Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL SKRIPSI

“ANALISIS ATAS PRAKTIK MANAJEMEN LABA (EARNINGS


MANAGEMENT) DITENGAH KEBERADAAN MEKANISME TATA
KELOLA PERUSAHAAN ( CORPORATE GOVERNANCE)”

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar


Sarjana Ekonomi Strata Satu

OLEH :

NAMA : EMERENTIANA HANJAYA (00000020178)


FEBE GLORIA SIANTURI (00000024137)
FRANSISCUS XAVERIUS MICHAEL. A (00000021648)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
KARAWACI
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Laporan keuangan merupakan sumber informasi yang dapat digunakan
oleh pihak eksternal perusahaan seperti pihak investor dan kreditur yang
digunakan untuk keputusan investasi. Setiap laporan keuangan yang akan
disajikan harus melalui tahap audit oleh auditor eksternal perusahaan sebelum
disajikan kepada pihak eksternal perusahan, namun dalam proses pembuatan
laporan keuangan, biasanya akan terdapat perbedaan pendapat sehingga timbulnya
conflict of interest dari pihak manajer dan pemilik perusahan yang dapat
menimbulkan tindakan manajemen laba (Scoot, 2015). Oleh karena itu, sangat
penting untuk perusahaan memiliki sistem corporate governance yang baik,
karena corporate governance yang baik akan mengurangi tindakan diskresi yang
dilakukan oleh pihak manajemen dalam tindak memanipulasi laba rugi akuntansi,
dimana mereka dapat mengatur besaran pendapatan dan beban yang akan
disajikan didalam laporan keuangan perusahaan. Pihak manajemen melakukan
tindakan tersebut guna memperlihatkan pertumbuhan perusahaan dan kinerja
manajer perusahaan. Tingkat gaji seorang manajer (CEO) perusahaan didasari
pada manajemen laba, yang berarti pihak manajer akan dibayar lebih tinggi
berdasarkan kinerja keuangan mereka, dan lebih kecil kemungkinan untuk
melaporkan kerugian pinjaman dan melaporkan keuntungan yang lebih besar dari
sekuritas (Cornet et al. 2009).
Opportunistic manajemen laba biasanya dilakukan oleh pihak internal
perusahaan atau controlling shareholders untuk memaksimalkan kepentingan
mereka (Abdolmohammadi et al., 2010 : Jaggi et al., 2009), sehingga dalam hal
ini perusahaan mengesampingkan kepentingan pihak lain dan kegiatan tersebut
dapat merugikan pihak eksternal dan internal perusahaan, bahkan dapat
merugikan perusahaan dalam jangka waktu yang panjang. Terdapat berbagai
kasus manajemen laba yang terjadi diluar dan maupun dalam negeri, seperti kasus
Enron dan Worldcom perusahaan yang ada di Amerika Serta markup yang
dilakukan oleh perusahaan Kimia Farma sebesar 32,6 M dan Bank Lippo yang
mengeluarkan 3 laporan keuangan dengan hasil yang berbeda di setiap laporan
yang diterbitkan. Untuk mencegah terjadinya tindakan tersebut, setiap perusahaan
diharapkan mampu untuk menghadirkan sistem tata corporate governance yang
baik, karena dengan memiliki sistem tata kelola perusahaan yang baik hal tersebut
dapat melindungi nilai setiap pemangku kepentingan perusahaan dari tindakan
manajemen laba yang dilakukan oleh manajer atau pihak yang berkepentingan
lainnya.
Menurut (Scott, 2008) manajemen laba merupakan tindakan diskresi
manajemen dalam mengatur besaran laba akuntansi yang dilaporkan, melalui (1)
pemilihan kebijakan akuntansi tertentu dan/atau (2) tindakan nyata melaksanakan
/ tidak melaksanakan / mempercepat / menunda transaksi tertentu. Laba
perusahaan juga merupakan informasi yang digunakan oleh setiap investor untuk
menentukan keputusan investasi (Scoot, 2008), oleh sebab itu pihak manajer
melakukan manipulasi atau rekayasa terhadap laba perusahaan. Melalui
penjelasan tersebut maka manajemen laba dapat melakukan tindakan tersebut
dengan tujuan untuk efficient earnings management dan / atau opportunistic
earnings management dengan melalui dua pendekatan, pertama accrual real
earnings management dan kedua adalah real earnings management. Peneliti
sebelumnya menunjukkan bahwa accrual dan real transaction merupakan salah
satu satu cara yang alternatif untuk melakukan pengaturan laba.
Perbedaan real dan accrual real earnings management adalah REM akan
berdampak yang negatif terhadap nilai perusahaan, dimana perusahaan akan
meningkatkan earnings perusahaan (Roychowdhury, 2006). Melalui penelitian
Cohen dan Zarowin (2010), real earning management lebih tidak mudah untuk
dilacak oleh pihak luar, karena hal tersebut dapat ditutupi dengan transaksi harian
perusahaan, seperti perubahan waktu dan struktur transaksi perusahaan. Melalui
berbagai penelitian sebelumnya, manajemen laba accrual tidak memiliki dampak
secara langsung terhadap arus kas suatu perusahaan, akan tetapi memiliki dampak
terdeteksinya tindakan tersebut oleh auditor maupun regulator lainnya, contohnya
seperti mengubah metode depresiasi aset tetap ( beatty et al., 1995 ; Beaver dan
Engel, 1996 ; Zang, 2012 ; Scoot ; 2015). Sedangkan manajemen laba real akan
lebih berpengaruh terhadap kinerja jangka panjang perusahaan dan memiliki
dampak terhadap arus kas perusahaan ( Febriana, 2013 ; Scoot, 2015).
Melalui penelitian sebelumnya, semakin baik corporate governance (yang
artinya accrual earnings management semakin dibatasi) akan berasosiasi dengan
real earnings management dengan magnitude yang semakin besar, karena diskresi
akrual management telah dibatasi atau dihambat oleh corporate governance itu
sendiri.
Melalui uraian diatas, mengenai hubungan antara corporate governance
dengan earning management, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan
judul “ANALISIS ATAS PRAKTIK MANAJEMEN LABA (EARNINGS
MANAGEMENT) DITENGAH KEBERADAAN MEKANISME TATA
KELOLA PERUSAHAAN ( CORPORATE GOVERNANCE)”

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang
akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Apakah corporate governance mempunyai pengaruh negative terhadap
accruals real earnings management pada sektor consumer goods garmen dan
retail yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2018?
2. Apakah corporate governance mempunyai pengaruh positif terhadap accruals
real earnings management pada sektor consumer goods garmen dan retail
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2018?

