Disusun Oleh :
Nadya Nitami 16330123
Asniatul Ania 16330131
Nurul Hidayati 16330137
Indria Apriska 16330140
Yusuf Chairi Utama 16330754
Kelas : A
Review:
Ada beberapa tanaman obat yang telah diteliti mempunyai efektifitas sebagai
antibakteri. Salah satu tanaman obat yang digunakan sebagai antibakteri adalah tanaman
kemangi (Ocimum basilicum L.) (Maryati et al., 2007). Di masyarakat, kemangi sejak dahulu
sudah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti perut kembung atau masuk angin,
demam, melancarkan ASI, rematik, sariawan dan juga sebagai antijamur (Sastroamidjojo,
2001). Kemangi juga sudah terbukti mempunyai efek antibakteri terhadap Salmonella thypi
(Depkes, 2006). Minyak atsiri kemangi mempunyai kandungan senyawa dominan seperti
linalool, metilklavikol (estragol), 1-8 sineol, eugenol, terpineol, geraniol (Sastroamidjojo,
2001). Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai antibakteri.Mengkombinasikan
antibiotik dengan tanaman kemangi merupakan salah satu solusi menanggulangi terjadinya
resiko resistensi.
Minyak atsiri kemangi memiliki aktivitas antibakteri terhadap Salmonella thypi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antibakteri kombinasi streptomisin atau
amoksisilin dengan minyak atsiri kemangi terhadap bakteri Salmonella thypi. Dipilihnya
Salmonella typhi sebagai bakteri uji karena bakteri ini dapat menyebabkan demam tifoid yang
angka kejadiannya cukup tinggi di Indonesia. Minyak atsiri kemangi diperoleh dengan cara
mendestilasi herba segar kemangi dengan destilasi uap-air.
Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, antibiotik ini bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein (Pratiwi, 2008). Streptomisin memiliki peran yang
sangat penting dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif
(Salmonella thypi) (Nattadiputra, 2009). Antibiotik amoksisilin adalah antibiotik golongan
penisilin (Pratiwi, 2008). Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri (Depkes, 2007). Obat ini sangat
efektif terhadap bakteri Gram negatif (Chaidir, 2009).
Kombinasi antara antibiotik dan tanaman tradisional dapat bermanfaat (bersifat sinergis
atau interaksi secara adisi) atau merusak (bersifat antagonis atau beracun) pada terapi
antibakteri (Adwan dan Mhanna, 2008). Kombinasi dari agen yang menunjukkan sinergis dapat
berpotensi untuk meningkatkan penyembuhan bagi pasien yang mengalami resistensi
antibiotik (Aiyegoro et al., 2011). Berdasarkan uraian tersebut maka menarik jika dilakukan
penelitian untuk mengetahui 3 potensi antibakteri kombinasi streptomisin dan amoksisilin
dengan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L.) terhadap Salmonella thypi.
METODE PENELITIAN
KESIMPULAN
Aktivitas antibakteri kombinasi amoksisilin atau streptomisin dengan minyak atsiri
kemangi terhadap Salmonella thypi bersifat indifferent.
UJI KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI SEBAGAI PENYEBAB KOLIBASILOSIS
PADA BABI MUDA TERHADAP ANTIBIOTIKA OKSITETRASIKLIN,
STREPTOMISIN, KANAMISIN DAN GENTAMISIN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kepekaan Escherichia coli sebagai penyebab
kolibasilosis pada babi muda terhadap antibiotik Oksitetrasiklin, Streptomisin, Kanamisin dan
Gentamisin. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini, adalah kuman E.coli yang diisolasi
dari feses babi muda yang diambil dari salah satu peternakan babi pembibitan intensif di Desa
Sudimara Kab. Tabanan, Bali.
SAMPLE
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa feses dalam keadaan segar, yang berasal
dari babi muda yang berumur antara 1 minggu sampai 3 minggu yang positif menderita
kolibasilosis dengan gejala diare putih yang diambil dari peternakan babi pembibitan intensif.
Jumlah sampel yang diambil berjumlah 10 sampel yang benar – benar positif.
PERALATAN
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain cawan petri, tabung reaksi dan
raknya, osse, needle, inkubator, gelas ukur, gelas beaker, stirrer cawane hot, magnetic heater
stirrer, autoclave, api bunsen, timbangan, termos es, spuite 1 cc, pinset, cotton bud. Bahan –
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, larutan pepton 10%, media
Mueller – Hinton Agar (MHA), Eosin Methylin Blue Agar (EMBA), paper disk dengan
kandungan antibiotika oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin.
