Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bioteknologi diartikan sebagai seperangkat yang bertujuan untuk merubah
materi genetik pada tanaman, hewan, dan juga mikroba yang dilakukan oleh
manusia. Plasma Nutfah yang banyak tersebar di Indonesia sebagai sumber daya
alam keanekaragaman hayati, seharusnya dilindungi oleh undang-undang dan dijaga
oleh aparat yang berkompeten untuk memahami arti dari kekayaan sumber daya alam
hayati. Karena banyak dari pengusaha yang memanfaatkan keadaan dimana aparat
dan undang-undang tidak dapat memayungi/melestarikan keadaan sumber daya alam
hayati di Indonesia, sehingga kekuatan dan pemahaman juridis untuk melindungi
keanekaragaman hayati dari tindakan yang dapat merusak kelestarian lingkungan
tidak dapat dilakukan secara maksimal.
Kepedulian akan lingkungan sebagai bagian dari hidup manusia sudah terkikis
seiring dengan perkembangan zaman. Maka dari itu timbul pertanyaan bagaimana
cara melestarikan sumber daya alam hayati di Indonesia ini yang kian menipis.
Bioteknologi, rekayasa genetika merupakan salah satu dari sekian banyak variable
sains dan teknologi yang tetap memiliki banyak ambivalensi dalam aplikasinya
terhadap kehidupan manusia.
Di satu sisi rekayasa genetika menawarkan kemudahan, namun di sisi lain juga
menyimpan potensi bagi ketimpangan dan kekhawatiran sosial. Absurdnya hukum
dan norma, juga berpotensi akan nampaknya pelecehan etis dan degradasi moral.

1.2 Pokok Permasalahan


1. Apa itu yang dimaksud dengan Rekayasa Genetika? Bagaimanakah rekayasa
genetika pada tanaman dan hewan?
2. Bagaimanakah

menurut

ketentuan

mengenai rekayasa genetika?

Konvensi/Perjanjian

Internasional

3. Bagaimanakah

menurut

ketentuan

sistem hukum Indonesia

mengenai

rekayasa genetika?

1.3 Tujuan Penulisan


Penyusun mengharapkan agar dapat memberikan manfaat pelajaran mengenai
rekayasa genetika dan secara aplikatif melalui implementasi tindakan. Atau setidaktidaknya turut andil dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan menerapkan
pada hukum di masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemahaman Mengenai Rekayasa Genetika


I Gede Putu Irawan berpendapat bahwa inti dari bioteknologi adalah teknik
rekayasa genetika yang merupakan tindakan untuk memanipulasi atau melakukan
perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke
dalam struktur DNA organisme penerima.1
Rekayasa genetika (Ing. genetic engineering) adalah penerapan genetika untuk
kepentingan manusia. Dengan pengertian ini kegiatan pemuliaaan hewan atau
tanaman melalui seleksi dalam populasi dan penerapan mutasi buatan tanpa target
dapat dimasukkan ke dalam rekayasa genetika. Pengertian rekayasa genetika dalam
arti sempit yaitu suatu penerapan teknik-teknik genetika molekular untuk mengubah
susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik yang
diarahkan pada kebermanfaatan tertentu. Obyek rekayasa genetika mencakup hampir
semua golongan organisme, mulai dari bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan
tingkat tinggi, hingga tumbuh-tumbuhan. Rekayasa genetika merupakan alat yang
mendasar dari bioteknologi, di mana terdapat keterlibatan banyak proses di dalamnya
yang terdiri dari:
a) Tahap isolasi gen.
b) Modifikasi gen sehingga berfungsi sesuai yang diinginkan.
c) Mempersiapkan gen untuk disisipkan ke dalam organisme baru.
d) Kemudian pengembangan transgenik atau GMOs.
Teknologi rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke
gen lainnya dimana dapat bersifat antar-gen dan dapat pula lintas gen. Oleh karena
itu, rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen.
Istilah dan penggunaan bioteknologi secara sederhana atau yang disebut
dengan bioteknologi klasik telah ada sejak dahulu, contoh sederhananya adalah
dalam pembuatan tempe, bir, keju dan lain sebagainya. Konsep bioteknologi ini
1

I Gede Putu Irawan, Rekayasa Genetika, Siapa Takut?, http://www.eurekaindonesia.org/rekayasagenetika-siapa-takut/, (diakses pada tanggal 10 Mei 2015).

dikenal sebagai bioteknologi tradisional/klasik, yang dilakukan tanpa adanya


rekayasa genetika dengan menggunakan cara dan peralatan sederhana. Dan produksi
yang dihasilkan atas produk-produk bioteknologi klasik yang berguna berkembang
melalui mikroorganisme.
Berikut adalah ciri-ciri dari bioteknologi tradisional:
1.

Dilakukan tanpa menggunakan prinsip-prinsip ilmiah.

2.

Dilakukan hanya berdasarkan pada pengalaman yang diwariskan secara turun


temurun.

3.

Umumnya belum dapat diproduksi secara masal.


Sampai pada saat ini penggunaan bioteknologi telah meluas dan berkembang

kepada bidang lain, misalnya bidang medis seperti dalam pembuatan insulin maupun
antibiotik. Berikut garis waktu bioteknologi: 2
a)

8000 SM: Pengumpulan benih untuk ditanam kembali. Bukti bahwa bangsa
Babilonia, Mesir, dan Romawi melakukan praktik pengembangbiakan selektif
(seleksi artifisal) untuk meningkatkan kualitas ternak.

b) 6000 SM: Pembuatan bir, fermentasi anggur, membuat roti, membuat tempe
dengan bantuan ragi.
c)

4000 SM Bangsa Tionghoa membuat yogurt dan keju dengan bakteri asam
laktat.

d) 1500 Pengumpulan tumbuhan di seluruh dunia.


e)

1665 Penemuan sel oleh Robert Hooke (Inggris) melalui mikroskop.

f)

1800 Nikolai

I. Vavilov menciptakan penelitian komprehensif tentang

pengembangbiakan hewan.
g)

1880 Mikroorganisme ditemukan.

h)

1856 Gregor Mendel mengawali genetika tumbuhan rekombinan.

i)

1865 Gregor Mendel menemukan hukum hukum dalam penyampaian sifat induk
ke turunannya.

j)

1919 Karl Ereky, insinyur Hongaria, pertama menggunakan kata bioteknologi

k)

1970 Peneliti di AS berhasil menemukan enzim pembatas yang digunakan untuk


memotong gen-gen.

Bioteknologi, http://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi, (diakses tanggal 10 Mei 2015).

l)

1975 Metode produksi antibodi monoklonal dikembangkan oleh Kohler dan


Milstein.

m) 1978 Para peneliti di AS berhasil membuat insulin dengan menggunakan bakteri


yang terdapat pada usus besar.
n)

1980 Bioteknologi modern dicirikan oleh teknologi DNA rekombinan. Model


prokariot-nya, E. coli, digunakan untuk memproduksi insulin dan obat lain,
dalam bentuk manusia. Sekitar 5% pengidap diabetes alergi terhadap insulin
hewan yang sebelumnya tersedia.

o) 1992 FDA menyetujui makanan GM pertama dari Calgene: tomat "flavor saver".
p) 2000 Perampungan Human Genome Project.

Berbeda dengan bioteknologi tradisional/klasik, bioteknologi modern adalah


praktik bioteknologi yang diperkaya dengan teknik rekayasa genetika (suatu teknik
manipulasi materi genetikal). Cirinya berkebalikan dengan bioteknologi tradisional
yakni ditambah dengan menerapkan teknik Aseptis.
Teknik aseptis adalah suatu cara kita pada waktu bekerja (praktik) yang selalu
menjaga sterilitas ketika menangani pengkulturan mikroorganisme untuk mencegah
kontaminasi

terhadap kultur

mikroorganisme

yang diinginkan.

Contoh dari

bioteknologi modern ini yaitu tumbuhan yang kuat atau tahan terhadap hama dan
penyakit serta buahnya sifatnya tahan lama, bakteri penghasil antibiotik ataupun
insulin.
Terdapat berbagai macam bioteknologi tradisional/klasik dan modern yang
dikembangkan, sebagai berikut:
1. Fermentasi,

proses

yang

memanfaatkan

kemampuan

mikroba

untuk

menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan


yang dikendalikan. Fermentasi merupakan bentuk penerapan atau aplikasi tertua
dari bidang bioteknologi klasik/tradisional.

Pada mulanya istilah fermentasi

digunakan untuk menunjukkan proses pengubahan glukosa menjadi alkohol


yang berlangsung secara anaerob.
2. Kultur Jaringan. Kultur jaringan merupakan teknik pemeliharaan jaringan atau
bagian dari individu secara buatan (artifisial). Yang dimaksud secara buatan
adalah dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Karena hal tersebut teknik
5

ini disebut kultur in-vitro, yang berkebalikan dari in-vivo (di dalam tubuh).
Dikatakan in-vitro (bahasa Latin, berarti di dalam kaca) karena jaringan
dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri yang terbuat dari kaca, baik
tumbuhan maupun hewan (termasuk manusia). Yang perlu diperhatikan bahwa
masing-masing jaringan memerlukan komposisi media tertentu, baik dari
tumbuhan maupun hewan (termasuk manusia).
3. Bioteknologi

dengan

rekayasa

genetika,

merupakan

kegiatan

yang

menerapkan teknik-teknik biologi molekular untuk memanipulasi susunan


genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik yang diarahkan
pada kemanfaatan tertentu. Dua enzim yang penting dan tidak boleh dilupakan
dalam rekayasa genetika yaitu enzim yang berfungsi untuk memutus rantai DNA
(endonuklease) dan enzim yang menyambungkan pita DNA (ligase).
Didalam rekayasa genetika menggunakan dua teknik dasar: Recombinan DNA
Technology dan Hybridoma Technology 3:
Began in the 1970s with the two basic techniques of recombinant
DNA technology and hybridoma technology. In the first of these, also
referred to as gene splicing or genetic engineering, genetic material
from an external source is inserted into a cell in such a way that it
causes production of a desired protein by the cell; in the second,
different type of immune cell are fused together to form a hybrid cell
line producing monoclonal antibodies.
- Teknik Rekombinansi DNA/Fusi Gen
a. Teknik

plasmid,

merupakan

rekayasa

genetika

dengan

cara

menyambungkan gen. Yang dibutuhkan dalam teknik ini adalah gen


yang diinginkan dan plasmid yang dimiliki oleh bakteri yang nonpatogen. Hasil

dari

teknik ini

contohnya

adalah bakteri yang

menghasilkan insulin.
b. Teknik terapi gen, adalah suatu teknik terapi yang digunakan untuk
memperbaiki gen-gen mutan (abnormal/cacat) yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya suatu penyakit. Pada awalnya, terapi gen diciptakan
untuk mengobati penyakit keturunan (genetik) yang terjadi karena mutasi

Grubb, Philip W, Patents for Chemicals, Pharmaceuticals and Biotechnology; Fundamentals of


Global Law, Practice and Strategy. Fourth Edition, Oxford university Press, New York, 2004, hlm 246.

pada satu gen, seperti penyakit fibrosis sistik. Penggunaan terapi gen
pada penyakit tersebut dilakukan dengan memasukkan gen normal yang
spesifik ke dalam sel yang memiliki gen mutan. Terapi gen kemudian
berkembang untuk mengobati penyakit yang terjadi karena mutasi di
banyak gen, seperti kanker. Selain memasukkan gen normal ke dalam sel
mutan, mekanisme terapi gen lain yang dapat digunakan adalah
melakukan rekombinasi homolog untuk melenyapkan gen abnormal
dengan gen normal, mencegah ekspresi gen abnormal melalui teknik
peredaman gen, dan melakukan mutasi balik selektif sehingga gen
abnormal dapat berfungsi normal kembali.
c. Interferon, adalah hormon berbentuk sitokina berupa protein berjenis
gliko-protein yang disekresi oleh sel vertebrata karena akibat rangsangan
biologis, seperti virus, bakteri, protozoa, mycoplasma, mitogen, dan
senyawa lainnya.
Proses pembentukan di dalam, tubuh memerlukan waktu cukup lama
(dibanding kecepatan replikasi virus), karena itu dilakukan rekayasa
genetika.
- Teknik Fusi Protoplasma
Teknik ini disebut dengan teknik hibridoma merupakan teknik pembuatan sel
yang dihasilkan dari fusi antara sel limfosit B yang menghasilkan antibodi
dengan sel kanker yang memiliki karakter cepat membelah. Sifat dari sel
hibridoma ini adalah imortal.
Proses pembuatan dari sel hibridoma adalah sebagai berikut,
a. pertama-tama dilakukan proses imunisasi dengan menggunakan antigen
tertentu.
b. Kemudian dipisahkan sel B-limfosit dari organ limpa.
c. Kemudian sel ini didifusikan dengan sel kanker immortal. Tahapan fusi
sel hibridoma ini dilakukan dengan membuat membran sel menjadi lebih
permeabel.
d. Sel hibrid hasil fusi inilah yang disebut sebagai sel hibridoma yang
merupakan sel imortal yang dapat menghasilkan antibodi dengan cepat.
Dalam percobaan yang umum dilakukan, proses pembuatan sel
7

hibridoma dilakukan dengan menggunakan sel mieloma NS-1 dan sel


limpa dari mencit.
e. Hasil dari teknik ini disebut antibodi monoklonal yang dapat digunakan
untuk diagnosis dan terapi.
4. Kloning, dalam biologi dikatakan bahwa kloning adalah proses menghasilkan
individu-individu dari jenis yang sama (populasi) yang identik secara genetik.
Kloning merupakan proses reproduksi aseksual yang biasa terjadi di alam dan
dialami oleh banyak bakteria, serangga, atau tumbuhan. Dalam bioteknologi,
kloning merujuk pada berbagai usaha-usaha yang dilakukan manusia untuk
menghasilkan salinan berkas DNA atau gen, sel, atau organisme. Arti lain
kloning digunakan pula di luar ilmu-ilmu hayati.
5. Hidroponik, berasal dari kata bahasa Yunani hydro yang berarti air dan ponos
yang berarti daya atau bekerja. Jadi, hidroponik artinya (memberdayakan atau)
pengerjaan air atau bekerja dengan air. Dalam praktiknya hidroponik dilakukan
dengan berbagai metode, tergantung media yang digunakan. Adapun metode
yang digunakan dalam hidroponik, antara lain metode kultur air (menggunakan
media air), metode kultur pasir (menggunakan media pasir), dan metode porus
(menggunakan media kerikil, pecahan batu bata, dan lain-lain).
Pada umumnya orang bertanam dengan menggunakan tanah. Namun, dalam
hidroponik tidak lagi digunakan tanah, hanya dibutuhkan air yang ditambah
nutrien sebagai sumber makanan bagi tanaman. Apakah cukup dengan air dan
nutrien? Bahan dasar yang dibutuhkan tanaman adalah air, mineral, cahaya, dan
CO. Cahaya telah terpenuhi oleh cahaya matahari. Demikian pula CO sudah
cukup melimpah di udara. Sementara itu kebutuhan air dan mineral dapat
diberikan dengan sistem hidroponik, artinya keberadaan tanah sebenarnya
bukanlah hal yang utama.
6. Aeroponik, berasal dari kata aero yang berarti udara dan ponos yang berarti
daya atau bekerja. Jadi, aeroponik adalah pemberdayaan udara. Sebenarnya
aeroponik merupakan modifikasi dari hidroponik (memberdayakan air), karena
air yang berisi larutan unsur hara disemburkan dalam bentuk kabut hingga
mengenai akar tanaman. Akar tanaman yang ditanam menggantung akan
menyerap larutan hara tersebut.
8

Prinsip dari aeroponik adalah sebagai berikut:


- Helaian styro-foam diberi lubang-lubang tanam dengan jarak 15 cm.
- Dengan menggunakan ganjal busa atau rockwool, anak semai sayuran
ditancapkan pada lubang tanam.
- Akar tanaman akan menjuntai bebas ke bawah.
- Di

bawah

helaian

styro-foam

terdapat

sprinkler

(pengabut)

yang

memancarkan kabut larutan hara ke atas hingga mengenai akar.


7. Kawin suntik (inseminasi buatan), merupakan salah satu teknologi dalam
reproduksi ternak yang memiliki manfaat dalam mempercepat peningkatan mutu
genetik ternak, mencegah penyebaran penyakit reproduksi yang ditularkan
melalui perkawinan alam, meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul,
serta menurunkan/ menghilangkan biaya investasi pengadaan dan pemeliharaan
ternak pejantan. Inseminasi Buatan (IB) adalah suatu cara atau teknik untuk
memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses
terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin
betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut insemination
gun.

Telah disebutkan di atas bahwa sejarah rekayasa genetika dimulai sejak


Mendel menemukan faktor yang diturunkan. Kemudian ketika Oswald Avery (1944)
menemukan fakta bahwa DNA membawa materi genetik, makin banyak penelitian
yang dilakukan terhadap DNA. Ilmu terapan ini dapat dianggap sebagai cabang
biologi maupun sebagai ilmu-ilmu rekayasa (keteknikan). Dapat dianggap, awal
mulanya adalah dari usaha-usaha yang dilakukan untuk menyingkap material yang
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dan saat penelitian berlanjut dan
mengetahui bahwa kromosom adalah material yang membawa bahan terwariskan itu
(disebut gen) maka itulah awal mula ilmu rekayasa genetika ini.
Sebagian besar teknik yang banyak dilakukan adalah memanipulasi langsung
DNA dengan orientasi pada ekspresi gen tertentu. Dalam skala yang lebih luas,
rekayasa genetik melibatkan penanda yang sering disebut Marker Assisted Selection
(MAS) yang bertujuan meningkatkan efisiensi suatu organisme berdasarkan
informasi fenotipnya. Salah satu penerapan dari rekayasa genetik pada hewan adalah
9

manipulasi genom hewan. Dan hewan yang sering digunakan menjadi baham
percobaan adalah mamalia, karena mamalia memiliki genom yang lebih besar dan
kompleks dibandingkan dengan virus, bakteri,dan tanaman. Dengan konsekunsinya
untuk memodifikasi genetik dari hewan mamalia harus menggunakan teknik genetika
molekuler dan teknologi rekombinasi DNA yang memiliki tingkat kerumitan yang
kompleks dan mahalnya biaya yang diperlukan dalam penelitian.
Penemuan struktur DNA menjadi titik yang paling pokok karena dari sinilah
manusia kemudian dapat menentukan bagaimana sifat dapat diubah dengan
mengubah komposisi DNA, yang adalah suatu polimer bervariasi. Tahap-tahap
penting berikutnya adalah serangkaian penemuan enzim restriksi (pemotong) DNA,
regulasi (pengaturan ekspresi) DNA (diawali dari penemuan operon laktosa pada
prokariota), perakitan teknik PCR, transformasi genetik, teknik peredaman gen
(termasuk interferensi RNA), dan teknik mutasi terarah (seperti Tilling). Sejalan
dengan penemuan-penemuan penting itu, perkembangan di bidang biostatistika,
bioinformatika dan robotika/automasi memainkan peranan penting dalam kemajuan
dan efisiensi kerja bidang ini.
Rekayasa genetika dapat memberikan basil yang sangat menguntungkan,
misalnya memaksa suatu mikro orgarnisme, yaitu bakteri untuk membentuk insulin
yang mirip sekali dengan insulin yang dihasilkan oleh manusia sendini. Kini para
penderita diabetes dapat menerima insulin manusia yang dibuat melalui bakteri.
Penelitian selanjutnya dapat membuktikan bahwa insulin manusia tiruan ini bahkan
lebih baik daripada insulin hewani (insulin yang diperoleh dan hewan) dan dapat
diterima

lebih

baik

oleh

tubuh

manusia.

Misalnya

gen

pankreas

babi

ditransplantasikan ke bakteri Escheria coli sehingga dapat menghasilkan insulin


dalam jumlah yang besar.
Bioteknologi yang boleh dikatakan paling baru saat ini adalah rekayasa
genetik.

Dengan mengutak-utik gen mikroba, yaitu dengan teknik kloning

(pencangkokan) DNA gen-gen mikroba, menyebabkan perubahan aspek genetik dan


proses biokimia mikroba. Unsur-unsur dalam teknologi ini adalah plasmid,
transformasi,

dan

beberapa

enzim baru.

Dengan

rekayasa

genetika

juga

dikembangkan tumbuhan yang kebal terhadap penyakit dan dapat menambat nitrogen
dari udara secara baik.
10

Berikut adalah tahap-tahap untuk menentukan rekayasa genetika dengan:


1.

Mengindetifikasikan gen dan mengisolasi gen yang diinginkan.

2.

Membuat DNA/AND salinan dari ARN Duta.

3.

Pemasangan DNA pada cincin plasmid

4.

Penyisipan DNA rekombinan kedalam tubuh/sel bakteri.

5.

Membuat klon bakteri yang mengandung DNA rekombinan

6.

Permanenan produk

Dan beberapa metode yang sering digunakan dalam teknik rekayasa genetika
meliputi pengunaan vector, cloning, PCR, dan seleksi, screening, serta analisis
rekombinan.

Adapun

langkah-langkah dari

rekombina

genetik meliputi:

a)

Identifikasi gen yang diharapkan; b) Pengenalan kode DNA terhadap gen yang
diharapkan; c) Pangaturan ekspresi gen yang sudah direkayasa; dan d) Dan
pemantauan transmisi gen terhadap keturunannya.
Pada sebuah penelitian yang memberikan kontribusi terbesar bagi rekayasa
genetika adalah penelitian terhadap transfer (pemindahan) DNA bakteri dari suatu sel
ke sel yang lain melalui lingkaran DNA kecil yang disebut Plasmid. Plasmid adalah
gen yang melingkar yang terdapat dalam sel bakteri, tak terikat pada kromosom.
Melalui teknik plasmid dalam rekayasa genetika tersebut, para ahli di bidang
bioteknologi dapat mengembangkan tanaman transgenik yang resisten terhadap hama
dan penyakit.
Memodifikasi genetik dengan teknik itu tidak hanya terdapat pada tumbuhan,
juga terdapat pada hewan dan telah banyak dilakukan dengan tujuan

memiliki

berbagai macam manfaat yang bisa diambil, antara lain : a) Dibidang Sains dan
Kedokteran; dan b) Pengobatan penyakit, misalnya : beberapa penelitian telah
menggunakan protein pada menusia ke dalam gen hewan, contohnya domba atau
sapi yang akan menghasilkan susu yang memiliki protein dari gen manusia yang
akan digunakan untuk penyembuhan manusia.
Pemanfaatan rekayasa genetika lebih lanjut bagi kehidupan, sebagai berikut:

Meningkatnya derajat kesehatan manusia, dengan diproduksinya berbagai


hormon manusia seperti insulin dan hormon pertumbuhan.

Tersedianya bahan makanan yang lebih melimpah.


11

Tersedianya sumber energi yang terbaharui.

Proses industri yang lebih murah.

Berkurangnya polusi.

Adanya pestisida alami hasil dari tanaman rekayasa genetik

Saat ini telah banyak contoh hewan-hewan hasil rekayasa genetika yang
diciptakan, berikut beberapa diantaranya misal :
1.

GlowFish.
Ikan bercahaya GlowFish merupakan salah satu contoh hewan transgenic yang

direkayasa secara genetik. Ikan ini dikembangkan dari Amerika yang merekayasa
DNA dari ikan zebra dengan gen pengkode protein flourens warna hijau ari (green
fluorescent protein), namun secara fenotip, warna yang dihasilkan bukan hanya
warna hijau saja melainkan warna kuning hingga merah.
2.

Lembu transgenik penghasil protein susu


Teknologi transgenik ini telah sukses dilakukan untuk kepentingan di bidang

agrikultur dalam meningkatkan mutu kualitas pangan. Pada lembu sendiri sangat
jarang sekali dilakukan percobaan trangenik, dikarenakan akhirnya bisa menyisipi
gen penghasil a-lactalbumin dengan konsentrasi 2,5mg ml. Metode yang digunakan
adalah melakukan fertilisasi secara in-vitro yang selanjutnya akan dihasilkan zygot.
Tahap berikutnya zygot akan diinjeksi dengan DNA yang selanjutnya zygot dikultur
selama 6 atau 7 hari dengan menggunakan media sintetik yang menyerupai cairan
oviduk. Setelah itu akan tumbuh menjadi embrio dan ditransfer ke rahim lembu untuk
proses kehamilan.
3.

Kelinci penghasil Bispesifik T-Cell Antibody


Salah satu penyakit pada manusia adalah kanker. Penyakit ini dapat diatasi

dengan meningkatkan antibodi sel tipe T. Sekarang dengan menggunakan rekayasa


genetik, kelinci dapat dipakai sebagai hewan uji untuk menghasilkan dua macam
antibodi spesifik, yakni molekul CD28 dan r28M yang mampu menginduksi
TRC/CD3 yang mampu membunuh sel kanker. Dengan ditemukan antibodi
bispesifik bagi aplikasi medis.
4.

