Anda di halaman 1dari 16

Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 291

KONSEP MAKANAN HALAL DALAM TINJAUAN SYARIAH


DAN TANGGUNG JAWAB PRODUK ATAS PRODUSEN INDUSTRI HALAL

Muchtar Ali
Kementerian Agama Republik Indonesia
Jl. M. H. Thamrin No. 6, Menteng, Jakarta Pusat
E-mail: muchtarali@kemenag.go.id

Abstract: The Concept of Halal Food in Sharia Perspective and Product Responsibility of Halal Industry. Sharia
provisions regarding halal and haram food, beverages, and goods are integral parts of Islamic teachings. Halal and haram
foods also have become a necessity related to the comfort and safety of the Muslims as the largest consumers in Indonesia.
This need should be enforced by halal industry. Every manufacturer of halal foods should have an understanding and
awareness to ensure their halal products by implementing a Halal Assurance System as the implementation of sharia
concept of halal and haram on food and drinks. The violation of Halal Assurance System by the manufacturer will be
subject to product liability, both legally and morally.
Keywords: halal, haram, manufacturer, product liability.

Abstraksi: Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah dan Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri
Halal. Ketentuan syariah mengenai halal dan haramnya makanan, minuman dan barang gunaan bagian integral dari
ajaran Islam. Halal dan haramnya makanan juga telah menjadi kebutuhan, dan berkaitan dengan kenyamanan dan
keselamatan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia yang perlu ditegakkan oleh para produsen industri
halal. Setiap produsen industri makanan halal sewajibnya memiliki pemahaman dan kesadaran untuk menjamin
kehalalan produknya yang diedarkan dengan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) sebagai implementasi konsepsi
syariah tentang kaedah halal dan haram pada makanan dan minuman. Perbuatan pelanggaran terhadap SJH oleh
produsen akan dapat diterapkan tanggung gugat produk (product liability) baik secara hukum dan moral.
Kata Kunci: halal, haram, produsen, tanggung gugat produk.

Pendahuluan makanan halal menjadi isu yang sensitif bagi masyarakat.


Makanan merupakan keperluan yang penting Selain itu, Indonesia juga merupakan pasar konsumen
bagi manusia. Dalam memilih makanan, kebanyakan Muslim yang sangat potensial. Pemerintah memiliki
konsumen lebih mengutamakan cita rasa makanan dan tanggung jawab besar melindungi masyarakat secara
kurang memperdulikan kehalalannya. Sejalan dengan keseluruhan, terutama konsumen atas kehalalan produk-
ajaran syariah Islam konsumen Muslim menghendaki produk yang beredar dan dipasarkan. Demikian juga
agar produk-produk yang akan dikonsumsi terjamin para produsen, secara hukum, etika, dan moral berbisnis
kehalalannya dan kesuciannya. Dalam ketentuan halal, dituntut memiliki tanggung jawab produk (product
haram, thayyib, dan syubhat terkandung nilai spritual liability) atas produk yang diedarkan jika terdapat cacat,
serta mencerminkan keluhuran budi pekerti dan akhlak membahayakan, atau tidak memenuhi standar yang telah
seseorang. Oleh karenanya, syariah Islam menaruh diperjanjikan.
perhatian yang sangat tinggi dalam menentukan
makanan mimunan itu halal, haram, atau meragukan Terminologi Halal
(syubhat). Kata ”halal” dan ”haram” merupakan istilah Alquran
Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim dan ini digunakan dalam pelbagai tempat dengan
terbesar di dinia, yaitu 190.113.060 dari total jumlah konsep berbeda, dan sebagiannya berkaitan dengan
penduduk 237.641.326 jiwa atau 80% (BPS, 2013), isu makanan dan minuman. Kedua kata tersebut juga
digunakan dalam Hadis Nabi Saw. Halal secara bahasa,
menurut sebagian pendapat, berasal dari akar kata ‫احلل‬
Naskah diterima: 5 April 2016; Direvisi: 12 Juni 2016; Disetujui
untuk diterbitkan: 18 Juni 2016.
yang artinya (‫ )اإلابحة‬artinya sesuatu yang dibolehkan
292 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

menurut syariat1. Al-Jurjani menulis, kata ”halal” ber- “halâl-an”.8 Dari pendapat Imam Malik ini jelas bahwa
asal dari kata ‫ احلل‬yang berarti ” terbuka” (‫)الفتح‬. Secara halal dan thayyib bertemu salam satu makna sebagai
istilah, berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan penguat (takid) perbedaan lafaz.9 Al-Syâfi‘i, sebagaimana
sanki penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang dikutip al-Syawkânî adalah yang melezatkan. Imam
dibebaskan syariat untuk dilakukan.”2 Menurut Abû al-Thabarî (224-310 H) berpendapat bahwa arti lafaz
Ja‘far al-Thabârî (224-310 H), lafaz halâl (‫) َحلال‬ “thayyib” dalam ayat ini adalah sesuatu yang suci tidak
berarti terlepas atau terbebas (‫) ِط ْلقًا‬3. mengandung najis dan tidak juga haram.10 Menurut Abû
Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ûd al-Baghawî Bakr Ibn al-‘Arabî, “thayyib“ adalah kebalikan dari “al-
(436-510H) dari mazhab Syafi’i, berpendapat khabîts” (‫)اخلبيث‬, berarti yang jelek atau buruk. Kemudian
kata “halâl” berarti sesuatu yang dibolehkan oleh ia menambahkan bahwa pengertian “thayyib” kembali
syariat karena baik.4 Muhammad ibn ‘Ali al-Syawkânî kepada dua arti. Pertama, sesuatu yang layak bagi bagi
(1759-1834 H) berpendapat, dinyatakan sebagai halal jasad atau tubuh dan dirasakan lezatnya. Kedua, sesuatu
karena telah terurainya simpul tali atau ikatan larangan yang dihalalkan Allah.11 Sedangkan al-Hâfizh Ibn Katsîr
yang mencegah.5 Senada dengan pendapat al-Syawkânî menjelaskan bahwa lafaz “thayyib” dalam ayat ini yakni
(1759-1834 H). Dari kalangan ulama kontemporer, yang lezat bagi diri manusia tidak membahayakan kepada
seperti Yusuf al-Qaradhawî, mendifiniskan halal se- badan dan akal.
bagai sesuatu yang dengannya terurailah buhul yang Dasar yang digunakan untuk menunjukkan keharusan
membahayakan, dan Allah memperbolehkan untuk di- mengonsumsi makanan dan minuman, tumbuhan dan
kerjakan.6 Sementara ‘Abd al-Rahmân ibn Nâshir ibn al- binatang/hewan yang telah halal lagi thayyib (baik) ter-
Sa’dî’ ketika mendifinisikan kata “halâl” menyorotinya cantum dalam Alquran dan Hadis. Contoh perintah
kepada bagaimana memperolehnya, bukan dengan cara untuk mengonsumi dan memanfaatkan yang halal yaitu:
ghashab, mencuri, dan bukan sebagai hasil muamalah Qas. al-Baqarah [2]: 168 dan 172, Q.s. al-Nahl [16]:
yang haram atau berbentuk haram.7 412, al- Mâ’idah [5]: 87 dan 88, al-Anfâl [8]: 69, al-Nahl
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, dapat [16]: 114. Dalam ayat-ayat ini kata ”halal” menjadi dasar
ditarik kesimpulan halal adalah sesuatu yang diper- perintah mengonsumsi makanan dan minuman yang
bolehkan oleh syariat untuk (i) dilakukan, (ii) digunakan, halal dan thayyib.
atau (iii) diusahakan, karena telah terurai tali atau ikatan Mengenai surah al-Baqarah [2]:168 yang berbunyi:
yang mencegahnya atau unsur yang membahayakannya
dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan
13
‫ﯧﯨﯩ ﯪﯫﯬﯭﯮ‬
dengan hasil muamalah yang dilarang. Al-Sa’dî menjelaskan bahwa tunjukan (khithâb) ayat
Tentang lafadz “thayyib”—yang disebutkan pada ini sebagai seruan yang ditujukan kepada seluruh
surah al-Baqarah [2] ayat 168—menurut Imam Malik manusia, baik Mukmin maupun Kafir.14 Demikian juga
adalah berarti “halal”, sebagai penguat firman Allah Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî pun memahami ayat tersebut

1
Muhammad Rawas Qal’ajî dan Muhammad Shâdiq Qanaybî, 8
Imam al-Syawkânî, Fath al-Qâdir, h. 216.
Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1405H-1985M), Cet. 9
Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, Al-
I, h. 184. Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid I, h. 195.
2
‘Alî ibn Muhammad ibn ‘Alî al-Jurjanî, Al-Ta‘rîfât, Tahqîq 10
Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Amalî
Ibrâhîm al-Abyarî, (Bayrût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1405H), Cet I, h. Abû Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Ta’wil al-Qur’ân, selanjutnya
124, redaksinya yaitu: ditulis al-Thabarî, di-tahqîq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Penerbit
‫احللل كل شيء ال يعاقب عليه ابستعماله وما أطلق الشرع فعله مأخوذ من احلل وهو الفتح‬ Muassah al-Risalah, Malik Fahad. Cet I . Selanjutnya ditulis al-Thabarî.
3
Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Amalî 11
Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allâh Ibn al-’Arabî, Ahkam Al-
Abû Ja‘far al-Thabârî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, di-tahqîq oleh Qur’an, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th), jilid II, h. 32. Selanjutnya ditulis
Ahmad Muhammad Syakir, Penerbit Mu’assasah al-Risâlah, cetakan Ibn al-‘Arabî.
Malik Fahad, cet. I, selanjutnya ditulis Ibn Katsîr. 12
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,
4
Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ûd al-Baghawî, Ma’âlim Penerjemah, Eva YN, dkk, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), Cet. I,
Tanzîl, (Dâr Thibah, Majma’ Mâlik Fahd, 1417 H-1997 M), Cet. IV, h. 323.
jilid I, h. 180. 13
Sebagian ulama tafsir memberikan keterangan bahwa ayat ini
5
Imam al-Syawkânî, Fath al-Qâdir, (Bayrût: Dâr al-Ma’rifah, diturunkan pada Kabilah Tsaqif dan Khuza’ah dan Bani Madlaj yang
2007), Cet. IV, h. 216. berkenaan dengan mereka mengharamkan atas diri mereka pada
6
Yûsuf al-Qaradhâwî, Al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, terjemah sebagian binatang ternak sebagaimana diceritakan oleh al-Qurthubî di
Wahid Amadi dkk, Halal Haram dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, dalam tafsirnya. Namun demikian, terdapat kaidah yang menyebutkan
1424H-2003 M), Cet III, h. 31. bawa suatu redaksi berlaku pada keumuman lafaz bukan pada
7
‘Abd al-Rahmân ibn Nashir ibn al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân kekhususan sebab. Lihat: Imam al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-
fi Tafsîr Kalm al-Mannân, di-tahqîq oleh ‘Abd al-Rahmân ibn Ma’lâ al- Qur’ân, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 2006), Cet. I, h. 195.
Luwayhik, (Mu’assasah al-Risâlah, Mâlik Fahd, 1420H-2000H), Cet. 14
‘Abd al-Rahmân ibn Nashir ibn al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-
I, h. 80. Selanjutnya ditulis denga al-Sa’dî. Rahmân, h. 80.
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 293

dengan pemahaman yang sama bahwa yang menjadi ‫ ﭞ ﭟ ﭠﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ‬-


khithâb ayat tersebut adalah umum, yaitu untuk semua
manusia agar mereka mengonsumsi yang Allah telah
18
‫ﭩ‬
halalkan bagi mereka.15 Kemudian al-Sa’dî menambahkan Menurut al-Hâfizh Ibn Katsîr bahwa pada ayat tersebut
penjelasannya dengan menghubungkan ayat tersebut berlaku umum pada semua persoalan, yaitu sesungguhnya
dengan ayat sebelumnya. Pertama, Q.s. al-Baqarah [2]: jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum,
163 (‫الرِحيم‬
َّ ‫ح ُن‬ َّ ‫ ) َوإِهلَُ ُك ْم إِلٌَه َو ِاح ٌد َال إِلََه إِال ُه َو‬ayat ini menerangkan
َ ْ‫الر‬ maka tidak patut bagi seseorang memperselisihkannya
keesaan Allah disertai bukti-bukti kekuasaan-nya, maka dan juga tidak dibenarkan ada upaya untuk menghindar,
Allah telah menganugerahkan nikmat-Nya kepada baik berupa pendapat maupun perkataan. Al-Hâfizh
mereka, yaitu agar mereka memakan apa yang terdapat di mengemukakan dalil yang menjadi landasan pendapatnya
muka bumi, berupa biji-bijian, buah-buahan, hewan yang adalah Q.s. al-Nisâ’ [4]; 65 dan Hadis Nabi Saw. yaitu:
halal diperoleh secara halal, bukan dengan mengambil cara
paksa dan tidak pula dengan mencuri, dan bukan hasil ‫ﯜﯝﯞ ﯟ ﯠﯡﯢﯣﯤ ﯥ‬
usaha yang haram dengan cara yang haram atau sesuatu
yang telah ditentukan keharamannya.16 ‫ﯦﯧ ﯨﯩﯪﯫ ﯬﯭﯮ‬
Kedua, Q.s. al-Baqarah [2]: 172: Mengenai ayat tersebut al-hafidz lebih lanjut men-
jelaskan bahwa dalam ayat bahwa Allah bersumpah
‫ﭽﭾﭿﮀﮁﮂﮃﮄ ﮅ‬ dengan nama-Nya yang Mulia dan Suci bahwa seseorang
tidaklah beriman sehingga Rasulullah dijadikannya
‫ﮆﮇﮈﮉ ﮊ‬ sebagai hakim dalam segala urusan. Seluruh yang
Bagi al–Qurthubi, ayat tersebut merupakan penguat telah ditetapkan oleh Rasulullah adalah haq dan wajib
perintah mengonsumsi yang halal dan yang thayyib. Di dilaksanakan baik secara lahir maupun batin dan tidak
sini Allah mengkhususkannya bagi orang Mukmin. diperkenankan ada perasaan berat atau susah. Adapun
Ketiga, Q.s. al-Mu’minûn [23]: 51: Hadis yang memperkuat pendapatnya, yaitu:

