Anda di halaman 1dari 34

BUPATI TAMBRAUW

PROVINSI PAPUA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW


NOMOR 55/36 TAHUN 2018
TENTANG
KABUPATEN TAMBRAUW SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BUPATI TAMBRAUW,

Menimbang: a. bahwa lingkungan hidup dan sumber daya alam yang


terdapat di Kabupaten Tambrauw memiliki arti penting bagi
kehidupan manusia, sehingga harus dilindungi dan dikelola
secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Tambrauw terdiri
dari hutan konservasi, hutan lindung, dan wilayah pesisir
yang di dalamnya terdapat berbagai flora dan fauna
endemik yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik
agar dapat mendukung mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan di Kabupaten Tambrauw dan ikut serta
dalam upaya mengatasi pemanasan global;
c. bahwa keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak
tradisionalnya di Kabupaten Tambrauw masih ada dan
berperan penting dalam pengelolaan lingkungan hidup
secara lestari sehingga menjadi kekuatan penting dalam
mewujudkan Kabupaten Konservasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Kabupaten Tambrauw Sebagai
Kabupaten Konservasi;

Mengingat: 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman
Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3556);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
29) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4412);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Cartagena Protocol Biosafety to the Convention
on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4414);
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4433)sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5073);
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
9. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Propinsi Papua
Barat (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 193,
tambahan lembaran Negara Nomor 4940), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 56
Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw
di Propinsi Papua Barat ( Lembaran Negara Tahun 2013
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5416);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik
IndonesiaNomor 5059);
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian pangan berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5068);
12. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5214);
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources
and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from
Their Utilization to The Convention on Biological Diversity
(Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik
dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang
Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi
Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik IndonesiaNomor5412);
15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5432);
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 24 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5657);
17. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Konservasi
Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5608);
18. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi
Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5608);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 146);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 147) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2004 Tentang Perlindungan Hutan(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
228; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5941);
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036);
23. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.32/Menlhk/Setjen/2015 tentang Hutan Hak
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
1025);
24. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM/.1/10/2016 tentang
Perhutanan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 1663);
25. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.34/menlhk/setjen/ kum.1/5/2017 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 801);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW


dan
BUPATI TAMBRAUW

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG KABUPATEN TAMBRAUW


SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Tambrauw.
2. Bupati adalah Bupati Tambrauw.
3. Organisasi Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat OPD adalah
perangkat daerah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah.
4. Konservasi lingkungan hidup dan sumber daya alam adalah pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya.
5. Kawasan konservasi adalah kawasan pengelolaan sumber daya alam yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
6. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan
7. Kawasan Budi Daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
8. Konservasi Wilayah Pesisir adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan Wilayah Pesisir serta ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
9. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan,
peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan
kemampuang peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
10. Konservasi Air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan
keadaan, sifat, dan fungsi sumberdaya airagar senantiasa tersedia dalam
kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
mahkluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun akan yang akan
datang.
11. Wilayah konservasi hutan adalah kawasan hutan yang ditetapkan oleh
Bupati menjadi wilayah konservasi baik yang berasal dari hutan konservasi
maupun hutan lindung.
12. Wilayah konservasi pesisir dan laut adalah wilayah pesisir dan laut yang
ditetapkan oleh Bupati menjadi wilayah konservasi pesisir
13. Wilayah konservasi tanah dan air adalah lahan yang terhadap pada
kawasan lindung maupun kawasan budi daya yang ditetapkan oleh Bupati
menjadi wilayah konservasi tanah dan air
14. Wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh masyarakat adat
adalah wilayah konservasi yang berada di dalam wilayah masyarakat adat
yang dikelola berdasarkan kearifan lokal yang ditetapkan oleh Bupati
15. Kabupaten konservasi adalah wilayah administratif pemerintahan pada
tingkat kabupetan yang menyelenggarakan pembangunan berlandaskan
prinsip konservasi yaitu pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan sistem
penyangga kehidupan, dan pengawetan keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya
16. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
17. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan
membentuk kesatuan ekosistem.
18. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan.
19. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam
wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa
solidaritas yang tinggi di antarapara anggotanya.
20. Hak tradisional adalah hak yang melekat dengan keberadaan Masyarakat
Adat
21. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
22. Wilayah adat atau yang dipersamakan dengan wilayah hak ulayat atau
adalahruang kehidupan yang menjadi tempat keberadaan Masyarakat Adat
yang terdiri dari tanah, air dan sumber daya alam yang terdapat di
atasnya, yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan
menurut hukum adat.
23. Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yang
jenis dan pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat.
24. Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah adat.
25. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
26. Pendidikan inisiasi Wiyon-wofle merupakan kepercayaan tradisional pada
Suku Maybrat dan Tambrauw yang sampai saat ini aktifitasnya masih
dilakukan secara tersembunyi di hutan yang jauh dari perkampungan,
sangat sakral dan tidak boleh dilihat oleh masyarakat biasa.
27. Wiyon-wofle adalah sebutan bagi seorang laki-laki yang telah mengalami
inisiasi di amah wofle (rumah pamali).
28. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup.
29. Pemetaan wilayah adat adalah proses menerjemahkan bentang alam ke
dalam bentuk kartografi berdasarkan pada sejarah asal usul dan tata
kelola suatu wilayah adat sesuai dengan sistem pengetahuan dan praktek-
praktek yang berlaku pada suatu Masyarakat Adat.
30. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara
alami.
31. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas
berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
32. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat
dan/atau di air, dan/atau di udara.
33. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan/atau
dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.
34. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air,
dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup
bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
35. Biota laut adalah semua makhluk hidup yang ada di laut baik hewan
maupun tumbuhan atau karang.
36. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan
atau bantuan kepada Masyarakat agar mampu terlibat aktif dalam
penyelenggaran konservasi
37. Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulas sisa-sisa
tumbuhan yang setengah membusuk, sehingga kandungan bahan
organiknya tinggi.
38. Lahan basah adalah wilayah wilayah dimana tanahnya jenus dengan air,
baik bersifat permanen atapun musiman.
39. Ekonomi ekstraktif adalah kegiatan produksi yang dilakukan pada
perisahaan ekstraktif yaitu dengan cara mengambil kekayaan alam yang
dpat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa mengubah
sifat maupun bentuk barangnya.
40. Pembangunan rendah karbon adalah kegiatan pembangunan ekonomi yang
direncanakan dengan baik dan sistematis sehingga tidak menghasilkan
emisi dan polusi lingkungan, hemat sumberdaya alam dan berkeadilan
sosial.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Penyelenggaraan konservasi di Kabupaten Tambrauw
diselenggarakanberdasarkan asas:
a. keberlanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
b. pengakuan terhadap masyarakat adat;
c. kearifan lokal;
d. keterpaduan;
e. kemitraan dan partisipatif;
f. transparansi dan kebersamaan;
g. keadilan dan demokrasi; dan
h. pembagian manfaat yang adil.

