Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA ABDOMEN

OLEH:

NI NYOMAN ADI PALA DEWI 1102105071

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2015
1. Konsep Dasar Trauma Abdomen
A. Definisi
Trauma adalah cedera / rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland,
2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma
abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk
(Ignativicus dan Workman, 2006).

Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak


diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk
(Ignativicus & Workman, 2006).

B. Epidemiologi
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih
tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada abdomen
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan
velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ.
Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ
multipel. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai
organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada
retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling
jarang cedera adalah pankreas dan ureter. Pada trauma tajam abdomen paling sering
mengenai hati(40%), usus kecil (30%), diafragma (20%), dan usus besar (15%)
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

C. Etiologi
Etiologi trauma abdomen menurut FKUI (1995):
1. Penyebab trauma penetrasi (trauma perut dengan penetrasi kedalam
rongga peritonium)
 Luka akibat terkena tembakan
 Luka akibat tikaman benda tajam
 Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi (trauma perut tanpa penetrasi kedalam
rongga peritonium).
 Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
 Hancur (tertabrak mobil)
 Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
 Cidera akselerasi/deserasi karena kecelakaan olah raga

Menurut Hudak dan Gallo (2001), kecelakaan atau trauma yang terjadi pada
abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan
kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan
yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul
lainnya.

D. Patofisiologi
Menurut Permana (2014), trauma abdomen (non-penetrasi) dapat mengenai beberapa
organ dalam tubuh. Jika terjadi benturan pada dinding abdomen maka akan terjadi
perporasi lapisan abdomen yang dimanifestasikan dengan adanya kontusio, jejas, dan
perdarahan. Selain menngenai dinding abdomen, trauma tumpul pada abdomen dapat
mengenai organ lain disekitar abdomen. Jika trauma mengenai ginjal, ginjal dapat
menjadi ruptur atau terjadi kerusakan lainnya yang dapat mempengaruhi keadaan
umum pasien. Selain ginjal, trauma tumpul abdomen juga dapat mengenai hati akibat
kecelakaan dan hati mengalami benturan. Hati akan menjadi ruptur dan
mengakibatkan perdarahan dan dapat mengganggu fungsi hati. Pasien dengan trauma
abdomen pasti akan mengalami nyeri yang diakibatkan oleh trauma yang mengenai
beberapa organ di dalam abdomen dimana kerusakan tersebut akan mennyebabkab
respon inflamasi dan pengeluaran agen inflamasi. Penumpukan cairan dalam abdomen
yang diakibatkan oleh perporasi dinding abdomen sering membuat pasien tidak
nyaman dan akibat penumpukan cairan tersebut, system pencernaan akan teranggu
dan usus akan tertekan yang menyebabkan timbulnya infeksi.

E. Manifestasi Klinis
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul
di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
2. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh
iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat
pasien dalam posisi rekumben.
4. Mual dan muntah
5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi

F. Komplikasi
1. Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau
mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka
terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala
peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula
timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru
setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka jika kolon
terlukadan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera
dilakukanpembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal
ini dapatmenimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.

2. Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat
parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus
pada trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit
dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting
sekali untuk menentukan secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera
harus dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut. Sebagai contoh adalah
trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf pertama darah akan
berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal
belum ada sama sekali.

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), terdapat 2 macam komplikasi, yaitu :


 Segera : hemoragi, syok, dan cedera
 Lambat: infeksi

Menurut Catherino, 2003: 251-253


 Pankreas: pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pankreas-duodenal, dan
perdarahan
 Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis
dan syok
 Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
 Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA).

G. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi pemeriksaan inspeksi, auskultasi, palpasi, dan
perkusi.

