Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

INDUSTRI PT BIO FARMA (PERSERO)


2 OKTOBER - 30 OKTOBER 2019

Disusun Oleh:
ASTRI FATMASARI
21182005

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UBIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulilah segala Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Atas berkat
dan rahmat-Nya yang melimpah, kedua orangtua, adik tersayang atas segala
perhatian, doa, kasih sayang dan dukungan moril serta materil yang telah
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja
Profesi Apoteker, Industri Farmasi PT. Bio Farma (Persero). Yang dilaksanakan
pada bulan Oktober 2019. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Ujian Apoteker pada Program Pendidikan Profesi Apoteker di
Universitas Bhakti Kencana Fakultas Farmasi.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan yang sangat
berharga, saran, dorongan, bimbingan dari berbagai pihak yang merupakan
pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, namun dapat membukakan
mata penulis bahwa sesungguhnya pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah
guru yang terbaik bagi penulis. Dengan segala ketulusan hati penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Entris Sutrisno, M.H.Kes., Apt selaku Rektor Universitas Bhakti
Kencana.
2. Ibu Dr. Patonah, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Bhakti Kencana.
3. Ibu Herni Kusriani, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Universitas Bhakti Kencana.
4. Ibu Lia Marliani, M.Si., Apt, selaku Dosen Wali sekaligus pembimbing
Universitas Bhakti Kencana, atas bimbingan dalam proses penulisan Laporan
Praktek Kerja Profesi Apoteker.
5. Bapak Irpan Darfian, S.Si., Apt, Bapak M. Fathan, S.Farm., Apt dan Bapak
Ervan Fatra, S.Farm., Apt selaku pembimbing PT. Bio Farma yang telah
membimbing, mengarahkan serta mengawasi mulai dari awal praktek hingga
selesainya penyusunan laporan akhir ini. Seluruh staf dan karyawan bagian
produksi media virus yang telah banyak memberikan bimbingan, informasi,
masukan dan pengalaman selama PKPA di PT. Bio Farma (Persero).

i
6. Kedua orang tua, semua keluarga dan teman teman yang dengan penuh
kesabaran dan tak pernah lelah memberikan do’a dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini, tidak menutup
kemungkinan terdapat kekurangan, baik dari segi isi, struktur kalimat maupun
cara penulisanya. Untuk itu penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran yang
sifatnya membangun demi perbaikan untuk kedepannya. Akhir kata, semoga
Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya serta
membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga
laporan ini dapat bermanfaat khusunya bagi penulis dan umumnya bagi kita
semua. Semoga Allah SWT senantiasa menyertai kita, Amin.

Bandung, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................ vi
SUMPAH APOTEKER................................................................................................................. v
KODE ETIK APOTEKER .........................................................................................................viii
PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA .................................................................... xi
STANDAR KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA .........................................................xviii
BAB I ............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Tujuan ........................................................................................................3
1.3 Waktu Pelaksanaan........................................................................................3
BAB II ........................................................................................................................................... 4
TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI ............................................................................... 4
2.1 Sejarah Industri Farmasi di Indonesia ...........................................................4
2.2 Persyaratan Pendirian Industri Farmasi .........................................................5
2.3 Organisasi dan Personalia .............................................................................7
2.4 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) ....................................................7
BAB III TINJAUAN KHUSUS INDUSTRI FARMASI.......................................................... 19
3.1 Sejarah Industri PT. Bio Farma ...................................................................19
3.2 Lokasi ......................................................................................................20
3.3 Visi dan Misi ...............................................................................................20
3.4 Personalia ....................................................................................................21
3.5 Bangunan dan Fasilitas ................................................................................23
3.6. Sanitasi dan Higienitas ................................................................................26
3.7. Produksi ......................................................................................................28
3.8. Pengawasan Mutu........................................................................................30
3.9. Penanganan Limbah ....................................................................................31
BAB IV TUGAS KHUSUS ........................................................................................................ 33

iii
4.1 Identifikasi Resiko ................................................................................................................. 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 37
1.1 Kesimpulan ..................................................................................................37
1.2 Saran ......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 38
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 39

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Kebersihan Ruang Pembuatan Obat ................................. 13


Tabel 4.1 Tingkat Keparahan (Severity) ............................................................. 33
Tabel 4.2 Tingkat Kemungkinan Kejadian/Probability Of Occurrence ............. 34
Tabel 4.3 Tentukan Pendekteksian/detectability (D) .................................... 35
Tabel 4.4 Evaluasi Resiko ........................................................................... 36

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur Organisasi PT. Bio Farma ................................................39


Lampiran 2. Struktur Organisasi Produksi Media ............................................400
Lampiran 3. Alur Proses Produksi di Dalam Unit Risiko Produksi MediaError!
Bookmark not defined.1

vi
SUMPAH APOTEKER

SAYA BERSUMPAH / BERJANJI AKAN MEMBAKTIKAN HIDUP SAYA


GUNA KEPENTINGAN PERIKEMANUASIAAN TERUTAMA DALAM
BIDANG KESEHATAN.

SAYA AKAN MERAHASIAKAN SEGALA SESUATU YANG SAYA


KETAHUI KARENA PEKERJAAN SAYA DAN KEILMUAN SAYA
SEBAGAI APOTEKER.

SEKALIPUN DIANCAM, SAYA TIDAK AKAN MEMPERGUNAKAN


PENGETAHUAN KEFARMASIAN SAYA UNTUK SESUATU YANG
BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERIKEMANUSIAAN.

SAYA AKAN MENJALANKAN TUGAS SAYA DENGAN SEBAIK -


BAIKNYA SESUAI DENGAN MARTABAT DAN TRADISI LUHUR
JABATAN KEFARMASIAN.

DALAM MENUNAIKAN KEWAJIBAN SAYA, SAYA AKAN BERIKHTIAR


DENGAN SUNGGUH - SUNGGUH SUPAYA TIDAK TERPENGARUH
OLEH PERTIMBANGAN KEAGAMAAN, KEBANGSAAN, KESUKUAN,
KEPARTAIAN, ATAU KEDUDUKAN SOSIAL.

SAYA IKRAR SUMPAH / JANJI INI DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH


DENGAN PENUH KEINSYAFAN

vii
KODE ETIK APOTEKER

MUKADIMAH
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta
dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan
keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam
mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya
berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :

BAB I - KEWAJIBAN UMUM


Pasal 1 Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah / Janji Apoteker.
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan
mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4 Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang
kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang
lain.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

viii
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada
khususnya.

BAB II - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN


Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat. menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk
hidup insani.

BAB III - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT


Pasal 10
Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk
mematuhi ketentuan-ketentuan kode Etik.
Pasal 12
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara
keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling
mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

BAB IV - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS


KESEHATAN LAIN
Pasal 13
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun
dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan
menghormati sejawat petugas kesehatan lain

ix
Pasal 14
Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang
dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya kepercayaan masyarakat
kepada sejawat petugas kesehatan lain.

BAB V – PENUTUP
Pasal 15
Seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode
etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari.
Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau
tidak mematuhi kode etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan
menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang
menanganinya (IAI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 08 Desember 2009

x
PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Apoteker Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang
dianugerahi bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian di bidang
kefarmasian, yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara
Republik Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,
berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Disiplin Apoteker merupakan tampilan kesanggupan Apoteker untuk menaati


kewajiban dan menghindari larangan sesuai dengan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang- undangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak
ditaati atau dilanggar dapat dijatuhi hukuman disiplin.

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau


ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam
tiga hal, yaitu:

1. Melaksanakan praktik Apoteker dengan tidak kompeten.


2. Tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan Apoteker.
Pelanggaran disiplin berupa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Apoteker
yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin
Apoteker.

xi
BAB II
TINJAUAN UMUM
1. Disiplin Apoteker adalah kesanggupan Apoteker untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi
hukuman disiplin.
2. Penegakan Disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh
Apoteker.
3. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia yang disingkat MEDAI, adalah
organ organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia yang bertugas membina,
mengawasi dan menilai pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia oleh
Anggota maupun oleh Pengurus, dan menjaga, meningkatkan dan
menegakkan disiplin apoteker Indonesia.
4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
5. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Tenaga kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
7. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang membantu
Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah
Farmasi/ Asisten Apoteker.
8. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia, yang selanjutnya disingkat SPAI
adalah pendidikan akademik dan pendidikan profesional yang diarahkan guna
mencapai kriteria minimal sistem pendidikan, penelitian, dan pengabdian

xii
kepada masyarakat, di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
9. Kode Etik adalah Kode Etik Apoteker Indonesia yang menjadi landasan etik
Apoteker Indonesia.
10. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi
penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill
dan attitude), dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
11. Standar Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan
bertanggungjawab yang dimiliki oleh seorang Apoteker sebagai syarat untuk
dinyatakan mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan profesinya.
12. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik
profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
13. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta
diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya.
14. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
15. Praktik Apoteker adalah upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
16. Standar Praktik Apoteker adalah pedoman bagi Apoteker dalam menjalankan
praktiknya yang berisi prosedur-prosedur yang dilaksanakan apoteker dalam
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
17. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin
yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
18. Standar Prosedur Operasional, yang selanjutnya disingkat SPO adalah
serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses

xiii
penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan,
dimana dan oleh siapa dilakukan.
19. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.
20. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.

BAB III
LANDASAN FORMAL
1. Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras.
2. Undang-Undang tentang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang tentang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Sumpah Apoteker.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
9. Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan, dan peraturan
turunannya. 10.Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI), Kode Etik Apoteker Indonesia, serta peraturan-
peraturan organisasi lainnya yang dikeluarkan oleh IAI.