PERSIAPAN BAHAN
Media yang akan digunakan seperti EMBA (Oxoid®), Muller Hinton Agar (Oxoid®) dan
paper disk (Oxoid®) dengan kadungan oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin
disiapkan dalam keadaan steril.
Isolat diperoleh dari tinja anak babi yang menderita mencret putih. Untuk menguatkan diagnose
dilakukan diagnosa laboratorium yaitu melakukan isolasi dan identifikasi kuman. Pengambilan
spesimen dilakukan memakai kapas bertangkai (cotton swab) dengan memasukkan langsung
pada rectum penderita, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril yang sudah berisi
larutan pepton dan dimasukkan ke dalam termos berisi es.
PEMBUATAN BAHAN
Serbuk Mueller Hinton (Oxoid®) Agar 6,8 gram dilarutkan ke dalam 200 ml aquades di dalam
tabung Erlenmayer. Panaskan sambil aduk rata di atas Stearer Hot Cawane sampai homogen.
Setelah homogen lakukan sterilisasi di dalam autoclave hingga mencapai suhu 120oC dengan
tekanan 15 p.s.i selama 15 menit lalu didinginkan sampai suhu 60oC. Setelah dingin, kemudian
tuang ke dalam cawan petri sebanyak 15 ml dan dinginkan sampai mengeras. Kemudian ke
dalam inkubator dengan posisi terbalik dengan tutup petri terletak di bawah pada suhu 37oC
selama 24 jam untuk uji sterilitas. Setelah uji sterilisasi, media siap untuk digunakan.
Larutan Pepton 10 %
Larutan pepton 10 % disiapkan, kemudian larutan ini dipanaskan sambil diaduk sampai
homogeny kemudian disterilkan dalam Autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit dan
selanjutnya digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri untuk dicocokkan dengan standart
Mc Farland 0,5.
Spesimen yang berupa swab rectal dari babi muda yang dicurigai menderita
kolibasilosis dengan gejala menciri diambil dengan menggunakan ossa yang steril dan
langsung diusapkan pada permukaan media. Pemupukan dilakukan pada media EMBA
kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dan dicurigai
sebagai kuman E. coli yang terdapat pada media EMBA tersebut akan terlihat warna hijau
metalik dan bagian pusat koloni berwarna gelap. pertumbuhan dicawan akan menunjukkan
bakteri Escherichia coli, tidak dihambat oleh eosin dan methlene biru dan merupakan bakteri
gram negatif. Warna hijau metalik mengkilat menunjukkan E. coli dapat memfermentasi
laktosa menghasilkan produk akhir bersifat asam kuat. Berikut gambar pertumbuhan bakteri E.
coli pada media EMBA:
Uji Kepekaan kuman E. coli yang diisolasi dari anak babi berumur 1 minggu sampai 3 minggu
yang positif menderita kolibasilosis terhadap antibiotika Oksitetrasiklin, Streptomisin,
Kanamisin dan Gentamisin dengan menggunakan cara difusi cakram menurut Kirby-bauer
(Jawetz et al., 1982). Mueller Hinton Agar (MHA)
Cara kerja penanaman isolat E. coli pada Mueller Hinton Agar pada cawan petri adalah
sebagai berikut:
Inokulasi 2 – 3 koloni kuman E. coli murni dari anak babi yang menderita kolibasilosis
kemudian dipupuk ke dalam 4 ml perbenihan cair (dalam uji ini digunakan larutan
pepton 10%).
Inkubasi perbenihan tersebut pada suhu 37oC selama 2 – 8 jam sampai terlihat adanya
kekeruahan.
Kekeruhan yang tampak disesuaikan dengan standar kekeruhan dari Max Farland 0,5
yang setara dengan kandungan kuman 1x108 CFU/ml (Coloni Forming Unit)
(Microbiologicals,2011).
Sespensi kuman kemudian dituangkan ke dalam media Muller Hinton Agar sebanyak
0,5 ml dan diratakan dengan menggunakan gelas batang bengkok pada seluruh
permukaan media tersebut.
Biarkan sampai 15-30 menit agar biakan meresap pada media Muller Hinton Agar.
Tempelkan kertas cakram (paper disk) yang mengandung antibiotik dengan pinset steril
pada permukaan media tersebut, jarak antara paper disk dengan paper disk yang lain 2
cm dan 2 cm dari tepi plate.
