Anda di halaman 1dari 22

PEMAHAMAN TERHADAP MALL

Pada Bab ini dijelaskan pemahaman yang lebih spesifik dari judul, yakni pemahaman
terhadap mall. Data bersumber dari pustaka cetak dan internet yang disajikan berupa tulisan,
tabel dan gambar yang memberikan pemahaman terhadap mall. Selain itu, untuk medukung
pemahaman terhadap literatur dilakukan observasi terhadap proyek sejenis untuk mendukung
pemahaman.

Tinjauan Umum Mall


Berikut disajikan pemahaman mengenai aspek non teknis (non-perancangan) yang
digunakan untuk memperjelas spesifikasi mall yang dirancang.

Pengertian Mall
Beberapa Pengertian tentang mall yang dikutip dari berbagai sumber literatur
diantaranya sebagai berikut :

a. Menurut Rubenstein”...Traditionally the word ’Mall’ has mean an area usually lined with

shade trees and used as a public walk or promenade...” (Nurrachman, 2011:18). Bila

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ”...Secara tadisional kata mall dapat

diartikan sebagai suatu daerah berbentuk memanjang yang dinaungi oleh pohonpohon dan

biasanya untuk jalan-jalan...”

b. Mall Adalah pusat perbelanjaan yang berintikan satu atau beberapa departement store besar
sebagai daya tarik dari retail-retail kecil dan rumah makan dengan tipologi bangunan
seperti toko yang menghadap ke koridor utama mall atau pedestrian yang merupakan unsur
utama dari sebuah pusat perbelanjaan (mall), dengan fungsi sebagai sirkulasi dan sebagai
ruang komunal bagi terselenggaranya interaksi antar pengunjung dan pedagang (Maitland
dalam Marlina, 2008:215).

Jadi Berdasarkan pemaparan sumber di atas dapat disimpulkan bahwa mall dapat
diartikan sebagai suatu fasilitas komersial dengan wujud arsitektural berupa ruang rekreasi
(jalan) yang ditata sedemikian rupa untuk menghubungkan dua titik keramaian atau lebih
dengan dikelilingi retail atau tempat penjualan berbagai kebutuhan. Dalam mall pengunjung
melakukan rekreasi dengan berjalan-jalan dan sesekali melihat barang yang dijual oleh retail
sebelum memutuskan untuk memasuki retail tersebut.
Sehingga dengan demikian esensi dari mall bukan sebagai pertokoan padat barang, namun
lebih kepada sebuah tempat penjualan dengan menonjolkan rekreasi dan kenyamanan
berbelanja. Hal inilah yang mengakibatkan harga barang di mall relatif lebih tinggi.

Klasifikasi Mall
Mall dalam berbagai topik sering disamakan dengan shopping centre, sehingga dalam
berbagai sumber literatur, klasifikasi mall hampir sama dengan klasifikasi shopping center.
Berdasarkan beberapa sumber, maka klasifikasi mall dalam ruang lingkup shopping center
adalah sebagai berikut :
a. Dilihat Dari Jenis Barang Yang Dijual
Gibbert (1959:127) mengemukakan tiga jenis barang yang dijual dalam mall dan
terdapat pada jenis toko sebagai berikut:
1. Convinience Shop: pertokoan yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari.
2. Demand Store : pertokoan yang menjual barang-barang tertentu yang biasa diperlukan
oleh pelanggan.
3. Impulse Store : Pertokoan yang menjual barang-barang mewah.
b. Dilihat dari Luas Areal Pelayanan
Gibbert (1959:127) menyebutkan bahwa berdasarkan jangkauan pelayanannya, dalam hal
ini adalah luas wilayah, maka mall dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis sebagai
berikut:
1. Tipe Mall Regional dengan luas areal antara 32.000 – 95.000 m2 dengan skala pelayanan

antara 150.000 – 400.000 penduduk.

2. Tipe Mall Distrik dengan luas areal antara 10.000 – 30.000 m2 dengan jangkauan pelayanan

antara 40.000 – 150.000 penduduk.

c. Berdasarkan Sistem Transaksi dan Penjualan


Menurut Marlina (2008:217) dijelaskan bahwa berdasarkan sistem transaksinya, sebuah
pusat perbelanjaan dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Toko Grosir, yaitu toko yang menjual barang dalam partai besar. barang-barang tersebut
biasanya disimpan digudang atau ditempat lain, sedangkan yang ada dipajang hanya
contohnya.
2. Toko Eceran, yaitu toko yang menjual barang dalam partai kecil atau per satuan barang.
Toko eceran lebih banyak menarik pembeli karena tingkat variasi barangnya yang tinggi.

Berdasarkan sumber ini, maka toko eceran membutuhkan display area yang besar dan
dropping area yang kecil, sementara toko grosir sebaliknya. Untuk mall akan lebih baik
menggunakan sistem eceran apabila pengunjung yang ditargekan adalah konsumen langsung
dari barang yang dijual.

d. Berdasarkan Unsur Lokasi


Menurut Marlina (2008:217) mall merupakan salah satu jenis pusat perbelanjaan yang
berkembang hingga saat ini. Shopping mall memiliki ciri khas yang membedakannya dengan
pusat perbelanjaan lain yaitu tersedianya jalur mall dan plaza yang menghubungkan dua (2)
atau lebih pusat keramaian (generator).

