PRODUK METABOLIT
SEKUNDER
• Metabolit sekunder memegang peranan yang
penting (Wink,1987) :
1. Sistem pertahanan terhadap virus, bakteri,
dan fungi.
2. Sistem pertahanan terhadap herbivora,
molusca,antrophoda, dan vertebrata.
3. Sistem pertahanan terhadap tanaman lain
melalui allelopati.
4. Atractan bagi binatang-binatang yang
membantu polinisasi.
5. Penyimpanan nitrogen.
6. Sistem translokasi nitrogen.
7. Proteksi terhadap sinar UV.
• Metabolit sekunder ini telah banyak digunakan
dalam industri farmasi, kosmetik, aditif makanan,
pemanis, pewarna, dan antimikroba (pestisida).
• Golongan persenyawaan yang telah diteliti
meliputi : alkaloid, flavonoid, phenol, saponine,
terpene, asam amino non protein, dan quinon.
• Diperkirakan hanya sekitar 15% dari spesies
tumbuhan yang sudah diisolasi persenyawaan-
persenyawaannya. Dari setiap spesies hanya
1-2 persenyawaan yang diketahui dengan pasti
(Balandren et.al,1985)
• Selain bernilai ekonomis karena digunakan di
industri juga berguna untuk pemuliaan tanaman.
• Dalam usaha pemuliaan tanaman sampai saat
ini ditujukan pada produk primer yang
maksimum dan berkualitas optimal.
• Resistensi terhadap hama dan penyakit juga
sangat diperhatikan, namun belum sampai pada
tingkat memperhatikan metabolit sekunder yang
efektif.
• Bahkan seringkali metabolit sekunder
dihilangkan untuk meningkatkan kualitas.
Contoh klasik adalah dalam kasus Lupinus
albus dan Lupinus mutabilis.
• Biji dari Lupinus mengandung ± 40% protein dan
2% lemak.
• Dengan kandungan protein dan lemak seperti itu
nilai nutrisinya sebanding dengan kedelai.
Tetapi biji tersebut mengandung alkaloid
quinolizidin sampai 5%. Alkaloid ini
menyebabkan rasa pahit dan beracun untuk
vertebrata.
• Para pemulia tanaman mencari yang kandungan
alkaloidnya rendah. Bahkan yang sama sekali
tidak mengandung alkaloid diperoleh “Sweet
Lupin” yang sekarang ditanam di perancis,
Polandia, Rusia, Amerika Selatan, dan Afrika
Selatan.
• Australia (Wink,1988)→ perlu aplikasi pestisida
yang intensif dalam penanamannya.
• Alkaloid quinolizidin disintesis pada bagian atas
tanaman yang berwarna hijau→kloroplas tempat
pembentukannya.
• Alkaloid yang terbentuk kemudian
ditranslokasikan ke sel-sel epidermal melalui
phloem ke seluruh bagian tanaman.
• Bagian tanaman yang paling tinggi kandungan
alkaloid quinolizidin adalah jaringan epidermal
dan organ reproduksi : bunga dan biji.
Konsentrasi alkaloid ini 1 mμ - 200 mμ dalam
biji (Wink,1988).
• Alkaloid ini dapat menghambat multipikasi virus
tanaman, bakteri dan fungi seperti mildew.
Quinolizidin juga beracun bagi mollusca, insect
dan mamalia, serta menghambat
perkecambahan tanaman.
• Kentang mengandung alkaloid steroid solanin
yang beracun. Kandungan alkaloid ini dalam
umbi dapat dikurangi sampai taraf yang tidak
berbahaya. Sedang dalam bagian tanaman
yang lain tetap mengandung alkaloid sehingga
dapat memiliki sifat resisten terhadap serangan
hama/penyakit.
SISTEM KULTUR IN VITO dalam
PRODUKSI METABOLIT SEKUNDER
• Metabolit sekunder tidak selalu diperoleh dari
tanaman yang sudah dibudidayakan, terkadang
harus diambil dari tanaman liar di tepi jurang
atau di hutan.
• Hambatan untuk memperoleh metabolit
sekunder adalah umur panen jangka panjang.
Contoh : Panax gingseng → 6 thn
Cinchoma → 10 thn
Coptis javanica → 5-6 thn
• Selain itu variasi kandungannya (konsentrat) genotipe
dan lingkungan juga berpengaruh terhadap ketersediaan
produk sekunder untuk industri.
