Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

REVIEW JURNAL ANTIBIOTIK

1.POTENSI ANTIBAKTERI KOMBINASI STREPTOMISIN DANAMOKSISILIN DENGAN MINYAK


ATSIRI KEMANGI (Ocimum basilicum L.) TERHADAP Salmonella thypi,
2.UJI KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI SEBAGAI PENYEBAB KOLIBASILOSIS PADA BABI
MUDA TERHADAP ANTIBIOTIKA OKSITETRASIKLIN, STREPTOMISIN, KANAMISIN DAN
GENTAMISIN
3. Proses Pemurnian Streptomisin Dari Produk Fermentasi

Disusun dan diajukan untuk memenuhi mata kuliah


FARMAKOGNOSI
Dosen : Saiful Bahri, S.Si., M.Si.

Disusun Oleh :
Nadya Nitami 16330123
Asniatul Ania 16330131
Nurul Hidayati 16330137
Indria Apriska 16330140
Yusuf Chairi Utama 16330754

Kelas : A

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018
POTENSI ANTIBAKTERI KOMBINASI STREPTOMISIN DAN
AMOKSISILIN DENGAN MINYAK ATSIRI KEMANGI (Ocimum
basilicum L.) TERHADAP Salmonella thypi

Zia Najibah, Ika Trisharyanti Dian Kusumowati, Rima Munawaroh


Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Review:
Ada beberapa tanaman obat yang telah diteliti mempunyai efektifitas sebagai
antibakteri. Salah satu tanaman obat yang digunakan sebagai antibakteri adalah tanaman
kemangi (Ocimum basilicum L.) (Maryati et al., 2007). Di masyarakat, kemangi sejak dahulu
sudah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti perut kembung atau masuk angin,
demam, melancarkan ASI, rematik, sariawan dan juga sebagai antijamur (Sastroamidjojo,
2001). Kemangi juga sudah terbukti mempunyai efek antibakteri terhadap Salmonella thypi
(Depkes, 2006). Minyak atsiri kemangi mempunyai kandungan senyawa dominan seperti
linalool, metilklavikol (estragol), 1-8 sineol, eugenol, terpineol, geraniol (Sastroamidjojo,
2001). Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai antibakteri.Mengkombinasikan
antibiotik dengan tanaman kemangi merupakan salah satu solusi menanggulangi terjadinya
resiko resistensi.
Minyak atsiri kemangi memiliki aktivitas antibakteri terhadap Salmonella thypi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antibakteri kombinasi streptomisin atau
amoksisilin dengan minyak atsiri kemangi terhadap bakteri Salmonella thypi. Dipilihnya
Salmonella typhi sebagai bakteri uji karena bakteri ini dapat menyebabkan demam tifoid yang
angka kejadiannya cukup tinggi di Indonesia. Minyak atsiri kemangi diperoleh dengan cara
mendestilasi herba segar kemangi dengan destilasi uap-air.
Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, antibiotik ini bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein (Pratiwi, 2008). Streptomisin memiliki peran yang
sangat penting dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif
(Salmonella thypi) (Nattadiputra, 2009). Antibiotik amoksisilin adalah antibiotik golongan
penisilin (Pratiwi, 2008). Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri (Depkes, 2007). Obat ini sangat
efektif terhadap bakteri Gram negatif (Chaidir, 2009).
Kombinasi antara antibiotik dan tanaman tradisional dapat bermanfaat (bersifat sinergis
atau interaksi secara adisi) atau merusak (bersifat antagonis atau beracun) pada terapi
antibakteri (Adwan dan Mhanna, 2008). Kombinasi dari agen yang menunjukkan sinergis dapat
berpotensi untuk meningkatkan penyembuhan bagi pasien yang mengalami resistensi
antibiotik (Aiyegoro et al., 2011). Berdasarkan uraian tersebut maka menarik jika dilakukan
penelitian untuk mengetahui 3 potensi antibakteri kombinasi streptomisin dan amoksisilin
dengan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L.) terhadap Salmonella thypi.