Unsur dalam Kegiatan Mall


Beddington (1982:2) Unsur-unsur dalam kegiatan pusat perbelanjaan dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu pengunjung, barang dan pengelola. Penjelasan selanjutnya
sebagai berikut :
a. Pengunjung
Menurut Beddington (1989:2) menyebutkan bahwa pengunjung/pembeli adalah suatu
lembaga atau individu yang melakukan pembelian untuk memenuhi kebutuhan pribadinya atau
konsumsi rumah tangganya. Sementara Menurut Beddington (1989:2) aktivitas berbelanja
pengunjung dapat dibedakan menjadi dua, antara lain :
1) Convenience Shopping merupakan kegiatan berbelanja keperluan sehari-hari. Hal
yang dibutuhkan pembeli disini adalah kemudahan dan pelayanan yang cepat.
2) Comparison Shopping merupakan kegiatan berbelanja yang dilakukan dengan
membandingkan harga, jenis, kualitas, pelayanan, dan sebagainya walaupun belum tentu
membeli. Kegiatan ini juga dalam istilah lain disebut dengan window shopping. Berdasarkan
kedua jenis aktivitas berbelanja tersebut, dapat dibedakan pengertiannya antara berbelanja
dengan membeli. Membeli (to buy) adalah hasil sesuatu yang
telah ditentukan sebelumnya dan mempunyai tujuan pasti. Penentuan barang yang hendak dibeli
akan mengarahkan pembeli pada toko tertentu. Pembeli biasanya membawa dana yang cukup
untuk barang yang diinginkannya.
Sedangkan kata berbelanja (shopping), dalam hal ini tidak mempunyai tujuan khusus dan
biasanya disertai dengan waktu yang berlebihan dan dana yang cukup. Orang berbelanja
tidak hanya untuk membeli barang tertentu yang dibutuhkan dengan segera, namun juga untuk
membandingkan harga, gaya, dan kualitas. Berbelanja juga dipengaruhi oleh keinginan
menghabiskan waktu untuk kegiatan sosial serta meneruskan kebiasaan.
Selain itu, kegiatan yang terdapat pada mall dewasa ini tidak hanya berbelanja saja, namun
juga para pengunjung ingin mendapat berbagai kebutuhan yang lengkap dalam suatu fasilitas.
Kegiatan yang ingin dipenuhi antara lain berupa makan, bermain, berkumpul bersama kerabat,
perawatan diri. Sehingga pada mall tidak hanya menjual barang namun juga perlu menjual jasa
untuk meningkatkan daya tarik (Nurlalia, 2015:16).

b. Barang
Barang merupakan obyek yang diperjual belikan dalam dunia perdagangan, sehingga
kemudian muncul pusat-pusat perbelanjaan (Nusadarifa, 1989). Dalam Nusadarifa (1989:21)
disebutkan bahwa jika dilihat dari karakteristiknya, jenis barang yang dijual pada pusat
perbelanjaan dapat dibedakan menjadi empat (4) yaitu :
1) Convenience Goods, merupakan barang kebutuhan sehari-hari.
2) Specialty Goods, merupakan jenis barang tertentu seperti benda-benda antik dan
koleksi.
3) Shopping Goods, merupakan barang yang dibutuhkan bulanan atau musiman.
4) Impulse Goods, merupakan barang yang tidak terlalu dibutuhkan atau dicari oleh
pengunjung.

Berdasarkan sumber ini maka jenis barang yang dominan dijual dalam mall adalah
convenience goods yang merupakan kebutuhan sehari-hari seperti pakaian, makanan dan
minuman dan shopping goods yang merupakan kebutuhan musiman seperti gadget, elektronik
dan peralatan olahraga.

c. Pedagang dan Pengelola


Menurut Swasta dan Sukotjo (1988) diesbutkan bahwa pedagang adalah suatu lembaga
atau individu yang melakukan usaha kegiatan menjual barang kepada konsumen akhir untuk
keperluan pribadi yang bersifat non bisnis.
Sehubungan dengan sumber di atas, maka pedagang dalam mall merupakan penyewa dari
sebuah tempat/kios yang dikelola oleh pengelola mall. Secara terperinci, fungsi-fungsi dan
kegiatan yang dilakukan pedagang dalam mall ini adalah sebagai berikut : pengangkutan,
penyimpanan, pembelanjaan, mencari konsumen, menjalankan kegiatan promosi, memberikan
promosi dan informasi, melakukan pengepakan dan pembungkusan dan mengadakan
penyortiran.
Dalam melaksanakan transaksi jual beli, ada tiga macam pelayanan yang diberikan dari
pedagang kepada pembeli, diterjemahkan dari Beddington (1982:6), yaitu :
1) Self Service (swalayan) yaitu pengunjung memilih dan mengambil sendiri barangbarang
yang hendak di beli dari rak-rak yang tersedia, lalu membawanya ke kasir untuk dibayar.
2) Self Selection (swapilih) dimana pembeli dapat memilih langsung barang yang dibeli
lalu menyerahkannya kepada pramuniaga untuk dibuatkan bukti pembelian.
3) Personal Service (pelayanan pribadi) dimana pembeli akan mendapatkan pelayanan
sepenuhnya dari pramuniaga dalam arti juga dapat berkonsultasi, misalnya pada toko
pakaian.

