Anda di halaman 1dari 140

BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

PANDUAN MENGGUNAKAN KURIKULUM KATEKISASI 2008

1. Kurikulum Katekisasi GPM 2008 terdiri dari satu paket pengajaran, yakni Kurikulum Inti (KURIN), Buku Ajar Katekisasi, dan
Manajemen Katekisasi.
2. Dengan demikian, Buku Ajar Katekisasi ini hanya merupakan salah satu bahan dasar bagi para pengajar katekisasi (kateket),
yang selanjutnya perlu diolah dan dikembangkan sesuai dengan konteks masing-masing jemaat (kelas katekisasi).
3. Penggunaan Buku Ajar Katekisasi ini haruslah dipadukan dengan Kurikulum Inti-nya, sehingga alur, sinkronisasi dan keutuhan
kerangka Kurikulum Katekisasi dapat tersajikan dengan baik.
4. Kateket dimohon untuk memperhatikan kolom keterangan dalam KURIN, yang menjelaskan paket penyajian suatu Sub
Pokok Bahasan (SPB), yang dapat disajikan dengan beberapa SPB lainnya dalam satu kali kesempatan tatap-muka.
5. Dalam kaitannya dengan pengorganisasian pengajar atau narasumber, dapat dibentuk suatu Tim-Teaching untuk suatu
kebutuhan pengajaran. Untuk wilayah-wilayah pedesaan yang jauh terpencil dari ketersediaan narasumber, maka dapat
dilakukan penyesuaian (Mis. Majelis atau kateket dapat meminta guru setempat, tokoh masyarakat atau agama setempat
untuk dapat menjadi narasumber terhadap topik bahasan yang sesuai).
6. Dimohon agar kegiatan MALAM BEDAH DIRI yang dilakukan menjelang hari PENEGUHAN SIDI, dapat dilaksanakan di seluruh
jemaat, dengan merujuk pada panduan ibadah/kegiatan yang diturunkan oleh LPJ GPM dalam paket perayaan PRA-
PASKAH dan PASKAH.
7. Kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan/tugas tambahan, dapat dilakukan oleh para katekisan, berdasarkan kebutuhan
dan petunjuk teknis kegiatan yang dikembangkan oleh kateket berdasarkan kondisi yang ada.
8. Dalam rangka membangun sikap dan komitmen yang sama antara pihak gereja (kateket), siswa (katekisan), dan orangtua,
demi terwujudnya tujuan katekisasi sebagaimana yang diharapkan, maka kegiatan perdana katekisasi yang dimulai
dengan bahasan tentang Prologomena yang melibatkan para siswa dan orang-tua/wali katekisaan, kiranya mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh.
9. Adapun alur kegiatan kelas, dapat disesuaikan dengan konteks masing-masing, dengan mempertimbangkan 3 (tiga) unsur
utama: PEMBUKAAN (Nyanyi, Doa pendek, baca Alkitab, Persembahan), BELAJAR-MENGAJAR, dan EVALUASI. Untuk Baca
Alkitab, bila terdapat beberapa bagian bacaan, cukup dibaca salah satu saja sedangkan bagian lainnya dibaca saat
pengajaran.
10. Alat peraga dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan setempat, dengan mengingat bahwa alat peraga apapun,
tetaplah alat dan bukan tujuan !

1
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : Prologomena
3. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Arti dan Tujuan Katekisasi
3.2. Katekisasi sebagai Pendidikan Formal Gereja di GPM
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yes. 6:4-9 dan Mat. 28:19-20
5. Waktu Tatap Muka : 1 x (100) menit
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PELAYANAN


Sesudah mengikuti pelajaran ini, katekisan dapat memahami Katekisasi GPM sebagai Pendidikan Formal umat

III. TUJUAN KHUSUS PELAYANAN


Sesudah mengikuti pelajaran ini katekisan dapat :
1. Menjelaskan pengertian Katekisasi dan Perkembangan Pengertian dan Tujuan Katekisasi selaku wujud
pelayanan Gereja.
2. Membuat kesimpulan sendiri mengenai Pengertian dan Tujuan Katekisasi.
3. Menjelaskan Perkembangan Tugas Katekisasi di GPM pada pra-1935 sampai saat ini.
4. Menjelaskan Tugas Katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal di GPM.
5. Membedakan berbagai aspek dari tugas katekisasi sebagai sebuah Sistem Pendidikan Formal di GPM.
6. Membuat kesimpulan mengenai Katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal di GPM.
7. Menyatakan pendapat sendiri mengenai peranan dan tanggungjawab selaku katekisan dan orangtua
dalam tugas katekisasi sebagai sebuah Subsitem Pendidikan formal GPM.

IV. URAIAN MATERI


1. Arti dan Tujuan Katekisasi
Pengertian Katekisasi sesungguhnyamemiliki hubungan dengan ungkapan yang terkait dengan
kegiatan mengajar dan belajar.
Dalam Perjanjian Lama (PL), kedua kata ini (mengajar dan belajar) memiliki arti ganda. Dalam artian,
kedua kata ini dapat digunakan sekaligus. Misalanya, kata lamad dalam Ul. 4:1-5 berarti mengajar dan
dalam Ul. 5:1, berarti belajar. Selain kata LAMAD, kita pun dapat menemukan berbagai ungkapan yang
mengandung pengertian mengajar di dalam PL. yakni kata sakal = menunjukkan akal budi (2 Taw. 30:32;
Ams. 16:23); yarah = mengajar, memperlihatkan (Kel. 4:12, 15; Yeh. 44:23; Maz. 25:8; 1 Raja. 8:36, dsbnya);
yasar = mengajar (Ams. 31:1); yada = menyebabkan seorang mengetahui (Ezr. 7:25; Ayub 32:8; Yes. 40:13,
dsbnya); dabar = mengatakan, mengajak (Yer. 28:16; 29:32); shaman = mengulang-ulangi, mencerdaskan
(Ul. 6:7)1
Pngertian Katekisasi sesungguhnya berasal dari kata katekheo (menyampaikan informasi, petunjuk
atau pengajaran (to instruct). Berhubungan dengan kata ini adalah katekhesis (informasi, petunjuk,
pengajaran). Katekhoumenos (murid atau warga belajar yang menerima informasi, petunjuk atau
pengajaran) dan katekhon (orang yang menyampaikan informasi, petunjuk atau pengajaran). 2
Kata katekisasi jarang di gunakan dalam bahasa Yunani sehari-hari (profane). Kata ini hanya
ditemukan dalam bahasa Yunani di masa kemudian. Aslinya, kata ini berarti “memperdengarkan atau
bersuara dai atas.” Dengan demikian, kata ini hendak menunjuk kepada para pembaca puisi atau actor
ataupun orator yang memperdengarkan puisi atau berbicara ataupun berpidato kepada para penonton
atau audience dari atas panggung (stage)atau mimbar. Kata ini juga secara umum pengandung
pengertian “memberikan informasi 2 tentang sesuatu hal atau laporan mengenai sesatu hal.” Juga dapat
brarti “member petunjuk” atau “mengajar.”
Kata katekheo ini tidak terdapat dalam Septuaginta (LXX). Kata ini di kenal setara dengan kata dalam
bahasa Ibrani yarah. Kata ini mengandung arti “memperlihatkan” atau “memberi petunjuk” (Bd. Yes. 28:9; 1
Sam. 12:33).
Sedangkan kata benda katekhesis tidak terdapat sama sekali dalam Perjanjian Baru (PB). Sebagai kata kerja,
kata ini hanya terdapat dalam Surat Rasul Paulus dan Lukas, masing-masing sebanyak 4 kali.
Lukas menggunakan kata ini hanya untuk menjelaskan pengertian yang biasa yaitu “melaporkan
sesuatu hal” (Bd. Kis. 21:21) dan “memberikan petunjuk kepada seseorang” (Kis. 18:25). Sedangkan
pengertiannya dalam Lukas 1:14 masih diperdebatkan.
Pada pihak lain, Rasul Paulus menggunakan kata ini secara eksklusif dalam hal “memberikan petunjuk
kepada seseorang dalam hubungan dengan isi pemahaman iman Kristen” (the content of the Christian
faith). Lihatlah 1 Kor. 14:19; Gal. 6:6. Dalam Roma 2:18, Hukum Torat dianggap sebagai subyek pengajaran
atau petunjuk hidup, sehingga kata katekheojuga dipandang sebagai sebuah istilah teknis untuk
menjelaskan pengertian “mengajarkan iman”. Pengertian ini secara khusus terlihat jelas dalam 1 Kor. 14:19.
Di dalam ayat ini, Rasul Paulus menegaskan bahwa dia ingin mengucapkan lima kata “dengan maksud”
untuk “mengajar orang lain” ketimbang seseorang yang menggunakan beribu-ribu kata dengan bahasa
roh, yang justeru akan menguatkan rasa kemegahan diri sang penuturnya.

1 Untuk mengkaji lebih jauh, lihat Robert Young, Young’s Analytical Concordanceto the Bible
2
Untuk mengkaji lebih jauh, lihatlah Colin Brown, New Testament Theology, Volume 3 (Grand Rapids, Michigan:Zondervan Publishing House, 1986), h 771-772
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Dalam Gal. 6:6, Rasul Paulus menegaskan bahwa siapa yang diajar (katekhoumenos) harus menopang
kebutuhan material orang yang mengajar (katekhon). Dengan demikian, dalam ayat inilah terlihat ada
seorang pengajar (katekhon) yang bekerja penuh waktu (full-timer) dalam gereja atau jemaat mula-mula (
bd. 1 Kor. 9:13-18). Kemungkinan besar, Rasul Paulus sendiri hendak memperkenalkan dirinya sebagai
katekhon, sebab istilah ini sangat jarang ditemukan dalam Judaisme Helenistik sebagaimana nyata dalam
PB.
Penggunaan kata kerja katekhom sebagai ungkapan teknis mengenai “mengajar” hanya terdapat
dala Kis. 18:25. Dalam hal ini “jalan kepada Tuhan” dimengerti berhubungan dengan karya PENEBUSAN Allah
dalam Kristus dan dalam sejarah dunia.
Di dalam Luk. 1:4, kata ini diperdebatkan, “segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”
Sama seperti penulis lain, maka penulis Kisah Para Rasul memandang “segala sesuatu” (logoi) pada ayat ini
adalah untuk diidentifikasikan dengan progmata (peristiwa-peristiwa) yang disebutkan dalam Luk. 1:1, yang
dengannya, penulis Injil Lukas mengartikan “kehidupan, pekerjaan, kematian dan kebangkitan Yesus”
sebagaimana dilaporkan dalam berbagai literature sebelum kitab Injil Lukas. Jika hal ini disetujui, maka hal
ini belum menjelaskan penggunaan kata katekheo ini secara teknis sebagaimana yang digunakan
dikalangan gereja atau jemaat mula-mula.
Pada masa surat 2 clemens 17:1 ditulis, kata katekheo ini telah menjadi biasa digunakan dalam
hubungan dengan “mengajar katekhumen yang akan dibaptis agar dapat mengambil bagian dalam
perjumuan kudus.”
Katekheo digunakan dikalangan gereja atau jemaat mula-mula adalah dengan pengertian spesifik,
baik dalam hubungan dengan aspek pekerjaan pekabaran injil (Mat. 28:19-20) maupun kehidupan jemaat,
yaitu pengajaran tentang karya penyelamatan Allah dalam kehidupan orang percaya dan dunia ini.
Dari uraian diatas, daptlah disimpulkan bahwa pengertian katekisasi adalah kegiatan yang
mempelajari kehidupan iman manusia kepada Allah yang telah, sedang dan akan terus melakukan karya
penyelamatan-Nya terhadap manusia dan dunia ini dalam kasih Yesus dan Roh Kudus-Nya.
Sedangkan tujuan katekisasi adalah agar orang percaya yang mempelajari kehidupan iman kepada
Allah itu dapat mewujudakan secara konkrit pekerjaan memberitakan kabar-baik tentang karya
penyelamatan dalam Kristus Yesus dan Roh Kudusdi dalam dan demi kehidupan dunia dengan cara
menghadirkan kasih, kebenaran, keadilan, persaudaraan sejati, kedamaian dan kesejahteraan serta
keutuhan ciptaan.
Dari pengertian di atas, maka kita dapat mngerti pula mengapa katekisasi disebut sebagai pendidikan
formal gereja di samping pendidikan lainnya yang dilaksanakan di lingkungan gereja. Disebut pendidikan
formal gereja, karena katekisasi adalah tugas hakiki pelayanan pendidikan (ministry of teaching) dari gereja
(bd. Ulangan 6:1-9; Mat. 28:19-20). Karena gereja adalah persekutuan iman yang mengajar dan belajar
(ecclesia docens dan ecclesia discens). Gereja tidak dapat menyerahkan penyelenggaraan dan
pengelolaan pelayanan pendidikan ini kepada lembaga lain di luar gereja, meskipun hal itu adalah
lembaga-lembaga gerejawi (para-church) seperti yang saat ini sedang marak berlangsung di kota-kota
besar melalui lembaga Persekutuan Kristen Antaruniversitas (PERKANTAS), Lembaga Penginjilan Mahasiswa
dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan sebagainya.

2. Katekisasi sebagai Pendidikan Formal Gereja di GPM


Sebelum kita kaji lebih lanjut mengenai katekisasi sebagai pendidikan formal gereja di GPM, maka kita
akan mengkaji terlebih dulu perkembangan tugas katekisasi di GPM pra-1935 sampai saat ini. Mengingat
kajian itu meliputi sebuah kurun waktu yang panjang, maka pada kesempatn ini, kita akan mengkaji
perkembangannya secara menyeluruh, dimulai dengan perkembangan katekisasi di GPM pra 1935 sampai
saat ini dan dilanjutkan dengan 3mengkaji hakikatnya sebagai sebuah subsistem pembinaan umat sehingga
menjadikan kedudukannya sebagai sebuah pendidikan formal gereja di GPM.
a. Perkembangan Tugas Katekisasi di GPM Pra-1935 sampai saat ini.
1. Pada pra-1935-an melalui peran kreatif Joseph Kam telah diletakan “batu pertama” pembinaan umat
sekaligus pendidikan teologi di wilayah kepulauan Maluku dan sekitarnya (Sulawesi, NTT dan Papua).
Dengan pendekatan go structure (tenaga pembinaan mendatangi umat dihuniannya), pembinaan
diselenggarakan sampai ke Gorontalo, pesisir selatan Papua, Sumba dan Toraja. Dengan pendekatan
tersebut, selain Josep Kam membaptis penduduk yang baru percaya, dia juga membina umat yang
telah percaya. Isi pembinaan lebih dititikberatkan pada pengetahuan Alkitab dan music gerejawi.
Corak pembinaan ketika itu sangat bersifat antagonistic terhadap kebudayaan setempat. Banyak
obyek penyembahan “allah” milik penduduk setempat yang dihancurkannya. Mengapa corak
pembinaan umat seperti itu? Hal ini disebabkan oleh semangat pietisme/ revivalisme yang lahir pada
masa itu. Joseph Kam sendiri adalah buah dari semangat revilasisme. Dengan segala kekurangannya,
pembina umat berhasil menggugah umat untuk mengambil bagian dalam pemberitaan Injil. Banyak
yang memberi diri untuk diutus menjadi Penginjil ke Sulawesi Tengah, Tanah Toraja, Pulau Rote, Pulau
Sumba, Pulau Timor dan Papua. Pembinaan umat tidak hanya dilakukan secara parokhial/teritorial,
tetapi juga secara kategorial, yaitu terhadap para narapidana dan perawat di rumah sakit.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2. Sesudah 1935 sampai 1950-an, pembinaan umat semakin dipandang sebagai sebuah keniscayaan.
Dengan inspirasi yang diberikan oleh Hendrik Kraemer, pembinaan umat dipandang sebagai ujung
tombak misi gereja yang menembusi medan tugas dan panggilan misioner umat. Pada masa ini,
pembinaan umat tidak hanya berlangsung secara parokhial/teritorial dan kategorial tetapi juga
dilaksanakan secara sektoral. Pembinaan umat disasarkan kepada umat yang berada di wilayah
transmigrasi dan di sekitar usaha peternakan di wilayah Maluku. Isi pembinaan umat mulai mencakup
pokok-pokok yang berkaitan dengan iklim kehidupan yang majemuk dan sekuler dari umat GPM.
Aspek ekonomi dimasukan ke dalam isi pembinaan umat. Pada tahun 1956, pokok-pokok ini
menimbulkan penolakan oleh sebagian besar umat sendiri. Alasan penolakan mereka adalah,
“kehidupan kekristenan yang sejati ialah yang mencari lebih dulu kerajaan Allah/Sorga, maka segala
sesuatu akan ditambahkan kepadamu” atau sebagaimana yang terdapat dalam kuplet lagu-lagu
Mazmur dan Tahlil yang selalu dinyanyikan, biar harta hilang sudah, asalh Tuhan bagianku. Pembinaan
umat semakin meluas secara kategorial kepada umat berjenis kelamin perempuan.
3. Wacana mengenai pokok-pokok yang terdapat dalam isi pembinaan umat di tahun 1950-an ini,
menumbuhkan instropeksi, otokritik dan inovasi terhadap visi-visi teologis GPM yang dikristalisasi dan
dikemas dalam Pesan Tobat pada tahun 1960. Muncullah komitmen GPM untuk menyusun Pola Darurat
Pembangunan Jemaat GPM sebagai pengejawantahan, penerapan dan penjabaran Pesan Tobat
tersebut. Bukan hanya untuk kepentingan masa itu, tetapi juga sampai saat ini. Pola darurat
pembangunan/pembinaan umat ini ditopang oleh Pola Organisasi selaku landasan struktural yang
dikenal sebagai Piagam Jawatan Pelayanan dan Tata Pelayanan GPM. Dengan dukungan
organisatoris/landasan struktural ini (secara operasional diselenggarakan oleh Biro Pembangunan
Jemaat dalam Departemen Marturia), dikembangkanlah isi pembinaan umat GPM yang mencakup
kepemimpinan organisasi dan tanggung jawab umat dalam politik praktis. Tujuannya adalah untuk
mempersiapkan umatagar keluar dari introversi dan ekslusivitas yang selama ini membuat GPM kurang
dinamik dalam menjawab berbagai permasalahan kemasyarakatan yang muncul dalam konteks
kesaksian dan pelayanannya.
4. Dalam perjalanan pembinaan umat, dicatat bahwa Pola Darurat ini perlu dikembangkan menjadi Pola
yang lebih standar. Baku (bukan beku), yang dapat dikembangkan secara berencana, bertahap,
menyeluruh dan menyebar agar dapat diwujudkan pembinaan pemerataan umat GPM menuju citra
gereja yang sejati. Sebab itu, Pola Darurat ini digantikan dengan Pola Dasar Pembangunan Jemaat
dan Apostolat GPM pada tahun 1972. Pola organisatoris/landasan strukturalnya yang mendukung
penerapan Pola Dasar ini masih tetap Biro Pembangunan Jemaat sesuai Piagam Jawatan Pelayanan
dan Tata Pelayanan namun dialihkan ke Departemen Koinonia. Mengapa? Karena Pembinaan Umat
diarahkan bukan lagi untuk mengemban misi Pekabaran Injil secara langsung, tetapi untuk
memantapkan sumber daya umat GPM secara komprehensif. Piagam Jawatan Pelayanan dan Tata
Pelayanan GPM dibarui kembali menjadi Pola Dasar Pelayanan GPM pada tahun 1978. Dengan
kesadaran arti, fungsi, ciri dan tugas pembinaan umat yang tersistem, strategi, komprehensif dan
holistik, maka dalam Pola Dasar Pelayan tersebut, direkomondasikan untuk membentuk LPJ GPM.
5. Dalam Sidang ke-30 Sinode GPM tahun 1983, bangkitlah pula kesadaran baru, kebangunan kembali
dan perumusan ulang terhadap Pola Dasar Pembangunan Jemaat dan Apostolat Gereja. Hasilnya
dikenal dalam Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) GPM
untuk kurun waktu satu Dasawarsa. PIP dan RIPP GPM itu adalah suatu perencanaan yang menyeluruh,
terpadu dan bertahap dengan tetap menyadari berbagai perobahan masa depan seperti :
a. Adanya perobahan yang menghendaki perbaikan dan pengembangan para pelayan
gereja/jemaat.
b. Adanya perobahan kondisi 4 dan situasi dalam GPM, baik menyangkut kenyataan hidup jemaat
setempat maupun pembangunan manusia seutuhnya.
c. Perubahan kondisi dan situasi di luar GPM, seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebangkitan agama-agama, perkembangan lingkungan hidup masyarakat.
d. Berbagai kemungkinan perubahan lainnya yang tak dapat diprediksi.
6. Dengan adanya PIP dan RIPP, maka seluruh aspek pelayanan GPM, termasuk pula pelayan mendidik
dan membina umat (warga dan pelayan GPM) harus mengacu pada PIP dan RIPP GPM tersebut. Pada
tahun 1985, pelayan mendidik dan membina umat yang berfokus pada pada penyiapan warga gereja
yang akan mengaku sidi, menjadi sasaran utama penataan dan pengembangan. Pada tahun ini,
disusunlah dan siujicobakan Kurikulum Katekisasi GPM dan Pedoman Pengajarannya. Selanjutnya diikuti
dengan Kurikulum Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil GPM dengan Pedoman Pengajarannya.
Baik Kurikulum Katekisasi maupun Sekolah Minggu/Tunas Pekabaran Injil di desain dari PIP dan RIPP GPM
tersebut. Terutama dari bagian Pola Dasar Bina Umat yang menginspirasikan Azas-azas Oikumenis,
Pertumbuhan, Kemandirian dan Misioner sebagai azas pembinaan dan Indikator Firman, Gereja dan
Dunia/Konteks sebagai acuan kurikulernya. Dengan adanya Pola Dasar Bina Umat yang menjadi
ukuran keterpaduan dan keutuhan secara merat,

menyeluruh dan seimbang, maka pembinaan umat disusun dan dilaksanakan menjadi sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, maka sifat dari Pola Dasar Bina Umat ini adalah selaku Sistem Tunggal
Pembinaan umat yang menampakan esensi tanggungjawab yang sama besar untuk semua bidang
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

pelayanan (subsistem) GPM, namun yang memiliki indikasi kurikuler yang tetap yaitu Firman/Alkitab,
Gereja dan Dunia/Konteks. Dengan demikian, signifikansi Pola Dasar Bina Umat adalah mengarahkan
pembinaan umat sehingga berlangsung sehingga berlangsung intensif (pembinaan ke arah
pembebasan, pembaruan, pemberdayaan dan perkembangan hidupnya dan sesama manusia
dalam masyarkatnya) selaku manusia milik Allah. Sebagai sebuah sistem, pembinaan umat pada PIP
dan RIPP GPM Dasawarsa I dan II dititikberatkan pada uasaha pengembangan sumber daya umat
menjadi manusia penggerak yang dicirikan oleh kemampuan profesional (ahli, terampil dalam bidang
kegiatan hidupnya), bermotivasi Injili etis dan berdedikasi. Dengan ciri ini, pertumbuhan kualitas hidup
misioner umat diarahkan untuk mencapai standar mutu ketahana iman, ilmiah dan sosio-ekonomis.
Sebagai sebuah sistem, pembinaan umat GPM dikembangkan dengan pendekatan menyeluruh, utuh,
realistis searah dengan aspek yang akan dicapai, baik tujuan program pembinaan, maupun ciri, jenis,
sasaran bina (target groups). Dengan demikian seorang tenaga pembinaan umat dapat menentukan
arah dan strategi pembinaan umatnya, baik secara sentralisasi/konsentrasi (terpusat di aras Sinode,
Klasis, Kring, Rayon) maupun desentralisasi/dekonsentrasi (di jemaat-jemaat secara langsung) sesuai
prakarsanya dengan memperhitungkan konteks hidupnya. Juga ia dapat menentukan materi, metode,
teknik, alat dan instrumen evaluasi, pelaksana, pengendali, keterpaduan (sinkronisasi), kekhususan
(spesifikasi), gerak intensitas dan ekstensitas pembinaan umatnya.
7. Dalam PIP-RIPP GPM 2005-2015 (Dasawarsa III), terjadi perumusqn ulang terhadap visi, Misi dan Tujuan
GPM yang diikuti pula dengan perumusan ulang usaha pengembangan sumber daya umat GPM untuk
mencapai profil umat GPM yang ditambahkan. Profil umat itu adalah dirikan oleh kinerja umat yang
memiliki ketangguhan dan kematangan secara teologis, moral-etis, intelektual, sosial, kultural,
ekonomis, politis, pluralistik, toleran, dialogis, demokratis dan manusiawi. 3 Sangat disayangkan bahwa
dalam perumusan ulang tersebut tidak disertai perumusan mengenai bagaimana pola pembinaan
untuk menghasilkan profil umat dimaksud. Itulah sebabnya dalam Lokakarya Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Formal Gereja di GPM pada tahun 2006 di Jemaat GPM SInar Klasis Pulau Ambon, Tim
Penyusun Kurikulum Pendidikan Formal “terpaksa” mengacu pada Pola Dasar Bina Umat dalam PIP-
RIPP Dasawarsa I dan II.

b. Tugas Katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal di GPM


Sejak tadi, kita mempelajari bahwa pembinaan umat untuk mencapai profil umat yang
didambakan adalah merupakan sebuah sistem. Sebab itu, sebelum kita mengerti tugas katekisasi sebagai
sebuah sunsistem pendidikan formal di GPM, terlebih dulu kita harus memahami apakah yang
dimaksudkan dengan sistem dan subsistem itu.
Istilah sistem banyak dipakai untuk berbagai arti. Ada yang mengartikannya sebagai cara, metode,
prosedur atau aturan. Misalnya: sistem korespondensi, sistem pembukaan, sistem pencatatan, sistem
penomoran, dan sebagainya. Dalam arti yang luas, sistem merupakan gabungan atau kombinasi dari
sekelompok, sperangkat atau serangkaian bagian, unsur atau elemen yang satu sama lain saling menjalin,
berinteraksi dan memiliki ketergantung (interdependensi), sehingga keseluruhannya menjadi kesatuan
yang bulat, utuh, terpadu, totalitas dan unitas sebegitu rupa sampai kesatuan itu mempunyai tujuan,
fungsi dan signifinkansi.4
Sedangkan subsistem adalah bagian, unsur atau elemen yang saling membentuk relasi, menjalin
hubungan, berinteraksi dan memiliki ketergantungan meskipun memiliki tujuan, fungsi dan signifikansinya
sendiri sehingga memberikan kontribunsi dan dukungan kepada kesatuan Sistem yang memiliki tujuan,
fungsi dan signifikansi secara utuh dan menyeluruh.
Dengan demikian, kita dapat memahami pengertian sistem dan subsistem sebagai suatu hubungan di
dalamnya terjadi keterpaduan, 5 kesatuan yang memiliki tujuan, fungsi dan kebermaknaannya bagi
manusia.
Bertitiktolak dari pengertian diatas, maka kini kita akan mengkaji pengertian katekisasi sebagai
Subsistem Pembinaan Umat Gereja Protestan Maluku.
1. Katekisan sebagai salah satu wadah (subsistem) pembinaan umat sekaligus pemberitaan dan
kesaksian khususnya dalam kalangan generasi muda adalah dimaksudkan agar mereka siap
menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi di lungkungan masyarakat. Sekurang-kurangnya
diharapkan agar selamatnya seseorang dari katekisasi dan menjadi warga sidi, yang bersangkutan
mempunyai kepribadian kristiani yang kuat, setia kepada Yesus Kristus dan dapat melaksanakan
tugasnya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki pengetahuan, sikap dan
ketrampilan untuk mengembangkan dan mengamalkan panggilannya sebagai murid Tuhan, sambil
menggunakan dan mengembangkan prinsip imamat am orang percaya di dalam jemaat dan
masyarakatnya yang menjunjung kemajemukan hidup. Sehingga sebagai sebuah

2. subsistem, katekisasi berfungsi untuk membina manusia menjadi takut akan Tuhan, membina manusia
mampu memimpin dalam rumahtangga/ keluarganya sebagai sebuah keluarg pembaruan dan
pertumbuhan gereja dan pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan, membina

3
Bd BPH Sinode GPM Salinan Ketetapan-ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode Gereja Protestan Maluku 25 Oktober - 02 November 2005 di Ambon (Ambon:
Sekretariat Umum, 2005), hlm. 209.
4
Bd. David L. Sills, ed., International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 15, (London: Crowell Collier and Macmillian Inc., 1986), hlm. 453: “System is (1) Something
Consisting of a set (finite or infinite) of etities. (2) among which a set of relations is specified, so that (3) deductions are possible and from relations among the entities to
the behaviour.”
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

umat untuk mampu menganalisis, membaca tanda-tanda zaman, mengembangkan langkah-langkah


peringatan dini (early warnig) dan antisipasi terhadap setiap tantangan yang diprediksikan akan
dihadapinya dan masyarakatnya.
3. Sebagai subsistem pembinaan umat, katekisasi dilaksanakan dengan ciri-ciri: Alkitabia, Oikumenis,
Praktis, Misioner, Kontekstual, sehinga terjadi pembentukan pengetahuan, keimanan, ketrampilan
praktis. Sebab itu, sebagai sebuah subsistem, katekisasi harus didukung dengan pembinaan dalam
keluarga dan pembinaan dalam masyarakat (sekolah, kampus, dsbnya).
4. Sebagai sebuah subsistem, katekisasi berorientasi pada tujuan pembinaan umat secara umum dan
pendidikan katekisasi secara khusus. Penyelenggaraan katekisasi dimaksudkan agar
manusia/katekisan memiliki integritas diri sebagai murid Yesus.
5. Den gan pendekatan spiral, maka intensifikasi dan ekstentifikasi isi pembinaan umat dalam katekisasi
merupakan kelanjutan, kesinambungan, keluasan dan pengembangan diri seluruh proses pendidikan
jemaat yang telah ditempuh sebelumnya. Selain itu, katekisasi tidak sekedar berakhir pada saat
seseorang telah mengaku sidi, melainkan terus berlangsung sepanjang hidup.
6. Sebagai sebuah subsistem, maka katekisasi (pelayanan pendidikan dan pembinaan umat) tidak
terlepas dari tugas-tugas pelayanan yang lain (pelayanan pastoral, pelayanan pemberitaan,
pelayanan pemberdayaan, dsbnya). Sebab itu, pelayanan pendidikan ini tidak dapat dikerjakan
hanya oleh satu atau dua orang saja, tetapi harus melibatkan umat yang lain, termasuk pula orang tua
dari katekisan itu sendiri. Dengan demikian, pendekatan team teaching (tim pengajar) sangat
diperlukan. Pengertian Tim Pengajar bukan dalam artian sempit, dimana ada sejumlah orang
dijadwalkan untuk mengajar katekisasi, melaikan para pengajar itu menjadi sebuah tim, sehingga ada
kesempatan untuk bertemu dan saling berbagi (sharing)pengalaman, perkembangan setiap
katekisan, memecahkan permasahan yang dihadapi katekisan, memberikan masukan dan
mengujicobakan alat, instrumen belajar-mengajar secara bersama, mengoreksi dan mengevaluasi
seluruh proses belajar-mengajar termasuk hasilnya secara teratur dan jangka waktu yang ditetapkan
bersama serta menilai dan menjabarkan kurikulum dengan memperhatikan konteks jemaat secara
bersama-sama.
7. Sebagai sebuah subsistem, maka evaluasi tugas-tugas pelayan khusus, teristimewa Ketua Majelis
Jemaat/ Pendeta Jemaat sangat terkait dengan penyelenggarakan katekisasi ini. Prestasi seorang
Ketua Majelis Jemaat/Pendeta Jemaat yang diberi penghargaan (reward) berupa kenaikan pangkat/
golongan, sangat terkait dengan pelayanan katekisasi ini. Malahan, tugas-tugas pengendalian,
pemantauan dan penilaian kinerja seorang Ketua Majelis Jemaat/ Pendeta Jemaat dalam setiap
visitasi Klasis sangat terkait dengan tugas pelayanan pendidikan tersebut.
8. Sebagai sebuah subsistem, maka sebagai katekisasi gereja (catechizatio scholatica) dan katekisasi
dalam keluarga (catechilazio domectika). Dalam artian, peranan orang tua sangat penting dalam
menopang katekisasi ini. Bukan hanya dengan senantiasa mendorong anak-anaknya untuk mengikuti
kegiatan katekisasi di jemaaynya, melaikan teristimewa dalam proses membahas ulang (review)
secara mendalam berbagai pembahasan yang telah di peroleh anaknya di kelas katekisasi. Dengan
begitu, partisipasi orang tua untuk mengisi buku komunikasi kateket-orangtua, kehadiran orangtua
dalam forum-forum pertemuan Kateket-Orangtua, penopangan terhadap anaknya untuk menekuni
dengan giat berbagai kegiatan katekisasi dijemaatnya dan penyiapan “pesta” sidi yang umumnya
berlaku di lingkungan GPM akan semakin lebih bermakna dalam rangka menjadikan anaknya seorang
warga gereja yang bertumbuh dan terus berubah oleh pembaruan budinya.

6
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Uraian Materi
Pokok-Pokok
Pokok/Sub

Bahasan

(Menit)
Waktu
Pokok
Tujuan Khusus Kateket Katekisan Ket

1. Menjelaskan Pe- Prologo- 1. Arti dan 1. Menjelaskan arti & 1. Membuat 15 Bahan-
ngertian Kateki- mena tujuan tujuan katekisasi yg catatan bahan
sasi dan Perkem yang di disaksikan dalam mengenai harus
bangan penger- 1. Arti saksikan Alkitab PL & PB penjela- disiap
tian katekisasi dan dalam berdasarkan garis san arti & kan ter-
selaku wujud pe- tujuan Alkitab besar yang tertulis tujuan ka- lebih
layanan Gereja. kateki- 2. Perkem- di karton manila/ tekisasi yg dulu
2. Membuat kesim- sasi bangan flipcart5 disaksi
pulan sendiri me tugas ka kan dlm
ngenai pengerti- 2. Kateki tekisasi Alkitab PB
an katekisasi. sasi di GPM & PL Tulis
3. Menjelaskan per seba- pra- penjela
kembangan tu- gai 1935 2. Menugaskan kateki 2. Mencatat 10 san ma
gas katekisasi di pendi- sampai san dan orangtua- kesimpu- teri dlm
GPM pada pra- dikan saat ini nya utk menyimpul- lan kelom bentuk
1935 sampai formal 3. Tugas kan arti dan tujuan pok & me garis
saat ini. gereja katekisa katekisasi menurut nyajikan- besar
4. Menjelaskan tu- di- si seba- kesaksian Alkitab nya di ke- (high-
gas katekisasi GPM gai sebu dalam bentuk disku las light) di
sebagai sebuah ah sub- si kelompok karton
subsistem pen- sistem manila/
didikan formal di pendidi 3. Menugaskan kateki 3. Menerja- 30 flip-
GPM. kan for- san dan orangtua kan tugas chart,
5. Membedakan mal di untuk mendiskusi- diskusi tranpa-
berbagai aspek GPM kan dalam rangka ran,
dari tugas kateki membuat perbeda- kompu-
sasi sebagai se- an mengenai berba ter.
buah sistem pen gai aspek tugas ka Siap-
didikan formal di tekisasi di GPM da kan
GPM lam perkembangan plaak-
6. Membuat kesim- nya pra-1935 sam- band,
pulan mengenai pai saat ini dan ha paku
katekisasi seba- kikat kedudukan- pompa,
gai sebuah sub- nya sebagai sebu- layar,
sistem pendidi- ah subsistem pendi transpa
kan formal GPM. dikan formal gereja ran
7. Menyatakan di GPM
pendapat sendiri
mengenai peran 4. Menugaskan kateki 4. Membuat 15
dan tanggung san dan orangtua- kesimpu-
jawab selaku ka- nya untuk menyim- lan & me
tekisan dan or- pulkan hakikat kate nyajikan-
rangtua dalam tu kisasi sebagai sebu nya dlm
gas katekisasi ah subsistem pendi kelas
sebagai sebuah dikan formal gereja
subsistem pendi di GPM
dikan formal
GPM 5. Menugaskan kateki 5. Menyata- 30
san dan
7 orangtua- kan pen-
nya menyatakan dapat ka-
pendapat mereka tekisan &
mengenai peranan orangtua-
& tanggungjawab nya
selaku katekisan &
orangtua dalam tu-
gas katekisasi seba
gai sebuah subsis-
tem pendidikan for-
mal GPM
V. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian Katekisasi dan Perkembangan Pengertian dan Tujuan Katekisasi selaku wujud
pelayanan gereja.
2. Buatlah kesimpulan anda sendiri mengenai Pengertian dan Tujuan Katekisasi.
3. Jelaskan secara singkat Perkembangan Tugas Katekisasi di GPM pra-1935 sampai saat ini.
4. Jelaskan Tugas Katekisasi sebagai sebuah Subsitem Pendidikan Formal di GPM.
5. Bedakanlah berbagai aspek dari tugas katekisasi sebagai sebuah Sistem Pendidikan Formal di GPM.
6. Buatlah kesimpulan mengenai Katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal di GPM.
7. Berikanlah pendapat anda sendiri mengenai peranan dan tanggung jawab selaku katekisan dan orangtua
dalam tugas katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal GPM.

VI. KEPUSTAKAAN

5
Bagi Jemaat yg telah memiliki Infocus atau OHP dapat di tampilkan pada layar/dinding. Bagi jemaat tidak memiliki infocus atau OHP materi diperbanyak dan dibagikan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

David L. Sills, ed., International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 15, (London: Crowell Collier and Macmillian Inc.,
1986)
BPH Sinode GPM Salinan Ketetapan-ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode Gereja Protestan Maluku 25 Oktober - 02
November 2005 di Ambon (Ambon: Sekretariat Umum, 2005)
Colin Brown, New Testament Theology, Volume 3 (Grand Rapids, Michigan:Zondervan Publishing House, 1986)
Untuk mengkaji lebih jauh, lihat Robert Young, Young’s Analytical Concordanceto the Bible
Untuk mengkaji lebih jauh, lihatlah, Colin Brown, New Testament Theology, Volume 3 (Grand Rapids, Michigan:Zondervan
Publishing House, 1986) h 771-772
Sills, David L. ed., International encyclopedia of the social Sciences Vol. 15, (London: Crowell Collier and MAcmillian Inc.,
1986)
Young, Robert. Young’s Analytical Concordanceto the Bible

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 1. Allah Yang Mencipta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.1. Penciptaan Alam Semesta.
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kejadian 1 : 1-24; 2 : 1-7.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami dan merefleksikan pengenalan akan Allah yang menciptakan alam semesta.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menguraikan konsep penciptaan menurut : Ilmu Pengetahuan; Mitos masyarakat tradisional ; dan Alkitab.
2. Membandingkan konsep-konsep penciptaan (pada butir 1).
3. Menjelaskan tujuan Allah menciptakan alam semesta.
4. Menguraikan hubungan antara makna penciptaan Allah dengan konteks gumul katekisan.

IV. URAIAN MATERI


1. Pokok-Pokok Uraian Tentang Penciptaan
a. Penciptaan Menurut Pandangan Ilmu Pengetahuan.
Untuk memahami penciptaan menurut pandangan ilmu pengetahuan, maka kita harus bertolak dari
konsep atau teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin pada abad ke-19. Teori evolusi yang
dikembangkan oleh Charles Darwin berbicara tentang asal mula kehidupan alam semesta. Penciptaan
menurut pandangan teori evolusi, beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak melalui
sebuah proses penciptaan dan tidak dilakukan oleh satu pencipta ilahi dan berkepribadian. Pandangan
teori evolusi ini memahami bahwa segala sesuatu terjadi melalui serangkaian peristiwa yang serba
kebetulan, dan atau melalui suatu
8 proses 'ledakan' dan selanjutnya berevolusi.

b. Penciptaan Menurut Pandangan beberapa Agama.


Semua agama di dunia memiliki konsep tentang penciptaan yang menceritakan tentang proses
terjadinya alam semesta. Pada prinsipnya, ada perbedaan konsep penciptaan antara agama yang satu
dengan lainnya. Agar lebih jelas dapat diuraikan secara singkat konsep penciptaan dari beberapa
agama yang kita kenal di Indonesia.
- Agama Islam pada prinsipnya mengakui bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah, yang dipandang
sebagai Zat yang maha agung, dan yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Allah itu juga tidak bisa
dirupakan dengan segala sesuatu yang ada di dalam semesta.
- Disamping pandangan Islam seperti ini, ada berbagai aliran kebatinan Islam, yang memiliki
pemahaman bahwa terjadinya dunia dan manusia melalui sebuah proses mengalirnya zat-zat Ilahi.
Dalam konsepsi ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang terbatas, yang bisa bergerak apabila
zat-zat ilahi yang mengalir didalamnya 'berpengaruh'.
- Agama Hindu.
Dalam kitab Weda, Agama Hindu memandang Prajapati sebagai sang pencipta. Benda pertama yang
dijadikan adalah gunung-gunung. Diceritakan, bahwa pada mulanya gunung-gunung adalah
anak-anak Prajapati, sang pencipta. Mereka mempunyai sayap yang dapat digunakan untuk
berterbangan dan hinggap pada/dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika gunung-gunung itu

berhenti pada satu tempat, bumi menjadi goyah. Oleh karena itu dewa Indra memotong sayap-sayap
mereka, sehingga mereka tidak bisa terbang kembali dan menetap pada tempatnya. Sayap-sayap
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

mereka menjadi awan, yang hingga kini menggumpal di lereng-lereng gunung, seakan-akan mau
menjadi sayap kembali.
Dalam kitab Brahman, ajaran agama Hindu menyebutkan bahwa dunia berasal dari Brahman (para
pandita yang cerdas atau pintar). Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mengalir keluar dari
Brahman, seperti: rambut yang tumbuh di kepala; dan bayi yang dilahirkan dari kandungan ibunya,
sering dipahami sebagai akibat dari tindakan Brahman.
Agama Hindu memiliki dua wujud tokoh ilahi, yaitu dewa itu sendiri, dan para Brahman yang terpelajar
dan bertugas untuk mengajar, yang mereka pahami sebagai dewa insani.6

- Agama Suku.
Dalam pandangan agama-agama suku, alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya
terjadi sebagai hasil perkawinan dan atau persetubuhan antara dua tokoh ilahi (laki-laki clan
perempuan). Contoh : di Seram Tengah ada cerita, bahwa pada mulanya Alahatala (langit, sebagai
asas laki-laki) menyetubuhi Pohun (bumi, sebagai asas perempuan). Dalam persetubuhan itu, Pohun
(bumi) melahirkan Tomoa dan Binawalu (pasangan yang pertama di dunia). Kedua anak ini terjepit di
antara Alahatala dan Pohun. Keduanya berdesak-desakan dan mendorong bapa dan ibunya,
sehingga langit dan bumi berpisah disertai terjadinya gempa bumi, yang menyebabkan langit semakin
menjauh dari bumi. Bersamaan dengan peristiwa gempa itu, lahirlah sepasang saudara yang lain, yakni
matahari dan bulan, sehingga kegelapan diganti dengan terang. Dari perkawinan matahari dan bulan,
lahirlah sepasang anak manusia, yakni bintang pagi (bintang kejora) dan bintang sore (bintang suhara).
Pada mulanya, langit dan bumi masih kecil, tetapi karena terjadi gempa bumi, keduanya menjacli
besar. Alahatala melengkung seperti kubah menaungi bumi dengan kakinya di sebelah timur dan
tangannya di sebelah barat menyentuh bumi. Gunung Hatuolo adalah kelamin bumi, tempat
berasalnya manusia pertama. Demikianlah tuturan singkat penciptaan versi agama suku.

c. Penciptaan Menurut Pandangan Alkitab.


Alkitab memberi ketegasan bahwa "Pada mulanya Allah menciptakan (bara) langit dan bumi", sekaligus
Alkitab mengungkapkan cara bagaimana Allah menyelesaikan seluruh karyaNya dalam waktu enam hari
(cf Kejadian 1: 1-6. Pandangan Alkitab seperti ini tentu berbeda dengan pandangan ilmu pengetahuan
dan pandangan aliran kepercayaan dan agama-agama universal lainnya.
Kata kerja bara dalam Perjanjian Lama dipakai hanya bagi tindakan Allah. Yang mau diungkapkan dari
kata itu adalah sifat penciptaan yang berhubungan dengan penciptaan yang terjadi dari ketidak-ada-an
menjadi ada (Creatio ex nihilo). Hal ini terkait pula dengan kata bara itu sendiri yang tidak pernah
berhubungan dengan keterangan akan bahan-bahan tertentu. Allah adalah "pencipta", bukan "pejuang"
yang harus bekerja keras untuk membentuk kosmos (alam). 7
Perbedaannya dengan ilmu pengetahuan adalah bahwa kesaksian Alkitab tentang penciptaan yang
dilakukan oleh Tuhan terletak pada makna esensial yang terkandung di dalamnya. Konsepsi penciptaan
di dalam Alkitab, bukan merupakan penggambaran berdasarkan hasil penelitian ilmiah, tetapi lebih
bersifat etis dan imani keagamaan. Artinya lebih berorientasi pada suatu kesaksian dan pengakuan
terhadap adanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dari padaNya berasal segala yang ada di alam
semesta. Konsepsi penciptaan menurut Alkitab hanya dapat dimengerti berdasarkan iman. "Karena iman,
kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah" (lbrani 11:3a).
Perbedaannya dengan aliran kepercayaan dan konsepsi penciptaan menurut agama-agama universal
lainnya, karena Alkitab tetap memosisikan Allah sebagai "Causa Prima", atau penyebab utama dan
pertama dari segala yang ada. Aliran kepercayaan dan agama-agama universal lainnya, memandang
penciptaan sebagai proses terjadinya
9 segala sesuatu di alam semesta, tetapi semua yang ada bermula
dari yang sudah ada sebelumnya. "....sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat
kita lihat " (lbrani 11:3b). Bila dihubungkan dengan apa yang dituliskan dalam Kejadian 1:1 "Pada mulanya
Allah menciptakan langit dan bumi', maka tidak bisa dielakkan dari iman dan kepercayaan orang Kristen
bahwa alam semesta tidak dijadikan dari bahan jadi (material) apapun yang sudah ada sebelumnya,
melainkan dijadikan dari apa yang belum/tidak ada, yaitu Firman Allah sendiri. Hal ini sekaligus
memperlihatkan hakikat Allah yang sangat berbeda dengan seluruh ciptaanNya.
Penciptaan harus dimengerti sebagai tindakan Allah yang bebas dalam kehendakNya yang berdaulat.
Alkitab menyaksikan bahwa Allah adalah oknum yang bebas, tidak terbatas, kekal, ada dengan
sendirinya dan menjadi awal dari segala sesuatu. Allah sudah ada secara kekal dan tidak terbatas
sebelum menciptakan alam semesta yang terbatas dalam keberadaannya.
Allah yang menjadikan Adam dan Hawa menurut rupa Allah sendiri. Hal ini dimaksudkan agar manusia
(Adam dan Hawa) dapat mengenal dan bersekutu dengan Allah didalam iman dan kasih secara pribadi
maupun persekutuan umat. Penjadian manusia yang serupa dengan Allah juga menegaskan bahwa
manusia diberi hakikat yang khas (berbeda, unik) dari dan dengan makhluk ciptaan yang lainnya.
Perbedaan ini, tidak semata-mata bertujuan untuk menjauhkan manusia dari makhluk ciptaan lain, tetapi
perbedaan itu dimaksudkan untuk pengembanan Amanat Agung Allah bagi keselamatan, keserasian
dan keseimbangan hidup bagi segala makhluk.

Keunikan yang dimiliki oleh manusia merupakan anugerah yang bersifat absolut/mutlak dari Allah, dan
bukan merupakan hasil karya manusia. Pemahaman ini, hendak menegaskan bahwa kecerdasan,
kepintaran, pengalaman dan kelebihan-kelebihan lain yang melekat pada diri manusia, harus

6
A.G. Honig, Jr., Ilmu Agama (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994, hlm 96,99,100.
7 Dieter Becker Pedoman Dogmatika (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991), hlm 70.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

menjadikan manusia semakin beriman dan takluk atau tunduk dibawah kekuasaan atau kedaulatan Allah
yang absolut/mutlak. Sikap penaklukan diri secara sadar dalam iman kepada Allah dapat diwujudkan
dalam hubungan yang intens dengan Allah melalui sikap yang mengilhami buah-buah Roh,
sebagaimana disaksikan oleh Rasul Paulus dalam Galatia 5:22-23).
Pemahaman yang kuat atas dasar iman yang mengakui kebenaran kesaksian Alkitab, bahwa Allah yang
menciptakan manusia dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, juga memberi ketegasan
terhadap pengakuan akan kekuasaan Allah yang patut disyukuri dalam wujud kepercayaan yang
sungguh-sungguh hanya kepada Allah. Dengan kata lain, Allah yang kita imani dalam Yesus Kristus adalah
Allah pencipta dan berdaulat atas kelangsungan hidup segala ciptaan, termasuk manusia, dan karena
itu manusia hanya percaya dan menggantungkan seluruh hidupnya kepada Allah. Bila terjadi
penyangkalan terhadap Allah yang mencipta itu, maka manusia dan alam semesta akan memiliki
ketidakmaknaan hidup. Dengan kata lain perjumpaan dan pengakuan terhadap Allah Sang Khalik itulah
yang menjadikan penciptaan itu sendiri menjadi kian bermakna.

2. Perbandingan antara konsep-konsep penciptaan menurut pandangan ilmu pengetahuan, aliran


kepercayaan dan agama-agama universal lain dengan pandangan iman Kristen.
Telah dijelaskan sepintas tentang perbedaan konsepsi tentang penciptaan alam semesta menurut
pandangan ilmu pengetahuan, aliran kepercayaan dan atau agama-agama universal lain dengan ajaran
dan iman Kristen yang disaksikan oleh Alkitab. Bahwa perbedaan itu secara esensial, terletak pada
pergulatan antara rasionalitas dengan refleksi etis-teologis dan religius. Ilmu pengetahuan mendasarkan
seluruh pengakuan terhadap sebuah kebenaran (tentang penciptaan) berdasarkan fenomena-fenomena
dan peristiwa-peristiwa yang dapat dilihat, diteliti dan dijelaskan dengan rasio.
Aliran-aliran kepercayaan menghadapkan pengakuan terhadap penciptaan alarn semesta sebagai akibat
dari proses alamiah dan atau peristiwa kosmik/alam. Hal ini tidak relevan dengan kesaksian Alkitab karena,
alam semesta bukan merupakan zat yang pertama dari segala yang ada, tetapi Allah yang merupakan
awal dari segala sesuatu termasuk alam semesta. Peristiwa kosmik adalah hal yang kemudian, yang tentu
dalam iman Kristen diakui sebagai hal yang bisa terjadi karena dimungkin oleh Allah Sang Pencipta.
Pandangan aliran agama dan agama lain yang memahami asai-muasal alam semesta diciptakan oleh
dewa-dewa yang cerdas (Brahman), tentu berbeda dengan pandangan Alkitab dan keyakinan iman
Kristen. Dewadewa yang meskipun memiliki keunikan melebihi makhluk yang lain, termasuk manusia pada
umumnya, tetap terbatas dalam hakikatnya sebagai ciptaan yang kemudian. Dia bukan awal dari segala
sesuatu, dan dia ada setelah yang lain juga ada. Dengan kata lain, ia ada dari yang sudah ada. la bisa
menjadikan yang lain semakin ada dengan apa yang sudah ada.
Secara khusus perbedaan antara pandangan Islam dan Kristen terletak pada konsepsi Imago Dei atau
segambar dan serupa dengan Allah. Bagi umat Islam, Allah tidak bisa digambarkan dalam bentuk apapun.
Mereka menolak inkarnasi atau penyataan Allah dalam diri Yesus sebagai Tuhan dan manusia sejati.
Meskipun pandangan-pandangan dari berbagai aliran kepercayaan dan agama-agama universal yang
ada 'berbeda' dengan pandangan iman Kristen berdasarkan kesaksian Alkitab, tetapi kita patut menghargai
pandangan yang berbeda itu. Penghargaan kita terhadap pandangan yang berbeda itu, semata-mata
didasarkan pada kasih yang harus diaplikasikan dalam kehidupan bersama. Kita menghargai pandangan
yang berbeda bukan untuk mengikuti pandangan yang tidak sesuai dengan iman kita, tetapi sebaliknya kita
akan semakin memperkuat identitas iman dan kepercayaan kita kepada Allah Sang Pencipta, yang kita
imani dalam Yesus Kristus.

3. Tujuan Allah Menciptakan Alam Semesta.


Tuhan menciptakan dunia10ini dengan segala isinya, bukan untuk menambah kebahagiaanNya atau
kesempurnaanNya. Tuhan adalah kebahagiaan dan kesempurnaan itu sendiri. Tuhan menciptakan segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini untuk menyampaikan kelimpahan rahmat dan kebaikanNya. Tuhan
mencipta, karena Ia baik.8
Secara khusus penciptaan dan penjadian manusia (Adam dan Hawa) dalam bentuk rupa (segambar dan
serupa dengan Allah) bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai "agen keselamatan" bagi segala
makhluk ciptaan yang lain. Peran dan fungsi manusia sebagai "agen keselamatan" bagi segala makhluk juga
mengisyaratkan sebuah pertanggungjawaban yang mutlak dilakukan oleh manusia kepada Allah.
Pertanggungjawaban yang diberikan manusia kepada Allah nampak didalam sikap yang menaklukan diri
sepenuhnya kepada Allah.

4. Makna Penciplaan Bagi Gumulan Hidup Katekisan.


Makna penciptaan alam semesta, oleh Allah bagi orang percaya/Kristen, khususnya katekisan, antara lain :
1. Orang Kristen ('percaya') tetap, percaya dalam iman dan pengharapan yang permanent/kuat kepada
Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, dan berdaulat atau berkuasa mengatur dan menentukan
kelangsungan hidup segala ciptaan, termasuk manusia.

2. Orang Kristen ('percaya') harus mengandalkan Tuhan dalam seluruh pergumulan kehidupannya. Bukan
hanya dalam kesenangan, kesukaan dan atau kebahagiaan, tetapi juga dalam berbagai kesulitan dan
tantangan hidup. Tuhan Sang Pencipta sanggup melakukan apa yang tidak sanggup dilakukan oleh
manusia, sebab Tuhan Maha Kasih dan tidak terbatas dalam kekuasaanNya, sedangkan manusia
terbatas dan sering tidak berdaya dalam kefanaannya.

8
Band. H. Embuiru., Aku Percaya (Ende-Flores : Nusa Indah/Offset Arnoldus, 1979),hlm 24.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3. Dalam hubungan dengan hal mengandalkan Tuhan dalam hidup, orang Kristen ('percaya') harus
meyakini bahwa ia selalu ada dalam perlindungan, pemeliharaan dan penyertaan Tuhan, sehingga ia
tidak mesti terpengaruh dengan berbagai ajaran sesat. Sekaligus tidak memiliki sikap manusia 'relativisme',
yang cenderung mencari jalan pintas untuk menyelesaikan seluruh persoalan kehidupannya dengan
merelatifkan segala sesuatu. Yang harus terjadi adalah, iman harus menjadi filter atau penyaring bagi
seluruh langkah hidupnya.
4. Orang Kristen ('percaya') harus mewujudkan rasa tanggungjawab keimanannya kepada Allah Sang
Pencipta melalui perbuatan-perbuatan kasih (buah-buah Roh, Galatia 5:22-23), baik pada Allah melalui
ibadah-ibadah ritual, maupun kepada sesama umat manusia dan alam semesta atau lingkungan melalui
ibadah-ibadah sosial.

V. EVALUASI:
1. Uraikan konsep penciptaan menurut pandangan, ilmu pengetahuan ; Mitos masyarakat tradisonal (di
Seram); dan Alkitab.
2. Bandingkan konsep-konsep penciptaan tersebut.
3. Jelaskan tujuan Allah menciptakan alam semesta.
4. Kernukakan pendapat anda tentang makna penciptaan bagi kehidupan anda.

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :


1. Tafsiran Kitab Kejadian dan Surat lbrani
2. Referensi tentang dogmatika, antara lain: Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Ilmu Agama (A.G. Honig) ; Aku
Percaya (H. Embuiru); Pedoman Dogmatika (Dieter Becker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).

VII. KETERANGAN
Kegiatan Ekstra/Tugas Rumah :
Katekisan diwajibkan untuk mencari dan mengumpulkan cerita-cerita tradisional tentang penciptaan alam
semesta menurut aspek penceritaan masyarakat lokal mereka/masing-masing.

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 1. Allah Yang Mencipta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.2. Penciptaan Dalam Konteks Penga-kuan/Credo Umat.
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mazmur 8; 24: 1.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami dan merefleksikan pengenalan
11 akan Allah yang menciptakan alam semesta.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan makna penciptaan
1.1. Bagi umat Israel.
1.2. Bagi orang Kristen sepanjang masa.
2. Memberikan contoh sikap orang percaya yang menyembah Tuhan Maha Pencipta.
3. Menyebutkan contoh sikap orang percaya yang menghargai sesama ciptaan yang lain.
4. Memberikan pendapat tentang makna penciptaan bagi kehidupan pribadinya.

IV. URAIAN MATERI


1. Makna penciptaan bagi umat IsraeL
Bagi bangsa Israel, cerita penciptaan langit dan bumi merupakan tindakan pembebasan Allah yang
hendak dinyatakan bagi mereka, ditengah situasi hidup yang tertekan oleh karena penawanan mereka di
Babel. Tindakan pembebasan yang hendak dilakukan, mesti diawali dengan kesadaran kembali iman dan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

kepercayaan bangsa Israel yang sungguh-sungguh kepada Tuhan (YHWH). Bahwa konsekwensi yang harus
ditanggung oleh bangsa Israel sebagai bangsa yang tertawan adalah mesti menuruti dan menyembah
alah/ilah yang dipercayai dan disembah oleh bangsa yang menawan (Babel). Konsepsi "Allah sebagai
Pencipta langit dan bumi", memperlihatkan karakter Allah YHWH yang mengungguli kelebihan dan
kekuasaan dewa-dewi bangsa Babel dan bangsa-bangsa di sekitar Babel yang diyakini sebagai pencipta
langit dan bumi.
Kisah penciptaan yang diceritakan dalam Kejadian 1, oleh penulis dimaksudkan untuk mengukuhkan
kembali hakikat bangsa Israel sebagai bangsa pilihan yang dikhususkan dan dikuduskan oleh Allah sebagai
umatNya. Bangsa Israel harus kembali kepada karakter iman dan kepercayaan mereka kepada YHWH, dan
tidak mesti terpengaruh dengan kepercayaan bangsa Babel dan bangsa-bangsa di sekitar Babel. Jika
bangsa Israel sungguh-sungguh percaya kepada Allah YHWH maka mereka akan dibebaskan dari keadaan
hidup sebagai orang yang tertawan. YHWH sanggup melakukannya, lebih dari dewa-dewi sembahan orang
Babel dan bangsa bangsa disekitar Babel.
Makna lain dari penciptaan bagi orang Israel adalah suatu bentuk tertib kosmos (alam) yang
dilakukan oleh Allah Sang Pencipta. Urutan penciptaan yang dikisahkan oleh penulis kitab Kejadian 1,
memperlihatkan cara Allah mengatur dan menjaga keseimbangan kosmologis. Ketertiban dan
keseimbangan kosmos (alam) juga berhubungan dengan ketertiban dan keseimbangan hidup. Tegasnya,
bahwa Allah menghendaki adanya ketertiban dan keseimbangan hidup bagi Israel meskipun mereka
berada dalam situasi tertekan (sebagai bangsa yang tertawan). Ketertiban dan keseimbangan hidup yang
dimaksudkan disini berorientasi pada upaya penampakkan identitas diri bangsa Israel yang khas di hadapan
bangsa-bangsa lain. Iman dan kepercayaan bangsa Israel kepada YHWH merupakan cara pengungkapan
identitas mereka yang khas itu. Bangsa Babel dan bangsa-bangsa sekitar Babel akan mengenal bangsa
Israel sebagai komunitas dan pribadi yang berbeda dengan mereka. Tanpa iman dan kepercayaan yang
ditampilkan secara berbeda dari tengah-tengah kehidupan bangsa Israel ketika mereka berada di Babel,
mereka akan kehilangan identitas diri mereka sebagai bangsa pilihan Allah.

2. Makna penciptaan bagi orang Kristen.


Bagi orang Kristen ('percaya'), penciptaan memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan makna
penciptaan bagi orang Israel, yakni :
- Penciptaan langit dan bumi (alam semesta), bermakna dalam membentuk kesadaran iman dan
kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Allah Sang Pencipta. Kisah penciptaan (Kejadian 1 ; Mazmur
8; 24:1) menegaskan tentang kemahakuasaan Allah yang melebihi segala kuasa di langit dan di bumi.
Tidak ada sosok atau pribadi lain yang dapat menandingi kemahakuasaan Allah.
- Makna penciptaan bagi orang Kristen juga menegaskan tentang kedaulatan Allah atas seluruh
ciptaanNya, termasuk manusia. Hal ini harus dimaknai sebagai dasar pemahaman dan alasan utama
orang percaya untuk tunduk dan atau takluk hanya pada kehendak dan atau kekuasaan Allah yang
tanpa batas, dan penuh cinta kasih.
- Allah sanggup melakukan/menjadikan segala sesuatu, termasuk menjadikan manusia; maka tidak ada
alasan bagi orang percaya untuk tidak bergantung sepenuhnya kepada Allah. Dalam setiap persoalan
hidup yang mustahil diselesaikan dan atau dipecahkan oleh manusia dengan segala kepintaran dan
pengalaman hidupnya, Allah sanggup untuk melakukannya, karena Allah adalah Sang Pencipta.
- Kisah penciptaan langit dan bumi (alam semesta) oleh Allah, bukan hanya memperlihatkan karakter dan
atau identitas Allah 'Yang Maha Kuasa’, tetapi sekaligus memosisikan orang percaya dalam sebuah
identitas diri yang khas dalam totalitas iman dan kepercayaannya. Beribadah hanya kepada Allah dalam
Yesus adalah cara orang Kristen mengungkapkan identitas dirinya yang khas ditengah-tengah kehidupan
bersama orang yang beragama 12 lain.
- Ketertiban hidup bagi orang percaya, dalam upaya menjaga kestabilan identitas diri sebagai orang yang
beriman, mesti teraplikasi dalam seluruh sikapnya dalam menjaga keseimbangan kosmologi (alam
semesta). Hal ini merupakan wujud iman orang percaya kepada Allah Sang Pencipta yang telah
menjadikan alam semesta dalam keteraturan.

3. Sikap hidup orang yang menyembah Tuhan Sang Pencipta.


Sikap hidup orang yang menyembah Tuhan Sang Pencipta dapat diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari, antara lain :
- Percaya hanya kepada Allah Sang Pencipta yang diimani dalam Yesus Kristus. Hal ini dapat dilakukan,
misalnya dalam penderitaan dan kesulitan hidup, iman orang percaya tidak tergoyahkan untuk mencari
jalan pintas untuk mengatasi penderitaan dan kesulitan hidup yang dialaminya; tidak hanya
mengandalkan kekuatan diri karena kepintaran dan pengalaman yang dimilikinya, melainkan selalu
melibatkan Tuhan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidupnya.

- Tidak terpengaruh dengan berbagai ajaran yang mengelakkan atau menolak Allah sebagai Pencipta
langit dan bumi. Misalnya, tanpa sadar atau dalam kesadaran, manusia menjadikan satu benda atau
makhluk yang lain dan atau seseorang sebagai pencipta, seperti yang dianut oleh masyarakat primitive,
yang percaya kepada batu atau pohon (dinamisme dan animisme), percaya kepada binatang-binatang
tertentu (totemisme), percaya kepada benda-benda tertentu yang dianggap, memiliki kekuatan magis
(fetisisme), dan atau mendewakan seseorang dalarm hidupnya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

4. Relasi dan tanggungjawab manusia kepada sesama dan alam lingkungan.


- Relasi dan tanggung jawab manusia kepada sesama dapat diwujudkan dalam bentuk : hidup dalam cinta
kasih, persaudaraan yang rukun dan damai, bertindak adil dan bijaksana terhadap semua orang,
menghargai perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing orang dalam kesadaran dan keyakinan bahwa
perbedaan itu adalah anugerah Allah Sang Pencipta, saling menopang dalam berbagai kesulitan yang
dihadapi oleh orang lain dalam bentuk saling membantu secara moril maupun material, dll.
- Relasi dan tanggungjawab manusia terhadap alam lingkungan dapat diwujudkan dalam bentuk sikap :
Turut bertanggung jawab atas pemeliharaan alam semesta yang diciptakan Tuhan, sehingga alam
semesta tetap ada dalam ketertiban dan keseimbangan sosial, baik dengan alam lingkungan, makhluk
ciptaan yang lain maupun dengan sesama manusia.
Hubungan atau relasi dan tanggung jawab orang percaya dalam mewujudkan iman kepada
Allah, selalu (dan mesti) dinyatakan dalam kesadaran menjaga keseimbangan antara ibadah ritual dan
ibadah sosial. lbadah ritual dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara hubungan vertikal dengan Tuhan,
dan ibadah sosial dimaksudkan untuk menjaga hubungan atau relasi dan tanggung jawabnya kepada alam
lingkungan dan sesama umat manusia dalam wujud hidup dalam kedamaian, keadilan, kebenaran, cinta
kasih dan saling membantu dan melayani, serta memelihara, dan memanfaatkan alam lingkungan secara
etis (bertanggungjawab).

V. EVALUASI
1. Jelaskan makna penciptaan bagi umat Israel dan bagi orang Kristen.
2. Sebutkan contoh sikap orang yang menyembah Tuhan Sang Pencipta.
3. Sebutkan contoh sikap orang yang bertanggung jawab terhadap sesama dan lingkungan/alam semesta
sebagai sesama ciptaan Tuhan.
4. Berikan pendapat anda, apa makna penciptaan bagi diri anda.

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN


- Tafsiran Kitab Kejadian & Mazmur.
- Iman Kristen (Harun Hadiwijono) ; Etika Burni Baru (Robert P. Borong).
- Ensiklopecli Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
- Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).

VII. KETERANGAN
Kegiatan Ekstra/Tugas Rumah : aktif dalam kegiatan peribadahan, baik ritual maupun sosial. Khusus
untuk ibadah ritual, katekisan diharapkan membuat daftar atau catatan tentang keterlibatannya dalam setiap
bentuk ibadah yang dilakukan ditingkat wadah/organisasi, sektor dan jemaat. Proses pengontrolan terhadap
aktifitas dan kejujuran katekisan, dapat dilakukan oleh kateket melalui buku daftar aktifitas peribadahan
katekisan yang ditandatangani oleh setiap pernimpin ibadah.

13
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 1. Manusia dan Alam Semesta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.1. Manusia sebagai ciptaan dan penatalayan (steward) dunia
4. Bahan bacaan Alkitab : Kej. 1:26-29; Kej. 2:15; Mzm. 8:5-6; Pkh. 12:1
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Merefleksikan tugas dan tanggung jawab penatalayanan manusia dalam relasinya dengan alam semesta

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan hakekat manusia sebagai ciptaan
2. Menyebutkan identitas / ciri-ciri manusia sebagai ciptaan
3. Menjelaskan Manusia diberi mandat untuk menatalayani dunia ( Kej I : 28-29)
4. Menyebutkan contoh-contoh penatalayanan hidup.
IV. URAIAN MATERI
1. Hakekat manusia sebagai ciptaan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Manusia adalah bagian dari ciptaan Allah. Allah menjadikan manusia menurut "Gambar dan rupa Allah"
(Kej I : 26), manusia berbeda dengan makhluk lain yang sekalipun sama-sama diciptakan oleh Allah,
perbedaan mana terletak pada cara Allah memberi kehidupan kepada manusia yaitu manusia
memperoleh hidup dari hembusan nafas Allah (Kej 2 : 7,3-,19). Dengan demikian manusia adalah makhluk
ciptaan Allah yang memiliki keunikkan segambar dan serupa dengan Allah.

2. Identitas / ciri-ciri manusia sebagai ciptaan


Manusia disebut sebagai ciptaan Allah karena keberadaan dan fungsinya terhadap sesama dan dunia,
didasarkan pada relasi dan tanggung jawabnya terhadap Allah. Sebagai ciptaan Allah identitas manusia
sbb :
- Manusia diciptakan dalam relasi dengan sesama, dunia dan Allah selaku gambar dan rupaNya atau
teladan Allah. Dalam relasi inilah manusia memiliki tanggungjawab terhadap Allah.
- Manusia tidak jatuh kedalam dosa (pemberontakan terhadap kehendak Allah) karena ingin sama
dengan Allah.
- Manusia telah diselamatkan Allah dari fungsinya yang telah rusak, dari gambar dan teladan Allah yang
tidak puas pada dirinya, melalui panggilan Abraham ( Kej 12 :1-2) Pemilihan urnat Israel (Kej 46:1-7) sampai
mencapai puncak tindakanNya dalam kehadiran Yesus Kristus ke dunia (Yoh 3:16) Allah berjuang
mengembalikan manusia pada fungsinya yakni, manusia bagi Allah, manusia bagi sesama dan manusia
bagi dunia.
- Manusia dikaruniai Allah dengan berbagai karunia dan perlengkapan, sebagai ciptaan Allah, manusia
adalah ciptaan yang dinamis terbuka pada pembaharuan dan penuh pengharapan pada masa depan.
Manusia sebagai ciptaan Allah adalah manusia yang saling melengkapi dalam segala kelebihan dan
keterbatasannya. Manusia juga memiliki keprihatinan terhadap dunia.

3. Manusia diberi mandat untuk menatalayani dunia


Seperti telah dikemukakan bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah supaya
kepadanya dapat dipercayakan kekuasaan atas ciptaan yang lain. Kejadian I : 26 " Baiklah kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa kita supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi ".
Dalam konteks penguasaan atas bumi yang diberikan oleh Allah, maka hak milik dan pemanfaatan bumi
dan sumber-sumbernya oleh manusia secara teologis dan secara moral adalah sah. Hubungan yang
rangkap dua ini dinyatakan dalam kitab Mazmur " Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya ( Mazmur
24:1 ) Tetapi juga " Bumi ini telah diberikanNya kepada anak-anak manusia (Mazmur 115 : 16 ), dan " Engkau
membuat dia berkuasa atas tanganMu ( Mazmur 8 :7).
Penatalayanan menjadi kata kunci dalam perspektif penciptaan ini. Allah memiliki bumi tetapi
mempercayakannya kedalam pemeliharaan manusia yang telah dilengkapi untuk tugas itu dan kepadanya
Allah meminta pertanggung jawaban atas kedudukannya.
Dengan demikian manusia mesti menyatakan tindakan penatalayanan ditengah-tengah dunia sebagai
respons terhadap tanggung jawab yang diberikan Allah

4. Contoh penatalayanan lingkungan hidup


Tuhan yang menciptakan langit dan bumi terus bekerja, pekerjaan-pekerjaan mana dilanjutkan oleh
manusia yang adalah gambar dan rupa Allah. Sehingga sangat diharapkan tangan manusia melanjutkan
pekerjaan Allah adalah tangan yang menghasilkan pekerjaan terpuji untuk kebaikan manusia dan dunia
secara utuh. Dengan demikian penatalayanan lingkungan hidup adalah tanggungjawab manusia. Pastinya
penatalayanan itu sangat berfariasi,
14 mungkin saja pemanfaatan lahan tidur, penghijauan, pemberdayaan
potensi pada manusia sehingga tingkat pengangguran semakin menurun dan kehidupan menjadi
teratur,disiplin tapi juga sejahtera dsb.
V. EVALUASI
1. Jelaskan hakikat manusia sebagai ciptaan ?
2. Sebutkan ciri-ciri manusia sebagai ciptaan ?
3. Jelaskan pengertian manusia diberi mandat untuk menatalayani dunia ?
4. Sebutkan minimal dua contoh yang berkaitan dengan penatalayanan lingkungan hidup !
VI. KEPUSTAKAAN
1. Brownlee, Malcolm, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993.
2. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika ,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991.
VII. KETERANGAN
Metode : Ceramah, Tanya jawab, Diskusi

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 1. Manusia dan Alam Semesta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.2. Manusia Sebagai Makluk Sosial, Budaya dan Ekonomi
4. Bahan bacaan Alkitab : Yer. 29:27; Kisah. 10:28, 29; Kej. 9:20; 41:46-49; Kisah. 16:14-16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pert, disajikan bersama SPB 1.3)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Merefleksikan tugas dan tanggung jawab penatalayanan manusia dalam relasinya dengan alam semesta

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan hakikat manusia sebagai makluk sosial
2. Menjelaskan pola hidup manusia sebagai makluk sosial
3. Menjelaskan pengertian kebudayaan
2. Menjelaskan tugas kebudayaan
3. Menjelaskan manusia sebagai makluk Ekonomi

IV. URAIAN MATERI


1. Hakikat Manusia Sebagai Makluk Sosial
Sejak mula Tuhan Allah menciptakan manusia sebagai makluk social. Adam tidak dijadikan seorang diri,
Hawa dijadikan sebagai pendampingnya. Tidak baik kalau manusia itu seorang diri, harus ada teman ia
harus hidup bermasyarakat (Kej 2 : 18 ). Tuhan tidak hanya menjalin hubungan dan berurusan dengan
manusia sebagai pribadi melainkan manusia sebagai masyarakat atau persekutuan.Manusia tidaklah hidup
untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain, hal ini terbukti dalam perintah "kasihilah sesamamu manusia
seperti diri mu sendiri". Manusia tidak mungkin mengasihi Tuhan saja, bahkan tidak mungkin mengasihi Tuhan
tanpa mengasihi sesamanya. Manusia sebagai makluk sosial membuat manusia yang satu ada di tengah
manusia lain, sekalipun tingkat sosialnya berbeda, tetapi mereka saling membutuhkan dan saling
melengkapi. Sesungguhnya dihadapan Tuhan semua manusia sederajat tidak ada gol atas (bangsawan,
tuan, orang kaya) atau pun golongan bawah (rakyat kecil, budak, orang miskin ) semua orang dikasihi Tuhan
dan semua orang harus saling mengasihi tanpa perbedaan status dan golongan.

2. Pola Hidup Manusia Sebagai Makluk Sosial


Alkitab telah membentangkan dasar-dasar hidup yang baik bagi manusia sehingga karakter manusia di
bentuk secara baik. Manusia bukan hidup untuk dirinya sendiri melainkan hidup untuk orang lain.
Kebersamaan menjadi pola hidup manusia dan dalam kebersamaan itu upaya penegakan keadilan dan
kebenaran merupakan kepentingan. Ungkapan manusia sebagai makluk sosial harus ditempatkan dalam
prespektif kemuliaan Allah dan keselamatan umat manusia. Hal tersebut tergambar dengan jelas dalam
Hukum Taurat, bahwa ketaatan dan kasih kepada Allah haruslah diikut sertakan dengan perbuatan kasih
terhadap sesama. Dapat dikatakan bahwa kasih kepada Allah haruslah terbukti dalam kasih kepada
sesama. Manusia sebagai makluk sosial terutama yang percaya kepada Yesus Kristus harus miliki keberanian
untuk mernbela kebenaran, menegakkan keadilan, memerangi kemiskinan, usahakan untuk berada dalam
tindakan-tindakan inovatif yang melahirkan suatu kondisi baru dimana ada interaksi satu terhadap yang lain,
saling melengkapi, saling menerima. Dapat dikatakan pola hidup manusia sebagai makluk sosial haruslah
didasari oleh hukum " kasihilah sesama mu manusia seperti dirimu sendiri" sehingga tidak ada jurang pemisah
satu terhadap yang lain, majah ada upaya untuk menunjukkan sikap baik dalam ketaatan untuk melakukan
hukum "kasihilah musuhmu".

3. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu budaya dari bentuk jamak kata budi yang berarti
roh atau akal. Kata kebudayaan berarti pengusahaan, pengelolaan, potensipotensi dalam alam oleh
manusia. Kata kebudayaan sering dihubungkan dengan kesenian, adat-istiadat dan cara hidup saja,
padahal segala bentuk kehidupan 15 manusia itulah kebudayaan itu sendiri. Jadi kebudayaan menyangkut
segala karya pikiran dan tangan manusia yang "man made" adalah kebudayaan. Itulah sebabnya manusia
sangat berbeda dengan hewan. Manusia sanggup membuat perkakas memudahkan pekerjaan dari
perkakas sederhana sampai sangat modern dan canggih sedangkan hewan tak dapat bersaing dengan
manusia, hewan hanya miliki taring cakar, sayap yang ada pada dirinya tidak dapat dirubah oleh kemajuan
manapun juga.
4. Tugas Kebudayaan
Dari pengertian kebudayaan diatas maka dapat dikatakan kebudayaan sebagai suatu panggilan Allah.
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya (Kej 1:26-27) sebagai gambar Allah manusia di beri tugas
oleh Allah yaitu "penuhilah bumi dan taklukkan lah itu, berkuasalah atas seluruh ciptaan" ( kej 1;28) pemberian
tugas itu disebut mandat kebudayaan. Mandat kebudayaan itu dijelaskan dalam Kej 2:15 "Tuhan Allah
mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara
taman itu". Dari mandat kebudayaan diatas dapat di katakan dengan pasti bahwa bumi ini adalah milik
Allah. Ia menghendaki supaya manusia atas nama Allah mengolah, mengusahakan,

mengerjakan bumi dengan segala potensinya untuk memuliakan nama Tuhan dan kesejahteraan bersama.
Sebelum Allah menciptakan manusia, la terlebih dulu menjadikan dunia dengan segala isinya, tindakan Allah
ini dimaksudkan agar manusia dapat mempergunakan alam dan segala potensinya untuk kehidupan
manusia. Allah menyediakan bahan mentah dalam bentuk alam dan tugas manusia adalah
mengusahakan, mengolah dan mengerjakan sehingga berubah menjadi sesuatu yang baru dalam wujud
yang lain, misainya :
 Pohon-pohon, manusia membentuknya menjadi meja, rumah, alat musik dsb
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

 Air, manusia menggunakannya menjadi minuman, pembangkit tenaga listrik dsb Sumber-sumber alam
manusia menjadikannya alat ekektronik, mobil, bahan dsb
 Binatang-binatang, manusia menjadikannya jinak memelihara dan menjadikan alat untuk membajak
tanah.mengangkut barang, susunya diparah untuk kebutuhan makanan manusia dsb.
Di samping itu Tuhan juga memberi talenta atau karunia untuk manusia sehingga ada kesanggupan bekerja,
olehnya tanpa adanya usaha yang sungguh-sungguh manusia tidak akan dapat sesuatu yang baik (Kej 3:19,
Ams 6:6). Dunia ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah supaya manusia mau bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (II Tes 3: 10-12). Manusia yang melaksanakan tugas adalah manusia yang berprinsip
Kristiani yaitu kita bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, melainkan juga melayani dan
berkorban bagi orang lain, sebagaimana teladan yang diberikan Kristus untuk kita (Yoh 10:11-14).

5. Manusia sebagai MakhIuk Ekonomi


Haruslah dipahami manusia sebagai makluk ekonomi (homo economicus) adalah manusia kerja, dimana
kerja menjadi tujuan hidup. Apa yang dihasilkan dari kerjanya merupakan penentuan keberadaan dan
fungsi manusia. Manusia ditentukan oleh kebutuhan clan apa yang dibutuhkannya.
Dalam Kej 3 : 6 digambarkan bahwa manusia yang semata-mata berorientasi pada kebutuhan dan tidak
menempatkan kebutuhannya secara baik dalam hubungan dan tanggungjawab terhadap Allah adalah
manusia yang mamberontak terhadap Allah. Sebab kerja adalah alat dan bukan tujuan hidup, kerja adalah
alat untuk mencapai tujuan yakni menjadikan segala sesuatu "sesungguhnya amat baik"dimata Tuhan Bukan
berarti manusia tidak boleh bekerja dan bukan berarti manusia tidak boleh memiliki hasil kerja yang baik,
manusia bekerja dan memperoleh hasilnya untuk kesejahteraan manusia dan kehormatan nama Allah.
Manusia sebagai makhluk ekonomi adalah manusia yang mamperoleh sesuatu dan menjadikannya sebagai
alat bukan sebagai tuan sehingga diperbudak olehnya. Dalam Ef 4 : 28 "Orang yang mencuri
janganlah….baiklah ia bekerja keras.... supaya...... membagikannya kepada orang yang berkekurangan".
Jadi manusia sebagai makluk ekonomi bukan saja dituntut untuk bekerja tetapi serentak dengan itu ia pun
harus memberi kesempatan untuk orang lain menikmati hasil kerjanya.

V. EVALUASI:
1. Jelaskan hakikat manusia sebagai makhluk sosial
2. Jelaskan pola hidup manusia sebagai makhuk sosial
2. Jelaskan pengertian kebudayaan
3. Jelaskan Tugas kebudayaan
4. Jelaskan manusia sebagai makhluk ekonomi

VI. KEPUSTAKAAN
1. Brownlee, Malcolm, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993.
2. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika ,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991.

VII. KETERANGAN
Metode : Ceramah, Tanya jawab, diskusi.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 1. Manusia dan Alam Semesta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.3. Manusia sebagai Makhluk IPTEK
4. Bahan bacaan Alkitab : Yes. 2:4;
16 Kel. 1:8-14; Kej. 6:9-22; Kej. 11:4
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 1.2)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Merefleksikan tugas dan tanggung jawab penatalayanan manusia dalam relasinya dengan alam semesta

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menyebutkan pengertian ilmu pengetahuan
2. Menjelaskan pandangan Alkitab terhadap ilmu pengetahuan
3. Menyebutkan pengertian teknologi
2. Menjelaskan peranan umat Kristen dalam pengembangan teknologi
3. Menjelaskan dampak dari teknologi

IV. URAIAN MATERI


1. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah hasil usaha manusia dalam menyelidiki alam seisinya dengan cara
mengamati, menganalisa dan menggolong-golongkan secara teratur dan teliti, kemudian disimpulkan,
sehingga, merupakan metode yang berguna untuk mengungkap kebenaran-kebenaran baru sampai batas
kewenangannya. Ruang gerak ilmu pengatahuan sangat luas dengan berbagai macam jenis yang
dipelajari. Ilmu pengetahuan mempelajari mulai dari dunia angka-angka (matematika), persenyawaan
(kimia), astronomi (ilmu falak). Segi kehidupan manusia (sosiologi, antropologi), bentuk-bentuk hukum (ilmu
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

pengetahuan yuridis), ekonomi, estetik (keindahan), medis (kedokteran), paedagogik (pendidikan), teknik
sampai dunia agama-agama (teologi). Mengingat luasnya ruang gerak ilmu pengetahuan, maka jumlah
ilmu pengetahuan masih akan bertambah terus selama sejarah dunia ini masih berlangsung.

2. Pandangan Alkitab terhadap Ilmu Pengetahuan


Di atas telah clijelaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil penyelidikan manusia ciptaan Allah
yang dibekali dengan akal budi, sehingga memungkinkan manusia untuk melakukan tugas-tugas ilmu
pengetahuan. Dalam Amsal 1:7a menerangkan bahwa "Takut akan Tuhan adalah permulaan
pengetahuan". Hal ini mengandung pengertian bahwa semua penemuan ilmiah didasari oleh norma hormat
kepada Tuhan, sehingga di dalam menuntut ilmu pengetahuan, manusia tidak menyandarkan diri sendiri,
melainkan menyandarkan pengertiannya kepada Tuhan (band. Yesaya 40:13-14; Amsal 2:1-12; 15:33).
Karena Tuhan Sumber segala hikmat manusia (Yak. 1:5,6). Oleh karena itu, semua hasil penemuan ilmiah
harus bersumber pada norma-norma agama. Dengan kata lain agama harus dipakai sebagai tolak ukur,
baik tidaknya suatu penemuan ilmiah diberlakukan. Tuhanlah yang memberi akal budi kepada manusia,
sehingga, mampu menghasilkan penemuan-penemuan ilmiah seperti ilmu falak (bintang-bintang), ilmu
metereologi, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah dll. Olehnya itu, tidak ada alasan bagi kita untuk sombong dan
mendewakan ilmu pengetahuan, karena Tuhan sumber ilmu pengetahuan itu.

