Anda di halaman 1dari 25

Konsep dan Asuhan Keperawatan

Gangguan Pencernaan Anak Stenosis Pilorus Hipertrofik (SPH)

OLEH
KELOMPOK 5 :
Debi Sambak C12115005
Inggrid Aprilianty Rowa C12115308
Deka Khusnul Ainiyah C12115508
Andi Febrina Sosiawati C12115517
Mariani Afandy C12115013
Nurlaila Sari C12115040
Nurlia Rahma C12115326
Putri Yani C12115021
Ririn Andilolo C12115317
Sumita Rianti Bahris C12115031
Yunisa C12113025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya sehingga makalah tentang “Keperawatan Anak Dengan Stenosis
Pilorus Hipertrofik” untuk mata kuliah system pencernaan dapat terselesaikan.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen yang bersangkutan kepada kami kelompok 5 sebagai mahasiswa
program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasnuddin.

Makalah ini dibuat untuk mengetahui materi tentang “Keperawatan Anak


Dengan Stenosis Pilorus Hipertrofik” khususnya pada anak. Dengan makalah ini,
diharapkan dapat memudahkan kita dalam mempelajari materi system pencernaan
khususnya mengenai “Keperawatan Anak Dengan Stenosis Pilorus Hipertrofik”.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari cara penulisan maupun
isi dari makalah ini, karenanya kami siap menerima baik kritik maupun saran dari
dosen pembimbing dan pembaca demi tercapainya kesempurnaan dalam pembuatan
berikutnya.

Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan


makalah ini, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga Tuhan yang
Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan bimbingannya kepada kita semua.

Makassar, 17 September 2017


Penyusun

Kelompok 5

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4
A. Latar Belakang .................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 4
C. Tujuan Pembelajaran .......................................................................................... 5
BAB II ........................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6
A. Pengertian Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ................................................. 6
B. Etiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ..................................................... 7
C. Manifestasi Klinis Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ..................................... 7
D. Patofisiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) .............................................. 8
E. Evaluasi Diagnostic Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) .................................. 9
F. Prinsip Pengobatan dan Manajemen Perawatan .............................................. 10
G. Penatalaksanaan Terapeutik dan Pertimbangan Keperawatan ......................... 11
H. Asuhan Keperawatan Anak dengan Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ........ 15
I. Kasus ................................................................................................................ 15
BAB III ....................................................................................................................... 24
PENUTUP ................................................................................................................... 24
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 24
B. Saran ................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mempelajari asuhan keperawatan pada anak, khususnya
gangguan sister gastrointestinal dan hepatobilier, salah satu yang perlu
mendapat perhatian adalah tenosis pilorus. Stenosis pylorus kongenital timbul
pada satu dari 150 anak laki-laki, dan satu dari 775 anak perempuan. Insiden
stenosis piloris hipertrofik sebesaar 5 kali lebi lazim terjadi pada anak laki-
laki dari pada anak perempuan dan dapat terjadi pada satu atau kedua anak
kembar identik. Di Amerika, insiden penyakit ini terjadi sekitar 3:1.000
kelahiran hidup, frekuensinya mungkin semakin meningkat (Behrman, 2002)
Kelainan ini lebih sering terjadi pada kulit putih keturan Eropa Utara,
kurang sering pada orang kulit hitam, dan jarang pada orang Asia. Laki-laki
(terutama anak pertama) 4 kali lebih sering daring dari perempuan.
Diturunkan dari ibu dan lebih sedikit diturunkan dari bapak.
Stenosis pylorus terjadi pada sekitar 20% laki-laki dan 10%
perempuan keturunan ibu, dan meningkat pada keturunan bayi dengan
golongan darang B dan O. Stenosis pylorus dapat disertai dengan kelainan
bawaan lain seperti fistula trakeoesofagus (Behrman, 2002).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ?
2. Bagaimana etiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ?
3. Bagaimana manifestasi klinis Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ?
4. Bagaimana patofisiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ?
5. Bagaimana evaluasi diagnostic Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ?
6. Bagaimana prinsip pengobatan dan manajemen pengobatan Stenosis
Pylorus Hipertrofik (SPH) ?

