Filum : Chordata
Subfillum : Tunicata
Kelas : Ascidiaceae
Ordo : Aplousobranchiata
Family : Didemnidae
Genus : Didemnum
Species : Didemnum sp.
Spesies Didemnum sp. ini banyak ditemukan pada perairan pasifik barat indonesia, dimana
memiliki daerah khusus dengan kriteria sebagai berikut yaitu pada kedalaman 1 hingga 20 m
pada temperatur 24 hingga 280 C dan salinitas 34,108 hingga 35,284 ppm dan kadar DO
4,483 – 4,664 mL/L. Selain itu, spesies ini dapat hidup pada suhu -50 hingga 300C dengan
salinitas di atas 26 ppm (Ouwe-MissiOukem-Boyer et al 1994).
Pertahanan kimia yang dilakukan oleh Didemnum sp. ini adalah dengan menghasilkan
metabolit sekunder dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh (Stoner 1992). Pertahanan fisik
yang mudah diamati yang dilakukan spesies ini adalah dengan mengeluarkan lendir ketika
individu merasa terancam predator (Olson 1983), dimana predator Didemnum sp. secara
umum adalah ikan, bintang laut, gastropoda, cacing pipih, dan kepiting.
Hasil penelitian Malla et al (2004) menunjukkan bahwa alkaloid lamellarin yang diisolasi
dari ascidian Didemnum obscurum dari India merupakan senyawa yang sangat berpotensi
sebagai antioksidan. Abou – Donia et al (2008) juga pernah meneliti Didemnum molle yang
dikoleksi dari perairan Manado, dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa senyawa
keenamid A dan mollamida B dari ekstrak ascidian tersebut memiliki potensi antikanker.
Selain itu, ascidian juga mempunyai senyawa kimia untuk perlindungan dari radiasi UV.
Sejumlah metabolit pun berasal dari ascidian seperti seri didemnidae berupa isolasi alkaloid
dari Didemnum conchyliatum, ekstrak dari ascidian Ecteinascidia turbinate yang berisi
alkaloid biologis aktif ecteinascidin, alkaloid tambjamine dari jenis Sigillina signifera,
didemnim depsipeptide dari jenis Trididemnum solidum, dan alkaloid polyandrocarpidine
dari jenis Polyandrocarpa sp.
Adapula metabolit ascidian yang berpotensi sebagai antifouling yaitu alkaloid eudistomin
dari jenis Eudistoma olivaceum, dan pelindung UV serta antioksidan berupa asam amino
seperti mycosporine (Mc Clintock dan Baker dalam Manuputty 2004). Tabel 1 menunjukkan
jenis-jenis ascidian yang umum ditemukan di perairan Indonesia dan memiliki potensi untuk
dimanfaatkan (Abrar 2005).
Pengobatan kanker secara medis yang selama ini dilakukan adalah melalui pembedahan
(operasi), penyinaran (radiasi) dan terapi kimia (kemoterapi). Salah satu yang menjadi
perhatian adalah kemoterapi, yaitu penggunaan bahan-bahan bioaktif dari hasil sintesis atau
isolasi bahan alam.
Penggunaa bahan bioaktif dari isolasi bahan alam terus dikembangkan sampai saat ini karena
sifatnya yang “renewable”, mudah terdekomposisi dan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh,
sedangkan bahan sintetis dapat tertinggal atau menjadi residu yang berbahaya bagi tubuh. Hal
ini menyebabkan pelacakan senyawa-senyawa antikanker dari bahan alam banyak dilakukan,
untuk mendapatkan senyawa yang berpotensi sebagai antikanker baru dalam strategi
pengembangan kemoterapi (Reichardt 1988).
Dua puluh lima persen dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif
yang diisolasi dan dikembangkan dari bahan hayati sampai saat ini yang diantaranya berasal
dari bahan hayati laut. Indonesia dikenal sebagai salah satu dari tujuh negara dengan
keanekaragaman hayati terbesar, fakta ini tentu memiliki potensi dalam pengembangan obat
yang berbasis pada tumbuhan dan biota obat dalam usaha kemandirian di bidang kesehatan.
Biota – biota tersebut menghasilkan senyawa metabolit sekunder dengan struktur molekul
dan aktivitas biologi yang beraneka ragam. Beberapa senyawa yang telah terbukti memiliki
aktivitas sebagai antikanker, antara lain golongan alkaloid, terpenoid, flavonoid, santon dan
kumarin (Lisdawati 2002).
Senyawa yang tidak banyak diperhatikan memiliki aktivitas antikanker adalah hasil ekstrak
dari ulit hyacylamide, patellamides, ascidiacylamydes dan lissoclamides dari salah satu
spesies ascidian. Namun, sampai saat ini pemanfaatan ascidian lebih dikembangkan untuk
keperluan bahan bioaktif sebagai obat dan kosmetik. Sementara pada negara lain seperti
Chilli, ascidian dimanfaatkan sebagai makanan yang menyebabkan penurunan jumlah
populasi dan bahkan telah dinyatakan terancam dari beberapa kelasnya (Manniot dan Laboute
1991 dalam Abrar 2005).