Anda di halaman 1dari 4

MAHASISWA : TULANG PUNGGUNG ORGANISASI

Mahasiswa merupakan manusia pilihan yang berkesempatan belajar pada suatu


tingkatan pendidikan formal. Bukan hal baru, jika mahasiswa di Indonesia dianggap
sebagai sosok spesial yang nantinya akan membawa banyak perubahan di masyarakat,
tempat bernaung dan belajar masyarakat luas. Meskipun pada kenyataannya mahasiswa
lah yang banyak belajar dari kehidupan masyarakat. Dari jenjang pendidikan formal
yang diatur oleh suatu miniatur negara, pemerintahan lingkup kecil dengan pengawasan
dari kampus atau universitas masing-masing. Tidak menutup kemungkinan
pembelajaran mengenai kehidupan bermasyarakat sebenarnya sudah dilaksanakan
penuh dalam dunia perkuliahan, namun ada beberapa mahasiswa yang "merasa" belum
menikmati kehidupan tersebut dan memilih jalur lain, sehingga terciptalah beberapa tipe
mahasiswa. Tipe mahasiswa yang sering disebutkan dengan beberapa nama hewan
seperti mahasiswa kura-kura (kuliah rapat), mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang),
mahasiswa kuda-kuda (kuliah dagang), dan tipe mahasiswa lain yang disebutkan sesuai
dengan ciri khas kampus masing-masing. Berdasarkan beberapa sebutan mahasiswa di
atas, saya pribadi tertarik menguraikan mahasiswa kura dan mahasiswa kupu. Memang
sudah banyak pembahasan bahkan penelitian yang berlangsung untuk kedua tipe
mahasiswa tersebut, namun saya ingin menguraikan versi saya dengan bertolak pada
kondisi mahasiswa dan dunia perkuliahan saat ini.
Dewasa ini, mahasiswa dan organisasi seringkali menjadi pasangan serasi yang
diagungkan dalam berbagai kesempatan, bahkan beberapa kampus melaksanakan
"kampanye" atau ajakan untuk berorganisasi, baik dengan tujuan reorganisasi,
Kaderisasi, ataupun tujuan menggali potensi. Sebenarnya, tidak ada yang mewajibkan
mahasiswa bergabung dalam suatu organisasi, menurut saya berorganisasi itu pilihan.
Namun, alangkah lebih baiknya jika mahasiswa memilih jalan untuk mengisi beberapa
tahun masa perkuliahan dengan organisasi. Berorganisasi tidak hanya untuk alasan klise
seperti menambah relasi, memperluas pergaulan, atau mendapatkan pengalaman baru.
Lebih dari itu, organisasi bagi mahasiswa dapat menjadi wadah besar untuk
mengembangkan diri dalam hal intelektual, spiritual, maupun mental emosional.
Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya cerdas dalam berteori namun juga cakap
melakukan retorika dan analisis sosial yang tentunya akan menjadi bekal besar dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat nantinya. Dari awal saya sering menyinggung
masalah mahasiswa dan masyarakat, ya mahasiswa itu selayaknya suatu sistem
demokrasi. Berasal dari masyarakat, dikonstruk oleh kepentingan masyarakat, dan akan
memberikan apa yang ia upayakan untuk masyarakat.
Hemat saya, ketertarikan mahasiswa dalam berorganisasi seringkali dipengaruhi
oleh lingkungan pergaulan dan rasa ingin mencoba. Misal, di sekolah menengah ia
pernah menjadi siswa yang aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan maka tidak
menutup kemungkinan bahwa ia ingin melanggengkan kiprahnya dalam organisasi
kampus, meskipun tidak menutup kemungkinan ada yang cenderung vakum karena
merasa lelah dengan rutinitas organisasi di jenjang sebelumnya. Kemudian, ada juga
mahasiswa yang mengikutsertakan dirinya dalam suatu organisasi kampus karena
merasa ingin tahu dan ingin mencoba, seperti apa kehidupan dalam organisasi
sebenarnya. Tipe ini termasuk tipe yang naik turun, dalam artian ketika dia
mendapatkan kenyamanan dari apa yang ia coba, maka ia akan mempertahankan peran
dan keberadaannya dalam organisasi tersebut. Begitupun sebaliknya, jika percobaannya
memberikan kesan yang kurang baik, maka sebagian besar dari tipe mahasiswa tersebut
akan meninggalkan organisasi dengan berbagai alibi. Hal ini lumrah, karena dari awal
motivasi yang menjadi pondasi utama ketertarikannya berkontribusi dalam organisasi
juga masih gamang. Beranjak dari alasan seseorang berorganisasi, sedikit akan saya
uraikan kondisi penggiat organisasi yang mungkin nantinya akan diakumulasikan
menjadi beberapa tipe mahasiswa organisatoris.
Mahasiswa organisatoris dipandang sebagai suatu tipe yang memiliki makna
sempit dan berkarakter sama, tentunya kita sangat kontra akan hal tersebut. Ditilik dari
lingkungan sekitar organisasi yang kita geluti baik organisasi ekstra kampus maupun
organisasi intra kampus, sebenarnya banyak tipe organisatoris di dalamnya. Namun,
sebelum kita bahas tipe ini hanya ditinjau dari apa yang terlihat tidak sampai mendalam
hingga membahas bagaimana cara mereka berkhidmat dan seberapa besar rasa cintanya