4
7. Bagaimana Penatalaksanaan Terapeutik dan Pertimbangan Keperawatan
Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH) ?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan Anak dengan Stenosis Pylorus
Hipertrofik (SPH) ?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian Stenosis Pylorus Hipertrofik
(SPH)
2. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik
(SPH)
3. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis Stenosis Pylorus
Hipertrofik (SPH)
4. Bagaimana patofisiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)
5. Bagaimana evaluasi diagnostic Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)
6. Mahasiswa mampu mengetahui prinsip pengobatan dan manajemen
pengobatan Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)
7. Mahasiswa mampu mengetaui Penatalaksanaan Terapeutik dan
Pertimbangan Keperawatan Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)
8. Mahasiswa mampu mengetahui Asuhan Keperawatan Anak dengan
Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)

Stenonosis pylorus hipertrofik


adalah obstruksi sfingter pilorus oleh
hiper trofi otot sirkuler daripilorus
(Wong, 1996) dalam buku (Rendle,
Gray, & Dodge, 2005).
Stenosispilorus merupakan
penyempitan pilorus karena jaringan
parut yang terbentukpada
penyembuhan ulkus seosen. Stenosis
pilorus hipertrofik kongenital yaitu
stenosis yang disebabkan oleh
penebalan otot sfingter pilorus.
Stenosis trofik pylorus terjadi ketika otot sirkuler pilorus menebal
sehingga terjadi penyempitan pilorus dan obsruksi saluran keluar lambung
(Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008).
Biasanya keadaan ini terjadi dalam usia beberapa minggu pertama dan
mengakibatkan muntah proyektil, dehidrasi, alkalosis metabolik serta
kegagalan tumbuh kembang.
Stenosis hipetrofik pilorus lebih sering dijumpai pada anak pertama
dan bayi laki-laki lebih sering terkena dengan frekuen 5x lebih sering dari
pada bayi perempuan. Kelainan stenosis ini lebih sering terdapat pada bayi
aterm dibandingkan pada bayi premature, dan lebih jarang ditemukan pada

6
bayi asia serta afro-amerika ketimbang bayi laki-laki Kaukasia (penduduk
kulit putih).

B. Etiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)


Penyebab stenosis pilorus belum diketahui secara pasti, terdapat
predisposisi ginetik dan saudara kandung serta anak-anak dari orang yang
terkena stenosis hipertrofik piloris memiliki resiko lebih tinggi mengalami
keadaan ini (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz,
2008).
Tetapi berbagai faktor telah diidentifikasi dan dicurigai terlibat dengan
penyakit ini. Stenosis pilorus tidak tampak saat lahir. Bayi dengan lahir
kembar monozigot lebih berpeluang dibanding dizigot. Inervasi otot yang
tidak normal, menyusui, dan stress pada ibu di trimester tigaa lebih diketahui
ikut terlibat menjadi faktor penyebab terjadinya stenosis pylorus, selain itu
peningkatan prostragandin serum, penurunan kadar nitrat oksida sintase di
pilorus, dan hipergastrinemia kemungkinan lain adalah pemberian
prostaglandin E eksogen untuk mempertahankan petensi ductus arteriosus,
gastroenteritis eosinophilia, trisomi 18, sindrom Turner, Smith Lemli Opitz,
dan Canela de Lange (Rendle, Gray, & Dodge, 2005).

C. Manifestasi Klinis Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)


Gambaran utama stenosis pilorus adalah muntah proyektil, peristaltik
lambung dapat dilihat, dan tumor pilorus yang dapat diraba. Gelombang
peristaltic dapat terlihat melintas dari kiri ke kanan di abdomen atas. Gejala
awal dari stenosis pilorus adalah adanya muntah tanpa empedu, karena
obstruksi proksimal duodenum. Gejala jarang dimulai sebelum umur 10 hari
setelah kelahiran, apakah bayi lahir premature atau tidak (Catzel, 1992). Pada
awalnya muntah menyembur, namun dapat juga tidak, biasanya bersifat

7
progresif dan terjadi segera setelah makan ataubisa intermitten. Muntah
biasanya mulai setelah umur 3 minggu, tetapi gejala muncul paling awal pada
umur 1 minggu, dan paling lambat pada umur 5 bulan (Solidikin, 2011).
Dalam beberapa hari, bayi muntah setiap sehabis makan dan makanan
dikeluarkan dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga dapat menyembur
(muntah proyektil)- tetapi jaranh. Kadang pada bayi disertai juga konstipasi,
tetapi kadang-kadang bayi mengeluarkan feses kecil, encer, dan berwarna
hijau; setelah muntah , bayi akan merasa lapar dan ingin makan lagi. Karena
muntah teruss-menerus terjadi, maka terjadi kehilangan cairan, ion hydrogen,
dan klorida secara progresif, sehingga menyebabkan alkalosis metabolik
hipokleromik. Kadar kalium serum seperti biasanya, tetapi mungkinada
pengurangan kadar totalnya muntah.

