Anda di halaman 1dari 7

APLIKASI TEKNOLOGI DNA

REKOMBINAN
DAN PERMASALAHANYA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

DNA adalah sesuatu molekul yaang mengkode instruksi biologis. Proses rekayasa
genetik pada dasarnya adalah proses mengambi gen-gen individual dari DNA
sesuatu spesies dan menyisipkannya ke dalam memotong dan mengeluarkan gen
dari tempatnya pada kromosom, dan memindahkannya ke sel individu lain atau
jenis makhluk hidup lain.
Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika telah melahirkan revolusi
baru dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang dikenal sebagai revolusi
gen. Produk teknologi tersebut berupa organisme transgenik atau organisme hasil
modifikasi genetik (OHMG), yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
genetically modified organism (GMO). Namun, sering kali pula aplikasi teknologi
DNA rekombinan bukan berupa pemanfaatan langsung organisme transgeniknya,
melainkan produk yang dihasilkan oleh organisme transgenik. Dewasa ini cukup
banyak organisme transgenik atau pun produknya yang dikenal oleh kalangan
masyarakat luas. Beberapa di antaranya bahkan telah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Dengan menggunakan teknologi rekombinan ini orang dapat memproduksi vanili,
bumbu penyedap-pengharum, bahan kosmetik dan obat, tanpa harus menanam
tumbuhan yang menghasilkan bahan-bahan tersebut pada suatu lahan pertanian.
B. Rumusan masalah

1. Bagaimanaa pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang di


hasilkannya?
2. Bagaimana permasalahan dalam pemanfaatan produk teknologi DNA
rekombinan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang
dihasilkannya.
2. Untuk mengetahui permasalahan dalam pemanfaatan produk teknologi DNA
rekombinan.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang dihasilkannya.


Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika telah melahirkan revolusi
baru dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang dikenal sebagai revolusi
gen. Produk teknologi tersebut berupa organisme transgenik atau organisme hasil
modifikasi genetik (OHMG), yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
genetically modified organism (GMO). Namun, sering kali pula aplikasi teknologi
DNA rekombinan bukan berupa pemanfaatan langsung organisme transgeniknya,
melainkan produk yang dihasilkan oleh organisme transgenik. Dewasa ini cukup
banyak organisme transgenik atau pun produknya yang dikenal oleh kalangan
masyarakat luas. Beberapa di antaranya bahkan telah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh
pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang dihasilkannya dalam
berbagai bidang kehidupan manusia.

a. Pertanian.
Aplikasi teknologi DNA rekombinan di bidang pertanian berkembang pesat
dengan dimungkinkannya transfer gen asing ke dalam tanaman dengan bantuan
bakteri Agrobacterium tumefaciens. Melalui cara ini telah berhasil diperoleh
sejumlah tanaman transgenik seperti tomat dan tembakau dengan sifat-sifat yang
diinginkan, misalnya perlambatan kematangan buah dan resistensi terhadap hama
dan penyakit tertentu.
Pada tahun 1996 luas areal untuk tanaman transgenik di seluruh dunia telah
mencapai 1,7 ha, dan tiga tahun kemudian meningkat menjadi hampir 40 juta ha.
Negara- negara yang melakukan penanaman tersebut antara lain Amerika Serikat
(28,7 juta ha), Argentina (6,7 juta ha), Kanada (4 juta ha), Cina (0,3 juta ha),
Australia (0,1 juta ha), dan Afrika Selatan (0,1 juta ha). Indonesia sendiri pada
tahun 1999 telah mengimpor produk pertanian tanaman pangan transgenik berupa
kedelai sebanyak 1,09 juta ton, bungkil kedelai 780.000 ton, dan jagung 687.000
ton. Pengembangan tanaman transgenik di Indonesia meliputi jagung (Jawa
Tengah), kapas (Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan), kedelai, kentang, dan padi
(Jawa Tengah). Sementara itu, tanaman transgenik lainnya yang masih dalam
tahap penelitian di Indonesia adalah kacang tanah, kakao, tebu, tembakau, dan ubi
jalar.
Di bidang peternakan hampir seluruh faktor produksi telah tersentuh oleh
teknologi DNA rekombinan, misalnya penurunan morbiditas penyakit ternak serta
perbaikan kualitas pakan dan bibit. Vaksin-vaksin untuk penyakit mulut dan kuku
pada sapi, rabies pada anjing, blue tongue pada domba, white-diarrhea pada babi,
dan fish-fibrosis pada ikan telah diproduksi menggunakan teknologi DNA
rekombinan. Di samping itu, juga telah dihasilkan hormon pertumbuhan untuk
sapi (recombinant bovine somatotropine atau rBST), babi (recombinant porcine
somatotropineatau rPST), dan ayam (chicken growth hormone). Penemuan ternak
transgenik yang paling menggegerkan dunia adalah ketika keberhasilan kloning
domba Dolly diumumkan pada tanggal 23 Februari 1997.
Pada dasarnya rekayasa genetika di bidang pertanian bertujuan untuk menciptakan
ketahanan pangan suatu negara dengan cara meningkatkan produksi, kualitas, dan
upaya penanganan pascapanen serta prosesing hasil pertanian. Peningkatkan
produksi pangan melalui revolusi gen ini ternyata memperlihatkan hasil yang jauh
melampaui produksi pangan yang dicapai dalam era revolusi hijau. Di samping itu,
kualitas gizi serta daya simpan produk pertanian juga dapat ditingkatkan sehingga
secara ekonomi memberikan keuntungan yang cukup nyata. Adapun dampak
positif yang sebenarnya diharapkan akan menyertai penemuan produk pangan
hasil rekayasa genetika adalah terciptanya keanekaragaman hayati yang lebih
tinggi.

