Anda di halaman 1dari 4

Fukuyama dan Reformasi Indonesia

Edy Burmansyah

Yoshihiro Francis Fukuyama adalah nama yang terus dipuja-puja hingga hari ini. Sejak akhir abad
20, bukunya The End of History and The Last Man menjadi semacam rujukan utama bagi sebagian
para pendukung demokrasi liberal di Indonesia.

The End of History and The Last Man terbit tahun 1992 merupakan perluasan dari tesis The End of
History yang ditulis Fukuyama pada musim panas 1989 untuk jurnal The National Interest yang
terbit di Amerika Serikat.

Ambruknya tembok Berlin, November 1989 dan runtuhan Uni Soviet pada Desember 1991,
menurut Fukuyama mempresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi
liberal dalam pertarungan antar ideology besar di dunia.

Bagi Fukuyama, kapitalisme dan demokrasi liberal yang berhasil mengatasi ideologi-ideologi lain
seperti monarki, fasisme, dan komunisme merupakan “titik akhir evolusi ideologi umat
manusia”(end point of mankind’s ideological evolution) dan “bentuk akhir pemerintahan” (final
form of human government) dan karena itu merupakan “akhir dari sejarah” (end of history).

Kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal diyakini Fukuyama karena prinsip demokrasi
liberal dalam ekonomi yang terwujud dalam bentuk pasar bebas, sukses memproduksi kebutuhan
material dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, baginya
kapitalisme dan demokrasi liberal adalah satu-satunya jalan mencapai kesejahteraan.

Namun tesis kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme tersebut, dinilai sangat lemah, karena
dibangun dengan mengabaikan evolusi dari ideology-ideologi yang terus berkembang menuju
bentuk yang lebih baik, serta menampik perdebatan-perdebatan dalam ilmu ekonomi yang telah
menyimpulkan bahwa demokrasi tidak menjamin kemakmuran.

Perdebatan penting dalam ekonomi modern yang diabaikan Fukuyama adalah luputnya
pembahasan teori teori pilihan social yang dikembangkan oleh Kenneth Arrow dan Amartya Sen,
dalam tesis The End of History and The Last Man.

Dalam karyanya, Social Choice and Individual Values (1951), Kenneth Arrow mengembangkan
bentuk-bentuk pilihan yang diambil oleh preferensi agregat individu dalam masyarakat dalam
menentukan sistem alokasi sumber daya. Sistem alokasi sumber daya ini hanya dimungkinkan jika
memenuhi syarat lima kondisi—yang kemudian dikenal dengan istilah Teorema Ketakmungkinan
Arrow.

Teorema Ketakmungkinan Arrow menyimpulkan bahwa kediktatoran merupakan satu-satunya


sistem yang memungkinkan alokasi efisien atas sumber daya dalam masyarakat. Hasil yang
mengejutkan ini menciptakan krisis besar dalam ekonomi kemakmuran sejak tahun 1951 hingga
hari ini yang mendorong banyak pemikir untuk memperdalam dan memperluas teori pilihan sosial
guna membantah teorema tersebut

Demikian, jauh sebelum The End of History and The Last Man diterbitkan tahun 1992, tesis
kemenangan kapitalisme dan demokrasi seperti yang disimpulkan Fukuyama sesungguhnya telah
lama terbantahkan.
Fukuyama dan Reformasi Indonesia

Namun, ketika sihir The End of History and The Last Man menghilang, pada pertengahan tahun
1990an, sejumlah intelektual-intelektual Indonesia—sebagian besar lulusan Amerika Serikat—
menyodorkan tesis Fukuyama yang telah usang sebagai senjata untuk mengakhiri rezim otoriter
orde baru yang telah compang-camping, guna mempercepat proses “demokratisi” di Indonesia.

Rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, pada bulan agustus 1997 dihantam krisis
moneter, kemudian berkembang jadi krisis politik, dan berujung pada terjungkalnya Soeharto dari
pusat kekuasaan, melalui gelombang demontrasi mahasiswa.

Kejatuhan Orde Baru segera disusul dengan reformasi besar-besar dalam system hukum, politik,
pemerintah dan ekonomi Indonesia, melalui serangkaian amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, lalu diikuti terbitnya sejumlah Undang-undang diberbagai sector yang
cenderung liberal.

Selama empat tahun proses amandemen UUD 1945, nama Francis Fukuyama dan bukunya The End
of History and The Last Man bertebaran dalam berbagai forum diskusi, seminar maupun rapat-
rapat di parlemen.

Amandemen UUD 1945 berlangsung sebanyak empat kali, masing-masing; amandemen pertama
diadakan tanggal 19 Oktober 1999, Amandemen Kedua diadakan tanggal 18 Agustus 2000,
Amandemen Ketiga diadakan tanggal 9 November 2001 dan Amandemen Keempat diadakan
tanggal 10 Agustus 2002.

Amandemen keempat (terakhir) yang mengubah pasal 33 UUD 1945—pasal yang nilai sebagai urat
nadi system perekonomian Indonesia—merupakan symbol diadopsinya secara sempurna prinsip-
prinsip liberal yang diusung Fukuyama.