D. Patofisiologi Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)


Otot sirkuler pylorus membesar secara nyata akibat hipertrofik
(peningkatan ukuran) dan hyperplasia (peningkatan masa). Keadaaan ini
menimbulkan peyempitan hebat pada kanalis pylorus yang terletak diantara
lambung dan duodenum. Akibatnya, lumen saluran pada tempat makan
mengalami obtrsuksi parsia. Seiring waktu prosess inflamasi dan edema akan
mengakibatkan pengurangan lebih lanjut ukuran lubang saluran pylorus
sampai kemudian terjadi perubahan obtruksi parsial menjadi obtruksi total.
Terapkali otot pylorus tersebut menebal hingga mencapai dua kali lipat
ukuran lazimnya (2 hingga 3 cm), dan pylorus akan mengalami hipertrofik
dapat diraba sebagai massa berbentuk buah jaitun pada daerah abdomen
bagian atas (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz,
2008).
Bukti menunjukan bahwa inervasi setempat turut terlibat dalam
patoginesiss kelainan ini. Pada bagian besar kasus terdapat lesi yang terpisah;

8
meski demikian, stenosis hipertofik pilorus bisa disertai dengan malrortasi
intestinal, atresia, esophagus, serta duodenum, dan anomaly anorectal.

E. Evaluasi Diagnostic Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)


Kerapkali didiagnosis stenosis hipertrofik pylorus dibuat sesudah
anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Keadaan ini secara tipikal
terdapat ketika bayi berusia antara 1 minggu dan 10 minggu. Biasanya
vomitus terjadi 30 hingga 60 menit setelah pemberian susu. Biasanya vomitus
yang proyektil timbul dalam satu minggu dan kerap kalai gejala ini berlanjut
menjadi obstruksi total dan usia 4 hingga 6 minggu. Muntahanya tidak
mengandung empedu dan biasanya terdiri dari air susu tyang sudah rusak.
Acap kali bayi ini mengalami dehidrasi serta letargik dan menunjukan gejala
malnutrisi yang signifkan (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein,
& Schwartz, 2008).
Jika diagnosis tidak disimpulkan dari riwayat penyakit dan hasil
pemerikaan fisisk, pemeriksaan USG akan menunjukan masa yang panjang
serta berbentuk seperti sosis dengan saluran pylorus yang memanjang. Jika
USG tidak berhasil meperliahtkan pylorus yang hipetrofik, maka pembuatan
foto ronsen GI bagian atas harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
vonitus yang lain.
Hasil pemeriksaan laboraturium mencerminkan perubahan metabolic
yang disebabakan oleh deples cairan maupun elektrolit yang berat akibat
vomitus yang berat dan berkepanjangan. Terjadi penurunan kadar natrium
maupun kalium, sekaligus penurunan kedua mneral iini dapat ditutupi oleh
keadaan hemokonsentrasi akibat deplesi cairan ektrasel. Hasil pemeriksaan
labolaturium yang paling besar makna diagnostic adalah penurunan kadr
klorida serum dan peningkatan nilai PH serta kadra karbonat (kandunan
karbondioksia) yang merupakan ciri khas alkalosis metaboloik. Kadar ureum

9
akan meningkat sebagai bukti terjadinya dehidrasi (Wong, Hockenberry-
Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008).