1. Inspeksi : abdomen diperiksa adanya kondisi lecet (abrasi) atau ekimosis. Tanda memar
akibat sabuk pengaman, yakni luka memar atau abrasi perut bagian bawah sangat berhubungan
dengan kondisi patologis intraperitoneal.
2. Auskultasi : auskultasi adanya bunyi usus bagian toraks dapat menunjukkan adanya cedera
pada otot diafragma.
3. Palpasi : pemeriksaan palpasi dapat mengungkapkan adanya keluhan tenderness (nyeri
tekan) baik secara lokalis atau seluruh abdomen, kekakuan abdomial, atau rebound tenderness
yang menunjukkan cedera peritoneal.
4. Perkusi : dilakukan untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang mengalami
cedera.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Sabiston (1995), diagnosis trauma abdomen sulit jika didasarkan atas
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Hal ini terutama benar dalam kasus trauma
tumpul abdomen atau trauma penetrasi sekunder terhadap luka tusuk. Pasien pada
trauma abdomen memerlukan pemeriksaan diagnosis lebih lanjut untuk
menyingkirkan trauma pada pada organ padat atau viskus berongga jika akan
menghindari komplikasi lanjut.
1. Bilas Peritoneum
Bilas ini telah terbukti merupakan suatu tes sangat sensitive bagi deteksi trauma
intra-abdomen setelah trauma tumpul atau luka tusuk ke abdomen anterior. Angka
ketepatan tindakan diagnostik ini sekitar 97 persen, tetapi tes ini invasif,
nonspesifik dan relatif tak tepat dalam mengevaluasi trauma retroperitoneum atau
diaphragm.
2. Eksplorasi Darah
Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa luka penetrasi sekunder terhadap trauma
tembakan akan dieksplorasi dengan pembedahan, karena sering tak mungkin
mendeteksi trauma vesica urinaria yang ditimbulkan oleh peluru kecepatan tinggi
yang menggunakan pemeriksaan diagnostik akuta.
3. Radiologi
Pada umumnya, rontgenogram polos abdomen tidak diindikasikan, karena
mempunyai sensitivitas relative rendah dan kurangnya spesifisitas dengan
memperhatikan diagnosis trauma abdomen. Kadang-kadang rontgenogram yang
ditambah dengan kontras bias diindikasikan bila rupture diaphragm dicurigai atau
dokter sangat mencurigai cedera duodenum atau genitourinaius.
4. Ultrasonografi
Beberapa dokter telah menganjurkan penggunaan ultra sonografi untuk
menyelidiki abdomen bagi trauma abdomen. Tetapi pengalaman dengan
ultrasonografi setelah trauma tumpul abdomen cukup terbatas serta memerlukan
adanya teknikus dan interpreter yang berpengalaman.
5. Skan Radionuklida
‘Scanning’ radionuklida juga telah digunakan untuk penyaringan diagnostic
spesifik setelah trauma tumpul abdomen. Metode ini tidak mendeteksi cedera pada
organ tidak padat, seperti perforasi usus halus. Sehingga tak dapat mencapai
penyaringan lengkap atas abdomen bagi cedera traumatic seperti yang bias didapat
dengan bilas peritoneum atau ‘CT scanning’.
6. Tomografi Dikomputerisasi
Gambaran CT telah lebih luas digunakan dalam penyaringan abdomen setelah
trauma tumpul. Tomografi dikomputerisasi sangat spesifik untuk cedera pada
limpa, hati, ginjal, pancreas, duodenum, diaphragm dan retroperitoneum. Banyak
ahli pada pusat trauma di Amerika Serikat sekarang mengusulkan agar CT
terutama menggantikan bilas peritoneum sebagai metode terpilih untuk
mengevaluasi trauma tumpul abdomen.
7. Angiografi
Aortografi ‘flush’ atau arteriogram renalis, mesenterica dan coeliaca selektif juga
telah dianjurkan untuk mendiagnosis cedera organ intraabdomen spesifik.
Metodologi ini dapat diandalkan untuk mendeteksi cedera hati, limpa dan ginjal
yang bermakna serta mempunyai keuntungan tambahan dalam menilai viabilitas
jaringan, karena ia menilai perfusi parenkima yang rusak. Di samping itu, ia satu-
satunya metode diagnostic yang mengenal fistula arteriovenosa traumatic, fistula
arteriobilier atau pseudoaneurisma.
8. Teknik lain
Tak ada teknik diagnostic yang baru duraikan sangat bermanfaat dalam
mendeteksi cedera sistema genitourinarius. Cedera urethra dan vesica urinarius
terbaik didiagnosis dengan uretrografi dan sistografi retrograde. Suatu sistogram
maupun pielogram ineavena diindikasikan bila pemeriksaan urina menunjukkan
hematuria makroskopik atau hematuria mikroskopik bermakna.

I. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Penatalaksanaan trauma mayor (Grace dan Borley, 2007), dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Pertolongan pertama
Diberikan oleh paramedic atau tim medis di tempat kejadian, yang bertujuan
untuk mempertahankan hidup selama evakuasi pasien.
2. Survey primer (ABCDE)
Dilakukan di rumah sakit, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengobati
trauma yang mengancam nyawa.
Penatalaksanaan dalam survey primer, meliputi:
Stabilkan servikal dengan traksi manual segaris, atau dengan collar.
a. Airway manajemen
- Bersihkan obstruksi jalan nafas menggunakan tangan dan mengangkat
dagu (pada pasien tidak sadar).
- Lindungi jalan nafas dengan selang orofaringeal atau nesofaringeal (pada
pasien tidak sadar).
- Jalan nafas definitive (akses langsung menggunakan oksigenasi
intratrakeal), diindikasikan jika terjadi apneu/(resiko) obstruksi jalan nafas
atas/(resiko) aspirasi atau memerlukan ventilasi mekanik, penggunaan
selang orotrakeal atau nasotrakeal.
- Jalan nafas dengan pembedahan (krikotiroidotomi) diindikasikan pada
trauma maksilofasial/dirupsi laring/gagal intubasi.
- Lakukan pemeriksaan rontgen servikal lateral.
b. Breathing manajemen
- Berikan suplemen oksigen.
- Nilai frekuensi nafas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
- Observasi oksimetri nadi.
- Lakukan pemeriksaan rontgen toraks.
c. Circulation manajemen
- Nilai frekuensi nadi dan karakteristiknya/tekanan darah/pulsasi
apeks/JVP/bunyi jantung/bukti hilangnya darah.
- Ambil darah untuk cross match, DPL, serta ureum dan elektrolit.
- Lakukan pemeriksaan rontgen pelvis.
d. Disability manajemen
- Nilai GCS/reaksi pupil/fungsi motoric dan sensorik ekstremitas jika
memungkinkan.
e. Exposure
- Nilai ekstremitas pada lokasi kehilangan darah hebat.