Setahun usai amandemen UUD 1945 (2003), The End of History and The Last Man yang menjadi
rujukan selama proses amandemen, diterbitkan dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia oleh
penerbit buku Qalam. Terbitnya buku ini seolah-olah merayakan kemenangan liberalisme di
Indonesia.

Sejak itu, The End of History and The Last Man yang sebelumnya hanya dinikmati oleh segelintir
intelektual Indonesia lulusan Barat, kini dapat dibaca oleh public Indonesia yang lebih luas. Namun
saat bersamaan juga muncul berbagai artikel yang mengkritik tesis Fukuyama dari penulis luar dan
dalam negeri Indonesia.

Pada priode ini, gerakan anti neoliberalisme di Indonesia semakin menguat. Isu Neo-liberal menjadi
diskurus ditengah public, bahkan pada Pemilihan Presiden tahun 2009, isu anti neo-libelalisme
berada di pusaran utama perdebatan selama masa kampaye Pilpres.

Seiring dengan kemenangan SBY dalam Pilpres dan semakin menguatnya pengaruh dan
cengkraman “Fukuyama” yang tercermin dari duduknya sejumlah pendukung ekonomi aliran neo-
klasik dalam jajaran kabinet yang baru. Selama priode 2010-2012 isu anti neo-liberal perlahan-
lahan mulai menurun intensitasnya dari perdebatan public.

Merosotnya isu anti neo-liberlisme menguasai panggung utama dalam perdebatan public
dimanfaatkan kelompok keagamaan, khususnya Islam yang bersekutu dengan elit-elit politik
tertentu untuk tampil sebagai alternative melawan tesis Fukuyama, dengan melirik kembali buku
The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (benturan peradabatan) karya Samuel
P Huntington yang terbit tahun 1996.

Buku ini bermula dari pidato Huntington tahun 1992 di American Enterprise Institute, lalu
dikembangkan dalam artikel Foreign Affairs tahun 1993 berjudul "The Clash of Civilizations"
menanggapi/mengkritik buku karya mahasiswanya, Francis Fukuyama, berjudul The End of
History and the Last Man (1992). Kemudian dikembangkan kedalam buku The Clash of Civilizations
and the Remaking of World Order (1996).

Dalam tesisnya Huntington menyatakan bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan
menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin; “Suatu hubungan Islam-
Konfusianisme telah bangkit menentang kekuatan, nilai-nilai dan kepentingan Barat…….”tulisanya
majalah Foreign Affairs tahun 1993 itu.

Tampilnya kelompok Islam, mendorong isu-isu sektarian mendominasi diatas panggung politik
Indonesia sepanjang tahun 2012-2017. Ditandai maraknya isu berbau SARA dan politik sektarian
dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012, kemudian terus berlanjut pada Pilres
tahun 2014, dan berpuncak pada Pemilihan Gubernur DKI tahun 2017.

Menguatnya kelompok Islam belakangan ini dibaca sebagai kebangkitan Populisme Islam,
setidaknya itu yang tergambar dalam artikel Ari A Perdana di Indoprogress pada 23 January 2017,
yang kemudian berpolemik dengan Muhammad Ridha, 30 January 2017 dan Abdil Mughis
Mudhoffir, 23 February 2017.

Menguatnya populisme Islam dan politik sektarian, menimbulkan kekhawatir Ari Perdana,
sedangkan Mudhoffir cenderung lebih concern pada politik rasis dan sektarian yang selalu dapat
dimunculkan kembali oleh kepentingan oligarki dengan memanfaatkan kelompok Islam semacam
FPI. Sementara Ridha memang lebih optisme dengan mengajak merebut kembali populisme.

Terlepas dari perdebatan ketiganya, menguatnya populisme islam dan politik sectarian lebih
disebabkan kegagalan sayap kiri (populis kiri, progresif atau sosial demokrat) untuk
mempertahakan isu anti neo-liberalisme berada pusat perdebatan publik. Bahkan isu
meningkatnya ketimpangan yang terjadi sejak 2011 (ditandai meningkatnya gini rasio) tidak
mampu dieksploitasi menjadi isu publik, sebagaimana keberhasilan koalisi kiri radikal di Yunani
(Syriza), mengusung isu kesenjangan kelas.

Kegagalan tersebut salah satunya karena ketidakmampuan kelompok sayap kiri (yang sebagian
memang kaum terpelajar) membahasakan isu-isu kesenjangan social dalam bahasa yang mudah
dimengerti rakyat.

Demikian, tantangan hari ini adalah bagaimana memenuhi ruang-ruang perdebatan publik dengan
isu-isu ketimpangan ekonomi dan sejenisnya dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh rakyat.
Tapi ternyata tidak sedikit dari aktivis progresif yang justeru terjebak dalam arus perdebatan kafir-
kafiran, kasus asusila si reziq maupun mensyukuri si Somad yang ditolak oleh otoritas
Hongkong.***

Anda mungkin juga menyukai