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan


Alat :
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat alat destilasi, kompor gas,
autoklaf (My Life), oven (Memmert), alat-alat gelas (Iwaki-pyrex), LAF (Laminar Air Flow)
(Astari Niagara), neraca analitik (Precisa), vortex (Thermolyne Corporation), inkubator
(Memmert), shaker (New Brunswick Scientific).
Bahan :
Bahan yang digunakan adalah tangkai dan daun kemangi segar, akuades, bakteri
Salmonella thypi, disk antibiotik amoksisillin, disk antibiotik streptomisin, disk kosong, media
BHI (Brain Heart Infusion) (Oxoid), media MH (Mueller Hinton) (Oxoid), media KIA (Kligler
Iron Agar) (Oxoid), media LIA (Lysine Iron Agar) (Oxoid), media MIO (Motility Indol
Ornithine) (Mereck), larutan salin (NaCl) (Otsuka), cat Gram A, cat Gram B, cat Gram C, cat
Gram D, standar Mc. Farland (1,5x108 CFU/mL).
Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan menggunakan buku acuan Flora of Java
karangan Backer dan Van den Brink (1965). Determinasi ini bertujuan untuk memastikan
bahwa tanaman yang digunakan adalah tanaman kemangi.
Penyiapan Bahan
Daun dan tangkai kemangi dipisahkan dari bagian lainnya, kemudian dicuci bersih
dengan menggunakan air mengalir, ditiriskan, diangin-anginkan, dan dipotong-potong.
Ekstraksi Minyak Atsiri
Ekstraksi minyak atsiri dilakukan dengan metode destilasi uap dan air. Herba kemangi
yang sudah dicuci bersih diletakkan di atas angsang yang terletak beberapa sentimeter di atas
permukaan air dalam ketel penyulingan dan dihubungkan dengan pendingin. Kompor
dinyalakan untuk memanaskan ketel dan air dialirkan dari kran ke alat pendingin. Suhu diatur
sedemikian rupa sehingga destilat yang keluar dapat menetes dengan teratur. Minyak yang
keluar ditampung, destilasi diakhiri ketika volume minyak atsiri sudah tidak bertambah,
kemudian minyak atsiri dipisahkan dari air dengan corong pisah dan disaring dengan natrium
sulfat anhidrat yang telah dioven selama 1 jam pada suhu 100ºC. Minyak atsiri yang telah
diperoleh disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari cahaya.
Preparasi media
Media yang digunakan telah tersedia dalam kemasan, sehingga dalam pembuatannya
hanya dengan cara melarutkan media dalam akuades sesuai dengan instruksi yang terdapat
pada masing-masing kemasan. Media yang telah dilarutkan, disterilisasi dalam autoklaf pada
suhu 121ºC selama lebih kurang 20 menit, setelah itu media dituang sebanyak 20 mL dalam
cawan petri dan didiamkan pada suhu kamar hingga memadat.
Pembuatan Suspensi Bakteri
Bakteri Salmonella thypi diambil dengan ose steril digoreskan secara streak plate pada
media agar MH (Mueller Hinton), kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Koloni
bakteri Salmonella thypi yang tumbuh disimpan pada suhu 4ºC. Kemudian mengambil koloni
bakteri dari biakan bakteri pada media padat MH (Mueller Hinton) ke dalam 2 ml BHI cair,
menghomogenkan dengan menggunakan shaker ± 2 jam kemudian disamakan dengan standar
Mc. Farland (1,5x108 CFU/mL) sampai mempunyai kekeruhan yang sama.
Uji Aktivitas Antibakteri
Cawan petri steril diisi 20 mL media MH (Mueller Hinton) dan didiamkan kurang lebih
20 menit sampai memadat. Suspensi bakteri dengan konsentrasi 1,5 x 108 CFU/mL sebanyak
300 μL dituangkan di atas media MH (Mueller Hinton) yang telah memadat dan diratakan
menggunakan spreader glass steril kemudian didiamkan selama 3-15 menit. Disk minyak atsiri
15 μL/disk bersama dengan disk streptomisin atau amoksisilin diletakan pada media MH
(Mueller Hinton) secara sejajar. Jarak antara disk minyak atsiri dan antibiotik adalah
penjumlahan dari diameter zona hambat minyak atsiri yang diperoleh dari uji pendahuluan dan
diameter zona hambat antibiotik yang didapat dari uji sensitifitas (Verma, 2007). Cawan petri
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam, dengan posisi tutup cawan di bawah dan tidak
boleh ditumpuk lebih dari lima cawan, selanjutnya diamati zona hambat yang terjadi.
Identifikasi Bakteri
Berdasarkan hasil pengecatan Gram, Salmonella thypi merupakan bakteri Gram negatif
yang berwarna merah dan berbentuk batang. Dinding sel bakteri Gram negatif banyak
mengandung lipopolisakarida (Jawetz et al., 2007). Perubahan warna merah ini terjadi karena
bakteri tersebut tidak tahan terhadap alkohol dan mengikat cat Gram D (safranin). Warna cat
bakteri Gram negatif yang sebelumnya telah dilunturkan oleh cat Gram C sehingga bakteri
tidak berwarna lagi dan akan mengikat warna cat gram D sehingga terlihat berwarna merah.
Dilakukan juga identifikasi bakteri dengan uji biokimiawi yaitu menggunakan media
KIA, LIA, dan MIO. Identifikasi bakteri dengan uji biokimiawi yaitu menggunakan media
KIA, LIA, dan MIO. Identifikasi pada media KIA bertujuan untuk mempelajari reaksi bakteri
terhadap komponen penyusun media dan untuk melihat produksi asam yang ditandai oleh
adanya perubahan warna merah menjadi kuning pada daerah tusukan (butt). Pengamatan pada
media KIA menunjukkan terjadinya perubahan warna dari merah menjadi kuning pada bagian