Berdasarkan sumber ini, maka jenis pelayanan yang digunakan dalam mall dapat
disesuaikan menurut sistem penjualan, akan tetapi sistem yang paling tepat dari aktivitas mall
adalah self service (swalayan). Hal ini dikarenakan sistem ini memberikan keleluasaan
penuh kepada pelanggan untuk menentukan sendiri barang yang dikehendaki maupun untuk
aktivitas window shopping serta lebih efisien dalam penyediaan tenaga pelayan.
Faktor yang Memengaruhi Pengembangan Mall
Terdapat beberapa variabel yang menentukan tingkat kesuksesan sebuah pusat
perbelanjaan. Marlina (2008).menjelaskan bahwa kesuskesan tidak ditentukan oleh salah satu
dari faktor-faktor ini namun semuanya merupakan satu rangkaian yang saling mempengaruhi.
Berikut adalah faktor-faktornya :
a. Lokasi
Lokasi adalah faktor pertama dan kunci untuk pembangunan mall atau shopping center.
Lokasi yang baik harus dekat dengan wilayah populasi tangkapan yang terdiri dari
kawasan pemukiman, kawasan perkantoran atau industri, hotel, objek wisata, sarana
transportasi publik serta kelompok jenis usaha yang sesuai.
b. Visibilitas
Visibilitas, yang berarti posisi shopping mall harus dengan mudah dapat dilihat oleh siapa
saja. Idealnya, shopping mall harus tampak jelas dari arus lalu lintas kendaraan dan pejalan
kaki
c. Kemudahan Akses
Shopping center yang terakses dengan jalan raya utama akan mendapatkan manfaat yang
lebih tinggi karena volume arus lalu lintas yang berimplikasi positif pada
pengunjung.
d. Luas
Luas sebuah pusat perbelanjaan biasanya berpatokan pada luas kotor seluruh area lantai
(gross floor area). Luas kotor adalah jumlah total dari seluruh area lantai yang dibangun
di dalam bangunan.
e. Perencanaan dan Desain Ruang
Perencanaan tata ruang dan desain penting diperhatikan karena menyangkut
optimalisasi imbal hasil investasi serta memenuhi kebutuhan operasional penyewa.
f. Penyewa Utama
Penyewa utama merupakan ritel besar, punya nama besar dan menjadi magnet untuk
shopping mall ini. Kehadirannya bisa menjadi daya tarik untuk peritel kecil agar mau
menyewa ruangan di mall.
g. Keseimbangan Penyewa
Perlu diperhatikan keseimbangan penyewa dengan tujuan untuk menciptakan
kemudahan berbelanja, menciptakan efek sinergi dan menyediakan pengalaman berbelanja
yang beragam bagi pengunjung.
h. Citra, Pemasaran dan Manajemen
Strategi pembinaan citra sangat membantu diferensiasi pusat perbelanjaan dan
membedakan pusat perbelanjaan yang sukses dengan para pesaingnya.

i. Berorientasi Layanan Pelanggan


Dalam mall harus dipahami siapa pelanggannya, dari mana asal pelanggan, apa yang
diinginkan pelanggan dan yang menarik minatnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi harus
menjadi pertimbangan yang vital dalam pengembangan mall. Sementara dalam pemilihan
lokasi yang strategis biasanya memiliki kekurangan dalam hal luas lahan yang tersedia sehingga
dari lokasi dapat diperkirakan jenis mall yang akan terbangun.

Studi Perancangan Mall


Berikut dijelaskan mengenai aspek teknis tentang mall yang mengarah langsung pada
perancangan mall sebagai sebuah produk arsitektur yang berupa bangunan.

Elemen-elemen dalam Mall


Sebagai landasan dasar, perlu diketahui apa saja yang menjadi elemen dalam ruang mall.
Aji Bangun dan Harvey M. Rubenstein dalam Nurrachman (2011:10-12) menyebutkan bahwa
elemen-elemen yang terdapat dalam mall dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Atrium
Atrium merupakan ruang kosong (void) yang secara horisontal diapit oleh
lapisanlapisan lantai di lantai kedua atau lebih sisi-sisinya, dengan ketinggian dua lapis
lantai atau lebih yang mendapat terang alami siang hari dan menjadi pusat orientasi
bangunan.
b. Magnet primer
Magnet merupakan transformasi dari ‟node‟ kota, yang berfungsi sebagai titik
konsentrasi, dapat juga sebagai landmark. Perwujudannya dapat berupa crowd atau
plaza. Penempatan magnet primer atau anchor mall terletak pada setiap pengakhiran
koridor sedangkan pada plaza ditekankan di lantai atas dan basement dalam hubungan
vertikal. Magnet mall dalam istilah lain juga disebut generator.
c. Magnet Sekunder
Toko merupakan salah satu bagian terpenting dari Mall yang dapat dianggap sebagai
‟distrik‟ pada pusat perbelanjaan. Penempatan toko erat kaitannya dengan magnet
primer (crowd dan ruang publik terbuka) sebagai daya tarik utama dalam pusat
perbelanjaan tersebut.
d. Koridor
Merupakan ruang yang digunakan untuk berjalan kaki. Koridor terbagi menjadi dua
macam, antara lain :
1) Koridor Utama yang merupakan orientasi dari toko-toko yang ada di sepanjang toko-
toko tersebut dengan lebar sekitar 15 meter untuk koridor outdoor.
2) Koridor Tambahan (Sekunder) yang merupakan koridor yang terletak pada
sepanjang koridor utama dengan lebar minimal untuk koridor sekunder adalah 6
meter untuk koridor outdoor.
e. Street Furniture
Merupakan elemen desain yang melengkapi keberadaan suatu jalan, yang berintegrasi
dengan pohon, antara lain berupa lampu jalan, patung, desain grafik, kolam, tempat
duduk, pot taman, tempat sampah dan lain-lain.

