Anda di halaman 1dari 10

A.

DEFINISI
Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah
terminologi nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis, tetapi
Adams dan Victor (1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif
maupun non-infektif yang menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia
grisea dan alba.
Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis
dibedakan atas :
1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo
beberapa hari saja.
2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.
3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat,


distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut
poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh
potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis
transversa.
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis
diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses
radang baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula dengan
meningoradikulitis (meningens dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada
durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam
ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.

B. KLASIFIKASI
1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.
a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus
b. Herpes zoster
c. Rabies
d. Virus B
2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit pada
meningens dan medula spinals.
a. Mielitis sifilitika
 Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
 Meningomielitis kronik
 Sifilis meningovaskular
 Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik
b. Mielitis piogenik atau supurativa
 Meningomielitis subakut
 Abses epidural akut dan granuloma
 Abses medula spinalis
c. Mielitis tuberkulosa
 Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis
 Meningomielitis tuberkulosa
 Tuberkuloma medula spinalis
d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis
lokalisata atau meningomielitis dan abses.
3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi
b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
c. Degeneratif atau nekrotik.

C. POLIOMIELITIS
C.1. Definisi
Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah
suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan
mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang
otak dan dapat pula mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik
korteks serebri.
Penyakit ini dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian
Medin pada tahun 1890 memberikan dasar epidemiologi penyakit ini. Oleh karena
itu dulu penyakit ini dikenal sebagai penyakit Heine-Medin.

1
C.2. Etiologi
Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan famili
pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia termasuk
virus yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu:

1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis.


2. Tipe 2 yaitu Lanshing
3. Tipe 3 yaitu Leon

Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat kekebalan
silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian
zat oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat.

C.3. Patogenesis
Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke dalam
tubuh melalui saluran orofarings setelah ditularakan melalui cara oral-fekal. Masa
inkubasi biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila virus banyak
didapat pada suatu daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan dengan
adanya tindakan operasi pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya
tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT,
kehamilan, kerja fisik yang berat atau keletihan. Setelah masuk kedalam tubuh, virus
akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan limfoid tonsil atau pada plak peyer
di traktus intestinalis kemudian ia akan menembus dinding usus dan melalui darah
akan tersebar ke seluruh tubuh (viremia).
Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan
saja. Diduga pada kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai sistem
saraf secara langsung melalui darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf
simpatetik atau ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi yaitu pada traktus
gastrointestinalis atau jaringan ekstraneural yang lain. Menurut Adams dan Victor
(1985) dan Gilroy Dan Meyer (1979), 95-99% pasien yng terinfeksi virus polio
mengalami infeksi subkliik (asimtomatik), 3% mengalami infeksi sistemik, 1% yang
mengalami meningitis aseptik dan hanya 1% yang mengalami poliomielitis paralitik.

2
C.4. Gambaran Klinis
Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar (95-99%) kasus poliomielitis
merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini telah mampu
menimbulkan kekebalan alami.
Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini
timbul gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi sistemik
ringan ini seperti:

 Flu ( sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis )
 Gastroenteritis ( mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia )

Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila virus
ditemukan pada usapan tenggorokan atau fese.

POLIOMIELITIS PREPARALITIK ATAU NONPARALITIK


Setelah gejala prodormal seperti di atas dialami selama 3-4 hari lalu gejala tadi
akan merada, dan setelah -10 hari penderita merasa lebih enak, timbullah gejala fase
kedua. Bentuk gejala seperti ini disebut difasik. Bentuk ini sering dijumpai pada anak-
anak tapi pada penderita yang berusia lebih dari 15 tahun jarang dijumpai.
Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai
dengan gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme
otot fleksor paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-anak, bila
dari sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang kedua lengan
dalam sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang kebelakang pada tempat
tidur (tanda tripod). Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral,
erektor trunsi sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis
waktu hendak melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda
tripod dapat pula dijumpai tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang
dalam sikap berbaring hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau
lengan maka kepala penderita akan terkulai kebelakang (retrofleksi).

