di tingkat Provinsi
c. Menguatkan sistem informasi rantai pasokan yang terintegrasi dalam
sistem pengelolaan logistik nasional di tingkat Kab/ Kota
d. Menguatkan sistem informasi rantai pasokan yang terintegrasi dalam
sistem pengelolaan logistik nasional di tingkat Faskes
11. Monitoring dan evaluasi ketersediaan obat dan alat kesehatan yang aman,
bermutu, berkhasiat dan terjangkau serta bekerja sama dengan Badan POM
untuk pelaksanaan farmakovigilans dan uji kualitas obat yang beredar di
pasaran.
12. Produksi, penyimpanan dan distribusi Bahan Cetak KIE
13. Produksi, penyimpanan dan distribusi Bahan Cetak Pedoman terkait program
Pengendalian HIV-IMS (28 macam buku Pedoman)
14. Produksi, penyimpanan dan distribusi Bahan Cetak Modul Pelatihan Teknis
terkait program Pengendalian HIV-IMS (18 Modul Pelatihan)
Sedikit berbeda dengan enam pilar Health system yang dicanangkan oleh WHO,
dimana pemberdayaan masyarakat bukan merupakan bagian dari Health system, maka di
Indonesia, pemberdayaan dan partisiapasi masyarakat merupakan bagian / sub-sistem
dari Sistem Kesehatan Nasional.
Koordinasi dan kemitraan serta partisipasi aktif komunitas populasi kunci dan
populasi sasaran dan masyarakat umum merupakan pilar dari layanan HIV-AIDS dan IMS
komprehensif berkesinambungan (LKB) yang menjadi strategi utama pengendalian HIV-
AIDS dan IMS sesuai dengan Permenkes No. 21 tahun 2013. Integrasi layanan HIV-AIDS
dan IMS ke dalam layanan dalam sistem kesehatan yang sudah ada serta pengembangan
jejaring kerja dengan program-program kesehatan lain akan meningkatkan efisiensi
pembiayaan.
82
perlu memanfaatkan peluang pembiayaan dari sumber pemerintah dan pemerintah
daerah, swasta, individu (filantrofis), dan program CSR serta meningkatkan partisipasi
komunitas.
Kegiatan-kegiatan:
1. Menggiatkan koordinasi melalui forum kemitraan lintas sektor di semua tingkat
pemerintahan – nasional, provinsi, kabupaten/kota- seperti Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, dll serta jajaran di bawahnya
1.1 Koordinasi di tingkat Nasional
1.2 Koordinasi di tingkat Provinsi
1.3 Koordinasi di tingkat Kab/ Kota setiap Triwulan
2. Pembentukan Satuan Kerja di tingkat nasional, atau Tim Kecil di tingkat Provinsi
dan Kota/Kabupaten, atau Forum Kemitraan [1]; (LKB)
3. Penguatan kementerian/lembaga yang telah melakukan MoU dalam Kampanye
HIV AIDS untuk kelompok remaja 2 x/th untuk @ 5 kementerian
4. Memperkuat kordinasi antara pemangku kepentingan untuk pelaksanaan
pengendalian HIV-IMS dan TB-HIV
5. Mengembangkan kerja sama dengan Kementerian Pemuda dan OR, Asosiasi
Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Organisasi profesi kesehatan, dan
mitra lainnya
6. Mengembangkan dan mendokumentasikan model partisipasi swasta[2] dalam
peningkatan layanan HIV yang terintegrasi layanan lain di Fasyankes;
7. Mengoptimalkan peran Ikatan Pelajar dan Mahasiswa dalam Kampanye ABAT
dengan sosialisasi di tingkat Kabupaten/ Kota (LKB)
8. Mengembangkan layanan kesehatan PPP (Public Private Partnership) dengan
membangun jejaring layanan antara fasyankes pemerintah dengan fasyankes
swasta
83
9. Membangun kerjasama dan koordinasi dengan Asosiasi Profesi, Asosiasi
Pengusaha, Perhimpunan Rumah sakit dan Fasilitas Pelayanan Primer
10. Memperkuat keterlibatan komunitas dan masyarakat dalam penyelenggaraan
layanan HIV di Fasyankes, kunjungan rumah, pendampingan minum obat,
penyuluhan gizi masyarakat, dll.