Lokasi Mall
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lokasi merupakan kunci sukses suatu
pusat perbelanjaan termasuk mall sehingga dengan demikian pemilihan lokasi harus
benar- benar diperhatikan.
a. Pemilihan Lokasi
Marlina (2008:204) menyatakan bahwa pilihan tujuan berbelanja akan tergantung
pada nilai keuntungan yang didapat konsumen bila berbelanja ke tempat yang
ditujunya. Pada sumber yang sama juga dijelaskan teori tentang berbelanja tersebut.
Berikut rangkuman dari teori tersebut :
1) Spatial Interaction Theory (Teori Interaksi Ruang)
Jarak pengunjung ke lokasi mall merupakan faktor penghambat sementara daya
tarik mall merupakan faktor pendorong sehingga dapat dianalisa ketentuan antara
jarak dan daya tarik.
2) Behaviour Theory (Teori Perilaku Individu)
Keputusan konsumen dalam memilih dipengaruhi oleh keadaan konsumen
tersebut terhadap fasilitas yang ada. Setiap konsumen memiliki karakter yang
berbeda sehingga perlu dianalisa karakter-karakter konsumen yang akan berkunjung.
Berdasarkan sumber ini, maka dapat dikatakan bahwa semakin jauh jarak mall
dengan pusat keramaian maka semakin banyak pula hal/fasilitas menarik yang harus
disediakan untuk menarik pengunjung atau dengan menyediakan potongan harga
yang cukup menjanjikan. Namun bukan berarti karena jaraknya dekat menjadikan
mall minim fasilitas dan fitur menarik lainnya.
b. Pemilihan Tapak
Marlina (2008:208) menjelaskan pertimbangan pemiilihan tapak untuk sebuah pusat
perbelanjaan dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
1. Tapak yang dipilih memungkinkan untuk dibangun dan terletak di dalam kawasan
perdagangan yang direkomendasikan dalam analisis pasar.
2. Tapak yang dipilih mempunyai ukuran yang cukup luas dan bentuk yang sesuai
untuk rancangan area perdagangan dengan segala kelengkapannya, termasuk ruang
parkir yang cukup.
3. Aturan-aturan pemanfaatan ruang pada lahan yang dipilih tidak menghambat
pembangunan yang akan dilakukan.
4. Lokasi tapak mudah dicapai, terutama dari fasilitas umum seperti bandara dan
stasiun.
5. Harga tanah harus disesuaikan dengan jumlah modal dan uang sewa yang mungkin
diperoleh.
6. Ketersediaan jaringan utilitas yang memadai sesuai jenis pusat perbelanjaan yang
direncanakan.
7. Kondisi geologi dan hidrologi tanah untuk analisis jenis pondasi yang digunakan.

Berdasarkan sumber ini maka dapat disimpulkan bahwa persyaratan lokasi yang
terbaik adalah kedekatan dengan pemukiman yang juga berimbas pada akses.

Aspek Arsitektural
Berikut ini akan dijelaskan kriteria-kriteria perancangan mall berdasarkan aspek
arsitekturalnya yang terdiri dari bentuk, pola penataan dimensi dan komposisi ruang
penjualannya.

a. Bentuk Mall
Menurut Maithland dalam Yempormase (2013:11) dijelaskan bahwa terdapat tiga (3) bentuk
umum mall dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing, berikut merupakan
rangkuman dari sumber tersebut :
1) Open Mall (mall terbuka), adalah mall tanpa pelingkup. Keuntunganya adalah kesan luas
dan perencanaan teknis yang mudah sehingga biaya lebih murah. Kerugianya berupa kendala
iklim dan cuaca (climatic control) (berpengaruh terhadap kenyamanan) dan kesan
pewadahan kurang.
2) Enclosed Mall (mall tertutup), adalah mall dengan pelingkup. Keuntunganya berupa
kenyamanan (climatic control). Kerugiannya adalah biaya mahal dan kesan ruang kurang
jelas.
3) Integrated Mall (mall terpadu), adalah penggabungan mall terbuka dan tertutup. Biasany
berupa mall tertutup dengan akhiran mall terbuka. Hal ini juga merupakan salah satu solusi
climatic control.

Berdasarkan keterangan sumber ini maka bentuk yang paling menjawab solusi ruang mall
adalah semi open mall, karena dapat memberikan pilihan ruang yang lebih dinamis antara ruang
dalam dan ruang luar, namun akan memerlukan luasan tapak yang lebih besar daripada closed
mall.

b. Pola Sirkulasi Shopping Mall


Maithland dalam Yempormase (2012:21) menyebutkan bahwa pada dasarnya pola mall
berpola linier. Tatanan mall yang sering dijumpai adalah mall berkoridor tunggal dengan lebar
koridor standar antara 8-16 m. Untuk memudahkan akses pengunjung, pintu masuk sebaiknya
dapat dicapai dari segala arah.
Berikut merupakan sistem atau pola sirkulasi pada sebuah mall. Sistem mall menggunakan
pedestrian yang disisinya berderet retail tempat berjualan barang (lihat gambar
2.1).