Ayam penghasil Tetracycline

12

Penemuan ini merupakan terobosan baru dalam mengembangkan bioreaktor


yang mampu menghasilkan biofarmasi dalam jumlah yang besar. Terasiklin
merupakan antibiotik yang diperlukan dalam dunia medis untuk mengobati pasien.
Selama ini tetrasiklin dihasilkan dari mikroorganisme. Dari penemuan ini,
diharapkan ayam transgenik mampu menghasilkan tetrasiklin dalam jumlah yang
lebih banyak serta lebih hemat dalam proses pembuatannya.
Dalam penelitian ini digunakan retrovirus sebagai vektornya. Dimana
retrovirus didesain untuk membawa materi genetik berupa GFPdan rtTA (reverse
tetracycline controlled transactivator) dibawah pengontrolan tetracycline-inducible
promoter dan PGK (Phosphoglycerate Kinase) promoter. Setelah itu, ayam
transgenic dihasilkan yang mana pada bagian telur ditemukan doxycycline yang
merupakan derivatif dari tetrasiklin serta tidak ditemukan adanya disfungsi fisiologi
secara signifikan dari telur tersebut.
5.

Sapi Penghasil Omega 3


Omega 3 merupakan salah zat yang penting bagi manusia. Dalam pendekata

ekonomi, maka dapat dihasilkan omega 3 dengan cara merekayasa sapi menjadi
hewan transgenik penghasil omega 3. Sapi yang direkayasa disisipi dengan gen
mfat-1 yang mampu memproduksi n-3 PUFA. Dari penelitian ini diperoleh hasil
ekspresi gen berupa n-3 PUFA pada jaringan dan susu sapi.
6.

Tikus Transgenik Resisten Terhadap Infeksi Bakteri


Resistensi suatu bakteri terhadap antibiotik merupakan masalah yang serirs

bagi dunia medis dan farmasi. Untuk itu diperlukan suatu

hewan yang mampu

menghasilkan antibiotik. Dalam percobaan yang menggunakan tikus digunakan suatu


protein yang dihasilkan antimikroba adalah protegrin-1 (PG-1) yang merupakan
derivate dari neutrofit. Adapun gen yang mengkode PG-1 adalah gen PG-1-His.
Setelah dilakukan penyisipan gen, maka tikus trasgenik diinjeksi dengan
bakteri actinobacillus suis pada paru-parunya. Sebagai perbandingan dilakukan
injeksi pula pada tikus tipe alami. Pada percobaan ini dilakukan 3 variasi, dimana
paru-paru tikus diinkubasi dengan media phosphate-buffered saline (pH 7,4), paruparu tikus transgenik, dan paru-paru tikus alami. Dari percobaan tersebut dihasilkan
histopatologi dari jaringan paru-paru setelah diinjeksi dengan bakteri Actinobacillus
suis. Setelah itu, akan menunjukkan adanya penumpukan neurotrofil dan makrofag
13

dalam jumlah yang besar, sehingga jaringan tersebut mengalami kerusakan akibat
infeksi bak.
Bagaimanakah penyisipan gen pada tanaman? Penyisipan gen pada suatu
tanaman membutuhkan proses yang sulit dan panjang. Untuk menyisipkan sebuah
gen pada sel tumbuhan, kita membutuhkan vektor tertentu. Vektor adalah organisme
yang berfungsi sebagai kendaraan pembawa materi genetik yang akan disisipkan. Sel
tumbuhan tidak memiliki plasmid seperti bakteri sehingga pilihan vektor yang
berpotensi untuk memasukkan gen ke dalam sel tanaman juga terbatas.
Sejauh ini, vektor terbaik untuk menyisipkan gen pada tanaman adalah
Agrobacterium tumefaciens. Hal ini karena bakteri tersebut memiliki Ti-plasmid
(Tumor Inducing Plasmid) yang dapat berintegrasi ke dalam DNA tumbuhan.
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menyisipkan gen pada suatu sel tanaman :
-

Ti-Plasmid yang terdapat pada bakteri Agrobacterium dikeluarkan dari sel


bakteri

Agrobacterium kemudian

dipotong

dengan

menggunakan

enzim

endonuklease restriksi.
-

Isolasi DNA pengkode protein (gen) yang kita inginkan dari organisme tertentu.

Sisipkan gen yang kita inginkan tersebut pada plasmid dan rekatkan dengan
enzim DNA ligase.

Masukkan kembali plasmid yang sudah disisipi gen ke dalam bakteri


Agrobacterium.

Plasmid yang sudah tersisipi gen akan terduplikasi pada bakteri Agrobacterium.

Selanjutnya, bakteri akan masuk ke dalam sel tanaman dan mentransfer gen.
Kemudian, sel tanaman akan membelah. Tiap-tiap sel anak akan memperoleh
gen baru dalam kromosom dari sel tanaman dan membentuk sifat/karakteristik
yang baru (yang sesuai dengan gen yang disisipkan).

Bakteri yang telah terintegrasi dengan Ti-plasmid akan dimasukkan ke dalam


potongan kecil dari sel tanaman/eksplan (misalnya potongan kecil dari daun).

Metode untuk memasukkan DNA plasmid yang terdapat pada sel bakteri ke
dalam sel tanaman ini disebut dengan transformasi. Di sini, gen pengkode
protein tertentu yang sudah bergabung pada Ti Plasmid akan tersisip pada
kromosom tanaman.

14

Selanjutnya, eksplan yang sudah memiliki

gen tertentu tersebut akan

dikulturkan/dibiakkan secara in vitro (di luar tubuh tanaman, misalnya pada


cawan petri). Eksplan dari tanaman tersebut akan tumbuh menjadi kalus
(kumpulan sel) yang dapat diinduksi untuk membentuk batang dan akar. Kalus
ini akan tumbuh menjadi plantlet (tanaman kecil). Plantlet kemudian akan
tumbuh menjadi individu tanaman transgenik yang bisa ditanam di tanah.

Terdapat cara mendeteksi bahwa gen sudah berhasil masuk ke dalam sel
tanaman dan menjadi tanaman transgenik, yakni dengan mendeteksi gen pengkode
protein tertentu yang kita inginkan sudah masuk atau belum ke dalam suatu tanaman,
kita membutuhkan tes/ujicoba. Misalnya, jika yang kita sisipkan itu adalah gen
pengkode kanamycin, kita dapat memasukkan kanamycin ke dalam suatu medium
dan meletakkan sel tanaman yang sudah disisipi gen pengkode kanamycin. Tanaman
yang sudah tersisipi gen pengkode kanamycin akan tumbuh di medium tersebut,
sedangkan sel tanaman yang tidak tersisipi tidak akan tumbuh dalam medium
tersebut.
Selain bioteknologi rekayasa genetika dimungkinkan dapat dikembangkan
pada tumbuhan dan hewan, juga dapat diterapkan di berbagai bidang keilmuan
lainnya. Oleh karena teknologi juga selalu terkait dengan ilmu pengetahuan lain,
sehingga tidak mengherankan jika teknologi ada di diantara ilmu pengetahuan dan
bidang-bidang lain. Bidang-bidang tersebut diantaranya adalah bidang farmasi dan
kedokteran, pertanian dan pangan, industri, lingkungan.
Bidang farmasi dan kedokteran yang biasanya disebut dengan warna merah
dari bioteknologi terdiri dari 4:
kedokteran regeneratif, terapi gen, kloning terapeutik, dan penggunaan
bahan organik secara lebih tepat dan terarah untuk membuat obat yang lebih
baik guna mengobati da menyembuhkan penyakit seperti Parkinson,
Alzheimer, kanker.
Di sisi lain bidang pertanian pangan dapat ditemui pada tanaman transgenik
yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu karena sifatnya telah diperbaiki.
Termasuk didalamnya adalah penerapan pengetahuan ilmu kehidupan untuk
4

Mae-Wan Ho., Rekayasa Genetik: Impian atau Petaka, Yogyakarta: Insist Press, 2008, hlm. xxiv.

15

meningkatkan teknik pemuliaan tanaman serta menseleksi [menyeleksi] tanaman liar


untuk dibudidayakan.5 Aplikasi bioteknologi pada bidang pertanian pangan ini
biasanya disebut dengan warna hijau, sedangkan warna putih digunakan untuk
menyebut aplikasi bioteknologi pada bidang industri.
Bioteknologi pada bidang industri ini terdiri dari pengolahan dan produksi
bahan kimia, materi, dan energi, termasuk didalamnya pengolahan dan pembuatan
biofuel yang menggunakan bahan-bahan tanaman seperti kanola, gandum, kedelai
dan lain-lain yang ditujukan untuk melakukan penghematan bahan bakar fosil serta
untuk mengamankan lingkungan. Di bidang lingkungan sendiri dimungkinkan juga
dilakukannya aplikasi bioteknologi.
Aplikasi

bioteknologi

pada

bidang

lingkungan

diantaranya

adalah

pengembangan enzim untuk bioremediasi, guna membantu membersihkan bencana


lingkungan seperti tumpahan minyak; dan mikroba untuk menyerap dan menyaring
limbah dalam air di saluran kotoran. 6 Aplikasi ini mempunyai spektrum warna abuabu, dan merupakan suatu warna baru dalam aplikasi bioteknologi.
Dalam bioteknologi terdapat dampak positif dan negatif yang ditimbulkan bagi
makhluk hidup dan lingkungan untuk diketahui. Dan berikut adalah dampak positif
diadakannya hasil bioteknologi:

Menciptakan bibit unggul

Meningkatkan gizi masyarakat

Melestarikan plasma nutfah

Meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi sesuai keinginan manusia

Membantu pasangan yang kesulitan mendapatkan keturunan melalui jalan pintas


dengan teknologi bayi tabung.

Bilamana

diberikan

spesifik

terhadap

dampak

positif

yang

menjadi

pemanfaatan bagi penggunaan teknologi rekayasa genetika adalah sebagai berikut:


1.

Di bidang Kedokteran Dalam dunia kedokteran, misalnya, produksi horman


insulin tidak lagi disintesis dari hewan mamalia, tetapi dapat diproduksi oleh selsel bakteri dengan cara kloning. ADN mamalia yang mengkode sintesis hormon

Ibid, hlm. xxv.

Ibid, hlm. xxvi.

16

insulin. Klon ADN kemudian dimasukkan ke dalam sel bakteri sehingga sel-sel
bakteri tersebut akan menghasilkan hormon insulin.
a.

Pembuatan Insulin Manusia oleh Bakteri Dalam bulan Desember 1980,


seorang wanita Amerika (37 tahun) berasal dari Kansas, Amerika Serikat,
merupakan manusia pertama yang dapat menikmati manfaat rekayasa
genetika.
Dia merupakan pasien diabetes pertama yang disuntik dengan insulin
manusia yang dibuat oleh bakteri. Insulin adalah suatu macam protein yang
tugasnya mengawasi metabolisme gula di dalam tubuh manusia. Gen insulin
adalah suatu daerah dalam ADN kita yang memiliki informasi untuk
menghasilkan insulin. Penderita diabetes tidak mampu membentuk insulin
dalam jumlah yang dibutuhkan. Dahulu insulin didapatkan dari kelenjar
pancreas sapi dan babi. Untuk membuat hanya 1 pound (0,45 kg) insulin
hewani itu, yang dibutuhkan oleh 750 pasien diabetes selama satu tahun,
diperlukan 8.000 pound (3.600 kg) kelenjar yang berasal dari 23.000 ekor
hewan. Dengan teknik rekayasa genetika, para peneliti berhasil memaksa
bakteri untuk membentuk insulin yang mirip sekali dengan insulin manusia.
Melalui penelitian dapat dibuktikan pula bahwa salinan insulin manusia ini
bahkan lebih baik daripada insulin hewani dan dapat diterima lebih baik
oleh tubuh manusia.

b.

Pembuatan Vaksin Terhadap Virus AIDS Pada tahun 1979 di Amerika


Serikat dikenal

suatu penyakit baru yang menyebabkan seseorang

kehilangan kekebalan tubuh.


Penyakit ini dinamakan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
atau Sindrom defisiensi imunitas dapatan. Penderita mengidap kerapuhan
daya kekebalan untuk melawan infeksi. Dalam tahun 1983 diketahui bahwa
AIDS ditularkan oleh prosedur transfusi darah, selain oleh pemakaian jarum
obat bius dan hubungan seks pada orang homoseks. Penderita AIDS
mengalami kerusakan pada sel-T, sel darah putih kelompok limfosit yang
vital bagi tubuh guna memerangi infeksi.
c.

Usaha

menyembuhkan

penyakit

Lesch-Nyhan

Penyakit

Lesch-Nyhan

adalah salah satu penyakit keturunan yang ditemukan paling akhir, yaitu di
17

pertengahan 1960, oleh Dr. William Nyhan dari medical Scholl, University
of California, San Franscisco, California, USA, bersama seorang
mahasiswanya bernama Michael Lesch. Penyakit ini adalah salah satu dari
sekitar 3000 jenis penyakit keturunan yang pernah ditemukan. Penerita
penyakit mental ini tidak mampu membentuk enzim hipoxantin-guanin
phosphoribosil transferase (HGPRT) yang diikuti olah bertambah aktifnya
gen serupa, ialah adenine phosphoribosil transferase (APRT). Karena
metabolisme purin menjadi abnormal, maka penderita memilliki purin yang
berlebihan, terutama basa guanine.
d.

Terapi Gen Para peneliti juga menggunakan rekayasa genetika untuk


mengobati kelainan genetik. Proses ini, yang disebut terapi gen, meliputi
penyisipan duplikat beberapa gen secara langsung ke dalam sel seseorang
yang mengalami kelainan genetis. Sebagai contoh, orang-orang yang
mengalami sistik fibrosis tidak memproduksi protein yang dibutuhkan untuk
fungsi paru-paru yang tepat. Kedua gen yang mengkode protein untuk cacat
bagi

orang-orang

ini

mengalami

kerusakan.

Para

ilmuwan

dapat

menyisipkan duplikat gen ke dalam virus yang tidak membahayakan. Virus


yang direkayasa ini dapat disemprotkan ke paru-paru pasien yang
menderita sistik fibrosis. Para peneliti berharap bahwa duplikat gen dalam
virus tersebut akan berfungsi bagi pasien untuk memproduksi protein.
Terapi gen masih merupakan metode eksperimen untuk mengobati kelainan
genetik. Para peneliti bekerja keras untuk mengembangkan teknik yang
menjanjikan ini.
2.

Pentingnya Rekayasa Genetik di Bidang Farmasi Dalam dunia farmasi, gen yang
mengontrol sintesis obat-obatan jika diprosukdi secara alami akan membutuhkan
ongkos produksi yang tinggi.
Jika diklon dan dimasukkan ke dalam sel-sel bakteri, bakteri akan memproduksi
obat-obatan tersebut. Rekayasa genetik begitu cepat mendapat perhatian di
bidang farmasi dalam usaha pembuatan protein yang sangat diperlukan untuk
kesehatan.

18

a.

Pencangkokan gen biasanya hanya menyangkut sebuah gen tunggal. Secara


teknik, ini tentunya lebihmudah dijalankan daripada menghadapi sejumlah
gen-gen.

b.

Mungkin kloning gen ini relatif lebih murah, aman, dan dapat dipercaya
dalam memperoleh sumber protein yang mempunyai arti penting dalam
bidang farmasi.

c.

Banyak hasil-hasil farmasi yang didapatkan melalui pencangkokan gen itu


berupa senyawa-senyawa yang dengan dosis kecil saja sudah dapat
memperlihatkan pengaruh yang banyak, seperti misalnya didapatkannya
berbagai macam hormone, faktor tumbuh dan protein pengatur, yang
mempengaruhi proses fisiologis, sepeerti tekanan darah, penyembuhan luka
dan ketenangan hati.

3.

Pentingnya Rekayasa Genetik di bidang Pertanian Rekayasa genetik juga telah


digunakan untuk menyisipkan gen ke dalam sel dari organisme-organisme lain.
Para ilmuwan telah menyisipkan gen-gen dari bakteri ke dalam sel tomat,
gandum, padi, dan tanaman pangan lainnya (Bernabetha, dkk. 2006.).
Beberapa memungkinkan tanaman bertahan hidup dalam temperatur dingin atau
kondisi tanah yang gersang, dan kebal terhadap hama serangga. Pertanian
diharapkan akan menikmati keuntungan paling banyak dari teknik rekayasa
genetik, seperti:
a.

Menggantikan pemakaian pupuk nitrogen yang banyak dipergunakan tetapi


mahal harganya, oleh fiksasi nitrogen secara alamiah.

b.

Teknik rekayasa genetik mengusahakan tanam-tanaman (khususnya yang


mempunyai arti ekonomi) yang tidak begitu peka terhadap penyakit yang
disebabkan oleh bakteri, jamur, dan cacing.

c.

Mengusahakan tanam-tanaman yang mampu menghasilkan pestisida sendiri.

d.

Mengusahakan tanaman padi-padian yang mampu membuat pupuk nitrogen


sendiri.

e.

Tanam-tanaman yang mampu menangkap cahaya dengan lebih efektif untuk


meningkatkan efisiensi fotosintesis.

f.

Tanam-tanaman yang lebih tahan terhadap pengaruh kadar garam, hawa


kering, dan embun beku.
19

g.

Mengusahakan menadapatkan tanaman baru yang lebih menguntungkan


lewat pencangkokan gen. Tanaman kentang, tomat, dan tembakau tergolong
dalam keluarga yang sama, yaitu Solanaceae. Akan tetapi serbuk sari dari
satu spesies dalam keluarga ini tidak dapat membuahi sel telur dari spesies
lain dalam keluarga itu juga.

Contoh tanaman yang telah menggunakan Teknologi Rekayasa yaitu:


1) Kedelai Transgenik Kedelai merupakan produk Genetikally Modified
Organism terbesar yaitu sekitar 33,3 juta ha atau sekitar 63% dari total
produk GMO yang ada. Dengan rekayasa genetik, dihasilkan tanaman
transgenik yang tahan terhadap hama, tahan terhadap herbisida dan
memiliki kualitas hasil yang tinggi. Saat ini secara global telah
dikomersialkan dua jenis kedelai transgenik yaitu kedelai toleran herbisida
dan kedelai dengan kandungan asam lemak tinggi
2) Jagung Transgenik Di Amerika Serikat, komoditi jagung telah mengalami
rekayasa genetik melalui teknologi rDNA, yaitu dengan memanfaatkan gen
dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) untuk menghindarkan diri dari
serangan hama serangga yang disebut corn borer sehingga dapat
meningkatkan hasil panen. Gen Bacillus thuringiensis yang dipindahkan
mampu memproduksi senyawa pestisida yang membunuh larva corn borer
tersebut. Berdasarkan kajian tim CARE-LPPM IPB menunjukkan bahwa
pengembangan usaha tani jagung transgenik secara nasional memberikan
keuntungan ekonomi sekitar Rp. 6,8 triliyun. Keuntungan itu berasal dari
mulai peningkatan produksi jagung, penghematan usaha tani hingga
penghematan devisa negara dengan berkurangnya ketergantungan akan
impor jagung. Dalam jangka pendek pengembangan jagung transgenik akan
meningkatkan produksi jagung nasional untuk pakan sebesar 145.170 ton
dan konsumsi langsung 225.550 ton. Sementara dalam jangka panjang,
penurunan harga jagung akan merangsang kenaikan permintaan jagung baik
oleh industri pakan maupun konsumsi langsung. Bukan hanya itu, dengan
meningkatkan produksi jagung Indonesia juga menekan impor jagung yang
kini jumlahnya masih cukup besar. Pada tahun 2006, impor jagung masih

20

mencapai 1,76 juta ton. Secara tidak langsung, penggunaan tanaman


transgenik juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3) Kapas Transgenik Kapas hasil rekayasa genetik diperkenalkan tahun 1996
di Amerika Serikat. Kapas yang telah mengalami rekayasa genetika dapat
menurunkan jumlah penggunaan insektisida. Diantara gen yang paling
banyak digunakan adalah gen cry (gen toksin) dari Bacillus thuringiensis,
gen-gen dari bakteri untuk sifat toleransi terhadap herbisida, gen yang
menunda

pemasakan

buah.

Bagi

para

petani,

keuntungan

dengan

menggunakan kapas transgenik adalah menekan penggunaan pestisida atau


membersihkan gulma tanaman dengan herbisida secara efektif tanpa
mematikan tanaman kapas. Serangga merupakan kendala utama pada
produksi tanaman kapas. Di samping dapat menurunkan produksi, serangan
serangga hama dapat menurunkan kualitas kapas.Saat ini lebih dari 50
persen areal pertanaman kapas di Amerika merupakan kapas transgenik dan
beberapa tahun ke depan seluruhnya sudah merupakan tanaman kapas
transgenik. Demikian juga dengan Cina dan India yang merupakan produsen
kapas terbesar di dunia setelah Amerika Serikat juga secara intensif telah
mengembangkan kapas transgenik.
4) Tomat Transgenik Pada pertanian konvensional, tomat harus dipanen ketika
masih hijau tapi belum matang. Hal ini disebabkan akrena tomat cepat lunak
setelah matang. Dengan demikian, tomat memiliki umur simpan yang
pendek, cepat busuk dan penanganan yang sulit. Tomat pada umumnya
mengalami hal tersebut karena memiliki gen yang menyebabkan buah tomat
mudah lembek. Hal ini disebabkan oleh enzim poligalakturonase yang
berfungsi mempercepat degradasi pektin. Tomat transgenik memiliki suatu
gen khusus yang disebut antisenescens yang memperlambat proses
pematangan

(ripening)

dengan

cara

memperlambat

sintesa

enzim

poligalakturonase sehungga menunda pelunakan tomat. Dengan mengurangi


produksi

enzim poligalakturonase

akan dapat diperbaiki

sifat-sifat

pemrosesan tomat. Varietas baru tersebut dibiarkan matang di bagian batang


tanamannya

untuk waktu yang lebih lama sebelum dipanen. Bila

dibandingkan dengan generasi tomat sebelumnya, tomat jenis baru telah


21

mengalami

perubahan

genetika,

tahan

terhadap

penanganan

dan

ditransportasi lebih baik, dan kemungkinan pecah atau rusak selama


pemrosesan lebih sedikit.
5) Kentang Transgenik Mulai pada tanggal 15 Mei 1995, pemerintah Amerika
menyetujui untuk mengomersialkan kentang hasil rekayasa genetika yang
disebut Monsanto sebagai perusahaan penunjang dengan sebutan kentang
New` Leaf. Jenis kentang hybrid tersebut mengandung materi genetik
yang

memnungkinkan

kentang

mampu

melindungi

dirinya

terhadap

serangan Colorado potato beetle. Dengan demikian tanaman tersebut dapat


menghindarkan diri dari penggunaan pestisida kimia yang digunakan pada
kentang tersebut. Selain resisten terhadap serangan hama, kentang
transgenik ini juga memiliki komposisi zat gizi yang lebih baik bila
dibandingkan dengan kentang pada umumnya. Hama beetle Colorado
merupakan suatu jenis serangga yang paling destruktif untuk komoditi
kentang di Amerika dan mampu menghancurkan sampai 85% produksi
tahunan kentang bila tidak ditanggulangi dengan baik. Daya perlindungan
kentang transgenik tersebut berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis
sehingga kentang transgenik ini disebut juga dengan kentang Bt. Sehingga
diharapkan melalui kentang transgenik ini akan membantu suplai kentang
yang berkesinambungan, sehat dan dalam jangkauan daya beli masyarakat.
4.

Pentingnya Rekayasa Genetika di Bidang Peternakan Teknik rekayasa genetika


dapat juga digunakan untuk menyisipkan gen ke dalam hewan, yang kemudian
memproduksi obat-obatan penting untuk manusia.
Sebagai contoh, para ilmuwan dapat menyisipkan gen manusia ke dalam sel
sapi. Kemudian sai tersebut memproduksi protein manusia yang sesuai dengan
kode gen yang disisipkan. Para ilmuwan telah menggunakan teknik ini untuk
memproduksi

protein

pembeku

darah

yang dibutuhkan oleh penderita

hemophilia. Protein tersebut diproduksi dalam susu sapi, dan dapat dengan
mudah diekstraksi dan digunakan untuk mengobati manusia yang menderita
kelainan itu.
Di bidang Peternakan, rekayasa genetika juga diduga akan memberi harapan
besar, seperti:
22

a.

Telah diperoleh vaksin-vaksin untuk melawan penyakit mencret ganas yang


dapat mematikan anak-anak babi.

b.

Sudah dipasarkan vaksin yang efektif terhadap penyakit kuku dan mulut,
yaitu penyakit ganas dan sangat menular pada sapi, domba, kambing, rusa
dan babi. Sebelumnya, para peternak sering membantai seluruh ternaknya,
walaupun sebenarnya hanya seekor saja yang terkena penyakit tersebut,
dengan maksud untuk mencegah penularannya yang lebih luas.

c.

