Disusun Oleh:
1. Dian Arubi Arum (18010024059)
2. Hamida Nurul Azizah (18010024060)
3. Sylvia Sukma Permatasari (18010024071)
4. M. Ilham Maulana (18010024073)
5. Regita Dwi Cahyani (18010024077)
6. Galuh Anggraini (18010024083)
7. Yusril Bagus Ananta P. (18010024088)
8. Alfina Amaranti (18010024089)
5. Perkembangan matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap
sistematika, komparatif, dan kuantitatif . Pada tahap sistematika maka ilmu mulai
menggolong-golongkan objek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengosongan ini
memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota
yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan
bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua ini kita mulai melakukan
perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori yang satu dengan
kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan pada
perbandingan antara di berbagai objek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap
kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan
melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang sedang kita selidiki. Bahasa
verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun pada tahap yang
ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan
saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam
dimensi-dimensi pengukuran.
Disamping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat pikir . ilmu
merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan
menurut suatu pola pikir tertentu. Matematika menurut Widgestein, tak lain adalah metode
berpikir logis. berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin
lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif
inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertrand
Russell “ matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil
matematika.”
Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara
konsisten berdasarkan logika deduktif. Betrand Russel dan whitead dalam karyanya yang
berjudul Principia Matematica mencoba membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada
dasarnya adalah pernyataan logika . Meskipun tidak seluruhnya berhasil Pierre de Fermat
(1601-1665)mewariskan teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma) yang
menentang pemikir-pemikir matematika dan belum terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xn +
yn = zn dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila
n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi persyaratan ini
seperti 31 + 41 = 71 dan 32 + 42 = 52. Fermat sendiri tidak menyertakan pembuktian rumus
tersebut yang sampai sekarang tetap tantangan bagi logika deduktif meskipun secara mudah
dapat didemonstrasikan kebenarannya.
Tidak semua filsuf setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan
yang bersifat deduktif. Immanuel Kant ( l724-1804) berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan sintetik a priori di mana eksistensi matematika tergantung kepada
dunia pengetahuan kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa
matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak
tergantung kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu
eksperimen, kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan
produk pikiran (tentang obyek yang faktual). Selanjutnya Wittgenstein membuktikan bahwa
2 x 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif. Memang, menurut akal sehat sehari-hari,
kebenaran matematika tidak ditentukan oleh perbukitan secara empiris, melainkan kepada
proses penalaran deduktif. Jika seseorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi hari,
kemudian dia memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka pada malam dia akan
mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi empat ekor. Sekiranya pada malam hari dia
melakukan “verifikasi” dan jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia menyimpulkan ada sesuatu
yang salah secara empiris dibandingkan dengan penalaran rasionalnya, sebab apa pun yang
terjadi jumlahnya harus empat ekor. Kecuali tentu saja bebeknya ada yang lari lewat kolong
rumah; ada pencuri yang datang selagi dia tidur; atau ada bebek yang bersembunyi demikian
juga jika bebek-bebek itu beberapa bulan kemudian tidak lagi empat melainkan lima maka
masalah itu bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu berternak bebek dan
sebangainya.
Disamping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga
merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang
membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling kepada
matematika. Dan rnempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan
untuk membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan matematik, Dalam
perkembangannya maka kedua aspek estetik dan pragmatis dari matematika ini silih berganti
mendapatkan perhatian terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan .
Griffits dan Howson (l974) membagi sejarah perkembangan matematika. menjadi
empat tahap, Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada
peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu
matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha
mengontrol alam seperti banjir. Para Pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang
matematika yang sangat dihargai dalam masyarakat yang mengaitkan aspek praktis dari
matematika dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan praktis ini maka
aspek estetik juga dikembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual dalam
kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Walaupun demikian dalam kebudayaan Mesir Kuno ini
maka aspek praktis dari matematika inilah merupakan tujuan utama, Hal yang sama juga
berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia yang turut mengembangkan
kegunaan praktis dari matematika.
Matematika mendapat momentum baru dalam peradaban Yunani yang sangat
memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani ini
yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan
beberapa langkah dan definisi tertentu. Euclid pada 300 SM mengumpulkan semua
pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Elements dengan penyajian secara sistematis dari
berbagai ponsulat, definisi dan teorema. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang
kaya mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan yang kasar termasuk hal-hal
yang praktis termasuk melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum cendekiawan
dapat memusatkan perhatiannya pada aspek estetik dari matematika yang merupakan simbol.
Babak perkembangan matematika selanjutnya terjadi di Timur di mana pada sekitar
tahun 1000 bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka
mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan
praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. Waktu perdagangan antara Bangsa Timur dan
Bangsa Barat berkembang pada Abad Pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah
dipergunakan dalam transaksi pertukaran. Gagasan-gagasan orang Yunani dan penemuan
ilmu hitung dan aljabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance yang meletakkan dasar
bagi, kemajuan matematika modern selanjutnya. Ditemukanlah di antaranya kalkulus
differential yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke – 17 dan revolusi
industri abad ke – 18.
Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam
hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai
ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk
tertinggi dari logika, sedangkan di lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan
bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-
pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi
secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan bahasa
verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata-kata yang
dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah
interprestasi, maka dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana
sekali. Matematika sebagai bahasa mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline,
bersifat ekonomis dengan kata-kata.
Sebagaimana sarana ilmiah maka matematika itu sendiri tidak mengandung
kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris. Matematika
merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran
ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Kriteria kebenaran dari matematika adalah
konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu
maka matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan bersifat jamak.
Misalnya dengan mengubah salah satu ponsulatnya maka dapat dikembangkan sistem
matematika yang baru bila dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Semula memang
dianggap bahwa hanya terdapat Satu sistem matematika dimana perubahan-perubahan dari
postulat-postulatnya akan mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Namun hal ini ternyata
tidak benar sebagaimana terjadi dengan ilmu ukur Euclid, Perubahan salah satu postulat
Euclid tersebut yang semula berbunyi “Dari satu titik di luar sebuah garis hanya dapat
ditarik satu garis sejajar dengan garis tersebut yang jumlahnya tak terhingga”. Ternyata
tidak menimbulkan inkonsistensi malahan menimbulkan sistem matematika baru yang sama
sekali berbeda dengan ilmu ukur Euclid. Sistem matematika yang Baru ini dikenal sebagai
ilmu Ukur Non-Euclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1777 -1855) pada tahun 19792
dikembangkan oleh Lobachevskii ( 1793-1856), Bolyai ( 1802- 1860) dan Riemann (1826-
1866).21) Ilmu Ukur Non-Euclid ini mulanya hanya merupakan sesuatu yang bersifat
akademis dan baru menemukan kegunaannya ketika Einstein menyusun Teori Relativitas.
Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti
bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau Ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar Atau salah
sebab hal ini harus dilihat dalam perspektif ruang dan waktu. Matematika bukanlah
merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk
mendapatkan pengetahuan tersebut. Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai ciri-ciri yang
cocok dengan postulat Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas
bahwa ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenai
alam semesta, di mana cahaya menjadi garis- lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak
terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling
kepada ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari
postulat yang dipergunakannya.
6. Aliran dalam matematika
Formalisme
Formalis seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah
tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai
deretan permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam alpabet
Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau SS0. Pada saat
kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara matematika, tetapi sebaliknya
istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna. Formalis memandang
matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan
pada kertas, yang mengikuti aturan. Menurut Ernest (1991) formalis memiliki dua dua tesis,
yaitu:
a. Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
b. Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak
konsistenan.
Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam
memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak
bergantung pada obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu
konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah
obyek yang bersifat material dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan
kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian.
Intuisionisme
Intuisionisme seperti Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik a priori dimana eksistensi matematika
tergantung dari pengindraan. Intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar dari
semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan adalah Ruang
dan Waktu, karena matematika harus terlebih dahulu memiliki semua konsep dalam intuisi,
dan matematika murni intuisi murni, maka matematika harus membangun mereka. Menurut
Kant, Geometri didasarkan pada intuisi murni ruang, dan, aritmatika menyelesaikan konsep
angka dengan penambahan berurutan dari unit dalam waktu. Ia menyimpulkan bahwa
matematika murni, sebagai kognisi apriori, hanya mungkin dengan mengacu ada benda selain
yang indra, di mana, di dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan
waktu) yang apriori. Kant selanjutnya menyimpulkan bahwa dasar matematika sebenarnya
intuisi murni, sedangkan deduksi transendental tentang konsep-konsep ruang dan waktu
menjelaskan, pada saat yang sama, kemungkinan matematika murni.
Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya
antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R.
Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima logisime adalah yang paling jelas dan
dalam rumusan yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu
(1) semua konsep matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2)
semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan
kesimpulan secara logika semata.
7. Matematika dan Peradaban
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri.
Sekitar 3500 tahun S.M. Bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang melambangkan
angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama, yang
melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir, seperti
apa yang sekarang kita lakukan di abad kedua puluh di kota metropolitan Jakarta. Bedanya
adalah bahwa pengetahuan tentang matematika pada waktu itu dianggap keramat.
Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan
matematika mungkin kita bisa berkata, ”Ilmu kualitatif adalah masa kecil dari ilmu
kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif”; di mana ilmu yang
sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa.
Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekadar unsur dalam
menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi
bukan merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya
dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap
pengetahuan; apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang
sama: sederhana dan jelas; transparan bagai kristal kaca.