terhadap organisasi. Karena, perlu digarisbawahi kalimat don't judge the book by it's
cover itu masih langgeng hingga saat ini. Dari sisi luarnya, mahasiswa organisatoris dari
perspektif sebagian besar akademisi kampus, dosen, maupun tenaga kependidikan tidak
lepas dari kata molor. Ya, kuliah molor yang sekarang diadaptasi menjadi landasan lulus
di waktu yang tepat, hanya sekadar candaan bukan panduan. Kemudian, stigma lain dari
perspektif yang sama, ditunjukkan oleh mahasiswa organisatoris yang cenderung santai,
urakan,dan tidak taat peraturan. Apakah karakter tersebut ada, atau hanya di ada-ada ?
Jawabannya adalah, ada. Karakter tersebut ada dan melekat pada mahasiswa
organisatoris yang jumlahnya tidak bisa dikatakan seluruh, hanya sebagian kecil karena
masih banyak tipe organisatoris lain yang menjalankan roda organisasi. Tipe akademis -
aktivis, katanya memiliki andil yang cukup besar dalam menghapuskan dua stigma awal
yang sudah saya tuliskan, sayangnya dalam satuan organisasi jarang ada yang mampu
menyandang gelar ini. Padatnya perkuliahan dan maraknya agenda organisasi , jika
tidak diimbangi dengan manajemen waktu dan pola pengendalian diri yang baik tidak
akan menghasilkan akademis-aktivis dengan baik sesuai standar di masyarakat. Namun,
tidak menutup kemungkinan kita yang saat ini sedang berkhidmat di organisasi juga
memiliki peluang besar mencapai gelar ini.
Beranjak dari akademis-aktivis, kita bergerak menuju tipe dominan akademik
dan dominan aktivis. Dimana keduanya tentu akan memberikan dampak yang berbeda
dan karakter mencolok secara look dan kiprahnya di organisasi. Organisatoris yang
dominan akademik, bisa dikatakan jarang muncul dalam kegiatan organisasi, karena dia
akan memilih mana yang bisa menjadi nomor dua setelah prioritas belajar. Hal ini tidak
keliru, karena tujuan utama mahasiswa memang menjalankan perilaku akademik berupa
pendidikan dan penelitian untuk mencapai gelar yang diimpikan. Kemudian,
organisatoris dengan tipe dominan aktivis akan banyak ditemukan dalam berbagai
kegiatan organisasi, susah dan senangnya adalah membersamai organisasi. Tidak jarang
ada beberapa kesempatan perkuliahan yang dilewatkan untuk organisasinya. Ketiga tipe
tersebut menggambarkan sisi positif organisatoris yang tidak perlu diperdebatkan mana
yang lebih baik dalam menjalankan roda organisasi, tidak ada yang keliru. Hal yang
keliru, adalah ketika kita membandingkan ketiga tipe tersebut untuk menjatuhkan satu
sama lain, apalagi menyudutkan salah satu pihak untuk dicap tidak profesional.
Mungkin salah satu hal yang keliru adalah, menjadikan organisasi sebagai alat
pemberontakan atas keinginan perorangan atau sekelompok orang, dan memporak-
porandakan tatanan kampus atau universitas yang sudah disusun sedemikian rupa oleh
pihak yang berwenang. Sering melaksanakan aksi tidak berdasar dengan membawa
nama beberapa organisasi, dengan dalih memperjuangkan hak mahasiswa, padahal,
kenyataanya berkebalikan.
Judul essai ini, sengaja saya tuliskan mahasiswa sebagai tulang punggung
organisasi. Ya, berkaca pada tipe mahasiswa maupun tipe organisatoris kampus yang
sudah saya uraikan, sudah saatnya kita kembali ke jalan lurus organisasi. Dimana, peran
mahasiswa di dalamnya adalah untuk melanggengkan roda pemerintahan miniatur
negara sesuai kesepakatan, bukan kepentingan perorangan. Mahasiswa yang independen
dan selaras dengan kepentingan organisasi, tidak hanya bertindak secara profesional
namun juga menjadi pribadi yang proposional. Paham akan ranah pribadi dan kekuatan
diri untuk menjalankan roda organisasi, tidak hanya tuntas karena ambisi namun juga
bisa memberikan dampak pada apa yang sudah dinaungi. Perjalanan mahasiswa
panjang, meksipun hanya selesai dalam 3-4 tahun saja, namun pengalaman menjadi
orang yang benar berkhidmat akan mengantarkan kebermanfaatan selama menjalani
kehidupan. Mahasiswa jangan hanya numpang hidup di organisasi, namun harus bisa
menghidupi organisasi. Jangan hanya menghirup kepulan asap rokok dalam ruangan
dengan gondrong menjadi hiasan, namun juga menjadi sosok rapi dalam menyelesaikan
tugas dan tanggung jawab perkuliahan. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi kita bisa
mencoba untuk menjadi seimbang, termasuk dalam hal menjalankan roda organisasi dan
menyelesaikan tugas-tugas akademisi. Tulang punggung organisasi, tidak lantas
menjadi penghasil uang untuk menghidupi, lebih dari itu waktu dan pikiran akan
menjadi susunan tulang pungguh yang kuat sebagaimana gedung pencakar langit
merancang pondasi.

Anda mungkin juga menyukai