Sekarang sedang diuji hormone pertumbuhan tertentu untuk sapi yang


mungkin dapat meningkatkan produksi susu.

5.

Pentingnya Rekayasa Genetika di Bidang Industri Penelitian rekayasa genetika


di bidang industri sedang meningkat cepat. Berbagai usaha yang sedang giat
dilakukan misalnya:
a.

Menciptakan bakteri yang dapat melarutkan logam-logam langsung dari


dalam bumi.

b.

Menciptakan

bakteri

yang dapat menghasilkan bahan kimia, yang

sebelumnya berasal dari minyak atau dibuat secara sintetis, misalnya saja
dapat menghasilkan bahan pemanis yang digunakan pada pembuatan
berbagai macam minuman.
c.

Menciptakan bakteri yang dapat menghasilkan bahan mentah kimia seperti


etilen yang diperlukan untuk pembuatan plastik.

d.

Chakrabarty, seorang peneliti yang bekerja untuk perusahaan General


Electrik mencoba untuk menciptakan suatu mikroorganisme yang mampu
menggunakan minyak tanah sebagi sumber makanan dengan maksud agar
supaya mikroorganisme demikian itu akan sangat berharga dalam dunia
perdagangan, karena dapat membersihkan tumpahan minyak tanah.

6.

The Human Genome Project.


Sebuah usaha kolaboratif berskala besar untuk mengkodekan semua pasangan
basa nukleotida yang berjumlah 3 miliar dalam genom manusia diluncurkan
pada tahun 1980-an. Usaha Internasional Human Genome Project didanai oleh
pemerintah dan juga sumber-sumber industri. Proyek tersebut diharapkan selesai
23

tahun 2003, pada tahun ke-50 penemuan struktur ADN, dan memakan biaya
miliaran

dolar.

Akan

tetapi,

kemajuan-kemajuan

di

bidang

teknologi

memungkinkan proyek itu diselesaikan beberapa tahun lebih awal sebelum


jadwalnya. Dalam sebuah pengumuman bersejarah pada 26 Juni 2000 di Gedung
Putih AS, para pemimpin dari industry (J. Craig Venter dari Celera Genomics)
dan pemerintah AS (Francis Collins dari National Human Genome Research
Institute) mengumumkan bahwa draf pertama genom manusia telah diselesaikan.
Penyelesaian draft pertama itu memakan waktu 10 tahun. Para partisipan yang
didanai oleh pemerintah memilih kromosom-kromosom individual untuk disequencing, sementara laboratorium-laboratorium yang didanai pihak swasta
melakukan sequencing atas keseluruhan genom dalam pendekatan shotgun":
skala besar (Elrod, S. dan William D. Stansfield, 2007). Pendekatan tersebut
menggunakan komputer untuk merakit data yang diperoleh menjadi peta
keseluruhan genom. Secara keseluruhan, lebih dari 20 miliar basa informasi
sekuens telah dikumpulkan. Miliaran basa-basa ini saling tumpang tindih
(overlap) sebagai bahan untuk membentuk peta sekuens genom manusia. Ada
begitu banyak computer sehingga sistem-sistem piranti keras computer baru
telah dikembangkan untuk menampungnya dan ruang penyimpanannya diukur
dalam terabita (1015), yang 1.000 kali lebih besar daripada gigabita (1012).
Dalam 3 miliar pasangan basa yang menyusun genom manusia, diperkirakan
terdapat 25.000 hingga 45.000 gen. Ukuran gen manusia bisa berkisar dari
ribuan hingga ratusan ribu pasangan basa (mencakup ekson dan intron). Sebagai
contoh, analisis data sekuens dari kromosom 22 menunjukkan kalau tampaknya
kromosom tersebut mengandung lebih dari 800 gen. gen yang paling besar
melampaui 500.000 pasangan basa panjangnya. Dari gen-gen yang sudah
diidentifikasi, hanya separuhnya ( 400) memiliki fungsi yang dihipotesiskan, hal
ini ditemukan melalui pembandingan database sekuens. Sejumlah gen yang telah
diidentifikasi bertanggung jawab atas setidaknya 27 kelainan manusia, termasuk
kanker otak dan skizofrenia. Telah diidentifikasi keluarga gen, kelompok gengen yang mirip, yang tampaknya berasal dari duplikasi tandem gen-gen dan
divergensi yang terjadi sesudahnya akibat mutasi. Dan itu baru satu dari 23
kromosom manusia yang dianalisis. Keunggulan Tanaman Rekayasa Genetika
24

(Genetikally Modified Organism) WHO telah meramalkan bahwa populasi


dunia akan berlipat dua pada tahun 2020 sehingga diperkirakan jumlah
penduduk akan lebih dari 10 milyar. Karena kondisi tersebut, produksi pangan
juga harus ditingkatkan demi menjaga kesinambungan manusia dengan bahan
pangan yang tersedia. Namun yang menjadi kendala, jumlah sisa lahan pertanian
di dunia yang belum termanfaatkan karena jumlah yang sangat kecil dan
terbatas. Dalam menghadapi masalah tersebut, teknologi rDNA atau Genetikally
Modified Organism (GMO) akan memiliki peranan yang sangat penting.
Teknologi rDNA dapat menjadi strategi dalam peningkatan produksi pangan
dengan keunggulan-keunggulan sebagai berikut :
a.

Mereduksi kehilangan dan kerusakan pasca panen

b.

Mengurangi resiko gagal panen

c.

Meningkatkan rendemen dan produktivitas

d.

Menghemat pemanfaatan lahan pertanian

e.

Mereduksi kebutuhan jumlah pestisida dan pupuk kimia

f.

Meningkatkan nilai gizi

g.

Tahan terhadap penyakit dan hama spesifik, termasuk yang disebabkan oleh
virus. Berbagai keunggulan lain dari tanaman yang diperoleh dengan teknik
rekayasa genetika adalah sebagai berikut :
1) Menghasilkan jenis tanaman baru yang tahan terhadap kondisi
pertumbuhan yang keras seperti lahan kering, lahan yang berkadar
garam tinggi dan suhu lingkungan yang ekstrim. Bila berhasil dilakukan
modifikasi genetika pada tanaman, maka dihasilkan asam lemak
linoleat yang tinggi yang menyebabkan mampu hidup dengan baik pada
suhu dingin dan beku.
2) Toleran terhadap herbisida yang ramah lingkungan yang dapat
mengganggu gulma, tetapi tidak mengganggu tanaman itu sendiri.
Contoh kedelai yang tahan herbisida dapat mempertahankan kondisi
bebas gulmanya hanya dengan separuh dari jumlah herbisida yang
digunakan secara normal
3) Meningkatkan

sifat-sifat

fungsional

yang

dikehendaki,

seperti

mereduksi sifat atau daya alergi (toksisitas), menghambat pematangan


25

buah, kadar pati yang lebih tinggi serta daya simpan yang lebih
panjang. Misalnya, kentang yang telah mengalami teknologi rDNA,
kadar patinya menjadi lebih tinggi sehingga akan menyerap sedikit
minyak bila goreng (deep fried). Dengan demikian akan menghasilkan
kentang goreng dengan kadar lemak yang lebih rendah.
4) Sifat-sifat yang lebih dikehendaki, misalnya kadar protein atau lemak
dan meningkatnya kadar fitokimia dan kandungan gizi. Kekurangan
gizi saat ini telah melanda banyak negara di dunia terutama negara
miskin dan negara berkembang. Kekurangan gizi yang nyata adalah
kekurangan

vitamin

A,

yodium,

besi

dan

zink.

Untuk

menanggulanginya, dapat dilakukan dengan menyisipkan den khusus


yang mampu meningkatkan senyata-senyawa tersebut dalam tanaman.
Contohnya telah dikembangkan beras yang memiliki kandungan
betakaroten

dan

besi

sehingga

mampu

menolong

orang

yang

mengalami defisiensi senyawa tersebut dan mencegah kekurangan gizi


pada masyarakat.
Penggunaan rekayasa genetika khususnya pada tanaman tidak terlepas dari prokontra mengenai penggunaan teknologi tersebut.
a.

Tanaman transgenik memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding degan


tanaman konvensional, memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi, tahan
hama, tahan cuaca sehingga penanaman komoditas tersebut dapat memenuhi
kebutuhan pangan secara capat dan menghemat devisa akibat penghematan
pemakaian pestisida atau bahan kimia serta memiliki produktivitas yang
lebih tinggi.

b.

Teknik

rekayasa

genetika

sama

dengan

pemuliaan

tanaman

yaitu

memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambah sifat-sifat ketahanan


terhadap

cengkeraman

hama

maupun

lingkungan

yang

kurang

menguntungkan sehingga tanaman transgenik memiliki kualitas lebih baik


dari tanaman konvensional serta bukan hal yang baru karena sudah lama
dilakukan tetapi tidak disadari oleh masyarakat.

26

c.

Mengurangi dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan, misalnya


tanaman transgenik tidak perlu pupuk kimia dan pestisida sehingga tanaman
transgenik dapat membantu upaya perbaikan lingkungan.

Namun, di seluruh dunia tidak sedikit para ilmuan yang memperlakukan


kehidupan seperti taman bermainnya. Di balik pintu tertutup mereka menciptakan
monster yang mengerikan, dan paling aneh yang mungkin dibayangkan, dan sangat
sedikit orang yang tampaknya peduli. Para ilmuan mengklaim bahwa mereka bisa
mengubah hewan ternak yang lebih berguna dan lebih unggul. Namun bagaimana
jika ada yang tidak beres, misalnya bagaimana kita belajar bahwa makanan yang
dimodifikasi secara genetik sangat buruk bagi manusia, karena saat ini lebih dari 70
persen makanan yang dijual di Amerika sendiri mangandung setidaknya satu bahan
yang telah dimodifikasi secara genetik.
FRANKENFOOD, telah menjanjikan bahwa tanaman hasil rekayasa genetika
akan memungkinkan untuk dapat memberi makan seluruh dunia. Namun, mengapa
dunia masih kelaparan dan diyakini juga telah terdapat penyakit tanaman super yakni
penyakit hama super yang semuanya berkembang dari hasil modifikasi rekayasa
genetika. Sebagaimana yang terjadi di Cina terhadap ulat bollworm sekarang menjadi
resisten terhadap racun yang tumbuh di dalam kapas rekayasa genetik, sejauh dunia
mau memandang bahwa sekarang ulat bollworm telah bermutasi.
Beberapa tahun lalu seorang dokter menemukan racun bioteknologi yang
merupakan hasil dari rekayasa genetika yang terdapat di dalam darah, dia menguji 93
persen wanita hamil, 80 persen darah dari tali pusar bayi mereka, dan 67 persen
wanita yang tidak hamil, dia berpendapat bahwah racun ini cenderung dikonsumsi
dalam makanan normal kelas menengah yang di daerah tersebut sebagian besar
terdapat pada makanan olahan dan minuman dalam bentuk sirup jagung tinggi
fruktosa. Hasil ini menunjukkan bahwa pengonsumsi jagung bt (bioteknologi)
mungkin mengubah flora usus menjadi pabrik pestisida hidup.
Dari penyimpangan tersebut yang akan berdampak terhadap kehidupan,
terbukti bahwa tidak semua rekayasa genetik berdampak positif bagi kehidupan
manusia maupun kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Oleh sebab itu, selain
dampak positif yang dihasilkan tentunya juga terdapat dampak negatif yang
27

ditimbulkan dari rekayasa genetika. Beberapa dampak negatif yang diakibatkan oleh
rekayasa genetika adalah sebagai berikut.
1.

Dampak rekayasa genetika terhadap kesehatan


Gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh penggunaan hasil rekayasa genetika
pada manusia yang telah dibuktikan adalah reaksi alergis. Sedangkan pada
hewan gangguan kesehatan yang diakibatkankan seperti gangguan pencernaan,
imunosupresif, kekerdilan, dan arthritis. Sebagai contoh, penggunaan hormon
bovinesomatotropine yang berasal hasil rekayasa genetika dapat meningkatkan
produksi susu sapi mencapai 40 persen dari produksi biasanya dan porcine
somatotropin dapat meningkatkan produksi daging babi 25 persen dari biasanya.
Tetapi, kedua ini akan menghasilkan hasil sampingan berupa insulin growth
factor I (IGF I) yang banyak dijumpai di dalam darah maupun di dalam daging,
hati, serta di dalam susu. Mengonsumsi IGF I akan memberikan kekhawatiran
risiko munculnya penyakit diabetes, penyakit AIDS dan resisten terhadap
antibiotika pada manusia sedangkan pada sapi akan memberikan risiko
munculnya penyakit sapi-gila serta penyakit radang kelenjar susu (mastitis).

2.

Dampak rekayasa genetika terhadap lingkungan


Dampak negatif dari rekayasa genetika terhadap lingkungan dapat muncul
diakibatkan oleh sisa-sisa hasil rekayasa yang tidak dibersihkan secara
maksimal. Sebagai contoh, tanaman yang mempergunakan bibit rekayasa
genetika menghasilkan pestisida. Sesudah dewasa tanaman transgenik yang
tahan hama tanaman menjadi mati dan berguguran ke tanah. Bakteri dan jasad
renik lainnya yang dijumpai pada tanah tanaman tersebut mengalami kematian
dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan terhadap struktur dan
tekstur tanah. Gen tanaman transgenetik dapat ber-cross-polination dengan
tumbuhan lainnya sehingga mengakibatkan munculnya tumbuhan baru yang
dapat resisten terhadap gen yang tahan terhadap hama penyakit.

3.

Dampak rekayasa genetika terhadap religi dan etika


Dampak negatif rekayasa genetika secara religi dan etika dikarenakan dalam
rekayasa genetika memungkinkan untuk dihasilkan suatu produk yang dalam
tubuh manusia yang sakit tidak dapat dihasilkan. Sebagai contoh, penggunaan
obat insulin yang diproduksi dari transplantasi sel pankreas babi ke sel bakteri,
28

serta

xenotransplantation

yang

menggunakan

katup

jantung

babi

ditransplantasikan ke jantung manusia memberikan kekhawatiran terhadap


mereka yang beragama Islam.

Dan setidaknya ada sekitar 20 produk pertanian hasil modifikasi genetik telah
beredar di pasaran Amerika, Kanada, bahkan Asia Tenggara. Dalam enam tahun ke
depan, berbagai perusahaan telah menyiapkan 26 produk lainnya, mulai dari kedelai,
jagung, kapas, padi hingga stroberi. Dari yang tahan hama, herbisida, jamur hingga
pematangan yang dapat ditunda.
Tahun 1989 untuk pertama kalinya uji lapangan dilakukan pada kapas
transgenik yang tahan terhadap serangga (Bt cotton) dan pada tahun yang sama
dimulai proses pemetaan gen pada tanaman (Plant Genome Project). Pada tahun
1992 sebuah perusahaan penyedia benih memasukkan gen dari kacang Brasil ke
kacang kedelai dengan tujuan agar kacang kedelai tersebut lebih sehat dengan
mengoreksi defisiensi alami kacang kedelai untuk bahan kimia metionin.
Pada tahun 1952, Robert Brigs dan Thomas J. King (AS) mencoba teknik
kloning pada katak. Sepuluh tahun kemudian (1962), John B. Gurdon juga mencoba
teknik kloning pada katak, namun percobaanya menghasilkan banyak katak yang
abnormal. Dan pada tahun 1986, Steen Willadsen (Inggris) melakukan kloning pada
sapi untuk komersialisasi dengan metode transfer inti. Tahun 1996, Ian Willmut
mengkloning domba. Ia menggunakan sel kelenjar susu domba finn dorset sebagai
donor inti dan sel telur domba blackface sebagai resipien. Sel telur domba blackface
dihilangkan intinya dengan cara mengisap nukleusnya keluar dari sel menggunakan
pipet mikro. Kemudian, sel kelenjar susu domba finn dorsetg di-fusi-kan dengan sel
telur blackface yang tanpa nukleus. Hasil fusi ini kemudian berkembang menjadi
embrio dalam tabung percobaan dan kemudian dipindahkan ke rahim domba
blackface. Kemudian embrio berkembang dan lahir dengan ciri-ciri sama dengan
domba finn dorset, dan domba hasil kloning ini diberi nama Dolly. Dari 227
percobaan yang dilakukan oleh Wilmut, hanya 29 yang berhasil menjadi embrio
domba yang dapat ditransplantasikan ke rahim domba, dan hanya satu yang berhasil
dilahirkan menjadi domba normal.
29

Bagaimana keberlakuannya bilamana rekayasa genetika diterapkan pada


manusia. Apakah lantas boleh diberlakukan kepada manusia? Penelitian yang
memberikan kontribusi terbesar bagi rekayasa genetika adalah penelitian terhadap
transfer (pemindahan) DNA bakteri dari suatu sel ke sel yang lain melalui lingkaran
DNA kecil yang disebut plasmid. Plasmid adalah gen yang melingkar yang terdapat
dalam sel bakteri, tak terikat pada kromosom. Melalui teknik plasmid dalam rekayasa
genetika tersebut, para ahli di bidang bioteknologi dapat mengembangkan tanaman
transgenik yang resisten terhadap hama dan penyakit. Misalkan dalam perolehan
jagung transgenik yang tahan hama tanaman dihasilkan toksin pembunuh hama dari
gen bakteri kemudian ditransplantasikan ke tanaman jagung.
Namun, keberlakuan rekayasa genetika terhadap manusia terdapat kode etik
yang melarang keras percobaan terhadap manusia. Bagaimana pun para ahli
berpendapat lain bahwa tidak selamanya keilmuan bersikap kaku sebab berbagai
penyakit fatal memang sulit disembuhkan kecuali dengan terapi genetik. Maka
muncul pendapat lain tentang perlu adanya dispensasi. Dispensasi itu dikeluarkan
oleh Komite Rekayasa Genetika dari National Institute of Health (NIH) Amerika
Serikat pada pertengahan tahun 1990.
Penggunaan

bioteknologi

sendiri

bertujuan

untuk

menciptakan produk

rekayasa genetika bagi banyak peneliti harapan akan suatu Revolusi Hijau (Green
Revolution) baru. Meski banyak pro dan kontra terhadap rekayasa genetika, dan
termasuk kepada pelarangan secara politis lantaran dianggap pangan tak layak,
sekelompok lingkungan dan konsumen telah sukses melakukan lobi terhadap
pelabelan pangan rekayasa genetika di beberapa negara union Eropa dan lainnya
seperti Australia, Brasil, Cina, Jepang, Korea, dan New Zealand.
Dalam hal ini ada toleransi, penerimaan terhadap persentase rekayasa genetika
pada sebuah produk yang telah terrekayasa genetika sebelum akhirnya dilabelkan
sebagai pangan rekayasa genetika. Di beberapa negara telah mengakseptasi standar
positif terhadap toleransi ini bahkan oleh Union Eropa terdapat kewajiban untuk
dilakukannya kebijakan label rekayasa genetika sejak Januari 2000 bilamana bahan
produk memiliki sedikitnya 1 % rekayasa genetika (Rousu and Huffman). Australia
bertoleransi 1% terhadap pelabelan produk rekayasa genetika. Negara lainnya telah
memiliki tingkat pelabelan berbeda sebelum disebutkan sebagai bahan pangan
30

rekayasa genetika, seperti di Jepang memiliki tingkat toleransi 5%, Korea 3%, Brasil
4%, dan Tailand memiliki tingkat toleransi yang berbeda bagi produknya seperti 5%
untuk kedelai dan 3% untuk jagung.
Sedangkan di Amerika Serikat tidak terdapat pelabelan bahan pangan rekayasa
genetika dan tidak memiliki standar definisi sendiri. Meskipun pelabelan itu sendiri
telah menjadi kewajiban diperkenalkan pada tahun 2000 melalui Kongres Gedung
Putih (H.R. 3377) dan Senat (S. 2080), namun terdapat perdebatan antara proyeksi
5% atau 1%. Oleh karena konsumen di Amerika Serikat akan membayar lebih mahal
kepada produk-produk yang tidak terindikasikan pada pelabelan itu, atau dengan kata
lain konsumen berani untuk membayar lebih terhadap produk-produk nonrekayasa

genetika

ketimbang mengkonsumsi

produk-produk yang terindikasi

persentase rekayasa genetika.

2.2 Rekayasa Genetika Menurut Ketentuan Internasional


Pada dasarnya prinsip pemuliaan tanaman dan hewan, baik yang modern
melalui penyinaran untuk menghasilkan mutasi maupun pemuliaan tradisional sejak
zaman Mendel, adalah sama, yakni pertukaran materi genetik. Baik seleksi tanaman
secara konvensional maupun rekayasa genetika, keduanya memanipulasi struktur
genetika tanaman untuk mendapatkan kombinasi sifat keturunan (unggul) yang
diinginkan.
Menurut seorang pakar bioteknologi Universitas Gajah Mada, Hari Hartiko,
Ph.D mengartikan bahwa bioteknologi sebagai seperangkat yang bertujuan untuk
merubah materi genetik pada tanaman, hewan, dan juga mikroba yang dilakukan oleh
manusia. Dalam hal ini, bioteknologi dimaksudkan sebagai teknologi yang
memanfaatkan makhluk hidup yang direkayasa untuk menghasilkan barang dan jasa
guna memenuhi kesejahteraan manusia (Hartiko,1955: 2).
Oleh karenanya menurut Hartiko bahwa penerapan bioteknologi ternyata telah
memberikan kemungkinan kemanfaatan yang tidak terbatas. Hasil menipulasi gen
memungkinkan suatu jasad mampu menghasilkan suatu produk yang sebelumnya
tidak mungkin terjadi, para pakar berlomba menggunakan daya hayal mereka untuk
memproduksi bahan yang mempunyai nilai tinggi melalui rekayasa genetika. Lebih
31

lanjut dikatakan bahwa pengembangan bioteknologi tidak berarti tanpa resiko,


bahkan apabila kita tidak dapat memilih pengembangan bioteknologi secara tepat,
maka akan menimbulkan dampak negatif yang besar terutama pada keanekaragaman
hayati (bio-diversity).

2.2.1

Deklarasi Rio Agenda 21 Dan Global Environmental Facilities (GEF)


Agenda 21 yang dicetuskan di Rio de Janerio, Brasil sebagai Deklarasi Rio

bagi Lingkungan dan Pembangunan, Pernyataan Prinsip-prinsip Bagi Pengelolaan


Hutan yang Berkelanjutan, yang diselenggarakan pada tanggal 3 hingga 14 Juni 1992
dan dihadiri 178 negara, menyatakan bahwa the development and implementation of
biotechnological product must be done very carefully and with acute concern for
human safety and protection of environment. Artinya, dalam hal pengembangan serta
implementasi produk-produk bioteknologi harus dilakukan secara sangat hati-hati
dan dengan perhatian yang serius demi keselamatan umat manusia dan juga demi
melindungi lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Agenda 21 merupakan program aksi dunia untuk pembangunan
berkelanjutan yang disepakati

oleh 178 Negara, termasuk Indonesia,

dan

pengimplementasian selanjutnya dengan penuh komitmen yang diafirmasi oleh


sejumlah negara pada KTT Bumi terhadap Pembangunan Berkelanjutan (WSSD)
yang diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan sejak tanggal 26 Agustus
hingga 4 September 2002.
Agenda 21 ini memiliki empat bagian, bagian pertama tentang program yang
berkaitan dengan dimensi sosial ekonomi, bagian kedua tentang pengelolaan
sumberdaya dan pencemaran, bagian ketiga tentang program untuk penguatan
kelompok utama dan keempat program pengembangan sarana implementasi. Pada
bagian keempat ini antara lain dicantumkan komitmen negara maju untuk
memberikan 0,7% GNP nya bagi negara berkembang untuk pengelolaan lingkungan
di negara sedang berkembang yang tentu saja juga bagi kepentingan dunia.
Untuk mengimplementasikan komitmen negara maju itu antara lain dibangun
organisasi Global Environmental Facilities (GEF), untuk melaksanakan pemikiran
yang dikenal dengan semboyan berpikir global dan bertindak lokal (think globally
act locally). Dengan demikian GEF juga merupakan mekanisme pembiayaan bagi
32

pelaksanaan konvensi internasional tentang keanekaragaman hayati dan perubahan


iklim.
Adapun ruang lingkup kerja GEF adalah keanekaragaman hayati, perubahan
iklim, B3 (polusi akibat biokimia / POPs), perairan internasional, penyempitan ruang
lahan, pengelolaan hutan berkelanjutan (REDD+), dan penipisan lapisan ozon. GEF
merupakan salah satu grup program paling besar dan terlama yang didanai oleh Bank
Dunia. Sejak tahun 1991, program merupakan program yang terintegrasi pada
pemberian manfaat lingkungan global melalui program Bank dengan nilai proyek
investasi lebih dari 790 proyek dan di 120 negara di seluruh lapisan dunia.
Teknologi yang berwawasan lingkungan bukan teknologi individual, tetapi
seluruh sistem. Tujuan program ini adalah untuk:
1. Membantu negara sedang berkembang agar dapat mengakses informasi ilmiah
dan keteknologian;
2. Memfasilitasi dan membiayai akses dan alih teknologi berwawasan lingkungan;
3. Memfasilitasi

dan

meningkatkan

teknologi

setempat

yang

berwawasan

lingkungan;
4. Menunjang

pembangunan

kemampuan

setempat

agar

dapat

menelaah,

memungut, menggunakan, dan memelihara teknologi berwawasan lingkungan;


5. Mengupayakan kemitraan jangka panjang antara penyedia dan pengguna
teknologi berwawasan teknologi. Selanjutnya digambarkan bahwa untuk
melaksanakan aktivitas guna mencapai tujuan tersebut diperlukan biaya antara
US $450 juta sampai US $600 juta untuk jangka 1993-2000. Dari mana sumber
pembiayaan tersebut dan bagaimana mekanisme tidak dicantumkan dalam
Agenda 21 tersebut.
Ada tiga badan dunia yang melaksanakan GEF ini yaitu UNDP 7, UNEP8 dan
Bank

Dunia.