BAB IV
BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN APOTEKER
1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten. Penjelasan:
Melakukan Praktek kefarmasian tidak dengan standar praktek Profesi/standar
kompetensi yang benar, sehingga berpotensi menimbulkan/ mengakibatkan
kerusakan, kerugian pasien atau masyarakat.

xiv
2. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi tanggung
jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker pengganti dan/ atau
Apoteker pendamping yang sah.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan/ atau tenaga-
tenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut.
4. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada kepentingan
pasien/ masyarakat.
5. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date” dengan
cara yang mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat, sehingga berpotensi
menimbulkan kerusakan dan/ atau kerugian pasien.
6. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Standar Prosedur Operasional
sebagai Pedoman Kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan/pelayanan
kefarmasian, sesuai dengan kewenangannya.
7. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin „mutu‟, ‟keamanan‟, dan
‟khasiat/ manfaat‟ kepada pasien.
8. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan/atau bahan
baku obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan
tidak terjaminnya mutu, khasiat obat.
9. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat menimbulkan
kerusakan atau kerugian kepada pasien.
10. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar, sehingga
berpotensi menimbulkan penurunan kualitas obat.
11. Menjalankan praktik kefarmasian dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental yang sedang terganggu sehingga merugikan kualitas
pelayanan profesi.
12. Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah,
sehingga dapat membahayakan pasien.

xv
13. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan praktik swa-
medikasi (self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah pelayanan
kefarmasian.
14. Memberikan penjelasan yang tidak jujur, dan/ atau tidak etis, dan/atau tidak
objektif kepada yang membutuhkan.
15. Menolak atau menghentikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien tanpa
alasan yang layak dan sah.
16. Membuka rahasia kefarmasian kepada yang tidak berhak.
17. Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.
18. Membuat catatan dan/atau pelaporan sediaan farmasi yang tidak baik dan
tidak benar.
19. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
atau Surat Izin Praktik Apoteker/Surat Izin kerja Apoteker (SIPA/SIKA)
dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
20. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MEDAI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
21. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan
yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
22. Membuat keterangan farmasi yang tidak didasarkan kepada hasil pekerjaan
yang diketahuinya secara benar dan patut.

BAB V
SANKSI DISIPLIN
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan per-
Undang- Undangan yang berlaku adalah:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi
Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker;
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
apoteker.

xvi
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang
dimaksud dapat berupa:
1. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap
atau selamanya;

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker


yang dimaksud dapat berupa:
a. Pendidikan formal; atau
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi
pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan
kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama1
(satu) tahun.

BAB VI
PENUTUP
PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA ini disusun untuk menjadi
pedoman bagi Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI) dalam
menetapkan ada/atau tidak adanya pelanggaran disiplin oleh para praktisi
dibidang farmasi, serta menjadi rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh
para praktisi tersebut agar dapatmenjalankan praktik kefarmasian secara
profesional.

Dengan ditegakkannya disiplin kefarmasian diharapkan pasien akan terlindungi


dari pelayanan kefarmasian yang kurang bermutu; dan meningkatnya mutu
pelayanan apoteker; serta terpeliharanya martabat dan kehormatan profesi
kefarmasian.
Jakarta, 15 Juni 2014
Ketua Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI)

Drs. Sofiarman Tarmizi, MM., Apt.

xvii
STANDAR KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA
Standar Kompetensi
1. Praktik kefarmasian secara profesional dan etik
2. Optimalisasi penggunaan sediaan farmasi
3. Dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan
4. Pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
5. Formulasi dan produksi sediaan farmasi
6. Upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat
7. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
8. Komunikasi efektif
9. Ketrampilan organisasi dan hubungan interpersonal
10. Peningkatan kompetensi diri

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri farmasi merupakan salah satu industri yang turut berpartisipasi dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui perannya dalam bidang
pembuatan dan pengembangan sediaan obat. Obat adalah komoditi khusus yang
memerlukan perlakuan khusus mulai dari bahan baku sampai proses kemasannya
karena aktivitas obat yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologi tubuh manusia.
Sehingga industri farmasi memiliki moral dan tanggung jawab sosial dalam
menghasilkan produk obat yang memenuhi standar mutu, khasiat, dan keamanan.
Oleh karena nya, industri farmasi menjadi salah satu industri yang dikontrol dan
diawasi dengan ketat oleh pemerintah dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) baik dalam segi perizinan, produksi, peredaran, maupun kualitas obat
yang diedarkan.

Produk obat yang berkualitas yang dihasilkan industri farmasi harus


memperhatikan faktor-faktor yang terlibat dalam proses produksinya. Untuk
menghasilkan produk obat yang berkualitas tidak hanya ditentukan dari
pemeriksaan bahan awal dan produk akhir namun harus dibangun dari semua
aspek produksi. Agar obat yang dihasilkan berkualitas, mempunyai efikasi yang
baik, bermutu, dan aman serta konsisten maka industri farmasi harus memenuhi
persyaratan atau suatu pedoman bagi industri farmasi tentang Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB).

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) adalah cara pembuatan obat yang
bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan
persyaratan dan tujuan penggunaan. CPOB menyangkut seluruh aspek produksi
mulai dari sistem mutu industri farmasi; personalia; bangunan dan fasilitas;
peralatan; produksi; pengawasan mutu; inspeksi diri; keluhan dan penarikan
produk; dokumentasi; kegiatan alih daya; kualifikasi dan validasi.
Penerapan CPOB antara satu industri farmasi dengan industri farmasi lainnya

1
dapat berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas pendukung yang dimiliki tiap
industri. Sehingga peran penting apoteker dalam industri farmasi adalah
memastikan obat yang dihasilkan bermutu, aman dan berkhasiat. Kedudukan
apoteker diatur dalam CPOB yaitu sebagai penanggung jawab produksi,
pengawasan mutu, dan pemastian mutu sehingga seorang apoteker dituntut untuk
memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dalam
mengaplikasikan dan mengembangkan ilmunya secara profesional agar dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul di industri farmasi.

PT Bio Farma (Persero) adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang
sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah. Bio Farma adalah satu-satunya
produsen vaksin bagi manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara yang
selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam rangka memproduksi vaksin dan
anti sera berkualitas internasional. Produksi vaksin dan anti sera ini diproduksi
untuk turut serta mendukung program imunisasi nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat Indonesia dengan kualitas derajat kesehatan yang lebih
baik. Bio Farma selain melakukan distribusi ke dalam negeri, juga melakukan
distribusi vaksin ke luar negeri dalam mendukung WHO (World Health
Organization) untuk melakukan suplai vaksin ke negara yang membutuhkan.

Dalam memenuhi tuntutan tersebut, tentunya diperlukan personalia yang


profesional dalam bidangnya untuk menghasilkan produk obat yang memenuhi
kualitas, keamanan dan sesuai penggunaannya. Oleh karena itu, peran apoteker
menjadi sangatlah penting sebagai personalia yang memiliki kompetensi yang
profesional dalam obat-obatan. Calon apoteker diharapkan dapat mempraktekkan
teori yang telah didapat selama perkuliahan dan mempraktekkan ilmu yang telah
dipelajari melalui Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan
selama periode 2 – 30 Oktober 2019. Program Studi Profesi Apoteker Universitas
Bhakti Kencana bekerja sama dengan PT. Bio Farma (Persero) untuk
merealisasikan peran Apoteker di bidang industri farmasi sehingga mahasiswa/i
dapat berperan secara aktif dalam mengamati proses yang terjadi dalam ruang
lingkup industri farmasi serta dapat menambah wawasan dan keterampilan di

2
tempat mahasiswa/i melakukan praktek kefarmasiannya.

1.2 Tujuan
Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di industri farmasi bagi para calon
apoteker bertujuan untuk :
a. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang segala aspek industri
farmasi yang berhubungan dengan CPOB serta mengetahui penerapan CPOB.
b. Mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab apoteker dalam
industri farmasi khususnya di PT. Bio Farma yang diharapkan dapat menjadi
bekal untuk menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.

1.3 Waktu Pelaksanaan


Praktek Kerja Profesi Apoteker di industri farmasi PT. Bio Farma yang terletak di
jalan Pasteur No. 28 Bandung pada tanggal 2 – 30 Oktober 2019.

3
BAB II
TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI

2.1 Sejarah Industri Farmasi di Indonesia


Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi
pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien
Rathkamp & Co dan NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom &
Co. pada tahun 1865. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali di
Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.

Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang kemerdekaan


usai, perusahaan-perusahaan farmasi milik Belanda yaitu Bovasta Bandoengsche
Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan Onderneming Jodium yang
memproduksi Iodium dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia yang pada
perkembangan selanjutnya menjadi PT. Kimia Farma (persero). Sementara pabrik
pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri pada
tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat ini menjadi PT. Indofarma
(Persero).

Perkembangan yang cukup signifikan bagi perkembangan industri farmasi di


Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal
Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) pada tahun 1968 yang mendorong perkembangan industri
farmasi Indonesia hingga saat ini. Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia
merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang
terus berkembang dan merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN.
Dari data BPOM RI, 2005, pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata
mencapai 14,10% per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang
hanya mencapai 5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai
lebih kurang Rp 20 triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun
2006 sebesar Rp 26 triliun). Akan tetapi jika dilihat dari omzet penjualan secara
global (all over the world), pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari

4
total pasar farmasi dunia.

2.2 Persyaratan Pendirian Industri Farmasi


Industri farmasi wajib memperoleh izin usaha dalam melaksanakan kegiatannya
sehingga wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 untuk memperoleh izin mendirikan industri
farmasi, suatu usaha industri farmasi wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Berbadan usaha berupa Perseroan Terbatas (PT).
b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
d. Memiliki secara tetap paling sedikit tiga orang Apoteker Warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab produksi, pengawasan
mutu, dan pemastian mutu.
e. Komisaris dan direksi tidak terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran perundang-undangan dibidang kefarmasian.
f. Izin usaha farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang
pemberian izin tersebut dilimpahkan kepada Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM). Izin ini berlaku selama perusahaan tersebut melakukan
proses produksi.