11. Mendorong terbentuknya WPA dan Pokja pencegahan HIV dan IMS masyarakat
di daerah Kab/ Kota pengembangan LKB
12. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan pengendalian HIV,
IMS dan TB-HIV seperti dalam hal pendampingan ODHA, penjangkauan dan
pendampingan populasi kunci, edukasi masyarakat di Kab/ Kota
13. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam advokasi untuk memperoleh
dukungan sumber daya lokal
Bab 5 Pembiayaan
Dalam menyusun anggaran dan menentukan sumber dana perlu
mempertimbangkan aturan perundangan yang berlaku transparansi dan akuntabilitas,
serta kemampuan keuangan setiap daerah.
Dalam hal menyusun dan memobilisasi sumber dana untuk program HIV DAN AIDS
beberapa prinsip harus disepakati sebagai berikut:
84
d) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS telah mengatur tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota
termasuk dalam hal pembiayaan penyelenggaraan berbagai upaya pengendalian
dan penanggulangan HIV dan AIDS.
e) Mampu mendorong dan memobilisasi sumberdaya lokal termasuk swasta,
masyarakat dan bantuan lainnnya. Anggaran yang disusun dapat terbukti (pre and
post-hoc evaluation) menstimulasi sumberdaya lokal sehingga program menjadi
sustain dan kelak menjadi mandiri.
f) Dalam merencanakan kebutuhan pendanaan, seharusnya menggunakan data yang
lengkap, akurat dan tepat waktu sehingga prinsip perencanaan berbasis data
dapat terpenuhi (evidence based programming and budgeting)
g) Kemampuan setiap perencana program HIV DAN AIDS harus terus dikembangkan
sehingga mampu secara dinamis memobilisasi setiap peluang pendanaan dari
berbagai sumber.
Dalam hal melaksanakan dan menyerap anggaran yang telah disepakati, beberapa
prinsip harus diterapkan, termasuk sebagai beikut:
a) Menerapkan tata kelola yang bersih dan efektif (clean and good governance)
untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan
b) Menerapkan prinsip audit kegiatan dan audit anggaran yang mampu mencegah
kebocoran (mitigatif) dan menekan kebocoran anggaran yang diprediksi akan
terjadi (adaptif) sehingga kegiatan dapat terlaksana secara efektif dan efisien
c) Transparansi anggaran dan kegiatan harus dapat dilaksanakan disetiap jenjang
sehingga memberi efek mendorong kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
85
b) Upaya minimal tersebut ditetapkan sebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bagi daerah yang tidak mampu, maka menjadi tanggung jawab pusat untuk
melakukan subsidi sesuai aturan, sehingga efektif dalam mencapai target sasaran
program, dan mampu mendorong kemandirian daerah pada akhirnya.
c) Perhitungan kapasitas fiskal daerah dan upaya subsidi tersebut menjadi kalkulasi
kapasitas fiskal nasional untuk mampu menjamin pelaksanaan Pemerintah
berkewajiban mendapatkan dukungan pendanaan termasuk dari sumber-sumber
global untuk digunakan secara efektif dan akuntabel.
Uraian target pelaksanaan kegiatan selama 5 tahun ke depan, kebutuhan anggran dan
sumber pendanaan dapat dilihat pada tabel-tabel per kegiatan dalam Bab 4.
86
Bab 6 Monitoring dan Evaluasi
6.1 Monitoring
6.2 Evaluasi
87
Penutup
Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV DAN AIDS Sektor Kesehatan Tahun 2015-
2019 disusun berdasarkan perkembangan masalah HIV DAN AIDS terkini di Indonesia.
Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV DAN AIDS Sektor Kesehatan Tahun 2015-2019 ini
dibuat dengan merujuk pada pedoman strategi global yang dikembangkan oleh WHO dan
peraturan pemerintah RI dengan memperhatikan prioritas nasional dalam pencapaian
MDG’s.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV DAN AIDS Sektor Kesehatan Tahun
2015-2019 ini memuat strategi dan kegiatan-kegiatan program, sehingga diharapkan
Rencana Aksi Nasional ini menjadi acuan dasar bagi pengelola program baik di Tingkat
Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam menyusun dan merencanakan kegiata-
kegiatan upaya pengendalian HIV DAN AIDS di wilayahnya masing-masing.