‫ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ‬ ‫ ال يؤمن أحدكم حىت يكون هواه‬،‫والذي نفسي بيده‬


‫ﮫﮬ‬
19
‫تب ًعا ملا جئت به‬
Demi jiwaku (Muhammad) yang berada di tangan-
Allah memerintahkan seluruh Rasul-Nya mengonsumsi Nya, tidaklah beriman seseorang kamu sehingga hawa
makanan halal dan melakukan amal salih. Dengan nafsunya mengikuti apa yang aku bahwa.
ayat ini semakin jelas bahwa mengonsumsi yang halal Pendapat yang senada dengan pendapat al-Hâfizh
bagian dari dari perintah syar’i dan amal salih, maka seperti ditulis al-Syawkânî dalam Fath al-Qâdir bahwa
para Rasul pun telah melaksanakannya. Dari sumber yang lebih utama dalam hal ini adalah membawa
ayat-ayat Alquran di atas dapat dipahami bahwa me- pengertiaan ini kepada makna umum dan tidak meng-
ngonsumsi makanan dan minuman yang baik lagi halal khususkannya dengan individu atau suatu macam saja.20
merupakan bagian dari perintah. Atau dengan redaksi
lain, ketentuan halal dan haram terintegrasi ke dalam Lebih jauh jika dikaji lebih dalam, memang dalam
suatu kerangka keimanan (akidah), syariat, dan akhlak. diri manusia senantiasa ada ketegangan dan tarik-
Dari aspek syariah, bagi kaum Muslim, menurut John menarik antara kekuatan kebaikan dan kekuatan
L. Esposito syariat menuntut ketaatan dan merupakan
fokus keimanan17. Mengenai ketaatan pada hukum 18
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana ditulis oleh Jalâl al-Dîn
yang telah menjadi ketetapan Allah al-Hâfizh Ibn Katsîr al-Suyûthî berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrânî
dengan sanad yang shahîh dari Qatâdah telah berkata, Nabi Saw. telah
menuturkan keterangan yang penting diperhatikan melamar Zainab untuk Zaid, Zainab telah mengira bahwa Nabi Saw.
ketika memberi penjelasan Q.s. al-Ahzâb [31]: 36, melamar untuk dirinya sendiri, maka ketika ia mengetahui bahwa
yaitu: Nabi Saw. melamar untuk Zaid, maka Zainab enggan menerima
lamaran. Maka Allah telah menurunkan ayat tersebut. Dalam riwayat
‫ﭑﭒ ﭓﭔ ﭕﭖﭗﭘﭙﭚﭛﭜ‬ lain yang diriwayatkan oleh Ibn Jarîr dari Ibn ‘Abbâs berkata, “Nabi
Saw. telah melamar Zainab ibnt Jahsyin untuk Zaid ibn Harîtsah,
maka Zainab memandang rendah Zaid dan berkata, “Saya lebih baik
keturunannya dibandingkan dia”, maka Allah menurunkan ayat
15
Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, (Bayrût: Dâr al- tersebut. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dalam Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb
Fikr, tt.th), jilid I, h. 113. al-Nuzûl, (Maktabah al-Qâhirah: al-Duwaliyah, t.th), h. 351.
16
‘Abd al-Rahmân ibn Nashir ibn al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al- 19
Abî al-Fidâ al-Hâfizh ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-
Rahmân, h. 80. ‘Azhîm, jilid III dan II, (bayrût: Dâr al-Fikr, 1412H-1992M), h. 643.
17
John L. Esposito, Esposito–Hukum, h. 192, vol. 2. 20
Imam al-Syawkânî, Fath al-Qâdir, h. 217
294 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

kejahatan. Seperti ditulis oleh Yusuf Ali, ketegangan diusir ke bumi. Itulah bagian dari pelajaran dari Allah
itu berpangkal pada adanya emosi pada manusia yang yang hendaknya direnungkan oleh manusia secara
dapat mendorongnya kepada kebaikan dan kepada sungguh-sungguh.23
kejahatan sekaligus. Dan sejak penciptaannya, manusia Memang terdapat ahli tafsir ulama yang tidak se-
telah diberi petunjuk oleh Allah tentang adanya dua pendapat jika Adam diperintahkan turun ke bumi
jalan hidup, yang benar dan salah, namun manusia karena pelanggaran. Menurut al-Râzî bahwa perintah
enggan menempuh jalan yang sulit, yaitu jalan kepada Adam dan Hawa untuk turun dari surga
kebenaran. Dorongan untuk mencari jalan yang mudah bukanlah sebuah hukuman atas pelanggaran mereka
itu membuat manusia terbuka pada godaan-godaan. berdua, melainkan justru untuk melaksanakan janji
Tugas untuk menggoda itulah “konsesi” yang diberikan Tuhan yang mula pertama, yaitu pengangkatan Adam
oleh Tuhan kepada setan terkutuk, sampai hari kiamat. sebagai khalifah-Nya di bumi Allah.
Bila ditelusuri lebih jauh mengenai Q.s. al-Baqarah [2]:
168 sebagaimana telah dikutip di atas, pada ujung ayat َّ ‫{ َوال َتـ ْق َرَاب َه ِذ ِه‬
‫الش َج َرَة} فهو اختبار من هللا تعاىل‬
ditutup dengan petunjuk, yaitu: (‫َك ْم‬ ُ ‫الشيْ َطا ِن إِنَُّه ل‬
َّ ‫ات‬
ِ ‫َوالَتـتَّبِ ُعوا ُخ ُط َو‬
‫) َع ُد ٌّو ُمبِني‬. Ulama tafsir memiliki pandangan yang berbeda ‫ تفسري القرآن العظيم‬:‫وامتحان آلدم الكتاب‬
mengenai pengertian kata “‫ات‬ ِ ‫“خ ُط َو‬.
ُ Menurut al-Thabârî Apabila dikaji lebih jauh, memang spirit yang ter-
dengan mengutip pendapat Sahabat ‘Abbas, “‫ات‬ ِ ‫“خ ُط َو‬ ُ kadung dalam norma haram dan larangan tidaklah
berarti perbuatan. Sementara Mujâhid mengartikan berkaitan dengan hal-hal najis semata, bahkan lebih dari
“‫ات‬ِ ‫”خ ُط َو‬ ُ “kesalahan-kesalahan”. Jadi bila digabungkan itu mencakup segala sesuatu yang dapat membahayakan
“‫ات‬ِ ‫”خ ُط َو‬ ُ dapat berarti “perbuatan dan kesalahan” setan. bagi badan manusia atau anggota tubuh lainnya,
Beda pendapat dengan di atas, menurut al-Qurthubî, meskipun zat itu berasal dari benda-benda yang suci,
kata “‫ات‬ ِ ‫“خ ُط َو‬
ُ pada ayat tersebut adalah umum, men- misalnya tumbuhan hasyîs (sejenis ganja) dan opium.
cakup setiap yang di luar Sunah dan syariah, seperti Alquran tidak pernah menggunakan kata haram.24
bidah dan maksiat.21 Dasar penetapan apa yang dimaksud dengan
Al-Thabârî menjelaskan arti larangan mengikuti pengertian halal dan haram dari Hadis yaitu riwayat
ِ ‫”خ ُط َو‬
“‫ات‬ ُ setan, menurut dia adalah larangan mengikuti dari Salman al-Farisi bahwa Nabi Saw. ditanya tentang
jalan dan jejak setan yang menyelisihi ketaatan kepada minyak samin, keju, dan jubah dari kulit binatang
Allah.22 Dengan demikian dapat disebut, bahwa Alquran dapat dicatat mengenai “halal, haram, dan syubhat yang
memerintahkan kaum muslim untuk mengonsumsi rezki memiliki keterkaitan dengan makanan dan minuman.
Allah yang halal dan thayyib, dan menjauhi sesuatu yang Beliau menjawab:

َّ ‫احلل ل َما أَ َح َّل‬


telah diharamkan. Karena pelanggaran terhadap aturan-
aturan Allah akan mendatangkan penyesalan yang dalam, َّ ‫الل يف كتابه و احلرام َما َح َّرَم‬
‫الل يف‬
termasuk pelanggaran terhadap aturan mengenai makan. ‫كتابه َوَما َس َك َت َعنْه َفـ ُه َو مما َعفا َعنْه‬
Dari aspek kesejarahan penuturan Alquran mengenai Yang halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan
kisah Adam. Dalam Alquran dituturkan perintah Allah dalam Kitab-Nya, dan yang haram adalah segala sesuatu
kepada Adam dan istrinya Hawa, untuk tinggal di yang Allah haramkan dalam Kitab-Nya. Sedangkan apa
surga (jannah) dan menikmati segala makanan yang yang didiamkan-Nya maka ia termasuk yang dimaafkan
kepada kalian.” (H.r. al-Tirmidzî dan Ibn Mâjah)
ada di sana sesuka hati. Namun keduanya dipesan agar
tidak mendekati sebuah pohon tertentu. Jika mereka Terdapat Hadis lain yang menyuruh mematuhi ke-
mendekatinya mereka akan tergolong orang-orang tentuan halal dan haram, termasuk dalam mengonsusmi
yang zalim. Tetapi setan berhasil membujuk dengan makanan dan minuman halal yaitu:
mengatakan bahwa ia hendak menunjukkan Adam
pohon keabadian (syajarah al-khuld) dan kekuasaan ‫اىن َح َّدَثـنَا‬ ْ ‫َح َّدَثـنَا مَُ َّم ُد بْ ُن َعبْ ِد اللَِّ بْ ِن ن‬
ُّ ِ ‫َُريٍ اهلَْ ْم َد‬
(mulk) yang tidak bakal sirna. Maka setelah Adam dan ٍ‫ب َع ِن الُّنـ ْع َما ِن بْ ِن بَ ِشري‬ َّ ‫أَِب َح َّدَثـنَا زَكرَِّي ُء َع ِن‬
ِّ ِ ‫الش ْع‬
istrinya memakan buah pohon terlarang itu, keduanya
pun menyadari bahwa aurat mereka nampak mata ‫صلى هللا عليه‬- َِّ‫ول الل‬ َ ‫س ْع ُت َر ُس‬ ِ َ ‫ول‬ ِ َ ‫َال‬
ُ ‫س ْعتُُه َيـ ُق‬ َ‫ق‬
(telanjang), kemudian segera mengambil dedaunan
surga untuk menutupinya. Karena pelanggaran mereka
« ‫ِِصَبـ َعيْ ِه إ َِىل أُ ُذَنـيْ ِه‬
ْ ‫ول َوأَ ْه َوى الُّنـ ْع َما ُن ب‬ ُ ‫ َيـ ُق‬-‫وسلم‬
itu, Adam dan Hawa diperintahkan turun dari surga, َ‫ات ال‬ ٌ ‫ني َوَبـْيـَنـ ُه َما ُم ْشتَبِ َه‬ َْ ‫ني َوإ َِّن‬
ٌ ِّ ‫احل َرا َم َبـ‬ َ ‫احلل‬
ٌ ِّ ‫َل َبـ‬ َْ ‫إ َِّن‬
Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, Al-
21 23
Nurcholis Madjid, Makna Kejatuhan Manusia ke Bumi, dalam
Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, h. 301. Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 20000, Cet II., h. 149.
22
Ibid. 24
Kamil Musa: h. 163. Paragraf 3.
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 295