tegak, hal ini disebabkan oleh adanya asam sebagai produk pemecahan laktosa. Sedangkan
pada bagian miring media KIA berwarna merah yang menunjukkan reaksi alkali. Perbedaan
warna pada daerah miring dan tegak pada media KIA ini diakibatkan karena kondisi media
yang berbeda, yaitu suasana aerob (kontak langsung dengan udara) pada daerah miring (slant)
media dan suasana anaerob (tidak kontak dengan udara) pada daerah tusukan (butt) media.
Pada uji KIA juga terdapat gas H2S yang ditandai dengan terbentuknya warna hitam diantara
daerah miring (slant) dan daerah tusukan (butt).
Identifikasi pada media MIO dilakukan untuk mengetahui reaksi terhadap ornitin,
pergerakan bakteri, dan kemampuan menghasilkan indol. Hasil pengamatan pada media MIO
terlihat adanya 2 bagian yang atas berubah menjadi ungu (basa) menunjukan bahwa Salmonella
thypi mampu mendekarboksilasi ornitin dan bagian bawah berwarna kuning(asam). Motilitas
positif dengan ditandai terbentuknya kabut ditengah media. Hasil dariidentifikasi bakteri
dengan menggunakan media KIA, LIA, dan MIO menunjukkan bahwa 6 bakteri yang
digunakan adalah Salmonella thypi dengan karakter yang sama dengan standar yaitu bersifat
motil, dapat bereaksi asam pada daerah anaerob dan bereaksi alkali pada daerah aerob media
KIA, menghasilkan gas H2S pada media LIA dan KIA dengan ditandai adanya warna hitam
pada daerah tusukan, dan mampu mendekarboksilasi ornitin pada media MIO(Jawetz et al.,
2001).
Uji Sensitivitas Antibakteri
Uji sensitivitas bakteri dilakukan dengan metode difusi cakram menggunakan berbagai
antibiotik, yaitu streptomisin (S), sefalotin (KF), trimetropim-sulfametoksazol (SXT),
amoksisilin (AML), amikasin (AK), dan gentamisin (CN). Media yang digunakan adalah MH
(Mueller Hinton) yang telah diinokulasikan suspensi bakteri 1,5x108 CFU/mL sebanyak 300
μL. Berdasarkan hasil uji sensitifias Salmonella thypi, terdapat zona hambat pada disk
antibiotik streptomisin (S), sefalotin (KF), trimetropim-sulfametoksazol (SXT), amoksisilin
(AML), amikasin (AK), dan gentamisin (CN) dengan diameter berturut-turut 13 mm , 21 mm,
31,3 mm, 24 mm, 22 mm, dan 19,7 mm sehingga dapat dinyatakan Salmonella thypi sensitif
terhadap antibiotik, sefalotin (KF), trimetropim-sulfametoksazol (SXT), amoksisilin (AML),
amikasin (AK), gentamisin (CN) dan bersifat intermediet terhadap streptomisin (S).
Uji Pendahuluan
Minyak atsiri kemangi dibuat seri konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, 10%, 15%, 25%, 35%,
45% dalam pelarut etil asetat dan minyak atsiri 100%. Masing-masing konsentrasi tersebut
dihasilkan zona hambat secara berturut-turut dari konsentrasi terkecil 8,67 mm, 9 mm, 8,67
mm, 9,5 mm, 9,33 mm, 9,17 mm, 9,17 mm, 9 mm dan 11,5 mm. Zona hambat paling besar
adalah minyak atsiri kemangi murni. Zona hambat yang terbentuk dari konsentrasi minyak
atsiri tidak jauh berbeda dengan zona hambat yang dihasilkan oleh etil asetat sebagai pelarut,
yaitu sebesar 7,83 mm. Sehingga zona hambat yang terbentuk pada setiap seri konsentrasi juga
akibat etil asetat sebagai pelarut, sehingga dipilih minyak atsiri kemangi murni pada uji
aktivitas antibakteri kombinasi.
Uji Aktivitas Antibakteri
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kombinasi amoksisilin atau streptomisin dengan
minyak atsiri kemangi mempunyai efek antibakteri terhadap Salmonella thypi. Amoksisilin
bersifat indifferent, hal ini ditandai dengan zona yang dihasilkan pada kombinasi minyak atsiri
kemangi dan amoksisilin (24,25 mm) dengan zona yang dihasilkan oleh amoksisilin tunggal
(24 mm) tidak saling mempengaruhi, maksudnya pada penambahan minyak atsiri kemangi
ternyata zona yang dihasilkan tetap sama dengan zona yang dihasilkanpada amoksisilin
tunggal. Streptomisin bersifat indifferent, hal ini ditandai dengan zona yang dihasilkan pada
kombinasi minyak atsiri kemangi dan streptomisin (12,75 mm) dengan zona yang dihasilkan
oleh streptomisin tunggal (13 mm) tidak saling mempengaruhi, maksudnya pada penambahan
minyak atsiri kemangi ternyata zona yang dihasilkan tetap sama dengan zona yang dihasilkan
pada streptomisin tunggal. Aktivitas penghambatan bakteri ini ditunjukkan dengan adanya
zona radikal (bening) di sekitar disk.
Dari hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan efek indifferent pada
kombinasi antara minyak atsiri kemangi dengan kedua antibiotik (amoksisilin atau
streptomisin). Efek indifferent yang berarti kedua zona hambat tidak saling berhubungan
(Verma, 2007). Streptomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan cara menghambat
sintesis protein secara reversibel (Nattadiputra, 2009). Minyak atsiri kemangi mendukung
streptomisin dalam penghambatan bakteri dengan mekanisme yang sama, sehingga kombinasi
antara keduanya menghasilkan efek yang indifferent. Amoksisilin bekerja dengan cara
menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri
(Depkes, 2007). Minyak atsiri kemangi mendukung amoksisilin dalam penghambatan bakteri
tetapi dengan mekanisme yang berbeda, sehingga kombinasi keduanya menghasilkan efek
yang indifferent.