• Dengan demikian teknik in vitro merupakan alternatif
pemecahan masalah ini.
• Penggunaan sel/organ dengan bantuan bioreaktor
memberikan jalan untuk memperoleh konsentrat yang
tinggi.
• Rhodes dan Kirsop (1982) dalam Witaker & Hashimoto
(1986) menyatakan produksi metabolik sekunder melalui
kultur in vitro sel/organ merupakan jalur yang lebih tepat
dibandingkan dengan mengkonstreksi suatu mikroba
untuk melakukan fungsi-fungsi sintesis produk sekunder.
• Metabolik sekunder merupakan produk multigen
bukan gen tunggal.
• Lintasan biokimianya merupakan lintasan yang
rumit, banyak berintegrasi dengan lintasan lain.
• Alkaloid disintesis dari asam amino melibatkan
sekitar 10-15 gen dengan susunan tertentu.
• Apabila alkaloid akan dibuat dalam sel mikroba,
maka sel mikroba tersebut harus mempunyai
juga pengaturan lintasan prekursor utamanya,
yaitu tryptophan → penelitian yang penting
dalam masa sekarang ini adalah
pengembangan sel-sel produktif melalui
genetika seluler.
• Kultur sel telah dapat diinisiasi dari banyak
spesies tumbuhan. Dari berbagai tanaman
pertanian telah diketahui dapat terjadi variasi
somaklon.
• Contoh pada kultur Euphorbia millii
(Yamamoto et.al,1982) → sel dengan produksi
anthocyamin yang tinggi diperoleh dari variasi
somaklon dari populasi sel yang ada.
• Produksi metabolit sekunder melalui kultur
in vitro masih terbatas pada beberapa
persenyawaan saja.
• Menurut Whitaker & Hashimoto (1986)
penggunaan sistem in vitro menghadapi
2 tantangan,yaitu:
1)Kemampuan untuk memperoleh sistem kultur
yang menghasilkan produk target dan seleksi
variant dengan kemampuan sintesis tinggi.
2)Pengembangan bioreaktor yang tepat agar
kemampuan genetis dan biokimia sel dapat
dieksploitasi.
• Kegagalan sel dalam kultur in vitro dalam
menghasilkan metabolit sekunder seringkali
dikaitkan dengan tidak adanya diferensiasi sel
ke arah morfogenesis.
• Dalam kaedaan ini in vitro metabolik sekunder
dibentuk dalam jaringan yang spesifik.
• Contohnya, glykosida untuk jantung (Cardiac
glycoside) dari Digitalis ditemukan dalam daun
Quinin dan Quinidin ditemukan dalam kulit
batang Cmchoma dan alkaloid tropane banyak
disintesis di akar tanaman Solanaceae.
• Collin & Walts (1983) mempelajari bahan
penghasil aroma dalam sel seledri → sel kalus
serta embrio dalam tahap globular dan tahap
bentuk jantung tidak memproduksi aroma
phthalida.
• Pada tahap terpedo yang sudah mempunyai
klorofil → menghasilkan produk spesifik seledri
→ produk aroma telah dapat dideteksi.
• Produk klorofil dan produksi phthalida
berkolerasi positif.
• Dalam kultur penggunaan auksin yang berbeda
menghasilkan pembentukan klorofil yang
berbeda.
• Kalus yang dihasilkan dari media dengan
perlakuan IAA dapat memproduksi
persenyawaan phthalida karena kalus berwarna
hijau.
• Demikian juga yang diberi 2,3 dichlorophenoxy
acetic acid; 2,5 dichloro isobutyric acid.
• Sedangkan yang diberi 2,4-D dan
chlorophenoxy acetic acid tidak merangsang
kalus hijau → phthalida tidak terdeteksi.
BEBERAPA STRATEGI DALAM
PENGGUNAAN KULTUR IN VITRO
• Menurut Yamada & Hashimoto (1990)
dalam penelitian metabolit sekunder terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
I. Persenyawaan Target
• Perlu pertimbangan nilai komersil produk
Yamada dan Hashimoto memberi contoh
mengenai produk shikonin yang diekstrak
dari akar Lithospermum erythrorhizon.