Pasal 3
Kabupaten Tambrauw ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi dengan tujuan
untuk:
a. mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
hukum adat di Tambrauw pada khususnya dan rakyat Tambrauw pada
umumnya;
b. mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
hidup;
c. mewujudkan kelestarian sumber daya alam serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia;
d. menjamin terpenuhinya keadilan bagi generasi masa kini dan masa depan;
e. menjamin sumber-sumber penghidupan masyarakat hukum adat secara
lestari;
f. menjamin pelaksanaan pembangunan yang selaras dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten;
g. mengupayakan pengurangan emisi rumah kaca yang dapat berdampak
pada pemanasan global;
h. meningkatkan keterlibatan masyarakat hukum adat secara aktif dalam
penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup;
i. memperbaiki fungsi-fungsi ekologi pada kawasan yang telah terdegradasi;
j. menjamin ketersediaan sumber daya alam sebagai modal pembangunan
daerah dalam jangka panjang;
k. menjamin ketersediaan sumber daya alam terbaharukan dan tidak
terbaharukan untuk masa depan generasi Kabupaten Tambrauw yang akan
datang;
l. mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman hayati; dan
m. menjamin akses terhadap sumber daya genetika dan pembagian
keuntungan yang adil dan merata dari pemanfaatan keanekaragaman
hayati.

Pasal 4
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
a. asas, tujuan dan ruang lingkup;
b. wilayah konservasi;
c. perencanaan konservasi;
d. penyelenggaraan konservasi;
e. pengawasan dan pengendalian;
f. peningkatan kesadaran konservasi dan pengelolaan informasi konservasi;
g. penelitian dan pengembangan;
h. badan koordinasi kabupaten konservasi;
i. pendanaan;
j. hak dan kewajiban;
k. pemberdayaan dan peran serta masyarakat;
l. rehabilitasi dan restorasi kawasan yang telah terdegradasi;
m. penyelenggaraan industri ekstraktif dan ekonomi rendah karbon;
n. kesehatan lingkungan
o. sanksi administratif;
p. ketentuan pidana; dan
q. penyidikan.

BAB III
WILAYAH KONSERVASI

Pasal 5
(1) Wilayah konservasi memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, serta pemanfaatan lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Wilayah konservasi terdiri dari:
a. wilayah konservasi hutan serta isinya;
b. wilayah konservasi pesisir, laut, pesisir laut dan pulau-pulau kecil;
c. wilayah konservasi tanah, air dan mineral
d. wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh masyarakat
adat; dan
e. wilayahkonservasi lahan gambut dan lahan basah.
(3) Wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh masyarakat adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat berada di dalam
wilayah konservasi hutan, wilayah konservasi pesisir dan laut, dan/atau
wilayah tanah dan air serta wilayah konservasi lahan gambut dan lahan
basah.
BAB IV
PERENCANAAN KONSERVASI

Pasal 6
(1) Perencanaan konservasi diselenggarakan secara terpadu oleh pemerintah
daerah dengan memperhatikan:
a. kondisi lingkungan hidup;
b. potensi sumber daya alam;
c. rencana pembangunan nasional
d. rencana pembangunan provinsi
e. rencana pembangunan daerah
f. rencana tata ruang kabupaten; dan
g. aspirasi dan kearifan lokal dari masyarakat adat.
(2) Perencanaan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pemerintah daerah melalui tahapan-tahapan:
a. inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. konsultasi publik; dan
c. penetapan rencana konservasi kabupaten.
(3) Pelaksanaan perencanaan konservasi dikoordinasikan oleh satuan
perangkat daerah yang berbasis pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan dan non sumberdaya alam.
(4) Hasil perencanaan konservasi ditetapkan dengan Peraturan Bupati sebagai
Rencana Konservasi Kabupaten.

Pasal 7
(1) Perencanaan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terdiri atas:
a. perencanaan jangka panjang;
b. perencanaan jangka menengah; dan
c. perencanaan tahunan.
(2) Perencanaan konservasi jangka panjang, jangkamenengah dan tahunan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sasaran, pengelolaan,
pemantauan, evaluasi dan pembiayaan.
(3) Pemerintah daerah melakukan evaluasi setiap 5 (lima) tahun sekali
terhadap pelaksanaan Rencana pengembanganKabupaten Konservasi.