KESIMPULAN
Aktivitas antibakteri kombinasi amoksisilin atau streptomisin dengan minyak atsiri
kemangi terhadap Salmonella thypi bersifat indifferent.
UJI KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI SEBAGAI PENYEBAB KOLIBASILOSIS
PADA BABI MUDA TERHADAP ANTIBIOTIKA OKSITETRASIKLIN,
STREPTOMISIN, KANAMISIN DAN GENTAMISIN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kepekaan Escherichia coli sebagai penyebab
kolibasilosis pada babi muda terhadap antibiotik Oksitetrasiklin, Streptomisin, Kanamisin dan
Gentamisin. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini, adalah kuman E.coli yang diisolasi
dari feses babi muda yang diambil dari salah satu peternakan babi pembibitan intensif di Desa
Sudimara Kab. Tabanan, Bali.

Oksitetrasiklin adalah antibiotik golongan tetrasiklin yang bersifat bakteriostatik pada


konsentrasi rendah dan bakteriosidal pada konsentrasi tingggi, aktif terhadap Gram positif
maupun Gram negatif. Kerjanya menghambat sintesis protin bakteri pada ribosomnya.

Streptomisin, Kanamisin dan Gentamisin merupakan antibiotik golongan


aminoglokosida yang bersifat bakterisidal yang mampu membunuh bakteri gram negatif
dengan cara berdifusi pada membran sel bakteri dan masuk ke dalam sel bakteri

SAMPLE
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa feses dalam keadaan segar, yang berasal
dari babi muda yang berumur antara 1 minggu sampai 3 minggu yang positif menderita
kolibasilosis dengan gejala diare putih yang diambil dari peternakan babi pembibitan intensif.
Jumlah sampel yang diambil berjumlah 10 sampel yang benar – benar positif.

PERALATAN
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain cawan petri, tabung reaksi dan
raknya, osse, needle, inkubator, gelas ukur, gelas beaker, stirrer cawane hot, magnetic heater
stirrer, autoclave, api bunsen, timbangan, termos es, spuite 1 cc, pinset, cotton bud. Bahan –
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, larutan pepton 10%, media
Mueller – Hinton Agar (MHA), Eosin Methylin Blue Agar (EMBA), paper disk dengan
kandungan antibiotika oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin.

PERSIAPAN BAHAN

Media yang akan digunakan seperti EMBA (Oxoid®), Muller Hinton Agar (Oxoid®) dan
paper disk (Oxoid®) dengan kadungan oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin
disiapkan dalam keadaan steril.
Isolat diperoleh dari tinja anak babi yang menderita mencret putih. Untuk menguatkan diagnose
dilakukan diagnosa laboratorium yaitu melakukan isolasi dan identifikasi kuman. Pengambilan
spesimen dilakukan memakai kapas bertangkai (cotton swab) dengan memasukkan langsung
pada rectum penderita, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril yang sudah berisi
larutan pepton dan dimasukkan ke dalam termos berisi es.