b. Perkebunan, kehutanan, dan florikultur.

Perkebunan kelapa sawit transgenik dengan minyak sawit yang kadar karotennya
lebih tinggi saat ini mulai dirintis pengembangannya. Begitu pula, telah
dikembangkan perkebunan karet transgenik dengan kadar protein lateks yang
lebih tinggi dan perkebunan kapas transgenik yang mampu menghasilkan serat
kapas berwarna yang lebih kuat.
Di bidang kehutanan telah dikembangkan tanaman jati transgenik, yang memiliki
struktur kayu lebih baik. Sementara itu, di bidang florikultur antara lain telah
diperoleh tanaman anggrek transgenik dengan masa kesegaran bunga yang lama.
Demikian pula, telah dapat dihasilkan beberapa jenis tanaman bunga transgenik
lainnya dengan warna bunga yang diinginkan dan masa kesegaran bunga yang
lebih panjang.
Sentuhan teknologi DNA rekombinan pada florikultur antara lain dilakukan
dengan mengisolasi dan memanipulasi gen biru dan gen etilen biru sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki. Di Amerika Serikat dan Eropa bibit violetcarnation akan
diproduksi melalui teknik rekayasa genetika. Bibit violetcarnation transgenik ini
disebut dengan moonshadow. Bunga moonshadow memiliki sangat sedikit benang
sari, danbahkan sesudah dipotong bunga tidak mempunyai benang sari lagi
sehingga kemungkinan perpindahan gen ke tanaman lain dapat dicegah.

c. Kesehatan.

Di bidang kesehatan, rekayasa genetika terbukti mampu menghasilkan berbagai


jenis obat dengan kualitas yang lebih baik sehingga memberikan harapan dalam
upaya penyembuhan sejumlah penyakit di masa mendatang. Bahan-bahan untuk
mendiagnosis berbagai macam penyakit dengan lebih akurat juga telah dapat
dihasilkan.
Teknik rekayasa genetika memungkinkan diperolehnya berbagai produk industri
farmasi penting seperti insulin, interferon, dan beberapa hormon pertumbuhan
dengan cara yang lebih efisien. Hal ini karena gen yang bertanggung jawab atas
sintesis produk-produk tersebut diklon ke dalam sel inang bakteri tertentu yang
sangat cepat pertumbuhannya dan hanya memerlukan cara kultivasi biasa.
Berbagai macam vaksin juga telah diproduksi menggunakan teknik rekayasa
genetika, misalnya vaksin herpes, vaksin hepatitis B, vaksin lepra, vaksin malaria,
dan vaksin kolera. Kecuali vaksin kolera, vaksin-vaksin tersebut dapat diproduksi
dengan lebih efisien dan dalam jumlah yang lebih besar daripada produksi secara
konvensional. Penggunaan vaksin malaria sangat diperlukan karena banyak
nyamuk malaria yang saat ini sudah resisten terhadap DDT.
Contoh lain kontribusi potensial rekayasa genetika di bidang kesehatan yang
hingga kini masih menjadi tantangan besar bagi para peneliti dari kalangan
kedokteran dan ahli biologi molekuler adalah upaya terapi gen untuk mengatasi
penyakit-penyakit seperti kanker dan sindrom hilangnya kekebalan bawaan atau
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Begitu juga, berkembangnya
resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik masih membuka peluang penelitian
rekayasa genetika di bidang kesehatan.

d. Lingkungan.