• Shikonin adalah persenyawaan yang
digunakan untuk menyembuhkan luka bakar,
hemorrhoid, dan sebagai pewarna → ’Mitsui’
Petrochemical industri telah mengembangkan
senyawa ini → kerjasama dengan
perusahaan kosmetik “Kanebo” membuat
lipstik dengan nama “Bio Lips”
thn 1984 → permintaan sangat tinggi
→ produksi shikonin melalui kultur in vitro
berhasil gemilang.
• Penggunaan fitohormon/zat pengatur tumbuh
dalam kultur in vitro untuk produk metabolit
sekunder harus hati-hati; dikhawatirkan ada
pengaruh sampingan pada kesehatan
manusia.
• Obat tradisional → perlu ramuan senyawa .
Penggunaan seluruh sel diperlukan →
masing-masing sel ada kemungkinan dapat
menghasilkan senyawa yang dikehendaki.
II. Jenis Kultur
• Kultur sel telah digunakan dalam skala besar
untuk produksi shikonin dari Lithospermum
erythrorhizon, berberine dari Coptis japonica
dan Sangurmarine dari papaver.
• Hal ini menunjukkan bahwa dalam tumbuhan
tertentu, gen-gen yang mengatur sintesis
enzim tertentu dapat mengekspresikan diri
pada level sel yang tidak berdiferensiasi
tidak selalu “organ spesific”.
• Bioreaktor besar untuk kultur akar atau pucuk
telah dikembangkan. Kultur akar dari Panax
gingseng dalam bioreaktor berukuran
20.000 liter telah dikembangkan oleh “Nitto
Electric Co.” Jepang untuk tujuan produksi
saponin.
• Potensi kultur akar makin meningkat karena
Agrobacterium rhizogenes dapat digunakan
untuk mengintroduksi onegene → gen
pengatur pembentukan akar. Disamping akar
T-DNA dari ri-plasmid dapat disisipi gen
pengatur metabolit sekunder yang diinginkan.
III. Perbaikan/ Peningkatan Hasil
COOH COOH
O OH
OH
CH2OH
O O O
OH
OH OH
Running buffer
• Larutan buffer mengandung 25 mL asam format,
75 mL asam asetat dan 400 mL aquades.
• Elektroforesis dilakukan pada CU 200 volt
selama 10 menit pertama, kemudian diikuti oleh
CU 400 volt selama 3 jam.
• Setelah itu kertas diambil dan dikeringkan pada
suhu kamar.
• Setelah kering kertas tersebut direndam dalam
lautan buffer A selama 8 menit untuk staining.
• Larutan buffer A mengandung 6 gram AgNO3
yang dilarutkan dalam 0.6 mL air destila dan
300 mL aceton.
• Kertas dipindahkan kedalam larutan buffer B
selama 3 menit yang mengandung 160 mL
larutan NaOH 20% dan 160 mL ethanol.
• Kertas dicuci dalam aquadest dan direndam
dalam larutan fuji fix selama 2-3 jam.
• Kertas dikeringkan.
Bio essay untuk menguji transformasi
akar transgenik
• Setiap klon akar transgenik dipotong menjadi
0.5 – 1 cm → ditanam pada media MS padat
yang mengandung NAA 10-6M dan 10-5M →
inkubasikan.
• Kalus yang terbentuk pindahkan pada media
MS-o cair → kocok dengan kecepatan 125 rpm.
• Terbentuk kalus yang romah dan kompak.
• Seluruh kalus membentuk akar transgenik
→ bersifat transformasi.
Deteksi dan isolasi antosianin dan
senyawa anti jamur pada tanaman
Polygonium tinchtorium Ait
• Tiga jenis kultur Polygonium tinchtorium Ait telah
diketahui menghasilkan senyawa metabolit
sekunder yang berguna bagi kesejahteraan
manusia.
• Antosianin termasuk kelompok senyawa
flavonoid.
• Banyak senyawa-senyawa flavonoid yang
berguna bagi manusia baik langsung maupun
tidak seperti fitoaleksin, senyawa yang responsif
terhadap stress lingkungan, termasuk mikroba
dan herbivora ( Horbone, 1986 ).
• Kalus kering ( dengan metode freeze dry )
diekstraksi dengan MeOH yang mengandung
3% TFA.
• Deteksi dan furifikasi antosianin dan senyawa-
senyawa anti jamur.