1.3. Tujuan Penelitian


Sesuai dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengaruh corporate governance terhadap accruals real earnings management
pada sektor consumer goods, garmen dan retail yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode 2015-2018.
2. Pengaruh corporate governance terhadap accruals real earnings management
pada sektor consumer goods, garmen dan retail yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode 2015-2018.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. ManfaatTeoritis
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat meningkatkan
wawasan dan dapat menjadi kajian referensi bagi para pembaca secara khusus
untuk meningkatkan informasi mengenai ilmu pengetahuan di bidang akuntansi
terutama dalam bidang audit laporan keuangan.

1.4.2. Manfaat Praktis


1. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan kajian teoritis
bagi perusahaan, dan menjadi referensi bagi pihak menejemen
perusahaan untuk lebih memperhatikan kualitas corporate governance
perusahaan untuk meningkatkan kualitasperusahaan.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan
penulis mengenai akuntansi terutama pengetahuan mengenai kualitas
dan dampak corporate governance terhadap accruals earnings
management dan earnings real management.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan kajian teoritis
untuk pengembangan penelitian selanjutnya untuk menghasilkan
penelitian yang lebih baik.

1.5 Batasan Masalah


Agar penelitian ini memperoleh hasil yang terfokus pada permasalahan
dan terhindar dari penelitian yang berbeda, maka perlu dilakukan pembatasan
masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini dengan hanya
melakukan penelitian mengenai praktik manajemen laba (earnings management)
ditengah keberadaan mekanisme tata kelola perusahaan (corporate governance)”,
penelitian ini hanya dilakukan pada :
1. Perusahaan industry pada sektor consumer goods dan retail yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2015-2018.
2. Perusahaan yang dapat menjadi obbjek padapenelitian ini adalah perusahaan
yang memenui syarat pada sample penelitian.
3. Data yang digunakan dalam penelitianini merupakan data dari laporan
keuangan yang telah diaudit pada periode 2015-2018 serta data lainnya yang
diperoleh dari situs Bursa Efek Indonesia.

1.6 SistematikaPembahasan
Sistematika penulisan ini digunakan untuk mempermudah penulis
melakukan penelitian, dengan membuat kerangka penelitian yang sistematis.
Penelitian ini akan disusun sebanyak 5 bab, dengan sistematika penulisan sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat dari penelitian, dan
batasan-batasan masalah serta sistematika penulisan
BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN TEORITIS
Bab ini akan membahas mengenai teori, konsep dasar teori yang
digunakan, telaah literatur-literatur yang relevan sehubungan dengan
variabel yang diteliti, kerangka pemikiran, serta pengembangan
hipotesis
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan membahas mengenai, populasi dan sampel dalam
pengumpulan data, model empiris penelitian, definisi variabel
operasional, metode analisis data dan uji sensitivitas serta uji tambahan
penelitian.
BAB IV HASIL DAN DISKUSI
Bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian yang didapatkan dan
terdiri dari deskrip sistatistik, hasil uji model dan lain sebagainya, serta
pembahasan dari penelitian
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini menjelaskan mengenai simpulan, implikasi dari hasil penelitian
keterbatasan, serta saran untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Earnings Management


Scott (2012), mendefinisikan manajemen laba sebagai pilihan manajer
dalam memilih kebijakan akuntansi, untuk mencapai beberapa tujuan yang
spesifik. Manajemen laba dapat mempengaruhi motivasi manajer untuk
meminimalkan usaha, karena manajer dapat menggunakan manajemen laba untuk
kelancaran kompensasi mereka dari waktu ke waktu.
Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang
melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Scott, 2012:287-288), yaitu:
a. The Bonus Plan Hypothesis yakni dengan memilih metode akuntansi yang
mampu menggeser laba dari masa depan ke masa kini.
b. The Debt Covenant Hypothesis yakni memilih prosedur akuntansi yang
menggeser pelaporan laba dari periode mendatang untuk periode berjalan.
c. The Political Cost Hypothesis yakni memilih prosedur akuntansi yang
menunda laba yang dilaporkan.
Merujuk pada definisi earnings management oleh Scott (2009), earnings
management dikelompokkan menjadi accrual earnings management dan real
earnings management. Manajemen laba akrual merupakan pengaturan laba
melalui pemilihan kebijakan akuntansi, sementara manajemen laba riil merupakan
pengaturan laba dengan cara memanipulasi (melaksanakan / tidak melaksanakan /
mempercepat / menunda) transaksi /aktivitas riil perusahaan. Setelah
diberlakukannya Sarbanes Oxley Act, praktik manajemen laba cenderung bergeser
dari manajemen laba akrual ke manajemen laba riil (Cohen et al, 2008). Namun
demikian, dalam perusahaan boleh jadi kedua jenis manajemen laba ini
dipraktekkan secara bersama-sama.
Menurut Visvanathan (2008), pihak luar tidak memiliki akses untuk
mengobservasi kemungkinan adanya praktik manipulasi (baik secara akrual
maupun transaksi riil) yang mengarah pada manajemen laba sehingga tidak dapat
menemukan praktik tersebut sampai kemudian secara ex-post mengidentifikasinya
melalui kasus investigasi penyelewengan yang dialami perusahaan yang
bersangkutan.

2.2. Manajemen laba akrual ( long term accrual model dan short term accrual
model)
Short term dan long term accruals memiliki karakteristik yang berbeda.
Short term accruals terkait dengan cara melakukan manajemen laba yang
berkaitan dengan aktiva dan hutang lancar, biasanya waktu yang dilakukan adalah
pada kuartal pertama atau satu tahun buku Sedangkan, long - term accruals terkait
dengan akun aktiva tetap dan hutang jangka panjang (Kusuma, 2006). Manajer
dapat mengambil keuntungan dari perbedaan karakteristik tersebut. Manajer akan
lebih mudah untuk memanipulasi data akuntansi melalui long - term discretionary
accruals, karena tindakan manajer tersebut tidak dapat dideteksi untuk beberapa
periode akuntansi berikutnya (Whelan dan McNamara 2004).
Menurut Dechow (1995), jika total akrual ditujukan untuk mengurangi
masalah timing dan matching dalam arus kas. Penggunaan short term accruals
ditujukan untuk lebih mengurangi masalah timing dan matching. Sementara itu,
tidak terdapat kejelasan alasan penggunaan long term accruals untuk
mengakomodasi tujuan tersebut. Hal ini dikarenakan penggunaan long term
accruals dipengaruhi oleh proses politis (Watts dan Zimmerman, 1989).
Sementara itu, pasar mungkin akan menganggap penggunaan long term
discretionary accruals adalah usaha manajer untuk membodohi pelaku pasar,
karena sifat dari akrual tersebut yang memberikan kesempatan bagi manajer untuk
melakukan manipulasi (Whelan dan McNamara, 2004). Dengan demikian,
dampak yang ditimbulkan penggunaan long term discretionary accruals akan
lebih besar dibanding dengan short term discretionary accruals.