3
POLIOMIELITIS PARALITIK
Secara klasik poliomielitis paralitik dibedahkan atas bentuk spinal, bulbar
(bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat (beberapa
jam-48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam setelah suhu kembali
normal, biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan
bervariasi tapi hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena
poliomielitis menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal.
Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X sehingga
menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah sering pula
dijumpai, tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling berbahaya pada
bentuk bulbar ini adalah pernafasan.

C.5. Laboratorium
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan
tenggorokan, darah, likuor dan fese. Pemeriksaan likuor serebrospinalis menunjukkan
adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit
normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat.
Pada stadium prepalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tapi
setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah sel mencapai
puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2 atau 3
minggu. Kadar protein berkisar antara 30-120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi
jarang melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein yang meninggi ini bertahan selama 3-4
minggu.

D. MIELITIS TRANSVERSA AKUT


D.1. Definisi
Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh
peradangan di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum tulang belakang.
Istilah myelitis mengacu pada radang sumsum tulang belakang; transversal hanya
menggambarkan posisi peradangan, yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang
belakang. Serangan peradangan bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi
lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf. Ini menyebabkan kerusakan sistem saraf
yang mengganggu inpuls antara saraf-saraf di sumsum tulang belakang dan seluruh
tubuh.
4
D.2. Etiologi
Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis.
Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat
diakibatkan oleh infeksi virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup
aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang.
Myelitis Transversa juga dapat terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit
Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik.
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang
dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks,
sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus
(HIV), hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis
media), dan Mycoplasma pneumonia.

D.3. Patogenesis
Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus
atau bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan
pada saraf tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme
yang tepat bagaimana terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin
rangsangan sistem kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa
reaksi kekebalan tubuh mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem
kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh dari organisme asing, keliru
menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa
kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam sumsum tulang belakang
Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal
(kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh
darah seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal
oksigen dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam
sumsum tulang belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit,
atau faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan
nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa metabolik. Ketika
arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka tidak dapat memberikan
jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang belakang.

5
D.4. Gambaran klinis
Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai
beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu).
Gejala awal biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias
(sensasi abnormal seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki,
hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering
berkembang menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan
defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan umum
tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung pada
segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan mengalami
masalah pernapasan.
Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang
muncul:
(1) kelemahan kaki dan tangan,
(2) nyeri,
(3) perubahan sensorik, dan
(4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.
Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka,
beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan
myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari
biasanya. Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada
kelumpuhan penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi
roda.
Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai
setengah dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau
dapat terdiri dari tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di
sekitar dada.
Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah
seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala
mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan
yang meningkat, sehingga pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan
menyebabkan rasa tidak nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia).
Banyak juga mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang
ekstrem atau panas atau dingin.
6
D.5. Perjalanan penyakit
Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba,
diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.
Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi
kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan
dan kandung kemih.
Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya
gejala yang timbul.

D.6. Diagnosa
Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis
baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur
diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut
(Sindrom Guillain Barre).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati
blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis
limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal.
Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein
tanpa disertai pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya
adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai
juga terdapat pada kedua lengan.
Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan
penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya
lesi parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran
likuor dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel. Dilakukan
pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

D.7. Penatalaksanaan
Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang
datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau
bila terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam
bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2
minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan
per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari
7
dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn
dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama
4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping
kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari
atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid
per oral.
Pemasangan kateter diperlukan karena adanya retensi urin, dan untuk mencegah
terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian
antibiotik sebagai prolifilaksis (trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).
Konstipasi dengan pemberian laksan.
Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi
hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125
gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering
menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen
15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini
mungkin untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.

8
DAFTAR PUSTAKA

Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from :


http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.

Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from :


http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-
figures?secret_password=&autodown=pdf

National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact
Sheet Available from :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyeliti
s/detail_transversemyelitis.htm

The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare
Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html

Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 . Jakarta.

Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7th Edition.
McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai