Anda di halaman 1dari 17

ekolah rumah atau homeschooling adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan/informal.

Sekolahrumah
dilakukan di rumah, di bawah pengarahan orangtua dan tidak dilaksanakan di tempat formal lainnya seperti
di sekolah negeri, sekolah swasta, atau di institusi pendidikan lainnya dengan model kegiatan belajar
terstruktur dan kolektif.
Sekolah rumah bukanlah lembaga pendidikan, bukan juga bimbingan belajar yang dilaksanakan di sebuah
lembaga, melainkan model pembelajaran di rumah dengan orang tua sebagai penanggung jawab utama.
Orangtua bisa berperan sebagai guru atau juga mendatangkan guru pendamping atau tutor ke rumah.
Sekolah rumah bukan berarti kegiatannya selalu di rumah. siswa dapat belajar di alam bebas baik di
laboratorium, perpustakaan, museum, tempat wisata, dan lingkungan sekitarnya. Komitmen orangtua dalam
menemani anak belajar adalah kunci utama.
Para orangtua memiliki sejumlah alasan yang membuat mereka memilih model
pendidikan homeschooling untuk anak-anak mereka. Tiga alasan yang kebanyakan dipilih di Amerika
Serikat adalah masalah mengenai lingkungan sekolah yang tidak kondusif, untuk lebih menekankan
pengajaran agama atau moral, dan ketidaksetujuan dengan pengajaran akademik di sekolah negeri maupun
sekolah swasta.
Saat ini, homeschooling sangat populer di Amerika Serikat, dengan persentase anak-anak 5-17 tahun yang
diberikan homeschooling meningkat dari 1.7% pada 1999 menjadi 2.9% pada 2007.[1]

Homeschooling di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Makna homeschooling di Indonesia telah disalahartikan oleh beberapa pihak (lembaga nonformal/PKBM) dan
cenderung menyesatkan pemahaman masyarakat tentang makna homeschooling. Saat ini banyak lembaga
pendidikan nonformal yang berdiri dengan menggunakan merek homeschooling tetapi kegiatan belajar
dilaksanakan di lembaga. Tentunya hal ini tidak jauh berbeda dengan model sekolah nonformal lainnya.
Padahal di luar negeri tidak ada istilah lembaga homeschooling, kecuali konsultan homeschooling, atau
komunitas homeschooling. Adapun terkadang orangtua memanggil tutor datang ke rumah melalui perusahaan
jasa penyedia tutor atau semacam lembaga les privat, atau juga mencari tutor dengan cara mencari informasi
pada konsultan homeschooling dan komunitas homeschooling.
Di Indonesia, homeschooling semakin dikenal masyarakat setelah berdirinya beberapa lembaga pendidikan
nonformal elit yang menggunakan merek homeschooling. Selain itu, banyak artis, seniman, hingga atlet
memilih model pendidikan seperti ini. Hal ini membuat homeschooling terkesan esklusif dan hanya untuk
kalangan masyarakat menengah ke atas. Padahal pada hakikatnya, kegiatan homeschooling dapat dilakukan
oleh seluruh lapisan masyarakat, asalkan orangtua memahami perbedaan antara ketiga jalur pendidikan Formal
(sekolah), Nonformal (Lembaga), dan Informal (Keluarga dan Lingkungan) sehingga dapat memenuhi
kebutuhan pendidikan anaknya.

Macam-macam Homeschooling[sunting | sunting sumber]


Ada beberapa klasifikasi model homeschooling[2], antara lain:

1. Homeschooling tunggal. Model ini dilaksanakan dalam satu keluarga dan tidak bergabung dengan
keluarga lainnya yang melakukan homeschooling terhadap anak-anaknya.
2. Homeschooling majemuk. Model ini dilaksanakan oleh beberapa keluarga dengan kegiatan-kegiatan
tertentu juga kegiatan pokok dan kegiatannya tetap dilaksanakan di rumah masing-masing.
3. Komunitas homeschooling. Komunitas homeschooling adalah gabungan dari komunitas majemuk
dan mereka menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, dan hal-hal lainnya.
Mengenal Homeschooling di Indonesia
Di Indonesia, homeschooling sudah menjadi salah satu sistem pendidikan yang legal. Hal ini
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 129
tahun 2014, yang menyebutkan bahwa sekolah rumah atau homeschooling adalah proses layanan
pendidikan secara sadar dan terencana dilakukan oleh orang tua/keluarga di rumah atau tempat
dengan suasana kondusif.
Orang tua yang ingin mendidik anaknya secara homeschooling diwajibkan untuk melapor kepada
dinas pendidikan di tingkat kabupaten atau kota.
Homeschooling menjadi pilihan karena beragam alasan, seperti kondisi medis tertentu sehingga
anak tidak memungkinkan mengikuti sekolah formal, ketidakpuasan dengan metode pendidikan
yang tersedia, dan keyakinan bahwa anak tidak dapat mengembangkan minat atau bakat dan
kreativitasnya dalam sekolah umum.

