1. Kurikulum Katekisasi GPM 2008 terdiri dari satu paket pengajaran, yakni Kurikulum Inti (KURIN), Buku Ajar Katekisasi, dan
Manajemen Katekisasi.
2. Dengan demikian, Buku Ajar Katekisasi ini hanya merupakan salah satu bahan dasar bagi para pengajar katekisasi (kateket),
yang selanjutnya perlu diolah dan dikembangkan sesuai dengan konteks masing-masing jemaat (kelas katekisasi).
3. Penggunaan Buku Ajar Katekisasi ini haruslah dipadukan dengan Kurikulum Inti-nya, sehingga alur, sinkronisasi dan keutuhan
kerangka Kurikulum Katekisasi dapat tersajikan dengan baik.
4. Kateket dimohon untuk memperhatikan kolom keterangan dalam KURIN, yang menjelaskan paket penyajian suatu Sub
Pokok Bahasan (SPB), yang dapat disajikan dengan beberapa SPB lainnya dalam satu kali kesempatan tatap-muka.
5. Dalam kaitannya dengan pengorganisasian pengajar atau narasumber, dapat dibentuk suatu Tim-Teaching untuk suatu
kebutuhan pengajaran. Untuk wilayah-wilayah pedesaan yang jauh terpencil dari ketersediaan narasumber, maka dapat
dilakukan penyesuaian (Mis. Majelis atau kateket dapat meminta guru setempat, tokoh masyarakat atau agama setempat
untuk dapat menjadi narasumber terhadap topik bahasan yang sesuai).
6. Dimohon agar kegiatan MALAM BEDAH DIRI yang dilakukan menjelang hari PENEGUHAN SIDI, dapat dilaksanakan di seluruh
jemaat, dengan merujuk pada panduan ibadah/kegiatan yang diturunkan oleh LPJ GPM dalam paket perayaan PRA-
PASKAH dan PASKAH.
7. Kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan/tugas tambahan, dapat dilakukan oleh para katekisan, berdasarkan kebutuhan
dan petunjuk teknis kegiatan yang dikembangkan oleh kateket berdasarkan kondisi yang ada.
8. Dalam rangka membangun sikap dan komitmen yang sama antara pihak gereja (kateket), siswa (katekisan), dan orangtua,
demi terwujudnya tujuan katekisasi sebagaimana yang diharapkan, maka kegiatan perdana katekisasi yang dimulai
dengan bahasan tentang Prologomena yang melibatkan para siswa dan orang-tua/wali katekisaan, kiranya mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh.
9. Adapun alur kegiatan kelas, dapat disesuaikan dengan konteks masing-masing, dengan mempertimbangkan 3 (tiga) unsur
utama: PEMBUKAAN (Nyanyi, Doa pendek, baca Alkitab, Persembahan), BELAJAR-MENGAJAR, dan EVALUASI. Untuk Baca
Alkitab, bila terdapat beberapa bagian bacaan, cukup dibaca salah satu saja sedangkan bagian lainnya dibaca saat
pengajaran.
10. Alat peraga dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan setempat, dengan mengingat bahwa alat peraga apapun,
tetaplah alat dan bukan tujuan !
1
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : Prologomena
3. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Arti dan Tujuan Katekisasi
3.2. Katekisasi sebagai Pendidikan Formal Gereja di GPM
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yes. 6:4-9 dan Mat. 28:19-20
5. Waktu Tatap Muka : 1 x (100) menit
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
1 Untuk mengkaji lebih jauh, lihat Robert Young, Young’s Analytical Concordanceto the Bible
2
Untuk mengkaji lebih jauh, lihatlah Colin Brown, New Testament Theology, Volume 3 (Grand Rapids, Michigan:Zondervan Publishing House, 1986), h 771-772
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Dalam Gal. 6:6, Rasul Paulus menegaskan bahwa siapa yang diajar (katekhoumenos) harus menopang
kebutuhan material orang yang mengajar (katekhon). Dengan demikian, dalam ayat inilah terlihat ada
seorang pengajar (katekhon) yang bekerja penuh waktu (full-timer) dalam gereja atau jemaat mula-mula (
bd. 1 Kor. 9:13-18). Kemungkinan besar, Rasul Paulus sendiri hendak memperkenalkan dirinya sebagai
katekhon, sebab istilah ini sangat jarang ditemukan dalam Judaisme Helenistik sebagaimana nyata dalam
PB.
Penggunaan kata kerja katekhom sebagai ungkapan teknis mengenai “mengajar” hanya terdapat
dala Kis. 18:25. Dalam hal ini “jalan kepada Tuhan” dimengerti berhubungan dengan karya PENEBUSAN Allah
dalam Kristus dan dalam sejarah dunia.
Di dalam Luk. 1:4, kata ini diperdebatkan, “segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”
Sama seperti penulis lain, maka penulis Kisah Para Rasul memandang “segala sesuatu” (logoi) pada ayat ini
adalah untuk diidentifikasikan dengan progmata (peristiwa-peristiwa) yang disebutkan dalam Luk. 1:1, yang
dengannya, penulis Injil Lukas mengartikan “kehidupan, pekerjaan, kematian dan kebangkitan Yesus”
sebagaimana dilaporkan dalam berbagai literature sebelum kitab Injil Lukas. Jika hal ini disetujui, maka hal
ini belum menjelaskan penggunaan kata katekheo ini secara teknis sebagaimana yang digunakan
dikalangan gereja atau jemaat mula-mula.
Pada masa surat 2 clemens 17:1 ditulis, kata katekheo ini telah menjadi biasa digunakan dalam
hubungan dengan “mengajar katekhumen yang akan dibaptis agar dapat mengambil bagian dalam
perjumuan kudus.”
Katekheo digunakan dikalangan gereja atau jemaat mula-mula adalah dengan pengertian spesifik,
baik dalam hubungan dengan aspek pekerjaan pekabaran injil (Mat. 28:19-20) maupun kehidupan jemaat,
yaitu pengajaran tentang karya penyelamatan Allah dalam kehidupan orang percaya dan dunia ini.
Dari uraian diatas, daptlah disimpulkan bahwa pengertian katekisasi adalah kegiatan yang
mempelajari kehidupan iman manusia kepada Allah yang telah, sedang dan akan terus melakukan karya
penyelamatan-Nya terhadap manusia dan dunia ini dalam kasih Yesus dan Roh Kudus-Nya.
Sedangkan tujuan katekisasi adalah agar orang percaya yang mempelajari kehidupan iman kepada
Allah itu dapat mewujudakan secara konkrit pekerjaan memberitakan kabar-baik tentang karya
penyelamatan dalam Kristus Yesus dan Roh Kudusdi dalam dan demi kehidupan dunia dengan cara
menghadirkan kasih, kebenaran, keadilan, persaudaraan sejati, kedamaian dan kesejahteraan serta
keutuhan ciptaan.
Dari pengertian di atas, maka kita dapat mngerti pula mengapa katekisasi disebut sebagai pendidikan
formal gereja di samping pendidikan lainnya yang dilaksanakan di lingkungan gereja. Disebut pendidikan
formal gereja, karena katekisasi adalah tugas hakiki pelayanan pendidikan (ministry of teaching) dari gereja
(bd. Ulangan 6:1-9; Mat. 28:19-20). Karena gereja adalah persekutuan iman yang mengajar dan belajar
(ecclesia docens dan ecclesia discens). Gereja tidak dapat menyerahkan penyelenggaraan dan
pengelolaan pelayanan pendidikan ini kepada lembaga lain di luar gereja, meskipun hal itu adalah
lembaga-lembaga gerejawi (para-church) seperti yang saat ini sedang marak berlangsung di kota-kota
besar melalui lembaga Persekutuan Kristen Antaruniversitas (PERKANTAS), Lembaga Penginjilan Mahasiswa
dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan sebagainya.
2. Sesudah 1935 sampai 1950-an, pembinaan umat semakin dipandang sebagai sebuah keniscayaan.
Dengan inspirasi yang diberikan oleh Hendrik Kraemer, pembinaan umat dipandang sebagai ujung
tombak misi gereja yang menembusi medan tugas dan panggilan misioner umat. Pada masa ini,
pembinaan umat tidak hanya berlangsung secara parokhial/teritorial dan kategorial tetapi juga
dilaksanakan secara sektoral. Pembinaan umat disasarkan kepada umat yang berada di wilayah
transmigrasi dan di sekitar usaha peternakan di wilayah Maluku. Isi pembinaan umat mulai mencakup
pokok-pokok yang berkaitan dengan iklim kehidupan yang majemuk dan sekuler dari umat GPM.
Aspek ekonomi dimasukan ke dalam isi pembinaan umat. Pada tahun 1956, pokok-pokok ini
menimbulkan penolakan oleh sebagian besar umat sendiri. Alasan penolakan mereka adalah,
“kehidupan kekristenan yang sejati ialah yang mencari lebih dulu kerajaan Allah/Sorga, maka segala
sesuatu akan ditambahkan kepadamu” atau sebagaimana yang terdapat dalam kuplet lagu-lagu
Mazmur dan Tahlil yang selalu dinyanyikan, biar harta hilang sudah, asalh Tuhan bagianku. Pembinaan
umat semakin meluas secara kategorial kepada umat berjenis kelamin perempuan.
3. Wacana mengenai pokok-pokok yang terdapat dalam isi pembinaan umat di tahun 1950-an ini,
menumbuhkan instropeksi, otokritik dan inovasi terhadap visi-visi teologis GPM yang dikristalisasi dan
dikemas dalam Pesan Tobat pada tahun 1960. Muncullah komitmen GPM untuk menyusun Pola Darurat
Pembangunan Jemaat GPM sebagai pengejawantahan, penerapan dan penjabaran Pesan Tobat
tersebut. Bukan hanya untuk kepentingan masa itu, tetapi juga sampai saat ini. Pola darurat
pembangunan/pembinaan umat ini ditopang oleh Pola Organisasi selaku landasan struktural yang
dikenal sebagai Piagam Jawatan Pelayanan dan Tata Pelayanan GPM. Dengan dukungan
organisatoris/landasan struktural ini (secara operasional diselenggarakan oleh Biro Pembangunan
Jemaat dalam Departemen Marturia), dikembangkanlah isi pembinaan umat GPM yang mencakup
kepemimpinan organisasi dan tanggung jawab umat dalam politik praktis. Tujuannya adalah untuk
mempersiapkan umatagar keluar dari introversi dan ekslusivitas yang selama ini membuat GPM kurang
dinamik dalam menjawab berbagai permasalahan kemasyarakatan yang muncul dalam konteks
kesaksian dan pelayanannya.
4. Dalam perjalanan pembinaan umat, dicatat bahwa Pola Darurat ini perlu dikembangkan menjadi Pola
yang lebih standar. Baku (bukan beku), yang dapat dikembangkan secara berencana, bertahap,
menyeluruh dan menyebar agar dapat diwujudkan pembinaan pemerataan umat GPM menuju citra
gereja yang sejati. Sebab itu, Pola Darurat ini digantikan dengan Pola Dasar Pembangunan Jemaat
dan Apostolat GPM pada tahun 1972. Pola organisatoris/landasan strukturalnya yang mendukung
penerapan Pola Dasar ini masih tetap Biro Pembangunan Jemaat sesuai Piagam Jawatan Pelayanan
dan Tata Pelayanan namun dialihkan ke Departemen Koinonia. Mengapa? Karena Pembinaan Umat
diarahkan bukan lagi untuk mengemban misi Pekabaran Injil secara langsung, tetapi untuk
memantapkan sumber daya umat GPM secara komprehensif. Piagam Jawatan Pelayanan dan Tata
Pelayanan GPM dibarui kembali menjadi Pola Dasar Pelayanan GPM pada tahun 1978. Dengan
kesadaran arti, fungsi, ciri dan tugas pembinaan umat yang tersistem, strategi, komprehensif dan
holistik, maka dalam Pola Dasar Pelayan tersebut, direkomondasikan untuk membentuk LPJ GPM.
5. Dalam Sidang ke-30 Sinode GPM tahun 1983, bangkitlah pula kesadaran baru, kebangunan kembali
dan perumusan ulang terhadap Pola Dasar Pembangunan Jemaat dan Apostolat Gereja. Hasilnya
dikenal dalam Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) GPM
untuk kurun waktu satu Dasawarsa. PIP dan RIPP GPM itu adalah suatu perencanaan yang menyeluruh,
terpadu dan bertahap dengan tetap menyadari berbagai perobahan masa depan seperti :
a. Adanya perobahan yang menghendaki perbaikan dan pengembangan para pelayan
gereja/jemaat.
b. Adanya perobahan kondisi 4 dan situasi dalam GPM, baik menyangkut kenyataan hidup jemaat
setempat maupun pembangunan manusia seutuhnya.
c. Perubahan kondisi dan situasi di luar GPM, seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebangkitan agama-agama, perkembangan lingkungan hidup masyarakat.
d. Berbagai kemungkinan perubahan lainnya yang tak dapat diprediksi.