UNDP

menyelenggarakan

kegiatan

yang

berkaitan

dengan

pengembangan manusia dan kelembagaan agar pemerintah dan non pemerintah


mampu melindungi lingkungan global. UNEP menyelenggarakan kegiatan yang
berkaitan dengan bantuan serta prakarsa global dan pada Science and Technology
7

UNDP (1999), GEF Operational GuideBook.

UNEP; Industry And Environment Vol 16, No 4 , October- December 1993.

33

Advisory Panel (STAP) yaitu kelompok yang memberikan masukan bagi kebijakan
GEF dan membahas berbagai proyek yang didanai melalui GEF.

Sedangkan, Bank

Dunia menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan investasi.


UNDP dan Bank Dunia adalah badan yang menyediakan dana hibah, tetapi
sesuai dengan misinya hibah Bank Dunia menuju ke suatu investasi sedang UNDP
sepenuhnya berupa hibah. UNDP mempunyai tiga macam hibah, yang disebut
dengan Small Grand Programme (SGP), untuk proyek yang bertumpu pada
komunitas dengan besaran US $50,000. atau kurang, Medium Size Project dengan
biaya berkisar antara US $750,000 sampai US $1,000,000, dan Full Size Project
dengan biaya antara US $3 juta sampai US $8 juta. SGP diputuskan di Jakarta dan
diadministrasikan oleh Yayasan Bina Usaha Lingkungan (YBUL), sedang yang lain
diputuskan dan diadministrasikan oleh New York.
Kendati ada berbagai macam mekanisme pendanaan dan tipe hibah,
kesemuanya ditujukan untuk suatu pumpunan (fokus) permasalahan yang sama yang
sampai sekarang dianggap sebagai permasalahan lingkungan global yaitu keaneka
ragaman hayati, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon dan perairan internasional.
UNDP juga mempunyai perhatian khusus pada degradasi tanah dan penggurunan.
Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut, diselenggarakanlah berbagai proyek
yang syaratnya harus:
a) Mengurangi atau meniadakan ancaman terhadap keaneka ragaman hayati dan
perairan internasional, mengurangi hambatan penerapan teknologi hemat
energiatau terbarukan.
b) Taat asas dengan berbagai konvensi global dan kepentingan nasional maupun
regional.
c) Didorong oleh kepentingan negara yang bersangkutan (country driven)
berdasarkan kepentingan nasional dan disetujui oleh pihak yang berwewenang.
d) Memberikan manfaat pada lingkungan global.
e) Dilaksanakan dengan partisipasi yang luas.
f) Efektif dan dapat diterapkan ditempat lain.
g) Berdasarkan ilmu dan teknologi yang kuat.
h) Penyediaan informasi yang terbuka bagi semua pihak.
9

UNEP; Industry And Environment, Vol 18 , No 2-3, April-September 1995.

34

Sampai saat ini yang danggap patut untuk dilaksanakan adalah proyek
mengenai:
1. Kenakeragaman hayati di :
a) ekosistem tanah kering atau setengah kering;
b) pesisir laut mapun air tawar;
c) ekosistem hutan; dan
d) ekosistem pegunungan.
2. Perubahan iklim:
a) peniadaan hambatan untuk konservasi dan efisiensi energi;
b) peningkatan penggunaan energi altematif (yang terbarukan) & meniadakan
ongkos;
c) dalam jangka panjang akan mengurangi ongkos penggunaan teknologi
energi yang emisi gas rumah kacanya rendah.
3. Perairan internasional;
a) program mengenai badan air;
b) paduan tanah dan air;
c) program berdasarkan kontaminannya.

Dalam tautannya dengan alih teknologi tampak bahwa apa yang telah
diprogramkan oleh GEF tersebut bukan mekanisme untuk alih teknologi walaupun
dalam pelaksanaannya

memungkinkan

untuk itu. Sedang teknologi

sebagai

instrumen pengendalian lingkungan yang ingin diterapkan terpumpun pada teknologi


produksi dan pemanfaatan energi, terutama dalam kaitannya dengan emisi yang
berdampak pada penipisan lapisan ozon dan perubahan iklim.
Kendati alih teknologi telah diagendakan dalam Agenda 21, tetapi bagaimana
pelaksanaannya tidak banyak yang dapat kita diketahui karena kondisinya memang
kompleks. Apalagi Agenda 21 mengisyaratkan bahwa yang diagendakan untuk
dialihkan adalah seluruh sistem bukan hanya artifak atau istilah yang digunakan
adalah teknologi individual. Untuk itu Agenda 21 memprogramkan :
1. pengembangan jaringan informasi,
2. menunjang dan mempromosikan alih teknologi,
35

3. memperbaiki

kapasitas

untuk mengembangkan dan mengelola

teknologi

berwawasan lingkungan,
4. membentuk jaringan kerjasama antar lembaga penelitian,
5. menunjang program kerjasama dan pemberian bantuan,
6. telaah untuk menunjang manajemen teknologi berwawasan lingkungan,
7. pengaturan kerjasama dan kemitraan.

Apabila kita simak kegiatan yang diagendakan tersebut, tampak bahwa Agenda
21 memang lebih menekankan pada pengembangan sarana untuk terjadinya alih
teknologi, tetapi tidak secara eksplisit memprogramkan alih teknologi itu sendiri.
Dalam kenyataannya, apa yang telah terjadi adalah pengambil alihan teknologi dan
menempatkan dalam konteks dan sistem baru. Tidak ada agenda kegiatan yang
mengarah pada pengaturan pengambil alihan teknologi itu sendiri. Kita coba
memahami apa yang dimaksud dengan pengambil alihan teknologi ini sebagai
berikut.
Menurut Akira, (Osaka: 1998), mencoba membedakan teknologi dalam tiga
kategori, yaitu: 10
1. Teknologi empirik atau pertukangan yang dikuasai oleh perorangan berdasarkan
ketrampilannya. Kemampuan individu menjadi dasar untuk memproduksi
artifak.
2. Teknologi sosial atau mungkin lebih tepat teknologi komunitas, yang dikuasai
oleh suatu komunitas. Sistem komunitaslah yang memproduksi artifak. Awalnya
mungkin suatu teknologi empirik yang kemudian berkembang menjadi milik
komunitas.
3. Teknologi ilmiah juga sering disebut teknologi modern atau lebih tepatnya
barangkali lebih baik disebut teknologi kompleks. Berkembang oleh kemampuan
mengelola dan didasarkan pada ilmu dan pengetahuan yang makin mendalam,
menghasilkan barang dalam skala besar yang menyebar tanpa mengenal batas
negara dan harus memadukan berbagai komponen yang beraneka ragam dan
kompleks.
10

Akira, Oita (1998), Technology and Social Systems, Japanese Civilization in The Modern World;
National Museum of Ethnology Osaka.

36

Ada yang menganggap bahwa teknologi empirik dan tekologi komunitas tidak
dapat disebut teknologi, dan hanya pantas disebut kerajinan atau paling jauh disebut
teknik pembuatan saja. Ada pula yang menggolongkan sebagai karya seni, karena
apa yang telah dihasilkan tidak berbasis pada ilmu pengetahuan. Menurut pandangan
ini apa yang pantas disebut teknologi hanya teknologi modern saja, yang sampai saat
ini masih banyak dikuasai oleh negara maju. Dengan pandangan ini apa yang disebut
alih teknologi hanya yang berkaitan teknologi modern.
Pengembangan teknologi empirik dan teknlogi komunitas menjadi teknologi
modern tidak dipandang sebagai alih teknologi, yang menyebabkan negosiasi untuk
menetapkan syarat pengambil alihan ini tidak pernah dilakukan dengan sungguhsungguh. Dalam industri obat-obatan dan bahan makan yang sangat berkaitan dengan
keanekaragaman hayati telah terjadi pengambil alihan teknologi ini tanpa diketahui
oleh pemiliknya. Agenda 21 mengisyaratkan pemanfaatan dan pengembangan
teknologi empirik dan teknologi komunitas ini yang disebut sebagai indigenous dan
endogenous technology, tetapi tidak mengagendakan persyaratan pengambilan
alihannya oleh teknologi modern.
Teknologi sebagai suatu sistem dapat dipandang dengan berbagai cara. Dapat
dipandang

sebagai

daur

mulai

dari

perumusan masalah atau pertanyaan,

pengembangan gagasan atau inovasi, perancangan, produksi atau konstruksi,


distribusi, penggunaan, pemeliharaan sampai pada pembuangannya. Alih teknologi
secara total atau seluruh sistem, agaknya tidak gampang, bahkan rasanya tidak
mungkin karena itu mestinya harus ada siasat. Bagian mana yang akan dialihkan dan
bagaimana caranya memang harus dipilih secara cermat.
Menarik untuk kita simak kerangka analisis yang memandang teknologi
sebagai kaitan yang serasi antara :
1. Faktor

kontekstual

yaitu

kondisi

untuk pengembangan, penerapan dan

penggunaan teknologi yang mencakup berbagai faktor seperti kepranataan,


kondisi perekonomian, perkembangan sosial budaya dan juga kondisi alam.
2. Sistem tekno-sosial yang terdiri dari dua sistem yaitu pertama organisasi serta
pengelolaan untuk memproduksi atau membangkitkan teknologi dan kedua
organissi serta pengelolaan untuk menggunakan serta memelihara teknologi.
37

Ringkasnya ada tekno-sosial yang berada pada sisi pasokan (supply side) dan
ada tekno-sosial pada sisi permintaan (demand side) yang keduanya sangat
dipengaruhi kondisi teknologi sperti yang disebutkan diatas.
3. Sistem materi atau peralatan atau artifak keteknologian. Sistem bersifat netral,
tidak mempunyai

pengaruh apa-apa

terhadap kehidupan, tetapi proses

produksinya dan proses penggunaan-nyalah yang mempunyai pengaruh luar bisa


terhadap kehidupan.
4. Sistem perantaraan (brokerage) dan pengantaran (delivery) yang menjembatani
pasokan dan permintaan, yang sesungguhnya juga merupakan sistem teknososial.
5. Efek, hasil atau akibat produksi dan penggunaan teknologi bagi manusia,
masyarakat dan alam. Efek inilah yang kemudian mempengaruhi faktor-faktor
kontekstual.

Dengan menggunakan kerangka analisis tersebut agaknya kita bisa mengerti


bahwa Agenda 21 maupun GEF rupanya merupakan program yang mencoba
berangkat dari efek teknologi tehadap manusia, masyarakat dan alam. Tetapi apa
yang harus dialihkan dari negara maju kenegara berkembang dan apa yang harus
dikembangkan di dan oleh negara sedang berkembang sendiri tidak diketemukan
adanya program internasional dan multilateral yang dapat kita acu.
Oleh karena itu negara sedang berkembang harus menyusun siasatnya sendiri.
Apakah itu dengan merubah faktor-faktor kontekstual yang dapat diubah, seperti
misalnya kepranataannya, mempengaruhi pihak pasokan atau mempengaruhi pihak
permintaan. Jelas bahwa alih teknologi tidak akan dengan sendirinya terjadi, juga
tidak dapat dilakukan hanya dengan mendatangkan artifak.

2.2.2

Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations


Convention on Biological Diversity/UNCBD)
CBD atau Convention on Biological Diversity yang dikenal sebagai Konvensi

Keanekaragaman Hayati, merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara


hukum yang diadopsi di Rio de Janeiro pada Juni 1992 yang diilhami oleh
38

tumbuhnya komitmen masyarakat dunia untuk pembangunan berkelanjutan. Ini


menggambarkan langkah majuyang dramatis dalam konservasi keanekaragaman
hayati.
Konvensi memiliki tiga tujuan utama:

Konservasi keanekaragaman hayati (atau keanekaragaman hayati);

Pemanfaatan berkelanjutan komponen-komponennya

Pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari penggunaan
sumber daya genetik.

Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk mengembangkan strategi nasional


untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Hal ini
sering dianggap sebagai dokumen kunci tentang pembangunan berkelanjutan.
Konvensi diakui untuk pertama kalinya dalam hukum internasional bahwa
konservasi keanekaragaman hayati adalah "menjadi perhatian bersama umat
manusia" dan merupakan bagian integral dari proses pembangunan. Kesepakatan
mencakup semua ekosistem, spesies, dan sumber daya genetik. Ini link upaya
konservasi tradisional untuk tujuan ekonomi menggunakan sumber daya hayati
secara lestari. Ini menetapkan prinsip-prinsip yang adil dan merata pembagian
keuntungan yang timbul dari penggunaan sumber daya genetik, terutama mereka
yang ditakdirkan untuk penggunaan komersial. Juga mencakup berkembang pesat
bidang bioteknologi melalui Cartagena Protocol on Biosafety, membahas
perkembangan teknologi dan transfer, manfaat sharing dan biosafety masalah.
Penting lagi, Konvensi mengikat secara hukum; negara-negara yang bergabung
(pihak) yang wajib untuk menerapkan ketentuan-ketentuannya.
Konvensi mengingatkan para pengambil keputusan bahwa sumber daya alam
yang tidak terbatas dan menetapkan filosofi dari penggunaan yang berkelanjutan.
Sementara masa lalu konservasi upaya-upaya yang ditujukan untuk melindungi
spesies dan habitat tertentu. Konvensi mengakui bahwa ekosistem, spesies dan gen
harus digunakan untuk kepentingan manusia. Namun, hal ini harus dilakukan dengan
cara dan pada tingkat yangtidak mengarah pada jangka panjang penurunan
keanekaragaman hayati. Konvensi juga menawarkan bimbingan para pengambil
keputusan didasarkan pada prinsip kehati-hatian bahwa di mana ada ancaman
39

signifikan menurunnya atau hilangnya keanekaragaman hayati, kurangnya kepastian


ilmiah penuh tidak boleh digunakan sebagaialasan untuk menunda tindakan untuk
menghindari atau memperkecil ancaman tersebut. Konvensi mengakui bahwa
diperlukan investasi

besar

untuk mengkonservasikeanekaragaman hayati.

Ini

berpendapat, bagaimanapun, bahwa konservasi akan membawa kita lingkungan yang


signifikan, manfaat sosial dan ekonomi sebagai imbalan.
Prinsip dari konvensi ini yaitu: Sesuai dengan Piagam Perserikatan BangsaBangsa dan azas-azas hukum internasional setiap Negara mempunyai hak berdaulat
untuk

memanfaatkan

sumber-sumber

dayanya

sesuai

dengan

kebijakan

pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa


kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan
menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas
yurisdiksi nasionalnya.
CBD ini dianggap sebagai inisiatif yang paling penting karena:
1. Menempatkan dunia menuju arah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan
2. Merupakan suatu instrumen global yang merupakan komitmen bersama para
anggotanya untuk bekerja dalam arah yang sama
3. Mengakui kedaulatan nasional dan hak-hak negara untuk mengambil manfaat
dari sumber daya sumber daya hayati yang dimilikinya;
4. Mengakui

pula

hak-hak

negara

untuk

mengakses

tehnologi,

termasuk

biotehnologi baru, yang dapat membantu upaya perlindungan atau ekploitasi


sumber daya-sumber daya hayati;
5. Merupakan langkah pertama dari suatu jalan panjang menuju program-program
perlindungan keanekaragaman hayati baik pada level nasional maupun
internasional.

Oleh karenanya, pembentukan konvensi ini adalah sumber daya hayati bumi
sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial manusia. Akibatnya, muncul
pengakuan yang berkembang bahwa keanekaragaman hayati merupakan aset global
dari nilai yang sangat besar untuk generasi sekarang dan mendatang. Pada saat yang
sama, ancaman terhadap spesies dan ekosistem tidak pernah begitu besar seperti
40

sekarang ini. Kepunahan spesies yang disebabkan oleh aktivitas manusia berlanjut
pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Konvensi CBD itu sendiri memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut:

Pertama, untuk perlindungan keanekaragaman hayati;

Kedua, agar penggunaan keanekaragaman hayati di dalam dan diantara spesies


dan ekosistem dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan (sustainable
use);

Ketiga, agar tercipta pembagian yang adil terhadap keuntungan-keuntungan


yang timbul dari pemanfaatan sumber daya-sumber daya hayati dan alih
tehnologi yang relevan.

Beberapa dari sekian banyak menangani masalah di bawah ini yang


melatarbelakangi konvensi ini, meliputi:

Langkah-langkah dan insentif bagi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan


keanekaragaman hayati.

Diatur akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional,


termasuk persetujuan informasi sebelum partai memberikan sumber daya.

Berbagi, dalam cara yang adil dan merata, hasil penelitian dan pengembangan
dan manfaat yang timbul dari perdagangan dan pemanfaatan lain genetik sumber
daya dengan Partai Kontraktor menyediakan sumber daya tersebut (pemerintah
dan/atau masyarakat lokal yang memberikan pengetahuan tradisional atau
sumber daya keanekaragaman hayati dimanfaatkan).

Akses dan transfer teknologi, termasuk

bioteknologi,kepada pemerintah

dan/atau masyarakat lokal yang memberikan pengetahuan tradisional dan/atau


sumber daya keanekaragaman hayati.

Kerjasama teknis dan ilmiah.

Dampak penilaian.

Pendidikan dan kesadaran publik.

Penyediaan sumber daya keuangan.

Pelaporan nasional pada upaya untuk melaksanakan komitmen perjanjian.

41

CBD ditandatangani oleh 156 negara dan Uni Eropa, memiliki kewajibankewajiban negara peserta yang digariskan dalam Konvensi CBD sebagai berikut:
1. Penggunaan strategistrategi nasional, perencanaanperencanaan serta programprogram bagi konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati yang
berkelanjutan.
2. Identifikasi dan monitoring keanekaragaman hayati.
3. Konservasi keanekaragaman hayati secara in situ dan ex situ.
4. Penelitian dan pelatihan serta pendidikan masyarakat.
5. Evaluasi dampak proyek-proyek pembangunan terhadap keanekargaman hayati.
6. Penghormatan terhadap hak-hak atas kekayaan intelektual, di negara manapun
hak-hak tersebut didapatkan, yang sesuai dengan tujuan CBD.
7. Pertukaran informasi tentang keanekaragaman hayati.
8. Kerja sama teknis dan ilmu pengetahuan.

Konferensi peserta (The Conference of the Parties) telah menetapkan tujuh


program kerja yang sesuai dengan beberapa biomassa utama di planet ini. Setiap
program mempunyai misi dan prinsip-prinsip dasar untuk memandu pekerjaan masa
depan.

Mereka

juga

menentukan

isu-isu

kunci

untuk

dipertimbangkan,

mengidentifiksasi output-output yang potensial, dan menyarankan jadwal serta


sarana untuk mencapainya. Pelaksanaan program kerja bergantung kepada kontribusi
dari anggota, secretariat, pemerintah terkait dan organisasi lainnya. Secara periodic,
para anggota (COP) dan SBSTTA untuk meninjau program kerja. Adapun ketujuh
program kerja adalah:
1. Keanekaragaman Pertanian
Keanekaragaman hayati pertanian tidak hanya menyediakan makanan dan
pendapatan, tetapi juga bahan baku untuk pakaian, tempat berteduh, obat-obatan,
pemeliharaan varietas baru, dan melakukan layanan lainnya seperti pemeliharaan
kesuburan tanah dan biota, serta konservasi tanah dan air, yang semuanya
pentinguntuk kelangsungan hidup manusia.
2. Keanekaragaman Lahan Kering dan Lembab
Keanekaragaman hayati lahan kering dan lembab menyediakan layanan
ekosistem kritis untuk mendukung dua miliar orang, 90% di antaranya hidup
42

dinegara

berkembang.

Konservasi

dan

pemanfaatan

yang

berkelanjutan

darikeanekaragaman hayati lahan kering dan lembab sangatlah penting bagi


pengembangan mata pencaharian dan pengentasan kemiskinan.
3. Keanekaragaman Kehutanan
Secara biologis hutan merupakan sistem beragam, yang mewakili beberapa
daerah biologis terkaya di bumi. Namun, keanekaragaman hayati hutan semakin
terancam sebagai akibat dari deforestasi, fragmentasi, perubahan iklim, dan
tekananlain.
4. Keanekaragaman Air Tawar
Ekosistem perairan darat sering secara ekstensif dimodifikasi oleh manusia,
melebihi laut atau sistem terestrial, dan merupakan yang paling terancam dari semua
tipe ekosistem. Perubahan fisik, hilangnya habitat dan degradasi, penarikan
air,eksploitasi berlebihan, polusi dan invasi spesies asing adalah ancaman
utamaekosistem ini dan sumber daya hayati yang terkait.
5. Keanekaragaman Pulau
Pulau dan wilayah laut sekitar daerah pantai merupakan ekosistem yang unik
yang terdiri dari banyak spesies tanaman dan hewan yang endemic ditemukan di
tempat lain di bumi. Warisan sejarah evolusi yang unik, ekosistem ini adalah harta
tak

tergantikan.

Mereka

juga

menjadi

kunci

untuk

kehidupan,

ekonomi,

kesejahteraan dan identitas budaya dari 600 juta penduduk pulau (sepersepuluh dari
populasi dunia). Island species are also unique in their vulnerability: of the 724
recorded animalextinctions in the last 400 years, about half were island species.
Spesies pulau juga unik dalam kerentanan mereka: dari 724 kepunahan hewan yang
tercatat, dalam 400 tahun terakhir, sekitar separuhnya adalah spesies pulau. Selama
abad yang lalu, keanekaragaman hayati pulau telah tunduk pada tekanan yang kuat
dari invasi spesies asing, perubahan habitat dan eksploitasi berlebihan, serta
perubahan iklim dan polusi. Tekanan ini juga sangat dirasakan oleh perekonomian
pulau. Di antara yang paling rentan dari negara-negara berkembang, pulau-pulau
kecil berkembang bergantung pada konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati pulau untuk pembangunan berkelanjutan mereka.
6. Keanekaragaman Pesisir dan Laut

43

Lautan menempati lebih dari 70% dari permukaan bumi dan 95% dari biosfer.
Kehidupan di laut kira-kira 1000 kali lebih tua dari genus Homo. Ada pengakuan
bahwa belum pernah terjadi sebelumnya ancaman akibat perbuatan manusia dari
kegiatan industri seperti perikanan dan transportasi, dampak pembuangan limbah,
kelebihan nutrisi dari limpasan pertanian, dan pengenalan spesies eksotik. Jika kita
gagal untuk memahami baik kerentanan dan ketahanan hidup dari laut, sejarahspesies
manusia yang relatif singkat akan menghadapi nasib yang tragis.
7. Keanekaragaman Pegunungan
Gunung-gunung di dunia meliputi beberapa pemandangan paling spektakuler,
keragaman besar spesies dan tipe habitat, serta komunitas manusia yang khas.
Pegunungan terjadi pada semua benua, di semua zona lintang, dan dalam seluruh
jenis biome utama dunia. Pegunungan menyediakan air tawar bagi separuh
kehidupan manusia, dan di dapat dikatakan sebagai menara air dunia.

Kendatipun

CBD

merupakan

instrumen

hukum

internasional

yang

komprehensif berkaitan dengan perlindungan keanekaragaman hayati, namun tidak


luput dari beberapa kelemahan, baik yang hanya bersifat teknis maupun fundamental.
Diantara kelemahan-kelemahan tersebut:
a. kelemahan yang berkaitan dengan kandungan normatif dari ketentuanketentuan
CBD. Jika dikaji lebih seksama,kandungan normatif dari kewajiban-kewajiban
yang digariskan oleh CBD sangat lemah,bahkan tidak berlebihan jika ketentuanketentuan tersebut hanya bersifat himbauan, desakan atau peringatan saja yang
ditujukan kepada para anggotanya dalam rangka perlindungan keanekaragaman
hayati.
b. Dalam kondisi seperti ini, pengelolaan keanekaragaman hayati lebih diposisikan
sebagai urusan masing-masing negara yang memiliki sumber daya-sumber daya
hayati sebagai aset-aset negara berdaulat (sovereign assets) sendiri. Dengan
demikian, efektivitas norma-norma CBD sangat tergantung dari iktikat baik
negara-negara anggotanya.