BAB V
PENYELENGGARAAN KONSERVASI
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8
Penyelenggaraan konservasi dilakukan dengan kegiatan:
a. perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
b. pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah dan air;
c. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
d. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; dan
e. perlindungan, pemulihan, pengawetan, dan pemanfaatan pada kawasan
konservasi laut.
Bagian Kedua
Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

Pasal 9
(1) Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam dilakukan oleh
Pemerintah Daerah yang diatur dengan Peraturan Bupati tentang wilayah
konservasi.
(2) Wilayah konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. wilayah konservasi hutan;
b. wilayah konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil;
c. wilayah konservasi tanah dan air;
d. wilayah konservasi gambut dan lahan basah; dan
e. wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh masyarakat
adat; dan
(3) Penetapan wilayah konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh Bupati berdasarkan tata
ruang dan peraturan perundang-undangan.
(4) Penetapan wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh
masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, ditetapkan
oleh Bupati dengan mengacu kepada kearifan lokal masyarakat adat.
(5) Penetapan wilayah konservasi oleh Bupati dapat dijadikan sebagai
landasan hukum untuk pengajuan penetapan kawasan konservasi oleh
Menteri.

Bagian Ketiga
Pemulihan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Fungsi Tanah dan air

Pasal 10
Pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan tanah dan air diselenggarakan di
kawasan lindung dan di kawasan budidaya pada semua jenis penggunaan
lahan, kecuali pada kawasan cagar alam.

Pasal 11
(1) Pemulihan fungsi tanah diselenggarakan untuk mengembalikan
kemampuan dan fungsi tanah pada lahan kritis dan lahan rusak.
(2) Peningkatan fungsi tanah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan lahan kritis dan lahan rusak yang sudah diperbaiki.
(3) Pemeliharaan fungsi tanah diselenggarakan untuk memelihara lahan
prima, lahan kritis, dan lahan rusak yang sudah diperbaiki guna
menjamin kelestarian fungsi tanah.

Pasal 12
(1) Konservasi sumberdaya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan
keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumberdaya air.
(2) Konservasi sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air;
b. pengawetan air
c. pengelolaan kualitas air; dan
d. pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan
berbasis kearifan lokal dan pola pengelolaan yang ditetapkan pada
setiap wilayah sungai.

Pasal 13
(1) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan
melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap
kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk
kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
(2) Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan
air;
b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
c. pengisian air pada sumber air;
d. pengaturan sarana dan prasarana sanitasi;
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan
pembangunan dan pemanfaatan lahan [ada sumber air;
f. pengendalian pengelolahan tanah di daerah hulu;
g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i.pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan
pelestarian alam.
(3) Upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
(4) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif
dan/atau sipil teknis melalui pendekatan sosial,ekonomi dan budaya.

Pasal 14
(1) Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan
air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya
(2) Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara:
a. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat
dimanfaatkan pada waktu diperlukan;
b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
c. mengendalikan penggunaan air tanah.

Pasal 15
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan
untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan
yang ada pada sumber air.
(2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana
sumberdaya air
(3) Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana
sumberdaya air

Pasal 16
Setiap orang atau badan usaha dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mangakibatkan rusaknya sumber air dan
prasarananya;
b. mengganggu upaya pengawetan air;dan/atau
c. mengakibatkan pencemaran air.

Pasal 17
(1) Konservasi sumberdaya air dilaksanakan pada sungai, danau, rawa,
cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan dan kawasan pantai.
(2) Pengaturan konservasi sumberdaya air yang berada di dalam kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan dan kawasan
pantai diatur berdasarkan peraturan perundangan dan/atau kearifan
lokal

Pasal 18
(1) Pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah dan air
dilaksanakan dengan metode:
a. vegetasi;
b. agronomi; dan / atau
c. sipil teknis pembuatan bangunan konservasi tanah.
(2) Metode vegetasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
penanaman tanaman konservasi tanah dan air berupa:
a. kayu-kayuan;
b. perdu;
c. rumput-rumputan; dan/atau
d. tanaman penutup tanah lainnya.
(3) Metode agronomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa
kegiatan:
a. pemberian mulsa;
b. pengaturan pola tanam;
c. pemberian amelioran;
d. pengayaan tanaman;
e. pengolahan tanah konservasi;
f. penanaman mengikuti kontur;
g. pemupukan;
h. pemanenan; dan/atau
i.kegiatan lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
(4) Metode sipil teknis pembuatan bangunan konservasi tanah dan air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa:
a. sengkedan;
b. teras guludan;
c. teras bangku;
d. pengendali jurang;
e. sumur resapan;
f. kolam restensi;
g. dam pengendali;
h. dam penahan;
i.saluran buntu atau rorak;
j.saluran pembuangan air;
k. terjunan air; dan/atau
l.bronjong.

Bagian Keempat
Pengawetan Keanekaragaman Jenis tumbuhan, Satwa Dan
Biota LautBeserta Ekosistemnya

Pasal 19
(1) Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan biota laut beserta
ekosistemnya; dan
b. pengawetan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut
(2) Pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan biota laut beserta
ekosistemnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
dengan menjaga keutuhan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka
alam dan kawasan konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil agar
tetap dalam keadaan asli.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan melalui upaya:
a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya; dan
c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.