PEMBUATAN BAHAN

Mueller Hinton Agar (MHA)

Serbuk Mueller Hinton (Oxoid®) Agar 6,8 gram dilarutkan ke dalam 200 ml aquades di dalam
tabung Erlenmayer. Panaskan sambil aduk rata di atas Stearer Hot Cawane sampai homogen.
Setelah homogen lakukan sterilisasi di dalam autoclave hingga mencapai suhu 120oC dengan
tekanan 15 p.s.i selama 15 menit lalu didinginkan sampai suhu 60oC. Setelah dingin, kemudian
tuang ke dalam cawan petri sebanyak 15 ml dan dinginkan sampai mengeras. Kemudian ke
dalam inkubator dengan posisi terbalik dengan tutup petri terletak di bawah pada suhu 37oC
selama 24 jam untuk uji sterilitas. Setelah uji sterilisasi, media siap untuk digunakan.

Larutan Pepton 10 %

Larutan pepton 10 % disiapkan, kemudian larutan ini dipanaskan sambil diaduk sampai
homogeny kemudian disterilkan dalam Autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit dan
selanjutnya digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri untuk dicocokkan dengan standart
Mc Farland 0,5.

PROSEDUR PENELITIAN ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KUMAN ESCHERICHIA


COLI

Spesimen yang berupa swab rectal dari babi muda yang dicurigai menderita
kolibasilosis dengan gejala menciri diambil dengan menggunakan ossa yang steril dan
langsung diusapkan pada permukaan media. Pemupukan dilakukan pada media EMBA
kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dan dicurigai
sebagai kuman E. coli yang terdapat pada media EMBA tersebut akan terlihat warna hijau
metalik dan bagian pusat koloni berwarna gelap. pertumbuhan dicawan akan menunjukkan
bakteri Escherichia coli, tidak dihambat oleh eosin dan methlene biru dan merupakan bakteri
gram negatif. Warna hijau metalik mengkilat menunjukkan E. coli dapat memfermentasi
laktosa menghasilkan produk akhir bersifat asam kuat. Berikut gambar pertumbuhan bakteri E.
coli pada media EMBA:

Gambar 1. Kuadran 1 Menunjukkan Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli

PROSEDUR PENENTUAN KEMAMPUAN DAYA HAMBAT PERTUMBUHAN


ESCHERICHIA COLI STANDAR KIRBY-BAUER.

Uji Kepekaan kuman E. coli yang diisolasi dari anak babi berumur 1 minggu sampai 3 minggu
yang positif menderita kolibasilosis terhadap antibiotika Oksitetrasiklin, Streptomisin,
Kanamisin dan Gentamisin dengan menggunakan cara difusi cakram menurut Kirby-bauer
(Jawetz et al., 1982). Mueller Hinton Agar (MHA)

Cara kerja penanaman isolat E. coli pada Mueller Hinton Agar pada cawan petri adalah
sebagai berikut:
 Inokulasi 2 – 3 koloni kuman E. coli murni dari anak babi yang menderita kolibasilosis
kemudian dipupuk ke dalam 4 ml perbenihan cair (dalam uji ini digunakan larutan
pepton 10%).
 Inkubasi perbenihan tersebut pada suhu 37oC selama 2 – 8 jam sampai terlihat adanya
kekeruahan.
 Kekeruhan yang tampak disesuaikan dengan standar kekeruhan dari Max Farland 0,5
yang setara dengan kandungan kuman 1x108 CFU/ml (Coloni Forming Unit)
(Microbiologicals,2011).
 Sespensi kuman kemudian dituangkan ke dalam media Muller Hinton Agar sebanyak
0,5 ml dan diratakan dengan menggunakan gelas batang bengkok pada seluruh
permukaan media tersebut.
 Biarkan sampai 15-30 menit agar biakan meresap pada media Muller Hinton Agar.
 Tempelkan kertas cakram (paper disk) yang mengandung antibiotik dengan pinset steril
pada permukaan media tersebut, jarak antara paper disk dengan paper disk yang lain 2
cm dan 2 cm dari tepi plate.
 Inkubasikan perbenihan tadi kedalam inkubator 37oC selama 18 – 24 jam.
 Amati hasil dan ukur diameter “daerah hambat pertumbuhan kuman (Killing Zone)”
dari masing – masing paper disk dengan menggunakan jangka sorong.
 Untuk oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin cocokan besarnya
diameter daya hambat yang yang sudah diukur dengan jangka sorong (satuan mm)
dengan tabel penentuan senstivitas antibiotik standar Kirby-bauer.