F. Prinsip Pengobatan dan Manajemen Perawatan Stenosis Pylorus Hipertrofik


(SPH)
Dehidrasi dan alkalosis hipekloremik adalah akibat yang harus
pertama kali dilakukan tindakan. Lambung harus dibilas secara brulang kali
dengan normal salin sampai bersih, sonde intragaster ditinggikan pada
tempatnya untuk memastikan pengempisan lambung. Pemberian cairan
intervena dimulai dengan 0,45-0,9 % NaCl, dalam 5-10% dekstrosa, dengan
penambahan kalium klorida dengan kadar bikarbonat serum kurang dari 30
mEq/dl, yang menyatakan bahwa alkalosis sudah terkoreksi. Koreksi terhadap
alkalosis sangat penting untuk mencegah apnea pascabedah, yang mungkin
merupakan akibat dari anastesi (Rendle, Gray, & Dodge, 2005).
Prosedur pembedahan pilihan adalah piloromiotomi Ramstedt,
prosedur ini hanya boleh dilakukan bila pasien sudah dalam kondisi sehat
untuk dilakukan operasi.Prosedur ini dilakukan memlalui insisi pendek
melintang atau dengan laparaskopi, massa pilorus dibahwa mukosa dipotong
tanpa memotong mukosa , lalu irisan ditutup kembali.
Pemberian makanan per oral dimulai kira-kira 4 jam pascabedah
(Illingworth, 1988). Namun, pada kebanyakan bayi makanan dapat dimulai
dalam 12-24 jam sesudah pembedahan dan diteruskan sampai makanan oral
rumutan dalam 36-48 sesudah pembedahan (Bahrman, Kligmen & Arvin,
1996). Pemberian terapi makanan dimulai dengan pemberian 15 ml dekstrosa
15% dalam air , kemudian dilanjutkan dengan 30 ml susu setelah 3 jam
kemudian. Apabila bayi muntah persisten secara kontinu setelah operasi,
maka mungkin piloromiotomi tidak sempurna (harus diulangi), gastritis,
hernia hiatus, atau terdapat penyebab obstruksi lain.

10
G. Penatalaksanaan Terapeutik dan Pertimbangan Keperawatan
1. Penatalaksanaan Terapeutik
Operasi utnuk mengoreksi obstruksi pilorus yang dilakukan lewat
piloromiotomi (yang kadang-kadang disebut prosedur fredet-Ramstedt)
merupakan terapi standar bagi kelainan ini. Prosedur pembedahannya
dikerejakan lewat insisi-insisi longitudinal melaluiserabut otot sirkuler
pilorus ke bawah hingga mencapai mukosa tanpa mengenai lapisan ini.
Prosedur ini memiliki angka keberhasilan yang sangat tinggi jika bayi
sudah menjalani persiapan prabedah yang saksama untuk mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Wong, Hockenberry-Eaton,
Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008).
Biasanya pemberian makan dimulai dalam 4 hingga 6 jam pascabedah;
pemberian makan ini dimulai dengan pemberian cairan glukosa atau
elektrolit dalam porsi kecil tetapi sering. Jika cairan yang jernih tersebut
dapat ditahan, sekitar 24 jam sesudah pembedahan dapat dimulai
pemberian susu formula dengan peningkatan takaran secara bertahap,
yaitu jumlah susu dan interval antara pemberian ditingkatkan secara
berangsung sehingga tercapai kembali jadwal pemberian makan/susu yang
penuh. Biasanya pencapaian jadwal ini memerlukan waktu sekitar 48 jam.
Bayi akan siap meninggalkan rumah sakit pada hari kedua atau ketiga
pascabedah.
Prosedur pembedahan yang lain, laparoskopi, ternyata merupakan
tindakan yang aman dan memberikan hasilyang baik bagi bayi yang
menderita stenosis hipertrofik pilorus (Najmalid dan Tan,
1995).penggunaan insisi kecil untuk laparoskop menghasilkan waktu
pembedahan yang lebih singkat, pemberian makan pascabedah lebih
cepat, dan pemulangan pasien lebih segera.
Prognosis. Sebagian besar bayi dengan kelainan ini akan sembuh
sepenuhnya dalam tempo yang cepat sesudah menjalani operasi

11
piloromiotomi. Komplikasi pascabedahnya meliputi obstruksi pilorus
persisten dan dehisensi luka operasi. Sebagai bayi dengan stenosis
hipetrofik pilorus juga mengalami refluk gastroesoagus.

2. Pertimbangan keperawatan
Stenosis hipertrofik pilonus harus dipertimbangkan sebagai suatu
keadaan yang mungkin terjadi pada bayi usia muda yang tampak sadar
namun berat badannya tidak bisa bertambah dan memiliki riwayat muntah
sesudah menyusu. Pengkajian keadaan ini dilakukan berdasarkan hasil
pbservasi terhadap perilaku makan bayi dan bukti adanya manifestasi
klinis yang khas lainnya.
Perawatan prabedah. Dalam periode prabedah, penekanan harus
dilakukan pada upaya untuk memulihkan status hidrasi bayi dan
keseimbangan elektrolitnya. Biasanya bayi yang menderita stenosis
hipertrofik pilorus tidak boleh mendapatkan makanan arau cairan apapun
per oral sehingga dilakukan pemasangan infus untuk memberikan larutan
elektrolit dan glukosa yang yang didasarkan pada hasil pemeriksaan
elektrolit serum. Pemantauan yang cermat terhadap pemberian cairan infus
dan perhatian yang saksama terhadap asuapan serta haluaran cairan dan
hasil pengukuran berat jenis urine merupakan tindakan yang penting bagi
keberhasilan terpai penggantian cairan tersebut. Setiap gejala muntah, di
samping banyaknya feses dan frekuensi defekasi, harus diamati dan
dicatat dengan akurat (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, &
Schwartz, 2008).
Observasi meliputi pengkajian tanda vital, khususnya tanda yang
mungkin menunjukkan gangguan keseimbangan cairan atu elektrolit. Bayi
dengan kelainan ini cenderung mengalami alkalosis metabolik akibat
kehilangan ion-ion hidrogen dan menderita deplesi kalium, natrium serta
klorida. Pemeriksaan kulit dan membran mukosa harus dilakukan untuk