Selain itu, ada beberapa persyaratan lain yang juga harus dipenuhi oleh industri
farmasi, yaitu :
a. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat wajib memenuhi persyaratan
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sesuai ketentuan Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan kepala BPOM RI.
b. Obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah
memperoleh persetujuan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang
berlaku.

5
Beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan yang telah
memperoleh izin usaha industri farmasi adalah :
a. Membuat laporan jumlah dan nilai produksi sekali dalam enam bulan,
sedangkan untuk laporan lengkap wajib disampaikan sekali dalam setahun.
b. Menyalurkan produknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian serta mencegah
pencemaran lingkungan.
d. Melaksanakan keamanan dan keselamatan alat, bahan baku, proses, hasil
produksi, pengangkutan dan keselamatan kerja.

Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip.


Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal setelah pemohon
memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
Setelah permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat langsung
melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan instalasi
peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Persetujuan prinsip tersebut berlaku selama
jangka waktu 3 tahun dan selama jangka waktu tersebut, perusahaan yang
bersangkutan harus menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan
fisik setiap 6 bulan sekali kepada Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat
kesehatan dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Setelah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip, dapat dilakukan


permohonan izin usaha industri. Permohonan diajukan kepada Direktur Jenderal
Kementerian Kesehatan dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya
selama industri farmasi bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan. Surat permohonan izin industri farmasi harus

6
ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penganggung jawab.

2.3 Organisasi dan Personalia


Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem
pengawasan mutu yang memuaskan. Industri farmasi bertanggung jawab untuk
menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk
melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab
masing-masing. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB dan
memperoleh pelatihan awal yang berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai
higiene yang berkaitan dengan pekerjaan.
Suatu industri farmasi harus memiliki struktur organisasi yang menguraikan tugas
dan kewenangan masing-masing personil sesuai dengan posisinya. Tugas tersebut
boleh didelegasikan kepada wakil yang ditunjuk dengan syarat wakil tersebut
memiliki tingkat kualifikasi yang memadai. Personil kunci yang harus ada di
suatu industri farmasi mencakup Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian
Pengawasan Mutu dan Kepala Bagian Pemastian Mutu.

2.4 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)


Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) adalah cara pembuatan obat yang
bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan
persyaratan dan tujuan penggunaannya. Industri Farmasi wajib memenuhi
persyaratan CPOB. Bukti bahwa Industri farmasi telah memenuhi persyaratan
CPOB dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat adalah dalam bentuk
sertifikat CPOB yang diterbitkan oleh Kepala Badan.

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat dibuat
secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.
CPOB merupakan pedoman yang sangat penting tidak hanya bagi industri farmasi
dan regulator, tetapi juga bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhannya akan
pengobatan yang aman, berkhasiat, dan berkualitas. Terdapat 12 aspek dalam
CPOB.

7
2.4.1 Sistem Mutu Industri Farmasi
Pemegang Izin Industri Farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai
tujuan penggunaan, memenuhi persyaratan Izin Edar atau Persetujuan Uji Klinik,
jika diperlukan, dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan pasien
pengguna disebabkan karena keamanan, mutu atau efektivitas yang tidak
memadai. Industri farmasi harus menetapkan manajemen puncak yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan atau pabrik dengan kewenangan dan
tanggung jawab memobilisasi sumber daya dalam perusahaan atau pabrik untuk
mencapai kepatuhan terhadap regulasi.

Manajemen puncak bertanggung jawab untuk pencapaian sasaran mutu, yang


memerlukan partisipasi dan komitmen dari personil pada semua tingkat di
berbagai departemen dalam perusahaan, juga pemasok dan distributor. Untuk
mencapai sasaran mutu yang handal, diperlukan Sistem Mutu yang didesain
secara komprehensif dan diterapkan secara benar serta mencakup Cara Pembuatan
Obat yang Baik dan Manajemen Risiko Mutu. Pelaksanaan sistem ini hendaklah
didokumentasi lengkap dan dimonitor dipantau efektivitasnya. Semua bagian
Sistem Mutu hendaklah didukung ketersediaan personil yang kompeten, bangunan
dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Tambahan tanggung jawab
legal diberikan kepada pemegang Izin Industri Farmasi (IIF) dan kepada
Pemastian Mutu.

Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor efektivitasnya. Unsur dasar


manajemen mutu adalah:
1. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat, mencakup struktur organisasi,
prosedur, proses dan sumber daya.
2. Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, sehingga produk yang dihasilkan akan selalu
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan ini
disebut pemastian mutu Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB), Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah
aspek manajemen mutu yang saling terkait.

8
Manajemen mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik secara
tersendiri maupun secara kolektif yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang
dihasilkan. Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan
tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan
tujuan pemakaiannya. Suatu Sistem Mutu Industri Farmasi yang tepat bagi
pembuatan obathendaklah menjamin bahwa:
1) Realisasi produk diperoleh dengan mendesain, merencanakan,
mengimplementasikan, memelihara dan memperbaiki sistem secara
berkesinambungan sehingga secara konsisten menghasilkan produk dengan
atribut mutu yang tepat.
2) Pengetahuan mengenai produk dan proses dikelola pada seluruh tahapan
siklus hidup.
3) Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang memerhatikan
persyaratan CPOB.
4) Kegiatan produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan mengacu pada
ketentuan CPOB.
5) Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas.
6) Pengaturan ditetapkan untuk pembuatan, pemasokan dan penggunaan bahan
awal dan pengemas yang benar; seleksi dan pemantauan pemasok, dan untuk
memverifikasi setiap pengiriman bahan berasal dari pemasok yang disetujui.
7) Proses tersedia untuk memastikan manajemen kegiatan alih daya (outsource).
8) Kondisi pengawasan ditetapkan dan dipelihara dengan mengembangkan dan
menggunakan sistem pemantauan dan pengendalian yang efektif untuk kinerja
proses dan mutu produk.
9) Hasil pemantauan produk dan proses diperhitungkan dalam pelulusan bets,
dalam investigasi penyimpangan, dan untuk menghindarkan potensi
penyimpangan di kemudian hari dengan memperhitungkan tindakan
pencegahannya.
10) Semua pengawasan yang diperlukan terhadap produk antara dan pengawasan
selama proses serta validasi dilaksanakan.

9
11) Perbaikan berkelanjutan difasilitasi melalui penerapan peningkatan mutu yang
sesuai dengan kondisi terkini terhadap pengetahuan tentang produk dan
proses;
12) Pengaturan tersedia untuk evaluasi prospektif terhadap perubahan yang
direncanakan dan persetujuan terhadap perubahan sebelum diimplementasikan
dengan memerhatikan laporan dan di mana diperlukan persetujuan dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
13) Setelah pelaksanaan perubahan, evaluasi dilakukan untuk mengonfirmasi
pencapaian sasaran mutu dan bahwa tidak terjadi dampak merugikan terhadap
mutu produk.
14) Analisis akar penyebab masalah yang tepat hendaklah diterapkan selama
investigasi penyimpangan, dugaan kerusakan produk dan masalah lain.Hal ini
dapat ditentukan dengan menggunakan prinsip Manajemen Risiko Mutu.
Dalam kasus di mana akar penyebab masalah sebenarnya tidak dapat
ditetapkan, hendaklah dipertimbangkan mengidentifikasi beberapa akar
penyebab masalah yang paling mungkin terjadi dan mengambil tindakan yang
diperlukan.

Apabila faktor kesalahan manusia dicurigai atau diidentifikasi sebagai penyebab


masalah, faktor ini hendaklah dijustifikasi dengan pengambilan tindakan yang
memastikan bahwa proses, prosedur atau sistem yang berpotensi menimbulkan
kesalahan atau masalah tidak diabaikan, jika terjadi.
Tindakan korektif dan tindakan pencegahan (TKTP) yang tepat hendaklah
diidentifikasi dan dilaksanakan sebagai respons terhadap hasil investigasi.
Efektivitas tindakan tersebut hendaklah dipantau dan dinilai, sesuai prinsip
Manajemen Risiko Mutu.
a. Penilaian produk mencakup kajian dan evaluasi terhadap dokumen produksi
yang relevan dan penilaian deviasi dari prosedur yang ditetapkan.
b. Obat tidak boleh dijual atau didistribusikan sebelum Pemastian Mutu
meluluskan tiap bets produksi yang dibuat dan dikendalikan sesuai dengan
persyaratan yang tercantum dalam Izin Edar dan peraturan lain yang berkaitan
dengan aspek produksi, pengawasan dan pelulusan produk.

10
c. Pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa sedapat mungkin produk
disimpan, didistribusikan, dan selanjutnya ditangani agar mutu tetap
dipertahankan selama masa kedaluwarsa obat; dan
d. Tersedia proses inspeksi diri dan/atau audit mutu yang mengevaluasi
efektivitas dan penerapan Sistem Mutu Industri Farmasi secara berkala.

Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang mencakup pengambilan


sampel, spesifikasi dan pengujian, serta mencakup organisasi, dokumentasi dan
prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan telah
dilakukan. Bahan tidak boleh diluluskan untuk digunakan dan produk tidak boleh
diluluskan untuk dijual atau didistribusi sampai mutunya dinilai memuaskan.
Pengkajian mutu produk dilakukan terhadap semua obat terdaftar, termasuk
produk ekspor dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses, kesesuaian
dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan produk jadi, untuk melihat tren
dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses.
Pengkajian mutu produk secara berkala biasanya dilakukan tiap tahun dan di
dokumentasikan, dengan mempertimbangkan hasil kajian ulang sebelumnya dan
meliputi paling sedikit.
a. Kajian terhadap bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan untuk
produk, terutama yang dipasok dari sumber baru.
b. Kajian terhadap pengawasan selama proses yang kritis dan hasil pengujian
produk jadi.
c. Kajian terhadap semua bets yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan
dan investigasi yang dilakukan.
d. Kajian terhadap semua penyimpangan atau ketidaksesuaian yang signifikan,
dan efektivitas hasil tindakan perbaikan dan pencegahan.
e. Kajian terhadap semua perubahan yang dilakukan terhadap proses atau
metode analisis.
f. Kajian terhadap variasi yang diajukan, disetujui, ditolak dari dokumen
registrasi yang telah disetujui termasuk dokumen registrasi untuk produk
ekspor.