88
Daftar Pustaka
1. Australia Government AusAID. Impacts of HIV/AIDS 2005 – 2025 in Papua New
Guinea, Indonesia and East Timor: Final Report of Epidemiological Modelling
and Impact Study. AusAID, 2006.
2. Direktorat Bina Kesehatan Ibu Ditjen Bina Nutrisi dan KIA Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak (PPIA) Tahun 2013 – 2017. Jakarta, 2013.
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional TB – HIV Pengendalian
Tuberkulosis 2011 – 2014. Jakarta, 2011.
4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Stop TB Terobosan Menuju Akses Universal:
Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014. Jakarta, 2011.
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku. Jakarta,
2011.
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta, 2011.
7. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. “Laporan Perkembangan HIV DAN AIDS Triwulan
I Tahun 2013”. Jakarta, 2013.
8. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. “Laporan Perkembangan HIV DAN AIDS Triwulan
I Tahun 2012”. Jakarta, 2012.
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. “Laporan Perkembangan HIV DAN AIDS Triwulan
II Tahun 2012”. Jakarta, 2012.
10. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. “Laporan Perkembangan HIV DAN AIDS Triwulan
III Tahun 2012”. Jakarta, 2012.
11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. “Laporan Perkembangan HIV DAN AIDS Triwulan
IV Tahun 2012”. Jakarta, 2012.
12. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi
Program Pengendalian HIV dan AIDS. Jakarta, 2009.
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Pengendalian HIV dan AIDS
Sektor Kesehatan 2009 – 2014. Jakarta, 2009.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Road Map To Reduce HIV – AIDS related
morbidity and mortality and maximize the prevention benefits of scaling up
89
access to ARVs: Rapic Scalling – Up of HIV Testing and Treatment in High
Burden Districts 2013 – 2015. Jakarta, 2013.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Layanan
Komprehensif HIV – IMS Berkesinambungan. Jakarta, 2012.
16. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 451/MENKES/SK/XII/2012 tentang Rumah
Sakit Rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS.
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Review of the Health Sector Response to
HIV and AIDS in Indonesia 2011 Report. Jakarta, 2011.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku
Nasional Tahun 2007, 2011 dan Tahun 2009, 2013.
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku
Tanah Papua Tahun 2006, 2013.
21. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Kajian Paruh Waktu Strategi dan Rencana Aksi
Nasional HIV dan AIDS 2010-2014
22. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.
23. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman
Pelayanan konseling dan Testing HIV dan AIDS Secara Sukarela (Voluntary
Counseling and Testing).Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1190/MENKES/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) dan Obat Anti Retro Virat (ARV) untuk HIV/AIDS.
24. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 567 Tahun 2006 tentang Pengurangan
Dampak Buruk Penggunaan Napza.
25. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia. Kajian Satuan Biaya Implementasi Program Penanggulangan AIDS di
Indonesia. Jakarta, 2012.
26. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
27. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS.
28. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat.
29. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor
08/PER/MENKO/KESRA/I/2010 tentang Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010 – 2014.
30. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang SPM
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
31. Peraturan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 2 Tahun 2007
tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan
Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik.
90
32. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika
33. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.
34. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah.
35. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintahan Propinsi dan pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
36. Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular.
37. Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
38. Peraturan Presiden RI Nomor 76 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten Oleh
Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral.
39. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1994 Tentang
Komisi Penanggulangan AIDS.
40. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Nomor HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik
Program Pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS.
41. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Pengendalian HIV DAN AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
42. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor GK/MENKES/001/I/2013 tentang Layanan
Pencegahan Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Dari Ibu ke Anak
(PPIA)
43. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 451 tahun 2013 tentang Rumah Sakit
Rujukan HIV
44. The World Bank. The Global HIV Epidemics among People Who Inject Drugs.
Washington D. C., 2013.
45. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba.
46. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
47. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
48. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
49. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.
50. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
51. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
52. United Nations Programme on HIV/AIDS. Global Report: UNAIDS Report on The
Global AIDS Epidemic 2013. UNAIDS, 2013.
53. Location, Location, Connecting People Faster to HIV Services. UNAIDS, 2013.
54. Treatment 2015. UNAIDS, 2013.
91