6. Dengan adanya PIP dan RIPP, maka seluruh aspek pelayanan GPM, termasuk pula pelayan mendidik
dan membina umat (warga dan pelayan GPM) harus mengacu pada PIP dan RIPP GPM tersebut. Pada
tahun 1985, pelayan mendidik dan membina umat yang berfokus pada pada penyiapan warga gereja
yang akan mengaku sidi, menjadi sasaran utama penataan dan pengembangan. Pada tahun ini,
disusunlah dan siujicobakan Kurikulum Katekisasi GPM dan Pedoman Pengajarannya. Selanjutnya diikuti
dengan Kurikulum Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil GPM dengan Pedoman Pengajarannya.
Baik Kurikulum Katekisasi maupun Sekolah Minggu/Tunas Pekabaran Injil di desain dari PIP dan RIPP GPM
tersebut. Terutama dari bagian Pola Dasar Bina Umat yang menginspirasikan Azas-azas Oikumenis,
Pertumbuhan, Kemandirian dan Misioner sebagai azas pembinaan dan Indikator Firman, Gereja dan
Dunia/Konteks sebagai acuan kurikulernya. Dengan adanya Pola Dasar Bina Umat yang menjadi
ukuran keterpaduan dan keutuhan secara merat,
menyeluruh dan seimbang, maka pembinaan umat disusun dan dilaksanakan menjadi sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, maka sifat dari Pola Dasar Bina Umat ini adalah selaku Sistem Tunggal
Pembinaan umat yang menampakan esensi tanggungjawab yang sama besar untuk semua bidang
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
pelayanan (subsistem) GPM, namun yang memiliki indikasi kurikuler yang tetap yaitu Firman/Alkitab,
Gereja dan Dunia/Konteks. Dengan demikian, signifikansi Pola Dasar Bina Umat adalah mengarahkan
pembinaan umat sehingga berlangsung sehingga berlangsung intensif (pembinaan ke arah
pembebasan, pembaruan, pemberdayaan dan perkembangan hidupnya dan sesama manusia
dalam masyarkatnya) selaku manusia milik Allah. Sebagai sebuah sistem, pembinaan umat pada PIP
dan RIPP GPM Dasawarsa I dan II dititikberatkan pada uasaha pengembangan sumber daya umat
menjadi manusia penggerak yang dicirikan oleh kemampuan profesional (ahli, terampil dalam bidang
kegiatan hidupnya), bermotivasi Injili etis dan berdedikasi. Dengan ciri ini, pertumbuhan kualitas hidup
misioner umat diarahkan untuk mencapai standar mutu ketahana iman, ilmiah dan sosio-ekonomis.
Sebagai sebuah sistem, pembinaan umat GPM dikembangkan dengan pendekatan menyeluruh, utuh,
realistis searah dengan aspek yang akan dicapai, baik tujuan program pembinaan, maupun ciri, jenis,
sasaran bina (target groups). Dengan demikian seorang tenaga pembinaan umat dapat menentukan
arah dan strategi pembinaan umatnya, baik secara sentralisasi/konsentrasi (terpusat di aras Sinode,
Klasis, Kring, Rayon) maupun desentralisasi/dekonsentrasi (di jemaat-jemaat secara langsung) sesuai
prakarsanya dengan memperhitungkan konteks hidupnya. Juga ia dapat menentukan materi, metode,
teknik, alat dan instrumen evaluasi, pelaksana, pengendali, keterpaduan (sinkronisasi), kekhususan
(spesifikasi), gerak intensitas dan ekstensitas pembinaan umatnya.
7. Dalam PIP-RIPP GPM 2005-2015 (Dasawarsa III), terjadi perumusqn ulang terhadap visi, Misi dan Tujuan
GPM yang diikuti pula dengan perumusan ulang usaha pengembangan sumber daya umat GPM untuk
mencapai profil umat GPM yang ditambahkan. Profil umat itu adalah dirikan oleh kinerja umat yang
memiliki ketangguhan dan kematangan secara teologis, moral-etis, intelektual, sosial, kultural,
ekonomis, politis, pluralistik, toleran, dialogis, demokratis dan manusiawi. 3 Sangat disayangkan bahwa
dalam perumusan ulang tersebut tidak disertai perumusan mengenai bagaimana pola pembinaan
untuk menghasilkan profil umat dimaksud. Itulah sebabnya dalam Lokakarya Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Formal Gereja di GPM pada tahun 2006 di Jemaat GPM SInar Klasis Pulau Ambon, Tim
Penyusun Kurikulum Pendidikan Formal “terpaksa” mengacu pada Pola Dasar Bina Umat dalam PIP-
RIPP Dasawarsa I dan II.
2. subsistem, katekisasi berfungsi untuk membina manusia menjadi takut akan Tuhan, membina manusia
mampu memimpin dalam rumahtangga/ keluarganya sebagai sebuah keluarg pembaruan dan
pertumbuhan gereja dan pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan, membina
3
Bd BPH Sinode GPM Salinan Ketetapan-ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode Gereja Protestan Maluku 25 Oktober - 02 November 2005 di Ambon (Ambon:
Sekretariat Umum, 2005), hlm. 209.
4
Bd. David L. Sills, ed., International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 15, (London: Crowell Collier and Macmillian Inc., 1986), hlm. 453: “System is (1) Something
Consisting of a set (finite or infinite) of etities. (2) among which a set of relations is specified, so that (3) deductions are possible and from relations among the entities to
the behaviour.”
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
6
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Uraian Materi
Pokok-Pokok
Pokok/Sub
Bahasan
(Menit)
Waktu
Pokok
Tujuan Khusus Kateket Katekisan Ket
1. Menjelaskan Pe- Prologo- 1. Arti dan 1. Menjelaskan arti & 1. Membuat 15 Bahan-
ngertian Kateki- mena tujuan tujuan katekisasi yg catatan bahan
sasi dan Perkem yang di disaksikan dalam mengenai harus
bangan penger- 1. Arti saksikan Alkitab PL & PB penjela- disiap
tian katekisasi dan dalam berdasarkan garis san arti & kan ter-
selaku wujud pe- tujuan Alkitab besar yang tertulis tujuan ka- lebih
layanan Gereja. kateki- 2. Perkem- di karton manila/ tekisasi yg dulu
2. Membuat kesim- sasi bangan flipcart5 disaksi
pulan sendiri me tugas ka kan dlm
ngenai pengerti- 2. Kateki tekisasi Alkitab PB
an katekisasi. sasi di GPM & PL Tulis
3. Menjelaskan per seba- pra- penjela
kembangan tu- gai 1935 2. Menugaskan kateki 2. Mencatat 10 san ma
gas katekisasi di pendi- sampai san dan orangtua- kesimpu- teri dlm
GPM pada pra- dikan saat ini nya utk menyimpul- lan kelom bentuk
1935 sampai formal 3. Tugas kan arti dan tujuan pok & me garis
saat ini. gereja katekisa katekisasi menurut nyajikan- besar
4. Menjelaskan tu- di- si seba- kesaksian Alkitab nya di ke- (high-
gas katekisasi GPM gai sebu dalam bentuk disku las light) di
sebagai sebuah ah sub- si kelompok karton
subsistem pen- sistem manila/
didikan formal di pendidi 3. Menugaskan kateki 3. Menerja- 30 flip-
GPM. kan for- san dan orangtua kan tugas chart,
5. Membedakan mal di untuk mendiskusi- diskusi tranpa-
berbagai aspek GPM kan dalam rangka ran,
dari tugas kateki membuat perbeda- kompu-
sasi sebagai se- an mengenai berba ter.
buah sistem pen gai aspek tugas ka Siap-
didikan formal di tekisasi di GPM da kan
GPM lam perkembangan plaak-
6. Membuat kesim- nya pra-1935 sam- band,
pulan mengenai pai saat ini dan ha paku
katekisasi seba- kikat kedudukan- pompa,
gai sebuah sub- nya sebagai sebu- layar,
sistem pendidi- ah subsistem pendi transpa
kan formal GPM. dikan formal gereja ran
7. Menyatakan di GPM
pendapat sendiri
mengenai peran 4. Menugaskan kateki 4. Membuat 15
dan tanggung san dan orangtua- kesimpu-
jawab selaku ka- nya untuk menyim- lan & me
tekisan dan or- pulkan hakikat kate nyajikan-
rangtua dalam tu kisasi sebagai sebu nya dlm
gas katekisasi ah subsistem pendi kelas
sebagai sebuah dikan formal gereja
subsistem pendi di GPM
dikan formal
GPM 5. Menugaskan kateki 5. Menyata- 30
san dan
7 orangtua- kan pen-
nya menyatakan dapat ka-
pendapat mereka tekisan &
mengenai peranan orangtua-
& tanggungjawab nya
selaku katekisan &
orangtua dalam tu-
gas katekisasi seba
gai sebuah subsis-
tem pendidikan for-
mal GPM
V. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian Katekisasi dan Perkembangan Pengertian dan Tujuan Katekisasi selaku wujud
pelayanan gereja.
2. Buatlah kesimpulan anda sendiri mengenai Pengertian dan Tujuan Katekisasi.
3. Jelaskan secara singkat Perkembangan Tugas Katekisasi di GPM pra-1935 sampai saat ini.
4. Jelaskan Tugas Katekisasi sebagai sebuah Subsitem Pendidikan Formal di GPM.
5. Bedakanlah berbagai aspek dari tugas katekisasi sebagai sebuah Sistem Pendidikan Formal di GPM.
6. Buatlah kesimpulan mengenai Katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal di GPM.
7. Berikanlah pendapat anda sendiri mengenai peranan dan tanggung jawab selaku katekisan dan orangtua
dalam tugas katekisasi sebagai sebuah Subsistem Pendidikan Formal GPM.
VI. KEPUSTAKAAN
5
Bagi Jemaat yg telah memiliki Infocus atau OHP dapat di tampilkan pada layar/dinding. Bagi jemaat tidak memiliki infocus atau OHP materi diperbanyak dan dibagikan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
David L. Sills, ed., International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 15, (London: Crowell Collier and Macmillian Inc.,
1986)
BPH Sinode GPM Salinan Ketetapan-ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode Gereja Protestan Maluku 25 Oktober - 02
November 2005 di Ambon (Ambon: Sekretariat Umum, 2005)
Colin Brown, New Testament Theology, Volume 3 (Grand Rapids, Michigan:Zondervan Publishing House, 1986)
Untuk mengkaji lebih jauh, lihat Robert Young, Young’s Analytical Concordanceto the Bible
Untuk mengkaji lebih jauh, lihatlah, Colin Brown, New Testament Theology, Volume 3 (Grand Rapids, Michigan:Zondervan
Publishing House, 1986) h 771-772
Sills, David L. ed., International encyclopedia of the social Sciences Vol. 15, (London: Crowell Collier and MAcmillian Inc.,
1986)
Young, Robert. Young’s Analytical Concordanceto the Bible
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 1. Allah Yang Mencipta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.1. Penciptaan Alam Semesta.
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kejadian 1 : 1-24; 2 : 1-7.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
berhenti pada satu tempat, bumi menjadi goyah. Oleh karena itu dewa Indra memotong sayap-sayap
mereka, sehingga mereka tidak bisa terbang kembali dan menetap pada tempatnya. Sayap-sayap
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
mereka menjadi awan, yang hingga kini menggumpal di lereng-lereng gunung, seakan-akan mau
menjadi sayap kembali.
Dalam kitab Brahman, ajaran agama Hindu menyebutkan bahwa dunia berasal dari Brahman (para
pandita yang cerdas atau pintar). Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mengalir keluar dari
Brahman, seperti: rambut yang tumbuh di kepala; dan bayi yang dilahirkan dari kandungan ibunya,
sering dipahami sebagai akibat dari tindakan Brahman.
Agama Hindu memiliki dua wujud tokoh ilahi, yaitu dewa itu sendiri, dan para Brahman yang terpelajar
dan bertugas untuk mengajar, yang mereka pahami sebagai dewa insani.6
- Agama Suku.
Dalam pandangan agama-agama suku, alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya
terjadi sebagai hasil perkawinan dan atau persetubuhan antara dua tokoh ilahi (laki-laki clan
perempuan). Contoh : di Seram Tengah ada cerita, bahwa pada mulanya Alahatala (langit, sebagai
asas laki-laki) menyetubuhi Pohun (bumi, sebagai asas perempuan). Dalam persetubuhan itu, Pohun
(bumi) melahirkan Tomoa dan Binawalu (pasangan yang pertama di dunia). Kedua anak ini terjepit di
antara Alahatala dan Pohun. Keduanya berdesak-desakan dan mendorong bapa dan ibunya,
sehingga langit dan bumi berpisah disertai terjadinya gempa bumi, yang menyebabkan langit semakin
menjauh dari bumi. Bersamaan dengan peristiwa gempa itu, lahirlah sepasang saudara yang lain, yakni
matahari dan bulan, sehingga kegelapan diganti dengan terang. Dari perkawinan matahari dan bulan,
lahirlah sepasang anak manusia, yakni bintang pagi (bintang kejora) dan bintang sore (bintang suhara).