• Deteksi antosianin dengan menggunakan HPLC
pada gelombang 525 nM dengan menggunakan
Hitachi L-6000 pump, Hitachi L-4200 UV-VIS
ditektor dan Hitachi D-2500 chromato-integrator.
• Solvent yang digunakan untuk HPLC adalah
campuran dari 20% CHCN, 10% CH3COOH dan
70% air yang mengandung 0.3% asam fosfit.
• Karena solvent ini mengandung asam fosfit dan
asam fosfit tidak dapat dihilangkan dari solvent,
solvent ini hanya digunakan untuk analisa
kuantitatif dari antosianin.
• Untuk pemisahan dan bioasai dengan
cendawan, adanya asam fosfit berbahaya untuk
pertumbuhan cendawan → sistem solvent lain
yang dapat digunakan yaitu: 15% acetonitrile,
7.5% asam asetat, 77.5% air yang mengandung
3% TFA.
• Diteksi senyawa anti jamur dengan TLC plate
bioasai.
• Ekstrak senyawa yang akan diuji dicharge pada
TLC-plate.
• Solvent yang digunakan adalah campuran dari
chloroform, methanol, water (65:35:10).
• Setelah separasi plate dikeringkan secara
sempurna dan spora Cladosporium fulvum
disemprotkan pada permukaan plate dan
diinkubasikan pada suhu 250C dalam keadaan
gelap selama 4 hari.
• Purifikasi antosianin dan senyawa anti jamur
dilakukan dengan Sephadex LH-20 dan HPLC
mengikuti tahapan sebagai berikut :
– Kalus merah seberat 6 gram diekstraksi dengan
MeOH yang mengandung 3% TFA.
– Ekstrak difilter melalui kertas filter dan filtratnya
dikonsentrasikan sampai kering dalam kondisi vakum
pada suhu 300C.
– Senyawa-senyawa yang telah kering dilarutkan lagi
dalam air dan larutannya disentrifugasi pada 1400
rpm selama 10 menit untuk memisahkan material
yang tidak terlarut.
– Pellet yang berwarna hitam dilarutkan kembali dalam
MeOH.
• Ekstrak selanjutnya dilarutkan pada TLC dan
diuji untuk aktivitas anti jamur melawan C.
fulvum.
• Larutan supernatan yang berwarna merah dicuci
dengan petrolium ether 5 kali dan
dikonsentrasikan sampai kering dalam keadaan
vakum pada suhu 300C
• Senyawa-senyawa yang telah kering dilarutkan
kembali dengan methanol dan sentrifugasikan
untuk memisahkan senyawa-senyawa yang
tidak dapat larut dengan sentrifugasi pada
kecepatan 14.000 rpm selama 10 menit.
• Supernatan selanjutnya dikonsentrasikan
sampai kering dalam keadaan vakum pada suhu
300C dan dilarutkan kembali dalam 10 mL
MeOH.
Pemisahan melalui Sephadex - 20
• 2.5 mL ekstrak diterapkan setiap kali untuk
kromatografi dengan sephadex LH-20 (25X1.5
cm) dan dielusi dengan MeOH.
• Ekstrak selanjutnya dipisahkan kedalam 3 fraksi
(FA, FB, dan FC) dimana setiap fraksi berturut-
turut berwarna hitam, merah, kuning dan
dikeluarkan dari kolom kromatografi.
• Setiap fraksi selanjutnya dikonsentrasikan
sampai kering.
• Materi yang sudah kering selanjutnya dilarutkan
dalam MeOH → analisis dengan HPLC.
• 3 senyawa utama A, B, C ditemukan pada sel-
sel kalus yang tumbuh pada media padat dan
kultur suspensi.
• Rasio dari jumlah senyawa pada media padat
dan cair hampir sama. Pada ekstrak yang
berasal dari batang dan bunga antosianin C
lebih banyak dari B dan A → A sedikit.
• Dengan menggunakan solvent lain :
20% acetonitrile, 10% CH3COOh dan 70% air
yang mengandung 0.3% asam fosfit, pola
antosianin yang dihasilkan kalus media padat
berbeda dari yang dihasilkan suspensi sel.
• Terdapat 4 jenis utama antosianin yang
dihasilkan oleh kalus dari media padat dan 3
jenis antosianin yang dihasilkan dari suspensi
sel.
Antosianin A yang utama dari media padat
Antosianin B yang utama dari media cair.