Inkubasikan perbenihan tadi kedalam inkubator 37oC selama 18 – 24 jam.
Amati hasil dan ukur diameter “daerah hambat pertumbuhan kuman (Killing Zone)”
dari masing – masing paper disk dengan menggunakan jangka sorong.
Untuk oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin cocokan besarnya
diameter daya hambat yang yang sudah diukur dengan jangka sorong (satuan mm)
dengan tabel penentuan senstivitas antibiotik standar Kirby-bauer.
Data yang didapat berupa lebar zona hambat (satuan mm) dianalisa secara deskriptif
dengan menghitung masing – masing persentase resisten, intermediate dan sensitif pada
keempat antibiotika yang diuji.
Hasil Isolasi dan Identifikasi Escherhicia coli. Hasil pemeriksaan feses babi penderita
kolibasilosis umur 1 – 3 minggu yang di tandai dengan gejala diare berwarna putih diambil
dari peternakan babi pembibitan intensif dengan menggunakan cotton swab. Pertumbuhan
kuman E. coli pada EMBA koloni tampak berwarna hijau metalik dengan pusat koloni hitam
seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kuman E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi
muda yang dipelihara secara intensif menunjukkan bahwa dari kesepuluh anak babi yang
diperiksa ternyata kesepuluh anak babi (100%) resisten terhadap antibiotik oksitetrasiklin dan
streptomisin. Sedangkan terhadap antibiotik kanamisin dari kesepuluh anak babi yang
diperiksa 1 isolat (10%) resisten, 6 isolat (60%) intermediate dan sisanya yakni 3 isolat (30%)
masih sensitif terhadap antibiotik tersebut. Terhadap antibiotik gentamisin, kuman E. coli yang
diisolasi dari babi muda menunjukkan 2 isolat (20%) dari sepuluh isolat yang diperiksa resisten
dan 8 isolat (80%) lainnya sensitif.
Terjadinya resistensi bakteri E. coli juga bisa karena bakteri tersebut membentuk
selaput – selaput sel yang berperan untuk menghambat penembusan zat yang mempunyai berat
molekul besar seperti antibiotik kedalam dinding sel dan ditimbun dalam ruang periplasmik
yang terpadat diantara selaput sel dan dinding sel. Dalam ruang periplasmik antibiotik akan
diinaktivasi dengan enzim hidrolitik yang dihasilkan oleh selaput sel bakteri sehingga bakteri
tersebut akan terhindar dari perusakan antibiotik.
E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda yang dipelihara secara intensif
menunjukkan bahwa terhadap kanamisin 10 % resisten, 60 % intermediate dan 30 % sensitif
yang berarti kuman E. coli penyebab kolibasilosis yang diisolasi dari babi muda kurang peka
terhadap antibiotik kanamisin. Sedangkan E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi
muda yang dipelihara secara intensif menunjukkan Terhadap gentamisin 20 % resisten dan 80
% sensitif. Hal ini disebabkan karena pemakaian antibiotik gentamisin yang sangat jarang.
Seperti yang dinyatakan oleh Heryadi (1996), bahwa penggunaan antibiotik secara tepat
mempunyai dampak positif didalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik.
KESIMPULAN
Kuman E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda menunjukkan 100 %
resisten terhadap antibiotik oksitetrasiklin dan streptomisin. Kuman E. coli sebagai penyebab
kolibasilosis pada babi muda menunjukkan 60 % intermediate, 10 % resisten dan 30 % sensitif
terhadap antibiotik kanamisin. Kuman E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda
menunjukkan 80 % sensitif dan 20 % resisten terhadap antibiotik gentamisin.
Proses Pemurnian Streptomisin Dari Produk Fermentasi
1. Pendahuluan
Streptomisin merupakan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif. Streptomisin terbagi atas dua jenis, yaitu
Streptomisin A dan Streptomisin B. Streptomisin yang digunakan untuk pengobatan
adalah Streptomisin A. Pengunaan antibiotik ini dilakukan melalui sistem injeksi.
Streptomisin memiliki tingkat toksisitas yang rendah dan dapat digunakan untuk
mengatasi infeksi yang resisten terhadap penisilin. Akumulasi streptomisin dalam
tubuh manusia dapat menyebabkan serangkaian reaksi alergi seperti bercak-bercak
merah pada kulit. Hasil fermentasi bakteri Streptomyces griceus tidak hanya
menghasilkan streptomisin, tetapi juga mnghasilkan zat lain seperti
mannosidostreptomisin (Streptomisin B), serta beberapa enzim ekstraseluler dan
inhibitor. Oleh karena itu, untuk memperoleh streptomisin dari kaldu hasil fermentsai
diperlukan beragam proses pemisahan dan pemurnian.