11
g. Kajian terhadap hasil program pemantauan stabilitas dan segala tren yang
tidak diinginkan.
h. Kajian terhadap semua produk kembalian, keluhan dan penarikan obat yang
terkait dengan mutu produk, termasuk investigasi yang telah dilakukan.
i. Kajian kelayakan terhadap tindakan perbaikan proses produk atau peralatan
yang sebelumnya.
j. Kajian terhadap komitmen pasca pemasaran dilakukan pada obat yang baru
mendapatkan persetujuan pendaftaran dan variasi persetujuan pendaftaran.
k. Status kualifikasi peralatan dan sarana yang relevan misal sistem tata udara
(HVAC), air, gas bertekanan, dll.
l. Kajian terhadap Kesepakatan Teknis untuk memastikannya selalu mutakhir.

Manajemen risiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan


penilaian, pengendalian dan pengkajian risiko terhadap mutu suatu produk. Hal ini
dapat diaplikasikan secara proaktif maupun retrospektif. Manajemen risiko mutu
hendaklah memastikan bahwa :
a. Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah, pengalaman dengan proses dan pada akhirnya terkait pada
perlindungan pasien.
b. Tingkat upaya pengambilan tindakan, formalitas dan dokumentasi dari proses
manajemen risiko mutu sepadan dengan tingkat risiko.

2.4.2 Personalia
Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan
awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan
dengan pekerjaannya. Suatu Industri Farmasi harus memiliki struktur organisasi
yang menguraikan tugas dan kewenangan masing-masing personil sesuai dengan
posisinya. Tugas tersebut oleh didelegasikan kepada wakil yang ditunjuk dengan
syarat wakil tersebut memiliki tingkat kualifikasi yang memadai. Personil kunci
yang harus ada di suatu Industri Farmasi mencakup kepala bagian produksi,
kepala bagian pengawasan mutu dan kepala bagian pemastian mutu.

12
2.4.3 Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi
dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik
untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain
ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadi
kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan
pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menjamin mutu yang
baik. Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa untuk menghindarkan
pencemaran dari lingkungan sekitarnya. Apabila letak bangunan tidak sesuai,
hendaklah diambil tindakan pencegahan yang efektif terhadap pencemaran
tersebut. Bangunan dan fasilitas hendaklah dirawat dengan cermat, dibersihkan
dan, bila perlu, didisinfeksi sesuai prosedur tertulis rinci. Catatan pembersihan
dan disinfeksi hendaklah disimpan.

Seluruh bangunan dan fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area


penyimpanan, koridor dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dirawat
dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur
dan diperbaiki di mana perlu. Perbaikan serta perawatan bangunan dan fasilitas
hendaklah dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut tidak memengaruhi mutu
obat. Tingkat kebersihan ruang/area untuk pembuatan obat hendaklah
diklasifikasikan sesuai dengan jumlah maksimum partikulat udara yang
diperbolehkan untuk tiap kelas kebersihannya.

Tabel 2.1 Klasifikasi kebersihan ruang pembuatan obat

13
Catatan:
Kelas A, B, C dan D adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk
steril. Kelas E adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk nonsteril.
Persyaratan lain untuk pembuatan produk steril dirangkum pada Aneks 1
Pembuatan Produk Steril.

2.4.4 Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang
tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat,
agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk
memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi
silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak
buruk pada mutu produk.

2.4.5 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan; dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi
ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Produksi hendaklah dilakukan
dan diawasi oleh personil yang kompeten, karena mutu obat tidak hanya
ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu
yang dibangun selama tahap produksi sampai dengan pengemasan.

Prosedur produksi dibuat oleh penanggungjawab produksi bersama


penanggungjawab pengawasan mutu untuk menjamin obat yang dihasilkan
memnuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Prosedur kerja standar hendaklah
tertulis serta mudah dipahami dan dipauhi oleh karyawan produksi. Dokumentasi
setiap langkah prosedur harus dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh
karyawan yang melaksanakan tugas.

Hal-hal yang harus diperhatikan selama proses produksi adalah bahan awal,
validasi proses, pencegahan pencemaran silang, sistem pnomoran bets/lot,

14
penimbangan dan penyerahan, pengembalian, operasi pengolahan produk antara
dan produk ruahan, bahan dan produk kering, bahan pengemas, kegiatan
pengemasan, pengawasan selama proses, bahan dan produk yang ditolak
dipulihkan dan dikembalikan, karantina dan penyerahan produk jadi, catatan
pengendalian pengiriman obat, serta penyimpanan bahan awal, bahan pengemas,
produk antara, produk ruahan dan produk jadi.

2.4.6 Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat yang Baik


Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan dan
manajemen rantai pemasokan obat yang terintegrasi. Untuk menjaga mutu awal
obat, semua kegiatan dalam penyimpanan dan pengirimannya hendaklah
dilaksanakan sesuai prinsip CPOB dan CDOB. Obat hendaklah ditangani dan
disimpan dengan cara yang sesuai untuk mencegah kontaminasi, kecampurbauran
dan kontaminasi silang. Area penyimpanan hendaklah diberikan pencahayaan
yang memadai sehingga semua kegiatan dapat dilakukan secara akurat dan aman.

Pengiriman dan transportasi obat hendaklah dimulai hanya setelah menerima


pesanan resmi atau rencana penggantian produk yang resmi dan
didokumentasikan. Hendaklah dibuat catatan pengiriman obat dan minimal
meliputi informasi berikut:
a) Tanggal pengiriman
b) nama dan alamat perusahaan transportasi
c) nama, alamat dan status penerima (misal apotek, rumah sakit, klinik)
d) deskripsi produk, mencakup nama, bentuk sediaan dan kekuatan (jika tersedia)
e) jumlah produk, misal jumlah wadah dan jumlah produk per wadah
f) nomor bets dan tanggal kedaluwarsa
g) kondisi transportasi dan penyimpanan yang ditetapkan
h) nomor unik untuk order pengiriman

2.4.7 Pengawasan Mutu


Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat
yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten

15
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan
komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan
keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai
kepada distribusi produk jadi. Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel,
spesifikasi, pengujian serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan,
dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual,
sampai mutunya telah dibuktikan memenuhi persyaratan.

Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus
terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk.
Ketidaktergantungan Pengawasan Mutu dari Produksi dianggap hal yang
fundamental agar Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan dengan
memuaskan.

2.4.8 Inspeksi Diri


Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan
pengawasan mutu Industri Farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi
diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB
dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri
hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten
dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara obyektif.
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping itu, pada situasi
khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi
penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya
dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan
dibuat program tindak lanjut yang efektif. Hendaklah dibuat instruksi tertulis
untuk inspeksi diri yang menyajikan standar persyaratan minimal dan seragam.

2.4.9 Keluhan dan Penarikan Produk


Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi
kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk

16
menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila
perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari
peredaran secara cepat dan efektif.

Hendaklah ditunjuk personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan


dan memutuskan tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang memadai
untuk membantunya. Apabila personil tersebut bukan kepala bagian Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu), maka ia hendaklah memahami cara penanganan seluruh
keluhan, penyelidikan atau penarikan kembali produk.

Pelaksanaan Penarikan Kembali meliputi :


a. Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah
diketahui ada produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi
yang merugikan;
b. Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, hendaklah
dihentikan dengan cara embargo yang dilanjutkan dengan penarikan kembali
dengan segera. Penarikan kembali hendaklah menjangkau sampai tingkat
konsumen;
c. Sistem dokumentasi penarikan kembali produk di industri farmasi, hendaklah
menjamin bahwa embargo dan penarikan kembali dilaksanakan secara cepat,
efektif dan tuntas; dan
d. Pedoman dan prosedur penarikan kembali terhadap produk hendaklah dibuat
untuk memungkinkan embargo dan penarikan kembali dapat dilakukan
dengan cepat dan efektif dari seluruh mata rantai distribusi.

2.4.10 Dokumentasi
Dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari sistem pemastian
mutu dan merupakan kunci untuk pemenuhan persyaratan CPOB. Berbagai jenis
dokumen dan media yang digunakan hendaklah sepenuhnya ditetapkan dalam
Sistem Mutu Industri Farmasi. Dokumentasi dapat dibuat dalam berbagai bentuk,
termasuk media berbasis kertas, elektronik atau fotografi. Tujuan utama sistem
dokumentasi yang dimanfaatkan haruslah untuk membangun, mengendalikan,

17
memantau dan mencatat semua kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung
berdampak pada semua aspek kualitas obat. Sistem Mutu Industri Farmasi
hendaklah mencakup penjabaran rinci yang memadai terhadap pemahaman umum
mengenai persyaratan, di samping memberikan pencatatan berbagai proses dan
evaluasi setiap pengamatan yang memadai.

2.4.11 Kegiatan Alih Daya


Aktivitas yang tercakup dalam Pedoman CPOB yang dialihdayakan hendaklah
didefinisikan, disetujui dan dikendalikan dengan benar untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang dapat menghasilkan produk atau pekerjaan dengan mutu
yang tidak memuaskan. Hendaklah dibuat kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak
dan Penerima Kontrak yang secara jelas menentukan peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak. Sistem Mutu Industri Farmasi dari Pemberi Kontrak
hendaklah menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk
diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh Kepala Pemastian Mutu.