3. Pengertian Teknologi
Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani, techne dan logos. Kata techne pada mulanya
berhubungan dengan berbagai kecakapan, baik di bidang seni maupun di bidang pekerjaan tangan.
Namun di dalam perkembangannya kata techne diartikan sebagai kegiatan manusia yang terarah pada
perbuatan perkakas-perkakas atau alat-alat untuk membantu pekerjaan manusia. Sedangkan kata. logos
berarti ilmu (ilmu pengetahuan). Jadi teknologi dapat diartikan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan perbuatan perkakas atau alat-alat yang dapat digunakan untuk membantu
pekerjaan.
Sebenarnya teknologi baik yang sederhana maupun modern tidak terlepas dari usaha manusia untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Jika kita mempelajari sejarah manusia, tampaklah setiap bangsa memiliki
sejarah teknologi masing-masing, namun teknologi modern sebenamya dimulai pada zaman renaissance
pada abad ke-15 dan 16. Selanjutnya perkembangan teknologi ini akan terus bergerak maju dengan
hasil-hasil mengagumkan, namun juga menakutkan.

4. Peranan Umat Kristen dalam Pengembangan Teknologi


Sejak semula Tuhan melengkapi manusia dengan berbagai anugerah yang berbeda-beda. Tuhan
memangil kita supaya memenuhi panggilannya untuk ikut mengembangkan teknologi, seperti Tuhan
memanggil Raja Daud dan Salomo dalam mengembangkan teknologi bangsanya (I Raja 6:1-38; 8:14-21).
Orang yang melaksanakan panggilan teknologi sadar atau tidak telah memenuhi tugas yang tertulis dalam
Kejadian 1:28 tentang menaklukkan bumi. Perlu kita ingat bahwa, di dalam memenuhi panggilan teknologi,
kita terikat pada norma-norma Tuhan yaitu, tuntutan cinta kasih kepada Tuhan dan kepada manusia, karena
banyak hasil teknologi yang dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan, tetapi juga untuk berada di dalam
dosa ; misalnya:
- Film dapat digunakan untuk menghibur, tetapi serentak dengan itu dapat merusak moral manusia.
- Obat dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, tetapi juga dapat digunakan untuk membunuh
manusia.
Kita dipanggil untuk menggunakan teknologi sesuai dengan norma-norma yang ditentukan Tuhan, antara
lain : 17
- Mengembangkan teknologi pertanian untuk memberi makanan kepada penduduk yang berkembang
pesat
- Teknologi perikanan, untuk menggali kekayaan laut, demi kebutuhan manusia.
- Mengembangkan teknologi kedokteran untuk kebutuhan kesehatan manusia.
- Teknologi bangunan, untuk kemajuan-kemajuan manusia, dst.

5. Dampak dari Teknologi


Dari penjelasan-penjelasan di atas, teknologi bisa berdampak positif, tetapi juga berdampak negatif.
Katakanlah, dari teknologi ada kemajuan-kemajuan yang sangat baik, tetapi dari teknologi juga, ada
dampak kehancuran lingkungan. Kemajuan-kemajuan mana ditanggapi oleh manusia sebagai hasil usaha
manusia yang kemudian berpengaruh bagi kemajuan kehidupan dari manusia itu sendiri yang pada
akhirnya manusia~ mau atau tidak mau~ berusaha untuk memperoleh sesuatu dari teknologi, dengan cara
yang terpuji. Sedangkan, teknologi yang membuat kehancuran terjadi ketika manusia kehilangan control
dan arogansi diri, sehingga bertindak semena-mena tanpa mempertimbangkan kehidupan dan lingkungan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

itu sendiri. Akibatnya teknologi disalahgunakan. Misalnya, dengan teknologi orang mencuri data bahkan
milik orang lain, orang dapat membunuh dengan cara meracuni, merusak teknologi orang lain dengan
menyebarkan virus computer, dampak polusi lingkungan akibat pencemaran limbah kimiawi atau nuklir, dsb.

V. EVALUASI.
1. Sebutkan pengertian ilmu pengetahuan
2. Jelaskan pandangan Alkitab terhadap ilmu pengetahuan
3. Sebutkan pengertian teknologi
4. Jelaskan peranan umat Kristen dalam pengembangan teknologi
5. Jelaskan dampak dari teknologi

VI. KEPUSTAKAAN
1. Brownlee, Malcolm, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993.
2. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika ,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991.

VII. KETERANGAN
. Metode : Ceramah, Tanya-jawab, diskusi.

1. IDENTITAS
2. Materi Sajian : KONTEKS
3. Pokok Bahasan : 1. Manusia Dan Alam Semesta
4. Sub Pokok Bahasan : 1.4. Pandangan Orang Kristen tentang Dunia dan Tugas Orang Kristen
5. Bahan bacaan Alkitab : Kel. 9:29; Maz. 24:1; 89:12; 115:16; Kis. 7:49; 1 Kor. 10:26; Why.7:3; Hab.2:14; Mat.5: 13 –
16).
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
7. S e m e s t e r : I (Ganjil)

3. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Merefleksikan tugas dan tanggung jawab penatalayanan manusia dalam relasinya dengan alam semesta.

4. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan pengertian dunia menurut pandangan Kristiani
2. Menjelaskan pengertian orang Kristen sebagai eklesia (gereja) di tengah dunia
3. Menjelaskan tugas dan tanggung jawab orang Kristen di tengah dunia
4. Memberikan contoh aplikatif dari tugas orang Kristen di tengah dunia

5. URAIAN MATERI
1. Pertanyaan tentang “mengapa orang Kristen harus bekerja di dunia ?” sesungguhnya merupakan
pertanyaan substansial yang harus menjadi kesadaran bagi setiap orang percaya yang hidup dan
mendapat tanggung jawab dari Tuhan sang Pencipta dan Penebusnya untuk menjadi “bermakna” di
tengah dunia ini.
Beberapa pikiran mendasar yang melatari jawaban terhadap pertanyaan substansial tersebut, antara lain:
a. Hal-hal yang rohani tidaklah terpisah dari hal-hal yang jasmani:
Pengertian terhadap pernyataan 18 ini merujuk pada kebenaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu
itu baik dan suci. Artinya sejak semula, Allah sebagai sang Pencipta, menciptakan segala sesuatu dari
kekacauan menjadi keteraturan, dari kekosongan menjadi ketidakkosongan (menjadi ada). Oleh karena
itu pada hakikatnya, bumi serta segala isinya itu adalah milik Tuhan (Maz.24:1 dan 1 Kor.10:26). Dalam
kekristenan tidak ada hal yang keramat atau yang ilahi, kecuali Allah sendiri. Tidak ada pohon atau gua
atau benda pusaka atau manusia yang mempunyai kuasa ilahi, selain Allah sendiri. Namun dalam
perspektif Kristen, seluruh ciptaan itu dianggap baik dan suci, dalam pengertian bahwa semua ciptaan
itu patut dihargai, karena menunjukkan kuasa dan kebaikan Tuhan Penciptanya. Bagi kita orang Kristen,
tidak ada hari yang keramat, sebab setiap hari itu suci karena diberikan kepada kita oleh Tuhan. Tidak
ada imam atau pendeta atau manusia yang keramat, sebab setiap orang itu suci karena diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah. Segala sesuatu menandai Tuhan Penciptanya.

Seluruh bumi penuh dengan kemuliaan Allah. Alam semesta menjadi “Bait Suci tempat memuji Tuhan”.
Dalam agama Kristen, perpisahan antara yang suci dan yang sekuler dirombak (sebab Kristus telah mati
dan tabir bait Allah pun terbelah dua. Tidak ada lagi ruang yang biasa, ruang yang suci dan ruang
mahasuci. Kristus telah menebus dan menjembataninya. Lihat: Mat.27:51; Mrk.15:38) Tidak ada lagi hal
yang keramat, kecuali Allah sendiri..
Terkait dengan itu, pandangan Kristen tentang dunia menjadi penting untuk dicermati. Sebab pertanyaan
yang krusial adalah, “apakah betul dunia ini jahat sehingga orang Kristen perlu menjauhkan dirinya dari
dunia ? “
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

- Kejahatan dunia bukanlah kejahatan perorangan saja tetapi kejahatan struktural. Bukan saja individu-
individu berdosa, masyarakat sebagai dunia penuh dosa.
- Dalam PB, kata “dunia” tidak berlawanan dengan kata “agama”, melainkan pemimpin-pemimpin
agama menjadi wakil-wakil dunia yang terpenting (band.Yoh.8:23). Dunia yang tidak menerima Yesus
terutama terdiri dari orang-orang Farisi dan imam-imam.
- Walaupun dunia adalah musuh Tuhan, dunia itu dikasihi oleh Tuhan (Band. Yoh.3:16-17). Dunia
sesungguhnya merupakan tempat Allah bekerja untuk menyelamatkan dunia itu sendiri. Karena itu
dunia menjadi medan perang antara kuasa-kuasa jahat dan kuasa Allah, antara terang dan gelap,
keadilan dan ketidakadilan, hidup dan maut. Dalam perang sedemikian, kita tidak mungkin menjadi
netral, Kita harus menentukan sikap: memilih pihak benar atau salah, adil atau tidak adil, hidup atau
maut, maut/dosa atau Allah ?
Oleh karena itu, TUGAS ORANG KRISTEN BUKANLAH UNTUK MEMISAHKAN DIRI DARI DUNIA TETAPI
BERPERAN SERTA DALAM USAHA ALLAH UNTUK MENDATANGKAN KEADILAN, PERDAMAIAN DAN
KESEJAHTERAAN KE DALAM DUNIA, atau dalam bahasa Dewan Gereja-Gereja se-dunia dikenal dengan
trilogy: KPKc, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Kita harus hidup di dalam dunia, walaupun
kita (orang percaya) bukanlah berasal dari dunia (Yoh. 17:16). Firman Tuhan katakana, “Kita jangan
menjadi serupa dengan dunia ini (Rom.12:2), namun kita diutus ke dalam dunia oleh Kristus, sama
seperti Kristus diutus ke dalam dunia oleh Allah Bapa (Yoh.17

b. Hal-hal perorangan tidak terpisah dari hal-hal sosial:


Dalam Alkitab, hal-hal perorangan tidaklah terpisah dari hal-hal sosial. Hubungan dengan Tuhan tidaklah
terpisah dari kasih kepada sesama dan keadilan dalam masyarakat. Dalam agama Yahudi dan agama
Kristen, individu selalu dilihat dalam konteks sosialnya. Hubungan vertikal dengan Allah selalu menyangkut
hubungan horizontal dengan orang lain.Termasuk dalam pemaknaan ini adalah apa yang orang Kristen
mengerti tentang Ibadah dan juga pertobatan.
Bagi orang Kristen, apa yang dimengerti sebagai ibadah sesungguhnya adalah suatu wujud pengabdian
yang tidak terpisahkan antara relasi dengan Tuhan dan relasi dengan sesama atau persekutuan.
Sebagaimana yang diisyaratkan dengan hukum Kasih, maka hubungan dengan Allah dan sesama
tidaklah dalam konteks yang dipertentangkan melainkan konteks yang utuh terkait. Kita tidak mungkin
mengasihi Allah namun membenci sesama kita. Demikian pun makna pertobatan dalam sudut pandang
kekristenan sama sekali bukan semata dalam konteks legal-ritualistik (berkaitan dengan hukum-hukum
ibadah semata) melainkan bermakna pula sikap etika sosial. Artinya, seorang Kristen yang bertobat, ia
tidak hanya mengambil keputusan untuk berpaling mengikuti jalan dan kehendak Tuhan dan
memohonkan pertolongan Tuhan untuk mengubah kehidupannya, melainkan ia juga dipanggil untuk
berusaha mengubah dunia.
Dalam cerita tentang Zakheus (Luk.1:1-10), kita melihat pola pertobatan yang sejati. Seperti pemungut
cukai lainnya, Zakheus menipu dan memeras orang-orang (masyarakat). Ia tahu bahwa ia tidak dapat
mengikut Yesus dan hidup terus seperti dulu. Mengikut Yesus berarti menghentikan keterlibatannya dalam
ketidakadilan, dalam hal mana ia harus mengembalikan segala sesuatu yang diperasnya. Ia harus
menolong orang miskin. Dalam Zakheus kita melihat adanya dimensi pribadi dan dimensi sosial dalam
pertobatan yang sejati.

2. Orang percaya haruslah mewujudkan Kerajaan Allah di tengah kehidupannya..


Dalam Lukas 17:20-21, Yesus berkata bahwa “Kerajaan Allah ada di antara kamu.” Dari perspektif Kolose
1:27, Paulus mengisyaratkan bahwa Kerajaan Allah itu pada hakikatnya ada di dalam kita dan di antara kita
orang percaya (Yunani: Christos19
en humin; kata en humin dapat berarti di antara kamu dan di dalam kamu).
Begitu mulia dan berkuasanya setiap orang percaya, ketika menyadari bahwa sesungguhnya Kerajaan Allah
itu ada di dalam dirinya dan persekutuan (gereja).
Sehubungan dengan konsepsi gereja atau jemaat, maka seyogianya pula kita patut menyadari apa
sebetulnya yang Yesus maksudkan ketika dalam percakapan dengan para murid di Kaisarea Filipi Yesus
mengatakan bahwa “….Aku akan mendirikan eklesia-Ku (jemaat-Ku) dan alam maut tidak akan
menguasainya” (Matius 16 :18).

Pada saat Yesus mempergunakan kata eklesia, sesungguhnya kata tersebut sudah ada dan telah
dipergunakan di seluruh daerah-daerah jajahan Romawi. Jadi kata eklesia bukanlah suatu kata asing yang
mendadak turun dari sorga. Pada saat Yesus mengucapkan kata tersebut, sebetulnya pada murid telah
mengerti apa yang Yesus maksudkan dengan istilah ekklesia itu. Lazimnya kita memahami bahwa kata
eklesia (yang secara etimologis, berasal dari kata Yunani: eks yang berarti keluar dan kaleo yang berarti
memanggil; jadi eklesia artinya memanggil atau dipanggil keluar) berarti orang-orang yang dipanggil keluar
dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang (1 Pet.2:9). Namun ternyata eklesia memiliki pengertian yang
jauh lebih mendalam, yaitu, “sekelompok orang yang dipanggil keluar dari rakyat biasa dan dipanggil untuk
menyertai seorang raja dalam pemerintahannya”. Jadi, eklesia adalah semacam menteri-menteri
(kabinetnya) seorang raja. Karena eklesia umumnya tinggal di dalam sebuah kota, maka eklesia juga dapat
dikatakan sebagai sebuah dewan kota, yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk “menentukan nasib
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

dari kota dan warga kota tersebut !” Dengan kata lain, gereja atau orang percaya adalah sekelompok
orang yang berada di seputar seorang raja yang berkumpul untuk menentukan nasib dari kota dan
bangsanya.

3. Secara umum, ada dua ciri dari agama yang melatari sikap penganutnya terhadap dunia di mana mereka
hidup, yakni:
(1) agama yang menganjurkan agar manusia menghindari dunia, dan
(2) agama yang mendorong manusia untuk mengubah dan membentuk dunia.
Dalam agama yang menghindari dunia, manusia tidak berusaha menjadikan dirinya lebih baik dan lebih
bertanggung jawab. Manusia hanya ingin menghilangkan segala rintangan kepada persatuan dengan
yang ilahi. Ia hanya ingin menjadi bejana Allah, bukan alat Allah. Ia ingin dipenuhi oleh Allah bukan dipakai
oleh Allah.
Sementara agama (tentunya agama Kristen) yang mendorong manusia untuk mengubah dan membentuk
dunia, justru mengisyaratkan para pengikutnya untuk memperbaiki dunia. Keberadaan di dunia ini pada
dasarnya tidak jahat, tetapi baik karena diciptakan oleh Tuhan. Tentu ciptaan yang baik itu telah dinodai
oleh dosa (kejatuhan manusia ke dalam dosa). Namun, diptaan itu masih berharga dan perlu diperbaiki.
Bagi kekristenan, manusia tidak boleh menolak ciptaan Tuhan, melainkan mengikutsertakan dirinya dalam
usha Tuhan untuk menyelamatkannya.
Dalam agama Kristen, cita-cita manusia bukan menjadi bejana Allah melainkan menjadi alat Allah. Ia ingin
dipakai oleh Allah. Tentu ia (manusia percaya) juga ingin menjadi satu dengan Allah, ia ingin supaya Allah
hidup di dalam dia dan dia di dalam Allah (Gal.2:20). Namun keberadaan Allah di dalam dia tidak
menjadikan dia pasif, tetapi memberi kuasa dan bimbingan kepada perbuatannya (Lihat 2 Kor.4: 7-10).
Agama Kristen tidak melihat struktur masyarakat sebagai sesuatu yang harus diterima atau dijauhkan. Struktur
masyarakat dibentuk oleh manusia yang berdosa. Karena itu strktur itupun perlu diperbaiki. Manusia
dipanggil Allah untuk bekerja dalam masyarakat sambil berusaha menjadikan masyarakat lebih sesuai
dengan kehendak Allah, dengan terwujudnya kasih, keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan, di antara
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan hidupnya.

6. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian dunia menurut pandangan Kristiani !
2. Jelaskanlah pengertian orang Kristen sebagai eklesia (gereja) di tengah dunia !
3. Jelaskanlah alasan mengapa orang Kristen harus bekerja (menatalayani) dunia ini ?
4. Berikanlah contoh-contoh aplikatif dari tugas orang Kristen di tengah dunia

7. SUMBER KEPUSTAKAAN :
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Theologis Bagi Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat
(Malcolm Brownlee)

20

1. IDENTITAS
2. Materi Sajian : FIRMAN
3. Pokok Bahasan : 2. Allah Yang Mengampuni
4. Sub Pokok Bahasan : 2.1. Pengertian Dosa dan Akibatnya
5. Bahan bacaan Alkitab : Kejadian 3 : 1-24; 4 : 1-16; Galatia 5 : 16-26; Efesus 4 : 17-22.
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
7. Semester : I (Ganjil)

2. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami Allah sebagai Maha Pengampun atas segala dosa manusia.

3. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan pengertian dosa.
2. Menyebutkan sebab-sebab kejatuhan manusia dalam dosa.
3. Menjelaskan akibat dosa bagi hubungannya dengan Allah, sesama dan lingkungan.
4. Memberikan contoh tentang akibat-akibat dosa bagi hubungannya dengan Allah, sesama dan lingkungan.
5. Menjelaskan sikap Allah terhadap orang berdosa.

4. URAIAN MATERI
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

1. Pengertian dosa.
Dalam Perjanjian Lama, dosa dimengerti sebagai "ketidaktaatan" yang diungkapkan melalui istilah
pesya (pemberontakan), khatta (pelanggaran) dan awon (perbuatan yang tidak senonoh). Dalam
Perjanjian Baru, dosa juga diartikan sebagai "ketidaktaatan" (Roma 5:19). Ketidaktaatan ini tidak hanya
melanggar hak dan hukum Allah (I Yohanes 3:4), tetapi juga melawan Allah sendiri. Bahasa Yunani yang
sering dipakai daiam menjelaskan pengertian dosa adalah anomien, yang berarti perbuatan tanpa kasih (I
Yohanes 4:8) atau kejahatan (I Yohanes 5:17). Paulus menyebut orang berdosa sebagai 'musuh' dan
'pembenci Allah' (Kolose 1:2; Roma 1:30). Dengan demikian, manusia sebagai orang berdosa tidak hanya
melanggar hukum Allah, tetapi juga ingin merebut takhta Allah; manusia tidak hanya melupakan perintah
Allah, tetapi juga melewati perbatasan antara Allah dengan ciptaanNya. Oleh karena itu Paulus tidak hanya
menjelaskan hakikat dosa dengan istilah "ketidakpatuhan" (Parakoe, Roma 5:19), tetapi juga sebagai
"keinginan yang tidak benar" (epithumia, Roma 7:7). Dosa adalah kejahatan dalam segala bentuknya.
Alkitab juga menegaskan bahwa dosa dimulai dari penyalahgunaan kebebasan yang diberikan Allah
kepada manusia yang dilengkapi dengan kehendak.
Dari segi sifat dan keadaannya, dosa dapat dinampakkan dalam bentuk dosa pribadi, tetapi juga
dosa kolektif. Dosa pribadi merupakan dosa individu atau perorangan. Sedangkan dosa kolektif adalah dosa
yang dilakukan secara bersama-sama (lebih dari satu orang). Pada kenyataannya, dosa kolektif lebih sadis
atau kejam dan lebih berani dari pada dosa pribadi. Dalam teologi protestan, tidak ada pemisahan atau
perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. Dosa tetaplah dosa.

2. Sebab-sebab manusia jatuh ke dalam dosa.


Dari aspek pengertian dosa seperti dijelaskan di atas, maka dapat diuraikan sebab-sebab manusia jatuh ke
dalam dosa, antara lain sebagai berikut :
- Ketidakpercayaan yang sungguh/benar dan konsisiten kepada Allah. Hal ini berhubungan dengan sikap
manusia yang 'mendua' dalam sikap imannya kepada Allah. Pada satu sisi, mengaku dan percaya
kepada Allah, tetapi pada sisi yang lain tidak mengandalkan Allah, melainkan kuasa-kuasa atau
kekuatan-kekuatan (ilah) lain di luar Allah. Manusia tidak percaya dan berharap kepada Allah,
menanggapi kasih dan ketetapannya. secara benar, sebaliknya mereka menurunkan Allah dari
takhtaNya dan meninggikan diri mereka.
- Ketidaktaatan manusia kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam sikap manusia yang memberontak
terhadap kedaulatan dan atau kekuasaan Allah sebagai Sang Pencipta. Manusia yang hanya ciptaan
ingin menjadikan dirinya sama seperti Allah Sang Pencipta. Manusia tidak menaati perintah dan
ketetapan Allah, melainkan menuruti kehendaknya sendiri.
- Tidak mau mengakui Allah sebagai Penguasa mutlak atas segala ciptaan. Hal ini dinyatakan dalam sikap
manusia (Adam dan Hawa) yang mencurigai Allah sebagai pribadi yang mau berkuasa sendiri. Manusia
tidak mau menerima hal tersebut, sehingga ia (manusia) terjebak masuk dalam perangkap iblis
(bandingkan: ular, dalam aspek penceritaan kisah kejatuhan manusia dalam dosa, Kejadian 3).
- Kesalahan dalam menterjemahkan arti kebebasan yang diberikan Allah. Hal ini dinampakkan dalam sikap
manusia yang arogan, brutal dan sadis terhadap sesama manusia maupun kepada alam lingkungan dan
atau makhluk ciptaan yang lain. Manusia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran
Allah di dalam Alkitab dan norma-norma kehidupan yang baik dalam masyarakat.

3. Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, antara lain: hubungan antara manusia dengan
Allah menjadi terputus; Allah menjadikan dunia yang sebetulnya 'damai' berubah menjadi 'tantangan' bagi
manusia; Manusia kehilangan kemuliaannya
21 dihadapan Allah.
Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan sesama, antara lain: relasi sosial antara manusia dengan
sesamanya selalu diwarnai dengan sikap yang tidak manusiawi (brutal, arogan dan sadis); hubungan
manusia dengan sesamanya dibangun atas dasar nafsu kemanusiaan yang naif dan jasmaniah semata
(membunuh, menghancurkan, menindas, memanipulasi kelemahan orang lain untuk kepentingan diri sendiri,
menguasai, hanya ingin dilayani, dsb); relasi antar sesama manusia berjalan tidak seimbang, dan bahkan
terputus karena egoisme yang berlebihan dalam diri manusia.

Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan lingkungan adalah manusia memiliki sikap niretik dan
atau nirreligi (tanpa etika dan tanpa agama) terhadap alam lingkungan. Hal ini nampak dalam sikap
manusia yang mengeksploitasi, mendominasi dan memanipulasi alam untuk kepentingan manusia, tanpa
mempedulikan hakikat kehidupan yang ada pada alam lingkungan itu sendiri; Hubungan manusia dengan
alam hanyalah hubungan subyek-obyek, artinya alam hanya memiliki manfaat sebagai alat (instrument)
pemuasan hidup manusia; Manusia kehilangan jati diri sebagai mandataris Allah yang harus menjaga dan
memelihara alam lingkungan ciptaan Allah; Manusia kehilangan kesadarannya, bahwa alam lingkungan
bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa alam lingkungan.

4. Sikap Allah terhadap orang berdosa.


Sikap Allah terhadap orang berdosa adalah pada satu sisi, Allah murka terhadap manusia sehingga
dunia ciptaanNya yang damai dan membuka harapan hidup yang lebih nyaman, diubah menjadi lahan
gumulan yang penuh dengan tantangan; dan di sisi yang lain, Allah tetap menunjukan eksistensi diriNya
sebagai Yang Maha Pengasih, dengan memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat supaya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

hidup. Hal ini dinyatakan dalam sikap Allah yang bersedia menyapa 'kembali' manusia, setelah manusia
(Adam dan Hawa) melakukan perbuatan yang melanggar kehendak Allah.

5. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian dosa.
2. Sebutkan sebab-sebab kejatuhan manusia kedalam dosa.
3. Jelaskan akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
4. Sebutkan contoh akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
5. Jelaskan sikap Allah terhadap orang berdosa.

6. SUMBER KEPUSTAKAAN
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 2. Allah Yang Mengampuni
3. Sub Pokok Bahasan : 2.2. Pengampunan Allah.
4. Bahan bacaan Alkitab : Yes. I:18-20; Yoh. 3:16; 1 Yoh. 1:5-10.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami Allah sebagai Maha Pengampun atas segala dosa manusia.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menguraikan cara yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
2. Menjelaskan cara Allah dalarn mengampuni manusia.
3. Menjelaskan tujuan Allah mengampuni manusia.
4. Memberikan contoh sikap hidup orang yang memahami “dosanya diampuni oleh Allah Maha Pengampun”
IV. URAIAN MATERI :
1. Cara manusia berjuang untuk meraih pengampunan dari Allah.
Dalam tradisi Perjanjian Lama, Bangsa Israel menggunakan media persembahan korban untuk meraih
pengampunan dari Allah atas seluruh dosa mereka. Bentuk-bentuk persembahan adalah hasil pertanian dan
atau hasil peternakan mereka. Misalnya, cerita tentang Kain dan Habel dalam kejadian 4 & 5.
Tradisi semacam ini juga dimiliki oleh berbagai suku bangsa yang ada di dunia ini. Bahwa persembahan
korban selalu dipahami sebagai cara untuk menemukan kembali simpati dan belaskasihan Allah, sekaligus
menghindari hukuman Allah (ilah,
22 zat yang maha tinggi dan bersifat supra-natural) atas diri mereka, baik
pribadi maupun persekutuan keluarga dan atau suku.
Dalam Perjanjian Baru, kecenderungan semacam ini pun masih ada. Keselamatan hidup selalu dipahami,
tergantung pada berapa banyak/besar korban persembahan yang diberikan. Yesus selalu berhadapan
dengan kenyataan seperti itu, dan kemudian menghadapkan perumpamaan-perumpamaan untuk
menjernihkan pemahaman mereka tentang korban persembahan. Misalnya, cerita tentang persembahan
perempuan janda dalam Lukas 21.

2. Cara Allah dalam mewujudkan pengampunan bagi manusia.


Ternyata bahwa semua cara yang dilakukan oleh manusia 'terbatas' dan tidak bisa dijadikan sebagai
media pemulihan hubungan Allah dan manusia secara permanen. Sangat tepat, jika kita memahami bahwa
Allah tidak bisa dibujuk atau dirayu dengan apa yang dimiliki oleh manusia. Terhadap hal pengampunan
dan pemulihan kembali relasi antara Allah dan manusia, Allah kembali tampil sebagai inisiator (atau yang
memulai prakarsa).
Prakarsa Allah melahirkan resiko yang sangat luar biasa dan menggemparkan dunia, karena Allah
sendiri berinisiatif untuk turun dari takhtaNya dan menyapa manusia yang berdosa. Sikap Allah ini diwujudkan
dalam diri Yesus, yang lahir, berkarya, menderita dan mati, serta bangkit bagi keselamatan hidup orang
percaya (Yohanes 3:16).
Yesus tampil sebagai Imam Agung atau Imam Besar (lbrani 4:14-5:10). Predikat sebagai Imam Agung
layak disandang Yesus karena Ia rela mati sebagai korban tebusan bagi seisi dunia. Berbeda dengan para
imam pada zaman Perjanjian Lama dan ahli Torat pada zaman Perjanjian Baru yang 'hanya' berfungsi untuk
mempersembahkan korban persembahan umat.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3. Tujuan Allah mengampuni manusia.


Allah menunjukkan sikap seperti ini, semata-mata karena Allah mengenal manusia yang terbatas
karena kefanaannya sebagai ciptaan yang telah jatuh dalam dosa. Allah menunjukkan kasihNya karena Ia
tidak ingin melihat manusia mati dalam kesia-siaan karena dosa. Dengan kata lain, tujuan Allah mengampuni
manusia, semata-mata karena Allah mengasihi manusia dan dunia ini; dan supaya seisi dunia, teristimewa
manusia, memahami dan mengenal Allah sebagai Pencipta, Pemberi dan Sumber Kehidupan, meskipun
kehidupan AnakNya sendiri dikorbankan.
Pengampunan Allah yang dilakukan kepada manusia yang berdosa, juga bertujuan untuk
membangun orientasi atau pengharapan hidup ke depan yang lebih baik, dalam hal mana manusia saling
menghargai kehidupan sesama dan makhluk ciptaan yang lain. Manusia tidak mesti saling mernbunuh
karena Allah yang menciptakan dunia adalah Allah yang berhak atas hidup dan mati segala makhluk.

4. Sikap manusia (orang percaya) dalam menanggapi anugerah pengampunan dari Allah.
Ada beberapa sikap yang harus dinampakkan oleh orang percaya sebagai respon terhadap Allah yang
mengampuni, antara lain :
- Menaruh atau mendasarkan iman dan kepercayaan yang sungguh-sungguh bahwa Yesus Kristus adalah
Allah Penyelamat seluruh kehidupan dunia.
- Manusia percaya, harus meletakkan dasar pemahaman yang kuat bagi dirinya, bahwa pengorbanan
Yesus Kristus adalah cara Allah yang sangat ajaib dan dahsyat bagi keselamatan hidupnya. Dengan kata
lain, manusia percaya harus jujur mengatakan bahwa karena pengorbanan Yesus ia diampuni dan
diselamatkan dari dosa dan kematian yang sia-sia.
- Tujuan Allah mengampuni dosa manusia dan menyelamatkannya dalam wujud pengorbanan Yesus,
sekaligus menegaskan bahwa manusia harus saling mengampuni dan atau memaafkan kesalahan,
kealpaan dan kelalaian orang lain, karena Allah Maha Pengampun telah menunjukkan caraNya yang
luar biasa dalam realitas kematian Yesus sebagai jalan pengampunan dan penyelamatan manusia.
- Akhirnya manusia, tanpa harus dengan berbagai macam pertimbangan, wajib menyerahkan hidupnya
kepada Allah sebagai wujud penghargaannya atas pengorbanan Kristus di Salib; sekaligus menyatakan
kasihnya kepada sesama manusia dan alam lingkungan melalui sikap ibadahnya secara ritual dan sosial.

V. EVALUASI
1. Uraikan cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
2. Jelaskan cara Allah dalam mengampuni manusia.
3. Jeiaskan tujuan Allah mengampuni manusia.
4. Berikan contoh hidup orang yang memahami dosanya diampuni oleh Allah Maha Pengampun.

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN


1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Dogmatika Masa Kini (van Niftrik & B.J. Bolland);
Doktrin Alkitab (William W. Menzies & Stanley M. Horton); Etika Kristen Kapita Selekta (J. Verkuyl); Iman Kristen
(Harun Hadiwijono); Pendamaian (Andreas A. Yewangoe).
1. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).

VII. KETERANGAN
Kegiatan ekstra/tugas rumah: mencari bentuk-bentuk tradisi masyarakat suku/Iokal (daerah asal katekisan)
yang menunjukkan adanya cara masyarakat
23 untuk mencari pendamaian Allah bagi mereka.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Mempersatukan
3. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Arti dan Makna Panggilan Allah
4. Bahan bacaan Alkitab : Yunus 1; Yer.4: 1-10; 12:1-9; 4:19)
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Memahami dan menghayati Allah yang memanggil dan mempersatukan umat

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Menjelaskan arti panggilan Allah
2. Menjelaskan makna panggilan Allah yang mempersatukan
3. Memberikan refleksi terhadap panggilan Allah dalam kaitannya dengan peran orang percaya

IV. URAIAN MATERI :


Dalam kekristenan, “panggilan” memiliki hubungan dengan “pilihan” dan “pengutusan”. Artinya, kalau kita
(orang percaya) dipanggil (oleh Tuhan), itu artinya kita dipilih untuk dipanggil dan diutus.
Dalam Yesaya 41 -43, terungkap firman Tuhan kepada umat Israel, antara lain:
“….hai Israel, hambaKu, hai Yakub, yang telah Kupilih…Aku berkata kepadamu…Aku telah memilih engkau dan
tidak menolak engkau…Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan,….Janganlah
takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini
kepunyaan-Ku…Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau….”
Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa orang atau umat yang dipanggil adalah mereka yang memang
dipilih. Dan demi pilihan dan panggilan tersebut, maka Tuhan melakukan karya penebusan dan penyelamatan.
Semuanya ini dilakukan karena pihak yang ditebus itu adalah pihak yang dilihat sungguh berharga dan mulia.
Dan pihak yang menebus (Tuhan) sungguh mengasihi pihak yang ditebus. Tuhan begitu mengasihi kita karena
kita bukanlah suatu benda atau bilangan atau nomor apapun yang sekadar diperhitungkan sebagai suatu
obyek, melainkan sesungguhnya kita ditetapkan sebagai suatu subyek. Dengan demikian pilihan dan
panggilan itu bukanlah berhenti pada titik pilihan dan panggilan, melainkan kita dipilih dan dipanggil karena
adanya suatu tanggung jawab pengutusan. Artinya, kita yang dipilih, dipanggil dan diutus, adalah pribadi dan
persekutuan yang diberikan peran dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan. Sesuatu obyek tidak
memiliki tanggung jawab, sementara sesuatu yang mendapat posisi dan peran sebagai subyek, kepadanya
dimintakan pertanggungjawaban atas mandat yang dipercayakan kepadanya.

Sebetulnya sejak awalnya manusia pada umumnya telah menerima mandat dari Tuhan Sang Pencipta. Ketika
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka ungkapan tersebut telah mengisyaratkan suatu
makna bahwa antara Allah dan manusia terdapat hubungan atau relasi yang khusus, yakni hubungan dalam
panggilan manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya,
hanya manusia yang mendapat tugas untuk “mencerminkan” keberadaan Allah di dunia. Artinya, manusia
dipanggil untuk hidup dan berlaku sama seperti Allah. Maksudnya, manusia terpanggil untuk hidup dan berlaku
secara bertanggung jawab – terhadap makhluk-makhluk yang lain.
Manusia mendapat mandat / kewenangan bukan uintuk menghancurkan atau mengeksploitasi makhluk
ciptaan lainnya melainkan sama seperti yang dilakukan oleh Allah, manusia terpanggil untuk memelihara,
melindungi dan menyelamatkan makhluk-makhluk
24 itu.

Secara khusus, panggilan Allah kepada orang percaya, sesungguhnya merupakan suatu anugerah yang
sangat besar dan khusus. Artinya, seperti yang diungkapkan oleh teolog Karl Barth, apabila dilihat dari sudut
kemampuan Allah, kita ini (orang percaya) tidak ada apa-apanya. Namun bila dilihat dari sudut kemauan
Allah, maka kita (orang percaya) menjadi sesuatu yang berharga. Itulah yang diisyaratkan dalam 1 Petrus 2:10:
Kamu yang dahulu bukan umat Allah tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak
dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.

Dalam kaitannya pula dengan gereja sebagai sekelompok orang percaya yang dipanggil dan sekaligus pula
diutus ke dalam dunia, maka Allah mengaruniakan talenta/bakat dan kemampuan, sehingga semua unsur dari
tubuh Kristus dapat berfungsi sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing. Karena itu, Alkitab
mengungkapkan tentang adanya karunia Roh (bandingkan Roma 12 : 7; 1 Kor.12: 7, 28-29) yang dipercayakan
secara khusus bukan untuk kepentingan dirinya melainkan demi membangun gereja sebagai Tubuh Kristus
pada satu pihak (secara ke dalam) dan mewujudkan panggilan misionernya di tengah konteks kehadirannya
/ lingkungan di mana orang percaya itu berada (menggarami dan menerangi).

Panggilan Allah itu pada hakikatnya itu mengarah pada diri seseorang. Allah tidak memanggil suatu kelompok.
Ia memanggil setiap orang secara pribadi untuk membentuk suatu kelompok. Dengan demikian panggilan itu
harus disambut secara pribadi juga; dan kita tidak dapat memberikan seseorang sebagai pengganti untuk
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

menerima atau menjawab panggilan tersebut. Allah memanggil Abraham “seorang diri” (Yes.51:2); Allah
memanggil Yunus secara pribadi. Namun panggilan Allah kepada Abraham maupun Yunus bermuara bagi
kepentingan orang banyak. Abraham menjadi Bapa segala orang beriman. Yunus yang akhirnya dikembalikan
Tuhan ke jalan panggilan dan pengutusannya, memungkinkan bangsa Niniwe bertobat dan diselamatkan.
Dengan demikian, panggilan Allah itu bermakna demi mewujudkan suatu persekutuan internal (orang percaya)
maupun eksternal (dengan umat lainnya bahkan dengan lingkungan hidup ciptaan Tuhan lainnya).

Orang percaya terpanggil untuk berkarya secara bermutu dan bermakna di tengah keseharian hidup dan
pekerjaannya. Dalam bahasa Inggris ada beberapa terjemahan untuk kata kerja atau pekerjaan, antara lain:
work, job, labor, occupation dan vocation. Secara teologis, kerja atau pekerjaan bagi seorang percaya adalah
suatu suatu panggilan. Pengakuan bahwa tiap jenis pekerjaan yang menopang kehidupan adalah merupakan
panggilan Tuhan, secara tidak langsung tersirat dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Inggris pekerjaan
disebut vocation yang akarnya berasal dari kata Latin vocation/vocationem (= memanggil). Bahasa Belanda,
beroep (= pekerjaan) berasal dari kata roep (= memanggil). Begitu juga dalam bahasa Jerman, Beruf
(=pekerjaan) dan Berufung (= penugasan) berasal dari kata ruf (= memanggil).
Karena itu, kelirulah kita bila menganggap bahwa wujud pekerjaan dari panggilan itu hanyalah menjadi
pendeta misalnya. Sebab semua orang percaya, apa pun pekerjaannya, adalah hamba Tuhan (Lihat
Rom.6:22).
Jadi, tanpa kecual setiap orang mendapat panggilan Tuhan. Yang penting, panggilan itu kita jalankan dengan
taat dan gembira. Panggilan itu berbeda-beda, tetapi tiap panggilan itu memiliki keluhuran dan
kemanfaatannya masing-masing. Kepelbagaian panggilan bukanlah soal tinggi atau rendah melainkan soal
saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Reformator gereja (Calvin) sendiri menekankan bahwa tiap jenis pekerjaan adalah penetapan dan panggilan
dari Allah. Dalam bukunya Institutio Pengajaran Agama Kristen, Calvin menulis: “ Tuhan menetapkan tugas-
tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu
dinamakanNya panggilan….Tidak ada pekerjaan apa pun betapapun kecil dan hinanya yang tidak akan
bersinar-sinar dan dinilai berharga di mata Tuhan….” Dalam teologi-iturgi, panggilan kerja itu adalah suatu
ibadah. Bandingkan asal-muasal kata ibadah (Arab/Ibrani/Semitis): Abodah, yang memiliki akar kata abd =>
abdi => pengabdian. Demikian juga kata Liturgi dari kata Yunani Laos (Umat/Masyarakat) dan Ergon
(perbuatan), yang merujuk pada pengertian perbuatan yang dilakukan demi kepentingan orang
banyak/rakyat.

Setiap orang Kristen terpanggil untuk bekerja di dalam dunia ini, karena pada prinsipnya:
(1) Hal-hal yang rohani memang berbeda dengan hal-hal jasmani namun tidak dapat dilepaspisahkan.
Pernyataan ini sangat mendasar dan imani, karena Allah menciptakan segala sesuatu itu baik dan suci.
Tuhan menciptakan baik roh dan jiwa, maupun tubuh dan benda-benda. Bumi serta segala isinya adalah
milik Tuhan ! (1 Kor.10:26). Dalam agama Kristen tidak ada hal yang keramat atau ilahi kecuali Allah sendiri.
Tidak ada pohon atau benda pusaka. Tidak ada hari atau waktu keramat, karena setiap hari itu suci karena
dianugerahkan oleh Tuhan.
Oleh karena itu setiap orang percaya terpanggil untuk menggunakan “ruang dan waktu” yang diciptakan
dan dianugerahkan Tuhan kepada kita untuk kemuliaan namaNya ( Roma 11:36).
(2) Hal-hal yang perorangan tidak terpisah dari hal-hal sosial.
Hubungan kita dengan Allah tidak terpisah dari kasih kepada sesama dan keadilan dalam masyarakat.
Hubungan vertikal dengan Allah selalu menyangkut hubungan horisontal dengan orang lain. Karena itu
SALIB menjadi tanda dan bukti 25 dari karya penyelamatan Allah dalam Kristus. Karena salib itu sendiri
terbentuk dari yang vertikal dengan yang horisontal. Di salib itulah, pendamaian terwujud dalam relasi
manusia dengan Allah dan dengan sesama dan lingkungan hidupnya.

Dengan demikian umat percaya terpanggil bukan untuk menghindari atau melarikan diri dari dunia melainkan
terpanggil untuk membentuk atau membarui dunia di mana ia berada. Tentu saja dunia yang telah diciptakan
oleh Tuhan dengan baik itu telah dinodai oleh dosa (Kejadian 1 dan 3). Namun ciptaan itu masih berharga dan
perlu diperbaiki. Orang percaya harus menjadi bejana tetapi sekaligus menjadi pula alat bagi Allah. Menjadi
bejana saja yang hanya ingin dipenuhi oleh Allah, tanpa menjadi alat Allah untuk dipakai olehNya, kapan dan
di mana saja, maka orang Kristen akan menjadi egois dan pincang. Sebaliknya, bila ia mau dipakai oleh Allah
tetapi enggan untuk “diisi dan dikuasai oleh Allah” maka ia akan menjagi seperti mobil tanpa besin, tidak
bergerak. Atau parang yang tumpul.

V. EVALUASI

1. Jelaskanlah pengertian panggilan dalam hubungannya dengan


a. Kata “pilihan” dan “pengutusan”
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

b. Istilah vocation, ibadah, liturgi


c. Ungkapan “Kemauan” dan “Kemampuan” Allah seperti yang dikemukakan oleh Karl Barth
2. Kemukakanlah makna tentang ungkapan “panggilan Allah yang mempersatukan”
3. Sebutkanlah dan diskusikanlah contoh-contoh wujud dari panggilan dan pengutusan orang percaya dalam
kehidupan sesehari

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :

4. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
5. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
6. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
7. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
8. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
9. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Mempersatukan
3. Sub Pokok Bahasan : 3.2. Panggilan untuk Menjadi Satu
4. Bahan bacaan Alkitab : Yohanes 17 : 21
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Memahami dan menghayati Allah yang memanggil dan mempersatukan umat

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Menjelaskan arti panggilan Allah dalam konteks untuk menjadi satu
2. Menjelaskan makna menjadi “satu” selaku Tubuh Kristus di tengah dunia semesta
3. Memberikan refleksi tentang panggilan untuk menjadi satu selaku gereja Tuhan

IV. URAIAN MATERI :

Kekristenan mengisyaratkan bahwa “menjadi satu itu merupakan suatu panggilan dan keterpanggilan itu
dimaksudkan untuk mewujudkan 26 pula suatu kesatuan” yang berdasar dan berpola dari kesatuan (keesaan
Allah sendiri). Dasar alkitabiah untuk kesatuan gereja Tuhan berawal dari doa Yesus, “….Supaya mereka semua
menjadi satu, sama seperti ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau (Yoh.17:21).” Dalam Doa tersebut
(khususnya dalam konteks ayat 20-23), diisyaratkan bahwa panggilan gereja untuk membangun dan
mewujudkan kesatuan dan persatuan adalah untuk menjadi suatu kesaksian (bukti) bagi dunia. Yesus sadar
betul bahwa titik rawan para muridNya adalah pada ketidakbersatuan. Yesus telah mencium aroma
kerawanan itu ketika dalam perjalananNya ke Kapernaum. Di situ keduabelas murid bertikai. Dan pokok
pertikaian mereka adalah mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka (Mrk.9:35). Pertengkaran
tentang jabatan / posisi /kedudukan ternyata tidak mampu diselesaikan. Bahkan bisa saja hal tersebut
berkembang menjadi kebencian, dan iri hati. Ambisi, egoisme dan arogansi masing-masing lebih menguasai
sikap, hati dan pemikiran seseorang, termasuk pada murid Tuhan. Karena itu Yesus melafaskan doaNya secara
khusus, “Supaya mereka semua menjadi satu …!” Adapun kesatuan dan persatuan tersebut tersebut
dimaksudkan berdasar dan sekaligus berpola pada Allah Bapa-Anak-Roh Kudus.
Rasul Paulus sendiri menyadari idealisme terhadap pentingnya kesatuan gereja tersebut, sehingga kepada
jemaat di Korintus yang diperhadapkan dengan perpecahan, Paulus berkata, “Tetapi aku menasihatkan kamu,
saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan
di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (1 Kor.1:10). Gereja, sebagai
Tubuh Kristus tidak dapat menghindari diri dari panggilan untuk mewujudkan keesaan gereja. Tentunya ada
pertanyaan kritis: “Mengapa ada banyak sekali aliran atau denominasi dalam gereja ?”

Sekilas sejarahnya, para bapa gereja sendiri mula-mula telah mencoba untuk mempertahankan kesatuan itu
dengan memusatkan perhatian orang kIrsten kepada Injil rasul-rasul dan ajarannya. Di luar sejumlah
perpecahan kecil, gereja tetap bersatu sepanjang seribu tahun pertama. Perpecahan besar (gereja) pertama
terjadi pada tahun 1054 ketika gereja Timur yang berpusat di Konstantinopel, memisahkan diri dari gereja Barat
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

yang berpusat di Roma. Perpecahan tersebut disebabkan oleh penambahan frase Pengakuan Iman Nicea
oleh Paus. Isu yang menyebabkan perpecahan ini bukan hanya bersifat doktrinal, tetapi soal siapakah yang
memiliki otoritas untuk mengubahnya. Perpecahan gereja Barat berlanjut menjadi Katolik Roma dan berbagai
jenis kelompok Protestan dalam Reformasi abad keenam belas. Sebagian besar perpecahan itu karena
penekanan doktrin yang berlebihan, dan di manakah otoritas untuk menetapkan doktrin itu dapat ditemukan.
Beberapa kelompok non-Roma mencoba tetap bertahan di dalam gereja Katolik Roma, namun mengalami
pengucilan. Kelompok lainnya, yang lebih radikal, memisahkan diri dari setiap orang, bahkan dari kelompok-
kelompok Protestan lainnya. Sepanjang berabad-abad berikutnya, aliran Protestan terus terpecah-pecah
menjadi beratus-ratus kelompok.
Selanjutnya, pada abad kesembilan belas, sejumlah orang Kristen tumbuh dengan ketidakpuasaan mengenai
banyaknya aliran/denominasi. Orang-orang Kristen Amerika dari berbagai jenis denominasi yang luas mulai
bekerja sama dalam pekerjaan misi dan upaya memasyarakatkan Alkitab. Gerakan ekumenikal modern
dimulai pada tahun 1910 pada sebuah konferensi penginjilan di Edinburg, Skotlandia, yang menjadi cikal-bakal
terbentuknya Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC) pada tahun1948.

Gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam PGI merumuskan konsep dasar keesaan gerejawi secara
mendasar dan relevan dengan pergumulan gereja Tuhan di Indonesia. Rumusan tersebut antara lain:
(1) Bahwa mewujudnyatakan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia nampaknya seperti suatu kemustahilan.
Namun diakui bahwa semakin dalam kemustahilan itu disadari, semakin dalam pula rasa heran dan syukur
atas kasih dan kuasa TUHAN yang telah sudi melakukan yang mustahil itu menjadi mungkin; Sebab diyakini
bahwa TUHAN sedang terus melakukan pekerjaan menyatukan gereja TUHAN demi persatuan dan
kesatuan umat manusia dengan melawan segala macam bentuk kekerasan yang memecah belah dan
merusak manusia, agar gereja dan dunia menjadi tempat kediaman TUHAN dan tempat kediaman
manusia.
(2) Diakui bahwa semakin gereja mendekat kepada TUHAN, semakin gereja mendekat satu kepada yang lain;
semakin gereja berjumpa dengan TUHAN, semakin gereja berjumpa satu dengan yang lain; semakin gereja
menyatu di dalam TUHAN, semakin gereja menyatu satu di dalam yang lain. Dan semakin gereja
bergantung pada TUHAN dalam kesatuan itu, semakin gereja mandiri dan berdaya, sehingga gereja
semakin dimampukan untuk saling mengakui dan saling menerima, saling menopang dan saling
melengkapi.
(3) Gereja percaya dan memahami bahwa keesaan di dalam TUHAN itu adalah kesatuan yang bersumber
pada hakikat Allah di dalam Kristus, yaitu keesaan yang secara hakiki mengandung kemajemukan dan
kesaksian demi dunia, sebagaimana nyata dalam doa Tuhan Yesus (Yoh.17:23).
(4) Karena keesaan gereja bersumber pada hakikat Allah dalam Kristus, gereja percaya dan memahami
bahwa keesaan gereja bukan kesatuan yang seragam yang menyesakkan dan mematikan individualitas
dan keunikan, tetapi kesatuan yang majemuk yang memberi ruang kebebeasan dan kehidupan pada
semua makhluk.
(5) Gereja percaya dan mengalami bahwa Yesus Kristus yang sama telah menjadi Tuhan yang membudaya
dan diterima akrab dalam setiap komunitas orang percaya dengan kebudayaannya masing-masing,
sehingga Tuhan Yesus Kristus menjadi pengesa dari suatu keesaan yang sangat majemuk yang merangkum
semua manusia dengan segala kekayaan budayanya. Oleh karena itu, gereja menamakan keesaan
tersebut sebagai Oikoumene Gerejawi (OG) yang adalah GKYE (Gereja Kristen yang Esa di Indonesia).
(6) Di dalam kesatuan tersebut, gereja terpanggil untuk mempersembahkan semua individualitas dan ciri khas
gereja masing-masing, dan semua perbedaan ras, etnis, budaya, ajaran, denominasi, struktural gereja,
kepada Tuhan Yesus Kristus, agar mendapatkan tempat dan fungsinya yang benar, yaitu sebagai elemen-
elemen kemajemukan yang membentuk,
27 menghidupkan, dan memperkaya kesatuan, dan tidak menjadi
prinsip primordial yang eksklusif dan memecah.
(7) Gereja mengaku bahwa setiap ketertutupan dan perpecahan adalah pengingkaran terhadap Tuhan
Yesus sebagai satu-satunya dasar keesaan gereja dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain, yang
seharusnya dipersembahkan di kaki salib Kristus untuk disucikan dan dijadikan aat-Nya. Bahkan
ketertutupan ini pada dasarnya adalah penyaliban Kristus kembali ! Karena itu, gereja percaya bahwa
keesaan itu, selain bukan keseragaman, juga bukan kemajemukan yang didominasi oleh pihak-pihak
tertentu atau oleh kekuatan apa pun yang bukan TUHAN. Keesaan gereja dalam Tuhan adalah tempat
hidup bagi semua manusia.
(8) Karena keesaan gereja bersumber pada Allah dalam Kristus yang menghendakinya agar dunia tahu dan
percaya, maka gereja percaya dan mengaku bahwa keesaan gereja itu sendiri adalah pada hakikatnya
merupakan kesaksian dan pemberitaan Injil. Sebab semua tindak gerejawi, seperti kesaksian, pelayanan,
dan suara kenabian, kesungguhannya dan keabsahannya bertumpu pada keesaan gereja dalam TUHAN..

(9) Karena pewujudnyataan Oikoumene Gerejawi dalam Gereja Kristen yang Esa, yang majemuk dan demi
dunia itu, berdasarkan ketaatan kepada Tuhan Yesus, maka gereja percaya dan memahami bahwa
pemberian bentuk Oikoumene Gerejawi dalam GKYE itu ditentukan oleh dua hal, yakni:
a) Derajat Konektivitas antar anggota tubuh dan Sang Kepala (1 Kor.12);
b) Asas Akuntalibitas gerejawi (kebertanggungjawaban gereja satu terhadap yang lain dan bersama-
sama kepada TUHAN). Adapun derajat konektivitas tersebut diharapkan dapat tercipta antara umat,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

aktivis oikoumene gerejawi (AOG), dan sentra-sentra gerejawi di semua aras dalam fungsi pelayanan
dan kesaksian terhadap lingkungannya.
(10) Selanjutnya pula, dalam upaya mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Inonesia, gereja-gereja
menyatakan ikrarnya untuk bersedia saling mengakui dan menerima satu terhadap yang lain dengan
segala perbedaan yang ada, dan menyatakan komitmen untuk saling menopang dalam bidang teologi,
daya dan dana, sebagai berkat TUHAN yang harus dijadikan berkat pula bagi dunia. Dalam konteks trilogi
kemandirian (teologi, daya dan dana) disadari bahwa kemandirian dan saling menopang dalam bidang
daya merupakan unsur yang sangat urgen dan strategis.
(11) Selain Oikoumene Gerejawi (OG), gereja-gereja di Indonesia ~melalui PGI~ mengisyratkan pula adanya
Oikoumene Kemasyarakatan (OK) atau Oikoumene Semesta (OS). Bila OG jelas menunjuk pada
pergumulan gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkan keesaan sebagai Gereja Kristen Yang Esa, maka
OK atau OS menunjuk pada kesatuan umat manusia (termasuk dalam konteks masyarakat dan bangsa
Indonesia), yang melampaui batas-batas suku, agama, ras dan antar golongan serta budaya. Bahkan
pergumulan untuk mewujudkan persekutuan dan kerjasama itu juga dengan gereja-gereja, agama-
agama dan lembaga-lembaga lainnya di luar Indonesia. Singkatnya Panggilan oikoumenis semesta
mengisyaratkan relasi orang percaya dengan semua makhluk ciptaan Tuhan.

GPM sendiri secara doktrinal, melalui Pokok-Pokok Pemahaman Iman GPM, dirumuskan antara lain dalam
pengakuan tentang gereja bahwa (hal.24-27): “Kami (GPM) percaya bahwa:….gereja diciptakan sebagai
suatu persekutuan yang mengaku satu tubuh, satu Roh…, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu
baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Dengan demikian, gereja pada hakikatnya esa….berpadanan pada
keesaan Allah…didasarkan pada persekutuan dan kasih…. Berkenan dengan itu, gereja terpanggil membina
hubungan dan kerjasama dengan pemerintah serta semua pihak dalam masyarakat untuk terwujudnya
kebaikan dan damai sejahtera bagi semua orang dalam rangka menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah
menuju kesempurnaanNya dalam Yesus Kristus, sambil senantiasa menguji setiap roh, apakah roh itu berasal
dari Allah….Gereja sebagai persekutuan yang mencakup semua orang percaya dari segala tempat dan di
sepanjang zaman, dipersekutukan sebagai Tubuh Kristus. Dengan demikian, gereja itu am (katolik) dan tidak
mengenal pembeda-bedaan serta pembatasan-pembatasan menurut kaidah dan cara dunia (Gal.3:28; 1
Kor.11:7-12; Why.7:9). Persekutuan baru ini meliputi suku, bangsa, kaum dan bahasa, orang tua, pemuda-
remaja-anak-anak, laki-laki dan perempuan, penguasa dan rakyat jelata, yang kaya dan miskin, yang cacat
dan yang normal, yang sakit dan yang sehat, yang bodoh dan yang pandai. Semuanya diberi tempat oleh
Allah dalam persekutuan baru ini serta dipanggil dan dilengkapi untuk menjadi saksi injil Kerajaan Allah dalam
Yesus Kristus di tengah dunia.”

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian keesaan gereja sebagaimana dalam doa Yesus (Yoh.17:21)
2. Jelaskanlah makna dan kepentingan gereja bersekutu di tengah dunia yang majemuk
3. Diskusikanlah tentang :
a. Faktor-faktor yang menyebabkan gereja terpecah
b. Faktor-faktor yang memungkinkan gereja bersatu

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :

1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert28P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
5. Dokumen Keesaan Gereja PGI.
6. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
7. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
8. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Memersatukan
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3. Panggilan Pemuridan
4. Bahan bacaan Alkitab : Kejadian 12 : 1-9; Mrk.8: 34 – 38; Mat.4:18-22.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Memahami dan menghayati Allah yang memanggil dan mempersatukan umat

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Menjelaskan arti dan makna menjadi murid
2. Mengidentifikasikan sosok murid yang sesuai dengan visi-misi bergereja (GPM)
3. Memberikan refleksi terhadap penerapan nilai seorang murid yang terpanggil di tengah konteks hidupnya.

IV. URAIAN MATERI :

Menjadi murid Kristus bukanlah suatu status dan predikat yang tanpa syarat. Dalam Markus 8 ayat 34-38, Yesus
secara jelas mengemukakan prasyarat menjadi muridNya dengan kalimat,:“…harus menyangkal diri, memikul
salibnya dan mengikut Aku…” (Ay.34). Dalam ayat ke-35, Yesus pun menghendaki seorang murid untuk bersedia
kehilangan nyawanya karena Injil dan selanjutnya dalam ayat ke-36, seorang murid juga tidak malu untuk
menyaksikan tentang Tuhan dan perkataanNya.
Dari ungkapan Yesus ini, secara jelas dikemukakan bahwa menjadi murid Yesus itu memiliki risiko atau
konsekuensi. Sebab menjadi muridNya berarti mengikatkan diri kepada Yesus dan bersedia melepaskan diri dari
gaya hidup yang bertolak belakang dengan Yesus. Dengan demikian, komitmen untuk menjadi murid Yesus
mengisyaratkan bahwa kita harus meletakkan komitmen kita kepada Yesus di atas komitmen kita kepada
apapun atau siapapun. Dampak dari keputusan menjadi murid Yesus pula adalah bahwa menjadi muridNya
tidak boleh disertai dengan motivasi untuk memperoleh keuntungan atau sukses ini-itu, melainkan justru
sebaliknya, yaitu bersedia menanggung konsekuensi-konsekuensi yang timbul.
Menyangkal diri dalam mengikut (menjadi murid Yesus) berarti bahwa kita harus mengalahkan pelbagai
kepentingan dan keinginan sendiri. Yesus mengajar kita untuk berdoa bahwa “bukanlah kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mu yang terjadii” (Luk.22:42). Bagi Yesus, seorang murid adalah orang yang menaklukan
keinginannya di bawah keinginan gurunya. Murid yang sejati adalah orang yang memberi dirinya, baik pikiran
dan perbuatannya, dipimpin oleh gurunya. Gaya hidup murid mengikuti gaya hidup gurunya (Band.Yoh.15:7-
8). Pertanyaannya adalah, dapatkah kita sanggup memenuhi syarat-syarat menjadi murid tersebut.
.Jawabannya Tidak ! Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang sanggup memenuhi syarat-syarat yang
disebutkan oleh Yesus. Orang-orang di Galilea yang mendengar persyaratan yang berat itu pun merasa kecil
hati dan sedih. Lalu Yesus menanggapi kesedihan mereka dengan perkataan, “Apa yang tidak mungkin bagi
manusia, mungkin bagi Allah (Luk.18:27). Singkatnya, Allah sendiri yang memungkinkan kita untuk diterima
menjadi muridNya. Anugerah Allah memungkinkan hal itu terjadi. Kita diterima menjadi murid Tuhan, bukan
karena kita memenuhi syarat, melainkan karena Tuhan menganugerahkannya.

Dalam budaya Timur Tengah di zaman Yesus, seorang murid harus berada di belakang gurunya, baik pada
waktu berjalan maupun pada waktu menunggang keledai. Sungguh tidak sopan baginya untuk berjalan di
depan atau di samping gurunya. Dalam pemikiran umat Israel di zaman Perjanjian Lama, mengikuti seseorang
mengandung arti mengiringi, menaati, mencintai, menyerahkan diri dan mengabdikan diri (Bandingkan Elisa
yang mengikuti Elia dalam 1 Raja.19: 20; Rut yang mengikut Naomi dalam Rut 1 : 14; budak yang mengikut
Abigail dalam 1 Samuel 25:42). Dalam konteks ini, mengikuti seseorang berarti menyerahkan hidup kita kepada
orang itu dengan segala akibatnya. Memang mengikuti seseorang dengan menjadi murid memiliki akibat.
Hidup kita pasti akan berubah dan perubahan itu tergantung dari siapa yang kita ikuti. Misalkan, kita mengikuti
seorang artis, maka gaya hidup kita29 akan berubah: waktu tidur dan waktu bangun kita, tempat-tempat yang
kita kunjungi, pergaulan kita, menu makanan kita, busana kita, dan sebagainya. Singkatnya, gaya hidup kita
akan berubah. Demikian juga halnya kita sebagai seorang murid yang mengikut guru kita Yesus. Gaya hidup
kita suka atau tidak suka akan berubah, karena Yesus sendiri memiliki gaya hidup yang sungguh-sungguh unik,
prioritasnya unik, keprihatinanNya unik, orientasi hidupNya pun unik. Dengan demikian seorang murid yang
berjalan dan belajar dari guru seperti Yesus mau tidak mau harus belajar mengubah apa yang perlu diutamakan
dalam hidup; belajar memahami apa yang diutamakan oleh Yesus; belajar merasakan apa yang diprihatinkan
oleh Yesus. Singkatnya, seorang murid sejati, hidupnya adalah memberlakukan apa yang diberlakukan oleh
Yesus.

Dalam bahasa Inggris, kata murid dipakai pula dengan kata “disciple” . Dari kata disciple tersebut lahirlah kata
disiplin. Dengan kata lain, makna dari kata disiplin itu melekat dengan kata murid (disciple). Dengan demikian,
seorang murid dengan kedisiplinan laksana dua sisi dari satu mata uang. Murid yang tidak memiliki karakter
kedisiplinan sesungguhnya tidak layak disebut sebagai seorang murid. Atau dapat disebut pula bahwa semua
murid pasti memiliki kedisiplinan, tetapi tidak semua kedisiplinan itu berarti kemuridan. Sebab yang disiplin itu
bukan hanya milik seorang murid. Seorang guru, pemimpin, pendeta pun harus memiliki kedisiplinan.

Seorang murid mewujudkan kemuridannya bukan hanya secara emosional atau spiritual, melainkan juga
secara rasional. Ketika Yesus ditanya oleh ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum
Taurat ?” Yesus pun menjawab bahwa: “Kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).
Artinya, Yesus menghendaki kita untuk mengasihi Allah dengan seluruh totalitas hidup kita. Termasuk dengan
“otak” kitapun, kita harus mengasihi Tuhan, Seperti yang diakui oleh Blaise Pascal, seorang ahli Matematika dan
fisika berkebangsaan Perancis, yang juga menemukan sistem kalkulator digital pertama, menemukan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

barometer, pompa hidrolik dan alat suntik. Pascal menulis dalam bukunya yang berjudul “Pensees,” Otak itu
adalah pemberian Allah. Tidak pakai otak adalah dosa; namun pakai otak tanpa menaati Allah adalah juga
dosa.”

Panggilan sebagai seorang murid tidaklah dapat dilepaspisahkan dari panggilan untuk menjadi gereja Tuhan.
Sebab seorang murid dimaksudkan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi suatu persekutuan para murid
yakni gerejaNya untuk bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), melayani (diakonia) dan memberdayakan
(oikonomia). Dalam konteks itulah, gereja (sebagai murid Tuhan) ditantang pula untuk menjawab panggilan
Allah, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pokok-Pokok Pemahaman Iman GPM, yang menyebutkan antara
lain:
(1) Bahwa gereja (murid) dipanggil untuk selalu menyangkal diri dan mengorbankan kepentingannya, sama
seperti Kristus telah mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yoh.1:14 dan Fil.2:6-8) agar semua orang
mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Mat.9: 35-38 dan Luk.4:18-19).
Melalui cara hidup demikian, gereja (pelayan dan warganya) dapat menghayati dengan sungguh-
sungguh makna sakramen dan firman di dalam ibadah sebagai wujud keberadaan dan kekudusannya.
(2) Gereja, yang terdiri dari orang-orang berdosa (murid) yang telah dibenarkan oleh anugerah Allah
berdasarkan iman kepada Yesus Kristus (Rom.3:28) dalam menjalani hidup dan memenuhi tugas
panggilannya, senantiasa memerlukan pertobatan dan pembaruan yang terus-menerus.
(3) Gereja yang diciptakan Allah sebagai suatu persekutuan, mengaku satu tubuh, satu Roh dalam ikatan
damai sejahtera, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua
(Ef.4:4-6). Dengan demikian gereja pada hakikatnya adalah esa.
(4) Sebagai murid Kristus, kita terpanggil untuk mewujudkan misi penyelamatan kerajaan Allah (Fil.3:12-14).
Dalam rangka itu, kita dituntut untuk senantiasa terbuka kepada dunia agar dunia menjadi percaya dan
mengalami pemenuhan janji Allah tentang kerajaanNya di dalam Yesus Kristus.
(5) Sebagai murid Tuhan, kita pun terpanggil untuk hadir dan berperan secara bermakna di tengah konteks
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Baik di lingkup lokal-daerah, nasional Indonesia, maupun
global.Seorang murid terpanggil untuk hadir secara positip, kritis, kreatif dan realistis di tengah konteks
hidupnya yang sangat majemuk dan dinamis (modern maupun post-modern).

Dalam konteks PIP (Pola Induk Pelayanan) dan RIPP (Rencana Induk Pengembangan Pelayanan) GPM tahap II
(Tahun 2010-2015) dirumuskan tentang visi dan misi gereja, yang sudah tentunya pula menjadi visi dan misi dari
seorang murid, khususnya dalam lingkup GPM, yaitu:
Visi : Menjadi gereja (murid) yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan
semua umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Misi : Mengembangkan kapasitas gereja (murid) secara integral untuk memenuhi amanat panggilan sebagai
gereja (murid) Kristus yang hidup di kepulauan Maluku dalam konteks pelayanan di Indonesia dan dunia.
Dari misi tersebut dikembangkanlah kapasitas gereja (murid) yang memiliki
Ketangguhan dan kematangan secara teologis, intelektual, moral-etis, sosial, kultural, ekonomis dan
politis, sehingga mampu berperan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam setiap lingkup tugasnya:
berjemaat, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian panggilan menjadi murid
(a) Dalam hubungannya dengan hal mengikut Yesus
(b) Dalam kaitannya dengan istilah
30 disciple
2. Sebutkan dan Jelaskanlah profil kemuridan dalam kaitannya dengan visi-misi gereja (GPM)
3. Buatkanlah sebuah karya seni kreatif (puisi/cerita pendek/lukisan/dll) yang bertemakan “Menjadi Murid
Kristus” dan Refleksikanlah secara kelompok.
IV. SUMBER KEPUSTAKAAN :

1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
5. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
6. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
7. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)

1. IDENTITAS
2. Materi Sajian : FIRMAN
3. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Mempersatukan
4. Sub Pokok Bahasan : 3.4. Jawaban Manusia Terhadap Panggilan
5. Bahan bacaan Alkitab : Yesaya 6 : 1 - 13
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
7. Semester : I (Ganjil)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Memahami dan menghayati Allah yang memanggil dan mempersatukan umat

3. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :3


1. Menjelaskan Makna dari Jawaban Manusia terhadap Panggilan Tuhan
2. Mengidentifikasikan berbagai sikap manusia terhadap panggilan Tuhan
3. Memberikan refleksi terhadap penerapan nilai seorang percaya yang memiliki kematangan dengan
jawabannya terhadap panggilan Tuhan

4. URAIAN MATERI :

Sebagai orang yang dipanggil, maka tentunya kita harus memberikan tanggapan. Bila tidak maka sebuah
panggilan ibarat orang yang “bertepuk sebelah tangan”. Allah menghendaki kita untuk memberikan jawaban
atas pertanyaanNya, walaupun Ia tidak pernah memaksa kita. Pertanyaan Tuhan terhadap Yesaya, “Siapakah
yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku ?” (Yes.6:8), sesungguhnya merupakan sebuah
pertanyaan yang membutuhkan jawaban dari kita, khususnya selaku orang percaya.

Kita terpanggil untuk menjadi pembawa cinta kasih Tuhan; menjadi sinar yang menyala yang menerangi semua
orang; menjadi garam dunia (laksana garam yang mengawetkan, memberikan cita rasa, dan menghindari
proses kebusukan/kerusakan suatu makanan). Singkatnya, kita terpanggil untuk bermakna atau berguna bagi
dunia dan sesama kita, sehingga Tuhan dimuliakan (Band. Matius 5 :13 – 16). Dalam hubungan itu pula,
hendaknya kita menyadari bahwa Tuhan yang memanggil adalah pula Tuhan yang mengutus kita. Artinya,
panggilan dan pengutusan Tuhan itu merupakan suatu paket yang tidak dapat dilepaspisahkan. Tidak ada
panggilan tanpa pengutusan dan tidak ada pengutusan tanpa adanya suatu panggilan.

Langkah pertama “untuk menjadi” adalah dengan “mau menjadi”. Sikap “mau menjadi” adalah suatu
keputusan dan pilihan untuk menjawab panggilan Allah melalui kesediaan hati untuk menanggalkan diri dan
mempersembahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Jawaban kita terhadap panggilan Allah pertama-tama
dimulai dari diri kita sendiri. Jawaban itu tidak dapat digantikan atau diwakilkan. Dari sikap dan jawaban diri
kita sendirilah maka hidup kita akan bermakna bagi orang banyak. Seperti dari sebuah puisi klasis dari Cina
yang berbunyi:
Kalau dalam hati menyala setitik cahaya, Bersemilah sebuah keindahan dalam raga jiwa
Bila keindahan bersemi dalam raga jiwa, keluarga hidup sentosa
Bila keluarga sentosa, Negara pun sejahtera, maka lahirlah kedamaian di dunia.

Sehubungan dengan itu pula, maka jawaban manusia terhadap panggilan Allah bisa “Ya” (menerima)
tetapi juga bisa “Tidak” (menolak). Semua jawaban merupakan pilihan dan keputusan manusia yang tentunya
memiliki resiko masing-masing. Sebab tidak ada pilihan dan keputusan yang tidak mempunyai resiko. Dalam
bahasa agama pada umumnya diyakini bahwa pilihan “ya” berakibat pada keselamatan, kedamaian,
kebahagiaan, kehidupan, kekekalan, dan seterusnya (atau yang diistilahkan dengan “surga”). Sebaliknya
pilihan “tidak” berakibat pada kebinasaan, kehancuran, ketidakbahagiaan, kematian, kefanaan, dan
seterusnya. (atau yang diistilahkan dengan “neraka”).
Dalam konteks kekristenan, diyakini bahwa pilihan dan keputusan untuk menerima atau menolak panggilan
Tuhan, sesungguhnya merupakan keputusan imani terhadap “tawaran anugerah Allah”. Keputusan tersebut
laksana pilihan “hidup” atau “mati” (bandingkan Yoh.1: 11,12; 3:14 -16).
Sementara pada wujud yang31lain, kitapun harus menyadari betapa selain kekristenan (sebagai suatu
komunitas agama) merupakan suatu wujud dari sekelompok umat percaya dalam merespons panggilan Allah
yang diimani melalui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka manusia pada umumnya memberikan
tanggapan terhadap Allah dan panggilannya melalui pelbagai cara dan bentuk, karena pada hakikatnya
setiap manusia memiliki dasar religiusitas atau yang disebut dengan istilah semen religionis. Misalnya melalui: (1)
Agama dan Kepercayaan, (2) Filsafat, (3) Paham Ideologis-politis, (4) Seni dan Budaya, dan sebagainya.
Agama Islam, Hindu, Budha adalah contoh wujud manusia dengan kepelbagaian penghayatan dan
tanggapannya tentang Tuhan yang diimani. Demikianpun kepercayaan adatis terhadap para leluhur, dengan
sebutan misalnya Upu Lanite (di Maluku Tengah) atau Uplera (di Maluku Tenggara Barat) merupakan ekspresi
simbolik masyarakat setempat (local) terhadap “Tuhan Yang Di Atas”. Sementara pelbagai pemikiran filosofis-
ideologis seperti paham eksistensialis, marxisme, hingga post-modernisme, masing-masing memberikan
pemahamannya tentang “apa yang dianggap sebagai yang mahatinggi dan mahakuasa”.

Secara teologis (Kristen), panggilan Tuhan diyakini berlaku bagi semua orang percaya. Dalam 1 Petrus 2 : 9
disebutkan bahwa gereja merupakan “…bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri.” Adapun sebutan “imamat yang rajani” memiliki pengertian bahwa seluruh gereja
merupakan persekutuan imam. Pekerjaan seorang imam yang muncul di zaman Perjanjian Lama adalah
melayani Tuhan dan umat dengan cara mempersembahkan korban sebagai lambing perbuatan
mendamaikan umat dengan Allah. Dengan demikian sebutan tersebut mengisyaratkan panggilan setiap orang
percaya sebagai imam yang mengabdikan dirinya kepada pelayanan bagi sesama manusia di hadapan
Allah. Prinsip tersebut yang disebut dengan ungkapan Imamat Am (am = umum, awam, tidak terbatas pada
orang atau golongan tertentu). Pengertian kongkritnya adalah bahwa tanpa kecual tiap warga gereja adalah
pelayanan dalam kehidupan dan misi gereja. Hal itu tidak berarti bahwa setiap orang harus memegang suatu
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

jabatan kepengurusan gerejawi, melainkan bahwa setiap orang perlu bersikap peduli dan terlibat dalam
pekerjaan gereja. Tiap orang perlu turut memberhasilkan kegiatan gereja. Tiap anggota perlu turut membiayai
pekerjaan gereja. Tiap anggota perlu turut “merasa memiliki” gereja. Dengan kata lain, maju-mundurnya gereja
tergantung pula pada sikap anggota-anggotanya.Dalam konteks panggilan bergereja, setiap warga gereja
tidak boleh menjadi penonton (apalagi kalau hanya menjadi penonton yang hanya mengejek/marah-
marah/protes dan tidak pernah memberikan solusi) melainkan harus menjadi “pemain”.

Dalam konteks menjadi “pemain” itulah, maka umat yang terpanggil tersebut masuk dalam suatu komunitas
yang disebut sebagai “komunitas peduli”. Artinya suatu komunitas yang saling peduli dengan mampu saling
prihatin, saling solider, saling membela, saling mengindahkan, saling menghargai, saling mencukupi, saling
melindungi, saling memelihara dan saling merawat (Band. 1 Kor.12 :26).
Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkan paling tidak 5 (lima) macam kematangan diri demi mewujudkan
panggilan sebagai suatu komunitas peduli, yakni:
(1) Kematangan usia.:
Kepedulian bertumbuh dalam proses perkembangan waktu. Seyogianya semakin dewasa kita semakin
matang dalam kepedulian.
(2) Kematangan sudut pandang:
Kepedulian terwujud justru ketika kita belajar memahami suatu keadaan bukan dari sudut pandang kita
tetapi dari sudut pandang orang lain. Dengan begitu maka kita akan mampu ber-empati, turut merasakan
keberadaan seseorang.
(3) Kematangan untuk menerima orang lain:
Peduli berarti kita bisa menerima seseorang sebagaimana dia adanya, bukan sebagaimana yang kita
inginkan.
(4) Kematangan untuk menerima diri sendiri:
Kepeduliaan harus diwujudkan dengan ketulusan, sebagaimana adanya kita. Kalau “ketulusan kita hanya
satu liter, janganlah kita mengobral perkataan sebanyak sepuluh liter.”
(5) Kematangan untuk memberi diri.:
Kepeduliaan diukur pula dari sejauhmana kesediaan kita untuk memberi waktu, tenaga dan apapun yang
kita miliki, karena kita memandang seseorang bukan sebagai orang lain apalagi sebagai suatu obyek atau
benda, melainkan sebagai bagian dari kita, dan memandang diri kita sebagai bagian dari dirinya.
Demikianlah kedalaman makna kepedulian ketika terjadi saling melibatkan diri. Sebagaimana Kristus telah
mempedulikan kita, demikianlah kita pun terpanggil untuk mempedulikan sesame dan lingkungan kita.

5. EVALUASI

1. Jelaskanlah tentang pentingya jawaban manusia terhadap panggilan Tuhan


2. Jelaskanlah bentuk-bentuk jawaban manusia terhadap panggilan Tuhan
3. Jelaskanlah makna jawaban manusia menurut perspektif gereja (kekristenan)
4. Kemukakanlah contoh-contoh ekspresi religiusitas manusia orang Maluku dalam mengekspresikan Tuhan
dengan symbol atau ungkapan daerah setempat.
Catatan:
Para katekisan dapat diberikan tugas untuk membuat sebuah puisi atau tulisan singkat yang merupakan karya
pribadi tentang JAWABAN SAYA TERHADAP PANGGILAN TUHAN. Setelah dibuat, dapat didiskusikan

6. SUMBER KEPUSTAKAAN :
32
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
5. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
6. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
7. Andar Ismail, Selamat Bergereja.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 2. Hakekat Gereja
3. Sub Pokok Bahasan : 2.1. Pengertian, Dasar dan Panggilan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : 1 Kor.3:10-17; 12:12-27; I Petrus 2:9-10
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x pertemuan (100 menit disajikan bersama SPB 2.2)
6. S e m e s t e r : 1 ( Ganjil )

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami Hakekat Gereja dan relasinya dengan Tuhan dan Dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan pengertian gereja
2. Menjelaskan pengertian dasar gereja
3. Menjelaskan panggilan dan pengutusan gereja
4. Merefleksikan pengertian, dasar, dan panggilan gereja dalam kehidupannya

IV. URAIAN MATERI


1. Secara etimologis, kata gereja berasal dari bahasa Portugis, Igreja. Namun secara maknawi Istilah
gereja berasal dari kata Yunani ”ekklesia”, yang terdiri dari akar kata eks (keluar) dan kaleo (memanggil).
Singkatnya ekklesia berarti dipanggil ke luar. Singkatnya, gereja berarti Kristus memanggil ke luar orang-orang
percaya dari kegelapan kepada terangNya, untuk menjjadi umatNya, dan selanjutnya untuk diutus kembali
ke dalam kegelapan dunia ini (I Pet.2:9-10). Gereja yang dipanggil ke luar tersebut adalah persekutuan
orang-orang percaya (Mat.16:18) yang dihadirkan di dalam dunia, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri,
melainkan untuk menjadi berkat bagi dunia dan memuliakan namaNya.
Gereja memiliki dasar yang tidak bisa digantikan dengan dasar apapun, yakni Yesus Kristus. Sehubungan
dengan dasar gereja ini, Perjanjian Baru memberikan gambaran gereja sebagai Tubuh Kristus, dalam hal
mana gereja merupakan suatu persekutuan yang tak terpisahkan antara anggota (tubuh) yang satu dengan
yang lainnya.
2. Gereja bukanlah organisasi atau persekutuan yang tanpa arah. Sebab Kepala dan Pemilik gereja adalah
Yesus Kristus. Kepada Yesus-lah gereja bertanggug jawab, sebagai persekutuan yang diberikan mandat
(pengutusan) dengan beberapa ungkapan, seperti: Tubuh Kristus, Keluarga Allah, Kawan Sekerja Allah,
Imamat yang rajawi, Sahabat terpercaya dari Kristus,Mmempelai Perempuan dari Kristus Sang Mempelai
Lelaki, Domba yang berada di tengah serigala, Garam dan terang dunia. Dengan ungkapan simbolik
demikian, dimaksudkan bahwa gereja memiliki tugas panggilan dan pengutusan di tengah dunia, yang
dipercayakan oleh Tuhan, selaku sang Pemilik dan Kepala gereja.
3. Sebagai gereja Kristus, gereja pun tidak dapat melakukan tugas atau misi yang lain, selain mengikuti jalan
dan kehendak dari Tuhan selaku yang memiliki gereja tersebut. Dengan demikian, gereja mengemban misio
Dei, misi Allah. Dan misi Allah adalah penyelamatan dunia dan manusia, melalui hadirnya kerajaan Allah,
sebagaimana yang telah dikerjakan/ diwujudkan dalam Yesus Krisus, dan yang diwujudkan pula hari ini
melalui seluruh persekutuan, pelayanan, kesaksian dan pemberdayaan (yang dikenal dengan istilah catur
panggilan gereja), yang dilakukan oleh orang-orang percaya di segala abad dan tempat, sambil
menyongsong kedatanganNya kembali.
3.1. Persekutuan atau koinonia, merupakan poros dari ketiga pengutusan gereja lainnya. Sebab gereja
hanya dapat bersaksi, melayani
33 dan melakukan gumulan pemberdayaan apabila aspek persekutuan
menjadi roh dan semangat dari seluruh gerak dan langgam kehadirannya.
3.2. Pelayanan atau diakonia, merupakan wujud kongkrit gereja untuk menjawab apa yang menjadi
kebutuhan, baik ke dalam maupun ke luar. Dalam konteks ini, gereja menjadi doulos atau hambaNya,
untuk dengan rendah hati, taat dan setia, menjalankan tugas panggilannya, sama seperti seorang
pelayan.
3.3. Kesaksian atau marturia, artinya gereja terpanggil untuk menjadi saksi dalam menyampaikan berita
kebaikan dan kebenaran. Isi dari kesaksian tersebut adalah Injil Yesus Kristus yang harus disaksikan di
segala abad dan tempat kehadiran gereja itu sendiri.
3.4. Pemberdayaan atau oikonomia, dimaksudkan pada upaya penatalayanan dan pemberdayaan
potensi kasih karunia yang dimiliki oleh gereja agar terjadi pemandirian, baik secara ke dalam (internal)
maupun dalam konteks dengan sesama dan lingkungannya (eksternal), sehingga gereja mewujudkan
panggilannya selaku gereja yang melayani (memberkati).
Seluruh tugas panggilan dan pengutusan gereja ini hendak ditempatkan dalam kesadaran bahwa gereja
bukanlah tujuan melainkan alat atau sarana atau sebagai tanda yang menghadirkan kerajaan Allah melalui
Kasih, Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan ciptaan.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian gereja, dasar serta panggilan dan pengutusan gereja !
2. Diskusikanlah panggilan dan pengutusan gereja yang ideal dengan kenyataan yang dihadapi di tempat
masing-masing.
3. Refleksikan Pengertian, Dasar, dan Panggilan Gereja dalam kehidupannya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

VI. KEPUSTAKAAN
1. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, 2006
2. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
3. Brownlee M, Tugas-Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 2. Hakekat Gereja
3. Sub Pokok Bahasan : 2.2. Gereja yang Kudus, Am dan Rasuli
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kel.19:6; Ef.2:19-22; Gal.3:26-29; Kis.1:8
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x pertemuan (100 menit disajikan bersama SPB 2.1)
6. S e m e s t e r : 1 ( Ganjil )

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami Hakekat Gereja dan relasinya dengan Tuhan dan Dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami hakekat gereja yang kudus, am, dan rasuli
2. Menunjukkan contoh dan bukti tentang hakekat gereja (kudus, am dan rasuli)
3. Merefleksikan hakekat gereja dalam hidup hidup sesehari

IV. URAIAN MATERI


1. Gereja berada di dunia tetapi bukan berasal dari dunia. Demikianlah sebuah ungkapan yang menyatakan
tentang keberadaan gereja, yang pada satu pihak, memiliki dimensi organisasi yang ditatakelola dengan
pendekatan konteks manusia dan perkembangan sejarah, namun pada pihak lainnya, gereja sendiri
memiliki dimensi teologis, sebagai suatu kelompok manusia yang memiliki ”kekhasan, keistimewaan dan jati
diri rohaniah”, yang berbeda dari kelompok organisasi lainnya di dunia. Jati diri yang bersifat rohani ini, yang
antara lain terungkap dalam keberadaan gereja sebagai Tubuh Kristus.
2. Dalam konteks teologis-spiritual inilah (gereja sebagai Tubuh Kristus), gereja memiliki hakekat keberadaan
yang dikenal dengan 3 (tiga) sebutan, yakni: sebagai persekutuan yang kudus, am dan rasuli.
2.1. Kudus artinya, lain dari yang lain; diasingkan atau dikhususkan. Orang-orang percaya yang bersekutu
menjadi umat Tuhan, bukanlah umat yang suci/kudus pada diri mereka sendiri, melainkan mereka
dikhususkan atau diasingkan oleh Tuhan Yesus Kristus, untuk sesuatu maksud atau tugas tertentu.
Singkatnya, mereka dikhususkan untuk melaksanakan tugas dan panggilan tertentu. Dalam Imamat
20:26, disebutkan, Kuduslah bagiKu, sebab Aku ini Tuhan, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari
bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milikKu. Singkatnya, pengakuan tentang hakekat gereja
sebagai gereja yang kudus mengisyaratkan bahwa gereja itu bukanlah milik manusia atau milik umat,
melainkan milik Kristus yang menguduskan diriNya bagi gereja sebagai umat kepunyaanNya (Titus 2:14),
yang diutusNya ke dalam dunia.
2.2. Am atau Katolik artinya, umum34 dan satu, terbuka untuk semua bangsa dan bahasa dari segala abad
dan tempat. Dengan demikian, gereja Tuhan di dunia adalah gereja yang melintasi ruang dan waktu,
karena merupakan kesatuan Tubuh Kristus di segala abad dan tempat, tanpa memandang apapun
perbedaan konteks, tradisi, denominasi, sejarah dan sebagainya. Sebab yang menjadikan gereja
menjadi gereja yang kudus dan am, adalah di atas dasar apakah gereja itu berdiri, dan dengan nama
siapakah umat gereja dibaptiskan / dimeteraikan. Sebab semua umat yang dibaptiskan di dalam nama
Bapa, Anak dan Roh Kudus, adalah umat yang menjadi pewaris kerajaan Allah dan kasih karunia.
Sehingga semua orang percaya yang dibaptiskan, menjadi warga kerajaan Allah yang satu. Dari
pengertian ini, maka GPM misalnya, yang berada di Maluku dengan latar belakang sejarah dan tradiri
tertentu, adalah bagian dari gereja atau Tubuh Kristus yang am, yang berada di Afrika, di Amerika, di
Jawa, dan sebagainya. Singkatnya pengakuan gereja sebagai gereja yang Am mengisyaratkan bahwa
persekutuan ini mencakup semua orang percaya dari segala tempat dan sepanjang zaman dan
mencakup pula segala suku bangsa, bahasa dan kaum. Dengan demikian, gereja haruslah terbuka
menerima semua orang tanpa diskriminasi apapun juga.
2.3. Sedangkan rasuli, artinya gereja Tuhan hendaknya menyadari peran dan tanggung jawab yang
melekat pada dirinya untuk senantiasa memberitakan/menyaksikan tentang Injil (kabar baik) tentang
Kristus yang berkarya melalui kematian dan kebangkitanNya demi keselamatan dunia dan manusia.
Peran dan tanggung jawab hakiki inilah yang menyebabkan gereja Tuhan sepanjang masa menjalani
visi utamanya untuk menjadi gereja misioner yang mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah, melalui
hadirnya keadilan, kasih dan damai sejahtera, kapan dan di mana saja. Singkatnya, pengkauan
tentang hakekat gereja sebagai gereja yang rasuli, mengisyaratkan bahwa gereja sebagai persekutuan
orang percaya, terpanggil untuk memelihara ajaran para rasul dengan murni dan meneruskannya
kepada orang lain di segala abad dan tempat.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah hakekat gereja yang kudus, am, dan rasuli
2. Berikanlah contoh dan bukti tentang hakekat gereja (Kudus, Am dan Rasuli)
3. Refleksikanlah hakekat gereja dalam hidup hidup sesehari

VI. KEPUSTAKAAN
1. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, 2006
2. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
3. Brownlee M, Tugas-Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

VII. KETERANGAN
Katekisan diberi tugas secara kelompok untuk mencari tahu informasi tentang gereja lain yang ada di
tempatnya, antara lain meliputi: sejarahnya, pokok pengajaran dan ibadahnya.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 2. Hakekat Gereja
3. Sub Pokok Bahasan : 2.3. Relasi Gereja dengan Tuhan dan Dunia ( Memahami aliran-aliran Teologis di
Kalangan Gereja-Gereja dalam Menyikapi hubung-an dengan Tuhan dan
Dunia)
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mat. 22:15-22; Kol.1:15-23; I Tim. 3:14-16
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x pertemuan (100 menit)
6. S e m e s t e r : 1 ( Ganjil )

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami Hakekat Gereja dan relasinya dengan Tuhan dan Dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan pengertian relasi gereja dengan Tuhan dan dunia
2. Memahami pandangan aliran-aliran teologis/denominasi gereja-gereja dalam menyikapi hubungan
dengan Tuhan dan dunia
3. Mengidentifikasikan pandangan tersebut, dalam konteks bergereja sesehari.

IV. URAIAN MATERI


Gereja, baik secara personal maupun organisasional, memiliki dasar dan sikap terhadap Tuhan dan
dunianya. Artinya, Gereja atau agama apapun, selalu memiliki dua sisi yang mewarnai perilaku keagamaan
dan spiritualitas mereka. Apa yang merupakan sikap mereka terhadap dunia, sesungguhnya itu merupakan
akibat atau hasil dari pandangan iman
35 mereka tentang Tuhan yang diimani. Begitupun sebaliknya. Pandangan
atau teologi tentang Tuhan, itupula yang akan mewarnai sikap mereka terhadap dunia. Walaupun demikian,
ada kecenderungan lainnya pula, yang dikenal dengan kecenderungan ambigiutas (mendua), ketika agama
atau gereja memiliki kecenderungan sikap yang terbelah dan mendua. Pemahaman tentang Tuhan, tidak
berbanding lurus dengan sikap mereka terhadap sesama dan dunia. Apa yang diimani dalam ibadah (di
gedung atau acara ritual), tidak terwujud dalam perilaku etis mereka.
Sehubungan dengan sikap GPM terhadap agama atau denominasi lainnya, kita dapat menyimak
rumusan Pokok-Pokok Pemahaman Iman GPM, yang antara lain menyebutkan bahwa:
1) GPM memahami keberadaan denominasi lainnya dengan tradisi dan ajarannya masing-masing namun
memiliki panggilan yang sama untuk membawa berita kerajaan Allah yang mengandung amanat
pertobatan, pembaruan dan pengharapan bagi dunia yang terus berkembang dalam tantangan dan
harapan;
2) Selanjutnya bahwa dalam peran dan fungsi sebagai garam, terang dan ragi, GPM dan denominasi lainnya
dapat memberikan kontribusi yang konstruktif, positip dan transformatif bagi kehidupan internal umat
maupun eksternal berbangsa dan bermasyarakat. Peran dan fungsi tersebut merupakan bagian dari misi
bersama untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang nyata di tengah konteks dunia kita;
3) GPM dan denominasi lainnya disadari memiliki peran sebagai ”agen kasih” yang akan terus menyuarakan
perdamaian, pengampunan dan penerimaan antar sesama manusia di tengah konflik-konflik kemanusiaan.
Jelaslah bahwa GPM memiliki pengakuan, sekaligus keterbukaan untuk membangun relasi dengan agama

atau gereja serta denominasi manapun, sepanjang agama, gereja dan denominasi tersebut memiliki komitmen
untuk bersama-sama menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah berupa kasih, keadilan, kesejahteraan dan
perdamaian.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Sehubungan dengan pandangan atau sikap gereja-gereja dalam hubungannya dengan Tuhan dan dunia,
nampaknya pandangan teolog-filosof Nicholas Wolterstorff patut disimak, ketika ia mengatakan bahwa ada
tiga ragam utama yang menonjol dalam sikap agama, termasuk gereja dan aliran-aliran teologi tertentu,
terhadap Tuhan dan dunia. Ketiga sikap tersebut adalah:
a) Agama yang cenderung menghindari dunia (world-avertive religion),
b) Agama yang cenderung membangun dunia (world-formative religion),
c) Agama yang cenderung menghasilkan kaum triumfalis (the triumfalists).
Adapun agama (termasuk gereja dan aliran tertentu) yang cenderung memandang dunia tidak penting,
sesungguhnya dilatari dengan pandangan bahwa dunia bukanlah tempat tinggal kita. Pandangan yang
sedemikian, menimbulkan sikap menghindar atau cenderung melarikan diri dari kenyataan hidup ini
(eskapisme). Mereka lebih suka mengasingkan diri dalam komunitas tertentu, lebih sering bertapa, bahkan ada
yang menyiksa dirinya. Sebab seluruh fokus diarahkan ke ”dunia seberang sana”, yang dipandang sebagai
taman eden yang bebas dari segala tangisan dan kertak gigi. Menurut Wolterstorff, agama (atau gereja) yang
demikian, hanya cenderung mengharapkan penyelamatan dari kematian akibat dosa. Kehidupan di dunia ini
dipandang tidak penting, sebab semata-mata hanya kehidupan fana.
Sementara itu, kecenderungan agama dan teologi yang membangun dunia, justru melihat dunia sebagai
arena yang dikaruniakan Tuhan, yang patut disyukuri, sehingga harus diperbaiki dari segala kecemaran dan
akibat dosa. Dengan kata lain, kasih karunia Allah itu ditanggapi oleh umat yang dikaruniakan Tuhan, yang
patut disyukuri, sehingga harus diperbaiki dari segala kecemaran dan akibat dosa. Dengan kata lain, kasih
karunia Allah itu ditanggapi oleh umat yang membangun dunia dengan berusaha keras meningkatkan
kualitas kehidupan manusia seutuhnya di dunia, dan menaati perintahNya untuk mengasihi.
Bagi agama atau gereja yang cenderung menghasilkan kaum triumfalist, menempatkan suatu pemahaman
bahwa umat Allah adalah umat yang istimewa dan eksklusif, yang secara total berbeda dari yang lain. Mereka
ini, dalam aspek teologi maupun ideologi, merasa lebih di atas yang lain, merasa paling unggul, dan paling
diberkati. Ungkapan yang sering muncul adalah, aku anak Raja, siapakah yang dapat melawan kita ?
Kecenderungan yang lebih ekstrim lagi adalah, kaum triumfalist ini, dalam konteks tertentu tidak jarang
memberikan semacam ”kewajiban” dari umatnya untuk memerangi pihak lain/ agama lain, yang dipandang
sebagai musuh-musuh Allah, dan mereka sendiri adalah pahlawan pembela Tuhan. Pada dasarnya kaum
triumfalist ini memiliki pendekatan yang tidak terlalu berbeda dengan kelompok yang pertama, yang
cenderung menghindari dunia.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian relasi gereja dengan Tuhan dan dunia
2. Jelaskanlah tiga pandangan utama aliran-aliran teologis/denominasi gereja-gereja dalam menyikapi
hubungan dengan Tuhan dan dunia
3. Identifikasikanlah tiga pandangan tersebut di atas yang menggejala dalam kehidupan gereja setempat
(internal) maupun gereja atau denominasi lainnya.

VI. KEPUSTAKAAN
1. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, tahun 2006
2. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
3. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
4. Hardjowasito, Kadarmanto, Pendidikan Kristiani dalam Konteks Indonesia yang Majemuk, makalah tidak
diterbitkan disampaikan dalam kegiatan Studi Banding PAK-KATEKISASI GPM tahun 2008.

36

VII. KETERANGAN
Para katekisan dibagi dalam kelompok, lalu diminta mendiskusikan, antara lain: (1) gejala apa sajakah yang
dapat diidentifikasikan, dari ketiga kecenderungan beragama dengan konteks bergereja setempat (mana
yang sama, mana yang berbeda); (2) makna apakah yang dipetik dari kecenderungan sedemikian, khususnya
selaku umat yang beragama pula.

1. IDENTITAS
2. Program Sajian : GEREJA
3. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
4. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Gereja yang Universal dan Multiversal
5. Bahan Bacaan Alkitab : Maz. 35:18; I Kor.12:12-27; Rm. 16:1-16
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 3.2)
7. Semester : I (Ganjil)

2. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami eklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

VI. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan arti gereja yang universal
2. Menjelaskan gereja yang multiversal
3. Menumbuhkan sikap keterpanggilan sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia.

VII. URAIAN MATERI


Eklesiologi berasal dari kata ekklesia yang berarti gereja yang dipanggil ke luar (eks, luar dan kaleo,
panggil) untuk mewujudkan suatu persekutuan orang percaya yang di tempatkan di tengah dunia (berada di
dunia tetapi bukan berasal dari dunia; band. Yoh.17). Dengan demikian, ekklesiologi pada hakekatnya
berkaitan dengan cara pandang gereja memahami Tuhannya, diri dan peranannya di tengah panggilan dan
pengutusannya.
Dalam Pembukaan (Mukadimah) Tata Gereja GPM, terdapat pengakuan akan Allah yang Mahaesa;
yaitu Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, yang terus menerus bertindak dalam sejarah dunia, dan
umat manusia di seluruh dunia, sampai ke bumi Maluku.
Pengakuan ini sekaligus mengungkapkan pula sikap mendasar umat Allah terhadap Allah yang telah
bertindak bagi umat itu sendiri di tengah-tengah dunia dan sejarah bangsa. Di sinilah terletak gereja yang
universal, sebagai wujud dari gereja sejagat, tanpa batas-batas ruang dan waktu; tanpa batas suku dan
budaya; bangsa dan bahasa; serta tanpa batasan lapisan sosial.
Gereja yang universal, dengan kata lain, merupakan gereja yang terus terpanggil untuk menggarami,
dalam semangat universal; gereja dalam segala abad dan tempat, dengan tetap mengakui Yesus Kristus
sebagai Kepala.
Sedangkan gereja yang multiversal, adalah gereja setempat, gereja yang terpanggil dari dan di tengah
konteksnya, yang melalui proses sejarah kelahirannya, turut mewarnai corak dan karakter setempat gereja itu
sendiri.
Selanjutnya, dalam rangka penatalayanan jemaat di tengah konteks yang luas dan kompleks, maka
jemaat multiversal ditatalayani dalam formasi jemaat kategorial, fungsional, dan sebagainya (sesuai kondisi
dan kebutuhan setempat). Dalam karakteristik masing-masing jemaat tersebut, mereka tetap terpanggil
sebagai satu kesatuan yang utuh, dan yang menjadi bagian pula dari Tubuh Kristus yang satu (kudus, am dan
rasuli).
GPM sendiri pada dirinya pun, memiliki dua karakter hakiki yang melekat pada dirinya, yakni sebagai
bagian dari gereja yang universal, dan sekaligus pula menampakkan dirinya sebagai gereja yang multiversal di
tengah konteksnya, sebagaimana yang secara kongkrit nampak melalui kehadiran jemaat-jemaat di seluruh
aras pelayanan GPM ( di Maluku dan Maluku Utara).
Dan sebagai wujud dari keberadaan GPM sebagai gereja yang multiversal dan universal itulah, GPM pun
(1) bersifat terbuka dalam jalur dan hubungan kerjasama yang oikoumenis dengan gereja-gereja di aras lokal,
regional, nasional bahkan internasional, dan (2) hubungan dan kerjasama yang dibangun, dilakukan secara
lebih dinamis, kritis, kreatif dan realistis, (3) serta bahkan perwujudan kongkrit tersebut dilakukan dengan
melibatkan diri dalam lingkup pergumulan gereja secara mondial (dunia), dalam hal mana GPM menjadi
anggota dari badan-badan oikoumenis seperti: GPI, PGI, CCA (Dewan Gereja Asia), WARC (Dewan Gereja
Reformasi se-dunia), dan WCC (Dewan Gereja se-Dunia).

VIII. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian GPM selaku gereja yang universal
2. Jelaskanlah pengertian GPM selaku gereja yang multiversal
3. Diskusikanlah corak kegerejaan yang universal dan multiversal dengan segala karakteristiknya.
37
IX. PUSTAKA ACUAN
1. Alkitab dan Konkordansi
2. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, tahun 2006
3. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
4. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005

IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.2. Presbiterial Sinodal
4. Bahan Bacaan Alkitab : Luk.24:15; Efesus 4:1-16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 3.1)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

I. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami eklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia

II. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan pengertian presbiterial-sinodal dalam perbandingannya dengan sistem lainnya
2. Mengidentifikasikan praktek presbiterial-sinodal dalam konteks GPM
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3. Merefleksikan makna sistem presbiterial-sinodal dalam konteks panggilan gereja yang diutus ke dalam dunia

III. URAIAN MATERI


1. Dalam sejarah perkembangan system bergereja, dikenal adanya tiga system, yaitu system atau susunan
episkopal, territorial, dan kolegial. Dalam perkembangan kemudian, khususnya pada masa reformasi,
Yohanis Calvin dalam kajiannya terhadap Perjanjian Baru menemukan system Presbiterial-Sinodal, yang
menurut Calvin sebagai suatu system yang lebih alkitabiah. Dalam perkembangan selanjutnya ketiga system
ini mewujud pada aliran atau system bergereja dengan sebutan system (1) “Presbiterial-Sinodal”; (2) system
episkopal [pemerintahan gereja di tangan para episkop atau uskup] dan (3) system kongregasional
[pemerintahan gereja di tangan jemaat). GPM sendiri ~sesuai dengan latar belakang gereja beraliran
Calvinis, memilih bentuk Presbiterial-Sinodal sebagai system “pemerintahan gereja”.
2. Secara etimologis (asal-usul kata) istilah presbiterial-sinodal berarti para presbiter (presbyteroi) yang berjalan
bersama (sun=bersama+hodo = jalan) dalam suatu pelayanan (kepemimpinan). Dengan kata lain,
kepemimpinan gereja berada dalam suatu pola berjalan bersama dari para presbiter yang dipercayakan
oleh Tuhan melalui jemaat (melalui suatu mekanisme pemilihan).
3. Pikiran dasar dari sistim bergereja ini adalah pimpinan atau pemerintahan gereja oleh Kristus sebagai Kepala
dan Tuhannya: Kepala dari tubuhNya dan Tuhan dari jemaatNya. Pimpinan atau pemerintahan ini
berlangsung oleh pekerjaan Firman dan RohNya. Dengan demikian, gereja ~baik sebagai persekutuan
maupun sebagai lembaga atau institut/organisasi~ dipegang oleh Kristus sebagai Kepala dan Tuhannya,
dengan mewujudkannya melalui perantaraan pejabat-pejabat gerejawi, yang berperan sebagai alat atau
para hambaNya.
4. Adapun ciri utama dari system Presbiterial-Sinodal, antara lain:
4.1. Titik-tolaknya ialah jemaat (gereja) setempat. Sebab patut diingat bahwa gereja setempat
sesungguhnya merupakan manifestasi dari gereja Kristen yang kudus dan am. Karena itu, iapun
merupakan gereja dalam arti yang sesungguhnya. Dan sebagai gereja, dalam kehadirannya pun
berlangsung pelayanan pastoral dan disiplin, pelayaan firman dan diakonal. Dengan demikian jabatan-
jabatan gerejawi mendapat tempat dan fungsinya.
4.2. Pimpinan (pemerintahan) gereja dipercayakan kepada suatu majelis, yang beranggotakan pejabat-
pejabat gerejawi tertentu. Para pejabat gerejawi tersebut pada dasarnya sama, tidak ada yang lebih
tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Para anggota dari majelis ini (yang disebut sebagai majelis
jemaat), terdiri dari pendeta, pengajar, penatua dan diaken.
4.3. Selain daripada siding Majelis Jemaat (gereja), ada siding-sidang lainnya yang lebih luas cakupannya(
Mis. Sidang Jemaat, Klasis, dan Sinode).
4.4. Gereja mempunyai suatu kemandirian yang tertentu terhadap pemerintah, khususnya di bidang tugas
dan pelayanan pejabat-pejabat gerejawi.
5. GPM mengembangkan dan mewujudkan system presbiterial-sinodal sebagai bagian dari panggilan dan
pengutusannya di tengah dunia, dengan memberikan ruang emansipasi bagi kalangan non-pendeta
(penatua / diaken / bahkan kaum awam), sehingga GPM tidak terjebak menjadi “gereja –pendeta”.
Dengan begitu, pembagian peran pelayanan di tengah konteks gereja pulau-pulau menjadi lebih efektif.

IV. EVALUASI
1. Menjelaskan pengertian presbiterial-sinodal dalam perbandingannya dengan sistem lainnya
2. Mengidentifikasikan praktek presbiterial-sinodal dalam konteks GPM
3. Merefleksikan makna sistem presbiterial-sinodal dalam konteks panggilan gereja yang diutus ke dalam dunia
38
V. KEPUSTAKAAN
1. Abineno, J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3.1. Amanat dan Pola Pelayanan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mrk 1:5; Luk.4:18-20, Ef.2:21; 4:16
5. JWaktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Katekisan dapat memahami eklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami amanat dan pola pelayanan gereja (GPM)
2. Mengidentifikasikan amanat dan pola pelayanan gereja (GPM)
3. Merefleksikan amanat dan pola pelayanan gereja dalam peranan katekisan sebagai warga gereja

IV. URAIAN MATERI


1. Sebagai gereja, GPM menatalayani panggilan dan pengutusan misionernya melalui suatu amanat dan pola
pelayanan yang “rapi tersusun”. Artinya, amanat dan pola pelayanan GPM dirumuskan sebagai suatu
system penyelenggaraan pelayanan yang teratur dan disiplin, mulai dari aras pelayanan jemaat , klasis dan
sinode.
2. Dalam Tata Gereja – GPM Bab IV Pasal 7 diuraikan tentang Amanat Pelayanan Gereja, sedangkan pada
pasal 8 tentang Pola Pelayanan Gereja, yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
2.1. Bahwa Amanat Pelayanan Gereja, pada hakekatnya mengisyaratkan tentang panggilan gereja untuk
memberitakan Injil kepada segala makhluk di segala tempat dan masa serta pada segala situasi dan
kondisi. GPM meyakini bahwa Injil Yesus Kristus yang diberitakan adalah Berita Kesukaan mengenai
pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia serta kebebasan, keadilan, kebenaran dan
kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia. Sebab Injil adalah kekuatan Allah yang
menyelamatkan.
2.2. Dalam rangka memenuhi dan melaksanakan Amanat Pelayanan Gereja itu, maka GPM
mewujudkannya melalui jalan:
a. Pekabaran Injil di dalam dan ke luar gereja
b. Ibadah jemaat, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen Kudus (Baptisan dan Perjamuan)
c. Pendidikan, Pelayanan Kasih, Keadilan dan Perdamaian (Diakonia)
d. Pembinaan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana
e. Pelayanan penggembalaan dan disiplin gerejawi (pastoralia)
f. Katekisasi
g. Pendidikan Agama Kristen dari TK sampai Perguruan Tinggi
h. Pembinaan umat di dalam keluarga-keluarga jemaat di antara kelompok kategorial, fungsional,
professional dan sektoral
i. Pelestarian lingkungan hidup
j. Hubungan dan kerjasama oikoumenis
k. Hubungan dan kerjasama dengan pemerintah
l. Hubungan dan kerjasama dengan golongan-golongan lain yang berbasis keagamaan, social, politik,
ekonomi dan lainnya
m. Bentuk-bentuk pelayanan 39lainnya yang sesuai dengan Amanat Pelayanan Gereja.
2.3. Sedangkan untuk Pola Pelayanan Gereja, disebutkan bahwa GPM menjalankan tugas pelayanannya
dengan berpolakan pada Yesus Kristus sebagai HAMBA yang taat dan mengosongkan diriNya untuk
melayani ~dan bukan untuk dilayani~; sebagai IMAM, yang rela berkroban tanpa pamrih demi tugas-
tugas pelayanan pendamaian di antara gereja, masyarakat dan sesame manusia; sebagai NABI, yang
menaklukkan segala sesuatu ke bawah penilaian Firman Allah, terutama dalam menegakkan keadilan,
kebenaran dan kesejahteraan umat manusia, gereja, masyarakat, bangsa dan Negara; dan sebagai
GEMBALA, yang menjalankan tugas-tugas kepemimpinan dan pelayanan gereja di bawah arahan dan
tuntunan Gembala Yang Baik.

3. Adapun bangunan GPM tersebut ditata menurut beberapa pilar bergereja berdasarkan Yesus Kristus selaku
dasar yang disaksikan oleh Alkitab. Pilar aturan (konsititusi) hukum bergereja ditata dalam hirarkis keputusan,
yakni:
3.1. TATA GEREJA - GEREJA PROTESTAN MALUKU
3.2. PERATURAN POKOK
3.3. PERATURAN ORGANIK
3.4. TATA PELAYANAN (bagi Anak-Remaja dan Katekisasi; Perempuan, Laki-Laki, dan Lanjut Usia).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Sedangkan kebijakan dan arah program pelayanan dikembangkan berdasarkan pola sentralisasi visi dan
desentralisasi prakarsa dengan merujuk pada:
a. PIP/RIPP (Pola Induk Pelayanan / Rencana Induk Pengembangan Pelayanan) atau Renstra (Rencana
Strategis) Pelayanan Gereja
b. Keputusan dan atau rekomendasi yang ditetapkan dalam persidangan gerejawi di aras Sinode
(persidangan Sinode setiap 5 tahun sekali; persidangan Badan Pekerja Lengkap Sinode setiap 1 tahun
sekali, Persidangan KLasis dan Jemaat yang diselenggarakan setiap tahun sekali)
c. Rapat-rapat BPHS (Badan Pekerja Harian Sinode) selaku mandataris persidangan Sinode, Rapat BPK
(Badan Pekerja Klasis) dan Rapat PHMJ (Pimpinan Harian Majelis Jemaat). Sedangkan setiap wadah
pelayanan (anak-remaja, perempuan, laki-laki, unit dan sektor) dan organisasi gerejawi (Angkatan Muda
GPM) menatalayani kegiatan pelayanan, kesaksian, persekutuan dan pemberdayaan dengan mengacu
pada visi sentral GPM dan diaplikasikan secara kontekstual sesuai dengan kebutuhan masing-masing, dan
berlangsung secara sinergis (terpadu) pula.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian amanat dan pola pelayanan gereja
2. Identifikasikanlah amanat dan pola pelayanan gereja
3. Apa makna amanat dan pola pelayanan gereja dalam peranan katekisan sebagai warga gereja

VI. KEPUSTAKAAN
1. Abineno J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007

40
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3.2. Uraian Tugas Pelayanan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mrk 1:5; Luk.4:18-20, Ef.2:21; 4:16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Katekisan dapat memahami eklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami uraian tugas pelayanan gereja, khususnya dalam lingkup GPM
2. Mengidentifikasikan uraian tugas pelayanan gereja (GPM)
3. Mendiskusikan uraian tugas pelayanan gereja (GPM)

IV. URAIAN MATERI


1. GPM mengemban catur panggilan gereja (sebelumnya dikenal dengan sebutan tri-panggilan gereja), yakni
pola pelayanan gereja yang terdiri dari 4 (empat) hal, yakni:
Pertama, Persekutuan (koinonia). Tugas persekutuan merupakan pilar bagi bangunan pelayanan, kesaksian
dan pemberdayaan gereja Tuhan. Sebab aspek persekutuan atau koinonia mengisyaratkan relasi antara
Tuhan sebagai Kepala Gereja dengan gereja sebagai TubuhNya, relasi di antara anggota Tubuh Kristus itu
sendiri (band. I Kor.12:12-31), dan selanjutnya relasi antara gereja dengan lingkungannya (atau yang lazim
dikenal sebagai panggilan untuk mewujud keesaan dalam konteks ekumenis semesta; lihat sub pokok
bahasan tentang Kiprah Ekumenis Semesta). Koinonia dipandang sebagai pilar dengan asumsi bahwa
apapun pelayanan, kesaksian dan pemberdayaan gereja, semuanya tidak akan bermakna dan terwujud
apabila aspek persekutuan tidak terbangun.
Kedua, Pelayanan (diakonia). Tugas diakonia gereja merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakekat
gereja itu sendiri, sebagai gereja yang melayani. Seluruh panggilan pelayanan gereja bukanlah dalam
konteks do ut des (memberi supaya diberi), melainkan justru karena gereja atau orang percaya telah lebih
dulu dilayani oleh Kristus melalui karya penebusan dan penyelamatanNya, maka sebagai tanda syukur dan
respons terhadap apa yang telah Kristus kerjakan, maka gereja pun terpanggil untuk mewujudnyatakan
pelayanan kepada Tuhan, sesama dan lingkungannya, dengan antara lain mengingat bahwa:
 Pelayanan gereja adalah pelayanan yang holistic (utuh, jasmani-rohani) demi terwujudnya petobatan,
kasih, keadilan, kebenaran dan damai sejahtera, serta pemulihan hidup yang menyeluruh.
 Pelayanan gereja adalah pelayanan yang rendah hati dan penyangkalan diri (tidak mencari nama atau
popularitas dan kepentingan apapun di balik pelayanan yang dilakukan)
 Pelayanan gereja demi mewujudkan kehadiran gereja itu sendiri sebagai church for others and church
with others (gereja bukan semata-mata untuk orang lain melainkan juga bersama dengan orang lain)
Kedua, Kesaksian (marturia). Panggilan untuk bersaksi, sesungguhnya menunjuk pada kehadiran gereja
untuk memberitakan Injil sukacita/kabar baik (euanggelion) bagi dunia dan sesame. Apa yang disaksikan
oleh gereja adalah bukan tentang dirinya, karyanya, prestasi dan segala daftar kesuksesannya di tengah
dunia dan sejarah, tetapi yang disaksikan adalah kebesaran kasih dan kuasa Allah di tengah sejarah
penyelamatan gereja dan dunia ciptaanNya, sebagaimana yang diimani di dalam Yesus Kristus, AnakNya
yang tunggal. Seluruh upaya kesaksian ini disadari sebagai suatu proses yang melekat dalam diri gereja
sepanjang masa, sehingga panggilan
41 kesaksian ini hanya dimungkinkan oleh kuasa dan campur tangan Roh
Kudus. Tanpa Roh Kudus, segala kesaksian gereja, bukanlah suatu kesaksian, melainkan hanyalah cerita,
dongeng, lakon, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam konteks bersaksi, gereja sadar bahwa ia
hanyalah alat / saluran (vehicle) dan bukanlah tujuan.
Ketiga, Pemberdayaan (oikonomia). Panggilan untuk mewujudkan tugas pemberdayaan, sesungguhnya
dilakukan dalam kerangka menatalayani ekonomi Allah. Artinya, gereja menyadari bahwa bumi dan segala
isinya adalah milik Tuhan Sang Pencipta (Mazmur 24:1). Manusia (termasuk gereja) hanyalah mandataris
(penerima mandat) untuk berkarya menatalayani potensi kasih karunia yang telah dianugerahkan. Oleh
karena itu, segala potensi kasih karunia tersebut mesti diberdayakan, ditatakelola sedemikian rupa, sehingga
bermakna bagi banyak orang dan demi memuliakan nama Tuhan. Gereja ( segenap orang percaya)
terpanggil untuk memberdayakan potensi ekonomi umat Tuhan, sebagai wujud dari pertanggungjawaban
talenta yang telah dipercayakan kepadanya, sehingga gereja tidak kedapatan seperti gadis-gadis yang
bodoh atau hamba yang jahat dan malas (Matius 25:1-30). Namun seluruh upaya pemberdayaan ekonomi
bukanlah untuk ekonomi; semuanya hanyalah sarana untuk menjadi berkat dan memuliakan nama Tuhan
(soli Deo Gloria).

2. Dalam konteks organisatoris, seluruh perangkat dan lembaga gerejawi dibagi dan diatur peran dan
fungsinya, antara lain sebagai berikut:
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2.1. Di aras Jemaat


2.2.1. Majelis Jemaat adalah badan gerejawi di tingkat jemaat yang berfungsi memimpin, mengarahkan
pelayanan gereja, melengkapi warga jemaat, dan yang mewakili jemaat berdasarkan Tata-
Gereja, Peraturan dan Keputusan gerejawi lainnya.
2.2.2. PHMJ (Pimpinan Harian Majelis Jemaat) adalah pelaksana sehari-hari keputusan Majelis Jemaat
dalam melaksanakan amanat pelayanan gereja di jemaat setempat.
2.2.3. Persidangan Jemaat adalah lembaga legislatif gerejawi yang tertinggi di tingkat jemaat yang
antara lain bertugas (1) mengevaluasi laporan pertanggung jawaban pelayanan dan keuangan
jemaat, (2) menetapkan program dan anggaran pendapatan-belanja pelayanan di jemaat.
2.2.4. Sektor Pelayanan adalah suatu bagian dalam jemaat berdasarkan pembagian wilayah pelayanan
dari suatu jemaat yang meliputi beberapa unit pelayanan
2.2.5. Unit Pelayanan adalah suatu bagian dalam sektor pelayanan yang meliputi beberapa keluarga
2.2.6. Jemaat adalah persekutuan orang-orang percaya yang berada pada suatu tempat tertentu di
dalam wilayah pelayanan Gereja Protestan Maluku.

2.2. Di Aras Klasis


2.2.1. Persidangan Klasis merupakan lembaga pengambilan keputusan tertinggi di tingkat klasis
2.2.2. Badan Pekerja Klasis, merupakan badan gerejawi yang berkedudukan di bawah persidangan klasis
dan bertugas antara lain: (1) Membina dan memimpin proses perkembangan jemaat, (2)
Melaksanakan persidangan klasis, (3) Mengawasi segala pekerjaan Pejabat Gereja dalam wilayah
kerja Klasis, (4) Menyampaikan kepada persidangan klasis dan BPH Sinode, laporan tahunan
tentang masalah yang dihadapi dalam wilayah kerjanya, (5) Mengusulkan kepada BPH Sinode,
pengangkatan, penempatan, pemindahan dan pembebasan pejabat-pejabat gereja dalam
Klasis, (6) Mengurus dan mengawasi harta milik gereja baik bergerak maupun yang tidak bergerak.
2.2.3. Koordinator Klasis adalah lembaga non structural di tingkat KLasis Kabupaten atau yang setingkat
dengan itu.
2.2.4. Klasis adalah kesatuan pelayanan GPM menurut wilayah kerja yang meliputi sejumlah jemaat
berdasarkan kondisi geografis dan praktis merupakan satu kesatuan pelayanan

2.3. Di Aras Sinode


2.3.1. Sinode adalah majelis tertinggi dalam jenjang kepemimpinan GPM
2.3.2. BPL (Badan Pekerja Lengkap) Sinode adalah badan legislative yang berada di bawah Persidangan
Sinode
2.3.3. BPH (Badan Pekerja Harian) Sinode adalah badan eksekutif dalam GPM
2.3.4. BP (Badan Pertimbangan) Sinode, sebagai badan penasehat BPH Sinode.
2.3.5. Sekretaris Umum adalah unsure staf perangkat pelaksana dari BPH Sinode GPM
2.3.6. Departemen, adalah unsure pelaksana program BPH Sinode yang berada di bawah koordinasi
Sekretaris Umum
2.3.7. Badan Non Departemen adalah unsur pembantu dari BPH Sinode yang setingkat dengan
Departemen, dibentuk oleh BPH Sinode untuk menangani bidang-bidang tertentu yang
kedudukannya dapat bersifat sementara atau permanen di bawah koordinasi Sekretaris Umum.
2.3.8. Biro adalah bagian dari Departemen dan merupakan unsure staf untuk pelaksanaan pekerjaan-
pekerjaan tertetu

3. Dalam konteks tugas pelayan khusus (Pendeta/Penginjil, Penatua dan Diaken), diatur pembagian tugasnya
sebagai berikut: 42
3.1. Pendeta / Penginjil, antara lain bertugas (1) memimpin serta bertanggung jawab atas ibadah,
pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, (2) melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi
semua pelayan dan anggota jemaat, (3) bersama penatua dan diaken bertanggungjawab atas
penyelenggaraan katekisasi, pembinaan umat, pendidikan agama Kristen di sekolah, pekabaran Injil,
pelayanan kasih dan keadilan, (4) membina serta mendorong semua warga jemaat untuk
menggunakan potensi dan karunia yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab, (5) melakukan
fungsi organisasi dalam GPM sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja lainnya yang
berlaku.

3.2. Penatua, antara lain bertugas (1) bersama pendeta dan atau penginjil dan diaken, bertanggung jawab
atas penyelenggaraan Ibadah, pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, (2) bersama pendeta
dan atau penginjil dan diaken, melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi semua anggota
jemaat, (3) melaksanakan pembinaan umat secara kategorial, fungsional, professional maupun sektoral
(4) membina kehidupan warga jemaat yang tertib dan teratur, di mana Persekutuan orang-orang
Percaya terpelihara sebagai basis bagi pelaksanaan pelayanan gereja dalam arti yang luas. (5) bersama
pendeta dan atau penginjil dan diaken, bertanggung jawab atas pelaksanaan katekisasi, pembinaan
umat, pendidikan agama Kristen di Sekolah, PI, Pelayanan Kasih dan Keadilan, (5) melakukan fungsi
organisasi dalam GPM sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja lainnya yang
berlaku.

3.3. Diaken, antara lain bertugas :


3.3.1. Bersama pendeta dan atau penginjil dan penatua, bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Ibadah, pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3.3.2. Bersama pendeta dan atau penginjil dan penatua, melaksanakan pelayanan penggembalaan
bagi semua anggota jemaat.
3.3.3. Membina potensi dan karunia yang diberikan Tuhan bagi anggota jemaat agar dimanfaatkan
secara baik dan bertanggungjawab dalam memenuhi Amanat Pelayanan Gereja.
3.3.4. Bertanggung jawab atas Pelayanan Kasih dan Keadilan serta Perdamaian dalam arti yang seluas-
luasnya
3.3.5. Bersama pendeta dan atau penginjil dan penatua, bertanggung jawab atas pelaksanaan
katekisasi, pembinaan umat, pemberitaan Injil dan pendidikan agama Kristen di Sekolah
3.3.6. Melakukan fungsi organisasi dalam GPM sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan
Gereja lainnya yang berlaku.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah uraian tugas pelayanan gereja, khususnya dalam lingkup GPM
2. Sebutkanlah garis besar uraian tugas pelayanan gereja
3. Diskusikanlah uraian tugas pelayanan gereja yang nampak dalam praktek jemaat setempat

VI. KEPUSTAKAAN
1. Abineno J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3.3. Pola Pelayanan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mrk 1:5; Luk.4:18-20, Ef.2:21; 4:16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Katekisan dapat memahami eklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami pola pelayanan gereja dalam konteks Gereja Protestan Maluku
2. Mengidentifikasikan kandungan pola pelayanan gereja (GPM)
3. Mendiskusikan pergeseran pola pelayanan gereja (GPM) yang baru

IV. URAIAN MATERI


1. GPM menatalayani seluruh system penyelenggaraan pelayanannya melalui suatu pola pelayanan yang
bersifat sistimatis, strategis, periodik
43 dan terukur. Adapun pola pelayanan tersebut dikenal dengan POLA
INDUK PELAYANAN (PIP) dan RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PELAYANAN (RIPP) Gereja Protestan Maluku,
yang saat ini ditetapkan untuk kurun waktu TAHUN 2005 hingga TAHUN 2015 (selama sepuluh tahun atau satu
dasawarsa).
2. Dalam PIP dan RIPP tersebut, terkandung beberapa hal, sebagai berikut:
2.1. RENSTRA PELAYANAN, yaitu pokok-pokok kebijaksanaan umum pelayanan, yang ditetapkan oleh
persidangan Sinode (5 tahun sekali), yang berfungsi memberi arah, tuntunan dan haluan bagi
penyelenggaraan pelayanan GPM, selama kurun waktu sepuluh tahun.
2.2. DASAR PELAYANAN, yakni gagasan-gagasan dasar gereja, dirinya, tugas panggilan, visi dan misinya,
yang berfungsi mendasari perencanaan pelayanan gereja untuk sepuluh tahun.
2.3. VISI PELAYANAN, yang merupakan idealisasi profil keumatan dan kelembagaan gereja yang ingin
dicapai dalam kurun waktu sepuluh tahun, untuk mewujudkan gereja yang bersekutu, bersaksi dan
melayani, mewujudkan Injil Kerajaan Allah di dunia.
2.4. MISI PELAYANAN, yang merupakan penjabaran teknis dari visi pelayanan, yang merupakan rangkaian
kegiatan-kegiatan utama, yang akan dijbarkan pula secara operasional pada bidang-bidang
pelayanan.
2.5. STRAGEGI KEBIJAKAN PELAYANAN, yakni strategi yang disusun sesuai bidang-bidang pelayanan, yang
ditetapkan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai bidang-bidang serta berdasarkan fungsi, peran,
kewenangan dan tanggung jawab penyelenggara pelayaan gereja pada tingkat sinode (BPH), Klasis
(BPK) dan Jemaat (Majelis)

3. Dalam kerangka PIP/RIPP yang dimiliki oleh GPM kini, termuat beberapa pergeseran titik-tolak yang
dikembangkan dalam pola pelayanan selama dasawarsa 2005-2015, yakni antara lain:
3.1. Penguatan Karakter manusia, pemberdayaan serta pembangunan jemaat dan masyarakat yang lebih
ditekankan daripada penguatan kelembagaan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3.2. Penguatan Eklesiologi yang tidak hanya sebatas pola parochial dan territorial
3.3. Pluralisme Masyarakat dan keberadaan agama-agama mendapat porsi yang lebih memadai, sebagai
konteks berteologi gereja yang riil
3.4. Krisis multidimensional (kasus Maluku) yang mengisyaratkan panggilan gereja untuk mewujudkan tatanan
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang baru, demi terbangunnya Maluku yang lebih bersatu,
berkeadilan, berkesejahteraan, berkedamaian, serta menjunjung tegaknya harkat dan martabat
manusia
3.5. Penguatan kesejahteraan dan keadilan di tengah umat dan masyarakat, dengan antara lain gereja
berjuang membebaskan rakyat dari struktur yang menindas dan memiskinkan
3.6. Penguatan kepedulian etik dan moral yang memengaruhi kehidupan bergereja, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

4. Seluruh kerangka dan scenario pembinaan dan pelayanan gereja ini, selanjutnya diimplementasikan dalam
konteks wilayah ( KLasis) maupun jemaat-jemaat, melalui keputusan persidangan masing-masing jemaat,
bahkan di aras pergumulan organisasi dan wadah-wadah pelayanan, antara lain: Anak-Remaja-Katekisai;
Angkatan Muda GPM (yang walaupun memiliki kemandirian, namun tetapi membangun sinergisitas dan
singkronisasi dengan seluruh tatanan pelayanan GPM); Wadah Pelayanan Perempuan dan Laki-Laki; Unit,
Sektor dan lainnya.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pola pelayanan gereja dalam konteks Gereja Protestan Maluku
2. Identifikasikanlah kandungan pola pelayanan gereja (GPM)
3. Diskusikanlah pergeseran pola pelayanan gereja (GPM) yang baru

VI. KEPUSTAKAAN
1. Abineno J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007

I. IDENTITASI
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.4. Ibadah dan Musik Gereja
3.4.1. Arti dan Tujuan Ibadah dan Musik Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Rm. 12:1-8; Mzr. 150; Kol. 3:12-17; 1 Kor 14:23-26
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x Tatap-Muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN 44


Memahami Ekklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan arti Ibadah
2. Menjelaskan tujuan Ibadah
3. Menjelaskan arti Musik Gereja
4. Menjelaskan tujuan Musik Gereja

IV. URAIAN MATERI


1. Secara harfiah, ibadah berarti suatu kondisi moral atau tindakan-tindakan keagamaan dari seorang pribadi
atau kelompok yang nampak di dalam rasa hormat, pemujaan, kesetiaan menyampaikan rasa hormat
kepada kepada yang Ilahi.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Thomson menyatakan, bahwa kosa kata ibadah dalam Alkitab sangat luas, tapi konsep asasinya baik dalam
PL maupun PB ialah pelayanan. Kata Ibrani avoda dan kata Yunani latreia pada mulanya menyatakan
pekerjaan budak atau hamba upahan. Dan dalam rangka mempersembahkan ibadah ini kepada Allah,
maka para hamba-Nya harus mempersiapkan ibadah sebagai pengungkapan rasa takut penuh hormat,
kekaguman dan ketakjuban penuh puja.
Dalam Perjanjian Baru, isitilah ibadah yang digunakan merupakan terjemahan dari tiga istilah Yunani, yaitu
istilah leitourgia (Kisah Para Rasut 13 : 2, beribadah kepada Allah), lateria (Roma 12 : 1, mempersembahkan
seluruh tubuh atau hidup kepada Allah), dan therskeia (Yakobus 1 : 26 - 27, pelayanan kepada janda-janda
dan anak yatim piatu dalam kesusahan mereka).
Menurut Abineno, ibadah jemaat adalah tempat di mana Allah bertemu dengan jemaat dan jemaat
bertemu dengan Allah. Pertemuan itu juga berlangsung di tempat-tempat lain, di rumah, sekolah, kantor, di
tempat pekerjaan anggota jemaat masing-masing pada hari kerja. Ibadah jemaat adalah suatu peristiwa
dinamis karena dialog antara Allah dengan jemaat. Selain Abineno, ada juga beberapa pandangan
tentang pengertian ibadah yang perlu diperhatikan. John E. Burkhart menyatakan bahwa ibadah adalah
suatu respons yang dirayakan terhadap apa yang telah dan sedang Allah lakukan, dan yang Allah janji
untuk melakukannya; Lydia N. Niguidula menyatakan bahwa ibadah adalah respons manusia kepada Allah.
Respons yang dilakukan dapat diwujudkan dalam bentuk puji-pujian dan pengucapan syukur,
mengucapkan perasaan dosa yang mendalam, atau dalam komitmen pribadi kepada orang yang
disembah; Austin C. Lovelace dan William C. Rice menyatakan bahwa Ibadah adalah lebih dari suatu
tindakan dan interaksi antara manusia dengan Allah dan harus berlangsung dalam tindakan yang sopan.
Bertolak dari beberapa hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa ibadah adalah suatu pertemuan
dialogis yang hidup dan dinamis antara Allah dan manusia, manusia dengan Tuhan Allah dalam suatu
perayaan sebagai suatu respon manusia terhadap apa yang telah, sedang, dan yang akan lakukan.
Respons yang dilakukan terjadi dalam berbagai cara, misalnya puji-pujian dan pengucapan syukur,
mengucapkan perasaan dosa yang mendalam serta komitmen pribadi kepada Allah. Resopns yang
dilakukan merupakan suatu tindakan dan interaksi yang sopan dan penuh rasa hormat.
2. Bertolak dari pengertian ibadah, sebagaimana dijelaskan di atas maka nampak di sana bahwa yang
menjadi tujuan dari ibadah adalah memuji dan memuliakan Allah. Hal tersebut tidak terbatas pada ruang
dan waktu. Kapan dan di mana saja orang-orang Kristen beribadah, menyerahkan seluruh kehidupanya
kepada Allah. Hal memuji dan memuliakan Allah tidak hanya terjadi pada hari Minggu saja, tetapi juga
berlangsung di tempat-tempat lain, di rumah, sekolah, kantor, di tempat pekerjaan anggota jemaat masing-
masing pada hari kerja.
3. Musik Gereja (sering juga disebut dengan musik liturgi atau musik ibadah) adalah suatu cetusan ekspresi isi
hati orang Kristen yang diungkapkan dalam bunyi-bunyian yang bernada dan berirama secara harmonis,
antara lain dalam bentuk nyanyian dan alat-alat musik. Musik Gereja adalah juga musik yang dihasilkan oleh
orang-orang Kristen untuk mengekspresikan iman kepada Allah.
Musik Gereja merupakan suatu penggunaan atau pemanfaatan musik secara khusus oleh gereja di dalam
peribadahan. Perlu diingat bahwa di dalam musik gereja terdapat juga unsur-unsur musik yang berlaku
secara umum, yakni: ritme/irama, melodi, harmoni, struktur/bentuk, tempo, dinamika, dan warna suara. Akan
tetapi ada beberapa hal yang membedakan musik gereja dengan musik non gereja yakni fungsi, isi, bentuk,
dan tempat. Dari segi fungsi, jelas bahwa musik gereja difungsikan di dalam peribadahan jemaat; dari segi
isi, musik gereja mengekspresikan iman Kristen; dari segi bentuk, ada musik gereja primer (nyanyian jemaat)
dan musik gereja sekunder (musik pengiring dan para biduan: misalnya solo, duet, trio, kwartet, vokal grup,
paduan suara termasuk di dalam para biduan ini adalah prokantor).
4. Tujuan dari penggunaan Musik Gereja adalah bagi kegiatan persekutuan, pelayanan, dan kesaksian Gereja.
Hal tersebut berdimensi vertikal 45
(dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama).

V. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian Ibadah!
2. Jelaskan tujuan dari Ibadah!
3. Jelaskan pengertian musik gereja!
2. Jelaskan tujuan dari musik gereja!

VI. KEPUSTAKAAN
Alkitab, Ensiklopedia Alkitab, Kamus Alkitab, Pengantar Perjanjian Baru, Tafsiran Roma, Liturgi dan Komunikasi,
Ibadah Jemaat, Penghayatan Agama, The Worship Maze, Pengantar Ibadah Jemaat, Cermin Injil, Christian
Worship, A Life Style of Worship.Gereft yang Bemyanyi, Musik Gereja, Leadership Handbook of Preaching and
Worship, Handbook for Liturgical Studies, Liturgy and The Arts, The Worshiping Church, Called to Create, Cermin
Injil, Asas-asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan, Unsur-unsur Liturgia, Church Music, The Ministry of Music in the
Church, Pengantar Ibadah Kristen.

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.4. Ibadah dan Musik Gereja
3.4.2. Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

4. Bahan Bacaan Alkitab : Roma 12:1-8, Mazmur 150, Kol 3:12-17; 1 Kor 14:23-26
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x (100 menit)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami Ekklesiologi GPM sebagai gereja yang diutus Tuhan ke dalam dunia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan Unsur-unsur Tata Ibadah
2. Menjelaskan Bentuk Musik di dalam Ibadah
3. Menjelaskan Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi
4. Mendemonstrasikan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi

IV. URAIAN MATERI


1. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 14:26, menasihatkan anggota-anggota Jemaat di Korintus, supaya apabila
mereka datang berkumpul dalam ibadah, "hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang
seorang mazmur (=nyanyian, puji-pujian), yang lain pengajaran (=didakhe), atau penyataan (=wahyu) Allah,
atau bahasa roh (=glosolali), atau penafsiran bahasa roh". Tetapi ia memperingatkan bahwa semuanya itu
tidak boleh mereka lakukan secara sembarangan saja. Semua yang terjadi dalam ibadah , haruslah
berlangsung dengan sopan dan teratur (ayat 40) dan harus bermuara pada upaya membangun jemaat
(ayat 26).
Berdasarkan pada nasehat rasul Paulus itulah, oleh beberapa gereja telah menetapkan beberapa tata
ibadah bagi kegiatan peribadahan. Terkait dengan hal ini, Abineno mengusulkan agar kita harus
mengusahakan tata ibadah sendiri, yang dapat melayani Jemaat-Jemaat kita sebagai wahana yang baik
bagi jawaban (=respons) dan aklamasi mereka dalam ibadah-ibadah mereka. Tentang unsur-unsur tata
ibadah, Abineno mengemukakan beberapa hal antara votum, salam, introitus, penflakuan dosa,
pembehtaan anugerah dan puji-pujian, doa (=epiklese), pembacaan Alkitab dan khotbah, pengakuan
iman, doa-syafaat, nyanyian jemaat, paduan suara, persembahan jemaat, akhir ibadah (berkat).
Persiapan Ibadah. Ibadah - berjemaat - harus dipersiapkan dengan baik sehingga berlangsung dengan
sopan, teratur, tertib, dan dalam suasana yang khidmat. Persiapan ibadah mencakup berbagai hal:
persiapan pembacaan Alkitab, persiapan pemberitaan Firman, persiapan doa (syafaat), persiapan
nyanyian, dan persiapari-persiapan yang lain yang akan "dipersembahkan" dalam ibadah (bnd. 1 kor 14:26).
Votum. Kebanyakan ibadah berjemaat di Indonesia dimulai dengan votum (bahasa Latin, yang berarti:
suatu janji, suatu sumpah), Ada juga gereja-gereja yang mengawali votum dengan suatu mazmur atau suatu
kidung. yang dinyanyikan oieh jemaat sambil berdiri. Votum adalah suatu pemyataan bahwa Allah yang
telah memberikan pertolongan dan menyelamatkan jemaat, Dialah juga yang telah mengumpulkan jemaat
untuk beribadah secara bersama-sama. Ada juga yang memahami votum sebagai suatu proklamasl yang
diucapkan pemimpin Ibadah tentang pertolongan Allah yang telah mengumpulkan jemaat untuk
beribadah. Berikut ini disajikan beberapa rumusan votum yang biasa digunakan oleh kebanyakan gereja di
Indonesia: “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang telah menjadikan langit dan bumi” (Mzm
124:8). Seringkali, rumusan ini ditambahkan dengan yang tetap setia untuk selama-lamanya dan yang tidak
membiarkan pekerjaan tanganNya (Mzm 138:8 dan Mzm 146); Dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus
(Mat 28:19)”. Ada juga gereja yang tidak menggunakan votum dalam ibadah mereka. Sebagai gantinya,
mereka mengajak (memanggil) jemaat untuk beribadah dengan menggunakan suatu rumusan ajakan
(rumusan panggilan) yang biasanya dikutip dari mazmur-mazmur dan diucapkan secara berbalasan. Harus
juga diingat bahwa votum bukanlah 46 doa sehingga orang-orang yang beribadah matanya harus terbuka
dan bukan dengan mata tertutup, sebagaimana yang selama ini dilakukan. Jemaat juga jangan menutup
matanya saat votum diucapkan. Salam. Salam yang dimaksudkan di sini, adalah salam dari pemimpin
ibadah kepada jemaat dan dari jemaat kepada pemimpin ibadah. Rumusan salam yang paling sederhana
ialah salam yang dipakai oleh Jemaat-jemaat dari Gereja Lama: "Tuhan menyertai kamu!" Kemudian
dijawab oleh jemaat dengan: "Dan menyertai rohmu!" (2 Tim 4:22; bnd. 1 Tim 6:21). Rumusan salam yang lain,
adalah rumusan salam rasuli, yakni "Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan
kita Yesus kristus menyertai kamu" (bnd a.l. Rm 1:7; 1 Kor 1:2; 2 Kor 1:2; Ef 1:2), kemudian dijawab oleh jemaat
dengan: Amin! Perlu diingat bahwa Amin harus diucapkan oleh Jemaat, dan bukan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah). Hal ini (pengucapan kata amin) berlaku juga dengan pengucapan amin di tempat-tempat
lain unsur tata ibadah (mis. sesudah puji-pujian, doa, khotbah, berkat). Selain kedua rumusan salam tersebut
di atas ada juga yang mengusulkan rumusan salam: "Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah
Bapa dan

Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu" (2 Tim 1:2) atau "Kasih karunia Tuhan kita Yesus kristus, dan kasih
Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian" (2 Kor 13:13). Introitus. Ada juga gereja yang
memulai ibadah mereka dengan masuknya para pelayan ke dalam ruang ibadah dengan diringi oleh
nyanyian. Hal ini biasanya disebut dengan introitus (bahasa Latin; masuk). Dalam perkembangannya,
nyanyian yang dinyanyikan biasanya dihubungkan dengan Tahun Gerejawi (Adven, Natal, Usbu Sengsara,
Kematian, Paskah, Kenaikan, Pentakosta) dan tidak dinyanyikan pada permulaan ibadah atau pada saat
masuknya para pelayan ibadah ke dalam ruang ibadah. Dengan demikian, arti introitus makin tidak jelas.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Arti introitus semakin tidak jelas lagi ketika Gereja Lutheran di Jerman dalam abad ke-19 menggantikan
introitus dengan nas pendahuluan, yang erat dihubungkan dengan Tahun Gerejawi. Nas pendahuluan itu
diucapkan oleh pemimpin ibadah (pengkhotbah) dan dijawab oleh jemaat dengan nyanyian Gloria Kecil
(Hormat bagi Bapa serta Anak dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang ini dan selama-larnanya.
Amin). Cara tersebut kemudian diambilalih oleh Gereja-gereja di Belanda dan dari sanalah ia (nas
pendahuluan) dimasukkan ke dalam tata ibadah dari kebanyakan Gereja di Indonesia. Fungsi nas
pendahuluan, yang erat hubungannya dengan Tahun Gerejawi, ialah menempatkan ibadah dalam periode
tertentu dari sejarah penyelamatan. Nas pendahuluan hendak mengatakan kepada kita dalam periode
apa jemaat berada dalam ibadah yang dilakukan: Adven, Natal, Usbu Sengsara, Kematian, Paskah,
Kenaikan, Pentakosta. Selain Gloria Kecil, ada juga gereja-gereja di Indonesia menyanyikan juga kidung-
kidung atau mazmur-mazmur sebagai jawaban jemaat atas apa yang diucapkan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah). Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa merupakan suatu unsur yang sangat tua dalam ibadah.
Ibadah Yahudi telah mengenalnya, juga ibadah Gereja Lama dalam nyanyian-nyanyian dan doa-doanya.
Namun, kemudian pengakuan dosa difokuskan pada pengakuan dosa pribadi dalam ibadah. Pada waktu
reformasi, pengakuan dosa bersama (oleh jemaat) mulai digunakan dalam ibadah jemaat. Biasanya,
pengakuan dosa diawali dengan suatu ajakan, misalnya: "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, kita
menipu diri sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Karena itu, marilah kita merendahkan diri di
hadapan Allah dan mengaku dosa-dosa kita kepadaNya." Salah satu contoh rumusan pengakuan dosa
adalah: "Ya Allah yang Mahakuasa dan yang kekal, kami mengaku kepadaMu bahwa kami adalah orang-
orang berdosa, yang selalu berbuat jahat dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Kami mohon
kepadaMu, ya Bapa yang Pengasih dan Penyayang, janganlah memurkai dan menghukum kami dalam
kepanasan amarahMu, tetapi kasihanilah kami orang-orang yang berdosa ini, yang datang kepadaMu
dengan menyesali dosa-dosa kami. Berilah Roh Kudus bekerja di dalam hati kami, supaya kami mengenal
dosa-dosa kami, menyesalinya dan bertobat kepadaMu serta hidup sesuai dengan kehendakMu, oleh Yesus
Kristus Tuhan kami!" Pengakuan dosa, biasa diaminkan oleh jemaat dengan suatu nyanyian.
Pemberitaan Anugerah. Sebagaimana pengakuan dosa, pemberitaan anugerah juga adalah unsur ibadah
yang sangat tua dan telah lama dikenal oleh Gereja Lama dalam nyanyian-nyanyian dan doa-doanya.
Pada waktu reformasi, pemberitaan anugerah (yang diucapkan oleh pemimpin ibadah/pengkhotbah),
dimasukkan bersama-sama dengan pengakuan dosa ke dalam ibadah. Salah satu alasannya ialah: kalau
Allah tidak mengampuni dosa jemaat yang berkumpul dalam ibadah, pemimpin ibadah (pengkhotbah)
sebentar tidak dapat memberitakan Firman. Salah satu rumusan pemberitaan anugerah yang biasa dipakai
dalam ibadah adalah:
"Sebagai hamba Yesus Kristus, kami memberitakan pengampunan dosa kepada tiap-tiap orang yang
dengan jujur mengaku dosanya di hadapan Allah". Rumusan ini dilanjutkan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah) dengan mengutip suatu bagian (ayat atau beberapa ayat).
Puji-pujian. Sama seperti pengakuan dosa dan pemberitaan anugerah, puji-pujian juga telah lama dikenal
oleh Gereja lama. Akan tetapi, baru pada waktu reformasi puji-pujian dihubungkan dengan pengakuan
dosa dan pemberitaan anugerah dalam ibadah. Sebagai jawaban atas pengampunan Allah, jemaat
mengucapkan syukur kepada Allah dengan menyanyikan suatu kidung puji-pujian.
Doa Pembacaan Alkitab (Epiklese). Doa pembacaan Alkitab (Epiklese) yaitu doa untuk memohon pimpinan
Roh Kudus supaya jemaat dapat mengerti Firman yang dibacakan dan disampaikan kepadanya. Salah satu
contoh epiklese adalah: "Ya Tuhan, kami berdoa kepadaMu, pimpinlah kami oleh RohMu yang Kudus dalam
segala kebenaran dan tolonglah kami dengan kemurahanMu, supaya kami beroleh terang dari FirmanMu
yang Kudus, oleh Yesus Kristus, Tuhan kami!". Contoh lain, "Kami berdoa kepadaMu, ya Tuhan, kiranya RohMu
yang Kudus menolong kami, menyucikan hati kami dan memelihara kami dari jalan yang sesat, oleh Yesus
Kristus, Tuhan kami". 47
Pembacaan Alkitab. Pembacaan Alkitab merupakan suatu unsur tetap dari Ibadah Jemaat. Ada Gereja-
gereja yang berpendapat, bahwa pembacaan Alkitab mempunyai tempat yang tersendiri dalam ibadah
sehingga harus diatur menurut Tahun Gerejawi dan tidak perlu dihubungkan dengan nats khotbah. Ada juga
yang berpendapat, bahwa maksud pembacaan Alkitab ialah agar Firman yang dibacakan itu
diterangkan/dijelaskan kepada jemaat dalam ibadah. Oleh karena itu, bagian Alkitab yang dibacakan harus
erat berhubungan dengan nats khotbah. Hubungan yang erat antara bagian Alkitab yang dibacakan
dengan nats khotbah yang diberikan, sangat kuat ditekankan oleh para reformator (Luther, Calvin).

Khotbah (Pemberitaan Firman). Sama halnya dengan pembacaan Alkitab, khotbah (pemberitaan Firman)
adalah juga suatu unsur tetap dari Ibadah Jemaat. Perlu dipahami, bahwa khotbah bukanlah pidato atau
ceramah agama. Khotbah adalah sarana yang Tuhan pakai untuk menyampaikan FirmanNya kepada
Jemaat yang berkumpul dalam ibadah. Oleh karena itu, khotbah janganlah disampaikan dalam bahasa
yang sulit dipahami oleh anggota-anggota jemaat, tetapi semestinya disampaikan dengan
mempergunakan bahasa yang dapat dipahami oleh jemaat. Pengakuan Iman. Semula, pengakuan iman
merupakan pengakuan iman pribadi, namun kemudian menjadi pengakuan iman jemaat secara bersama-
sama. Beberapa rumusan pengakuan yang umumnya dipakai (khususnya di GPM) adalah Pengakuan Iman
Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius. Hampir semua Gereja di
Indonesia memakai pengakuan iman dalam ibadahnya. Suatu tantangan bagi gereja-gereja di Indonesia,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu pengakuan iman Kristen yang kontekstual (konteks
Indonesia, konteks jemaat). Doa Syafaat. Doa syafaat adalah permohonan jemaat kepada Allah agar
segala sesuatu yang rusak, yang bobrok, yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, ditempatkan kembali di
tempatnya yang semula, sehingga keadilan tidak diinjak-injak lagi, kebenaran tidak diperkosa lagi,
kekuasaan tidak disalahgunakan lagi, dll. Oleh karena itu, doa syafaat tidak bersifat umum, tetapi kongkrit.
Dalam doa syafaat, jemaat memohon kepada Allah supaya semua penderitaan dan kejahatan, yang
manusia tanggung dalam hidupnya (seperti kemiskinan, penyakit, kelaparan, penindasan, penyalahgunaan
kekuasaan, dan sebagainya) Allah tiadakan dari dunia ini. Jadi, doa syafaat harus dipersiapkan dengan baik
agar jemaat yang hadir dalam ibadah dapat mengerti dan dapat berpartisipasi di dalamnya, Dalam
kenyataannya, hal tersebut di atas tidak selalu terjadi. Doa syafaat seringkali menyerupai suatu pidato atau
suatu puisi atau suatu rangkuman dari khotbah yang telah disampaikan kepada jemaat. Dalam Gereja
Lama, hal-hal yang disampaikan dalam doa syafaat pertama-tama tentang para pejabat (uskup-uskup,
presbiter-presbiter, diaken-diaken, dan para pejabat lain), sesudah itu anggota-anggota jemaat (yang baru
dibaptis, yang sedang mengikuti pengajaran katekisasi, yang sakit, yang menderita, dll.), dan akhirnya dunia
(perdamaian dan penyelamatannya). Doa syafaat dalam Gereja Lama diawali dengan suatu ajakan oleh
pemimpin ibadah (pengkhotbah). Sesudah mengajak, ia menyebutkan orang-orang dan hal-hal yang harus
didoakan. Tiap-tiap doa diselingi (dijawab) oleh jemaat dengan: "Tuhan, kasihanilah kami!" Dalam hubungan
dengan hal ini, menurut Abineno, doa syafaat harus dipersiapkan dengan baik. Abineno juga berpendapat,
bahwa dengan menyebut orang-orang atau hal-hal yang harus didoakan, tiap-tiap kali perhatian jemaat
ditujukan kepada "obyek" yang tertentu itu, sehingga dengan mudah mereka dapat mengikuti dan dapat
berpartisipasi dalam doa syafaat itu. Di beberapa Gereja di Indonesia, doa syafaat diakhiri dengan Doa
Bapa Kami. Kenyataan memperlihatkan, bahwa banyak sekali pemimpin ibadah (pengkhotbah) dan
anggota jemaat yang tidak tahu mengapa sampai doa syafaat dalam ibadah-ibadah mereka diakhiri
dengan doa Bapa Kami. Karena itu, tak heran jika ada anggota jemaat (bahkan ada pula pendeta atau
majelis) yang menyangka secara keliru, bahwa fungsi doa Bapa Kami sesudah doa syafaat adalah untuk
"menyempurnakan" doa syafaat sehingga doa syafaat yang diucapkan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah) tidak mereka ikuti dan turut mendoakannya karena yang penting adalah Doa Bapa Kami
yang mengakhiri doa syafaat. Kenyataan juga memperlihatkan, bahwa ada juga pemimpin-pemimpin
ibadah (pengkhotbah) yang berpendapat demikian sehingga mreka tidak mempersiapkan doa syafaatnya
dengan baik.
Nyanyian Jemaat. Sejak dahulu, nyanyian jemaat telah mendapat tempat yang penting dalam Ibadah
Jemaat. Dalam abad-abad sebelum reformasi, nyanyian jemaat diserahkan oleh gereja kepada paduan
suara yang terdiri dari para imam. Akan tetapi, pada waktu reformasi, para reformator (terutama Luther dan
Calvin) mengembalikannya kepada Jemaat. Persembahan Jemaat. Semula, persembahan jemaat
diberikan dalam bentuk hasil bumi. Persembahan dalam bentuk uang baru dimulai pada abad ke-11. Dalam
abad pertama, sejarah perkembangan gereja, persembahan jemaat menempati kedudukan yang penting
dalam pelayanan diakonal jemaat. la bukan saja dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin, janda-janda,
anak-anak yatim piatu dan orang-orang hukuman, tetapi juga kepada orang-orang asing di dalam jemaat.
Dalam hubungan dengan kenyataan yang berlangsung di gereja-gereja di Indonesia, Abineno sangat
menyayangkan, bahwa unsur diakonal dari persembahan jemaat tersebut tidak mendapat perhatian yang
besar lagi. Persembahan jemaat harus dimanfaatkan demi pembangunan, pembinaan, pengembangan
jemaat dalam persekutuan, pelayanan dan kesaksian di bumi ini. Oleh karena itu, persembahan jemaat
harus dikelola secara baik dan benar.
Berkat. Tentang berkat, gereja-gereja belum mempunyai pendapat yang sama. Ada gereja yang
berpendapat bahwa berkat adalah permohonan dalam bentuk doa yang disampaikan oleh pelayan
(pemimpin ibadah/pengkhotbah) 48 kepada Tuhan agar la mengaruniakan berkatNya kepada Jemaat.
Sementara ada gereja-gereja yang berpendapat bahwa berkat adalah pemberian Tuhan yang benar-
benar nyata dikaruniakan kepada Jemaat oleh pelayanan pelayan. Ada juga gereja-gereja yang
menganut kedua pendapat tersebut di atas. Rumusan berkat yang biasa dipakai antara lain sebagaimana
tertulis di dalam 2 Korintus 13:13 atau Bilangan 6:24-26. Jemaat menerima berkat sambil berdiri. Sebagai
jawaban atas berkat, jemaat mengucapkan Amin! (dan ada juga yang kemudian jemaat melanjutkannya
dengan menyanyikan nyanyian permohonan berkat).

2. Musik memiliki peranan yang penting di dalam Ibadah Jemaat. Oleh karena itu, penataan musik (primer dan
sekunder) dalam Ibadah Jemaat merupakan suatu hal yang tidak boleh dilakukan secara asal-asalan, tapi
harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak yang terkait agar peranan musik untuk melayani
ibadah dapat berlangsung dengan baik.
 Musik Gereja Primer: Nyanyian Jemaat.
Nyanyian jemaat dapat dinyanyikan secara unisono atau pun secara spontan dengan membagi suara
oleh para pengibadah. Selain itu, beberapa variasi menyanyikan nyanyian jemaat berikut ini dapat
dikembangkan juga di dalam peribadahan:
 Responsoris: menyanyikan nyanyian secara berbalas-balasan antara pemimpin dan umat (seorang
solis dengan orang banyak)
 Antifonal: menyanyikan nyanyian secara berbalasa-balasan antara dua kelompok atau lebih, misalnya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

bagian kiri dan kanan jemaat, atau kiri dan kanan paduan suara, atau kiri dan kanan jemaat + paduan
suara.
 Antifonal dengan Respons (nyanyian-nyanyian dengan refrein/koor).
 Alternatim: menyanyikan bait-bait nyanyian secara bergantian. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk menyanyikan sejumlah bait nyanyian jemaat secara bergantian, yakni:
 Jemaat laki-laki (satu/dua/tiga/empat suara) — perempuan (satu/dua/tiga/empat suara) atau
sebaliknya.
 Jemaat bagian kiri (satu/dua/tiga/empat suara) — kanan (satu/dua/tiga/empat suara) atau
sebaliknya
 Jemaat orang dewasa (satu/dua/tiga/empat suara) — anak-anak (satu/dua/tiga suara) atau
sebaliknya
 Jemaat di balkon (satu/dua/tiga/empat suara) — di bawah (satu/dua/tiga/empat suara) atau
sebaliknya
 Jemaat (satu/dua/tiga/empat suara) — paduan suara (saty/dua/tiga/empat suara) atau sebaliknya
 Solis atau vocal group/duet/trio/kwartet, jemaat (satu/dua/tiga/empat suara) — musik instrumental
 Instrumental — J'emaat (satu/dua/tiga/empat suara) — paduan suara (satu/dua/tiga/empat
suara)— Jemaat (satu/dua/tiga/empat suara) — solo — instrumental
 Variasi nyanyian-nyanyian: Salam, Amin, Haleluya, Hosiana, Maranatha, Berkat
 Menyanyikan bagian kitab Mazmur secara variatif
 Menyanyikan unsur-unsur liturgi lainnya seperti Pengakuan Iman, Doa Bapa Kami secara variatif
 Kanon (menyanyikan melodi yang sama, namun saat memulai diatur sedemikian rupa sehingga
harmoni tetap terjamin)
 Resitatif: setengah bernyanyi
 Pengembangan variasi yang lain yang dapat dipertanggungjawabkan

 Musik Gereja Sekunder: Prokantor - Para Biduan - Musik Pengiring


Fungsi utama kehadiran Musik Gereja Sekunder dalam suatu Ibadah Jemaat adalah untuk memimpin dan
membimbing Jemaat untuk menyanyikan nyanyian jemaat dengan baik dan benar. Fungsi yang kedua
adalah fungsi pemberitaan, melalui nyanyian yang telah dipersiapkan untuk dinyanyikan atau dimainkan.
 Prokantor / Pemimpin Biduan / Music Director 1 Minister of Music / Pemimpin Nyanyian Jemaat / Song
Leader / Pemimpin Kegiatan Musik Ibadah. Berbagai istilah tersebut di atas menunjuk pada suatu tugas
penataan musik secara baik dan benar serta bertanggung jawab dalam suatu Ibadah Jemaat. Mereka
adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan musikal dalam suatu Ibadah
Jemaat. Sebaiknya pemimpin kegiatan Musik Ibadah adalah orang-orang yang terlatih, baik secara
musikal maupun secara liturgikal, melalui pembinaan-pembinaan khusus. Pemimpin pelayanan musik
ini tentu saja tidak dapat bekerja sendirian, tapi dapat meminta bantuan dari warga gereja dengan
talenta yang mereka miliki untuk melayani jemaat melalui berbagai kegiatan musikal di dalam ibadah
jemaat.
Di dalam sejarah peribadahan gereja, peran pemimpin nyanyian pujian terus dipertahankan dalam
berbagai pola yang bervariasi. Sesudah zaman jemaat-jemaat Perjanjian Baru dikenal peran orang-
orang yang disebut sebagai prokantor. Menurut Pandopo, merekalah yang diberi “tanggung jawab
atas penyelenggaraan seluruh musik liturgi, sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang disepakati
bersama". Fungsi prokantor ini masih dipertahankan di dalam Gereja Katolik, sedangkan di Gereja-
gereja Protestan fungsi ini dipertahankan dengan modifikasi tertentu. Misalnya di dalam jemaat-jemaat
GPIB masih ada fungsi ini, hanya tempatnya bervariasi, kadang-kadang di depan umat dan kadang-
kadang di belakang umat 49bersama dengan organis. Di dalam Gereja protestan yang lain, fungsi ini
telah diserahkan kepada alat musik pengiring (organ/gitar/kelompok suling bambu). Di dalam Gereja-
gereja Baptis, Pentakosta, dan Injili lainnya, peran ini dilakukan oleh pemimpin pujian (song leader)
bersama-sama dengan satu kelompok vokal dengan diiringi suatu unit band-music.
Jelas sekali betapa pentingnya peran prokantor di dalam ibadah gereja. Tanpa mereka, jemaat akan
bernyanyi dengan tidak teratur dan tidak sesuai dengan jiwa dari nyanyian tersebut. Pengalaman
dalam jemaat yang sama sekali tidak mengenal pemimpin musik seperti ini dan juga tidak mengenal
penggunaan alat-alat musik pengiring di dalam ibadah adalah suasana ibadah menjadi suram dan
menjemukan.

Nyanyian dikidungkan oleh jemaat dengan tempo yang lambat sekali sehingga menjemukan, atau
dengan tempo yang cepat sekali seolah suatu perlombaan kecepatan. Oleh karena itu, alangkah
baiknya gereja-gereja memberikan perhatian yang besar bagi pengadaan dan pembinaan prokantor
dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Kehadiran seorang prokantor sebagai pemimpin kegiatan
pelayanan musik dalam suatu ibadah jemaat, dalam pelaksanaannya akan menggunakan seluruh
talenta yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, sehingga fungsi musik dalam kehidupan bergereja
berlangsung dengan baik dan benar.
Beberapa tugas seorang prokantor antara lain: mengkoordinasikan dan mempersiapkan nyanyian
untuk ibadah minggu (dengan bimbingan dari pendeta jemaat/pendeta bertugas), melatih nyanyian
baru atau memperbaiki nyanyian yang keliru dinyanyikan dengan atau tanpa bantuan para biduan
dan/atau musik pengiring, menata cara menyanyikan nyanyian jemaat, menata iringan nyanyian
jemaat, menata latihan persiapan pelayanan musik untuk ibadah jemaat pada hari Minggu,
memimpin nyanyian jemaat dengan atau tanpa para biduan/musik pengiring, dll. Membirama
(1,2,3,4,6, 9,12 ketuk, dll.) merupakan suatu hal yang periu diperhatikan dari seorang prokantor.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

 Para Biduan: Solis, Duet, Trio, Kwartet, Kwintet, Sextet, Septet, Vokal Grup, Paduan Suara, dll.
Beberapa variasi menyanyi dengan atau tanpa musik pengiring yang dapat dilakukan oleh para
biduan di dalam peribadahan jemaat, antara lain:
 Unisono
 Dua Suara (harmoni terikat/bebas/feeling harmony) bersama/tidak bersama jemaat
 Tiga Suara (harmoni terikat/bebas/feeling harmony) bersama/tidak bersama jemaat
 Empat Suara (harmoni terikat/bebas/feeling harmony) bersama/tidak bersama jemaat
 Laki-laki menyanyikan melodi bersama/tidak bersama jemaat
 Perempuan menyanyikan melodi bersama/tidak bersama Jemaat
 Kwartet, Trio, Duet, Solo bersama/tidak bersama jemaat
 Solo atau Satu Kelompok bersama/tidak bersama jemaat menyanyikan melodi dengan variasi
harmonisasi oleh musik pengiring
 Pengembangan variasi yang lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
 Kehadiran musik pengiring dalam suatu ibadah jemaat semestinya dapat membantu jemaat untuk
menyanyikan nyanyian jemaat dengan baik. Proses pengiringan dapat dibagi dalam dua atau tiga
fase:
 Fase Introduksi: Jemaat dapat bernyanyi dengan baik (saat memulai, tempo, nada dasar yang
sama, nada yang tepat)
 Fase Iringan: Jemaat bernyanyi pada pitch (tinggi-rendah nada) yang tepat
 Fase Penutup.
Pengiringan yang dilakukan dapat berupa iringan yang terikat pada partitur maupun iringan yang tidak
terikat, dimana model iringan (aransemen) dibuat sedemikian rupa sehingga Jemaat dapat
menyanyikan Nyanyian Jemaat dengan baik. Selain mengiringi nyanyian jemaat, para pemain musik
pengiring dapat juga memainkan lagu-lagu khusus (jika diminta atau telah dipersiapkan oleh
prokantor) untuk waktu-waktu tertentu.
Pemain musik pengiring semestinya melakukan latihan secara teratur, sehingga kemampuan untuk
mengiringi nyanyian jemaat dapat mengalami peningkatan.
3. Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi perlu memperhatikan teks dan konteks. Pengembangan
Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi merupakan pengembangan ide-ide sehingga Ibadah dan pelayanan
Musik tidaklah monoton, tetapi dinamis sehingga tidak membosankan. Pengembangan Ibadah dan Musik
Kreatif Gerejawi juga semestinya kontekstual dan mampu melakukan pembaruan nilai yang tertanggung
jawab secara iman Kristen. Selain beberapa pengembangan ide kreatif atau ide variasi dari musik gereja di
dalam ibadah sebagaimana dijelaskan di atas, beberapa ide kreatif pegembangan ibadah yang dapat
juga dikembangkan adalah dengan memanfaatkan berbagai seni (drama, puisi, musik, tari, lukis, dll.)
sebagai media atau sarana bagi peribadahan jemaat.
Pada hakikatnya, setiap manusia dianugerahi oleh Tuhan potensi dasar dalam berkreasi seni. Hanya saja
tingkat kepekaan setiap orang berbeda-beda. Menurut Diah Latifah dan Harry Sulastianto, kreativitas berarti
kemampuan untuk menemukan, membuat, merancang ulang, serta memadukan hal atau gagasan baru
maupun lama menjadi kombinasi baru. Terkait dengan kreativitas, Noel Richard mencoba mengemukakan
beberapa ide yang dapat dikembangkan di dalam peribadahan, antara lain: pembacaan Alkitab diiringi
oleh musik dan/atau dramatisasi (main peran) oleh beberapa orang, drama-drama, tari-tarian, puisi,
memainkan alat musik untuk mengiringi ibadah, penataan ruang, membaca doa secara bersama, berdoa
di dalam kelompok untuk suatu pokok. Selain hal tersebut, kita dapat juga mengembangkan berbagai
kreativitas yang telah diberikan Allah bagi kita sehingga ibadah yang kita lakukan akan semakin dinamis dan
kreatif.
50
V. EVALUASI
1. Jelaskan Unsur-unsur Tata Ibadah!
2. Jelaskan Bentuk Musik di dalam Ibadah!
2. Jelaskan Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi!
3. Demonstrasikan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi!

VI. KEPUSTAKAAN
Alkitab, Ensiklopedia Alkitab, Kamus Alkitab, Pengantar Perjanjian Baru, Tafsiran Roma, Liturgi dan Komunikasi,
Ibadah Jemaat, Penghayatan Agama, The Worship Maze, Pengantar Ibadah Jemaat, Cermin Injil, Christian
Worship, A Life Style of Worship,Gere\a yang Bernyanyi, Musik Gereja, Leadership Handbook of Preaching and
Worship, Handbook for Liturgical Studies, Liturgy and The Arts, The Worshiping Church, Called to Create, Asas-
asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan, Unsur-unsur Litrugia, Church Music, The Ministry of Music in the Church,
Pengantar Ibadah Kristen.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebudayaan
3. Sub Pokok Bahasan : 2.1. Pandangan Iman Kristen tentang keluarga
4. Bahan bacaan Alkitab : Kej. 2:2-45; Yos. 24:19; Efs. 2:19; I Tim. 3:15
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami, merefleksikan dan mengembangkan kehidupan keluarga, masyarakat dan kebudayaan.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan fungsi keluarga
2. Menjelaskan keluarga menurut Alkitab
3. Menjelaskan Kristus sebagai dasar hidup keluarga. Kristen

IV. URAIAN MATERI


1. Fungsi Keluarga
Keluarga dianggap sebagai unit terkecil dari masyarakat, para sosiolog mengamati bahwa fungsi keluarga
adalah reproduksi, pengaturan seksual, sosialisasi, afeksi, status, perlindungan dan ekonomi. Secara ringkas
pengertian dari fungsi-fungsi ini adalah sebagai berikut :
a. Reproduksi : keluarga adalah wadah resmi dari lahirnya anak yang memiliki hak dilindungi secara hukum.
b. Pengaturan Seksual : dalam keluarga baik isteri maupun suami, memiliki hak dan kewajiban untuk saling
melayani satu terhadap yang lain.
c. Sosialisasi : orang tua memiliki tugas mengajarkan anak tentang norma dan nilai yang beriaku di dalam
masyarakat.
d. Afeksi : suami dan isteri saling mengasihi dan menerima, orang tua memberikan cinta kasih dan perhatian
kepada anak.
e. Status: penambahan gelar bagi laki-laki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu.
f. Perlindungan : anak-anak lahir mendapatkan perlindungan dari orang tua sampai ia menjadi dewasa
untuk mandiri.
g. Ekonomi : suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, dalam hal ini isteri dan
anak-anak.
Keluarga adalah suatu relasi. Mutu relasi ini akan menentukan arah dan sasaran yang bisa dicapai oleh
keluarga itu. Sebagai orang Kristen hubungan suami isteri sangat perlu mendapat perhatian yang khusus.
Karena keluarga, atau hubungan suami isteri di rumah sangat menentukan kiprah mereka di masyarakat dan
gereja. Banyak pasangan suami isteri yang masih tidak tahu bahwa perkawinan sebagai suatu lembaga,
strukturnya mengalami perubahan. Sejak pertengahan 1940an struktur perkawinan berubah dari Struktur
KELEMBAGAAN (institutional/traditional) menjadi struktur KEMITRAAN (comradeship atau companionship
atau partnership).
Keluarga yang bersifat Kelembagaan percaya. bahwa orang lelaki sebagai kepala keluarga adalah
satu-satunya pencari nafkah 51dan pengambil keputusan terakhir, sedangkan perempuan adalah
satu-satunya ibu rumah-tangga. Orang menikah, karena orang lain dan menurut tradisi, orang normal
adalah yang orang yang menikah. Pernikahan bukan lagi pilihan tetapi keharusan. Sehingga bentuk
perkawinan biasa disebut Kawin-Rencana (arranged-married), tidak harus berdasarkan cinta.
Keluarga yang bersifat Kemitraan percaya bahwa pernikahan adalah suatu pilihan yang didasarkan pada
hubungan yang mesra. Pernikahan terjadi berdasarkan cinta.

Pernikahan Kemitraan mendasarkan relasi suami isteri pada nilai-nilai dakhil (internal), misainya seperti cinta,
kepribadian dan lain-lain, dari pada tekanan pada peraturan-peraturan lahiriah. la lebih inovatif dari pada
statis dalam hal relasi pernikahan. Menekankan pada kebahagiaan pribadi dari pada menjalankan peran
dan tugas. Pengutaraan diri dari pada subordinasi. Konflik dilalui dengan negosiasi dari pada akomodasi,
keputusan diambil bersama-sama. Sekali lagi, hubungan pribadi lebih diutamakan dari pada peranan.
Dalam pernikahan kemitraan, masing-masing mitra pernikahan itu, SETARA. ldealnya, kepemimpinan
rumah-tangga dibagi secara merata di antara mereka. Kemitraan dalam pernikahan yang komplementer
bisa saling memperkuat dalam keputusan-keputusan di bidang pengertian dan keterampilan yang berbeda.
Kekuasaan akan seimbang jika mitra pernikahan merasa bebas untuk setuju atau tidak setuju, atau negosiasi
dalam proses pengambilan keputusan. Cara sepasang suami isteri menyelesaikan pertengkaran mengenai
keuangan, mertua, liburan, prakarsa seksual, mendisiplin anak-anak adalah suatu hasil keputusan bersama
suami isteri.
Keluarga adalah yang paling utama, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi, sistem yang paling kuat yang
manusia pernah alami. Dalam kerangka ini, "keluarga" terdiri dari seluruh jaringan kekerabatan/kekeluargaan
dari paling sedikit tiga generasi, baik yang sekarang ada dan yang pernah ada.
Fungsi fisikal, sosial dan emosional dari anggota keluarga secara mendalam interdependen, dengan
perubahan dari satu bagian sistem itu akan menggetarkan/menggaungkan bagian-bagian lain dari sistem
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

itu. Selanjutnya, interaksi dan relasi dalam keluarga condong sangat bersifat timbal-balik, terpola dan
berulang. Karena pola yang redundant/kelebihan inilah yang membolehkan kita untuk membuat prediksi
tentatif dari genogram.
Suatu asumsi dasar bisa dibuat di sini adalah bahwa masalah dan gejala merefleksikan suatu adaptasi sistem
terhadap konteks totalnya dalam suatu waktu tertentu. Usaha adaptasi dari anggota keluarga dari suatu
sistem akan bergema keseluruh tingkat sistem itu dari biologis sampai intrapsychic sampai kepada
interpersonal. i.e. keluarga inti, batih, komunitas, kebudayaan dan lebih dari itu. Juga tingkah laku keluarga,
termasuk masalah, gejala memperoleh lebih lanjut makna emosional dan normatif dalam relasinya baik
sosiokultural dan konteks historis dari keluarga. Jadi, perspektif sistemik melibatkan pengertian masalah
sebanyak tingkat mungkin.
Manusia diorganisasikan dalam sistem keluarga menurut generasi, umur dan seks, untuk menyebut beberapa
yang merupakan faktor yang lazim Di mana anda ada dalam struktur keluarga bisa mempengaruhi
berfungsinya anda, pola-pola relasi anda, dan jenis keluarga yang anda bentuk untuk generasi mendatang.
Walter Toman (1976) telah menekankan pentingnya seks dan urutan kelahiran dalam membentuk relasi dan
kharakteristik saudara kandung.
Keluarga sebetulnya mengalami suatu pengulangan dari keberadaan mereka sendiri. Apa yang terjadi
dalarn satu generasi sering akan terulang sendiri di generasi berikutnya, i.e. isu-isu yang sama condong
dimainkan ulang dari satu generasi ke generasi yang berikut, meskipun tingkah laku yang sesungguhnya bisa
mengambil bentuk-bentuk yang bervariasi (the multigenerational transmission of family patterns. Bowen)
Hipotesanya adalah bahwa pola-pola relasi dalam generasi sebelumnya bisa memberi secara implisit model
bagi berfungsinya keluarga untuk generasi berikut. Pada genogram kita mencari pola berfungsi, berrelasi
dan struktur yang berkelanjutan atau alternatif dari satu generasi ke generasi berikut.

2. Keluarga Menurut Alkitab


Tuhan Allah sendirilah yang telah meletakkan landasan bagi hidup berkeluarga, ketika la mengatakan "tidak
baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan
dia" (Kej. 2:18). Menjadi penolong yang sepadan adalah kunci dari terjadinya perkawinan atau dapat juga
dikatakan menjadi alasan kuat, terjadinya perkawinan. Keseimbangan antar pasangan dan cinta yang
terjalin merupakan sesuatu yang mengawali perkawinan dan harus tetap dipelihara dalam hidup
perkawinan itu sendiri. Artinya, tidak mungkin perkawinan terjadi bila pasangan tidak saling kenal atau
memiliki sifat dan gaya hidup yang tidak sebanding. Perkawinan yang terjadi karena sekedar jatuh cinta
pada pendangan pertama berarti menganggap sepi pentingnya proses untuk saling mengenal dan
menerima.
Kalau kita perhatikan dengan baik dari dalam Alkitab, kita akan tahu bahwa tujuan utama dari pernikahan
adalah seperti yang dikatakan oleh Karl Barth: "Marriage is a divine vocation to life partnership." Itu berarti
bahwa tujuan utama pernikahan bukanlah melanjutkan keturunan (prokreasi), tetapi tujuannya ada pada
dirinya sendiri-relasi mutual istis-- Kebersamaan hidup. Kebersamaan hidup dimana dibutuhkan suami isteri
harus menghormati satu sama lain sebagai individu, harus diletakkan di atas segala tujuan pernikahan yang
lain. Memasuki hidup pernikahan berarti melepaskan kemungkinan untuk meninggalkannya. Surat Efesus
5:22-33-lah yang bisa menjelaskan argumentasi dari Paulus. Demikian juga I Peterus 3:1-7. Kedua surat
tersebut tidak berbicara sama sekali perihal anak. Karena anak adalah hasil dari kebersamaan hidup suami
isteri yang harmonis. Anak bukan merupakan "kecelakaan" atau tidak disengaja atau tak berencana.
Mereka adalah hasil relasi suami isteri yang harmonis dan mesra. Pada waktu Paulus menulis suratnya kepada
orang-orang di Efesus tentang pernikahan, maka pusat pembicaraannya adalah perihal relasi antara suami
dan isteri.
Untuk membicarakan peranan seorang 52 isteri, dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus, Efesus 5:22-24, kita
tidak bisa meninggalkan ayat 21, karena ayat 22 sebenarnya berkaitan erat dengan ayat 21. Kata yang
dipakai oleh Paulus untuk kata TUNDUK sebenarnya tidak tertulis dalam ayat 22, ayat 22 seolah-olah
"ndompleng" ayat 21.

Dan dalam ayat 21 kata itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “rendahkanlah dirimu" (dalam
terjemahan bahasa Inggris "be subject" atau "submit"), yang merupakan kata yang sulit untuk dipahami oleh
kita. Namun, sebenarnya kata itu berkaitan erat dengan "kepenuhan Roh" yang dibicarakan oleh Paulus
dalam ayat 18. Rupa-rupanya salah satu buah dari kepenuhan Roh itu adalah Tunduk (submission), yang
artinya lebih kepada "give in" --"pasrah." Tidak memenangkan pendapatnya sendiri, tetapi dengan senang
hati menyilakan pendapat orang lain untuk ditonjolkan. Jadi "tunduk" adalah disiplin spiritual yang akan
memungkinkan terciptanya keluarga yang bebas dari pertengkaran dan dominasi sepihak. (I Petrus 3: 1 ).
Marthen Luther katakan, A Christian is a perfectly free lord of all, subject to none. A Christian is a perfectly
dutiful servant of all, subject to all.
Kata "tunduk" ini rasanya sangat tidak menguntungkan bagi peranan seorang isteri. Namun, kalau hal ini kita
pahami dalam konteks "saling tunduk" sebagai buah Roh, maka kata "tunduk" justru memberi arti baru
berkaitan dengan hubungan antara suami isteri dalam Kristus. Dengan hati-hati sekali Paulus memilih kata
yang paling cocok untuk hubungan suami isteri. Dia tidak menggunakan kata "taat, patuh" yang dipakai
oleh Paulus dalam kaitannya dengan peraturan hubungan antara anak-anak dengan orang-tua mereka,
atau budak kepada tuannya, atau juga tentara dengan pimpinannya. Mereka tunduk karena represif di
bawah perintah. Kata 'Tunduk" dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Tentunya manusia
"tunduk" kepada Tuhan bukan karena dipaksa, atau ketakutan atau sifat represif yang lain. Manusia tunduk
kepada Tuhan dengan sukarela, dan disertai dengan "kepercayaan penuh" (full-trust) kepada Tuhan yang
mampu dan perkasa. Dengan demikian istilah"tunduk" tidak perlu diragukan sebagai ungkapan penindasan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

lagi, karena artinya memang tersirat dalam Kristus sebagai kepala jemaat. Tunduk memang memiliki arti
"kesetiaan, kesucian dan kejujuran" yang harus dimiliki oleh seorang isteri terhadap suami, seperti hubungan
Kristus dengan jemaatNya.
Selanjutnya Paulus tidak hanya memberikan petunjuk tentang peran isteri saja, dia juga dengan apik
memberikan peran kepada suami untuk "mengasihi" isteri. Efesus 5:25-30. Pada ayat 25 Paulus menunjukkan
bahwa ayat 22 bukanlah ayat penindasan kepada perempuan. Tunduk itu bukan tindakan sepihak saja,
tetapi merupakan hubungan atau perbuatan timbal balik. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus
telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya... Kasih--merupakan kata yang khas bagi
seluruh rencana Allah untuk keselamatan dunia ini. Paling sedikit ada empat kata dalam bahasa Gerika
(Yunani) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--kasih. Kata-kata itu adalah: Yang pertama eros
berarti kasih seksual, kasih filea berarti kasih persaudaraan (kasih karena relasi pertemanan), keempat storge
yakni kasih dalam relasi hubungan darah/keluarga dan yang keempat adalah agape berarti kasih ilahi,
kasih tanpa syarat atau tanpa kondisi apapun. Dia adalah kasih sejati yang rela berkorban bagi yang
dikasihinya.
Justru yang menarik adalah bahwa Paulus, ketika dia memberi nasihat berkaitan dengan hubungan suami
isteri, dia tidak menggunakan istilah kasih yang pertama-eros, tetapi justru kasih ketiga--agape. Kasih yang
tak ada hentinya (enduring love). Tujuan Paulus menggunakan istilah kasih agape adalah untuk
menunjukkan agar semua orang tahu bahwa "tunduk" itu bukan sepihak, tetapi timbal balik, terbukti dari
kata berikutnya, "menyerahkan diriNya baginya." Kasihnya bukan sekedar pemuasan egois
pribadinya--tetapi justru dia harus rela menderita bagi kepentingan pihak lain. Kasih itu tidak hanya sekedar
ekspresi kasih Tuhan, tetapi juga suatu contoh bagaimana seorang suami seharusnya memberikan dirinya
sendiri demi kebaikan dan kesejahteraan isterinya. Memberikan dirinya sampai mati demi kekasihnya adalah
pernyataan yang ekstrim--pemujaan kekasih. Panggilan atau peran suami rupanya malahan lebih berat
dibanding dengan peran isteri.
Demikian seorang suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: siapa yang mengasihi
isterinya ia mengasihi dirinya sendiri. Ungkapan bijak kaum Rabinis, The man is restless while he misses his rib
that was taken out of his side; and the women is restless till she gets under the man's arm, from whence she
was taken.
Perbedaan jenis kelamin memang bisa menimbulkan perbedaan besar dalam kehidupan, dan persatuan
mengakibatkan pembentukan relasi yang sangat unik. Tak ada seorang lelaki, bagaimanapun
sempurnanya, bisa merasakan, mengetahui, atau berkehendak persis sama seperti seorang perempuan
tertentu. Dan kalau keduanya bersatu, maka mereka akan membentuk kehidupan yang saling mengisi dan
menguatkan--bersatu dalam kepelbagaian. Itulah apa yang dimaksudkan oleh Tuhan dengan "penolong
sepadan" (helping-mate).

3. Kristus sebagai dasar hidup keluarga Kristen


Keluarga adalah dasar inti persekutuan baik jemaat, gereja bahkan masyarakat, bangsa dan negara.
Keluarga merupakan inti persekutuan antara Allah dengan manusia (Kej. 1:27); dalam keluargalah segala
janji Allah dapat didengarkan dan digenapkan (band. KeJ. 18:19, Kej. 12:26-27, Ul. 4:9). Karena itu
tanggungjawab keluarga Kristen merupakan tanggung jawab yang mendasar, dan itu adalah tugas jemaat
selaku keluarga Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran (I Tim 3:15).
Hai ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh J.K. Hoenkedijk; bahwa yang utama dalam kesaksian iman
adalah syaloom (damai sejahtera, keselamatan) dihayati dalam persekutuan dan pelayanan. ini berarti bila
persekutuan, cinta kasih di dalam jemaat (setia keluarga) sungguh nampak maka itu merupakan kesaksian
yang nampak terbit baik lingkungan sekitarnya, dan damai sejahtera betul-betul dihayati, maka akan
mengundang perhatian dari orang 53 lain. Hai ini dikarenakan Kristus sendiri sebagai dasar hidup keluarga
Kristen.

Dengan demikian keluarga meletakkan motif-motif hidup, sikap dan harapan anggota-anggota keluarga
terutama bagi anak-anaknya. Keluarga bagi seorang anak merupakan wadah terjadinya proses belajar
mengajar untuk mengembangkan jati dirinya serta mewujudkan fungsi-fungsi sosialnya. Selain itu keluarga
juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam membentuk sikap hidup untuk berbakti kepada Tuhan
sebagai perwujudan dan nilai-nilai hidupnya dan orang lain di tengah masyarakat, hanyalah bila keluarga
itu dibangun dengan Yesus Kristus sebagai dasar dan firmanNya menjadi standar hidupnya sendiri.
Keluarga merupakan sakramen kehadiran cinta kasih Kristus yang terwujud dalam pertobatan sebagai
konsekuensi perkawinan yang menjadi gambaran kesatuan Kristus dengan gereja-Nya dan juga merupakan
kemurnian sebagai perwujudan dari cinta kasih yang unik penuh kesetiaan dan kesuburan, cinta kasih
sebagai buah usaha mengikuti hidup Kristus dan pembangunan gereja. Keluarga adalah merupakan sarana,
bukan tujuan di mana tiap anggota keluarga menjadi saksi-saksi. Oleh karena itu orang tua menjadi
pengantara dan pembuka jalan bagi hidup anaknya. Ini berarti bahwa anak harus dicintai demi
pertumbuhan dan kedewasaannya.
Spiritualitas keluarga Kristen merupakan suatu panggilan dan juga merupakan suatu perjalanan yang diawali
dengan pernikahan di mana pernikahan itu merupakan hal yang sakral yang diberikan Allah kepada
manusia dan dikehendaki oleh Allah malah dibentuk oleh Allah sendiri. Karena itu, pernikahan harus
dilaksanakan dengan dasar, penuh kesungguhan. Kesungguhan ini diwujudkan dalam melakukan
kewajiban-kewajiban yang layak dilakukan oleh sepasang suami-istri yang beriman. Hendaknya suami dan
istri senantiasa hidup dalam, persekutuan abadi. Hindarilah pertengkaran-pertengkaran yang sia-sia, yang
dapat membawa keretakan-keretakan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, suami-istri harus saling
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

menghormati dan menghargai dalam kelemahan dan kekurangan masing-masing serta saling menegor
dalam cinta kasih.

V. EVALUASI
1. Jelaskan fungsi keluarga
2. Jelaskan keluarga menurut Alkitab
2. Jelaskan makna Kristus sebagai dasar hidup keluarga Kristen

VI. KETERANGAN
Metode : Ceramah, Tanya-jawab, diskusi.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebudayaan
3. Sub Pokok Bahasan : 2.2. Pandangan Iman Kristen tentang Masyarakat dan Kebudayaan
4. Bahan bacaan Alkitab : I Raja-raja 6:1-38
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama PBU 2.3.)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami, merefleksikan dan mengembangkan kehidupan keluarga, masyarakat dan kebudayaan.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan apa itu masyarakat dan kebudayaan
2. Menjelaskan hubungan masyarakat dan kebudayaan
3. Menjelaskan pertumbuhan iman Kristen melalui budaya

54

IV. URAIAN MATERI


1. Apa itu Masyarakat dan Kebudayaan
a. Apa itu masyarakat
Masyarakat adalah tatanan yang terlembaga dengan pengaturan-pengaturan yang telah
terorganisasikan, yang umat berikan terhadap cara hidup bersama mereka. Antara budaya dan struktur
sosial masyarakat memang memiliki perbedaan, namun yang satu tidak dapat ada tanpa yang lainnya.
Artinya, pola-pola budaya tidak mungkin ada tanpa struktur-stuktur sosial, demikian pula sebaliknya.
Karena itu ahli-ahli sering menghubungkan keduanya, dalam istilah lingkungan sosio-kultural
(sociallcultural environment). Lingkungan sosio-kultural diartikan sebagai keseluruhan etos dari suatu
kelornpok umat yang stabil. Sosialisasi karenanya diartikan sebagai proses yang terjadi dalam keseluruhan
etos tersebut yang dapat menghasilkan identitas diri pada seseorang.
Masyarakat adalah lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan identitas diri
seseorang. Hal ini terjadi melalui interaksi individu dengan orang-orang dalam lingkungan sosial
budayanya. Proses ini diberi nama yang bermacam-macam oleh para ahli antara lain : enkulturasi dalarn
antropologi. Tetapi istilah yang paling umum barangkali adalah sosialisasi.
Ada beberapa konsep penting dari masasyarakat antara lain eksternalisasi, objektivikasi, serta internalisasi
yang dapat dipaparkan sebagai berikut :
Pertama, eksternalisasi. Sebagai manusia kita tidak dapat hidup sebagai unit-unit yang dapat berdiri
(serba lengkap) dalam ruang lingkup tubuh kita. Kita mempunyai keharusan batiniah untuk bergerak
keluar dari diri sendiri dan masuk ke dalam hubungan dengan orang lain. Untuk mengeksternalisasikan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

diri sendiri, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dan kapasitas serta kernungkinan-kernungkinan


kita, maka kita masuk bersama-sama dengan orang lain ke dalam kolektivitas. Dalam kebersamaan itu
kita mengembangkan struktur-struktur, perkakas, dan pengaturan-pengaturan yang mendukung
keberadaan kita untuk saling memperhatikan satu sama lain. Dengan demikian kita mencapai
persetujuan dan pengharapan-pengharapan bersama serta pola-pola untuk menciptakan makna. Kita
menentukan cara-cara menyatakan serta mempertahankan peraturan-peraturan dan
persetujuan-persetujuan tersebut. Dari usaha eksternalisasi bersama itulah maka lahirlah masyarakat
dan berkembanglah kebudayaan. Tanpa eksternalisasi maka tidak akan ada kebudayaan dan
masyarakat.
Kedua, objektivikasi. Struktur sosial dan pola-pola budaya hasil dari aktivitas eksternalisasi merupakan
realitas sosial yang menciptakan batasan-batasan tertentu di mana anggota-anggotanya diharapkan
bertingkah laku. dan jika masyarakat mau mengatur dan mempertahankan dirinya maka beberapa
individu dan kelompok harus mempunyai otoritas (wewenang) untuk mengaturnya demi kebaikan
bersama. Namun selanjutnya harus dikatakan juga bahwa jika bentuk dan struktur dari dunia sosial kita
hendak dipertahankan, maka ia akan tetap bertahan lama dengan ketaatan yang buta terhadap
yang berwewenang (penguasa). Batas-batas dan aturan-aturannya harus nampak masuk akat dan
benar kepada kita. Karena itu dibutuhkan sistem-sistem legitimasi dan struktur yang masuk akal, yang
membuat pengaturan kini nampak sah dan dapat dibenarkan. Untuk itu maka masyarakat
menciptakan ideologi-ideologi yang tepat untuk kebutuhannya. Dengan rumusan yang sederhana
maka ideologi dapat diartikan sebagai suatu pandangan dunia yang menyeluruh yang menciptakan
atau memberikan makna tentang dunia sebagaimana adanya dan dengan demikian mensahkan serta
membuat masuk akal, suatu lingkungan sosial budaya tertentu. Ideologi memperoleh pernyataannya
dalam dan dipertahankan oleh alam semesta yang simbolis. Dengan memahami simbol-simbol yang
dipegang dan dipakai bersama, di mana bahasa adalah yang paling mendasar, maka umat datang
kepada pemahaman akan ideologi kelompoknya.
Ketiga, internalisasi. Setelah mengeksternalisasikan diri sendiri ke dalam kebudayaan dan masyarakat atau
setelah nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat itu hidup dari dirinya sendiri, maka penguatan serta
pembatasan-pembatasan dari dunia itu sekarang dibawa kepada kesadaran dan menjadi milik
seseorang secara pribadi. Jadi proses menjadikan pandangan dunia, sistem nilai dan pola bertindak
dari lingkungan sosial budaya menjadi milik sendiri adalah proses internalisasi.

b. Apa itu Kebudayaan


Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang biasanya berfungsi sebagai tata laku yang
mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada sikap hidup dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Secara sederhana identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri sebuah tradisi yang
dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya bila dibandingkan dengan karakteristik
atau ciri-ciri kebudayaan orang lain.
Di dalam kebudayaan itu sendiri terdapat adat dan tradisi yang telah ada sejak dahulu, karena adat
(kebudayaan) itu bukan benda dan bukan objek rekayasa. Dia adalah sebuah dialog yang terus menerus
berlangsung dalam masyarakat. Dalam pengertian umum adat adalah aturan, kebiasaan hukum yang
menuntun dan menguasai kelakuan serta hubungan-hubungan dalam masyarakat. Melalui adat dan
tradisi dengan segala peraturan dan ketentuan-ketentuannya, setiap orang dari generasi ke generasi
melihat kebudayaan melihat kebudayaan lewat sikap menjaga melestarikan serta menjaga kebenaran
kebudayaannya.

55

Semua peraturan, cara hukum dan berbagai kewajiban yang tersimpan dalam adat dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan tradisi yang diturunkan dari generasi sejak dan yang merupakan warisan
kepercayaan telah dimiliki oleh seseorang adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepribadian semua
anak Maluku. Adat serta tradisi merupakan budaya manusia dan justru menjadi pendukung di mana
alamiah manusia Maluku terus dipelihara dan terbina.

2. Hubungan Masyarakat dan Kebudayaan


Menurut P. Tanamal, adat adalah warisan rohani masyarakat yang diritualisasikan ulang berulang,
sehingga maknanya dimengerti dan diresapi dari generasi ke generasi. Dilanjutkannya juga bahwa, adat
merupakan tanda terima kasih kepada datuk-datuk, karena telah memberikan pewarisan modal dan
petunjuk jalan kepada generasi berikutnya.
Kebudayaan merupakan hasil ciptaan masyarakat atau manusia diperuntukkan untuk mengatur dan
menata kehidupan manusia itu sendiri, dalam tatanan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Aturan-aturan
yang telah ditetapkan sebagai suatu kebudayaan, mengikat manusia dalam berperilaku dan bertindak.
Istilah kebudayaan haruslah dipakai secara luas. Kebudayaan bukanlah satu sektor hidup masyarakat di
samping, politik, ekonomi, pendidikan, kesenian dan sebagainya, melainkan totalitas daya cipta manusia
beserta hasilnya yang konkrit dalam masyarakat. Pandangan Clifford Geertz yang sepakat dengan teori Max
Weber dikatakan bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna
yang ditentukannya sendiri. la beranggapan bahwa, pada hakekatnya manusia tak tergantung pada
kebudayaan, kita dipaksa untuk semakin lama semakin menyandarkan diri erat-erat pada sumber-sumber
kultural, yaitu kumpulan simbol-simbol bermakna. Simbol-simbol seperti itu bukan sekedar
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

ungkapan-ungkapan, alat-alat bantu, atau hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi biologis, psikologis
dan sosial, melainkan merupakan prasyarat untuk sebuah eksistensi. Tanpa manusia, tentu saja tak ada
kebudayaan, tapi sama juga dan malah paling penting lagi, tanpa kebudayaan tak ada manusia.
Berbagai kompleksitas kebudayaan itu dimiliki oleh semua masyarakat. kompleksitas kebudayaan itu
sebagai cultur universal yaitu unsur-unsur budaya yang sama dalam masyarakat di manapun. Unsur-unsur itu
adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem sosial dalam masyarakat, peralatan hidup dan teknologi, sistem
pendidikan, sistem mata pencaharian hidup, religi, dan kesenian. Bahwa hanya berbeda pada tataran yang
lebih kecil sebagai cara yang khas dari masing-masing masyarakat berbudaya (orang-orang setempat).
Bertolak dari pemahaman di atas salah satu unsur kebudayaan itu adalah sistem sosial masyarakat, di mana
hidup bersosialisasi dalam masyarakat adalah sesuatu hal yang paling penting dalam hidup. Tanpa manusia
bersosialisasi maka manusia itu tidak akan menciptakan rasa kebersamaan dalam masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
3. Pertumbuhan Iman Kristen Melalui Budaya
Dalam upaya memperhadapkan iman dan budaya, maka Richard Neibuhr mengemukakan lima sikap
terhadap budaya yakni :
1. Sikap radikal, Sikap ini sama sekali tidak mengakui hubungan iman Kristen dengan budaya. Iman datang
dari atas, dari Tuhan, sedangkan budaya datang dari bawah, dari manusia. Iman selalu menghakimi
kebudayaan karena kebudayaan selalu jahat. Sikap seperti ini sangat membuat adat selalu ditekan
bahkan kehilangan identitasnya. Padahal nilai-nilai adat selalu dipergunakan Yesus dalam pelaksanaan
misi Injil-Nya, seperti makan perjamuan paskah, puasa dan sebagainya yang merupakan tradisi Yahudi.
2. Sikap akomodatif- Sikap ini merupakan kebalikan dari sikap radikal. Di sini tidak ada pertentangan antara
iman dan kebudayaan. Nilai-nilai yang menjadi dambaan masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang
juga dikejar dalam penghayatan iman Kristen. Para misionaris radikal terhadap budaya populer religius
China, seperti adat kematian dan pemujaan nenek moyang, tetapi akomodatif terhadap "Hao” yang
dengan tenang diidentikkan dengan menghormati orang tua, di dalam kesepuluh perintah Tuhan dan
terhadap nilai-nilai dasar budaya Cina lainnya yang terwujud dalam ajaran Khong Hu Cu. Kenyataan
tersebut menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada dalam suatu kebudayaan atau adat istiadat sangatlah
penting untuk diangkat sebagai bagian dalam iman Kristen.
3. Sikap Sintetik, Sebenarnya merupakan bagian dari sikap kedua di atas. Dalam sikap ini, baik Injil maupun
adat diterima dalarn kesatuan yang saling mengisi. Gereja Roma Katolik biasanya mengambil sikap ketiga
ini. Manusia mempunyai kodratnya sebagai manusia. Dalam rangka kodratnya ini, manusia membangun
dan mengembangkan budayanya, termasuk adat istiadatnya. Selain itu juga, manusia mengenal yang
adi kodrati. Injil membawa hal yang demikian untuk melengkapi dan.menyempurnakan yang kodrati.
Tetapi yang kodrati ini juga dapat melengkapi yang adi kodrati, dalam arti iman tidak pernah bisa tanpa
wujud yang konkret, baik berupa lembaga gereja yang kuat maupun dalam bentuk tatanan masyarakat
yang tetap dan mantap.
4. Sikap dualistik, Sikap ini merupakan sikap tradisional yang diambil oleh gereja-gereja Lutheran. Sikap ini
merupakan variasi dari sikap kedua, namun kebalikan dari sikap ketiga. Dalam konteks ini, orang
mengakui dan hidup dalam dua dunia, seperti binatang ampibi yang bisa hidup di darat dan juga di air.
Dunia yang pertama adalah kerajaan Allah, sedangkan dunia yang kedua adalah masyarakat. Manusia
adalah warga masyarakat tetapi sekaligus warga kerajaan Allah.
5. Sikap Transformatif ; Sikap ini merupakan sikap yang biasanya dianggap khas tradisi Calvinis. Meskipun
Calvinis sangat memiliki sikap radikal terhadap adat istiadat atau kebudayaan, tetapi perlu disadari juga
bahwa radikalisme adalah bagian dari warisan misionaris yang kebanyakan lebih pietis dari pada Calvinis
atau kritis terhadap budaya pribumi, padahal akomodatif terhadap budaya sendiri. Persoalan yang
muncul adalah bukan masalah 56 menolak atau menerima kebudayaan, tetapi menerima bagian yang
mana dari budaya dan menolak bagian yang mana dari budaya.

6. Dalam kelima konsep sikap tersebut, maka Neibuhr menganjurkan untuk para teolog memakai sikap yang
terakhir. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai budaya juga tidak mengalami penurunan atau kehilangan
akibat radikalistis Injil. Transformasi sendiri merupakan perubahan dan pembaruan. Perubahan yang
dimaksudkan adalah merubah bentuk yang lama ke bentuk yang baru, sedangkan pembaruan selalu
membawa kepada yang baik. Transformasi kebudayaan adalah suatu usaha mengangkat kebudayaan
ke tingkat kebudayaan (pola hidup) yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah untuk manusia
yang terus-menerus dikembangkan dan dihayati dalam hubungan dengan Allah.

V. EVALUASI
1. Jelaskan apa itu masyarakat dan kebudayaan
2. Jelaskan hubungan masyarakat dan kebudayaan
3. Diskusikanlah pertumbuhan iman Kristen melalui budaya

VI. KETERANGAN
Metode: Ceramah, Tanyajawab, diskusi.

I.IDENTITAS
A. Materi Sajian : KONTEKS
B. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebuda-yaan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

C. Sub Pokok Bahasan : 2.3. Tanggung jawab gereja dalam mengembangkan masyarakat dan kebudayaan
lokal
D. Bahan bacaan Alkitab : Kisah Para Rasul 17: 22-34
E. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama PBU 2.2.)
F. S e m e s t e r : I (Ganjil)

2. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami, merefleksikan dan mengembangkan kehidupan keluarga, masyarakat dan kebudayaan.

3. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan tugas gereja dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan lokal
2. Menyebutkan salah satu kebudayaan lokal Maluku
3. Menjelaskan kepentingannya budaya lokal

4. URAIAN MATERI
1. Tugas Gereja dalam Pengembangan Masyarakat dan Kebudayaan Lokal
Dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah bagi dunia, Yesus tidak menghindar atau tidak melakukan
penyimpangan terhadap budaya yang tumbuh dalam masyarakat Yahudi. Yesus memakai kebudayaan
Yahudi sebagai pintu masuk untuk melaksanakan pemberitaan tentang Kerajaan Allah. Budaya masyarakat
Yahudi, Helenistik dan sebagainya, dijadikan sebagai lahan subur untuk penaburan Injil. Nilai-nilai budaya
semakin kuat dan lebih dipertajam maknanya dalam kehidupan umat dan bukan disingkirkan. Kenyataan
ini mengakibatkan kebudayaan semakin mendapat tempat dalam masyarakat, ketika nilai-nilai budaya itu
semakin jelas.
Taurat yang begitu luas, dintepretasikan Yesus dalam bentuk yang sederhana dan singkat, agar dapat
dimengerti oleh umat. Intepretasi tersebut terlihat dari sekian banyak aturan dari Taurat hanya dirangkumkan
dalam dua, hukum, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Kedua hukum tersebut tersirat
keseluruhan hukum Taurat di dalamnya. Taurat pada dasarnya dipercayakan pelaksanaannya kepada ahli
Taurat. Ahli Taurat adalah ahli dalam mempelajari hukum Musa (Taurat), semula jabatan ini dipangku oleh
para imam (Mat. 26-7). Ahli Taurat dengan segala kekuasaan hukumnya telah mengembangkan sikap
formalisme lahiriah sehingga nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi dipedulikan. Sikap formalistik lahiriah itu terlihat
dari tindakan-tindakan penganiayaan yang diberikan kepada pengikut Kristus (Stefanus, Petrus clan
Yohanes). Sikap formalisme lahiriah ini ditentang oleh Yesus sehingga dengan sendirinya timbul pertentangan
antara Yesus dengan ahli Taurat (Mat. 21:15). Yesus dalam pelaksanaan misi Kerajaan Allah memakai Taurat
sebagai pintu masuk dan bukan meniadakan Taurat tersebut. Hal ini terlihat dalam Matius 5:17, Jangan kamu
menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat alau kitab para nabi. Aku datang bukan
untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.
Intepretasi yang dilakukan Yesus terhadap adat terlihat dalam hukum-hukum mengenai hari Sabat,
tahun Sabat, tahun kebebasan dan sebagainya. Hari Sabat bagi masyarakat Yahudi maupun Farisi
merupakan hari yang memiliki kandungan sakralitas dan sangat dihormati. Orang tidak boleh mengerjakan
apa pun juga pada hari Sabat. Kandungan nilai berdasarkan pemahaman Yahudi ditolak oleh Yesus, seperti
dalam Matius 12:1-14; Markus 2:23-28; Lukas 6:1-11. Penolakan tersebut didasarkan pada adanya kesalah
pahaman mengenai perintah-perintah Perjanjian Lama. Tidak salah, makan pada hari Sabat, sekalipun
makanan itu harus didapati dengan memetik gandum di ladang. Juga tidak salah berbuat baik di hari Sabat.
Menyembuhkan adalah perbuatan belas kasihan Tuhan di hari Sabat, (lih. Yoh 5:1-18; Luk 13:10-17; 14:1-6). Di
sinilah Yesus menunjukkan sisi kemanusiaan yang harus diutamakan dan bukan pada pemahaman yang
sempit tentang suatu aturan. Dengan
57 melakukan peraturan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Israel,
itu berarti adanya penekanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam kehidupan sekarang ini juga gereja harus berperan dalam mengembangkan kehidupan
bermasyarakat dan mengedepankan budaya-budaya lokal Maluku. Hal ini karena masyarakat Maluku
memahami budaya itu dalarn totalitas yang utuh dari apa yang disebut adat. Adat oleh masyarakat Maluku
mencakup sernua yang ada dalam cakupan kebudayaan tadi, dan tidak terbatas pada tradisi dan
kebiasaankebiasaan, hal itu memperlihatkan mengapa masyarakat Maluku sangat kuat berpegang pada
adatnya, baik dalam dimensi ritus/upacara manapun pada tataran nilai. Kebudayaan dan eksistensinya
dapat dilihat dalam komunitas masyarakat adat yang ada di negeri-negeri adat di Maluku. Sampai saat ini
masih kuat berpegang dan mempraktekan tata aturan adatisnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan masyarakat merupakan suatu kekuatan dalam rangka menciptakan keseimbangan-
keseimbangan hidup antara manusia dengan alam maupun manusia yang satu dengan manusia lainnya.
Kebudayaan juga mengajarkan orang untuk dapat berbuat yang baik atau melakukan hal-hal yang
berguna bagi orang lain.

2. Salah Satu Kebudayaan Lokal Maluku


Salah satu bentuk budaya masyarakat Maluku Tenggara (Kei) adalah hukum adat Larvul Ngabal yang
berisi tujuh pasal, yaitu :
1. Un entiuk atumud, artinya kepala kita bertumpuh pada tubuh.
2. Lelanfo mahiling, artinya leher kita dihormati, diseluruhkan.
3. Unit envil atumud, artinya kulit (membungkus) badan kita.
4. Laar nakmod ixwd, artinya darah tinggal tenang dalam perut kita.
5. Riifo rek, reekjb mahaling, artinya perbatasan (ambang abu) dihormati.
6. Moryaenfo kelmutun, artinya, perkawinan/kemurnian harus dihormati.
7. Hira ini entupfo iniit didfo it did, artinya milik orang tetap milik orang, milik kita tetap milik kita.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Dari ketujuh hokum tersebut bagian 6 tentang perkawinan yang berinclikasi pada perkawinan menurut
adat merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan yaitu: kelompok Yanur dan kelompok mangohoi
yang ikut menemukan dalam fungsi penyelenggaraan dari perkawinan.
Kelompok Yanur ialah marga laki-laki, sedangkan kelompok mangohoi ialah kelompok marga
pengantin perempuan. Antara kedua kelompok tersebut terjalin hubungan hukum yang tetap diakui dan
dipertahankan oleh kedua kelompok, tidak hanya terbatas pada saat terjadinya perkawinan kedua
pengantin itu. Akan tetapi merupakan hubungan yang dijalankan serta dipatuhi oleh turun-temurun kedua
marga tersebut. Dijelaskan di sini bahwa kewajiban dari marga pengantin laki-laki (kelompok yanur) ialah
harus membayar harta kawin kepada pihak marga pengantin wanita (kelompok mangohoi) dan sebaliknya
kelompok mangohoi mempunyai kewajiban memberi makan dan pakai kepada sang pengantin wanita di
saat hendak melangsungkan perkawinan kedua pengantin.
Walaupun segala kewajiban tersebut telah dilaksanakan oleh kedua kelompok yanur dan mangohoi,
namun tanggung jawab dari keduanya tetap dijalankan oleh generasi penerusnya di saat salah satu pihak
mengalami sesuatu kesulitan. Kesulitan trersebut misalnya di saat seorang saudara laki-laki dari pengantin
perempuan menikah dengan wanita dari lain marga. Dalam perkawinan yang terakhir itu, pihak marga dari
pengantin laki-laki selalu membawa harta menambah harta dari pihak laki-laki dalam perkawinan kedua.
Pada saat itu pula pihak mangohoi dari perkawinan pertama itu tetap melakukan kewajiban memberi
makan kepada pihak yanur yang memberi harta dalam perkawinan tersebut. Hal semacam itu berlangsung
terus-menerus. Hubungan serta kewajiban timbal balik itu tidak hanya terbatas pada urusan perkawinan saja,
akan tetapi berlaku juga dalam hal-hal yang lain pula antara lain:
- Dalam urusan membangun rumah
- Mengerjakan kebun
- Dalam urusan kernatian dan lainnya.
Akibat hukum perkawinan menimbulkan kewajiban yang diharuskan kepada generasi ke generasi itu,
lebih memperkokoh kesadaran hamaren/maren yang sudah dimiliki oleh masyarakat suku Kei sampai
sekarang. Ada juga kelompok-kelompok lainnya seperti kelompok tolong-menolong dan kelompok
persahabatan. Kelompok tolong-menolong terbagi atas dua bagian yakni kelompok maduan (tuan/pemilik)
dan kelompok Koi (penerima bantuan/yang ditolong). Bentuk kelompok maduan dan koi itu hampir sama
dengan kelompok yanur dan mangohoi. Kelompok maduan dan koi terjadi akibat tolong-menolong pada
saat seseorang mendapat malapetaka, atau musibah. Hanya kelompok Koi yang punya kewajiban
sedangkan kelompok maduan tidak ada kewajiban.
Untuk kelompok persahabatan biasa disebut Tea Bel. Tea Bel itu terjadi akibat suatu perjanjian
persahabatan antara satu kampung dengan kampung lain. Dalam perjanjian Tea Bel dilarang terjadi
perkawinan antara orang-orang dari kampung yang terikat oleh perjanjian itu. Hal ini disebabkan karena
perjanjian Tea Bel telah menjadikan orang-orang dari kampung-kampung itu sebagai saudara satu terhadap
yang lain. Ikatan persaudaraan itu jelas terungkap dalam kata Tea Bel itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa
kekerabatan Tea Bel merupakan satu lambang pergaulan sosial "sedarah" seperti kekerabatan marga. Untuk
itu kampung-kampung yang terlibat dalam satu perjanjian Tea Bel merasa bersatu melayani dan tamu-tamu
secara sukarela.
Ada juga budaya-budaya lainnya yang dapat dijadikan sebagai sarana keutuhan hidup manusia
seperti pela, gandong, masohi dan sebagainya (dijelaskan berdasarkan konteks budaya masing-masing
daerah)

58

3. Kepentingan Kebudayaan Lokal


Adat bagi masyarakat Maluku, masih mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat, karena
melaluinya orang dapat mengindentifikasikan asal-usul dari suatu komunitas. Adat merupakan wujud ideal
dari kebudayaan yang biasanya berfungsi sebagai tata laku yang mengatur, mengendalikan dan memberi
arah kepada sikap hidup dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Di samping itu juga, kebudayaan
memiliki kandungan nilai-nilai etis, moral dan spiritual. Dengan sendirinya, maka nilai-nilai kebudayaan yang
diturunkan oleh para leluhur perlu dijaga dan dilestarikan untuk kepentingan generasi selanjutnya.
Kebudayaan haruslah mendapat tempat dalam proses beragama. Untuk itu, kebudayaan suatu bangsa
atau suku perlu diteliti secara mendalam, bukan hanya sekedar atau sepintas saja, tetapi perlu ditelusuri
mendalam dan mendasar, karena di dalam aturan-aturan serta hukum-hukumnya terdapat nilai-nilai yang
positif untuk diangkat sebagai nilai-nilai agama. Hukum atau Aturan-aturan tersebut merupakan budaya
manusia yang ada secara turun-temurun.
Hadirnya, misi kekristenan di Maluku telah menghancurkan tatanan adat masyarakat dikarenakan
penyelidikan dan proses pengenalisaan terhadap nilai-nilai adat yang sangat dangkal, disertai dengan
anggapan atau pemahaman bahwa pelaksanaan adat oleh agama suku, sebagai suatu pelaksanaan ritual
yang bersifat negatif.
Agama Kristen abad Pertengahan hanya mengenal dua jenis agama yakni agama suku (di Eropa)
dan Islam. Agama Islam sedikit banyak dihormati. Teologi Katolik yang mengakui bahwa orang-orang Islam
rnenyembah Allah yang sama seperti orang-orang Kristen. Akan tetapi panilaian untuk agama suku sama
sekali bersifat negatif.
Penilaian negatif yang diberikan kepada adat karena pendekatan yang dipakai adalah positivis
terhadap budaya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pola-pola dalam suatu budaya dengan cepat
diterjermahkan dan dipahami oleh orang asing. Dengan demikian dalam membuat keputusan tentang
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

terjemahan para misionaris, teolog, liturgis, penerjemah Alkitab menemukan suatu analisis budaya sampai
pada batas tertentu, tetapi setelah itu selesai. Begitu pula dengan pandekatan penerjemahan. Pada
dasarnya pendekatan ini mengasumsikan bahwa pernyataan kewibawaan terjadi dalam suatu bidang
perujukan, atau penyataan kewibawaan terjadi dalam suatu bidang supra budaya yang mempunyai
kedudlukan lebih tinggi, yang memungkinkan penerjemahan langsung ke dalam budaya mana pun. Dalam
hubungan tersebut, maka Roberth J. Schreiter menyatakan bahwa "Yang ideal untuk suatu teologi yang
sungguh-sungguh kontekstual, ialah bahwa proses teologis harus mulai dengan membuka budaya atau
adat, usaha dalam jangka panjang dan dengan hati-hati untuk mandengarkan nilai-nilai utamanya,
kebutuhan, minat, arah clan lambang-lambangnya. Hanya dengan cara ini konfigurasi suatu budaya
menjadi jelas sendiri, tanpa semata-mata menjawab pada jenis-jenis kebutuhan lain yang tidak pokok bagi
budaya itu.

5. EVALUASI
1. Jelaskan tugas gereja dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan lokal
2. Sebutkan salah satu kebudayaan lokal Maluku
3. Jelaskan kepentingannya budaya lokal

6. KETERANGAN
Metode Ceramah, Tanya-jawab, diskusi.

59
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebuda-yaan
3. Sub Pokok Bahasan : 2.4. Muatan lokal pengembangan masyarakat dan kebudayaan setempat
4. Bahan bacaan Alkitab : Kejadian 24:10-15
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami, merefleksikan dan mengembangkan kehidupan keluarga, masyarakat dan kebudayaan.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Memahami kepentingan muatan lokal dalam pengembangan masyarakat berdasarkan potensi yang ada
2. Mengidentifikasikan langkah-langkah pengembangan masyarakat dan kebudayaan setempat
3. Merancang suatu muatan lokal bagi pengembangan budaya masyarakat sebagai upaya transformasi nilai-
nilai Injili

IV. URAIAN MATERI


1. Gereja dan kebudayaan serta masyarakat pada hakekatnya tidak berada pada posisi yang saling
berhadapan. Sebab gereja selalu memiliki dimensi kontekstual dan kebudayaanserta masyarakat pun selalu
berada pada kondisi dinamis dan berubah. Oleh karena itu relasi gereja dengan kebudayaan dan
masyarakat adalah relasi transformatif dan saling memperkaya. Artinya sejauhmana gereja mewarnai (dan
bukan menghancurkan) budaya dan masyarakat setempat, sehingga masyarakat dan kebudayaan
tersebut berkembang menjadi masyarakat dan kebudayaan yang lebih manusiawi dan Injili (diwarnai nilai-
nilai Injili, seperti kasih, keterbukaan, kebaikan, persaudaraan, kebersamaan, demorkatis, kemajuan,
keadilan, damai dan sejahtera).
2. Sehubungan dengan itu, beberapa hal yang patut mendapat perhatian kita dalam pengembangan
masyarakat dan kebudayaan setempat, antara lain:
2.1. Perlunya langkah pengumpulan data sosio-budaya, yang dapat dilakukan dengan upaya penelitian
dan pengamatan terhadap konteks, isu dan permasalahan setempat
2.2. Menelusuri sejarah keberadaan suatu masyarakat berserta kebudayaannya
2.3. Perlunya kepekaan dalam menangkap “kedalaman hati, pikir dan kearifan” masyarakat lokal dengan
segala kelebihan dan kekurangannya
2.4. Membangun hubungan interpersonal maupun interkomunitas di dalam suatu tatanan masyarakat, baik
dengan tokoh-tokoh kunci formal-informal maupun masyarakat setempat dengan pelbagai lapisannya.
2.5. Membaca peluang dan pintu masuk yang strategis dalam pengembangan suatu masyarakat beserta
kebudayaannya.
2.6. Mengidentifikasikan diri kita sedemikian rupa sehingga menyatu dengan masyarakt dan kebudayaan
setempat, sambil tetap menjadi integritas diri kita. Dalam proses ini, kita berupaya untuk “dapat diterima”
sebagai bagian dari masyarakat setempat.
2.7. Hal-hal lainnya yang dapat dikembangkan sesuai dengan konteks setempat.
3. Dalam kaitan dengan itu, beberapa pertanyaan yang menuntut kita dalam pengembangan masyarakat
dan kebudayaan setempat, antara lain:
3.1. Bagaimanakah konsep marga, keluarga, bangsa dan warna kulit atau ras itu bertumbuh ? Dan
bagaimanakah pula konsep-konsep tersebut dapat dikesampingkan ?
3.2. Informasi personal yang mendasar
60 apakah yang patut diketahui ihwal orang lain ?
3.3. Dalam hal apa sajakah hubungan keluarga, social, kerja dan kebudayaan menjadi kendala dalam suatu
pengorganisasian ? demikian pula sebaliknya, yang menjadi suatu peluang ?
3.4. Bagaimana suatu hubungan yang baru dapat dibentuk serta sikap saling menerima serta kesetaraan
ditumbuhkan dalam suatu kelompok ?
4. Upaya pengembangan masyarakat dan kebudayaan setempat, hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan:
4.1. Orang atau penggerak pembaruan serta faktor-faktor pendukung yang tepat.
4.2. Pintu masuk yang strategis
4.3. Komunikasi dan pendekatan yang tepat, serta
4.4. Timing (waktu atau momentum) yang tepat. Apabila keempat faktor ini diabaikan dalam pendekatan
kita, maka kita akan mengalami hambatan yang cukup berarti. Dan kegagalan yang terjadi dalam suatu
kurun waktu, membutuhkan suatu proses membangun kepercayaan dan pemulihan dalam suatu kurun
waktu lainnya, yang tidak singkat juga.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah kepentingan muatan lokal dalam pengembangan masyarakat berdasarkan potensi yang ada
2. Identifikasikan langkah-langkah pengembangan masyarakat dan kebudayaan setempat
3. Rancangkanlah suatu muatan lokal bagi pengembangan budaya masyarakat sebagai upaya transformasi
nilai-nilai Injili

VI. KETERANGAN
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Katekisan ditugaskan secara kelompok untuk mencari salah satu contoh, model pengembangan masyarakat
dan kebudayaan setempat, yang dapat diwarnai dengan nilai-nilai Injili (Misalnya, alat-alat musik dan tarian
untuk kepentingan Ibadah; budaya masohi atau kontrad di Porto, yang dapat dikembangkan untuk suatu
hubungan kerjasama dalam membantu suatu pembangunan atau usaha tertentu. Atau bagaimana
kesetaraan gender dibangun dalam masyarakat Maluku yang paternalis).

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 4. Allah Yang Membebaskan
3. Sub Pokok Bahasan : 4.1. Keluaran dari Mesir
4. Bahan Bacaan Alkitab : Keluaran 14:15-31
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami tindakan Allah yang membebaskan dan memerdekakan manusia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN: :


1. Menjelaskan latar belakang dan keadaan Israel di Mesir
2. Menjelaskan cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir sampai memasuki Tanah Kanaan
3. Makna reflektif keluaran dari Mesir bagi kehidupan katekisan pada masa kini

IV. URAIAN MATERI


1. Latar belakang dan Keadaan Israel di Mesir
Adanya orang Israel di Mesir berawal dari pindahnya Yakub dan keluarganya kesana pada saat Tanah
Kanaan terancam bahaya kelaparan. Awalnya Yakub hanya bermaksud mengutus anak-anaknya membeli
makanan di Mesir, akan tetapi tanpa diduga , disana mereka bertemu Yusuf adik mereka sendiri. Padahal
sangkanya Yusuf telah meninggal dunia di Kanaan waktu mereka memasukannya dalam sebuah sumur
kering -/+ 17 tahun untuk menghilangkan nyawanya.
Saat bertemu , Yusuf telah menjadi penguasa nomor dua di Mesir. Ialah yang bertanggung jawab atas
pengadaan, persediaan dan distribusi pangan untuk seluruh kerajaan Mesir. Yusuflah yang meminta Yakub
ayahnya serta seluruh keluarga untuk menetap di Mesir.
Orang Israel mendiami tanah Mesir -/+ 430 tahun lamanya. Dalam kurun waktu ini, kaum keluarga Yakub
telah berkembang dalam jumlah yang sangat besar. Itulah orang Israel di tanah Mesir.
Ketika Yusuf masih berpengaruh di Mesir, orang Israel hidup tanpa banyak persoalan. Tetapi lama
setelah Yusuf meninggal dan pengaruhnya dalam kerajaan Mesir semakin berkurang, keadaan hidup orang
Israel berubah total. Raja-raja yang memerintah kemudian hari di Mesir menganggap orang Israel tak lebih
dari orang-orang asing yang menumpang
61 di tanah Mesir. Mereka bukanlah orang Mesir, jumlah orang asing
sebanyak itu dapat menjadi suatu ancaman, apalagi kalau sampai mereka bekerja sama dengan musuh
untuk melawan Mesir.
Sejak saat itu, jumlah orang laki-laki Israel dibatasi dengan perintah pembunuhan atas setiap bayi laki-
laki Israel yang lahir. Selain itu, kekuatan fisik orang Israel dikuras dengan cara dipaksa bekerja sebagai
budak. Dengan ini, Israel memasuki masa perbudakaan yang sangat kejam di Mesir, dan hidup dalam
penderitaan yang luar biasa.
Firaun (Raja Mesir) yang memulai penindasan atas orang Israel di Mesir ialah Thotmes I (1539-1514 SM).
Putrinyalah (Hatsyepset) yang telah menyelamatkan Musa dari air sungai Nil.

2. Cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir sampai Memasuki Tanah Kanaan
Allah telah berjanji menjadikan keturunan Abraham-Ishak-Yakub (orang Israel) sebagai alat
keselamatan bagi seluruh bumi dan segenap alam ciptaanNYA. Oleh karena itu, Allah memelihara mereka
dengan berbagai cara dan bentuk, antara lain menyelamatkan mereka ke tanah Mesir dari bahaya
kelaparan di Kanaan, tetapi terlebih dahulu Allah mempersiapkan Yusuf di Mesir. Iman Yusuf yang teguh
menyebabkan Allah merubah jalan hidupnya dari seorang budak dirumah Potifar, seorang yang terpenjara
karena fitnahan, menjadi penguasa nomor dua dalam Kerajaan Mesir. Demikianlah Allah bertindak
menyelamatkan Yakub dan keturunannya. Ketika mereka mengalami penderitaan di Mesir, Allah bertindak
membebaskan dan membawa mereka kembali ke tanah Kanaan.

Cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir sampai memasuki Tanah Kanaan :
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

a. Mengutus Musa, memberi hikmat dan kemampuan baginya untuk berbicara pada tua-tua Israel serta
Raja Mesir tentang kehendak Allah membebaskan Israel (Kel. 3-4)
b. Menghukum Mesir dengan 10 tulah untuk menunjukan rencana Allah tak dapat dihalangi manusia (Kel.
7-11)
c. Allah menuntun dan memelihara Israel dalam perjalanan dengan mujizat-mujizat (Kel. 14-17)
d. Memberikan hukum Taurat agar Israel tetap berada dijalur kehendak Allah (Kel. 20 s/d kitab Ulangan)
e. Allah mengeringkan air sungai Yordan ditempat penyeberangan memasuki tanah Kanaan (Yosua pasal
3)
f. Allah memampukan Israel mengalahkan suku-suku pribumi Kanaan dan membagi-bagikan tanah itu
kepada Israel sesuai janjiNYA kepada Abraham, Ishak, Yakub (Yosua 7-14)

3. Makna reflektif keluaran dari Mesir bagi kehidupan Katekisan masa kini
Catatan bagi Kateket : Makna reflektif ini dicatat oleh Katekit melalui metode diskusi kelompok

V. EVALUASI
1. Jelaskan latar belakang dan keadaan Israel di Mesir
2. Jelaskan cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir samapai memasuki tanah Kanaan
3. Buatlah refleksi mengenai makna keluaran dari Mesir bagi kehidupan katekisan pada masa kini

VI. KEPUSTAKAAN
Referensi rujukan, antara lain: Theologia PL 1-2-3 (Chr Baath), Sejarah Kerajaan Allah, dan
Di sini Kutemukan (W. Wahono).

VII. KETERANGAN
Katekit : menguraikan materi dan member kesempatan bagi katekisan untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, serta memberi arahan diskusi kelompok.
Katekisan : mencatat, mengajukan pertanyaan, serta berdiskusi secara kelompok.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 4. Allah Yang Membebaskan
3. Sub Pokok Bahasan : 4.2. Manusia Yang Dimerdekakan
4. Bahan Bacaan Alkitab : Galatia 5:1-5, 13; Titus 2:11-15
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami tindakan Allah yang membebaskan dan memerdekakan manusia
62
III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN: :
1. Mengidentifikasikan bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru hingga masa kini
2. Membedakan cara Allah dengan cara manusia memerdekakan manusia pada masa Perjanjian Lama dan
3. Perjanjian Baru hingga Gereja pada masa kini
4. Mengemukakan pendapat Katekisan sendiri terhadap bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia
pada masa kini
5. Menentukan sikap Katekisan sendiri sebagai orang Kristen yang dimerdekakan oleh Allah pada masa kini

IV. URAIAN MATERI


1. Bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hingga
masa kini.
Orang Israel pernah mengalami masa perbudakan di Mesir dimasa itu, mereka bekerja secara paksa. Tetapi
mereka tak dapat berbuat lain, mereka hanya dapat menuruti perintah orang Mesir, karena hidup matinya
mereka ada ditangan orang Mesir. Perbudakan adalah salah satu bentuk dari apa yang disebut
perhambaan.
Jadi perhambaan adalah suatu keadaan, dimana seorang atau sejumlah orang bekerja bagi sesamanya
dengan cara-cara diluar batas-batas perikemanusiaan. Perhambaan menyebabkan orang hidup dalam
kehinaan dan penderitaan secara psikologis, material maupun spiritual.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Perhambaan inilah yang terjadi pada masyarakat Timur Tengah dimasa Perjanjian Lama (PL). Tetapi
keadaan itu diterima sebagai suatu hal yang biasa, dengan kata lain perhambaan sudah menjadi bahagian
dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada masa itu, seorang bekerja sebagai hamba karena beberapa factor antaralain : oleh karena ia tak
dapat melunaskan hutangnya pada orang yang kemudian terpaksa menjadi Tuan/majikannya (Amsal 22:7),
atau karena seorang menjadi orang asing dirantau tanpa jaminan hidup serta perlindungan dari siapapun.
Akibatnya ia dipekerjakan sebagai hamba oleh orang lain. Hagar misalnya, ia seorang perempuan asal Mesir
yang bekerja sebagai hamba pada keluarga Abraham di Kanaan (Kej. 16:1). Para hamba kadang
diperjualbelikan sebagai tenaga budak. Yusuf misalnya, sebelum menjadi penguasa yang sukses di Mesir, ia
dijual kepada orang-orang Ismael(orang-orang Midian yang menemukannya dalam sebuah sumur
kering)untuk dijadikan budak di Mesir (Kej. 37:12-36). Sisa-sisa perhambaan seperti ini masih ditemukan
dimasa Perjanjian Baru (I Tim 6:1)
Seperti dikatakan diatas, hidup seorang hamba adalah milik tuannya. Hidup dan matinya berada di tangan
tuannya itu. Hidup seorang hamba berada dalam cengkeraman tuannya. Dalam pengertian ini, seorang
dapat disebut hamba uang/harta, kalau hidupnya hanya demi uang/harta belaka. Uang/harta menguasai
hidupnya sedemikian rupa sampai ia mengabaikan Tuhan dan sesamanya.
Seorang juga disebut hamba dosa kalau tutur kata, sikap dan perilakunya mencerminkan dosa yang
menguasai, yang mencengkram hidupnya. Demikian juga seorang disebut hamba miras, judi, narkoba, sex
bebas kalau hidupnya telaj dikuasai miras dan lain-lain itu. Atau seorang disebut hamba IPTEK kalau ia
percaya bahwa hasil-hasil IPTEK adalah jalan keselamatan yang baru baginya diluar Tuhan.
Perhambaan bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sederajat satu
sama lain, yang memiliki kebebasan, hak-hak asasi serta martabat sejak lahirnya kedalam dunia ini. Karena
itu sejak masa PL sampai PB hingga pada masa kini, Allah selalu bertindak memerdekakan manusia dari rupa-
rupa perhambaan ini.

Bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa PL dan PB hingga masa kini.
Pada masa PL :
 Perbudakan ; Kel. 21:2,7,20
 Penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan ; Kej. 16:1-7
 Hamba dosa karena mengabaikan Tuhan, yang menyebabkan ketidakadilan, pemerasan, suap,
pelecehan ; Amos 2:7,… 3:10,… 4:1,… 5:7,11,… Amzal 15: 27
Pada masa PB :
 Perbudakan ; I Tim 6:1
 Hamba uang/harta ; Mat 6:19-24, I Tim 3:2
 Hamba dosa ; Roma 3:9-18
Pada masa kini :
 Hamba uang/harta (sifat matrealistis)
 Hamba miras, judi, narkoba, sex bebas
 Hamba IPTEK

2. Perbedaan cara Allah & cara manusia memerdekakan manusia pada masa PL & PB hingga pada masa kini
Cara manusia memerdekakan manusia pada masa PL :
 Tindakan pengusiran seorang hamba dari rumah tuannya; Kej. 16:6
 Melaksanakan ketentuan-ketentuan taurat secara konsekuen; Ezra. 9-10, II Raja-Raja. 22:1-20
Cara manusia memerdekakan manusia pada masa PB :
 Dengan menerima/memperlakukan
63 seorang hamba sebagai sesame orang beriman; Filemon 1
 Melaksanakan Hukum Taurat secara konsekuen; Mat. 5:17-48, Roma psl. 4-5, Tetapi hal ini tidak dapat
menyelesaikan dosa manusia.Kemerdekaan dari dosa hanya dikerjakan oleh Yesus Kristus; Galatia 5:1
Cara manusia memerdekakan manusia pada masa kini :
 Merazia tempat judi, miras, narkoba, dan hotel/penginapan yang digunakan untuk melakukan
perbutanan sex bebas
 Menyita miras, narkoba
 Menyeret para pelaku ke meja hijau serta menjatuhkan hukuman bagi para pelaku sesuai ketentuan yang
berlaku
 Berusaha menghilangkan/mengatasi dampak negative IPTEK

Segala upaya manusia memerdekakan manusia sejak masa PL dan PB hingga masa kini tak menyelesaikan
masalah perhambaan secara tuntas, oleh karena berpusat pada usaha manusia sendiri, masalah
perhambaan hanya dapat dihapuskan dengan campur tangan kuasa Allah, hal ini nyata sejak pada
masa PL, PB hingga masa kini.

Cara Allah memerdekakan manusia pada masa PL dan PB hingga gereja pada masa kini.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Pada masa PL :
 Memerintahkan menerima & melindungi orang asing, karena orang Israel dahulupun adalah orang asing
di Mesir ; Imamat 19:34, Ulangan 10:19
 Salah satu akar dari perhambaan ialah hutang piutang. Allah memerintahkan penghapusan hutang
dalam Ulangan 15:11
 Member peranan kepada perempuan dalam karya penyelamatanNYA : Debora, Hakim-Hakim 4-5
 Menjanjikan kedatangan Mesias, Juruselamat yang menghapus akan perhambaan dosa ; Yesaya 7:1-3,
serta untuk memberlakukan keadilan, kebenaran dan damai sejahtera (Yesaya 61:1-2)
Pada masa PB:
 Menggenapi janji tentang kedatangan Mesias Juruselamat melalui para nabi untuk menghapus dosa
manusia serta membebaskan manusia dari rupa-rupa belenggu/perhambaan; Yesaya 7:1-3, Matius 1:23,
Lukas 4:18-19
 Selama berada di dunia ini, Yesus Kristus mengampuni dosa manusia, memerdekakan manusia dari rupa
penyakit, dari ancaman kelaparan, dari kuasa iblis, dari belenggu kuasa uang/harta (Matius 9:9-13)
 Pada masa PB Allah memberi peran bagi kaum perempuan dalam rangka karya penyelamatanNYA :
Maria Ibu Yesus ; Matius 1: 18-25, Lidya; Kisah Para Rasul 16:13-15
 Setelah Yesus Kristus naik ke surge, Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya meneruskan karya
penyelamatan Allah untuk memerdekakan manusia dari rupa-rupa perhambaan melalui pelayanan
diaconal, partisipasi gereja dalam pembangunan, termasuk dalam bidang pendidikan, gereja turut serta
memperjuangkan HAM (Hak Asasi MAnusia). Semua itu untuk memenuhi amanat agung PI (Mat. 28:18-20)
3. Pendapat Katekisan sendiri terhadap bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa kini
Catatan : melalui diskusi kelompok
4. Sikap katekisan sendiri sebagai orang Kristen yang dimerdekakan oleh Allah pada masa kini
Catatan : melalui diskusi kelompok

V. EVALUASI
1. Identifikasikan bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa PL & PB hingga masa kini
2. Buatlah perbedaan cara Allah & cara Manusia memerdekakan manusiapada masa PL & PB hingga gereja
pada masa kini
3. Kemukakanlah pendapatmu sendiri terhadap bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada
masa kini
4. Tentukanlah sikapmu sendiri sebagai orang Kristen yang dimerdekakan oleh Allah pada masa kini

VI. KETERANGAN
Katekeit : menguraikan materi, mempersiapkan dan mengarahkan diskusi
Katekisan : mencatat, berdiskusi

I. IDENTITAS 64
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 5. Allah Yang Menyertai
3. Sub Pokok Bahasan : 5.1. Penyertaan Allah di Padang Gurun
4. Bahan Bacaan Alkitab : Keluaran 13:17 - 22
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami tindakan Allah yang menyertai manusia dalam setiap keadaannya

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Mengidentifikasi berbagai tantangan yang dihadapi Israel di padang gurun
2. Menjelaskan cara Allah menyertai Israel menghadapi tantangan di padang gurun
3. Menceritakan pengalaman penyertaan Allah terhadap hidup katekisan sendiri dalam menghadapi
Tantangan kehidupan

IV. URAIAN MATERI


BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Allah telah membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir untuk kembali ke Tanah Kanaan yang telah dijanjikan
sebagai milik pusaka Israel melalui Abraham, Ishak dan Yakub, leluhur mereka. Perjalanan menuju tanaha
KAnaan bukanlah hal yang mudah, karena perjalanan itu harus melalui padang gurun Sinai yang tandus dan
gersang, padahal perjalanan itu membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Selain itu jumlah orang Israel
yang keluar dari Mesir begitu banyaknya (6000 orang laki-laki, belum termasuk Mesir karena berbgai alasana.
Hal ini menimbulkan persoalan kesehatan, suplai makanan dan air minum dan lain-lain. Bagaimana Allah
bekerja untuik menyatakan penyertaannya dalam perjalanan yang sukar ini?

1. Berbagai tantangan yang dihadapi Israel di Padang Gurun :


a. Tak ada sarana angkutan umum, mis: mobil angkot, ojek, becak, dll. Jadi perjalanan ditempuh dengan
berjalan kaki
b. Kemungkinan tersesat oleh karena tak ada petunjuk arah, mis; seperti kompas sekarang ini
c. Kemungkinan timbulnya hasrat kembali lagi ke Mesir oleh karena tak ada suplai makanan & air minum
d. Ancaman rupa-rupa penyakit dipadang gurun
e. Kemungkinan terjadinya salah paham antara mereka dalam perjalanan yang sukar itu
f. Gangguan keamanan suku-suku pribumi sekitar padang gurun Sinai
2. Cara Allah menyertai Israel yang menghadapi tantangan dipadang gurun
a. Allah memampukan mereka untuk menempuh perjalanan yang sukar itu dengan berjalan kaki
b. Allah memimpin mereka pada siang hari dengan tiang awan dan dengan tiang api pada malam hari,
sehingga mereka tetap dapat berjalan disiang hari maupun malam hari (Kel. 13:21)
c. Allah menjamin makanan mereka dengan Mana serta menyediakan air bersih untuk minum! (Kel. 16:4,
Kel.17:6)
d. Allah sendiri menjamin kesehatan mereka
e. Setiap kali mereka bersungut-sungut dan bertengkar, Allah menuntun mereka menyelesaikan persoalan-
persoalan yang mereka hadapi (Kel. 17:2-3)
f. Allah memampukan mereka menghadapi ancaman suku-suku pribumi disekitar padang gurun (Bil. 20:14-
21, Bil. 22-24)
g. Allah memberikan sepuluh hukum taurat untuk mengatur hubungan dengan Allah dan dengan
sesamanya (Kel. 20:1-17). Demikian juga hukum-hukum yang lain sebagai bahagian dari hukum taurat,
agar Israel tetap berada pada jalan kehendak Allah (Kitab Kej. s/d Ulangan)
h. Allah memampukan mereka menyingkirkan penghalang ke perbatasan Tanah Kanaan, 41 kota Yerikho
(Yosua 2)
i. Allah mengeringkan air sungai Yordan ditempat penyeberangan memasuki tanah Kanaan (Yosua 3)
j. Allah memampukan mereka mengalahkan suku-suku pribumi, kemudian membagi-bagikan Tanah
Kanaan bagi seluruh umat Israel (Yosua 8 – 12)
3. Pengalaman Katekisan mengenai penyertaan Allah dalam menghadapi kehidupannya
Catatan : diungkapkan melalui metode diskusi

V. EVALUASI
1. Identifikasikanlah berbagai tantangan yang dihadapi Israel di padang gurun
2. Jelaskan cara Allah menyertai Israel menghadapi tantangan di padang gurun
3. Ceritakanlah pengalaman penyertaan Allah terhadap hidup Katekisan berada dalam mengahadapi
tantangan kehidupan.

VI. KETERANGAN
Katekeit : menguraikan materi, mengajukan
65 pertanyaan-pertanyaan, mengarahkan diskusi kelompok
Katekisan : mencatat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdiskusi dalam kelompok

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 5. Allah Yang Menyertai
3. Sub Pokok Bahasan : 5.2. Penyertaan Allah Dalam Pembuangan
4. Bahan Bacaan Alkitab : Daniel 4:1-37
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami tindakan Allah yang menyertai manusia dalam setiap keadaannya

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan latar belakang Israel mengalami Pembuangan di Babel;
2. Menjelaskan makna mimpi Raja Nebukadnezar dan perwujudannya sebagai cara Allah menunjukkan
penyertaanNya bagi Israel.

IV. URAIAN MATERI


BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

1. Latar Belakang Israel Mengalami Pembuangan di Babel.


Pembuangan Israel ke Babel menandai kehancuran Israel sebagai suatu bangsa (=Israel
kehilangan kemerdekaan secara politik). Sejarah Israel sebetulnya hanya berkisar pada dua peristiwa besar
dalam hidup mereka, yaitu peristiwa Keluaran dari Mesir, dan peristiwa Pembuangan ke Babel. Dalam
peristiwa Keluaran dari Mesir, Israel lahir sebagai suatu bangsal tetapi pada peristiwa Pembuangan ke Babel,
Israel mengalami kehancuran sebagai suatu bangsa. Barulah ribuan tahun kemudian sesudah itu, tepatnya
pada tahun 1947, Israel kembali berada sebagai suatu bagnsa secara politis, dengan lahirnya Negara Israel
modern, sebagaimana yang ada sekarang ini.
Peristiwa PEmbuangan ke Babel, didahului oleh berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan antar
bangsa saat itu, khususnya pertaruangan untuk memberperbutkan kuasa dan pengaruh antara kerajaan-
kerajaan besar sekitar Israel, yaitu Babel, Mesir, dan Assyur. Israel sebagai suatu kerajaan kecil, menjadi
korban dari pertarungan itu. Babel tidak saja mengalahkan Mesir, tetapi menaklukan Israel pula. Pada tahun
597 SM, raja Nebukadnezar dari Babel, menghancurkan kota Yerusalem dan meruntuhkan bait Allah dengan
tanah, serta membawa pergi orang Israel ke Babel sebagai tawanan. Jumlah tawanan Israel waktu itu,
kurang lebih 10 ribu orang. Dengan ini, Israel memasuki masa Pembuangan di Babel.
Akan tetapi, latar belakang sesungguhnya dari peristiwa Pembuangan ke Babel adalah sebagai wujud
hukuman Allah bagi Israel, atas kesalahan dan dosa mereka sendiri. Kesalahan mereka ialah, mengingkari
janji untuk tetap setia beribadah kepada Allah (Yosua 24:1-33). Nyatanya, setelah mendiami tanah Kanaan,
mereka jdewa-dewa Kanaan, Ini dosa Israel, karena bertentangan dengan larangan menyembah ilah-ilah,
sebagaimana dalam Hukum Taurat (Kel.20:3). Dosa penyembahan dewa/I itu disebabkan karena beberapa
hal, antara lain: perkawinan campuran antara orang Israel dengan laki-laki atau perempuan pribumi Kanaan
yang menyembah dewa-dewa. Perkawinan campuran tersebut juga terjadi dalam kehidupan istana Raja
Ahaz misalnya, yang beristrikan Izabel, perempuan Kanaan yang menyembah dewa-dewa. Akibat
pengaruh Izabel, Ahaz serta rakyat Israel turut menyembah dewa-dewa. Dalam I Raja 12:25-16:28,
diceritakan, bagaimana raja Yerobeam menyembah patung anak Lembu emas.
Selain karena perkawinan campuran, penyembahan dewa juga dipaksanak kepada Israel oleh raja-
raja kafir yang menjajah Israel. Memang ada raja-raja Israel yang setia beribadah kepada TUHAN, seperti
Hiskia, dan Yosia. Raja Yosialah yang justru melaksanakan pemabaharuan hidup kerohanian Israel dengan
perintah merubuhkan patung dewa/dewi yang disembah Israel (II Raja pasal 21-25).
Sebetulnya, berulangkali Israel diperingatkan para nabi untuk bertobat dan kembali memegang janji
mereka untuk tetap setia beribadah kepada Allah. Tetapi Israel tidak membaharui diri dalam arti yang
sesungguhnya. Sikap meninggalkan Tuhan ini menyebabkan baik para pemimpin maupun rakyat Israel tak
segan-segan melakukan tindakan kekerasan, pemanasan, ketidakadilan, pelanggaran HAM, kebohongan,
suap, pesta pora dan kemabukan (Band. Amsal 14:31; 15:27; 23:21; Amob 2:7; 3:10; 5:7). Sampai-sampai nabi
Yehezkiel menggambarkan sejarah Israel sebagai sejarah tanpa kesetiaan kepada Allah (Yeh.3:4-21).
Keadaan hidup Israel seperti “tulang-tulang yang berserakkan di lembah” (Yeh.37). Nabi Mikha sudah
menubuatkan kehancuran Israel, sedangkan hukuman atas Israel yang tidak pernah bertobah dengan
sesungguhnya, dinyatakan secara tegas dalam Yer.20:1-6, bahwa Israel akan diangkut pergi ke Babel
sebagai tawanan. Demikianlah wujud hukuman Allah atas Israel, yaitu pembuangan ke Babel.
2. Makna Mimpi Raja Nebukadnezar dan Perwujudannya sebagai Cara Allah menunjukkan PenyertaanNya
bagi Israel.
Bagi Allah, yang namanya dosa tetaplah dosa. Karena itu, Israel harus menerima teguran, bahkan
hukuman yang dirasakan sangat berat. Tetapi hukuman Allah tidak sedikitpun mengurangi janji Allah untuk
menjadikan Israel sebagai alat keselamatan bagi semua bangsa dan segenap alam ciptaanNya. Oleh
karena itu, sekalipun mereka menjalani pembuangan di Babel sekitar 70 tahun lamanya, Allah tetap
menyertai umat pilihanNya itu. 66 Perwujudan penyertaan Allah itu dinyatakan melalui mimpi raja
Nebukadnezar.
Sampai dua kali raja Nebukadnezar bermimpi, yang selengkapnya diceritakan dalam Daniel pasal 2
dan 4. Melalui mimpi-mimpinya itu, Allah menyatakan kehancuran kerajaan Babel ~yang diyakini raja
Nebukadnezar sebagai kerajaan yang tak terkalahkan~, akan menjadi kenyataan. Sebab sesungguhnya,
yang kekal dan tak terkalahkan hanyalah kerajaan Allah (Dan.2:44; 4:26).
Kedua mimpi ini tak diceritakan kepada siapapun. Jadi orang harus dapat menerka, sekaligus
mengartikannya. Tetapi tak satupun “orang pintar” di Babel yang dapat melakukannya. Hanya kepada
Daniel, orang Israel yang taat itu, Allah memberitahukan mimpi itu serta arti dan maknanya bagi
Nebukadnezar dan kerajaan Babel (Daniel 2:19-46; 4:10-18). Pada akhirnya, raja Nebukadnezar, mengakui
kemahakuasaan Allah Israel (Dan.2:47; 4:37).
Demikianlah Allah mewujudkan penyertaanNya dalam hidup Israel di pembuangan melalui mimpi raja
Nebukadnezar.

V. E V A L U A S I
1. Jelaskanlah latar-belakang Israel mengalami pembuangan di Babel ?
2. Jelaskanlah makna mimpi raja Nebukadnezar dan perwujudannya sebagai cara Allah menunjukkan
penyertaanNya bagi Israel ?

VI. KETERANGAN
Katekit : Menguaraikan materi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
Katekisan : Mencatat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

1. IDENTITAS
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2. Materi Sajian : FIRMAN


3. Pokok Bahasan : 5. Allah Yang Menyertai
4. Sub Pokok Bahasan : 5.3. Penyertaan Allah Dalam Hidup Manusia: Imanuel
5. Bahan Bacaan Alkitab : Matius 1:23; 28: 19-20
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
7. Semester : 1 (Ganjil)

3. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami tindakan Allah yang menyertai manusia dalam setiap keadaannya

4. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan penyertaan Allah dalam kehidupan manusia melalui kehadiran Yesus sebagai Imanuel.
2. Menjelaskan arti dan makna kata, “Imanuel” bagi dunia.
3. Memberikan pendapat sendiri mengenai arti dan makna kehadiran Yesus sebagai Imanuel dalam
kehidupan katekisan.

5. URAIAN MATERI
1. Penyertaan Allah dalam Kehidupan Manusia melalui Yesus Kristus sebagai Imanuel
Imanuel artinya Allah menyertai kita (Mat.1:23). Melalui ayat ini, malaikat Tuhan berbicara kepada Yusuf,
mengulangi janji Tuhan tentang kedatangan Mesias, Juruselamat yang telah disampaikan melalui para nabi
ribuan tahun lampau (Yes.7:14). Jadi dengan kelahiran Yesus Kristus, Allah mewujudkan janji penyertaanNya
bagi manusia. Karena itu, Yesus Kristus dinamakan Imanuel.
Memang Allah kita adalah Allah yang menyertai. Seluruh PL menunjukkan bagaimana penyertaan Allah
itu diwujudkan dalam berbagai cara dan bentuk (Penyertaan Allah di Padang Gurun, Penyertaan Allah
dalam pembuangan di Babel, dll.). Penyertaan Allah tidak diwjudkan sebagas Israel saja, sebab
keselamatan yang disediakan Allah bersifat universal. Cerita tentang Yunus dalam PL menunjukkan
bagaimana Allah bekerja bagi keselamatan Niniwe, yaitu orang-orang yang bukan Israel.
Tetapi manusia tidak dapat menempatkan diri dalam kuasa penyertaan Allah. Kesalahan pokok
manusia ialah, meninggalkan Allah. Oleh karena itu, dengan mudahnya manusia menyembah kuasa-kuasa
lain (dewa-i) serta melakukan tindakan kekerasan, ketidakbenaran, ketidakadilan, penindasan, pelecehan,
dll.
Jadi sebetulnya kesalahan pokok manusia ialah dosanya. Ini menyebabkan hidup manusia terancam
hancur dan binasa. Tetapi Allah tidak meninggalkan manusia. Penyertaan Allah diwujudkan dalam
anugerah pengam[unan dosa melalui Yesus Kristus. Oleh karena itu, Yesus Kristus dinamakan Imanuel.

2. Arti dan Makna “Imanuel” bagi Dunia


Arti kata Imanuel bagi dunia ialah Allah tetap menyertai dunia. Sedangkah makna kata Imanuel bagi
dunia ialah Allah tetap menyertai manusia dalam dunia yang diwarnai pelbagai kemelut, persoalan dan
kesukaran. Dunia bukan sekadar suatu tempat manusia melakoni hidupnya sesehari. Pengertian dunia lebih
dari sekadar sebuah tempat tinggal. Dunia adalah ruang dan waktu di mana Allah harus mewujudkan karya
penyelamatanNya bagi manusia dan segenap alam ciptaan.
Namun, setiap kali kuasa Iblis berusaha membelokkan karya penyelamatan Allah. Iblis bekerja melalui
hidup manusia secara pribadi, bekerja dalam struktur-struktur dan lembaga-lembaga yang diciptakan
manusia untuk kemudahan hidupnya di dunia ini. Jadi sebetulnya sejarah adalah sejarah pertarungan
antara kuasa Iblis melawan kerajaan
67 Allah atau pemerintahan Allah.
Oleh karena itu, Yesus berkata kepada murid-muridNya, jika kamu berdoa, katakanlah
demikian,……….. Datanglah kerajaanMu… jadilah kehendakMu. Di bumi seperti di sorga. Dan janganlah
membawa. Kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami. Daripada yang jahat…..(Mat.6:10,11,13).
Datanglah kerajaanMu, berarti meminta Allah terus memerintah dalam hidup kita. Jadilah
kehendakMu berarti memohon kehendak Allah selalu menuntun kehendak kita; dan memampukan kita
untuk menghindari segala perbuatan yang meruskan hidup manusia (tindakan kekerasan, ketidakadilan,
pemerasan, pelecehan, dsbnya) yang justru dikehendaki Iblis.
Jadi dengan ini Allah memampukan kita untuk tetap hidup dalam pemerintahan/kerajaanNya,
sekaligus kemampuan menolak atau melawan kuasa demonis / iblis dalam berbagai cara dan bentuk.
Dalam suratNya kepada jemaat di Efesus, rasul Paulus mengingatkan agar kita tetap hidup sebagai manusia
baru (Ef.4:17-24); sebagai anak-anak terang (Ef.5:1-8). Dan sebelum Yesus terangkat ke surge, Ia memberikan
jaminan penyertaanNya bagi kita sampai akhir zaman (Mat.28:20).
3. Pendapat Katekisan sendiri mengenai Arti dan Makna Kehadiran Yesus sebagai Imanuel
Katekisan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya tentang Yesus sebagai Imanuel
dalam kehidupan pribadinya. Penyampaian pandangan tersebut dilakukan melalui diskusi kelompok.
6. EVALUASI
1. Jelaskanlah penyertaan Allah dalam kehidupan manusia melalui kehadiran Yesus sebagai Imanuel ?
2. Jelaskanlah arti dan makna kata Imanuel bagi dunia ?
3. Berikan pendapatmu sendiri mengenai arti dan makna kehadiran Yesus sebagai Imanuel dalam
kehidupanmu sebagai katekisan ? (Silahkan berdiskusi !)