Data yang didapat berupa lebar zona hambat (satuan mm) dianalisa secara deskriptif
dengan menghitung masing – masing persentase resisten, intermediate dan sensitif pada
keempat antibiotika yang diuji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Isolasi dan Identifikasi Escherhicia coli. Hasil pemeriksaan feses babi penderita
kolibasilosis umur 1 – 3 minggu yang di tandai dengan gejala diare berwarna putih diambil
dari peternakan babi pembibitan intensif dengan menggunakan cotton swab. Pertumbuhan
kuman E. coli pada EMBA koloni tampak berwarna hijau metalik dengan pusat koloni hitam
seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kuman E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi
muda yang dipelihara secara intensif menunjukkan bahwa dari kesepuluh anak babi yang
diperiksa ternyata kesepuluh anak babi (100%) resisten terhadap antibiotik oksitetrasiklin dan
streptomisin. Sedangkan terhadap antibiotik kanamisin dari kesepuluh anak babi yang
diperiksa 1 isolat (10%) resisten, 6 isolat (60%) intermediate dan sisanya yakni 3 isolat (30%)
masih sensitif terhadap antibiotik tersebut. Terhadap antibiotik gentamisin, kuman E. coli yang
diisolasi dari babi muda menunjukkan 2 isolat (20%) dari sepuluh isolat yang diperiksa resisten
dan 8 isolat (80%) lainnya sensitif.

Terjadinya resistensi bakteri E. coli juga bisa karena bakteri tersebut membentuk
selaput – selaput sel yang berperan untuk menghambat penembusan zat yang mempunyai berat
molekul besar seperti antibiotik kedalam dinding sel dan ditimbun dalam ruang periplasmik
yang terpadat diantara selaput sel dan dinding sel. Dalam ruang periplasmik antibiotik akan
diinaktivasi dengan enzim hidrolitik yang dihasilkan oleh selaput sel bakteri sehingga bakteri
tersebut akan terhindar dari perusakan antibiotik.

E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda yang dipelihara secara intensif
menunjukkan bahwa terhadap kanamisin 10 % resisten, 60 % intermediate dan 30 % sensitif
yang berarti kuman E. coli penyebab kolibasilosis yang diisolasi dari babi muda kurang peka
terhadap antibiotik kanamisin. Sedangkan E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi
muda yang dipelihara secara intensif menunjukkan Terhadap gentamisin 20 % resisten dan 80
% sensitif. Hal ini disebabkan karena pemakaian antibiotik gentamisin yang sangat jarang.
Seperti yang dinyatakan oleh Heryadi (1996), bahwa penggunaan antibiotik secara tepat
mempunyai dampak positif didalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik.
KESIMPULAN

Kuman E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda menunjukkan 100 %
resisten terhadap antibiotik oksitetrasiklin dan streptomisin. Kuman E. coli sebagai penyebab
kolibasilosis pada babi muda menunjukkan 60 % intermediate, 10 % resisten dan 30 % sensitif
terhadap antibiotik kanamisin. Kuman E. coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda
menunjukkan 80 % sensitif dan 20 % resisten terhadap antibiotik gentamisin.
Proses Pemurnian Streptomisin Dari Produk Fermentasi
1. Pendahuluan
Streptomisin merupakan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif. Streptomisin terbagi atas dua jenis, yaitu
Streptomisin A dan Streptomisin B. Streptomisin yang digunakan untuk pengobatan
adalah Streptomisin A. Pengunaan antibiotik ini dilakukan melalui sistem injeksi.
Streptomisin memiliki tingkat toksisitas yang rendah dan dapat digunakan untuk
mengatasi infeksi yang resisten terhadap penisilin. Akumulasi streptomisin dalam
tubuh manusia dapat menyebabkan serangkaian reaksi alergi seperti bercak-bercak
merah pada kulit. Hasil fermentasi bakteri Streptomyces griceus tidak hanya
menghasilkan streptomisin, tetapi juga mnghasilkan zat lain seperti
mannosidostreptomisin (Streptomisin B), serta beberapa enzim ekstraseluler dan
inhibitor. Oleh karena itu, untuk memperoleh streptomisin dari kaldu hasil fermentsai
diperlukan beragam proses pemisahan dan pemurnian.