Terminologi Haram
‫ات َوقَ َع‬ ُّ ‫َّاس َوَم ْن َوقَ َع ِف‬
ِ ‫الشُبـ َه‬ ِ ‫َيـ ْعل َُم ُه َّن َكثِريٌ ِم َن الن‬
Sebelum membahas tujuan dan hikmat penetapan
‫وش ُك أَ ْن َيـ ْرتَ َع‬ِ ُ‫احل َمى ي‬ ِْ ‫الرا ِعى َيـ ْرَعى َح ْو َل‬ َْ ‫ِف‬
َّ ‫احل َرا ِم َك‬ halal dan haram, penting lebih dahulu menulis pe-
‫حى اللَِّ مََا ِرُم ُه‬ َ ِ ‫حى أَالَ َوإ َِّن‬ ً ِ ‫فِي ِه أَالَ َوإ َِّن لِ ُك ِّل َملِ ٍك‬
ngertian ”haram”. Dari sisi bahasa, haram adalah di-
larang/terlarang atau tidak diizinkan ( ).28 Dari sisi
‫ال َس ُد‬ َْ ‫َح‬ َ ‫َح ْت َصل‬ َ ‫ال َس ِد ُم ْض َغ ًة إِذَا َصل‬َْ ‫أَالَ َوإ َِّن ِف‬ istilah, menurut Yûsuf al-Qarâdhawî haram sesuatu yang

ُ ‫ال َس ُد ُكلُّ ُه أَالَ َوِه َى الْ َقل‬ َ ‫ُكلُّ ُه َوإِذَا ف‬


Allah melarang untuk dilakukan dengan larangan yang
25
‫ْب‬ َْ ‫َس َد‬
َ ‫َس َد ْت ف‬ tegas, setiap orang yang menentangnya akan berhadapan
Dari Muhammad bin Abdillah ibn Numair al-Hamdani, dengan siksaan Allah di akhirat. Bahkan terkadang ia
dari ayahku dari Zakariyya dari Sya’bi dari al-Nu’man bin juga terancam sanksi syariat di dunia. 29Al-Sa’di me-
Basyir telah berkata saya telah mendengar Rasulullah Saw.
dan dia bahwa dengan telunjuknya ke arah telinganya,
nambahkan, keharaman itu ada dua macam yaitu karena
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram jelas. Dan disebabkan zatnya, yaitu jelek dan keji, lawan dari
di antara keduanya ada masalah syubhat, kebanyakan thayyib. Atau haram dikarenakan yang ditampakkannya,
manusia/orang tidak mengetahuinya. Karena itu maka yaitu keharaman yang berkaitan dengan hak Allah atau
barang siapa menjaganya/bertakwa terjerumus dalam
syubhat, berarti dia telah membebaskan agama dan
hak hamba-Nya dan ini adalah lawannya halal.30
kehormatannya. Dan barang siapa terjerumus pada sesuatu Penyebutan ”haram” dengan perubahan bentuknya
di dalam syubhat, berarti hampir terjerumus ke dalam dari Alquran yang memiliki konteks dengan makanan,
yang haram. Sebagaimana jika seseorang menggembala
ternaknya di sekitar Hima (tempat/area milik raja yang minuman dan pakaian terdapat pada surah al-Baqarah
dijaga/dilindungi dan terlarang dimasuki orang lain (2): 172-73, al-Mâ’idah (5): 3, 87, al-An‘âm (6) 143,
dan siapa yang memasukinya maka akan dijatuhi saksi 144, 145, dan 146, al-A‘râf (7): 32, 157, al-Nahl (16):
hukuman). Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja 115, 116, 118.
memiliki hima, ketahuilah bahwa hima Allah adalah
larangan-larangan-Nya”.26 (H.r. Muslim). Sumber Alquran dalam bentuk pengharaman, misal-
Menurut al-Nawâwî para ulama telah bersepakat nya penetapan keharaman bangkai, darah, daging babi,
mengenai keagungan kedudukan Hadis ini dan faidah- dan sesuatu yang disembelih dengan menyebut nama
nya, bahkan menurut dia, Hadis merupakan satu di selain Allah, pada surah al-Mâ’idah (5):
antara Hadis-Hadis yang menjadi dasar (mashdar) Islam.
Adapun sebabnya, karena menurut para ulama pada
‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘﭙ ﭚ ﭛ‬
Hadis ini Rasulullah Saw. mengingatkan agar mem- Al-Thabârî menulis pandangan Abû Ja‘far bahwa
perbaiki makanan, minuman, pakaian, dan lainnya. kata “ ” pada ayat tersebut menunjukkan Allah
Juga hendaknya seorang Muslim meninggalkan hal-hal telah mengharamkan bangkai.31
yang syubhat karena sikap demikian dapat memelihara
Hadis yang menjelaskan mengharaman peng-
agama dan kehormatannya.
haraman, misalnya penetapan Nabi Saw. mengenai
Ditambahkan lagi oleh al-Nawawi pada Hadis ini ada keharaman keledai bighal, hewan buas yang bertaring
penguatan untuk upaya pembenahan/perbaikan hati dan dan setiap burung yang mempunyai cakar. Hadis ini
pemeliharaan hati dari hal-hal yang dapat merusaknya, bersumber dari Abû Hurayrah dan Abî Salâmah yang
karena pada Hadis ini Rasulullah menjadikan kebaikan diriwayatkan Tirmizi:
hati dan kerusakannya amat berkaitan dengan kebaikan
dan kerusakan hati.27 Dengan demikian Hadis ini ‫ال ْع ِف ُّى‬
ُْ ‫ني بْ ُن َعلِ ٍّى‬ ُ ْ ‫َح َّدَثـنَا أَبُو ُك َريْ ٍب َح َّدَثـنَا ُح َس‬
menjadi salah satu dalil yang memperkuat pentingnya
perhatian terhadap ketentuan halal dan haram dalam ‫َع ْن َزائِ َد َة َع ْن مَُ َّم ِد بْ ِن َع ْمرٍو َع ْن أَِب َسل ََم َة َع ْن أَِب‬
mengonsumsi makanan dan minuman serta berpakaian, ‫ َح َّرَم َيـ ْوَم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َِّ‫ول الل‬ َ ‫ُه َرْيـ َرَة أَ َّن َر ُس‬
karena akan berdampak pada tubuh dan hati seseorang.
ِّ ‫َخْيـَبـ َر ُك َّل ِذى َن ٍب ِم َن‬
ِْ ‫السبَ ِاع َوالْ ُم َجثَّ َم َة َو‬
‫احل َم َار‬
32
.‫اإلِنْ ِس َّى‬
25
Hadis riwayat Imam Muslim dalam Syarh Shahîh Muslim, Imam
Abî Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf al-Nawâwî al-Dimasyqî, (Bayrût: Dâr 28
Abû al-Sa’ûd Muhammad ibn Muhammad ibn Musthafâ al-
al-Fikr, 1421H-2000M), Jilid VI, h. 23. Hadis No. 1599. Hadis ini Imadî, Mufradât al-Qur’ân, versi Maktabah asy Syamilah, h. 315.
juga diriwayatkan al-Tirmidzî dalam Tuhfah al-Ahwadzî Syarh al- 29
Yûsuf al-Qaradhawî, Al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, terjemah
Mubârak Furî pada bab Tark al-Syubhât, hadis nomor 1250. Wahid Amadi dkk, Halal Haram dalam Islam, h. 31.
26
Ayat ini terdapat dalam surah al-Baqarah sebagai surah-surah 30
‘Abd al-Rahmân ibn Nashir ibn al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân.
Madaniyah sekalipun didahului dengan kata ‫يأيها الناس‬ 31
Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Amalî
27
Imam Abî Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf al-Nawâwî al-Dimasyqî, Abû Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Ta’wil al-Qur’ân, h. 492.
Syarh Shahîh Muslim, h. 24. 32
Al-Hâfizh Abî al-‘Ulâ Muhammad Abd al-Rahmân Ibn ‘Abd
296 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

Sesungguhnya Rasulullah Saw pada hari Khaibar hukum-hukum yang bersifat kepatuhan (ta’abbudî)
telah melarang setiap hewan buas yang bertaring, al- karena mengandung rahasia-rahasia Allah. Hanya saja
Mujatsamah, dan himar yang jinak. sebagian kecil ahli kalam dan ahli fikih, seperti Mazhab
Menurut al-Qarâdhawî wilayah keharaman dalam Zhâhiriyyah, menentang hal ini.
syariat Islam sangatlah sempit, sebaliknya, wilayah ke- Dalam pandangan Hujjah al-Islâm Muhammad
halalan terbentanglah sangat luas. Karena nas (nash) yang ibn Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 550H), bahwa segala
datang dengan pengharaman sedikit sekali jumlahnya. sesuatu yang diharamkan adalah jelek atau kotor,
Selain itu, sesuatu yang tidak ada nas yang mengharamkan hanya saja derajat kejelekan dan kekotorannya itu
atau menghalalkannya, ia kembali kepada hukum asalnya, satu sama lain berbeda. Segala sesuatu yang halal itu
boleh. Ia berada dalam wilayah kemaafan Tuhan.33 baik, hanya saja derajat kebaikannya satu sama lainnya
Larangan keras memakan bagkai, darah, daging berbeda. Berdasarkan pada pandangan ini menurut al-
babi, dan binatang yang disembelih karena selain Allah Ghazalî seorang Mukmin dalam menyikapi hal yang
dapat dipahami pada surah al-Mâ’idah (5): 3, Q.s. al- dihalalkanpun diperlukan kearifan. Sejauhmana dampak
An‘âm (6): 14. Memang penghraman arak, tuak, dan makanan atau minuman yang dihalalkan bagi kualitas
khamar diterapkan secara bertahap setelah terbentuknya ketakwaan seseorang.35
umat Muslim di Madinah. Dispensasi umum terhadap Ketentuan Islam mengenai makan dan minum
larangan dengan beberapa syarat. kategori halal, haram, dan syubhat, didasarkan pada
Alquran dan Hadis.
Terminologi Syubhat (Syubuhât) Alquran ketika berbicara tentang beberapa jenis
Syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas kehalalan makanan yang diharamkan, dijelaskan sebab larangan
dan keharamannya karena banyak manusia yang tidak tersebut, yaitu “fisq” sebagaimana tertera dalam Q.s. 5:3,
mengetahui hukumnya. Adapun ulama mereka dapat 6: 121, dan 145. Kata tersebut secara etimologis berarti”
mengetahui hukum dari nas atau qiyâs atau sebagai- keluar” atau “ melampaui batas”. Ulama mengaitkan ke-
nya, apabila seseorang meragukan sesuatu apakah haraman makanan-makanan tertentu dengan dampak
halal atau haram sementara tidak ada nas dan ijmak negatifnya pada mental manusia. Al-Biqâ’î (w. 1480M)
sebagai hasil ijtihad mujtahid lalu mendapatkan dalil dengan mengutip pendapat al-Harralî (w. 1232 M),
syar’i-nya lalu dijumpainya halal maka ia menjadi halal, berpendapat bahwa jenis daging dapat mempengaruhi
tetapi terkadang ada dalilnya, namun tidak tertutup sifat-sifat mental seseorang. Ia menyimpulkan hal itu
kemungkinan keraguan (ihtimâl) yang jelas maka lebih antara lain dari penggunaan kata “rijs” yang diartikannya
utama bersikap wara’ dengan meninggalkannya, karena dengan “kejelekan budi pekerti” sebagaimana ditegaskan
sikap seperti ini merupakan pengamalan sabda Nabi oleh Alquran dalam kaitannya dengan larangan makanan-
Saw., .34 makanan dan minuman tertentu (Q.s. 5: 90, 6:145).
Pendapat serupa dikemukan juga oleh ulama Muslim
Urgensi Pemahaman Halal, Haram, Syubhat kontemporer, Syaikh Taqi Falsafi, dalam Child between
Heredity and Education dengan mengutip pendapat
Apakah hukum Islam dengan seperangkat hukum- Alexis Carrel yang menyatakan bahwa “pengaruh dari
nya: wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah, mem- campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan
punyai tujuan tertentu? Ataukah hukum-hukum Islam terhadap aktivitas jiwa dan pikiran, belum lagi diketahui
hanya sekedar perintah, larangan, halal dan haram yang secara sempurna”.
bersifat kepatuhan (ta’abbudî) semata, tanpa tujuan
khusus? Apakah ada argument-argumen yag dapat di-
pahami oleh manusia? Tujuan Pengaturan Halal dan Haram