7. KETERANGAN
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Katekit : Menjelaskan materi, mempersiapkan dan mengarahkan diskusi kelompok


Katekisan : Mencatat, mengajukan pertanyaan, berdiskusi dalam kelompok

I. BAHAN PELAJARAN
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
3. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Pandangan Iman Kristen tentang Waktu
4. Bahan Bacaan Alkitab : Pengkhotbah 3:1; 12:1-8
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Para katekisan dapat Mengkaji dan merefleksikan pandangan iman Kristen mengenai waktu, hidup, karya, IPTEK,
Olahraga dan Seni.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan hakikat waktu secara etis kristiani
2. Menjelaskan fungsi waktu dalam mem-bangun kehidupan kristiani
3. Membedakan bentuk-bentuk penggunaan waktu yang baik dan yang tidak baik
4. Mengevaluasi berbagai cara penggunaan waktu yang terjadi dalam kehidupa orang percaya

IV. URAIAN MATERI


1. Arti dan hakikat waktu secara etis kristiani.
a. Filsuf dan teolog besar, Immanuel Kant memahami waktu dalam hubungan dengan ruang (space and
time). Menurutnya, ruang (Space) adalah proses kehidupan itu sendiri, sementara waktu (time) adalah
kesan-kesan atau pemaknaan-pemaknaan yang hakiki atas proses (ruang) kehidupan itu sendiri.
Maksudnya, hidup tanpa waktu (pemaknaan) adalah sekedar membuka ruang kesia-siaan yang kosong
dan tak berarti. Kalau Anda berbicara tentang waktu kecil, waktu remaja, waktu pacaran, atau waktu
sekolah maka Anda sesungguhnya sedang berbicara tentang kesan-kesan atau makna-makna
kehidupan yang menghiasi dan terus membayangi masa kecil, masa remaja, masa pacaran, atau masa
sekolah Anda itu sendiri. Waktu, karenanya bukan sekedar permainan menit dan detik, tetapi permainan
peran makna dan kesan yang memungkinkan orang melakukan refleksi, pemahaman, dan pembelajaran
hidup (life discourse).
b. Artinya, waktu itulah yang memberikan pemaknaan yang hakiki dan strategis atas ruang hidup atau
proses kehidupan itu sendiri. Prinsipnya, ruang atau proses hidup itu sendiri adalah lembaran kertasnya,
sementara waktu itu sendiri adalah pemaknaan hidup dalam bentuk tulisan yang mengisi ruang (kertas)
kehidupan itu sendiri, entah tulisan dengan tinta merah atau putih, hitam atau biru. Kitab Pengkhotbah,
karena itu, menunjukkan bahwa segala proses kehidupan di bawa kolom langit, baik itu yang baik
maupun yang tidak baik, selalu ada waktu atau maknanya. Hal-hal, seperti; ada waktu kelahiran, waktu
kematian, waktu menanan, 68 waktu mencabut, waktu merombak, waktu membangun, waktu menangis,
waktu tertawa, waktu menari, waktu untung, waktu rugi, waktu siang, waktu malam, dan sebagainya
semuanya menunjuk pada peran kesan dan makna hidup itu sendiri. Semuanya, ternyata memiliki waktu
atau maknanya sendiri-sendiri yang sungguh berarti bagi kehidupan.
c. Konsekuensinya, bila waktu itu tidak dimanfaatkan dengan sadar dan tertanggung jawab maka orang
tidak dapat memberikan atau menerima makna atau kesan apa pun terhadap proses kehidupan yang
dijalaninya, sebab ruang itu akan tetap ada namun waktu itu sendiri akan berlalu dan tidak pernah
kembali. Orang, sesungguhnya tidak dapat mengisi dan mencetakkan lagi makna serta kesan (waktu)
yang membentuk masa lalunya, karena semuanya telah lewat dan tidak akan pernah kembali. Kecuali,
orang tinggal merefleksikan (merenungkan) dan memetik hikmatnya dalam membangun kearifan hidup
masa kini dan masa depan.
d. Pengkhotbah 12: 1-8 mengingatkan manusia, khususnya para pemuda untuk selalu mengingat (menatati
dan memuliahkan) Tuhan pada waktu muda, sebagai sebuah pemaknaan kehidupan yang utama.
Orang atau pemuda/i yang tidak mengingat (menaati dan memuliahkan) Tuhan pada masa mudanya,
maka masa muda hanya menjadi hantu kesia-siaan yang selalu menjadi momok yang membayang-
bayangi kehidupannya. Menyia-nyiakan waktu yang dijalani dalam kehidupan berarti menyia-nyiakan
hidup itu sendiri, dan hidup hanya bagaikan hantu dan momok kesiasiaan yang memiluhkan.
e. Manusia sekali-kali tidak pernah memiliki dan menguasai waktu itu secara mutlak di dalam tangannya.
Manusia hanyalah hamba waktu yang sepenuhnya diatur oleh waktu itu sendiri dengan berbagai momen
makna kehidup yang menghiasi proses kehidupannya. Waktu itu memiliki keluhuran dan kebebasan atau
kedaulatan diri, karenanya ia (sang waktu) itu akan tampil sebagai hakim, entah itu siang atau malam,
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, untuk meminta pertanggungjawaban dan menarik waktu itu
kembali dari hidup manusia.

f. Waktu sebagai kairos atau anugerah yang memaknakan hidup menjadi momen-momen kehidupan yang
berarti, tidak perna akan pernah mundur tetapi terus maju. Karena itu, waktu tidak mengenal kata sabar,
tunggu, malas atau masa bodoh. Waktu menggambarkan sebuah konsistensi, karena itu yang sudah akan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

akan terus berlalu dengan segala kesan dan maknanya, serta terus bergerak mencetakkan kesan dan
pemaknaan seiring dengan proses kehidupan yang terus bergerak maju dan tidak pernah akan kembali.
g. Untuk lebih mendalami pemahaman serta sikap iman kristiani atas waktu itu sendiri, Anda diminta untuk
merefleksikannya dalam proses-proses waktu yang Anda telah alami. Apakah ada yang bermakna bagi
kehidupan kristiani Anda ataukah ada yang kosong dan tanpa makna apa pun? Caranya, dengan
mendiskusikan dan mengisi ruang-ruang pemaknaan pada table di bawah.

Tabel No.1
Ruang Pemaknaan hidup (Waktu hidup).
Masa
2. Waktu sebagai pemaknaan
Masa Remaja Dewasa
Ruang
Masa kanak-
(mungkin se (sesudah
Kesimpulan proses kehidupan yang terus mengalir,
kanak Anda: memiliki beberapa fungsi:
(Space) waktu SMP- SMA-
(TK-SD) a. Mengingatkan. Waktu berfungsi
SMA) Perguruan
Tinggi) sebagai “tanda peringatan” bagi
Waktu 1. Belajar me- 1. Belajar me- 1. Memba- 1. Memper- manusia untuk selalu terjaga (siap siaga)
(time) ngenal ngenal pri- ngun pe- oleh per- dalam mengerjakan serta mencetakkan
orang tua badi sesa- ngalaman tumbuhan kesan dan makna atas kehidupannya
kerabat ma dan berorgani- hidup yg yang terus bergerak maju. Waktu
keluarga, memba- sasi, Angka baik, me- mengingatkan manusia untuk (menatati
dan teman ngun per- tan Muda ngesankan dan memuliakan) Tuhan dalam
sekolah; gaulan se- Gereja, Ka dan me- hidupnya dengan tindakan-tindakan
cara men- rang Taru- nyenang- yang bermakna, ibadah, kesaksian,
dalam; na, dll; kan; pelayanan, dan persekutuan sejati
2. Menda- 2. memiliki 2. Belajar 2.Mendapat dengan Tuhan dan sesama. Sekaligus
patkan teman menjadi kan pe- waktu sebagai tanda peringatan bagi
ceritera- yang pemim-pin ningkatan manusia untuk mengabdi dan berkarya
ceritera paling pengeta- secara tepat dan produktif (efektif dan
keagaman akrab; huan dan efisien) bagi tugas kemanusiaan secara
yg paling ketrampi- luas dalam menghadirkan syalom damai
indah dari lan dalam sejahtera Allah di bumi;
pengasuh, memba- b. Mendorong. Waktu sebagai
kakek- ngun “lonceng kesadaran” yang
nenek, dan hidup; menggetarkan suara hati kesadaran
guru serta menumbuhkan motivasi
agama; (dorongan), kegairahan hidup, dan
tanggungjawab sejati dalam diri
3. ………….. 3. ………… 3. ………… 3. ………… manusia. “Lonceng kesadaran” selalu
…..……… ………… ………… ………… menggetar memenuhi ruang kesadaran
………… ………… ………… ………… dan keinsafan manusia, baik secara
pribadi maupun bersama untuk
4. ………… 4. ………… 4. ………… 4. ………… membangun diri, dengan berpacu diri,
………… ………… ………… ………… mengasah ketajaman bathin dan budi
………… ………… ………… ………… untuk membangun prestasi seiring
dengan pergeseran waktu yang terus
memberikan makna yang tiada 69 berhenti bagaikan air yang terus mengalir. Baginya, pemaknaan hidup
adalah tugas hakiki yang tidak dapat ditahan atau disumbat oleh sikap masa bodoh dan kemalasan.
c. Mengatur roda perputaran hidup. Waktu yang terus bergerak dan berputar maju tanpa pernah bergerak
mundur, berfungsi mengantarkan manusia bergulat dengan realitas dinamika hidup yang terus berputar;
siang - malam, atas – bawah, kiri-kanan, susah-senang. Manusia, dengan itu, diajar untuk teguh dan kokoh
menjalani perputaran hidup dengan yakin (optimis), kesigapan, dan kearifan yang tinggi untuk
menghadapi badai realitas agar tidak tergilas menjadi korban kesia-siaan bagi tantangan kehidupan itu
sendiri.
d. Sebagai soko guru yang mendisiplinkan hidup. Waktu sebagai ruang pemaknaan hidup, berfungsi
sebagai soko guru yang membimbing manusia dalam sebuah kurikulum kehidupan (pedoman
pembelajaran). Waktu yang tetap begerak bagaikan nadi kehidupan, mendorong sebuah proses
pembelajaran untuk membangun dan memaknakan kehidupan secara bertahap atau berjenjang
menuju kesempurnaan abadi. Maksudnya, waktu berfungsi sebagai sebuah strategi kehidupan untuk
melatih, mendidik, membimbing,mengarahkan, dan mendorong pada momen-momen kehidupan yang
tepat sehingga memungkinkan adanya pembaharuan diri dengan cara, tindakan, atau perilaku
kehidupan yang bermakna, guna mendorong pertumbuhan hidup secara terarah dan bermakna;

e. Membangun atmosfir kehidupan. Waktu berfungsi membangun atau menciptakan sebuah atmosfir
(suasana dan kinerja) kehidupan yang memadai. Waktu mengantar manusia terus bergerak maju
mencapai dan terus melewati stasiun-stasiun realitas dengan mempertajam ketahanan moral, kepekaan
bathin, ketajaman nalar, mata bathin dan kearifan hidup dalam sebuah regulasi (keteraturan) yang stabil
dan mantap. Siapa yang tidak menghargai waktu akan ketinggalan kereta dan tersesat dalam
kemelaratan hidup.

3. Bentuk-bentuk penggunaan penggunaan waktu.


BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

a. efektif dan efisiensi waktu. Efektif, artinya; waktu harus digunakan secara tepatguna. Waktu untuk belajar
hendaklah digunakan untuk belajar, bukan untuk bermain. Waktu untuk bekerja, hendaklah digunakan
untuk bekerja, bukan untuk mersenang-senang. Demikian pula halnya, waktu untuk beribadah harus
digunakan untuk beribadah, bukan untuk bejudi. Semuanya harus diatur dan diisi sesuai dengan jatah
waktunya masing-masing. Di sisi lain, penggunaan waktu secara efisien mengandung arti bahwa waktu
harus digunakan sedemikian rupa untuk menghasilkan hal-hal yang berguna atau bermanfaat, bukan
mempermainkan atau memboroskan waktu yang telah ditentukan untuk hal-hal yang tidak relevan
dengan peruntukannya sehingga tidak membawa hasil maksimal dan tidak membawa kegunaan yang
banyak.
b. inefisiensi waktu. Berbeda dengan penggunaan waktu asecara efekti dan efisien, banyak dijumpai
adanya cara penggunan waktu yang tidak berdaya guna dan berhasil guna (inefisien). Inefisiensi waktu,
selalu muncul dalam dua ciri; yaitu; inefiesiensi aktif dan inefisiensi pasif.
c. Pertama; Inefisiensi aktif adalah cara memboroskan dan menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang memperlemah dan melumpuhkan ketahanan diri, seperti begadang bemalam-malam
suntuk sampai mengurangi darah dan menahan angin dan dingin malam. Hal tersebut berdampak
jangka panjang terhadap kesehatan tubuh. Bentuk Inefisiensi aktif lain yang juga sering ditemui adalah
menggunakan waktu secara aktif, sebagai kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan,
seperti: pencurian, perselingkuhan, penjarahan, korupsi, dan manipulasi untuk mengejar kenikmatan yang
sia-sia (dosa).
d. Kedua; inefisiensi pasif, adalah bentuk kelalaian dan kemalasan memanfaatkan waktu, yang dalam
kehidupan beriman dicelaah sebagai sikap menyia-nyiakan waktu sebagai anugerah. Misalnya, waktu
hanya digunakan untuk memelihara kemalasan, kebodohan, dan kemiskinan. Ada pula banyak waktu
kerja digunakan untuk istirahat atau bersenang senang sehingga, meskipun berhari dan berbulan bekerja
namun tidak ada kemajuan dalam pekerjaan dan juga tidak membawa kegunaan yang besar bagi
kehidupan. Cara pemborosan atau penyimpangan waktu (inefisiensi aktif) atau kelalaian dan penyia-
nyiaan waktu (inefisiensi pasif) yang demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan dan
“korupsi waktu”.
e. Jelaslah, penggunaan waktu secara efektif dan efisien mengandung arti menggunakan waktu secara
tepatguna dan berhasil guna, sehingga bisa membuat hidupnya menjadi hidup yang saart kasan dan
sarat makna kehidupan. Hidup demikian, di samping membahagiakan diri, keluarga, dan lingkungannya,
juga menjadi menjadi mutiara kesaksian yang selalu dihargai dan dikenang dalam sejarah budaya dan
masyarakat.
f. Dewasa ini, orang bisa dibayar atau digaji dengan upah yang besar karena mampu menggunakan waktu
secara efektif dan efisien. Orang yang tidak menggunakan waktu secara efektif dan efisien, meskipun
memiliki kepintaran (berijasa pendidikan tinggi), namun tidak akan pernah dihargai dalam persaingan
dunia (pasar) kerja. Orang lupa bahwa waktu sebagai anugerah Allah memiliki nilai-nilai keluhuran dan
kesucian, sehingga sikap inefisiensi aktif atau inefisiensi pasif dalam penggunaan waktu adalah perbuatan
dosa terhadap waktu itu sendiri. Alkitab secara jelas menunjukkan bahwa orang menggunakan waktu
untuk menabur (bekerja) dengan keringat akan menuai dengan sukacita, sebaliknya orang yang
menabur dengan malas dan bersungut-sungut akan pulang dengan air mata (bd. Mat. 13:1-23 & Mat. 25:
14-30).
g. Tahu mengkuduskan dan menyucikan waktu. Bila waktu, yang dipahami secara filosofis-teologis sebagai
pemaknaan ruang hidup atau proses kehidupan maka penggunaan waktu itu sendiri harus dikhususkan
(dikuduskan) atau disucikan (dibersihkan) dari berbagai kecenderungan hidup yang jahat. Pengudusan
dan penyucian waktu benar-benar memberikan kesan dan pemaknaan-pemaknaan yang memadai
serta abadi bagi kehidupan70itu sendiri. Waktu, pada dirinya, memiliki keluhuran dan kebebasan atau
kedaulatan diri, karenanya ia (sang waktu) itu akan tampil sebagai hakim, entah itu siang atau malam,
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, untuk meminta pertanggungjawaban dan menarik waktu itu
kembali dari manusia. Manusia bukan pemilik atau penguasa waktu, tetapi sesungguhnya bergantung
sepenuhnya pada waktu itu sendiri. Manusia akan lahir, tumbuh dewasa, dan mati, tetapi waktu dengan
segala ruang pemaknaannya akan tetap hidup sebagai saksi putih atau hitam, terang atau kelabu.
Manusia dengan segala kepintaran atau kekuasaannya, tidak akan pernah mampu dan diberi hak oleh
sang waktu untuk menyulap atau memanipulasi data-data kehidupannya yang dimaknakan oleh waktu
itu sendiri dengan segala warna-warni tinta atau coretannya.
h. Menguduskan dan menyucikan waktu mengandung makna bahwa orang harus taat dan setia dalam
menggunakan waktu secara bermakna, sehingga mengesankan sebuah nilai kesaksian hidup bagi Tuhan.
Menguduskan dan menyucikan waktu, menjadi titik dasar atau fondasi kokoh bagi bangunan hidup yang
dijalani, sehingga orang tidak akan takut dan gentar menjalani hidup hari esoknya, karena hari esok
menjajikan berkat bagi orang yang tahu menghargai aserta menyucikan waktu kehidupan itu sendiri.

i. Sebaliknya, menodai dan menyia-nyiakan waktu, akan tersesat dalam kepalsuan, kecemasan, ketakutan
dan kekuatiran mekar, sehingga ia kehilangan dasar (fondasi) kehidupan yang kokoh dalam menjalani
hari esok yang terbuka. Misalnya, orang yang tahu menguduskan dan menyucikan waktu masa
mudahnya, akan menemukan sebuah dasar yang kokoh bagi kehidupan masa depannya yang terbuka.
Di sisi lain, orang yang memboroskan atau menyia-nyiakan kesucian waktu masa muda akan
menjebakkan atau menyesatkan diri dalam jurang hidup yang padam cahaya. Ia, karena itu, telah
menyeret jalan hidup masa depannya dalam “hantu-hantu” kepalsuan, kemunafikan, kekuatiran,
kecemasan, dan ketakutan mekar yang terus menggerogoti diri dan hidupnya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

j. Cerdas dan bijaksana mengatur waktu. Kisah gadis yang bijaksana dan gadis yang bodoh dalam alkitab
(Mat. 25:1-13), menyaksikan bagaimana para pemuda (gadis muda) yang bijaksana mengatur atau
mengelola waktu hidupnya sehingga mampu bertindak secara tepat mengisi dan memkanakan hidup.
Di sisi lain, dikisahkan pula gadis-gadis bodoh yang begitu tidak berdaya mengatur dan mengelola waktu
hidupnya sehingga, bukan saja terlambat dan gagal meraih sukses dalam kehidupan, bahkan gagal
mendapat penobatan sebagai gadis pelihan yang pantas. Mereka, lebih daripada itu, terbuang dalam
sebuah realitas yang perjuangan yang penuh kesia-siaan. Para gadis yang cerdas dan bijak sana
mengatur waktu, begitu telaten (setia dan taat) menguduskan atau menyucikan waktu masa mudanya
dengan kesan dan makna kehidupan yang mempengaruhi atau menentukan masa depan yang kelak
dijalaninya. Kelompok gadis bijaksana (menggambarkan hidup pemudi atau pemuda) yang bijaksana.
Mereka bukan saja taat, tekun, dan setia dalam mengatur, mengelola, serta membimbing hidupnya
sedemikian rupa pada masa mudanya sehingga benar-benar diakui kecerdasannya. Justru, lebih
daripada itu, mereka berusaha mengisi, menjaga, dan merawat kesucian masa mudanya sehingga tetap
bercahaya, tidak kabur, pucat, dan padam menyambut masa depannya. Alkitab menegaskan bahwa
mereka itulah, cerdas karena telah menguduskan dan menyucikan waktu mudanya sebagai dasar
(fondasi yang kokoh) bagi bangunan hidup masa depannya. Artinya; mereka telah memaknakan hidup
masa mudanya dengan nilai-nilai kesucian dan kekudusan yang meletakkan dasar keluhuran yang kokoh
untuk menjalani masa depannya yang penuh tantangan sekalipun. Mereka, kerana itu, pantas
menyambut masa depannya dengan cahaya sukacita. Sebaliknya, gadis-gadis yang bodoh
menggambarkan hidup masa muda yang hanya aktif memboroskan waktu kemudaan untuk
mengosongkan minyak kesegaran, kecantikan, dan keindahan tubuh demi kesenangan dan kenikmatan.
Akibatnya, cahaya tubuh dan jiwanya menjadi padam dan muram durja dalam kepalsuan dan
kebohongan, sehingga hidup masa depannya hanya menjadi masa kegelapan dan penyesalan yang
ditemani “hantu-hantu” kepalsuan, kemunafikan, kekuatiran, kecemasan, dan ketakutan mekar yang
terus menggerogoti diri dan hidupnya.

4. Mengevaluasi berbagai cara penggunaan waktu yang terjadi dalam kehidupan orang percaya
Meskipun Alkitab secara tegas telah menyaksikan dan terus mengajarkan orang percaya tentang hal
penggunaan waktu sebagai anugerah Tuhan, yang harus digunakan secara baik, masih saja dujumpai
berbagai perilaku hidup orang percaya, baik yang positif maupun negatif. Orang percaya, kecil-besar, tua-
muda, kerena itu perlu dibimbing untuk bisa menilai atau mengevaluasi cara penggunaan waktu-waktu
hidupnya. Apakan waktu hidupnya telah digunakan secara positif atau negatif. Bagian ini bermaksud
bagaimana membina diri kepribadian keristen itu sedemikian rupa sehingga berani mengevaluasi
penggunaan waktu-waktu kehidupannya, guna dapat melakukan peningkatan bagi yang telah
menggunakan waktunya secara positif, dan berani melakukan koreksi perbaikan atau penyempurnaan bila
lalai, salah, atau keliru dalam memaknakan waktu hidupnya. Diagaram di bawah, sengaja dirancang untuk
membantu Anda, menayangkan berbagai bentuk penggunaan waktu yang Anda alami atau amati dalam
lingkungan kehristenan Anda. Seterusnya Anda diminta melakukan penilaian kritis untuk menentukan apakah
cara demikian baik atau tidak baik (berikan tanda cek pada kolom pilihan anda), dan kemudian Anda
diminta untuk memberi komentar atau saran rekomandasi bagi diri dan lingkungan kristiani Anda itu sendiri,
dalam hal melakukan peningkatan atau perbaikan waktu (kualitas) hidup.

71
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Tabel No.2
Bentuk Penggunaan waktu.
Penilaian Komentar dan Saran Anda
Bentuk Penggunaan waktu Tidak
Baik
baik
1. Melakukan ibadah √ Beribadahlah secara be-
dengan taat dan nar, taat, dan teratur wak
dengan segenap hati; tu, karena mengandung
berkat bagi kehidupan;
2. Membantu sesama
yang mengalami
kesusahan pada saat
dibutuhkan;
3. Belajar dengan tekun
sepanjang hari;
4. Bersenang-senang
sepanjang hari;
5. Beristirahat sepanjang
hari;
6. Bekerja dengan tekun
sepanjang hari;
7. Melayani sepenjang
hari;
8. Cemas/mengeluh
sepanjang hari.

V. EVALUASI:
1. Jelaskan tiga alasan pokok; mengapa iman kristiani memahami waktu sebagai pemaknaan hidup?
2. Jelaskan minimal 3 (tiga) fungsi waktu dalam membangun ciri hidup kristiani;
3. Tunjukkan 2 (dua) perbedaan bentuk pengguna an waktu yang baik dan yang tidak baik.
4. Kemukakan evaluasi kritis anda terhadap berbagai cara penggunaan waktu yang terjadi dalam kehidupa
orang percaya.

VI. KEPUSTAKAAN
1. Soedarmo. R., 2000; Iktisar Dogmatika, BPK-GM. Jakarta, hal: 162- 168.
2. Banawiratma, J.B. 1988; Aspek-Aspek Teologi Sosial; Kanisius-BPK, hal: 25-35; 117-180.

I. BAHAN PELAJARAN
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
3. Sub Pokok Bahasan : 3.2. Pandangan Iman Kristen tentang Hidup
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yoh.7:37-39; 10:1-10
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN 72


Para katekisan dapat Mengkaji dan merefleksikan pandangan iman Kristen mengenai waktu, hidup, karya, IPTEK,
Olahraga dan Seni.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan arti hidup secara Kristen;
2. Menunjukkan nilai hidup etika kristen dalam mem bangun hidup;
3. Menjelaskan arti sikap pro life dan contrary life;
4. Membedakan sikap pro life dan contrary life dalam praktik hidup orang Kristen.

IV. URAIAN MATERI


1. Arti dan Hakikat Hidup.
a. Hidup selalu dipahami sebagai sebuah arena perjuangan, yang selain penuh dengan dinamika,
dorongan (motivasi) dan tantangan, juga punya awal dan akhir. Hidup, dalam pemahaman kristiani,
merupakan amanah dan anugerah pemberian Tuhan Sang Pemilik hidup itu sendiri. Artinya, manusia,
dalam status dan posisi apa sekalipun tidak dapat mengkliam diri sebagai pemilik yang sah dari hidup itu
sendiri. Manusia, sedikit pun atau sesaat pun, tida dapat menggenggam hidup yang sementara ia jalani
secara total dan mutlak itu di dalam gengamannya. Alasannya, hidup itu bersifat otonom ia bisa datang
dan pergi kembali kepada Tuhan Sang pemiliknya yang sah, tanpa mohon persetujuan manusia itu sendiri.
Jadi, hidup itu begitu penting dan berharga bagi manusia, karena hidup tidak membutuhkan manusia,
tetapi sebaliknya manusialah yang membutuhkan dan berkepentingan, Manusia bukan saja
membutuhkan hidup, tetapi bergantung sepenuhnya pada hidup itu sendiri.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

b. Manusia adalah tipe insan yang berkepentingan dengan hidup, bukan saja karena faktanya, ia ada dan
terbelenggu dalam “kapsul kehidupan” itu sendiri, serta bergantung penuh atasnya. Justru, lebih daripada
itu, manusia ingin mengakseskan supremasinya sebagai satu-satunya makhluk yang mendapat mandat,
selaku mandataris Tuhan Sang pemilik hidup itu sendiri untuk membudayakan hidup itu sendiri dan
menyiasati serta memaknakannya sedemikian rupa menjadi bermakna, agar hidup itu sendiri lebih
beradab, bermartabat, dan menjanjikan bagi kelansungan hidupnya dan generasi manusia itu sendiri.
c. Manusia adalah tipe makhluk yang tidak hanya menikmati hidup sebagai beban (kuk) dan menjalinya
seperti makhluk lainnya. Justru, manusia secara optimis, dengan penuh keyakikan dan keteguhan bathin,
selalu menjalani hidup dalam berbagai bentuk penyiasatan, strategi, dan kebijaksanaan, serta medan
pembelajaran (life discourse), dengan itu, ia mampu menyiasati dan mengembangkan hidup sebagai
berkat (bukan beban).
d. Hidup tidak statis tapi dinamis dan progresif (bergerak maju). Maka yang dipentingkan dari manusia
dalam memaknakan hidupnya secara efektif dan efisien, adalah; kreatifitas, tanggungjawab,
kedisiplinan, pengembangan diri, dan ketaatan serta kesetiaan dalam menjalani hidup itu sendiri. Allah
karena itu bukan hanya menciptakan manusia, tetapi lebih daripada itu mempercayakan kepada
manusia itu berbagai potensi dalam membangun kehidupan itu sendiri, yaitu potensi pemikiran
(intelektual), fisik, kejiwaan, dan karsa (inisyaitf).

2. Nilai-nilai kehidupan kristiani dalam membangun hidup.


Nilai-nilai kehidupan kristiani yang harus ditumbuhkembangkan dalam membangun kemandirian hidup
kristiani itu sendiri, yaitu: kecerdasan iman (spiritual), kecerdasan intelektual, kecerdasan kejiwaan
(psikhologis) kecerdasan social, dan kecerdasan budaya.
a. Kecerdasan iman, mengandung makna bahwa hidup beriman harus ditumbuh kembangkan secara
cerdas (kritis, obyektif, dan benar) agar mampu membimbing manusia beriman itu sendiri di dalam sebuah
jalan pemahaman serta perilaku hidup berkeimanan dan berkeagamaan yang sehat,
bertanggungjawab, dan mandiri. Dengannya, orang berkeyakinan atau berkeagamaan itu sendiri tidak
muda dihasut, diprovokasi, atau diperalat untuk kepentingan-kepentingan jahat yang pintar
memanfaatkan symbol-simbol keyakinan atau keagamaan itu sendiri untuk menghancurkan diri dan
keyakinan atau hidup keberagamaanya itu sendiri.
b. Kecerdasan intelektual mengandung makna, bahwa manusia harus mengembangkan potensi-potensi
pemikirannya secara sungguh dan benar. Dengannya, manusia memperoleh pengetahuan yang baik
akan hakikat kehidupan itu sendiri dan mengembangkannya secara lebih luas, dalam berbagai bentuk
penguasaan ilmu dan teknologi guna dapat melakukan penemuan-penemuan (invention) dalam
menangani, mengelola, dan mengembangkan kehidupan itu sendiri secara profesional, efektif dan
efisien. Melalui itu, manusia dapat membangun kesejahteraan dan kemakmuran hidup secara luas, serta
menjamin kelestarian dan keberlanjutan hidup itu sendiri secara teratur. Manusia, dengan kecerdasan
intelektual dimaksud, tidak akan menjadi korban di dalam dinamika percaturan hidup itu sendiri, tetapi
justru sebaliknya dapat menampilkan diri sebagai aktor dan creator sejati dalam hidup itu sendiri.
c. Kecerdasan kejiwaan (psikhologis) mengandung makna bahwa manusia menumbuh- kembangkan daya
kejiwaannya (psikologis-nya) agar benar-benar mencapai taraf kematangan kejiwaan. Manusia, dengan
mengembangkan kecerdasan kejiwaannya, akan meletakkan dasar kejiwaan serta mental yang stabil,
kokoh, dan mantap dalam menghadapi kehidupan itu sendiri. Manusia, dengan kecerdasan kejiwaannya
itu membuatnya tidak labil dan terombang-ambing oleh permainan perasaan atau permainan selera
hidup yang menyesatkan. Bahkan, ia mampu mengendalikan diri dan tidak muda diperdaya oleh
berbagai keinginan dan hasrat 73 kejahatan (irihati, cemburu, dendam, dan prasangka buta). Kecerdasan
kejiwaan makin memantapkan mental kejiwaan manusia dalam menjalani hidup itu sendiri dengan penuh
centa kasih dan kemuliaan hati sehingga tidak menjadi angkuh, egois, dan serakah.
d. Kecerdasan social mengandung makna bahwa manusia selaku makhluk individual dan social mesti dapat
mengembangkan diri dalam sebuah kemandirian jati diri pribadi dan masyarakat yang bermartabat dan
beradab. Kecerdasan social membuat manusia dan masyarakat begitu terbuka atau transparan
terhadap kehidupan yang majemuk dan dinamis. Dengannya, manusia atau masyarakat mampu
mengembangkan komunikasi serta transaksi nilai secara dinamis dan terbuka dalam membangun dan
mengembangkan kehidupan itu sendiri. Kecerdasan social, karenanya, mencetakkan sebuah identitas
yang khas bagi diri manusia dan kebersamaannya. Manusia, dengan mengembangkan kecerdasan
sosialnya ia mampu menerima dan mengelola kemajemukan hidup (warna kulit, bahasa, tradisi, budaya,
agama, keyakinan hidup, status ekonomi, dan status social) yang dimiliki sebagai kekeyaan (bukan
beban), dalam menumbuhkembangkan solidaritas, kerjasama, dan hubungan timbal-balik (interaksi)
yang langgeng dan mantap dalam sebuah atmosfir kehidupan yang berdamai sejahtera.
e. Kecerdasan budaya, mengandung makna bahwa hidup harus dihadapi dengan sebuah strategi untuk
menyingkap dan menumbuhkembangkan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic humanity) dalam
berbagai kebijakan etika pembangunan (human development). Inti pembangunan mana berupa
pengembangan cita, rasa, dan karsa yang berpihak pada manusia dan citarasa kemanusiaan, agar
manusia tidak menjadi alat dan korban pembangunan tetapi makin kokoh dalam istana
kemanusiaannya.

3. Perbedaan ciri hidup yang pro life dan contrary life dalam praktik hidup orang Kristen.
Di dalam kehidupan kekristenan itu sendiri, banyak ditemui adanya ciri atau sikap hidup yang begitu
memihak atau pro terhadap kehidupan (pro life) dan anti hidup (contrary life).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

a. Sikap Pro life. Inti dari sikap hidup kekristenan itu sendiri adalah pembawa syalom damai sejahtera bagi
kehidupan secara luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang percaya, kecil-besar, tua-muda,
terpanggil dan terutus dalam berbagai lingkungan dan pengalaman hidupnya yang nyata untuk
mengerjakan tanda-tanda syalom damai sejehtara itu sendiri. Melalui itu, ia mampu menghadirkan
kesaksian hidup kristiani secara sempurna bagi dunia. Intinya, setiap orang percaya harus merasa
terpanggil untuk menghadirkan damai di tengah kebencian dan permusuhan, menghadirkan suka cita di
tengah kecemasan, menghadirkan kebenaran di tengah kepalsuan dan kebohongan, menghadirkan
keadilan di tengah acaman egoisme, ketamakan, dan keangkuhan. Proses hidup yang demikian, tidak
mudah karena harus disertai dengan sikap kerendahan hati, ketulusan, dan keiklasan. Sikap Pro life bukan
saja menunjuk pada sikap tolerasi dalam membangun kerukunan dan kebersamaan hidup yang stabil,
mantap, dan langgeng, tetapi lebih daripada itu, membangun dan mengembangkan kerjasama secara
lintas personal (pribadi), komunal (masyarakat) maupun institusional (kelembagaan). Pengembangan
mana bersifat saling menguntungkan dalam memperkuat kamandirian dan otonomi (kebebasan) hidup
masing-masing secara kriitis dan konstruktif (membangun), sehingga akan terbangun sebuah struktur
kehidupan yang saling mengasah, saling mengasuh, dan saling mengasih.
Guna memperdalam pemahaman dan sikap Anda terhadap sikap Pro life atas hidup itu sendiri, Anda
diminta mendiskusikan dan mengisi diagram di bawah:
Tabel No. 3
Sikap Pro life

Pola Sikap
No Ekspresi tindakan Sikap Anda
(Pro life)
1 Keterbukaan a. Mengakui perbeda a. Perbedaan adalah
. terhadap per- an-perbedaan da- fakta anugerah
bedaan (ke- lam hidup sebagai Tuhan yang tidak
majemukan) anugera Tuhan; dapat ditolak, teta-
b. Tidak menaru pra- pi harus dikelola un-
sangka buruk atau tuk membangun ke
curiga buruk terha- baikan bersama;
dap sesama yang b. Perbedaan mem-
berbeda latar bela- buat saya menge-
kang; agama, baha- nal diri, lebih sportif,
sa, tradisi, dan status dan dewasa dalam
social, ekonomi; bergaul hidup da-
c. Mengakui setiap per- lam lingkungan;
bedaan sebagai ke-
kayaan bersama un-
tuk membangun ke-
hidupan demi kebai-
kan bersama di bumi;

d. Mengakui dan tidak


menaruh pemikiran
yang buruk terhadap
kelemahan atau ke-
74 lebihan orang lain;
2 embangun a. ……………………… a. ………………………..
. kerjasama b. ……………............... b. …………….................
c. ……………………… c. ………………………..

3 Memba- a. ……………………… a. ………………………..


. ngun persa- b. ……………............... b. …………….................
habatan c. ……………………… c. ………………………..

4. Memba- a. ……………………… a. ………………………..


ngun hidup b. ……………............... b. …………….................
saling ber- c. ……………………… c. ………………………..
bagi

b. Sikap Anti hidup (contrary life). Sikap anti hidup (contrary life), merupakan kebalikan atau pertentangan
dari sikap pro hidup (pro life). Kenyataan semacam itu masih saja dijumpai di dalam kehidupan
keagamaan Kristen sendiri, di mana adanya sikap saling benci, curiga, dan dendam diantara kerbagai
kelompok denominasi, antara jemaat, dan antara organisasi dalam gereja. Bahkan, sikap demikian
secara luas ditunjukkan pula dalam menghadapi sesama agama atau kepercayaan lain.

c. Adanya kecenderungan mementingkan diri dan melebih-lebihkan atau menyombongkan kesalehan diri
(kesombongan rohani). Hidup, keselamatan, atau kebenaran ilahi seolah-olah hanya dimiliki oleh dirinya,
keluarganya, gerejanya, denominasinya, kelompok keagamaannya, atau sukunya sendiri. Sikap
demikian, seolah-olah tidak rela (terbeban) melihat kehidupan sesama gereja, deniminasi, atau kelompok
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

keagamaan yang lain dalam ketenangan atau kemajuan. Bahkan, adanya kecenderungan dan rasa
kecurigaan yang tinggi dalam berkomunikasi atau berhubungan dengan sesama yang lain. Sikap anti
kehidupan, seolah–olah dilandasi pada sikap; egoisme, kebencian dan permusuhan terhadap sesama
yang lain (out sider).
Guna memperdalam pemahaman serta sikap anda terhadap sikap anti hidup (contrary life), Anda diminta
mendiskusikan dan mengisi diagram di bawah:

Tabel No. 4.
Sikap Contrary life

Pola Sikap
No Ekspresi tindakan Sikap Anda
(contrary life)
1. Egoisme a. Menganggap diri a. Egoisme adalah
lebih benar dan hantu ancaman
lebih baik dari bagi diri dan
sesama yang lain; sesama;
b. Suka mencela dan b. Egoisme adalah
menghina sesama musuh diri dan mu
yang lain; suh sesama dalam
c. Mau menang sen- masyarakat;
diri dan tidak ingin c. Egoisme tidak per
melihat kebaikan nah akan mengha
serta kelebihan se- dirkan ketenang-
sama yang lain; an dan kedamian
d. Ingin menjatuhkan serta kesukacitaan
sesama yang lain, dalam diri dan hi-
karena melihat se dup secara luas.
sama sebagai an-
caman bagi diri
sendiri.
2. Kecurigaan a. ……………………… a. ……………………
b. ……………………… b. ……………………
c. ……………………… c. ……………………
3. Permusuhan a. ……………………… a. ……………………
b. ……………………… b. ……………………
c. ……………………… c. ……………………

V. EVALUASI
1. Jelaskan arti hidup dari sisi iman Kristen;
2. Tunjukkan beberapa nilai hidup etika kristen dalam membangun hidup;
3. Jelaskan arti sikap pro life dan contrary life;
4. Tunjukkan perbedaan sikap prolife dan contrary life dalam praktek hidup orang kristenan.

VI. KEPUSTAKAAN (untuk bahan perenungan) .


1. Soedarmo R, 2000; Iktisar Dogmatika,
75 BPK-GM. hal: 139-144; 151-153.
2. Banawiratma, J.B. 1988; Aspek-Aspek Teologi Sosial; Kanisius-BPK, hal: 17-35; 55-80.

1. BAHAN PELAJARAN
2. Materi Sajian : KONTEKS
3. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
4. Sub Pokok Bahasan : 3.3. Pandangan Iman Kristen tentang Karya dan Pengembangan IPTEKS
5. Bahan Bacaan Alkitab : Amsal 18:9; 22:7; 26:13-16
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
7. Semester : 1 (Ganjil)

I. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Para katekisan dapat Mengkaji dan merefleksikan pandangan iman Kristen mengenai waktu, hidup, karya, IPTEK,
Olahraga dan Seni.

II. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan arti dan hakikat karya;
2. Menilai sikap-sikap etis kristen dalam membangun karya;
3. Menjelaskan arti IPTEKS dari sisi pemahaman iman kristen;
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

4. Menunjukkan bentuk-bentuk tanggung jawab dalam mengembangkan IPTEKS;


5. Menilai segi – segi positif dan negatif IPTEKES.

III. URAIAN MATERI


1. Arti dan Hakikat karya.
a. Karya merupakan aktifitas manusia yang menggambarkan atau mengeskpresikan nilai seni, moral,
keluruhan budi, dan tanggung jawab insania. Secara etis-teologis, karya dipahami dan diterima sebagai
hal yang khas manusia, yang terpancar dari hakikat Allah selaku Allah yang terus berkarya, tanpa kenal
pensiun, melalui karya pencipta, pemelihara, dan penyelamat. Bahkan, manusia secara hakiki dihadirkan
dan didewasakan dalam sebuah kemandirian hidup yang sejati melalui kerja dan di dalam missi (tugas)
kekaryaan. Manusia itu sendiri diciptakan atau dihadirkan melalui sebuah karya penciptaan,
pemeliharaan, dan penyelamatan. Manusia, karena itu, adalah makhluk pekerja (Homo Vaber). Kerja
bagi manusia buklanlah beban tetapi kebutuhan dan berkat (mahkota kehidupan). Dengan bekerja
maka manusia semakin merealisasikan diri selaku makhluk yang bermartabat, berbudaya, dan makin
mencetakkan serta mengokohkan diri selaku actor sejati. Bahkan, dengan karyanya itu, manusia makin
menambah kepenuhan kodratnya, mengembangkan pikiran, perasaan, dan inisiatif (karsa) selaku
tenaga budaya. Karya, karena itu, merupakan sebuah proses pembelajaran, dengan berkarya, manusia
makin trampil, makin cerdas, dan makin mandiri, serta makin menikmati kebebasan.
b. Manusia yang malas bekerja atau tidak bekerja dengan baik, menghina dirinya dan menciderai martabat
hidupnya selaku makhluk mulia. Manusia, dengan berkarya, tidak dikuasai alam kemiskinan, kebodohan,
kemelaratan, dan kehinaan. Sebaliknya, dengan berkaya, manusia dapat menguasai alam, mengelola,
dan menyingkap keterisolasian, mengalahkan kebodohan dan kemelaratan, serta menyiasati alamnya
sedemikian rupa sehingga menghadirkan kualitas kehidupan yang berkesejahteraan. Jadi, karya, atau
kerja merupakan sebuah “hak istimewa” (preveledge) bagi manusia. Konsekuensinya, siapa yang malas
dan lalai bekerja atau menjauhi dan menghindari kerja, akan kehilangan hak istimewa dan mahkota
kemuliaannya sebagai citraan ilahi. Bahkan ia akan terseret dalam perbudakan kemiskinan atau
kemelaratan, dan akan tergilas oleh roda-roda kehidupan yang terus bergerak dalam sebuah irama kerja
yang tidak berhenti dalam mengejar kemajuan.
c. Karya insan kriastiani, sebagai sebuah tindakan iman (peristiwa iman), seharusnya berlangsung dalam
proses dan hasil cipta, rasa, dan karsa sebagai ungkapan nilai keimanan kristiani yang luhur. Karya itu
sendiri selalu berwujud dalam bentuk fisik (material), seperti; kelengkapan (sandang, pangan, papan,
dsbnya) maupun yang non fisik (spiritual), seperti: norma, hukum, tradisi, dogma atau ajaran, sistim ritual
(tata beribadah) dan upacara (serimonial). Sebuah karya yang baik, selalu dipahami dalam dua aspek,
yaitu proses dan hasil. Jadi, karya yang bernilai iman (karya iman yang baik) bukan saja bertuju pada
bentuk hasilnya, tetapi prosesnya yang mencerminkan sikap tanggungjawab, ketekunan, kesabaran, dan
kesetian, serta kebenaran. Karya yang hanya mementingkan hasil, akan cenderung melakukan kejahatan
(pencurian, penganiayaan, korupsi, kolusi, atau manipulasi) untuk mendapatkan hasil. Sementara kerja
yang hanya mementingka proses hanya akan memperbudak manusia demi kerja itu sendiri.
d. Karya mengandung amanat suci sekaligus sebuah dharma kehidupan. Amanat suci, karena karya insani,
baik proses maupun bentuk hasilnya selalu dilihat sebagai ibadah dan puji-pujian yang menyaksikan
kemuliaan dan keagungan Tuhan. Konsekuensinya, karya atau pekerjaan yang mengabaikan nilai-nilai
kesucian dan kekudusan hidup (misalnya; pencurian, pelacuran, perjudian, korupsi, manipulasi,
perampasan hak sesama), meskipun mendatangkan keutungan dan kenikmatan yang sementara,
namun tidak akan mendatangkan kedamian serta kebahagiaan secara utuh dan sempurna. Juga, kerja
perlu dijalani dengan kritis akan kerja itu sendiri tidak memperbudak manusia sebagai alat yang akhirnya
melupakan Tuhan, sesama, dan 76 diri sendiri. Dharma, karena kerja dalam iman kristen dipahami sebagai
sebuah pengabdian dan persembahan hidup bagi Tuhan, dunia, dan sesama.

2. Etika Kristen dalam berkarya.


Beberapa unsur etika Kristen dalam berkarya, yaitu:
a. Tekun. Tekun merupakan salah satu unsur penting dalam membangun sebuah karya yang baik. Tekun
menggambarkan sikap kerasan, penuh konsentrasi dalam mencurahkan; pikiran, imajinasi, dan tenaga
dalam memajukan tugas kerja atau tugas jabatan yang diemban. Tekun juga menggambarkan sikap
efisiensi (tidak boros) waktu, materi, dan tenaga untuk hal-hal yang tidak relevan dan menunjang
kelancaran kerja itu sendiri.
b. Setia. Setia sebagai salah satu unsur penting dalam membangun tugas karya yang ditekuni,
menggambarkan sikap hidup yang menyatu, tidak mendua hati, serta menaati dan tidak menyinpan dari
prosedur dan aturan-aturan kerja yang berlaku. Setia menenegaskan pula sebuah sikap bathin yang
mempertaruhkan rasa pengabdian yang total dan utuh dalam melaksanakan amanat tugas,
janggungjawab, atau jabatan yang diemban.

c. Jujur. Jujur menggambarkan ciri moralitas dalam menjunjung, mempertahankan, dan memperjuangkan
nilai-nilai kebenaran yang perlu diberlakukan dalam dunia kerja yang dilakukan. Sikap jujur
menggambarkan keteguhan bathin seseorang dalam berkarya sehingga tidak berbohong, berdusta,
berkhianat, korupsi, manipulasi, nepotis, atau pilih bulu dalam melaksanakan tugas. Sikap jujur dalam
berkarya menggambarkan pula sikap yang menyindir pada godaan dan kecenderungan yang ingin
melacurkan kerja, jabatan, serta kekuasaan untuk kenikmatan dan penghasilan yang sementara.
d. Tanggung jawab. Menggambarkan sebuah prinsip hidup yang rela menanggung atau memikul serta
memberi respons terbaik dengan penuh keiklasan diri, baik itu secara langsung atau tidak langsung,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

diminta atau tidak diminta, di saat sulit atau senang, menguntungkan diri atau tidak. Tanggungjawab,
karena itu, menunjuk pada ciri kematangan dan martabat diri seorang yang teguh berdiri dalam
mengambil keputusan serta mengawal tindakan-tindakan yang tepat dalam merealisasikan keputusan
guna membangun dunia kerjanya. Tanggung jawab juga menunjukkan adanya keteguhan diri untuk
tetap berdiri tegak di belakang (tidak mencuci tangan atau melarikan diri) atas setiap tindakan atau
akibat-akibat (positif atau negatif) yang harus di pikul (ditanggung) dari berbagai kebijakan atau
keputusan yang diambil, sesuai kewenangan tugas dan jabatannya.
e. Penguasaan diri. Sikap penguasan diri adalah sebuah gambaran kepribadian yang tidak labil (goyang),
tidak termakan issue atau godaan untuk melakukan hal-hal yang tercela yang mencemarkan atau
merusakkan dunia kerja serta jabatan atau mengorbankan sesama serta lingkungannya. Sikap
penguasaan diri bertumpuh kemantapan mental sebagai kemampuan kejiwaan yang membimbing,
mengarahkan, menggembalakan, dan menasihati diri atau mendisiplinkan sendiri sehingga tidak
menyelewengkan tugas, jabatan, atau kewenangan yang dimiliki. Penguasaan diri menunjukkan pula
kemampuan atau kecerdasan diri dalam mengola perasaan, keinginan, serta pikiran sedemikian rupa
sehingga tetap berpikir dan bertindak secara jernih dalam bekerja.
f. Hemat dalam memanfaaatkan hasil kerja. Sikap hemat menunjuk pula pada sebuah kecerdasan hidup
dalam mengelola pendapatan dengan alokasi (jatah)nya sesuai kebutuhan (bukan keinginan). Hemat
mengatur atau mengendalikan (mendisiplinkan) kebutuhan hidup secara baik sehingga dapat terpenuhi
dan tidak menghabiskan atau memboroskan serta menghambur-hamburkan pendapatan (upah) untuk
keinginan-keinginan yang tidak berguna. Sikap hemat yang demikian, bukan sekedar strategi penyiksaan
diri, tetapi menahan diri dari berbagai keinginan, supaya ada yang perlu disisakan sebagai modal untuk
membangun kehidupan.
Guna menggali dan memperdalam pemahaman serta penilaian dan sikap Anda terhadap sikap-sikap
etis yang baik dalam membangun karya hidup yang dijalani; Anda diminta untuk mendiskusikan
(kemudian berikan tanda cek pada kolom penilaian). Selanjutnya, Anda diminta untuk merumuskan
pemahaman serta komentar dan saran tindak Anda pada kolom tebel berikutnya.

Tabel No.5
SIKAP ETIS DALAM MEMBANGUN KARYA

Penilaian
Bentuk sikap Tidak Komentar dan Saran Anda
Baik
baik
1. Tekun √ Orang yang tekun bekerja akan
memperoleh kemajuan dalam
membangun keahlian (profesio-
nalitas) serta penghasilan yang
baik;
2. Jujur
3. Setia
4. Rasional
5. Kerja keras
6. Penguasa-
an diri
7. Boros
8. Hemat 77
9. Memasung

3. Arti IPTEKS.
a. Kata IPTEKS merupakan perpanjangan dari kata Ilmu, Pengetahuan, Teknologi dan Seni. IPTEKS merupakan
hasil usaha atau karya manusia, di bawah bimbingan Tuhan yang sangat tinggi nilainya dalam
membangun kehidupan itu sendiri. IPTEKS memudahkan manusia untuk menyingkap berbagai rahasi atau
misteri alam kehidupannya serta menata dan mengelolanya secara tepatguna dan berhasilguna untuk
kesejahteraan hidup serta keberlangsungan alam kehidupan alam itu sendiri. Melalui IPTEKS maka
manusia bukan saja mendapat kemudahan untuk menangani dan mengelola alamnya, seperti kayu
dikelola menjadi kursi, daun dikelola menjadi bahan obat, dan penemuan spektakuler lain, tetapi lebih
daripada itu, makin memahami alamnya dalam sebuah hubungan kesalingtergantungan antara manusia
dengan alam. Sehingga manusia tidak serakah dalam mengeksploitasi atau menguras dan memeras
alamnya, tetapi makin bertanggungjawab dalam menjaga serta memelihara kelansungan kehidupan
alam itu sendiri dalam sebuah silkus kehidupan yang tetap stabil dan mantap.

b. Dewasa ini IPTEKS bukan lagi merupakan sebuah pilihan, tetapi kebutuhan. Dunia kini makin ditandai oleh
adanya persaingan ilmu, teknologi, budaya, politik, ekonomi, dan seni yang cukup tinggi. Bahkan, bangsa
yang satu bisa menjajah bangsa yang lain karena keunggulannya dalam penguasaan IPTEKS itu sendiri.
Perang, kedamaian, dan martabat hidup suatu bangsa, masyarakat, atau manusia kini makin ditentukan
oleh tingkat penguasaan IPTEKS. Kini, kemajuan IPTEKS telah menciptakan pula citraan dunia masyarakat
baru yang disebut masyarakat maya, masyarakat virtual dan sebagainya. Masyaraakat maya atau
masyarakat virtual adalah masyarakat yang melampaui kamar-kamar pribadi dan ruang personal sebuah
keluarga, kerabat, atau tradisi budaya. Penemuan-penemuan IPTEKS, melalui teknologi, media
informatika, dan sebagainya telah mengatur selera pribadi, gaya berbusana, keintiman hidup, serta
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

mengganggu stabilitas dan kemapanan tradisi serta keyakinan pribadi, rumah tangga, dan masyarakat.
Akibatnya, siapa yang tidak menguasai IPTEKS akan menjadi korban bulan-bulanan dari keangkuhan
IPTEKS itu sendiri. IPTEKS dengan begitu mudah menaklukkan diri manusia atau masyarakat sebagai pasar
yang hanya menerima tawaran kenikmatan IPTEKS tanpa bersikap kritis sedikit pun atasnya. IPTEKS
ternyata telah banyak berhasil memperdaya masyarakat, menumbuhkan kegairahan hidup, kenikmatan,
dan komoditas tubuh. Konsekuensinya, banyak generasi mudah yang terpaksa menyaksikan kehormatan
dan kemuliaan diri dalam tawanan media dan selera kenikmatan “bunuh diri” (self destroying). Bahkan,
etika di dalam IPTEKS itu sendiri telah banyak terjebak dalam etika Hedonisme yang menyeret banyak
manusia dalam mengejar kenikmatan dan kesenangan lahiriah.

4. Bentuk-Bentuk Tanggung jawab Kristen dalam Pengembangan IPTEKS.


a. Rasional. Tanggung jawab rasional adalah sebuah bentuk tanggungjawab dalam mengembangkan
IPTEKS secara kritis. Maksudnya, kekeristenan harus mengisi dan menguasai IPTEKS dengan sebuah
kesadaran kritis sehingga tidak hanya mementingkan aspek produksi kenikmatan dan kesenangan yang
dihasilkan IPTEKS. Justru, dengan sikap rasional, kekristenan terus mendorong pertumbuhan intelektualitas
dan ketajaman pemikiran masyarakat sehingga masyarakat memiliki kecerdasan dan kematangan
dalam memilih, mengembangan, dan mengunkan IPTEKS secara tepat. Dengan kemampuan rasio, akal
atau pemikiran yang baik, masyarakat dapat menjadi pelopor dalam pengembangan IPTEKS, sekaligus
menjadi dokter dan gembala dalam membedah penyakit-penyakit peradaban yang ditimbulkan oleh
IPTEKS situ sendiri, serta membimbing dan menggembalakan IPTEKS dalam langkah pertumbuhan yang
benar.
b. Aktif-partisipatif. Maksudnya, orang percaya (Kristen) harus menjadi pelopor dalam mendorong kemajuan
IPTEKS serta mendorong partisipasi masyarakat agar terlibat sebagai pencipta (creator), pemilik (ouner),
dan penghasil (produsen) IPTEKS. Artinya, kekristenan harus menbangun kekritisan masyarakat sehingga
tidak hanya menjadi pengguna (user) yang menggantungkan diri secara total pada IPTEKS itu sendiri
sebagai dewa. Prinsipnmya, orang percaya tidak boleh malas, mengurun diri, dan menghindar dari tugas
pengembangan IPTEKS karena ia harus mengembangkan IPTEKS sebagai berkat, sekaligus mengjaga dan
menghindarkan penggunaan IPTEKS untuk kepentingan-kepentingan yang jahat dan tak beradab.
Jelaslah bahwa sikap aktif menunjuk pada aspek kepeloporan orang percaya dalam mengembangkan
IPTEKS, sementara partisipatif menggambarkan sikap orang percaya yang selalu rindu mengambil
bahagian dan tidak ingin ketinggalan dalam mengambangkan IPTEKS.
c. Profesional.Tanggung jawab profesional menggambarkan sebuah kemampuan yang dimiliki dalam
mengembangkan IPTEKS secara tepat guna (efektif) dan berhasilguna (efisien). Tanggungjawab
Profesional mengandaikan sebuah kepribadian yang penuh ketekunan dan keahlian serta layak dihargai
dalam bidangnya. Tanggungjawab Profesional juga mengandaikan pribadi yang tidak bermain kotor
dengan keahliannya, tetapi selalu menjaga, memelihara, dan mengembangkan keahliannya dengan
penuh kejujuran. Profesional juga menyindiri pada sikap dan cara kerja asal-asalan dalam
pengembangkan IPTEKS, sehingga tidak menguasainya secara penuh.
d. Cinta kasih. Menunjuk pada sikap tanggung jawab untuk berusaha meletakkan IPTEKS dalam pangkuan
manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan menunjukkan citarasa kemanusiaan secara
mendalam. Prinsipnya, IPTEKS tidak dapat mengabaikan dan menghancurkan kepentingan-kepentingan
manusia, membeda-bedakan manusia dan membelenggu serta memberalat manusia untuk kemajuan
IPTEKS itu sendiri. Justru, IPTEKS adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Tanpa manusia maka tidak ada
IPTEKS. IPTEKS harus menjadi alat (bukan dewa) dalam memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai
kemanusiaan secara utuh dan merata. Sejarah perkembangan IPTEKS menunjukkan bahwa IPTEKS itu
pada dirinya menyimpan energi-energi
78 egoisme dan keangkuhan bila dikembangkan dengan nilai-nilai
cinta kasih. Manusia bisa saling mengancam, membunuh, membumihangus, mempropaganda, dan
merampas kenikmatan serta kenyamanan hidup sesama dengan sarana IPTEKS itu sendiri. Kemajuan
IPTEKS hendaknya tidak mengancam dan membunuh cinta kasih antar umat manusia.

5. Segi Positif dan Negatif IPTEKS


Meskipun IPTEKS adalah prestasi terbesar dari peradaban manusia,yang telah membantu manusia untuk
menyingkap berbagai misteri dalam kehidupan, sekaligus mendorong manusia untuk mengelola alamnya
untuk kesejahteraan hidup, namun itu bukan berarti IPTEKS itu sendiri begitu sempurna dan tidak bercacat
cela. Sebagaimana manusia yang menciptakan dan menghasilkannya, IPTEKS itu sendiri memiliki
keterbatasan serta turut membawa pula hal-hal negatif bagi hidup manusia. Misalnya, IPTEKS bisa
membawa dampak negative terhadap manusia dan kemanusiaan, juga terhadap lingkungan hidup, dan
terhadap keagamaan itu sendiri. Anda diminta untuk mendiskusikan serta menginventarisasi berbagai
dampak positif maupun negatif dari IPTEKS itu sendiri.

Tabel No. 6.
Dampak IPTEKS

Komentar dan
Aspek Danpak positif Danpak negatif
saran
1. Manusia 1. Manusia makin 1. Manusia ma- 1. Manusia harus
mudah me- kin menggan- mengembang
nguasai alam. tungkan diri kan IPTEKS de-
2. Manusia makin pada IPTEKS. ngan kritis su-
maju dan sejah 2. Manusia sema paya ia tetap
tera. kin mendewa- menjadi tuan,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3. Manusia makin dewakan bukan budak


melakukan IPTEKS dan lu- bagi IPTEKS.
komunikasi pakan Tuhan; 2. Manusia harus
4. Manusia makin 3. Manusia ma- mengembang
luas pengua- kin memper- kan IPTEKS un-
saan pengeta- alatkan dan tuk kemanusia
huannya. memperbudak an secara ber-
kan diri untuk sama;
kemajuan 3. IPTEKS tidak bo
IPTEKS. leh mematikan
4. Manusia ma- nilai cinta ka-
kin saling ber- sih, kesetiaan,
lomba untuk dan tanggung
saling mengua jawab dalam
sai dan me- diri manusia.
ngalahkan
dengan IPTEKS.
2. Alam 1. ………………… 1. ………………… 1. …………………
2. ………………… 2. ………………… 2. …………………
3. ………………… 3. ………………… 3. …………………

3. Masya- 1. ………………… 1. ………………… 1. …………………


rakat 2. ………………… 2. ………………… 2. …………………
3. ………………… 3. ………………… 3. …………………

4. Kebuda- 1. ………………… 1. ………………… 1. …………………


yaan 2. ………………… 2. ………………… 2. …………………
3. ………………… 3. ………………… 3. …………………

Penilaian kritis etika Kristen terhadap IPTEKS dengan segala dampaknya di atas, telah melahirkan kesadaran
luas tentang pentingnyaperanan Etika dalam pengembangan IPTEKS. Kesadaran mana telah mendorong
adanya koreksi kritis dan pembaharuan terhadap IPTEKS dengan menambah variable Etika dalam IPTEKS
menjadi IPTEKES (Ilmu Pengetahuan, Etika, dan Seni). Artinya, pengembangan IPTEKS harus berlandas
(bersumber, dikontrol, dikendalikan, dan disempurnakan) berdasarkan nilai-nilai etika, untuk kebaikan dan
keselamatan manusia dan lingkungannya.
Perubahan IPTEKS menjadi IPTEKES memiliki 3 (tiga) tujuan strategis, yaitu:
1. mengembalikan IPTEKS pada pangkuan nilai-nilai kemanusiaan dan alam lingkungannya, sehingga IPTEKS
tidak mengancam martabat manusia serta kelansungan hidup manusia dan alam itu sendiri. Melalui
pengembangan IPTEKS ke IPTEKES, manusia makin disadarkan untuk memantapkan posisi serta peranannya
selaku agen pengembangan ilmu pengetahuan dan seni, dan sekaligus sebagai tuan (pemilik dan
penguasa) bagi IPTEKS. Jadi, manusia sekaligus mendapat keuntungan dari IPTEKS itu sendiri dalam
membangun kehidupannya. Artinya, di satu sisi, dengan mengembangan ilmu pengetahuan dan seni
(IPTEKS) maka manusia makin memantapkan dirinya pada istana kemanusiaannya, sementara pada sisi
lainnya, manusia tidak sekali-kali menggadai atau menggusur diri dan nilai-nilai kehidupannya dari istana
kemanusiaannya dengan IPTEKS79itu sendiri, sehingga menjadi “budak” bagi IPTEKS itu sendiri.
2. menumbuhkan nilai – nilai tanggung jawab di dalam IPTEKS maupun dalam diri pengembang IPTEKS itu
sendiri. Ilmuwan, teknokrat, seniman atau budayawan adalah orang-orang yang bukan saja bertanggung
jawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni itu sendiri (IPTEKS), tetapi lebih
daripada itu, bertanggung jawab terhadap segala akibat atau dampak positif maupun negatif yang
dihasilkan oleh IPTEKS itu sendiri. Ilmuwan, teknokrat, dan seniman atau budayawan adalah orang-orang
yang bukan saja bertanggung jawab pada dunia keilmuan, teknologi, atau seninya, tetapi bertanggung
jawab kepada kemahakuasaan dan kemahadaulatan Tuhan penguasa abadi, agar IPTEKS itu sendiri tidak
menjadi beban (kuk) dan kutuk, tetapi menjadi berkat bagi kehidupan.

3. meletakkan IPTEKS sebagai alat (bukan tujuan) dalam rangka transformasi dan pengebangan tradisi,
budaya, serta alam kehidupan yang terasa membelit dan membelenggu kemanusian. Sekaligus dengannya
ada jaminan terhadap penguatan nilai-nilai kemanusiaan dalam sebuah konsistensi sejarah yang terus
merubah dan bergejolak. Tanggungjawab dalam IPTEKS, dalam hal ini, menandai 2 (dua) pola kekebasan
atau pembebasan yang penting bagi manusia, yaitu: kebebasan dari… dan kebebasan untuk… Pertama;
membebaskan manusia dari segala, kuasa: kebudohan, kemiskinan, kemelaratan, dan kejahatan dosa,
tradisi, adat, budaya, dan kebiasaan hidup yang melilit dan membelenggu, memeras, dan
memperbudakbta. Kedua; kekebasan untuk melakukan tindakan kebaikan dan pratasi luhur dalam
menghadirkan karya damai sejahtera.

IV. EVALUASI
1. Jelaskan arti dan hakikat karya;
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2. Tunjukkan beberapa sikap etis kristen dalam membangun karya;


3. Jelaskan arti IPTEKS dari sisi pemahaman iman kristen;
4. Tunjukkan bentuk-bentuk tanggung jawab dalam mengembangkan IPTEKS;
5. Buatlah dalam diagram penilaian Anda terhadap aspek positi dan negative dari IPTEKS terhadap manusia,
masyarakat, dan lingkungan.

V. KEPUSTAKAAN (untuk bahan perenungan)


1. Sordarmo R, 2000; Iktisar Dogmatika, BPK-GM. hal: 178-216;
2. Magnis Soseno Fr.,1990; Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi; LP3ES, Jakarta, i-xxix.
3. Banawiratma, J.B. 1988; Aspek-Aspek Teologi Sosial; Kanisius-BPK, hal: 117-180.

I. BAHAN PELAJARAN
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
3. Sub Pokok Bahasan : 3.4.Tanggung jawab kristiani dalam pengembangan olahraga dan seni
4. Bahan Bacaan Alkitab : I Kor.6:13b,20; 9:27; 3 Yoh.2; Maz.150
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Para katekisan dapat Mengkaji dan merefleksikan pandangan iman Kristen mengenai waktu, hidup, karya, IPTEK,
Olahraga dan Seni.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. menjelaskan hakikat olah raga dari sisi iman Kristen;
2. menjelaskan hakikat seni dari sisi iman Kristen;
3. menjelaskan arti sikap etis dalam membangun olah raga dan seni;
4. membedakan nilai sikap yang baik (etis) dan yang tidak baik (tidak etis) dalam rangka pengembang an
olah raga dan seni.

IV. URAIAN MATERI


1. Hakikat olah ranga secara kristiani.
a. Alkitab menyaksikan bahwa tubuh manusia, secara fisik atau raga, adalah ciptaan Tuhan yang perlu
dipelihara, dilatih, dibina, dan
80dikembangkan untuk dapat mewujudkan sebuah kecakapan dan kualitas
tubuh (raga) dalam membangun kesehatan tubuh. Pengolahan tubuh (olah raga) dengan upaya
pelatihan, pembinaan, dan pengembangan kecakapan atau kualitasnya memiliki dua fungsi, yaitu: (a).
sebagai upaya rekreatif dalam memulihkan tenaga (otot), pemikiran (otak), kejiwaan, dan mental yang
terkuras dan jenuh dalam dunia kerja. Jenis oleh raga ini disebut pila “olah raga rekreatif”. (b). sebagai
upaya pembinaan yang intensif dalam rangka pembinaan dan pengembangan bakat yang dimiliki untuk
menghasilkan prestasi-prestasi bagi kemajuan diri, masyarakat, dan bangsa. Jenis olah raga dimaksud
disebut “olah raga berprestasi”. Alkitab menyaksikan pula bahwa tubuh fisik sebagai ciptaan Tuhan dan
tubuh rohani sebagai “tubuh Kristus” mewariskan di dalam dirinya, potensi dan bibit-bibit kecakapan, dan
ketangkasan yang harus dilahir dan ditumbuhkembangkan untuk menghasilkan prestasi-prestasi yang
baik dalam kehidupan.

b. Alkitab (I Kor.6:13b, 20, 9:27), di sisi lain, menyaksikan pula bahwa tubuh secara rohani adalah anggota
Kristus yang harus dipelihara dan dikembangkan dengan nilai-nilai seni dan sportifitas yang mulia, dalam
tatanan norma moral dan mental yang baik untuk menghadirkan damai sejehtara dan kesukacitaan bagi
kemuliaan Tuhan. Keindahan tubuh yang cantik, tampan, dan tegar mesti dipelihara dan dilatih dengan
kedisiplinan yang tinggi agar berkualitas, baik secara fisik maupun spiritual (jiwa) untuk memuliakan Tuhan.
c. Olaraga yang, semulanya bertumbuh dalam budaya masyarakat Romawi (Sparta) untuk mempersiapkan
prajurit-prajurit yang cakap dalam membela Negara, terus berkembang dalam kehidupan dunia dan
keagamaan secara luas. Sejarah gereja menyaksikan bahwa tradisi olah raga Romawi tersebut dibawa
masuk juga dalam gereja pada saat bapa-bapa ferormasi, seperti Ignatius de Loyolla. Tujuannya,
mempersiapkan prajurit-prajurit gereja yang militan (pemberani) dan cakap dalam membela gereja
(Militia Christy). Ternyata, upaya tersebut telah banyak membawa masalah dalam sejarah gereja, karena
selain faktor egoisme dan keangkuhan yang menghasilkan kejahatan atas nama gereja, juga telah
memperburuk citra luhur gereja yang ingin mengatasi kejahatan itu sendiri. Kini banyak lembaga agama
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

harus kritis dan berani membersihkan diri serta elemen-elemannya (misalnya sekolah-sekolah agama) dari
berbagai ogoisme dan upaya mempersenjatai para muridnya dengan ketrampilan olah raga fisik
maupun “tenaga dalam” apa pun) untuk memusuhi sesama yang lain. Kenyataan seperti itu, di satu sisi,
bertentangan dengan hakikat olah raga itu sendiri, sementara di sisi lain bertentangan pula dengan
hakikat agama itu sendiri. Olah raga berfunggsi melatih dan menanamkan jiwa mental, dan pemikiran
yang sportif, ceriah, dan bebas dari hawa nafsu kejahatan. Melalui olah raga, orang dibina (ditempah)
dalam suasana hidup kedisiplinan yang tinggi sehingga tidak mencemarkan diri, pikiran, jiwa, dan mental
terhadap tindakan-tindakan yang jahat.
d. Olahraga, dalam hal ini, merupakan jalur pelatihan, pembelajaran, dan pengolahan jiwa-raga secara
efektif guna menghasilkan kualitas tubuh dan jiwa (tubuh dan jiwa yang sehat), yang memungkinkan
manusia memperoleh kebebasan, kedamaian, dan suka cita. Dengan demikian, cacat tubuh bukanlah
penghalang untuk membangun sebuah kualitas tubuh dan jiwa. Justru, cacat tubuh harus menjadi
kekuatan untuk menumbuh-kembangkan berbagai potensi raga dan jiwa yang dimiliki, melalui kegiatan
olah raga yang baik dan efektif. Desawa ini, olah raga telah mengantarkan manusia yang miskin, cacat,
dan terkebelakang untuk menjadi manusia yang terdepan, mendunia, dan hidup berkesejahteraan.
e. Olahraga membimbing orang untuk melihat tubuh dan jiwa sebagai totalitas kekuatan yang harus diolah,
dalam arti; dibina dan dilatih dengan prosedur (cara) dan tindakan – tindakan (aksi strategis) yang penuh
kedisiplinan (kesetiaan, ketaatan, dan tanggung jawab) agar orang terhindar dari bahaya penganiayaan
dan pemanjaan tubuh dengan permainan selera yang murahan atau tindakan-tindakan murahan yang
memperbudak diri untuk kenikmatan kejahatan dan dosa.
f. Hidup keKristenan, karena itu terpanggil dan terdorong untuk mengembangkan olahraga secara
tertanggungjawab. Caranya dengan memberikan pemahaman dan pendasaran iman kristiani yang baik
bagi setiap orang percaya maupun para penggiat olahraga untuk terus mendorong dan
mengembangkan (memasyarakatkan) olahraga secara baik.

2. Hakikat Seni secara Kristiani.


a. Sebagaimana olahraga, seni merupakan kekuatan atau “tenaga hidup” dalam membangun
menumbuhkan serta mengembangkan suka cita, kegembiraan, kedamian, dan kebebasan dalam diri
manusia dan masyarakat. Alkitab menyaksikan bahwa seni bukan saja berfungsi mengerjakan
penghiburan, kegembiraan, kedamaian yang bersifat manusiawi, tetapi juga untuk mengerjakan karya
kemuliaan dan kesucian hidup untuk keagungan Tuhan (bd. Maz 150). Seni, karenanya, mengekspresikan
karya keagungan Tuhan.
b. Seni selain disebut sebagai “tenaga hidup” juga disebut “tenaga budaya”. Disebut “tenaga hidup”
karena dengan seni, orang dapat menenangkan gelora hidup, dan memulihkan kesukacitaan, serta
kegairahan hidup. Seni sebagai “tenaga budaya” dapat membedah berbagai misteri atau rahasia
kehidupan, menangkap berbagai tanda (signal) warna-warni (tanda), dan bunyi (nada) untuk
menyingkap aneka kekayaan nilai yang tersimpan dalamnya dan menata serta mengambangkannya
sedemikian rupa untuk menjadi hidup yang berpengarapan dan berkeyakinan dalam menghadapi,
menyiasati realitas hidup. Melalui itu, manusia memperoleh kekuatan dan kejelasan pemikiran untuk
mengembangkan kehidupan secara nyata dan memadai.
c. Disebut “tenaga budaya” karena seni mengembangkan berbagai potensi budaya yang ada dalam diri
manusia dan masyarakat, menjadi karya budaya yang berprestasi. Seni sebagai “tenaga budaya” di
samping mengerjakan berbagai nilai cipta, rasa, dan karsa dalam berbagai wujud kebudayaan, bersifat
fisik (material) seperti; tarian, benda seni (seni rupa), vocal berupa seni suara, nada, dan lagu (musik), juga
berbagai wujud kebudayaan 81 rohani (spiritual), berupa; seni kebathinan dalam bentuk pemujaan (seni
pemujaan), ekspresi tenaga dalam ( seni bela diri), dan mempertajam penglihatan mata bathin (seni
meramal). Bahkan, seni sebagai “tenaga budaya” mempu mencetakkan pada diri manusia dan
masyarakat sebuah ruang kepribadian (privasi), identitas diri atau jati diri yang khas dan memadai.
d. Gereja atau orang percaya harus terdorong dan bertanggungjawab mengembangkan seni karena
mengandung dalamnya kesaksian hidup tentang keagungan Tuhan yang menciptakan kreativitas serta
harapan dan kesukacitaan atau kebebasan dalam membangun hidup secara berkualitas.

3. Aneka sikap dalam mengembangkan olahraga dan seni.


Pengambangan olahraga dan seni harus didukung dengan sikap-sikap yang baik dan tertanggung
jawab. Sejarah pengalaman manusia dalam olah raga dan seni menunjukkan berbagai sikap baik (positif)
yang menunjang pengembangan olah raga dan seni di satu sisi. Sikap positif mana banyak telah
mengantarkan dunia olah raga dalam mewujudkan citra keluhuran manusia selaku ciptaan Tuhan dan citra
keagungan Tuhan selaku sang pencipta. Meskipun demikian, pada sisi lain, yang cukup menyedihkan, ada
berbagai sikap negatif. Sikap-sikap negatif mana bukan saja menghambat kemajuan perkembangan dunia
olah raga dan seni, tetapi malah membawa kisah piluh yang menyedihkan dan menghancurkan dunia olah
raga dan seni, baik secara lahiriah atau jasmania maupun rohaniah. Guna membantu Anda mendalami
berbagai sikap dimaksud, Anda diminta untuk melakukan infentarisasi dan perbandingan serta penilaian kritis
terhadap berbagai sikap baik (positif) dan tidak baik (negatif), yang menurut Anda dapat dapat mendorong
dalam memajukan olahraga dan seni, atau sebaliknya yang menghambat dan menghancurkan kemajuan
olah raga dan seni.

Tabel No. 7
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Sikap positif dan negatif dalam pengembangan Olahraga dan seni.

Penilaian Komentar dan Saran Anda


Aspek sikap Tidak
Baik
baik
1. Tekun √ Orang yang tekun mengembang-
kan potensi olah raga dan seni
akan bertumbuh dalam sportifitas,
kesehatan tubuh dan jiwa, serta
berprestasi dalam tugasnya.
2. Jujur

3. Setia

4. Kritis

5. Kerja Keras

6. Penguasa-
an Diri
7. Boros

8. Malas

9. Sombong

10. Bernasa
Bodoh
11. Ingin ber
prestasi
12. Ingin
memuji diri

V. EVALUASI
1. jelaskanlah 2 (dua) makna hakiki olah raga dari sisi iman Kristen;
2. menjelaskan hakikat seni dari sisi iman Kristen;
3. jelaskan arti sikap etis dalam membangun olah raga dan seni;
4. berikanlah penilaian Anda terhadap sikap yang baik (etis) dan tidak baik dalam rangka pengembangan
olah raga dan seni.

VI. KEPUSTAKAAN (untuk bahan perenungan)


1. Sordarmo R, 2000; Iktisar Dogmatika, BPK-GM. hal: 178-216;
2. Magnis Soseno Fr.,1990; Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi; LP3ES, Jakarta, i-xxix.
3. Banawiratma, J.B. 1988; Aspek-Aspek Teologi Sosial; Kanisius-BPK, hal: 117-180.

82
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)
3. Sub Pokok Bahasan : 4.1. Pelembagaan dan Kemandirian (Pra-1935, 1935-1950).
4. Bahan Bacaan Alkitab : 1 Korintus 3:6-8.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.2)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami, merefleksikan dan memaknai sejarah GPM: Dulu, kini dan esok

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami sejarah pelembagaan dan kemandirian GPM sebagai fakta historis-teologis
2. Menyebutkan tonggak-tonggak sejarah GPM yang berkaitan dengan peristiwa dan tokoh tertentu
3. Merefleksikan makna pelembagaan dan pemandirian gereja Tuhan melalui sejarah pelembagaan dan
perjuangan meman-dirikan GPM

IV. URAIAN MATERI


Gereja Protestan Maluku adalah gereja yang berasal dari “Indische Kerk” atau Gereja Protestan
Indonesia. Indische Kerk adalah gereja yang dibangun oleh VOC sejak tahun 1602-1800. Pada masa itu seluruh
biaya pelayanan yang dibutuhkan gereja menyangkut pembangunan gedung-gedung gereja, penerbitan
bacaan serta pembiayaan gaji para pendeta dan “penghibur orang sakit” dibayar oleh VOC. Semua itu
dilakukan VOC dengan kesadaran bahwa ia adalah penguasa Kristen sehingga gereja di Hindia Belanda
disebut “Gereja Negara”. Mengikuti gereja induknya di Belanda, maka gereja yang dibentuk oleh VOC di
Maluku bercorak Calvinisme. Pada masa ini gereja di Maluku belum mandiri lepas dari pemerintah VOC. Hampir
dalam segala hal, seluruh kegiatan gereja berada di bawah pengawasan VOC.
Selama hampir dua setengah abad, gereja di Maluku mengalami proses perkembangan dengan
pembagian sebagai berikut:
1. Tahun 1540-1605: Usaha misi RK Portugis serta pengkristenan yang pertama.
2. Tahun 1605-1815: Gereja di Maluku dibawah pemeliharaan Gereja VOC sampai 1800- dan jangka pendek
yang berikutnya dibawah pemeliharaan Pekabaran Injil dari pihak Inggris (1814-1817).
3. Tahun 1815-1864: Hidupnya kembali Gereja di Maluku oleh usaha Pekabaran Injil NZG dalam kerjasama
dengan Gereja Protestan.
4. Tahun 1864-1935: Gereja di Maluku dibawah pimpinan Gereja Protestan serta perkembangannya.

Sejak tahun 1935, GPM selaku gereja berdiri sendiri. Sejarah GPM sebelum 1935, meliputi dua setengah
abad adalah fase “prasejarah” dari GPM. Dalam masa ini proses pembinaan dan pendewasaan jemaat-
jemaat di Maluku tidak berjalan dengan baik. Banyak jemaat yang tidak ditangani dengan baik dan
bercampur dengan pengaruh-pengaruh kepercayaan agama sebelum masuknya kekristenan. Selama kurun
waktu 1801-1815, tidak ada satupun pendeta di Maluku. Barulah tahun 1816 datang Joseph Kam (yang disebut
pula sebagai RASUL MALUKU), yang memulai lagi pembinaan jemaat-jemaat untuk seluruh Indonesia Timur. Ini
adalah bukti ketidakseriusan pemerintah VOC untuk menangani jemaat-jemaat di Maluku. Pekerjaan
pengembangan gereja di Maluku juga dipengaruhi masalah politik VOC pada saat itu. Hal-hal ini
mengakibatkan macetnya pekerjaan PI di Maluku. Barulah pada masa Joseph Kam pemulihan jemaat-jemaat
dilakukan, mulai dari pulau Ambon, Tanimbar, Kei dan Buru.
Pemulihan itu dilakukan melalui
83 kunjungan-kunjungan Kam dan pembaptisan serta pelayanan sakramen
di wilayah tersebut. Pada tahun 1864, perlahan-lahan kelembagaan gereja menjadi rampung. Ambon
dijadikan sebagai pusat gereja untuk wilayah sekitarnya. Mulai ditetapkan secara resmi para pendeta
pembantu dan guru Injil yang bertugas melakukan pembinaan terhadap jemaat-jemaat yang telah terbentuk.
Pelembagaan gereja dilakukan termasuk pendirian sekolah guru Injil (STOVIL: School toot Opleiding van Inlandse
Leeraren) yang pertama di Ambon pada tahun 1885 [berikutnya di Tomohon tahun 1886 dan pulau Roti 1902].
Pelembagaan gereja kemudian juga dilanjutkan dengan ditetapkannya Tata gereja bagi Gereja di Maluku
tahun 1935.
Setelah berdiri pada tanggal 6 September tahun 1935, maka pengesahannya dilakukan pada tahun 1936,
bersama-sama dengan Tata Gereja. Pada masa ini pengaruh pendeta dan penginjil sangat kuat dalam gereja
sehingga GPM pada masa itu dikenal sebagai “gereja pendeta”. Hal itu terlihat dari struktur Badan Pekerja
Sinode yang beranggotakan 10 orang, 7 di antaranya adalah pendeta. Sesudah itu dibentuk 7 klasis yaitu
Ambon, Lease, Seram Barat, Seram Timur, Banda, Ternate serta jemaat Ambon-Kota yang mendapat tingkat
istimewa. Selain itu terdapat beberapa wilayah yang dianggap menjadi bagian dari GPM yaitu pulau Aru, pulau
Kei, pulau Tanimbar, Babar, Kisar dan Irian Barat. Selanjutnya kelima wilayah pertama menjadi klasis sedangkan
Irian Barat kemudian menjadi Sinode tersendiri.

V. EVALUASI
1. Ceritakanlah dengan ringkas Tonggak sejarah Pelembagaan dan Kemandirian GPM
2. Gambarkanlah situasi yang melatari proses pelembagaan dan kemandirian GPM beserta tokoh yang
berperan
3. Refleksikanlah pandangan sebagai seorang “anak gereja” terhadap sejarah gerejanya (GPM), khususnya
pada masa pelembagaan dan kemandirian.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

VI. KETERANGAN
Katekisan dibagi kelompok dan ditugaskan untuk membuat catatan sejarah tentang masuknya Injil di gereja
setempat.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)
3. Sub Pokok Bahasan : 4.2. Pemantapan Kemandirian (1950-1960)
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kisah Para Rasul 16: 4-12
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.1)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami, merefleksikan dan memaknai sejarah GPM: Dulu, kini dan esok

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami upaya yang dilakukan gereja dalam proses pemantapan kemandirian di tahun 1950-60 an
2. Memahami situasi internal-eksternal yang turut mewarnai perjuangan kemandirian gereja di thn 1950-60an
3. Merefleksikan makna pemantapan kemandirian gereja di tengah tantangan zamannya.