2.4.12 Kualifikasi Dan Validasi


CPOB mempersyaratkan Industri Farmasi mengendalikan aspek kritis kegiatan
yang dilakukan melalui kualifikasi dan validasi sepanjang siklus hidup produk dan
proses. Tiap perubahan yang direncanakan terhadap fasilitas peralatan, sarana
penunjang, dan proses, yang dapat memengaruhi mutu produk, hendaklah
didokumentasikan secara formal dan dampak pada status validasi atau strategi
pengendaliannya dinilai.

18
BAB III TINJAUAN KHUSUS INDUSTRI FARMASI

3.1 Sejarah Industri PT. Bio Farma


PT. Bio Farma resmi berdiri pada tanggal 6 Agustus 1890 berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Hindia Belanda Nomor 14 Tahun 1890 di Rumah Sakit
Militer Weltervreden, Batavia yang sekarang telah berubah nama menjadi Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Subroto) dengan nama
“Parc Vaccinogene”. Nama “Parc Vaccinogene” bertahan selama 5 tahun hingga
1894 dan berubah menjadi “Parc Vaccinogene en Instituut Pasteur” pada tahun
1895 - 1901. Namun, pada tahun 1902 mengalami pergantian nama menjadi
“Landskoepoek Inrichting en Instituut Pasteur” dan bertahan hingga tahun 1941.
“Landskoepoek Inrichting en Instituut Pasteur” yang berlokasi di Batavia pindah
ke Pasteur, Bandung pada tahun 1923 yang dipimpin oleh L. Otten, seseorang
yang berkewarganegaraan Belanda.

Setelah masa penjajahan Belanda berhenti dan dilanjutkan oleh Jepang pada tahun
1942-1945, nama perusahaan berubah menjadi “Bandung Boeki Kenkyushoo”
yang dipimpin oleh Kikuo Kurauchi. Saat Indonesia mendapatkan kemerdekaan
pada tahun 1945, PT. Bio Farma dipimpin oleh R.M Sardjito dan berganti nama
menjadi “Gedung Cacar dan Lembaga Pasteur”. PT. Bio Farma sempat
dipindahkan ke Klaten, namun pada masa Agresi Militer oleh Belanda (1946-
1949), perusahaan kembali diambil alih oleh Belanda dan diakuisisi dengan nama
“Landskoepoek Inrichting en Instituut Pasteur”.

Tahun 1950-1954, PT. Bio Farma masuk ke dalam jawatan lingkungan


Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan berganti nama kembali menjadi
“Gedung Cacar dan Lembaga Pasteur”. Tahun 1955-1960, “Gedung Cacar dan
Lembaga Pasteur” diganti menjadi “Perusahaan Negara Pasteur” atau lebih
dikenal dengan nama PN. Pasteur. Nama Bio Farma pertama kali dikenalkan pada
tahun 1961 dengan nama PN. Bio Farma. Setelah keluarnya Peraturan
Pemerintahan Nomor 26 tahun 1978 PN, Bio Farma mengubah namanya menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Bio Farma. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1

19
Tahun 1997, nama perusahaan berganti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
atau lebih dikenal sebagai PT. Bio Farma (Persero) hingga saat ini dan sebagai
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia dan telah berdiri selama
127 tahun.

3.2 Lokasi
PT. Bio Farma (Persero) yang merupakan perusahaan vaksin bertempat di Jalan
Pasteur No. 28 Bandung dengan luas 91.058 m2 untuk fasilitas produksi,
penelitian dan pengembangan, pemasaran, dan administrasi. Lahan seluas 282.441
m2 yang berlokasi di Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat untuk
pengembangbiakkan dan pemeliharaan laboratorium. Sedangkan untuk
mendukung kelancaran operasional, perusahan juga memiliki Kantor Perwakilan
yang bertempat di Gedung Arthaloka Lantai 3 di Jalan Jenderal Sudirman No. 2,
Jakarta.

3.3 Visi dan Misi


Visi PT. Bio Farma (Persero) adalah menjadi perusahaan life science kelas dunia
yang berdaya saing global. Adapun misi PT. Bio Farma (Persero) guna mencapai
visi tersebut yaitu menyediakan dan mengembangkan produk life science
berstandar internasional untuk meningkatkan kualitas hidup.

Selain itu, praktik tata kelola sesuai kebijakan dan peraturan perundang-undangan
telah melekat dalam sikap, perilaku, pola pikir, dan cara kerja setiap tenaga kerja
Bio Farma yang tercermin dalam budaya perusahaan yaitu :
a. Profesional (Professional).
b. Berkomitmen menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab, efisiensi,
efektif, berorientasi ke depan dan taat prosedur.
c. Integritas (Integrity).
d. Jujur, transparan dan dapat dipercaya sesuai dengan tujuan perusahaan.
e. Kerja sama (Team Work).
f. Bekerjasama dengan menghargai peran dan pendapat orang lain.
g. Berorientasi kepada pelanggan (Customer Oriented).

20
h. Memahami kebutuhan dan memberikan solusi yang tepat kepada customer.
i. Inovasi (Innovation).
j. Melakukan perbaikan dan pengembangan secara terus menerus untuk
menghasilkan gagasan baru.

3.4 Personalia
PT. Bio Farma (Persero) dipimpin oleh seorang direktur utama yang membawahi
5 Direktur yaitu Direktur Keuangan, Direktur Pemasaran, Direktur Sumber Daya
Manusia, Direktur Produksi, dan Direktur Perencanaan & Pengembangan.
Direktur tersebut membawahi beberapa divisi yang dipimpin oleh Senior Manager
sebagai kepala Divisi. Senior manager (kepala divisi) tersebut membawahi
seorang manager sebagai kepala bagian. Manager (kepala bagian) membawahi
supervisor sebagai kepala seksi. Supervisor (kepala seksi) membawahi staf, staf
muda dan pelaksana. Struktur organisasi PT. Bio Farma dapat dilihat pada
lampiran 1 dan struktur organisasi bagian produksi media dapat dilihat di
lampiran 2.
Tugas dan tanggung jawab personal :
a. Kepala Bagian Produksi Media
Memastikan ketersediaan produksi media melalui kegiatan produksi dan
penerapan GMP guna mendukung tercapainya target produksi Bagian Media
berdasarkan rencana produksi (RKAP).
b. Kepala Seksi Media Virus
Memastikan ketersediaan media virus melalui kegiatan produksi dan penerapan
GMP guna mendukung tercapainya target produksi vaksin virus berdasarkan
implementasi GMP dan RKAP (Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan).
c. Staff
Melakukan review dan identifikasi pembuatan media virus, persiapan alat
produksi media virus, review BPR produksi media virus, PPIC untuk produksi
media virus, dokumentasi prosedur baku dan spesifikasi terkait produksi.
d. Staff Muda
1) Melakukan Environtment Monitoring Batch Related
2) Melakukan Environment Monitoring Montly

21
3) Melakukan setting alat filtrasi
4) Melakukan sterilisasi filtrasi medium
5) Melakukan Environtment Monitoring Batch Related (Mikro)
6) Melakukan Environtment Monitoring Montly
7) Melakukan pengisian formulir data cleaning
8) Melakukan CIP dan SIP mesin filling
9) Melengkapi medium pemantauan lingkungan
10) Memastikan pelaksanaan disiplin dasar karyawan
11) Mengimplementasikan pelaksanaan K3
12) Mengimplementasikan pengendalian limbah
13) Mengendalikan penggunaan sumber daya alam seperti pemakaian kertas,
listrik, air, solar dan bahan baku
14) Melakukan training sesuai dengan jumlah yang ditentukan
15) Melakukan peningkatan kompetensi sesuai dengan skala yang ditentukan
16) Mengimplementasikan persyaratan perundang–undangan dan perizinan yang
berlaku
e. Pelaksana (Washing)
Melakukan kegiatan pencucian alat media virus serta persiapan dan sterilisasi
alat–alat guna mendukung kelancaran kegiatan produksi media.
f. Pelaksana (Preparasi Alat)
Melakukan kegiatan persiapan dan sterilisasi alat–alat guna mendukung
kelancaran kegiatan produksi media.
g. Pelaksana (Preparasi Media)
Melakukan sterilisasi, pengemasan dan pelabelan medium, mengisi catatan
pembuatan medium (BPR), melakukan pembersihan, sterilisasi dan pemeliharaan
ruangan pembuatan medium.
h. Pelaksana (Filtrasi)
Melakukan sterilisasi, pengemasan dan pelabelan medium, mengisi catatan
pembuatan medium (BPR), melakukan pembersihan, sterilisasi dan pemeliharaan
ruangan pembuatan medium.

22
i. Pelaksana (Sampling dan Pengiriman)
Melakukan sampling kualitas air, pengiriman sampel dan dokumen produksi
media.
j. Pelaksana (Distribusi)
Melaksanakan kegiatan distribusi medium inventory media virus meliputi
melakukan proses penyimpanan dan distribusi media, pencatatan pemakaian alat
yang berkaitan dengan proses penyimpanan dan distribusi media.

3.5 Bangunan dan Fasilitas


3.5.1.Bangunan
1. Bangunan
a. Ruang produksi kelas A
Ruang produksi kelas A dengan material dinding plastik LAF, material
plafon sealing mounted, dan material lantai epoxy. Ruang kelas A
memiliki efisiensi filter akhir yaitu HEPA Filter 99,995%. Kegiatan yang
dilakukan di kelas A yaitu filtrasi media.
b. Ruang produksi kelas B
Ruang produksi kelas B dengan material dinding plat partisi dan dinding
tembok, material plafon plat partisi, dan material lantai epoxy. Ruang
kelas B memiliki efisiensi filter akhir yaitu HEPA Filter 99,995% dengan
kegiatan yang dilakukan dalam kelas B yaitu ssealing dan wrapping
kemasan medium.
c. Ruang produksi kelas C
Ruang produksi kelas C dengan material dinding yaitu plat partisi, plastik
LAF, dinding tembok. Sedangkan material plafon yaitu plat partisi, dan
material lantai yaitu epoxy. Ruang kelas C memiliki efisiensi filter akhir
yaitu HEPA Filter 99,95% dengan kegiatan yang dilakukan di dalamnya
yaitu penimbangan, pelarutan, dan pencampuran media.
2. Ruang Ganti
Ruang ganti di dalam gedung produksi media dengan material dinding plat partisi,
material plafon plat partisi, dan material lantai epoxy. Kegiatan yang dilakukan di
dalamnya yaitu mengganti pakaian produksi media.