2.3. Manajemen Laba Riil


Roychowdhury (2006) mendefinisikan laba sebagai berikut “management
actions that deviate from normal business practice, undertaken with the primary
objective of meetings certain earnings thresholds.”. Dengan kata lain bahwa
campur tangan manajer dalam proses pelaporan keuangan tidak hanya melalui
metode-metode atau estimasi-estimasi akuntansi saja tetapi juga dapat dilakukan
melalui keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegiatan operasional.
Lebih lanjut, manager juga memiliki insentif untuk memanipulasi aktivitas-
aktivitas riil selama tahun berjalan untuk memenuhi target laba. Manipulasi
aktivitas-aktivitas riil tersebut disebut manajemen laba riil.
Manajemen laba riil adalah tindakan-tindakan manajemen yang
menyimpang dari praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan tujuan
utama untuk mencapai target laba (Roychowdhury, 2006; Cohen dan Zarowin,
2010). Manajemen laba riil dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:
a. Manipulasi Penjualan
Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara
temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk
secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak.
Strategi ini dapat meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini,
dengan mengasumsikan marginnya positif. Namun, pemberian diskon harga
dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode saat
ini.
a. Penurunan beban-beban diskresioner (discretionary expenditures)
Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti beban
penelitian dan pengembangan, iklan, dan penjualan, administrasi, dan umum
terutama dalam periode dimana pengeluaran tersebut tidak langsung
menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini dapat meningkatkan laba dan
arus kas periode saat ini namun dengan resiko menurunkan arus kas periode
mendatang.
b. Produksi yang berlebihan (overproduction)
Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih
banyak daripada yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang
lebih tinggi akan menyebabkan biaya tetap per unit produk lebih rendah.
Strategi ini dapat menurunkan biaya barang terjual (cost of goods sold) dan
meningkatkan laba operasi.
Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas biasanya dilakukan oleh
perusahaan-perusahan dengan kinerja yang buruk sehingga tidak banyak memiliki
akrual untuk dimanipulasi. Satu-satunya cara adalah dengan manipulasi aktivitas
riil tersebut terutama untuk mencapai laba sedikit di atas nol. Dengan ketiga cara
diatas perusahaan-perusahaan yang diduga (suspect) melakukan manipulasi
aktivitas riil akan mempunyai abnormal cash flow operations (CFO) dan
abnormal production cost yang lebih besar dibandingkan perusahaan-perusahaan
lain serta abnormal discretionary expenses yang lebih kecil.
Hasil survey Graham, Harvey dan Rajgopal (2005) menemukan bukti kuat
bahwa 78% dari 401 manajer sebagai responden jauh lebih bersedia untuk terlibat
dalam manajemen laba riil (real earnings management) daripada manajemen
akrual untuk mencapai target laba. Beberapa penelitian manajemen laba terkini
menyatakan pentingnya memahami bagaimana perusahaan melakukan manajemen
laba melalui manipulasi aktivitas riil selain manajemen laba berbasis akrual
(Roychowdhury, 2006; Gunny, 2005;; Cohen et al., 2008; Cohen dan Zarowin,
2010).
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Graham et al. (2005),
Roychowdhury (2006) menunjukkan para eksekutif keuangan lebih memilih
untuk memanipulasi laba melalui aktivitas-aktivitas riil daripada aktivitas akrual.
Hal ini disebabkan oleh:
1. Manipulasi akrual cenderung membuat para auditor atau regulator melakukan
pemeriksaan dengan cepat daripada jika keputusan-keputusan tentang aktivitas
real atau produksi yang dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa baik auditor
ataupun regulator kurang memberikan perhatian terhadap aktivitas-aktivitas
riil yang dimanipulasi oleh manajemen, sehingga manajemen memiliki
kesempatan untuk memanfaat peluang ini dalam mencapai target laba.
2. Hanya bersandar pada manipulasi akrual saja akan membawa resiko karena
pengelolaan laba dengan mengandalkan akrual diskresioner hanya dapat
dilakukan pada akhir tahun. Akan tetapi, strategi ini menimbulkan resiko yaitu
jika jumlah laba yang perlu dimanipulasi lebih besar daripada akrual
diskresioner yang dapat digunakan manajer.Sehingga kemampuan manajer
dalam memanipulasi laba terbatas, akibatnya target laba tidak dapat dicapai
jika hanya menggunakan akrual diskresioner pada akhir tahun. Manager dapat
mengurangi resiko ini dengan memanipulasi aktivitas-aktivitas riil selama
tahun berjalan (Wei Yu, 2008)
Berdasarkan (Roychowdhury, 2006) dalam Subekti, Kee dan Ahmad
(2010), pengukuran manajemen laba riil menggunakan:
1. Abnormal cash flow operations (CFO / arus kas operasi abnormal)
CFO abnormal adalah manipulasi laba yang dilakukan perusahaan melalui
aliran operasi kas yang akan memiliki aliran kas lebih rendah daripada level
normalnya. Estimasi nilai residu dari CFO merupakan nilai abnormal CFO.
2. Abnormal production cost (PROD) / biaya kegiatan produksi abnormal)
Abnormal production cost adalah manajemen laba riil yang dilakukan melalui
manipulasi biaya produksi, dimana perusahaan akan memiliki biaya produksi
lebih tinggi daripada level normalnya. Estimasi nilai residu dari biaya
produksi merupakan nilai abnormal PROD.
3. Abnormal discretionary expenses (DISC) / biaya diskresioner abnormal)
Abnormal discretionary expenses adalah manipulasi laba yang dilakukan
melalui biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan, biaya penjualan,
administrasi, dan umum. Estimasi nilai residu dari biaya diskresioner
merupakan nilai abnormal DISC.
Kegiatan riil operasi dianggap dapat menangkap pengaruh riil lebih baik
daripada hanya akrual operasi. Indikasi keterlibatan manajemen perusahaan
pendapatan dengan manipulasi aktivitas nyata dapat ditunjukkan oleh nilai
abnormal kegiatan. Pengukuran nilai abnormal dari aktivitas setiap deviasi antara
nilai aktual dan nilai aktivitas aktivitas yang diharapkan.Roychowdhury (2006)
memberikan bukti empiris bahwa perusahaan melakukan manajemen laba riil
untuk menghindari melaporkan kerugian.