Konvensi CBD memiliki turunan konvensi lainnya, yakni Protokol Nagoya dan
Protokol Cartagena. Kedua protokol ini kemudian dilakukan ratifikasi kedalam
44

peraturan perundang-undangan nasional, antara lain Protokol Nagoya dengan RUU


mengenai PSDG dan Protokol Cartagena dengan UU No. 21 Tahun 2004 tentang
Keamanan Produk Rekayasa Genetika.

Protocol Cartagena
Protokol Cartagena telah diterima dan diratifikasi oleh 50 negara, memiliki
kekuatan hukum yang mengikat dan mulai berlaku sejak tanggal 11 September 2003.
Pada saat ini 59 negara telah turut serta dalam kesepakatan yang tertuang didalam
kesepakatan Protokol Cartagena.11
Di dalam Protokol Cartagena ini, persoalan pertanggungjawaban diatur dalam
pasal 27, menyatakan bahwa para pihak harus membuat prosedur dan jenis
pertanggungjawaban perdata untuk mengantisipasi kerugian yang timbul akibat
penggunaan teknologi rekayasa genetika. Untuk kepentingan ini, maka pertemuan
para pihak yang tunduk pada ketentuan Protocol Cartagena sepakat untuk
membentuk Ad hoc Working Group of Legal and Technical Experts on Liability and
Redress in the Context of the Cartagena Protocol on Biosafety. Berikut beberapa
usulan dalam tim kerjanya:
1. Standard of Liability
Dalam menentukan standar pertanggungjawaban dan menentukan pihak-pihak
yang dapat dimintai pertanggungjawaban yang harus diperhatikan adalah:
a) Jenis kerusakan.
b) Tempat dimana kerusakan terjadi (apakah di daerah asal ataupun di pusat
pelepasan benih)
c) Tingkat resiko yang terdapat didalam berbagai macam jenis rekayasa
genetika.
d) Tingkat resiko yang menjadi ciri dari rekayasa genetika yang teridentifikasi.
e) Efek samping yang timbul dan tidak diharapkan.
f) Pengawasan pada penggunaan teknologi rekayasa genetika.

11

Vanessa Wilcox, Tort and Insurance Law, 27 Damage Cause by GMOs under International
Environmental Law

45

Sistem pertanggungjawban yang diusulkan terdiri dari 2 macam yakni


pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (fault-based) dan strict liability.
Usulan tersebut menyatakan:
a. Fault based liability:
- Any person who is in the best position to control the risk and prevent the
damage;
- Any person who has operational control;
- Any person who does not comply with the provisions implementing the
biosafety protocol
- Any entity who has the responsibility to put in place the provisions for
implementing the protocol
- Any person to whom intentional, reckless or negligent acts or omissions
can be attributed
b. Strict liability
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa standar
pertanggungjawaban yang sering diusulkan adalah PMH dan strict liability.
2. Channeling Liability
Adalah

pertanggungjawaban

yang

harus

dilakukan

oleh

pihak

yang

menimbulkan kerugian, dalam channeling liability terdapat beberapa pihak yang


berpotensi untuk menimbulkan kerugian di dalamnya, karena didalam suatu
kegiatan usaha ada beberapa pihak yang terlibat, pihak-pihak ini dapat dimintai
pertanggungjawaban

apabila

timbul

kerugian

akbiat

kegiatan

yang

dilakukannya, pada konvensi tentang penggunaan tenaga nuklir ada beberapa


pihak yang terlibat didalamnya, pertanggungjawban juga dapat ditunjukkan
kepada pemilik tanker apabila menyangkut pencemaran laut. 12
Pertanggungjawaban model ini dikanalisasi sehingga hanya satu pihak yang
dapat dimintai pertanggungjawaban, di dalam konteks penggunaan teknologi
rekayasa genetika hanya produsen yang dapat dimintai pertanggungjawaban
secara eksklusif, dimana hanya produsenlah yang dapat dituntut untuk

12

Michael Faure and Andri Wibisana, Liability to Third Parties for Damage Caused by GMOs: An
Economic Perspective, Volume XXIII Issue I, (The Georgetown Internaitonal Environmental Law
Review, fall 2010), hlm. 39.

46

pertanggungjawaban apabila timbul kerugian atas kerusakan yang ditimbulkan


akibat hasil produksi yang dipergunakan.
Channeling liability ini memberi kemudahan kepada korban dalam melayangkan
gugatannya, dikarenakan korban dapat menentukan siapa pihak yang dapat
digugat, dan gugatan dilayangkan hanya kesatu pihak. Korban akan menemui
kesulitan apabila menempuh prosedur yang sulit, apabila kerugian ditimbulkan
oleh beberapa pihak, juga di sisi lain memberi kemudahan kepada apabila
kerugian ditimbulkan oleh beberapa pihak, juga memberi kemudahan kepada
korban apabila hanya satu pihak yang menanggung resiko, dan ada baiknya
apabila kerugian tersebut dilindungi oleh asuransi.
Pada pertemuan yang dilaksanakan di Montreal, 22-26 Oktober 2007, para pihak
bersepakat untuk menentukan siapa pihak yang termasuk di dalam pasal 7 ayat 1
Protokol Cartagena yaitu: 13
a) Eksportir yang memasukkan benih rekayasa genetika dari daerah asalnya.
b) Importir, yang memasukkan benih rekayasa genetika ke wilayahnya.
c) Pihak yang melakukan pengawasan pada pendistribusian benih rekayasa
genetika.
d) Distributor dan pihak pengangkutan, yang melakukan pendistribusian dan
pengangkutan.
3. Joint and several liability
Merupakan

penyimpangan

dari

sistem pertanggungjawaban

yang hanya

membebankan tanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan dan disebabkan


oleh tindakan satu pihak saja. Di bawah sistem ini, pertanggungjawaban atas
kerusakan

yang

ditimbulkan

dibebankan

kepada

beberapa

pihak yang

mempunyai peran dalam kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan


yang menimbulkan kerugian.
Pada beberapa kasus terdapat argumen yang menyatakan bahwa sistem ini tidak
efisien, karena pertanggungjawaban tergugat tidak terbatas pada resiko yang
telah dilakukannya. Diartikan bahwa pihak yang mengalami kerugian dapat
menimbulkan kerugian tersebut, tapi tentu sesuai dengan proporsinya, sebagai
13

Open-Ended Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts On Liability And Redress in the
Context of Cartagena Protocol On Biosafety, Montreal, 22-26 October 2007.

47

gambaran adalah salah satu pihak diminta untuk mengganti kerugian korban
sesuai dengan kontribusi dalam kerugian yang ditimbulkan, kesulitan yang
timbul dalam sistem ini adalah korba yang mengalami kerugian akan menemui
kesulitan untuk menentukan hubungan atau sebab akibat antara pihak-pihak
yang menyebabkan timbulnya kerugian, karena untk menentukan tiap bagian
dari tanggung jawab masing-masing pihak dalam kegiatan yang menimbulkan
kerugian. Apabila korban gagal untuk membuktikan kontribusi pihak-pihak yang
dianggap menimbulkan kerugian, maka akan sulit untuk menuntutnya.
Sistem ini memudahkan korban karena korban mempunyai beberapa pilihan
untuk menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap mempunyai potensi dan
andil dalam menimbulkan kerugian.
4. Defences: Force Majeure
Perlawanan

atas

pertanggungjawaban

yang dapat diterima

oleh rejim

pertanggungjawaban adalah force majeure, yang memiliki pengertian yang


berbeda-beda.14 Perkataan defence tidaklah selalu sama didalam semua sistem
hukum, defence ini merupakan perlawanan yang dilakukan oleh penggugat
untuk mempertahankan argumentasinya untuk mempertahankan dirinya dan
membuktikan

bahwa

dirinya

tidak

bersalah

dan

mengurangi,

bahkan

menghilangkan pertanggungjawaban yang harus dipikulnya. Hal ini merupakan


reaksi dari gugatan penggugat.
Dari sudut pandang ekonomi seseorang dapat dengan mudahnya berargumen
bahwa

adanya

force

majeure

menyebabkan

ia

dapat

bebas

dari

pertanggungjawaban, tidak hanya pada situasi dan kondisi yang umum, dan
tidak hanya berdasarkan kesalahan dan strict liability tetapi juga semua
pertanggungjawaban di dalam PMH. Persyaratan untuk menilai suatu kesalahan
diperlukan oleh pihak yang dirugikan, seharusnya mempunyai kapasitas
terhadap pemenuhan pertanggungjawaban pada perbuatan melawan hukum,
hanya korban kerugianlah yang dapat meminta pertanggungjawaban tersebut.
Untuk meminta pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan biasanya
didasarkan pada konsep adanya kesalahan dan kelalaian, kenyataannya pada
konteks strict liability diperlukan beberapa persyaratan, tapi apabila kerugian
14

Michael Faure and Andri Wibisana, Op. cit., hlm. 43.

48

yang timbul tidak disebabkan bencana maka tidak dapat menggunakan


pertanggungjawaban strict liability. Force majeure atau keadaan kahar yang
dapat digunakan sebagai perlawanan bahkan untuk strict liability.
Keadaan kahar atau force majeure adalah suatu keadaan di luar kemampuan
manusia yang disebabkan oleh bencana alam maupun peperangan, hal ini dapat
menjadi dasar untuk membebaskan tergugat dari pertanggungjawaban.
Menurut pertemuan tim kerja di Montreal pada tanggal 20-24 Februari 2006,
para pihak yang hadir, yaitu Sri Lanka, Amerika Selatan, Argentina, Ethiopia,
Norwegia, Global Industry Coalition (GIC), Third World Network (TWN)
menyepakati

bahwa

suatu

keadaan

kahar

atau

force

majeure,

yang

membebaskan pihak yang melakukan kesalahan dan menimbulkan kerugian


untuk bebas dari pertanggungjawaban adalah: 15
- Bencana Alam,
- Perang Saudara,
- Suatu keadaan di luar kemampuan manusia,
- Campur tangan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian.

Protocol Nagoya
Kesepakatan ini dilakukan pada tanggal 11-15 Oktober 2010 di Nagoya
Jepang. Kesepakatan ini membicarakan bagaimana pertanggungjawaban yang dapat
ditegakkan pada penggunaan teknologi rekayasa genetika sebagaimana diatur pada
Cartagena Protocol Articel 27, dimana pihak yang menimbulkan kerugian
diharuskan untuk mengganti kerugian dimana ruang lingkup artikel 27 tersebut
mencakupi tanggung jawab bersama antara eksportir dan importir yang menyediakan
benih, peraturan-peraturan dalam negeri, dan institusi dimana pengoperasian dan
pengawasan yang mengharuskan importir dan eksportir bertanggung jawab pada
pelepasan teknologi rekayasa genetika.16

15

Open-Ended Ad-Hoc Working Group of Legal and Technical Experts On Liability and Redress in The
Context of the Cartagena Protocol on Biosafety, Montreal, 22-24 February 2006.
16

Convention on Biological Diversity, Conference of the parties serving as the meeting of the parties
to the Cartagena Protocol on Biosafety, fifth meeting, Nagoya Japan, 11-15 October 2010.

49

Pada protokol tambahan ini disepakati bahwa konservasi dan lingkungan hidup
yang berkelanjutan, tetap terjaga kelestariannya dengan adanya penggunaan
teknologi rekayasa genetika termasuk resiko yang ditimbulkan pada kesehatan
manusia, yaitu dengan mempersiapkan peraturan yang berlaku secara internasional
baik dalam proses produksi dan sistem pertanggungjawabannya apabila timbul
kerugian.17
Pasal 2 dan pasal 3 pada protokol Cartagena tetap diterapkan pada tambahan
protokol ini. Dan tujuan dari protokol tambahan ini adalah:
1) Menentukan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi
rekayasa dari daerah asal melalui proses rekayasa genetika adalah penggunaan
untuk bahan makanan yang melalui proses rekayasa genetika, bahan yang
dikandungnya dinyatakan aman bagi lingkungan.
2) Tambahan protokol ini juga menekankan akibat dari penggunaan teknologi
rekayasa genetika apabila menimbulkan kerugian mengacu pada pasal 17 dari
protokol dan akibat dari penggunaan bahan-bahan yang ilegal pada produk
rekayasa genetika sebagaimana tercantum pada pasal 25.
3) Pada tambahan protokol ini akibat dari kerusakan yang menimbulkan kerugian
pada penggunaan teknologi rekayasa genetika diatur menurut hukum masingmasing yang berlaku pada negara anggota.
4) Para anggota dapat menerapkan hukum nasional yang berlaku pada negara
anggota untuk menentukan kerugian yang timbul sesuai dengan hukum yang
berlaku di negara para anggota.
5) Hukum domestik yang berlaku pada negara masing-masing anggota dapat
diterapkan pada kerusakan yang menimbulkan kerugian pada penggunaan
produk rekayasa genetika.
6) Protokol tambahan ini juga mengatur bahwa hukum yang berlaku pada
penggunaan teknologi rekayasa genetika ini adalah dimana proses pemindahan
gen pada teknik rekayasa ini dibuat.

Hukum yang berlaku pada penggunaan teknologi rekayasa genetika disini


adalah hukum domestik masing-masing negara anggota. Tentu saja para negara
17

Ibid., hlm 5.

50

anggota harus mencantumkan dalam ketentuan hukum domestik mereka suatu


keadaan kahar atau force majeur pada sistem hukum mereka untuk kondisi
sebagaimana disebutkan di bawah ini:
(1) Suatu keadaan yang di luar kehendak manusia yang merupakan kuasa Tuhan
seperti bencana alam.
(2) Adanya perang saudara.
Selain itu, masing-masing negara anggota juga harus memasukkan di dalam sistem
hukum negara mereka, batas tertinggi ganti rugi yang diberikan atas kerusakan yang
ditimbulkan oleh penggunaan teknologi rekayasa genetika.
Setiap negara yang mempunyai ketentuan yang berbeda dalam menerapkan
hukum. Di negara-negara common law yang tidak mempunyai legislasi khusus,
pertanggungjawaban

perdata

akan

mengikuti

aturan

pertanggungjawaban

berdasarkan tort secara umum. Sedangkan beberapa negara yang memiliki legislasi
khusus seperti Austria, Jerman, Polandia, Swiss dan Norwegia memiliki legislasi
khusus, maka pertanggungjawaban yang digunakan adalah strict liability.

2.2.3

Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Varietas Tanaman Baru (The


International Union for the Protection of New Varieties of Plants/UPOV)
The International Union for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV)

merupakan organisasi antar-pemerintah yang bermarkas di Jenewa. Singkatan UPOV


berasal dari bahasa Perancis untuk Union Internationale Pour La Protection Des
Obtentions Vegetales.
UPOV pada dasarnya bertujuan untuk menyediakan dan mendukung sebuah
sistem yang efektif bagi perlindungan varietas tanaman, dengan tujuan untuk
mendorong pengembangan varietas tanaman baru, demi kepentingan masyarakat. 18
UPOV berdiri dengan ditandatanginnya UPOV Convention di Paris pada
tanggal 2 Desember 1961. UPOV Convention berlaku mengikat pada tanggal 10
Agustus 1968, setelah diratifikasi oleh Inggris, Belanda dan Jerman. UPOV
Convention kembali direvisi pada tanggal 10 November 1972, 23 Oktober 1978, dan
19 Maret 1991, dengan tujuan untuk mengimbangi perkembangan teknologi
18

The International Union for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV Convention)

51

pemuliaan tanaman dan pengalaman yang diperoleh dari pelaksanaan UPOV


Convention.
Dewan UPOV terdiri dari perwakilan negara-negara anggotanya. Setiap negara
anggota memiliki satu suara di dalam dewan. Sekretariat UPOV yang di sebut the
office of the Union dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal (Sekjen). Di bawah
perjanjian kerjasama dengan World Intelectual Property Organization (WIPO), dan
perwakilan khusus dari United Nations atau PBB, Direktur Jenderal (Dirjen) WIPO
merupakan Sekjen UPOV, dengan dibantu oleh seorang wakil Sekjen.
UPOV yang merupakan organisasi pengelola UPOV convention beranggotakan
64 negara. Negara-negara anggota UPOV berkewajiban untuk mengakui pencapaian
prestasi pemulia varietas tanaman baru, dengan memberikan hak kekayaan
intelektual. Untuk mendapat perlindungan tersebut, maka varietas tersebut harus
memenuhi persyaratan berupa: (i) berbeda dari yang telah ada, atau varietas yang
lazim dikenal, (ii) seragam, (iii) stabil dan (iv) baru.
Meskipun Indonesia bukan merupakan negara anggota UPOV, namun di dalam
penyusunan UU PVT banyak merujuk pada UPOV Convention ini. Hal tersebut
dapat dilihat pada bagian penjelasan umum19 dan beberapa ketentuan yang terdapat
pasal-pasal UU PVT seperti penjelasan Pasal 19 ayat 4.
Hak Pemulia Tanaman (Breeders Rights) Menurut Konvensi UPOV
UPOV Convention pasal 1 butir iv, mendefinisikan breeder atau pemulia
sebagai:
1. The person who bred, or discovered and developed, a variety
2. The person who is the employer of the aforementioned person or who has
commissioned the latters work, where the laws of the relevant contracting party
so provide, or
3. The successor in title of the first or second aforementioned person, as the case
may be

19

Dalam penjelasan umum UU PVT disebutkan ....Perlindungan hukum tersebut pada hakekatnya
sekaligus merupakan pelaksanaan dari berbagai kewajiban internasional yang harus dilakukan oleh
Indonesia, khususnya berkaitan dengan..Konvensi Internasional tentang Perlindungan Varietas Baru
Tanaman, International Convention for the Protection of New Varieties of Plants..

52

Dapat diartikan bahwa definisi pemulia menurut UPOV Convention 1991


adalah:
1. Orang yang melakukan kegiatan pemuliaan, menemukan, dan mengembangkan
suatu varietas
2. Orang yang bekerja pada pemulia atau orang yang bekerja atas permintaan dari
pemulia, atau
3. Pewaris atau penerima hak dari mereka yang ditulis di nomor satu dan dua diatas
Adapun lingkup perlindungan breeders rights di dalam Pasal 14 ayat 1 UPOV
meliputi:
i.

Production or reproduction (multiplication)

ii.

Conditioning for the purpose of propagation

iii.

Offering for sale

iv.

Selling or other marketing

v.

Exporting

vi.

Importing

vii.

Stocking for any of the purposes mentioned in (1) to (vi) above


Pasal 14 ayat 1 UPOV ini menyebutkan bahwa breeders rights (hak pemulia)

atas varietas baru yang ditemukannya meliputi hak untuk memproduksinya atau
memperbanyak
menginklankannya,

benihnya,

mempersiapkannya

menjualnya

atau

untuk

tujuan

memperdagangkannya,

propagasi,

mengekspornya,

mengimpornya dan mencadangkannya untuk tujuan kegiatan-kegiatan tersebut.


Di dalam Pasal 15 Ayat 1 UPOV, terdapat ketentuan mengenai exceptions to
the breeders rights atau hal-hal yang dikecualikan dari lingkup perlindungan
breeders rights yang berupa:
i. Acts done privately and for non-commercial purposes
ii. Acts done for experimental purposes and
iii. Acts done for the purpose of breeding other varieties

53

Dapat diartikan dalam Pasal 15 Ayat 1 UPOV ini, diatur mengenai tindakantindakan yang dianggap bukan sebagai pelanggaran terhadap breeders rights (hak
pemulia) yang berupa:
(i) Tindakan yang dilakukan secara pribadi dan tidak untuk tujuan komersial
(ii) Tindakan yang dilakukan untuk tujuan penelitian
(iii) Tindakan yang dilakukan untuk tujuan perakitan varietas lain
Di dalam Pasal 16 ayat 1 UPOV diatur mengenai ketentuan tentang exhaustion
of the breeders rights, yaitu:
The breeders right shall not extend to acts concerning any material of the
protected variety covered by the provisions of article 14(5), which has been
sold or otherwise marketed by the breeder or with his consent in the territory
of the contracting party concerned, or any material derived from the said
material, unless such acts:
i. Involve further propagation of the variety in question; or
ii. Involve an export of material of the variety, which enabbbles the
propagationn of the variety, into a country which does not perfect varieties
of the plant gennus or species to which the variety elonngs, except where
the exported material is for final consumption purposes.
Yang di maksud dengan exhaustion of the breeders rights dalam pasal 16 ayat
1 UPOV ini adalah bahwa, hak pemulia (breeders rights) tidak meliputi tindakantindakan yang berkenaan dengan material 20 yang berasal dari varietas yang
dilindungi, atau varietas yang dilindungi oleh ketentuan pasal 14 ayat (5) yang telah
dijual atau sebaliknya dipasarkan oleh pemulia atau denga persetujuannya di wilayah
pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian ini, atau material yang diperoleh dari
bahan yang telah disebutkan, terkecuali untuk tindakan-tindakan yang meliputi:
(i) Menyangkut tindakan propagasi lebih lanjut dari varietas tersebut; atau
(ii) Menyangkut ekspor dari material suatu varietas, yang memungkinkan untuk
dilakukannya propagasi, ke negara yang tidak memberikan perlindungan
terhadap genus atau spesies varietas itu berasal, terkecuali bila material yang di
ekspor tersebut untuk tujuan penggunaan akhir.

20

Yang di maksud dengan material adalah seperti yang dimasikkan di dalam pasal 15 ayat 2 UPOV,
dimana material yang terkait dengan suatu varietas berupa:
(i) Bahan propagasi dalam bentuk apapun
(ii) Bahan yang diperoleh dari hasil panen, termasuk seluruh tanaman dan bagian dari tanaman
dan
(iii) Produk yang dibuat lagsung dari bbahan yang diperoleh dari hasil panen

54

Mengenai ketentuan ini pada dasarnya membatasi lingkup penguasaan dari hak
pemulia (breeders rights), dimana hak tersebut dianggap habis saat varietas yang
dilindungi tersebut dijual kepada pihak lain. Sebagai contoh: saat benih jagung yang
dilindungi hak PVT telah dijual kepada petani, maka hasil akhir yang berupa jagung,
seperti tepung maizena, bahan pakan ayam dan jagung, dan sebagainya sepenuhnya
menjadi milik dari petani tersebut. Pemulia (breeder) tidak dapat menuntut
keuntunngan yang diperoleh dari hasil penjualan jagung atau produk-produk yanng
berbahan dasar

jagung tersebut. Hal ini berlaku sepanjang produk yang

diperdagangkan tersebut bukan merupakan bahan yang memungkinnkan untuk


dilakukannya propagasi lebih lanjut dari varietas tanaman yang dilindungi.

Perlindungan Varietas Tanaman Menurut Konvensi UPOV


Definisi dari varietas tidak terdapat dalam UPOV Convention versi tahun 1978,
namun di dalam Pasal 1 (vi) UPOV Convention versi tahun 1991 varietas yang
merupakan penemuan dari pemulia didefinisikan sebagai:
a plant grouping within a single botanical taxon of the lowest known rank,
which grouping, irrespective of wether the conditions for the grant of a
breeders right are fully met, can be:
1. Defined by the expression of the characteristics resulting from a given
genotype or combination of genotypes
2. Distinguished from any other plant grouping by the expression of at least
one of the said characteristics; and
3. Considered as a unit with regard to its suitability for being propagated
unchanged
Pada intinya yang dimaksud dengan varietas menurut UPOV Convention 1991
adalah sekelompok tanaman yang dapat didefinisikan dengan karakteristik yang
diekspresikan dari bawaan genotif dan dapat dibedakan dari taksonomi botanis yang
sama minimal satu karakteristik yang nampak. Artinya meskipun berasal dari jenis
yang sama, namun varietas tanaman yang dilindungi harus tetap memiliki ciri fisik
yang berbeda karena perbedaan ciri fisik merupakan ekspresi dari karakter genotif
yang berbeda.

55

Menurut Pasal ayat 1 UPOV Convention, varietas tanaman yang diberikan


perlindungan breeders rights harus memenuhi persyaratan baru, berbeda dari yang
pernah ada, bersifat seragam dan stabil.
Jangka waktu perlindungan breeders rights di dalam UPOV Convention versi
tahun 1978 minimal 15 tahun dan maksimal 18 tahun, sedangkan jangka waktu
perlindungan yang diberikan dalam UPOV Convention versi tahun 1991 minimal 20
tahun dan maksimal 25 tahun. Dengan demikian pada dasarnya Indonesia
mengadopsi ketentuan UPOV versi tahun 1991 di dalam memberikan jangka waktu
perlindungan seperti yang diatur di dalam Pasal 4 Ayat 1 UU PVT.