Pada mulanya, langit dan bumi masih kecil, tetapi karena terjadi gempa bumi, keduanya menjacli
besar. Alahatala melengkung seperti kubah menaungi bumi dengan kakinya di sebelah timur dan
tangannya di sebelah barat menyentuh bumi. Gunung Hatuolo adalah kelamin bumi, tempat
berasalnya manusia pertama. Demikianlah tuturan singkat penciptaan versi agama suku.
Keunikan yang dimiliki oleh manusia merupakan anugerah yang bersifat absolut/mutlak dari Allah, dan
bukan merupakan hasil karya manusia. Pemahaman ini, hendak menegaskan bahwa kecerdasan,
kepintaran, pengalaman dan kelebihan-kelebihan lain yang melekat pada diri manusia, harus
6
A.G. Honig, Jr., Ilmu Agama (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994, hlm 96,99,100.
7 Dieter Becker Pedoman Dogmatika (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991), hlm 70.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
menjadikan manusia semakin beriman dan takluk atau tunduk dibawah kekuasaan atau kedaulatan Allah
yang absolut/mutlak. Sikap penaklukan diri secara sadar dalam iman kepada Allah dapat diwujudkan
dalam hubungan yang intens dengan Allah melalui sikap yang mengilhami buah-buah Roh,
sebagaimana disaksikan oleh Rasul Paulus dalam Galatia 5:22-23).
Pemahaman yang kuat atas dasar iman yang mengakui kebenaran kesaksian Alkitab, bahwa Allah yang
menciptakan manusia dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, juga memberi ketegasan
terhadap pengakuan akan kekuasaan Allah yang patut disyukuri dalam wujud kepercayaan yang
sungguh-sungguh hanya kepada Allah. Dengan kata lain, Allah yang kita imani dalam Yesus Kristus adalah
Allah pencipta dan berdaulat atas kelangsungan hidup segala ciptaan, termasuk manusia, dan karena
itu manusia hanya percaya dan menggantungkan seluruh hidupnya kepada Allah. Bila terjadi
penyangkalan terhadap Allah yang mencipta itu, maka manusia dan alam semesta akan memiliki
ketidakmaknaan hidup. Dengan kata lain perjumpaan dan pengakuan terhadap Allah Sang Khalik itulah
yang menjadikan penciptaan itu sendiri menjadi kian bermakna.
2. Orang Kristen ('percaya') harus mengandalkan Tuhan dalam seluruh pergumulan kehidupannya. Bukan
hanya dalam kesenangan, kesukaan dan atau kebahagiaan, tetapi juga dalam berbagai kesulitan dan
tantangan hidup. Tuhan Sang Pencipta sanggup melakukan apa yang tidak sanggup dilakukan oleh
manusia, sebab Tuhan Maha Kasih dan tidak terbatas dalam kekuasaanNya, sedangkan manusia
terbatas dan sering tidak berdaya dalam kefanaannya.
8
Band. H. Embuiru., Aku Percaya (Ende-Flores : Nusa Indah/Offset Arnoldus, 1979),hlm 24.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
3. Dalam hubungan dengan hal mengandalkan Tuhan dalam hidup, orang Kristen ('percaya') harus
meyakini bahwa ia selalu ada dalam perlindungan, pemeliharaan dan penyertaan Tuhan, sehingga ia
tidak mesti terpengaruh dengan berbagai ajaran sesat. Sekaligus tidak memiliki sikap manusia 'relativisme',
yang cenderung mencari jalan pintas untuk menyelesaikan seluruh persoalan kehidupannya dengan
merelatifkan segala sesuatu. Yang harus terjadi adalah, iman harus menjadi filter atau penyaring bagi
seluruh langkah hidupnya.
4. Orang Kristen ('percaya') harus mewujudkan rasa tanggungjawab keimanannya kepada Allah Sang
Pencipta melalui perbuatan-perbuatan kasih (buah-buah Roh, Galatia 5:22-23), baik pada Allah melalui
ibadah-ibadah ritual, maupun kepada sesama umat manusia dan alam semesta atau lingkungan melalui
ibadah-ibadah sosial.
V. EVALUASI:
1. Uraikan konsep penciptaan menurut pandangan, ilmu pengetahuan ; Mitos masyarakat tradisonal (di
Seram); dan Alkitab.
2. Bandingkan konsep-konsep penciptaan tersebut.
3. Jelaskan tujuan Allah menciptakan alam semesta.
4. Kernukakan pendapat anda tentang makna penciptaan bagi kehidupan anda.
VII. KETERANGAN
Kegiatan Ekstra/Tugas Rumah :
Katekisan diwajibkan untuk mencari dan mengumpulkan cerita-cerita tradisional tentang penciptaan alam
semesta menurut aspek penceritaan masyarakat lokal mereka/masing-masing.
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 1. Allah Yang Mencipta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.2. Penciptaan Dalam Konteks Penga-kuan/Credo Umat.
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mazmur 8; 24: 1.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
kepercayaan bangsa Israel yang sungguh-sungguh kepada Tuhan (YHWH). Bahwa konsekwensi yang harus
ditanggung oleh bangsa Israel sebagai bangsa yang tertawan adalah mesti menuruti dan menyembah
alah/ilah yang dipercayai dan disembah oleh bangsa yang menawan (Babel). Konsepsi "Allah sebagai
Pencipta langit dan bumi", memperlihatkan karakter Allah YHWH yang mengungguli kelebihan dan
kekuasaan dewa-dewi bangsa Babel dan bangsa-bangsa di sekitar Babel yang diyakini sebagai pencipta
langit dan bumi.
Kisah penciptaan yang diceritakan dalam Kejadian 1, oleh penulis dimaksudkan untuk mengukuhkan
kembali hakikat bangsa Israel sebagai bangsa pilihan yang dikhususkan dan dikuduskan oleh Allah sebagai
umatNya. Bangsa Israel harus kembali kepada karakter iman dan kepercayaan mereka kepada YHWH, dan
tidak mesti terpengaruh dengan kepercayaan bangsa Babel dan bangsa-bangsa di sekitar Babel. Jika
bangsa Israel sungguh-sungguh percaya kepada Allah YHWH maka mereka akan dibebaskan dari keadaan
hidup sebagai orang yang tertawan. YHWH sanggup melakukannya, lebih dari dewa-dewi sembahan orang
Babel dan bangsa bangsa disekitar Babel.
Makna lain dari penciptaan bagi orang Israel adalah suatu bentuk tertib kosmos (alam) yang
dilakukan oleh Allah Sang Pencipta. Urutan penciptaan yang dikisahkan oleh penulis kitab Kejadian 1,
memperlihatkan cara Allah mengatur dan menjaga keseimbangan kosmologis. Ketertiban dan
keseimbangan kosmos (alam) juga berhubungan dengan ketertiban dan keseimbangan hidup. Tegasnya,
bahwa Allah menghendaki adanya ketertiban dan keseimbangan hidup bagi Israel meskipun mereka
berada dalam situasi tertekan (sebagai bangsa yang tertawan). Ketertiban dan keseimbangan hidup yang
dimaksudkan disini berorientasi pada upaya penampakkan identitas diri bangsa Israel yang khas di hadapan
bangsa-bangsa lain. Iman dan kepercayaan bangsa Israel kepada YHWH merupakan cara pengungkapan
identitas mereka yang khas itu. Bangsa Babel dan bangsa-bangsa sekitar Babel akan mengenal bangsa
Israel sebagai komunitas dan pribadi yang berbeda dengan mereka. Tanpa iman dan kepercayaan yang
ditampilkan secara berbeda dari tengah-tengah kehidupan bangsa Israel ketika mereka berada di Babel,
mereka akan kehilangan identitas diri mereka sebagai bangsa pilihan Allah.
- Tidak terpengaruh dengan berbagai ajaran yang mengelakkan atau menolak Allah sebagai Pencipta
langit dan bumi. Misalnya, tanpa sadar atau dalam kesadaran, manusia menjadikan satu benda atau
makhluk yang lain dan atau seseorang sebagai pencipta, seperti yang dianut oleh masyarakat primitive,
yang percaya kepada batu atau pohon (dinamisme dan animisme), percaya kepada binatang-binatang
tertentu (totemisme), percaya kepada benda-benda tertentu yang dianggap, memiliki kekuatan magis
(fetisisme), dan atau mendewakan seseorang dalarm hidupnya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
V. EVALUASI
1. Jelaskan makna penciptaan bagi umat Israel dan bagi orang Kristen.
2. Sebutkan contoh sikap orang yang menyembah Tuhan Sang Pencipta.
3. Sebutkan contoh sikap orang yang bertanggung jawab terhadap sesama dan lingkungan/alam semesta
sebagai sesama ciptaan Tuhan.
4. Berikan pendapat anda, apa makna penciptaan bagi diri anda.
VII. KETERANGAN
Kegiatan Ekstra/Tugas Rumah : aktif dalam kegiatan peribadahan, baik ritual maupun sosial. Khusus
untuk ibadah ritual, katekisan diharapkan membuat daftar atau catatan tentang keterlibatannya dalam setiap
bentuk ibadah yang dilakukan ditingkat wadah/organisasi, sektor dan jemaat. Proses pengontrolan terhadap
aktifitas dan kejujuran katekisan, dapat dilakukan oleh kateket melalui buku daftar aktifitas peribadahan
katekisan yang ditandatangani oleh setiap pernimpin ibadah.
13
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 1. Manusia dan Alam Semesta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.1. Manusia sebagai ciptaan dan penatalayan (steward) dunia
4. Bahan bacaan Alkitab : Kej. 1:26-29; Kej. 2:15; Mzm. 8:5-6; Pkh. 12:1
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Manusia adalah bagian dari ciptaan Allah. Allah menjadikan manusia menurut "Gambar dan rupa Allah"
(Kej I : 26), manusia berbeda dengan makhluk lain yang sekalipun sama-sama diciptakan oleh Allah,
perbedaan mana terletak pada cara Allah memberi kehidupan kepada manusia yaitu manusia
memperoleh hidup dari hembusan nafas Allah (Kej 2 : 7,3-,19). Dengan demikian manusia adalah makhluk
ciptaan Allah yang memiliki keunikkan segambar dan serupa dengan Allah.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 1. Manusia dan Alam Semesta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.2. Manusia Sebagai Makluk Sosial, Budaya dan Ekonomi
4. Bahan bacaan Alkitab : Yer. 29:27; Kisah. 10:28, 29; Kej. 9:20; 41:46-49; Kisah. 16:14-16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pert, disajikan bersama SPB 1.3)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
3. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu budaya dari bentuk jamak kata budi yang berarti
roh atau akal. Kata kebudayaan berarti pengusahaan, pengelolaan, potensipotensi dalam alam oleh
manusia. Kata kebudayaan sering dihubungkan dengan kesenian, adat-istiadat dan cara hidup saja,
padahal segala bentuk kehidupan 15 manusia itulah kebudayaan itu sendiri. Jadi kebudayaan menyangkut
segala karya pikiran dan tangan manusia yang "man made" adalah kebudayaan. Itulah sebabnya manusia
sangat berbeda dengan hewan. Manusia sanggup membuat perkakas memudahkan pekerjaan dari
perkakas sederhana sampai sangat modern dan canggih sedangkan hewan tak dapat bersaing dengan
manusia, hewan hanya miliki taring cakar, sayap yang ada pada dirinya tidak dapat dirubah oleh kemajuan
manapun juga.
4. Tugas Kebudayaan
Dari pengertian kebudayaan diatas maka dapat dikatakan kebudayaan sebagai suatu panggilan Allah.
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya (Kej 1:26-27) sebagai gambar Allah manusia di beri tugas
oleh Allah yaitu "penuhilah bumi dan taklukkan lah itu, berkuasalah atas seluruh ciptaan" ( kej 1;28) pemberian
tugas itu disebut mandat kebudayaan. Mandat kebudayaan itu dijelaskan dalam Kej 2:15 "Tuhan Allah
mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara
taman itu". Dari mandat kebudayaan diatas dapat di katakan dengan pasti bahwa bumi ini adalah milik
Allah. Ia menghendaki supaya manusia atas nama Allah mengolah, mengusahakan,
mengerjakan bumi dengan segala potensinya untuk memuliakan nama Tuhan dan kesejahteraan bersama.