2.4. Good Corporate Governance


2.4.1. Pengertian Good Corporate Governance
Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury
Committee, Inggris di tahun 1922 yang menggunakan istilah tersebut dalam
laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report. Dalam Cadbury Committee of
United Kingdom dalam Sukrisno Agoes & I Cenik Ardana (2013:101)
mendefinisikan good corporate governance adalah sebagai berikut: “A set of rules
that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the
government, employees, and other internal and external stakeholders in respect to
their right and responsibilities, or the system by which companies are directed
and controlled (Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan)”. Menurut Sukrisno Agoes
(2013:101) good corporate governance dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Tata kelola yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan
peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu
proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan
penilaian kinerjanya”.
Menurut Adrian Sutedi (2012:1) good corporate governance dapat
didefinisikan sebagai berikut:
“Good corporate governance yaitu suatu proses dan struktur yang
digunakan oleh organ perusahaan (pemegang saham/pemilik modal,
komisaris/dewan pengawas dan direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha
dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”.
Dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (Gideon,
2005) dalam Rahmawati (2012: 169) mendefinisikan good corporate governance
adalah sebagai berikut:
“Good corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang
menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain
sistem yang mengarah dan mengendalikan perusahaan”.
Menurut Moh. Wahyudin Zarkasyi (2008:37) mendefinisikan bahwa good
corporate governance adalah sebagi berikut:
“Good corporate governance merupakan suatu sistem (input, proses,
output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak
yang berkepentingan (stakeholder) terutama dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi demi tercapainya tujuan
perusahaan”.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, bahwa good corporate governance
adalah suatu sistem yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola
saham dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan kepentingan internal dan
eksternal perusahaan baik hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
mengendalikan perusahaan demi tercapainya tujuan perusahaan yang ingin
dicapai oleh para pihak-pihak yang berkepentingan dan memperhatikan
stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai
etika.

2.4.2. Prinsip – prinsip Good Corporate Governance


Prinsip-prinsip dasar good corporate governance diharapkan dapat
dijadikan titik acuan bagi para pemerintah dalam membangun framework bagi
penerapan good corporate governance. Bagi pelaku usaha dan pasar modal,
prinsip-prinsip ini dapat menjadi pedoman dalam kelangsungan hidup perusahaan.
Menurut Moh. Wahyudin Zarkasyi (2008:38-41) mengemukakan lima prinsip
good corporate governance, yaitu: a. “Transparansi (transparency) b.
Akuntabilitas (accountability) c. Responsibilitas (responsibility) d. Independensi
(independency) e. Kesetaraan (fairness)”.
Dari kutipan diatas dapat dijelaskan lima prinsip good corporate
governance yaitu sebagai berikut:
1. Transparansi (transparency) Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan
bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (accountability) Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.
3. Responsibilitas (responsibility) Perusahaan harus mematuhi peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha
dalam jangka panjang dan mendapat pangkuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (independency) Untuk melancarkan pelaksanaan GCG
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak
lain.
5. Kesetaraan (fairness) Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus
senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran.

2.4.3. Accrual Earnings Management dan Corporate Governance


Keterkaitan praktik corporate governance pada earnings management
telah banyak diteliti, antara lain oleh Trihapsari (2006), Kam (2007), Jiang, Lee
dan Anandrajan (2008), dan Sefiana (2009). Menggunakan konteks pasar modal
di Indonesia, Trihapsari (2006) menguji pengaruh penerapan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan (prinsip kewajaran, prinsip transparansi, prinsip
akuntabilitas, dan prinsip responsibilitas) terhadap manajemen laba. Hasil
penelitian menunjukkan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan tidak
memiliki hubungan negatif yang cukup kuat terhadap praktik manajemen laba. .
Hubungan yang lebih lemah diperlihatkan oleh penelitian Sefiana (2009). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa praktik pengelolaan perusahaan yang di-proxy-
kan dengan proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris dan
keberadaan komite audit ternyata tidak memiliki pengaruh terhadap praktik
manajemen laba.
Terhadap hasil ini Sefiana (2009) berargumen bahwa penerapan corporate
governance di Indonesia baru saja dilakukan dan sifatnya masih terbatas pada
pemenuhan ketentuan saja.
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Jiang, Lee dan Anandrajan (2008).
Penelitian mereka membuktikan pengaruh negatif yang signifikan antara praktik
pengelolaan perusahaan dengan praktik manajemen laba, di mana Gov-Score yang
tinggi berkorelasi dengan tingkat discretionary (abnormal) accruals. Sementara
itu, penelitian Kam (2007) menunjukkan ketidak konsistenan hasil, di mana
keberadaan CEO-duality memperbesar peluang manajemen laba sementara
keberadaan komite audit dan proporsi non-executive directors tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Dengan demikian, dari
penelitian yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa praktik pengelolaan
perusahaan memiliki pengaruh terhadap praktik manajemen laba dalam
perusahaan namun dalam derajat signifikansi yang beragam dan tidak bersifat
konklusif.
Atas dasar kajian-kajian tersebut penelitian ini mengajukan hipotesis
penelitian bahwa praktik corporate governance dapat menghambat praktik
accrual earnings management sebagai berikut:
H1 : Corporate Governance mempunyai pengaruh negatif terhadap
manajemen laba akrual (accrual earnings management)
Penelitian ini menggunakan Komisaris Independen, Komite Audit,
Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional. Penggunaan variabel-variabel
ini mengikuti penelitian Wahidahwati (2012). Berdasarkan Surat Keputusan PT
Bursa Efek Jakarta No. Kep-315/BEJ/06-2000, yang diamandemen dengan Surat
Keputusan No.: Kep-339/BEJ/07-2001 seluruh perusahaan yang terdaftar dalam
Bursa Efek Indonesia wajib memiliki Komite Audit sehingga dalam sampel data
yang ada seluruh perusahaan telah memiliki Komite Audit. Untuk membedakan
praktik corporate governance di antara perusahaan sampel, penelitian ini
menggunakan variabel Audit Committee Quality (Woidtke and Yeh, 2002).
Oleh karena itu, hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini dapat
dikembangkan lebih detail menjadi sebagai berikut:

2.4.3. Real Earnings Management dan Corporate Governance


Keterkaitan praktik corporate governance pada real earnings management
masih sedikit diteliti. Studi literatur berkenan dengan penelitian ini hanya
menemukan tiga penelitian: penelitian Visvanathan (2008), penelitian Hashemi &
Rabiee (2011) dan penelitian Chi et al. (2011). Ketiga penelitian ini sama-sama
menggunakan model Roychowdhury untuk mendeteksi dan mengukur magnitude
manajemen laba riil: Model ACFO, Model ADE dan Model AProd. Sedikit
berbeda, Chi et al. (2011) menggunakan ketiga model itu sebagai dasar untuk
meng-konstruksi REM Index sebagai ukuran magnitude dari real earnings
management.
Visvanathan (2008) menggunakan karakteristik dewan direksi (ukuran
dewan, independensi dewan dan dualitas CEO) dan karakteristik komite audit
(ukuran komite audit, kualitas komite audit, jumlah pertemuan komite audit)
sebagai proxy dari praktik corporate governance. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa ukuran dewan, dualitas dewan, ukuran komite audit dan kualitas komite
audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap praktik manajemen laba.
Disini, praktik manajemen laba riil hanya dipengaruhi oleh independensi dewan
(secara negatif untuk model ADE dan secara positif untuk model AProd) dan oleh
jumlah pertemuan komite audit (secara positif untuk model AProd). Argumentasi
Roychowdhury mengenai kurangnya signifikansi praktik corporate governance
terhadap manajemen laba riil ini adalah bahwa kemungkinan dewan dan komite
audit lebih memberi perhatian pada manajemen laba akrual yang lebih disorot
oleh media dan para analis ketimbang jenis manajemen laba riil.
Sementara itu, Hashemi & Rabiee (2011) hanya menggunakan ukuran
dewan, dualitas CEO dan independensi dewan untuk merepresentasikan praktik
corporate governance. Berbeda dengan Visvanathan, Hashemi & Rabiee
memberikan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan, yaitu bahwa secara
konsisten ukuran dewan dan independensi dewan memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap manajemen laba riil pada ketiga model. Untuk dualitas CEO
penelitian ini menemukan pengaruh positif signifikan hanya pada model ADE,
yang juga selaras dengan prediksi awal penelitian.
Dua penelitian di atas menghubungkan praktik corporate governance
dengan real earnings management tanpa mempertimbangkan keberadaan accrual
earnings management yang mungkin juga dipraktikkan oleh perusahaan sampel.
Penelitian Chi et al (2011) merupakan penelitian yang mempertimbangkan
keduanya. Di sini, Chi et al menguji apakah perusahaan akan mengeksploitasi
lebih banyak real earnings management ketika kemampuan perusahaan untuk
mengatur laba secara akrual dibatasi oleh kualitas auditor yang lebih baik. Dengan
mendasarkan diri pada konsep trade-off yang dikemukakan oleh Zang (2007), Chi
et al kemudian menghipotesa-kan bahwa kualitas auditor yang lebih baik
diasosiasikan dengan real earnings management yang lebih besar pada
perusahaan-perusahaan yang memiliki insentif untuk melakukan accrual earnings
management. Hasil pengujian membuktikan bahwa kualitas audit memiliki
asosiasi negatif dengan accrual earnings management tetapi memiliki asosiasi
positif dengan real earnings management. Hasil ini memberikan bukti empiris
adanya trade-off antara accrual earnings management dan real earnings
management.
Sama seperti penelitian Chi et al (2011), penelitian ini mempertimbangkan
keberadaan accrual dan real earnings management. Oleh karena itu, mengikuti
pola pikir penelitian Chi et al (2011) tersebut, penelitian ini mengadopsi hipotesis
trade-off yang dikemukakan dan telah dibuktikan oleh Zang (2007) tersebut.
Hipotesa ini menyatakan bahwa apabila diskresi manajemen dalam mengatur laba
secara akrual (praktik accrual earnings management) dibatasi, manajemen akan
melakukan trade-off dengan mengalihkan upaya-upaya pengaturan laba melalui
manipulasi transaksi riil. Di sini trade-off terjadi ketika praktik accrual earnings
management menurun, pada saat bersamaan magnitude dari real earnings
management justru meningkat.
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan
praktik tata kelola perusahaan (corporate governance) sebagai mekanisme yang
dapat menghambat manajemen dalam melakukan praktik accrual earnings
management. Keberadaan tata kelola perusahaan yang baik diharapkan dapat
mewakili kepentingan pihak luar (terutama pemegang saham) sehingga mampu
meminimalkan praktik accrual earnings management oleh manajemen. Hubungan
negatif antara corporate governance dan accrual earnings management menjadi
hipotesa pertama penelitian ini. Selanjutnya, berdasarkan hipotesa trade-off
apabila diskresi akrual dibatasi maka manajemen akan mengeksploitasi
pengaturan laba melalui manipulasi transaksi riil dalam magnitude yang semakin
besar. Dengan demikian, akan terjadi hubungan positif antara corporate
governance dan real earnings management. Artinya, semakin baik corporate
governance (yang berarti accrual earnings management semakin dibatasi) akan
berasosiasi dengan real earnings management dengan magnitude yang semakin
besar.
Atas dasar uraian tersebut, hipotesa yang diajukan oleh penelitian ini
adalah sebagai berikut:
H2 : Corporate Governance mempunyai pengaruh positif terhadap
manajemen laba riil (real earnings management)

Sebagaimana model hubungan corporate governance dan accrual earnings


management, hipotesa yang diajukan dalam model hubungan corporate
governance dan accrual earnings management ini dapat dikembangkan lebih
detail menjadi sebagai berikut:
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Populasi, Sampel, dan Sumber Data


3.1.1. Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini akan mencakup beberapa
macam perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan
tersebut bergerak dalam bidang sektor consumer goods, garmen dan retail yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2018 sebanyak 103 perusahan
terdaftar dalam BEI berdasarkan data terakhir pada bulan April 2019.