IV. URAIAN MATERI


Pada kurun waktu ini ada banyak hal yang dilakukan GPM sebagai bagian dari usahanya untuk menata
aspek kelembagaan maupun karakternya sebagai gereja. Namun di sini akan dikemukakan 2 aspek penting
yang dilakukan GPM pada kurun waktu itu. Pertama adalah adalah melakukan kemandirian dana. Sebelum
1950, seluruh biaya operasional gereja ditanggung oleh gereja Belanda selaku gereja induk. Namun pada
tahun 1950 GPM memutuskan untuk melepaskan diri dari ketergantungan keuangan dari gereja Belanda. Hal
itu merupakan keputusan yang sangat penting berkaitan dengan perubahan kehidupan setelah Proklamasi
1945. Banyak pihak yang berpendapat bahwa keputusan itu merupakan sebuah “lonceng kematian” bagi
GPM. Namun bagi para pemimpin gereja dan warga gereja pada saat itu, keputusan ini justru merupakan
keputusan iman untuk menyerahkan kelangsungan kehidupan gereja pada pemeliharaan Tuhan Allah di
dalam Kristus yang adalah Kepala Gereja, dan bukan kepada manusia. Keputusan itu bukan hanya sebuah
sikap merespons kenyataan politik yang telah berubah setelah Proklamasi 1945, tetapi sebuah bukti panggilan
gereja untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia secara bersama-sama.
Setelah keputusan itu dikeluarkan, maka pimpinan GPM membuat pembenahan dalam seluruh aras
pelayanan. Kesadaran warga gereja perlu dibangun untuk menopang seluruh pelayanan gereja. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah membuat “Kebun Jemaat” di seluruh wilayah pelayanan GPM pada tingkat
jemaat dan klasis. Kebun Jemaat adalah lahan yang diberikan jemaat kepada gereja untuk dikelola oleh
gereja bagi kepentingan gereja. Kebijakan pembuatan Kebun Jemaat diharapkan dapat membantu
mengatasi persoalan keuangan gereja di tingkat jemaat, klasis dan sinode. Upaya ini mendapat respons yang
baik dari warga gereja.
Hal kedua yang dilakukan GPM 84 adalah menyikapi persoalan Proklamasi Republik Maluku Selatan pada
tanggal 25 April tahun 1950. Sikap GPM terhadap peristiwa RMS adalah menolak proklamasi tersebut. Sebab
sebagai gereja telah menerima kenyataan Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945 sebagai
pemberian Tuhan bagi masyarakat Indonesia yang perlu disyukuri. Dalam rangka mengatasi persoalan RMS,
pimpinan GPM turut terlibat bersama pemerintah mengatasi masalah itu. GPM juga terlibat dalam rehabilitasi
Maluku pasca peristiwa RMS melalui “Leimena Plan” yang disusun oleh Waperdam [Wakil Perdana Menteri] Dr.
Johannes Leimena. Selain itu juga bersama-sama dengan Dr. J. Leimena mengajak para pelaku RMS untuk
mengakhiri perlawanan yang dilakukan sebab hal itu akan mengakibatkan jatuhnya korban di antara
masyarakat sendiri.
Apa yang GPM lakukan adalah bagian dari komitmen GPM untuk mengusahakan sebuah gereja yang
bertanggung jawab terhadap panggilannya. Penataan kemandirian berjalan dengan baik ke arah yang lebih
progresif untuk membangun kelembagaan serta karakter sebagai gereja yang lebih baik. Upaya ke arah itu
tidak selalu mudah, seringkali melewati tantangan yang sulit, namun semua itu justru memberikan kekuatan dan
pengertian untuk melihat gereja sebagai milik Tuhan yang selalu Ia pelihara.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah upaya yang dilakukan gereja dalam proses pemantapan kemandirian di tahun 1950-60 an
2. Gambarkanlah situasi internal-eksternal yang turut mewarnai perjuangan kemandirian gereja di thn 1950-
60an tersebut
3. Refleksikanlah makna pemantapan kemandirian gereja di tengah tantangan zamannya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)
3. Sub Pokok Bahasan : 4.3. Pesan Tobat dan Implikasinya (1960-1983; 1983-2000)
4. Bahan Bacaan Alkitab : 2 Korintus 5: 16-19.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.4)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami, merefleksikan dan memaknai sejarah GPM: Dulu, kini dan esok

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Memahami pergumulan GPM (pelayan dan umat) sebelum lahirnya Pesan Tobat
2. Memahami pengertian Pesan Tobat di tahun 1960 dengan segala konteks yang melatarinya
3. Merefleksikan makna pergumulan GPM dalam proses pembaruan diri di tengah sejarah

IV. URAIAN MATERI


Gereja Protestan Maluku adalah gereja yang lahir dalam suasana kolonialisme. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap karakter GPM sebagai sebuah gereja. GPM menjadi gereja yang sangat kuat
dipengaruhi oleh negara. Pengaruh tradisi Calivinis yang memberikan pengaruh terhadap “Gereja Negara”
membuat GPM kurang mengalami perkembangan yang berarti. Selain itu kemandirian teologi GPM masih
merupakan hal yang jauh dari kenyataan. Teologi GPM masih merupakan aplikasi dari teologi gereja induk di
Belanda yang memiliki perbedaan teologi cukup kuat menyangkut konteks yang berbeda. Selain itu corak
gereja di Maluku masih mencerminkan pengaruh pendeta dan penginjil dalam banyak aspek kehidupan
bergereja. Ciri “gereja pendeta” merupakan karakter yang tidak membuka ruang bagi partisipasi warga gereja
dalam kebijakan-kebijakan gereja. Penataan kehidupan bergereja hampir tidak mengalami perubahan
sebagaimana terjadi pada masa VOC. Jemaat-jemaat kurang mengalami perkembangan yang berarti.
Orientasi bergereja masih mengikuti kebijakan pendeta/penginjil yang bertugas pada jemaat tersebut. Bila
terjadi pergantian kepemimpinan, maka kebijakan bergereja pun mengalami perubahan. Hal ini
mengakibatkan tidak terjadinya kontinyuitas dalam penyelenggaraan kehidupan bergereja. Kebijakan-
kebijakan bergereja tidak dilakukan menurut sebuah blueprint yang telah digariskan. Akibatnya banyak jemaat
yang merasa gereja tidak berjalan sebagaimana mestinya. Gaji para pendeta tidak ditangani dengan baik,
perasaan sebagai sebuah gereja mulai mengalami penurunan pada wilayah-wilayah GPM.
Dalam kenyataan yang seperti itu maka Sidang Sinode tahun 1960 merupakan Sidang Sinode yang sangat
menentukan masa depan gereja. Menjelang berakhirnya Sidang Sinode tersebut, para penatua utusan jemaat
yang menghadiri sidang tersebut meminta dilakukannya sebuah pertobatan oleh GPM. Pertobatan ini mesti
dilakukan oleh GPM oleh karena selama ini kehidupan bergereja sangat jauh dari panggilan gereja. Dengan
pertobatan itu maka GPM mengalami proses evaluasi diri secara internal untuk memahami dirinya secara baik.
Dari sana lahir Dokumen Pesan Tobat yang mengandung koreksi cukup mendasar terhadap penyelenggaraan
kegiatan bergereja di GPM. Pesan Tobat adalah cara untuk menyelamatkan eksistensi dan masa depan GPM.
Salah satu yang berarti dari Pesan Tobat itu adalah mulai dilakukannya sebuah rencana pelayanan
kehidupan bergereja yang lebih terencana dan sistematis mencakup seluruh wilayah pelayanan GPM. Muncul
apa yang dikenal dengan sebutan PIP-RIPP GPM yaitu sebuah pola induk pelayanan yang memuat rencana
strategis pelayanan gereja. Dengan dirumuskannya PIP-RIPP maka seluruh program pelayanan gereja tidak lagi
berdasarkan keinginan para pendeta di tingkat jemaat tetapi didasarkan pada sebuah strategi pelayanan
yang telah direncanakan mencakup 85 seluruh wilayah pelayanan GPM. Dengan begitu maka pelayanan gereja
menjadi sebuah pelayanan yang sinergis pada seluruh wilayah pelayanan. Begitu pula peran jemaat menjadi
penting sebagai subjek dalam mendorong berlangsungnya sebuah pelayanan gereja.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah secara singkat pergumulan GPM (pelayan dan umat) menjelang lahirnya Pesan Tobat
2. Sebutkanlah salah satu isi dari Pesan Tobat GPM tersebut dan kemukakan maknanya menurut pandangan
masing-masing
3. Refleksikanlah makna pergumulan GPM dalam proses pembaruan diri di tengah sejarah

VI. KETERANGAN
Para katekisan diberi tugas untuk mencari (melalui pelbagai sumber dan cara) isi Pesan Tobat GPM Tahun 1960,
dan membuatnya menjadi pajangan atau karya kreatif untuk ditempatkan di gereja atau di rumah.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)


3. Sub Pokok Bahasan : 4.4. Era Pembaruan Teologi: Bergeser dari pendekatan penguatan institusi ke
pemberdayaan jemaat (2000-…?)
4. Bahan Bacaan Alkitab : Roma 12: 1-8
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.3)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami, merefleksikan dan memaknai sejarah GPM: Dulu, kini dan esok

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami pergeseran dan pembaruan teologi
2. Memahami sejarah GPM di masa kini ke masa depan dalam perspektif teologis
3. Mengidentifikasikan aspek-aspek penguatan institusi dan pemberdayaan jemaat di tengah konteks
bergereja

IV. URAIAN MATERI


Salah satu aspek penting yang ditangani oleh GPM pasca Pesan Tobat tahun 1960 adalah aspek institusi
gereja. Aspek ini memang yang cukup memprihatinkan pada masa itu. Pada tahun-tahun tersebut juga
terdapat kecenderungan politik negara Republik Indonesia yang melakukan penguatan institusi kenegaraan.
Kecenderungan politik negara serta respons terhadap Pesan Tobat melahirkan kecenderungan GPM yang
sangat kuat memiliki tendensi melakukan penguatan pada aspek institusi. Tekanan pada aspek ini telah mampu
memperkuat GPM secara kelembagaan. Namun penguatan institusi saja tidak akan mampu menjawab
kebutuhan gereja. Gereja tidak hanya membutuhkan kelembagaan yang kuat, tetapi juga jemaat yang kuat.
Bukan hanya institusi yang perlu diberdayakan tetapi juga pemberdayaan jemaat. Bukan berarti bahwa
dengan begitu maka penguatan kelembagaan diabaikan atau apa yang telah dilakukan GPM sebelumnya
[melakukan penguatan kelembagaan] merupakan kekeliruan. Tetapi justru pemberdayaan jemaat hanya
dapat dilakukan oleh sebuah institusi yang kuat. Tidak mungkin sebuah institusi mampu melakukan
pemberdayaan jika ia tidak memiliki kapasitas yang cukup. Dengan begitu, maka penguatan kapasitas institusi
sejak 1960 merupakan sebuah kebijakan yang tepat mengawali sebuah proses pemberdayaan jemaat.
Mulai pada tahun 2000, aspek penguatan jemaat mulai mendapat perhatian besar dari GPM. Tekanan
pada pemberdayaan jemaat merupakan bagian dari kesadaran teologi gereja. Tentu saja gejala ini
merupakan bagian dari tindakan GPM memberikan respons secara teologis mengenai perubahan yang telah
terjadi di luar GPM yaitu munculnya kebutuhan melakukan reformasi dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Reformasi ini juga berdampak dalam kehidupan bermasyarakat. GPM sebagai bagian dari masyarakat mesti
terlibat dalam proses perubahan itu. Selain itu tindakan GPM untuk melakukan penguatan jemaat juga
mendapat pengaruh dari perubahan berteologi yang dikembangkan pada negara-negara Dunia Ketiga
(negara-negara yang belum berkembang). Teologi di Asia, Afrika, Amerika Latin banyak mengembangkan
kecenderungan memberikan tekanan pada penguatan masyarakat.
Aspek pemberdayaan menjadi hal yang penting sebagai cara untuk membangun partisipasi serta peran
yang yang lebih besar warga gereja dalam segala hal. Secara internal pemberdayaan jemaat memiliki
konsekuensi besarnya partisipasi jemaat dalam seluruh penyelenggaraan kehidupan bergereja.
Pemberdayaan jemaat adalah bagian dari cara gereja untuk menempatkan jemaat sebagai subjek dalam
pelaksanaan kehidupan bergereja. Gereja hanya akan berkembang maju jika seluruh potensi gereja mau
berfungsi dalam pelayanan gereja. Pemberdayaan yang dilakukan gereja diawali dengan pemberdayaan
melalui teologi. Harus diakui bahwa86 teologi yang dikembangkan dalam kehidupan bergereja selama ini tidak
mampu mendorong partisipasi jemaat dan membuka ruang bagi proses pemberdayaan. Dalam data statistik
yang dikeluarkan pemerintah (Biro Pusat Statistik) tercatat bahwa wilayah kemiskinan makin meluas pada
daerah yang ditempati oleh jemaat-jemaat GPM. Kemiskinan itu lebih banyak bersifat struktural dalam artian
kemiskinan terjadi karena tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada wilayah tersebut. Jika
tidak segera ditangani maka kemiskinan dan ketertinggalan akan dialami oleh masyarakat setempat. Secara
eksternal, pemberdayaan jemaat terarah pada upaya mendorong partisispasi jemaat sebagai bagian dari
masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan demikian maka pemberdayaan jemaat tidak dapat
dilakukan oleh gereja sendiri. Tetapi dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Itu sebabnya dalam setiap
persidangan gereja pada tingkat jemaat, klasis maupun sinodal, selalu menghadirkan pemerintah sebagai
bagian dari cara gereja memahami pemerintah sebagai mitra membangun masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pergumulan GPM di era pembaruan teologi saat kini menyongsong masa
depan, GPM memiliki perspektif teologis terhadap sejarah pergumulannya itu sendiri. Bagi GPM, Sejarah bukan
hanya dimengerti sebagai momentum peristiwa masa lampau, yang sudah selesai dan berlalu. Namun sejarah
bagi GPM juga adalah suatu momentum teologis yang dijalani hari ini menyongsong masa depan, sebagai
bagian yang utuh dalam perspektif keselamatan yang telah dimiliki, sedang dikerjakan, dan akan digenapi
saat kedatangan Kristus yang kedua. Perspektif ke-akan-an inilah yang dirumuskan oleh GPM pula dalam artikel
ke-24 dari Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam persidangan ke-35
SINODE GPM tahun 2005 lalu.

Perspektif tersebut, antara lain menyatakan, “….Kami (baca GPM) mengakui… bahwa ada abad baru
yang optimistik sebagai tonggak-tonggak sejarah baru bagi hidup, peradaban dan pengharapan manusia.
Karena itu,….memberanikan manusia melakukan tindakan-tindakan yang bertanggung jawab terhadap
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

manusia, bumi dan lingkungan hidup, demi masa depan generasi manusia dan bumi ciptaan Allah.” (BPH
SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, tahun 2006, hal.67-68)

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah yang dimaksudkan dengan pergeseran dan pembaruan teologi di GPM
2. Jelaskanlah pengertian sejarah GPM sebagai suatu lintasan pergumulan iman di waktu lampau, kini,
menyongsong masa depan (hari esok) !
3. Buatlah penilaian kritis tentang ada-tidaknya pergeseran di GPM (bisa dengan contoh di jemaat setempat)
dari aspek-aspek penguatan institusi dan pemberdayaan jemaat.

VI. KETERANGAN
Katekisan dibagi dalam beberapa kelompok, dan ditugaskan untuk membuat atau mengisi perayaan HUT GPM
melalui suatu pementasan atau ekspresi apapun (bisa dengan menggelar diskusi interaktif tentang kristik-diri
GPM, yang diorganisir oleh para siswa katekisasi, didampingi oleh Kateket atau Majelis Jemaat.

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 6. Allah Yang memberi Perintah
3. Sub Pokok Bahasan : 6.1. Pemberian Hukum dan Maknanya
4. Bahan bacaan Alkitab : Keluaran 20 : I – 17
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 kali pertemuan)
6. Semester : I (satu)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahaml dan Merefleksikan Tindakan Allah Yang memberi Perintah Kepada manusia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan tujuan Allah memberikan Hukum Taurat bagi Israel
2. Menjelaskan ini Hukum Taurat
3. Menjelaskan makna pemberian hukum Taurat bagi kelangsungan hidup umat.

IV. URAIAN MATERI :


Setelah orang Israel terlepas dari Mesir Tanah perbudakan, maka Musa mengantar mereka ke gunung
Horeb atau Sinai. Di situlah dilihatnya dahulu belukar duri bernyala-nyala. Di puncaknya turunlah malaikat Tuhan
ditengah guntur dan halilintar dan disanalah juga diterima Musa ke sepuluh hukum yang terukir pada dua loh
batu yang berisi:i 1) Jangan ada padamu Allah lain dihadapanKu; 2) Jangan membuat bagimu patung yang
menyerupai apapun, jangan sujut menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya; 3) Jangan menyebut
nama Tuhan AllahMu dengan sembarangan;87 4) Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat.; 5) Hormatilah Ayahmu
dan lbumu; 6) Jangan Membunuh; 7) Jangan bersinah; 8) Jangan mencuri; 9) Jangan mengucap sakst dusta
tentang sesamamu; 10) Jangan Mengigini apapun yang dipunyai sesamamu.
Tujuan Allah memberikan hukum Taurat kepada Israel adalah tidak lain agar Israel tetap berada pada
aturan atau ketetapan-ketetapan yang mengatur perjalanan mereka sebagai orang-orang yang telah
diselamatkan Allah, termasuk juga kita. Singkatnya, hukum diberikan supaya mengikat Israel sebagai umat
yang harus hidup sesuai yang dikehendaki Tuhan Allah yang telah mengikat perjanjian dengan umatNya itu.
Allah menjadi Allah, dan Israel menjadi umat Allah. Sehingga kalau dilihat dari hukum ini sendiri ada tuntutan
kesetiaan yang harus dinyatakan. “Jangan ada padamu Allah lain dihadapanKu”, di sini Allah menuntut agar
umat Israel hanya berpaut kepadaNya saja. Selain itu ada tuntutan untuk tidak membuat patung bagi Allah,
sebab pada waktu itu di dalam dunia Timur Tengah, para dewa dan dewi sering digambarkan dengan
berbagai bagai bentuk seperti bentuk manusia, binatang, matahari, kilat dan sebagainya. Di sini Allah melarang
membuat patung atau gambaran diriNya.. Dari hukum ini juga ada tuntutan untuk tidak menyianyiakan nama
Allah; nama Allah harus disebut dan dipakai dengan kesungguh-sungguhan. Larangan itu berbunyi, “Jangan
menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan”;. Larangan itu lebih dari pada larangan untuk tidak
bermulut manis. Hal ini bisa kita baca dalam Yosua 24 : 19 – 22; di situ Yosua memperingatkan seluruh umat
untuk tidak berpura-pura didalam kesetiaanya kepada Allah.

Selanjutnya dalam hukum ini pula memuat 6 (enam) tuntutan yang kena mengena dengan hubungan
antar sesama manusia. Ke enam perintah ini memusatkan perhatiaannya pada sifat dan tingkah laku setiap
orang kepada Allah. Ke 6 (enam) perintah ini tertuju kepada keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran
ini menjadi pokok utama pemberitaan para Nabi. Dengan demikian sikap kita sebagai para Katekisan adalah
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

tetap menyatakan sikap hidup yang benar, baik antara sesama kita manusia bahkan antara kita dengan Allah.
Kita ada di dunia tetapi tidak menjadi serupa dengan dunia. Itu berarti apa yang menjadi aturan atau
ketetapan-ketetapan Tuhan, haruslah kita mematuhinya.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah tujuan Allah memberikan hukum Taurat bagi Israel
2. Jelaskanlah isi hukum taurat
3. Kemukakanlah pandangan tentang makna pemberian hukum taurat bagi kelangsungan hidup umat.

I. IDENTITAS
1. Program sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 6. Allah yang memberi Perintah
3. Sub Pokok Bahasan : 6.2. Yesus dan Hukum Kasih
4. Bahan bacaan Alkitab : Mat. 22:34-40; Rm. 13:8-10; I Yoh 3:11-18
5. Waktu Tatap-Muka : 100 Menit (1 x pertemuan)
6. Semester : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami dan merefleksikan tindakan Allah yang memberi perintah kepada manusia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan kaitan hukum kasih dan 10 hukum taurat
2. Menjelaskan makna ajaran Yesus tentang kasih
3. Menjelaskan pengertian mengasihi diri sendiri
4. Menjelaskan alasan kita mengasihi sesama manusia
5. Membedakan perbuatan yang berisikan nilai kasih dengan yang tidak bernilai kasih.

IV. URAIAN MATERI

Kaitan Hukum Kasih Dan Sepuluh Hukum Taurat


Dua inti dari 10 ( sepuluh ) hukum taurat dan hukum kasih adalah sama yaitu kasih kepada Allah dan kasih
kepada sesama manusia. Hukum ke satu sampai dengan hukum ke empat dalam sepuluh hukum taurat adalah
uraian tetang kasih manusia kepada Allah; sedangkan hukum ke lima sampai ke sepuluh adalah uraian tentang
kasih manusia kepada sesamanya. Kesepuluh hukum taurat itu telah Allah nyatakan dan genapi dalam diri /
teladan hidup Yesus Kristus, yang mewujudkan kasih yang sejati dari Allah dan kepada manusia.

Makna Ajaran Yesus Tentang Kasih


Ajaran Tuhan Yesus tentang kasih selaras dengan Ulangan 6 : 5. Di situ terdapat ajakan untuk mengasihi Tuhan
dengan tiga cara, yakni: 88
Pertama dengan segenap hati (Ibrani : lebhab = jantung). Dalam budaya Yahudi, jantung atau hati
melambangkan sumber perasaan senang, sedih, cinta, benci dan sebagainya. Juga sumber pertimbangan
pemikiran dan penalaran.. Sumber pengambilan keputusan dan tabiat. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati
berarti menempatkan segala perasaan, pikiran dan sikap hati kita dibawah kehendak Tuhan.
Kedua dengan segenap jiwa ( lbrani : nefesy = Leher, nafas, hidup ). Nefesy adalah lambang emosi, aspirasi
atau dambaan seperti haus, lapar, marah, kasih sayang, rakus dan sebagainya. Mengasihi Tuhan dengan
segenap jiwa berarti menundukkan segala emosi aspirasi dan dambaan kita pada kehendak Tuhan.
Ketiga dengan segenap kekuatan. Artinya, dengan kemauan yang sungguh dan dengan sikap yang konsisten..
Mengasihi Tuhan dengan segenap, kekuatan berarti betul-betul beritikad baik dan berupaya untuk
melaksanakan apa yang Tuhan perintahkan. Mengasihi Tuhan adalah garis vertikal, sementara mengasihi
sesama manusia adalah garis horisontal. Kedua garis itu tidak terpisah tetapi juga tidak sama. Sebab ada
bentuk cinta yang tidak patut kita berikan pada diri sendiri dan pada orang lain-kecuali kepada Tuhan. Bentuk
cinta itu adalah ibadah dan pengabdian yang sejati. Kita mencintai diri tetapi tidak beribadah pada diri sendiri;
kita mencintai orang lain, tetapi kita tidak menyembah yang bersangkutan. lbadah dan persembahan kita
hanya dialamatkan kepada Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus berperintah" Kasihilah Tuhan AllahMu dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jlwamu dan dengan segenap akal budimu (Matius 22 : 37 - 9 )

Ajaran Tuhan Yesus tentang kasih ini adalah sebuah pendidikan pendamaian. Pendamaian antara Allah
dengan manusia dan pendamaian antara manusia dengan manusia. Untuk membuat pendamaian diperlukan
manusia-manusia yang berjiwa besar. Ajaran Tuhan Yesus tentang kasih hendak mengajarkan agar manusia
tidak tenggelam dalam paham Chauvinis, yakni suatu paham yang menyatakan bahwa sesama manusia
berarti sesama bangsa dan sesama agama. Ajaran kasih mengandung makna bahwa mengasihi orang lain
juga walaupun mereka berbeda bangsa suku maupun agama dengan kita. Karena tidak semua orang
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

berbangsa lain bersuku lain dan beragama lain selalu jahat ( Bad guys); mereka pun juga adalah good guys
yang harus kita kasihi.

Pengertian Mengasihi Diri Sendiri


Jadi bolehkah kita mencintai diri sendiri? Tentu saja boleh. Tuhan Yesus berperintah kasihilah sesama manusia
seperti dirimu sendiri (Matius 22 : 39 ). Siapa objek cinta menurut perintah itu, yakni pertama diri kita sendiri.
Kedua. sesamamu manusia. Cinta terdiri dari dua segi: pertama mengasihi diri sendiri seperti mengasihi orang
lain, kedua mengasihi orang lain seperti diri sendri.
Apa artinya mengasihi diri sendiri? Mengasihi diri sendiri, bukan berarti egosentris, maunya menang sendiri atau
, hanya memikirkan diri sendiri. Mengasihi diri bukan berarti mengasihani atau meratapi diri sendiri tetapi
mengasihi diri sendiri adalah menghargai diri, menyukai diri, merawat diri, merasa puas atas karya diri dan
mensyukuri keadaan diri dengan segala kelemahan dan keunggulannya. Dengan lain perkataan, kita bisa
menerima seorang " Aku" seperti menerima seorang “Engkau”; sebab seorang” aku " bukan hanya subjek
melainkan juga objek.

Alasan Kita Mengasihi Sesama Manusia


Lalu apa yang menjiwai kasih pada diri sendiri dan kasihi pada orang lain ? Jiwanya adalah kasih Tuhan.
Tuhan yang sudah terlebih dahulu mengasihi para “aku” dan para "engkau". Jadi di sini ada dua garis: garis
horizontal antara para "aku" dan para "engkau” dan garis vertikal antara para "kita "dengan Tuhan. Kita
mengasihi sesama manusia bukan untuk sekadar tindakan amal. Bukan pula sebagai "tiket masuk sorga "; tetapi
kita bersyukur pada Allah bahwa kita terlebih dahulu dikasihi Allah. Selain itu, karena mengasihi sesama manusia
adalah kaidah paling utama dalam kehidupan yang bermutu. Kaidah kasih tentang mengasihi Allah dan
mengasihi sesama manusia itu harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengasihi sesama manusia
berarti bisa menempatkan diri” pada posisi orang lain; bisa melihat dari sudut pandang orang lain; bisa
membela kepentingan orang lain; bisa merasa perih dengan orang yang terluka dan bisa merasa bangga
dengan orang yang berkarya. Dengan lain perkataan, bisa memperlakukan seorang "engkau" seperti
memperlakukan seorang aku". Sebab seorang "engkau" bukan hanya objek tetapi juga subjek (jangan
memperlakukan orang lain hanya sebagai objek).

Perbuatan Yang Berisikan Nilai Kasih Dengan Yang Tidak Bernilai Kasih
Dalam I Yoh 3 : 11-18 terdapat penjelasan tengtang apa itu kasih. Tersirat bahwa perbuatan bernilai kasih
antara lain : rela berkorban bagi sesama, mau berbagi/membantu sesama yang berkekurangan / mohon
bantuan (lewat aksii nyata). Sedangkan perbuatan yang tidak bernilai kasih seperti : membenci sesama,
membunuh (bukan saja membunuh secara fisik tetapi bisa juga membunuh karakter / mengucilkan membatasi
peluang sesama untuk hidup lebih baik ). Pada ayat ke 18 tertulis “... marilah kita mengasihi bukan dengan
perkataan atau dengan lidah tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”. Artinya, kasih bukan sekadar
perasaan melainkan perbuatan. Kasih bukan pasif melainkan aktif. Kasih dipraktikan sehari-hari oleh Tuhan Yesus
dalam kebenaran. Berarti mengasihi sesama dengan kasih yang benar yang tidak menyesatkan; tidak
mengelabui/berpura-pura. Mengasihi dalam "kebenaran" berarti : mengasihi sesuai dengan apa yang
dikehendaki Tuhan. Di mana manusia menaati kehendak Tuhan, di situ ada perilaku hidup yang ditandai oleh
kebenaran .

V. EVALUASI
1. Jelaskan kaitan hukum kasih dengan 10 hukum taurat
2. Uraikanlah makna ajaran Yesus tentang kasih
3. Jelaskanlah pengertian mengasihi
89 diri sendiri
4. Jelaskanlah alasan kita mengasihi sesama manusia
2. Diskusikanlah perbuatan yang berisikan nilai kasih dengan yang tidak bernilai kasih.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 5. Misi Gereja: Panggilan dan Tantangannya
3. Sub Pokok Bahasan : 5.1. Pengertian, Dasar dan Panggilan Misioner
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kis.6:1-7
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami dan merefleksikan misi gereja sebagai panggilan di tengah tantangan konteksnya

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami pengertian tentang misi Kristiani
2. Memahami dasar, sasaran dan hakekat misi
3. Membedakan misi gereja yang Kristiani dan yang tidak Kristiani
4. Merefleksikan makna panggilan misioner

IV. URAIAN MATERI


1. Ada beberapa istilah yang sering terdengar, antara lain: Misiologi, Misioner, Zending, Pekabaran Injil (PI), Kring
PI, dan sebagainya. Beberapa di antaranya dapat dijelaskan, yakni: Misiologi adalah cabang ilmu teologi
Kristen yang mempelajari tentang misi. Sementara istilah misi sendiri, berasal dari kata latin mittere yang
selanjutnya berkembang menjadi missio, yang artinya mengirim. Dalam pemakaiannya, sering disejajarkan
pula dengan istilah Pekabaran Injil. Oleh bapa gereja, Ambrosius, kata ini pun dipakai untuk istilah misa (suatu
akta jamuan ekaristi). Dengan kata lain, antara sakramen perjamuan dan misi itu sendiri, memiliki hubungan
yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Artinya, suatu pengutusan Injil, hanya berdasar pada
keselamatan yang dikerjakan Allah melalui pengorbanan Kristus, AnakNya yang tunggal. Sebaliknya, makna
suatu sakramen, hanya menjadi utuh dan bermakna pada kesediaan untuk menerima dan
mewujudnyatakan kehendakNya melalui seluruh peran dan aktifitas misioner (bersifat misi).
2. Adapun misi Kristiani itu sendiri dapat diartikan sebagai keseluruhan kehadiran gereja (baik secara personal
maupun komunal/persekutuan) untuk memberlakukan apa yang dilakukan Allah di tengah konteks ruang
dan waktu kehidupannya. Dengan demikian, dasar dari misi Kristiani, bukanlah berporos pada gereja atau
manusia, melainkan berakar dari Allah (FirmanNya), bertumbuh di dalam gereja, dan berbuah
(membuahkan syalom Allah) bagi dunia. Dalam konteks ini, misi Kristiani memiliki hubungan dengan apa
yang dimaknai oleh ungkapan ”syalom” Allah tersebut. Artinya, misi Kristiani sesungguhnya merujuk pada
upaya menghadirkan tanda-tanda syalom (kerajaan) Allah di tengah dunia. Dalam doa (Bapa Kami) yang
diajarkan Yesus kepada para muridNya, terungkap kata-kata, ”Datanglah KerajaanMu, Jadilah
kehendakMu, di bumi seperti di sorga.” Sesunggunya demikianlah misi Kristiani, memberlakukan yang
dilakukan Allah.
3. Sebagaimana lazim diketahui, bahwa Matius 28:18-20 ”seakan-akan” disebutkan sebagai ”Amanat-Agung
yang berkaitan dengan aksi misi gereja. Padahal, Yesus sendiri dalam bagian firman tersebut, sedikitpun tidak
menyebutkan perintahNya sebagai sesuatu yang amat ”agung dan sakral”, yang seakan-akan lalu menjadi
perintah yang lebih utama dari amanatNya yang lain. Sebab pada dasarnya, semua yang dilakukan dan
diperintahkan Tuhan adalah merupakan suatu amanat agung.
4. Dalam prakteknya, sering diberlakukan motif dan kecenderungan misi yang tidak sejalan dengan yang
seharusnya. Kecenderungan tersebut antara lain, (1) kecenderungan misi yang bermotif kolonial (yang
menginjili merasa lebih superior 90dan menguasai mereka yang diinjili); kecenderungan seperti ini, nyaris tidak
berbeda dengan kecenderungan ”crusade” (istilah yang populer dalam dunia perang salib); (2)
kecenderungan yang misi yang bermotif ”dunia seberang”, sehingga begitu mengabaikan realitas hidup
kekinian, sebagai bagian dari pertanggungjawaban iman yang harus pula dikerjakan (Fil.2:12-17); (3)
kecenderungan misi ”sinterklas”, yang menurunkan kadar hakiki dari nili misi itu sendiri pada aspek fisik-
material semata; sehingga pada gilirannya akan menimbulkan perilaku dan mental kristiani yang tidak
dewasa; (4) kecenderungan misi yang bermotif dikotomis-antagonistik. Artinya segala yang berbeda
dilawan dan dilenyapkan. Kecenderungan tersebut nampak dalam sejarah pekabaran Injil di Maluku, ketika
para misionaris melenyapkan kekayaan kultural setempat, seperti bahasa lokal di negeri-negeri Kristen,
karena dipandang sebagai hasil kekafiran.

5. Sikap dan keteladanan Yesus dalam misiNya, tercermin dalam dua aspek proklamasi misiNya, yakni yang
terdapat dalam Markus 1:15 (seruan pertobatan dan pembaruan hidup) dan Lukas 4:18-20 (pernyataan misi
syalom yang dihadirkan, melalui kasih, keadilan, kebenaran, pembebasan, perdamaian, kemanusiaan dan
kesejahteraan).
6. Setiap orang percaya, tidak dapat menghindari diri dari panggilan memberitakan Injil. Artinya, bagi gereja
Tuhan, misi atau PI bukanlah suatu ajakan atau undangan, melainkan suatu perintah. Bila itu suatu
undangan, maka pilihannya bersifat sukarela, tanpa paksa; namun bila itu perintah, maka tidak ada tawar-
menawar. Misi atau PI ibarat jantung gereja itu sendiri. Bila jantung berhenti berdenyut, maka kematian
menjadi bagian yang harus dihadapi gereja. Paulus katakan dalam I Korintus 9:16c, Celakalah aku, jika aku
tidak memberiakan Injil. Memang, bila dipandang dari sudut kemampuan Allah, sesungguhnya, Allah dapat
saja tidak memakai kita (sebab sebetulnya kita ini tidak ada apa-apanya).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Namun bila dipandang dari sudut kemauan Allah, maka kita yang lemah dan berdosa ini, dapat
dimampukan Allah untuk melakukan tugas misioner. Oleh sebab itu, bagi setiap orang yang mau ber-misi,
ucapan Yesaya menjadi kata-kata penting, ”Ini aku, utuslah aku Tuhan !” (Yes.6:8c).

V. EVALUASI
1. Jelaskan secara singkat pengertian misi kristiani
2. Jelaskan dasar, sasaran dan hakekat misi kristiani
3. Diskusikanlah perbedaan misi gereja yang kristiani dan yang tidak (dengan contoh-contohnya)
4. Refleksikanlah makna panggilan misioner dari kita selaku gereja masa kini

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN


1. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTETAN MALUKU, Ambon: 2007
2. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
3. David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1999
4. Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: BPK-GM, 1987
5. P.Tanamal, Gereja Di Tengah Dunia Rasionalis dan Masyarakat Industri Modern, Ambon: Yayasan Kapata,
1986.

IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 5. Misi Gereja: Panggilan dan Tantangannya
3. Sub Pokok Bahasan : 5.2. Problematika Konteks Misi GPM
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kis.7: 54 – 8:3
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. Semester : I (Ganjil)

I. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami dan merefleksikan misi gereja sebagai panggilan di tengah tantangan konteksnya.

II. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami GPM dengan wilayah/konteks misinya;
2. Mengidentifikasikan problematika yang dihadapi GPM dalam misinya;
3. Merefleksikan sikap dalam menghadapi tantangan problematika konteks misi GPM.
4. Merefleksikan makna panggilan misioner

III. URAIAN MATERI


1. Pangillan misioner gereja, mengisyaratkan keharusan menghadapi konteks dengan pelbagai
problematikanya. GPM, sebagai gereja yang terlahir karena misi, terpanggil pula mengemban tanggung
jawab misionernya di tengah konteks ”ke-Maluku-an”-nya, sebagaimana nama yang disandangnya. GPM
adalah Gereja (dan seharusnya tetap sampai kapanpun menjadi gereja), yang Protestare
(memproklamirkan) Injil Kerajaan Allah di Maluku.
2. Sebagai gereja, GPM menghadapi tantangan konteks baik ke dalam maupun ke luar. Cooley dalam
pengkajiannya di wilayah Maluku Tengah misalnya, menemukan bahwa faktor alam dan geografis GPM
sendiri, sudah memperhadapkan suatu permasalahan yang tidak mudah dipecahkan. Sementara itu,
secara internal, GPM ~teristimewa
91 semenjak menjadi gereja mandiri (memisahkan diri dari Indische Kerk),
menghadapi persoalan, antara lain (a) masalah kesatuan gereja di tengah konteks primordialisme; (b)
masalah sumber keuangan yang minim (akibat ditiadakannya subsidi keuangan dan pembayaran gaji
pendeta oleh negara) dan pengelolaannya; (c) masalah kepemimpinan yang belum dikembangkan secara
baik, misalnya dalam aspek pengkaderan, pembangunan kapasitas pelayan, baik pada aras sinodal, klasis,
maupun jemaat, peningkatan kualitas manajerial baik pada aspek pengorganisasian jemaat maupun
pastoralia.
3. Sementara itu, secara eksternal, GPM menghadapi antara lain problematika yang berkaitan dengan Politik-
Ideologi (RMS), Pengaruh adat-istiadat yang negatif, hubungan gereja dan negara, dan pandangan serta
pengelolaan kemajemukan (khususnya dalam relasi dengan Islam, dan pada wilayah tertentu dengan pihak
Katolik), yang telah lama bertumbuh dalam relasi dikotomis dan apriori, dan belakangan ini mulai memasuki
fase penyesuaian ke arah yang diharapkan. Dalam konteks kontemporer (saat ini), nampaknya
problematika internal-eksternal sudah saling mengait, dan tidak dapat dilepaspisahkan sebab-akibatnya.
Misalnya, problematika Narkoba, HIV/AIDS, kultur kekerasan, dan pengaruh budaya massa, globlasasi dan
post-modernisme, turut memengaruhi etika, moral dan spiritualitas warga gereja (GPM). Belum lagi
ditambahkan dengan merebaknya pengaruh gereja-gereja lain, yang cenderung memberlakukan praktek
proselitisme (pindah gereja), dengan pelbagai alasan dan caranya. Secara umum, situasi pasca konflik
sosial, mengisyaratkan adanya tantangan problematika tersendiri bagi pelaksanaan PI, khususnya dalam
rangka mewujudkan peran rekonsiliasi dan pemulihan, baik secara fisik-ekonomi, sosial-budaya, maupun
paradigma baru kemanusiaan dalam konteks kemajemukan. Artinya, situasi konflik dan pasca-konflik,
menjadi cermin gereja untuk melakukan pemahaman kembali (re-thinking) terhadap seluruh tatanan
pemikiran teologi dan kehidupan beragamanya, secara lebih pro-hidup dan sinergis, selaku gereja yang
berada bersama-sama dengan yang lain (church with others).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

4. Pembaruan teologi dan sikap keberagamaan yang lebih terbuka, tidak arogan (merasa lebih unggul dan
benar sendiri), merupakan salah satu ”pintu masuk” dalam rangka menghadirkan wajah gereja yang lebih
damai dan bersahabat. Tentunya warna tersebut lahir bukan sebagai suatu perilaku yang dibuat-buat dan
berstandar-ganda (di lingkungan internal bersikap begini, di lingkup ekstenal bertindak begitu), melainkan
lahir dari kesadaran yang tulus dan sungguh-sungguh, untuk melihat orang dan agama lain pula sebagai
sebuah realitas sosial yang terpanggil untuk bersama-sama membangun kehidupan, di tengah masyarakat,
bangsa, dan kemanusiaan.

IV. EVALUASI
1. Jelaskanlah apa yang saudara pahami dengan konteks misi GPM dan problematikanya ?
2. Identifikasikanlah problematika yang dihadapi GPM dalam misinya ?
3. Refleksikanlah sikap yang kristiani dalam menghadapi tantangan problematika tersebut !

V. SUMBER KEPUSTAKAAN
1. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
2. Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1999
3. Cooley,Frank L., Mimbar dan Takhta, Jakarta: BPK-GM, 1987
4. Dokumen Pemahaman Iman, Ibadah dan Jabatan Gerejawi dalam GPI, Jakarta: BPH GPI, 2005.
5. Rahabeat R & Abidin Wakano (ed.), pluralismo Berwajah Humanis – Sketsa Pemikiran DR John Ruhulessin,
Yogyakarta: Galang Press & LESMMU Ambon.
6. Tanamal Piet, Pengabdian dan Perjuangan, Ambon, 1985

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 5. Misi Gereja: Panggilan dan Tantangannya
3. Sub Pokok Bahasan : 5.3. Cara-cara Ber-misi di GPM
4. Bahan Bacaan Alkitab : 2 Tim 4:1-5
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami dan merefleksikan misi gereja sebagai panggilan di tengah tantangan konteksnya.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Memahami model atau fenomena praktek / cara ber-misi dalam sejarah misi gereja;
2. Memahami sejarah singkat misi GPM;
3. Menyatakan pendapat tentang cara-cara ber-misi GPM (kekuatan dan kelemahannya).
92
IV. URAIAN MATERI
1. Gereja (dari makna kata ekklesia) sejak lahirnya memang dipanggil ke luar untuk di utus ke dalam dunia
yang penuh kegelapan, untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia (I Pet.2:9), yaitu
perbuatan penyelamatan yang dikerjakan melalui kasih dan pengorbanan Yesus (I Pet.1:18-19).
2. Dalam sejarah misi, gereja-gereja sepanjang abad melakukan pendekatan PI sesuai dengan konteks dan
dinamika internal-eksternalnya. Beberapa diantaranya,
a. Paradigma misi gereja-gereja Timur (wilayah Yunani-Romawi), mengembangkan misi dengan paradigma
”pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani, kemudian...barangsiapa yang percaya akan
diselamatkan.” (paradigma Yoh 3:16). Paradigma ini mengisyaratkan adanya proses transisi keselamatan,
sebagai suatu proses metamorfosis.
b. Paradigma misi Abad Pertengahan, lebih dicirkan dengan paradigma Lukas 14:23 (paradigma
”memaksa”). Oleh misi Katolik Roma, perubahan pendekatan misi berubah, dari tekanan bahasa Yunani,
beralih ke Latin, dan perbedaan-perbedaan lainnya yang pada gilirannya memunculkan perpecahan,
antara gereja Timur dan gereja Barat. Gereja Timur bersifat inkarnasi dan penekanan pada ”asal-usul
Kristus”; sementara gereja Barat, bersifat staurologis (”salib”), dengan menekankan kematian Kristus
sebagai pengganti demi orang berdosa. Dalam paradigma misi abad pertengahan, keselamatan mulai
diinstitusionalkan (dilembagakan) melalui pelbagai aturan, hukum dan prasyarat gerejawi yang birokratis
dan serimonialistik. Tak bisa dipungkiri, sejak masa ini, paradigma misi yang melekat dengan kolonialisme
mulai mewajah. Apalagi konstruksi kosmologi (pandangan tentang dunia) pada era ini dipahami
demikian:
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Allah

Gereja

Raja dan Para Bangsawan

Rakyat

Bintang, Tumbuh-tumbuhan, Benda-benda

c. Paradigma misi Reformasi Protestan, mulai menghadirkan corak gerakan PI yang baru, sejak Luther
memprakarsai gerakan reformasi, dengan membangun pendekatan misi dalam perspektif Roma 1:16-17
(aspek pembenaran oleh iman menjadi titik tolak teologi). Paradigma misi reformasi ini menekankan
dimensi subyektif keselamatan (persoalan keselamatan menjadi penting bagi pribadi). Dengan begitu,
faktor pengalaman individu menjadi faktor yang mendapat tempat dalam paradigma ini. Oleh karena
itu, tidak heran bila pada masa ini, bertumbuh subur gerakan pietis dan puritanisme tekanan pada
kesalehan individual.
d. Paradigma misi di awal era pencerahan hingga abad kedua puluh, dilatari dengan paradigma berpikir
(penalaran), cogito ergo sum (ucapan Descares yang artinya: saya berpikir, oleh karena itu saya ada),
yang menempatkan kekristisan untuk mencermati kembali seluruh tatanan teologi dan beriman kalangan
masyarakat umum terhadap agama itu sendiri. Hal mana faktor individualitas dan kebebasan berpikir
(termasuk berteologi) mulai mendapat ruang. Paradigma misi mulai terbuka luas menjangkau pelbagai
kalangan, termasuk kalangan sekuler. Gerakan-gerakan misi mulai menjalar pada upaya mewarnai
tatanan masyarakat (Band. Harvey Cox dengan The Secular City-nya). Pada konteks ini pendekatan misi
bergerak antara lain: pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 penekanannya pada kasih Kristus.
Belakangan lagi penekanannya pada keselamatan orang-orang kafir yang sedang menuju
kehancurannya dan pada awal abad ke-20 tekanannya pada Injil sosial.
e. Paradigma misi pasca-modern, nampaknya tetap diharapkan menjadi paradigma misi yang relevan
dengan zamannya. Paradigma misi ini lebih menekankan aspek jejaring, sebagai kesadaran pada
kelanggengan (keberlangsungan hidup) bukan berdasarkan paradigma Survival of the fittest, melainkan,
Survival of the most mutual-simbiotic (yang paling unggul adalah yang paling dapat membangun
jaringan saling membutuhkan dan menguntungkan). Singkatnya hubungan saling ketergantungan,
merupakan pilihan sikap dan paradigma misi yang relevan dengan abad kontemporer ini.
3. Sebagai gereja yang berasaskan Calvinisme, GPM tetap berkomitmen untuk memberitakan Injil ke segala
makhluk (Markus 16:15), tanpa membedakan siapapun; dengan meyakini akan janji firmanNya, bahwa
barangsiapa yang percaya tidak akan binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal (Yoh.3:16). Dalam
sejarah PI GPM, tentunya tak dapat disangkali adanya pewarisan pola dan bentuk PI dari gereja ”induknya”
(yang dibawa oleh para misionaris) dengan mengembangkan hampir ketiga paradigma pertama tersebut
di atas. Pola tersebut nampak melalui pola pendekatan misi ke dalam (inner mission) dan misi ke luar (outer
mission). Secara ke dalam, pewarisan misi nampak dalam metode ”penghafalan” yang dikembangkan
terhadap rumusan-rumusan pengajaran gereja (seperti: 12 perkara iman, Doa Bapa Kami, Dasa Titah).
Pendekatan pembinaan umat yang lebih cenderung mengikuti pola ”gereja induk” (Belanda),
mengakibatkan sikap penguasaan kekristenan hanya pada tingkat pengetahuan dan ritualistik-formalistik.
Akibatnya umat cenderung memiliki kedangkalan dalam penghayatan iman, kekristenan bersifat sinkretistis
dan magis. Wujudnya nampak dalam 93 sikap mereka terhadap benda-benda yang berkaitan dengan gereja
(Mis. Alkitab, Roti Perjamuan, Air Baptisan, gedung Gereja, dan sebagainya). Sementara itu, dalam konteks
PI ke luar, fakta sejarah membuktikan bahwa para utusan Injil GPM pun mendapat kesempatan dan
kepercayaan untuk ber-misi ke bagian Selatan Irian (kini melahirkan GPI Papua), ke bagian Timor Kupang,
Sulawesi Tengah dan Utara (Sangihe Talaud), dan bahkan dalam kerjasama, kemitraan, utusan atau pekerja
gereja dikirim ke Nias, hingga ke Negeri Belanda pula.
4. Perkembangan paradigma misi GPM, terkait pula dengan fenomena kedua paradigma terakhir yang
dikemukakan di atas. Pendekatan yang dikembangkan secara global hingga nasional (dalam lingkup
Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia, Asia, maupun PGI), secara tidak langsung ikut mewarnai pendekatan PI-
nya GPM, antara lain melalui gerakan KPKc (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), gerakan anti
kekerasan selama 10 tahun (decade of non violence), gerakan kesetaraan gender dan penegakkan HAM.
5. Pola pendekatan dialog dalam misi, nampaknya menjadi pola yang lebih relevan dalam konteks
persinggungan kemajemukan saat ini. Adapun pengertian dialog merujuk pada rumusan DGD, yang
memahami dialog sebagai panduan yang dipakai untuk menghubungkan diri dengan orang beriman dan
berideologi tertentu. Pendekatan dialog tersebut, diharapkan dapat dikembangkan melalui bentuk:

=> Dialog Kehidupan : Perjumpaan yg tulus berlangsung dlm kehidupan sehari-hari, menanggapi bersama
keprihatinan bersama;
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

=> Dialog Kerja Sosial : Issue-issue sosial yg lebih makro , semisal kemiskinan, menjadi konteks perjum-paan
sekaligus arah sumbangan masing-masing agama;
=> Dialog Monastis : Terjadi pertukaran pengalaman religius, misalnya melalui meditasi & hidup dalam
asrama bersama-sama
=> Dialog Doa : Semua agama berdoa bersama demi perdamaian yg lebih sejati & meluas
=> Dialog Teologis : Terjadi pertukaran informasi mengenai kepercayaan & akidah, sambil melihat titik
temu ataupun perbedaan.
6. Pada akhirnya, haruslah dipahami bahwa cara bermisi tetaplah cara dan bukanlah (dan tidak boleh
pernah) menjadi tujuan; ataupun sebaliknya, tujuan lalu dihalalkan dengan cara-cara yang tidak sesuai pula
dengan hakekat misi itu sendiri. Kita terjadi kekeliruan antara cara dan tujuan, maka misi itu sendiri lalu
kehilangan roh dan orientasi.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah secara singkat paradigma atau cara ber-misi dalam sejarah gereja dengan masing-
2. masing pola dan pendekatannya ?
3. Jelaskanlah sejarah singkat misi GPM ?
4. Kemukakanlah pendapat saudara tentang kekuatan dan kelemahan dalam misi GPM ?
5. Refleksikanlah sikap yang kristiani dalam menghadapi tantangan problematika tersebut !

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN


1. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
2. David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1999
3. Dokumen Pemahaman Iman, Ibadah dan Jabatan Gerejawi dalam GPI, Jakarta: BPH GPI, 2005.
4. Panduan HUT ke-400 GPI, oleh Panitia Penyelenggara: Ambon, 2005
5. Rahabeat R & Abidin Wakano (ed.), pluralismo Berwajah Humanis – Sketsa Pemikiran DR John Ruhulessin,
Yogyakarta: Galang Press & LESMMU Ambon.
6. Tanamal Piet, Pengabdian dan Perjuangan, Ambon, 1985

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.1. Pandangan Iman Kristen Tentang Politik
4. Bahan Bacaan Alkitab : Daniel 1:1-21; Matius 22:21.
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Mengkaji dan mengembangkan tanggung jawab katikisan dalam proses pemberdayaan masyarakat
Berkeadaban 94

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan pengertian politik
2. Mengemukakan tujuan perjuangan politik di Indonesia
3. Mengemukakan visi Kristiani mengenai politik
4. Mengemukakan nilai-nilai yang perlu diacu oleh umat Kristen dalam melaksanakan tanggung jawab di
bidang politik
5. Merumuskan bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik di Indonesia

IV. URAIAN MATERI


1. Pengertian Politik
Secara etimologis, istilah politik berasal dari bahsa Yunani: Polis dan Politeia. Polis berarti benteng, kota,
negara dan suatu bentuk negara tertentu (semisal, demokrasi). Politeia, artinya penduduk atau warga
negara, hak warga negara dan kewarganegaraan, tata negara dan bentuk pemerintahan.
Berdasarkan kedua istilah dimaksud, para ahli mencoba merumuskan pengertian politik menurut sudut
pandangnya masing-masing. Menurut MIriam Budiardjo, politik adalah berbagai macam kegiatan yang
terjadi di suatu negara, menyangkut proses menentukan tujuan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Menurut Budiardjo, pengertian politik ini mencakup 6 (enam) konsep pokok politik, yaitu: politik berkaitan
dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decesion making), kebijaksanaan
umum (public policy), pembagian (distribusion) dan alokasi (alocation). Baginya, enam konsep pokok politik
ini menunjukkan peranan pemerintah dan warga negara untuk merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan
adanya berbagai upaya bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Selain itu, Ramlan Surbakti merumuskan 5 (lima) pandangannya mengenai politik, yakni: Pertama,
politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan
bersama; Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

pemerintahan. Ketiga, politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat; Keempat, politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan perumusan
dan pelaksanaan kebijaksanaan umum; Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Jelasnya, menurut Surbakti, politk adalah kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat mengenai kebaikan bersama dalam suatu wilayah
pemerintahan. Bila demikian, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kepentingan publik perlu
diakomodir, sehingga setiap warga masyarakat sebagai insan politik turut berperanserta dalam setiap
pengambilan keputusan (decesion making). Tegasnya, dalam suatu sistem pemerintahan, dibutuhkan
adanya karjasama dan partisipasi pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk merumuskan dan
mengimplementasikan kepentingan-kepentingan politik berdasarkan tujuan-tujuan yang disepakati
bersama. Karenanya, politik dianggap sebagai sarana untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara.

2. Tujuan Perjuangan Politik di Indonesia


Secara umum, tujuan perjuangan politik di Indonesia tidak terlepas dari usaha untuk mewujudkan cita-
cita nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu
mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran
politik dan kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan kelanjutan hidup bangsa dan negara.
Secara khusus, tujuan perjuangan politik di Indonesia adalah untuk:
a. Mempertahankan, mengamalkan dan melestarikan Pancasila.
b. Membangun manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan, tanpa membedakan suku, ras, agama dan golongan.
c. Membangun masyarakat Indonesia yang mandiri, cerdas, aman, damai, sejahtera, adil dan makmur.
d. Mengembangkan kehidupan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
e. Mengembangkan kehidupan budaya dan khasanah ke-bhineka-an dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai salah satu modal dasar bangsa.
f. Memelihara kelestarian lingkungan hidup dan kekayaan alam
g. Menegakkan dan melaksanakan Hak-hak Azasi Manusia (HAM)
h. Mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka kesejahteraan masyarakat.

3. Visi Kristiani Mengenai Politik


Visi Kristiani mengenai politik dan bagaimana keterlibatan orang Kristen di dalamnya dapat dilihat
pada hidup dan perjuangan Yesus Kristus. Pada diri Yesus, orang Kristen mendapat sumber inspirasi dan
bercermin padaNya. Karenanya, pada bagian ini akan dikemukakan bagaimana Yesus menggunakan
kekuasaan yang dimilikiNya untuk berpolitik di dalam menyikapi berbagai persoalan yang ditemui dalam
masyarakat.
Gereja Kristen zaman dahulu telah memasuki dunia politik dengan credo “Yesus Kurios” (Yesus adalah
Tuhan). Pengakuan ini menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, Dialah Raja di atas segala raja di
bumi. KepadaNya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Matius 28). Pengakuan ini merupakan
suatu pengakuan politis terhadap tokoh Yesus. Namun, perlu dikemukakan bahwa Yesus Kristus bukanlah
seorang politisi dalam arti formal, sebab Ia tidak memegang kekuasaan apa pun dalam struktur
pemerintahan Romawi dan Yahudi. Apa yang dilakukan Yesus adalah kritik terhadap proses-proses
kekuasaan yang menindas, menekan dan tidak memberikan apresiasi terhadap kemanusiaan serta
persoalan-persoalannya.
Yesus dalam pelayananNya 95 berhadapan dengan realitas masyarakat Yahudi yang termaginal,
tertindas, terbelenggu karena dibodohi oleh elit kekuasaan. Karenanya, sebagai seorang Yahudi yang baik,
Yesus melakukan tindakan-tindakan pembelaan dan pemulihan atas hak-hak mereka. Jadi, walaupun Yesus
bukan seorang politisi dalam arti formal, tetapi tindakan-tindakan yang dilakukanNya memiliki dampak sosial-
politik bagi masyarakat. Pada perspektif ini, politik tidak ditempatkan sebagai cara untuk berkuasa, tetapi
dijadikan sebagai sarana melayani masyarakat. Karenanya, visi dan idiologi politik Yesus diarahkan pada
pembebasan kemanusiaan.
Pembebasan kemanusiaan yang dilakukan oleh Yesus bersifat rohani dan sosial (kemasyarakatan). Ia
tidak hanya menebus dosa manusia, menegakkan keadilan, kebenaran dan pembebasan, tetapi juga
menghadirkan tanda-tanda syaloom Allah bagi dunia dan manusia (band. Lukas 4 : 18-19). Tindakan
menyembuhkan orang sakit, buta, kusta, bergaul dengan pemungut cukai, mengampuni perempuan
pelacur, melayani orang miskin dan orang-orang yang terabaikan, adalah bukti konkrit dari kehadiran tanda-
tanda syaloom Allah itu.
Jelasnya, situasi sosial politik dimana penindasan dan pemerkosaan hak-hak rakyat terjadi,
pemutarbalikan kebenaran, eksploitasi terhadap rakyat kecil dan proses-proses pemiskinan yang
berlangsung secara struktural membuat Yesus tidak mengambil sikap netral. Netralitas bukanlah pilihan
tepat, ketika keberpihakan kepada kelompok termaginal diperlukan. Yesus, karenanya, melakukan kritik
dalam bentuk perkataan dan perbuatan konkrit. Ia menjadi prototipe yang ideal dari sebuah perjuangan
tanpa pamrih kepada rakyat. Ia selalu tegar dan siap menghadapi segala macam resiko dari perjuangan
politikNya.

Yesus memiliki komitmen terhadap rakyat kecil dan mengantarNya untuk berhadapan dengan para
penguasa. Ia adalah seorang pemimpin rakyat yang memiliki sense of politics yang sangat baik. Apa yang
dipilih Yesus adalah suatu resiko yang dijalaniNya. KevokalanNya terhadap masalah-masalah sosial dan
agama diakhiri dengan penyaliban. PembelaanNya bagi orang tertindas dan marginal dibayar dengan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

kematian di Golgota. Salib telah menjadi momen dimana Yesus menyatukan ragaNya dengan perjuangan
yang dilakukanNya.
Pada perspektif ini, orang percaya mesti belajar dan meneladani perjuangan politk Yesus. Kekuasaan
yang kita peroleh jangan digunakan untuk pengabdi kembali kepada kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan
dipakai sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, menegakkan keadilan dan kebenaran yang
semakin menjauh dari harapan kita bersama. Kekuasaan digunakan untuk membebaskan manusia dari
segala bentuk penderitaan, tekanan, ketakutan, ketidak-berdayaan, kemiskinan, keterbelakangan, dan
lain-lain.
Tegasnya, kekuasaan difungsikan untuk melayani, memberdayakan, memulihkan hak-hak rakyat,
menghidupkan dan membebaskan, tanpa pamrih. Oleh karena itu, persepsi yang negatif bahwa Gereja
harus menjauhkan diri dari pentas politik, justeru akan semakin melemahkan keberpihakannya terhadap
masalah-masalah kemanusiaan. Dengan demikian, keterlibatan politik dalam arti yang luas harus menjadi
orientasi dan pergumulan setiap warga Gereja. Warga Gereja, baik secara personal, maupun komunal,
melalui pentas politik, menyatakan peransertanya sebagai warga negara (polis); sekaligus menyatakan
sense of calling and sense of belonging-nya terhadap masalah kemanusiaan yang tidak pernah tuntas.
Karenanya, Gereja memiliki tugas untuk memberikan penguatan iman dan memperlengkapi warganya
dengan norma-norma dan etika, sehingga warganya semakin peka, tanggap, kritis, selektif dalam
menentukan pilihan. Bahkan, segala sesuatu yang diperjuangankan demi kemanusiaan sejati dapat
dipertanggung jawabkan secara iman dan berhasil guna.

4. Nilai-nilai yang Perlu Diacuh Oleh Umat Kristen Dalam Melaksanakan Tanggung Jawabnya di Bidang Politik.
Beberapa nilai-nilai kristiani yang perlu mewarnai sikap dan tanggung jawab orang percaya dalam politik,
antara lain:
a. Kasih
- Mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri
- Mengakui bahwa semua manusia adalah orang bersaudara yang diciptakan Tuhan sesuai dengan
citraNya (Imago Dei).
b. Keadilan
- Mengusahakan agar setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan memberlakukan
keadilan.
- Berusaha untuk berlaku adil kepada semua orang.
- Mewujudkan keadilan dengan memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang.
c. Kebenaran
- Kebenaran konsensus, yakni hasil kesepakatan nasional bangsa Indosnesia
- Kebenaran Tuhan yang bersifat abadi dan universal.
d. Kerendahan hati
- Tidak menyombomgkan diri
- Tidak meremehkan orang lain
- Bersedia melayani sesama demi kesejahteraan bersama.
e. Ketulusan
- Bersedia menerima kenyataan, termasuk kekalahan
- Konsisten dalam perkataan dan perbuatan
f. Kejujuran
- Mengatakan yang benar untuk hal yang benar dan salah untuk hal yang salah
- Bersikap obyektif dan berani mengakui kekurangan
g. Kepeloporan 96
Kesiapan mengambil prakarsa untuk meningkatkan prestasi demi kepentingan bersama dan bersikap pro-
aktif.
h. Kebangsaan
Merasa senasib sepenanggungan dengan kelompok masyarakat yang lemah dan tertindas.
i. Kesamaan
- Semua orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama
- Semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
j. Kebebasan
- Kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat.
- Kebebasan beragama dan berkeyakinan
- Kebebasan untuk memilih pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan
k. Kemerdekaan
- Merdeka dari rasa takut
- Merdeka dari penindasan dan cengkeraman dari pihak lain
l. Kesetiaan
- Setia menjalankan tugas yang dipercayakan
- Setia kepada bangsa dan negara
m. Kesetiakawanan
- Bersikap empati terhadap kesuksesan dan kegagalan sesama
- Setia kepada kawan, tetangga dan masyarakat, terutama ketika mereka menderita.

5. Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Umat Kristen di Bidang Politik di Indonesia


Umat Kristen, baik secara individu, maupun secara kolektif merupakan bagian integral dari masyarakat
Indonesia. Karenanya, umat Kristen terpanggil pula untuk mengembang tanggung jawab yang sama
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

dengan warga negara lainnya serta memiliki hak dan kewajiban untuk turut menentukan kehidupan politik
di Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik, antara lain:
a. Mendorong terjadinya emansipasi politik masyarakat yang setara maknanya dengan pembebasan atau
pemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap esensi politik
sebagai usaha bersama untuk melakukan tindakan-tindakan pembebasan terhadap berbagai macam
penderitaan yang dialami oleh masyarakat.
b. Mendorong proses terwujudnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia. Masyarakat sipil adalah suatu
kenyataan hidup masyarakat yang menghargai hak-hak kemanusiaan. Karenanya, umat Kristen harus
mampu membangun keseimbangan dengan kekuasaan negara, agar kekuasaan yang ada digunakan
bagi kepentingan banyak orang.
c. Umat Kristen harus menjadi bagian dari kekuatan sosial bangsa Indonesia untuk menolak munculnya
gagasan-gagasan federalisme, pemekaran provinsi/kabupaten/kota, dengan semangat egoisme dan
primordialisme. Umat Kristen harus memberikan kontribusi pemikiran sebagai hasil refleksi teologinya
terhadap persoalan etnisitas yang makin marak. Hanya dengan berbuat seperti itu, umat Kristen
menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam membangun kehidupan masyarakat yang
menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang abadi, absulut dan universal.
d. Umat Kristen harus memberikan perhatian kepada kaum perempuan di bidang politik. Politik Yesus
memberikan kepada Gereja suatu keteladanan untuk membangun kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, ketika Yesus merombak tatanan tradisi bangsa Yahudi yang tidak menghargai perempuan.
Kritik Yesus terhadap tradisi Yahudi yang tidak berpihak pada kesetaraan dan menganggap rendah
perempuan merupakan gambaran dari kritik Yesus yang tidak hanya berorientasi pada nilai (value),
tetapi juga pada kekuasaan (power) yang ada pada laki-laki, yang bersembunyi di dalam tradisi Yahudi.
Pada konteks yang demikian, Yesus bermaksud merubah pandangan yang salah dan memberikan
perspektif baru terhadap peranan gender dalam pentas sosial politik masyarakat.
e. Tanggung jawab politik umat Kristen juga berorientasi pada tugas untuk menghadirkan tanda-tanda
syaloom Allah bagi manusia dan dunia sejagad. Tanda-tanda syaloom Allah harus dinyatakan di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang jauh dari kesejahteraan, jauh dari rasa keadilan, jauh dari
kebenaran, jauh dari kedamian dan lain-lain. Gereja, dengan menghadirkan tanda-tanda syaloom Allah,
menyatakan kemuliaan Allah bagi masyarakat luas. Walaupun sebagai Gereja, ada kesadaran bahwa
gagasan-gagasan tentang terwujudnya tanda-tanda syaloom Allah bersifat eskatologis. Artinya, secara
otomatis tidak akan pernah terwujud dalam dunia yang nyata saat ini, tetapi ia memiliki pengharapan
bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sesuatu yang benar.
f. Umat Kristen harus menolak sikap yang menjauhi kehidupan politik hanya karena alasan bahwa politik itu
kotor, penuh intrik, perseteruan, kepentingan kelompok dan sebagainya. Gereja harus belajar dari Yesus
bahwa sikap netral adalah sesuatu yang tidak selamanya baik. Bahkan, netralitas pun pada saat tertentu
adalah sesuatu yang buruk. Sikap untuk tidak berpihak adalah tindakan yang tidak bijaksana karena sikap
semacam itu sama saja dengan memberikan legitimasi atau justifikasi terhadap praktek-praktek yang jauh
dari syaloom Allah. Konteks masyarakat Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah, justeru
memberikan peluang bagi Gereja untuk menyatakan keberpihakannya. Keberpihakan Gereja yang
diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang miskin, terlantar, diperlakukan secara tidak adil dan
benar, dan sebagainya, adalah wujud Gereja yang memahami panggilannya (sense of calling) dan
merasakan penderitaan sesama (sense of belonging).
g. Gereja selaku institusi harus memberikan pelayanan kepada warganya agar dapat terlibat secara aktif
dalam bidang politik dan menyalurkan aspirasi-aspirasi politiknya secara bertanggung jawab. Misalnya,
dalam pemilihan Presiden dan 97Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota,
Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Desa dan anggota legislatif. Warga Gereja pada momen seperti ini tidak
hanya menyalurkan hak suaranya, tetapi juga ikut mengkritisi proses penyelenggaraannya, jika ternyata
terjadi penyelewengan-penyelewengan yang cukup signifikan bagi demokrasi. Selain itu, Gereja perlu
melaksanakan pelayanan pastoral, jika terbukti ada warga Gereja melakukan suatu kesalahan.
Pelayanan pastoral dimaksud, dipandang sebagai aksi penyadaran dan penguatan bagi proses politik
selanjutnya.
h. Memperjuangkan terwujudnya kestabilan kehidupan sosial politik sesuai tujuan nasional seperti dirumuskan
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian politik
2. Kemukakanlah tujuan perjuangan politik di Indonesia
3. Kemukakanlah visi Kristiani mengenai politik
4. Kemukakanlah nilai-nilai yang perlu diacu oleh umat Kristen dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang
politik
5. Rumuskanlah bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik di Indonesia

VI. KEPUSTAKAAN
1. Budiardjo, Miriam; Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
2. Duverger, Maurice; Sosiologi Politik (Terj.), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3. Gani, Ismail S; Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987


4. Kantaprawira, Rusadi; Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002
5. Maran, Raga Rafael; Pengantar Sosiologi Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 2001
6. Philipus Ng dan Aini Nurul; Sosiologi dan Politik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
7. Rahmat, I; Menggali Ulang Yesus Sejarah: Kristologi Masa Kini (Terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000
8. Magnis, Frans, S; Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001
9. Sirait, J; Politik, Makalah (Tidak diterbitkan), Surabaya, Desember 2005
10. Surbakti, Ramlan; Memahami Ilmu Politik, 1992.
11. Wattimury, L; Budaya Politik Yesus, Tesis, Program Pascasarjana UKIM, Ambon, 2004

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.2. Tanggung Jawab Mengembang-kan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yeremia 29 : 1-9
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Mengkaji dan mengembangkan tanggung jawab katekisan dalam proses pemberdayaan masyarakat
berkeadaban

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan pengertian masyarakat majemuk yang berke-adaban
2. Mengemukakan ciri-ciri masyarakat majemuk yang berkeada-ban
3. Mengidentifikasikan sifat-sifat masyarakat majemuk yang ber-keadaban
4. Merumuskan tanggung jawab orang Kristen dalam mengembangkan masyarakat majemuk yang
berkeadaban.

IV. URAIAN MATERI


1. Pengertian Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban
Masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah suatu masyarakat yang memiliki keberagaman latar
belakang kehidupan yang berbeda (multiple identities), baik dari aspek suku bangsa, ras, agama dan
keyakinan, maupun kulturalnya, dimana dalam hidup bersama, setiap orang atau kelompok masyarakat
saling menunjukkan akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Pengertian ini menunjuk pada 2 (dua) hal, yakni: Pertama, masyarakat (society) Indonesia mencirikan
sebuah masyarakat yang majemuk 98 (plural) dan bukan homogen. Pada realitasnya, masyarakat Indonesia
memiliki multi suku-sub suku. Misalnya suku Ambon dengan sub sukunya: Seram, Saparua, Kei, Tepa, Kisar,
Larat, Saumlaki, dan seterusnya; Suku Flores dengan sub-sukunya: Manggarai, Ngada,Sikka, Riung, Nage-
Keo, Ende dan Larantuka; dan berbagai suku dan sub-suku lainnya; multi ras yakni memiliki ciri-ciri fisik
bawaan yang berbeda (warna kulit: hitam, putih, sawo matang; rambut: keriting, ikal atau lurus; hidung:
mancung, pesek, dan lain-lain); multi agama dan keyakinan: Islam, Kristen, Hindu, Budha, aliran kebathinan,
dan multi budaya (semisal di Maluku: budaya pela-gandong, masohi, badati, maanu, pela (di Maluku
Tengah), hamaren, yelim, yanur-mangohoi dan teabel di Kepuluan Kei); duan-lolat (di Tanimbar), kalwedo
(di Selatan Daya), rosong (di Kisar), budaya sarumah, kai wai (di Buru), budaya sarumah (di Maluku Utara),
ur-sia dan ur-lima (di Aru). Kemajemukan (plural) tersebut bukan secara kebetulan ada di bumi Indonesia
dan khususnya di Maluku, tetapi merupakan anugerah Tuhan. Karenanya, realitas kemajemukan dimaksud
perlu disyukuri dan diterima secara tulus oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pada perspektif itu,
kenyataan kemajemukan tidak boleh saling dipertentangkan. Sebaliknya, dijadikan sebagai kekayaan
bersama seluruh masyarakat untuk membangun kesejahteraan hidup bersama ke depan.

Kedua, setiap anggota atau kelompok masyarakat diharapkan dapat berinteraksi, berinteraksi,
beradaptasi dan hidup atau bertingkah laku sesuai norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, maupun
di dalam dunia keagamaan. Kesesuaian perilaku atau pola hidup masyarakat dengan norma-norma
tersebut, diharapkan dapat tercipta suatu kondisi hidup masyarakat yang berkeadaban. Karenanya,
masyarakat yang tidak hanya menerima, menghargai dan menjunjung tinggi norma-norma itu sebagai
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

pengarah perilaku hidup mereka, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai pilihan hidup (choice of
existence). Pilihan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan yang membangun masyarakat yang
berkeadaban. Pilihan tersebut, sekaligus mematikan kecenderungan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang mengarah kepada kebiadaban atau perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.
Tegasnya, inti membangun masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah pro-norma-norma hidup
dan menjadikannya sebagai pilihan hidup (choice of existence) dan gaya hidup (life style). Hidup yang tidak
berkeadaban (biadab) adalah hidup yang menjauh dari pengaktualisasian norma-norma hidup. Hidup yang
menjauh dari norma-norma hidup akan menimbulkan berbagai persoalan sosial dan merusak citra
keagungan kehidupan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini dapat mengakibatkan kesengsaraan yang
tiada habisnya karena ia bukan pilihan hidup yang membahagiakan.

2. Ciri-ciri Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban


Beberapa ciri dari masyarakat majemuk yang berkeadaban, antara lain:
a. Adanya keterbukaan (transparancy) terhadap adanya realitas kemajemukan (plural) masyarakat. Sikap
keterbukaan ini ditunjukkan melalui kesediaan untuk saling menerima, menghargai dan menghormati
berbagai perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Perbedaan itu tidak hanya diterima karena ia
ada dalam suatu kenyataan hidup bersama-sama, tetapi juga harus diterima ketika yang ada itu, hendak
menunjukkan eksistensinya sebagai wujud keberadaannya yang menyata. Karenanya, masing-masing
orang atau kelompok masyarakat tidak boleh bersikap eksklusif dan menutup mata sebelah, ketika ada
orang lain yang memiliki latar belakang hidup yang berbeda dengannya. Hal seperti ini membutuhkan
ketulusan untuk saling menyapa dalam kejujuran dan tidak dibungkusi dengan kemunafikan. Pada suatu
komunitas yang memiliki multi perbedaan (plural) seperti ini, masing-masing pihak saling bergantung,
saling mengisi dan saling melengkapi untuk membangun hidup bersama.
b. Adanya cara berpikir yang progresif dan konstruktif. Cara berpikir untuk mengembangkan masyarakat
agar lebih maju melalui penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan IPTEK yang tidak
diperuntukkan bagi pengrusakan ekosistem dan manusia. Sebaliknya, pengembangan IPTEK yang
mengarah pada mensejahterahkan manusia, mengabdi pada kemanusiaan karena ia dikembangkan
dan dibingkai oleh nilai-nilai etika dan moral. Dengan begitu, IPTEK dimanfaatkan oleh manusia untuk
kepentingan dan masa depan manusia.
c. Adanya kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma dan hukum yang berlaku. Norma-
norma dan hukum menjadi sumber penataan kehidupan dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap
warga masyarakat hendaklah menerima norma-norma dan hukum yang berlaku sebagai pedoman yang
mengarahkan kehidupannya agar menjadi beradab. Pola hidup yang dapat dijadikan sebagai sumber
belajar bagi sesama.
d. Adanya pertanggung jawaban dari negara (state accountability)
e. Adanya pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia (human right)
f. Adanya inklusivitas, suatu sikap yang terbuka terhadap yang lain tanpa harus kehilangan jati diri.

3. Sifat-sifat Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban, antara lain:


a. Sukarela (voluntary). Terciptanya masyarakat majemuk yang berkeadaban bukan karena paksaan dari
luar dirinya, tetapi karena kesadaran diri dan tanggung jawab moral untuk menata kehidupan yang lebih
baik.
b. Swasembada (self-generating), yaitu masyarakat dapat hidup oleh karena kesanggupan dan
kemampuan yang dimilikinya. Kesanggupan dan kemampuan masyarakat merupakan spirit yang harus
ditumbuh-kembangkan dalam kehidupannya. Karenanya, diperlukan penyadaran terhadap
kesanggupan dimaksud, sehingga99 dengan rasionya, manusia dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
c. Swadaya (self-supporting), yakni menggali dan mendayagunakan potensi yang ada pada diri sendiri. Hal
ini dapat dilakukan melalui penyadaran terhadap individu dan kelompok-kelompok yang hidup secara
kolektif dalam masyarakat. Cara seperti ini dipahami sebagai salah satu ciri khas manusia sebagai makluk
kesosialan (zoon politikon). Warga masyarakat perlu saling mendukung, bekerjasama, sehingga akan
menghasilkan kekuatan untuk menata dan mengubah kehidupan yang jauh lebih baik.
d. Kemandirian, yaitu suatu sikap yang harus selalu disadari, digerakkan dan diperjuangkan karena
melaluinya manusia sungguh-sungguh dapat melakukan segala sesuatu, tanpa harus bersandar terus-
menerus kepada orang lain.

4. Tanggung Jawab Orang Kristen Dalam Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeabadan,
antara lain:
a. Menghidupkan, memelihara, melestarikan dan meneruskan nilai-nilai budaya lokal masyarakat setempat
secara regenerasi. Biasanya, oleh masyarakat, nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena berfaedah untuk
membangun kehidupan bersama. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal selalu dijadikan sebagai acuan norma
dalam berperilaku. Karenanya, masyarakat pemiliknya selalu diharapkan untuk berperilaku sesuai nilai-
nilai budaya lokalnya. Bila demikian, setiap orang Kristen dipanggil untuk ikut menghidupkan, melestarikan
dan menjadikan nilai-nilai budaya lokalnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
personal dan komunitasnya.

b. Menanamkan dan mewariskan nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang bersumber pada Alkitab dalam
rangka pembentukan kepribadian (personality) warga gereja. Karenanya, tugas Gereja adalah menggali
kembali nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang terdapat dalam Alkitab dan menjadikannya sebagai
sumber pewartaan bagi pendewasaan kehidupan umat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan
masyarakat yang berkeadaban tidak cukup hanya dengan mengandalkan nilai-nilai budaya lokal
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

masyarakat, tetapi juga didasari pada nilai-nilai keagamaan. Jadi, nilai budaya dan nilai keagamaan
(kekristenan) memiliki pertautan yang saling mengisi dan saling melengkapi bagi pengembangan
masyarakat yang berkeadaban. Keduanya (budaya dan agama) memiliki kandungan sumber nilai-nilai
kehidupan yang baik untuk memanusiakan manusia.
c. Mengembangkan dan memprakarsai dialog lintas agama dan budaya dalam upaya menemukan solusi
bersama untuk mengembangkan masyarakat yang berkeadaban. Dialog tersebut dibuat karena di
dalam setiap agama dan budaya pasti ditemukan sesuatu yang baik, spesifik dan berguna untuk
dikembangkan. Jelasnya, dialog dimaksudkan untuk memahami bagaimana agama-agama dan
pemilik budaya-budaya lain mengembangkan masyarakat dengan nilai-nilai agama serta budayanya
yang baik dan khas itu. Melalui dialog itu pula masing-masing pihak terbuka untuk saling belajar melalui
proses take and give untuk saling mengisi dan memperkaya yang satu dengan yang lain. Walaupun
demikian, sikap kritis dan selektif dibutuhkan, sehingga masing-masing pihak tidak serta- merta
mengadopsi nilai-nilai itu begitu saja. Alasannya, belum tentu semua nilai yang ditawarkan dalam proses
take and give itu berguna dan relevan. Karenanya, dibutuhkan pengkajian kembali terhadap nilai-nilai
yang diterima secara arif dan bijaksana disertai kejernihan dalam berpikir, sehingga tidak berapriori
negatif terhadap nilai-nilai dimaksud.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian masyarakat majemuk yang berkeada-ban
2. Kemukakanlah ciri-ciri masyarakat majemuk yang berke-adaban
3. Identifikasikanlah sifat-sifat masyarakat majemuk yang ber-keadaban
4. Rumuskanlah tanggung jawab orang Kristen dalam mengembangkan masyarakat majemuk yang
berkeadaban.

VI. KEPUSTAKAAN
1. Andayana, Leonard Y; The World of Maluku. Eastern Indonesia In The Early Modern Period, University of
Huwae Press, USA, 1993.
2. BPH Sinode GPM; Pokok-pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, 2006
3. Brownlee, M; Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
4. Cooley, Fr; Mimbar dan Tahta, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
5. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 2002
6. Haviland, William A; Antropologi Jilid I, Air Langga, Jakarta.
7. Hikam, Muhamad AS; Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, 1996
8. Kariyanto; Konsep Agama Sipil Menurut Jean Jacques Rousseau Dalam Perkembangan Konsep Masyarakat
Sipil, Tesis, Program Pascasarjana UKSW Salatiga, 2006
9. Suwondo, Kutut; Civil Society Di Aras Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005
10. Tanamal, P; Pengabdian dan Perjuangan, Ofsset PNRI, Ambon, 1985.
11. Ubra, Luis Th; Hamaren. Studi Antropologi Terhadap Sistem Kerja Tolong Menolong di Kalangan Masyarakat
Kei, Maluku Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana UKSW, Salatiga, 2005.
12. Wattloly, Aholiab; Maluku Baru:Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Kanisius, Yogyakarta, 2005

I. IDENTITAS 100
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4.Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.3. Kehidupan Bermasyarakat, Ber-bangsa dan Bernegara
4. Bahan Bacaan Alkitab : Filipi 2 : 12 - 18
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Mengkaji dan mengembangkan tanggung jawab katikisan dalam proses pemberdayaan masyarakat
berkeadaban

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menguraikan cara-cara mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban
2. Mengemukakan faktor-faktor yang menghambat pengembangan masyarakat majemuk yang
berkeadaban
3. Merumuskan fungsi-fungsi lembaga kemasyarakatan dalam mengembangkan masyarakat majemuk yang
berkeadaban

IV. URAIAN MATERI


1. Cara-cara yang Dapat Dilakukan Untuk Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban, antara
lain:
a. Proses internalisasi (internalized)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Internalisasi adalah proses menjadikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, khususnya
adat-istiadat (customs) sebagai bagian integral bagi kehidupan seseorang atau sekelompok warga
masyarakat. Melalui proses dimaksud, norma-norma yang berlaku dapat mendarah daging dan menjiwai
lakon hidup mereka. Hal ini akan membuat mereka (terutama generasi tua) cenderung mempertahankan
atau sulit merubah norma-norma yang sudah meresap di dalam kepribadiannya. Karenanya, masyarakat
tidak mudah untuk menerima norma-norma baru yang ditawarkan kepadanya. Bahkan, norma-norma
baru yang ditawarkan sering ditolak karena tidak sesuai dengan norma-norma yang telah diyakini
kebenarannya. Oleh sebab itu, seseorang atau sekelompok warga masyarakat, hendaknya melalui proses
internalisasi, dapat mempelajari dan mengambil norma-norma yang baik, yang berfaedah untuk
kehidupan pribadi dan masyarakat luas sebagai upaya pengembangan masyarakat berkeadaban.
b. Eksternalisasi (externalized)
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus kedalam dunia, baik
secara fisis, maupun mentalnya. Manusia secara empiris, tidak dapat dibayangkan terpisah dari dunia
yang ditempatinya. Manusia juga tidak dapat tinggal diam di dalam kediriannya. Sebaliknya, ia selalu
bergerak ke luar untuk mengekspresikan dan merealisasikan kehidupannya bagi proses pembentukan
kehidupannya. Penyebabnya adalah keadaan organisme manusia ketika lahir belum lengkap (jika
dibandingkan dengan binatang) dan berada dalam proses “menjadi manusia”. Oleh sebab itu, manusia
berusaha untuk membentuk dunianya sendiri (kebudayaan) dengan aktifitas-aktifitasnya. Manusia,
dengan akalnya menciptakan berbagai jenis peralatan dan digunakan untuk mengubah lingkungan
fisisnya dan mengubah alam menurut keinginannya. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat manusia yang
disebut sebagai homo faber dapat membuktikan dirinya sebagai potensi kultural yang mampu membuat
alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidupnya. Kemampuan menciptakan berbagai jenis peralatan
dimungkinkan oleh adanya daya pengetahuan yang khas manusiawi. Selain itu, manusia juga
menciptakan bagi dirinya, bahasa dan digunakan untuk mengembangkan diri dan daya berpikirnya, baik
secara sederhana, maupun secara abstrak dan kompleks melalui simbol-simbol yang meresapi seluruh
kehidupannya. Manusia menciptakan bahasa, supaya melaluinya manusia merealisasikan eksistensinya
yang bermakna bagi dunia. Manusia juga menciptakan bagi dirinya, nilai-nilai (values) supaya nilai-nilai
itu menuntun, mengarahkan dan mengendalikan perilakunya menjadi lebih beradab. Kesemuanya ini
menunjukkan bahwa secara eksternal, manusia bertanggung jawab untuk membangun diri dan dunianya
menjadi lebih baik, beradab dengan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya.
c. Proses sosialisasi (socialization)
Sosialisasi adalah proses dimana seorang anggota masyarakat yang baru (semisal, seorang bayi)
mulai mempelajari norma-norma dan kebudayaan di lingkungan masyarakatnya. Sosialisasi juga
dimaksudkan sebagai proses mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku yang sesuai dengan
perilaku kelompok masyarakatnya. Secara sosiologis, proses ini dimulai sejak seseorang dilahirkan.
Awalnya, seseorang mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara
mengadakan relasi dengan orang tua, saudara-saudara di rumah, kemudian dengan masyarakat yang
lebih luas. Melaluinya, seorang anak akan memperoleh petunjuk-petunjuk mengenai perbuatan mana
yang baik dan perbuatan mana yang tidak baik. Perbuatan mana yang perlu dilakukan dan perbuatan
mana yang tidak perlu dilakukan. Pada perspektif yang demikian, secara bertahap, seorang anak akan
mendapatkan gambaran tentang dirinya sendiri dalam perjumpaan perilakunya dengan perilaku orang
lain. Perbuatannya yang baik akan disukai orang dan perbuatan yang tidak baik akan ditegur. Walaupun
dalam masyarakat terdapat juga perilaku yang menyimpang (deviant behavior), tetapi yang membatasi
perilaku seorang anak adalah kepribadiannya.
d. Proses imitasi (imitation)
Imitasi adalah proses meniru
101 tingkah laku yang baik dari orang lain dan dijadikan sebagai bagian dari
tingkah lakunya. Biasanya, proses ini berlangsung dalam relasi seseorang dengan orang lain yang
dianggapnya sebagai Tokoh, Idola, dimana melaluinya perilaku dari Tokoh, Idola itu ditransformasikan
menjadi perilakunya.
e. Proses conformity
Conformity adalah proses penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan cara mengindahkan
kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Biasanya, conformity menghasilkan ketaatan atau kepatuhan.
Dengan demikian, bila ada perilaku yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai (values)
masyarakat akan mengakibatkan celaan-celaan. Misalnya, cara berpakaian yang kurang sopan dengan
memperlihatkan organ-organ tubuh tertentu, mengucapkan kata-kata yang tidak etis, dan lain-lain.

f. Menjadikan perbuatan yang baik sebagai suatu kebiasaan (folkways)


Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan
bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Contoh, kebiasaan memberi hormat kepada
orang yang lebih tua. Apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan, dianggap sebagai suatu
penyimpangan (deviation) terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat. Oleh sebab itu, aspek yang
penting dalam proses pemberadaban (civilizing) adalah mensosialisasikan kebiasaan-kebiasaan yang
baik kepada warga masyarakat. Nobert Elias, dalam kaitan ini mengemukakan beberapa contoh
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

kebiasaan yang salah dalam masyarakat yang perlu ditinggalkan. Baginya, kebiasaan-kebiasaan
dimaksud merupakan pelanggaran berat dan tidak mencerminkan masyarakat yang berkeadaban,
seperti: mengorek-ngorek telinga atau mata dengan jari, mengupil sambil makan, menggerogoti tulang
dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam piring, mengambil makanan dengan tangan dan
menyuapnya dengan tangan, mengaduk kuah dengan jari, kentut dikeluarkan dengan bunyi, dan
sebagainya.

