Anda di halaman 1dari 11

RANGKUMAN FILSAFAT ILMU

(Jujun S. Suriasumantri) : Sarana Berpikir Ilmiah


Sub Bab MATEMATIKA

Disusun Oleh:
1. Dian Arubi Arum (18010024059)
2. Hamida Nurul Azizah (18010024060)
3. Sylvia Sukma Permatasari (18010024071)
4. M. Ilham Maulana (18010024073)
5. Regita Dwi Cahyani (18010024077)
6. Galuh Anggraini (18010024083)
7. Yusril Bagus Ananta P. (18010024088)
8. Alfina Amaranti (18010024089)

KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2019
Matematika

1. Matematika sebagai bahasa


Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan
yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru
mempunyai arti setelah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanyalah
kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seseorang
yang baru belajar matematika.
Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artificial dan individual yang
merupakan perjanjian yang berlaku. Sebuah objek yang sedang kita telaah dapat
dilambangkan dengan apa saja sesuai perjanjian. Misalnya sedang mempelajari kecepatan
jalan kaki seseorang, maka objek kecepatan jalan kaki seseorang tersebut dapat kita
lambangkan dengan x. dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni kecepatan jalan
seseorang. Disamping itu lambang x tidak bersifat majemuk karena hanya melambangkan
kecepatan jalan seseorang dan tidak mempunyai arti yang lain. Demikian juga jika
dihubungkan dengan objek lain misalnya jarak yang ditempuh orang tersebut yang
dilambangkan dengan y, maka dapat dilambangakan hubungan dari kedua objek tersebut
misalnya z = y/x dimana z melambangkan waktu yang diperlukan seseorang tersebut untuk
menempuh jarak dengan kecepatan jalan kaki. Pernyataan z = y/x jelas tidak mempunyai
konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y dan
z, sehingga dari sini dapat dikatakan bahwa pernyataan matematik mempunyai sifat yang
jelas, spesifik dan informative dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.

2. Sifat kuantitatif dari matematika

Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal .


Matematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan
pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal jika kita membandingkan dua objek
yang berlainan misalnya gajah dan semut, maka kita dapat mengatakan galah lebih besar dari
pada semut. Jika ingin menelusuri lebih lanjut seberapa besar gajah dibandingkan dengan
semut maka akan mengalami kesulitan dalam menemukan hubungan tersebut dengan bahasa
verbal. Kemudian jika secara eksak ingin mengetahui berapa besar gajah bila dibandingkan
dengan semut maka akan berbeda dengan bahasa verbal. Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan yang
diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal hanya bersifat kualitatif. Misalnya kita dapat
mengetahui logam yang dipanaskan akan memuai jika dipanaskan. Namun secara verbal
pengertian itu hanya sampai disitu. Kita tidak dapat mengatakan dengan tepat berapa
pertambahan panjangnya. Hal ini mnyebankan penjelasan yang diberikan bahasa verbal tidak
bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk
mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran
kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam semula dan berapa
pertambahan panjangnya setelah memuai jika logam tersebut dipanaskan. Dengan
mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah berupa pernyataan kualitatif seperti logam akan
memuai jika dipanaskan dapat diganti dengan pernyataan matematik yang lebih eksak
misalnya Pt = P0(1+λt), dimana Pt panjang logam pada temperatur t, P0 merupakan panjang
logam pada temperatur nol dan λ merupakan koefisien pemuaian logam tersebut.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya presiktif dan kontrol dari
ilmu. Ilmu yang memberikan jawaban yang lebih eksak memungkinkan pemecahan masalah
yang secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif ke tahap kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu
hal yang imperative jika menginginkan prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat.

3. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif

Matematika merupakan ilmu deduktif , hal ini dikarenakan penyelesaian masalah-


masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat dalam
ilmu-ilmu empiris melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-penjabaran.
Misalnya kita tahu bahwa jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan
ini mungkin saja kita tahu dengan jalan mengukur sudut dalam seuatu segitiga kemudian
menjumlahkannya. Dipihak lain pengetahuan bisa didapatkan secara deduktif dengan
menggunakan matematika. Seperti diketahui bahwa berpikir deduktif adalah proses
pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah
ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut kita dapat mendasarkan
pada premis bahwa jumlah sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis
ketiga adalah sama. Premis kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk suatu garis lurus
adalah 180 derajad. Kedua premis ini kemudian kitaterapkan dalam berpikir deduktif untuk
menghitung jumlah sudut dalam sebuah segitiga.
Jadi dengan contoh seperti di atas secara deduktif matematika menemukan
pengetahuan yang baru didasarkan pada premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan
ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang
telah ditentukan sebelumnya. Namun pengetahuan yang didapat secara deduktif ini sangat
berguna. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan
pengetahuan-pengetahuan lain yang dapat mengembangakn ilmu pengetahuan.

4. Intuisi Sebagai Dasar Matematika

Menurut Immanuel Kant pemahaman maupun konstruksi matematika diperoleh dengan


cara terlebih dulu menemukan intuisi murni pada akal atau pikiran kita. Matematika yang
bersifat sintetik a priori dapat dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu intuisi penginderaan,
intuisi akal, dan intuisi budi. Intuisi penginderaan terkait dengan obyek matematika yang
dapat dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal mensintetiskan hasil intuisi penginderan
ke dalam intuisi ruang dan waktu. Dengan intuisi budi rasio kita dihadapkan pada putusan-
putusan argumentasi matematika.
Menurut Kant matematika merupakan suatu penalaran yang berifat mengkonstruksi
konsep-konsep secara synthetic a priori dalam konsep ruang dan waktu. Intuisi keruangan
dan waktu secara umum yang pada akhirnya dianggap mendasari matematika, Oleh karena
itu, Kant berpendapat bahwa matematika dibangun di atas intuisi murni yaitu intuisi ruang
dan waktu dimana konsep-konsep matematika dapat dikonstruksi secara sintetis. Intuisi
murni tersebut merupakan landasan dari semua penalaran dan keputusan matematika. Jika
tidak berlandaskan intuisi murni maka penalaran tersebut tidaklah mungkin. Menurut Kant
matematika sebagai ilmu adalah mungkin jika kita mampu menemukan intuisi murni sebagai
landasannya; dan matematika yang telah dikonstruksinya bersifat sintetik a priori.
Menurut Kant, intuisi, dengan macam dan jenisnya yang telah disebutkan di atas,
memegang peranan yang sangat penting untuk mengkonstruksi matematika sekaligus
menyelidiki dan menjelaskan bagaimana matematika dipahami dalam bentuk geometri atau
arithmetika. Pemahaman matematika secara transenden melalui intuisi murni dalam ruang
dan waktu inilah yang menyebabkan matematika adalah mungkin sebagai ilmu.