3.1.2. Sampel
Melalui total populasi yang tersedia, akan diambil beberapa sampel
dengan teknik tertentu dan menjadi bagian dari penelitian. Metode yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling, alasan
pemilihan sampel dengan menggunakan purposive sampling adalah hal ini
dikarenakan tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan yang
peneliti tentukan. Oleh karena itu, sampel yang dipilih sengaja ditentukan
berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti berguna untuk
mendapatkan sampel yang representatif. Maka, sampel harus memenuhi beberapa
kriteria berikut:
1. Perusahaan pada sektor consumer goods, garmen dan retail yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2015-2018
2. Perusahaan melampirkan laporan keuangan secara lengkap dari tahun 2015-
2018
3. Perusahaan melampirkan data tata kelola perusahaan secara lengkap dari tahun
2015-2018
4. Perusahaan tetap terdaftar di BEI / tidak dikeluarkan selama periode penelitian
5. Laporan keuangan disajikan dalam satuan mata uang Rupiah
Data-data tersebut merupakan data yang tercatat lengkap dari tahun 2015
sampai dengan 2018. Semua data laporan keuangan dan tahunan yang digunakan
dalam penelitian ini didapatkan dari situs Bursa Efek Indonesia (BEI) ,yaitu
www.idx.co.id.

3.2 Model Empiris Penelitian


Berdasarkan variabel dependen, variabel independen, dan variabel kontrol
yang digunakan dalam penelitian ini, maka dapat dibentuk model penelitian
sebagai berikut:

DCA = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize


ACFO = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize
AProd = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize
ADE = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize

Keterangan :
ACFO = Abnormal Cash Flow Operation
AProd = Abnormal Production Cost
ADE = Abnormal Discretionary Expenses
ROA = Return on Asset
Growth = Pertumbuhan Perusahaan
Age = Umur Perusahaan
Size = Ukuran Perusahaan
Konstanta Variabel

3.3 Definisi Variabel Operasional


Penelitian ini melibatkan satu variabel independen, dua variabel dependen
dan empat variabel kontrol. Variabel independen dalam penelitian ini adalah
Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Manajemen Laba yang terbagi
menjadi dua, yaitu Manajemen Laba Akrual dan Manajemen Laba Riil. Variabel
kontrolnya adalah ROA, pertumbuhan perusahaan, umur perusahaan dan ukuran
perusahaan.
3.3.1 Variabel Independen
Variabel moderasi merupakan variabel yang dapat memperkuat atau
memperlemah hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah Corporate Governance (Tata
Kelola Perusahaan).
Corporate Governance adalah variabel yang tidak dapat diukur secara
langsung, oleh karena itu peneliti menggunakan scorecard untuk menggabungkan
variabel-variabel dalam Corporate Governance dan digunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut :
CG = f (KI,KA,KM,IN)
Keterangan :
CG = Corporate Governance
KI = Komisaris Independen
KA = Komite Audit
KM = Kepemilikan Manajerial
IN = Kepemilikan Institusional
Penelitian ini akan menggunakan empat bentuk mekanisme Corporate
Governance , yaitu Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan
Manajerial, dan Kepemilikan Institusional, dengan acuan penelitian yang
dilakukan oleh Wahidahwati (2012) terhadap mekanisme Corporate Governance
di Indonesia. Scorecard sebagai berikut :
Tabel 3.1
Tabel Kriteria Skoring

Kriteria Skoring Bobot (%)

Komisaris Independen (KI) 45

Komite Audit (KA) 20

Kepemilikan Manajerial (KM) 20

Kepemilikan Institusional (IN) 15


Tabel di atas menunjukkan kerangka penilaian Corporate Governance
yang baik, terutama di Indonesia dengan uraian penggunaan masing-masing
elemen sebagai berikut dalam melakukan skoring:

1. Komisaris Independen
Komisaris Independen akan dinilai menggunakan empat komponen dalam
perusahaan, yaitu komposisi dari dewan komisioner (COM_SIZE) dan
komisioner independen (COM_IND), persentase kepemilikan saham oleh
dewan komisioner (COM_OWN), dan penggunaan jasa auditor BIG FOUR
sebagai auditor eksternal (AUD). COM_SIZE mengukur jumlah anggota
dewan komisaris dalam perusahan. COM_IND adalah perbandingan antara
jumlah dewan komisaris independen dalam perusahaan dengan jumlah seluruh
anggota dewan komisaris. COM_OWN melihat seberapa besar persentase
saham yang dimiliki oleh setiap anggota dewan komisaris. AUD melihat
auditor eksternal yang digunakan oleh perusahaan termasuk BIG FOUR atau
tidak. BIG FOUR sendiri mencakup EY, PwC, KPMG, dan Deloitte.
2. Komite Audit
Komite Audit akan dinilai menggunakan tiga komponen, yaitu komposisi
komite audit (AUD_SIZE), komite audit independen (AUD_IND), dan
kompetensi komite audit (FINEXPERT). AUD_SIZE mengukur jumlah
anggota komite audit dalam perusahaan. AUD_IND adalah perbandingan
antara jumlah komite audit independen dalam perusahaan dengan jumlah
seluruh anggota komite audit. FINEXPERT melihat kompetensi yang dimiliki
oleh setiap individu dalam komite audit dengan melihat latar belakang
pendidikan anggota komite audit.
3. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Manajerial akan dinilai menggunakan tiga komponen, yaitu
komposisi dewan direksi (DIR_SIZE), persentase kepemilikan saham oleh
dewan direksi (M_OWN), dan hubungan keluarga antar anggota dewan
direksi (FAM) . DIR_SIZE mengukur jumlah anggota dewan direksi dalam
perusahaan. M_OWN melihat seberapa besar persentase saham yang dimiliki
oleh setiap anggota dewan direksi. FAM melihat hubungan keluarga antar
anggota dewan direksi.
4. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Institusional akan dinilai menggunakan satu komponen, yaitu
melalui jumlah kepemilikan saham oleh pihak institusi (INST_OWN).
INST_OWN mengukur besar saham yang dimiliki oleh investor institusional.
Kepemilikan institusional berwenang untuk mengontrol manajemen
perusahaan sehingga dapat mengurangi terjadinya praktek manajemen laba.