Rekayasa genetika ternyata sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam upaya


penyelamatan keanekaragaman hayati, bahkan dalam bioremidiasi lingkungan
yang sudah terlanjur rusak. Dewasa ini berbagai strain bakteri yang dapat
digunakan untuk membersihkan lingkungan dari bermacam-macam faktor
pencemaran telah ditemukan dan diproduksi dalam skala industri. Sebagai contoh,
sejumlah pantai di salah satu negara industri dilaporkan telah tercemari oleh
metilmerkuri yang bersifat racun keras baik bagi hewan maupun manusia
meskipun dalam konsentrasi yang kecil sekali. Detoksifikasi logam air raksa
(merkuri) organik ini dilakukan menggunakan tanaman Arabidopsis thaliana
transgenik yang membawa gen bakteri tertentu yang dapat menghasilkan produk
untuk mendetoksifikasi air raksa organik.

e. Industri.

Pada industri pengolahan pangan, misalnya pada pembuatan keju, enzim renet
yang digunakan juga merupakan produk organisme transgenik. Hampir 40% keju
keras (hard cheese) yang diproduksi di Amerika Serikat menggunakan enzim yang
berasal dari organisme transgenik. Demikian pula, bahan-bahan food additive
seperti penambah cita rasa makanan, pengawet makanan, pewarna pangan,
pengental pangan, dan sebagainya saat ini banyak menggunakan produk
organisme transgenik.

2. Permasalahan dalam Pemanfaatan Produk Teknologi DNA Rekombinan.


Meskipun terlihat begitu besar memberikan manfaat dalam berbagai bidang
kehidupan manusia, produk teknologi DNA rekombinan (organisme transgenik
beserta produk yang dihasilkannya) telah memicu sejumlah perdebatan yang
menarik sekaligus kontroversial apabila ditinjau dari berbagai sudut pandang.
Kontroversi pemanfaatan produk rekayasa genetika antara lain dapat dilihat dari
aspek sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.

a. Aspek sosial.
1. Aspek agama.
Penggunaan gen yang berasal dari babi untuk memproduksi bahan makanan
dengan sendirinya akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemeluk agama
Islam. Demikian pula, penggunaan gen dari hewan dalam rangka meningkatkan
produksi bahan makanan akan menimbulkan kekhawatiran bagi kaum vegetarian,
yang mempunyai keyakinan tidak boleh mengonsumsi produk hewani. Sementara
itu, kloning manusia, baik parsial (hanya organ-organ tertentu) maupun seutuhnya,
apabila telah berhasil menjadi kenyataan akan mengundang kontroversi, baik dari
segi agama maupun nilai-nilai moral kemanusiaan universal. Demikian juga,
xenotransplantasi (transplantasi organ hewan ke tubuh manusia) serta kloning
stem cell dari embrio manusia untuk kepentingan medis juga dapat dinilai sebagai
bentuk pelanggaran terhadap norma agama.
2. Aspek etika dan estetika.
Penggunaan bakteri E coli sebagai sel inang bagi gen tertentu yang akan
diekspresikan produknya dalam skala industri, misalnya industri pangan, akan
terasa menjijikkan bagi sebagian masyarakat yang hendak mengonsumsi pangan
tersebut. Hal ini karena E coli merupakan bakteri yang secara alami menghuni
kolon manusia sehingga pada umumnya diisolasi dari tinja manusia.
b. Aspek ekonomi.