Sebelum Allah menciptakan manusia, la terlebih dulu menjadikan dunia dengan segala isinya, tindakan Allah
ini dimaksudkan agar manusia dapat mempergunakan alam dan segala potensinya untuk kehidupan
manusia. Allah menyediakan bahan mentah dalam bentuk alam dan tugas manusia adalah
mengusahakan, mengolah dan mengerjakan sehingga berubah menjadi sesuatu yang baru dalam wujud
yang lain, misainya :
Pohon-pohon, manusia membentuknya menjadi meja, rumah, alat musik dsb
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Air, manusia menggunakannya menjadi minuman, pembangkit tenaga listrik dsb Sumber-sumber alam
manusia menjadikannya alat ekektronik, mobil, bahan dsb
Binatang-binatang, manusia menjadikannya jinak memelihara dan menjadikan alat untuk membajak
tanah.mengangkut barang, susunya diparah untuk kebutuhan makanan manusia dsb.
Di samping itu Tuhan juga memberi talenta atau karunia untuk manusia sehingga ada kesanggupan bekerja,
olehnya tanpa adanya usaha yang sungguh-sungguh manusia tidak akan dapat sesuatu yang baik (Kej 3:19,
Ams 6:6). Dunia ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah supaya manusia mau bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (II Tes 3: 10-12). Manusia yang melaksanakan tugas adalah manusia yang berprinsip
Kristiani yaitu kita bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, melainkan juga melayani dan
berkorban bagi orang lain, sebagaimana teladan yang diberikan Kristus untuk kita (Yoh 10:11-14).
V. EVALUASI:
1. Jelaskan hakikat manusia sebagai makhluk sosial
2. Jelaskan pola hidup manusia sebagai makhuk sosial
2. Jelaskan pengertian kebudayaan
3. Jelaskan Tugas kebudayaan
4. Jelaskan manusia sebagai makhluk ekonomi
VI. KEPUSTAKAAN
1. Brownlee, Malcolm, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993.
2. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika ,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991.
VII. KETERANGAN
Metode : Ceramah, Tanya jawab, diskusi.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 1. Manusia dan Alam Semesta
3. Sub Pokok Bahasan : 1.3. Manusia sebagai Makhluk IPTEK
4. Bahan bacaan Alkitab : Yes. 2:4;
16 Kel. 1:8-14; Kej. 6:9-22; Kej. 11:4
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 1.2)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
pengetahuan yuridis), ekonomi, estetik (keindahan), medis (kedokteran), paedagogik (pendidikan), teknik
sampai dunia agama-agama (teologi). Mengingat luasnya ruang gerak ilmu pengetahuan, maka jumlah
ilmu pengetahuan masih akan bertambah terus selama sejarah dunia ini masih berlangsung.
3. Pengertian Teknologi
Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani, techne dan logos. Kata techne pada mulanya
berhubungan dengan berbagai kecakapan, baik di bidang seni maupun di bidang pekerjaan tangan.
Namun di dalam perkembangannya kata techne diartikan sebagai kegiatan manusia yang terarah pada
perbuatan perkakas-perkakas atau alat-alat untuk membantu pekerjaan manusia. Sedangkan kata. logos
berarti ilmu (ilmu pengetahuan). Jadi teknologi dapat diartikan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan perbuatan perkakas atau alat-alat yang dapat digunakan untuk membantu
pekerjaan.
Sebenarnya teknologi baik yang sederhana maupun modern tidak terlepas dari usaha manusia untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Jika kita mempelajari sejarah manusia, tampaklah setiap bangsa memiliki
sejarah teknologi masing-masing, namun teknologi modern sebenamya dimulai pada zaman renaissance
pada abad ke-15 dan 16. Selanjutnya perkembangan teknologi ini akan terus bergerak maju dengan
hasil-hasil mengagumkan, namun juga menakutkan.
itu sendiri. Akibatnya teknologi disalahgunakan. Misalnya, dengan teknologi orang mencuri data bahkan
milik orang lain, orang dapat membunuh dengan cara meracuni, merusak teknologi orang lain dengan
menyebarkan virus computer, dampak polusi lingkungan akibat pencemaran limbah kimiawi atau nuklir, dsb.
V. EVALUASI.
1. Sebutkan pengertian ilmu pengetahuan
2. Jelaskan pandangan Alkitab terhadap ilmu pengetahuan
3. Sebutkan pengertian teknologi
4. Jelaskan peranan umat Kristen dalam pengembangan teknologi
5. Jelaskan dampak dari teknologi
VI. KEPUSTAKAAN
1. Brownlee, Malcolm, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993.
2. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika ,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991.
VII. KETERANGAN
. Metode : Ceramah, Tanya-jawab, diskusi.
1. IDENTITAS
2. Materi Sajian : KONTEKS
3. Pokok Bahasan : 1. Manusia Dan Alam Semesta
4. Sub Pokok Bahasan : 1.4. Pandangan Orang Kristen tentang Dunia dan Tugas Orang Kristen
5. Bahan bacaan Alkitab : Kel. 9:29; Maz. 24:1; 89:12; 115:16; Kis. 7:49; 1 Kor. 10:26; Why.7:3; Hab.2:14; Mat.5: 13 –
16).
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
7. S e m e s t e r : I (Ganjil)
5. URAIAN MATERI
1. Pertanyaan tentang “mengapa orang Kristen harus bekerja di dunia ?” sesungguhnya merupakan
pertanyaan substansial yang harus menjadi kesadaran bagi setiap orang percaya yang hidup dan
mendapat tanggung jawab dari Tuhan sang Pencipta dan Penebusnya untuk menjadi “bermakna” di
tengah dunia ini.
Beberapa pikiran mendasar yang melatari jawaban terhadap pertanyaan substansial tersebut, antara lain:
a. Hal-hal yang rohani tidaklah terpisah dari hal-hal yang jasmani:
Pengertian terhadap pernyataan 18 ini merujuk pada kebenaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu
itu baik dan suci. Artinya sejak semula, Allah sebagai sang Pencipta, menciptakan segala sesuatu dari
kekacauan menjadi keteraturan, dari kekosongan menjadi ketidakkosongan (menjadi ada). Oleh karena
itu pada hakikatnya, bumi serta segala isinya itu adalah milik Tuhan (Maz.24:1 dan 1 Kor.10:26). Dalam
kekristenan tidak ada hal yang keramat atau yang ilahi, kecuali Allah sendiri. Tidak ada pohon atau gua
atau benda pusaka atau manusia yang mempunyai kuasa ilahi, selain Allah sendiri. Namun dalam
perspektif Kristen, seluruh ciptaan itu dianggap baik dan suci, dalam pengertian bahwa semua ciptaan
itu patut dihargai, karena menunjukkan kuasa dan kebaikan Tuhan Penciptanya. Bagi kita orang Kristen,
tidak ada hari yang keramat, sebab setiap hari itu suci karena diberikan kepada kita oleh Tuhan. Tidak
ada imam atau pendeta atau manusia yang keramat, sebab setiap orang itu suci karena diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah. Segala sesuatu menandai Tuhan Penciptanya.
Seluruh bumi penuh dengan kemuliaan Allah. Alam semesta menjadi “Bait Suci tempat memuji Tuhan”.
Dalam agama Kristen, perpisahan antara yang suci dan yang sekuler dirombak (sebab Kristus telah mati
dan tabir bait Allah pun terbelah dua. Tidak ada lagi ruang yang biasa, ruang yang suci dan ruang
mahasuci. Kristus telah menebus dan menjembataninya. Lihat: Mat.27:51; Mrk.15:38) Tidak ada lagi hal
yang keramat, kecuali Allah sendiri..
Terkait dengan itu, pandangan Kristen tentang dunia menjadi penting untuk dicermati. Sebab pertanyaan
yang krusial adalah, “apakah betul dunia ini jahat sehingga orang Kristen perlu menjauhkan dirinya dari
dunia ? “
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
- Kejahatan dunia bukanlah kejahatan perorangan saja tetapi kejahatan struktural. Bukan saja individu-
individu berdosa, masyarakat sebagai dunia penuh dosa.
- Dalam PB, kata “dunia” tidak berlawanan dengan kata “agama”, melainkan pemimpin-pemimpin
agama menjadi wakil-wakil dunia yang terpenting (band.Yoh.8:23). Dunia yang tidak menerima Yesus
terutama terdiri dari orang-orang Farisi dan imam-imam.
- Walaupun dunia adalah musuh Tuhan, dunia itu dikasihi oleh Tuhan (Band. Yoh.3:16-17). Dunia
sesungguhnya merupakan tempat Allah bekerja untuk menyelamatkan dunia itu sendiri. Karena itu
dunia menjadi medan perang antara kuasa-kuasa jahat dan kuasa Allah, antara terang dan gelap,
keadilan dan ketidakadilan, hidup dan maut. Dalam perang sedemikian, kita tidak mungkin menjadi
netral, Kita harus menentukan sikap: memilih pihak benar atau salah, adil atau tidak adil, hidup atau
maut, maut/dosa atau Allah ?
Oleh karena itu, TUGAS ORANG KRISTEN BUKANLAH UNTUK MEMISAHKAN DIRI DARI DUNIA TETAPI
BERPERAN SERTA DALAM USAHA ALLAH UNTUK MENDATANGKAN KEADILAN, PERDAMAIAN DAN
KESEJAHTERAAN KE DALAM DUNIA, atau dalam bahasa Dewan Gereja-Gereja se-dunia dikenal dengan
trilogy: KPKc, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Kita harus hidup di dalam dunia, walaupun
kita (orang percaya) bukanlah berasal dari dunia (Yoh. 17:16). Firman Tuhan katakana, “Kita jangan
menjadi serupa dengan dunia ini (Rom.12:2), namun kita diutus ke dalam dunia oleh Kristus, sama
seperti Kristus diutus ke dalam dunia oleh Allah Bapa (Yoh.17
Pada saat Yesus mempergunakan kata eklesia, sesungguhnya kata tersebut sudah ada dan telah
dipergunakan di seluruh daerah-daerah jajahan Romawi. Jadi kata eklesia bukanlah suatu kata asing yang
mendadak turun dari sorga. Pada saat Yesus mengucapkan kata tersebut, sebetulnya pada murid telah
mengerti apa yang Yesus maksudkan dengan istilah ekklesia itu. Lazimnya kita memahami bahwa kata
eklesia (yang secara etimologis, berasal dari kata Yunani: eks yang berarti keluar dan kaleo yang berarti
memanggil; jadi eklesia artinya memanggil atau dipanggil keluar) berarti orang-orang yang dipanggil keluar
dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang (1 Pet.2:9). Namun ternyata eklesia memiliki pengertian yang
jauh lebih mendalam, yaitu, “sekelompok orang yang dipanggil keluar dari rakyat biasa dan dipanggil untuk
menyertai seorang raja dalam pemerintahannya”. Jadi, eklesia adalah semacam menteri-menteri
(kabinetnya) seorang raja. Karena eklesia umumnya tinggal di dalam sebuah kota, maka eklesia juga dapat
dikatakan sebagai sebuah dewan kota, yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk “menentukan nasib
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
dari kota dan warga kota tersebut !” Dengan kata lain, gereja atau orang percaya adalah sekelompok
orang yang berada di seputar seorang raja yang berkumpul untuk menentukan nasib dari kota dan
bangsanya.
3. Secara umum, ada dua ciri dari agama yang melatari sikap penganutnya terhadap dunia di mana mereka
hidup, yakni:
(1) agama yang menganjurkan agar manusia menghindari dunia, dan
(2) agama yang mendorong manusia untuk mengubah dan membentuk dunia.
Dalam agama yang menghindari dunia, manusia tidak berusaha menjadikan dirinya lebih baik dan lebih
bertanggung jawab. Manusia hanya ingin menghilangkan segala rintangan kepada persatuan dengan
yang ilahi. Ia hanya ingin menjadi bejana Allah, bukan alat Allah. Ia ingin dipenuhi oleh Allah bukan dipakai
oleh Allah.
Sementara agama (tentunya agama Kristen) yang mendorong manusia untuk mengubah dan membentuk
dunia, justru mengisyaratkan para pengikutnya untuk memperbaiki dunia. Keberadaan di dunia ini pada
dasarnya tidak jahat, tetapi baik karena diciptakan oleh Tuhan. Tentu ciptaan yang baik itu telah dinodai
oleh dosa (kejatuhan manusia ke dalam dosa). Namun, diptaan itu masih berharga dan perlu diperbaiki.
Bagi kekristenan, manusia tidak boleh menolak ciptaan Tuhan, melainkan mengikutsertakan dirinya dalam
usha Tuhan untuk menyelamatkannya.
Dalam agama Kristen, cita-cita manusia bukan menjadi bejana Allah melainkan menjadi alat Allah. Ia ingin
dipakai oleh Allah. Tentu ia (manusia percaya) juga ingin menjadi satu dengan Allah, ia ingin supaya Allah
hidup di dalam dia dan dia di dalam Allah (Gal.2:20). Namun keberadaan Allah di dalam dia tidak
menjadikan dia pasif, tetapi memberi kuasa dan bimbingan kepada perbuatannya (Lihat 2 Kor.4: 7-10).