3.3.2 Variabel Terikat (Dependen)


Manajemen laba dapat mempengaruhi motivasi manajer untuk
meminimalkan usaha, karena manajer dapat menggunakan manajemen laba untuk
kelancaran kompensasi mereka dari waktu ke waktu.
3.3.1.1 Manajemen Laba Akrual
Manajemen laba akrual memiliki dua cara kerja yang berbeda,
yaitu short term accruals model dan long term accruals model. Short term
accruals berkaitan dengan cara kerja manajemen laba sehingga berkaitan
dengan aktiva dan hutang lancar, dilakukan pada umumnya pada kuartal
pertama atau satu tahun buku. Sedangkan, long - term accruals terkait
dengan akun aktiva tetap dan hutang jangka panjang (Kusuma, 2006).
Penggunaan short term accruals ditujukan untuk lebih mengurangi
masalah timing dan matching. Sementara itu, pasar mungkin akan
menganggap penggunaan long term discretionary accruals adalah usaha
manajer untuk membodohi pelaku pasar, karena sifat dari akrual tersebut
yang memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan manipulasi
(Whelan dan McNamara, 2004).
Besar Accrual Earning Management diukur dengan menselisihkan
total accruals (TACC). Model perhitungannya sebagai berikut :
Total Accruals (TACC)
Total accruals adalah selisih laba bersih sebelum pajak dengan arus kas
dari aktivitas operasi (Cash Flow Operation).
TACCt=NIt-CFOt
Keterangan :
TACCt = Total accruals pada tahun t
NIt = Laba bersih pada tahun t
CFOt = Arus kas dari aktivitas operasi pada tahun t
Model regresinya sebagai berikut :
TACC / TAt-1=1/TAt-1 + (Sales-AR) /TAt-1+PPE/TAt-1
Keterangan :
TACC = Total accruals pada tahun t
TAt-1 = Total aset pada tahun sebelumnya
Sales= Total sales tahun t - total sales tahun sebelumnya
AR= Total piutang tahun t - total piutang tahun sebelumnya
PPE = Total aset tetap tahun t

3.3.1.2. Manajemen Laba Riil


Manajemen laba riil adalah suatu tindakan yang dilakukan
manajemen dan dinilai menyimpang dari praktek bisnis secara normal
yang bertujuan mencari laba. (Roychowdhury, 2006; Cohen dan Zarowin,
2010).
1. Model regresi untuk Abnormal cash flow operations (CFO / arus kas
operasi abnormal :
ACFO=CFO/TAt-1 +1/TAt-1 + Sales/ TAt-1+Sales / TAt-1
2. Model regresi untuk Abnormal production cost (PROD) / biaya
kegiatan produksi abnormal :
AProd=Prod / TAt-1 +1/TAt-1 + Sales/ TAt-1+Sales / TAt-1
Prod = WIP +COGS
3. Model regresi untuk Abnormal discretionary expenses (DISC) / biaya
diskresioner abnormal :
DISC=DE / TAt-1 +1/TAt-1 + Sales/ TAt-1+Sales / TAt-1
DE = (AE + SGA EXP) /TAt-1
Keterangan :
CFO = Cash Flow Operation
WIP = Working in progress tahun t - working in progress tahun
sebelumnya
COGS = Cost of Goods Sold
AE = Advertising Expense
SGA EXP = Selling and General Administrative Expense
3.3.4 Variabel Kontrol
Variabel kontrol merupakan variabel yang akan mengikat hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen. Variabel kontrol juga merupakan
variabel yang konstan dan tidak akan berubah atau terpengaruh selama penelitian
berlangsung
3.3.4.1 ROA (Return on Asset)
ROA merupakan besar rasio keuangan yang dimiliki suatu
perusahaan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba pada tingkat pendapatan, aset, dan modal saham atau secara singkat
dikenal dengan rasio profitabilitas. ROA digunakan untuk mengukur
efisiensi suatu perusahaan dalam mengelola aset yang dimiliki guna
menghasilkan laba dalam satu periode.
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
ROA = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑠𝑒𝑡

3.3.4.2 Pertumbuhan Perusahaan


Pertumbuhan perusahaan merupakan penilaian dalam kemampuan
perusahaan untuk meningkatkan ukuran suatu perusahaan. Pertumbuhan
perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal,
eksternal, dan lingkungan industri. Perusahaan yang memiliki tingkat
pertumbuhan yang tinggi, idealnya menggunakan leverage sebagai sumber
pendanaan. Sedangkan, jika pertumbuhan perusahaan rendah, maka lebih
baik perusahaan menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan.
Pertumbuhan perusahaan dapat dilihat dari besarnya laba yang dihasilkan
perusahaan dan perkembangannya dari tahun ke tahun
berikutnya. Pertumbuhan perusahaan dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
𝑙𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑠𝑖ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡−𝑙𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡−1
Pertumbuhan laba bersih = 𝑙𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡−1
3.3.4.3 Umur Perusahaan
Umur perusahaan adalah lamanya suatu lembaga dari mulai
beroperasi hingga masih berdiri atau telah berhenti beroperasi dalam
fungsi mencari keuntungan atau laba. Semakin tua umur perusahaan maka
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk berjuang dan
mempertahankan eksistensinya. Penulis mendata selisih antara tahun
berdiri perusahaan dengan tahun t yang dibutuhkan dalam data penulis
untuk menunjukkan umur perusahaan. Dalam penelitian ini Umur
Perusahaan di ukur dengan menggunakan :
Age = tahun ke n – tahun pertama tercatat di BEI
3.3.4.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah skala perusahaan yang dinilai dari total
aktiva yang dimiliki perusahaan pada akhir tahun. Skala pengukuran dapat
dilihat dari total penjualan dalam satu periode atau pada umumnya di akhir
tahun. Penulis menggunakan alat ukur berupa logaritma dari total aset
yang memiliki nilai relatif besar dibandingkan dengan variabel lain.
Sehingga, log merupakan alat ukur yang valid dalam mengukur ukuran
perusahaan. Ukuran perusahaan dirangkum menggunakan rumus sebagai
berikut :
SIZE = Log (Asset)

3.4 Metode Analisis Data


3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif
Menurut Ghozali (2018) Statistik deskriptif digunakan untuk
mendeskriptifkan variabel-variabel dalam penelitian ini. Sesuai dengan namanya,
statistik deskriptif berguna untuk memberikan gambaran dari setiap variabel yang
digunakan. Analisis digambarkan dalam bentuk angka melalui nilai rata-rata
(mean), standar deviasi, nilai minimum dan maksimum. Uji statistik tersebut
dilakukan dengan menggunakan program SPSS.