23
3. Ruang antara
Ruang antara yaitu ruang yang digunakan untuk keluar masuk alat dan bahan
produksi. Ruang antara dibangun dengan material dinding plat partisi, material
plafon plat partisi, dan material lantai epoxy.
4. Ruang persiapan alat produksi (kelas D)
Ruang kelas D atau ruang untuk persiapan alat produksi media memiliki dinding
terbuat dari material plat partisi, dinding tembok, material plafon plat partisi, dan
material lantai epoxy. Ruang kelas D memiliki efisiensi filter akhir yaitu HEPA
Filter 99,95%.
5. General area
General area merupakan ruangan yang digunakan untuk pencucian alat dan botol,
penyimpanan medium, dan administrasi produksi. Material dinding general area
yaitu plat partisi, dan dinding tembok, material plafon plat partisi, dan material
lantai epoxy.

3.5.2. Fasilitas
Fasilitas produksi media merupakan fasilitas yang digunakan khusus untuk
produksi media yang akan digunakan untuk produksi vaksin virus. Clean room
adalah ruang berkelas yang digunakan untuk produksi dimana ruang tersebut
dilengkapi pula dengan HEPA Filter (High Efficiency Particulate Air) yang
berfungsi untuk menyaring partikel udara yang masuk ke dalam ruangan sesuai
dengan persyaratan yg ditentukan seperti tercantum pada Tabel 2.1.
Clean room area terdiri dari:
a. Kelas A :
 LAF Ruang Filtrasi Media I
 LAF Ruang Filtrasi Media II
b. Kelas B :
 Ruang Filtrasi Media
 Ante Room Filtrasi Media
 Pass Room Filtrasi Media
 Pass Room Ante Room
 Air Shower Ante Room

24
 Pass Box I
 Pass Box II
c. Kelas C :
 Ruang Ganti / Dressing Room Preparasi Media
 Ruang Ganti / Dressing Room Ante Room
 Dust Collector
d. Kelas D :
 Ruang Ganti / Dressing Room Preparasi Media
 Ruang Ganti / Dressing Room Ante Room
 Ruang Preparasi Alat
 Ruang Ganti / Dressing Room Preparasi Alat
 Pass Room Preparasi Alat
 Pass Room Preparasi Media

3.5.3. Alur Kerja


a. Alur Proses
Produksi media virus mulai dari penimbangan, pelarutan, pencampuran bahan
baku dilakukan di ruang preparasi media dan persiapan serta sterilisasi alat
dilakukan di ruang preparasi alat. Filtrasi media dilakukan dalam Laminar Air
Flow (LAF) dan di ruangan filtrasi media. Medium yang dihasilkan disimpan
di ruang karantina untuk menunggu proses selanjutnya.
b. Alur Personil
Setiap personil yang memasuki sarana produksi media harus memenuhi
persyaratan sesuai dengan dokumen yaitu :
1) Pemantauan kesehatan karyawan
2) Gowning qualification
Setiap personil yang akan memasuki ruangan dengan klasifikasi ruangan yang
berbeda, terlebih dahulu harus mengganti pakaian di ruang ganti yang tersedia
dengan pakaian yang telah ditentukan untuk ruangan tersebut.
c. Alur Alat Bersih dan Steril
Peralatan yang akan digunakan produksi masuk ke dalam ruangan persiapan
alat melalui pass room, untuk alat selanjutnya di bilas dengan WFI, dikemas,

25
dan disterilkan dengan menggunakan otoklaf dan dikeluarkan melalui ante
room untuk dipergunakan pada saat proses produksi.
d. Alur Bahan Baku dan Medium
Bahan baku yang akan digunakan produksi masuk ke dalam ruang persiapan
media melalui pass room. Untuk medium selanjutnya ditransfer melalui tangki
penampung ke ruangan filtrasi. Medium yang telah selesai difiltrasi
selanjutnya dikeluarkan melalui pass box untuk selanjutnya dibawa ke ruang
karantina.
e. Alur Alat Bekas Pakai
Peralatan bekas pakai dikeluarkan dari ruang filtrasi melalui pass room ke
ruang preparasi alat, kemudian keluar melalui pass room ke ruang washing,
atau peralatan bekas pakai dikeluarkan melalui pass room ke ruang preparasi
media, kemudian keluar melalui pass room ke ruang washing, untuk kemudian
dicuci di ruang washing.
f. Alur Alat Kotor Sebelum Pencucian
Peralatan kotor dikeluarkan melalui pass room sesuai ruang pass room
preparasi media untuk kemudian dicuci di ruang washing.
g. Alur Alat Bersih Setelah Pencucian
Peralatan yang sudah dicuci dikeringkan pada suhu kamar di atas rak
pengering atau di atas keranjang kawat stainless yang bersih, kemudian
dipindahkan ke tempat penyimpanan sementara untuk dilakukan penutupan
pada bagian alat yang terbuka, di atas rak atau palet (kecuali tangki) yang
berada di dalam ruangan preparasi.

3.6.Sanitasi dan Higienitas


3.6.1. Sanitasi Perorangan
Setiap personil yang memasuki sarana produksi media harus memenuhi
persyaratan yaitu pemantauan kesehatan karyawan dan memiliki sertifikat
gowning qualification.
a. Pemantauan Kesehatan
Pemantauan kesehatan adalah upaya pemantauan kesehatan kepada karyawan
dengan maksud untuk mengeliminasi potensi sumber kontaminasi yang berasal

26
dari karyawan dan melindungi karyawan dari kondisi atau lingkungan yang
berbahaya di PT. Bio Farma. Pemantauan kesehatan harus diterapkan oleh
semua karyawan baik yang terlibat dalam rangkaian pembuatan suatu produk
maupun semua karyawan yang berada di lingkungan PT. Bio Farma. Setiap
karyawan harus memenuhi persyaratan kesehatan yang telah ditetapkan.
Disamping itu, bagi tamu yang berkunjung ke perusahaan, harus memenuhi
persyaratan-persyaratan kesehatan yang telah ditetapkan.
b. Gowning Qualification
Proses aseptik adalah penanganan suatu bahan / media / produk ke dalam
wadah dalam kondisi lingkungan terkontrol (pengaturan suplai udara, material,
peralatan, dan personil) untuk mempertahankan sterilitas, sehingga
kontaminasi mikroba dan partikel dapat dicegah dalam tingkat yang dapat
diterima. Personil terkait yang memasuki area aseptik dan yang terkait dengan
pekerjaan pendukung di area aseptik bertanggung jawab untuk melaksanakan
kualifikasi cara berpakaian. Kualifikasi cara berpakaian harus berlaku untuk
semua personil yang bekerja di formulasi, filling dan area proses aseptik lain.
Re-kualifikasi gowning dilaksanakan satu tahun sekali untuk setiap personil.
Personil baru yang bekerja di formulasi, filling dan area proses aseptik lain
harus dikualifikasi berdasarkan tiga tes berturut-berturut.

3.6.2.Sanitasi Ruangan
Pelaksanaan pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi ruangan dilakukan oleh
pelaksana yang telah ditentukan pada Bagian Produksi Media di bawah tanggung
jawab Kepala Seksi dan Kepala Bagian Produksi Media. Sterilisasi ruangan
dilakukan menggunakan larutan formalin 37% yang dipanaskan (diuapkan)
menggunakan kompor listrik.

Penggunaan desinfektan dilakukan rotasi setiap empat bulan sekali. Lamanya


waktu kontak antara desinfektan dengan permukaan yang dibersihkan minimal 1
menit. Berdasarkan penggunaannya, desinfektan terbagi atas :
1) Desinfektan untuk tangan di ruangan ganti pakaian
2) Desinfektan untuk tangan di ruangan berkelas

27
3) Desinfektan untuk ruangan / lantai
4) Desinfektan untuk permukaan meja dan alat
Pembersihan dan desinfeksi ruangan berkelas pada kelas A, B,C dan D dilakukan
menggunakan Vacuum Cleaner dengan ULPA (Ultra-Low Particulate Air) Filter.
Pembersihan dan desinfeksi ruangan berkelas memiliki jadwal sebagai berikut :
1) Setiap selesai bekerja pada meja-kursi, alat-alat dan lantai.
2) Seminggu sekali pada waktu akan dilakukan fumigasi (kelas A, B dan C), satu
bulan sekali pada waktu akan dilakukan fumigasi (kelas D) dilakukan pada
lantai, jendela, pintu, meja kursi, roda, dan alat.
3) General cleaning dilakukan setiap enam bulan sekali (Juni dan Desember) dan
setelah ada perbaikan ruangan atau ada peralatan baru, yang dilakukan pada
lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu, meja kursi, lemari, dan alat-alat.
Jadwal pembersihan dan desinfeksi general area dilakukan setiap hari sebelum
dan sesudah kerja yang dilakukan pada lantai, jendela, pintu, meja, lemari, tempat
sampah dan alat-alat.

3.7.Produksi
Proses produksi media meliputi proses persiapan produksi, penimbangan,
pelarutan, pengisian, pengemasan, sterilisasi, penyimpanan (karantina), distribusi
dan pemusnahan.
1) Proses Persiapan Produksi
Pada tahap ini dilakukan persiapan alat, bahan dan ruangan yang diperlukan
untuk produksi. Alat-alat yang akan digunakan dicuci dan disterilisasi terlebih
dahulu, dilakukan pula clearance check dan sanitasi ruangan yang akan
digunakan untuk produksi.
2) Proses Penimbangan
Setiap media memiliki formula tertentu yang terdiri atas jenis dan jumlah
bahan baku, maka pada proses penimbangan, bahan baku terlebih dahulu
dihitung berdasarkan formula tersebut dan selanjutnya setiap bahan baku
ditimbang sesuai hasil perhitungan.

28
3) Proses Pelarutan
Pada proses pelarutan, bahan baku yang telah ditimbang dilarutkan dalam WFI
(Water for Injection) kemudian dikocok hingga homogen menggunakan
magnetic stirrer atau tanki yang dilengkapi dengan stirrer.
4) Proses Pengisian
Proses pengisian dapat dilakukan sebelum atau setelah proses sterilisasi
tergantung dari jenis media yang diproduksi, pada proses sterilisasi akhir
pengisian dilakukan sebelum sterilisasi sedangkan pada proses aseptik
pengisian dilakukan setelah sterilisasi. Pengisian dilakukan ke dalam wadah
akhir media yaitu botol kaca, botol PE, cawan petri atau disposable bag.
5) Proses Pengemasan
Proses pengemasan dilakukan menggunakan plastik yang telah disterilisasi,
lalu setiap wadah diberi label yang berisi keterangan nama media, no. batch,
tanggal produksi, tanggal kadaluarsa dan suhu penyimpanan. Selain itu
dilakukan pula penempelan label karantina.
6) Proses Sterilisasi
Proses sterilisasi dilakukan dengan 3 cara yaitu sterilisasi panas, sterilisasi
filtrasi, dan sterilisasi gelombang elektromagnetik. Penggunaannya tergantung
dari jenis media yang diproduksi, sterilisasi panas dilakukan menggunakan
otoklaf dengan suhu dan waktu yang sesuai dengan hasil validasi, sterilisasi
filtrasi dilakukan menggunakan filter 0.22 µm, sedangkan sterilisasi gelombang
elektromagnetik menggunakan sinar iradiasi gamma dengan dosis tertentu dan
melalui pihak ketiga.
7) Proses Penyimpanan (Karantina)
Setelah produksi, selanjutnya media disimpan dengan status mutu karantina,
menunggu hasil pengujian dari bagian pengujian mutu (QC) untuk penetapan
status mutu selanjutnya yaitu release atau reject.
8) Proses Distribusi
Proses distribusi hanya dilakukan pada media yang memiliki status mutu
release sesuai penetapan dari Quality Assurance (QA), media ini
didistribusikan kepada bagian-bagian yang ada di PT. Bio Farma sesuai dengan

29
BPAB (Bon Permintaan Antar Bagian) yang diberikan kepada bagian produksi
media.
9) Proses Pemusnahan
Proses pemusnahan dilakukan pada media yang memiliki status mutu reject
sesuai penetapan dari QA, pemusnahan dilengkapi dengan berita acara
pemusnahan dan dilakukan sesuai dengan prosedur penanganan limbah yang
berlaku di PT. Bio Farma. Sebelum dimusnahkan, terlebih dahulu dilakukan
proses dekontaminasi untuk mengurangi dan/atau menghilangkan kontaminasi
oleh mikroorganisme.
Setelah proses dekontaminasi selesai, keluarkan bahan dari otoklaf dan bawa ke
ruang pencucian untuk proses pembuangan produk ke IPAL (Instalasi Pengolahan
Air Limbah) dan pencucian wadah. Untuk bahan atau medium reject yang tidak
infectious dapat dibuang langsung ke saluran pembuangan untuk selanjutnya
diproses dalam pengolahan limbah.

3.8.Pengawasan Mutu
Proses ini mempunyai tujuan untuk memastikan proses pengujian, sesuai dengan
prosedur baku dan persyaratan yang berlaku. Kepala Divisi Pengawasan Mutu
telah ditunjuk sebagai penanggungjawab agar proses pelaksanaan pengujian dapat
berjalan baik dengan memperhatikan aspek–aspek dampak penting lingkungan
dan potensi bahaya/resiko K3 dan mempunyai wewenang untuk
menyempurnakannya (jika diperlukan).

Untuk memastikan hanya material yang sesuai spesifikasi boleh digunakan, maka
Bio Farma melakukan pengujian mutu terhadap bahan baku, bahan kemasan dan
bahan lainnya serta bahan penunjang yang dibeli. Untuk memastikan produk yang
diuji teridentifikasi dan mampu ditelusur, maka nomor bets, GIN dan proses
pengujian dilakukan sesuai prosedur yang berlaku dan dicatat pada formulir data
atau BPR (Batch Processing Records). Untuk memastikan bahwa sistem
pengujian mutu memenuhi persyaratan yang berlaku, maka Bio Farma
melakukan, menetapkan, merencanakan proses pengujian, pemantauan dan
analisis. Untuk memastikan proses pengujian mutu dilaksanakan dengan baik dan

30
konsisten, maka Bio Farma melakukan, menetapkan, merencanakan proses
pengujian, pemantauan dan analisis. Untuk memastikan proses pengujian mutu
dilaksanakan dengan baik dan konsisten, maka Bio Farma menggunakan :
a. Metoda uji yang sudah divalidasi dan prosedur kerja yang telah disahkan oleh
Quality Assurance
b. Peralatan yang sudah dikalibrasi dan divalidasi
c. Pelaksana uji yang terkualifikasi
d. Baku pembanding yang sudah distandarisasi
e. Review berjenjang untuk proses dan hasil uji yang meliputi review oleh
pelaksana, Kepala Seksi, Kepala Bagian dan Kepala Divisi
Untuk memastikan pengujian dan pemantauan produk baik produk in process
maupun produk jadi, maka Bio Farma melakukan pengujian berdasarkan prosedur
baku yang telah disusun dan disahkan oleh Quality Assurance. Bukti kesesuaian
dengan kriteria penerimaan dicatat pada Batch Processing Records (BPR) atau
Formulir Data. Pengelolaan sampel mulai dari penerimaan, penyimpanan, hingga
pemusnahan sampel. Sampel harus memiliki identitas yang jelas. Pemusnahan
sampel harus sesuai dengan prosedur yang tepat dan peraturan untuk pembuangan
limbah. Untuk memastikan bahwa sampel yang diujikan sesuai persyaratan
jumlah dan dilakukan uji sesuai dengan metode uji yang dipersyaratkan maka Bio
Farma melakukan pengambilan sampel bahan baku, bahan kemasan, dan produk
sesuai prosedur baku yang berlaku dan tercatat. Termasuk jumlah sampel
cadangan produk dan sampel pertinggal yang disimpan sesuai dengan yang
dipersyaratkan.

3.9.Penanganan Limbah
Penanganan limbah di PT. Bio Farma yang dihasilkan dari seluruh kegiatan,
meliputi:
1. Limbah cair
Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi, pengujian dan proses
penunjang lain yang mengandung mikroorganisme, harus di disinfeksi terlebih
dahulu kemudian di olah lebih lanjut pada instalasi Air Limbah (IPAL).

31
2. Limbah padat
Penanganan limbah padat dilakukan dengan melakukan pemisahan limbah pada
tahap awal. Limbah padat yang dimaksud di sini adalah karkas/kadaver hewan
laboratorium, kadaver hewan donor dan bedding bekas pakai dari pengelolaan
hewan. Bedding bekas pakai berupa limbah dari bahan bedding, feces, sisa pakan,
dan sisa urine hewan laboratorium dan hewan donor.
3. Limbah B3
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah sisa suatu usaha dan atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakkan lingkungan hidup, dan atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta mahluk hidup lain. Limbah B3 yang dihasilkan dikemas dan diberi identitas
sesuai dengan jenis dan karakteristiknya.
a. Limbah B3 yang dapat di inserasi di incinerator, kemudian abunya
disimpan di tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3.
b. Limbah B3 yang tidak dapat di insinerasi seperti pelumas bekas, lampu
TL, aki bekas, dan lain-lain di simpan di TPS limbah B3 dan langsung
diserahkan kepada pihak ketiga pengelola limbah B3.
c. Limbah B3 yang dimpan di TPS ditempatkan dalam kemasan yang baik,
tidak rusak, di beri simbol dan label limbah B3 yang sesuai. Limbah B3
tersebut harus sudah dikirimkan ke pihak ketiga pengelola limbah B3 yang
mempunyai izin pemerintah tidak melebihi waktu maksimal penyimpanan
oleh pemerintah.

32
BAB IV TUGAS KHUSUS
QUALITY RISK MANAGEMENT (QRM)

Manajemen Risiko Mutu adalah proses sistematis untuk menilai, mengendalikan,


mengomunikasikan, dan mengkaji risiko terhadap mutu produk jadi sepanjang
siklus-hidup. Penekanan pada tiap komponen diagram mungkin berbeda pada satu
kasus dengan kasus lain, tetapi proses yang tangguh akan menyatukan semua
elemen pada tingkat rincian yang setara dengan risiko yang spesifik.

Identifikasi, Analisa, Evaluasi dan Kontrol resiko dilakukan dengan menggunakan


FMEA (Failure Mode and Effects Analysis), yaitu analisa resiko secara kuantitatif
dengan menentukan tingkat Severity (S), tingkat Probability of occurrence (P),
dan tingkat Detection (D) dari setiap resiko yang telah diidentifikasi.

4.1 Identifikasi Resiko


d. Tingkat Keparahan (Severity)

Definisi tingkat keparahan/ dampak risiko skala 1-5 terhadap aspek GMP,
Kualitas, Keamanan dan Proses/ Peralatan :

Tabel 4.1 Tingkat Keparahan (Severity)


Time Dampak Terhadap Aspek

GMP Kualitas dan Keamanan Proses/Peralatan


Dampak yang ditimbulkan tidak
1 Insignificant menyebabkan ketidaksesuaian terhadap Tidak memiliki dampak Kegagalan pada
prosedur atau persyaratan terhadap kualitas proses/peralatan tidak
produk/keselamatan pengguna berdampak pada produk
regulasi (GMP/CPOB)
Dampak yang ditimbulkan berpotensi - Berpotensi Kegagalan pada
menyebabkan ketidaksesuaian minor menimbulkan dampak proses/peralatan tidak terkait
2 Minor terhadap prosedur atau persyaratan minor terhadap parameter proses kritis dan
regulasi kualitas produk. atribut kualitas kritis produk.
(GMP/CPOB) - Tidak berdampak
terhadap keselamatan
pengguna

33
- Berdampak minor
Dampak yang ditimbulkan merupakan terhadap kualitas produk Kegagalan pada
ketidaksesuaian minor terhadap prosedur - Berpotensi menimbulkan proses/peralatan kemungkinan
4 Moderate atau persyaratan regulasi (GMP/CPOB) dampak kecil terhadap dapat mempengaruhi parameter
keamanan pengguna yang proses kritis dan atribut kualitas
memerlukan penanganan kritis produk.
medis
Sederhana
Dampak yang ditimbulkan dapat
- Berdampak major terhadap
- Kegagalan pada
kualitas produk dan
7 Major menyebabkan ketidaksesuaian major proses/peralatan
berpotensi menyebabkan
terhadap prosedur atau persyaratan mempengaruhi parameter
recall
regulasi (GMP/CPOB) proses kritis dan atribut
- Dampak terhadap keselamatan kualitas kritis produk.
pengguna cukup signifikan dan - Dampak dapat
- memerlukan penanganan medis menyebabkan sebagian
besar batch dibuang.
(perawatan RS), namun
tidak mengancam nyawa.
- Kegagalan pada
proses/peralatan dipastikan
Dampak yang ditimbulkan mempengaruhi parameter
menyebabkan ketidaksesuaian kritikal - Berdampak proses kritis, atribut kualitas
terhadap prosedur atau persyaratan signifikan/kritikal terhadap kritis. Biasanya berkaitan
10 Catastrophic regulasi (GMP/CPOB), yang dapat kualitas produk dan dengan sterilitas atau
berpotensi pada pencabutan/ menyebabkan recall kontaminasi pada produk
pembekuan ijin edar produk oleh produk akhir.
badan regulator - Dampak menyebabkan cedera - Dampak signifikan dapat
serius, cacat permanen dan menyebabkan hilangnya 1
atau mengancam atau lebih batch penuh
nyawa/kematian produk dibuang.

e. Tingkat kemungkinan kejadian/probability of occurrence (P)

Tabel 4.2 Tingkat Kemungkinan Kejadian/Probability Of Occurrence


(P)

Tingkat Penjelasan
Klasifikasi
Probability Kemungkinan kejadian

1 Rare Could happen, but probably never will


Hampir tidak mungkin terjadi
Not likely to occur in normal circumstances
2 Unlikely
Tidak mungkin terjadi pada kondisi normal, namun dapat terjadi
pada kondisi abnormal
May occur at some time
4 Possible
Mungkin terjadi pada kondisi normal pada waktu-waktu tertentu

7 Common Expected to occur from time to time


/likely Biasa terjadi pada kondisi normal pada waktu tertentu

10 Certain Expected to occur regularly under normal circumstances


Hampir pasti terjadi pada setiap aktivitas/proses

34
Probability dinilai berdasarkan riwayat kejadian dan atau kemungkinan risiko
tersebut terjadi.

f. Tentukan level risiko, yang merupakan kombinasi antara Dampak


(severity) dengan kemungkinan kejadian (Probability), yang dihitung
sebagai SxP.
g. Tentukan pendeteksian/detectability (D)
Detectability adalah kemampuan untuk mendeteksi risiko atas
sebelum kerusakan/ bahaya sebagai dampak dari risiko terjadi.
Tabel 4.3 Tentukan pendeteksian/detectability (D)
Tingkat Klasifikasi Penjelasan
Detectability
1 Detectable Terdapat pengendali risiko dan sistem deteksi yang secara
cepat dan konsisten mampu mendeteksi risiko/mencegah
terjadinya kegagalan. Akan terlihat jelas dan cepat dalam
proses.
Contoh : real time alert/alarm, continuous monitoring,
sistem sensor otomatis dengan reliabilitas tinggi, terdapat
SOP, monitoring rutin, uji untuk mendeteksi adanya
kegagalan, kegagalan dapat terlihat dengan
sangat mudah secara visual tanpa alat bantu
2 Likely to be Sistem yang ada memiliki kemampuan yang tinggi dalam
detected mendeteksi risiko/mencegah terjadinya potensi kegagalan.
Contoh : terdapat SOP, monitoring rutin, kegagalan
dapat terlihat secara visual, terdapat tools lain yang
dapat mendeteksi, misal : uji terhadap proses
4 Occasional Sistem yang ada memiliki kemampuan yang cukup memadai
detection dalam mendeteksi risiko/mencegah terjadinya potensi
kegagalan. Akan terdeteksi dalam
proses tapi tidak segera. Contoh : terdapat SOP, dapat
terdeteksi saat IPC pada proses berikutnya

7 Rarely Sistem yang ada memiliki kemampuan yang rendah dalam


detected mendeteksi risiko/mencegah terjadinya potensi kegagalan
Contoh : uji sterilitas di produk akhir

10 Unlikely to be Tidak ada sistem dalam mendeteksi


Detected risiko/mencegah terjadinya potensi kegagalan

h. Tentukan nilai RPN (Risk Priority Number) degan cara mengkalikan


nilai SxPxD. nilai RPN menunjukkan prioritas risiko. Buat rencana
dan lakukan tindakan penanganan risiko untuk risiko yang masuk
dalam kategori unacceptable dan intolerable hingga risiko masuk
dalam klasifikasi yang dapat diterima (Acceptable/negligible).

35
i. Evaluasi Risiko
Klasifikasikan resiko berdasarkan nilai RPN yang diperoleh, seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
Tabel 4.4 Evaluasi Resiko
Nilai RPN Klasifikasi Risiko Penjelasan
1-16 Negligible Risiko dapat diabaikan

17-64 Acceptable Risiko dapat diterima dan proses dapat


diimplementasikan *)
Risiko tidak dapat diterima, diperlukan rencana mitigasi aktif.
Proses dapat diimplementasikan setelah tindakan untuk
57-200 Unacceptable memitigasi dan
mengendalikan risiko selesai dilakukan dan risiko dapat
diterima.

Risiko tidak dapat ditolerir, proses perlu dihentikan; diperlukan


201-1000 Intolerable tindakan mitigasi risiko segera untuk menurunkan risiko atau
memastikan dampak
potensial tidak terjadi.

*) tindakan/improvement untuk lebih menurunkan nilai risiko dapat


ditambahkan.

36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
Dari hasil PKPA di PT. Bio Farma pada periode Oktober 2019 didapat
kesimpulan sebagai berikut:
1. Praktik Kerja Profesi Apoteker bagi calon Apoteker di Industri Farmasi sangat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman sebagai bekal
untuk menghadapi dunia kerja, khususnya di bidang Industri Farmasi.
2. Peran dan tanggung jawab Apoteker di industri farmasi ditunjukkan dengan
keberadaan seorang Apoteker di PT. Bio Farma sebagai Penanggung Jawab
pada BagianProduksi, Pengawasan Mutu (Quality Control) dan Pemastian
Mutu (Quality Assurance). Hal ini telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
3. PT. Biofarma telah menerapkan prinsip-prinsip CPOB dan standar cGMP
WHO pada proses produksi produk farmasi untuk menjamin keamanan,
kualitas dan efikasi produk.

1.2 Saran
Diharapkan semoga kerja sama antara Universitas Bhakti Kencana dan PT. Bio
Farma dapat terus terjalin sehingga dapat menjadi tempat PKPA (Praktik Kerja
Profesi Apoteker) bagi mahasiswa PSPA (Program Studi Profesi Apoteker) guna
mendapatkan ilmu dan pengalaman nyata di dunia kerja.

37
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2018 Tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2017. Peraturan Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria
Dan Tata Laksana Registrasi Obat. Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2018. Pelayanan


Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Obat Dan
Makanan. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia.

Bio Farma. 2017. Tentang Kami. Tersedia di http://www.biofarma.co.id/tentang-


kami/[Diakses April 2019].

Bio Farma. 2017. Sejarah Kami. Tersedia di http://www.biofarma.co.id/sejarah-


kami/[Diakses April 2019].

Kementrian Perindustrian Republik Inonesia. 2013. Peraturan Menteri


Perindustrian Republik Indonesia Nomor 23/M1ND/PER/4/2013.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2018.


Pedoman Perizinan Berusaha Melalui Sistem OSS Untuk Pelaku Usaha.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2012. Tahapan Pelaksanaan


Registrasi B3. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Soemohadiwidjojo, Arini T. 2014. Mudah Menyusun SOP (Standard Operating


Procedure). Jakarta: Penebar Plus+.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

38
LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur Organisasi PT. Bio Farma

39
Lampiran 2. Struktur Organisasi Produksi Media

40
Lampiran 3. Alur Proses Produksi di Dalam Unit Risiko Produksi Media

Persiapa Produksi

penimbangan

Pelarutan

Sterilisasi Akhir/
Pengisian Sterilisasi panas
Sterilisasi akhir

Aseptik
Pengemasan Pengisian

Sterilisasi panas Pengemasan

Penyimpanan (Karantina)

Pengujian (QC)

Release Reject

Distribusi Pemusnahan

41

Anda mungkin juga menyukai