2. Faktor-faktor yang Dapat Menghambat Pengembangan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban, yakni:
a. Kebijakan politik
Kebijakan-kebijakan politik dalam suatu bangsa atau negara biasanya dituangkan melalui
perundang-undangan atau hukum. Oleh sebab itu, sangat penting untuk melihat sejauhmana
perundang-undangan itu memberikan ruang psikologis bagi masyarakat untuk mengambil bagian dalam
membangun peradaban (civilization) bangsa. Sejauhmana pula suatu produk perundang-undangan
memberikan kebebasan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan budaya
bangsa. Seperti diketahui bahwa sering kali produk perundang-undangan atau hukum lahir dari sebuah
penyelesaian konflik politik, sehingga tidak memberikan ruang psikologi untuk membangun peradaban
dan budaya bangsa. Dengan kata lain, produk perundang-undangan dan hukum sering memberikan
dampak negatif bagi warganya sendiri.
b. Eksklusifisme dan fundamentalisme agama
Eksklusifisme agama merupakan sikap yang tidak menerima dan membenarkan pandangan-
pandangan agama lain. Eksklusifisme mengklaim kebenaran yang ada padanya, karena ia berasal dari
wahyu Tuhan. Sementara itu, pandangan-pandangan kebenaran di luar agamanya adalah buatan
manusia belaka. Karenanya, ia harus disingkirkan dan bila perlu dimatikan. Akibatnya, sikap seperti ini
dapat memunculkan fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama adalah suatu sikap hidup
beragama yang militan, yang juga tidak menghendaki idiologi-idiologi lain hidup di sampingnya karena
nilai-nilai kebenaran hanya ada pada dirinya. Fundamentalisme agama muncul akibat cara menafsirkan
teks-teks kitab suci secara literer (harafiah), tanpa hermeneutic, sehingga segala sesuatu yang tertulis
dalam kitab suci itu dianggap turun dari Tuhan. Tugas manusia adalah menerima begitu saja dan
melaksanakannya (taken for granted). Jelasnya, ekskusifisme dan fundamentalisme agama tidak
menerima dan menghargai pandangan-pandangan atau idiologi-idiologi lain, tidak menghargai sesama
manusia karena berbeda agama atau pandangan. Sikap demikian akan menghambat terciptanya
sebuah masyarakat majemuk yang berkeadaban. Dikatakan demikian karena salah satu syarat
keberadaan masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah menghargai rasionalitas, kebebasan dan
kesetaraan manusia, apa pun latar belakang agama atau idiologinya.
c. Identitas primordialisme
Konsepsi identitas primordial hendak menyatakan bahwa akulah yang lebih berharga, yang baik,
hebat dan paling benar. Manusia adalah aku dan di luar aku adalah orang asing. Identitas primordial
mengejawantah di dalam suku-suku, etnis dan kelompok-kelompok keagamaan. Siapa yang berasal dan
masuk dalam suku, etnis dan kelompok agama tertentu, mereka adalah keluarga dan saudara. Di luar itu
adalah musuh, sehingga tidak perlu dibantu, diperhatikan, malahan bila perlu dihancurkan. Konsep
seperti ini tidak relevan dengan konteks hidup bersama-sama (living together) dalam masyarakat
majemuk yang menuntut adanya solidaritas, demokratisasi, persamaan, persaudaraan, kebebasan,
keadilan dan peluang yang sama untuk memperjuangkan kehidupan yang baik. Dengan demikian,
identitas primordialisme telah merusak tatanan keadaban humanis dan itu berati pula akan menghambat
pengembangan masyarakat majemuk yang berkeadaban.
d. Kemiskinan 102
Apabila suatu masyarakat memiliki ekonomi yang cukup baik, ia dapat memperkembangkan atau
memberikan penguatan bagi terlaksananya masyarakat majemuk yang berkeadaban. Faktor kemiskinan
telah membuat masyarakat tidak berdaya, tidak dapat berdikari dan menjadikannya bergantung pada
orang lain. Sebelum masalah kemiskinan ini diatasi dengan baik, sangat sulit diharapkan terwujudnya
masyarakat yang berkeadaban.
e. Irasionalisme
Irasionalisme merupakan faham yang melihat kosmos sebagai tempat yang magis, ilahi dan karena
itu manusia harus tinduk dan taat kepadanya, kalau manusia ingin hidup baik dan bahagia. Manusia
dipercayai sebagai bagian dari kosmos yang sifatnya lemah dan tidak berdaya. Oleh karena itu, tugas
manusia adalah patuh dan tunduk kepada kosmos dan dengan berbagai cara manusia menjaga
hubungan baik dengannya karena tanpa kosmos, manusia tidak akan bahagia. Irasionalisme
memandang manusia sebagai “yang dikuasai” oleh emosi-emosi dan nafsu, ketimbang rasio tanpa
bersikap kritis terhadap kosmosnya. Dengan begitu, irasionalisme dapat menghambat terciptnya
masyarakat majemuk yang berkeadaban. Alasannya, salah satu faktor yang turut memperkembangkan
terwujudnya masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah wacana yang rasional, sikap bernalar kritis,
dimana dinamika berpikir dikembangkan dan didayakan.

3. Fungsi-fungsi Lembaga kemasyarakatan (social institusion), Khususnya Lembaga Keluarga Dalam


Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban, antara lain:
a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, lebih khusus anggota keluarga untuk bagaimana
mereka bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat.
Misalnya, seorang ibu mendidik anak-anaknya agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah yang
berlaku.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

b. Melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap tingkah laku anggota keluarga. Misalnya,
menegur anak-anaknya, ketika ia melihat perbuatan mereka tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku. Hal ini sering dilakukan oleh orang tua, walaupun ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah
melakukan suatu social control. Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan cara-cara tanpa
kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coecive).

V. EVALUASI
1. Uraikanlah cara-cara mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban
2. Kemukakanlah faktor-faktor yang menghambat pengembangan masyarakat majemuk yang
3. berkeadaban
4. Rumuskanlah fungsi-fungsi lembaga kemasyarakatan dalam mengembangkan masyarakat majemuk
yang berkeadaban

VI. KEPUSTAKAAN
1. Berger, Peter, L; Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991
2. Cooley, Fr; Mimbar dan Tahta, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
3. Kariyanto; Konsep Agama Sipil Menurut Jean Jacques Rousseau Dalam Perkembangan Konsep Masyarakat
Sipil, Tesis, Program Pascasarjana UKSW Salatiga, 2006
4. Popper, Karl R; Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
5. Ritzer George- Goodman D.J; Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2004
6. Soekanto, Soerjono; Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
7. Titaley, John A; Negara, Agama dan Hak Azasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusifisme Agama,Wisma Kinasih
Bogor, 2004
8. Watloly, Aholiab; Tanggung Jawab Pengetahuan. Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural,
Kanisius, Yogyakarta, 2001.
9. Wibowo, Eddi dan Hassel Nogi S. Tangkilisan; Kebijakan Publik Pro Civil Society, Yogyakarta, YPAPI, 2004

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.4. Pemberdayaan Masyarakat
4. Bahan Bacaan Alkitab : Pkh. 11:1-6; Rom. 12:1-2.
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. Semester : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Mengkaji dan mengembangkan103tanggung jawab katikisan dalam proses pemberdayaan masyarakat
berkeadaban

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan pengertian pemberdayaan masyarakat
2. Menguraikan prinsip-prinsip dasar bagi pemberdayaan masyarakat
3. Mengemukakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat

III. URAIAN MATERI


1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Istilah pemberdayaan berasal dari kata daya, yang berarti kemampuan melakukan sesuatu atau
membuat berdaya. Sedangkan berdaya, artinya: (1) berkekuatan, berkemampuan, bertenaga dan (2)
mempunyai akal (cara) untuk mengatasi sesuatu. Jadi, pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana
membuat masyarakat berdaya atau berkemampuan untuk membangun kehidupannya dengan melakukan
atau mengatasi sesuatu hal. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pemberdayaan masyarakat membutuhkan
kekuatan, kemampuan, tenaga dan akal (cara), dan dikelola sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai
tujuan tertentu. Tanpa memiliki kekuatan, kemampuan, tenaga dan akal (cara), pemberdayaan masyarakat
menjadi sesuatu yang hampa, tanpa makna.

2. Prinsip-prinsip Dasar Bagi Pemberdayaan Masyarakat, meliputi:


a. Pemberdayaan masyarakat merupakan sesuatu yang diupayakan.
Pemberdayaan masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya atau secara otomatis seperti orang
membalik tangan, sekalipun masyarakat memiliki modal kekuatan, kemampuan, tenaga dan cara untuk
memberdayakan masyarakatnya. Sesungguhnya pemberdayaan masyarakat membutuhkan komitmen
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

dan usaha (band. Filipi 2: 12-13 dan Roma 6: 13). Ia harus diawali dengan suatu komitmen yang sungguh-
sungguh dan dilanjutkan dengan usaha atau kerja keras. Tanpa komitmen dan usaha, pemberdayaan
hanya menjadi sesuatu yang bersifat verbalistik dan kehilangan makna yang fundamental. Ia juga dapat
menjadi suatu slogan yang kehilangan spiritnya. Ketika itu, ia hanya seperti sebuah lagu yang hanya
sebatas kata-kata untuk dinyanyikan atau didengungkan, sehingga dapat meninah-bobokan
masyarakat.
b. Pemberdayaan masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat praktis
Pemberdayaan masyarakat menjadi faktual, ketika masyarakat mempraktikannya dalam bentuk
usaha-usaha yang bersifat praktis dan bermanfaat. Usaha-usaha pemberdayaan masyarakat dimaksud,
juga harus menjadi suatu kebiasaan (habitus) dan gaya hidup (life style), yang dilakukan secara terus-
menerus dan berkelanjutan. Karenanya, masyarakat perlu mendisiplinkan diri untuk melakukannya,
sehingga ia menjadi kebiasaan. Dengan begitu, melaluinya karekater usaha masyarakat juga dapat
terbentuk.
c. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang membutuhkan waktu
Pemberdayaan masyarakat tidak berlangsung dalam tempo waktu yang singkat. Sebaliknya, ia
membutuhkan rentangan waktu yang cukup lama. Ia merupakan suatu proses yang panjang dan tidak
akan berhenti karena waktu (band. Ulangan 7 : 22). Pada rentangan waktu itu, masyarakat dapat
mengalami proses trial and error dari seluruh usahanya. Melaluinya, masyarakat akan menemukan
kegagalan dan keberhasilan. Masyarakat juga berupaya untuk mensiasati berbagai kegagalan yang
ditemukan dan menjadikan kegagalan itu sebagai peluang untuk meraih sukses yang lebih besar.
Karenanya, proses pemberdayaan masyarakat tidak pernah mencapai titik final, sebab di dalamnya ada
kehidupan yang saling menghidupkan secara berkesinambungan.
d. Pemberdayaan masyarakat lebih banyak ditunjukkan melalui perilaku dari pada kepercayaan.
Pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya dengan mengandalkan kepercayaan. Sebab tidak
mungkin hanya dengan memiliki kepercayaan, pemberdayaan itu dapat terjadi dengan sendirinya.
Karenanya, pemberdayaan membutuhkan pula perilaku atau perbuatan, sehingga pemberdayaan
masyarakat terealisir dengan baik (band. Yakobus 2 : 18).
e. Pemberdayaan masyarakat membutuhkan relasi dengan orang lain.
Relasi dengan orang lain merupakan perekat sosial yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk
membangun hubungan kerjasama. Pada pemberdayaan masyarakat, hal ini menjadi semakin penting
untuk diperhatikan. Manusia adalah makluk individu dan sekaligus makluk sosial. Karenanya, manusia
saling membutuhkan bantuan orang lain dalam mengaktualisasikan pemberdayaan dirinya, maupun
komunalnya (band. I Yoh. 1 : 7).
3. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, antara lain:
a. Potensi diri individu dan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sangat membutuhkan potensi diri individu dan masyarakat. Potensi itu
dapat berupa tenaga, pikiran, keterampilan, semangat kerja atau usaha yang tinggi, pengalaman, dan
lain-lain. Potensi-potensi diri tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dan hendaknya dijadikan
sebagai sumber kekuatan utama dalam proses pemberdayaan. Melalui proses pemberdayaan
masyarakat, potensi-potensi diri individu dan masyarakat dimaksud, dapat berkembang dengan baik dan
semakin berfaedah. Tanpa mendayagunakan potensi-potensi diri sebagai karunia Tuhan, pemberdayaan
akan mandek, pincang dan gagal.
b. Motivasi, keinginan dan minat
Motivasi, keinginan dan minat turut mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihannya
terhadap bidang usaha apa yang akan ingin dikembangkan. Selain itu, berpengaruh pula terhadap
keinginan seseorang untuk terlibat
104 atau tidak terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Karena
itu, ketiga aspek ini perlu dipertimbangkan secara baik.
c. Kemampuan (abilities)
Kemampuan merupakan talenta alamiah yang dimiliki oleh seseorang ketika dilahirkan. Setiap
orang memiliki kemampuan yang berbeda, tetapi kemampuan yang berbeda itu mesti digunakan untuk
membangun hidup bersama (band. Keluaran 31 : 3). Pemberdayaan masyarakat membutuhkan
kemampuan yang bervariatif, tetapi juga selektif terkait dengan aspek-aspek yang dikembangkan melalui
pemberdayaan. Artinya, tidak semua kemampuan dalam waktu yang bersamaan dan untuk satu jenis
usaha diperlukan sekaligus. Karenanya, seleksi terhadap aneka kemampuan dibutuhkan. Hal ini
dimaksudkan agar proses pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung secara efektif, efisien dan
sukses.

d. Kepribadian (personality)
Setiap individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat memiliki kepribadian yang
berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain. Perbedaan kepribadian tersebut merupakan hal
yang unik dan dibutuhkan untuk memberikan keseimbangan terhadap setiap pekerjaan. Namun
demikian, kepribadian juga dapat berpotensi sebagai sumber konflik dan turut mempengaruhi tujuan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

pemberdayaan masyarakat. Karenanya, perlu ada pengenalan terhadap setiap kepribadian manusia
yang terlibat di dalamnya.
e. Pengalaman (experience)
Pengalaman seseorang juga perlu dipertimbangkan dalam pemberdayaan masyarakat.
Pengalaman dimaksud dapat berupa pengalaman pendidikan, pengalaman pekerjaan, dan lain-lain.
Ketika hal ini kurang dipedulikan, akan mengganggu proses pemberdayaan masyarakat.

IV. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian pemberdayaan masyarakat
2. Uraikankanlah prinsip-prinsip dasar bagi pemberdayaan masyarakat
3. Kemukakanlah faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat

V. KEPUSTAKAAN
1. Andaya, Leonard Y; The World of Maluku. Eastern Indonesia In The Early Modern Period, University of Hawai
Press, USA, 1993
2. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 2002
3. Koentjaraningrat; Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta, 2003
4. Suwae, Habel M; Suara Hati Yang Memberdayakan, Pustaka Refleksi, Makassar, 2006
5. Warren, Rick; Pertumbuhan Gereja Masa Kini: Gereja yang Mempunyai Visi-Tujuan, Gandum Mas, Bandung,
2003
6. Wuwungan, O.E.Ch; Bina Warga. Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004

105
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.5. Muatan Lokal Mengenai Usaha-usaha Pemberdayaan Masyarakat Setempat
4. Bahan Bacaan Alkitab : Lukas 13 : 6 - 9.
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Mengkaji dan mengembangkan tanggung jawab katikisan dalam proses pemberdayaan masyarakat
berkeadaban

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk usaha pemberdayaan masyarakat setempat
2. Melakukan penilaian kritis terhadap bentuk-bentuk usaha pemberdayaan yang sudah ada/konvensional

IV. URAIAN MATERI


Di Maluku, kita mengenal beberapa bentuk usaha pemberdayaan masyarakat, antara lain:
1. Bidang ekonomi:
a. Papalele
Papalele merupakan salah satu bentuk usaha pengembangan ekonomi keluarga untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup. Usaha ini diselenggarakan dengan menggunakan prinsip ekonomi. Intinya adalah
mendapatkan keuntungan dengan cara menjual hasil kebun berupa umbi-umbian, sayur-mayur, buah-
buahan, dan lain-lain. Selain itu, dapat pula berupa hasil laut seperti ikan. Ada pula warga masyarakat
yang mengusahakan bentuk usaha ini dengan cara membeli dari orang lain dan kemudian menjual
kembali kepada para pembeli di pasar dengan harga yang relatif dapat dijangkau. Aktifitas tersebut
gemar ditekuni oleh sebagian masyarakat dan dijadikan sebagai mata pencaharian (baik primer,
maupun sekunder) karena selain mendapatkan keuntungan, juga memiliki akses ke depan. Umumnya,
para papale menempati pasar yang disediakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Namun,
ada pula yang berjualan di depan emper pertokoan dan ada pula yang berjalan keliling dengan
membawa barang jualannya dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, dan sebagainya.
b. Kios
Kios merupakan tempat dimana para penjual menyediakan berbagai kebutuhan pokok yang bersifat
konsumtif bagi masyarakat sekitarnya dengan harga yang tidak jauh berbeda dari pusat-pusat
perbelanjaan di kota. Kios dibuka dengan maksud supaya memperpendek jangkauan mobilitas
masyarakat. Selain itu, memberikan kemudahan bagi pembeli, baik dari sisi transportasi, maupun
kemudahan memperoleh barang secara cepat.
c. Rental komputer
Rental komputer merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengembangkan diri dan sesamanya
melalui keterampilan (skill) yang dimilikinya. Selain itu, dari sisi ekonomi, usaha ini dapat memberikan
penghasilan yang lumayan bagi peningkatan kesejahteraan hidup.
d. Tempat-tempat kursus dan pelatihan
Pada tempat-tempat ini disediakan berbagai fasilitas, baik oleh pemerintah, maupun pemilik tempat
kursus dan pelatihan yang menjurus pada penyiapan sumber daya manusia dengan memiliki jenis
keterampilan tertentu. Diharapkan, para peserta, setelah selesai mengikuti kursus dan pelatihan, dapat
mandiri dan membuka lapangan 106 kerja baru bagi anggota masyarakat lainnya.
2. Bidang sosial budaya:
a. Ditemukan adanya sistem kerja tolong menolong antarwarga masyarakat, seperti: masohi, di Maluku
Tengah (di Porto ada sistem kontrad); hamaren, di Kepulauan Kei; narera, di Tepa, dan lain-lain. Sistem
kerja dimaksud, dilakukan secara sukarela, tanpa pamrih dan dilaksanakan secara timbal balik; Sistem
kerja ini disemangati dan dijiwai oleh nilai-nilai: rasa persaudaraan, kekeluargaan, senasib-seperjuangan,
solidaritas, perimbangan kekuasaan, cinta kasih dan rela berkorban. Mereka saling tolong menolong
karena mereka adalah orang basudara (baik secara geanalogi, maupun sebagai salam-sarani), satu
gandong, satu pela, satu teabel, satu mata rumah, ain ni ain (satu keluarga), dan seterusnya.
b. Melalui sistem kerja tolong menolong tersebut, ditemukan pula adanya upaya untuk meringankan beban
seseorang atau keluarga dengan cara menyumbangkan sesuatu berupa uang, maupun material lainnya.
Di Maluku Tengah disebut: badati; di Maluku Tenggara disebut: yelim; di Kisar disebut: rosong.
Menyumbangkan sesuatu kepada seseorang atau suatu keluarga, tidak dipandang sebagai beban atau
kuk, tetapi dijalani sebagai kewajiban.
c. Ditemukan pula adanya sistem kerja kontrak dalam suatu kelompok yang terdiri dari beberapa orang.
Misalnya, dibentuk satu kelompok yang beranggotakan 10 (sepuluh) orang untuk membangun rumah.
Bila satu rumah membutuhkan 50 (lima puluh) sak semen, setiap anggota diwajibkan menyumbang 5
(lima) sak semen dan dilakukan secara bergilir sampai setiap anggota dalam kelompok itu mendapat
kebagian membangun rumah. Contoh lain adalah kontrak pembuatan kebun. Setiap anggota dalam
kelompok mengerjakan kebun anggota yang lain dan dilakukan secara bergilir sampai semua anggota
mendapat kebagian pembuatan kebun.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

V. EVALUASI
1. Identifikasikanlah bentuk-bentuk usaha pemberdayaan masyarakat di daerah saudara
2. Diskusikanlah kelebihan dan kekurangan bentuk usaha pemberdayaan masyarakat yang telah ada

VI. KEPUSTAKAAN
1. Andaya, Leonard Y; The World of Maluku. Eastern Indonesia In The Early Modern Period, University of Hawai
Press, USA, 1993.
2. Cooley, Fr; Mimbar dan Tahta; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
3. Tanamal, P; Pengabdian dan Perjuangan, Offset PNRI, 1985.
4. Ubra, Luis Th; Hamaren. Studi Antropologi Terhadap Sistem Kerja Tolong Menolong di Kalangan Masyarakat
Kei, Maluku Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana UKSW, Salatiga, 2005.
5. Watloly, Aholiab; Maluku Baru:Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Kanisius, Yogyakarta, 2005.

107
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 5. Reproduksi Sehat
3. Sub Pokok Bahasan : 5.1. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Reproduksi Sehat pandangan iman Kristen
tentang Reproduksi Sehat
5.1.Pandangan iman Kristen tentang Reproduksi Sehat
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej.1:28; 2:24 (untuk SPB 5.1) dan Rom.13:12-14; Ibr.13:4 (untuk SPB 5.2)
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x tatap-muka (100 menit), SPB 5.1 dan SPB 5.2 disajikan bersama
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENGAJARAN:


Memahami dan merefleksikan pandangan iman Kristen tentang Reproduksi Sehat.

III. TUJUAN KHUSUS PENGAJARAN:


1. Menjelaskan pengertian kesehatan reproduksi pada manusia.
2. Menjelaskan bentuk-bentuk kesehatan reproduksi pada manusia
3. Mendeskripsikan faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam kesehatan reproduksi
4. Mendeskripsikan ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi
2. Menjelaskan pandangan iman Kristen tentang kesehatan reproduksi

IV. URAIAN MATERI :


1. Pengertian Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, maupun sosial yang berkaitan
dengan sistem reproduksi pada manusia. Kesehatan reproduksi berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan
perilaku seseorang tentang alat reproduksi dan fungsinya serta gangguan yang mungkin timbul. Informasi
mengenai kesehatan reproduksi pada manusia perlu diberikan pada anak remaja yang sudah memasuki
masa pubertas agar kepada mereka dapat diberikan pernahaman yang benar tentang perkembangan
biologis dan seksual yang mengarah kepada perilaku sehat dan benar dalam bereproduksi sesuai dengan
pandangan iman Kristen. Di samping itu, informasi ini sangat penting agar sejak dini anak remaja dapat
mencegah dan menanggulangi masalah seksual seperti hamil di usia muda (sebelum atau di luar nikah),
terkena IMS (infeksi menular seksual), dan akibat-akibat seksual lain yang timbul karena kekurang
pemahaman tentang kesehatan reproduksi.
Untuk lebih memahami tentang kesehatan reproduksi, maka berikut ini ditambahkan penjelasan
tentang: (a) masa pubertas, (b) alat reproduksi pada laki-laki, dan (c) alat reproduksi pada wanita.

1.1. Masa Pubertas


Masa pubertas adalah suatu tahap dalam perkembangan manusia di mana terjadi kematangan
organ-organ seksual dan tercapai kemampuan reproduksi. Usia masa pubertas adalah antara 11 - 15
tahun pada anak perempuan dan 12 - 16 tahun pada anak laki-laki. Pada masa inilah seorang anak
perempuan mengalami haid pertama kali (manarche) dan anak laki-laki mengalami mimpi basah (wet
dream) untuk pertama kali. Ada orang yang cepat mengalami masa pubertas dan ada yang lambat.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti,
- Keturunan
- Gizi
- Kesehatan umum 108
- Lingkungan
- Budaya.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa puber bisa memberikan akibat-akibat pada : keadaan
fisik, dimana pertumbuhan lebih cepat; dan pada sikap dan prilaku, dimana terjadi perubahan sosial
pada diri anak. Perubahan fisik pada laki-laki, misalnya:
- Rambut tumbuh di tempat-tempat tertentu seperti disekitar ketiak, penis, wajah dan dada
- Kulit menjadi lebih kasar, berminyak dan pori-pori meluas
- Kelenjar kelenjar lemak dalam kulit semakin besar dan katif sehingga dapat menimbulkan jerawat,
kelenjar keringat di ketiak mulai berfungsi sehingga keringat bertambah banyak
- Otot bertambah besar dan kuat, sehingga memberl bentuk bagi lengan, tungkai kaki dan bahu
- Suara membesar
- Benjolan dada kecil di sekitar kelenjar susu pria, timbul antara usia 12 - 14 tahun.
Perubahan fisik pada perempuan, misainya
- Pinggul membesar dan bulat. sebagai akibat membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya
lemak bawah kulit
- Payudara membesar karena kelenjar-kelenjamya mulai berkembang
- Rambut tumbuh di sekitar vagina dan ketiak
- Kulit menjadi halus
- Kelenjar lemak dan keringat menjadi lebih aktif
- Sumbatan kelenjar lemak menyebabkan jerawat dan keringat menjadi lebih banyak; suara menjadi
lebih penuh dan semakin merdu.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Akibat-akibat perubahan masa puber pada sikap dan perilaku, antara lain:
- Ingin menyendiri
- Bosan
- Inkoordinasi, yaitu pertumbuhan pesat dan tidak seimbang mempengaruhi pola
koordinasi/pengaturan gerakan
- Antagonisme sosial, yaitu seringkali tidak mau bekerjasama, sering membantah dan menentang
- Emosi yang meningkat, yaitu kemurungan, merajuk, ledakan amarah; hilangnya kepercayaan diri,
yaitu takut akan kegagalan karena daya tahan tubuh menurun
- Konformitas, yaitu ingin selalu tampil sama dengan kelompoknya (konformitas).

1.2. Alai reproduksi pada laki-laki


Alat reproduksi pada laki-laki, terdiri dari: (a) Penis, berbentuk bulat memanjang dan memiliki ujung
disebut glans yang banyak dipenuhi serabut syaraf yang peka terhadap rangsangan; (b) Buah zakar /
testis, jumlahnya sepasang, bentuknya bulat lonjong dan terletak menggantung pada pangkal penis. Di
dalam testis dihasilkan sel kelamin laki-laki/jantan (sperma). Buah zakar dibungkus oleh lapisan tipis yang
disebut skrotum ; (c) Saluran kencing/ uretha, saluran untuk mengeluarkan air mani dan air seni dalam
tubuh laki-laki, namun tidak dapat bersamaan. Pada saat air mani dikeluarkan, secara otomatis katup
kandung kemih akan tertutup; (d) Kelenjar prostat, mengahsilkan cairan yang berisi zat makanan untuk
menghidupi sperma; (e) Kelenjar seminalis, fungsinya hampir sama dengan kelenjar prostat.

1.3. Alat reproduksi pada perempuan


Alat reproduksi pada perempuan dari luar ke dalam, terdiri dari: (a) Vulva, di sebelah luar dilikari
oleh bibir besar (labia mayora), disebelah dalam terdapat bibir kecil (labia minora). Disini bermuara
saluran kencing dan vagina. Pertemuan bibir kecil membentuk klitoris yang banyak mengandung serabut
saraf sehingga peka terhadap rangsangan; (b) Vagina, tempat lewatnya darah menstruasi/haid, tempat
masuknya penis untuk menghantarkan sperma ke leher rahim, serta jalan lahir bayi; (c) Uterus, biasa
disebut rahim, terdiri dari: cervix uteri (leher rahim), carpus uteri (badan rahim. Hasil pembuahan (janin)
menempel pada dinding di dalam rongga ini. Bila pembuahan sel telur tidak terjadi maka lapisan sebelah
dalam di dinding rahim ini akan gugur sebagai darah menstruasi; (d) Tubafaloppi, bisa disebut saluran
telur, ada dua buah di kiri-kanan, terdapat dibagian ujung tubafaloppi. Fungsinya adalah untuk
menghasilkan ovum (sel kelamin perempuan/betina), secara bergantian sekali sebulan ovarium kiri dan
kanan akan melepaskan telur matang.
Di samping itu, pada perempuan ada pula payudara yang membesar di banding pada laki-laki.
Banyak orang beranggapan bahwa makin besar ukuran payudara, makin basar daya tarik sebagal
perempuan. Hal ini adalah anggapan yang salah. Fungsi utama payudara pada perempuan yaitu untuk
menyusui bayi. Besar kecilnya ukuran payudara tidak berhubungan dengan kemampuan menyusui bayi.
Sebenarnya yang berpengaruh adalah bentuk puting payudara. Bila putingnya menunjukkan kelainan,
misalnya terbelah atau masuk ke dalam, mungkin akan timbul kesulitan pada saat menyusul bayi.

2. Bentuk-bentuk Kesehatan Reproduksi Pada Manusia


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, antara lain: (a) perawatan kelamin, (b)
hubungan seks dan kehamilan, dan (c) penyakit-penyakit infeksi menular seksual (IMS).

1. Perawatan kelamin 109


Alat kelamin baik pada laki-laki maupun perempuan harus dijaga kesehatan dan kesakralannya. Sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh manusia yang adalah Kabah Allah yang hidup, maka alat
reproduksi merupakan alat vital yang perlu dijaga agar tidak najis. Roma 13: 121 - 14, menjelaskan secara
tegas bahwa: " Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan
kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi
kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu
untuk memuaskan keinginannya". Merawat kelamin merupakan bagian dari merawat tubuh secara
keseluruhan.
Tidak ada alasan yang menyalahkan agar kita menjaga kebersihan alat kelamin atau alat reproduksi,
baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Caranya, dengan mencuci alat kelamin setiap kali kencing
atau setiap kali buang air besar. Setelah dibersihkan dengan air, sebaiknya dikeringkan dengan kain atau
tissu yang dikhususkan untuk itu.

2. Hubungan seks dan Kehamilan


Hubungan seks pertama kali sudah dapat menyebabkan kehamilan, terutama apabila perempuan
sedang dalam masa subur (yaitu terjadinya pelepasan sel telur). Karena itu jangan coba-coba melakukan
hubungan seks sebelum anda menikah, karena hal ini bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan
(Rm. 13: 12-1 4; Ibr. 13:4).

Bila seoarang perempuan berusia kurang dari 20 tahun sudah hamil, maka ada beerapa faktor resiko
yang mengancam, antara lain: resiko keguguran, bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2500 gram), bayi lahir prematur/kurang dari 9 bulan, kesulitan dalam proses kelahiran (seperti kemacetan
pada jalan lahir dan pendarahan) yang dapat mengakibatkan kematian calon bayi.
Resiko lain dari kehamilan yang tidak diinginkan antara lain berakibat pada :
a. Gangguan kejiwaan seperti ketakutan yang berlebihan, sedih, merasa dikucilkan, terkadang timbul
keinginan untuk bunuh diri karena telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama.
b. Bagi anak sekolah, ada resiko putus sekolah (drop out) karena sekolah tidak bersedia mengajar siswa
yang hamil.

c. Resiko tindakan pengguguran kandungan (aborsi) yang bertentangan dengan iman Kristiani.
Disamping itu abosri jika yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sangat tidak aman, bisa
mengakibatkan pendarahan dan berujung pada kematian.
d. Dari sisi iman Kristiani, kehamilan diluar nikah adalah perbuatan bertentangan dengan kebenaran.
Firman Tuhan (Rm. 13: 12-1 4; lbr. 13:4).

3. Penyakii-penyakit infeksi men ular seksual (IMS)


Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang timbul akibat hubungan seks yang tidak sehat dan
aman dengan orang yang sudah terinfeksi IMS. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya infeksi menular
seksual baik secara. oral (kelamin dan mulut), genital (kelamin pria dan vagina perempuan), anal (kelamin
dan dubur). Perilaku berganti-ganti pasangan seks sangat mendorong terjadinya penularan IMS karena
tidak ada jaminan bahwa setiap pasangan anda bebas IMS.

Tabel I berikut ini, mendeskripsikan jenis IMS menurut penyebabnya:

NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL


(a) Disebabkan oleh Kuman
Sifilis Treponema Luka ditemukan tanpa rasa nyeri.
pallidium Pada perempuan sering tidak
Masa inkubasi: kelihatan dan langsung muncul
(10 – 90 hari), gejala sifilis sekunder yaitu,
rata-rata 21 hari bercak-bercak merah pada kulit
dibadan yang tidak gatal. Keba-
nyakan tanpa gejala yang jelas

110
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL


Gonore Neisseria Wanita : kebanyakan tanpa ge-
(Kencing gonorhoea jala. Keluar cairan tubuh dari
nanah) Masa inkubasi: kemaluan, nyeri atau perih waktu
I - 14 har), kencing.
Pria : Keluar cairan tubuh dari
saluran kencing dan perih atau
nyeri pada waktu kencing. Bisa
juga tanpa gejala.
Klamidia Chlamydia Sangat mirip dengan gejala
trachomatis gonore hanya gejalanya lebih
Masa inkubasi: 7 ringan baik pada laki-laki mau-
- 12 hari pun pada wanita. Kebanyakan
tanpa gejala.
Chancroid Haemophilius Wanita : Luka dengan rasa nyeri
ducreyi pada bibir atau lubang kemalu-
Masa inkubasi: an. Bisa tanpa gejala.
I - 10 hari Pria : Bengkak dan nyeri dili-
patan pada yang sebelumnya
didahului luka pada kemaluan
Limfogranu- Chlamydia Wanita : Kebanyakan tanpa
loma trachomatis gejala. Pernbengkakan dilipatan
Venereurn Masa inkubasi: 3 paha, atau nyeri pada perut
(LGV) - 12 hari bagian bawah.
Pria : Bengkak dan nyeri dili-
patan paha yang sebelumnya
didahului dengan luka pada
kemaluan.
Granuloma Calymmatobact Benjolan di bawah kulit lalu pe-
inguinale erium cah menjadi ulkus yang
(Donovano- granulomatis granulomatus pada wanita, se-
sis) Masa inkubasi : dangkan pada ujung kemaluan
8 - 80 harl pada pria.
Baliterial Gardnerella Gejalaya yang utama keluar
vaginosis vaginalis, dll cairan dari vagina yang baunya
Masa inkubasi: busuk.
sulit ditentukan

NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL


(a) Disebabkan oleh Protozoa
Trikomonas Trikomonas Wanita : Keluar cairan tubuh dari
vaginalis
111 vagina yang banyak dan agak
Masa inkubasi: 2 - berbuih. Warna kekuningan de-
28 harl ngan bau agak busuk disertai rasa
gatal pada vulva, dan ada rasa
nyeri waktu hubungan kelamin
Pria : Kebanyakan tanpa geja-
la (asimtomatis). Kadang-kadang
keluar cairan tubuh dari saluran
kencing atau gatal pada saluran
kencing.
Virus
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL


(b) Disebabkan oleh Virus
Herpes Virus: Herpes Bintik-bintik berair yang sangat
genitalis simpleks nyeri di sekitar vagina pada
Masa inkubasi: I-20 wanita, dan dipenis pada pria.
hari Nyeri waktu kencing dan sering
pula disertai cairan tubuh dari
vagina
Kondiloma Virus: Papiloma Tampak benjolan seperti jengger
akuminata humanus ayam di sekitar kemaluan dan
atau genital Masa inkubasi: I-6 anus. Kebanyakan tanpa keluhan.
warts bulan
Moluskum Virus: Pox Benjolan-benjolan kecil warna
kontagiosum Masa inkubasi: I-2 putih di sekitar kemaluan dengan
bulan jekungan dipusatnya. Bisa juga
dijumpai pada kulit dibagian
badan lainnya karena bisa juga
menular melalui sentuhan badan.
Human Virus: HIV tipe I Setelah melewati masa inkubasi
Immunodefici dan 2 yang muncul adalah sekumpulan
ency Masa inkubasi : gejala. Kumpulan gejala ini disebut
Virus (HIV) beberapa syndrom. Lengkapnya disebut:
bulan sampal 10 Acuired Immune Deficiency
tahun. Syndrome (AIDS)
Sekitar 50% dalam
waktu
10 tahun

112
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL


Hepatitis Virus: Hepatitis Kerusakan pad aliver. Selain
tipe B melalui hubungan kelarnin,
Masa inkubasi: 2 - kebanyakan ditularkan melalui
3 bulan darah. Misalnya: transfusl jarurn
suntik, dll

NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL


(c) Disebabkan oleh Jamur
Kandidiasis Kandida albikans Dalam keadaan normal jamur ini
Masa inkubasi: memang dijumpai di vagina,
sulit ditentukan tetapi bisa pula ditularkan melalui
hubungan kelamin. Gejalanya:
keluar cairan warna putih atau
kekuningan yang bergumpal
seperti susu basi yang pecah.
Baunya seperti cuka. Sering disertai
warna kemerahan pada vulva,
rasa perih pada vagina atau ujung
penis

Ektoparasit
NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL
(d) Disebabkan oleh Ektoparasit
Pedukulasis Pthitrus pubis Ada kutu atau telornya pada
pubis (kutu) rarribut kernaluan disertai rasa
gatal. Menular secara kontak
langsung pada waktu hubungan
seksual atau kontak badan biasa.
Gejala utama: gatal dikulit
Skabies Sarcoptes Masa Selain menular melalui hubungan
inkubasi : 2 - 4 kelamin banyak pula yang menular
minggu melalui sentuhan langsung atau
melalui pakaian
Gejala utama : gatal dikulit.

3. Faktor-faktor Penting yang Perlu Diperhatikan dalam Kesehatan Reproduksi


Hal yang perlu diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, antara lain: (a) cara penularan IMS, (b)
akibat IMS, (c) akibat yang tika IMS tidak diobati, dan (d) kiat terhindar dari IMS.
Cara penularan IMS. Selain
113 menular melalui hubungan seks IMS juga bisa menular melalui: transfusi
darah, menggunakan jarum suntik yang tidak seteril secara bersama-sama, dan dari ibu hamil yang terinfeksi
ke bayi yang dikandungnya. Akibal IMS, antara lain: IMS dapat membuat sakit-sakitan, menyebabkan
kemandulan, menyebabkan keguguran, menimbulkan kanker leher rahim, merusak penglihatan dan otak,
dapat ditularkan ke bayi, menyebabkan mudah tertular HIV, bisa menyebabkan kematian jika terkena HIV
dan hepatitis B. Akibat Jika IMS tidak diobati, antara lain: kemandulan pada laki-laki dan perempuan, kanker
rahim pada perempuan, kehamilan di luar kandungan, infeksl menyeluruh, bayi terlahir dengan cacat
bawaan, dan bisa terinfeksi HIV. Disarankan agar jika terkena IMS segeralah ke dokter, jangan mengobati diri
sendiri.
Kiat untuk terhindar dari penyakit IMS, yaitu : Agar supaya para remaja bisa terhindar atau tidak
terjerumus/terjerembab ke dalam dosa, maka gunakan tips berikut: "KATAKAN TIDAK!! PADA AJAKAN
BERHUBUNGAN SEKS SEBELUM MENIKAH". Remaja/pemuda harus menolak ajakan berhubungan seks di luar
nikah secara tegas. Remaja harus mengatakan TIDAK terhadap bujukan maupun ancaman putus cinta atau
alasan apapun. Hubungan seks hanya dilakukan sebagai ungkapan cinta kasih seseorang kepada suami
atau istrinya yang sah (melalui pernikahan kudus).

4. Ayat-ayat Alkitab yang Berhubungan dengan Kesehatan Reproduksi


BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Mengawali bahasan pada bagian ini, perlu dikemukakan kesimpulan sementara bahwa, jika setiap
orang yang ingin memiliki kehidupan yang layak dalam arti bahwa tidak mengalami gangguan kesehatan,
terutama kesehatan reproduksi, maka orang tersebut harus hidup kudus di hadapan Allah. Kesehatan
reproduksi berhubungan dengan masalah-masalah seksual, karena organ reproduksi disebut juga organ
seksual.
Di dalam Alkitab tidak ada ayat-ayat tertentu yang secara eksplisit mengemukakan tentang
kesehatan reproduksi. Namun jika dipahami secara mendalam bahwa untuk mengalami kesehatan
reproduksi maka, setiap orang harus hidup secara benar dan kudus di hadapan Allah. Hal ini berarti,
terdapat ayat-ayat alkitab yang memberikan petunjuk bagi orang percaya tentang bagaimana hidup
kudus dan benar di hadapan Allah, terutarna yang berhubungan dengan memiliki prilaku yang sehat dalam
reproduksi. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan beberapa bagian alkitab yang secara implisit
berhubungan dengan kesehatan reproduksi :
1. Kolose 3 : 5 - 6; "Kerena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan,
kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan yang sama dengan penyembahan berhala,
semuanya itu mendatangkan murka Allah [atas orang-orang durhaka]
2. Roma 13 : 12 - 14; "Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan
perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! Marilah kita hidup
dengan sopan seperti pada siang hari, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam
perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan
janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya".
3. lbrani 13 : 4; " Hendaklah kamu semua penuh dengan hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu
mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan akan dihakimi Allah". Masih banyak ayat
alkitab lain yang bisa dipakai atau dikutip untuk memperkaya bagian ini. Silahkan para pembina
katekesasi dapat mencari bagian-bagian alkitab tambahan dan kemudian memberikan pemahaman
tentang makna ayat-ayat alkitab tersebut dalam kaitan dengan kesehatan reproduksi.

5. Pandangan Iman Kristen tentang Kesehatan Reproduksi


Dengan berpedoman pada bagian-bagian alkitab yang telah membimbing kita untuk hidup kudus
dan benar di hadapan Allah dengan menjaga hidup ini agar tetap sehat, maka kesehatan reproduksi
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pandangan iman kristiani. Rasul Petrus menyatakan
bahwa: "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada
waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia
yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus" (I Petrus I :
14 - 16).
Ayat alkitab ini memberikan kejelasan bagi kita orang percaya bahwa, iman kristiani sungguh-sungguh
menghendaki agar umat yang percaya pada Kristus harus hidup kudus, sebab Kristus adalah kudus. Dengan
demikian dalam pandangan iman Kristen kesehatan reproduksi merupakan bagian daripada hidup yang
kudus dan benar di hadapan Allah. Catatan kepada para pembina katekesasi bahwa, pandangan iman
kristen tentang kesehatan reproduksi masih dapat diperkaya oleh para pembina.

V. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian kesehatan reproduksi pada manusia!
2. Jelaskan bentuk-bentuk kesehatan reproduksi pada manusia!
2. Deskripsikan faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam kesehatan reproduksi!
3. 4 Deskripsikan ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi!
4. Jelaskan pandangan iman Kristen 114 tentang kesehatan reproduksi!

V. KEPUSTAKAAN
1. Anonim. 2006. Informasi Dasar Kesehatan Reproduksi Manusia lnfeksi Menular Seksual (IMS), HIV / AIDS dan
Narkoba. Unicef Ambon, LPPM, Diskes Prov. Maluku, GMKI Cab. Ambon, PMKRI Cab. Ambon, HMI, dan
Gerakan Pramuka. Kwarda Maluku.
2. Elizabeth Reid, 1995. HIV & AIDS Interkoneksi Global. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
3. G. Riemer. 1998. Ajarlah Mereka, Pedoman 11mu Katekese. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF. A. Let en
Suprapto No. 28 Jakarta.

VI. KETERANGAN
1. Untuk uraian materi 6.1 sampai dengan 6.3 merupakan uraian materi untuk materi pokok 5.1 Pengertian dan
Bentuk-bentuk Kesehatan Reproduksi pada Manusia), sedangkan uraian materi 6.4 sampai dengan 6.5.
adalah untuk materi pokok 5.2 (Pandangan Iman Kristen tentang Kesehatan Reproduksi).
2. Materi ini termasuk cukup luas dan perlu pendalaman yang lebih bagi para pembina, oleh karena itu perlu
pendampingan darl para medis untuk menjelaskan materi-materi yang sekiranya sulit untuk dijelaskan. Di
samping itu, waktu satu kali pertemuan juga sangat sedikit dibanding luasan materi ini, untuk itu perlu ada
waktu tambahan yang bisa diatur sendiri oleh para pembina katekisasi.

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

2. Pokok Bahasan : 6. Hak asasi manusia (HAM)


3. Sub Pokok Bahasan : 6.1. Pengertian HAM dan Pandangan Iman Kristen tentang HAM
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 1:26; Kej. 2; Mzr. 72:2-4, 12-14
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali (100 menit)
6. Semester : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENGAJARAN


Mengkaji dan menegakkan hak asasi manusia

III. TUJUAN KHUSUS PENGAJARAN


1. Menjelaskan tentang pengertian dan prinsip-prinsip HAM
2. Mengidentifikasikan isu-isu HAM
3. Memberi tanggapan sendiri terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM

IV. URAIAN MATERI


“Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal
budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan.”
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 1)

a. Pengertian dan Prinsip HAM


Untuk mengenali dan memahami HAM, baik dalam praktek kehidupan sehari-hari maupun dalam
konteks yang lebih luas, maka dirumuskanlah prinsip-prinsip HAM yang menjadi acuan untuk memperlakukan
setiap manusia dimana pun mereka berada. Hak asasi manusia bukanlah konsep abstrak, karena hal-hal
yang berkaitan dengan HAM terlihat dalam praktek hidup sehari-hari.
Ada delapan prinsip HAM yaitu:
 Universalitas (universality)
HAM bersifat universal. Kenyataannya, ada nilai moral dan nilai-nilai etik tersebar di seluruh dunia. Negara
dan masyarakat di seluruh dunia seharusnya memahami dan menjunjung tinggi hal ini. Universalitas hak
berarti bahwa hak tidak dapat berubah atau hak tidak dialami dengan cara yang sama oleh semua orang
 Martabat manusia (human dignity)
Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan dimiliki setiap manusia di dunia. Prinsip-prinsip HAM ditemukan
pada pikiran setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, jender, orientasi
seksual, bahasa, kemampuan atau kelas sosial. Setiap manusia, oleh karenanya, harus dihormati dan
dihargai hak asasinya. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan
tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis.
 Kesetaraan (equality)
Konsep kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati martabat yang melekat pada setiap
manusia. Secara spesifik pasal 1 DUHAM (Deklarasai Umum Hak Asasi Manusia) menyatakan bahwa:”Setiap
umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya”.
 Nondiskriminasi (non-disdcrimination)
Nondiskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak seorang pun dapat
meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya.
 Tidak dicabut (inalienability)
Hak-hak individu tidak dapat direnggut, dilepaskan, dan dipnidahkan
 Tidak bisa dibagi (indivisibility)115
HAM – baik hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya – semuanya bersifat inheren, yaitu menyatu dalam
harkat-martabat manusia. Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak-
hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi; hak tersebut merupakan modal dasar bagi setiap orang agar mereka bisa
menikmati hak-hak lainnya, seperti hak atas kesehatan atau hak atas pendidikan.
 Saling berkaitan dan bergantungan (interrelated and interdependence)
Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan
maupun sebagian. Contohnya, dalam situasi tertentu, hak atas pendidikan atau hak atas informasi adalah
hak yang saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, pelanggaran HAM saling bertalian; hilangnya
satu hak akan mengurangi hak lainnya.

 Tanggung jawab negara (state responsibility)


Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal
ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-
instrumen HAM. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang
dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah
pengadilan yang kompeten atau penuntut lain sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku.

Hak asasi manusia bersifat universal karena setiap orang terlahir dengan hal yang sama, tanpa
memandang dimana mereka tinggal, jenis kelamin atau ras, agama, latar belakang budaya atau etnisnya.
Tak bisa dicabut karena hak-hak setiap orang itu tidak akan pernah bisa ditanggalkan dan direbut. Saling
bergantung satu sama lain dan tak dapat dipisah-pisahkan, karena semua hak –baik
sipil,politik,sosial,eknomi, maupun budaya- kedudukannya setara dan tidak akan bisa dinikmati sepenuhnya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

tanpa ada pemenuhan hak-hak yang lainnya. Setiap orang diperlakukan secara setara dan diberi hak pula
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada hidupnya. Mereka
menegakkannya dengan peraturan hukum dan dikuatkan dengan adanya jaminan penenuntutan
terhadap para pengemban tanggung jawab (negara) untuk mempertanggungjawabkannya dengan
standar hukum internasional dan nasional.

Selain prinsip-prinsip HAM yang menjadi standar minimum pelaksanaan HAM, ada juga hukum HAM.
Dalam ketentuan hukum HAM, negara adalah pihak yang terikat kontrak. Oleh karena itu, negara
meratifikasi perjanjian HAM internasional, negara berjanji untuk mengakui, menghormati, melindungi,
memenuhi, dan menegakkan HAM sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian HAM
internasional tersebut.

Dalam hal ini, hubungan antara individu (warga negara) dengan negara bersifat kontraktual, di mana warga
negara telah menyerahkan mandat kepada negara untuk mengelola dan menyelenggarakan
pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, negara bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi,
memenuhi, dan menegakkan HAM individu warga negara. Dengan begitu, pihak negara adalah pemangku
kewajiban, sedangkan individu (warga negara) adalah pemegang hak. Negara tidak mempunyai hak asasi,
karena hak asasi manusia hanya diberikan kepada individu-individu. Kewajiban yang dimiliki oleh individu
dalam persoalan HAM hanya satu, yaitu menghormati hak asasi orang lain. Jika individu tidak melakukan
kewajibannya yaitu menghormati hak asasi orang lain, maka dikatakan melakukan pelanggaran HAM.
Begitu juga negara, apabila tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah dijanjikannya,
maka negara bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM. Namun, apa sesungguhnya yang menjadi
dasar untuk mengatakan bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran HAM. Apa bedanya
pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum? Seseorang bisa dikatakan telah melanggar hukum jika dia
terbukti melakukan tindakan melawan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku ini acuannya jelas,
misalnya, acuan hukum di Indonesia adalah pasal-pasal yang termuat di dalam KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana). Namun, seseorang yang melakukan pelanggaran HAM belum tentu bisa dikatakan
telah melakukan pelanggaran hukum.
Contohnya:
Seseorang yang dengan diam-diam memilih untuk mempekerjakan segolongan orang hanya dari suku atau
agama tertentu dan menolak orang-orang dari suku atau agama lainnya, telah melakukan tindakan
diskriminasi yang merupakan pelanggaran HAM, tetapi belum tentu merupakan pelanggaran hukum.

Berkaitan dengan batasan pelanggaran HAM, Pasal 1 ayat 6 UU No.39/Tahun 1999 tentang HAM
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi , menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.

b. Pandangan Kristen tentang HAM


Alkitab memberi perhatian yang serius terhadap masalah kehidupan manusia. Kesaksian Alkitab
diawali dengan peristiwa penciptaan yang bertujuan memproklamasikan bahwa Allah adalah Pencipta
langit dan bumi , serta segala sesuatu yang ada di alam semesya ini. Di dalam kisah penciptaan manusia
merupakan puncak dari karya 116ciptaan Allah. Manusia memperoleh posisi yang khusus: manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Ungkapan “menurut gambar dan rupa Allah” menegaskan
kemuliaan manusia sebagai mahkluk dalam rangka menjalankan tugasnya dari Sang Pencipta yakni untuk
mengatur dan memelihara alam semesta demi kesejahteraan hidup manusia dan hidup seluruh mahkluk.
Sekaligus, menyatakan bahwa di hadapan Allah semua manusia sama, siapapun dan apapun dia. Tidak
ada individu dan kelompok lebih mulia dari indvidu dan kelompok lainnya. Semua umat manusia
menyandang tugas dari Pencipta (Allah) untuk menjaga kelestarian alam dan sama-sama memikul
tanggung jawab untuk melaksanakannya.
Selanjutnya, Alkitab menjelaskan bahwa secara fisik manusia dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7),
dan karena itu, manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari tanah. Segala kebutuhan manusia untuk
kehidupan diperolehnya dari usahanya memanfaatkan dan mengolah segala sesuatu yang ada di alam
semesta. Semua orang apakah ia penguasa, orang kaya, atau rakyat biasa dijadikan dari debu
tanah.Sebagai mahkluk ciptaan Allah, hidup manusia sesungguhnya, hanya mungkin di dalam hubungan
dengan Allah.

Kesejahteraan di dalam berbagai bentuknya termasuk penindasan terhadap hak-hak manusia terjadi,
setelah manusia jatuh ke dalam dosa, setelah manusia melanggar perintah Allah. Kejahatan pertama
adalah pembunuhan di dalam keluarga, Kain membunuh Habel (Kej.4). Sejak itu, berbagai bentuk kejahatan
terjadi di dalam kehidupan masyarakat manusia. Salah satu bentuk kejahatan yang mendapat sorotan kritis
di dalam Alkitab adalah penindasan yang dilakukan oleh penguasa dan orang-orang yang lebih kuat
terhadap rakyat atau orang miskin (baca pengalaman Firaun dalam Keluaran 1). Contoh, penindasan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

terhadap orang Israel di Mesir oleh Firaun. Penindasan yang dialami bangsa Israel di Mesir, mendorong Allah
untuk bertindak membebaskan mereka (Kel.3:7-8). Peristiwa pembebasan inilah yang menjadi latar
belakang pemberian Hukum Taurat (Kel.20 dan Ulangan 5). Kesepuluh perintah Allah ini mencakup perintah
tentang peribadahan, kewajiban terhadap sesama manusia yang dimulai dari penghormatan terhadap
orang tua; dan diikuti dengan serangkaian perintah: jangan membunhu, jangan berzinah, jangan mencuri,
jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesama, dan terakhir: jangan menginginkan apapun yang
menjadi milik orang lain. Mencermati isinya yang singkat dan padat, hukum taurat dapat disebut sebagai “
piagam kebebasan manusia”. Allah membebaskan orang tertindas, dengan catatan bahwa penindasan
tidak boleh terulang lagi. Hukum taurat diberikan agar manusia memperoleh acuan yang jelas untuk
membangun masyarakat yang adil, yang menjamin hak-hak asasi manusia. Juga menjadi acuan bagi para
nabi Israel untuk mengkritisi keadaan masyarakat, penguasa dan orang-orang kalangan atas, seperti
diingatkan oleh kitab Pengkhotbah tentang kecenderungan umum orang-orang yang berkuasa, melakukan
penindasan.
Secara spesifik Alkitab tidak menyebutkan istilah HAM, namun demikian, penjelasan di atas
menggambarkan tentang substansi HAM. Bahwa kehidupan sejati dan utuh tidak akan terpenuhi apabila
hak-hak dasar setiap orang dilanggar atau diabaikan. Secara kongkrit, pemazmur mengungkapkan: “Berilah
keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang yang sengsara dan orang
yang kekurangan (Mazmur 82:3). Kitab Amsal menyerukan:”Bukalah mulutmu untuk orang bisu, untuk hak
semua orang yang merana” (31:8). Para raja (pemerintah) diharapkan untuk menegakkan keadilan dan
membela orang-orang tertindas, menyelamatkan orang miskin dari penindasan (Mazmur 72:2-4, 12-14). Iman
Kristen menyakini bahwa Allah membela dan berpihak pada orang-orang lemah dan sengsara.

V. EVALUASI
1. Sebutkan prinsip-prinsip HAM !
2. Jelaskan prinsip-prinsip tersebut dalam rangka penegakan HAM!
3. Apakah Alkitab membicarakan tentang persoalan HAM? Tunjukan contoh dan beri penjelasan.
4. Buatlah kliping tentang keadaan/contoh kongkrit tentang isu penindasan manusia. Bisa menggunakan
gambar atau berita dari majalah/koran/buku dan yang lainnya. Dan berilah komentar!

VI. KEPUSTAKAAN
1. Komnas HAM, Panduan Faislitator Pendidikan Hak Asasi Manusia,Komnas HAM: Jakarta, 2006
2. Komnas HAM, Pendidikan Hak Asasi Manusia Bagi Rohaniawan, Komnas HAM:Jakarta, 2002
3. UU No.39/ Tahun 1999 tentang HAM

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 6. Hak Azasi Manusia (HAM)
3. Sub Pokok Bahasan : 6.2. Gender
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 1 dan 2, dan beberapa teks lain-nya dalam uraian materi
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali (100
117 Menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENGAJARAN


Mengkaji dan menegakkan hak asasi manusia

III. TUJUAN KHUSUS PENGAJARAN


1. Menjelaskan tentang pengertian gender
2. Mengidentifikasikan isu-isu ketidakadilan gender
3. Memberi tanggapan sendiri terhadap kasus-kasus diskriminasi gender, berdasarkan iman Kristen

IV. URAIAN MATERI


a. Pengertian Gender
Laki-laki dan perempuan adalah identitas diri yang menunjuk pada jenis kelamin manusia, di mana masing-
masing memiliki ciri fisik yang berbeda. Perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur dan air susu, sedangkan
laki-laki memiliki penis, jakun, sperma. Ciri biologis ini melekat selamanya pada perempuan dan laki-laki, yang
adalah hasil ciptaan Sang Khalik, Allah.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Sedangkan gender, adalah istilah yang secara etimologis, digunakan untuk menandai perbedaan segala
sesuatu berdasarkan pada jenis kelamin, yang kemudian dirumuskan dalam kategori feminin dan maskulin.
Secara sosial, makna gender mengacu pada pemahaman, keyakinan, harapan, nilai dan norma
masyarakat tentang peran, perilaku, watak, dan posisi sosial perempuan dan laki-laki. (Komnas Perempuan:
Pedoman Pendokumentasiaan KTP sebagai Pelanggaran HAM, 2004). Pemahaman, nilai dan norma
dimaksud, secara turun temurun diwariskan dalam praktek hidup. Sehingga, telah diterima dan dibakukan
oleh masyarakat sebagai suatu keharusan. Beberapa pernyataan berikut ini memperlihatkan adanya
pemahaman yang dapat dikategorikan ke dalam makna gender.
 Anak perempuan memiliki sifat lemah lembut, anak laki-laki berjiwa keras dan suka berpetualang.
 Aktifitas masak-memasak adalah wilayah kerja perempuan, sedangkan bidang kerja otomotif adalah
dunianya laki-laki.
 Perempuan berkewajiban untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak di rumah dan laki-laki bertugas
untuk mencari nafkah.
 Seorang Presiden tidak boleh perempuan
Pernyataan di atas, memperlihatkan bahwa pandangan masyarakat telah mengkapling-kapling sifat,
aktifitas, jabatan dan kerja berdasarkan jenis kelamin. Masyarakat yang menentukan apa yang pantas dan
tidak pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki; atau apa yang diharapkan untuk menjadi perempuan
dan laki-laki sejati. Segala bentuk pembedaan, pengucilan dan pembatasan atas dasar jenis kelamin
dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.9 Kerap, pemahaman yang demikian dijadikan
pertimbangan dalam promosi jabatan, pendelegasian tugas dan pilihan sekolah atau karier seseorang. Mari
kita lihat salah satu implikasi pandangan gender terhadap partisipasi sekolah dan pilihan kerja anak
perempuan. Berangkat dari pandangan masyarakat bahwa tanggung jawab laki-laki adalah pencari
nafkah, sedangkan perempuan mengasuh anak. Maka, dalam kebanyakan prkateknya, dorongan untuk
anak laki-laki bersekolah diutamakan tanpa membatasi bidang studi tertentu. Sedangkan anak perempuan,
tidak usah sekolah tinggi cukup tahu baca, masak dan jahit. Sekarang ini, pencari nafkah bisa perempuan
dan laki-laki. Dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isteri menjadi sasaran kekerasan fisik
dan psikis, apabila anak bandel atau gagal sekolah. Isteri dianggap tidak becus menjalankan tugasnya
membina anak. Padahal, tanggung jawab pembinaan dibebankan kepada orang tua (ayah dan ibu).
Pada kebanyakan kasus, perempuan menjadi sasaran kekerasan atau diskriminasi pada saat mereka
memenuhi peran gendernya sesuai dengan nilai dan harapan masyarakat.
Dalam konteks ini, kita mengakui bahwa telah terjadi ketidakadilan gender terhadap perempuan, dan
terbangun suatu relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki.

Perbedaan Istilah Jenis Kelamin dan Gender10


Jenis Kelamin (JK) Gender (G)
- JK bersifat - G bersifat sosial-budaya, ia
alamiah,ciptaan Tuhan ciptaan manusia.

- JK bersifat biologis. Ia - G bersifat sosial-budaya &


merujuk pada merujuk pada
perbedaan yg nyata dari tanggungjawab peran,
alat kelamin dan pola perilaku dan lainnya
perbedaan terkait dalam yang bersifat maskulin dan
fungsi kelahiran feminin.

- JK bersifat tetap, ia akan - G bersifat tidak tetap, ia


118
sama di mana saja. berubah dari waktu ke
waktu,dari suatu
kebudayaan lainnya.

- JK bersifat alamiah. - G dapat dirubah

- Jk tidak bisa dirubah - G bersifat sosial-budaya &


merujuk pada
tanggungjawab peran,
pola perilaku dan lainnya
yang bersifat maskulin dan
feminin.

b. Pandangan Alkitab tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender


Pada kenyataannya terjadi berbagai kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan berbasis
gender, maka pemerintah menanggapi persoalan tersebut dengan menerbitkan sejumlah peraturan:
 UU No.7/Tahun 1984 (ratifikasi dari Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan),
 UU No.23/Tahun 2004,
 Kepres No.9/Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Program Pembangunan, dll.

9
Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pris dan wanita, UU No.7/1984,pasal 1
10
Kamla Bhasin, Memahami Gender diterjemahkan dari Understanding Gender, Jakarta:TePLOK Press, 2001, hal.4
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Gereja Protestan Maluku berkewajiban untuk turut membangun
budaya hidup yang demokratis, di mana warga gereja menghargai dan berkomitmen untuk menjunjung
prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender, dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat.
Tuntutan ini terutama, untuk menyatakan sikap iman terhadap fenomena diskrimimansi dan kekerasan
terhadap perempuan.

1. Perempuan dan Penciptaan


Penggambaran Alkitab tentang isu gender, terlihat bersikap ambivalen. Pada satu sisi ada narasi tentang
praktek-praktek hidup yang merendahkan perempuan dan membatasi kepemimpinan perempuan, tapi
di bagian lain ada narasi yang mencontohkan kepemimpinan perempuan dan posisi yang setara antara
laki-laki dan perempuan. Misalnya, dalam Ulangan 5:21 dan Keluaran 20:17, seorang isteri digolongkan
bersama dengan rumah, hamba, dan ternak suaminya sebagai harta milik yang tidak boleh diingini oleh
orang lain; sedangkan dalam I Petrus 3:7, dikatakan bahwa seorang isteri bukanlah milik suaminya, tetapi
sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan. Juga bisa ditemukan bagian Alkitab yang
mencontohkan kepemimpinan perempuan seperti Deborah sebagai nabiah bagi umat Israel (Hakim-
hakim 4-5), di pengangalaman lain ada pembatasan peran keagamaan perempuan, di mana
perempuan harus tunduk pada kepemimpinan laki-laki (I Kor.11:-16; 14:34-35; I Tim.2:11-15).

Beberapa prinsip dasar tentang kesetaraan dan keadilan gender:


 Sebagai ciptaan yang segambar dengan Allah, kedudukan perempuan dan laki-laki sama.
Kejadian 1:27, “ maka Allah menciptakan manusia (adam) itu menurut gambarNya... laki-laki dan
perempuan, diciptakanNya mereka”. Makna segambar dengan Allah menegaskan bahwa sebagai
mahkluk hidup manusia berbeda dari mahkluk ciptaan lainnya, menunjukkan kesederajatan antara laki-
laki dan perempuan, sama-sama diciptakan segambar dengan Allah dan menunjukkan adanya
pertalian antara manusia dengan Allah, yang keduanya diberi mandat untuk menguasai bumi guna
kehidupan manusia.
 Perempuan adalah partner/mitra laki-laki untuk membangun kehidupan bersama
Kejadian 2:18a, menyatakan bahwa “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Maka, Allah
menempatkan seorang perempuan sebagai “penolong yang sepadan”. Penciptaan perempuan
berhubungan dengan penciptaan laki-laki, tapi tidak duplikasi. Posisi sebagai partner /mitra yang setara
secara kualitas dan posisi sosial, manusia melihat adanya perbedaan (laki-laki dan perempuan) dan
menerima kesamaan (sebagai ciptaan Allah). Dalam konsep penciptaan laki-laki dan perempuan,
keduanya menemukan hakekat diri sejati sebagai mahkluk seksual dan sosial.
 Perempuan dan laki-laki saling tergantung dan saling melengkapi
Sebagai mitra yang berbeda tapi setara, keduanya tidak bisa hisup sendiri. Laki-laki dan perempuan
secara seksual dan sosial, akan saling melengkapi dan saling tergantung satu terhadap yang lain.
2. Perempuan dan Kristus
Dalam ajaran Yesus, kriteria utama untuk menentukan status seseorang layak menjadi anggota Kerajaan
Allah adalah imannya kepada Allah. Jadi tidak berdasarkan status gender (laki-laki – perempuan)
ataupun etnik (Yahudi – non-Yahudi) tertentu (Mark.5:34 band.Mat.8:10; Mat.1034-36, Luk.12:51-53,
Gal.3:28).
Selanjutnya, ketika melakukan pelayanan dan pemberitaan Injil, Yesus menempatkan perempuan sebagai
bagian integral dalam misi pelayananNya. Dalam pelayananNya Yesus berjumpa dan berdialog dengan
perempuan di depan umum (Yohanes 4:27), menjadi teman dalam keluarga (Luk.10:38-42). Keterlibatan
perempuan cukup signifikan dalam membangun gereja (Kis.1:14,2:17,12:12) dalam pekabaran Injil
(Kis.16:13;17:4,12,34;18:18,26); dan119di dalam posisi kepemimpinan dan pelayanan (Rom.16:1,3,6,12,15).
Komitmen perempuan untuk mengikuti Yesus pun teruji, dalam keberanian mereka mengikuti Yesus menuju
penyalibanNya (Mat.27:55-56) dan mengekspresikan kasih dan kesetiaan mereka kepadaNya melalui
kunjungan pertama perempuan-perempuan ke makam Yesus. Sehingga, perempuanlah yang menjadi saksi
pertama kebangkitan Kristus. Perjumpaan Yesus dengan perempuan telah mematahkan diskriminasi berbasis
identitas: gender, ras dan status sosial lainnya.
Karena itu, walaupun masih ada konsep gender yang merefleksikan budaya patriarkal dalam teks-teks Alkitab
tertentu, haruslah dibaca dan dipahami dalam konteks pembaharuan hidup yang dicanangkan Yesus.
Terutama, dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang antikekerasan, cinta damai,
demokratis dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

V. EVALUASI
1. Sebutkan ciri biologis yang membedakan perempuan dan laki-laki?
2. Uraikanlah makna gender sebagai sebuah konstruksi sosial-budaya!
3. Sebutkanlah bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan gereja.
4. Uraikanlah prinsip-prinsip dasar tentang kesetaraan dan keadilan gender berdasarkan Alkitab!
5. Apa gagasan anda untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan?

VI. KEPUSTAKAAN
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

1. Kamla Bhasin, Memahami Gender, Jakarta: TePLOK Press, 2001


2. Achmad Muthalim, Bias Gender Dalam Pendidikan, Jogjakarta: Muhammadiyah University Press, 2001
3. Indriani Bone, “Gender dan Agama: Suatu Perspektif Kristiani” – kumpulan materi Pelatihan Gender,Jakarta:
Kapal Perempuan.
4. Convention Watch, Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta:
Yayasan Obor, 2005.
5. Andy Yentriani &Lies Marantika, Pedoman Pendokumentasian Kekerasan terhadap Perempuan sebagai
Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan, 2004

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 6. Hak Azasi Manusia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.3.Perlindungan Hak Anak
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 17:7; Mat. 19:13-15; Mks. 9:42
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENGAJARAN


Mengkaji dan menegakkan hak asasi manusia

III. TUJUAN KHUSUS PENGAJARAN


1. Menjelaskan tentang hak anak
2. Menjelaskan masalah-masalah anak
3. Menjelaskan kewajiban Negara untuk memenuhi dan melindungi hak anak
4. Menjelaskan kewajiban masyarakat untuk melindungi hak anak.

IV. URAIAN MATERI


Pada tahun 1979, bertepatan dengan persiapan Hari Anak Internasional, di lingkungan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), dimulai diskusi-diskusi tentang rancangan Konvensi Hak Anak. Proses ini mencapai hasilnya, pada
tanggal 20 November 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Konvensi
Internasional tentang Hak Anak. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut, melalui Keputusan Presiden
No.36 Tahun 1990. Penetapan Konvensi Anak dilatarbelakangi oleh adanya laporandari negara-negara
tentang ketidakadilan yang serius yang diderita oleh anak-anak dan sangat mencemaskan. Kondisi-kondisi
tersebut adalah:
 Tingginya tingkat kematian anak,
 Perawatan kesehatan yang buruk
 Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar
 Adanya kasus-kasus di mana anak-anak disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam
pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan,
120
 Anak- anak dalam penjara,
 Anak-anak pengungsi dan korban konflik
 Anak-anak yang dilatih untuk berperang
Fakta-fakta di atas juga terjadi di Indonesia, karena itu negara, melalui pemerintah dan DPR serta elemen
masyarakat sipil memproseskan ditetapkannya UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Materi utama untuk pokok bahasan ini adalah UU RI, No.23/Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.
Pendalaman materi utama ini akan diproseskan sesuai petunjuk berikut:

1. Pada pertemuan katekesasi sebelumnya, kepada katekisan diberikan UU No.23 Tahun 2002.
2. Katekisan diminta membaca dan membuat laporan tertulis berdasarkan pertanyaan dibawa ini:
a. Apa saja hak dan kewajiban anak menurut UU tersebut?
b. Apa saja kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah untuk melindungi anak?Termasuk juga
kewajiban dan tanggung jawab untuk penyelenggaraan perlindungan anak.
c. Apa saja kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam hal perlindungan anak?
d. Apa saja peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak?
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

3. Dalam pertemuan katekisasi, apabila jumlah katekisan memungkinkan, maka dibagi ke dalam 4 kelompok
sesuai empat pertanyaan di atas untuk didiskusikan. Bila tidak memungkinkan, diproseskan sesuai kondisi
yang ada, memilih beberapa orang untuk presentasi dan membahas langsung secara bersama.
4. Kelompok presentasi dan kemudia, pengajar menyimpulkan.
5. Pengajar mempersiapkan beberapa informasi tentang persoalan anak di lokasi setempat dan berdasarkan
masalah tersebut mempertanyakan apa yang harus dilakukan oleh anak-anak, orang tua, pemerintah
setempat dan gereja.

V. EVALUASI
1. Sebutkan definisi anak menurut UU No.23 Tahun 2002
2. Jelaskan pengertian perlindungan anak menurut UU No.23 Tahun 2002.
3. Jelaskan hak dan kewajiban anak menurut UU No.23 Tahun 2002.
4. Jelaskan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk memberi perlindungan bagi
anak.

VI. KEPUSTAKAAN
1. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia: Lembar Fakta

I. IDENTITAS
1. Prograrn Saiian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 7. Allah Yang Memberkati
3. Sub Pokok Bahasan : 7.1. Pemberian Berkat: "Allah menjadi Allah bagi umat Israel, Keturunan dan
tanah”
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 17:I-8; Bil. 6:24; Ul. 7:12-16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 Menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Memahami tindakan dan berbagai bentuk berkat Allah bagi manusia.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan bentuk berkat Allah dalam konteks hidup Abraham.
2. Mengidentifikasikan berbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang ini.
3. Merumuskan sikap hidup yang benar sebagai jawaban atas berkat Tuhan atas hidup kita.

IV. URAIAN MATERI


Bentuk-benfuk berkat Allah dalam konteks kehidupan Abraham yakni :
1. Keturunan :
Keturunannya dibuat sangat banyak sehingga memenuhi bumi. dari keturunannya akan datang
bangsa-bangsa. dari keturunannya
121 akan muncul raja-raja. dan Allah akan menjadi milik mereka
turun-temurun.

2. Tanah :
Menduduki tanah Kanaan sebagai tanah perjanjian. Hak untuk memiliki tanah tersebut Allah berikan untuk
selama-lamanya, dan tanah itu diberkati sehingga berkelimpahan untuk dinikmati.
Di dalam Bilangan 6 : 24 Allah memberikan berkat imamat yakni memberkati, melindungi, memberikan kaisih
karunia dan damai sejahtera. Selain itu, didalam Ulangan 7 : 12 - 16 Allah mengasihi umat-Nya, Allah
memberkati buah kandungan mereka, Allah memberkati hasil bumi (tanaman). juga menghindarkan
penyakit dan Allah membuat umat-Nya bahagia sekarang dan seterusnya.
Berbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang ini yakni berdasarkan I Korintus 12 : 9 ; I Korintus 13:13.
dikatakan Allah memberikan iman untuk memiliki kekuatan secara pribadi juga demi pelayanan dan
kesaksian. Allah memberikan karunia untuk menyembuhkan orang sakit (kesehatan), maupun yang berwujud
stress atau frustrasi.

Setiap orang dilengkapi dengan iman, pengharapan dan kasih untuk terus berkarya demi kelangsungan
hidup orang percaya.
Berdasarkan I Raja-raja 3 : 12 - 13, I Korintus 12 : 7 bcrbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang im
diwujudkan kepada kita dengan hati yang penuh hikmat. diberikan kekayaan dan kemuliaan, dilengkapi
dengan penyataan roh dan memperjelas keperbedaan orang percaya schingga dapat membuat orang
lain percaya. Sikap hidup yang benar sebagai jawaban atas berkat Tuhan dalam hidup kita adalah
mengasihi Allah dengan cara taat pada perintah Allah dan setia melayani. Percaya pada janji-janji Allah
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

yakni tidak mudah putus asa/stress/frustrasi, sabar menanti jawaban Allah dalam satu permohonan doa.
terus mengimani Allah didalam Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tidak menyimpang pada
kepercayaan sia-sia atau kekuatan-kekuatan dunia yang bermuara pada kenikmatan dunia, serta
memperlabakan berkat-berkat yang dimiliki melalui bakat/talenta, belajar mengucap syukur, dan rela
berbagi dengan sesama yang menderita atau memerlukan pertolongan.

V. EVALUASI :
1. Sebutkanlah bentuk berkat Allah dalam konteks kehidupan Abraham.
2. Identifikasikanlah berbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang.
2. Diskusikan dan rumuskanlah sikap hidup yang benar sebagai jawaban berkat Tuhan atas hidup kita.

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 7. Allah Yang Memberkati
3. Sub Pokok Bahasan : 7.2. Anugerah Iman
7.2. Berkat Hikmat dan Kasih Karunia
4. Bahan bacaan Alkitab : Untuk 7.1. = I Kor. 12:9; 13:13;
Untuk 7.2. = I Raj. 3:12-13; I Kor. 12:7-14; 25
5. Waktu Tatap-Muka : 100 Menit ( SPB 7.2 dan 7.3 disajikan dalam 1 X Pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN:


Memahami tindakan dan berbagai bentuk berkat Allah bagi manusia.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Menjelaskan pengertian Iman.
2. Menjelaskan pengertian Iman sebagai anugerah.
3. Menghubungkan iman dan perbuatan nyata.
4. Menyebutkan wujud berkat Allah bagi manusia, menurut Alkitab.
5. Menjelaskan hikmat dan kasih karunia bagi kita.
6. Mengemukakan contoh sikap hidup berhikmat dalam hidup manusia.

IV. URAIAN MATERI:


Pengertian Iman :
Secara umum iman adalah kepercayaan kepada suatu kekuatan yang dianggap memiliki pengaruh tertentu
bagi hidup seseorang untuk waktu kini dan selamanya. Iman dapat juga diartikan dengan percaya secara
sungguh kepada sesuatu yang benar tanpa bimbang dan ragu. Sesual lbrani 11 : 1, iman diartikan demikian :
bahwa iman adalah dasar dari segala, sesuatu. yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak
kita lihat. Iman sebagai Anugerah artinya pemberian secara cuma-cuma. Hidup yang dimiliki orang percaya
hanya dapat berlangsung karena kasih karunia Allah didalam Yesus Kristus. Kematian dan kebangkitan Yesus
telah menganugerahkan secara122 cuma-cuma pembebasan/keselamatan sehingga hubungan Allah dan
manusia yang tadi-tadinya putus karena dosa dipulihkan lagi oleh Allah sehingga. manusia berdosa
didamaikan dengan Allah Sang Pencipta.
Di dalam Yesus, Putra Tunggal Allah manusia didamaikan dengan Allah Bapa dan Juga dengan sesama
manusianya. Hidup yang dimiliki manusia bukanlah atas hasil usaha manusia. tetapi sepenuhnya atas dan oleh
pemberian Allah sendiri (bandingkan Efesus 2 : 8). Itu berarti iman haruslah diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Berdasarkan pada Yakobus, 2 : 17 dikatakan bahwa : Iman bekerja sama, dengan perbuatan-perbuatan. dan
oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Sebagai contoh :
a. Abraham :
Dia dibenarkan karena perbuatannya yaitu ia dengan rela mempersembahkan Ishak anaknya (anak yang
dijanjikan Allah) di atas Mezbah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.

b. Rahab :
Dia dibenarkan karena perbuatannya vaitu menolong orang yang disuruh Yosua untuk mengintai kota,
Yerikho sehingga mereka bebas dari pengejaran dan dan pengepungan musuh (ayat 25). Wujud berkat
Allah bagi manusia menurut Alkitab adalah Allah memberikan karunia yang berbeda-beda seperti Roh untuk
memberikan iman dan karunia untuk menyembuhkan. Disamping itu Allah menganugerahkan iman untuk
memperteguh kepercayaan seseorang. pengharapan untak menyanggupkan seseorang, terus bergantung
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

pada Tuhan dan kasih (sebagai yang utama) yang menghubungkan relasi antara Allah dengan manusia
berdosa dan juga antar manusia sehingga manusia didamaikan dengan Allah dan juga dengan sesamanya.
Hikmat dan kasih karunia mengantarkan manusia untuk memiliki hikmat agar manusia mengerti kehendak
Allah, manusia dapat membedakan kehendak Allah, yaitu yang benar dan mendatangkan kebaikan.
mengantar manusia untuk menemukan maksud-maksud Tuhan serta mengisyaratkan sikap takut.Tuhan.
Contoh sikap hidup berhikmat dalam hidup manusia. adalah takut akan Tuhan. dapat dipercaya. membuat
keputusan yang berimbang, tidak memihak/bijaksana, tidak membeda-bedakan/menghargai perbedaan
dan memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera.

V. EVALUASI :
1. Jelaskanlah pengertian Iman.
2. Jelaskanlah pengertian Iman sebagai anugerah
3. Kemukakanlah pandangan yang menghubungkan iman dan perbuatan nyata.
4. Bagaimanakah wujud berkat Allah bagi manusia menurut Alkitab.
5. Jelaskanlah pengertian hikmat dan kasih karunia bagi kita.
6. Berikanlah contoh sikap hidup berhikmat dalam hidup manusia.

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 8.Allah Yang Berkorban dan Melayani
3. Sub Pokok Bahasan : 8.1. Allah Mengorbankan Kemuliaan Sorgawi dan Menjadi Manusia
4. Bahan bacaan Alkitab : Mat.1:21; Fil.2:5-11; Ibr. 9: 26 – 28.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN


Mengkaji dan menghayati Allah yang mengorbankan kemuliaan sorgawi demi melayani manusia.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN


1. Menjelaskan pengertian pengorbanan Allah dalam konteks pengosongan diri Yesus untuk menjadi manusia
2. Menjelaskan makna pengorbanan Allah
3. Memberikan refleksi terhadap pengorbanan Allah dalam hubungannya dengan respons orang percaya

IV. URAIAN MATERI


1. Konsep “pengorbanan” atau “korban/kurban” (bahasa Inggris “sacrifice”) sesungguhnya dapat dimengerti
dalam konsep umum agama-agama. Antropolog Perancis, Rene Girard, dalam risetnya telah menunjukkan
temuannya bahwa kecenderungan mempersembahkan kurban hewan atau manusia merupakan sesuatu
yang sangat akrab dalam dunia pengorbanan atau persembahan agama-agama. Menurut Girard, praktek
pengorbanan tersebut dilakukan dalam konteks permusuhan dan perdamaian. Pada saat-saat seperti itu,
para lawan menyeleksi hewan terbaik atau manusia yang tersedia dan melampiaskan amarah mereka
lewat kurban yang tidak bersalah
123 ini. Kurban pengganti juga harus disetujui Allah atau ilah-ilah. Sementara
dalam konteks Perjanjian Lama, umat Israel mempraktekan korban penghapus dosa atau korban penebusan
dosa, dengan mempersembahkan hewan (domba) yang tidak bercacat cela, yang dibawa kepada Imam
untuk selanjutnya disembelih.
Dalam Alkitab, istilah kurban atau persembahan dipakai kata-kata dalam bahasa Ibrani seperti: minkhah,
olah (Korban bakaran), zebakh (Korban sembelihan). Dalam konteks Israel (PL), Tuhan Allah memerintahkan
persembahan kurban dalam konteks untuk memperbaiki hubungan antara Israel dengan Yahweh. Semua
pelanggaran dan dosa memerlukan korbah kesalahan (Imamat 5:17-19). Binatang yang dikorbankan
dibunuh menggantikan manusia si pelanggar yang dapat terkutuk mati. Yang membawa korban harus
meletakkan tangannya di atas kepala binatang korban untuk menyatukan dirinya dengannya (Im.1:4) dan
mempersembahkan dirinya kepada Allah. Amos (5:21 – 27) dan Yesaya (1:10 – 20) tidak mengakui upacara
pengorbanan apabila dilakukan sebagai jalan murah kepada Allah tanpa diikuti dengan ketaatan terhadap
kehendakNya.

Perjanjian Baru mengangkat pokok pikiran korban untuk menjelaskan “kematian Kristus, yakni Kristus yang
mati untuk menebus dosa-dosa kita” (1 Kor.15:3). Oleh karena itu, Yesus disebut sebagai Anak Domba Allah
yang menebus dosa dunia (Yoh.1:29,36). Pengorbanan Yesus adalah wujud dari Anak Domba Allah yang
berkorban untuk menebus manusia dari hukuman dosa dan maut.

2. Dalam sistem atau konsep keagamaan lain, umat percaya bahwa Allah tidak bisa menderita. Tak ada Allah
ataupun ilah-ilah yang pernah menderita untuk kita. Apa yang diyakini sebagai ilah itu sesuatu yang terlalu
besar, atau terlalu impersonal (tidak berujud manusia), atau terlalu jauh, atau terlalu tidak peduli. Allah tidak
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

menderita bagi umat. Demikianlah asumsi yang tidak bisa dibantah dari agama-agama dan sistem filosofis
lainnya.
Namun dalam Yesus yang berkorban dan disalibkan, umat manusia diperhadapkan dengan revolusi
dramatis dalam pemahaman kita tentang Allah. Kejutan Injil Kristen adalah ini: Allah telah memilih untuk
menderita karena dosa dan pemberontakan umat manusia. Dengan kedua tangan yang terentang, dipaku
di kayu salib, Yesus menoleh kepada para serdadu yang angkuh dan kerumunan orang yang berteriak
“salibkanlah dia, bebaskanlah Barabas”, Yesus berucap dengan kasis yang amat dalam, “Ya, Bapa,
ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” (Lukas 23-24).