Pasal 20
(1) Pengawetan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut dilaksanakan di dalam
dan di luar kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam, kawasan
konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut di dalam kawasan
pelestarian alam, kawasan suaka alam, kawasan konservasi pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua
jenis tumbuhan, satwa dan biota laut tetap seimbang menurut proses
alami di habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut di luar kawasan
pelestarian alam, kawasan suaka alam, kawasan konservasi pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan menjaga dan
mengembangbiakkan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut untuk
menghindari bahaya kepunahan.
Pasal 21
(1) Pengawetan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut dilakukan terhadap
tumbuhan, satwa dan biota laut yang dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan, satwa dan biota laut yang dilindungi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digolongkan dalam:
a. tumbuhan, satwa dan biota laut dalam bahaya kepunahan; dan
b. tumbuhan, satwa dan biota laut yang populasinya jarang.

Bagian Kelima
Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya

Pasal 22
(1) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan:
a. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam, kawasan
suaka alam, kawasan konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil;
dan
b. pemanfaatan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut.
(2) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam, kawasan
suaka alam, kawasan konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.
(3) Pemanfaatan jenis jenis tumbuhan, satwa dan biota laut dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan, satwa dan biota laut.
(4) Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan, satwa dan biota laut pada wilayah
konservasi masyarakat adat dilakukan secara subsisten dan/atau
tradisional berdasarkan kesepakatan masyarakat adat dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan, satwa dan biota laut.

Pasal 23
Pemanfaatan jenis - jenis tumbuhan, satwa, biota laut dan kondisi lingkungan
dapat dilakukan dalam bentuk:
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. peragaan;
d. pertukaran;
e. pemeliharaan budidaya tanaman obat-obatan dan tumbuhan endemik,
kebun botani;
f. wisata alam; dan
g. jasa lingkungan.

Bagian keenam
Perlindungan, pemulihan, pengawetan, dan pemanfaatan pada kawasan
konservasi laut
Pasal 24
(1) Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun merupakan unit konservasi
kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang pengelolaannya
dilaksanakan melalui unit pelaksana teknis daerah (UPTD).
(2) Ketentuan lebih lanjut hal-hal yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.

BAB VI
PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI

Pasal 25
(1) Badan Koordinasi melakukan pengawasan, pengendalian dan evaluasi
penyelenggaraan kabupaten konservasi.
(2) Dalam rangka penilaian kinerja kabupaten konservasi, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi dilakukan setiap semester (6 bulan) dan
hasilnya dilaporkan ke Bupati.
(3) Pengawasan, pengendalian dan evaluasi dilakukan dengan mengacu pada
norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku.

Pasal 26
(4) Pengawasan terhadap perencanaan dan penyelenggaraan konservasi
dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan melalui penyampaian laporan
dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.

Pasal 27
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan
i.menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas dapat melakukan koordinasi
dengan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 28
(1) Dalam rangka melakukan pengendalian penyelenggaraan konservasi,
Pemerintah Daerah melakukan tindakan penertiban terhadap
pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam.
(2) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan adat dan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENINGKATAN KESADARAN KONSERVASI DAN
PENGELOLAAN INFORMASI KONSERVASI

Pasal 29
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan kegiatan untuk peningkatan
kesadaran konservasi yang dilaksanakan melalui:
a. sosialisasi;
b. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
c. advokasi; dan/atau
d. supervisi.
(2) Penyelenggaraan kegiatan peningkatan kesadaran konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai
pihak baik tingkat kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional.

Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah mengembangkan sistem informasi konservasi untuk
mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan konservasi.
(2) Sistem informasi konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan
kepada masyarakat.
(3) Sistem informasi konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)paling
sedikit berisi mengenai status, sejarah, peta, dan potensi wilayah
konservasi.

BAB VIII
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 31
(1) Untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan penyelanggaraan
konservasi, Pemerintah Daerah melakukan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung konservasi.
(2) Penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui bekerjasama dengan perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, badan hukum swasta, dan/atau
perseorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil
penelitian tertentu yang oleh Pemerintah Daerah dinyatakan untuk tidak
dipublikasikan.

Pasal 32
(1) Setiap orang asing atau badan hukum asing yang melakukan penelitian di
kawasan konservasi terlebih dahulu wajib memberitahukan tujuan dan
manfaat penelitiannya kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat yang
memiliki hak dan/atau masyarakat yang akan terkena dampak atau
memperoleh manfaat dari penelitiannya.
(2) Penelitian oleh orang asing atau badan hukum asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan izin dari
Pemerintah Pusat dan Daerah dan persetujuan dari masyarakat yang
memiliki hak dan/atau yang akan terkena dampak atau memperoleh
manfaat dari penelitiannya.
(3) Hasil penelitian oleh orang asing atau badan hukum asing yang
melakukan penelitian di kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diserahkan kepada Pemerintah dan masyarakat yang memiliki hak
dan/atau yang akan terkena dampak atau memperoleh manfaat dari
penelitiannya.

Pasal 33
(1) Setiap orang yang melakukan penelitian dan pengembangan sumber daya
genetik dan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat
harus memberikan informasi secara jelas dengan bahasa yang bisa
dimengerti oleh masyarakat adat mengenai manfaat dan resiko dari
kegiatan yang dilakukan.
(2) Manfaat dan resiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
mengenai besar, bentuk, dan tata cara pembagian keuntungan finansial,
maupun non-finansial yang adil dan seimbang.
(3) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari masyarakat adat.
(4) Pengembangan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat sebagai bentuk
peningkatan kapasitas masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya
genetik, spesies dan ekosistem.