Gambar 2.1 Sistem mall


Sumber: Yempormase (2012)

Sehingga dengan demikian, pola mall memiliki visual ruang yang lebih baik dan
menghindari kesan padat barang yang sering membosankan konsumen. Sementara dalam
hubungannya dengan generator mall, Darlow (1972) menyebutkan beberapa pola yang
digunakan untuk menata mall sebagai berikut (lihat Gambar 2.2):

Gambar 2.2 Pola Peletakan Generator Mall


Sumber : Darlow (1972 :16)

“M” berarti magnet atau generator mall yang menurut sumber ini dapat berupa anchor
tenant dari berbagai brand yang terkenal. Hal tersebut dikarenakan brand yang terkenal dapat
menarik minat pengunjung dan seringkali menjadi pusat perhatian dibanding dengan retail yang
lain sehingga brand tersebut diberikan ruang lebih sebagai anchor tenant.

c. Dimensi Mall
Diterjemahkan dari Beddington (1982:16) dijelaskan hal yang perlu diperhatikan bahwa mall
jangan terlalu panjang karena dapat melelahkan pengunjung.panjang ideal sebuah pedestrian
mall berkisar antara 200-250 meter, setelah itu harus ada suatu ruang untuk istirahat dan pause
point dan suatu fokal poin yang menarik agar pengunjung tidak
kehilangan seleranya.

d. Penataan Retail
Masih mengacu pada sumber di atas jika penataan sirkulasi mal hanya memiiki satu koridor,
diharapkan semua retail dapat dilewati pengunjung sehingga semua retail memiliki nilai nilai
komersial yang sama. Berdasarkan Pickard (2002:335) dijelaskan kompleksitas kegiatan yang
terjadi pada suatu retail sebagai berikut (lihat Gambar 2.3):
Gambar 2.3 Pola aktivitas dalam sebuah retail
Sumber : Pickard (2002:335)

Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa display area atau ruang pajang
merupakan fokal poin yang menjadi daya tarik terhadap konsumen dan dituntut juga akses
untuk barang dan pengelolaan yang tidak mengganggu aktivitas utama. Sementara untuk detail
shop front atau fasad depan toko menurut Beddington (1982:25) ada beberapa tipe (lihat gambar
2.4).

Gambar 2.4 Contoh bentuk shop front


Sumber : Beddington (1982:47)
e. Komposisi Ruang Penjualan
McKeveer (1948) menjelaskan bahwa pada umumnya sebuah pertokoan/perbelanjaan
dapat dibagi menjadi dua area berdasarkan pemakaiannya yang terdiri dari :
1. Ruang non penjualan (non selling area), meliputi : ruang-ruang yang berhubungan dengan
pelayanan konsumen (customer service), proses memasukkan dan menukarkan barang
dagangan dan aktivitas pengelola dan karyawan.
2. Ruang pajang barang dagangan (display), tempat terjadinya interaksi antara konsumen
dengan penjual. Ruang ini juga disebut selling area.
Sementara untuk orientasi ruang-ruang dalam mall, berdasarkan kepuasan pelanggan dan
produktivitas karyawan, ada empat pendekatan umum menempatkan ruang-ruang penjualan :
1. Sandwich Approach, keterbatasan sistem ini adalah tidak efisiennya bagi pelanggan dan
karyawan ke lantai tertentu dalam hubungannya untuk melakukan kegiatan non selling area.
2. Core Approach, dengan menempatkan non selling area ke pusat core,
arus
kedatangan barang bercampur dengan kegiatan penunjang dalam selling area.
3. Peripheral Approach, pada metode ini telah dilakukan penanganan barang-barang
dagangan tanpa mengganggu kegiatan penunjang. Area non selling diletakkan
mengelilingi area penjualan.
4. Annex Approach, pada metode ini semua kegiatan non-penjualan dikelompokkan menjadi
satu dan diletakkan terpisah dengan daerah penjualan.
Sementara Jean Lambert (2010:3) menjelaskan ada beberapa tipe tenant sesuai
ukurannya (lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1 Tipe Tenant sesuai ukurannya


No. Jenis Tenant Ukuran Minimal (m2) Ukuran Maksimal (m2)
1 Anchor Tenant 2.336 -
2 Mini-Anchor Tenant 935 2.335
3 Large Speciality Tenant 374 934
4 Speciality Tenant - 373
Sumber : Diterjemahkan dari Jean Lambert (2010:3)

f. Sistem Sirkulasi Mall


Sementara Beddington (1982:32) menjelaskan beberapa pola sirkulasi untuk loading dan
unloading dock seperti gambar berikut :
1. Sistem servis satu lajur
Sistem servis satu lajur memanfaatkan satu lajur (kiri/kanan) untuk digunakan sebagai
loading dan unloading barang (lihat gambar 2.5).