J. Prognosis
Tingkat kematian dari trauma abdomen mencakup seluruh spektrum (0-100%),
tergantung pada tingkat cedera. Pasien dengan cedera anterior dinding abdomen fasia
tanpa cedera peritoneal memiliki tingkat kematian 0% dan angka kesakitan minimal,
sementara mereka dengan kompleks cedera multiorgan yang mengalami hipotensi,
suhu kurang dari 35° C, dan pasien dengan koagulopati memiliki angka kematian
yang meningkat secara dramatis. Kematian dalam waktu 24 jam diakibatkan karena
pasien mengalami syok hemoragik yang ireversibel dan perdarahan. Lebih dari 80%
kematian terjadi dalam waktu 24 jam pasca masuk rumah sakit, 66,7% pada operasi
awal yang terkait dengan cedera vaskular di bagian perut. Sebaliknya, kelangsungan
hidup dari pasien trauma abdomen dengan penetrasi cedera perut tanpa cedera
vaskular tetap tinggi.
Faktor umum yang memprediksi peningkatan mortalitas dari trauma tembus
abdomen meliputi seks perempuan, interval yang panjang antara cedera dan operasi,
adanya syok saat masuk rumah sakit, dan trauma abdomen disertai dengan cedera
tengkorak. Angka kematian yang nyata dipengaruhi oleh hipotensi pra-rumah sakit,
perdarahan masif, asidosis dengan pH awal kurang dari 7, atau asam laktat lebih besar
dari 20 mmol/L. Mortalitas ditemukan terkait dengan jumlah organ yang terluka,
cedera vaskular, dan kebutuhan untuk mengatasi kerusakan abdomen (misalnya
operasi kontrol, departemen torakotomi darurat, atau ruang operasi torakotomi).
Angka kematian dari pasien dengan trauma tembus (tajam) secara signifikan
berbeda dari trauma tumpul. Mayoritas kematian akibat trauma tembus jatuh di antara
1 dan 6 jam pasca masuk rumah sakit. Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian akibat
trauma tumpul terjadi di luar 72 jam postadmission dan jumlah terendah terjadi
selama satu jam pertama. Akibatnya, kematian yang disebabkan oleh trauma tembus
secara signifikan lebih mungkin terjadi di departemen darurat atau ruang operasi
daripada kematian yang disebabkan oleh trauma tumpul, yang sebagian besar terjadi
di ICU. Hipoperfusi dan gejala sisa adalah penyebab kematian biasa dalam 72 jam
pertama, sedangkan kematian di ICU setelah 2 minggu atau lebih kemudian biasanya
dari komplikasi yang berhubungan dengan sepsis, sindrom respons inflamasi sistemik
(SIRS), atau beberapa sindrom disfungsi organ.

(Offner, 2014)

2. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Trauma Abdomen


Terlampir

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 633 N. Saint Clair St., Chicago, IL 60611-3211. All rights
reserved.

Brooker, C. (2001). Kamus Saku Keperawatan. Edisi 31. Jakarta: EGC

Bulechek, G.M., Butcher, H.W. & Dochterman, J.M. (2008). Nursing Intervention
Classification (NIC). 5th edition. St Louis: Mosby Elsevier.
Catherino ,Jeffrey M. 2003.Emergency Medicine Handbook.USA: Lipipincott Williams
diakses pada tanggal 1 oktober pukul 12.00 WITA melaui
(http://www.scribd.com/doc/87626839/Manifestasi-Klinis-Dan-Komplikasi-Trauma-
Abdomen).

Dorland, Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.

FKUI. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara: Jakarta.

Grace, P.A., dan Borley, N.R. (2007). At a Glance Ilmu Bedah, Ed. 3, Hal. 89.

Hudak & Gallo.(2001).Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi VI. Jakarta: EGC.

Hudak dan Gallo. (2001). Keperawatan Kritis. Edisi VI. Vol I. EGC: Jakarta.

Ignativicus & Workman. (2006). Medical Surgical Nursing Critical Thinking for
Collaborative Care. USA: Elsevier Saunders.

Morrhead, S., Johnson, M., Maas, M.L. & Swanson, E. (2008). Nursing outcomes
classification (NOC). 5th edition. St.Louis: Mosby Elsevier.
NANDA International. (2012). Nursing Diagnoses, Definition and Classification 2012-2014.
United Kingdom: Oxford.

Offner, P. 2014. Penetrating Abdominal Trauma. [online] Diakses pada tanggal 1 OKtober
2014. Available at http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview.

Permana, D. (2014). Askep Gadar Trauma Abdomen. Akses: 30 September 2014

Sabiston, D. C. (1995). Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer dan Bare. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai