Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI KOGNITIF : SESI 1

OLEH KELOMPOK 2

 Basori Putra
 Egi Diah Syafitri
 Eni Wahyuni
 Erin Saputra
 Erna Lestari
 Herda Dwijaya

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM


PRODI S1 KEPERAWATAN
T.A. 2019/2020
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Sasaran : Pasien lansia dengan penurunan kemampuan kognitif


Hari/Tanggal : , November 2019
Waktu : 30 menit
Tempat : BSLU mandalika care

A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia berkembang melalui tahapan dan proses di kehidupan mulai
dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia. Pada tahapan lansia, manusia
perlahan-lahan mengalami kemunduran secara normal dari segala aspek termasuk
penurunan daya ingat atau memori, gangguan bahasa, pemikiran, dan pertimbangan. Pada
penuaan yang normal, tubuh dan otak akan mengalami perlambatan meskipun kecerdasan
akan stabil, fisik akan menurun, memori mulai melemah dan memerlukan waktu yang
lebih lama dalam memproses informasi. Ketika memori mengalami perubahan akan
terjadi kesulitan dalam mengingat nama orang, tempat dan kejadian di masa lalu. Menurut
Alzheimer’s Association (2012), terdapat 10-20 % lansia yang berumur 65 tahun keatas
akan mengalami gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment (MCI).
Gangguan kognitif ringan jika tidak ditanggulangi dengan tepat akan mengakibatkan
terjadinya demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer atau kondisi neurologis
lainnya. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2014, sekitar 46 juta jiwa yang menderita
Alzheimer di dunia. Angka ini akan meningkat 4 kali pada tahun 2050 (Kementrian
Kesehatan, 2016). 5-10 % orang yang mengalami gangguan kognitif ringan memiliki 2
progestivitas untuk menjadi demensia (Alzheimer society, 2014). Sebelum terjadinya
demensia, dimulai dari penurunan fungsi kognitif yang menuju kearah gangguan fungsi
kognitif. Gangguan fungsi kognitif merupakan masalah yang dihadapi oleh lansia karena
keterbatasan dalam melakukan aktivitas yang kompleks, penurunan fungsi memori,
penurunan kemampuan berpikir seperti mengatur, merencanakan, pertimbangan,
pembelajaran atau pendapat. Lupa merupakan salah satu tanda terjadi penurunan dari
fungsi memori. Beberapa tanda terjadinya gangguan pada memori berupa lupa informasi
penting seperti janji dengan orang lain, percakapan atau kejadian yang baru terjadi. Selain
memori ada juga tanda-tanda yang lain yaitu lemah dalam kemampuan berpikir seperti
kesulitan dalam menemukan kata-kata, sulit mengatur atau merencanakan, kehilangan
kemampuan mengenali lingkungan, tidak mampu menyampaikan pendapat (Alzheimer
Society, 2014).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu tindakan keperawatan untuk klien
lansia yang mengalami gangguan kognitif. Terapi ini adalah terapi yang pelaksanaannya
merupakan tanggung jawab penuh dari seorang perawat. Terapi diberikan secara
berkelompok dan berkesinambungan, dalam hal ini khususnya Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) stimulasi kognitif.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) kognitif meliputi 5 sesi yaitu mengenal halusinasi,
mengontrol halusinasi dengan menghardik, mengontrol halusinasi dengan melakukan
kegiatan, mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap, dan mengontrol halusinasi dengan
patuh minum obat. Dimana Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) kognitif dilakukan setiap
dua kali seminggu yang dilakukan oleh perawat terlatih. Berdasarkan studi pendahuluan
yang dilakukan kasus lansia yang mengalami penurunan kognitif setiap tahun semakin
meningkat jumlahnya, sehingga perlu penanganan yang lebih baik melalui pendekatan
medis maupun dengan pemberian asuhan keperawatan salah satunya melakukan
implementasi keperawatan melalui terapi modalitas seperti melaksanakan Terapi Aktifitas
Kelompok (TAK).
Selama beberapa hari praktek di BSLU mandalika cukup banyak kami temukan
pasien lansia dengan tanda dan gejala penurunan kemampuan kognitif. Oleh karena itu
kami dari mahasiswa semester VII keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
(STIKES) Mataram mengadakan terapi aktivitas kelompok tentang stimulasi kognitif :
halusinasi sesi 1 agar pasien dapat mengenal halusinasi.