BAB IX
BADAN KOORDINASI KABUPATEN KONSERVASI

Pasal 34
(1) Untuk melakukan pengawasan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
Peraturan Daerah ini dibentuk Badan Koordinasi Kabupaten Konservasi.
(2) Badan Koordinasi Kabupaten Konservasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari:
a. penanggungjawab adalah Bupati;
b. koordinator Pelaksana adalah Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah; dan
c. anggota:
1. OPD terkait dengan penyelenggaraan konservasi;
2. Perwakilan Akademisi; dan
3. Perwakilan Lembaga Masyarakat Adat.
(3) Badan Koordinasi Kabupaten Konservasi memiliki tugas:
a. mengkoordinasikan perencanaan konservasi;
b. melakukan pengawasan, pengendalian dan evaluasi penyelenggaraan
konservasi;
c. mengelola informasi mengenai kabupaten konservasi; dan
d. bersama pemerintah daerah mengupayakan berbagai bentuk
dukungan dan kerjasama dalam bentuk pendanaan, program dan
kegiatan dari berbagai pihak (dalam dan luar negri).
(4) Badan Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 35
(1) Masyarakat dapat menyampaikan laporan dan/atau pengaduan tentang
pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Daerah ini kepada Badan
Koordinasi.
(2) Badan Koordinasi berkewajiban menindaklanjuti laporan dan/atau
pengaduan masyarakat kepada lembaga adat terkait dan pihak yang
berwenang.

BAB X
PENDANAAN

Pasal 36
(1) Pendanaan penyelenggaraan konservasi menjadi tanggungjawab
Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah, pemegang hak atas tanah,
pemegang izin, dan/atau pengguna lahan, baik sendiri-sendiri maupun
bekerjasama.
(2) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD), Dana Khusus Kabupaten Konservasi, dan/atau
sumber lain yang sah dan tidak mengikat berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(3) Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat berasal dari dana hibah, lembaga donor, sumbangan
masyarakat, badan hukum swasta, perseorangan, serta imbal jasa
lingkungan hidup.
(4) Pengelolaan sumber pendanaan konservasi diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah secara transparan dan akuntabel dengan mengacu
kepada ketentuan pengelolaan keuangan daerah.

Pasal 37
Imbal jasa lingkungan hidup dalam penyelenggaraan konservasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dikenakan kepada badan hukum penerima
manfaat atas lingkungan hidup dan sumber daya alam.

BAB XI
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 38
Setiap orang berhak:
a. memperoleh manfaat atas penyelenggaraan konservasi;
b. terlibat dalam perencanaan konservasi;
c. berperan serta dalam penyelenggaraan konservasi;
d. memperoleh informasi mengenai perencanaan, penyelenggaraan, serta
pengawasan dan pengendalian konservasi;
e. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan konservasi baik secara
langsung maupun tidak langsung;
f. mendapatkan pendampingan, bantuan hukum, dan pelayanan dalam
penyelenggaraan konservasi;
g. memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap lingkungan
hidup dan sumber daya alam;
h. mengajukan keberatan, laporan, dan pengaduan kepada pihak yang
berwenang atas penyelenggaraan konservasi yang merugikan; dan
i. melakukan gugatan melalui pengadilan terhadap berbagai masalah yang
terkait dengan penyelenggaraan konservasi yang merugikan.

Pasal 39
OPD sesuai dengan kewenangannya wajib merencanakan dan
menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan konservasi.

Pasal 40
Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan atau insentif kepada setiap
orang yang mempunyai kemauan untuk menyelenggarakan konservasi, tetapi
tidak mampu secara teknik atau ekonomi.

Pasal 41
Setiap orang, kelom[ok dan/atau korporasi yang menggunakan tanah pada
wilayah konservasi wajib menyelenggarakan konservasi dan mencegah
terjadinya degradasi lingkungan hidup dan sumber daya alam.

BAB XII
PEMBERDAYAAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 42
(1) Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat secara
terencana dan berkesinambungan.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
dalam bentuk fasilitas yang meliputi:
a. pengembangan kelembagaan masyarakat;
b. bantuan modal;
c. bimbingan teknologi;
d. penyuluhan;
e. pendidikan dan pelatihan;
f. pendokumentasian praktik konservasi masyarakat; dan
g. pengembangan skema perhutanan sosial.

Pasal 43
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan dalam usaha konservasi.
(2) Peran serta masyarakat dapat dilakukan berkaitan dengan:
a. penyusunan perencanaan konservasi;
b. penyelenggaraan konservasi
c. pendanaan;
d. pengawasan;
e. pengajuan gugatan perwakilan/kelompok
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara:
a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan kemitraan;
b. Menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c. Menumbukan ketanggapan masyarakat untuk melakukan pengawasan
pelaksanaan konservasi;
d. Memberikan saran pendapat; dan
e. Menyampaikan informasi dan laporan.

Pasal 44
Pemerintah memfasilitasi masyarakat adat untuk dapat terlibat aktif dalam
penyelenggaraan konservasi berdasarkan kearifan lokal melalui penetapan
wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh masyarakat adat.

BAB XIII
REHABILITASI DAN RESTORASI
Pasal 45
(1) Pemerintah daerah berkewajiban merestorasi kawasan perairan dan
merehabilitasi kawasan hutan yang telah terdegradasi, sesuai dengan
peruntukannya, dengan tidak menghilangkan kewajiban para pihak yang
melakukan kerusakan atas sumber daya alam untuk melakukan
kewajibannya sesuai dengan peraturan perundangan.
(2) Kawasan yang perlu direstorasi dan/atau direhabilitasi diatur dan
ditetapkan dengan Peraturan Bupati, termasuk di dalamnya aspek
pembiayaan.
(3) Pemerintah daerah wajib mengikutsertakan masyarakat adat dalam upaya
restorasi dan rehabilitasi.