Agama Kristen tidak melihat struktur masyarakat sebagai sesuatu yang harus diterima atau dijauhkan. Struktur
masyarakat dibentuk oleh manusia yang berdosa. Karena itu strktur itupun perlu diperbaiki. Manusia
dipanggil Allah untuk bekerja dalam masyarakat sambil berusaha menjadikan masyarakat lebih sesuai
dengan kehendak Allah, dengan terwujudnya kasih, keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan, di antara
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan hidupnya.
6. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian dunia menurut pandangan Kristiani !
2. Jelaskanlah pengertian orang Kristen sebagai eklesia (gereja) di tengah dunia !
3. Jelaskanlah alasan mengapa orang Kristen harus bekerja (menatalayani) dunia ini ?
4. Berikanlah contoh-contoh aplikatif dari tugas orang Kristen di tengah dunia
7. SUMBER KEPUSTAKAAN :
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Theologis Bagi Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat
(Malcolm Brownlee)
20
1. IDENTITAS
2. Materi Sajian : FIRMAN
3. Pokok Bahasan : 2. Allah Yang Mengampuni
4. Sub Pokok Bahasan : 2.1. Pengertian Dosa dan Akibatnya
5. Bahan bacaan Alkitab : Kejadian 3 : 1-24; 4 : 1-16; Galatia 5 : 16-26; Efesus 4 : 17-22.
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
7. Semester : I (Ganjil)
4. URAIAN MATERI
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
1. Pengertian dosa.
Dalam Perjanjian Lama, dosa dimengerti sebagai "ketidaktaatan" yang diungkapkan melalui istilah
pesya (pemberontakan), khatta (pelanggaran) dan awon (perbuatan yang tidak senonoh). Dalam
Perjanjian Baru, dosa juga diartikan sebagai "ketidaktaatan" (Roma 5:19). Ketidaktaatan ini tidak hanya
melanggar hak dan hukum Allah (I Yohanes 3:4), tetapi juga melawan Allah sendiri. Bahasa Yunani yang
sering dipakai daiam menjelaskan pengertian dosa adalah anomien, yang berarti perbuatan tanpa kasih (I
Yohanes 4:8) atau kejahatan (I Yohanes 5:17). Paulus menyebut orang berdosa sebagai 'musuh' dan
'pembenci Allah' (Kolose 1:2; Roma 1:30). Dengan demikian, manusia sebagai orang berdosa tidak hanya
melanggar hukum Allah, tetapi juga ingin merebut takhta Allah; manusia tidak hanya melupakan perintah
Allah, tetapi juga melewati perbatasan antara Allah dengan ciptaanNya. Oleh karena itu Paulus tidak hanya
menjelaskan hakikat dosa dengan istilah "ketidakpatuhan" (Parakoe, Roma 5:19), tetapi juga sebagai
"keinginan yang tidak benar" (epithumia, Roma 7:7). Dosa adalah kejahatan dalam segala bentuknya.
Alkitab juga menegaskan bahwa dosa dimulai dari penyalahgunaan kebebasan yang diberikan Allah
kepada manusia yang dilengkapi dengan kehendak.
Dari segi sifat dan keadaannya, dosa dapat dinampakkan dalam bentuk dosa pribadi, tetapi juga
dosa kolektif. Dosa pribadi merupakan dosa individu atau perorangan. Sedangkan dosa kolektif adalah dosa
yang dilakukan secara bersama-sama (lebih dari satu orang). Pada kenyataannya, dosa kolektif lebih sadis
atau kejam dan lebih berani dari pada dosa pribadi. Dalam teologi protestan, tidak ada pemisahan atau
perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. Dosa tetaplah dosa.
3. Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, antara lain: hubungan antara manusia dengan
Allah menjadi terputus; Allah menjadikan dunia yang sebetulnya 'damai' berubah menjadi 'tantangan' bagi
manusia; Manusia kehilangan kemuliaannya
21 dihadapan Allah.
Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan sesama, antara lain: relasi sosial antara manusia dengan
sesamanya selalu diwarnai dengan sikap yang tidak manusiawi (brutal, arogan dan sadis); hubungan
manusia dengan sesamanya dibangun atas dasar nafsu kemanusiaan yang naif dan jasmaniah semata
(membunuh, menghancurkan, menindas, memanipulasi kelemahan orang lain untuk kepentingan diri sendiri,
menguasai, hanya ingin dilayani, dsb); relasi antar sesama manusia berjalan tidak seimbang, dan bahkan
terputus karena egoisme yang berlebihan dalam diri manusia.
Akibat dosa bagi hubungan manusia dengan lingkungan adalah manusia memiliki sikap niretik dan
atau nirreligi (tanpa etika dan tanpa agama) terhadap alam lingkungan. Hal ini nampak dalam sikap
manusia yang mengeksploitasi, mendominasi dan memanipulasi alam untuk kepentingan manusia, tanpa
mempedulikan hakikat kehidupan yang ada pada alam lingkungan itu sendiri; Hubungan manusia dengan
alam hanyalah hubungan subyek-obyek, artinya alam hanya memiliki manfaat sebagai alat (instrument)
pemuasan hidup manusia; Manusia kehilangan jati diri sebagai mandataris Allah yang harus menjaga dan
memelihara alam lingkungan ciptaan Allah; Manusia kehilangan kesadarannya, bahwa alam lingkungan
bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa alam lingkungan.
hidup. Hal ini dinyatakan dalam sikap Allah yang bersedia menyapa 'kembali' manusia, setelah manusia
(Adam dan Hawa) melakukan perbuatan yang melanggar kehendak Allah.
5. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian dosa.
2. Sebutkan sebab-sebab kejatuhan manusia kedalam dosa.
3. Jelaskan akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
4. Sebutkan contoh akibat dosa bagi hubungan manusia dengan Allah, sesama dan lingkungan.
5. Jelaskan sikap Allah terhadap orang berdosa.
6. SUMBER KEPUSTAKAAN
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 2. Allah Yang Mengampuni
3. Sub Pokok Bahasan : 2.2. Pengampunan Allah.
4. Bahan bacaan Alkitab : Yes. I:18-20; Yoh. 3:16; 1 Yoh. 1:5-10.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
4. Sikap manusia (orang percaya) dalam menanggapi anugerah pengampunan dari Allah.
Ada beberapa sikap yang harus dinampakkan oleh orang percaya sebagai respon terhadap Allah yang
mengampuni, antara lain :
- Menaruh atau mendasarkan iman dan kepercayaan yang sungguh-sungguh bahwa Yesus Kristus adalah
Allah Penyelamat seluruh kehidupan dunia.
- Manusia percaya, harus meletakkan dasar pemahaman yang kuat bagi dirinya, bahwa pengorbanan
Yesus Kristus adalah cara Allah yang sangat ajaib dan dahsyat bagi keselamatan hidupnya. Dengan kata
lain, manusia percaya harus jujur mengatakan bahwa karena pengorbanan Yesus ia diampuni dan
diselamatkan dari dosa dan kematian yang sia-sia.
- Tujuan Allah mengampuni dosa manusia dan menyelamatkannya dalam wujud pengorbanan Yesus,
sekaligus menegaskan bahwa manusia harus saling mengampuni dan atau memaafkan kesalahan,
kealpaan dan kelalaian orang lain, karena Allah Maha Pengampun telah menunjukkan caraNya yang
luar biasa dalam realitas kematian Yesus sebagai jalan pengampunan dan penyelamatan manusia.
- Akhirnya manusia, tanpa harus dengan berbagai macam pertimbangan, wajib menyerahkan hidupnya
kepada Allah sebagai wujud penghargaannya atas pengorbanan Kristus di Salib; sekaligus menyatakan
kasihnya kepada sesama manusia dan alam lingkungan melalui sikap ibadahnya secara ritual dan sosial.
V. EVALUASI
1. Uraikan cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
2. Jelaskan cara Allah dalam mengampuni manusia.
3. Jeiaskan tujuan Allah mengampuni manusia.
4. Berikan contoh hidup orang yang memahami dosanya diampuni oleh Allah Maha Pengampun.
VII. KETERANGAN
Kegiatan ekstra/tugas rumah: mencari bentuk-bentuk tradisi masyarakat suku/Iokal (daerah asal katekisan)
yang menunjukkan adanya cara masyarakat
23 untuk mencari pendamaian Allah bagi mereka.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Mempersatukan
3. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Arti dan Makna Panggilan Allah
4. Bahan bacaan Alkitab : Yunus 1; Yer.4: 1-10; 12:1-9; 4:19)
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Sebetulnya sejak awalnya manusia pada umumnya telah menerima mandat dari Tuhan Sang Pencipta. Ketika
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka ungkapan tersebut telah mengisyaratkan suatu
makna bahwa antara Allah dan manusia terdapat hubungan atau relasi yang khusus, yakni hubungan dalam
panggilan manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya,
hanya manusia yang mendapat tugas untuk “mencerminkan” keberadaan Allah di dunia. Artinya, manusia
dipanggil untuk hidup dan berlaku sama seperti Allah. Maksudnya, manusia terpanggil untuk hidup dan berlaku
secara bertanggung jawab – terhadap makhluk-makhluk yang lain.
Manusia mendapat mandat / kewenangan bukan uintuk menghancurkan atau mengeksploitasi makhluk
ciptaan lainnya melainkan sama seperti yang dilakukan oleh Allah, manusia terpanggil untuk memelihara,
melindungi dan menyelamatkan makhluk-makhluk
24 itu.
Secara khusus, panggilan Allah kepada orang percaya, sesungguhnya merupakan suatu anugerah yang
sangat besar dan khusus. Artinya, seperti yang diungkapkan oleh teolog Karl Barth, apabila dilihat dari sudut
kemampuan Allah, kita ini (orang percaya) tidak ada apa-apanya. Namun bila dilihat dari sudut kemauan
Allah, maka kita (orang percaya) menjadi sesuatu yang berharga. Itulah yang diisyaratkan dalam 1 Petrus 2:10:
Kamu yang dahulu bukan umat Allah tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak
dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.
Dalam kaitannya pula dengan gereja sebagai sekelompok orang percaya yang dipanggil dan sekaligus pula
diutus ke dalam dunia, maka Allah mengaruniakan talenta/bakat dan kemampuan, sehingga semua unsur dari
tubuh Kristus dapat berfungsi sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing. Karena itu, Alkitab
mengungkapkan tentang adanya karunia Roh (bandingkan Roma 12 : 7; 1 Kor.12: 7, 28-29) yang dipercayakan
secara khusus bukan untuk kepentingan dirinya melainkan demi membangun gereja sebagai Tubuh Kristus
pada satu pihak (secara ke dalam) dan mewujudkan panggilan misionernya di tengah konteks kehadirannya
/ lingkungan di mana orang percaya itu berada (menggarami dan menerangi).
Panggilan Allah itu pada hakikatnya itu mengarah pada diri seseorang. Allah tidak memanggil suatu kelompok.
Ia memanggil setiap orang secara pribadi untuk membentuk suatu kelompok. Dengan demikian panggilan itu
harus disambut secara pribadi juga; dan kita tidak dapat memberikan seseorang sebagai pengganti untuk
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
menerima atau menjawab panggilan tersebut. Allah memanggil Abraham “seorang diri” (Yes.51:2); Allah
memanggil Yunus secara pribadi. Namun panggilan Allah kepada Abraham maupun Yunus bermuara bagi
kepentingan orang banyak. Abraham menjadi Bapa segala orang beriman. Yunus yang akhirnya dikembalikan
Tuhan ke jalan panggilan dan pengutusannya, memungkinkan bangsa Niniwe bertobat dan diselamatkan.
Dengan demikian, panggilan Allah itu bermakna demi mewujudkan suatu persekutuan internal (orang percaya)
maupun eksternal (dengan umat lainnya bahkan dengan lingkungan hidup ciptaan Tuhan lainnya).
Orang percaya terpanggil untuk berkarya secara bermutu dan bermakna di tengah keseharian hidup dan
pekerjaannya. Dalam bahasa Inggris ada beberapa terjemahan untuk kata kerja atau pekerjaan, antara lain:
work, job, labor, occupation dan vocation. Secara teologis, kerja atau pekerjaan bagi seorang percaya adalah
suatu suatu panggilan. Pengakuan bahwa tiap jenis pekerjaan yang menopang kehidupan adalah merupakan
panggilan Tuhan, secara tidak langsung tersirat dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Inggris pekerjaan
disebut vocation yang akarnya berasal dari kata Latin vocation/vocationem (= memanggil). Bahasa Belanda,
beroep (= pekerjaan) berasal dari kata roep (= memanggil). Begitu juga dalam bahasa Jerman, Beruf
(=pekerjaan) dan Berufung (= penugasan) berasal dari kata ruf (= memanggil).