Adapun wujud dari pengorbanan Allah di dalam Yesus sesungguhnya telah berawal dari wujud kedatangan
Yesus yang menjadi manusia melalui kelahiran seorang bayi malaf. Di wajah bayi Yesus sesungguhnya Allah
mengosongkan dirinya (bahasa Yunani: kenosis), laksana mahkota kemuliaan raja yang di kepalaNya
ditanggalkan, dibuka, dikosongkan, sehingga Ia sungguh-sungguh menjadi rendah, bahkan lebih rendah
dari manusia (bandingkan Filipi 2:7-8). Sebab mahkota kemuliaan raja itu, kini diganti dengan mahkota duri
bagi seorang yang disalibkan dengan tulisan “Inilah Yesus orang Nazareth, Raja orang Yahudi !” Dengan
kata lain, melalui kenosis, Yesus dengan rela meninggalkan kemuliaanNya bersama sang Bapa dan memilih
untuk hidup dan mati sebagai (dan demi) manusia !

3. Apa yang dinyatakan Allah melalui pengorbanan dan kasihNya yang tuntas (bandingkan ucapan Yesus di
salib: “Sudah Selesai !”), sesungguhnya menuntut jawaban atau pilihan sikap dan keputusan manusia yang
percaya kepadaNya. Yesus yang telah mati dan bangkit itu, menampakkan diri di tasik Tiberias dan bertanya
kepada Petrus yang pernah menyangkalinya sebanyak tiga kali, “Apakah engkau mengasihi aku lebih dari
mereka ini ? “ Pertanyaan yang diulangi sebanyak tiga kali, dijawab pula oleh Petrus sebanyak tiga kali, “
Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Lalu Yesuspun berkata (memerintah) kepada Simon
Petrus untuk “Gembalakanlah domba-dombaKu !”
Dengan kata lain, Yesus tidak menuntut banyak dari apa yang harus kita lakukan untuk menyatakan cinta
kasih kita kepadaNya demi merespons kasih dan pengorbananNya itu bagi kita, selain tantangan
pengutusan ini: “gembalakanlah domba-dombaKu”. Dengan kata lain Yesus menghendaki adanya
kesungguhan dari tugas dan pengabdian kita untuk berkarya bagi Tuhan dan sesama yang menjadi bagian
dari tanggung jawab kita pula (domba-domba yang patut kita gembalakan).
Di salib itu, Yesus seakan merentangkan tanganNya dan bertanya: INILAH YANG AKU BUAT BAGIMU, APAKAH
YANG ENGKAU BUAT BAGI-KU ?
Lagu rohani popular, S’PERTI YANG KAU INGINI, nampaknya menjadi penting untuk menempatkan seluruh
sikap dan penghayatan kita sebagai seorang murid terhadap kasih dan pengorbanan Tuhan kita dan
respons kita terhadapnya (Bandingkan 1 Pet.1:18-20). Syair lagu itu demikian :
Bukan dengan barang fana,
Kau membayar dosaku,
Dengan darah yang mahal,
Tiada noda dan cela
Bukan dengan emas perak
Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih
Dan pengorbananMu
Reef. Kutelah mati dan tinggalkan
Cara hidupku yang lama
Semuanya sia-sia dan tak berarti lagi
124
Hidup ini kuletakkan
Pada mezbahMu ya Tuhan
Jadilah padaku seperti yang Kau ingini.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian pengorbanan Allah dalam konteks pengosongan diri Yesus untuk menjadi manusia
2. Jelaskanlah makna pengorbanan Allah
3. Diskusi dan refleksikanlah pengorbanan Allah dan sikap manusia berdasarkan lagu “S’perti yang Kau Ingini”

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :


1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 8. Allah Yang Berkorban dan Melayani
3. Sub Pokok Bahasan : 8.2. Pelayanan Yesus
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yohanes 13:1-20; Mat.20:28; Mrk.10:45
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Mengkaji dan menghayati Allah yang mengorbankan kemuliaan sorgawi demi melayani manusia.

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


4. Menjelaskan arti pelayanan dalam konsepsi Alkitab
5. Menjelaskan makna pelayanan Yesus dalam konteks pelayanan pendamaian
6. Memberikan refleksi terhadap pelayanan Yesus dalam hubungannya dengan respons orang percaya

IV. URAIAN MATERI :


Sejak zaman para filosof kuno yang hidup di masa sebelum Yesus, hal-ihwal tentang pelayanan sudah
mulai mendapat gugatan yang filosofis. Adalah Plato sang Filsuf yang dengan jujur bertanya, “Siapakah yang
senang kalau harus melayani orang lain?” Gugatan filosofis ini pada hakikatnya hendak menyadarkan seluruh
penghayatan manusiawi kita untuk mengakui bahwa memang soal melayani itu bukanlah persoalan yang
gampang.
Dalam PB sendiri ada beberapa kata yang dipakai dalam kaitannya dengan hal melayani, antara lain:
1. Diakoneo, yang berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang melakukannya disebut
diakonos dan pekerjaannya disebut diakonia (band. Luk.17:8). Namun dalam Lukas 22:26,27, Yesus justru
memberi arti yang baru bagi diakoneo, yaitu melayani orang yang justru lebih rendah kedudukannya dari
kita;
2. Douleo, yakni hal menghamba yang dilakukan oleh seorang doulos (budak). Inilah juga yang dipakai dalam
Filipi 2:5-7, yaitu bahwa Yesus yang walaupun mempunyai rupa Allah namun telah mengosongkan diri-Nya
dan mengambil rupa seorang doulos;
3. Leitourgeo, yang berarti bekerja untuk kepentingan rakyat atau umum, sebagai lawan dari bekerja untuk
kepentingan diri sendiri. Orang yang melakukannya disebut leitourgos, dan pekerjaannya yang luhur itu
sendiri disebut sebagai leitourgia. Kata itu juga dapat berarti melakukan upacara atau ibadah kepada para
dewa (bandingkan kata Liturgi).
4. Latreuo, yang berarti bekerja untuk mendapat latron yaitu gaji/upah.

Dalam PB, Yesus juga disebut sebagai pelayan (Roma 15:8). Seluruh kehidupan Yesus adalah pelayanan
itu sendiri. Oleh karena itu, selama 33 tahun masa hidup Yesus semuanya ditandai dengan jiwa melayani tanpa
pamrih dan tanpa batasan ruang125 dan waktu. Tujuan hidup Yesus bukanlah untuk mendapatkan pelayanan
melainkan untuk memberikan pelayanan (Bandingkan ucapanNya, “Aku datang bukan untuk dilayani
melainkan untuk melayani”, Mat. 20”28; Mark.10:45).
Alkitab menggambarkan Yesus bukan sebagai Tuhan yang berjaya atau berkuasa di singgasana,
melainkan sebagai Tuhan yang melayani dan menghamba. Yesus adalah diakonos (pelayan), bahkan doulos
(budak).
Jiwa Kristus adalah jiwa yang melayani atau menghamba.. Maka demikian juga sepatutnya jiwa para
pengikutNya adalah jiwa yang melayani. Siapapun yang bersedia berjalan di belakang Yesus seharusnya
adalah orang yang rela melayani dan menghamba.

Memang harus diakui bahwa dalam realisasinya pelayanan itu sendiri sangatlah tidak mudah, karena
diperhadapkan dengan pelbagai resikonya. Sebab hakikat dari melayani bukanlah berarti kita bersibuk ini dan
itu atau sekadar memberi ini dan itu. Pelayanan yang sejati adalah ketika kita mengosongkan diri dan
menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain. Sementara
kecenderungan orang banyak justru bertentangan: kita lebih suka untuk mengutamakan kepentingan diri
sendiri. Dengan demikian sikap hidup yang melayani terkadang membuat kita laksana hidup “,melawan arus”.
Namun itulah jalan kemuliaan bagi setiap orang yang mau menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Walaupun Allah di pihak yang benar dan manusia di pihak yang salah, namun Allah mendamaikan diriNya
melalui Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran kita (2 Kor.5:18-19). Dan inilah berita yang paling
sentral dalam Alkitab, yakni kita diajak untuk berdamai dengan Allah (2 Kor.5: .20). Lalu sebagai kelanjutannya
pula kita diminta untuk menjadi pelayan pendamaian bagi dunia. Inilah pelayanan gereja yang paling sentral,
yakni memberitakan karya pendamaian Yesus, menerima tiap orang sebagaimana adanya dan mendamaikan
dia dengan Tuhan, mendamaikan orang atau golongan yang saling memembenci, memulihkan keluarga yang
retak, mendamaikan negara yang bermusuhan. Gereja ada agen pendamaian Tuhan. Untuk itu di dalam
gereja sendiri haruslah ada pendamaian. Kisah Anak bungsu yang hilang lalu bertobat dan kembali kepada
bapanya yang justru membuka tangan dan berlari menyambut anaknya, sebagaimana yang
diperumpamakan Yesus dalam Lukas 15, sesungguhnya memperlihatkan wujud dari Bapa sang Pelayan
Pendamaian yang sesungguhnya. Sikap Bapa yang berlari menyambut si anak (sesuatu yang tidak lazim dalam
budaya Israel), sikap Bapa yang merangkul dan mencium si anak tanpa menunggu sang anak meminta
ampun terlebih dulu, sikap Bapa yang tidak menuntut ganti rugi dari si anak atas apa yang telah diperbuatnya,
sesungguhnya memperlihatkan sikap Bapa sorgawi yang sungguh-sungguh penuh kasih dan mengulurkan
selalu tangan pendamaian bagi siapapun yang menginginkannya. Itulah Allah yang digambarkan melalui
Yesus, yaitu Allah yang mau berdamai. Kalau Yesus saja yang adalah Tuhan tidak menolak orang berdosa yang
datang kepadaNya, maka apakah hak kita untuk menolak siapapun yang berbeda, dan termasuk yang
membenci kita ? Bukankah seperti yang dinarasikan oleh Fransiskus dari Assisi dalam doanya, demikianlah pula
hidup kita:
Ya Tuhan…..Jadikanlah kami alat-alat pendamaianMu
Biarlah kami mengasihi di mana ada kebencian;
Memaafkan di mana ada dendam;
Mempersatukan di mana ada perpecahan;
Menimbulkan pengharapan di mana ada keputusasaan;
Memberi iman di mana ada kebimbangan;
Membawa terang di mana ada kegelapan;
Memberi kegembiraan di mana ada kesedihan;
Biarlah kami jangan mencari untuk dihibur, melainkan menghibur;
untuk dipahami, melainkan memahami;
untuk dicintai, melainkan mencintai.
Sebab di dalam memberi kami menerima,
di dalam mengampuni, kami diampuni;
di dalam kematian, kami dilahirkan dalam hidup yang sejati.
Di dalam PuteraMu yang diberkati, Yesus Kristus Tuhan kami, Amin.

V. EVALUASI
1. Jelaskanlah arti pelayanan dalam konsepsi Alkitab
2. Jelaskanlah makna pelayanan Yesus dalam konteks pelayanan pendamaian
3. Diskusi dan refleksikanlah pengorbanan Allah dan sikap manusia berdasarkan puisi Fransiskus dari Asisi

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :


1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
126
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas). Ilah-Ilah Global- Menggali Peran Agama-Agama dalam
Masyarakat Modern (David W. Shenk)

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 6. Pertumbuhan Gereja dan Teologi di Indonesia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.1. Sistem Pembinaan Teologi Umat di GPM
4. Bahan bacaan Alkitab : I Korintus 14 : 10 - 17
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Merefleksikan ulang dan mengembangkan sistem pertumbuhan gereja dan perkembangan teologi di
Indonesia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Memahami sejarah pertumbuhan teologi gereja di Indonesia
2. Menjelaskan sistem pembinaan teologi umat di GPM
3. Merefleksikan makna pembinaan teologi dalam hubungannya dengan pertumbuhan gereja

IV. URAIAN MATERI :

Memahami sistem pembinaan teologi umat di GPM sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan memahami
perkembangan pendidikan teologi (protestan) itu sendiri di Indonesia, yang antara lain dapat dikemukakan
secara singkat sebagai berikut::
(a) Periode Abad ke-19
Abad ke-19 ini dapat menjadi titik awal perkembangan (pendidikan) teologi di Indonesia, sekalipun belum
dalam bentuk yang formal. Misalnya, pada tahun 1821, melalui kehadiran dan peranan Yoseph Kam yang
disebut pula sebagai rasul Maluku dan kemudian oleh Roskott pada tahun 1835-1864 dengan
menyelenggarakan suatu pendidikan untuk guru injil (semacam wakil pendeta) di Ambon (lokasinya di Batu
Merah).Prakarsa pribadi ini selanjutnya diambil alih oleh pemerintah Belanda dengan kebijakan pemerintah
tentang jabatan pendeta pribumi (Inlandsch Leerar) tahun 1867 dan dipublikasikan tahun 1870. Kebijakan
pemerintah ini yang mendorong didirikannya STOVIL (School tot Opleiding van Indlandsche Leeraren) di
Ambon (1885) dan di Tomohon (1886), sebagai lembaga pendidikan formal teologi. Di wilayah Sumatera
Utara, Rheinische Mission dari Lutheran – Jerman menyelenggarakan sekolah guru yang mengajarkan
“teologi” pada tahun 1868 – 1879.
Muatan pendidikan teologi pada masa tersebut sangatlah bibliosentris (artinya: menempatkan Alkitab
sebagai sentrum atau pusat studi) dan eklesiosentris (menempatkan gereja sebagai pusat studi). Di luar kelas
formal, usaha-usaha berteologi berkembang ke arah yang berbeda. Pergumulan jemaat-jemaat setempat
telah mendorong beberapa orang untuk memperhatikan masalah-masalah teologis setempat. Tercatat
misalnya, bagaimana Paulus Tosari dan Kyai Sadrach Surapranata di Jawa Tengah, S. Kruyt di Poso dan
Henoch Lumbantobing dan Nommensen di Batak mendiskusikan hubungan Injil Yesus Kristus dengan nilai-
nilai budaya setempat. Dengan kata lain, pada masa itu, orang-orang Kristen di Indonesia, sudah mulai
berteologi dengan metode induktif, yakni metode yang memperhatikan hal-hal yang khusus dalam
kehidupan sehari-hari jemaat setempat untuk dapat mencapai suatu kesimpulan teologis.
(b) Periode Abad ke-20
Pada tahun 1902, STOVIL dibuka di Kupang, kemudian disusul pendidikan teologi di Yogyakarta tahun 1906,
pendidikan teologi Bale Wijata di Malang tahun 1927, HTS (atau STT Jakarta) tahun 1934 dan Sekolah
Pendeta Makassar di SoE Timor tahun 1948, yang kemudian pada tahun 1954 dipindahkan ke Makassar,
yang kini menjadi STT INTIM Makassar.
Memasuki tahun 1960-an, banyak sekolah teologi didirikan di Indonesia. Hampir setiap sinode gereja di
Indonesia memiliki sekolah teologinya sendiri. Kini sekolah-sekolah teologi tersebut terhimpun dalam sebuah
wadah pendidikan teologi nasional: PERSETIA (Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia) yang
didirikan pada 27 Oktober 1963. Namun, masih banyak pula lembaga pendidikan teologi di luar PERSETIA
tersebut. Misalnya, ATA (Asia Theological Association) yang bersifat Injili, juga berkembang di Indonesia.
Pada tahun 1981, didirikan PASTI (Persekutuan Antar Sekolah Theologia Injili), yang menjadi wadah
berkumpulnya sekolah Alkitab dan seminari injili.
Bila dilihat dari aspek isi dan metode
127 berteologi, maka selama periode abad ke-20 ini Nampak jauh lebih
rumit dibandingkan abad sebelumnya. Banyak masalah dalam periode ini sangat mempengaruhi isi teologi
di Indonesia, seperti munculnya kesadaran kebangsaan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia, konflik
antara daerah dan pusat serta masalah pembangunan nasional. Karena itu, periode abad ke-20 ini dapat
dibagi lagi menjadi subperiode 1 (tahun 1900-1960) dan subperiode 2 (tahun 1960-2000).
(b.1.) Subperiode 1 Abad ke-20 (1900 – 1960):
Ada dua konteks sosial-politik yang dominan dalam subperiode 1 ini, yakni (1) bangkitnya perasaan
kebangsaan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia; dan (2) munculnya konflik ideologi yang
mendapat bentuk dalam Nasakom (Nasionalisme-Agama/Islam-Komunisme) serta konflik pemerintah
pusat dan daerah melalui peristiwa Permesta dan DI/TII yang berlangsung sekitar tahun 1950-an
hingga 1960-an.

Semangat oikoumenis serta kesadaran kebangsaan di kalangan gereja-gereja di Indonesia, yang


dipelopori oleh Hendrik Kraemer (1888-1965) dan semangat oikoumenisme serta kesadaran
kebangsaan bangsa-bangsa di Asia telah iktu mendorong semangat kebangsaan secara politik di
kalangan orang Kristen awam seperti P.Notohamidjojo, T.S.G.Moelia dan Johanes Leimena. Semangat
itu pula yang turut melatari dilahirkannya DGI (yang sejak Sidang Raya ke-10 di Ambon berubah
menjadi PGI).
Metode yang agak menonjol pada periode ini adalah metode deduktif-normatif. Yakni suatu metode
yang dikembangkan terhadap upaya menjawab persoalan-persoalan di jemaat dan masyarakat
dengan ditarik langsung secara garis lurus dari Alkitab ke konteks. Hampir tidak ada dialog antara teks
Alkitab dan konteks jemaat/masyarakat. Pada periode ini diterbitkan buku Ikhtisar Dogmatika yang
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

ditulis oleh R.Soedarmo, sekaligus sebagai orang Indonesia I yang menyusun karangan tentang
keseluruhan dogmatika. Walaupun patut diakui bahwa buku tersebut sangat bercorak teosentris
(Allah sebagai pusatnya) dan Calvinistis. Konteks, misalnya agama-agama lain, hanya mendapat
sedikit perhatian.
Dalam subperiode ini pula ada usaha penerjemahan Nyanyian Rohani (terbit 1949) yang dilakukan
oleh I.S.Kijne yang bekerja sama dengan beberapa teolog Indonesia, seperti J.L.Ch.Abineno. Pada
tahun 1955 isi lagu buku tersebut diperluas menjadi Mazmur dan Nyanyian Rohani. Sehubungan
dengan penyebaran Alkitab, pada tahun 1954, didirikan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang
sampai sekarang berperan dalam penerjemahan, penerbitan dan penyebaran Alkitab.
(b.2.) Subperiode 2 Abad ke-20 (1960 – 2000):
Dalam periode ini, pendidikan teologi secara kontekstual mulai dipikirkan secara serius. Dialog dengan
pandangan hidup budaya lokal dan agama-agama lain lebih diperhatikan. Contohnya dengan buku
dogmatika Iman Kristen (1973) karangan Harun Hadiwijono. Selama periode ini, dilaksanakan empat
kali konsultasi teologi, yakni tahun 1970, 1979, 1982 dan 1994, yang secara umum dibingkai dalam tema
“pembangunan nasional”.
Konsultasi I yang berlangsung di awal-awal pemerintahan ORBA, menghasilkan konsep tentang
pergumulan rangkap (gereja di Indonesia pada satu pihak bergumul dengan firman Allah dan
sekaligus pada pihak lainnya bergumul dengan masyarakat Indonesia yang memulai pembangunan
nasionalnya). Dari konteks tersebut mengalir pula dalam konteks gereja-gereja di Indonesia (DGI)
tentang 4 sikap gereja di Indonesia dalam kaitannya dengan pergumulan rangkap tersebut, yakni: (1)
positif, (2) kreatif, (3) realistis, dan (4) kritis.
Masalah yang menonjol pada periode ini adalah masalah Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam
konteks sosial-politik saat itu, maka gereja-gereja di Indonesia lebih bersifat akomodatif. Karena itu,
muncul ungkapan: “Partisipasi gereja dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila”. Tanpa disadari, sesungguhnya teologi telah bergeser menjadi ideologi atau menjadi alat
pembenaran kegiatan pembangunan yang dalam prosesnya telah pula melahirkan sikap-sikap
negatif seperti korupsi dan ketidakadilan. Kandungan teologi selama dasawarsa ini adalah terlalu
dominasinya konteks, terutama masalah ideologi Pancasila sebagai asas tunggal.
Pada tahun 1990-an, ada lima perkembangan penting, yakni:
(1) Munculnya kesadaran kritis terhadap kehidupan dan praktik gereja serta masyarakat luas.
Konsultasi PERSETIA tahun 1994 yang mengambil tema “Memahami dan Menguji Roh-roh Zaman”
dan Konsultasi PERSETIA tahun 1999 tentang Evaluasi Kristis terhadap PGI dalam memasuki Milenium
III, sesungguhnya merupakan dua contoh tentang kesadaran kritis tersebut.
(2) Wacana tentang teologi feminis dan peranan perempuan dalam pendidikan teologi dan gereja
semakin mendapat perhatian yang serius. Munculnya organisasi PERWATI (kini menjadi PERUATI)
sebagai Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia yang lahir tahun 1995,
merupakan indikasi fenomena tersebut.
(3) Masalah-masalah seperti HAM (Hak Asasi Manusia) dan lingkungan hidup mulai dipandang
sebagai masalah teologis, seiring dengan berbagai kebijakan politik yang melanggar HAM dan
kebijakan ekonomi pembangunan yang merusak lingkungan hidup.
(4) Kesadaran untuk membedakan teologi sebagai ilmu dengan teologi sebagai ajaran resmi geerja.
Berteologi tidaklah harus selalu menganut suatu keyakinan teologis tertentu. Konsekuensinya,
peserta didik di sekolah-sekolah teologi bisa mencakup mereka yang tidak berkeyakinan Kristen.
(5) Tekanan pada aspek berteologi sebagai suatu kegiatan yang bersifat eksperimental dan bukan
dalam rangka perumusan ajaran gereja.
Dengan demikian dapat 128 disimpulkan bahwa metode berteologi yang dominan berlaku pada
dasawarsa 1990-an ini adalah metode induktif dengan pencermatan yang kritis dan luas terhadap
masalah-masalah konteks (dampak pembangunan, perempuan, HAM dan lingkungan).
(c) Periode Abad ke-21 (tahun 2001 hingga kini)
Memang belum dapat dirumuskan secara tegas tentang arah dan perkembangan teologi di abad
kontemporer ini. Namun dengan mencermati beberapa indikasi, maka dapat diprediksikan bahwa
agenda-agenda teologis yang muncul, antara lain: kemiskinan (sebagai dampak ekonomi global/pasar
bebas, perubahan iklim dan bencana alam, demokratisasi (wacana tentang civil society), spiritualitas,
ideologi, budaya lokal, kebangkitan agama-agama non Kristen dan hubungan antar-penganut agama-
agama yang plural, serta pengaruh dari teologi pentakostal dan evangelical dan bahkan fenomena post-
modernisme.

Di GPM sendiri, sistem pembinaan teologi umat dikembangkan, paling kurang melalui 4 (empat) jalur. Jalur
tersebut adalah:
(1) Jalur konstitusional.
Jalur ini mengisyaratkan tentang sejumlah arah dan ketentuan teologi yang dirumuskan melalui perangkat
konstitusional gerejawi seperti TATA-GAREJA, PIP/RIPP yang merupakan Renstra (Rencana Strategis
Pelayanan GPM) untuk 10 tahun), Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM yang ditetapkan sejak Persidangan
ke-35 Sinode GPM tahun 2005, Peraturan Organik, dan pelbagai ketentuan gerejawi yang ditetapkan
melalui lembaga persidangan di aras Sinode, Klasis, hingga jemaat. Sehubungan dengan itu pula, patut
dikemukakan bahwa inspirasi Tema dan Sub Tema gerejawi yang ditetapkan secara resmi melalui jenjang
gerejawi tertinggi dan selanjutnya diimplementasikan di aras klasis maupun jemaat sesungguhnya
ditempatkan, sebagai arah, visi dan misi gereja secara sinodal, klasikal maupun di jemaat-jemaat. Dengan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

begitu akan memungkinkan adanya sentralisasi visi dan desentralisasi prakarsa, sesuai dengan konteks
gumul masing-masing.
(2) Jalur institusional.
Pembinaan teologi umat di GPM dikembangkan pula secara kelembagaan, antara lain melalui (a)
lembaga pendidikan yang dimiliki gereja, seperti Persekolahan YPPK Dr.J.B.Sitanala, maupun UKIM,
khususnya Fakutas Teologi UKIM, (b) Lembaga Pembinaan Jemaat GPM (LPJ-GPM). Selain itu wadah-wadah
pembinaan dan organisasi gerejawi dari SMTPI/Katekisasi, AMGPM, Wadah Pelayanan Perempuan, Laki-laki,
Unit/Sektor, dengan forum-forum pengambilan keputusan gerejawi di aras jemaat, seperti persidangan
jemaat, sesungguhnya merupakan jalur-jalur pembinaan teologi umat yang telah ditata sedemikian rupa
sehingga umat dapat mengamali proses belajar dan doing teologi secara institusional. Penataan
kelembagaan jemaat, baik secara territorial maupun kategorial, turut menempatkan karakteristik jemaat
dalam pengembangan teologinya.
Dalam konteks ini, kendati belum terlalu optimal perlu dikemukakan bahwa sarana Percetakan GPM (masih
dalam tahap pemantapan setelah mengalami kebakaran) juga merupakan sarana yang turut menunjang
proses pembinaan teologi umat melalui penyediaan materi-materi pembinaan umat. Selain itu pula
pengembangan media PIKOM, yakni ASSAU merupakan media komunikasi-informasi yang turut
mengembangkan teologi umat. Bahkan dalam konteks keterkaitan GPM sebagai bagian (anggota) dari
WCC (Dewan Gereja-gereja se Dunia), WARC (Aliansi Gereja-Gereja Reformasi Se-dunia), CCA (Gereja-
gereja se-Asia), maupun PGI dan GPI (Gereja Protestan di Indonesia), GPM terpanggil pula melakukan
pembinaan teologi umat melalui pengembangan kesadaran oikoumenis dan ekologis sebagai perwujudan
gereja Tuhan yang universal dan multiversal (kontekstual). Dengan begitu, isu-isu global pergumulan gereja
yang diisyaratkan melalui gereja-gereja se-dunia, se-Asia maupun se-Indonesia, seperti KPKc (Keadilan,
Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), Dekade Anti-Kekerasan (non-violence decade), menjadi perhatian
dan diimplementasikan pada aras praksis bergereja di tingkat sinodal, klasikal, hingga di jemaat-jemaat.
(3) Jalur liturgi-pastoralia.
Pengembangan liturgi dan pastoralia merupakan sarana pembinaan teologi umat, yang antara lain
diimplementasikan melalui bentuk,verbal, simbol, ekspresi dalam ibadah, pemberitaan firman, doa, musik
gereja, nyanyian dan jenis-jenis liturgi (dengan kebutuhan ibadah, seperti ibadah Minggu, ibadah non
Minggu, dan sebagainya). Pembinaan tersebut merespons pula realita problematika umat yang
membutuhkan pendampingan pastoralia dan diakonal.
(4) Jalur komunal-personal.
Seluruh jalur-jalur pembinaan teologi umat pada akhirnya bermuara pada kepentingan umat, baik secara
personal maupun komunal. Dengan demikian ruang peran dan partisipasi umat secara pribadi maupun
persekutuan (keluarga, jemaat dan sebagainya) dibuka sedemikian rupa, sehingga memungkinkan umat
sendiri berada pada proses aksi-refleksi-aksi terhadap seluruh dinamika konteks, problematika dan
harapannya. Pengembangan spiritualitas umat melalui doa, firman dan praksis hidup di tengah kerja dan
pergumulan sesehari, baik di rumah maupun tempat kerja, merupakan aktualisasi dari pembinaan teologi
umat yang berlangsung secara personal maupun komunal.

Dalam PIP/RIPP GPM dasawarsa ke-2 telah diisyaratkan adanya realitas kewilayahan dari GPM. Realitas
kewilayahan tersebut menjadi konteks pergumulan teologi umat GPM dengan menyadari adanya 5 (lima)
kondisi kewilayahahn GPM, yakni:
(a) Keragaman Budaya, dengan pelbagai sub-sub kultur (di Maluku Tengah, Tenggara, Utara dan
sebagainya). Keragaman budaya tersebut mengisyaratkan berbagai pranata, simbol budaya,
worldview (carapandang umat tentang hidup, Tuhan, dan alam semesta), bahasa, adat dan
pembauran antar-etnik yang 129 berbeda;
(b) Keunikan Sistem Sosial. Berbagai pranata sosial budaya seperti pela-gandong, kaka-wait, larvul-ngabal
ataupun yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan lingkungan dan keutuhan ciptaan seperti sasi,
masohi, maaren, babalu, sosoki, merupakan keunikan system sosial di kalangan masyarakat yang di
dalamnya umat GPM berada. Demikian pun dengan kearifan lokal seperti persekutuan/persaudaraan
soa, mata-rumah, tiga batu tungku, yang mengandung nilai-nilai kebersamaan yang penting;
(c) Tipikal komunitas. Keberadaan jemaat di pulau-pulau, dengan tipikal masyarakat/jemaat
pengunungan, pesisir, pedesaan, perkotaan, merupakan aspek lainnya yang patut dipertimbangkan
dalam konteks pengembangan teologi dan karakter berjemaat;

(d) Solidaritas Antarwilayah. Perspektif teologi “Keluarga Allah” menjadi penting dikembangkan dengan
realitas ketersebaran jemaat-jemaat, baik para pelayan maupun umat (Data tahun 2010: terdapat 26
Klasis, 754 jemaat, dengan total 524.403 jiwa, dan 1.012 pendeta dan Penginjil serta 259 pegawai organik
non pendeta). Dengan begitu kecenderungan polarisasi dan diskriminasi yang merujuk pada orientasi
jemaat-sentris atau klasis-sentris dapat diminimalisir.
(e) Kemajemukan Sosial. GPM yang berada di tengah konteks keragaman wilayah, budaya, agama dan
sebagainya, terpanggil untuk mengembangkan relasi dan interaksi dengan komunitas lainnya. Termasuk
pula dengan gereja atau denominasi lainnya serta seluruh stakeholders yang ada di masyarakat.
Terkait dengan itu, pergulatan GPM pasca konflik, dengan menempatkan visi rekonsiliasi dan rekonstruksi
sebagai bagian dari peace building dan trust building, baik secara fisik maupun non-fisik (mind-set atau
kerangka pikir/cara pandang), khususnya dalam hubungan Islam-Kristen atau Salam-Sarane,
merupakan konteks berteologi dalam bingkai kemajemukan dan hubungan antar umat beragama.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Seluruh upaya pembinaan teologi umat di GPM pada gilirannya bermuara pada perwujudan visi dan misi
gereja, sebagaimana yang dirumuskan dalam PIP/RIPP GPM, yakni:

Visi : Menjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan semua
umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Misi : Mengembangkan kapasitas gereja secara integral untuk memenuhi amanat panggilan sebagai gereja
Kristus yang hidup di kepulauan Maluku dalam konteks pelayanan di Indonesia dan dunia.

IV. EVALUASI

4. Jelaskanlah secara singkat perkembangan sejarah pertumbuhan teologi gereja di Indonesia


5. Sebutkan dan Jelaskanlah secara singkat jalur-jalur pembinaan teologi umat di GPM
6. Diskusikan dan refleksikanlah hubungan antara pertumbuhan gereja dengan pembinaan teologi umat

V. SUMBER KEPUSTAKAAN :

8. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
9. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
10. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
11. B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi ? – Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi.
12. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
13. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
14. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 6. Pertumbuhan Gereja dan Teologi di Indonesia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.2. Peran Warga Gereja dalam Mengembangkan Teologi
4. Bahan bacaan Alkitab : Efesus 2 : 11 - 16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Merefleksikan ulang dan mengembangkan sistem pertumbuhan gereja dan perkembangan teologi di
Indonesia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Memahami pengertian warga gereja sebagai “teolog alami”
2. Menjelaskan carapandang warga gereja dalam mengembangkan teologi
3. Merefleksikan tanggung jawab warga gereja dalam pengembangan teologi

IV. URAIAN MATERI : 130

Siapakah saya dan mengapa saya di sini ? Apakah tujuan hidup saya ? Apa itu nyata, benar, baik ? Jika Allah
ada, apakah Ia lelaki, perempuan atau benda ? dan bagaimana saya mengetahuinya ? Apakah Allah
berhubungan dengan saya, dan bagaima Ia membertahukan hal itu kepada saya ? Mengapa orang-orang
menderita dan mati, dan apakah yang terjadi kemudian setelah itu ? dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan beberapa contoh dari isu-isu teologis yang berkelana dalam benak pikir seseorang.

Orang-orang sering berpikir bahwa teologi itu membosankan. Padahal setiap orang pada hakikatnya adalah
“teolog alami”. Artinya seseorang (atau manusia) pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu. Keingintahuan
tersebut bermuara pada upaya untuk mempertanyakan jawaban-jawaban dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan “besar”; dan hal tersebut pada dirinya telah mengisyaratkan bahwa seseorang itu telah
mewujudkan hidupnya sebagai seorang teolog (alami).

Teologi mengajarkan kepada kita tentang apa yang kekristenan percayai dan bagaimana menghayatinya.
Dengan mengetahui dan menerapkan teologi, kita membuat keputusan bijaksana dan melakukan sesuatu
yang baik. Teologi menjelaskan “mengapa” di balik perintah-perintah Allah dan larangan-laranganNya. Oleh
sebab itu, kehidupan kita sesehari dan pertumbuhan kerohanian kita berhubungan dengan pembelajaran dan
hidup berteologi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Yesus memasukkan akal budi di dalam amanat
agung tengan hal mengasihi Allah. Artinya, berteologi adalah wujud dari mengasihi Tuhan Allah dengan
segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi (Mat.22:37). Dengan kata lain, tidak
menggunakan akal budi yang diberikan Tuhan untuk mempelajari teologi berarti sama halnya dengan tidak
menaati perintah (mengasihi) Allah. Sebaliknya, menaati perintah Allah dengan menerapkan akal budi kita
mengenai kebenaranNya adalah merupakan hal yang menyenangkan Allah.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Tanpa jawaban-jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan-pertanyaan besar kita, maka hidup terasa
tidak masuk akal. Jika pertanyaan kita biarkan tidak terjawab, maka ada hal yang terasa tidak pas dalam hidup
kita, termasuk dalam pemikiran kita. Segalanya akan tidak mengakar. Olehnya itu, tanpa teologi hidup
mengarah pada keputusasaan. Dengan demikian, teologi merupakan fondasi dari seluruh relevansi.

Kata Teologi berasal dari bahasa Yunani: Theos yang berarti Allah dan Logos yang memiliki pengertian sebagai
sabda / wacana / pemikiran / refleksi. Secara sederhana Teologi dapat diartikan sebagai pemikiran tentang
dan mewacanakan Allah serta subyek-subyek yang berhubungan dengan Allah seperti alkitab, iman, Yesus,
dan pertanyaan-pertanyaan besar lainnya tentang hidup, kebenaran dan kenyataan. Filsuf Yunani kuno,
Aristoteles, menganggap teologi sebagai ilmu terbesar karena obyek studinya adalah Allah, yang adalah
realitas tertinggi. Bahkan hingga Abad Pertengahan, teologi dikenal sebagai “Ratunya Ilmu Pengetahuan” (The
Queen of the Sciences). Istilah teologi sendiri telah dipakai oleh orang Yunani jauh sebelum munculnya gereja
Kristen, yakni untuk menunjuk pada ilmu mengenai hal-hal ilahi. Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula hanya
membahas ajaran mengenai Allah, kemudian artinya menjadi lebih luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran
dan praktik Kristen.

Ketika wacana tentang peran warga gereja dalam berteologi, maka terbuka kemungkinan warga gereja pun
untuk secara mandiri, kritis dan kreatif mengembangkan pemahaman dan penghayatan teologinya tentang
Allah yang diimaninya di tengah konteks gumulannya, hic et nunc (di sini dan kini). Adapun peran warga gereja
dalam pengembangan teologi tersebut bukanlah tanpa arah dan wawasan, melainkan sebagai bagian dari
gereja Tuhan, warga gereja memiliki keterikatan untuk memiliki wawasan eklesiologi, yang melaluinya peran
dan partisipasinya dalam mengembangkan teologi diwujudkan.

Dalam PIP/RIPP GPM dirumuskan wawasan atau carapandang tersebut, yakni:


1) Memiliki wawasan missioner dan kemuridan, yakni carapandang gereja mengenai tugas pelayaannya
sebagai bagian dari perwujudan panggilan TUHAN kepada gereja untuk bermisi di dunia. Dengan demikian
seorang murid menyadari tugasnya sebagai agen missio Dei untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan
Allah di dunia, sambil meneladani Yesus, sebagai Tuhan dan Kepala Gereja;
2) Berwawasan profetik, yakni carapandang gereja mengenai tugasnya bukan hanya untuk membangun,
tetapi juga untuk mengaktakan kebenaran, keadilan, cinta kasih dalam relasi antarmanusia, manusia
dengan Tuhan, gereja dengan pemerintah, dalam konteks keutuhan ciptaan Allah. Dengan demikian maka
gereja akan selalu kritis, positif, konstruktif dalam menajwab berbagai tantangan hidup dalam masyarakat,
bangsa dan negara sebagai gereja Kristus yang hidup;
3) Berwawasan Keluarga Allah, yakni carapandang gereja untuk berjalan dan bertumbuh bersama dalam
keutuhan Tubuh Kristus, atau anggota Keluarga Allah. Dengan demikian maka gereja mengembangkan
usaha-usaha saling membantu, menolong, menopang, memulihkan dan menanggung beban satu sama
lain;
4) Berwawasan Oikoumenis, yakni carapandang gereja untuk membangun relasi dengan semua manusia,
alam ciptaan Tuhan, dan dengan gereja lain dalam persekutuan gereja yang kudus, am dan rasuli;
5) Berwawasan Berkelanjutan, yakni carapandang gereja untuk meningkatkan kualitas pelayanannya,
memelihara persekutuan jemaat dan bersama-sama memberi jawaban terhadap berbagai perubahan
yang dialaminya di dalam dunia.

V. EVALUASI

7. Jelaskanlah pengertian: 131


a. Kata “Teologi”
b. Istilah Warga gereja sebagai “Teolog alami”
8. Sebutkan dan jelaskanlah 5 (lima) cara pandang warga gereja dalam pengembangan teologi
9. Refleksikanlah makna dari tanggung jawab warga gereja dalam pengembangan teologi

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :

15. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
16. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
17. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
18. B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi ? – Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi.
19. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
20. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
21. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
22. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 6. Pertumbuhan Gereja dan Teologi di Indonesia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.3. Cara-cara Berteologi yang Relevan
4. Bahan bacaan Alkitab : Matius 16 : 13 - 20
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Merefleksikan ulang dan mengembangkan sistem pertumbuhan gereja dan perkembangan teologi di
Indonesia

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN :


1. Memahami alasan berteologi yang relevan
2. Menjelaskan langkah-langkah praktis dalam berteologi
3. Memahami konteks berteologi di tengah konteks
4. Menerapkan praktik berteologi yang relevan secara praktis

IV. URAIAN MATERI :

Bevans dalam bukunya Model-Model Teologi Kontekstual mengisyaratkan bahwa teologi itu sepatutnya
memiliki relevansi dengan konteks. Dalam sebutan lainnya dipakai istilah teologi kontekstual, yang pada
dasawarsa 70-an mulai menjadi minat, ketika realita konteks menjadi pertimbangan dan fokus dari
pengembangan teologi. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kebanyakan gereja (gereja pribumi/lokal)
merupakan gereja-gereja yang memiliki warisan teologi dari gereja (ibu) asuhnya di luar negeri. Kalau dalam
bahasa Bevans, dikemukakan adanya 2 (dua) alasan mengapa pentingnya teologi itu dikembangkan secara
kontekstual (relevan dengan konteks), yakni:
(1) Adanya faktor-faktor eksternal. Artinya perkembangan di negara dunia pertama maupun dunia ketiga
mengindikasikan adanya kekecewaan terhadap teologi “import” yang lebih ke-baratbaratan (karena latar
penulis/teolog dengan budayanya)
(2) Faktor internal.Tak dapat dipungkiri bahwa inkarnasi Allah di tengah konteks telah berdampak pula
terhadap penghayatan internal orang percaya di konteks masing-masing. Karena itu wajar bila muncul
ungkapan –ungkapan Kristologi seperti Yesus Afrika (yang hitam), Yesus Jawa (yang pakai blankon dan
keris), Yesus Bali (yang menari). Bahkan di Maluku sendiri kita kenal istilah Tete Manis yang cenderung
ditujukan kepada Yesus.

Bevans sendiri mengemukakan adanya 5 (lima) model menyangkut saling pengaruh antara Injil dan
kebudayaan, yakni model terjemahan, model antropologis, model praksis, model sintesis, dan model
transcendental. Model apapun, menurut Bevans pada dasarnya teologi saat ini tidak bisa mengabaikan aspek
konteks. Dengan demikian aspek konteks pengalaman masa lampau dan sekarang menjadi titik tolak pula
ketika dilakukan refleksi berdasarkan
132 tradisi (baik Alkitab maupun budaya) yang dimiliki.

Sederhananya, Bevan menggambarkannya sebagai berikut:

Pengalaman masa lampau Pengalaman masa sekarang


(Konteks)

Yang terekam dalam Alkitab 1) Pengalaman Personal Komunal


(disimpan,dibela dalam tradisi) 2) Kebudayaan
3) Lokasi Sosial
4) Perubahan Sosial

Dalam pendekatan yang lebih sederhana, Bruce Demarest dan Gordon Lewis merekomendasikan 6 langkah
berteologi secara praktis, yakni:
(1) Definisikan masalah atau topiknya.
Penting untuk merumuskan, isu apakah yang sedang diteliti.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

(2) Pelajari pandangan-pandangan alternatif.


Kita perlu bertanya, apakah yang ditemukan oleh para sarjana saleh sepanjang sejarah gereja ? Ingatlah
bahwa Roh Kudus yang menolong mereka, dan kita juga di masa kini.Kita mungkin tidak selalu menyetujui
kesimpulan nenek moyang rohani kita, tetapi kita menjadi arogan dan angkuh jika tidak
mempertimbangkan hasil karya mereka.
(3) Meneliti pengajaran Alkitab mengenai topik tersebut.
Ini merupakan langkah untuk meneliti bahan mentah teologi Kristen. Oleh karena itu memerlukan
interpretasi (penafsiran) yang kuat dan keharusan meninjau seluruh bagian Alkitab yang relevan. Dengan
hanya menggunakan ayat-ayat secara terpisah hanya dapat mengakibatkan pengertian yang tidak utuh
atau bahkan menyimpang dari pengajaran Alkitab.
(4) Membentuk sebuah doktrin yang terpadu.
Berdasarkan pada data biblika, rangkumlah penemuan anda secara sistimatis. Kesimpulan doctrinal ini
seharusnya tidak bertentangan dengan doktrin-doktrin Alkitab lainnya atau pengetahuan yang benar dari
bidang-bidang lain. Jikalau bertentangan, lakukanlah penggalian lebih dalam dan pikirkanlah dengan
lebih baik lagi.
(5) Pertahankan doktrin anda.
Pertimbangkanlah keabsahan doktrin anda dengan diterangi pilihan-pilihan lain. Dapatkah doktrin itu
bertahan dari keberatan filsafat, ilmu-ilmu pengetahuan, teolgi yang berbeda, agama-agama dan sekte-
sekte ? Jika tidak, ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Langkah ini akan berlanjut sepanjang tantangan
baru mengkonfrontasikan kekristenan.
(6) Aplikasikan kesimpulan-kesimpulan anda dalam hidup dan pelayanan.
Lakukanlah apa yang Anda percayai. Pembelajaran kita tidak seharusnya hanya mengantarkan kita pada
teori-teori saja,t etapi harus membuat perbedaan dalam kehidupan kita dan mereka yang kita jumpai.
Pertumbuhan karakter batiniah kita dan ekspresinya melalui tingkah laku seharusnya menjadi tujuan kita !

Sehubungan dengan itu, realita problematika konteks menjadi penting dalam pengembangan teologi yang
relevan. Dalam konteks GPM, PIP/RIPP GPM dasawarsa kedua telah merumuskan realita problematika konteks
yang sekaligus pula menjadi titik fokus kita dalam mengembangkan teologi yang relevan.
Adapun realita tersebut teridentifikasi dalam 19 problematika, yakni

(1) Kemiskinan
(2) Pluralisme dan Dialog Antaragama
(3) Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia)
(4) Kemitraan Laki-Laki – Perempuan / Gender
(5) Relasi Gereja dan Negara
(6) Krisis Lingkungan Hidup
(7) Masalah Kesehatan, HIV/AIDS dan Narkoba
(8) Sumber Daya Manusia (Pendidikan)
(9) Masalah Kapasitas Gereja (Umat, Pelayan dan Kelembagaaan)
(10) Peran Politik Gereja
(11) Gereja dan Kebudayaan
(12) Perdamaian dan Rasa Saling Percaya (Trust)
(13) Gereja dan Media Massa
(14) Gereja dan Gerakan Oikoumene (Pentakostalisme dan Denominasi)
(15) Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah
(16) Gereja dan Kemandirian (Teologi,
133 Daya dan Dana)
(17) Komunikasi dan Transportasi
(18) Aset-aset Gereja
(19) Gereja dan Keluarga.

Sebagai warga gereja, siapapun kita, kapan dan di manapun kita berada, maka hendaknya kita menyadari
bahwa melakukan refleksi teologi itu merupakan suatu panggilan dan tanggung jawab setiap orang.
Melaluinya kita terus-menerus mengemban peran untuk membarui, membangun dan memberdayakan gereja
sebagai bangunan Tubuh Kristus yang rapi tersusun sesuai dengan kasih karunia yang dimiliki ( 1 Kor.12). Gereja
adalah persekutuan orang percaya yang bertumbuh, dan karena itu, kita tidak mungkin hanya tinggal seperti
bayi yang menyusu (Ibr.5:12).
Dengan demikian, Kesadaran akan tanggung jawab berteologi yang relevan bukan hanya menjadi peran dari
pihak pendeta atau kalangan akademik (teologi) melainkan tanggung jawab melekat dari setiap warga
gereja.

V. EVALUASI

10. Jelaskan alasan kita


mengembangkan teologi yang relevan (kontekstual)
11. Sebutkan dan Jelaskanlah
langkah-langkah praktis dalam berteologi menurut Bruce Demarest dan Gordon Lewis.
12. Sebutkan 10 dari 19 konteks
berteologi yang patut diketahui dalam mengembangkan teologi yang relevan di Maluku (GPM)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

13. Lakukanlah suatu contoh


berteologi dengan isu/tema yang dipilih secara bebas. Setelah itu diskusikanlah

VI. SUMBER KEPUSTAKAAN :

23. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
24. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
25. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
26. B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi ? – Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi.
27. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
28. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
29. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
30. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
31. Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual.

134
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 7. Kemiskinan, Kekayaan & Kecukupan
3. Sub Pokok Bahasan : 7.1. Pengertian tentang Kemiskinan dan Penyebabnya
7.2. Pandangan Iman Kristen tentang Kemiskinan, Harta dan Kekayaan
7.3. Pandangan Iman Kristen tentang Hidup yang Berkecukupan
7.4. Problematika Kemiskinan dan Kekayaan
7.5. Tantang-jawab Gereja dalam Mengentaskan Kemiskinan
7.6. Kiat Mewujudkan Hidup yang Berkecukupan
4. Pembacaan Alkitab : a. Untuk SPB 7.1 =I Sam 2:7; Amsal 10:4;13:18;20:13;Mat 5:3
b. Untuk SPB 7.2 = Maz.112:1-10;Amsal 3:9; Luk.12:34
c. Untuk SPB 7.3 = Mat.6:11;Luk 3:14; 2 Kor.8:13-15
d. Untuk SPB 7.4 = Amsal 30:7-14; Amos 5:7-13
e. Untuk SPB 7.5 = Kel.23:10-13; Ul.15:7-11; Luk.4:18-19
f. Untuk SPB 7.6 = Amsal 3:25; 25:28;Pengkh.3:6;Ibr.13:5
5. Jumlah Tatap Muka : 3 kali tatap-muka (300 menit), dengan rincian
a. SPB 7.1, 7.2 dan 7.3 disajikan dalam 1 kali pertemuan
b. SPB 7.4 dan 7.5 disajikan dalam 1 kali pertemuan
c. SPB 7.6 disajikan dalam 1 kali pertemuan.
6. Semester : 1 (GANJIL)

II. TUJUAN UMUM PENYAJIAN :


Memahami dan Mengembangkan Hidup yang Berkecukupan

III. TUJUAN KHUSUS PENYAJIAN:


1. Menjelaskan pengertian tentang Kemiskinan dan Penyebabnya
2. Menjelaskan pandangan Iman Kristen tentang Kemiskinan, Harta dan Kekayaan
3. Menjelaskan pandangan Iman Kristen tentang hidup yang berkecukupan
4. Mendiskripsikan permasalahan kemiskinan dan kekayaan
5. Merefleksikan tantang-jawab gereja dalam mengentaskan Kemiskinan
6. Mendiskusikan kiat mewujudkan hidup yang berkecukupan.

IV. URAIAN MATERI


1. Pengertian tentang Kemiskinan dan Penyebabnya
Secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang memandang
kemiskinan adalah suatu proses sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat
atau fenomena dalam suatu masyarakat (Dillon, 1999 : 19).
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian
kemiskinan dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar (bebas)
dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat.
Paham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan relatifatau sering pula dikenal sebagai kemiskinan
struktural.
Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat
melahirkan konsep kemiskinan absolut. Sejalan dengan konsep absolut ini, maka Bank Dunia mendefinisikan
kemiskinan sebagai ketidak-mampuan
135 suatu individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atau dengan
kata lain perspektif dari garis absolut berada di bawah garis kemiskinan (povertv line). Kemiskinan absolut
memberikan gambaran tentang tingkat kesejahteraan ekonomi yang tidak memadai dibandingkan dengan
kebutuhan minimum untuk hidup sebagai makhluk individu dan sebagai anggota masyarakat. Sebagai
makhluk setiap anggota masyarakat mempunyai kebutuhan yang secara minimal diperlukan untuk
mempertahankan hidup seperti pakaian, pangan, papan, dan lain-lain. Di samping itu sebagai anggota
masyarakat seseorang juga memiliki sejumlah kebutuhan sosial di samping kebutuhan pokok untuk
mempertahankan hidup. Kebutuhan sosial ini sangat tergantung kepada lingkungan dan tingkat kemajuan
masyarakat. Buku tulis dan pena adalah kebutuhan pokok bagi seorang pelajar tetapi ini bukan suatu yang
diperlukan oleh buruh tani. Sepatu mungkin merupakan kebutuhan pokok bagi warga kota, sementara bagi
masyarakat pedesaan dipandang tidak terlalu penting. Jadi jumlah penduduk yang tergolong miskin secara
absolut di dalam suatu masyarakat sangat tergantung kepada tingkat kemajuan ekonomi dari masyarakat
tersebut. Nurwidiastuti (2001:79) mengatakan bahwa miskin adalah seseorang atau sekelompok orang yang
tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari
standar hidup tertentu. Kemiskinan relatif menggambarkan tingkat kesejahteraan ekonomi seseorang
(kelompok orang) yang relatif jauh di bawah kondisi ekonomi anggota masyarakat (kelompok) yang lain di
dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu. Jadi di sini dilihat tingkat kesejahteraan ekonomi anggota
masyarakat yang satu dibandingkan dengan yang lain. Kelompok miskin dalam pengertian ini dijumpai
dalam setiap lingkungan masyarakat betapapun tingkat kemajuan ekonomi yang telah dicapai oleh
masyarakat yang bersangkutan. Di dalam masyarakat, tanpa melihat tingkat kemajuan ekonominya, selalu
ada kelompok yang jauh kurang beruntung dari yang lain. Cuma saja disparitas (kesenjangan)
kesejahteraan ekonomi antara anggota masyarakat di dalam suatu masyarakat yang tergolong maju
kehidupan ekonominya relatif tidak setinggi indeks disparitas yang dijumpai di lingkungan masyarakat yang
masih tertinggal kemajuan ekonominya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah bahwa mereka yang tergolong berada di kalangan
masyarakat yang tingkat kemajuan ekonominya belum begitu berkembang mungkin saja akan tergolong
miskin dilihat dari ukuran yang berlaku di lingkungan masyarakat yang lebih berkembang. Oleh karena
itu perlu berhati-hati memperbandingkan tingkat kesejahteraan dari kelompok berpendapatan tertentu
di antara masyarakat yang berbeda tingkat kemajuan ekonominya. Berdasarkan Definisi-definisi kemiskinan
yang telah dinyatakan terdahulu maka kemiskinan dalam hal ini adalah keadaan seseorang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan minimum hidupnya karena kegagalan suatu sistem masyarakat
mengalokasikan sumber daya secara adil kepada seluruh anggota masyarakat.
Terkait dengan kemiskinan ini, perlu ditambahkan pula tentang beberapa faktor penyebabnya. Bila
diringkaskan dari pandangan beberapa ahli (antara lain: Ginanjar ,1996 : 240; Salim,1994:40; Hadiwegono
dan Pakpahan,1993:25), maka faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut, antara lain:
a. Rendahnya taraf pendidikan.
b. Rendahnya taraf kesehatan.
c. Terbatasnya lapangan kerja.
d. Kondisi keterisolasian.
e. Tidak adanya asset produksi
f. Sumber daya manusia yang rendah
g. Sumber daya alam yang terbatas.
h. Teknologi dan unsur penduduknya yang rendah.
i. Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan dan system yang belum baik.
Rendahnya beberapa faktor di atas menyebabkan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat
dilakukan oleh masyarakat. Dengan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan berakibat pada
rendahnya produktivitas dan pendapatan yang diterima yang pada gilirannya pendapatan tersebut tidak
mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan.

2. Pandangan Iman Kristen Tentang Kemiskinan, Harta dan Kekayaan


Alkitab berkata, "Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu, sebab sungguh Tuhan akan
memberkati engkau di negeri yang diberikan Tuhan Allahmu, kepadamu untuk menjadi milik pusaka, asal
saja engkau mendengarkan baik-baik suara Tuhan Allahmu, dan melakukan dengan setia segenap perintah
yang kusampaikan kepadamu pada hari ini" (Ul. 15:4-5). Tuhan Yesus berkata, " Karena orang-orang miskin
selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu" (Matius 26:11).
Kemiskinan adalah salah satu tema penting baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Kemiskinan dalam Alkitab pada satu pihak menunjukkan perilaku hubungan antar manusia dengan
sesamanya dan pada pihak lain juga menunjukkan hubungan antara manusia dengan Allah. Perjanjian
Lama menggunakan istilah rash untuk orang miskin. Orang miskin ini bisa berarti juga ebyon, pengemis, orang
yang berkekurangan dan menunggu orang lain untuk memberi. Bisajuga dal, orang lemah atau kaum
proletar. Orang miskin dapat disebutjuga ani, mereka yang sudah kerja berat tetapi tidak punya apa-apa,
mereka yang terhina. Akhirnya orang miskin bisa juga berarti anaw, mereka yang merendahkan diri
dihadapan Allah (humble before God). Kemiskinan mereka disebabkan karena ketidak-adilan hidup,
mereka tertindas karena kejahatan penguasa (Ayub 24:2-14). Kemiskinan bukan disebabkan oleh takdir atau
nasib, melainkan karena perbuatan jahat penguasa (Amos 2:6-7). Yesaya mengindentifikasikan bahwa
orang miskin sebagai orang yang dirampok hak-haknya (Yesaya 10:1-2). Nabi-nabi pun mencela perlakuan
yang kejam kepada orang miskin seperti eksploitasi dan pratek dagang yang curang (Hos. 12:8; Am. 8:5; Mik.
6:10-11; Yes. 3:14; Yer. 5:27; 6:12); mereka yang dirampas tanah (Mik. 2:1-3; Yeh. 22:29; Hab. 2:5-6): mereka
yang tidak mendapatkan pengadilan 136 yang jujur (Am. 8:5; Yer. 22:13-17; Mik 3:9-11; Yes 5:23; 10:1-2); Perjanjian
Lama mencatat bahwa Allah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan yang membuat mereka hidup
menderita. "Biarkan umatKu pergi agar mereka dapat beribadah kepadaKu (Kel. 4:23).
Perjanjian Baru mempunyai empat kata untuk "miskin", yaitu ptokhos (34x), penes (lx), penikhros (lx) dan
endees (lx). Ptokhos berarti orang miskin, seseorang yang tidak memiliki sesuafu yang penting untuk hidupnya
atau orang yang bernasib malang sehingga mengemis. Kata ptokhos selalu berarti orang yang secara
material miskin. Mereka tidak hanya tanpa harta milik. Merekajuga tidak mendapat pendidikan. Mereka
tidak punya tempat dalam masyarakat, tidak terpandang dan tidak terpakai. Mereka miskin baik dalam arti
ekonomis maupun dalam arti sosial. Kitab-kitab Injil mencatat bahwa orang miskin bersama dengan orang
buta, orang lumpuh, orang kusta dan orang tuli (Mat. 11:5; Mat. 25:35; Luk. 14:13-21; 16:20; Mrk. 10:46-52).
Yang disebut miskin tidak hanya pengemis, yang memelas karena kelemahan fisik, tetapi termasukjuga buruh
harian yang menganggur, budak yang melarikan diri; orang-orang yang mengungsi dan orang-orang yang
harus lari karena tidak bisa membayar utang Pada zaman Yesus, di Palestina kehidupan orang tidak
hanya berat tetapi sungguh-sungguh miskin. Rakyat dihisap oleh orang Romawi, khususnya melalui pajak.
Tidak mengherankan bila pegawai pajak sangat dibenci oleh seluruh rakyat dan dipandang sama dengan
pendosa. Mereka yang miskin sungguh-sungguh lapar, sakit dan haus. Yesus sendiri mengidentifikasikan
dirinya dengan mereka yang miskin, ''Anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya"
(Mat. 8:20); dan Lukas menceritakan bahwa sesudah kelahiranNya, Yesus "dibaringkan di dalam palungan.
karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginaparT (Luk 2:7). Oleh karena itu Paulus berkata "la
menjadi miskin, sekalipun ia kaya" (1 Kor 8:9).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Berikut disajikan pandangan Teolog Indonesia Pdt. Dr. S.A.E. Nababan~ tentang kemiskinan : Beliau
berpendapat bahwa tidak boleh cepat-cepat kemiskinan dihubungkan bahwa dengan kehendak Allah,
sebagaimana teologi pietisme dan doktrin yang berlebihan tentang pemeliharaan Allah. Terdapat
penafsiran yang keliru dan harafiah terhadap ayat-ayat Alkitab yang dianggap sebagai dasar bagi
pandangan bahwa Allah menginginkan manusia miskin, misalnya 1 Samuel 2:7a, Ayub 1:21 dan Amsal 22:2.
Nababan menafsirkan bahwa 1 Samuel 2:7a tidak mengatakan bahwa Allah menjadikan orang kaya atau
miskin, sehingga kemiskinan selalu dan hanya disebabkan oleh Allah. Sebaliknya di situ dikatakan bahwa
Allah dapat membuat manusia kaya atau miskin. Kata dapat menunjuk kepada kuasa Allah, bukan suatu
derajat kesewenang-wenangan Allah, yang menjadikan orang kaya atau miskin.
Dengan kata lain, tanggungjawab untuk menjadi kaya terletak pada manusia sendiri. Kitab Ayub 1:21,
menurutnya bukanlah suatu sikap menyerah kepada nasib melainkan suatu pengakuan iman dan Amsal
22:2 bukanlah suatu pernyataan yang mengatur status ekonomi manusia, melainkan suatu pernyataan yang
secarajelas mengungkapkan bahvva Allah adalah Khalik manusia, baik kaya maupun miskin. Karena itu,
Allah tidak menciptakan orang kaya dan miskin, melainkan orang-orang yang kaya dan miskin.
Penekanannya harus diletakkan pada manusia, dan bukan pada status ekonomi manusia. Adalah hak
istimewa Allahjika orang miskin dapat dipakai sebagai alatNya yang unik di tanganNya. Nababan dengan
yakin melihat bahwa penyebab kemiskinan terletak dalam kemalasan dan usia tua (Am. 6:9-11; bnd 24:30;
19:15), kemabukan dan kerakusan (Am 21:17; 23:20-21), eksploitasi jahat terhadap sesama (2 Sam 11-12),
yang berpengaruh langsung bagi kehidupan sosial ekonomi. Kemiskinan dapat juga diakibatkan oleh
dominasi kolonial (Kel 1) dan bencana alam (Kel 10:4-5). Kemiskinan tidak boleh secara otomatis disamakan
dengan kesalehan, meskipun dalam kesalehan Yahudi terdapat orang miskin yang disebut "adil, benar dan
saleh". Mereka disebut demikian karena mereka telah miskin dan membuat dirinya sepenuhnya tergantung
kepada Allah.
Jadi, kemiskinan tidak dapat dilihat sebagai suatu kebajikan Kristen, meskipun misalnya didasarkan
ucapan Yesus dalam khotbah di Bukit. Kata Yunani ptokhos yang dipakai dalam KhotbahNya mengacu
pada tindakan menggali lubang, yang berarti bekerja keras untuk diri sendiri. Ini berarti kata ptokhos
berusaha menggambarkan orang-orang miskin dan menderita akibat keadaan-keadaan mereka, namun
yang dalam kemiskinannya membuat dirinya bergantung kepada Allah. Mereka inilah yang dalam
pengharapannya ditujukan kepada Allah, disebut "berbahagia". Karena itu Yesus tidak setuju dengan
kemiskinan, ketika la menyebut orang miskin "berbahagia". Sebaliknya, jelas sekali bahwa Yesus tidak
mengagungkan kemiskinan. Allah mengalahkan kemiskinan (Mat. 11:4) Jadi pandangan yang memahami
kemiskinan sebagai suatu kebajikan harus ditolak. Cerita tentang orang muda yang kaya dalam Markus 10:21
tidak boleh ditafsirkan sebagai satu di antara banyak kemungkinan yang dapat dipilih manusia untuk
mencapai kesempurnan dalam hidup, atau salah satu keputusan moral, melainkan suatu panggilan untuk
mengambil keputusan, yakni ketaatan atau pemberontakan terhadap Allah.
Mengenai soal keadilan, Nababan berpendapat bahwa kaum miskin harus dihargai harkat dan
martabatnya baik dalam prinsip maupun praktek hidup. TegasnyaJurang antara yang miskin dan yang kaya
harus dihapuskan, sebab jika tidak, masyarakat akan menghadapi bahaya besar. Kemalasan pun harus
dihapuskan. Kemiskinan tidak dapat dianggap sebagai hukuman atas dosa, walaupun kenyataannya
kemiskinan jelas merupakan hasil dan konsekuensi kuasa dosa dalam dunia ini.
Selanjutnya, berkaitan dengan harta dan kekayaan, pandangan Kristen terhadapnya sangat
berlainan sekali dengan pandangan dunia. Pandangan dunia mengatakan bahwa harta dan kekayaan
merupakan sesuatu yang diperoleh karena usaha manusia sendiri, karena nasib baik, atau karena
kemujuran. Harta dan kekayaan adalah untuk manusia pakai dan demi kepuasan manusia. Pandangan
Kristen tentang harta dan kekayaan yaitu bahwa harta dan kekayaan yang dimiliki manusia haruslah bisa
digunakan dengan cara-cara137 yang mendatangkan kemuliaan bagi Allah. Harta dan kekayaan bukan
sesuatu yang atasnya manusia mempunyai kekuasaan penuh; manusia hanyalah pengelola kekayaan
Allah. llustrasi yang baik tentang prinsip ini terdapat dalam perumpamaan tentang talenta, yang
menunjukkan bahwa harta dan kekayaan yang manusia peroleh karena kerja sekalipun bukan merupakan
milik manusia sebab Allah-lah yang sebenarnya memberikan manusia kesempatan untuk memperolehnya.
Harta dan kekayaan oleh sebagian orang hanya untuk dinikmati sendiri, padahal seharusnya tidak
demikian. Allah sebenarnya berencana agar umatNya saling melengkapi, termasuk di dalamnya, dengan
kekayaan yang mereka miliki. Perhatikan rencana Allah yang dinyatakan kepada Abraham, yang berlaku
juga atas semua umat Allah: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati
engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-
orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:2-3). Ayat tersebut dengan tegas menyatakan
bahwa Allah tidak hanya ingin umatNya mendapatkan berkat bagi kepentingan diri mereka saja; Allah ingin
umatNya menjadi berkat. Allah ingin membuat umatNya sebagai saluran berkat semua bangsa.
Sebagai manusia yang diberi kepercayaan untuk mengelola harta dan kekayaan milik Allah, maka
manusia harus bertanggungjawab atasnya. Kisah tentang Ananias dan Safira dalam Kisah Para Rasul 5
merupakan pelajaran yang baik. Petrus berkata kepada Ananias. "Selama tanah itu tidak dijual, bukankah
itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu?" Dengan kata lain,
Ananias bertanggung jawab atas penggunaan harta dan kekayaannya. la dihukum karena ia
mengemukakan hal yang tidak benar dan menyalahgunakan kekayaannya. Allah memberi kepada
manusia secara melimpah untuk dinikmati dan kisah tentang orang-orang kaya dalam Alkitab merupakan
gambaran yang baik tentang prinsip tersebut. Tetapi haruslah orang-orang yang mempunyai kekayaan perlu
memandang denganjelas tuntutan dan kebutuhan lingkungannya. dengan tetap berusaha memberikan
respon positif terhadap tuntutan dan kebutuhan lingkungan dimana orang kaya itu berada.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Rasul Paulus dalam Efesus 4:28 menjelaskan : "Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi
baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat
membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan." Kenikmatan dari pemberian yang indah dari
Tuhan harus di imbangi dengan memenuhi kebutuhan mereka yang kekurangan, terutama mereka yang
seiman dengan kita. Pasal 12, 16, dan 18 dalam Injil Lukas semuanya memberikan peringatan tentang
kekayaan (harta). Pada pasal 12, dalam cerita mengenai orang kaya yang bodoh, kita melihat bahwa
kekayaan (harta) jangan sampai menjadi tempat berlindung orang Kristen. Pada pasal 16, dalam kisah
mengenai orang kaya dan Lazarus, dapat dilihat bahwa manusia bisa begitu dikuasai oleh kekayaan (harta)
sehingga mereka mengabaikan Alkitab. Pada pasal 18, dalam cerita mengenai percakapan Yesus dengan
seorang pemimpin muda yang kaya, dapat dilihat bagaimana kekayaan (harta) dapat memperlemah iman
kepada Tuhan Allah.
Jadi sikap Yesus sendiri terhadap kemiskinan, harta dan kekayaan, Ia sama sekali tidak anti kekayaan
ataupun mengagungkan kemiskinan, melainkan Yesus menghendaki agar apapun yang dimiliki oleh orang
percaya, ia harus memperlabakannya untuk menjadi berkat bagi orang lain dan memuliakan nama Tuhan.

3. Pandangan Iman Kristen tentang Hidup Yang Berkecukupan


Dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru, di samping istilah hidup yang diberkati disebutkan juga
kehidupan yang dalam kasih karunia yang melimpah. Jadi, rupanya hidup dalam iman dan ketaatan akan
firman Tuhan membawa manusia pada kehidupan yang dikasihi Tuhan, dikaruniai Tuhan dan disebut juga
sebagai kehidupan yang berkelimpahan, tetapi bagaimanakah kehidupan demikian itu?
Ada dua ciri kehidupan yang di dalam kasih karunia yang melimpah, yaitu pertama kehidupan
dalam kasih karunia Allah itu bukan hidup yang berkelebihan (harta dan kekayaan saja) atau kekurangan
makanan. pakaian, atau materi, (kemiskinan) tetapi lebih merupakan hidup dalam kecukupan. Dalam Doa
Bapa K.ami Tuhan Yesus mengajar agar kita berdoa meminta makanan secukupnya, dan dalam
pengajaran-Nya mengenai kekuatiran, Yesus mengajar kita untuk tidak kuatir akan makan dan minum tetapi
hiduplah dengan secukupnya. Yesus mengajar kita berdoa: Berikan kepada kami makanan kami yang
secukupnya. (Mat. 6:11)
Kehidupan Kristen bukanlah kehidupan yang individualistis (menyendiri), tetapi kehidupan yang
bersifat sosial.. Itu berarti bahwa kehidupan yang cukup harus dilihat dari sifatnya yang bukan hanya
individual tetapi juga bersifat sosial. Ada orang yang lebih dari cukup atau berkelebihan, tetapi ada pula
orang yang berkekurangan. Dalam hal ini Allahberkehendak agar yang berkelebihan membagikan
kelebihannya untuk menolong yang berkekurangan, sehingga baik yang lebih tidak berkelebihan dan yang
kurang tidak berkekurangan, atau ada keseimbangan dalam kecukupan.
Keseimbangan dalam kecukupan merupakan hal kedua yang menjadi ciri kehidupan dalam kasih
karunia Allah, yaitu adanya keseimbangan kesejahteraan. Dalam kehidupan komunitas Kristen tidak boleh
ada kesenjangan sosial atau jurang kaya miskin, sebab gereja yang telah dipenuhi Roh Kudus patut hidup
sesuai dengan sifat Roh yaitu mengasilkan sesama seperti mengasihi diri sendiri. Itu berarti gereja (orang
kristen) tak perlu hidup berkelebihan, sebab selama masih ada yang berkekurangan, gereja mempunyai
tugas untuk menjadi berkat bagi mereka yang berkekurangan itu. Bila hal ini terjadi, seharusnya gereja tidak
boleh ada yang berkekurangan.
Amanat keseimbangan yang sama juga disebutkan oleh Paulus dalam suratnya yang membahas
soal pengertian kaya:"Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa la, yang
oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun la kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-
Nya" (2 Kor. 8:9).
Ayat di atas bukan dimaksudkan oleh Paulus sebagai kaya materi, tetapi kaya dalam berbuah
(pelayanan kasih). la memberi contoh jemaat Makedonia, yang sekalipun menderita dan miskin, namun
138
mereka "kaya dalam kemurahan" (ayat 1-3), bahkan mereka "memberikan diri rnereka" (ayat 5). Sekalipun
ayat 7juga menyebut kaya harta, tetapi yang ditekankan adalah kaya dalam membantu dan pelayanan
kasih, ini juga ditekankan Paulus dalam 2 K.orintus 9:6-14. Hidup kaya menurut Paulus adalah apabila jemaat
kaya yang berkelebihan membantu yang miskin yang berkekurangan: "Sebab kamu dibebani bukanlah
supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah
sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian
mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang
mengumpulkan banyak, tidak berkelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan." (2
Kor. 8:13-15). "Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu
senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.
Seperti ada tertulis: "la membagi-bagikan, la memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk
selama-lamanva." ... kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati ... mereka memuliakan
Allah karena ketaatan kamu da-lam pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam
membagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang" (2 Kor. 9:8-13).
Jadi yang dimaksudkan juga oleh Paulus sebagai "hidup berkelimpahan" adalah hidup dalam kasih
karunia Allah dan berkecukupan dalam keseimbangan. Kehidupan kasih dalam pemerataan bukanlah
suatu kewajiban agama (seperti praktik persepuluhan), tetapi merupakan buah-buah Pengucapan Syukur
yang keluar dari hati yang telah dipenuhi dengan Roh Kudus, seperti apa yang diucapkan Paulus:
"Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa la telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi
kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barang siapa mempunyai harta
duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap
saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita
mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran
(I Yoh. 3:16-18).

4. Permasalahan Kemiskinan dan Kekayaan


BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

Beberapa waktu belakangan ini, pemerintah sibuk menggalakkan program pengentasan masyarakat
dari kemiskinan. Beberapa langkah yang ditempuh di antaranya dengan mengadakan subsidi beras,
menyediakan fasilitas pengobatan gratis (Askeskin), subsidi minyak tanah, dan berbagai subsidi lain yang
bertujuan meringankan beban rakyat miskin. Pertanyaanya adalah apakah program-program ini berhasil?
Jawabnya belum bisa dilihat dan dipastikan, karena angka-angka statistik BPS menunjukkan
peningkatanjumlah penduduk miskin.
Kemiskinan yang dihadapi oleh seseorang belum tentu disebabkan oleh kemalasan mereka, sebab
bisa jadi mereka miskin sebagai akibat ketidakadilan atau kesewenang-wenangan pihak tertentu. Oleh
sebab itu sebagai gereja, kita perlu untuk mencermati hal-hal apa saja yang menjadi sebab kemiskinan
dan bagaimana peran gereja dalam mengentaskan orang miskin.
Alkitab berkata, "Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu, sebab sungguh TUHAN akan
memberkati engkau di negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk menjadi milik pusaka, asal
saja engkau mendengarkan baik-baik suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segenap
perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini" (Ul. 15:4-5).
Untuk persoalan kemiskinan saja, sejak tahun 1998, terjadi peningkatan penduduk miskin; yang pada
tahun 1995 berjumlah 26 juta jiwa, meningkat pada bulan Agustus 1998 mencapai 80 juta jiwa, atau 38 % dari
total jumlah penduduk di Indonesia. Nampaknya prosentasi kemiskinan seperti ini tidak terlalu mengalami
perubahan, terlebih lagi ketika terjadi krisis ekonomi di Negara kita, sejak tahun 1998, yang berdampak
hingga tahun 2008 ini. Di Maluku sendiri, sejak konflik social tahun 1999, kita seakan memasuki fase
penderitaan dan kemiskinan yang baru, setelah sebelumnya kita pun terkena dampak krisis ekonomi tahun
1998, akibat sistem monopoli dan totaliter yang dikembangkan oleh Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
Persoalan kita di Maluku adalah, walaupun dari sisi potensi sumber daya alam, kita memiliki kekayaan
yang sangat besar, baik di darat terlebih di laut. Namun realitas memperlihatkan fakta kemiskinan yang masih
saja mewarnai populasi masyarakat Maluku. Kalau sebagai bandingan, bahwa di tahun 1996, tingkat
kemiskinan di 32 Kabupaten di Maluku, rata-rata di atas 50 %, sekaligus menduduki posisi teratas dalam
kategori wilayah miskin di Indonesia. Sementara di tahun 1999, jumlah penduduk miskin di Maluku ada
1.013.900 jiwa atau 46,14 %. Singkatnya bahwa problematika kemiskinan di Maluku, selain disebabkan oleh
sejumlah factor seperti keterbatasan dan keterisolasian, terbatasnya fasilitas transportasi darat-laut-udara
dibandingkan dengan luasnya wilayah kepulauan Maluku, namun faktor keamanan dan kerawanan social
yang pernah merundung kita selama kurang lebih 4-5 tahun, turut berpengaruh terhadap meningkatnya
angka kemiskinan.
Sementara itu, pada sisi lainnya, realitas pasca konflik sosial, juga memperlihatkan begitu gamangnya
pelbagai pihak, baik secara individual ataupun kelompok, untuk melakukan praktek-praktek eksploitasi, KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme), dan manipulasi proyek serta asset-aset ekonomi rakyat secara membabi-buta.
Belum lagi, ruang otonomisasi, yang diikuti dengan pemekaran wilayah-wilayah tertentu, justru melahirkan
perilaku “raja-ratu” kecil dan munculnya sikap orang luar-orang dalam secara diskriminatif (sebagaimana
yang muncul dengan desakan atau tuntutan yang menggunakan istilah anak atau putra daerah).
Kenyataan ini, justru melahirkan problematika kekayaan dan kemiskinan yang baru di wilayah Maluku.

5. Tantang-Jawab Gereja Dalam Mengentaskan Kemiskinan.


Pertanyaan kita kini adalah, dari arah manakah gereja harus mulai melangkah agar dapat
memberikan sumbangsih yang berarti untuk mengatasi krisis kemiskinan ini? Siapakah yang disebut Sebagai
Orang Miskin? Dimana tangung jawab gereja terhadap orang miskin dan bagaimana mengentaskan
kemiskinan itu sendiri?
Gereja menyadari bahwa Alkitab sebagai firman Allah yang otoritatif dan diilhami aleh Allah
berbicara secarajelas mengenai 139 masalah kemiskinan dan semua hal tentang kehidupan dan minat
manusia. Gereja mengerti tanggung jawab pribadi dan kolektif, juga segala aspek hubungan sosial dan
pribadi seperti yang tertulis dalam Alkitab. Karena itu, Gereja percaya bahwa tanggung jawabnya ialah
apa yang digambarkan oleh Alkitab sebagai tugas gereja di hadapan Allah. Tugas-tugas ini meliputi dalam
bentuk hamba terhadap orang lain, sebagai penatalayan atas sumber-sumber dan kesempatan yang ada
pada gereja, sebagai saksi tentang kebenaran Allah, dan sebagai gereja yang melengkapi orang lain bagi
pekerjaan pelayanan. Itulah panggilan Allah bagi gereja.
Gereja perlu berharap dan bersandar pada tuntunan dan ajaran Alkitab dalam mengenal
bagaimana mereka harus memberikan respons atas masalah kemiskinan dalam lingkungan masyarakat
bangsa dan dunia. pengajaran Alkitab tentang Tanggung Jawab Terhadap Orang Miskin". Menurut Alkitab,
orang miskin dibagi antara yang tertindas dan yang malas. Orang tertindas adalah sasaran dari
pemeliharaan istimewa Allah, sedang orang malas adalah sasaran dari kutukan Allah. Ajaran Alkitab
menyatakan bahwa orang miskin mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, khususnya bagi
mereka yang tidak terkena bentuk-bentuk penindasan- psikologis, fisikal, sosial, ataupun politik. Misalnya,
kitab Rut mengisahkan peranan orang miskin dalam tanggung jawab mereka bagi kelangsungan hidup.
Ajaran Alkitab tentang Tanggung Jawab, Perintah untuk menolong orang miskin dalam nama Tuhan
Yesus Kristus merupakan kesaksian Alkitab yang sangat jelas: semua orang yang telah dipanggil dalam
nama-Nya harus berjalan dalam kasih (Ef. 5:2). Kita harus mengerjakan belas kasihan (2Kor. 1:3-4). Kita harus
bergumul dengan keadilan dan mempraktikkan kemurahan, kesenangan, dan kemerdekaan, baik kepada
orang-orang dewasa maupun anak-anak di mana pun kita berada (Zak. 7:8-10).

Jadi, tanggungjawab dari gereja terhadap kaum miskin ialah sebagai berikut.
1. Mengasihi orang-orang tertindas dengan: "... membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan
tali-tali kuk, ... memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, ... memecah-mecah
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas

rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang, ... engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan
diri terhadap saudaramu sendiri!" (Yes. 58:6-7).
2. Kasih terhadap orang tertindas menyebabkan perubahan kemiskinan menjadi produktivitas melalui
setiap cara yang ada pada kita.
3. Mengasihi orang-orang malas: termasuk nasihat, teguran (2Tes. 3:15; Ams. 13:18), dan orientasi ulang
terhadap kenyataan melalui pemberitaan Injil (Yoh. 8:32). Respons yang penuh kasih dan belas kasihan
terhadap orang-orang malas bertujuan untuk memberikan peringatan kepada mereka. Selain itu,
melengkapi dan menyanggupkan mereka melangkah melewati ketergantungannya pada orang lain.
Gereja memunyai tanggung jawab yang tak dapat dielakkan untuk melakukan kedua jenis kasih ini
dengan rajin dan penuh semangat.
Gereja dapat terlibat dalam pelayanan terhadap orang-orang miskin dan memengaruhi perubahan sosial
masyarakat antara lain melalui upaya
1. Pelayanan 'penginjilan yang utuh (spiritual-material)’; teristimewa dalam rangka memberikan
pencerahan dan merobah pola berpikir lama seperti “biar kurang harta dunia, asal Tuhan bagianku”.
2. Pemberian pelayanan dan pendidikan serta pelatihan bagi orang-orang miskin agar mereka dapat
menolong diri sendiri.
3. Kelompok kerja dalam gereja. Kelompok ini memimpin jemaat untuk menolong pemerintah dengan
memberikan informasi dan keprihatinan mereka terhadap orang-orang miskin.
4. Membangun jaringan pemberdayaan dengan pelbagai pihak, seperti Pemerintah, LSM, Agama-agama,
Kalangan Perbankan atau Pemodal/Swasta dan kelompok pemberdayaan manapun; yang penting
secara tertanggung jawab dan bermakna bagi kepentingan orang banyak (umat dan masyarakat).
6. Kiat Mewujudkan Hidup yang Berkecukupan
Seorang teolog yang bernama Samuel Doctorian menyatakan bahwa ada tiga hal yang dapat
membuat seseorang memiliki kekuatan untuk menjalani kehidupan ini, yakni (1) Belajar untuk mengucap
syukur dalam segala hal; (2) Memuji-muji Tuhan atau mempermuliakan nama Tuhan dalam seluruh aktifitas
hidupnya; dan (3) selalu merasa cukup atas apapun yang dialami atau diterimanya.
Sesungguhnya, isyarat hidup berkecukupan ini merupakan spiritualitas hidup orang percaya,
sehingga memungkinkannya untuk membangun kehidupan yang, antara lain:
a. Tidak boros, tetapi hemat
b. Tidak mementingkan diri sendiri
c. Tidak terlalu ambisius untuk menjadi gila harta, gila hormat, gila jabatan, dstnya.
d. Tidak sombong dan merasa arogan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki
e. Selalu bersyukur dan berserah kepada kasih karunia Allah
f. Tidak mudah putus asa.
Orang yang memiliki pola hidup berkecukupan, akan selalu melihat kerja dan tanggung jawabnya
bukan sebagai beban melainkan sebagai berkat bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain. Orang tersebut
akan menghindari kecenderungan merampas apa yang bukan menjadi haknya. Ia pun akan belajar untuk
mengakui kekurangannya dan terbuka untuk mengakui keunggulan orang lain.
Dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan kita untuk berdoa, Berikanlah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya. Pengajaran Yesus ini mengisyaratkan suatu panggilan dan pengutusan
bagi gereja untuk setia membangun hidup yang berkecukupan, sebagai gereja yang hadir untuk orang lain,
dan juga dengan orang lain. Mahatmah Gandhi sendiri telah mengingatkan dunia yang cenderung kapitalis
dan serakah, dengan ungkapannya yang bijak, “Dunia ini sebetulnya cukup untuk melayani kebutuhan
semua orang yang merasa cukup, namun tidak akan pernah cukup untuk melayani kebutuhan satu orang
yang tidak pernah merasa cukup 140!”

V. EVALUASI
1. Jelaskan Pengertian Kemiskinan dan Faktor Penyebabnya
2. Jelaskan Tentang Kemiskinan, Harta dan Kekayaan Menurut Pandangan Iman Kristen
3. Jelaska Makna Hidup yang Berkecukupan Dalam Pandangan Iman Kristen
4. Diskusikanlah Masalah Kemiskinan di konteks masing-masing
5. Rumuskanlah Solusi Gereja setempat dalam Mengatasi Masalah Kemiskinan dan Kekayaan
6. Refleksikanlah pandangan kelompok tentang hidup berkecukupan dan kiat mewujudkannya
VI. KEPUSTAKAAN
1. Banawiratma, J.B. (ed), Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
2. Banawiratma, J. B. dan Muller, J. Berteologi Sosial Lintas llmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
3. Brownlee M, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, JakartaLBPK Gunung Mulia, 1993.
4. Herlianto, Teologi Sukses. Antara Allah dan Mamon, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
5. Mardiyanto. W, Kemiskinan di Indoensia, Surabaya : Airlangga University Press, 2002
6. Nababan, S.A.E., Realisme yang Berpengharapan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1988.
7. Yewangoe, A.A., Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan orang . Kristen Asia mengenai
penderitaan dalam kemiskinan dan keberagamaan di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
8. Situs Internet wvvw.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf
9. Situs Internet http: //www.sabda.org/pub1ikasi/e-konse1/O66.

Anda mungkin juga menyukai