Sebagian ulama salaf dan khalâf menyatakan bahwa Ulama menegaskan bahwa hukum Islam dicipta-
hukum syariah memiliki landasan-landasan argumentatif kan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di
dan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan dan alasan dunia dan akirat. Kemaslahatan ada yang besifat primer
serta hikmah dalam penetapan hukum Islam dapat di- (dharûriyyah), sekunder (hajiyyah), dan ada yang ber-
pahami secara rasional, global, dan terperinci dalam sifat tersier (tahsiniyyah), sebagaimana dinyatakan
Imam al-Ghazalî dan al-Syâthibî. Menurut Imam al-
Syâthibî, tugas syariah berorientasi pada terwjudnya
al-Rahîm al-Mubarakfurî, Tuhfah al-Ahwadzî, (Bayrût: Dâr al-Fikr, tujuan-tujuan kemanusiaan yang terdiri atas bagian
1424H-2003M), Jilid V, h. 426.
33
Yûsuf al-Qaradhawî, Al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, h. 37.
34
Imâm Abî Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawî al-Dimasyqi,
35
Muhammad ibn Muhammad Abû Hâmid al-Ghazalî, Mukhtashar
Syarh Shahîh Muslim, h. 23. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1406H-1986M), h. 102.
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 297

primer (dharûriyyah), sekunder (hajiyyah), dan tersier arti, syariat mencegah pelanggaran langsung atau
(tahsiniyyah). Primer, artinya sesuatu yang harus ada tidak langsung yang dapat merusaknya. Oleh karena
guna terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. itu mencegah kerusakan sangat diperlukan untuk me-
Apabila sesuatu itu hilang, kemaslahaan manusia akan negakkan kemaslahatan.
sulit terwujud, bahkan akan menimbulkan kerusakan,
kekacauan dan kehancuran. Makanan dan Minuman yang Diharamkan
Di sisi lain, kebahagiaan dan kenikmatan akan Bangkai
lenyap dan kerugian yang nyata akan muncul. Untuk Sesuai dengan Alquran surah al-Mâ’idah (5): 3,
menjaga hal tersebut diperlukan dua hal. Pertama, al-Baqarah (2): 172-173, al-Mâ’idah (5): 3, dan al-
sesuatu yang dapat menjaga dan mengukuhkan pondasi An’âm (6): 145. Imam al-Syawkânî mendefinisikan
dan kaidah syariat dan merupakan aspek utama untuk bangkai sebagai binatang yang mati dengan sedirinya,
menjaga keberadaan syariat. Kedua, sesuatu yang dapat atau dengan kata lain, kematiannya tidak disebabkan
mencegah pelanggaran langsung atau tidak langsung karena perbuatan manusia, dengan sengaja disembelih
terhadap syariat dan merupakan aspek untuk meng- atau karena diburu. Binatang yang kematiannya tanpa
hindari kepunahan syariat. penyembelihan secara syariat. Jadi bangkai adalah
Imam al-Qarâfî menambahkan komponen ke hewan yang mati dengan sendirinya atau hewan yang
enam, yaitu kehormatan yang sering disebut sebagai kematiannya tanpa disembelih secara syar’i.
harga diri. Oleh karena itu syariat mengharamkan Dikecualikan dari bangkai dua hal, yaitu bangkai
fitnah atau menuduh berzina (qadzaf ), membicarakan belalang dan bangkai ikan laut berdasarkan Hadis yang
aib orang lain (ghibah). Menurut Imam al-Syâthibî, bersumber dari Ibn Amr secara marfû’ yang diriwayatkan
kemaslahatan yang bersifat sekunder adalah segala hal Ahmad, Ibn Mâjah, al-Dâr Quthnî, Hakim, dan Ibn
yang dibutukan untuk memberikan kelonggaran dan Mardawiyah:
mengurangi kesulitan yang biasanya menjadi kendala
dalam mencapai tujuan. Adapun kemaslahatan yang ‫[أحل لنا ميتتان ودمان] وأخرجه أحد وابن ماجه‬
bersifat keutamaan (tahsiniyyah) adalah melakukan
tindakan yang lain menurut adat dan menjauhi per- ‫والدارقطن واحلاكم وابن مردويه عن ابن عمر مرفوعا‬
buatan-perbuatan aib yang ditentang oleh akal sehat. Al-Sa’dî menyatakan keumuman ayat ini (bangkai)
Kemaslahatan ini merupakan keutamaan akhlak. ini dikecualikan secara syar’i oleh Hadis yang menyata-
Apabila syariat bertujuan untuk menjaga kemaslahatan, kan kehalalan bangkai, yaitu bangkai belalang dan
ini dapat dipahami bahwa syariat bertujuan mencegah bangkai ikan. Hadis yang menjadi pegangan adalah:
dan menghilangkan kerusakan-kerusakan. Prinsip
ini ditegaskan dalam Hadis “Tidak ada kemudaratan ‫ [أحلت لنا ميتتان احلوت والراد‬:‫بقوله عليه السلم‬
dan tidak boleh memudaratkan (‫”)الضرر والضرار‬. Hadis ‫ودمان الكبد والطحال] اخرجه الدار قطن و‬
tersebut adalah Hadis Âhâd. Maksud Hadis ini “tidak
ada kemudaratan dan tidak boleh memudaratkan”, yaitu ‫كذلك حديث جابر يف العنرب خيصص عموم القرآن‬
seseorang tidak boleh merusak dirinya dan orang lain.
Tidak boleh memulai berbuat kerusakan atau membalas
‫بصحة سنده خرجه البخاري و مسلم‬
dengan kerusakan. Apabila kerusakan dan perbuatan Tentang tujuan pengharaman bangkai dari jenis yang
merusak dilarang, kemaslahatan dan kesejahteraan telah disebutkan, menurut Ibn Katsîr pengharaman
akan terjaga dan terpelihara. Dari hadis ini, ada ulama makan bangkai tidak lain karena pada bangkai terdapat
berkesimpulan bahwa pada prinsipnya kemudaratan itu kemudaratan bahaya yaitu darah yang tertahan, tentu
haram. Kata mudarat yang dimuat dalam Hadis tersebut ini sangat membahayakan bagi agama dan tubuh, oleh
berbentuk umum (nakirah) dalam ungkapan peniadaan karenanya Allah mengharamkannya.36 Yûsuf al-Qaradhawî
(nafiy). Dengan demikian yang dimaksud mudarat mencatat lima hikmah dari diharamkannya bangkai.
yaitu pelbagai jenis kerusakan. Sedangkan kemaslahatan Pertama, fitrah yang sehat menetapkan bahwa ia adalah
(manâfi) pada prinsipnya adalah mubah. kotor. Akal pikiran yang normal mengatakan bahwa
Imam Syâthibî mengisyaratkan bahwa pemeliharaan makan bangkai merendahkan derajat manusia. Kedua,
kemaslahatan atau tujuan- tujuan syariat dapat di- seseorang Muslim dibiasakan untuk memiliki maksud
wujudkan dalam dua bentuk, yaitu positif (ijâbiyyah) dan niat dalam setiap urusannya. Ia tidak memperoleh se-
dan negatif (salabiyah). Positif dalam arti, syariat
harus memelihara hal-hal yang dapat menegakkan dan 36
Abî al-Fidâ al-Hâfizh ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân
mengukuhkan pilar-pilarnya dan dan negatif dalam al-‘Azhîm, h. 11.
298 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

suatu kecuali setelah memantapkan niat dan kehendaknya diharamkan adalah darah yang mengalir, Ahmad al-Râzî
untuk itu. Ketiga, binatang yang mati dengan sendirinya, al-Jashshâsh (917-980 M/305-370H) dalam Ahkâm al-
kemungkinan besar disebabkan karena umurnya sudah Qur’ân menggambarkan andaikan tidak ada ayat yang
tua, atau kecelakaan, atau memakan tumbuhan yang menetapkan haramnya darah selain ayat pada surah
beracun, atau musibah lainnya. Semua itu tidak dapat al-Baqarah (2): 173 (‫الدم‬ َّ ‫ )إَِّنَا َح َّرَم َعلَيْ ُك ُم ال َْمْيـتَ َة َو‬dan ayat pada
dijamin keamanannya. Keempat, dengan pengharaman surah al-Mâ’idah (5):3 (‫الد ُم‬ َّ ‫)ح ِّرَم ْت َعلَيْ ُك ُم ال َْمْيـتَ ُة َو‬,
ُ niscaya telah
bangkai itu atas kita maka Allah hendak memberi berlakulah ketetapan haramnya darah secara keseluruhan,
kesempatan kepada binatang untuk kita santap, sebagai baik sedikit maupun banyak. Tetapi kemudian Allah
wujud kasih sayang Allah padanya, karena mereka juga berfirman pada ayat lain dalam surah al-An’âm (6):145,
َّ َ ‫وحي إ‬
ً ‫ِيل مَُ َّرًما َعلَى طَا ِع ٍم يَ ْط َع ُم ُه إِال أَ ْن يَ ُكو َن َمْيـتَ ًة أَ ْو َد ًما َم ْسف‬
umat sebagaimana kita. Kelima, agar manusia memelihara (‫ُوحا‬ َ ِ ُ‫ُل ال أَ ِج ُد ِيف َما أ‬
ْ ‫)ق‬,
binatang yang menjadi miliknya, tidak dibiarkan begitu maka ayat tersebut sebagai dasar (dalil) yang menegaskan
saja ia sakit, melemah, lalu mati sia-sia.37 bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang
mengalir bukan selainnya. Adapun Âtsâr yang menjadi
‫وقد أمجعت االمة على حترمي امليته غري السمك والراد‬ dasar memperkuat yaitu berasal dari Ikrimah yang
‫وأمجعوا على إابحة السمك والراد وأمجعوا أنه الحيل‬ menegaskan, “Kalaulah tidak ada ayat (‫ُوحا‬ ً ‫ )أَ ْو َد ًما َم ْسف‬niscaya
kaum Muslimin akan mengikuti hukum tulang yang sedikit
38
‫من احليوان غري السمك والراد إال بذكاة‬ dagingnya sebagai orang-orang Yahudi mengikutinya.”
Terdapat juga Âtsâr Qatâdah yang menjelaskan ayat (‫أَ ْو‬
Darah ‫سفُوحًا‬
ْ ‫ )دَمًا َم‬ia menuturkan, ”Yang diharamkan pada darah
adalah yang mengalir, adapun daging yang bercampur
Ayat-ayat alquran yang menetapkan keharaman darah dengan darah maka tidak mengapa (halal)”. Ditambahkan
adalah al-Baqarah (2): 172-173, al-Mâ’idah (5): 3. Pen- oleh al-Jashshash, berdasarkan riwayat al-Qâsim ibn
jelasan mengenai hukumnya darah ditemukan dalam Muhammad dari ‘Â’isyah telah ditanyakan mengenai
kitab-kitab tafsir dan fikih. Al-Thabarî menegaskan bahwa darah yang terdapat pada daging dan sembelihan, maka
yang dimaksud dengan darah yang diharamkan adalah ia menjawab, ”Sesungguhnya Allah melarang darah
berkaitan dengan darah yang mengalir “‫“الدم املسفوح‬, adapun yang mengalir”. Al-Jashshâsh menegaskan tidak ada
darah yang tidak mengalir, maka tidak haram berdasarkan perbedaan pendapat para fukaha mengenai bolehnya
ijmak ulama, dengan merujuk firman Allah pada surah al- mengonsumsi daging yang masih ada tersisa darah pada
َّ َ ‫وحي إ‬
An‘âm (6): 145, (…ْ‫ِيل مَُ َّرًما َعلَى طَا ِع ٍم يَ ْط َع ُم ُه إِال أَن‬ َ ِ ُ‫ُل ال أَ ِج ُد ِيف َما أ‬
ْ‫ق‬ tulang yang sedikit dagingnya, karena darah tersebut tidak
‫ُوحا‬
‫ف‬ ‫س‬‫م‬ ‫ا‬ ‫م‬‫د‬ ‫و‬َ
‫أ‬ ‫ة‬‫ت‬ ‫ـ‬‫ي‬
ً ْ َ ً َ ْ ً َ َْ َ ‫م‬ ‫ن‬
َ ‫و‬‫ك‬ُ ‫ي‬ ),39
“Katakanlah, tiadalah aku peroleh mengalir42. Menurut al-Jashshâsh, fukaha mazhab Hanafi
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang berpendapat, darah ikan tidaklah najis, karenanya boleh
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, dimakan beserta darahnya. Adapun mengenai darah
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang udang, menurut pendapat Imam Malik sebagaimana
mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua dikutip oleh al-Jashshash, apabila telah menjadi kotor
itu kotor-atau hewan yang disembelih atas nama selain agar dicuci, demikian pula dengan darah lalat dan darah
Allah.” (Al-An’âm [6]: 145). Al-Thabarî berkesimpulan, ikan dicuci.
ayat tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa darah
yang tidak mengalir adalah halal dan tidak najis. 40 Al-Syawkânî memberikan rincian bahwa ayat-ayat
(al-Baqarah (2): 172-173, al-Mâ’idah (5): 3)—yang
Abû Bakr Ibn al-‘Arabî (1076-1148 M/468-543H) menetapkan keharaman darah bersifat mutlak—
menegaskan bahwa ulama telah sepakat (ijmak) me- pemahaman ayat-ayat tersebut dibatasi (‫ )املقيد‬dengan
ngenai hukum darah, yaitu haram dan najis tidak boleh ayat lainnya surah al-An’âm (6):145. Dengan demikian,
dikonsumsi dan dimanfaatkan.41 Pendapat yang serupa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.43
juga dikemukakan oleh al-Qurthubî. Hal ini menurut Pendapat al-Syawkânî tersebut sejalan dengan pan-
al-Qurthubi telah menjadi ijmak ulama. dangan Abû Bakr Ibn al-‘Arabî. Menurut dia, kalau
Untuk lebih memahami alasan bahwa darah yang pada al-Baqarah (2) 173 Allah menetapkan darah
secara mutlak (‫)مطلقا‬, kemudian ditentukan pada surah
Yûsuf al-Qaradhawî, Al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, h. 75.
37