Keuntungan Homeschooling
Keuntungan yang paling utama dari metode belajar dengan sistem homeschooling anak
mendapatkan perhatian penuh dari staf pengajar atau pendidik, karena dia tidak perlu menunggu
giliran dalam mempelajari sesuatu. Ketika anak mampu mengikuti pelajaran, dia bisa terus
melanjutkan belajar ke tahap selanjutnya. Namun jika dia terhambat, dia tetap bisa meminta
pendidik untuk terus mengajarkan hingga memahami sesuatu.
Berikut keuntungan lain dari homeschooling:

1. Waktu belajar yang fleksibel


Salah satu keuntungan homeschooling adalah fleksibilitas waktu belajar. Orang tua, anak, dan staf
pengajar dapat saling merundingkan kapan waktu yang tepat untuk memulai belajar dan
menentukan lama waktu belajar. Selain itu, orang tua juga dapat memilih jadwal mata pelajaran
yang ingin dipelajari dalam satu hari.
2. Anak dapat mengembangkan bakatnya
Orang tua dan anak dapat bersama-sama menentukan sendiri topik, waktu, durasi hingga cara
belajar yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan gaya belajar anak. Setiap anak memiliki bakat
dan minat serta kemampuan mengolah informasi yang berbeda. Dengan homeschooling, metode
belajar bisa lebih optimal untuk mengembangkan bakat setiap anak sesuai keinginan dan
kemampuannya.
3. Anak mendapatkan istirahat yang cukup
Rutinitas sekolah formal yang mengharuskan anak untuk datang lebih pagi dan terkadang pulang
hingga sore, membuat waktu istirahat anak menjadi berkurang. Anak yang memiliki waktu tidur
kurang memungkinkan untuk ketiduran di kelas selama pelajaran berlangsung. Berbeda dengan
anak homeschooling yang mendapatkan waktu istirahat lebih lama, sehingga dapat mengikuti
pelajaran yang diberikan dengan baik.
4. Orang tua dapat mengawasi pergaulan anak
Orang tua dapat terus mengawasi proses pembelajaran dan pergaulan anak
peserta homeschooling. Dengan begitu, anak dapat terhindar dari pergaulan bebas di masa
pertumbuhannya.
5. Anak memiliki kesempatan untuk belajar di luar rumah
Tidak seperti anak-anak yang mendapat pendidikan formal di sekolah pada umumnya,
Anak homeschooling memiliki jadwal yang lebih fleksibel. Anak yang terdidik
dengan homeschooling bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dengan belajar di museum,
perpustakaan, hingga di alam terbuka.

Kerugian Homeschooling
Dari keuntungan yang telah disampaikan di atas, Anda juga perlu mengetahui kerugian yang
mungkin timbul dari program homeschooling.
Efek utama dari homeschooling pada kehidupan sosial adalah terbatasnya ruang lingkup
pergaulan dan pertemanan anak. Homeschooling membuat kehidupan sosial anak terbatas hanya
pada interaksi dengan staf pengajar dan orang tuanya, dibandingkan dengan teman-teman sebaya
yang belajar di sekolah formal.
Untuk mengatasi efek sosial yang mungkin timbul pada anak homeschooling, para orang tua
perlu membuat anak-anaknya tetap terhubung dengan dunia sekolah dan lingkungan sebayanya.
Misalnya, membuat kelompok anak-anak homeschooling untuk berkumpul, belajar, dan
berinteraksi bersama.
Selain itu, anak-anak homeschooling biasanya tidak mendapatkan fasilitas yang mendukung
proses belajar mengajar layaknya di sekolah formal. Contohnya pusat olahraga, laboratorium,
perpustakaan, atau pun studio seni.

Siapa Saja yang Memerlukan Homeschooling?


Orang tua lebih memilih memasukkan anaknya ke program homeschooling karena dipengaruhi
berbagai faktor, misalnya karena sang anak menderita penyakit serius yang membuat
aktivitasnya terbatas. Berikut beberapa anak dengan kondisi khusus yang memerlukan
program homeschooling:

1. Anak penderita ADHD (attention deficit hyperactivity disorder)


ADHD merupakan kondisi di mana anak kesulitan dalam berkonsetrasi, serta muncul perilaku
hiperaktif dan implusif. Gejala ini muncul ketika memasuki usia sekolah, sehingga mereka
kesulitan dalam mengikuti pelajaran.
2. Anak penderita OCD (obsesif compulsive disorder)
OCD merupakan suatu kondisi yang menyebabkan anak memiliki pikiran, perasaan, dan
ketakutan yang tidak diinginkan. Anak penderita OCD biasanya kesulitan untuk berkonsentrasi
pada tugas sekolah yang diberikan.
3. Disleksia
Dislesksia merupakan gangguan proses belajar, yang membuat anak kesulitan dalam membaca,
menulis, dan mengeja. Penderita disleksia akan kesulitan dalam mengidentifikasi bagaimana kata-
kata yang diucapkan harus diubah menjadi huruf dan kalimat. Namun pada umumnya, penderita
disleksia tetap memiliki tingkat kecerdasan yang normal.