Pasal 46
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan tindakan pemaksaan atas pihak-
pihak yang melakukan pengrusakan sumber daya alam untuk melakukan
restorasi dan rehabilitasi.
(2) Ketentuan mengenai tindakan pemaksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XIV
PENYELENGGARAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF
DAN EKONOMI RENDAH KARBON

Bagian Kesatu
Pertambangan Khusus
Pasal 47
(1) Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya pertambangan khusus
(galian c) dapat dilakukan dengan sesedikit mungkin memberikan dampak
negatif, setelah mendapatkan persetujuan pemilik wilayah adat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Eksploitasi sumber daya pertambangan khusus (galian c) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)dilakukan secara hemat, terkontrol, dan
mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kebutuhan generasi
Tambrauw di masa akan datang.
(3) Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperoleh persetujuan masyarakat adat dan memberikan manfaat
kepada masyarakat adat di masa sekarang dan akan datang.

Pasal 48
(1) Perusahaan yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya
pertambangan khusus (galian c) berkewajiban melakukan restorasi dan
rehabilitasi terhadap kawasan yang mengalami dampak, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Untuk keperluan restorasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), perusahaan wajib menyiapkan dana jaminan sebelum kegiatan
dilakukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang ketentuan restorasi dan rehabilitasi
sebagaimana dimasud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Kehutanan

Pasal 49
(1) Pemerintah daerah berkewajiban mengatur pengelolaan sumber daya
hutan dengan prinsip perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara
lestari.
(2) Pemerintah daerah menjamin keberadaan dan kelangsungan hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan adat.

Pasal 50
(1) Pengelolaan hutan produksi dilaksanakan dengan prinsip pengelolaan
hutan berkelanjutan.
(2) Semua pemegang izin pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan
non-kayu wajib bersertifikasi.
(3) Pengelolaan hutan produksi dapat dilakukan oleh masyarakat adat melalui
lembaga resmi dengan tetap mempertimbangkan prinsip pengelolaan
hutan berkelanjutan.

Pasal 51
(1) Hutan tanaman dikembangkan pada wilayah hutan produksi yang telah
terdegradasi dan memiliki nilai biodiversitas yang rendah, serta pada
wilayah non-hutan.
(2) Pemerintah daerah mempersiapkan kondisi pemungkin agar dalam jangka
waktu 35 tahun dapat memenuhi kebutuhan kayu lokal yang seluruhnya
berasal dari hutan tanaman.
Pasal 52
Penggunaan hutan produksi konversi dilakukan dengan selektif serta
memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspek-aspek:
a. tipe ekosistem dan komunitas tumbuhan;
b. kerapatan tegakan per satuan luas;
c. keanekaragaman hayati;
d. daya dukung lingkungan;
e. kebijakan konservasi daerah; dan
f. kapasitas dan persetujuan masyarakat adat.

Pasal 53
Pemerintah Daerah berkewajiban mendukung dan mengembangkan
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan mempertimbangkan
kelestariannya.
Pasal 54
(1) Pemerintah Daerah wajib memperhatikan karakteristik DAS setempat
dalam rangka perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan.
(2) Pemerintah daerah wajib menyusun Rencana Pengelolaan DAS.
(3) Rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah tersendiri.
(4) Pemerintah daerah wajib melindungi dan mengelola Daerah Aliran Sungai
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pemerintah daerah membentuk dan/atau memfasilitasi Forum DAS
Daerah.
(6) Keanggotaan Forum DAS Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri dari unsur-unsur pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, dan tokoh-tokoh masyarakat.
(7) Pemerintah daerah berkewajiban mengalokasikan pembiayaan operasional
Forum DAS Daerah.
(8) Dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Pasal 49, Pasal 50, Pasal
51, Pasal 52, dan Pasal 53 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga
Sumber Daya Kelautan, Perikanan dan Pulau-pulau Kecil

Pasal 55
Pemerintah daerah berkewajiban melindungi, mengadopsi, dan
mengembangkan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan
perikanan.

Pasal 56
(1) Pemerintah daerah berkewajiban menyusun zonasi laut, perairan, pesisir
dan pulau-pulau kecil.
(2) Dalam penyusunan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pemerintah daerah berkewajiban memperhatikan batas aman sepadan
pantai dalam rangka mitigasi bencana.
(3) Pemerintah menetapkan NTZs (no take zones) dalam rangka melindungi
dan menjamin ketersediaan sumber daya perikanan.
Pasal 57
Setiap orang dan korporasi wajib menggunakan teknologi, peralatan dan cara
penangkapan yang ramah lingkungan dalam memanfaatkan sumber daya
kelautan.

Pasal 58
(1) Pemerintah daerah wajib memfasilitasi nelayan Orang Asli Papua dan
dunia usaha dalam pengembangan budidaya perikanan dan hasil laut
lainnya.
(2) Fasilitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) terdiri dari insentif
permodalan, teknologi, peralatan, benih dan pendampingan.

Bagian Keempat
Pertanian

Pasal 59
(1) Pemerintah daerah berkewajiban mendukung pengembangan pertanian
pangan berkelanjutan pada wilayah hukum adat masing-masing sesuai
dengan peruntukannya.
(2) Pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui upaya perlindungan, penelitian dan pengembangan,
pemanfaatan, pembinaan dan pengendalian.
(3) Pengembangan pertanian skala besar dilakukan berdasarkan Rencana
Tata Ruang Kabupaten.
(4) Pengembangan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan
praktek-praktek kearifan lokal dan ramah lingkungan.