2. Pemurnian dengan Karbon Aktif


Streptomisin dapat diperoleh dari kaldu hasil fermentasi setelah melalui
berbagai tahap pemisahan dan pemurnian. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mendapatkan streptomisin dari kaldu hasil fermentasi adalah dengan menggunakan
bantuan karbon aktif. Proses pemurnian yang digunakan adalah sebagi berikut:
a. Adsorpsi dengan karbon aktif dilakukan pada pH 6 – 8 dengan penambahan
1 – 2 % (v/v) asam fosfat
b. Readsorpsi eluat dari karbon aktif pada pH 7
c. Elusi dengan acidified methanol
d. Evaporasi pada tekanan rendah
e. Presipitasi streptomisin dengan penambahan aseton pada eluat

Adsorpsi streptomisin dapat dilakukan dengan mengalirkan kaldu hasil


fermentasi ke dalam static charcoal beds maupun dengan charcoal suspensions.
Efisiensi adsoprsi melalui kedua metode tersebut tidak jauh berbeda. Static charcoal
beds dapat digunakan untuk proses adsorpsi yang berulang tanpa adanya akumulasi
padatan yang berarti. Satu bed dapat digunakan untuk tujuh kali proses adsorpsi.
Setelah tersuspensi selama 30 menit, dilakukan filtrasi dengan membilas bed dengan
air yang dilanjutkan dengan pembilasan dengan metanol netral. Tujuan pembilasan
dengan metanol netral adalah untuk menghilangkan material tak aktif dan menurunkan
kadar air dalam charcoal bed. Kegagalan dalam menghilangkan air pada charcoal bed
akan menghasilkan endapan streptomisin hidroklorida yang lengket.

3. Pemurnian dengan Karbon Aktif pada Asam


Pada metode ini, larutan streptomisin yang ingin dimurnikan diproses pada
kondisi asam (pH 1 – 4) dengan karbon aktif. Dengan metode ini, pengotor seperti
pirogen akan teradsorp ke permukaan karbon aktif sementara streptomisin tetap
tertinggal di dalam larutan. Jika pH yang digunakan lebih dari 4, akan terjadi sedikit
kehilangan streptomisin akibat teradsorp oleh karbon aktif.
Pada larutan yang telah diasamkan, ditambahkan sebanyak 1 – 5% (% berat)
karbon aktif dan dilakukan pengadukan selama 15 menit. Karbon aktif kemudian
difiltrasi dan dibilas dengan air (sebanyak ¼ volume larutan awal). Cake yang terbentuk
lalu dibuang. Filtrat yang terbentuk diatur hingga mencapai pH 6,6 dengan
menambahkan 30% natrium hidroksida. Segala endapan yang terbentuk pada proses ini
dipisahkan dengan filtrasi. Kemudian ditambahkan sebanyak 1 – 5% karbon aktif ke
dalam filtrat yang dihasilkan. Streptomisin akan teradsorp ke dalam karbon aktif.
Karbon aktif selanjutnya dibilas dengan air atau alkohol dan ditambahkan metanol atau
etanol untuk membentuk slurry dan dilanjutkan dengan filtrasi.

4. Pemurnian dengan Karbon Aktif pada Basa


Proses ini dilaksanakan pada pH 8 -11 dengan bantuan karbon aktif . Proses
selanjutnya adalah menyaring adsorbat karbon aktif-streptomisin, membilas cake
sampai netral, lalu mengelusi streptomisin dari karbon aktif menggunakan asam
mineral maupun asam alifatik lemah. Kondisi basa bertujuan agar streptomisin dapat
teradsorp dengan lebih cepat dibandingkan dengan kondisi netral. Selain itu kondisi
basa juga mengurangi jumlah pengotor teradsorp ke dalam karbon aktif.
Sebanyak 1- 5% (% berat) karbon aktif ditambahkan ke dalam larutan dan
dilakukan pengadukan. Kemudian adsorbat dibilas dengan air sampai mencapai pH 7
-7,5. Volume air yang digunakan sekitar ¼ volume filtrat. Karbon aktif kemudian
direaksikan dengan alkohol alifatik lemah (asam format, asam propionat), difiltrasi, dan
dielusi dengan mengatur pH mencapai 2 - 3 melalui penambahan mineral nonoksidatif
yang kuat seperti HCl. Karbon aktif kemudian difiltrasi dan filtrat yang dihasilkan
dipekatkan dengan pemanasan pada temperatur 50ºC. Jika pada proses elusi digunakan
asam mineral maka sebelum dipekatkan larutan harus dinetralkan terlebih dahulu. Hal
ini dapat dilakukan dengan penambahan asam maupun melewatkan larutan pada resin
penukar ion. Konsentrat yang dihasilkan kemudian dilarutkan dalam metanol dan
ditambahkan aseton untuk memebentuk endapan streptomisin. Rasio aseton terhadap
metanol yang digunakan adalah 10 : 1 (perbandingan volume).