12
menilai perubahan pada status hidrasi, dan penimbangan berat badan
setiap hari akan memberikan petunjuk tambahan mengenai pertambahan
atau kehilanagn air.
Bila tindakan dikompresi dan lavase lambung merupakan bagian dari
penatalaksanaan prabedah, perawat memiliki tanggung jawab untuk
memastikan agar slang nasongastrik yang terpasang tetap terbuka (paren)
serta bekerja dengan baik, dan untuk mengukur serta mencatat tipe dan
jumlah ciran drainase yang keluarlewat slag tersebut. Biasanya bayi
dibaringkan dengan posisi memdatar atau dengan kepala sedikit
ditinggikan. Observasi yang memadai harus dilakukan pada bayi yang
mendapatkan cairan infus dan/atau dengan pemasangan slag nasogastrik
untuk mengalirkan cairan drainase secara kontinu; observasi ini
diperlukan untuk mencegah terlepasnya jarum infus dan/atau slang
nasogatrik tersebut.
Perawat higiene umum dengan perhatian yang khusus terhadap kulit
dan mulut pada bayi yang mengalami dehidrasi merupakan bagian perawat
yang penting. Perlindungan terhadap infeksi juga penting karena bayi
dengan status gizi yang terganggu lebih rentan dari pada bayi baru dan
ditinggalkan.
Perawatan pascabedah. Vomitus pascabedah dapat terjadi, dan
sebagian besar bayi kendati dengan pembedahan yang berhasil baik
memperlihatkan gejala muntah dalam 24 hingga 48 jam pertama.
Pemberian cairan infus dilakukan sampai bayi dapat minum cairan dalam
jumlah yang memadai dan menahannya. Banyak perawatan yang sama
yang sudah dilaksanakan sebelum pembedahan tetap dilanjutkan sesudah
pembedahan (mis., pengamatan terhadap tanda vital, pemantauan cairan
infus, observasiyang ceat dan pencatatan asupan serta haluaran cairan).
Disamping itu dilakukan pula pengamatan bayi untuk melihat responsnya
terhadap stres karena pembedahan dan bukti adanya rasa nyeri. Pemberian

13
obat-obat analgetik yang tepat diperlukan. Sesudah pembedahan mungkin
slang nasogastrik perlu dipertahankan dalam periode yang bervariasi
(Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008).
Biasanya pemberian makan mulai dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat dan mulai dengan pemberian cairan jernih yang mengandung
glukosa serta elektrolit. Pemberian cairan ini dilaksanakan secara perlahan
dengan jumlah sedikit demi sedikit dan interval yang sering sebagaimana
diinstruksikan oleh dokter. Jika bayi sudah disusui sendiri, pemberian ASI
yang diperah oleh ibunya sendiri dilakukan lewat botol ketika bayi dapat
menerima pemberian susu. Pemberian ASI harus dilanjutkan kembali
secepatnya jika keadan sudah memungkinkan. Pengamatan serta
pencatatan pemberian makan dan respon bayi terhadap pemberian makan
serta teknik pemberian makan merupakan bagian yang sangat penting
dalam perawatan pascabedah. Biasanya pengaturan posisi bayi dengan
kepala yang ditinggikan tetapi dilanjutkan dalam pascabedah. Perawat
luka operasi tediri atas observasi utnuk mengamati setiap cairan drainase
atau tanda inflamasi dan perawatan luka insis sebagaimana diarahkan oleh
dokter.
Seperti pada setiap anak yang dirawat di rumah sakit, orang tua
dianjurkan untuk pendampingi anak mereka dan turut terlibat dalam
perawatannya. Vomitus yang menyembur (proyektil) sangat menakutkan
bagi orang tua, dan kerap kali mereka percaya telah melakukan suatu
tindakan yang salah atau operasinya tidak berhasil. Sebagai besar oatng
tua memerlukan dukungan dan penjelasan yang menyakinkan bahwa
keadaan tersebut lebih disebabkan orang tua.