3.4.2. Analisis Regresi Linier Sederhana


Penggunaan analisis linier sederhana bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara satu variabel bebas (X) dengan satu variabel terikat (Y) yang
ditampilkan dalam bentuk persamaan regresi. Analisis ini juga bertujuan untuk
memprediksikan nilai dari variabel terikat, apabila nilai variabel bebas mengalami
kenaikan atau penurunan dan untuk mengetahui arah hubungan.
Berikut merupakan persaman umum regresi linear sederhana:

Keterangan:
Y = Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a = Harga Y ketika harga X = 0 (harga konstan)
b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan
ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada perubahan
variabel independen. Bila (+) arah garis naik, dan bila (-) maka arah garis
turun.
X = subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu.

3.4.3 Analisis Regresi Linear Berganda


Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat besarnya pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen dan menentukan arah
hubungannya. Oleh karena itu, penulis menggunakan model penelitian sebagai
berikut untuk menguji hipotesa-hipotesa yang penulis telah sajikan :
DCA = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize
ACFO = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize
AProd = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize
ADE = 0 +1K1+2 KA+3KM+4IM+5FROA+6FGrowth+7Age +5FSize
Keterangan :
ACFO = Abnormal Cash Flow Operation
AProd = Abnormal Production Cost
ADE = Abnormal Discretionary Expenses
ROA = Return on Asset
Growth = Pertumbuhan Perusahaan
Age = Umur Perusahaan
Size = Ukuran Perusahaan
= Konstanta Variabel

3.4.3 Uji Asumsi Klasik


3.4.3.1 Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk data variabel independen dan data
variabel dependen pada persaman regresi berdistribusi normal atau
tidaknya sebuah data. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan Kolmogrov-Smirnov. Penelitian ini menggunakan taraf
signifikansi 5% dengan melihat signifikansi (Asymp. Sig. pada output
Statistical Package for Social Science) dari nilai Kolmogrov-Smirov > 5%,
maka data yang digunakan berdistribusi normal (Imam Ghozali, 2018).

3.4.3.2 Uji Multikolinearitas


Ghozali (2018) berkata uji multikolinieritas berguna untuk
menguji korelasi antar variabel independen dalam model regresi. Jika
model regresi baik, maka seharusnya tidak ada korelasi antar variabel
independen. Multikolinieritas merupakan indikator ditemukannya
korelasi antar variabel independen yang tinggi. Model regresi yang
memiliki multikolinieritas tinggi antar variabel independen akan
menghasilkan koefisien regresi dan nilai standar eror yang tidak dapat
diandalkan. Menguji multikolinieritas dapat menggunakan nilai
tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Tolerance dan VIF
akan muncul secara otomatis saat melakukan regresi. Hasil yang
menunjukkan model regresi bernilai tolerance<0,1 dan nilai VIF>10
dianggap tidak menunjukkan indikasi multikolinieritas.

3.4.3.3 Uji Heteroskedastisitas


Suatu model regresi dikatakan baik jika tidak menunjukkan
adanya heteroskedastisitas atau yang dikenal dengan homoskedastisitas
(Ghozali,2018). Penelitian ini menggunakan uji Breusch-Pagan untuk
menentukan adanya indikasi heteroskedastisitas atau tidak. Jika nilai
probabilitas < 0,05 , maka dikatakan adanya gejala heteroskedastisitas,
sebaliknya jika nilai probabilitas > 0,05 maka dikatakan bebas dari
gejala heteroskedastisitas.
3.4.3.4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam suatu
regresi linier ada korelasi antara kesalahan pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Apabila terjadi suatu korelasi,
maka dinamakan ada masalah autokorelasi. Autokorelasi dapat timbul
dikarenakan adanya observasi yang berurutan sepanjang waktu yang
berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini dapat terjadi karena residual tidak
bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Hal ini sering ditemukan
pada data runtut waktu atau time series (Imam Ghozali, 2018).

3.4.4 Uji Hipotesis


Guna menguji hipotesis adalah untuk mengetahui pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Pengujian menggunakan alat analisis
statistik dengan melakukan Uji t dan Uji F. Uji t untuk menguji pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial. Uji F merupakan
kebalikannya yang berguna untuk menguji pengaruh secara simultan.
3.4.4.1 Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi (R2) berguna untuk mengukur
kemampuan model dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen.
Cakupan nilai koefisien determinasi adalah 0-1, dengan arti jika angka
semakin mendekati angka 1 berarti menunjukkan variabel-variabel
independen yang berada dalam model mampu menjelaskan variabel
dependen.

3.4.4.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)


Uji F berguna untuk mengidentifikasi pengaruh secara simultan
dari variabel independen terhadap variabel dependen, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel atau probabilitas lebih kecil
dari tingkat signifikansi (sig < 0,05), maka model penelitian
dapat digunakan atau model tersebut sudah tepat.
2. Jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel atau probabilitas lebih besar
dari tingkat signifikansi (sig > 0,05), maka model penelitian
tidak dapat digunakan atau model tersebut tidak tepat.
Atau :
1. Jika sig. F< 0,05 maka variabel independen secara bersama-
sama dapat mempengaruhi variabel dependen.
2. Jika sig. F> 0,05 maka variabel independen secara bersama-
sama tidak dapat mempengaruhi variabel dependen.

3.4.4.3. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)


Uji t berguna untuk menunjukkan jauhnya pengaruh suatu variabel
penjelas secara individual dalam mendeskripsikan variabel dependen
(Ghozali, 2018). Uji t untuk mengetahui pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial. Dalam penelitian ini,
menggunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05 , berdasarkan signifikansi
berikut:
1. Jika t hitung lebih besar t tabel atau probabilitas lebih kecil dari
tingkat signifikansi (sig < 0,05), maka Ha diterima dan Ho
ditolak, variabel independen berpengaruh terhadap variabel
tersebut.
2. Jika t hitung lebih kecil t tabel atau probabilitas lebih besar dari
tingkat signifikansi (sig > 0,05) maka Ha ditolak dan Ho
diterima, variabel independen tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen.
Atau :
1. Jika signifikansi > 0,05 maka Ho ditolak, yang berarti variabel
independen secara parsial berpengaruh terhadap variabel
dependen.
2. Jika signifikansi < 0,05 maka Ho diterima, yang berarti variabel
independen secara parsial tidak berpengaruh terhadap variabel
dependen.

Anda mungkin juga menyukai