Bagian Kelima
Perkebunan

Pasal 60
(1) Pemerintah daerah berkewajiban mendukung pengembangan perkebunan
rakyat pada wilayah hukum adat masing-masing sesuai dengan
peruntukannya.
(2) Perkebunan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pola perbantuan, swadaya, dan kemitraan.

Bagian Keenam
Peternakan

Pasal 61
(1) Pengembangan peternakan skala besar pada wilayah berpadang rumput
dilakukan dengan tetap mempertahankan keseimbangan ekologisdan
kelestarian flora dan fauna endemik
(2) Selain pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengembangan perusahaan peternakan skala besar dapat dilakukan pada
wilayah non-hutan.
(3) Pengembangan peternakan skala besar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan dengan praktek yang ramah lingkungan.
Bagian Ketujuh
Lahan Gambut dan Lahan Basah

Pasal 62
(1) Pemerintah daerah berkewajiban melindungi dan/atau memberikan
pembatasan atas pemanfaatan lahan gambut, lahan basah, karts dan
ekosistemnya.
(2) Masyarakat adat berhak menggunakan lahan gambut, lahan basah dan
kawasan karts untuk mendukung kebutuhannya sepanjang dilakukan
sesuai dengan praktek-praktek kearifan lokal yang mendukung kelestarian
sumberdaya alam.

Bagian Kedelapan
Ekonomi Rendah Karbon

Pasal 63
(1) Pemerintah daerah berkewajiban mempromosikan dan mewajibkan
penggunaan sumber-sumber energi terbaharukan dan mengurangi
sebanyak-banyaknya penggunaan energi berbasis fosil di kabupaten
Tambrauw.
(2) Energi terbaharukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi energi
surya, angin, air, arus laut, gelombang laut, biofuel dan biomass.

Pasal 64
Pemerintah daerah memberikan insentif kepada individu dan korporasi yang
berperan signifikan dalam promosi dan penggunaan energi terbaharukan.

BAB XV
KESEHATAN LINGKUNGAN

Pasal 65
(1) Pemerintah daerah mendorong masyarakat untuk memiliki kesadaran
untuk melaksanakan pengelolaan sampah dan limbah B3, dengan
berprinsip pada reduce, reuse dan recycle.
(2) Untuk melaksanakan program kesehatan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah berkewajiban membuat
peraturan daerah.

Pasal 66
(1) Wilayah perkotaan di Kabupaten Tambrauw wajib memiliki Ruang Terbuka
Hijau
(2) Luas Ruang Terbuka Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas wilayah perkotaan.

Pasal 67
(1) Setiap pemilik bangunan kantor dan industri, pemerintah dan swasta,
wajib menerapkan prinsip eco-office.
(2) Prinsip eco-office sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pemilikan tanaman dalam jumlah yang proporsional dengan luas
gedung;
b. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan;
c. penggunaan energi yang efisien;
d. pengurangan penggunaan material yang berasal dari sumber daya
alam yang tidak terbaharukan dan/atau merusak lingkungan;
e. penerapan prinsip reuse, reduce dan recycle
f. pengembangan sistem pemantauan penerapan prinsip-prinsip eco-office
(3) Pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan peningkatan dan
pemeliharaan kualitas permukiman masyarakat yang sehat.

BAB XVI
SANKSI

Bagian kesatu
Sanksi Administrasi

Pasal 68
(1) Setiap orang, kelompok dan/atau korporasi yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dikenai sanksi administrative
berupa:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian sementara pelayanan umum;
e. penutupan lokasi kegiatan;
f. pencabutan insentif;
g. denda administratif;
h. pelaksanaan tindakan tertentu; dan/atau
i. pencabutan izin
(2) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang di bidang konservasi
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian kedua
Sanksi Adat

Pasal 69
(1) Setiap orang, dan/atau kelompok masyarakat adat yang melanggar
ketentuan hukum adat yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam dikenakan sanksi adat.
(2) Sanksi adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga
dan peradilan adat dengan memperhatikan prinsip keadilan sosial,
kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Pemberian sanksi adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghilangkan tindak pidana sebagaimana diatur dalam peraturan
daerah ini
BAB XVII
LARANGAN DAN KETENTUAN PIDANA

Pasal 70
(1) Setiap masyarakat adat yang dilibatkan dan/atau terlibat dengan pihak-
pihak dan/atau korporasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan wilayah konservasi.
(2) Setiap orang dan/atau lembaga diluar masyarakat adat dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan wilayah konservasi.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka
alam, dan kawasan konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas kawasan, serta menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

Pasal 71
Setiap orang dan/atau lembaga diluar masyarakat adat dilarang:
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-
bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia;
c. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa dan biota laut yang dilindungi
dalam keadaan hidup;
d. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa dan biota laut yang dilindungi dalam keadaan mati;
e. mengeluarkan satwa dan biota laut yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
f. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-
bagian lain satwa dan biota laut yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu
tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
g. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur, sarang satwa dan/atau biota laut yang dilindungi;
h. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
dan
i. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Pasal 72
(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 hanya
dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau
penyelamatan jenis tumbuhan, satwa dan biota laut yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan, satwa dan biota laut
kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah dan persetujuan
masyarakat yang memiliki hak.
(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa
dan biota laut yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena
suatu sebab satwa dan/atau biota laut yang dilindungi membahayakan
kehidupan manusia.