2.2.4

Hak Petani Dalam Perspektif The International Treaty On Plant


Genetic Resources For Food And Agriculture (ITPGRFA), yang lebih di kenal

dengan the International Seed Treaty, merupakan suatu perjanjian Internasional yang
bertujuan untuk menjamin keamanan pangan melalui konservasi dan penggunaan
komunitas sumber daya genetik tanaman di dunia untuk pangan dan pertanian dan
pembagian yang adil dan merata dari keuntungan atas penggunaannya sejalan dengan
Convention on Biologycal Diversity untuk dapat menyokong pertanian dan keamanan
pangan. Tujuan ini akan dicapai dengan mengaitkan perjanjian ini dengan FAO
dengan Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Perjanjian ini akan melaksanakan Multilateral System (MLS) atau Sistem
Multilateral untuk akses dan pembagian keuntungan diantara negara-negara yang
meratifikasi perjanjian ini, untuk 64 daftar pangan dan pakan (tanaman makanan
ternak) yang penting bagi keamanan pangan dan saling ketergantungan.21
Perjanjian ini dikelola oleh FAO (Food and Agriculture Organization of the
United Nations) Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture
(CGRFA). Institusi pengelola yang berada di bawah pengawasan dari FAO ini
dibentuk pertama kali di Madrid pada Juni 2006.
Sebagai salah satu dari negara anggota IT PGRFA dan CGRFA, Indonesia
telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006
tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and
21

Lihat Annex I IT PGRFA tentang List of Crops Covered Under the Multilateral System.

56

Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan
Pertanian) yang disingkat Perjanjian SDGTPP.
Materi pokok yang diatur dalam Perjanjian SDGTPP ini antara lain mengenai:
1. Pengaturan akses terhadap sumber daya genetik tanaman pangan dan pertanian
2. Pelestarian sumber daya genetik tanaman
3. Kebijakan pemanfaatan secara berkelanjutan dan implementasinya
4. Komitmen para pihak pada taraf nasional dan internasional
5. Perlindungan terhadap hak petani
6. Sistem multilateral mengenai akses dan pembagian keuntungan
7. Pembagian keuntungan secara adil dan merata dalam sistem multilateral
8. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang
pelestarian dan pemanfaatan berkelanjuta sumber daya genetik tanaman
Isu farmers rights muncul sebagai perhatian negara-negara berkembang
terhadap pembatasan dari hak-hak petani tradisional akibat dari penegakan aturanaturan HKI. Konvensi IT PGRFA memperkenalkan isu mengenai Farmers Rights
(Hak Petani) yang muncul pertama kali pada Resolusi FAO 5/1989 yang kemudian
disempurnakan menjadi Resolusi FAO 3/1991 dan FAO 3/2001 mengenai Sumber
Daya Genetik Tanaman. Dalam resolusi tersebut Farmers Rights diartikan sebagai:44
......Farmers Rights mean rights arising from the past, present and future
contributions of farmers in conserving, improving, and makin available plant
genetic resources, particulary those in the centres of origin/diversity.....
Dapat diartikan bahwa Resolusi FAO mendefinisikan Farmers Rights (hak
petani) sebagai hak yang muncul dari kontribusi petani, mengingat di masa lampau,
saat ini dan masa yang akan datang petani merupakan kelompok masyarakat yang
telah melestarikan, mengembangkan dan menjadikan tersedianya sumber daya
genetik yang di kenal saat ini, terutama yang ada di pusat dan pusat keanekaragaman
tanaman.
Pasal 9 IT PGRFA mengatur mengenai ketentuan tentang Farmers Rights. Di
dalam ketentuan Pasal 9 IT PGRFA ini disebutkan bahwa:
9.1

The contracting parties recognize the enormous contribution that the local and
indigeneous communities and farmers of all regions of the world, particularly
those in the centres of origin and crop diversity, have made and will continue
57

to make for the conservation and develpoment of plant genetic resources which
contitute the basis of food and agriculture production throughout the world.
9.2

The contracting parties agree that the responsibility by realizing farmers


rights, as they relate to plant genetic resources for food and agriculture, rests
with national governments. In acordance with their needs and prioroties, each
contracting party should, as appropriate, and subject to its national
legislation, take measures to protect and promote farmers rights, including:
a. Protection of traditional knowledge relevant to plant genetic resources for
food and agriculture
b. The right to equitably participate in sharing benefits arising from the
utilization of plant genetic resources for food and agriculture, and
c. The right to participate in making decisions, at the national level, on
matters related to the conservation and sustainable use of plant genetic
resources for food and agriculture
Ketentuan Pasal 9 IT PGRFA diatas merupakan bukti pengakuan dunia

internasional atas hak-hak petani. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi
IT PGRFA melalui Perjanjian SDGTPP, maka secara yuridis Indonesia juga telah
memberikan pengakuan terhadap hak-hak petani. Harapan banyak pihak untuk
melindungi varietas lokal agar tidak pernah dan potensinya dapat dimanfaatkan oleh
kalangan yang lebih luas.

2.3 Aturan Hukum Rekayasa Genetika Dalam Sistem Hukum Indonesia


Otto Soemarwoto menjelaskan bahwa proses pengembangan bioteknologi akan
dapat

merugikan

manusia

yang

selalu

berpandangan

antroposentris

yang

memandang segala sesuatu termasuk lingkungan hidup dari sudut pandang


kepentingan manusia. Kerugian yang tampak dari rusaknya keanekaragaman hayati
akan sangat kita rasakan, contohnya yaitu hilangnya spesies-spesies tanaman yang
sangat dibutuhkan bagi kepentingan dunia kedokteran (Soemarwoto, 1992: 4).
Penggunaan teknologi yang tidak bijaksana akan mengakibatkan erosi gen, yaitu
berkurangnya keanekaan gen, dimana keanekaan gen mempunyai tujuan pengedalian
hama (Soemarwoto, 1994: 24).
Vandana Shiva salah seorang tokoh gerakan lingkungan hidup dan pemerhati
masalah

pengembangan

bioteknologi

menjelaskan

bahwa

pengembangan

bioteknologi pada tanaman dan keanekaragaman sifat genetik tunggal secara luas
58

telah menimbulkan epidemi penyakit pada jamur dan jagung di tahun 1970 (Shiva,
1994). Salah satu bahaya pelepasan organisme hasil rekayasa genetika ke alam bebas
adalah kemungkinan tercemarnya jenis-jenis asli atau liar oleh gen-gen dari tanaman
transgenetik. Keadaan ini dapat mengancam keanekaragaman hayati karena
organisme yang telah berubah dengan akibat-akibat pada lingkungan dan kesehatan
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Sekali dilepaskan dan berkembang biak,
gen-gen hasil rekayasa genetika tidak dapat diisolasi kembali dari lingkungan.
Permasalahan hukum yang muncul dari adanya proses pengembangan
bioteknologi ini antara lain:
1. Dari Sudut Kelembagaan
Adanya proses perizinan yang tidak terkoordinasi terhadap peneliti asing yang
hendak melakukan penelitian di Indonesia khususnya tentang keanekaragaman hayati
dimana di dalamnya terkandung kekayaan plasma nutfah. Akibat negatif dari tidak
terkoordinasinya proses perizinan tersebut, maka dapt dimanfaatkan dengan baik
oleh para peneliti asing untuk melakukan pencurian terhadap plasma nutfah sebagai
bahan dasar proses pengembangan bioteknologi. Selain itu pula apabila terjadi
perusakan lingkungan maka masing-masing lembaga akan melempar tanggung jawab
karena tidak terjadi koordinasi lintas sektoral.
2. Sisi Hukum Lingkungan Internasional
Banyak produk bioteknologi pertanian modern yang dilempar ke negara-negara
berkembang yang sesungguhnya dilarang untuk diedarkan maupun diuji-cobakan di
negara asalnya.

Larangan tersebut dengan alasan bahwa produk tersebut tidak berwawasan


lingkungan, sebagai contohnya adanya pengujian penelitian vaksin oleh WINSTAR
terhadap produk bioteknologi berbahaya yang dilakukan di India dan Argentina
(Shiva, 1994) produk bioteknologi pertanian modern tersebut diuji-coba di dua
negara tersebut, karena kedua negara tersebut mendapat tekanan dari pemerintah
Amerika Serikat untuk memberi izin melakukan uji coba pelepasan tanaman hasil
rekayasa genetika tersebut. Selain Amerika Serikat, negara-negara industri maju
yang tergabung di dalam G-7 juga menekankan negara-negara berkembang agar

59

bersedia dijadikan sebagai ajang uji coba pelepasan tanaman sekaligus pemasaran
dari tanaman-tanaman GMO (Genetically Modified Organism).

2.3.1

Analisa

Yuridis

Rekayasa

Genetika

Terhadap

Biodiversity/Keanekaragaman Hayati di Indonesia


Analisis terhadap Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nation Convention on Biological Diversity.
Pasal 19 Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity menyatakan:
1) Setiap pihak wajib memberlakukan upaya-upaya legislatif, administratif, dan
kebijakan, bila diperlukan untuk memungkinkan peran serta yang efektif dalam
kegiatan penelitian bioteknologi yang dilakukan para pihak, khususnya negaranegara berkembang yang menyediakan sumber daya genetik bagi penelitian
tersebut dan bila layak;
2) Setiap

pihak

wajib

melakukan

upaya

praktis

untuk

mendorong

dan

mengembangkan akses prioritas dengan dasar adil oleh para pihak terutama
negara negara berkembang kepada hasil dan keuntungan yang timbul dari
bioteknologi yang didasarkan sumber daya genetik yang disediakan oleh para
pihak-pihak tersebut. Akses semacam itu harus didasarkan persyaratan yang
disetujui bersama;
3) Para pihak wajib mempertimbangkan kebutuhan akan protocol dan model
modelnya yang menentukan prosedur yang sesuai, mencakup khususnya
persetujuan

yang

diinformasikan

terlebih

dahulu

dibidang

pengalihan,

penanganan dan pemanfaatan secara aman terhadap organisme termodifikasi


hasil bioteknologi yang mungkin mempunyai akibat merugikan terhadap
konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati;
4) Para pihak yang secara langsung atau dengan melalui pejabat resmi menurut
juridiksi menyediakan organisme seperti dalam ayat (3) diatas, harus
menyediakan informasi yang ada tentang peraturan penggunaan dan keamanan
yang diperlukan oleh pihak tersebut dalam menangani organisme semacam itu,

60

maupun informasi yang ada mengenai dampak potensial organisme tertentu


kepada pihak yang akan menerima organisme tersebut.

Pasal 19 ini secara juridis merupakan payung bagi Indonesia khususnya dan
negara lain yang meratifikasi konvensi PBB ini umumnya untuk melindungi
keanekaragaman hayatinya dari dampak negatif produk-produk bioteknologi modern
khususnya dalam bidang pertanian.
Dalam tatanan empiris tampaknya peraturan ini masih harus dikaji lebih jauh.
Pasal 19 ayat 1 sesungguhnya telah mewajibkan para pihak yang dalam hal ini
tentunya juga Indonesia sebagai penyedia bahan dasar proses rekayasa genetik untuk
melakukan upaya legislatif, administratif, dan juga kebijakan serta berperan secara
efektif dalam penelitian bioteknologi. Keadaan yang terjadi di Indonesia adalah tidak
terdapatnya koordinasi lintas sektoral dari lembaga pemberi izin dalam kegiatan
karena celah lowong perizinan ini menjadi pintu masuk bagi terciptanya kerusakan
keragaman hayati Indonesia. Akibat yang timbul adalah terjadinya pencurian plasma
nutfah Indonesia yang kaya dan beragam dan juga terjadinya ajang uji coba
pelepasan GMO, dimana GMO tersebut dilarang untuk diuji di negara asalnya.
Dengan adanya Pasal 19 ayat 1 ini maka Indonesia harus bergerak cepat untuk
melakukan koordinasi lintas sektoral sehingga akan tercapai koordinasi pengawasan
satu atap, atau dapat juga hanya satu lembaga perizinan yang memiliki kewenangan
hukum mengeluarkan izin penelitian di kawasan hutan Indonesia yang kaya akan
Sumber Daya Genetika.
Pasal 19 ayat 2 menekankan pada pembagian keuntungan yang adil khususnya
bagi negara-negara berkembang yang memiliki kekayaan plasma nutfah sebagai
bahan dasar proses rekayasa genetik. Keuntungan yang diperoleh negara industri
maju dari perdagangan produk-produk bioteknologi dalam akhir dasawarsa delapan
puluhan mencapai US $50 100 Milyar (Salim, 1993: 147). Keuntungan sebesar itu
tercipta di negara utara dan akan tetap berada disana, sedangkan kerugian yang
diderita oleh negara-negara di kawasan tropis sebagai negara terkaya penghasil
plasma nutfah dunia akan terjadi seperti yang telah terjadi di India dan Argentina.
Pasal 19 ayat 3 menekankan perlunya protocol dari konvensi yang telah
diratifikasi ini khususnya dalam pemanfaatan bioteknologi secara aman. Dalam
61

kaitan ini Indonesia telah mencoba unutk menyusun protocol mengenai keselamatan
hayati (Bio-Safety) melalui lembaga pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Pokok-pokok usulan Protokol Keselamatan Hayati tersebut berisi antara lain :
a) Analisis resiko dan persyaratan keselamatan hayati yang berkaitan dengan
produk-produk bioteknologi baik GMO maupun produk makanan, atau obat
hasil rekayasa genetika. Analisis resiko harus mencakup lingkungan-lingkungan
di luar uji coba pertama kali dilakukan. Baeban pengujian untuk membuktikan
keamanan produk harus dipikul pihak yang mengintroduksi;
b) Analisis resiko dan keselamatan hayati bagi pelepasan GMO secara sengaja ke
alam dan pencagahan terlepasnya GMO tanpa disengaja dari keadaan terisolir
(laboratorium). Hal ini harus dilihat kasus-perkasus;
c) Pengaturan keselamatan untuk pengembangan penelitian dan pemanfaatan GMO
serta bioteknologi di dalam negeri dengan menggunakan prinsip pencegahan
(Precautionary Approach);
d) Persyaratan alih teknologi yang berkaitan dengan proses berbahaya dalam
bioteknologi;
e) Keterbukaan dan akses informasi mengenai GMO bagi seluruh jabatan
pemerintah dan masyarakat. Hal ini untuk memberi label terhadap produk
produk GMO dengan mencantumkan pula kemungkinan kemungkinan reaksi
produk tersebut pada orang-orang yang peka;
f) Ketentuan tentang perlunya prosedur informasi (Prior Informed Consent)
berkaitan

dengan

mengintroduksi

alih

teknologi

GMO harus

dan pelaksanaan GMO. Pihak yang

mencantumkan informasi lengkap mengenai

analisis produk dan kegiatan di negara asal;


g) Penanganan dampak sosio ekonomi dan produk produk bioteknologi;
h) Penanganan dampak pelepasan GMO terhadap ekosistem.

Tujuan dari diusulkannya protokol keselamatan hayati ini secara umum adalah
melindungi sumber daya hayati Indonesia dari pencemaran biologi dan melindungi
kesehatan masyarakat dari pemanfaatan bioteknologi yang belum teruji. Tujuan
umum tersebut diperinci lagi menjadi tiga tujuan, yaitu :

Mencegah Indonesia dijadikan ajang uji coba pelepasan GMO;


62

Mencegah masuknya roduk bioteknologi yang berbahaya.

Mengawasi pengembangan dan penggunaan GMO di Luar Negeri.

Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Lingkungan Hidup sebagai Undang-Undang yang mengatur lingkungan hidup
pertama berlaku di Indonesia secara khusus belum mengatur perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati Indonesia. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982
menyatakan bahwa ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya ditentukan dengan Undang-Undang. Pasal tersebut belum mampu
bergerak secara operasional karena masih memerlukan sebuah Undang-Undang yang
khusus mengatur konservasi sumber daya alam hayati. Bentuk Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1982 yang bersifat ketentuan pokok mengakibatkan Undang-Undang
ini tidak mampu melindungi kondisi lingkungan hidup pada umumnya maupun
keanekaragaman secara hayati secara khusus. Pemerintah dalam hal ini harus
bertindak tegas untuk menyelamatkan kondisi lingkungan hidup yang mengalami
degradasi mutu lingkungan. Pada tahun 1990 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990
tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai ketentuan
hukum yang diharapkan mampu bergerak secara operasional dalam melindungi
kondisi sumber daya alam hayati Indonesia.
Di dalam menimbang bagan konsideran menimbang huruf c Undang-Undang
Nomor 5 tahun1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dijelaskan
bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung antara satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan
dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Dalam pasal
28 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dijelaskan bahwa pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi,
daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
Plasma nutfah sebagai bahan dasar proses rekayasa bioteknologi merupakan
sumber kekayaan genetika yang sangat tinggi nilainya. Tingginya nilai plasma nutfah
tersebut akan merugikan Indonesia dengan adanya pencurian yang terjadi di hutan
Tropis Indonesia.
Pasal 21 menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk :
63

Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, me-melihara,


mengangkut, dan mem-perniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup atau mati dari suatu tempat lain di dalam dan di luar Indonesia.
Tindakan tegas terhadap para pelaku pencurian plasma nutfah tertuang di
dalam Pasal 40 ayat 1 yang menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana di-maksud dalam pasal 21
ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 33 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000.
Pasal 21 di atas merupakan payung yang dapat melindungi keanekaragaman
hayati dari dilakukannya uji-coba rekayasa genetika (pelepasan tanaman GMO) ke
alam bebas. Selain itu pula huruf b menjaga kekayaan genetika Indonesia dari
tindakan pencurian yang akan dilakukan oleh beberapa peneliti asing. Tindakan
seperti yang tertuang di dalam pasal 21 ini diancam dengan pidana penjara 5 tahun
dan denda sebesar Rp. 100.000.000.
Pertanyaan lebih lanjut adalah: apakah pasal ini cukup efektif untuk
memidanakan para pelaku uji-coba tanaman GMO ke alam bebas, mengingat
keuntungan yang sangat besar (milyaran dollar) dari adanya perdagangan produk
bioteknologi di pasar perdagangan internasional? Pertanyaan kedua adalah: apakah
aparat penegak hukum memiliki pengetahuan yang cukup terhadap eksistensi
tanaman plasma nutfah yang dilindungi, sehingga mampu membedakan tanaman
biasa dan jenis plasma nutfah? Pertanyaan ketiga: apakah aparat penegak hukum
memiliki pengetahuan yang cukup akan adanya proses bioteknologi ini, sehingga
mampu membedakan adanya perbuatan biasa dengan perbuatan yang melawan
hukum. Dengan dilakukannnya uji coba pelepasan tanaman GMO ke alam bebas?
Pertanyaan keempat: berapa besar jumlah aparat penegak hukum yang sanggup
melindungi secara luas hutan di Indonesia dari kerusakan dan pencurian tanaman
plasma nutfah di Indonesia?
Tindakan pencegahan adalah salah satu upaya yang paling efektif untuk
mencegah masuknya peneliti asing ke dalam hutan Indonesia yang tidak bertanggung
jawab dengan melakukan pencurian dan perusakan keanekaragaman hayati. Pasal 39

64

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 telah memberikan dasar bagi upaya-upaya


tersebut. Pasal 39 ayat 3 menyatakan:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berwenang untuk :
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran dengan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam
dan kawasan pelestarian alam;
4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
5. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang lain atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
6. Membuat dan menandatangani berita acara;
7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 39 ini mencerminkan sebuah upaya preventif (pencegahan) dari aparat


penegak hukum untuk dapat mencegah pencurian terhadap kekayaan sumber daya
genetika berupa plasma nutfah, selain itu mampu melindungi kawasan alam dari
adanya tindakan uji coba pelepasan tanaman GMO ini ke alam bebas yang dapat
mengakibatkan kerusakan terhadap kondisi lingkungan alam. Upaya ini menuntut
pula upaya aktif para penegak hukum untuk memperoleh keterangan tentang
perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya adalah penjelasan dari
pihak lain khususnya kelangkaan akademisi yang mengetahui serta menguasai proses
rekayasa genetika yang sedang berlangsung.
Selain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 di atas, Undang Undang lainnya
adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Di dalam konsideran menimbang huruf d dinyatakan:
Bahwa

penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan


65

pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan


perkembangan lingkungan global

serta perangkat hukum internasional yang

berkaitan dengan lingkungan hidup.


Dari bunyi konsideran di atas tampak bahwa pengelolaan lingkungan hidup
harus berdasarkan pada norma hukum dan memperhatikan pula tingkat kesadaran
masyarakat, perkembangan lingkungan global, dan perangkat hukum internasional
yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Permasalahan bioteknologi di Indonesia
yang sangat berkaitan dengan keadaan lingkungan hidup, sampai saat ini masih
menjadi hal yang tidak dapat dimengerti oleh kalangan akademisi, maupun kalangan
aparat penegak hukum. Menurut penulis tampaknya telah terjadi putusnya
komunikasi hukum atau proses rekayasa genetika yang secara negatif dapat
mengancam kelestarian lingkungan alam akan memperburuk kondisi lingkungan
alam, karena lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia secara luas
yang membutuhkan plasma nutfah sebagai bahan pangan dan obat-obatan.
Kesadaran masyarakat terhadap adanya dampak negatif yang menghasilkan
produk bioteknologi yang merusak lingkungan hidup juga sangat lemah. Kesadaran
hukum perlu terus ditumbuhkan mengingat proses rekayasa ini mampu merusak
lingkungan hidup secara luas. Berbicara tentang kesadaran hukum, maka menurut
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mencakup tiga hal (Munir, 1997: 47),
yaitu: pertama: pengetahuan terhadap hukum, kedua: penghayatan fungsi hukum,
ketiga: ketaatan terhadap hukum.
Pengetahuan terhadap hukum lingkungan di Indonesia masih sangat lemah, hal
ini tidak saja dialami oleh masyarakat awam, akat tetapi juga aparat penegak hukum.
Lemahnya pemahaman ini disadari mengingat pemahaman terhadap lingkungan
membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang ilmu lingkungan. Pada sisi yang
lain aparat penegak hukum dan juga masyarakat luas tidak memiliki pemahaman dan
penguasaan ilmu lingkungan itu sendiri, sehingga persoalan lingkungan hidup
bukanlah merupakan bagian dari hidup manusia itu sendiri, tetapi merupakan bagian
hidup yang terpisah dari hidup manusia. Kondisi ini sangat memperihatinkan
mengingat proses perusakan lingkungan hidup khususnya yang ditimbulkan dengan
adanya proses rekayasa genetika terus berlangsung.

66

Penghayatan fungsi hukum dan ketaatan hukum di Indonesia juga sangat


lemah, hal ini dapat dilihat dengan tindakan-tindakan di luar hukum. Selain itu pula
munculnya

perbuatan

melawan

hukum sebagai

masyarakat mungkin memperparah kondisi

apresiasi

atau kekecewaan

lingkungan hidup sebagai modal

keberlanjutan pembangunan bangsa.


