Anda di halaman 1dari 5

Mery Ana Farida

Jun 16, 2015 · 5 min read

Kaderisasi? Kebutuhan atau Keharusan?


Istilah kaderisasi yang berasal dari kata dasar ‘kader’ pertamakali saya dengar dari ibu saya, saat
itu terdapat pengaderan di kelurahan daerah saya. Saat itu saya masih berada di bangku SMP
kalau tidak SD *saya lupa* yang jelas masih belum SMA. saya yang penasaran tentang istilah
kader, bertanya pada beliau. Lalu saat itu beliau menjawab, bahwa pengaderan tersebut
merupakan proses merekrut anggota baru yang akan memegang tugas atau jabatan pada periode
yang baru dalam kelurahan. Oleh sebab itu, pada awalnya, saya kira kaderisasi adalah suatu
kegiatan yang teramat formal dan ada teknis-teknis pelaksanaannya secara teratur dan kaku.
Seperti kaderisasi anggota caleg dan lain-lain. Namun, semakin kesini, saya semakin belajar
bahwa sebenarnya pengertian kaderisasi tidaklah sesempit itu. Sebagian dari kita mungkin telah
tahu apa itu kaderisasi. Kita tahu, mungkin karena banyak mendengar istilah kaderisasi.
Terutama saat saya mengenyam pendidikan sebagai seorang mahasiswa, saya mulai mengenal
beberapa kaderisasi yang ada di kampus. Karena banyaknya kaderisasi dan cenderung monoton
terkadang menimbulkan adanya kebosanan dan timbul pemikiran bahwa kaderisasi ya begitu-
begitu saja. Bahkan mungkin banyak dari kita ketika ditanya tentang kaderisasi, kita menjawab
“itu tuh kegiatan yang diadakan oleh senior/kakak tingkat, kalo senior marah-marahin kita
sebagai Junior”. Padahal sebenarnya bukan itu esensi dari kaderisasi sendiri. Banyak dari kita
sebenarnya masih tidak memahami hakikat dari adanya kaderisasi. Mengapa harus ada
kaderisasi? Apa itu Kaderisasi?
Pada dasarnya kaderisasi dapat diartikan secara sederhana, sesederhana kata ‘interaksi’. Namun,
jangan sampai disalah artikan bahwa kaderisasi itu adalah interaksi. Karena interaksi belum tentu
dapat dikatakan sebagai kaderisasi, tetapi kaderisasi sudah pasti interaksi. Kaderisasi juga
melibatkan dua belah pihak. Antara pengkader dan yang dikader. Dua-duanya seharusnya tidak
ada yang lebih merasa berkuasa atau lebih berhak. Karena sesungguhnya, dari kedua-duanya
sifatnya adalah saling membutuhkan. Saling Belajar. Kaderisasi dalam kampus sendiri, sebagai
seorang mahasiswa merupakan suatu proses humanisasi ‘pemanusiaan’ dengan cara transformasi
nilai-nilai agar tri dharma perguruan tinggi dapat terwujud. Pemanusiaan manusia disini
dimaksudkan sebagai sebuah proses pentransformasian nilai-nilai yang membuat manusia (dalam
hal ini mahasiswa) agar mampu meningkatkan potensi yang dimilikinya (spiritual, intelektual
dan moral).

Proses kaderisasi sejatinya bersifat ‘bebas’. Bebas yang dimaksud adalah proses tersebut tidak
harus mutlak ada dan dilaksanakan. Karena kaderisasi hanya dilakukan jika dirasa perlu. Namun,
dalam suatu organisasi kaderisasi memang dirasa sangat penting untuk dilakukan, karena proses
ini berdampak jangka panjang. Hasil dari pengkaderan tidak dapat dilihat secara langsung dan
instan. Dampaknya merupakan suatu proses belajar dan penyesuaian sesuai tujuan kaderisasi itu
sendiri, pada suatu keadaan atau kondisi dimana ia tinggal.

Berbicara tentang kaderisasi, teringat saat saya masih menjadi seorang maba dan menjalani
‘Gerbang Pertama Kaderisasi di ITB’ yang kita kenal dengan “Orientasi Studi Keluarga
Mahasiswa” atau OSKM. OSKM adalah kaderisasi pertama di ITB sebelum kaderisasi-
kaderisasi selanjutnya seperti osjur, unit, dan kaderisasi-kaderisasi yang lain. Saat itu, saya
sebagai seorang maba yang istilahnya tidak tahu apa-apa tentang kampus ITB, merasa senang
ada yang menyambut saya. Merekalah Taplok, sekarang dikenal dengan nama Mentor. OSKM
merupakan salah satu contoh kaderisasi yang nyata terlihat proses kegiatannya. Kegiatan ini
dikatakan sebagai gerbang pertama kaderisasi karena merupakan kaderisasi pertama untuk para
maba, inilah kaderisasi yang menentukan karakter-karakter mahasiswa baru selanjutnya.
Karakter-karakter yang akan menjadi ujung tombak kampus tercinta. Oleh karena itu, kegagalan
kaderisasi dan nilai-nilai yang tidak tersampaikan dengan baik memang akan sangat merugikan
dan berakibat fatal pada perkembangan kampus itu sendiri. Tetapi sejujurnya saat saya mengikuti
OSKM tahun lalu, saya kurang mengerti mengapa harus ada orasi seperti komandan lapangan,
dan panitia yang membentak-bentak. Kebanyakan dari kita hanya melihat profil mereka sebagai
seseorang yang keren, tanpa memahami pesan apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan.
Kegiatan kaderisasi seperti itu terkadang hanya menjadi sebuah acara sakral yang wajib diikuti,
tetapi tidak tahu output apa yang harus dimiliki setelah mengikuti acara tersebut. Kita hanya
mengikuti, bersenang-senang, tanpa memahami, merenungi, dan mengevaluasi atau bahkan
kosong visi-misi.

Menurut Adityo Sumaryadi salah satu mantan Menteri Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa
(PSDM) KM-ITB periode 2012–2013, sejatinya kaderisasi adalah proses ’belajar dan
mengalami’. Jika seperti itu, pengertian kaderisasi bukan hanya tentang perekrutan anggota baru.
Tetapi disaat kita belajar memahami kondisi atau belajar mempersiapkan diri dan mulai
mengalaminya,hal ini dapat dikatakan kaderisasi. Tanpa kita sadari sebenarnya kaderisasi sangat
lekat dalam kehidupan sehari-hari. Karena menurut Saya pribadi kaderisasi itu adalah sesuatu
yang sederhana…

Sesederhana,
Saat engkau berada di lingkungan baru dan belum bisa berbaur , beberapa minggu berikutnya
kau bisa bercanda tawa dan merasa seperti keluarga…

Sesederhana,

Saat engkau berinteraksi dengan orang lain, kemudian kau bisa mendapat banyak ilmu serta
belajar banyak darinya…

Sesederhana,

Bagaimana kamu mengenal, memahami, dan peduli pada lingkungan…

Menurut saya kaderisasi adalah proses memantaskan diri, proses dimana kita belajar tentang
nilai-nilai, tentang hal-hal yang akan dialami, proses belajar untuk berinteraksi, memposisikan
diri, berkarya dan menemukan potensi, serta proses menemukan kader-kader yang potensial.

Namun, kaderisasi yang terjadi biasanya menjadi ajang balas dendam dari senior terhadap junior
dan hanya sebuah acara/kegiatan untuk anggota baru tanpa memikirkan ketersampaian nilai-nilai
yang harus dimiliki oleh para anggota baru. Tidak sedikit yang merasa bahwa kaderisasi di ITB
ya begitu-begitu saja, teringat saat saya mengikuti interaksi dengan calon himpunan jurusan.
Salah satu kakak tingkat pernah berkata, bahwa sebuah kaderisasi tidak harus dengan metode
yang kaku. Kaderisasi yang ideal seharusnya ada timbal balik dari pihak yang dikader dengan
yang mengkader. Karena sejatinya, keduanya memiliki hak yang sama dan saling belajar.

Kaderisasi merupakan suatu kebutuhan tetapi bukan keharusan. Kaderisasi juga seharusnya lebih
fleksible tidak harus kaku dan mengikuti aturan secara mutlak. Seperti aturan yang telah diatur
dalam RUK KM-ITB. RUK ini secara formal adalah landasan yang dipegang bersama-sama
dalam membentuk profil di masing-masing tingkat. Tujuan akhirnya adalah bagaimana Kampus
ITB dapat menghasilkan profil Sarjana ITB sesuai dengan materi dan step-step yang ada dalam
RUK tersebut termasuk memenuhi profil di masing-masing tingkat. Namun, Saya tidak akan
berbicara masalah Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM-ITB. Saya lebih ingin memberikan
satu pemahaman bahwa RUK dan sebagainya mungkin ada, tapi nilai-nilai yang muncul hanya
bersifat teoritis, dan justru kadang menjadi satu hal yang mengekang dan menghilangkan esensi
mengenai kaderisasi itu sendiri bagi proses perkembangan seorang manusia. RUK boleh kita
jadikan referensi, tapi tidak sepenuhnya kita jadikan satu pegangan kaku dalam proses
pembelajaran.

Karena kaderisasi adalah tentang menjadi karakter yang


lebih baik……….
“ Jangan pernah membandingkan dirimu dengan orang lain, bandingkanlah dirimu terhadap
dirimu sendiri dari hari ke hari, semakin baik atau malah sebaliknya ” -

*tulisan ini telah dibuat beberapa waktu lalu di saat saya sedang menjalani masa-masa
kaderisasi di kampus “tercinta” ini. Seingat saya saat itu saya masih menjalani masa MPDA
(Masa Pendidikan Dasar Anggota). MPDA merupakan salah satu tahapan kaderisasi yang ada
di Himpunan Planologi Pangripta Loka ITB

Anda mungkin juga menyukai