Karena itu, kelirulah kita bila menganggap bahwa wujud pekerjaan dari panggilan itu hanyalah menjadi
pendeta misalnya. Sebab semua orang percaya, apa pun pekerjaannya, adalah hamba Tuhan (Lihat
Rom.6:22).
Jadi, tanpa kecual setiap orang mendapat panggilan Tuhan. Yang penting, panggilan itu kita jalankan dengan
taat dan gembira. Panggilan itu berbeda-beda, tetapi tiap panggilan itu memiliki keluhuran dan
kemanfaatannya masing-masing. Kepelbagaian panggilan bukanlah soal tinggi atau rendah melainkan soal
saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Reformator gereja (Calvin) sendiri menekankan bahwa tiap jenis pekerjaan adalah penetapan dan panggilan
dari Allah. Dalam bukunya Institutio Pengajaran Agama Kristen, Calvin menulis: “ Tuhan menetapkan tugas-
tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu
dinamakanNya panggilan….Tidak ada pekerjaan apa pun betapapun kecil dan hinanya yang tidak akan
bersinar-sinar dan dinilai berharga di mata Tuhan….” Dalam teologi-iturgi, panggilan kerja itu adalah suatu
ibadah. Bandingkan asal-muasal kata ibadah (Arab/Ibrani/Semitis): Abodah, yang memiliki akar kata abd =>
abdi => pengabdian. Demikian juga kata Liturgi dari kata Yunani Laos (Umat/Masyarakat) dan Ergon
(perbuatan), yang merujuk pada pengertian perbuatan yang dilakukan demi kepentingan orang
banyak/rakyat.
Setiap orang Kristen terpanggil untuk bekerja di dalam dunia ini, karena pada prinsipnya:
(1) Hal-hal yang rohani memang berbeda dengan hal-hal jasmani namun tidak dapat dilepaspisahkan.
Pernyataan ini sangat mendasar dan imani, karena Allah menciptakan segala sesuatu itu baik dan suci.
Tuhan menciptakan baik roh dan jiwa, maupun tubuh dan benda-benda. Bumi serta segala isinya adalah
milik Tuhan ! (1 Kor.10:26). Dalam agama Kristen tidak ada hal yang keramat atau ilahi kecuali Allah sendiri.
Tidak ada pohon atau benda pusaka. Tidak ada hari atau waktu keramat, karena setiap hari itu suci karena
dianugerahkan oleh Tuhan.
Oleh karena itu setiap orang percaya terpanggil untuk menggunakan “ruang dan waktu” yang diciptakan
dan dianugerahkan Tuhan kepada kita untuk kemuliaan namaNya ( Roma 11:36).
(2) Hal-hal yang perorangan tidak terpisah dari hal-hal sosial.
Hubungan kita dengan Allah tidak terpisah dari kasih kepada sesama dan keadilan dalam masyarakat.
Hubungan vertikal dengan Allah selalu menyangkut hubungan horisontal dengan orang lain. Karena itu
SALIB menjadi tanda dan bukti 25 dari karya penyelamatan Allah dalam Kristus. Karena salib itu sendiri
terbentuk dari yang vertikal dengan yang horisontal. Di salib itulah, pendamaian terwujud dalam relasi
manusia dengan Allah dan dengan sesama dan lingkungan hidupnya.
Dengan demikian umat percaya terpanggil bukan untuk menghindari atau melarikan diri dari dunia melainkan
terpanggil untuk membentuk atau membarui dunia di mana ia berada. Tentu saja dunia yang telah diciptakan
oleh Tuhan dengan baik itu telah dinodai oleh dosa (Kejadian 1 dan 3). Namun ciptaan itu masih berharga dan
perlu diperbaiki. Orang percaya harus menjadi bejana tetapi sekaligus menjadi pula alat bagi Allah. Menjadi
bejana saja yang hanya ingin dipenuhi oleh Allah, tanpa menjadi alat Allah untuk dipakai olehNya, kapan dan
di mana saja, maka orang Kristen akan menjadi egois dan pincang. Sebaliknya, bila ia mau dipakai oleh Allah
tetapi enggan untuk “diisi dan dikuasai oleh Allah” maka ia akan menjagi seperti mobil tanpa besin, tidak
bergerak. Atau parang yang tumpul.
V. EVALUASI
4. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
5. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
6. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
7. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
8. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
9. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Mempersatukan
3. Sub Pokok Bahasan : 3.2. Panggilan untuk Menjadi Satu
4. Bahan bacaan Alkitab : Yohanes 17 : 21
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Kekristenan mengisyaratkan bahwa “menjadi satu itu merupakan suatu panggilan dan keterpanggilan itu
dimaksudkan untuk mewujudkan 26 pula suatu kesatuan” yang berdasar dan berpola dari kesatuan (keesaan
Allah sendiri). Dasar alkitabiah untuk kesatuan gereja Tuhan berawal dari doa Yesus, “….Supaya mereka semua
menjadi satu, sama seperti ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau (Yoh.17:21).” Dalam Doa tersebut
(khususnya dalam konteks ayat 20-23), diisyaratkan bahwa panggilan gereja untuk membangun dan
mewujudkan kesatuan dan persatuan adalah untuk menjadi suatu kesaksian (bukti) bagi dunia. Yesus sadar
betul bahwa titik rawan para muridNya adalah pada ketidakbersatuan. Yesus telah mencium aroma
kerawanan itu ketika dalam perjalananNya ke Kapernaum. Di situ keduabelas murid bertikai. Dan pokok
pertikaian mereka adalah mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka (Mrk.9:35). Pertengkaran
tentang jabatan / posisi /kedudukan ternyata tidak mampu diselesaikan. Bahkan bisa saja hal tersebut
berkembang menjadi kebencian, dan iri hati. Ambisi, egoisme dan arogansi masing-masing lebih menguasai
sikap, hati dan pemikiran seseorang, termasuk pada murid Tuhan. Karena itu Yesus melafaskan doaNya secara
khusus, “Supaya mereka semua menjadi satu …!” Adapun kesatuan dan persatuan tersebut tersebut
dimaksudkan berdasar dan sekaligus berpola pada Allah Bapa-Anak-Roh Kudus.
Rasul Paulus sendiri menyadari idealisme terhadap pentingnya kesatuan gereja tersebut, sehingga kepada
jemaat di Korintus yang diperhadapkan dengan perpecahan, Paulus berkata, “Tetapi aku menasihatkan kamu,
saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan
di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (1 Kor.1:10). Gereja, sebagai
Tubuh Kristus tidak dapat menghindari diri dari panggilan untuk mewujudkan keesaan gereja. Tentunya ada
pertanyaan kritis: “Mengapa ada banyak sekali aliran atau denominasi dalam gereja ?”
Sekilas sejarahnya, para bapa gereja sendiri mula-mula telah mencoba untuk mempertahankan kesatuan itu
dengan memusatkan perhatian orang kIrsten kepada Injil rasul-rasul dan ajarannya. Di luar sejumlah
perpecahan kecil, gereja tetap bersatu sepanjang seribu tahun pertama. Perpecahan besar (gereja) pertama
terjadi pada tahun 1054 ketika gereja Timur yang berpusat di Konstantinopel, memisahkan diri dari gereja Barat
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
yang berpusat di Roma. Perpecahan tersebut disebabkan oleh penambahan frase Pengakuan Iman Nicea
oleh Paus. Isu yang menyebabkan perpecahan ini bukan hanya bersifat doktrinal, tetapi soal siapakah yang
memiliki otoritas untuk mengubahnya. Perpecahan gereja Barat berlanjut menjadi Katolik Roma dan berbagai
jenis kelompok Protestan dalam Reformasi abad keenam belas. Sebagian besar perpecahan itu karena
penekanan doktrin yang berlebihan, dan di manakah otoritas untuk menetapkan doktrin itu dapat ditemukan.
Beberapa kelompok non-Roma mencoba tetap bertahan di dalam gereja Katolik Roma, namun mengalami
pengucilan. Kelompok lainnya, yang lebih radikal, memisahkan diri dari setiap orang, bahkan dari kelompok-
kelompok Protestan lainnya. Sepanjang berabad-abad berikutnya, aliran Protestan terus terpecah-pecah
menjadi beratus-ratus kelompok.
Selanjutnya, pada abad kesembilan belas, sejumlah orang Kristen tumbuh dengan ketidakpuasaan mengenai
banyaknya aliran/denominasi. Orang-orang Kristen Amerika dari berbagai jenis denominasi yang luas mulai
bekerja sama dalam pekerjaan misi dan upaya memasyarakatkan Alkitab. Gerakan ekumenikal modern
dimulai pada tahun 1910 pada sebuah konferensi penginjilan di Edinburg, Skotlandia, yang menjadi cikal-bakal
terbentuknya Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC) pada tahun1948.
Gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam PGI merumuskan konsep dasar keesaan gerejawi secara
mendasar dan relevan dengan pergumulan gereja Tuhan di Indonesia. Rumusan tersebut antara lain:
(1) Bahwa mewujudnyatakan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia nampaknya seperti suatu kemustahilan.
Namun diakui bahwa semakin dalam kemustahilan itu disadari, semakin dalam pula rasa heran dan syukur
atas kasih dan kuasa TUHAN yang telah sudi melakukan yang mustahil itu menjadi mungkin; Sebab diyakini
bahwa TUHAN sedang terus melakukan pekerjaan menyatukan gereja TUHAN demi persatuan dan
kesatuan umat manusia dengan melawan segala macam bentuk kekerasan yang memecah belah dan
merusak manusia, agar gereja dan dunia menjadi tempat kediaman TUHAN dan tempat kediaman
manusia.
(2) Diakui bahwa semakin gereja mendekat kepada TUHAN, semakin gereja mendekat satu kepada yang lain;
semakin gereja berjumpa dengan TUHAN, semakin gereja berjumpa satu dengan yang lain; semakin gereja
menyatu di dalam TUHAN, semakin gereja menyatu satu di dalam yang lain. Dan semakin gereja
bergantung pada TUHAN dalam kesatuan itu, semakin gereja mandiri dan berdaya, sehingga gereja
semakin dimampukan untuk saling mengakui dan saling menerima, saling menopang dan saling
melengkapi.
(3) Gereja percaya dan memahami bahwa keesaan di dalam TUHAN itu adalah kesatuan yang bersumber
pada hakikat Allah di dalam Kristus, yaitu keesaan yang secara hakiki mengandung kemajemukan dan
kesaksian demi dunia, sebagaimana nyata dalam doa Tuhan Yesus (Yoh.17:23).
(4) Karena keesaan gereja bersumber pada hakikat Allah dalam Kristus, gereja percaya dan memahami
bahwa keesaan gereja bukan kesatuan yang seragam yang menyesakkan dan mematikan individualitas
dan keunikan, tetapi kesatuan yang majemuk yang memberi ruang kebebeasan dan kehidupan pada
semua makhluk.
(5) Gereja percaya dan mengalami bahwa Yesus Kristus yang sama telah menjadi Tuhan yang membudaya
dan diterima akrab dalam setiap komunitas orang percaya dengan kebudayaannya masing-masing,
sehingga Tuhan Yesus Kristus menjadi pengesa dari suatu keesaan yang sangat majemuk yang merangkum
semua manusia dengan segala kekayaan budayanya. Oleh karena itu, gereja menamakan keesaan
tersebut sebagai Oikoumene Gerejawi (OG) yang adalah GKYE (Gereja Kristen yang Esa di Indonesia).
(6) Di dalam kesatuan tersebut, gereja terpanggil untuk mempersembahkan semua individualitas dan ciri khas
gereja masing-masing, dan semua perbedaan ras, etnis, budaya, ajaran, denominasi, struktural gereja,
kepada Tuhan Yesus Kristus, agar mendapatkan tempat dan fungsinya yang benar, yaitu sebagai elemen-
elemen kemajemukan yang membentuk,
27 menghidupkan, dan memperkaya kesatuan, dan tidak menjadi
prinsip primordial yang eksklusif dan memecah.
(7) Gereja mengaku bahwa setiap ketertutupan dan perpecahan adalah pengingkaran terhadap Tuhan
Yesus sebagai satu-satunya dasar keesaan gereja dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain, yang
seharusnya dipersembahkan di kaki salib Kristus untuk disucikan dan dijadikan aat-Nya. Bahkan
ketertutupan ini pada dasarnya adalah penyaliban Kristus kembali ! Karena itu, gereja percaya bahwa
keesaan itu, selain bukan keseragaman, juga bukan kemajemukan yang didominasi oleh pihak-pihak
tertentu atau oleh kekuatan apa pun yang bukan TUHAN. Keesaan gereja dalam Tuhan adalah tempat
hidup bagi semua manusia.