B. Tinjaun Pustaka
1. Perubahan Status Fungsional Dan Kognitif Pada Lansia
Proses penuaan menyebabkan kemunduran kemampuan otak. Diantara
kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan
adalah: Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming)
dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori
(speed of information retrieval from memory). Intelegensia Dasar (fluid intelligence)
yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan
dalam komunikasi non verbal, pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan
dalam pemusatan perhatian dan konsentrasi.
Fungsi kognitif adalah kemampuan mental yang terdiri dari atensi,
kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan membuat
konsep dan intelegensi (Kaplan, 1997; American Psychology Assosiation, 2007).
Kemampuan kognitif berubah secara bermakna bersamaan dengan lajunya proses
penuaan, tetapi perubahan tersebut tidak seragam. Sekitar 50% dari seluruh populasi
lansia menunjukkan penurunan kognitif sedangkan sisanya tetap memiliki
kemampuan kognitif sama seperti usia muda. Penurunan kognitif tidak hanya terjadi
pada individu yang mengalami penyakit yang berpengaruh terhadap proses
penurunan kognitif tersebut, namun juga terjadi pada individu lansia yang sehat.
Pada beberapa individu, proses penurunan fungsi kognitif tersebut dapat berlanjut
sedemikian hingga terjadi gangguan kognitif atau demensia.
Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai oleh daya ingat
terganggu, disonentasi, inkoheren dan sukar bepikir logis. Gangguan kognitif erat kaitannya
dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan
otak.

Etiologi gangguan fungsional dan kognitif


Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan saraf pusat
(SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan pengiriman nutrisi
mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat menyebabkan adalah penyakit
infeksi sistematik, gangguan peredaran darah, keracunan zat (Beck, Rawlins dan Williams,
1984, hal 871). Banyak faktor lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan
kognitif, seperti kekurangan vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa fungsional.
Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia dapat berupa anemia
Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik Hipoksia. Semua Keadaan
ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak berkurang. Gangguan metabolisme sering
mengganggu fungsi mental, hipotiroidisme, hipoglikemia. Racun, virus dan virus menyerang
otak mengakibatkan gangguan fungsi otak, misalnya sifilis. Perubahan struktur otak akibat
trauma atau tumor juga mengubah fungsi otak. Stimulus yang kurang atau berlebihan dapat
mengganggu fungsi kognitif. Misalnya ruang ICU dengan cahaya, bunyi yang konstan
merangsang dapat mencetuskan disorientasi, delusi dan halusinasi, namun belum ada
penelitian yang tepat.

Akibat gangguan kognitif


➢ Menurunnya kemampuan konsentrasi terhadap stimulus (misalnya, pertanyaan harus
diulang).

➢ Proses pikir yang tidak tertata, misalnya tidak relevan atau inkoheren.

Minimal 2 dari yang berikut :


 Menurunkan tingkat kesadaran.

 Gangguan persepsi, Ilusi, halusinasi.

 Gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngatuk pada siang hari

 Meningkat atau Menurun aktivitas psikomotor.

 Disorientasi, tempat, waktu, orang.

 Gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru, misalnya nama beberapa
benda setelah lima menit.

Jenis gangguan kognitif


Pada gangguan kognitif, diagnosa medis yang sering dihadapi adalah :
a) Delirium

b) Demensia

c) Insomnia

Penilaian Status Fungsional dan Kognitif pada Lansia


Penentuan status fungsional menggunakan Indeks ADL’s Barthel, seyogyanya
mengikut sertakan keluarga, dilakukan beberapa kali untuk mengevaluasi kemajuan atau
kemunduran.