Pasal 73
(1) Setiap orang dan/atau lembaga yang melakukan pelanggaran terhadap
Pasal 45 dan Pasal 46 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 adalah
pelanggaran.
(3) Perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 dan Pasal 46 tidak menutup penerapan ketentuan sebagai tindak
pidana kejahatan konservasi sebagaimana diatur di dalam undang-undang
mengenai konservasi.

BAB XVIII
PENYIDIKAN

Pasal 74
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah
Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan
Pasal 46.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.

BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 75
(1) Semua peraturan perundang-undangan dan keputusan pejabat yang
berkaitan dengan hutan konservasi, hutan lindung, serta kawasan pesisir
dan laut tetap berlaku sampai dilakukan perubahan berdasarkan
perundang-undangan.
(2) Bupati membentuk Badan Koordinasi Kabupaten Konservasi paling lambat
1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan daerah ini.
(3) Bupati membentuk peraturan pelaksana Peraturan Daerah ini paling
lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan daerah ini.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 76

Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Tambrauw.
ditetapkan di Sausapor
pada tanggal 29 Oktober 2018

BUPATI TAMBRAUW,

GABRIEL ASEM
Diundangkan di Sausapor
pada tanggal 29 Oktober 2018

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW,

CAP/TTD

ENGELBERTUS KOCU.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW TAHUN 2018 NOMOR 5


NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW, PROVINSI PAPUA
BARAT ( 5/36/2018 )

Salinan Sesuai dengan aslinya


Plt.Kepala Bagian Hukum dan Organisasi
Setda Kabupaten Tambrauw

S.SITUMORANG.S.Sos
PEMB TK.I,NIP.19661005 198803 1026.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW
NOMOR 5 TAHUN 2018
TENTANG
KABUPATEN TAMBRAUW SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI

I. UMUM
Tambrauw merupakan Kabupaten pemekaran di Papua Barat yang
memiliki potensi sumberdaya hutan konservasi baik wilayah terrestrial
maupun dan kawasan pesisir terbesar di Tanah Papua. Dari sisi sosial
budaya, Tambrauw juga di diami oleh 5-6 komunitas masyarakat adat .
Dengan wilayah yang luas, kekayaan sumber daya alam yang melimpah,
keragaman budaya dan penghidupan masyarakat yang hidup didalamnya
Tambrauw menjadi bagian di Papua yang menantang untuk dikelola dalam
rangka mewujudkan manfaat pembangunan bagi masyarakat. Dengan
status diatas, Pemerintah Daerah terus berupaya untuk menemukan
bentuk pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang baik, berkelanjutan
dan bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu
pemerintah kabupaten Tambrauw tekah berkomitmen untuk mendorong
pembangunan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan bermanfaat serta
memberikan ruang kelola bagi masyaraat adat melalui misi kelima yakni
menjaga kelestarian lingkungan dengan menetapkan Tambrauw sebagai
Kabupaten Konservasi dan misi ke-enam yaitu melindungi dan menjaga hak-
hak masyarakat adat Tambrauw. Pengembangan Tambrauw menuju
Kabupaten Konservasi terbangun melalui komitmen politik yang kuat dari
pemerintah daerah serta dukungan masyarakat adat serta komponen
birokrasi. Kondisi ini merupakan entri point bagi pengembangan Tambrauw
sebagai kabupaten konservasi dimaksud.
Pengembangan Kabupaten Tambrauw sebagai kabupaten konservasi, perlu
dilihat juga sebagai political will dan political action pemerintah daerah dalam
menempatkan keberpihakan pengelolaan sumbderdaya alam dan tata kelola
pemerintahan dalam ‘’sebuah irama’’ yang seimbang dan serasi.
Implementasi kabupaten konservasi selanjutnya dapat lihat sebagai
salahsatu pengisi ‘’gap’’ antara kebijakan dan implementasi pengelolaan
sumberdaya hutan di Indonesia selama ini. Pengembangan Kabupaten
konservasi pada skala yang luas dapat di lihat sebagai komitmen
mendukung provinsi Papua Barat Sebagai provinsi konservasi, serta upaya
bersama mendukung kebijakan nasional pemerintah Indonesia dalam
mengurangi gas rumah kaca melalui pembangunan ekonomi rendah emisi.

Aspek legal penetapan Kabupaten Tambrauw sebagai kabupaten konservasi


sangat diperlukan sebagai payung hukumnya. Oleh sebab itu, proses
menghadirkan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Konservasi telah di
lakukan melalui tahapan panjang dan mekanisme legal yang ada. Proses ini
pun didorong bersamaan dengan rancangan peraturan daerah pengakuan
masyarakat adat sehingga terjadi sinkronisasi antara kedua produk kebijakan
dimaksud.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
huruf b
yang dimaksud dengan pengendalian
pemanfaatan sumber air dapat berupa mengatur
pemanfaatan sebagian atau seluruh sumber air
melalui perizinan; dan/atau pelarangan untuk
memanfaatkan sebagain atau seluruh sumber
air tertentu.
huruf c
yang dimaksud dengan pengisian air pada
sumber air antara lain : pemidahan sumber air
dari satu daerah aliran sungai ke daerah aliran
sungai lain, misalnya dengan sudetan,
interkoneksi, suplesi, dan/atau imbuhan air
tanah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga/ dewan adat suku”
adalah dewan adat suku, lembaga adat hasil musyawarah
adat, dan/atau lembaga adat yang dibentuk oleh
pemerintah dengan struktur kelembagaan yang jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAMBRAUW TAHUN 2018


NOMOR 3

Anda mungkin juga menyukai