(8) Karena keesaan gereja bersumber pada Allah dalam Kristus yang menghendakinya agar dunia tahu dan
percaya, maka gereja percaya dan mengaku bahwa keesaan gereja itu sendiri adalah pada hakikatnya
merupakan kesaksian dan pemberitaan Injil. Sebab semua tindak gerejawi, seperti kesaksian, pelayanan,
dan suara kenabian, kesungguhannya dan keabsahannya bertumpu pada keesaan gereja dalam TUHAN..
(9) Karena pewujudnyataan Oikoumene Gerejawi dalam Gereja Kristen yang Esa, yang majemuk dan demi
dunia itu, berdasarkan ketaatan kepada Tuhan Yesus, maka gereja percaya dan memahami bahwa
pemberian bentuk Oikoumene Gerejawi dalam GKYE itu ditentukan oleh dua hal, yakni:
a) Derajat Konektivitas antar anggota tubuh dan Sang Kepala (1 Kor.12);
b) Asas Akuntalibitas gerejawi (kebertanggungjawaban gereja satu terhadap yang lain dan bersama-
sama kepada TUHAN). Adapun derajat konektivitas tersebut diharapkan dapat tercipta antara umat,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
aktivis oikoumene gerejawi (AOG), dan sentra-sentra gerejawi di semua aras dalam fungsi pelayanan
dan kesaksian terhadap lingkungannya.
(10) Selanjutnya pula, dalam upaya mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Inonesia, gereja-gereja
menyatakan ikrarnya untuk bersedia saling mengakui dan menerima satu terhadap yang lain dengan
segala perbedaan yang ada, dan menyatakan komitmen untuk saling menopang dalam bidang teologi,
daya dan dana, sebagai berkat TUHAN yang harus dijadikan berkat pula bagi dunia. Dalam konteks trilogi
kemandirian (teologi, daya dan dana) disadari bahwa kemandirian dan saling menopang dalam bidang
daya merupakan unsur yang sangat urgen dan strategis.
(11) Selain Oikoumene Gerejawi (OG), gereja-gereja di Indonesia ~melalui PGI~ mengisyratkan pula adanya
Oikoumene Kemasyarakatan (OK) atau Oikoumene Semesta (OS). Bila OG jelas menunjuk pada
pergumulan gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkan keesaan sebagai Gereja Kristen Yang Esa, maka
OK atau OS menunjuk pada kesatuan umat manusia (termasuk dalam konteks masyarakat dan bangsa
Indonesia), yang melampaui batas-batas suku, agama, ras dan antar golongan serta budaya. Bahkan
pergumulan untuk mewujudkan persekutuan dan kerjasama itu juga dengan gereja-gereja, agama-
agama dan lembaga-lembaga lainnya di luar Indonesia. Singkatnya Panggilan oikoumenis semesta
mengisyaratkan relasi orang percaya dengan semua makhluk ciptaan Tuhan.
GPM sendiri secara doktrinal, melalui Pokok-Pokok Pemahaman Iman GPM, dirumuskan antara lain dalam
pengakuan tentang gereja bahwa (hal.24-27): “Kami (GPM) percaya bahwa:….gereja diciptakan sebagai
suatu persekutuan yang mengaku satu tubuh, satu Roh…, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu
baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Dengan demikian, gereja pada hakikatnya esa….berpadanan pada
keesaan Allah…didasarkan pada persekutuan dan kasih…. Berkenan dengan itu, gereja terpanggil membina
hubungan dan kerjasama dengan pemerintah serta semua pihak dalam masyarakat untuk terwujudnya
kebaikan dan damai sejahtera bagi semua orang dalam rangka menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah
menuju kesempurnaanNya dalam Yesus Kristus, sambil senantiasa menguji setiap roh, apakah roh itu berasal
dari Allah….Gereja sebagai persekutuan yang mencakup semua orang percaya dari segala tempat dan di
sepanjang zaman, dipersekutukan sebagai Tubuh Kristus. Dengan demikian, gereja itu am (katolik) dan tidak
mengenal pembeda-bedaan serta pembatasan-pembatasan menurut kaidah dan cara dunia (Gal.3:28; 1
Kor.11:7-12; Why.7:9). Persekutuan baru ini meliputi suku, bangsa, kaum dan bahasa, orang tua, pemuda-
remaja-anak-anak, laki-laki dan perempuan, penguasa dan rakyat jelata, yang kaya dan miskin, yang cacat
dan yang normal, yang sakit dan yang sehat, yang bodoh dan yang pandai. Semuanya diberi tempat oleh
Allah dalam persekutuan baru ini serta dipanggil dan dilengkapi untuk menjadi saksi injil Kerajaan Allah dalam
Yesus Kristus di tengah dunia.”
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian keesaan gereja sebagaimana dalam doa Yesus (Yoh.17:21)
2. Jelaskanlah makna dan kepentingan gereja bersekutu di tengah dunia yang majemuk
3. Diskusikanlah tentang :
a. Faktor-faktor yang menyebabkan gereja terpecah
b. Faktor-faktor yang memungkinkan gereja bersatu
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert28P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
5. Dokumen Keesaan Gereja PGI.
6. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
7. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
8. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Memersatukan
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3. Panggilan Pemuridan
4. Bahan bacaan Alkitab : Kejadian 12 : 1-9; Mrk.8: 34 – 38; Mat.4:18-22.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Menjadi murid Kristus bukanlah suatu status dan predikat yang tanpa syarat. Dalam Markus 8 ayat 34-38, Yesus
secara jelas mengemukakan prasyarat menjadi muridNya dengan kalimat,:“…harus menyangkal diri, memikul
salibnya dan mengikut Aku…” (Ay.34). Dalam ayat ke-35, Yesus pun menghendaki seorang murid untuk bersedia
kehilangan nyawanya karena Injil dan selanjutnya dalam ayat ke-36, seorang murid juga tidak malu untuk
menyaksikan tentang Tuhan dan perkataanNya.
Dari ungkapan Yesus ini, secara jelas dikemukakan bahwa menjadi murid Yesus itu memiliki risiko atau
konsekuensi. Sebab menjadi muridNya berarti mengikatkan diri kepada Yesus dan bersedia melepaskan diri dari
gaya hidup yang bertolak belakang dengan Yesus. Dengan demikian, komitmen untuk menjadi murid Yesus
mengisyaratkan bahwa kita harus meletakkan komitmen kita kepada Yesus di atas komitmen kita kepada
apapun atau siapapun. Dampak dari keputusan menjadi murid Yesus pula adalah bahwa menjadi muridNya
tidak boleh disertai dengan motivasi untuk memperoleh keuntungan atau sukses ini-itu, melainkan justru
sebaliknya, yaitu bersedia menanggung konsekuensi-konsekuensi yang timbul.
Menyangkal diri dalam mengikut (menjadi murid Yesus) berarti bahwa kita harus mengalahkan pelbagai
kepentingan dan keinginan sendiri. Yesus mengajar kita untuk berdoa bahwa “bukanlah kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mu yang terjadii” (Luk.22:42). Bagi Yesus, seorang murid adalah orang yang menaklukan
keinginannya di bawah keinginan gurunya. Murid yang sejati adalah orang yang memberi dirinya, baik pikiran
dan perbuatannya, dipimpin oleh gurunya. Gaya hidup murid mengikuti gaya hidup gurunya (Band.Yoh.15:7-
8). Pertanyaannya adalah, dapatkah kita sanggup memenuhi syarat-syarat menjadi murid tersebut.
.Jawabannya Tidak ! Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang sanggup memenuhi syarat-syarat yang
disebutkan oleh Yesus. Orang-orang di Galilea yang mendengar persyaratan yang berat itu pun merasa kecil
hati dan sedih. Lalu Yesus menanggapi kesedihan mereka dengan perkataan, “Apa yang tidak mungkin bagi
manusia, mungkin bagi Allah (Luk.18:27). Singkatnya, Allah sendiri yang memungkinkan kita untuk diterima
menjadi muridNya. Anugerah Allah memungkinkan hal itu terjadi. Kita diterima menjadi murid Tuhan, bukan
karena kita memenuhi syarat, melainkan karena Tuhan menganugerahkannya.
Dalam budaya Timur Tengah di zaman Yesus, seorang murid harus berada di belakang gurunya, baik pada
waktu berjalan maupun pada waktu menunggang keledai. Sungguh tidak sopan baginya untuk berjalan di
depan atau di samping gurunya. Dalam pemikiran umat Israel di zaman Perjanjian Lama, mengikuti seseorang
mengandung arti mengiringi, menaati, mencintai, menyerahkan diri dan mengabdikan diri (Bandingkan Elisa
yang mengikuti Elia dalam 1 Raja.19: 20; Rut yang mengikut Naomi dalam Rut 1 : 14; budak yang mengikut
Abigail dalam 1 Samuel 25:42). Dalam konteks ini, mengikuti seseorang berarti menyerahkan hidup kita kepada
orang itu dengan segala akibatnya. Memang mengikuti seseorang dengan menjadi murid memiliki akibat.
Hidup kita pasti akan berubah dan perubahan itu tergantung dari siapa yang kita ikuti. Misalkan, kita mengikuti
seorang artis, maka gaya hidup kita29 akan berubah: waktu tidur dan waktu bangun kita, tempat-tempat yang
kita kunjungi, pergaulan kita, menu makanan kita, busana kita, dan sebagainya. Singkatnya, gaya hidup kita
akan berubah. Demikian juga halnya kita sebagai seorang murid yang mengikut guru kita Yesus. Gaya hidup
kita suka atau tidak suka akan berubah, karena Yesus sendiri memiliki gaya hidup yang sungguh-sungguh unik,
prioritasnya unik, keprihatinanNya unik, orientasi hidupNya pun unik. Dengan demikian seorang murid yang
berjalan dan belajar dari guru seperti Yesus mau tidak mau harus belajar mengubah apa yang perlu diutamakan
dalam hidup; belajar memahami apa yang diutamakan oleh Yesus; belajar merasakan apa yang diprihatinkan
oleh Yesus. Singkatnya, seorang murid sejati, hidupnya adalah memberlakukan apa yang diberlakukan oleh
Yesus.
Dalam bahasa Inggris, kata murid dipakai pula dengan kata “disciple” . Dari kata disciple tersebut lahirlah kata
disiplin. Dengan kata lain, makna dari kata disiplin itu melekat dengan kata murid (disciple). Dengan demikian,
seorang murid dengan kedisiplinan laksana dua sisi dari satu mata uang. Murid yang tidak memiliki karakter
kedisiplinan sesungguhnya tidak layak disebut sebagai seorang murid. Atau dapat disebut pula bahwa semua
murid pasti memiliki kedisiplinan, tetapi tidak semua kedisiplinan itu berarti kemuridan. Sebab yang disiplin itu
bukan hanya milik seorang murid. Seorang guru, pemimpin, pendeta pun harus memiliki kedisiplinan.
Seorang murid mewujudkan kemuridannya bukan hanya secara emosional atau spiritual, melainkan juga
secara rasional. Ketika Yesus ditanya oleh ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum
Taurat ?” Yesus pun menjawab bahwa: “Kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).
Artinya, Yesus menghendaki kita untuk mengasihi Allah dengan seluruh totalitas hidup kita. Termasuk dengan
“otak” kitapun, kita harus mengasihi Tuhan, Seperti yang diakui oleh Blaise Pascal, seorang ahli Matematika dan
fisika berkebangsaan Perancis, yang juga menemukan sistem kalkulator digital pertama, menemukan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
barometer, pompa hidrolik dan alat suntik. Pascal menulis dalam bukunya yang berjudul “Pensees,” Otak itu
adalah pemberian Allah. Tidak pakai otak adalah dosa; namun pakai otak tanpa menaati Allah adalah juga
dosa.”
Panggilan sebagai seorang murid tidaklah dapat dilepaspisahkan dari panggilan untuk menjadi gereja Tuhan.
Sebab seorang murid dimaksudkan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi suatu persekutuan para murid
yakni gerejaNya untuk bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), melayani (diakonia) dan memberdayakan
(oikonomia). Dalam konteks itulah, gereja (sebagai murid Tuhan) ditantang pula untuk menjawab panggilan
Allah, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pokok-Pokok Pemahaman Iman GPM, yang menyebutkan antara
lain:
(1) Bahwa gereja (murid) dipanggil untuk selalu menyangkal diri dan mengorbankan kepentingannya, sama
seperti Kristus telah mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yoh.1:14 dan Fil.2:6-8) agar semua orang
mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Mat.9: 35-38 dan Luk.4:18-19).
Melalui cara hidup demikian, gereja (pelayan dan warganya) dapat menghayati dengan sungguh-
sungguh makna sakramen dan firman di dalam ibadah sebagai wujud keberadaan dan kekudusannya.