Berbagai komoditas pertanian hasil rekayasa genetika telah memberikan ancaman


persaingan serius terhadap komoditas serupa yang dihasilkan secara konvensional.
Penggunaan tebu transgenik mampu menghasilkan gula dengan derajad
kemanisan jauh lebih tinggi daripada gula dari tebu atau bit biasa. Hal ini jelas
menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan pabrik-pabrik gula yang
menggunakan bahan alami. Begitu juga, produksi minyak goreng canola dari
tanaman rapeseeds transgenik dapat berpuluh kali lipat bila dibandingkan dengan
produksi dari kelapa atau kelapa sawit sehingga mengancam eksistensi industri
minyak goreng konvensional. Di bidang peternakan, enzim yang dihasilkan oleh
organisme transgenik dapat memberikan kandungan protein hewani yang lebih
tinggi pada pakan ternak sehingga mengancam keberadaan pabrik-pabrik tepung
ikan, tepung daging, dan tepung tulang.

c. Aspek kesehatan.

1. Potensi toksisitas bahan pangan.


Dengan terjadinya transfer genetik di dalam tubuh organisme transgenik akan
muncul bahan kimia baru yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada
bahan pangan. Sebagai contoh, transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat,
yang tidak pernah berlangsung secara alami, berpotensi menimbulkan risiko
toksisitas yang membahayakan kesehatan. Rekayasa genetika bahan pangan
dikhawatirkan dapat mengintroduksi alergen atau toksin baru yang semula tidak
pernah dijumpai pada bahan pangan konvensional. Di antara kedelai transgenik,
misalnya, pernah dilaporkan adanya kasus reaksi alergi yang serius. Begitu pula,
pernah ditemukan kontaminan toksik dari bakteri transgenik yang digunakan
untuk menghasilkan pelengkap makanan (food supplement) triptofan.
Kemungkinan timbulnya risiko yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan
terkait dengan akumulasi hasil metabolisme tanaman, hewan, atau
mikroorganisme yang dapat memberikan kontribusi toksin, alergen, dan bahaya
genetik lainnya di dalam pangan manusia.
Beberapa organisme transgenik telah ditarik dari peredaran karena terjadinya
peningkatan kadar bahan toksik. Kentang Lenape (Amerika Serikat dan Kanada)
dan kentang Magnum Bonum (Swedia) diketahui mempunyai kadar glikoalkaloid
yang tinggi di dalam umbinya. Demikian pula, tanaman seleri transgenik
(Amerika Serikat) yang resisten terhadap serangga ternyata memiliki kadar
psoralen, suatu karsinogen, yang tinggi.
2. Potensi menimbulkan penyakit/gangguan kesehatan.
WHO pada tahun 1996 menyatakan bahwa munculnya berbagai jenis bahan kimia
baru, baik yang terdapat di dalam organisme transgenik maupun produknya,
berpotensi menimbulkan penyakit baru atau pun menjadi faktor pemicu bagi
penyakit lain. Sebagai contoh, gen aad yang terdapat di dalam kapas transgenik
dapat berpindah ke bakteri penyebab kencing nanah (GO), Neisseria gonorrhoeae.
Akibatnya, bakteri ini menjadi kebal terhadap antibiotik streptomisin dan
spektinomisin. Padahal, selama ini hanya dua macam antibiotik itulah yang dapat
mematikan bakteri tersebut. Oleh karena itu, penyakit GO dikhawatirkan tidak
dapat diobati lagi dengan adanya kapas transgenik. Dianjurkan pada wanita
penderita GO untuk tidak memakai pembalut dari bahan kapas transgenik.
Contoh lainnya adalah karet transgenik yang diketahui menghasilkan lateks
dengan kadar protein tinggi sehingga apabila digunakan dalam pembuatan sarung
tangan dan kondom, dapat diperoleh kualitas yang sangat baik. Namun, di
Amerika Serikat pada tahun 1999 dilaporkan ada sekitar 20 juta penderita alergi
akibat pemakaian sarung tangan dan kondom dari bahan karet transgenik.
Selain pada manusia, organisme transgenik juga diketahui dapat menimbulkan
penyakit pada hewan. A. Putzai di Inggris pada tahun 1998 melaporkan bahwa
tikus percobaan yang diberi pakan kentang transgenik memperlihatkan gejala
kekerdilan dan imunodepresi. Fenomena yang serupa dijumpai pada ternak
unggas di Indonesia, yang diberi pakan jagung pipil dan bungkil kedelai impor.
Jagung dan bungkil kedelai tersebut diimpor dari negara-negara yang telah
mengembangkan berbagai tanaman transgenik sehingga diduga kuat bahwa kedua
tanaman tersebut merupakan tanaman transgenik.
d. Aspek lingkungan.
1. Potensi erosi plasma nutfah.
Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia akan
tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma nutfah
tanaman, plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa. Sebagai
contoh, dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan efek
pestisida, misalnya jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian larva spesies
kupu-kupu raja (Danaus plexippus) sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan
gangguan keseimbangan ekosistem akibat musnahnya plasma nutfah kupu-kupu
tersebut. Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat di dalam
jagung Bt dapat dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia curassavica) yang
berada pada jarak hingga 60 m darinya. Daun gulma ini merupakan pakan bagi
larva kupu-kupu raja sehingga larva kupu-kupu raja yang memakan daun gulma
milkweed yang telah kemasukan gen resisten pestisida tersebut akan mengalami
kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian organisme nontarget, yang
cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi eksistensi plasma nutfahnya.
2. Potensi pergeseran gen.
Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga Lepidoptera
setelah 10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan mikroorganisme
dan organisme tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat transgenik ini
dikatakan telah mengalami pergeseran gen karena semula hanya mematikan
Lepidoptera tetapi kemudian dapat juga mematikan organisme lainnya.
Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik semacam ini dapat mengakibatkan
perubahan struktur dan tekstur tanah di areal pertanamannya.
3. Potensi pergeseran ekologi.
Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme yang
pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak dapat
memecah selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan terhadap
faktor-faktor lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme transgenik dapat
menimbulkan gangguan lingkungan yang dikenal sebagai gangguan adaptasi.
Tanaman transgenik dapat menghasilkan protease inhibitor di dalam sari bunga
sehingga lebah madu tidak dapat membedakan bau berbagai sari bunga. Hal ini
akan mengakibatkan gangguan ekosistem lebah madu di samping juga terjadi
gangguan terhadap madu yang diproduksi.
4. Potensi terbentuknya barrier species.
Adanya mutasi pada mikroorganisme transgenik menyebabkan terbentuknya
barrier species yang memiliki kekhususan tersendiri. Salah satu akibat yang dapat
ditimbulkan adalah terbentuknya superpatogenitas pada mikroorganisme.
5. Potensi mudah diserang penyakit
Tanaman transgenik di alam pada umumnya mengalami kekalahan kompetisi
dengan gulma liar yang memang telah lama beradaptasi terhadap berbagai kondisi
lingkungan yang buruk. Hal ini mengakibatkan tanaman transgenik berpotensi
mudah diserang penyakit dan lebih disukai oleh serangga.
Sebagai contoh, penggunaan tanaman transgenik yang resisten terhadap herbisida
akan mengakibatkan peningkatan kadar gula di dalam akar. Akibatnya, akan
makin banyak cendawan dan bakteri yang datang menyerang akar tanaman
tersebut. Dengan perkataan lain, terjadi peningkatan jumlah dan jenis
mikroorganisme yang menyerang tanaman transgenik tahan herbisida. Jadi,
tanaman transgenik tahan herbisida justru memerlukan penggunaan pestisida yang
lebih banyak, yang dengan sendirinya akan menimbulkan masalah tersendiri bagi
lingkungan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika telah melahirkan revolusi
baru dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang dikenal sebagai revolusi
gen. Produk teknologi tersebut berupa organisme transgenik atau organisme hasil
modifikasi genetik (OHMG).
Contoh pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang dihasilkannya dalam
berbagai bidang kehidupan manusia, yaitu dalam bidang Pertanian, Perkebunan,
kehutanan, dan florikultur, Kesehatan, Lingkungan, Industri.
Permasalahan dalam Pemanfaatan Produk Teknologi DNA Rekombinan.
1. Aspek sosial: Aspek agama dan Aspek etika dan estetika.
2. Aspek ekonomi.
3. Aspek kesehatan: Potensi toksisitas bahan pangan dan Potensi menimbulkan
penyakit/gangguan kesehatan.
4. Aspek lingkungan: Potensi erosi plasma nutfah, Potensi pergeseran gen, Potensi
pergeseran ekologi, Potensi terbentuknya barrier species dan Potensi mudah
diserang penyakit

Anda mungkin juga menyukai