Yang perlu Anda perhatikan adalah homeschooling bukanlah jalan pintas bagi anak yang
mengalami kendala selama di sekolah, misalnya masalah akademik atau anak menjadi
korban perundungan. Sebelum memilih homeschooling, orang tua dan guru harus mendiskusikan
bersama untuk mengetahui masalah yang dihadapi, dan menentukan metode pendidikan apa yang
terbaik untuk anak.
JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini, semakin banyak para orangtua yang memilih jalur pendidikan informal
untuk anak-anaknya dengan sekolah rumah (homeschooling). Salah satu faktor yang membuat minat
masyarakat memilih jalur pendidikan ini adalah karena informasi yang semakin luas. Demikian menurut
Yulianti Hendra, salah satu penulis buku "Home Learning: Belajar Seru Tanpa Batas" sekaligus pengurus
Jakarta Homeschool Club. "Kelihatannya meningkat dibanding waktu saya mulai dulu. Dulu informasinya
susah tapi sekarang sudah banyak. Jadi lebih banyak yang berani untuk menjalankan," kata Yuli di sela
peluncuran bukunya di Gramedia Matraman, Jakarta, Kamis (15/3/2018). Yuli menambahkan, beberapa alasan
umum para orangtua me

Di samping itu, beberapa orangtua memilih homeschooling untuk anak berkebutuhan khusus. Variasi umur
anak memulai homeschooling beragam. Namun, menurutnya banyak orang tua yang mulai cari tahu saat
anaknya di Taman Kanak-Kanak (TK) atau bahkan aejak awal memiliki visi untuk memilih homeschooling.
"Ada juga yang anaknya sudah sekolah reguler terus kecewa, ketemu problem. Itu ada juga yang baru berpikir
cari sekolah alternatif," tuturnya. Penulis buku Home Learning: Belajar Seru Tanpa batas, Ning Nathan,
Yulianti Hendra dan Natalia Ridwan (paling kiri ke kanan) dalam peluncuran buku di Gramedia Matraman,
Jakarta, Kamis (15/3/2018).(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra) Sementara itu, Natalia Ridwan, yang juga
menulis buku yang sama, mengaku sempat menyekolahkan anak pertamanya di sekolah reguler hingga kelas 3
SD. Ada beberapa alasan yang membuatnya kemudian memilih homeschooling bagi anaknya. Salah satunya
adalah saat anaknya kerap berbicara kotor dan kurang sopan saat kelas 2 SD. Kata-kata itu didapatkannya dari
lingkungan sekolah. "Saya bilang, itu kata-kata yang enggak bagus harusnya enggak diucapkan. Tapi itu
berulang. Akhirnya kenapa saya enggak tarik saja anak saya untuk homeschooling," ucap Natalia. Selain itu,
anaknya juga pernah "mogok" belajar karena melihat teman-temannya suka menyontek. "Dia bilang, 'buat apa
belajar? Semua teman-teman nyontek'. Itu kelas 3 SD. Jadi bagi saya, setiap keluarga punya prioritas.
Prioritasnya dia harus punya attitude. Banyak orang pintar tapi orang pintar yang berattitude baik tidak
banyak," kata dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Minat Orangtua Pilih "Homeschooling"
Meningkat", https://lifestyle.kompas.com/read/2018/03/16/120000920/minat-orangtua-pilih-homeschooling-
meningkat.
Penulis : Nabilla Tashandra
Editor : Lusia Kus Anna

https://percikankehidupan.wordpress.com/2008/11/07/homeschooling-di-indonesia-dan-
problematikanya/\ B. KLASIFIKASI FORMAT HOMESCHOOLING

Klasifikasi format homeschooling (www. News@Indosiar.com: 2007) terbagi menjadi tiga yaitu
(1) Homeschooling tunggal, (2) Homeschooling majemuk dan (3) komunitas Homeschooling.

1. Homeschooling tunggal
Dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya karena hal
tertentu atau karena lokasi yang berjauhan.

Tantangan yang dihadapi Homeschooling tunggal: (1) Sulitnya memperoleh dukungan/tempat


bertanya, berbagi dan berbanding keberhasilan, (2) kurang tempat sosialisasi untuk mengekspresikan diri
sebagai syarat pendewasaan, dan (3) orang tua harus melakukan penilaian hasil pendidikan dan
mengusahakan penyetaraannya (www. News@Indosiar.com: 2007).

2. Homeschooling majemuk

Dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok
tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat
dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari
Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan
kegiatan agama.

Tantangan yang dihadapi Homeschooling majemuk: (1) Perlu kompromi dan fleksibilitas jadwal,
suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu, (2) perlu ahli dalam bidang tertentu walaupun “kehadiran” orang
tua harus tetap ada (3) anak-anak dengan keahlian/kegiatan khusus harus menyesuaikan/menerima
lingkungan lainnya dengan dan menerima “perbedaan-perbedaan” lainnya sebagai proses pembentukan
jati diri, dan (4) orang tua masing-masing penyelenggara homeschooling harus menyelenggarakan sendiri
penyetaraannya (www. News@Indosiar.com: 2007).

3. Komunitas homeschooling

Gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan
ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran.
Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.

Alasan memilih komunitas homeschooling antara lain:

Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia dan
pencapaian hasil belajar

Tersedia fasilitas pembelajaran yang lebih baik misalnya: bengkel kerja, laboratorium alam,
perpustakaan, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas olah raga dan kesenian

Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan

Dukungan lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai
keahlian masing-masing

Sesuai untuk anak usia di atas 10 tahun


Menggabungkan keluarga tinggal berjauhan melalui internet dan alat informasi lainnya untuk
tolak banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi

Tantangan yang dihadapi komunitas Homeschooling: (1) Perlunya kompromi dan fleksibilitas
jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu yang dapat dilaksanakan bersama-sama, (2) perlunya
pengawasan yang professional sehingga diperlukan keahlian dalam bidang tertentu walaupun “kehadiran”
orang tua harus tetap ada, dan (3) anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus juga bisa
menyesuaikan dengan lingkungan lainnya dan menerima “perbedaan-perbedaan” lainnya sebagai proses
pembentukan jati diri (www. News@Indosiar.com: 2007).

C. KEKURANGAN DAN KELEBIHAN HOMESCHOOLING

Kelebihan homeschooling (www.sekolahrumah.com., 2007b) adalah:

1. Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.

2. Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan
dalam model sekolah umum.

3. Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang
ditetapkan di sekolah.

4. Lebih siap untuk terjun di dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan
kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya.

5. Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai
dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, drug, konsumerisme, pornografi, mencontek, dsb).

6. Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur (vertical socialization).

7. Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua.

Sedangkan kekurangan homeschooling (www.sekolahrumah.com., 2007b) adalah:

1. Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua

2. Sosialisasi seumur (horizontal socialization) relatif rendah dibandingkan anak sekolah karena
anak homeschooling lebih terekspos dengan sosialiasi lintas umur (vertical socialization).

3. Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan
kepemimpinan.

4. Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan


situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.
D. LEGALISASI HOMESCHOOLING

Homeschooling adalah model pendidikan yang berada dalam jalur pendidikan informal.
Keberadaan homeschooling secara implisit telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 27 ayat (1): Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (www.sekolahrumah.com., 2007a).

Pada tanggal 10 Januari 2007, telah ditandatangani kesepakatan kerjasama Nomor: 02/E/TR/2007
dan Nomor: 001/I/DK/AP/07 antara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas) dengan
Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan tersebut ditandatangani
oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas) dan Dr. Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA).
Kesepakatan ini meningkatkan pengakuan dan eksistensi Homeschooling di Indonesia, karena Komunitas
SekolahRumah diakui sebagai satuan pendidikan kesetaraan (www.sekolahrumah.com., 2007c).

E. PENDEKATAN HOMESCHOOLING (Homeschooling Approach)

Homeschooling memiliki pendekatan yang memiliki rentang yang lebar mulai yang sangat tidak
terstruktur (seperti Unschooling atau Natural Learning) hingga yang sangat terstruktur seperti belajar di
sekolah (school at-home). Sumardiono (2007c) menyebutkan lima pendekatan Homeschooling yaitu (1)
School at-home, (2) Unit studies, (3) Charlotte Mason atau The Living Book Approach, (4) Classical,
Waldorf, Montessori, dan Eclectic, dan (5) Unschooling atau Natural Learning.

Dengan menggunakan referensi “The Complete Idiot’s Guide to Homeschooling” karya Marsha
Ransom, secara mendalam Sumardiono menjelaskan kelima pendekatan tersebut.

School at-home approach adalah model pendidikan yang serupa dengan yang diselenggarakan di
sekolah. Hanya saja, tempatnya tidak di sekolah, tetapi di rumah. Metode ini juga sering disebut textbook
approach, traditional approach, atau school approach.

Unit studies approach adalah model pendidikan yang berbasis pada tema (unit study). Pendakatan
ini banyak dipakai oleh orang tua homeschooling. Dalam pendekatan ini, siswa tidak belajar satu mata
pelajaran tertentu (matematika, bahasa, dsb), tetapi mempelajari banyak mata pelajaran sekaligus melalui
sebuah tema yang dipelajari. Metode ini berkembang atas pemikiran bahwa proses belajar seharusnya
terintegrasi (integrated), bukan terpecah-pecah (segmented).

The Living Books approach adalah model pendidikan melalui pengalaman dunia nyata. Metode
ini dikembangkan oleh Charlotte Mason. Pendekatannya dengan mengajarkan kebiasaan baik (good
habit), keterampilan dasar (membaca, menulis, matematika), serta mengekspose anak dengan pengalaman
nyata, seperti berjalan-jalan, mengunjungi museum, berbelanja ke pasar, mencari informasi di
perpustakaan, menghadiri pameran, dan sebagainya.
The Classical approach adalah model pendidikan yang dikembangkan sejak abad pertengahan.
Pendekatan ini menggunakan kurikulum yang distrukturkan berdasarkan tiga tahap perkembangan anak
yang disebut Trivium. Penekanan metode ini adalah kemampuan ekspresi verbal dan tertulis.
Pendekatannya berbasis teks/literatur (bukan gambar/image).

The Waldorf approach adalah model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolph Steiner,
banyak ditetapkan di sekolah-sekolah alternatif Waldorf di Amerika. Karena Steiner berusaha
menciptakan setting sekolah yang mirip keadaan rumah, metodenya mudah diadaptasi untuk homeschool.

The Montessori appproach adalah model pendidikan yang dikembangkan oleh Dr. Maria
Montessori. Pendekatan ini mendorong penyiapan lingkungan pendukung yang nyata dan alami,
mengamati proses interaksi anak-anak di lingkungan, serta terus menumbuhkan lingkungan sehingga
anak-anak dapat mengembangkan potensinya, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

The Eclectic approach memberikan kesempatan pada keluarga untuk mendesain sendiri program
homeschooling yang sesuai, dengan memilih atau menggabungkan dari sistem yang ada.

Unschooling approach berangkat dari keyakinan bahwa anak-anak memiliki keinginan natural
untuk belajar dan jika keinginan itu difasilitasi dan dikenalkan dengan pengalaman di dunia nyata, maka
mereka akan belajar lebih banyak daripada melalui metode lainnya. Unschooling tidak berangkat dari
textbook, tetapi dari minat anak yang difasilitasi.

F. PROBLEMATIKA HOMESCHOOLING DAN JAWABANNYA

1. Bagaimana Masa Depan Anak Homeschooling?

Untuk memasuki masa depan (baca: profesi) yang dibutuhkan adalah keahlian (expertise) dalam
bidang tertentu (Sumardiono, 2007d). Lebih lanjut Sumardiono menjelaskan bahwa salah satu tanda
keahlian ditandai dengan ijazah/sertifikat dari sebuah jenjang pendidikan tertentu. Selain itu ukuran
keahlian adalah hasil karya (output).

Jika ijazah yang diperlukan untuk memasuki Perguruan Tinggi, maka anak Homeschooling dapat
menempuhnya melalui ujian kesetaraan (Paket A, B,dan C). Jika sertifikat yang menjadi pintu profesi,
praktisi Homeschooling dapat mengikuti kursus dan program sertifikasi yang diselenggarakan oleh
asosiasi profesi dan perusahaan swasta tertentu. Bentuk kursus profesi dan program sertifikasi adalah
dalam bidang komputer, bahasa, seni, dan lain-lain.

Adapun sekarang, perusahaan swasta semakin menghargai “portofolio karya/kemampuan”


daripada sekedar ijazah. Inilah yang dimaksud dengan ukuran keahlian berupa hasil karya (output).
Bentuk profesi berorientasi output seperti bisnis, komputer, marketing, fotografi, entertainment, tulis-
menulis, dan desain, sekarang semakin luas dan memiliki masa depan cerah (Sumardiono, 2007d).

2. Ijazah Homeschooling

Lebih lanjut menerangkan pembahasan sebelumnya mengenai ijazah bagi anak Homeschooling,
sebenarnya tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan dan dipermasalahkan. Mustika (2007a)
menerangkan bahwa di Indonesia telah terbentuk ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan
Alternatif) yang dimotori tokoh-tokoh pendidikan nasional seperti Kak Seto, M. Fauzil Adhim, Dewi
Hughes, dll, serta dibina Departemen Pendidikan Nasional bidang Pendidikan Luar Sekolah. Walaupun
secara formal belum ada Undang-undang yang mengatur Homeschooling, tetapi Homeschooler dapat
mengikuti ujian kesetaraan yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).
Bahkan, ijazah dengan akreditasi internasional dapat diperoleh melalui lembaga-lembaga formal di Eropa
dan Amerika melalui ujian jarak jauh.

3. Homeschooling Mahal?

Mahal atau murahnya setting Homeschooling tergantung pada keluarga yang menyelenggarakan
Homeschooling (Sumardiono, 2007b). Yang pasti Homeschooling tidak gratis karena orang tua perlu
menyiapkan materi-materi belajar untuk pendidikan anaknya dan untuk memperkaya wawasan orang tua
itu sendiri. Homeschooling dapat menjadi murah jika orang tua dapat memanfaatkan sumber daya yang
sudah dimiliki sendiri, misalkan barang-barang yang di rumah, keluarga, teman, tetangga, dan fasilitas-
fasilitas umum yang ada. Orang tua tidak harus membeli, tetapi dapat meminjam, membeli barang bekas,
melakukan daur-ulang (recycle), dan sebagainya.

Sebagai catatan, penyelenggaraan Homeschooling adalah fleksibel, tidak seperti sekolah formal
yang mengharuskan orang tua mengeluarkan biaya tetap yang telah ditetapkan untuk biaya gedung,
seragam, buku, iuran bulanan, dll (Sumardiono, 2007b). Orang juga akan merasakan dampak perubahan
kurikulum yang diterapkan sehingga menjadikan mereka harus membeli buku pelajaran sesuai kurikulum
terbaru bagi anaknya. Padahal secara substansial buku ‘sang kakak’ masih dapat dipakai. Bukankah
secara garis besar isinya sama?

4. Orang Tua Perlu Harus Serba Tahu?

Orang tua tidak harus menjadi orang yang serba tahu jika ingin meng-Homeschool anaknya
(Mustika, 2007a). Yang terpenting dalam Homeschooling adalah penanaman sikap mental belajar kepada
anak-anaknya sehingga mereka dapat belajar kapan saja, dimana saja dan bersama siapa saja. Di sisi yang
berlawanan ini tidak atau kurang dapat diterapkan oleh anak yang menempuh pendidikan formal di
sekolah karena mereka disibukkan dengan tumpukan pekerjaan rumah, belajar untuk ulangan, les dan
sebagainya, yang belum tentu mereka nikmati.
Pada kesempatan yang lain Mustika (2007b) menegaskan bhwa orang tua atau guru Homeschool
‘sangat tidak diharapkan’ menjadi ‘kamus berjalan’ yang harus menjawab semua hal yang ditanyakan
Homeschooler. Bahkan poin penting yang ditekankan Homeschooling adalah penanaman pada
Homeschooler untuk ‘bagaimana belajar’ sehingga diharapkan mereka menjadi pembelajar mandiri.

5. Homeschooling Minim Interaksi Sosial

Kritik terhadap sosialisasi pada Homeschooling bukanlah hal yang baru. Di Amerika Serikat yang
tradisi Homeschooling-nya lebih matang (sekitar tiga juta siswa dengan pertumbuhan 15% per tahun)
pun, kekhawatiran terhadap sosialisasi Homeschoolerbelum dapat ditepis seluruhnya (Sumardiono dalam
Sufehmi, H: 2007). Persepsi yang sangat kuat itu muncul dari masyarakat umum yang melihat proses
Homeschooling dari kejauhan.

Sumardiono (dalam Sufehmi, H: 2007). lebih lanjut menyebutkan bahwa penelitian mengenai
sosialisasi Homeschooler justru menunjukkan sebaliknya. Anak-anak HS memiliki beragam kegiatan
sosialisasi teman sebaya maupun keterlibatan di masyarakat yang ada di sekitarnya. Menurut penelitian,
keterlibatan sosial anak-anak Homeschooling lebih baik dibandingkan dengan teman-teman mereka yang
belajar di sekolah umum. Diantara penelitian itu dilakukan oleh Dr. Brian Ray, presiden dari the National
Home Education Research Institute (NHERI) terhadap 5,402 siswa Homeschooling di Amerika Serikat.

Model sosialisasi Homeschooling memang berbeda dengan model sosialisasi sekolah


(Sumardiono dalam Sufehmi, H: 2007). Dalam model sosialisasi Homeschooling, anak lebih banyak
terekspos dengan model sosialisasi lintas umur, baik ketika belajar di rumah maupun di luar rumah.
Ekspose dengan model sosialisasi lintas-umur inilah yang justru dinilai sebagai kekuatan karena
merupakan cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.

DAFTAR RUJUKAN

harry_sufehmi.com. 2007. Homeschooling dikecam oleh Daoed Joesoef, (Online).

Mustika. 2007a. Homeschooling, Sebuah Alternatif, (Online). (mustikadh.multiply.com)

_______. 2007b. Meluruskan Pemahaman tentang Homeschooling, (Online).


(mustikadh.multiply.com)

News@Indosiar.com. 2007. Homeschooling : Sekolah Rumah atau Rumah Sekolah, (Online).

Permanasari, I. & Napitupulu, E.L. 2007. Sekolah-Rumah, Pilihan untuk Kembangkan Potensi
Anak. Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. PT Kompas Media Nusantara.

Sasongko, D. 2007. Home Schooling Perspektif Baru bersama Wimar Witoelar, (Online).
(www.perspektifbaru.com)
Sumardiono. 2007a. Apa itu Homeschooling, (Online). (www.sumardiono.com)

_______. 2007b. Apakah homeschooling mahal atau murah, (Online). (www.sumardiono.com)

_______. 2007c. Homeschooling Approach, (Online). (www.sumardiono.com)

_______. 2007d. Masa depan anak homeschooling, (Online). (www.sumardiono.com)

_______. 2007e. Mengapa orang tua melakukan homeschooling, (Online).


(www.sumardiono.com)

_______. 2007f. Sosok homeschooling yang terkenal, (Online). (www.sumardiono.com)

http://www.sekolahrumah.com. 2007a. Homeschooling dalam Undang-undang, (Online).

_______. 2007b. Kelebihan dan Kekurangan HS, (Online).

_______. 2007c. Pengakuan Komunitas Homeschooling, (Online).

_______. 2007d. Sejarah homeschooling di Indonesia, (Online).

Latar belakang Homeschooling Menjadi Pilihan

Metode konvensional yang diterapkan pada pendidikan formal dianggap tidak tepat untuk
menangani keberagaman karakter, kecerdasan, bakat dan minat peserta didik. Penyeragaman pada sistem
pendidikan formal menyebabkan banyak peserta didik yang tidak dapat menyalurkan potensi kecerdasan
dan bakat minatnya karena harus mengikuti aturan dan jadwal yang sudah terprogram secara sistematis
lengkap dengan limit waktu yang harus ditempuh. Kenyataan ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi
sebagain besar masyarakat khususnya orang tua yang sangat peduli terhadap perkembangan putra-putri
mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor mengapa homeschooling atau sekolah rumah
menjadi sebuah pilihan untuk menempuh pendidikan.

Alasan lain mengapa sebagian masyarakat memilih homeschooling adalah: (1) gaya
belajar setiap individu belum tentu sesuai dengan sistem pengajaran yang ada di sekolah formal, (2)
keamanan sekolah yang perlu dipertimbangkan, (3) kurikulum sekolah dianggap sudah tidak sesuai
dengan pandangan orang tua (world view), (4) sekolah tidak lagi menjadi wadah persiapan anak didik
memasuki masyarakat dengan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan, melainkan menjadi wadah
mendidik anak dengan pandangan dunia sesuai dengan kebutuhan pemilik modal dan penguasa (Loy Kho,
2007).

Homeschooling atau sekolah rumah menawarkan berbagai keunggulan dibanding dengan


sekolah formal diantaranya yaitu: (1)coustomized, sesuai dengan kebutuhan anak dan keluarga, (2) lebih
memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak di dapatkan dalam model
sekolah umum atau sekolah formal, (3) memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus
mengikuti standar waktu yang telah ditetapkan sekolah, (4) lebih siap unutk terjun di dunia nyata (real
world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari- hari yang ada di sekitar peserta didik,
(5) kesesuaian pertumbuhan nilai- nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan
pergaulan yang menyimpang seperti tawuran, narkoba, mencontek,(6) kemampuan bergau dengan orang
tua dan yang berbeda umur (vertical socialization), (7) biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan
keadaan orang tua (homeschoolingjakarta.wordpress.com, 2012).