Perusakan lingkungan hidup menurut pasal 1 angka 14 UU No. 23 tahun 1997
diartikan sebagai: Tindakan yang menimbulkan perbuatan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan
hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Proses rekayasa dengan melepaskan ke alam bebas tanaman GMO telah
mengakibatkan perubahan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi
sifat fisik dan hayatti, hal ini di-buktikan dengan munculnya epidemi jagung yang
melanda India pada tahun 1970. Sampai saat ini belum terdapat bukti konkrit
terhadap pelepasan tanaman GMO ke alam bebas di Indonesia, walau demikian tidak
berarti bahwa kejadian yang menimpa India dan Argentina tidak terjadi di Indonesia.
Tindakan pencegahan dapat segera dilakukan mengingat UU No. 23 juga
memberikan pijakan hukum melakukan upaya upaya pencegahan:
Pasal 8 ayat 2 huruf b dan c menyatakan:
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah: mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk
sumber daya genetika. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum
antara orang/ atau alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya
genetika.
Pemerintah dalam undang-undang ini dituntut melakukan upaya secara aktif
dengan cara melakukan penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengelolaan
terhadap lingkungan hidup, pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk
didalamnya adalah sumber daya genetika.
Pemerintah dalam hal ini perlu segera mengatur perbuatan hukum dan
hubungan hukum antara objek hukum (alam,tanaman GMO, plasma nutfah) dengan
subjek hukum (manusia/peneliti). Dalam hal ini yang perlu diatur adalah sejauh
mana penelitian tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan dalam kaitan dengan
perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.
67

Peraturan tersebut perlu segera diimplementasikan mengingat perlindungan


terhadap keanekaragaman hayati Indonesia sangat mendesak untuk dilindungi
apabila dilihat dari dampak negatif sebuah proses pengembangan bioteknologi. Perlu
pula dikaji analisis terhadap dampak yang ditimbulkan dari adanya kegiatan rekayasa
tesebut bagi lingkungan alam dan juga bagi manusia itu sendiri.
Pasal 41 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan

sanksi

pidana

terhadap adanya

pelepasan GMO yang dapat

menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup, yang menyatakan:


Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbutan yang
mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah). Pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan adanya ancaman pidana
bagi pelaku pelepasan tanaman GMO yang membahayakan kondisi lingkungan
hidup, akan tetapi sudah cukup memberikan ancaman ditinjau dari setiap perbuatan
hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau kerusakan terhadap lingkungan
hidup adalah tindakan pencegahan, mengingat dampak yang sangat besar terhadap
kondisi lingkungan hidup.
Kesadaran untuk melindungi lingkungan hidup khususnya keanekaragaman
hayati indonesia sebagai salah satu mega-biodiversity dunia harus segera dilakukan
dalam bentuk sosialisasi hukum. Bergeraknya hukum dalam masyarakat (law in
action) sangat dipengaruhi oleh tiga hal, pertama, faktor aparat penegak hukum,
dalam hal ini apakah aparat penegak hukum telah memahami aturan aturan hukum
yang ada sebagai sebuah payung perlindungan? Kedua, apakah hukum secara
substansi telah memuat norma norma yang mampu melindungi lingkungan alam
khususnya dalam hal ini adalah keanekaragaman hayati di Indonesia? Ketiga, kultur
hukum, dalam hal ini perlu dikaji secara lebih mendalam lagi, apakah masyarakat
memiliki kultur hukum yang berbeda dengan norma hukum yang diberlakukan oleh
negara?
Bagaimanakah ketiga parameter di atas apabila dikaitkan dengan kondisi
empiris? Parameter pertama adalah aparat penegak hukum, aparat penegak hukum
Indonesia masih belum memahami arti penting kondisi lingkungan khususnya
keanekaragaman hayati sebagai sebuah karunia Tuhan bagi keberlangsungan
68

peradaban manusia. Aparat hukum masih memiliki kendala dalam menegakan aturan
aturan hukum dalam bidang lingkungan hidup, antara lain:
Pertama adalah lemahnya pengetahuan para aparat penegak hukum tentang
fungsi,

kegunaan,

dan

tujuan

kelestarian

lingkungan

hidup

khususnya

keanekaragaman hayati. Kedua, masih belum dimilikinya pengetahuan akan dampak


negatif yang dapat timbul dari adanya pengembangan produk-produk bioteknologi
terhadap kondisi lingkungan hidup oleh aparat penegak hukum. Ketiga, terbatasnya
jumlah aparat penegak hukum yang tersedia untuk melindungi luas wilayah hutan
Indonesia dimana plasma nutfah berada, dalam arti lain bahwa terbatasnya jumlah
aparat hukum yang tersedia untuk melindungi luas sebaran keanekaragaman hayati
Indonesia. Keempat, terbatasnya peralatan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum
yang mampu melihat kondisi kerusakan keanekaragaman hayati Indonesia dari
adanya sebuah uji coba pelepasan GMO ke alam bebas.
Mengingat begitu parahnya dampak yang ditimbulkan dari adanya uji-coba
rekayasa genetika terhadap kondisi lingkungan hidup dan juga terjadinya pencurian
plasma nutfah di Indonesia, maka penulis merekomendasikan beberapa hal, antara
lain :
1. Dari sisi administrasi: perlu segera dilakukan upaya koordinasi terhadap proses
perizinan penelitian di Indonesia. Hal ini perlu segera dilakukan mengingat
banyaknya pintu izin penelitian yang tidak terkoordinasi mengakibatkan peneliti
asing acapkali melakukan pencurian plasma nutfah Indonesia. Pentingnya
koordinasi lintas sektoral ini untuk mencegah terjadinya proses rekayasa yang
akan merugikan kondisi lingkungan Indonesia.
2. Perlu adanya

komunikasi

hukum yang efektif, mengingat arti penting

lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati yang belum banyak


disadari dan dipahami oleh masyarakat luas, maupun oleh aparat penegak
hukum. Akibatnya adalah lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia;
3. Perlu adanya koordinasi antar negara, khususnya antara negara negara yang
memiliki keaneka-ragaman hayati agar kekayaan keanekaragaman hayati tidak
rusak bahkan mengalami kepunahan oleh tindakan yang merusak kondisi
keanekaragaman hayati khususnya lingkungan hidup pada umumnya. Selain itu
pula kerjasama antar negara diharapkan akan membentuk sebuah kekuatan posisi
69

tawar yang lebih baik dari adanya tekanan yang ditimbulkan negara industri
maju;
4. Perlu segera dilakukan pembenahan terhadap kondisi aparat penegak hukum
dalam melakukan Law Enforcement.

2.3.2

Pertanggungjawaban Terhadap Penggunaan Rekayasa Genetika Dalam


Konteks Hukum Indonesia
Pertanggung jawaban hukum bertujuan untuk menentukan pihak-pihak mana

yang harus bertanggung jawab atas suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian
pada pihak lain. Di dalam konteks perdata, pertanggungjawaban perdata merupakan
tindakan, biasanya dalam bentuk pembayaran ganti kerugian, yang harus dilakukan
oleh seseorang atau pihak yang karena perbuatannya telah menimbulkan kerugian
pada

orang

lain.

Salah

satu

ukuran

yang

digunakan

untuk

menentukan

pertanggungjawaban perdata ini adalah Perbuatan Melawan Hukum.


Di Indonesia yang dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum merujuk
pada Pasal 1365 KUHPerdata, menyatakan bahwa perbuatan orang tersebut haruslah
memenuhi unsur-unsur berikut:
1. Sifat melanggar hukumnya suatu perbuatan (onrechmatigheid)
2. Kesalahan (schuld)
3. Kerugian (schade)
4. Hubungan sebab-akibat (causal verband)
5. Relativiteit

Secara teoritis, para ahli menyatakan bahwa prinsip yang digunakan pada pasal
1365 KUHPerdata adalah liability based on fault dengan beban pembuktian berada
pada penderita (penggugat). Dalam hal ini, si penderita baru akan memperoleh ganti
kerugian apabila ia berhasil membuktikan bahwa si pelaku (tergugat) telah bersalah
melakukan perbuatan melawan hukum. Kesalahan dengan demikian merupakan
unsur yang menentukan pertanggungjawaban, sebab bila terbukti terdapat adanya
kesalahan dan menerbitkan kerugian maka pihak tergugat wajib untuk mengganti

70

kerugian, dan apabila kesalahan tidak terbukti maka pihak tergugat bebas dari
pertanggungjawaban.
Dikemukakan pasal 1865 KUHPerdata, menyatakan bahwa barang siapa yang
mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan suatu hak maka ia wajib
membuktikan peristiwa itu. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa mereka yang
mendalilkan sesuatu memiliki kewajiban untuk membuktikan kebenaran dalilnya
tersebut.
Indonesia menganut sistem Civil Law dan sistem hukum Eropa Kontinenatal,
yaitu sistem yang berpatokan pada undang-undang, yang dalam beberapa bidang
hukum sering kali berupa seperangkat peraturan yang dikodifikasikan dan
dikumpulkan

dalam

satu

kitab

perundang-undangan.

Dalam

konteks

pertanggungjawaban berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum selalu mengacu apda


pasal 1365 KUHPerdata. Dalam hal ini untuk dikatakan sebagai Perbuatan Melawan
Hukum, sebuah perbuatan haruslah terbukti melawan hukum, dan harus pula terbukti
adanya kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut.
Disamping berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum, sistem hukum Indonesia
mengenal pula adanya pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Sistem
pertanggungjawaban ini ditujukan khusus untuk kerugian akibat dari perbuatanperbuatan tertentu yang dianggap berbahaya atau beresiko tinggi.
N.H.T. Siahaan mengkaitkan pasal 34 UU No. 23/1997 dengan pasal 1365
KUHPerdata, menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum sebenarnya mengacu
pada konsepsi pertanggungjawaban yang konvensional, yaitu pertanggungjawaban
yang didasarkan pada adanya kesalahan (liability based on fault, schuld
aansprakelijkheid). Tanpa adanya kesalahan maka tidak akan timbul dasar untuk
menuntut kerugian. Dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban perdata secara
umum Perbuatan Melawan Hukum didasarkan pada unsur kesalahan, sehingga
disebut sebagai pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault).
Pada sistem Common Law kesalahan yang dilakukan oleh seseorang haruslah
dipertanggungjawabkan dan kepadanya dapatlah dimintakan kompensasi atau
pertanggungjawaban ganti rugi. Untuk mengajukan gugatan berdasarkan Tort Law
haruslah ada perbuatan yang pasif dan aktif dari tergugat, yang menimbulkan
kerugian terhadap kepentingan penggugat yang dilindungi oleh hukum.
71

Beberapa kualifikasi Tort sebagai berikut:


1. Tresspass
Adalah bentuk Tort paling tua, ditujukan untuk membebankan kewajiban
memberi ganti rugi terhadap orang yang mengganggu kedamaian, mengganggu
penguasaan secara nyata atas sebidang tanah atau benda bergerak milik orang lain
atau gangguan atas badan atau fisik seseorang. Tetapi dalam tresspass ini harus ada
serangan langsung terhadap seseorang atau suatu benda, dan serangan ini
bertentangan dengan kehendak si korban (penggugat). Konsep tresspass ini adalah
diwajibkannya adanya serangan langsung terhadap kepemilikan seseorang, tindakan
serangan ini dilarang dan tidak diperlukannya pembuktian akan kerusakan yang
ditimbulkan.
2. Nuisance
Adalah gangguan, yang dibedakan menjadi public nuisance dan private
nuisance. Pada mulanya nuisance hanya mengatur gangguan secara umum dilakukan
kepada publik, namun pada perkembangannya konsep nuisance ini juga mencakup
kerugian yang ditimbulkan kepada warga secara individu.
3. Negligence
Dalam

perkembangannya

konsep

negligence

yang

didorong

oleh

berkembangnya teknologi mesin di bidang industri dan transportasi sehingga jumlah


kecelakaan meningkat.
Agar berhasil dalam gugatan negligence, penggugat harus membuktikan 3
unsur yakni:
-

Tergugat mempunyai duty of care terhadap penggugat

Tergugat melanggar duty of care

Kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran kewajiban tersebut tidak terlalu


jauh hubungannya dengan kerugian yang diderita penggugat.

Dalam tort, kerugian dapat dibagi menjadi:


a. Compensatory damages, yaitu ganti rugi yang digunakan dalam tort pada
umumnya. Ganti rugi ini diberikan terhadap kerugian yang diderita akibat tort,
berupa kerugian yang dinilai dengan uang.

72

b. Nominal damages, yaitu ganti rugi yang diberikan dalam hal gugatan terhadap
per se. Dalam konteks ini semata-mata ditujukan untuk memperlihatkan suatu
tort telah terjadi terhadap penggugat dan kerugian yang ditimbulkan dapat
diberikan sejumlah uang, meskipun tidak berfungsi sebagai ganti rugi seperti
compensatory damages.
c. Examplary damages, yaitu ganti rugi yang diberikan di samping ganti rugi untuk
kerugian yang diderita. Ganti rugi ini diberikan berfungsi sebagai hukuman
ataupun pencegahan agar tort tersebut tidak dilakukan lagi.

Sehubungan dengan penggunaan teknologi rekayasa genetika dapat memiliki


potensi untuk menimbulkan dampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan.
Salah satu konsekuensi dari penggunaan teknologi rekayasa genetika adalah
tercampurnya produk pertanian yang mengandung rekayasa genetika dengan produk
dari proses yang tidak melalui rekayasa genetika. Tanaman rekayasa genetika ini
memiliki daya tahan terhadap hama, sehingga secara ekonomi penggunaan teknologi
ini akan sangat menguntungkan, karena mampu meningkatkan produktivitas dari
mengurangi penggunaan pestisida, serta mengurangi biaya produksi. Namun
beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa tumbuhan transgenik ini akan memiliki
dampak buruk terhadap spesies serangga lain, yang sebenarnya bukan target (hama).
Persoalan lain adalah adanya transfer gen (yang dapat berakbiat pada
tercampurnya produk hasil rekayasa genetika dengan produk non-transgenik bahkan
dapat pula berakibat pada munculnya gulma super) dan semakin tingginya dorongan
bagi munculnya resistensi hama terhadap pestisida.
Pada tahun 1996, sebuah penelitian menemukan bahwa rekayasa genetika pada
kacang kedelai, memiliki protein yang sama seperti pada Brazil Nuts dan memiliki
kesamaan sifat alergi dengan Brazil Nuts. Sifat ini muncul karena tanaman tersebut
telah mengalami rekayasa genetika dengan menggunakan gen yang bersalah dari
Brazil Nuts.
Protokol Cartagena khususnya pasal 27 menjelaskan adanya kemungkinan
penerapan pertanggungjawaban pada penggunaan dan pelepasan produk-produk yang
menggunakan teknologi rekayasa genetika. Dalam pertemuan para pihak ketiga di
Brazil (MOP III) dijelaskan bahwa definisi kerusakan yang terjadi meliputi:
73

a. Kerusakan pada

konservasi

dan keberlanjutan alam lingkungan dalam

penggunaan teknologi rekayasa genetika.


b. Kerusakan pada lingkungan
(i) Kerusakan pada konservasi dan keberlanjutan alam lingkungan pada
penggunaan teknologi rekayasa genetika;
(ii) Kerusakan pada biota tanah
(iii) Kerusakan pada kualitas air
(iv) Kerusakan pada kualitas udara
c. Pengaruh pada kesehatan manusia
(i) Kematian atau gangguan kesehatan
(ii) Kehilangan pendapatan
(iii) Kesehatan masyarakat
(iv) Menurunnya kualitas kesehatan
d. Pengaruh pada kehidupan sosial ekonomi
(i) Kehilangan pendapatan
(ii) Kehilangan kebudayaan, sosial dan kehidupan spiritual
(iii) Kehilangan ketahanan pangan
(iv) Kehilangan semangat
e. Kerusakan budaya tradisional
(i) Kehilangan kehidupan
(ii) Kerusakan pada hak milik
(iii) Kehilangan pendapatan

Penerapan pertanggungjawaban pada penggunaan rekayasa genetika telah


disepakati merupakan pertanggungjawaban yang ditetapkan berdasarkan sistem
pertanggungjawaban yang berlaku di tiap negara sesuai hukum nasionalnya.
Tentunya kebijakan setiap negara berbeda dengan sistem pertanggungjawaban akibat
penggunaan teknologi rekayasa genetika tersebut. Negara-negara dengan peraturan
khusus menerapkan sistem pertanggungjawaban strict liability untuk kerugian yang
ditimbulkan akibat penggunaan rekayasa genetika. Di sisi lain, terdapat beberapa
negara

yang

tidak

memiliki

regulasi

khusus

yang

mengatur

pertanggungjawaban terkait penggunaan teknologi rekayasa genetika.


74

sistem

Tidak memiliki regulasi khusus sistem pertanggungjawaban dikarenakan


kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan teknologi rekayasa genetika akibat
ketidaktahuan akan dampak buruk dan resiko dari penggunaan teknologi ini sehingga
resiko pada penggunaan produk transgenik lebih merupakan rasa khawatir yang
berlebihan, tanpa adanya alasan rasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada
alasan pertanggungjawaban atas penggunaan teknologi rekayasa genetika dianggap
tidak diperlukan.
Tujuan utama dari konsep pertanggungjawaban perdata adalah memberikan
ganti rugi kepada korban, dengan cara memaksa pihak yang bertanggung jawab
untuk memberikan ganti rugi atau kompensasi dalam bentuk sejumlah uang. Dengan
kata lain, konsep ganti rugi dalam pertanggungjawaban perdata merupakan hal
penting dalam rangka mengetengahkan rasa keadilan. Konsep itu sejalan pula dengan
tujuan dan fungsi dari kaedah hukum. Dilihat dari tujuannya, hukum menghendaki
adanya

keseimbangan,

kepentingan,

ketertiban,

keadilan,

ketentraman

dan

kebahagiaan bagi setiap manusia. Hukum merupakan sarana untuk mewujudkan


sosial secara lahir batin. Hukum yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan oleh
negara kepada warga negaranya yang melakukan pelanggaran sehingga timbul rasa
takut untuk melakukannya karena takut akan ancaman hukuman, mereka yang
melakukan kesalahan kemungkinan dapat dipenjarakan atau pun membayar ganti
rugi.
Dengan kata lain, pemberian ganti rugi merupakan kewajiban juga bagi pihak
yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengembalikan keadaan korban kepada
keadaan seperti semula seperti sebelum terjadinya kerugian. Penerapan kaidah
hukum perdata dalam hukum lingkungan bertujuan untuk menegakkan hukum
lingkungan. Oleh karena tujuan penegakkan hukum lingkungan melalui penerapan
kaidah-kaidah hukum perdata dengan memberlakukan pertanggungjawaban perdata
adalah untuk memberikan perlindungan kepada lingkungan dan terhadap korban
yang menderita kerugian akibat dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
Telah disebutkan di atas bahwa konsep ganti rugi dalam menegakkan hukum
lingkungan melalui hukum perdata memiliki salah satu dari pertanggungjawaban
adalah berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Pertanggungjawaban ini
75

mensyaratkan adanya unsur kesalahan adalah bentuk pertanggungjawaban yang di


Indonesia disebut dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), sebagaimana diatur
pada pasal 1365 KUHPerdata. Definisi PMH22 adalah: tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa di dalam PMH, unsur kesalahan adalah
syarat terpenting yang harus dipenuhi agar dapat menentukan pihak yang
bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Pengaturan tentang PMH diatur pula
didalam UU No. 32 Tahun 2009 (UU No. 32/2009) pada pasal 87 yang menyebutkan
bahwa:
(1) Setiap penanggung jawab dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup
wajib membayar ganti rugi dan/atau melakuakn tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan
bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar
hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari
keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnnya uang paksa diputuskan berdasarkan keputusan perundangundangan.
Penjelasan pasal 87 UU No. 32/2009 dikatakan bahwa ketentuan pasal ini
merupakan perwujudan atau realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan yang
disebut asas pencemar membayar. Yang dimaksudkan pencemar membayar adalah
pihak yang melakukan pencemaran dapat dimintai pertanggungjawaban. Penjelasan
pasal 87 UU No. 32/2009 dapat dilihat bahwa kewajiban untuk memperoleh ganti
rugi dalam konsep PMH tidak hanya terbatas pada korban pencemaran saja, juga
termasuk didalamnya berupa kewajiban untuk melakukan suatu tindakan berupa
perintah hakim kepada pelaku pencemaran untuk melakukan tindakan berupa
pemasangan atau perbaikan unit pengolahan limbah yang sesuai dengan baku mutu
lingkungan, melakukan tindakan pemulihan atas lingkungan hidup, menghilangkan
atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran serta pembebanan uang paksa

22

Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365.

76

(dwangsom) setiap hari atas keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk


melaksanakan tindakan tertentu demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Menurut Andri Wibisana menyatakan bahwa menurut Green Paper, lapis
pertama dari sistem kompensasi yang harus bekerja ketika terjadi pencemaran adalah
pertanggungjawaban

perdata,

baik

berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum

(pertanggungjawaban atas dasar kesalahan liability based on fault atau negligence)


maupun berdasarkan pertanggungjawaban langsung (pertanggungjawaban tanpa
kesalahan liability without fault atau strict liability).23
Terkait dengan pertanggungjawaban atas kesalahan, Green Paper mengatakan
bahwa pertanggungjawaban ini memerlukan bukti bahwa pihak yang melakukan
pencemaran telah melakukan kelalaian atau telah melakukan pelanggaran hukum
yang menimbulkan kerugian. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa di dalam konteks
pertanggungjawaban atas dasar kesalahan pihak pencemar tersebut harus pula
terbukti telah gagal melakukan suatu tindakan menurut standar tertentu. Dalam
konteks ini penggugat harus dapat membuktikan tiga unsur sebagaimana dalam
konsep negligence di atas, yakni tergugat mempunyai duty of care terhadap tergugat,
tergugat melanggar duty of care tersebut, dan kerugian yang disebabkan oleh
pelanggaran kewajiban tersebut tidak terlalu jauh hubungannya dengan kerugian
yang diderita penggugat.
Ketentuan PMH lahir karena terdapat prinsip barang siapa yang menimbulkan
kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
ganti rugi diharuskan untuk menggantikan kerugian tersebut, hal ini merupakan
turunan corrective justice yang mengajarkan bahwa setiap orang harus dilindungi
hak-haknya dan dipulihkan keadaannya agar ada keseimbangan antara keadilan dan
kepastian hukum yang merupakan tujuan hukum.
Sistem kompensasi berhubungan tidak hanya dengan pemenuhan hak korban
pencemaran, juga dengan efek jera dan upaya pencegahan. Didalam Deklarasi Rio
tahun 1992 telah mengamanatkan pada setiap negara untuk membuat perangkat

23

Andri Wibisana dan Pramita K. Putri, Analisa Law And Economic atas Kompensasi dan Asuransi
Lingkungan di Indonesia: Sebuah Kritik atas Kompensasi tanpa Sistem , Jurnal Hukum dan
Pembangungan (Tahun ke-39 No. 4/2009), hlm. 535.

77

hukum mengenai pertanggungjawaban perdata dan kompensasi bagi para korban


pencemaran.
Perkembangan konsep PMH selanjutnya berkembang secara khusus dalam
pengaturan mengenai ganti rugi, terutama dengan munculnya berbagai undangundang, yaitu UU No. 4/1982, yang diganti dengan UU No. 23/1997 tentang
Perlindungan

Konsumen

yang

mengatur

secara

khusus

tentang pembuktian

kesalahan dalam hal terjadinya suatu PMH.


Dalam pasal 1365 KUHPerdata dikenal suatu ketentuan bahwa ganti rugi
hanya dapat dikabulkan apabila si korban dapat membuktikan bahwa adanya unsur
kesalahan pada pelaku. PMH pasal 1365 KUHPerdata bersifat terbuka sehingga
rumusan normatifnya dapat dikembangkan untuk memberikan keleluasaan pada
hakim dalam menemukan hukum, terlebih bila dua kriteria PMH yaitu pelanggaran
kaidah tata susila dan asas kepatutan, ketelitian serta hati-hati bersumber pada
ketentuan tidak tertulis.
Konsep PMH berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dan pasal 1865
KUHPerdata, serta pasal 87 UU No. 32/2009 ditegaskan bahwa unsur didalam PMH
sepenuhnya menjadi beban pembuktian si penggugat.
UU No. 32/2009 pasal 69 huruf g menyatakan bahwa setiap orang dilarang
melepaskan produk rekayasa gentika ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau ijin lingkungan. Dengan demikian
apabila hendak menggunakan atau melepaskan produk yang berbasis teknologi
rekayasa genetika maka pihak yang melakukan pelepasan tersebut harus mengikuti
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan PP No. 21/2005
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik memuat berbagai ketentuan
perysaratan produk rekayasa gentika dari luar negeri, sertifikasi keamanan hayati dari
produk rekayasa genetika, prosedur pemberian ijin pelepasan produk rekayasa
genetika sampai dengan pembentukan Komisi Keamanan Hayati.
Selain itu, pelepasan produk rekayasa genetika wajib memperoleh ijin
lingkungan. Sebagaimana pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa setiap usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL, wajib memiliki ijin lingkungan
yang diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.
78

Apabila dalam penggunaan teknologi rekayasa genetika ternyata menimbulkan


kerugian, maka ganti kerugian dapat dimintakan kepada pihak yang bertanggung
jawab, yaitu yang memenuhi syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Mariam
Badrulzaman menyatakan syarat-syarat tersebut terdiri dari hal-hal berikut:
-

Harus ada perbuatan, baik bersifat positif maupun negatif.

Perbuatan itu harus melawan hukum

Adanya kerugian

Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian yang ditimbulkan.

Ada kesalahan.

Dengan demikian bahwa apabila hendak menerapkan PMH pada penggunaan


teknologi rekayasa genetika, kerugian yang terjadi haruslah merupakan kerugian
yang timbul dari kesalahan tergugat, sebab unsur kesalahan merupakan syarat mutlak
yang harus terpenuhi untuk menentukan bertanggungjawab atau tidaknya seseorang.
Unsur kesalahan ini dibuktikan dengan adanya pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan

maupun

kepatutan

dan

kehati-hatian

terkait

dengan

penggunaan/pelepasan produk rekayasa genetika.