6. Kolom Kromatografi
Metode yang digunakan untuk pemurnian streptomisin adalah menggunakan
prinsip kolom kromatografi. Proses adsorpsi dilakukan dalam kolom kromatografi.
Adsorben yang dapat digunakan cukup beragam, dimulai dari karbon aktif, acidwashed
charcoal, alumina, dan acidwashed alumina. Adsorben kemudian disusun dalam kolom
kromatografi dengan jumlah sekitar 10 – 30 gram adsorben untuk setiap gram garam
antibiotik yang akan diproses. Pelarut yang hendak digunakan untuk proses elusi
dimasukkan ke dalam kolom dan dibiarkan sampai tersisa sekitar 1 – 2 mm lapisan
pelarut.
7. Ekstraksi Pelarut
Streptomisin dapat dipisahkan dari komponen lain dalam hasil fermentasi
dengan mengubah bentuknya menjadi garam karboksilat. Hal ini dilakukan dengan
menambahkan natrium, kalium, maupun amonium ke dalam kaldu hasil fermentasi.
Larutan yang dihasilkan kemudian diekstraksi dengan pelarut organik seperti alkohol
beratom karbon 4 – 6. Ekstrak alkohol kemudian dibilas dengan air atau larutan logam
alkali halida untuk menghasilkan garam streptomisin yang terlarut dalam alkohol.
Garam streptomisin dapat dipisahkan dari larutan dengan menambahkan asam sulfat
atau asam klorida.
8. Kesimpulan
Metode yang paling umum digunakan dalam permurnian streptomisin adalah
pemanfaatan karbon aktif sebagai adsorben. Untuk meningkatkan perolehan
streptomisin, maka penggunaan karbon aktif dapat dilakukan pada suasana asam
maupun basa sehingga diperoleh pengingkatan perolehan streptomisin sebesar 50 –
60% dari metode konvensional. Namun penggunaan karbon aktif sebagai adsorben
memiliki kekurangan diantaranya harga yang relatif mahal. Setelah digunakan, karbon
aktif sulit untuk digunakan kembali sebagai adsorben pada operasi selanjutnya karena
proses regenerasi yang lumayan kompleks. Selain itu proses ini juga cenderung mahal
karena kapasitas adsorpsi karbon aktif yang rendah.
Untuk mengatasi kekurangan dari proses pemurnian menggunakan karbon aktif,
digunakan resin penukar ion terkarboksilasi sebagai adsorben. Penggunan resin
penukar ion dapat diaplikasikan ke dalam dua sampai 3 kolom menara yang berisi resin
penukar ion.. Resin penukar ion dapat dielusi dengan asam dan dibersihkan dengan basa
sehingga dapat digunakan untuk proses selanjutnya. Metode ini memiliki keunggulan
karena dapat digunakan untuk proses adsorpsi secara terus-menerus. Selain itu, resin
penukar ion terkarboksilasi juga memiliki selektivitas yang tinggi terhadap streptomisin
sehingga tingkat perolehan streptomisin dari kaldu fermentasi akan lebih besar jika
dibandingkan dengan penggunaan karbon aktif sebagai adsorben.
Pemurnian streptomisin dapat juga dilakukan dengan prinsip kromatografi.
Adsorben yang digunakan dapat berupa karbon aktif maupun alumina. Namun metode
ini memiliki kelamahan. Kelemahan dari metode ini adalah kesulitan dalam
menentukan kapan eluat yang diinginkan keluar dari kolom kromatografi (jika tidak
ada perubahan yang dapat diamati).
Ekstraksi pelarut dapat digunakan untuk memisahkan streptomisin dari
pengotor yang ada pada larutan. Keunggulan dari proses ekstraksi streptomisin dari
pelarut adalah dapat dilaksanakan secara kontinu.
Oleh karena itu, jika proses pemurnian streptomisin dilakukan secara batch,
maka proses pemurnian yang paling menguntungkan adalah pemanfaatan resin penukar
ion terkarboksilasi sebagai adsorben. Jika ingin dilakukan proses pemurnian secara
kontinu, maka metode pemurnian yang paling tepat adalah dengan ekstraksi pelarut.