14
H. Asuhan Keperawatan Anak dengan Stenosis Pylorus Hipertrofik (SPH)

1.Pengkajian Keperawatan
a. Lakukan pengkajian fisik

b. Riwayat kesehatan, khususnya mengenai perilaku makan dan pola


muntah
c. Observasi adanya manifestasi stenosis pylorus hipertrofik:

a)Muntah proyetil. Biasanya terjadi segera setelah makan, namun


dapat tidak terjadi selama beberapa jam,dapat terjadi setelah
makan atau muncul secara intermitten . muntah nonempedu atau
mungkin bercak darah.
b) Bayi lapar dan ingin sekali menyusu, sangat menginginkan
pemberian makanan kedua setelah episode muntah.
c) Tidak ada bukti nyeri atau tidak nyama, kecuali rasa lapar yang
kronis
d) Penurunan berat badan
e) Distensi abdomen atas
f) Teraba tumor berbentuk zaitun di epigastrium, tepat di sebelah
kanan umbilicus
g) Gelombang peristaltic lambung dapat dilihat, bergerak dari kanan
melewati epigastrium (Solidikin, 2011)
d. Bantu dengan prosedur diagnostic dan pengujian,misalnya seri
gastrointestinal atas, USG, atau elektroserum.

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah yang menetap


Sasaran Hasil yang diharapkan Intervensi
Anak mendapat volume  Anak mendapatkan  Pertahankan cairan
cairan yang tepat cukup cairan untuk intravena sesuai
mengganti cairan ketentuan untuk
yang hilang meningkatkan hidrasi
dan mencegah dehidrasi

15
 Tanda hidrasi adekuat  Pantau data laboratorium
dibuktikan dengan untuk menentukan
tanda-tanda vital dan adanya
turgor kulit normal, ketidakseimbangan
membrane mukosa cairan dan elektrolit
lembab, dan keluaran  Pantau masukan,
urine adekuat. keluaran, dan berat jenis
urine unutk menentukan
status hidrasi
 Pantau tanda-tanda vital
dan berat badan harian
untuk mengkaji hidrasi
 Kaji turgor kulit dan
membrane mukosa,
sebagai indicator hidrasi
adekuat
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah
yang menetap
Sasaran Intervensi
Anak mengonsumsi  Lakukan pemberian
nutrisi yang adekuat makanan pascaoperasi
sesuai ketentuan.
 Mulai dengan pemberian
makanan sedikit tapi
sering untuk mencegah
muntah
 Observasi dan catat
respon bayi terhadap
pemberian makanan
untuk menentukan

16
jumlah dan frekuensi
pemberian
makananselanjutnya.
 Lakukan kembali
menyusui atau dorong
keluarga untuk memberi
makanan bayi untuk
menyimpulkan
pemulangan dan
pemberian nutrisi yang
berkelanjutan
3. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan hospitalisasi bayi
Sasaran Hasil yang diharapkan Intervensi
Keluarga akan  Keluarga membantu  Bantu orangtua
membantu anak dalam dalamstrategi menentukan cara terbaik
melakukan koping yang perencanaan untuk menyiapkan anak
efektif terhadap  Keluarga jujur untuk prosedur
hospitalisasi dengananak dan staf hospitalisasi
 Keluarga  Berikan informasi
menggunakan berharga pada keluaga
bermain sebagai alat tentang apa yangakan
untuk berhubungan terjadi sehingga keluarga
dengan anak tahu bagaimana
kemungkinan yang akan
dialami anak
 Dorong keluargauntuk
mempercayai kapasitas
anak dalam melakukan
koping
 Ingtakan keluarga

17
tentang kebutuhan akan
kejujuran dalam
berhubungan dengan
anak
 Dorong keluarga untuk
menggunakan bermain
sebagaistrategi koping

Daftar Cek Pendokumentasian


Menurut (Solidikin, 2011) berikut daftar dokumen selama di RS :
 Status bayi dan lembarhasil pengkajian
 Perubahan-perubahan pada statusbayi
 Hasil-hasil diagnostic dan laboratorium
 Intake cairan dan output
 Intake nutrisi
 Status pertumbuhan dan perkembangan
 Respon bayi terhadap terapi
 Reaksi bayi serta keluargaterhadap keadaan sakit dan hospitalisasi
 Panduan pengajaran pasien dan keluarga
 Panduan rencana pemulangan