Imâm Abî Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawî al-Dimasyqi,


38 al-An’âm (6):145 dibatasi atau diikat dengan darah
Syarh Shahîh Muslim, h. 72. yang mengalir, oleh karena para ulama memahami ayat
39
Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Amalî
Abû Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Ta’wil al-Qur’ân, h. 492. 42
Abû Bakr Ahmad al-Râzî al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân,
40
Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Amalî (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1414H/1993M), jilid I, h. 173.
Abû Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Ta’wil al-Qur’ân, h. 193. 43
Muhammad al-Syawkânî, Fath al-Qâdir al-Jami’ bayn Fann al-
41
Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allâh Ibn al-’Arabî, Ahkâm al- Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr; Lihat juga ‘Abd al-Rahmân
Qur’ân, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th), h. 78. ibn Nashir ibn al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân.
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 299

dengan membawanya kepada arti atau makna yang pada kedua surah lainnya adalah umum mencakup
dibatasi secara ijmak. Dan hal ini telah dikuatkan Hadis seluruh darah, maka tentu wajib melaksanakan pada
riwayat ‘Aisyah,”Andaikan Allah tidak berfiman “(‫أَ ْو‬ keumuman ayatnya, karena tidak terdapat pada ayat
‫ُوحا‬
ً ‫ ) َد ًما َم ْسف‬niscaya manusia akan menyelidiki/mencari yang mengkhususkannya. Maka dikatakan kepadanya
darah yang terdapat pada tulang, maka janganlah kalian “firman Allah “(‫ُوحا‬ ً ‫ )أَ ْو َد ًما َم ْسف‬datang didalamnya ada
berpaling mengenai masalah itu kepada yang diasalkan peniadaan/penyangkalan keharaman seluruh darah
kepada Ibnu Mas’ud mengenai masalah darah”.44 terkecuali yang mencakup sifat tersebut. Karena firman
َّ َ ‫وحي إ‬
Tentang darah, al-Qurthubî menambahkan sebagai- Allah, (‫ِيل مَُ َّرًما‬ َ ِ ُ‫ٌل ال أَ ِج ُد ِيف َما أ‬
ْ ‫ )ق‬dan seterusnya itu, maka
mana telah menjadi kesepakatan ulama mengenai yang demikian itu adalah sesuai dengan seperti kami
haramnya darah, maka menurut dia, darah hukum- telah sifati, maka tidaklah maksudnya dari firman Allah
nya haram dan najis, juga tidak boleh dikonsumi al-Baqarah (2) 173 datang kemudian setelah firman
dan dimanfaatkan. Kemudian al-Qurthubî menulis Allah pada surah al-An’âm (6):145 atau keduanya turun
pandangan Ibn Huwayz Mandad, bahwa darah yang secara bersamaan. Namun, ketika tidak ada pada kita
diharamkan selama kesulitannya tidak meliputi, dan sejarah/catatan waktu turunnya kedua ayat dimaksud,
dapat dimaafkan karena kesulitannya yang meliputi maka wajib menetapkan bahwa keduanya turun ber-
secara umum, seperti darah yang terdapat pada daging samaan, maka pada saat itu tidak dapat ditetapkan
atau yang terkena pada pakaian dan digunakan untuk keharaman darah terkecuali dihubungkan dengan sifat
salat, dengan alasan bahwa ketentuan ayat yang meng- tersebut yaitu darah yang mengalir.
haramkan darah, yaitu al-Baqarah (2): 173 dikait- Pada bagian lain, Abû Bakr Ibn al-‘Arabî mencatat
kan dengan al-An’âm (6):145, dengan demikian me- perbedaan pandangan ulama mengenai kekhususan
nunjukkan darah yang diharamkan adalah darah yang (‫ )ختصيص‬keumuman ayat tersebut dengan hati dan limpa.
mengalir. Kedua, dasarnya Hadis ‘Â’isyah: Satu pendapat menyatakan tidak ada kekhususan (‫)ختصيص‬
pada ayat tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik.
‫ كنا نطبخ الربمة‬:‫روت عائشة رضي هللا عنها قالت‬ Sementara Imam al-Syâfi’î berpendapat bahwa ayat
‫على عهد رسول هللا صلى هللا عليه و سلم تعلوها‬ tersebut dikhususkan. Pendapat yang benar menurut Ibn
al-‘Arabî adalah bahwa ayat tersebut tidak dikhususkan,
‫الصفرة من الدم فنأكل وال ننكره‬ karena menurut dia hati dan limpa adalah daging se-
Telah diriwayatkan dari ‘Â’isyah R.a. pernah memasak bagaimana disaksikan dengan melihatnya dengan mata
daging, sehingga warna kuning dari daging meluap pada sendiri yang tidak memerlukan lagi pejelasan.
bejana yang terbuat dari tanah, pada masa Rasulullah
Saw., kami bersama mengonsumsinya dan kami tidak
Dalam Ahkâm al-Qur’an Ibn al-‘Arabî46 menyata-
mengingkarinya. kan, “Para ulama berselisih pendapat mengenai darah
yang dikategorikan termasuk haram, di antaranya ada
Menurut dia, menjaga diri darinya adalah me-
dua pendapat. Golongan pertama mengatakan bahwa
rupakan beban dan sulit, sementara beban dan kesulitan
memakan segala macam darah adalah haram kecuali
dalam agama diletakkan dan ini adalah asas agama
hati dan limpa sebagaimana yang diprioritaskan Sunah.
Islam, sebagaimana halnya ketika umat ini mengalami
Pendapat kedua menyebutkan bahwa pengharaman
kesulitan dalam melaksanakan ibadah dan dirasakan
ini khusus berlaku pada darah yang mengalir, dengan
berat melakukannya, maka menjadi gugurlah ibadah
dasar apa yang dikatakan oleh ‘Â’isyah dan Ikrimah
itu, seperti halnya seseorang yang dalam keadaan
serta Qatâdah. Diriwayatkan dari ‘Â’isyah, ia berkata,
terpaksa maka ia dibolehkan mengonsumsi bangkai.45
”Kalaulah Allah Swt. tidak berfirman demikian, “atau
Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allâh Ibn al-’Arabî darah yang mengalir (al-An’âm:145), niscaya orang-
memberikan tanggapan terhadap alasan ulama yang orang akan menganggapnya seperti darah yang melekat
berpendapat bahwa ayat yang mengharamkan darah pada tulang”.
(al-Baqarah (2):73 dan al-Mâ’idah (5):3) dibatasi
Imam al-Hafiz mengambil jalan tengah dengan ber-
dengan surah al-An’âm (6):145. Menurut dia, jika ada
pendapat bahwa yang tepat adalah bahwa apabila darah
pendapat bahwa firman Allah pada surah al-An’âm
itu berada tersendiri maka haram dimakan, dan jika
ً ‫ )أَ ْو َد ًما َم ْسف‬adalah khusus (‫ )خاص‬berkenaan
(6): 145 (‫ُوحا‬
bercampur dengan daging maka boleh dimakan, karena
dengan sifat tersebut, sedangkan firman Allah
bila bercampur dengan daging tidak mungkin untuk
dipisahkan. Pengharaman yang dimaksud dalam ayat
44
Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allâh Ibn al-’Arabî, Ahkâm al-
Qur’ân, jilid I, h.79.
45
Lihat: Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ahmad al-Anshârî al- 46
Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allâh Ibn al-’Arabî, Ahkâm al-
Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an. Qur’ân, h. 756.
300 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

adalah karena kondisi darah yang sudah menyendiri. juga disebutkannya larangan daging babi secara khusus
Dalam fikih mazhab Maliki diterangkan bahwasanya merupakan penguatan terhadap keharaman daging
darah hewan yang tidak boleh dimakan adalah haram, babi dan larangan terhadap seluruh bagiannya sehingga
baik sedikit maupun banyak. Darah hewan yang halal jelaslah bahwa yang dimaksud adalah larangan terhadap
dimakan, apabila masih hidup maka hukumnya haram. keseluruhan babi sekalipun yang yang ditegaskan secara
Alasan pengharaman pada darah hewan yang halal jelas khusus mengenai dagingnya.51 Pendapat yang se-
adalah karena termasuk ketegori darah yang mengalir.47 nada juga ditegaskan oleh al-Syawkânî bahwa tekstual
(zahir) ayat-ayat pengharaman babi menegaskan bahwa
Hati dan limpa /paru-paru adalah termasuk jenis yang diharamkan adalah dagingnya saja. Al-Sawkânî
darah, akan tetapi hukumnya halal untuk dimakan, menegaskan bahwa umat telah sepakat mengenai ke-
dengan dasar hadits Nabi saw. Dan sekiranya tidak haraman lemak babi sebagaimana disampaikan oleh al-
ada nash dari hadits tersebut niscaya tidak halal karena Qurthubî.52
keduanya adalah darah dan hukum asal dari darah adalah
haram.48 Dalam kaitannya dengan pengharaman daging babi,
Ahmad H. Sakr berdasarkan ayat-ayat pengharaman
Mengalirnya darah adalah syarat yang menjadi babi yang terdapat pada empat surah sebagaimana telah
pengharamannya, yaitu darah mengalir dari hewan disebutkan, dapat dikatakan bahwa babi diharamkan
yang boleh disembelih. Maksudnya adalah darah yang secara keseluruhannya di dalam Islam bagi seorang
mengalir di saat atau seusai penyembelihan hewan Muslim dan juga kepada non-Muslim. Alasannya,
yang halal untuk disembelih. Sedangkan darah yang karena firman Allah dalam surah al-An’âm (6): 45, yaitu
mengalir dari hewan yang masih hidup maka sedikit (‫ )قل ال أجد يف ما أوحي إيل مرما‬adalah jelas bahwa larangan
atau banyaknya haram. Demikian pula darah hewan mengonsumsi babi adalah berlaku setiap orang.53
yang haram dimakan, meskipun disembelih, sedikit
atau banyak hukumnya haram secara mutlak.49 Ulama sepakat bahwa babi mutlak haram secara
keseluruhan. Dalam buku Maratib al-Ijma’, Ibnu
Hazm menyebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa,
Babi baik jantan maupun betina dan kecil maupun besar,
Dasar yang mengharamkan daging babi adalah hukumnya haram. Haram dagingnya, syarafnya, otaknya,
Alquran surah al-Baqarah (2): 173, al-Mâ’idah (5): tulang rawannya, isi perut (usus), kulitnya, dan anggota
3, al-An’âm (6): 145, dan al-Nahl (16): 115. Dalam tubuh lainnya.54 Maka tidak diperkenankan makan
Ahkâm al-Qur’ân, al-Jashshâsh menyatakan ayat-ayat sebagian dari salah satu bagian tubuh babi, baik yang
tersebut secara jelas menegaskan keharaman daging babi. berupa daging, kulit, lemak dan anggota tubuh lainnya.
Memang dalam ayat-ayat tersebut sekalipun yang disebut Hal ini sudah disepakati oleh semua umat Islam.55
secara khusus adalah daging babi, namun demikian yang Tidak ada satu pun ulama yang membolehkan
dimaksud adalah seluruh bagian babi, karena dagingnya memakan babi baik daging maupun lemaknya.
yang paling besar manfaat dan yang dikehendaki. Al- Seperti yang dituduhkan kepada sebagian pendapat
Jashshâsh mendasarkan pendapatnya ini bahwa akan Zâhiriyyah, padahal mereka sendiri melalui Ibn Hazm
halnya Allah menentukan keharaman membunuh telah berpendapat bahwa babi secara mutlak hukumnya
binatang buruan bagi seorang yang sedang ihram, maka haram. Tidak ada sebagian kecil pun dari babi yang
maksud larangan atau pecegahan tersebut tentunya halal baik bulu atau bagian lainnya.
adalah larangan atau pencegahan seluruh perbuatan
perburuan. Adapun disebutkannya membunuh buruan
secara khusus karena membunuh bintang buruan seluruh aktivitas yang dapat melalaikan salat Jumat. Maka penyebutan
jual beli secara khusus merupakan penguatan larangan jual beli yang
merupakan tujuan terbesar dalam perburuan.
dapat menyibukkan dari salat. Demikian juga halnya dengan daging
Ditambahkan pula oleh al-Jashshâsh ayat-ayat yang babi, pelarangannya disebutkan secara khusus adalah sebagai penguat
serupa dengan ini cukup banyak.50 Maka demikian hukum keharaman daging babi dan pencegahan seluruh bagiannya.
51
Abû Bakr Ahmad al-Râzî al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân,
(Bayrût: Dâr al-Fikr, 1414 H-1993M), Jilid I, h. 173.
47
Abû al-Qâsim Muhammad ibn Ahmad ibn Juza’i al-Kalabî, Al- 52
Lihat al-Syawkânî, Fath al-Qâdir.
Qawânîn al-Fiqhiyyah, (Dâr Ibn Hazm, 1997), h. 150. 53
Ahmad H. Sakr, Understanding Halal Foods Fallacies & facts,
48
Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, h. 164-167. (Lombard: Foundation For Islamic knowledge, 1996); Lihat juga
49
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, jilid I, h. 488. Imam al- Jashshsash jilid I, h. 174.
50
Misalnya larangan berjualan setelah diselenggarakan azan 54
Ibn Hazm al-Andalûsî, Marâtib al-Ijmâ’, (Dâr al-Âfâq al-
sebagaimana terdapat pada surah al-Jumu’ah ayat 9. Dalam ayat Jadîdah, t.th), h. 148.
tersebut penentuan larangan berjualan secara khusus, karena jual beli 55
Bidâyah al-Mujtahid, jilid I, h. 488; al-Qawânîn al-Fiqhiyyah, h.
merupakan aktivitas terbesar yang dituju dari sekian manfaat berjual 34; al-Mughnî, Jilid I, h. 136; Mughni al-Muhtâj, Jilid I, h. 77; Syarh
beli, pada hal yang yang dimaksud sebenarnya adalah mencakup al-Minhâj, Jilid I, h. 69.
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 301

