A. Pengertian
Homeschooling atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah sekolah rumah
merupakan model pendidikan alternatif yang menjadikan keluarga sebagai peran utama
dalam memegang tanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya dengan menggunakan
rumah sebagai basis pendidikannya, (Sumardiono dalam Ariefianto 2017:22). Orang tua
bertanggung jawab dan terlibat secara langsung dalam proses penyelenggaraan pendidikan
mulai dari penentuan arah dan tujuan dari pendidikan, nilai yang ingin dicapai,
keterampilan dan kemampuan yang ingin dicapai, kurikulum pembelajaran hingga cara
belajar keseharian anak.
1. Komitmen
Keberhasilan HS benar-benar tergantung pada sejauh mana orangtua
mampu memegang komitmen. Tidak bisa ditawar lagi, dalam HS
orangtualah pemegang kendalinya. Beri anak kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya. Apa yang sudah diputuskan, harus dipatuhi.
2. Mencintai anak
Semua orang tua pastilah mencintai anak-ananya, darah dagingnya sendiri.
Namun, kadar cintanya tidak sama. Ada orang tua yang memaknai cinta
dengan membelikan mainan atau pakaian serba keren. Penampilan anak
dipermak sedemikian rupa sehingga banyak orang yang mengaguminya.
Melimpahi anak dengan materi yang luar biasa. Padahal arti dari mencintai
anak bukanlah menjadikan anak sebagai bintang di kehidupannya, namun
orangtua yang cinta anak akan memfasilitasi pendidikan anak-anaknya
sebaik mungkin. Memberi dukungan sepenuhnya dalam proses belajar
mereka. Cinta akan membuat orangtua memberkan pendidikan terbaik
sesuai kemampuannya, cinta juga yang membuat orangtua mampu melihat
sekecil apapun potensi anak. Cinta akan membuat anak berkembang dengan
lebih sempurna. Cinta akan membuat orangtua mampu mengorbankan
waktu dan tenaga demi pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
3. Disiplin
Pada saat memilih HS sebagai pendidikan dasar bagi anak-anaknya, para
pelaku HS harus memiliki disiplin yang tinggi karena akan ada peraturan
yang harus dipatuhi. Pemilihan kurikulum, jadwal belajar, pilihan waktu
libur, buku yang akan digunakan, metode belajar, dan sebagainya harus
diatur sedemikian rupa untuk kemudian dilaksanakan.
4. Mau belajar
Orangtua harus bisa memahami standar kurikulum yang akan dipakai. Bila
memang merasa kurang mampu, tidak ada salahnya untuk belajar.
Walaupun nantinya masalah ini diserahkan kepada guru les atau tutor,
minimal orangtua harus bisa mengikuti perkembangan kurikulum yang akan
digunakan dalam melaksanakan HS tersebut.
5. Kreatif
Orangtua harus menciptakan suasana belajar yang tidak kaku. Belajar bisa
dilakukan di mana saja dan kapan saja. Jadi, orangtua harus pandai memilih
media yang tepat untuk anak-anaknya agar tidak muda bosan. Kreativitas
dituntut untuk membuat anak merasa nyaman dan betah dalam mengikuti
pelajarannya.
6. Orientasi ke depan
HS membutuhkan kesabaran dan mental baja untuk melaksanakannya.
Tidak ada yang instan. Semuanya disiapkan perlahan-lahan dengan hati-hati
untuk tujuan ke depan. Adakalanya proses belajar tidak berjalan dengan
lancar karena berbagai alasan. Orangtua sebagai nahkoda hanya perlu fokus
pada tujuannya. Bimbing anak agar tida tergelincir dalam kesalahan-
kesalahan yang fatal. Kesalahan kecil di sana-sini adalah wajar. Mental baja
dan kesabaran bisa memperbaiki semuanya.
7. Tidak mudah putus asa
Pada kenyataannya, menjalankan HS memang bukan perkara yang mudah
bila kita tergolong orang yang gampang putus asa. Orang tua harus
menemukan gaya tersendiri dalam melaksanakan HS. Metode atau cara
yang digunakan harus disesuaikan dengan kesenangan anak. Akan ada
banyak ketakutan akan kegagalan dan ketidaksanggupan melanjutkan HS.
Seiring berjalannya waktu, gaya yang pas akan ditemukan, selama orangtua
tidak putus asa untuk terus mencoba dan berusaha.
Di Indonesia, homeschooling mulai marak dan menarik perhatian sejak tahun 1990-
an. Salah satu tokoh yang melakukan homeschooling untuk mendidik anak-anaknya adalah
K.H. Agus Salim. Sebenarnya banyak tokoh yang sudah menjalani homeschooling sejah
puluhan tahun silam. Bisa dikatakan cikal bakal HS berawal dari zaman raja-raja atau kaum
bangsawan yang memilih memanggil guru privat untuk anak-anaknya.
Sejarah HS tidak lepas dari sosok John Caldwell Holt, seorang warga Amerika
Serikat yang menulis buku tentang pendidikan formal pada tahun 1960-an. Holt menyoroti
kegagalan anak di sekolah karena tekanan berlebihan dari guru yang menyebabkan anak
menjadi takut. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang senang belajar.
Sayangnya, kesenangan itu justru dirusak oleh orang-orang yang berusaha untuk mengatur
dan mengontrolnya. Dalam hal ini, tentu saja yang dimaksud Holt adalah para guru. Setelah
menulis beberapa buku, Holt akhirnya menerbitkan bacaan khusus yang menjadi salah satu
sistem pendukung HS saat itu, yaitu: “Growing Without School”. Dari sinilah Holt dianggap
sebagai salah satu pelopor HS modern yang pada kemudian hari berkembang begitu pesat.
Intinya, sejak ribuan tahun silam orang-orang sudah menyadari pentingnya ilmu
pengetahuan. Ini membuktikan bahwa pada dasarnya manusia sangat senang mempelajari
hal-hal baru. Manusia berkembang sesuai kebutuhan dan keadaan lingkungannya. Begitu
juga HS telah menjadi salah satu pilihan menarik dalam kehidupan masa kini. HS memberi
anak kesempatan untuk memperluas tempat belajar, tidak ada batasan duduk di dalam kelas
dan ditemani buku pelajaran saja. HS telah mengembalikan hakikat belajar itu sendiri.
Pelaku HS dibebaskan untuk mereguk ilmu dari mana pun sumbernya. Bebas memilih apa
yang ingin dipelajarinya. Pada zaman yang serbamaju ini, akses untuk mendapat ilmu
sangatlah mudah. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan baik agar bisa mendapatka
pelajaran yang memang dibutuhkan. HS adalah sebuah peluang untuk sekolah yang begitu
luar biasa.
C. Tujuan Program
Sebenarnya tidak ada sejarah khusus kapan pertama kali Lembaga Kursus dan
Pelatihan didirikan di Indonesia. Namun, seiring banyaknya kebutuhan masyarakat dalam
mengembangkan potensi alam dan potensi sumber daya manusianya, LKP hadir sebagai
lembaga yang mewadahi urgensi-urgensi yang dihadapi masyarakat, mulai dari kurangnya
pemanfaatan potensi alam dan rendahnya perekonomian masyarakat. LKP merupakan
lembaga yang beridiri sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya, apabila
masyarakat berada dipesisiran berarti masyarakat membutuhkan lembaga kursus
pengelolaan potensi laut dengan didirikan kursus dan pelatihan pembuatan kerajinan dari
cangkang kerang, dan lain-lain.
Kebijakan program LKP tercantum dalam pasal 26 ayat (4) UU No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas. Secara umum dalam pasal 26 (5) dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapa hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja,
usaha, mandiri dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu
diperlengkap dalam pasal 103 (1) PP No. 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat
dalam rangka untuk mengembangkan kepribadian profesional dan untuk meningkatkan
kompetensi vokasional dari peserta didik.
Lembaga Kursus dan Pelatihan diselenggarakan bagi peserta didik yang tidak
dibatasi oleh usia, jenis kelamin, semua lapisan masyarakat berhak mengikuti kursus dan
pelatihan.
H. Sumber Referensi
FokusJabar.com. 2017. Tak Hanya Tingkatkan Nilai Pendidikan, LKP dan PKBM Diharapkan
Beri Keterampilan Tambahan. Bandung Raya: Fokus Jabar News.