1) Indeks ADL Barthel


NO AKTIVITAS KEMAMPUAN SKOR

1 Berbaring → duduk Mandiri 3

Dibantu satu orang 2


Dibantu dua orang 1

Tak mampu 0

2 Berjalan Mandiri 3

Dibantu satu orang/walker 2

Dengan kursi roda 1

Tak mampu 0

3 Penggunaan Toilet ke/dari Mandiri 2


WC, melepas /
mengenakan celana, Perlu pertolongan(sebagian) 1
menyeka, menyiram
Tergantung orang lain 0

4 Membersihkan diri (lap Mandiri 1


muka, sisir rambut, sikat
gigi) Perlu pertolongan 0

5 Mengontrol BAB Kontinen teratur 2

Kadang-kadang inkontinen 1

inkontinen 0

6 Mengontrol BAK mandiri 2

Kadang-kadang inkontinen 1

Inkontinen / kateter 0

7 Mandi Mandiri 1

Tergantung orang lain 0

8 Berpakaian Mandiri 2

Sebagian dibantu 1

Tergantung orang lain 0


9 Makan Mandiri 2

Perlu pertolongan(sebagian) 1

Tergantung orang lain 0

10 Naik – turun tangga Mandiri 2

Perlu pertolongan 1

Tak mampu 0

SKOR TOTAL

A. Indeks IADL

Aktivitas Skor

Dapatkah menggunakan telepon? 1

Mampukah pergi ke suatu tempat? 1

Dapatkah berbelanja? 1

Dapatkah menyiapkan makanan? 1


Dapatkah melakukan pekerjaan rumah tangga? 1
Dapatkah melakukan pekerjaan tangan? 1

Dapatkah mencuci pakaian? 1


Dapatkah mengatur obat-obatan? 1

Dapatkah mengatur keuangan 1

1 = mandiri, 2 = butuh bantuan, 3 = ketergantungan (nilai maksimum = 27)


B. Penilaian EQ-5D

Pada penilaian ini, pasien disuruh untuk menandai pilihan mana yang cocok dengan
keadaannya saat ini. (Keterangan : * adalah jawaban yang dipilih oleh pasien)

Mobilitas
Saya tidak mempunyai masalah untuk berjalan
Saya ada masalah untuk berjalan*
Saya hanya mampu berbaring
Perawatan Diri Sendiri
Saya tidak mempunyai kesulitan dalam merawat diri sendiri *
Saya mengalami kesulitan untuk membasuh badan, mandi atau berpakaian
Saya tidak mampu membasuh badan, mandi atau berpakaian sendiri
Aktivitas Sehari-hari (misalnya pekerjaan rumah tangga, aktivitas keluarga,
bersantai)
Saya tidak mempunyai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari *
Saya mempunyai keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari
Saya tak mampu melaksanakan kegiatan sehari-hari
Rasa Nyeri / Tak Nyaman
Saya tidak mempunyai keluhan rasa nyeri atau rasa tak nyaman
Saya suka merasakan agak nyeri / agak kurang nyaman*
Saya menderita karena keluhan rasa nyeri atau tidak nyaman
Rasa Cemas / Depresi
Saya tidak merasa cemas / gelisah atau depresi (jiwa tertekan)*
Saya suka merasa agak cemas atau depresi
Saya merasa sangat cemas atau sangat depresi
Tingkat Kesehatan Bapak/Ibu dalam skala 0-100? 85

C. Penilaian WHO_UNESCAP

Pertanyaan : 1 2 3 4

Apakah Ibu/Bapak mengalami


kesulitan untuk melihat walaupun
menggunakan kacamata?

Apakah Ibu/Bapak mempunyai


kesulitan pendengaran walaupun
menggunakan alat bantu dengar?

Apakah Ibu/Bapak mengalami


kesulitan berjalan?

Ibu/Bapak mengalami kesulitan


merawat diri sendiri (contoh : mandi,
membasuh badan, berpakaian)

Apakah Ibu/Bapak mengalami


kesulitan dalam berkomunikasi?
(Keterangan: sulit dipahami ketika
bercakap-cakap dengan orang lain)
karena kondisi kesehatan Ibu/Bapak
(fisik,mental atau emosional

Catatan : 1 (tidak mengalami kesulitan), 2 (sedikit mengalami kesulitan), 3 (sangat


mengalami kesulitan), 4 (tak mampu sama sekali)

PEMERIKSAAN PSIKIATRIK (STATUS MENTAL DAN KOGNITIF)


Geriatri depresion Scale
1 Apakah anda merasa puas dengan kehidupan anda? Ya/TIDAK

2 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan YA/Tidak


minat atau kesengangan anda?

3 Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? YA/Tidak

4 Apakah and sering merasa bosan? YA/Tidak

5 Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap Ya/TIDAK


saat?

6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan YA/Tidak


terjadi pada anda?

7 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup Ya/TIDAK


anda?