Mengapa diharamkan? Ia adalah hewan kotor, karena mengucapkan talbiyah. Pendapat lain menyebutkan,
salah satu makanan yang paling ia sukai adalah kotoran bayi menangis dengan suara keras, jika berteriak pada
dan benda-benda najis. Ia adalah hewan yang berbahaya kelahirnnya, adalah bangsa Arab apabila mereka akan
di semua tempat dan benua, terutama di daerah-daerah melakukan penyembelihan bisa dengan mendekatkan
yang bercuaca panas, sebagaimana dijelaskan dalam sembelihannya dengan patungnya dan mereka me-
sebuah penelitian. Memakan daging babi akan me- nyebutnya dengan nama patung mereka dengan
nyebabkan penyakit cacingan yang bisa menyebabkan mengangkat suaranya. Adapun makan “uhilla bih li
kematian. Lebih dari itu memakan daging babi akan ghayrillah” yaitu sesuatu yang disembelih untuk selain
mempengaruhi sifat kesucian dan kemuliaan seseorang.56 Allah.60
Oleh karena itu, baik daging maupun seluruh angota Menurut Kamil Musa artinya mengangkat suara.
tubuhnya termasuk cairan-cairannya hukumnya haram Misalnya anak kecil yang baru dilahirkan menjerit dan
tidak boleh dijadikan menu makanan atau gizi. menangis disebut ihlâl. Sedangkan yang dimaksud di
sini adalah hewan yang disembelih dengan menyebutkan
Penyembelihan untuk Selain Allah selain nama Allah Swt. seperti seorang beragama Pagan
Dasar yang mengharamkan penyembelihan untuk menyembelih dengan menyebut Lata dan Uza. Orang
selain Allah terdapat pada surah al-Baqarah (2): 173, Majusi menyembelih dengan menyebutkan api dan orang
al-Mâ’idah (5): 3 dan al-An’âm (6): 145. Menurut al- Nasrani menyebutkan nama al-Masih. Sedangkan Yahudi
Thabârî alasan disebut dengan “‫”وما أ ِه َّل به‬, karena orang- menyebut nama Uzair ketika hendak menyembelih
orang Jahiliah apabila akan menyembelih sesuatu yang hewan. Ini adalah perumpamaan bukan pembatasan.
dapat mendekatkan mereka kepada sembahannya Artinya masih banyak lagi contoh orang menyembelih
(tuhannya), mereka menyebutnya dengan nama tuhan dengan tidak menyebutkan nama selain Allah, misalnya
mereka yang mereka tuju untuk mendekatkannya, pada menyebutkan orang mati. Hal ini termasuk hewan yang
saat penyembelian mereka mengeraskan suaranya, suara disembelih dengan menyebut selain nama Allah.61
mereka yang tinggi ketika melakukan penyembelihan Ibn Nâjim, seorang pakar fikih Islam aliran Hanafiah
itulah yang disebut sebagai “‫”اإلهلل‬,57 yang menurut al- sebagaimana dikutip oleh Kamil Musa. Menurut dia
Qurthubî berarti mengangkat suara.58 Adapun yang sudah jelas dalam bahwasanya sembelihan untuk orang
dimaksud dengan firman Allah dalam surah al-Mâ’idah: yang pulang dari haji dan pulang perang atau pemimpin
3, yaitu ‫وما أهل لغري هللا به‬, menurut al-Thabârî, yaitu hewan dan sebagainya membuat hewan yang disembelihnya
yang disembelih untuk sesembahan (tuhan) mereka sama hukumnya dengan bangkai.62 Dari penjelasan
atau untuk patung, pada sembelihannya disebutkan di atas tampak jelas bahwa niat penyembelihan harus
nama selain Allah. Jadi apa beda kedua surah itu? Al- diperuntukkan kepada Allah bukan untuk makhluk
Hâfizh Ibn Katsîr menegaskan bahwa hewan yang atau untuk kepentingan sesuatu lainnya.
ketika disembelih disebut atas nama selain Allah adalah Al-Thabârî, dengan mengutip pendapat Abû Ja’far
haram, alasannya karena Allah telah mewajibkan setiap bahwa para ahli takwil berbeda pendapat mengenai
makhluknya agar disembelih atas nama-Nya (Allah) yang sifat (‫)االخنناق‬, al-Sudi berpendapat al-Munkhaniqah
agung maka menyimpang dari ketentuan ini dan pada adalah hewan yang kepalanya antar dua dahan
penyembelihannya disebutkan selain nama (asma)-Nya, (syu’bah) pada suatu pohon lalu mati, maka tercekik
seperti patung atau thaghut atau selainnya dari seluruh kemudian mati. Al-Dhakah adalah hewan yang tercekik
makhluk, maka hukumnya haram secara ijmak.59 kemudian mati. Sedangkan Qatâdah memahami al-
Apa perbedaan uhilla bih li ghayrillâh dengan uhilla munkhaniqah adalah hewan yang mati karena tercekik
li ghayrillah bih? Asal pengertian al-Ihlâl menurut tali yang terdapat pada lehernya. Menjadi tradisi orang-
Muhammad ‘Alî al-Sayis yaitu mengangkat suara dan orang Jahiliah mereka (yakhnaquna) kambing mereka
menjelaskannya/mengeraskannya. Oleh karena itu se- sehingga mati, kemudian mereka mengonsumsinya,
bagaimana dikatakan al-Malba mengenai haji/umrah maka Allah mengharamkannya.63 Menurut al-Thabârî
Umar R.a, Ihlâl yaitu mengangkat suaranya dengan dari pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat yang
menyebutkan “hewan yang takhnaq, baik disebabkan
56
Imam ‘Alî al-Sayis, Tafsir Âyât al-Ahkâm , Jilid, 1 h. 79; Ibn
Katsir, h. 251. 60
Muhammad ‘Alî al-Sayis, Tafsîr Âyât Ahkâm, h. 14.
57
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabârî, Tafsîr al-Thabârî, 61
Suyatno, Ensiklopedi Halal dan Haram dalam Makanan dan
maktabah syamilah, h. 492. Minuman, (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2006), h. 66.
58
Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, Al- 62
Ibid.
Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, Jilid I, h. 210. 63
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabârî, Tafsîr al-Thabârî,
59
Ibn Katsir, Jiilid II, h. 11. maktabah syamilah, h. 494.
302 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

karena watsaq-nya, atau karena kepalanya masuk korban. Yaitu hewan yang tertimpa oleh hewan lain
pada suatu tempat yang tidak bisa keluar darinya lalu dan menyebabkan mati tanpa proses penyembelihan
tercekik kemudian mati. Alasan kami memilih takwil syar’i.68 Menurut Abu Ja’far An-Nathihah (‫)النطيحة‬
yang demikian karena karena “‫”املنخنقة‬,64 bukan karena adalah kambing yang ditanduk oleh kambing lainnya,
khanaq selainnya, berpendapat demikian, karena jika kemudian mati mati karena tandukan tanpa disembelih.
makna seperti itu maka itu berbentuk maf‘ûl, niscaya Asli kata “‫ “النطيحة‬adalah “‫املنطوحة‬.”
disebut “‫”واملخنوقة‬, sehingga hal itu memiliki arti seperti
yang mereka utarakan. Al-Sabu’u
Yaitu hewan yang dimakan oleh binatang buas.
Al-Mawqûdzah Binatang yang bertaring seperti singa atau harimau. Atau
Asal kata al-wâqidz konotasinya adalah sebuah dimangsa burung yang mempunyai kuku yang panjang
pukulan yang keras. Adat semacam ini sering di- dan tajam seperti elang dan garuda. Yang dimaksud di
lakukan oleh bangsa jahiliah. Mereka memukul sini adalah hewan yang sebagian anggota tubuhnya
binatang ternaknya dengan kayu hingga mati untuk sudah dimakan oleh binatang buas. Karena masyarakat
dipersembahkan kepada tuhan-tuhan mereka, lalu Arab tidak menyukai binatang buas, jadi tidak mungkin
mereka membuatnya sebagai jamuan. Yaitu hewan yang mereka mau memakan sebagian sisa makanan mereka
dipukul dengan batu atau tongkat hingga menyebabkan tanpa disembelih dengan cara syar’i, tetapi jika hewan
dia mati tanpa melalui proses penyembelihan.65 yang diterkam oleh binatang buas tadi masih hidup dan
Menurut pendapat Ibn Abbas “‫ “واملوقوذة‬adalah tradisi masih sempat disembelih dengan penyembelihan secara
orang-orang jahiliah mereka memukul hewanya dengan syar’i maka hukumnya halal dan boleh dikonsumsi,
tongkat sehingga mati, lalu mereka mengonsumsinya. sebagaimana disebutkan dalam sebuah Ayat: ‫ّاال ما ذ كيتم‬
Qatâdah menjelaskan, orang-orang jahiliah mereka (“Kecuali yang telah kalian sembelih”).
memukul hewannya sehingga yaqdzuha, kemudian
mereka mengonsumsinya. Tetapi menurut al-Dahak Al-Nusub
“‫ ”واملوقوذة‬yaitu hewan yang dipukul lalu mati. Al-Sudi Al-Nasb adalah batu yang didirikan di sekitar Kakbah
berpendapat yang sama. Al-Dhahak menambahkan mereka menyembelih binatang di atas batu tersebut untuk
adalah kambing atau hewan lainnya dari binatang pengorbanan dan pendekatan diri kepada tuhannya.
ternak dipukul dengan kayu untuk tuhan (sesembahan) Sebagian orang menyebutkan bahwa nasb adalah berhala.
mereka, sehingga mereka membunuhnya kemudian Konon, bangsa Arab senang menyembelih hewan di
mati lalu mereka mengonsumsinya.66 Mekah, kemudian menyiramkan darahnya kepada sesuatu
yang menghadap Kakbah. Mereka mengiris dagingnya dan
Al-Mutaraddiyah meletakkannya di atas batu. Maka ketika Islam datang,
Hewan yang terlempar dari tempat yang tinggi orang-orang Muslim berkata kepada Nabi Saw., “Kami
sehingga menyebabkan dia mati, baik jatuh dari lebih berhak untuk memuliakan Kakbah ini dengan batu
gunung, sumur, lubang, atau tempat lainnya. Al- (al-nasb), maka kemudian Allah Swt. menurunkan ayat,
Tarada berasal dari kata radda yag berarti binasa. Baik “Wa mâ dzubih ‘ala al-nusub.” 69
terlempar dengan sendirinya maupun terlempar oleh
orang lain.67 Ibn ‘Abbas “‫ ”واملرتد ية‬hewan yang tataradda Tanggung Jawab Produk70 Produsen dalam Produk
dari atas gunung. Qatâdah mengartikan tataradda di Halal.
dalam sumur, lalu mereka mengonsumsinya. Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang
dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) me-
Al-Nathîhah nyatakan, ”Konsumen di manapun mereka berada, di
Al-Natihah yang berarti sesuatu yang menjadi
68
Suyatno, Ensiklopedi Halal dan Haram dalam Makanan dan
،‫ وإما بدخال رأسها يف املوضع الذي ال تقدر على التخلص منه‬،‫ إما يف واثقها‬،‫ «هي اليت ختتنق‬64 Minuman, h. 69.
‫فتختنق حىت متوت‬ 69
Lihat Ibn Katsir, Jilid II, h. 8; Tafsir al-Syawkani, Jilid I, h. 169,
‫ دون‬،‫ هي املوصوفة ابالخنناق‬،”‫ ألن “املنخنقة‬،‫وإنا قلنا ذلك أوىل ابلصواب يف أتويل ذلك من غريه‬ Jilid II, h. 8.
.‫ حىت يكون معىن الكلم ما قالوا‬،”‫ “واملخنوقة‬:‫ لقيل‬،‫ ولو كان معنيًّا بذلك أهنا مفعول هبا‬،‫خنق غريها هلا‬ 70
Istilah product liability (tanggung jawab produk) memang baru
65
Ibid. dikenal sekira 60 tahun yang lalu dalam dunia perusuransian di Amerika
66
Ibid. Lihat juga Suyatno, Ensiklopedi Halal dan Haram dalam Serikat, sehubungan dengan dimulai produksi bahan makanan secara besar-
Makanan dan Minuman, h. 67. besaran, baik di kalangan produsen (producer and manufacture) maupun
67
Suyatno, Ensiklopedi Halal dan Haram dalam Makanan dan penjual (seller, distibutor) mengasuransikan adanya risiko akibat prduk-
Minuman, h. 68. produk yang cacat atau menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 303

segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya.” gugat dikenal menjadi dua, yaitu tanggung gugat
Yang dimaksud dengan hak-hak dasar-dasar tersebut akibat melanggar hukum dan tanggung-gugat akibat
adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, melanggar perjanjian. Kedua tanggung gugat ini di-
benar, dan jujur, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan rumuskan dalam ketentuan pasal 1370, 1371, dan
hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia.71 pasal 1235 KUH Perdata. Bagi pihak yang merasa
Permasalahannya yang timbul adalah tidak sedikit dirugikan haknya akibat adanya pelanggaran hukum
produsen makanan dan minuman tidak mematuhi standar atau perjanjian berhak mengajukan tuntutan ke pe-
jaminan halal yang telah ditetapkan antara lain beberapa ngadilan, baik secara pribadi maupun kelompok,
produk makanan dan minuman, seperti susu, mie, snack dengan menyertakan alat bukti yang dapat meyakinkan
diketahui bahwa produk-produk tersebut mengandung pengadilan sehingga pelanggaran dapat diselesaikan
gelatin, shortening, lecithin, dan lemak yang kemungkinan sesuai dengan Undang-Undang.75
berasal dari babi. Setiap produsen harus memenuhi Lebih tegas tentang sanksi pelanggaran terhadap
kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen ketentuan produksi halal dikenakan sanksi administrastif
Muslim sebagai tangung jawab produsen untuk produk dan/atau pidana sebagaimana diatur dalam Undang
yang dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
kerugian atau ketidak nyamanan konsumen. Ketentuan tentang berproduksi halal juga telah diatur
Untuk dapat pemahaman yang jelas tentang tanggung dalam Undang-Undang ini.76
jawab produk Henry Campbell Black mendefinisikan Penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan
tanggung jawab produk (prod uct liability) adalah to the produksi halal atau iklan produk halal dengan peng-
legal liability of manufactures and seller to compensate buyer, gunaan bahan yang diharamkan pernah dan masih
user, and even by standers, for damage or injuries because terjadi oleh produsen. Sekedar untuk merefleksi kasus
e of defect in goods purchase. Jadi yang dimaksud dengan tahun 1988 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
tanggung jawab produk (product liability) adalah suatu terhadap beberapa produk makanan dan minuman,
tanggung jawab secara hukum dari produsen atau dari seperti susu, mie, snack diketahui bahwa produk-produk
seorang sebagai kompensasi kepada konsumen yang tidak tersebut mengandung gelatin, shortening, lecithin, dan
sesuai dengan standar karena cacat atau mengakibatkan lemak yang kemungkinan berasal dari babi.77 Demikian
kecelakaan terhadap produk yang dijual atau diedarkan.72 juga dengan skandal penggunaan enzim yang berasal dari
Menurut Natalie O’Connor, “product liability, these babi78 (bacto zoyton) dalam monosodium gluttamat (MSG)
were designed to protect the consumer from faulty or defective 75
Adrian Sutedi dalam Henry Campbell Black, Black Law
goods by imposing strict liability upon manufactures”.73 Dictionary, h. 81.
Dari pendapat tersebut, tampak secara umum Natalie 76
Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Undang-Undang No. 33
ingin menekankan pentingnya tanggung jawab produk Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal., Jakarta, 2014. Pasal yang
mangatur produksi halal dalam Bab III Bahan dan Proses Produk Halal
untuk melindungi konsumen dari produk yang cacat pasal 17 ayat (1), (2) dan (3), pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat 1 dan
atau barang-barang yang tertolak dengan penekanan (2),Pasal 20 ayat 1(), (2) dn (3), Pasal 21 ayat (1), (2 ) dan (3).
yang strik kepada produsen. 77
Penelitian tersebut kemudian dimuat dalam Buletin Canopy
yang diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Fakultas Peternakan
Hukum tentang tanggung jawab produk ini ter- Universitas Brawijaya Malang pada Januari 1988. Buletin ini tersebar
masuk dalam perbuatan melanggar hukum, diimbuhi luas ke beberapa wilayah di Jawa Timur. Selanjutnya, hasil penelitian
Tri Susanto, dikaji oleh Asosiasi Cendekiawan Muslim Al-Falah
dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa Jawa Timur. Berawal dari kajian Asosiasi inilah kemudian timbul
melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak kegoncangan yang merebak di tengah kaum Muslimin di Provinsi Jawa
Timur dan terus meluas ke provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
pelaku.74 Dalam terminologi ilmu hukum tanggung Maka terjadilah demo besar-besaran yang dilancarkan warga muslim
Indonesia yang memprotes adanya bahan-bahan dari babi pada pelbagai
produk tersebut. Dampak dari isu tersebut berimbas pada guncangnya
71
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, perekonomian nasional sehingga terancam lumpuh, karena masyarakat
(Yogjakarta: Diadit Media, 2001), h. viii. menjauhi produk-produk yang diisukan mengandung babi walaupun
72
Adrian Sutedi dalam Henry Campbell Black, Black Law belum dibuktikan secara ilmiah. Hasil produk nasional turun hingga
Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minnesota: West Publishin mencapai lebih dari 30% dari produksi normal. Bahkan produsen
Company, 1983), h. 840. mie terbesar saat itu yang biasanya memproduksi sedikitnya 40 juta
73
Adrian Sutedi dalam Ray H. Anderson, “Current Problem in dus per bulan turun hingga hanya memproduksi 20 juta dus saja per
bulannya.Tragedi nasional isu lemak babi ini begitu mengguncang
Product Liability Law and Product Liability Insurance”, Insurance
ketenangan batin umat Islam, menyudutkan dunia industri pangan,
Counsel Journal, July, 1964, h. 445. dan mengguncang stabilitas ekonomi dan politik nasional.
74
Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan- 78
Berdasarkan skema yang dipublikasikan oleh LPPOM MUI
perbuatan pelaku usaha yang berakibat menimbulkan kerugian dan/ tentang babi dan turunannya (pig and it’s Derivatives) dijelaskan bahwa
atau membahayaan konsumen diatur dalam Pasal 4, 5, 7-17, 19- hampir seluruh anggota tubuh dari dapat merasuk ke dalam pelbagai
21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal UU No. Tahun 1989 tentang jenis makanan dan bahan-bahan lainnya. Kulitnya, selain bisa menjadi
Perlindungan Konsumen. aneka produk berbahan kulit seperti tas, sepatu, ikat pinggang, dompet
304 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

Ajinomoto pada dasarnya isu terkait dengan product yang lazimnya disebut fraudulent misrepresentation.
liability. Hal ini terkait dengan status halal produk ini. Hal ini menurut Sidharta ditandai oleh: (i) pemakaian
Sekalipun dalam menyikapi masalah ini ada perbedan pernyataan yang salah pilih (false statement); (ii)
penilaian mengenai kandungan bacto zoyton dalam MSG pernyataan yang menyesatkan (mislead).82 Di Amerika
Ajinomoto antara LPPOM-(Lembaga Pengawas Obat Serikat, berdasarkan section 2 (a) UDTPA, tindakan
dan Makanan Majelis Ulama Indonesia) dan BPOM.79 seperti ini dianggap sebagai praktik perdagangan yang
Berdasarkan hasil penelitian LPOM-MUI, Komisi mengelabui (deceptive trade practice).83
Fatwa memutuskan keharaman MSG yang meng- Jika dikaitkan dengan tanggung jawab jaminan produk
gunakan bacto zoyton. Alasannya adalah bahwa bakteri halal yaitu dengan syarat halal sesuai dengan produk yang
dalam pembuatan MSG sudah terkena najis, karena dinyatakan dalam iklan sebagaimana pada ketentuan
diberi media pertumbuhan dengan bacto zayton yang peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa label
dibuat dari enzim porcine yang ada dalam kemasan atau iklan pangan yang diperdagangkan dengan persyaratan
pankreas babi yang menyatu sedemikian rupa dan agama atau kepercayaan tentu bertanggungjawab atas
tidak pernah ada proses penyucian dengan cara yang kebenaan pernyataan berdasarkan persyaratan agama.84
diajarkan dalam agama Islam. Alasan lain yaitu didasari Menurut Adrian Sutedi dalam kasus ini, penyebab iklan
atas pengertian najis dalam ajaran Islam, yaitu najis tersebut menjadi sifat mengelabui adalah karena apa yang
‘aynî yang bisa dilihat, diraba, dicium, dan najis hukmî diklankan tidak sesuai dengan kenyataan yang terdapat
yang tidak terlihat, tercium, dan teraba. Dalam hal ini, pada proses produksinya yang dalam hal ini bahwa produk
Komisi Fatwa MUI mengklasifikasikan kadar haram tersebut halal menurut ajaran Islam, tetapi ternyata bila
bukan saja diakibatkan karena mengandung suatu hal dilihat dalam perspektif ajaran Islam produk tersebut tidak
yang diangap najis atau yang terlarang menurut ajaran dapat dikatakan halal karena dalam proses produksinya
agama Islam, tetapi tercampur dengan sesuatu yang terjadi percampuran antara bahan MSG dengan material
dianggap haram dan najis pun sudah dianggap haram. yang dinilai haram yaitu bacto zoyton.
Sedangkan BPOM mengasumsikan halal atau tidak- Perlu dicatat, sebelum teknologi pengolahan
nya suatu poduk hanya didasarkan pada kandungan pangan pesat berkembang seperti sekarang, persepsi
yang ada pada produk yang telah terjadi tersebut. Hal masyarakat tentang keharaman sebuah produk masih
ini dapat dilihat pada hasl pemeriksaan mereka yang sangat sederhana. Masalah halal haramnya makanan
menyatakan bahwa residu enzim porcine tidak terdeteksi atau minuman hanya terkait dengan ada atau tidaknya
pada bumbu masak Ajinomoto.80 Asumi tersebut produk yang mengandung babi atau mengandung
juga diperkuat dengan alasan bahwa enzim porcine alkohol. Makanan atau minuman yang bebas dari kedua
yang merupakan campuran enzim yang diekstrakdari bahan tersebut, otomatis dianggap halal. Namun kini,
pankreas babi tersebut hanya berfungsi mempercepat teknologi pengolahan pangan telah mengubah persepsi
reaksi pemecahan protein menjadi pepton (protein) tersebut. Sebab produksi makanan untuk consumer
yang kemudian enzim tersebut diendapkan dan disaring goods tidak lagi hanya menggandalkan bahan utama
hingga tidak masuk dalam struktur produk.81 saja, tetapi juga memerlukan bahan tambahan.
Dalam iklan melalui media televisi pihak Ajinomoto Dalam dunia industri makanan, kini dikenal pelbagai
mengeluarkan iklan yang menggambarkan bahwa istilah seperti flavor (perisa), anti cacking agent, coloring
produknya layak digunakan oleh masyarakat yang bera- agent, dan zat additive lainnya. Bahan-bahan itulah yang
gama Islam. Jika iklan memuat informasi yang tidak menjadikan penentuan halal tidaknya sebuah makanan
benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejajahatan atau makanan cukup rumit dan kompleks. Akivitas
produksi yang beberapa waktu tidak pernah dikenal, atau
sejenisnya juga bisa dijadikan bahan kolagen dan gelatin. Kolagen
sendiri bisa menjadi bahan campuran kosmetika dan lapisan luar bahkan tidk pernah tebayangkan, kini hal itu menjadi
pada sosis. Sedang produk turunnya gelatin babi mengalir ke pelbagai kenyataan. Zat seperti propelin glikol, traicetin, gkliserin/
produk olahan seperti es krim, yoghurt, marshmellow, permen, jelly
hingga cangkng kapsul. Adapun lemak babi, produk turunannya bisa
menjadi pelembab (texturizer) kosmetika, sabun dan lisptik. 82
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta:
79
Adrian Sutedi, Tangung Jawab Produk Dalam Hukum
Grasindo, 2000), h. 20.
Perlindungan Konsumen, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), Cet. I, h. 83
Adrian Sutedi, Tangung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
107. Lihat juga Kompas, “Kasus Ajinomoto Dihentikan”, Kamis, 9
Konsumen, h. 95.
Agusutus 2001. Lihat juga Kompas, “MSG Ajinomoto dipastika tidak 84
Lihat UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal 1 angka
mengandung Babi”. Kamis, 11 Januari 2001, h. 107. 16 dan pasal 1 angka 4 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
80
Produk tersebut saat halal dan telah mendapat sertifikat halal dan Iklan Pangan, “Setiap orang yang menyatakan dalam label label
LPPOM -MUI. atau iklan pangan yang diperdagangkan dengan persyaratan agama
81
Adrian Sutedi, Tangung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan atau kepercayaan tentu bertanggungjawab atas kebenaan pernyataan
Konsumen, h. 108. berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.”
Muchtar Ali: Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah 305