Meskipun homeschooling menawarkan banyak keunggulan dibanding dengan sekolah


formal, masih banyak pertanyaan yang timbul dan keraguan yang muncul dari sistem pendidikan
homeschooling. Seperti bagaimana kurikulum dari pendidikan homeschooling atau apakah anak yang
mengikuti pendidikan homeschooling dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi di
sekolah formal? Pertanyaan seperti itu merupakan pertanyaan yang sering diungkapkan orang tua ketika
mempertimbangkan apakah anaknya akan mengikuti pendidikan homeschooling atau akan mengikuti
pendidikan formal. Selain pertanyaan tadi, pertanyaan yang sering muncul adalah tentang sosialisasi anak
terhadap dunia luar dan legalitas.

Menteri Pendidikan Nasional, Mohamad Nuh (Kompas,11/08/2011) mengatakan bahwa anak


yang mengikuti pendidikan homeschooling dapat mengikuti jalur ujian paket A, B, dan C untuk
mendapatkan ijazah guna melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di sekolah formal, atau dapat pula
anak-anak homeschooling mengikuti ujian bergabung bersama dengan pendidikan formal. Mengenai
standar kurikulum, Muhamad Nuh menegaskan homeschooling tetap memiliki kurikulum dasar yang
pendekatannya diserahkan pada pendamping atau pembimbing homeschooling dan orang tua dan
didasarkan pada perkembangan dan kebutuhan anak. Mengenai sosialisasi anak, homeschooling bukan
berarti steril dari masyarakat. Homeschooling justru mengadakan pembelajaran langsung pada sumber
balajarnya, sehingga memungkinkan peserta didik mengasah kemampuan bersosialisasi mereka sehingga
mereka menjadi lebih aktif dan kritis terhadap permasalahan yang mereka hadapi.

Pendidikan nonfromal seperti homeschooling tetap diatur dan dijamin pelaksanaannya


oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan asal pelaksanaan pendidikan terserbut tetap
sejalan dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pemerintah juga memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta yng
terdaftar di komunitas belajar. Lembaga-lembaga pendidikan alternatif juga mendapat Bantuan
Operasional Penyelenggaraan (BOP) atau semacam Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam sekolah
formal.

Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa masih banyak masalah pendidikan yang belum
terselesaikan di Indonesia.Pendidikan nonformal atau pendidikan alternatif seperti homeschooling dapat
mengurangi permasalahan pendidikan yang ada, dan terbukti lebih efektif dibandingkan dengan
pendidikan formal karena pendidikan alternatif seperti homeschooling menggunakan pendekatan yang
bergantung pada kebutuhan peserta didik sehingga dapat memantau perkembangan peserta didik lebih
baik. Meskipun pendidikan nonformal lebih efektif, namun tetap saja pendidikan dengan metode ini
memiliki kekurangan seperti kurangnya kemampuan bekerja dalam kerjasama tim, dan lain-lain hal
tersebut dapat diminimalisir dengan banyaknya latihan-latihan yang diberikan pada perserta didik.
Keunggulan yang dimiliki lembaga pendidikan nonformal bisa menjadi acuan untuk melakukan perbaikan
sistem pendidikan formal yang dirasa masih kurang cocok dengan perkembangan peserta didik yang
kompleks.
G. Daftar Pustaka

Fajar, A. Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kho, Loy. 2007. Homeschooling untuk Anak, Mengapa Tidak ?. Yogyakarta: Penerbit Kansius
(Anggota IKAPI).

Latif, Abdul. 2009. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: PT Refika Aditama

Rachman, Arief. 2007. Home-schooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.

Rifa’I, Achmad dan Anni, Catharina, Tri. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: UPT UNMES
PRESS

Sutarto, Joko. 2007. Pendidikan Nonformal. Semarang: UPT UNNES PRESS.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2003. Jakarta: Republik Indonesia.

A. PENDAHULUAN

Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan
moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerap kali hal-hal
tersebut tidak ditemukan para orang tua di sekolah umum. Oleh karena itu muncul lah ide orang
tua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah
lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (home schooling) atau dikenal juga dengan istilah
sekolah mandiri, atau home edition atau home based learning.

Banyaknya orang tua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orang tua
mendidik anaknya di rumah. Kerap kali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor
(kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosialisasi (nilai-
nilai iman dan moral).

Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu.
Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas
anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau
lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.

Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orang tua memilih mendidik anak-anaknya di rumah,
dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Home Schooling menjadi tempat harapan
orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai
iman/agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.

A. PENDAHULUAN

Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan
moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerap kali hal-hal
tersebut tidak ditemukan para orang tua di sekolah umum. Oleh karena itu muncul lah ide orang
tua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah
lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (home schooling) atau dikenal juga dengan istilah
sekolah mandiri, atau home edition atau home based learning.

Banyaknya orang tua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orang tua
mendidik anaknya di rumah. Kerap kali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor
(kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosialisasi (nilai-
nilai iman dan moral).

Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu.
Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas
anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau
lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.

Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orang tua memilih mendidik anak-anaknya di rumah,
dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Home Schooling menjadi tempat harapan
orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai
iman/agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
2. Sejarah Singkat

Filosofi sekolah rumah menurut John Caldwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964)
adalah bahwa manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar. Yang membunuh
kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur atau mengontrolnya.
Pada tahun 1960-an, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan
oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada akhir
1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian yang menunjukkan
bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8 – 12 tahun bukan hanya tak efektif,
tetapi juga berakibat buruk bagi anak-anak.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan
penting Home Schooling. Setelah itu, Home Schooling terus berkembang. Selain karena alasan
keyakinan (beliefs), pertumbuhan Home Schooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem
pendidikan di sekolah formal.
Saat ini, perkembangan Home Schooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi
yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan
anak-anaknya.
http://gears99.blogspot.com/2012/04/home-schooling-sebuah-pendidikan.html

Mengapa orang-orang Homeschool ?