Pada umumnya pembuktian sangatlah diperlukan apabila penggugat akan
menuntut pihak lain untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan pada penggunaan
teknologi rekayasa genetika yang menimbulkan kerusakan pada kesehatan manusia
dan mencemari lingkungan. Dengan kata lain penggugat harus menunjukkan bahwa
terdapat kerugian sebagaidasar untuk meminta pertanggungjawaban.
Beberapa negara mempunyai ketentuan yang memberlakukan aturan strict
liability yang diterapkan pada penggunaan teknologi rekayasa genetika yang
menimbulkan kerugian pada pihak lain. Ketentuan ini ditujukan pada kegiatan yang
dikategorikan extremely dangerous activities, yaitu kegiatan yang menghasilkan
kerugian/kerusakan yang sangat besar. Berdasarkan strict liability, pelaku
pencemaran akan bertanggung jawab atas pencemaran yang terjadi tanpa melihat ada
tidaknya unsur kesalahan pada diri pencemar, apakah pencemar telah melakukan
PMH (unlawful act) atau tidak, pencemar tetap haruslah bertanggung jawab

79

meskipun tidak terdapat kesalahan berupa pelanggaran hukum (pelanggaran terhadap


duty of care).
Siti Sundari dalam buku Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
mengatakan strict liability merupakan tanggung gugat yang timbul seketika pada saat
terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat yang dijelaskan oleh
Krier, sebagai berikut:
Finally, the doctrine of strict liability for abnormally dangerous activities can
be of assistance in many cases of environmental damage, strict liability is, of
course, more than a burden-shifting doctrine, since it not only relieves the
plaintiff of the obligation to prove fault but forcloses the defendant from
proving the absence of fault.
Lebih lanjut oleh Kolasa dan Meyer, dikutip oleh Siti Sundari Rangkuti,
bahwa:
............ strict liability, in general requires the same elements as does an action
under negligence with the important addition of the existance of an absolute
duty to make a situation safe.
Syarat pemberlakuan strict liability menurut Kolasa dan Meyer, dikuti dalam
Siti Sundari Rangkuti, berikut:
Extra Hazardous Activities and Dangerous Animals can be the occasion for
determining strict liability. The activities must be such that they are not in
common usage in the community and involve a risk of serious harm to person
or property that can not be eliminated but the use of due care.
Dalam tanggung jawab mutlak (strict liability atau absolute liability ), tergugat
selalu diharuskan untuk bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidaknya
kesalahan yang dilakukan olehnya. Dengan kata lain didalam tanggung jawab mutlak
unsur kesalahan menjadi suatu hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Dalam hal ini,
EC Green Paper menyatakan bahwa strict liability, or liability without fault, eases
the burden of establishing liability because need not be established. However, the
injured party must still prove that the damage was caused by someones act .
Pendapat EC Green Paper ini sekaligus juga menunjukkan bahwa di dalam strict
liability unsur melawan hukum tidaklah perlu dibuktikan. Hal yang perlu dibuktikan
oleh penggugat hanyalah kerugian yang dideritanya dan hubungan kausalitas antara

80

perbuatan yang dilakukan oleh pencemar (tergugat) dengan kerugian yang diderita
oleh korban (penggugat).
Siti Sundari Rangkuti menyatakan beberapa hal terkait dengan penerapan strict
liability:
a. Strict liability dikenakan secara selektif terhadap perusakan atau pencemaran
lingkungan yang masuk jenis dan kategori abnormally dangerous atau ultra
hazardous activities.
b. Strict liability tidak perlu diterapkan terhadap perbuatan pencemaran mengenai
perlindungan lingkungan hidup.
c. Strict liability dapat dimasukkan dalam undang-undang yang ada, tapi peru
peraturan

khusus

yang mengatur

implementasinya

secara

komprehensif.

Tanggung gugat pencemar dapat pula ditetapkan dengan mengubah dan


melengkapi pasal 1365 KUHPerdata.
d. Pengaturan tentang strict liability hendaknya memperhatikan ketentuan tentang
batas tertinggi ganti kerugian dan kemungkinan atau kewajiban asuransi.

Di Indonesia pertanggungjawaban mutlak atau strict liability hanya dapat


diterapkan untuk kegiatan/usaha tertentu yang:
-

Usaha dan/atau kegiatannya menggunakan, menghasilkan, atau mengelola


limbah B3.

Kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

Dengan

dapat

ditentukannya

kriteria

usaha

dan/atau

kegiatan

yang

membahayakan lingkungan hidup, maka doktrin pertanggungjawaban mutlak atau


strict liability menyatakan bahwa seseorang yang melakukan kegiatan yang dapat
dimasukkan kategori extrahazardous atau ultrahazardous atau abnormal hazardous
diwajibkan untuk memikul segala kerugian yang timbul walaupun ia telah bertindak
hati-hati atau utmost care untuk mencegah bahaya atau kerugian tersebut.
Keterkaitan dengan pencemaran lingkungan akibat penggunaan teknologi
rekayasa genetika maka strict liability kemungkinan dapat dipergunakan oleh
penggugat yang merasa dirugikan oleh penggunaan teknologi rekayasa genetika
tersebut. Apabila menggunakan instrumen ini maka penggugat pertama-tama harus
81

dapat menunjukkan bahwa kegiatan/usaha tergugat merupakan kegiatan yang


menggunakan B3, atau menghasilkan/mengelola limbah B3, atau kegiatan/usaha
yang dapat menimbulkan akibat serius bagi lingkungan.
Dengan demikian apabila seseorang menjalankan jenis kegiatan yang dapat
digolongkan sebagai

extrahazardous

atau ultrahazardous atau abnormally

dangerous, diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan meskipun ia telah


bertindak sangat hati-hati atau utmost care.
Konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) telah diatur dalam pasal
88 UU No. 32/2009 yang merupakan lex specialis dari pasal 1365 KUHPerdata.
Akan tetapi pengugat tetap wajib untuk membuktikan kerugian yang dideritanya dan
menunjukkan hubungan kausal antara kerugian yang diderita penggugat dan dengan
kegiatan yang dilakukan tergugat.

Pihak yang bertanggung jawab apabila timbul dampak kerugian akibat


penggunaan teknologi rekayasa genetika
Dalam penggunaan teknologi rekayasa genetika ada beberapa pihak yang
terlibat di dalam penggunaannya baik dalam pelepasan produk, pengangkutan,
ekspor impor dan perdagangannya dan ini berbeda satu sama lainnya, ada beberapa
pelaku yang terlibat didalamnya dan ada pula kemungkinan beberapa pelaku secara
bersama-sama dapat dimintai pertanggungjawaban di dalam proses produksi. Dan
seperti masalah-masalah pada umumnya perangkat hukum mempunyai beberapa
macam opsi untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Yang paling memudahkan
penggugat adalah joint and several liability. Di sisi lain berkembang pula
pertanggung jawaban secara proporsional, misal dengan market share liability.

Pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pada kerugian yang


timbul akibat penggunaan teknologi rekayasa genetika
Didalam pelepasan produk yang menggunakan teknologi rekayasa genetika
terdapat beberapa
pertanggungjawaban

pihak yang turut andil


pihak-pihak

mana

dan untuk menentukan standar


saja

yang

dapat

pertanggungjawaban dimaksud, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:


a) Jenis kerusakan yang ditimbulkan;
82

dimintai

b) Tempat dimana kerusakan itu timbul;


c) Tingkat kerusakan yang timbul akibat penggunaan teknologi rekayasa genetika
seperti telah diketahui akan terdapat resiko penggunaan teknologi dimaksud;
d) Akibat-akibat yang tidak diharapkan;
e) Pengawasan penggunaan pada produk yang menggunakan teknologi rekayasa
genetika.

Untuk itu pihak-pihak yang menimbulkan resiko kerusakan sangat besar,


demikian pula pada pihak pengawasan pada penggunaan teknologi rekayasa
genetika, serta pihak-pihak yang tidak mentaati peraturan di bawah protokol yang
mengatur tentang rekayasa genetika baik dikarenakan ketidakhati-hatian maupun
kesalahan, sudah seharusnya bertanggung jawab pada kerusakan yang timbul dari
penggunaan teknologi rekayasa genetika di kemudian hari.
Pelepasan

produk-produk

yang

mengandung

rekayasa

genetika

pertanggungjawabannya mengacu pada penerapan yang berlaku dari pasal 27


Protokol Cartagena, bahwa international rules of procedure in the field of liability
and redress for damage resulting transboudary movements of LMOs. Dengan
demikian

mengandung

pengertian bahwa

berlakunya

pula

pengaturan

joint

responsibility antara importir dan exportir. 24


Dan pelepasan produk yang mengandung rekayasa genetika terdapat beberapa
pihak yang terlibat dengan asal/sumber yang berbeda-beda pula.25 Pada joint and
several liability pihak korban serta dalam pelepasan produk, yakni produsen,
penyedia benih dan pihak-pihak yang turut mengawasi pelepasan produk rekayasa
genetika tersebut, maka tanggung jawab terhadap ketentuan kerugian yang
ditimbulkan dapat dilakukan secara proporsional.

24

Convention on Biological diversity, second meeting, Montreal, 20-24 February 2006.

25

Michael Faure and Andri Wibisana, Op. cit., hlm. 851.

83

2.4 Pandangan Kelompok Terhadap Tugas Pelepasan Produk Rekayasa


Genetika
Bilamana dirunut dari ratifikasi terhadap beberapa aturan yang ditetapkan di
group internasional, tentunya akan terpikir bahwa kita dengan mudahnya turut dan
tunduk pada aturan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan
terwakilinya masyarakat Indonesia melalui ratifikasi aturan internasional, maka
Indonesia setuju adanya produk teknologi rekayasa genetika. Mungkin dapat
dikatakan demikian, namun perlu diketahui bahwa hal ini masih menjadi perdebatan
di berbagai forum dan media massa beberapa minggu pada akhir tahun 2000.
Sebagaimana diutarakan oleh Hira P. Jhamtani 26 melalui Kompas, tanggal 15
September 2000 bahwa terdapat peringatan dari kelompok masyarakat sipil seperti
LSM agar lebih kepada pendekatan kehati-hatian. Peringatan ini dapat dianggap
sebagai penolakan, namun tidak didasari dengan argumentasi ilmiah. Oleh karena
seorang pakar biologi molekuler pernah mengatakan bahwa bentuk penolakan itu
dianggap sebagai scientifically illiterate atau tidak paham mengenai ilmu
pengetahuan.
Dikatakan pula bahwa tak lama dengan pemberitaan itu dilepas, terdapat 328
ilmuwan dari 38 negara menyampaikan sebuah surat terbuka kepada seluruh
pemerintahan dunia yang disampaikan kepada Komisi PBB untuk Pembangunan
Berkelanjutan, Kongres Amerika Serikat, mengenai perlunya kehati-hatian dalam
pelepasan organisme. Mengutip pada berbagai temuan ilmiah, para ilmuwan
menyampaikan beberapa imbauan, yaitu: (1) moratorium semua pelepasan tanaman
dan produk hasil rekayasa genetika ke alam, baik secara komersial atau di ladang uji
coba terbuka, paling tidak untuk lima tahun; (2) penarikan dan pelarangan pemberian
paten bagi proses kehidupan, organisme hidup, benih, garis sel dan gen; (3)
penyelidikan publik yang komprehensif terhadap masa depan pertanian dan
ketahanan pangan untuk semua orang.
Dikutip pula dari pandangan Myhr dan Traavik (1999), informasi ilmiah yang
tersedia saat ini belum memadai untuk melakukan penilaian resiko yang andal
mengenai pelepasan transgenik. Pengetahuan mengenai probabilitas dan dampak
ekologis dari transfer gen secara horizontal dari transgenik ke organisme lain masih
26

Hira P. Jhamtani adalah aktivis lingkungan yang mengikuti proses perundingan Protokol Cartagena.

84

kurang. Oleh karena kompleksnya dan keterbatasan interaksi dan dampak pada
sistem ekologi juga dapat menghambat identifikasi resiko yang penting.
Selanjutnya,

kedua

ilmuwan

dari

Norwegia

mengatakan

bahwa

ada

ketidakpastian ilmiah tentang pelepasan transgenik terjadi pada tiga tingkat: (1)
ketidakpastian berkaitan dengan informasi mengenai perilaku transgenik yang
diusulkan akan dilepas ke lingkungan; (2) kompleksitas ekologis atau skala
ekosistem yang membuat prediksi tentang hasil akhir tentang hubungan sebab-akibat
menjadi sulit dilakukan; (3) terbatasnya metode deteksi dan pemantauan efek.
Setelah suatu transgenik dilepas ke lingkungan, sangat penting melakukan
pembandingan terhadap hasil yang diramalkan dengan hasil yang sebenarnya,
termasuk kedalam probabilitas yang kemungkinan dapat menjadi efek negatif
dan/atau positif.
Perdebatan rekayasa genetika ini memang harus menjadi perhatian dan
kecermatan bersama, tampak pada contoh rekayasa genetika yang terjadi di
Skotlandia, seorang ilmuwan dari Rowett Institute, Dr. Arpad Pusztai yang
melalukan penelitian laboratorium yang dibiayai oleh pemerintah Skotlandia
mengungkapkan

dalam sebuah

wawancara

TV, hasil

sementara

penelitian

laboratorium yang mengarah kepada prediksi bahwa suatu kentang transgenik


berbahaya bagi tikus-tikus muda. Kemudian ia dipecat dari jabatannya, tidak dapat
mengakses datanya sendiri dan tidak dijinkan untuk berbicara masalah tersebut
kepada siapa pun.
Pada Februari 1999, sekitar 20 ilmuwan melancarkan protes pembelaan atas
Dr. Arpad Pusztai (The Express, 13 Februari 1999), namun 19 ilmuwan dari Royal
Society Inggris menuduh Pusztai membahayakan ilmu yang benar. Meski banyak
ilmuwan lain telah menerbitkan hasil penelitian yang menyarankan bahwa produk
transgenik perlu diwaspadai. Bahkan, Persatuan Dokter Inggris mengeluarkan
laporan interim bulan Mei 1999 melalui himbauan bahwa diadakannya moratorium
tak terbatas untuk produk dan tanaman transgenik agar penelitian tentang bahaya
pangan transgenik dengan lebih baik, termasuk masalah alergi baru dan menyebarnya
gen yang resisten terhadap antibiotik.
Untuk

itu,

sesungguhnya

pandangan

mengenai

prinsip

kehati-hatian

(precautionary principle) sangat diperlukan dalam pengelolaan lingkungan hidup.


85

Dan hal ini pun diakui dalam butir 15 Deklarasi Rio tahun 1993 dan Protokol
Cartagena (turunan dari Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati) tentang
Keamanan Hayati untuk rekayasa genetika yang telah disepakati pada Januari 2000.
Prinsip kehati-hatian disini bukan dimaksudkan bagi penghentian ilmiah tetapi
kepada penghentian sementara komersialisasi produk. Artinya, perlu diadakan
perkembangan lebih lanjut mengingat perlunya memastikan bahwa produk rekayasa
genetika yang dilepas nantinya aman bagi lingkungan dan masyarakat.
Bagaimanapun bagi beberapa kelompok proponen rekayasa genetika, terutama
perusahaan multinasional melalui pemerintahan negara-negara maju berupaya untuk
menolak prinsip ini dengan maksud memperlemahkan isi protokol itu tergambar
pada perundingan yang sangat sulit berlangsung selama lima tahun lamanya (1995
2000). Namun kelompok LSM yang mengikuti proses perundingan tersebut melihat
upaya itu secara jelas bahwa kepentingan perdagangan diletakkan di atas
kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati, dan bahkan diletakkan di atas
keabsahan argumentasi ilmiah untuk menerapkan prinsip kehati-hatian.
Kelompok proponen rekayasa genetika itu dikenal sebagai Kelompok Miami,
terdiri dari Amerika Serikat, Australia, Kanada, Argentina, Cile, dan Uruguay dan
seringkali berseberangan dengan Kelompok Like Minded yang terdiri dari sebagian
besar negara berkembang yang menginginkan protokol yang ketat dalam mengatur
arus lalu lintas dan pemanfaatan produk transgenik.
Kelompok proponen rekayasa genetika Indonesia juga tidak terlepas dari
pengaruh keilmuan proponen yang diprovokasi dari internasional. Demi melakukan
kegiatan transgenik, sayangnya cukup mengganggu terhadap mata rantai kehidupan
sebenarnya Indonesia dalam keanekaragaman hayati terutama dalam hal genetika,
moral dan kebudayaan yang masih melekat di dalam jati diri bangsa Indonesia, serta
masih tidak keberpihakan terhadap nasib para petani pada umumnya secara
ekonomis. Tentunya hal ini akan berdampak secara meluas terhadap mata rantai
secara makro pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mendayagunakan perjanjian transgenik
yang diatur dalam beberapa literatur hukum menjadikan deadlock bagi petani
Indonesia untuk menjadi lebih maju ketimbang alih teknologi yang selama ini
digembar-gemborkan sebagai masyarakat terampil. Sedangkan masyarakat terampil
86

tidak perlu diragukan bahwa Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan letak
geografisnya memberikan daya dan upaya masyarakat lebih unggul ketimbang
bangsa lain. Hal ini ditunjang pula dengan keanekaragaman hayati/genetika yang
terkandung di dalam bumi sebagai sumber daya alam terbarukan. Sepatutnya tiada
lagi alih teknologi bagi bangsa Indonesia.
Perlunya kesempatan terbuka bagi para petani untuk lebih unggul patutnya
ditunjang dengan dukungan di berbagai bidang seperti lahan, modal, bibit, dan
payung hukum yang dapat meningkatkan semangat berinovasi sendiri untuk
memberikan dukungan bagi masyarakat Indonesia, terutama para petani Indonesia.
Kasus Tukirin sebagai petani yang memiliki semangat, moral dan loyalitas tinggi
merupakan contoh dan pukulan telak bagi terampil dan tak perlu diragukannya
kemampuannya sebagai salah seorang bangsa Indonesia.
Kesalahan itu patutnya diperbaiki dalam tata kebijakan pemerintah yang lebih
mendukung kepada kegiatan pertanian tradisional, bilamana memang masyarakat
Indonesia menganggap sebagai masyarakat agraris ketimbang masyarakat maritim.
Oleh karena keahlian dirinya dalam menjaga mata rantai ekonomi lokal, sosial budaya, dan teknologi merupakan cerminan dalam bangsa Indonesia yang memiliki
falsafah Pancasila.

87

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dari berbagi penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa rekayasa genetika
merupakan suatu teknik yang sangat dibutuhkan pada saat zaman modern saat ini, di
samping dapat mempermudah dalam kebutuhan manusia, juga sekiranya dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan manusia, maka penggunaan perlu
ditingkatkan. Namun jika dilihat dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi,
patutnya untuk berhati-hati dalam menerapkan ilmu atau teknologi ini. Karena akan
sangat berbahaya dan merugikan manusia pula, hewan dan makhluk hidup lainnya
dalam mata rantai ekosistem. Bagaimana pun seiring dengan perkembangan dan
terobosan inovasi pada teknologi rekayasa genetika, tak terhindarkan bahkan
menolak terhadap perkembangan bioteknologi yang tengah ada saat ini. Terlebih lagi
pada saat ini Indonesia dituntut dalam visi dan misi pemerintahan sekarang, yakni
perihal ketahanan dan kedaulatan pangan perlunya peranan rekayasa genetika demi
kebutuhan yang terus meningkat tiap tahunnya.
Di awal abad kedua puluh satu ini, Indonesia berada dalam kondisi sistem
perekonomian yang jauh lebih majemuk dan tidak hanya dualistik ketimbang lima
puluh tahun yang lalu ketika dicetuskan pandangan ekonomi dualistik. Sistem
perekonomian modern belum berhasil menggantikan sistem ekonomi tradisional,
bahkan menumbuhkan sistem yang lain, dan kemudian dilanda dan tumpang tindih
dengan ekonomi global. Sistem sosial dalam proses perubahan menuju masyarakat
madani modern tetapi belum bulat bahkan seperti tidak berbentuk. Kepranataan yang
struktur utamanya belum selesai terbangun bahkan masih diperdebatkan.
Dengan demikian teknologi kompleks yang berwawasan lingkungan yang
merupakan bagian dari sistem perekonomian global modern, masih akan menjadi
bagian yang eksklusif dalam kepranataan pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Penerapan teknologi berwawasan lingkungan secara meluas dan menyeluruh akan
menghadapi hambatan dan tantangan sebagai berikut:
88

1) Pandangan dan pendekatan dalam pengelolaan lingkungan masih harus


disamakan. Apakah visi semua pihak di Indonesia tentang lingkungan sama.
Mengapa Pemerintah harus mengelola lingkungan. Mengapa perusahaan dan
industri harus berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Apa manfaat bagi
dunia usaha dan industri untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan,
apakah agar tidak terkena sangsi saja, atau agar terlindung dari protes dan
hujatan masyarakat, ataukah mempunyai cita-cita dan visi yang lebih luas.
Mengapa masyarakat harus peduli terhadap lingkungan, walaupun tidak
langsung mengenai dirinya sendiri.
2) Regulasi masih lemah, memang tidak ditentang tetapi juga tidak sepenuhnya
dapat dijalankan. Berbagai regulasi untuk pengendalian seperti misalnya baku
mutu limbah cair untuk berbagai jenis industri, rumah sakit, hotel dan
sebagainya yang merupakan keputusan Menteri Lingkungan Hidup, tidak pernah
mendapatkan protes. Bahkan industri yang kecil mungkin malahan tidak pernah
mengetahui adanya baku tersebut. Juga tidak diketahui berapa banyak industri
yang tidak mematuhi dan apa sanksi bagi yang melanggar. Ekolabel produk
kayu tidak dapat diterapkan karena yang digunakan kebyakan kayu ilegal,
pengurangan CFC kulkas macet karena adanya kulkas pemakai CFC selundupan
yang jauh lebih murah.
3) Lembaga pemerintahan masih harus memperkuat diri sendiri. Organisasi,
personil dan sarana kerja pihak pemerintah agar dapat menjalankan tugas dan
fungsinya masih harus dikembangkan. Apalagi Indonesia sedang mengalami
perubahan dari pengendalian yang sentralistis ke desentralisasi. Oleh karena itu
regulasi belum dapat menjadi faktor pemaksaan yang mendorong perusahaan .
4) Industri yang kebanyakan menggunakan teknologi import yang tidak tidak akan
dapat mengembangkan sendiri ramah lingkungan. Jangankan untuk merubah
rancangan agar akrab lingkungan, sedang suku cadangnyapun masih tergantung
pada impor. Industri di Indonesia umumnya hanya industri perakitan, tidak
merancang sendiri, karena

itu tidak akan bisa rpelakukan modifikasi

rancangannya agar proses produksi dan produknya ramah lingkungan. Apa yang
biasa dilakukan justru mereduksi sistem agar investasinya rendah kendati
merusak lingkungan.
89

5) Jejaring penelitian dan pengembangan yang tidak berfungsi. Di Indonesia juga


banyak penelitian tentang produk dan produksi berwasan lingkungan, tetapi
kaitannya dengan industri tidak jelas bahkan tidak ada.
6) Konsumen sangat majemuk, karena pelapisan sosial ekonomi begitu banyak dan
senjang dan tidak menunjukkan struktur yang jelas. Status sosial tidak selalu
cocok dengan status ekonomi. Sebagian yang besar konsumen mau membeli dan
mengkonsumsi atas dasar harga yang dapat dijangkau, dan bukan kualitas
apalagi dampaknya terhadap lingkungan.

3.2 Saran
Agar penerapan teknologi berwawasan lingkungan dapat memberikan dampak
positif secara meluas dan menyeluruh dengan meminimalisir terhadap hambatan dan
tantangan, sebagaimana telah disampaikan pada kesimpulan di atas. Maka,
bagaimana semestinya kita menyikapinya sebagai berikut:
1) Menyadari pandangan dan pendekatan dalam pengelolaan lingkungan dalam
perspektif yang sama, yakni dari segi warga negara, pemerintahan (termasuk
didalamnya adalah pemerintah daerah), para shareholders dan stakeholders,
investor asing/pemerintahan asing, untuk turut menjaga dan melestarikan
keanekaragaman hayati yang dimiliki sebagai ciri khas nasional agar
berkesinambungan dan tak punah.
2) Penguatan terhadap regulasi, tidak hanya pada segi normatif, juga hukum yang
memberikan nilai sosiologis dan antropologis. Senantiasa terjadi sinergi antar
lapisan/elemen yang terkait dengan pemanfaatan lingkungan.
3) Perkuat manajemen organ pemerintahan agar senantiasa terjaga untuk sadar
bahwa kepentingan yang diharapkan adalah kepentingan bersama, tidak pada
golongan

tertentu maupun pribadi. Hal

ini

demi

kesinambungan dan

kelangsungan anekaragam hayati bagi generasi di masa yang akan datang.


4) Menciptakan industri

yang ramah lingkungan.

Dalam berbagai macam

modifikasi rancangan yang proses produksi dan produknya ramah lingkungan.

90

5) Terus mengembangkan diri dengan penelitian dan tidak lagi transfer knowledge,
namun innovative technology dengan tetap menjaga kelestarian anekaragam
hayati melalui pengembangan industri ramah lingkungan.
6) Upaya produksi dan produk ramah lingkungan perlu terus dilakukan penelitian
dan pengembangan, juga patutnya miliki nilai ekonomis yang baik.

91

Anda mungkin juga menyukai