5. Perkembangan matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap
sistematika, komparatif, dan kuantitatif . Pada tahap sistematika maka ilmu mulai
menggolong-golongkan objek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengosongan ini
memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota
yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan
bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua ini kita mulai melakukan
perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori yang satu dengan
kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan pada
perbandingan antara di berbagai objek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap
kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan
melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang sedang kita selidiki. Bahasa
verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun pada tahap yang
ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan
saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam
dimensi-dimensi pengukuran.
Disamping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat pikir . ilmu
merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan
menurut suatu pola pikir tertentu. Matematika menurut Widgestein, tak lain adalah metode
berpikir logis. berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin
lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif
inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertrand
Russell “ matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil
matematika.”
Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara
konsisten berdasarkan logika deduktif. Betrand Russel dan whitead dalam karyanya yang
berjudul Principia Matematica mencoba membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada
dasarnya adalah pernyataan logika . Meskipun tidak seluruhnya berhasil Pierre de Fermat
(1601-1665)mewariskan teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma) yang
menentang pemikir-pemikir matematika dan belum terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xn +
yn = zn dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila
n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi persyaratan ini
seperti 31 + 41 = 71 dan 32 + 42 = 52. Fermat sendiri tidak menyertakan pembuktian rumus
tersebut yang sampai sekarang tetap tantangan bagi logika deduktif meskipun secara mudah
dapat didemonstrasikan kebenarannya.
Tidak semua filsuf setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan
yang bersifat deduktif. Immanuel Kant ( l724-1804) berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan sintetik a priori di mana eksistensi matematika tergantung kepada
dunia pengetahuan kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa
matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak
tergantung kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu
eksperimen, kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan
produk pikiran (tentang obyek yang faktual). Selanjutnya Wittgenstein membuktikan bahwa
2 x 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif. Memang, menurut akal sehat sehari-hari,
kebenaran matematika tidak ditentukan oleh perbukitan secara empiris, melainkan kepada
proses penalaran deduktif. Jika seseorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi hari,
kemudian dia memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka pada malam dia akan
mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi empat ekor. Sekiranya pada malam hari dia
melakukan “verifikasi” dan jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia menyimpulkan ada sesuatu
yang salah secara empiris dibandingkan dengan penalaran rasionalnya, sebab apa pun yang
terjadi jumlahnya harus empat ekor. Kecuali tentu saja bebeknya ada yang lari lewat kolong
rumah; ada pencuri yang datang selagi dia tidur; atau ada bebek yang bersembunyi demikian
juga jika bebek-bebek itu beberapa bulan kemudian tidak lagi empat melainkan lima maka
masalah itu bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu berternak bebek dan
sebangainya.
Disamping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga
merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang
membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling kepada
matematika. Dan rnempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan
untuk membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan matematik, Dalam
perkembangannya maka kedua aspek estetik dan pragmatis dari matematika ini silih berganti
mendapatkan perhatian terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan .
Griffits dan Howson (l974) membagi sejarah perkembangan matematika. menjadi
empat tahap, Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada
peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu
matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha
mengontrol alam seperti banjir. Para Pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang
matematika yang sangat dihargai dalam masyarakat yang mengaitkan aspek praktis dari
matematika dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan praktis ini maka
aspek estetik juga dikembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual dalam
kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Walaupun demikian dalam kebudayaan Mesir Kuno ini
maka aspek praktis dari matematika inilah merupakan tujuan utama, Hal yang sama juga
berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia yang turut mengembangkan
kegunaan praktis dari matematika.
Matematika mendapat momentum baru dalam peradaban Yunani yang sangat
memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani ini
yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan
beberapa langkah dan definisi tertentu. Euclid pada 300 SM mengumpulkan semua
pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Elements dengan penyajian secara sistematis dari
berbagai ponsulat, definisi dan teorema. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang
kaya mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan yang kasar termasuk hal-hal
yang praktis termasuk melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum cendekiawan
dapat memusatkan perhatiannya pada aspek estetik dari matematika yang merupakan simbol.
Babak perkembangan matematika selanjutnya terjadi di Timur di mana pada sekitar
tahun 1000 bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka
mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan
praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. Waktu perdagangan antara Bangsa Timur dan
Bangsa Barat berkembang pada Abad Pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah
dipergunakan dalam transaksi pertukaran. Gagasan-gagasan orang Yunani dan penemuan
ilmu hitung dan aljabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance yang meletakkan dasar
bagi, kemajuan matematika modern selanjutnya. Ditemukanlah di antaranya kalkulus
differential yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke – 17 dan revolusi
industri abad ke – 18.
Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam
hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai
ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk
tertinggi dari logika, sedangkan di lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan
bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-
pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi
secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan bahasa
verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata-kata yang
dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah
interprestasi, maka dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana
sekali. Matematika sebagai bahasa mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline,
bersifat ekonomis dengan kata-kata.
Sebagaimana sarana ilmiah maka matematika itu sendiri tidak mengandung
kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris. Matematika
merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran
ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Kriteria kebenaran dari matematika adalah
konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu
maka matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan bersifat jamak.
Misalnya dengan mengubah salah satu ponsulatnya maka dapat dikembangkan sistem
matematika yang baru bila dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Semula memang
dianggap bahwa hanya terdapat Satu sistem matematika dimana perubahan-perubahan dari
postulat-postulatnya akan mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Namun hal ini ternyata
tidak benar sebagaimana terjadi dengan ilmu ukur Euclid, Perubahan salah satu postulat
Euclid tersebut yang semula berbunyi “Dari satu titik di luar sebuah garis hanya dapat
ditarik satu garis sejajar dengan garis tersebut yang jumlahnya tak terhingga”. Ternyata
tidak menimbulkan inkonsistensi malahan menimbulkan sistem matematika baru yang sama
sekali berbeda dengan ilmu ukur Euclid. Sistem matematika yang Baru ini dikenal sebagai
ilmu Ukur Non-Euclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1777 -1855) pada tahun 19792
dikembangkan oleh Lobachevskii ( 1793-1856), Bolyai ( 1802- 1860) dan Riemann (1826-
1866).21) Ilmu Ukur Non-Euclid ini mulanya hanya merupakan sesuatu yang bersifat
akademis dan baru menemukan kegunaannya ketika Einstein menyusun Teori Relativitas.
Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti
bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau Ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar Atau salah
sebab hal ini harus dilihat dalam perspektif ruang dan waktu. Matematika bukanlah
merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk
mendapatkan pengetahuan tersebut. Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai ciri-ciri yang
cocok dengan postulat Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas
bahwa ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenai
alam semesta, di mana cahaya menjadi garis- lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak
terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling
kepada ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari
postulat yang dipergunakannya.
6. Aliran dalam matematika

Formalisme
Formalis seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah
tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai
deretan permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam alpabet
Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau SS0. Pada saat
kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara matematika, tetapi sebaliknya
istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna. Formalis memandang
matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan
pada kertas, yang mengikuti aturan. Menurut Ernest (1991) formalis memiliki dua dua tesis,
yaitu:
a. Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
b. Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak
konsistenan.
Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam
memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak
bergantung pada obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu
konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah
obyek yang bersifat material dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan
kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian.
Intuisionisme
Intuisionisme seperti Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik a priori dimana eksistensi matematika
tergantung dari pengindraan. Intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar dari
semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan adalah Ruang
dan Waktu, karena matematika harus terlebih dahulu memiliki semua konsep dalam intuisi,
dan matematika murni intuisi murni, maka matematika harus membangun mereka. Menurut
Kant, Geometri didasarkan pada intuisi murni ruang, dan, aritmatika menyelesaikan konsep
angka dengan penambahan berurutan dari unit dalam waktu. Ia menyimpulkan bahwa
matematika murni, sebagai kognisi apriori, hanya mungkin dengan mengacu ada benda selain
yang indra, di mana, di dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan
waktu) yang apriori. Kant selanjutnya menyimpulkan bahwa dasar matematika sebenarnya
intuisi murni, sedangkan deduksi transendental tentang konsep-konsep ruang dan waktu
menjelaskan, pada saat yang sama, kemungkinan matematika murni.

Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya
antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R.
Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima logisime adalah yang paling jelas dan
dalam rumusan yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu
(1) semua konsep matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2)
semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan
kesimpulan secara logika semata.
7. Matematika dan Peradaban

Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri.
Sekitar 3500 tahun S.M. Bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang melambangkan
angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama, yang
melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir, seperti
apa yang sekarang kita lakukan di abad kedua puluh di kota metropolitan Jakarta. Bedanya
adalah bahwa pengetahuan tentang matematika pada waktu itu dianggap keramat.

Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab


kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan usaha tertentu
untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar.

Matematika. tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Penduduk


kota yang pertama adalah “makhluk yang berbicara” (talking animal), kata Lancelot Hogben,
dan penduduk kota makhluk teknologi ini adalah ”makhluk yang berhitung” (calculating
animal) yang hidup dalam jaringan angka-angka. Bagi ilmu itu sendiri matematika
menyebabkan perkembangan yang sangat cepat. Singkatnya, bagi bidang keilmuan modern,
matematika adalah sesuatu yang imperatif: sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan
penalaran deduktif.

Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan
matematika mungkin kita bisa berkata, ”Ilmu kualitatif adalah masa kecil dari ilmu
kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif”; di mana ilmu yang
sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa.
Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekadar unsur dalam
menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi
bukan merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya
dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap
pengetahuan; apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang
sama: sederhana dan jelas; transparan bagai kristal kaca.

Anda mungkin juga menyukai