Gambar 2.5 One Way Service Road


Sumber: Beddington (1982:32)

2. Sistem servis dua lajur


Sistem servis dua lajur memanfaatkan 2 sisi lajur untuk loading dan unloading (lihat
gambar 2.6).
Gambar 2.6 One Way Service Road to shops
Sumber: Beddington (1982:32)

3. Sistem T
Sistem T merupakan alternatif di tempat sempit dan untuk kelancaran sirkulasi sehingga
truk barang tidak memerlukan ruang untuk putar balik lagi (lihat gambar
2.7)
Gambar 2.7 Sistem T
Sumber: Beddington (1982:32)

4. Pola Loading Deck


Dalam loading dan unloading barang seringkali truk harus parkir dan menunggu
giliran, berikut pola yang dijelaskan dalam Beddington (1982:32) (lihat gambar
2.8).

Gambar 2.8: Pola Loading Deck


Sumber : Beddington (1982:32)

Aspek Struktural

Berikut ini akan dijelaskan kriteria perancangan mall berdasarkan aspek struktural yang
juga meliputi konstruksi dalam pembangunan mall. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 Tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Gedung,
dijelaskan bahwa mall termasuk bangunan klas 6 dan ada beberapa persyaratan mengenai
struktur bangunan komersial sebagai berikut :
a. Jarak struktur utama dari tapak sekurang-kurangnya 10 m ke dalam tapak
b. Bangunan dengan bentuk dasar T, L dan U hendaknya menggunakan dilatasi pada 25 m
untuk mencegah kerusakan akibat gempa
c. Saat terjadi gempa, struktur bangunan harus dapat bertahan dalam waktu yang cukup bagi
pengguna untuk melarikan diri

Sementara Kevin Ducharme dan Matthew Paladino (2012:99) menyimpulkan bahwa untuk
bangunan komersial, struktur yang paling direkomendasikan adalah struktur beton bertulang
dengan atap kubah lingkaran. Hal ini didasari dari segi ekonomi yang relatif murah dan efisien
serta efektif untuk menunjang fungsi bangunan.
Dalam sumber juga dijelaskan ada tiga bagian struktur yang digunakan dalam bangunan
komersial yaitu :
a. Sub Structure berupa pondasi
b. Supper Structure berupa kolom
c. Upper Structure berupa struktur penutup atap
Joseph De Chiara dan John Callender (1983:1297) dalam buku Time Saver Standard
menjelaskan beberapa kriteria desain yang menyangkut struktur diantaranya :
a. Jarak kolom dalam modul sebaiknya 6 m; 7,5 m; atau 9 m

b. Tinggi plafon berkisar antara 3 – 4 m untuk pandangan yang baik


c. Terdapat pilihan antara single level dan multi level, mall dengan multi level memiliki
void untuk pandangan secara vertikal.

Aspek Utilitas
Berikut ini akan dijelaskan kriteria-kriteria perancangan mall berdasarkan aspek
utilitasnya.
a. Sistem Pencahayaan
Sistem pencahayaan yang digunakan dalam mall terbagi menjadi 2 yaitu pencahayaan alami
dan buatan. Untuk pencahayaan alami yang terbaik adalah cahaya langit (bukan sinar
langsung) namun intensitasnya tidak bisa ditebak karena tergantung kondisi alam. Menurut
Tangoro (2009) pencahayaan alami dalam pusat perbelanjaan (mall) mengikuti
kriteria sebagai berikut :

1) Pencahayaan alami pada pusat perbelanjaan sebaiknya diterapkan terutama pada pagi
hingga sore hari untuk menekan biaya konsumsi energi lampu.
2) Pencahayaan alami yang paling sering digunakan dalam pusat perbelanjaan
adalahpencahayaan alami pada atrium (void) dengan menggunakan skylight sehingga
juga memberi kesan luas dengan pencayhayaan yang optimal di siang hari.
3) Massa memanjang Timur-Barat lebih efektif untuk memasukkan cahaya alami,
sementara massa berbentuk lingkaran digunakan untuk memasukan cahaya secara lebih
merata.
4) Adaptasi bentuk bangunan terhadap pencahayaan alami seperti bentuk yang ramping,
void, fasad yang miring, fasad yang ditonjolkan atau bentuk segitiga yang memungkinkan
cahaya masuk dari kedua sisi bangunan.
Sementara untuk pencahayaan buatan menggunakan lampu. Lampu dipilih sesuai
kegiatan. Masing-masing kegiatan memiliki kebutuhan cahaya yang berbeda seperti berikut
(lihat tabel 2.2):

Jenis Pencahayaan Tingkat Contoh-contoh Area Kegiatan

Penerangan

Pencahayaan Umum 20 Layanan penerangan yang minimum dalam area sirkulasi


untuk luar ruangan, pertokoan di daerah terbuka, halaman tempat

ruangan dan area yang 50 p e n y im p a n a n


T e m p at p e j alan kaki & panggung
jarang digunakan dan/atau
tugas-tugas atau visual 70 Ruang Boiler
sederhana 100 Halaman Trafo, ruang tungku, dll.
150 area sirkulasi di industri, pertokoan dan ruang

Pencahayaan umum untuk 200 Layanan penerangan yang minimum dalam tugas

interior 300 Meja & mesin kerja ukuran sedang, proses umum dalam
industri kimia dan makanan, kegiatan membaca dan

450 m e m b u at ar sip
Ga n tu n g an b aju, pemeriksaan, kantor untuk
menggambar, perakitan mesin dan bagian yang halus,
pekerjaan warna,
1500 Pekerjaan mesin dan di atas meja yang sangat halus,

perakitan mesin presisi kecil dan instrumen; komponen


elektronik, pengukuran dan pemeriksaan bagian kecil yang
rumit (sebagian mungkin diberikan oleh tugas
pencahayaan
Tabel 2.2: Kebutuhan Pencahayaan Untuk Berbagai kegiatan
Sumber: UNEP(2015) dalam Parsika: 2016: 26

Berdasarkan data tabel di atas dapat diketahui bahwa pencahayaan di pertokoan


membutuhkan intensitas sedang, namun untuk retail tertentu seperti bookstore dan barang
kesenian memerlukan pencahayaan yang lebih terang.
b. Sistem Penghawaan
Tangoro (2009) menjelaskan bahwa sistem penghawaan pada Mall (Pusat
Perbelanjaan) dapat digolongkan menjadi dua yaitu alami dan buatan, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Sistem Penghawaan Alami
Sistem penghawaan alami adalah suatu sistem penghawaan yang memanfaatkan hembusan
angin dan iklim sekitar untuk penghawaannya atau tanpa bantuan alat.
2) Sistem Penghawaan Buatan
Penghawaan pada suatu Mall (Pusat Perbelanjaan) dapat diatur oleh Air Conditioner atau
biasa disebut dengan AC. Suhu yang biasanya digunakan 18-20 derajat celcius. Penggunaan
AC biasanya digunakan pada Mall dan Plaza yang biasanya cenderung terdiri dari bangunan
tunggal.

Spesifikasi Umum Shopping Mall


Spesifikasi umum merupakan hasil sintesis dan kesimpulan terhadap studi literatur dan
studi banding dalam perencanaan Shopping mall.
Pengertian Shopping Mall
Berikut merupakan Pemahaman terhadap pengertian dari judul proyek yaitu Shopping
Mall. Shopping Mall terdiri dari kata shopping dimana memiliki arti berbelanja. Berbelanja
menurut kamus besar bahasa Indonesia merupakan aktivitas membeli barang di toko, pasar,
kedai, dan sebagainya untuk memenuhi suatu kebutuhan. Berbelanja merupakan salah satu
bagian dari kebutuhan manusia. Bahkan berbelanja menjadi bagian yang tak bisa terlepas dari
kehidupan manusia dan telah menjadi salah satu kebiasaan hidup (lifestyle) tersendiri bagi
manusia saat ini.

Mall berarti sebagai suatu ruang rekreasi yang menghubungkan dua pusat keramaian atau
lebih dengan definisi yang berkembang ke arah pusat perbelanjaan yang terbentuk oleh deretan
pertokoan yang berorientasi ke arah sirkulasi dengan sistem mall.
Jadi Shopping mall merupakan suatu pusat perbelanjaan yang dibuat sebagai sarana
rekreasi dan wisata selain pemenuhan kebutuhan konsumsi dari manusia.
Jenis dan Klasifikasi Shopping Mall sebagai pusat perbelanjaan
Berikut merupakan Jenis dan Klasifikasi Shopping Mall berdasarkan studi literatur.
a. Berdasarkan Jenis Barang yang Dijual
Shopping Mall termasuk jenis perbelanjaan Semi Demand (setengah permintaan),
yaitu yang menjual barang-barang untuk kebutuhan tertentu dalam kehidupan sehari-
hari. Adapun barang-barangnya meliputi pakaian, makanan dan minuman, elektronik,
buku, mainan dan sarana hiburan. (Marlina, 2008:210)
b. Berdasarkan Ruang Lingkup Pelayanan
Shopping Mall termasuk dalam pusat perbelanjaan kelas distrik yang mempunyai
jangkauan pelayanan 40.000 sampai 150.000 penduduk (skala wilayah), dengan luas
bangunan berkisar antara 10.000-30.000 m2. Unit-unit penjualannya terdiri atas junior
departement store, supermarket, dan toko-toko. (Gibbert, 1959:127)
c. Berdasarkan Sistem Transaksi
Shopping Mall Menjual barang dalam partai kecil atau per satuan barang. Shopping
Mall lebih banyak menarik pembeli karena tingkat variasi barangnya yang tinggi. Area
display barang dagangan memerlukan ruang dengan dimensi yang relatif besar untuk
mewadahi variasi dagangan yang tinggi. Sebaliknya, gudang hanya memerlukan area
dengan dimensi yang lebih kecil. Area loading barang bukan merupakan area vital pada
mall. (Marlina, 2008:217)
d. Berdasarkan Lokasi
Jika dilihat dari lokasi maka shopping mall termasuk dalam kategori shopping precint
yang merupakan kompleks pertokoan terbuka yang menghadap pada suatu ruang terbuka
yang bebas. Ruang tersebut bisa berdasarkan lokasi tapak yang memiliki keunggulan view
atau dengan membuat ruang terbuka hijau di dalam bangunan.
(McKeveer, 1977:38).

Tujuan
Tujuan utama dari Shopping Mall adalah untuk menampung, menyediakan dan mewadahi
dari kebutuhan orang-orang sekitar dan wisatawan untuk mendapatkan berbagai jenis produk
di satu wadah. Kebutuhan tersebut baik dalam rekreasi, dan kebutuhan pokok seperti makanan,
minuman, pakaian, dan lain sebagainya dengan menggabungkan antara produk yang bersifat
lokal dengan modern. Selain itu meningkatkan pendapatan pemerintah setempat dengan adanya
Shopping Mall ini dikarenakan pajak dari lokasi perdagangan.

Fungsi
Adanya Shopping Mall ini tidak hanya untuk memenuhi satu aktivitas, terdapat beberapa
aktivitas yang dipenuhi dan juga diklasifikasikan ke dalam fungsi utama, fungsi penunjang, dan
fungsi pelengkap. Berikut penjabaran dari fungsi-fungsi tersebut yang dibagi menjadi fungsi
utama, penunjang, dan pelengkap:
a. Fungsi Utama
Sesuai dengan judul proyek, fungsi utama dari Shopping Mall ini adalah sebagai
wadah untuk memenuhi aktivitas belanja bagi para pengunjung.
b. Fungsi Penunjang
Selain sebagai sarana aktivitas belanja,aktivitas yang dipenuhi berupa pemenuhan
kebutuhan untuk rekreasi dan hiburan bagi pengunjung.
c. Fungsi Pelengkap
Adanya Shopping Mall ini juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan terhadap
sarana pameran/eksebisi dan acara pertunjukkan di dalam mall.
Fasilitas dalam Shopping Mall
Berdasarkan fungsi-fungsi yang akan dipenuhi, berikut merupakan spesifikasi terhadap
fasilitas-fasilitas yang dapat disimpulkan di dalam Shopping Mall berdasarkan McKeveer
(1977) dan studi obyek sejenis:
a. Fasilitas Utama
Sebagai pemenuhan aktivitas perbelanjaan, maka fasilitas paling utama yang tersedia
adalah retail / tenant yang nantinya akan disewa oleh berbagai jenis produk dengan
berbagai merek. Selain itu juga terdapat fasilitas plaza sebagai pengikat antara retail-
retail yang tersedia dan bisa dimanfaatkan sebagai ruang terbuka pada mall.
b. Fasilitas Penunjang
Tersedia fasilitas yang rekreatif sebagai sarana hiburan di dalam mall. Fasilitas yang
tersedia berupa fasilitas yang juga bisa sebagai generator untuk menarik pengunjung
ke dalam mall seperti: food court, game zone, dan bioskop.
c. Fasilitas Pelengkap
Fasilitas pelengkap merupakan fasilitas yang berfungsi hanya pada waktu dan saat
tertentu dalam satu tahun, tidak terus menerus berfungsi pada mall. Fasilitas tersebut
adalah arena eksebisi dan panggung.
d. Fasilitas Servis
Adanya fasilitas servis akan sangat menunjang seluruh aktivitas yang ada pada mall.
Fasilitas untuk fasilitas servis adalah toilet, kantor pengelola, parkir, dan ruang-ruang
utilitas.

Prinsip Desain
Berikut dijelaskan mengenai prinsip umum yang dijadikan pedoman dalam merancang
sebuah mall yang menyangkut prinsip umum, pengelolaan, dan unsur lokasi :
a. Prinsip Umum Desain Shopping Mall
Besaran dalam proyek ini mencakup kepada bangunan yang terintegrasi, dengan fokus
pada ruang rekreasi terbuka ke pusat perbelanjaan serta penambahan beberapa fasilitas
penunjang mall. Pada desain juga memperhatikan nilai-nilai arsitektur lokal ke dalam
bangunan. Mempergunakan material yang ramah lingkungan namun tetap dengan harga
yang mudah dijangkau. Penggunaan kanopi di berbagai tempat seperti drop off, parkir,
dan plaza sebagai peneduh serta pemanfaatan lansekap sehingga menghasilkan suasana
yang membuat civitas merasa nyaman dan bertahan lebih lama di dalam mall (McKeveer,
1977:108-113).
b. Prinsip Pengelolaan Proyek
Prinsip umum pengelolaan untuk mall lebih cenderung dengan sistem murni dikelola
oleh pihak swasta dengan memperhatikan pada peraturan dan perizinan pemerintah
khususnya berkaitan dengan bangunan komersial. Terdapat beberapa hal penting yang
harus dikelola dalam perencanaan shopping mall yaitu Bidang Administrasi, Promosi,
Operasional, Pemeliharaan (Marlina, 2008: 212).
c. Persyaratan Lokasi
Berdasarkan studi literatur dan studi banding, disimpulkan kriteria lokasi secara umum
sebagai berikut :
1) Lokasi dekat dengan pemukiman atau objek wisata yang ramai dikunjungi.
2) Memiliki akses jalan yang cukup lebar (sekitar 8 meter atau lebih).
3) Lokasi tapak terlihat dari jalan dan mudah dijangkau.
4) Tersedia utilitas yang memadai dan berfungsi baik.
5) Topografi tapak dengan kemiringan kurang dari 5%.
6) Bentuk tapak yang regular sehingga mudah menempatkan massa bangunan.
7) Lokasi tapak dikelilingi oleh akses-akses penting.

Anda mungkin juga menyukai