18
Kasus

Dilaporkan sebuah kasus bayi laki-laki usia 21 hari datang ke RS Sardjito


dengan keluhan muntah menyemprot. Pasien merupakan rujukan dari spesialis anak
dengan diagnosis piloris spasme. Dua puluh satu hari sebelum masuk rumah sakit,
lahir bayi laki-laki dari seorang ibu umur 21 tahun P1A0 dengan umur kehamilan 40
minggu 5 hari di puskesmas ditolong bidan. Bayi lahir spontan dan langsung
menangis, AS tidak diketahui, berat badan 3000 gram, mekonium keluar < 24 jam.
Pada usia 13 hari (7 HSMRS) saat anak menetek anak muntah 4-5 kali, muntah
langsung dan menyemprot. Pasien dibawa ke puskesmas dan dirujuk ke RS W. Di
RSW pasien di rawat selama 5 hari dengan diagnosis dehidrasi. Pasien diterapi
dengan infus. Tak tampak perbaikan pada pasien dan pasien pulang paksa. Pada usia
20 hari (1 HSMRS) pasien masih muntah dan pasien di bawa ke spesialis anak,
dikatakan pasien mengalami kelainan usus. Pada HMRS (tanggal 10-1-2013) keluhan
menetap, muntah proyekti 3x/10 jam, tiap kali muntah 10-20 cc, isi muntah sesuai
yang diminum (ASI), tak tampak warna kehijauan. Pasien di bawa ke RSI dan di
rujuk ke RSS. Pada saat masuk pasien tampak kehausan, kompos mentis, gerakan
kurang aktif, nangis masih kuat. Suhu tubuh pasien 35,9 derajat celsius, nadi=135 x
/m, respirasi = 45 x /m. Tampak mata cowong, tak teraba pembesaran limfonodi pada
leher. Pemeriksaan palpasi tampak perut distensi di epigastrium, peristaltik (+)
normal, olive sign (+), pada perkusi terdengar timpani. Pemeriksaan ekstremitas akral
masih hangat, turgor kulit turun. Pada RT: TMSA dalam batas normal, mukosa licin.
Pemeriksaan laboratorium tanggal 10-1-2013 hasil: Hb= 19,7; AT=63.000;
AL=10,7; albumin=4,4; GDS=47; Na=174, K=3,0; Cl=10. Pemeriksaan laboratorium
ke 2 tanggal 16-1-2013 hasil: Hb: 13; AT=99.000; AL=12.900; Alb=2,5;
GDS=65;Na=139; K=3,26; Cl=10,1. Pada hari yang sama (tanggal 10-1-2013)
dilakukan pemeriksaan foto polos babygram dengan hasil thorax: pulmo dan besar
jantung dalam batas normal, abdomen: tampak distensi gaster dengan gambaran udara
usus minimal didistal dari gaster, single bubble appearance (+) menyokong gambaran

19
HPS, saran USG abdomen. Dilakukan pemeriksaan USG pada hari yang sama hasil:
pada gaster tampak tebal dinding muskulus pylorus 4,7 cm dan panjang 19 cm.
Pemeriksaan organ lain VF, lien, ren bilateral, dan vesica urinaria dalam batas
normal. Kesan: mengarah gambaran HPS. Dari pemeriksaan fisik, laboratorium, foto
babygram dan USG sesuai gambaran HPS. Pasien di diagnosis sebagai gastric outlet
obstruction suspek HPS dengan dehidrasi tak berat. Pasien direncanakan dilakun
operasi Ramstedt pyloromyotomy. Pasien menjalani operasi Ramstedt
pyloromyotomy pada tanggal 16-1-2013. Diagnosis paska operasi HPS. Paska operasi
albumin dan angka trombosit turun dengan suhu tubuh berubah-ubah disertai
intoleransi makananan, takipnea dan ikterik. Tanggal 25 pasien membaik dan
dipulangkan.
 Data Objektif :
 anak muntah 4-5 kali
 muntah proyektil
 diagnose dehidrasi
 tampak kehausan,
 kompos mentis,
 gerakan kurang aktif,
 nangis masih kuat.
 Suhu tubuh pasien 35,9 derajat celsius,
 nadi=135 x /m,
 respirasi = 45 x /m.
 Tampak mata cowong,
 tak teraba pembesaran limfonodi pada leher.
 Pemeriksaan palpasi tampak perut distensi di
epigastrium
 peristaltik (+) normal, olive sign (+),
 pada perkusi terdengar timpani.

20
 Pemeriksaan ekstremitas akral masih hangat,
 turgor kulit turun
 Hb= 19,7;
 AT=63.000;
 AL=10,7;
 albumin=4,4;
 GDS=47;
 Na=174,
 K=3,0;
 pada gaster tampak tebal dinding muskulus pylorus 4,7
cm dan panjang 19 cm.
 Pemeriksaan organ lain VF, lien, ren bilateral, dan
vesica urinaria dalam batas normal.
 Data Subjektif :
 Muntah proyektil

Diagnosa dan Intervensi

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual dan muntah
NOC NIC
Dalam waktu 1 x 24 jam

 Frekuensi muntah pada  Manajemen Cairan :


pasien berkurang  Berikan cairan dengan tepat
 Intensitas muntah pasien  Distribusikan asupan cairan
berkurang selama 24 jam
 Konsultasikan dengan
dokter jika tanda-tanda dan
gejala kelebihan volume
cairan menetap atau

21
memburuk
 Persiapkan pemberian
produk-produk darah

2. Kekurangan volume cairan b/d mual dan muntah


NOC
NIC
Termorgulasi : bayi baru lahir
Dalam waktu 1 x 24 jam
 Napas pasien teratur  Manajemen Cairan :
 Tidak adanya takipnea  Jaga intake/asupan yang
 Pasien tidak dehidrasi akurat dan catat output
 Monitor tanda-tanda vital
pasien
 Monitor perubahan berat
badan pasien sebelum dan
setelah dialisis
 Berikan cairan dengan
tepat (ASI)
 Dukung keluarga untuk
membantudalam
pemberian makan dengan
baik

 Pemberian makan dengan


botol :
 Kaji status bayi terlebih
dahulu sebelum

22
memberikan susu
 Pegang bayi selama
menyusui dengan botol
 Posisikan bayi dalam
keadaan semifowler saat
menyusui
 Tempatkan dot di ujung
lidah
 Monitor intake cairan
 Monitor berat badan bayi
 Tingkatkan efektivitas
penghisapan dengan
menekan pipi
berbarengan dengan
menghisap
 Kontrol intake cairan
dengan mengatur
kelembutan dot, ukuran
lubang dot dan ukuran
botol

23
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

 Stenonosis pylorus hipertrofik adalah obstruksi sfingter pilorus oleh


hiper trofi otot sirkuler daripilorus. Stenosis hipetrofik pilorus lebih
sering dijumpai pada anak pertama dan bayi laki-laki lebih sering terkena
dengan frekuen 5x lebih sering dari pada bayi perempuan. Gambaran
utama stenosis pilorus adalah muntah proyektil, peristaltik lambung
dapat dilihat, dan tumor pilorus yang dapat diraba. Gelombang peristaltic
dapat terlihat melintas dari kiri ke kanan di abdomen atas. Stenosis
pylorus akan terjadi pada sekitar 20% laki-laki dan 10 % perempuan
keturunan ibu, dan meningkat pada bayi dengan golongan darah O dan
B. stenosis pylorus dapat diserta dengan kelainan bawaan lain seperti
fistula trakeosofagus. Kelainan ini lebih sering terjadi pada orangkulit
putih keturunan Eropa utara,kurang sering padaorang kulit hitam, dan
jarang pada orang Asia . Laki-laki (terutama anak pertama 4 kali lebih
sering dari pada perempuan keturunan ibu, dan pada tingkat lebih sedikit
dari keturunan bapak yang menderita stenosis pylorus.

B. Saran
Mengingat penyakit Stenonosis Pylorus Hipertrofik (SPH) merupakan
penyakit yang membahayakan bagi keberlangsungan hidup bayi/anak-anak
maka penanganan penyakit ini diupayakan secara maksimal dengan
peningkatan mutu pelayanan kesehatan baik melalui tenaga kesehatan,
prasarana dan sarana kesehatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, K. A. (2002). Ilmu Kesehatan Anak Nelson . Jakarta : EGC.

Rendle, J., Gray, O., & Dodge, J. (2005). Sinopsis Pediatri. Tanggerang : Binarupa
Aksara .

Solidikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anaak Gangguan SIstem Gastrointestinal


dan Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika .

Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz,
P. (2008). Wong Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakaeta: Publisher.

25

Anda mungkin juga menyukai