gliserol umumnya digunakan sebagai solvent bagi flavor. usaha mereka dalam memproses produksi produk halal.
Solvent tersebut umunya berasal dari hasil samping Pada masa transisi pelaksanaan jaminan halal
pembuatan sabun dan lilin yang direasikan dengan asam sampai terbentuknya Badan Jaminan Halal (BPJH).
lemak dari minyak/lemak yang dapat berasal dari lemak Di Indonesia, selama masa tersebut, perusahaan
hewan. Di sinilah letak titik kritis. Jika lemak hewani harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan
tersebut berasal dari barang yang haram seperti babi, konsumen muslim bahwa perusahaan senantiasa men-
maka hurumnya jelas haram. Begitu juga dari hewan halal jaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena
seperti sapi, cara penyembelihannya tidak secara syariah. itu LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk
Titik kritis lain dalam produski halal yang me- menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan
nyangkut dengan penggunan bahan haram yaitu Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual
darah. Berkaitan dengan masalah darah ini, selain kita SJH. Manual ini disusun oleh produsen sesuai dengan
memahami mengenai hukumnya darah pada aspek kondisi perusahaannya.85
syari’ah sebagaimana telah diuraikan, maka kita juga Sebelas prinsip SJH yang diberlakukan LPPOM-
perlu memperoleh informasi mengenai penggunaan MUI dalam berproduksi halal bagi produsen yang telah
darah pada produk, sebab seiring dengan kemajuan memperoleh sertifikat halal bahwa prinsip tersebut
teknologi pangan sekarang ini, penggunaan darah pada adalah berpandukan kepada kaedah syariah dan kaidah
produk sudah sangat luas. Di Indonesia sebagaimana fikih (‫ )قواعد فقهيه‬serta pendapat ulama berlandaskan
dijelaskan oleh Anton Apriyantono di beberapa daerah kepad Alquran dan Hadis seperti maqâshid al-syarî’ah,
darah beku (dikenal dengan nama dadih atau marus) kesucian, dan kejujuran.
dimakan yaitu dengan digoreng atau direbus, padahal
jelas haramanya. Di negara-negara Eropa darah juga Di Malaysia, tanggung jawab produk halal bagi para
dimakan, namun jarang dalam bentuk dadih tetapi produsen bagi para produsen halal wajib mematuhi
dibuat menjadi produk sosis. Di Jerman dikenal peraturan dan standard halal sehingga dapat diberikan
pelbagai bentuk sosis yang menggunakan bahan baku sertifikat halal. Standar dan peraturan yang perlu di-
darah seperti sosis lidah, sosis darah, dan tetelan. patuhi oleh produsen halal yaitu: (i) Manual Prosedur
Pensijilan Halal Malaysia (MPPHM); (ii) Standard Halal
Penggunaan darah selain diolah untuk menjadi Malaysia MS 1500:2004 (Makan halal, pengeluaran
marus, atau dibuat menjadi sosis darah juga dapat penyediaan, pengendalian, dan penyimpanan serta
dikeringkan langsung dan diolah menjadi tepung darah Garis Panduan Umum); (iii) Good Manufacturing
yang berfungsi baik sebagai bahan pakan (makanan Practice (GMP), Guidelines on Good Hygiene Practice for
ternak) atau pun ditambahkan ke dalam pangan olahan Small and Medium Scale Food Industries Toward HACC;
tertentu dengan maksud untuk mempertinggi nilai (iv) Akta Perihal Perdagangan; dan (v) Akta Makanan. 86
gizinya (besi atau protein). Di samping itu, tepung dapat
berfungsi sebagai bahan pengikat atau bahan pengisi Makanan dan minuman yang bersih suci mengikuti
yang dapat memperbaiki flavour atau mutu pangan panduan halal di Malaysia memenuhi beberapa ciri,
olahan, misalnya darah kering ditambahkan ke dalam yakni (1) Produk tidak terdiri atas bahagian atau benda
sosis agar warna sosis dan daya ikat air sosis menjadi hewan yang larang oleh syarian memakannya atau tidak
lebih baik. Darah, terutama darah kering juga dapat disembelih mengiktu hukum syarak; (2) Produk me-
digunakan sebagai pewarna merah dalam makanan. ngandung najis sesuai sebagaimna ditetapkan pada
ketentuan hukum syara seperti minyak babi, lemak
Belajar dari kasus tersebut, kondisi dan fenomena bangkai atau jenis khamr atau arak; (3) Pada proses
yang demikian ini, pada satu pihak mempunyai manfaat produksi alat yang digunakan bebas dari najis; (4) Produk
bagi konsumen akan barang dan jasa yang diinginkan tidak bercampur dengan benda yang haram selama
dapat terpenuhi. Kepentingan konsumen Muslim ter- proses seperti penyediaan, atau penyimpanannya; (5)
lindungi dari produk pangan kedaluwarsa atau produk Pekerja-pekerja diperusahaan mestilah sehat, bersih, dan
haram. Di sisi lain, agar produsen atau pengusaha dalam mempraktikkan kode etik kebersihan dn kesehatan; (6)
membuat barang dan jasa harus memenuhi standar Peralatan yang digunakan telah dibasuh dan suci. Cara
mutu barang yang dinilai dari penggunaan bahan baku, membasuh adalah dengan air bersih dan mengalir; (7)
peralatan, proses produksi, orang yang terlibat dalam Kebersihan peralatan, pengangkutan dan lingkungan
proses produksi, isi atau berat bersih harus sesuai dan
menggunakan tanda atau label halal atau penggunaan
tanda atau lebel lainnya. Dari pembahasan di atas 85
lihat Panduan Jaminan Halal, LPPOM-MUI.
tampak bahwa produsen halal harus mempertimbangkan
86
Sezelin binti Arif, Integriti Usahawan Makan Halal Thayyiban
sebagai Standard Piawaian, (Malaysia: Majelis Perundingan Islam,
disamping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari Jabatan Kemajuan Islam, Malaysia, 2009 M/1430 H), h. 682.
306 Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

pabrik dan atau menerapkan good manufacturing Jashshash, al-, Abû Bakr Ahmad al-Râzî, Ahkâm al-
practice; (8) Pengemasan dan pemindahan produk Qur’ân, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1414 H/1993M.
menerapkan etik kebersihan dan tidak mengandung Jurjani, al-, ‘Alî ibn Muhammad ibn ‘Alî, Al-Ta‘rîfât,
ramuan yang tidak halal sebagaimana ketentuan syara. Tahqîq Ibrâhîm al-Abyarî, Bayrût: Dâr al-Kitâb al-
‘Arabî, 1405 H.
Penutup Kalabi, al-, Abû al-Qâsim Muhammad ibn Ahmad ibn
Juzai, Al-Qawânîn al-Fiqhiyyah, Dâr Ibn Hazm, 1997.
Pemahaman dan keperluan kepada ketentuan LPPOM-MUI, Panduan Jaminan Halal.
syariah mengenai halal, haram, dan syubhat yang Madjid, Nurcholis, Makna Kejatuhan Manusia ke Bumi,
berlandaskan Alquran dan Hadis serta pendapat para dalam Islam Agama Peradaban, Jkarta: Paramadina,
fukaha amat penting dan menjadi panduan oleh 2000.
konsumen dan produsen dalam memproduksi produk Mubarakfuri, al-, al-Hâfizh Abî al-Ulâ Muhammad
halal. Panduan jaminan halal di Indonesia diterapkan ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm, Tuhfah al-
dalam sistem jaminan halal (SJH). Setiap produk halal Ahwadzi, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1424H-2003M.
yang diedarkan produsen harus dapat ditanggung-gugat Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu
terhadap produknya.[] Pengantar, Yogyakarta, Diadit Media, 2001.
Nawawî, al-, Imâm Abî Zakariyyâ Yahya ibn Syaraf,
Pustaka Acuan Syarh Muslim, Bayrût: Dâr al-Fikr, 421H-2000M.
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Arif, Sezelin binti, Integriti Usahawan Makan Halal Label dan Iklan Pangan.
Thayyiban sebagai Standard Piawaian, Malaysia: Qal’ajî, Muhammad Rawas Qal’ajî dan Qanaybî,
Majelis Perundingan Islam, Jabatan Kemajuan Muhammad Sadiq, Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’,
Islam, Malaysia, 2009 M/1430 H. Bayrût: Dâr al-Fikr, 1405 H-1985 M.
Baghawî, al-, Abû Muhammad al-Husayn bin Mas’ud, Qaradhawî, al-, Yûsuf, Al-Halal wa al-Harâm fi al-
Ma‘âlim Tanzîl, Dâr Thibah, Majma’Malik Fahad, Islâm, terjemah Wahid Amadi dkk, Halal Haram
1417 H-1997 M. dalam Islam, Solo: Era Intermedia, 1424H-2003 M.
Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Undang –Undang Qurthubî, al-, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad
No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, ibn Rasyîd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-
Jakarta, 2014. Muqtashid, Jilid I, Dâr al-Kutub al-Islamiyyah.
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Sakr, Ahmad H., Understanding Halal Foods Fallacies &
Modern, Penerjemah, Eva YN, dkk, Bandung: facts, Lombard: Foundation For Islamic knowledge,
Penerbit Mizan, 2001. 1996.
Ghazalî, al-, Muhammad ibn Muhammad Abû Hâmid, Shâbûnî, al-, Muhammad ‘Alî, Shafwah al-Tafâsîr,
Mukhtashar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Bayrût: Dâr al-Fikr, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.
1406H-1986 M. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Ibn al-‘Arabî, Abû Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allâh, Jakarta: Grasindo, 2000.
Ahkâm al-Qur’ân, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th. Sutedi, Adrian dalam Henry Campbell Black, Black
Ibn al-Sa’di, ‘Abd al-Rahmân ibn Nâshir ibn, Taysîr al- Law Dictionary, Sixth Edition, St Paul Minnesota,
Karîm al-Rahman fi Tafsîr al-Kalâm al-Mannân, di- West Publishin Company, 1983.
tahqîq oleh ‘Abd al-Rahmân ibn Ma‘lâ al-Luwayhik, _____, Adrian dalam Ray H. Anderson, Current
Mu’assasah al-Risâlah, Malik Fahd, 1420H-2000M. Problem in Product Liability Law and Product Liability
Ibn Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijma’, Dar al-Âfâq al Insurance, Insurance Counsel Journal, July, 1964.
Jadîdah, t.th. Suyuthî, al-, Jalâl al-Dîn, dalam Lubaâb al-Nuqûl fi Asbâb
Ibn Katsîr, Abî al-Fida al-Hâfizh, Tafsîr al-Qur’ân al-Nuzûl, Maktabah al-Qahirah, al-Duwaliyah.
al-‘Azhîm, jilid II, III, Bayrût: Dâr al-Fikr, Syawkânî, al-, Fath al-Qâdir, Bayrût: Dâr al-Ma‘rifah,
1412H-1992M. 2007.
Imâdî, al-, Abû al-Sa’ud Muhammad ibn Muhammad Thabarî, al-, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr
ibn Musthafâ, Mufradât al-Qur’ân, Versi Maktabah ibn Ghâlib al-Amalî Abû Ja’far, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wil
Syamilah. al-Qur’ân, di-tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir,
Penerbit Muassah al-Risalah, Cetakan Malik Fahad.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Anda mungkin juga menyukai