8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya? YA/Tidak


9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada YA/Tidak
pergi ke luar dan mengerjakan sesuatu hal yang baru?

10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah YA/Tidak


dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan
orang?

11 Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini Ya/TIDAK


menyenangkan?

12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan YA/Tidak


anda saat ini?

13 Apakah anda merasa penuh semangat? Ya/TIDAK

14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada YA/Tidak


harapan?

15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik YA/Tidak


keadaannya dari anda?

Skor: 3
(Catatan : kata yang digarisbawahi adalah jawaban pasien)
-Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1
-Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
-Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi

2). The Mini Mental State Examination (MMSE)


Di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, psikogeriatris menggunakan the Mini
Mental State Examination (MMSE) sebagai instrumen untuk menilai kognitif pasien. Tes ini
meski paling sering digunakan, memiliki kelemahan pada waktu yang dibutuhkan untuk tes
tersebut. MMSE menggunakan instrumen penilaian 30 poin. Instrumen ini pertama
dikembangkan sebagai skrining kelainan kognitif untuk membedakan antara kelainan organik
dan non organik (misalnya schizophrenia). Pada saat ini, MMSE merupakan metode untuk
skrining dan monitoring perkembangan demensia dan delirium. MMSE berkorelasi baik
dengan skor tes skrining kognitif yang lain. Waktu yang dibutuhkan rata-rata 8 menit dengan
rentang 4-21 menit. Skor pada MMSE bisa bias karena pengaruh tingkat pendidikan,
perbedaan bahasa, dan hambatan budaya. Pasien dengan tingkat pendidikan lebih rendah
dapat keliru diklasifikasikan sebagai gila, dan pada pasien dengan tingkat pendidikan tinggi
bisa tidak terdeteksi. Skor MMSE umumnya menurun dengan bertambahnya usia. Beberapa
penulis menyarankan untuk menurunkan batas pada usia lanjut, yaitu <20 untuk indikasi
adanya kelainan. Meskipun rata-rata skor yang rendah pada usia lanjut dapat disebabkan
tingginya prevalensi demensia pada kelompok ini (Tangalos,1996; Parker,2004).
Skor 30 tidak selalu berarti fungsi kognitif normal dan skor nol bukan berarti tidak
ada kognisi secara absolut. Tes ini tidak punya kapasitas mencukupi untuk tes fungsi frontal/
eksekutif atau fungsi visuospasial (khususnya parietal kanan). Tugas segilima pada MMSE
memerintahkan pasien menirukan gambar dan tidak menilai kemampuan merencanakan.
Sebagai akibatnya tes ini mempunyai keterbatasan untuk mendeteksi demensia non
Alzheimer, seperti kelainan kognitif pasca stroke, dan demensia frontotemporal atau
subkortikal pada fase awal (Tangalos,1996).
Untuk mengurangi bias atau kelemahan MMSE, dikembangkan beberapa tes lain
seperti Standardized Mini-Mental State Examination (SMMSE) diperkenalkan sebagai upaya
menurunkan variasi skor inter rater (Parker,2004). The Abbreviated Mental Test (AMT),
Mini-Cog (dapat dikerjakan dalam 3 menit) dan Six-Item Screener (SIS) (mempunyai 6
pertanyaan) sehingga lebih memungkinkan penggunaan tes ini secara rutin pada pasien usia
lanjut di rumah sakit yang sibuk atau di UGD. Clock Drawing Test (CDT) mempunyai
keuntungan relatif terhindar dari bias karena faktor tingkat intelektual, bahasa, dan budaya.
The General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) digunakan untuk menguji
memori kejadian yang baru terjadi dan orientasi. Six-Item Cognitive Impairment Test (6CIT)
menggunakan beban skor yang berbeda pada masing-masing item (Holmes,1996;
Tangalos,1996; Swain,1999).

C. Terapi Aktivitas Kelompok


1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis
terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan
hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya untuk identitas
hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang maladaptive (Stuart
& Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan
(Kelliat, 2005)

2. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok


Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara
rinci sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
1) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan
cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
2) Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
3) Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan
prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak
karena merasa diri tidak berharga atau ditolak
4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi
kognitif dan afektif.
b. Tujuan Khusus
1) Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri
tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
2) Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh
seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada
waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan
dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari,
terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang
memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.

3. Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Akivitas Kelompok

Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997)
adalah:
a. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok
kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak
terkontrol, mudah bosan.
b. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok
antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu
gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa
kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok
c. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis
klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif
setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.

4. Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
a. Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam
kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu
oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya
tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi (Kelliat, 2005).
c. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat
direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
d. Proses Terapi Aktivitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada
terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam
psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya
dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang
tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari
suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena
prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok
dan mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan
kemudian mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada
anggota yang tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian
menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah
yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh
terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja,
bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan
menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara.
Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh
karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada
indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga
terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang
banyak bicara. Dapat juga co-terapis membantu mengatasi kemacetan. Kalau terjadi
kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi
aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan kepada semua
anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari anggota
diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh.
Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif
atau katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu
dalam suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-
individu. Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat
pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin
dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk
pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).
e. Perkembangan Kelompok
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan
kembang. Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat fase (Kelliat,
2005) yaitu :
1) Fase prakelompok.
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah
tujuan dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku
pemimpin dan pelaksana kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut.
Untuk itu perlu disusun panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.
2) Fase awal kelompok.
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru. Dan peran
yang baru. Fase ini terbagi dalam tiga fase (Kelliat, 2005) yaitu:
3) Tahap orientasi.
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan.
Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan
kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasian, waktu pertemuan, struktur, kejujuran
dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang berbicara pada satu waktu,
norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara anggota kelompok diupayakan
terbentuk pada fase orientasi.
4) Tahap konflik.
Peran dependen dan independent terjadi pada tahap ini, sebagian ingin
pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahkan,
atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Adapula anggota yang
netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik peran yang terjadi. Perasaan
bermusuhan yang ditampilkan, baik antara kelompok maupun anggota dengan
pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan
perasaan, baik positif maupun negative dan membantu kelompok mengenali
penyebab konflik. Serta mencegah perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh
anggota tertentu sebagai penyebab konflik.
5) Tahap kohesif.
Setalah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu
sama lain. Perasaan positif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini,
anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim
satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota
kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap akhir fase ini, tiap
anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan, mereka belajar
persamaan dan perbedaan, anggota kelompok akan membantu pencapaian tujuan
yang menjadi suatui realitas.
6) Fase kerja kelompok.
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun mereka bekerja keras,
tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi
stabil dan realistis
Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan
tetap menjaga kelompok kearah pencapaian tujuan, serta mengurangi dampak dari
factor apa saja yang dapat mengurangi produktivitas kelompok. Selain itu
pemimpin juga bertindak sebagai konsultan. Beberapa problem yang mungkin
muncul adalah subgroup, conflict, self-desclosure,dan resistance. Beberapa anggota
kelompok menjadi sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian pemimpin, tidak
ada lagi kerahasian karena keterbukaan sangat tinggi dan keengganan berubah
perlu didefinisikan pemimpin kelompok agar segera melakukan strukturisasi.
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan
yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian. Pada fase ini kelompok
segera masuk ke fase berikutnya yaitu perpisahan.
7) Fase terminasi
Terminasi dapat sementara atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karena
anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun
individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan
individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi
atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian
tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman
kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.

5. Pengorganisasian
a. Leader
1) Menyusun rencana terapi aktivitas kelompok
2) Mengarahkan kelompok sesuai tujuan
3) Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok dengan tertib
4) Memotivasi anggota untuk aktif selama kegiatan terapi aktivitas kelompok
5) Menetralisir masalah yang mungkn timbul pada saat pelaksanaan
b. Co-Leader
1) Membantu leader mengoraganisasikan kelompok
2) Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader atau sebaliknya
3) Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang
c. Fasilitator
1) Memfasilitasi media dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok
2) Mengatur jalannya aktivitas kelompok
3) Membantu kelompok berperan aktif
4) Berperan sebagai role model bagi klien selama proses aktivitas kelompok
5) Mengantisipasi masalah yang akan terjadi
d. Observer
1) Mengobservasi respon klien
2) Mencatat perilaku klien selama dinamika kelompok
3) Mencatat semua proses yang terjadi dan melaporkannya

6. Pelaksanaan
TAK STIMULASI PERSAPSI : HALUSINASI
Sesi 1: Mengenal Halusinasi
Tujuan
1. Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi
halusinasi.
2. Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi.
3. Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi.

Setting
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkungan
2. Ruangan nyaman dan tenang

Alat
1. Spidol dan papan tulis/whiteboard/flipchart.
2. Jadwal kegiatan klien

Metode
1. Diskusi dan Tanya jawab
2. Bermain peran / stimulasi

Langkah kegiatan :
1. Persiapan
a. Memilih klien sesuai dengan indikasi,yaitu klien yang mengalami
perubahan sensori persepsi: halusinasi
b. Membuat kontrak dengan klien.
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Klien dan terapis pakai papan nama
3) Menayakan nama panggilan semua kien ( beri nama papan nama).
b. Evaluasi / validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak
1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan,yaitu
mengenal suara-suara / bayangan yang didengar / dilihat. Jika klien
suda terbiasa menggunakan istilah halusinasi ,gunakan
kata”halusinasi”.
2) Terapis menjelaskan aturan main berikutnya.
 Jika klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin
kepada terapis.
 Lama kegiatan 45 menit.
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan,yaitu mengenal suara-
suara yang didengar atau bayangan yanh dilihat ( halusinasi) tentang
isinya,waktu terjadinya,situasi terjadinya,dan perasaan klien pada saat
terjadi.
b. Terapis meminta klien menceritakan isi halusunasi, kapan terjadiya,situasi
yang membuat terjadi,dan perasaan klien saat terjadi halusinasi.mulai dari
klien yang ada di sebalah kanan terapis secara berurutan berlawanan jarum
jam sampai semua klien mendapat giliran. Hasilnya tulis di whiteboard.
c. Beri pujian pada klien yang melakukan dengan baik.
d. Simpulkan isi, waktu terjadi situasi terjadi,dan perasaan klien dari suara
yang biasa di dengar.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindakan lanjutan
Terapis meminta klien untuk melaporkan isia, waktu, situasi, dan
perasaan jika terjadi halusinasi.
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi.
2) Menyepakati waktu dan tempat.

Evaluasi dan dokumentasi


1. Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang yang di evaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan
tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi halusinasi Sesi 1, kemampuan
yang diharapkan adalah mengenal isi halusinasi, waktu terjadiya halusinasi.

Sesi 1 : TAK
Stimulasi persepsi : Halusinasi
Kemampuan mengenal halusinasi
Aspek yang dinilai
Menyebut waktu Menyebut
Nama pasien Menyebut isi Menyebut situasi
terjadi perasaan saat
halusinasi terjadi halusinasi
halusinasi halusinasi
Petunjuk :
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan mengenal halusinasi: isi, waktu, situasi,
dan perasaan beri tanda ( ) jika pasien mampu dan tanda (-) jika pasien tidak mampu

Dokumentasi :
Dokumentasikan kemampuan yang di miliki pasien saat TAK pada cacatan proses
keperawatan tiap pasien. Contoh : Klien mengikuti TAK stimulasi persepsi halusnasi sesi
1. Klien mampu menyebutkan isi halusinasi (menyuruh memukul), waktu (pukul 9
malam), situasi (jika sedamh semdiri), perasaan (kesal dan geram). Anjurkan klien
mengidentifkasi halusinasi yang muncul dan melaporkan kepada perawat.

A. Pengorganisasian :
1. Leader : Jahmat
2. Co leader : Erin Saputra
3. Fasilitator : Haerunnisa
- Eni Wahyuni
- Hana Marista
4. Observer : Hikma Ilmul Yaqin

B. Bahan dan Alat


1. Karpet
2. Bola
3. Snack
C. Media
1. Sound sistem
2. Handphone (musik)
D. Settinggan
Denah Tempat Duduk

Keteragan

: leader

: co leader

: Fasilitator

: Pasien

: observer
Daftar Pustaka :

1. http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html
2. Hasil riskesdes tahun 2018, kemenkes.
3. Tokalese,Jein Fani, Nasrul, Aminuddin.2016; PENGARUH TERAPI AKTIVITAS
KELOMPOK (TAK) HALUSINASI TERHADAP KEMAJUAN PERAWATAN PADA
PASIEN HALUSINASI DI RUANGAN MANGGIS RUMAH SAKIT DAERAH MADANI
PALU.

Anda mungkin juga menyukai