Dengan suatu sistem sekolah umum yang menarik banyak perhatian legislator kami
dan gratis, belum lagi sekolah-sekolah swasta dengan berbagai pendekatan untuk
pendidikan, orang mungkin banyak bertanya-tanya apa yang menyebabkan mereka
lebih memilih homeschool. Dalam sebuah survey dari satu juta keluarga homeschoo
National Center of Education Statistics (NCES), menemukan hal yang sama pada
survey tahun 2003 (data yang paling tersedia saat ini):

 Kebanyakan keluarga memiliki berbagai alasan untuk homeschool.


 Kebanyakan keluarga termasuk diantara alasan-alasan mereka memperhatikan
tentang lingkungan sekolah (termasuk perhatian-perhatian tentang obat-obatan,
keamanan, atau tekanan dari teman sebaya), kualitas instruksi akademi, dan
keinginan untuk mengusulkan anak-anak mereka derajat moral yang lebih
tinggi atau pengajaran agama.
 Beberapa orang tua ingin homeschool karena alasan spesifik anak, seperti
alasan kesehatan fisik atau mental anak, kebutuhan khusus yang anak-anak
perlukan, atau keinginan anak sendiri untuk homeschool.
 Sejumlah kecil homeschooler juga menginginkan fleksibilitas yang lebih yang
dapat diberikan homeschooling atau ingin mengendalikan kurikulum.
 Ketika diminta untuk mengidentifikasi alasan utama mengapa mereka
menginginkan homeschool, sekitar satu dari tiga keluarga homeschool
mengidentifikasi lingkungan sekolah yang buruk sebagai alasan yang paling
menarik, sementara tiga yang lain membuat pilihan terutama untuk
memberikan pengajaran moral atau keagamaan dalam kurikulum anak-anak
mereka.

Membandingkan keluarga homeschooling dengan keluarga murid sekolah


publik atau swasta.

Melihat keluarga homeschooling dibandingkan dengan keluarga sekolah publik atau


swasta dalam data NCES, perbedaan paling menonjol yang muncul adalah:
 Sementara keluarga dengan dengan tiga anak atau lebih membentuk 43.6% dari
populasi sekolah publik dan 40.6% dari populasi sekolah swasta, mereka
membuat 62% dari populasi homeschooling.
 Sementara semua populasi lebih mungkin tinggal bersama keluarga dengan dua
orang tua, 49.3% dari siswa sekolah umum dan 56.3% dari siswa sekolah
swasta memiliki kedua orang tua yang bekerja, sementara hanya 25% dari
keluarga homeschooler yang seperti itu.
 Sementara setengah dari siswa sekolah swasta memiliki pendapatan keluarga $
75,001 atau lebih, siswa sekolah publik dan siswa homeschool sama dalam
kurun pendapatan $ 25,000 , $25,001 - $ 50,000 , $ 50,001 - $ 75,000 , dan $
75,001 keatas.

Jumlah siswa homeschool.

Menelaah jumlah siswa-siswa yang menghadiri berbagai macam jenis sekolah, data
NCES menunjukan bahwa:

 Pada tahun 2003, 2.2% dari semua siswa - sekitar 1.096.000 - yang
homeschool, naik dari 1.7% siswa (850.000) pada tahun 1999.
 Lebih dari 43% murid homeschool berada ditingkat K-5, dengan sekitar 28%
berada dikelas 6-8, dan sekitar 29% dikelas 9-12.
 Lebih dari 19.5% orang tua homeschool telah lulus atau sekolah profesional.
 Dari 1.096.000 siswa yang homeschool pada tahun 2003, 82% dari mereka
tidak memiliki pendidikan selain homeschooling, sedangkan 18% lainnya
mengikuti sekolah part-time, kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu 9
jam seminggu.

Pengamatan pada kurikulum.

Sehubungan dengan metode homeschooling, data NCES tahun 2003 menunjukkan:

 Lebih dari 41% siswa homeschool terlibat dalam beberapa pembelajaran jarak
jauh.
 Dari semua siswa yang terlibat dalam pembelajaran jarak jauh, lebih dari 20%
yang mendapat pelajaran dari televisi, video, atau radio; hampir 19.5% diajari
lewat internet, email, atau penggunaan web lainnya, dan 15% lainnya
menggunakan United States Postas Service (USPS).

Sumber-sumber lain yang digunakan untuk kurikulum antara lain:

 Perpustakaan publik untuk lebih dari 78% keluarga homeschooling.


 Seseorang atau penerbit yang mengkhususkan diri dalam homeschooling
sebanyak 77% dari keluarga homeschooling.
 Toko buku atau toko lainnya hampir 69% dari keluarga homeschooling.
 Penerbit pendidikan tanpa spesialisasi homeschool hampir 60% dari keluarga
homeschooling.
 Sebuah organisasi yang mengkhususkan diri dalam homeschooling hampir 50%
adalah keluarga homeschooling.
 Organisasi keagamaan 35% dari keluarga homeschooling.
 Sekolah swasta, sekolah umum, atau sekolah distrik umum 39.4 dari keluarga
homeschooling.

National Center of Education Statistics (NCES) - /nces.ed.gov/pubs2006/homeschools


https://otodidik.blogspot.com/2010/08/homeschooling-statistics.html

Anda mungkin juga menyukai