5. Resin Penukar Ion


Resin penukar ion yang digunakan memiliki gugus asam karboksilat. Resin
jenis ini dapat menghasilkan streptomisin dengan tingkat kemurnian yang cukup tinggi.
Resin ini juga memiliki selektivitas yang tinggi terhadap streptomisin dibandingkan
dengan zat lain yang terdapat dalam kaldu fermentasi.
Secara ringkas, proses pemurnian streptomisin berlangsung sebagai berikut.
Streptomisin dipisahkan dari kaldu fermentasi dengan mengalirkan kaldu fermentasi
melewati resin penukar ion. Kemudian resin dicuci dengan asam dan diregenerasi
dengan basa untuk digunakan kembali pada proses selanjutnya. Oleh karena itu tidak
diperlukan pelarut organik dan resin penukar ion dapat digunakan secara berulang.

6. Kolom Kromatografi
Metode yang digunakan untuk pemurnian streptomisin adalah menggunakan
prinsip kolom kromatografi. Proses adsorpsi dilakukan dalam kolom kromatografi.
Adsorben yang dapat digunakan cukup beragam, dimulai dari karbon aktif, acidwashed
charcoal, alumina, dan acidwashed alumina. Adsorben kemudian disusun dalam kolom
kromatografi dengan jumlah sekitar 10 – 30 gram adsorben untuk setiap gram garam
antibiotik yang akan diproses. Pelarut yang hendak digunakan untuk proses elusi
dimasukkan ke dalam kolom dan dibiarkan sampai tersisa sekitar 1 – 2 mm lapisan
pelarut.

7. Ekstraksi Pelarut
Streptomisin dapat dipisahkan dari komponen lain dalam hasil fermentasi
dengan mengubah bentuknya menjadi garam karboksilat. Hal ini dilakukan dengan
menambahkan natrium, kalium, maupun amonium ke dalam kaldu hasil fermentasi.
Larutan yang dihasilkan kemudian diekstraksi dengan pelarut organik seperti alkohol
beratom karbon 4 – 6. Ekstrak alkohol kemudian dibilas dengan air atau larutan logam
alkali halida untuk menghasilkan garam streptomisin yang terlarut dalam alkohol.
Garam streptomisin dapat dipisahkan dari larutan dengan menambahkan asam sulfat
atau asam klorida.

8. Kesimpulan
Metode yang paling umum digunakan dalam permurnian streptomisin adalah
pemanfaatan karbon aktif sebagai adsorben. Untuk meningkatkan perolehan
streptomisin, maka penggunaan karbon aktif dapat dilakukan pada suasana asam
maupun basa sehingga diperoleh pengingkatan perolehan streptomisin sebesar 50 –
60% dari metode konvensional. Namun penggunaan karbon aktif sebagai adsorben
memiliki kekurangan diantaranya harga yang relatif mahal. Setelah digunakan, karbon
aktif sulit untuk digunakan kembali sebagai adsorben pada operasi selanjutnya karena
proses regenerasi yang lumayan kompleks. Selain itu proses ini juga cenderung mahal
karena kapasitas adsorpsi karbon aktif yang rendah.
Untuk mengatasi kekurangan dari proses pemurnian menggunakan karbon aktif,
digunakan resin penukar ion terkarboksilasi sebagai adsorben. Penggunan resin
penukar ion dapat diaplikasikan ke dalam dua sampai 3 kolom menara yang berisi resin
penukar ion.. Resin penukar ion dapat dielusi dengan asam dan dibersihkan dengan basa
sehingga dapat digunakan untuk proses selanjutnya. Metode ini memiliki keunggulan
karena dapat digunakan untuk proses adsorpsi secara terus-menerus. Selain itu, resin
penukar ion terkarboksilasi juga memiliki selektivitas yang tinggi terhadap streptomisin
sehingga tingkat perolehan streptomisin dari kaldu fermentasi akan lebih besar jika
dibandingkan dengan penggunaan karbon aktif sebagai adsorben.
Pemurnian streptomisin dapat juga dilakukan dengan prinsip kromatografi.
Adsorben yang digunakan dapat berupa karbon aktif maupun alumina. Namun metode
ini memiliki kelamahan. Kelemahan dari metode ini adalah kesulitan dalam
menentukan kapan eluat yang diinginkan keluar dari kolom kromatografi (jika tidak
ada perubahan yang dapat diamati).
Ekstraksi pelarut dapat digunakan untuk memisahkan streptomisin dari
pengotor yang ada pada larutan. Keunggulan dari proses ekstraksi streptomisin dari
pelarut adalah dapat dilaksanakan secara kontinu.
Oleh karena itu, jika proses pemurnian streptomisin dilakukan secara batch,
maka proses pemurnian yang paling menguntungkan adalah pemanfaatan resin penukar
ion terkarboksilasi sebagai adsorben. Jika ingin dilakukan proses pemurnian secara
kontinu, maka metode pemurnian yang paling tepat adalah dengan ekstraksi pelarut.

Anda mungkin juga menyukai