(2) Gereja, yang terdiri dari orang-orang berdosa (murid) yang telah dibenarkan oleh anugerah Allah
berdasarkan iman kepada Yesus Kristus (Rom.3:28) dalam menjalani hidup dan memenuhi tugas
panggilannya, senantiasa memerlukan pertobatan dan pembaruan yang terus-menerus.
(3) Gereja yang diciptakan Allah sebagai suatu persekutuan, mengaku satu tubuh, satu Roh dalam ikatan
damai sejahtera, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua
(Ef.4:4-6). Dengan demikian gereja pada hakikatnya adalah esa.
(4) Sebagai murid Kristus, kita terpanggil untuk mewujudkan misi penyelamatan kerajaan Allah (Fil.3:12-14).
Dalam rangka itu, kita dituntut untuk senantiasa terbuka kepada dunia agar dunia menjadi percaya dan
mengalami pemenuhan janji Allah tentang kerajaanNya di dalam Yesus Kristus.
(5) Sebagai murid Tuhan, kita pun terpanggil untuk hadir dan berperan secara bermakna di tengah konteks
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Baik di lingkup lokal-daerah, nasional Indonesia, maupun
global.Seorang murid terpanggil untuk hadir secara positip, kritis, kreatif dan realistis di tengah konteks
hidupnya yang sangat majemuk dan dinamis (modern maupun post-modern).
Dalam konteks PIP (Pola Induk Pelayanan) dan RIPP (Rencana Induk Pengembangan Pelayanan) GPM tahap II
(Tahun 2010-2015) dirumuskan tentang visi dan misi gereja, yang sudah tentunya pula menjadi visi dan misi dari
seorang murid, khususnya dalam lingkup GPM, yaitu:
Visi : Menjadi gereja (murid) yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan
semua umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Misi : Mengembangkan kapasitas gereja (murid) secara integral untuk memenuhi amanat panggilan sebagai
gereja (murid) Kristus yang hidup di kepulauan Maluku dalam konteks pelayanan di Indonesia dan dunia.
Dari misi tersebut dikembangkanlah kapasitas gereja (murid) yang memiliki
Ketangguhan dan kematangan secara teologis, intelektual, moral-etis, sosial, kultural, ekonomis dan
politis, sehingga mampu berperan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam setiap lingkup tugasnya:
berjemaat, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian panggilan menjadi murid
(a) Dalam hubungannya dengan hal mengikut Yesus
(b) Dalam kaitannya dengan istilah
30 disciple
2. Sebutkan dan Jelaskanlah profil kemuridan dalam kaitannya dengan visi-misi gereja (GPM)
3. Buatkanlah sebuah karya seni kreatif (puisi/cerita pendek/lukisan/dll) yang bertemakan “Menjadi Murid
Kristus” dan Refleksikanlah secara kelompok.
IV. SUMBER KEPUSTAKAAN :
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
5. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
6. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
7. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
1. IDENTITAS
2. Materi Sajian : FIRMAN
3. Pokok Bahasan : 3. Allah Yang Memanggil dan Mempersatukan
4. Sub Pokok Bahasan : 3.4. Jawaban Manusia Terhadap Panggilan
5. Bahan bacaan Alkitab : Yesaya 6 : 1 - 13
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
7. Semester : I (Ganjil)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
4. URAIAN MATERI :
Sebagai orang yang dipanggil, maka tentunya kita harus memberikan tanggapan. Bila tidak maka sebuah
panggilan ibarat orang yang “bertepuk sebelah tangan”. Allah menghendaki kita untuk memberikan jawaban
atas pertanyaanNya, walaupun Ia tidak pernah memaksa kita. Pertanyaan Tuhan terhadap Yesaya, “Siapakah
yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku ?” (Yes.6:8), sesungguhnya merupakan sebuah
pertanyaan yang membutuhkan jawaban dari kita, khususnya selaku orang percaya.
Kita terpanggil untuk menjadi pembawa cinta kasih Tuhan; menjadi sinar yang menyala yang menerangi semua
orang; menjadi garam dunia (laksana garam yang mengawetkan, memberikan cita rasa, dan menghindari
proses kebusukan/kerusakan suatu makanan). Singkatnya, kita terpanggil untuk bermakna atau berguna bagi
dunia dan sesama kita, sehingga Tuhan dimuliakan (Band. Matius 5 :13 – 16). Dalam hubungan itu pula,
hendaknya kita menyadari bahwa Tuhan yang memanggil adalah pula Tuhan yang mengutus kita. Artinya,
panggilan dan pengutusan Tuhan itu merupakan suatu paket yang tidak dapat dilepaspisahkan. Tidak ada
panggilan tanpa pengutusan dan tidak ada pengutusan tanpa adanya suatu panggilan.
Langkah pertama “untuk menjadi” adalah dengan “mau menjadi”. Sikap “mau menjadi” adalah suatu
keputusan dan pilihan untuk menjawab panggilan Allah melalui kesediaan hati untuk menanggalkan diri dan
mempersembahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Jawaban kita terhadap panggilan Allah pertama-tama
dimulai dari diri kita sendiri. Jawaban itu tidak dapat digantikan atau diwakilkan. Dari sikap dan jawaban diri
kita sendirilah maka hidup kita akan bermakna bagi orang banyak. Seperti dari sebuah puisi klasis dari Cina
yang berbunyi:
Kalau dalam hati menyala setitik cahaya, Bersemilah sebuah keindahan dalam raga jiwa
Bila keindahan bersemi dalam raga jiwa, keluarga hidup sentosa
Bila keluarga sentosa, Negara pun sejahtera, maka lahirlah kedamaian di dunia.
Sehubungan dengan itu pula, maka jawaban manusia terhadap panggilan Allah bisa “Ya” (menerima)
tetapi juga bisa “Tidak” (menolak). Semua jawaban merupakan pilihan dan keputusan manusia yang tentunya
memiliki resiko masing-masing. Sebab tidak ada pilihan dan keputusan yang tidak mempunyai resiko. Dalam
bahasa agama pada umumnya diyakini bahwa pilihan “ya” berakibat pada keselamatan, kedamaian,
kebahagiaan, kehidupan, kekekalan, dan seterusnya (atau yang diistilahkan dengan “surga”). Sebaliknya
pilihan “tidak” berakibat pada kebinasaan, kehancuran, ketidakbahagiaan, kematian, kefanaan, dan
seterusnya. (atau yang diistilahkan dengan “neraka”).
Dalam konteks kekristenan, diyakini bahwa pilihan dan keputusan untuk menerima atau menolak panggilan
Tuhan, sesungguhnya merupakan keputusan imani terhadap “tawaran anugerah Allah”. Keputusan tersebut
laksana pilihan “hidup” atau “mati” (bandingkan Yoh.1: 11,12; 3:14 -16).
Sementara pada wujud yang31lain, kitapun harus menyadari betapa selain kekristenan (sebagai suatu
komunitas agama) merupakan suatu wujud dari sekelompok umat percaya dalam merespons panggilan Allah
yang diimani melalui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka manusia pada umumnya memberikan
tanggapan terhadap Allah dan panggilannya melalui pelbagai cara dan bentuk, karena pada hakikatnya
setiap manusia memiliki dasar religiusitas atau yang disebut dengan istilah semen religionis. Misalnya melalui: (1)
Agama dan Kepercayaan, (2) Filsafat, (3) Paham Ideologis-politis, (4) Seni dan Budaya, dan sebagainya.
Agama Islam, Hindu, Budha adalah contoh wujud manusia dengan kepelbagaian penghayatan dan
tanggapannya tentang Tuhan yang diimani. Demikianpun kepercayaan adatis terhadap para leluhur, dengan
sebutan misalnya Upu Lanite (di Maluku Tengah) atau Uplera (di Maluku Tenggara Barat) merupakan ekspresi
simbolik masyarakat setempat (local) terhadap “Tuhan Yang Di Atas”. Sementara pelbagai pemikiran filosofis-
ideologis seperti paham eksistensialis, marxisme, hingga post-modernisme, masing-masing memberikan
pemahamannya tentang “apa yang dianggap sebagai yang mahatinggi dan mahakuasa”.
Secara teologis (Kristen), panggilan Tuhan diyakini berlaku bagi semua orang percaya. Dalam 1 Petrus 2 : 9
disebutkan bahwa gereja merupakan “…bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri.” Adapun sebutan “imamat yang rajani” memiliki pengertian bahwa seluruh gereja
merupakan persekutuan imam. Pekerjaan seorang imam yang muncul di zaman Perjanjian Lama adalah
melayani Tuhan dan umat dengan cara mempersembahkan korban sebagai lambing perbuatan
mendamaikan umat dengan Allah. Dengan demikian sebutan tersebut mengisyaratkan panggilan setiap orang
percaya sebagai imam yang mengabdikan dirinya kepada pelayanan bagi sesama manusia di hadapan
Allah. Prinsip tersebut yang disebut dengan ungkapan Imamat Am (am = umum, awam, tidak terbatas pada
orang atau golongan tertentu). Pengertian kongkritnya adalah bahwa tanpa kecual tiap warga gereja adalah
pelayanan dalam kehidupan dan misi gereja. Hal itu tidak berarti bahwa setiap orang harus memegang suatu
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
jabatan kepengurusan gerejawi, melainkan bahwa setiap orang perlu bersikap peduli dan terlibat dalam
pekerjaan gereja. Tiap orang perlu turut memberhasilkan kegiatan gereja. Tiap anggota perlu turut membiayai
pekerjaan gereja. Tiap anggota perlu turut “merasa memiliki” gereja. Dengan kata lain, maju-mundurnya gereja
tergantung pula pada sikap anggota-anggotanya.Dalam konteks panggilan bergereja, setiap warga gereja
tidak boleh menjadi penonton (apalagi kalau hanya menjadi penonton yang hanya mengejek/marah-
marah/protes dan tidak pernah memberikan solusi) melainkan harus menjadi “pemain”.
Dalam konteks menjadi “pemain” itulah, maka umat yang terpanggil tersebut masuk dalam suatu komunitas
yang disebut sebagai “komunitas peduli”. Artinya suatu komunitas yang saling peduli dengan mampu saling
prihatin, saling solider, saling membela, saling mengindahkan, saling menghargai, saling mencukupi, saling
melindungi, saling memelihara dan saling merawat (Band. 1 Kor.12 :26).
Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkan paling tidak 5 (lima) macam kematangan diri demi mewujudkan
panggilan sebagai suatu komunitas peduli, yakni:
(1) Kematangan usia.:
Kepedulian bertumbuh dalam proses perkembangan waktu. Seyogianya semakin dewasa kita semakin
matang dalam kepedulian.
(2) Kematangan sudut pandang:
Kepedulian terwujud justru ketika kita belajar memahami suatu keadaan bukan dari sudut pandang kita
tetapi dari sudut pandang orang lain. Dengan begitu maka kita akan mampu ber-empati, turut merasakan
keberadaan seseorang.
(3) Kematangan untuk menerima orang lain:
Peduli berarti kita bisa menerima seseorang sebagaimana dia adanya, bukan sebagaimana yang kita
inginkan.
(4) Kematangan untuk menerima diri sendiri:
Kepeduliaan harus diwujudkan dengan ketulusan, sebagaimana adanya kita. Kalau “ketulusan kita hanya
satu liter, janganlah kita mengobral perkataan sebanyak sepuluh liter.”
(5) Kematangan untuk memberi diri.:
Kepeduliaan diukur pula dari sejauhmana kesediaan kita untuk memberi waktu, tenaga dan apapun yang
kita miliki, karena kita memandang seseorang bukan sebagai orang lain apalagi sebagai suatu obyek atau
benda, melainkan sebagai bagian dari kita, dan memandang diri kita sebagai bagian dari dirinya.
Demikianlah kedalaman makna kepedulian ketika terjadi saling melibatkan diri. Sebagaimana Kristus telah
mempedulikan kita, demikianlah kita pun terpanggil untuk mempedulikan sesame dan lingkungan kita.
5. EVALUASI
6. SUMBER KEPUSTAKAAN :
32
1. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
2. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
3. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
4. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
5. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
6. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
7. Andar Ismail, Selamat Bergereja.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 2. Hakekat Gereja
3. Sub Pokok Bahasan : 2.1. Pengertian, Dasar dan Panggilan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : 1 Kor.3:10-17; 12:12-27; I Petrus 2:9-10
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x pertemuan (100 menit disajikan bersama SPB 2.2)
6. S e m e s t e r : 1 ( Ganjil )
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian gereja, dasar serta panggilan dan pengutusan gereja !
2. Diskusikanlah panggilan dan pengutusan gereja yang ideal dengan kenyataan yang dihadapi di tempat
masing-masing.
3. Refleksikan Pengertian, Dasar, dan Panggilan Gereja dalam kehidupannya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
VI. KEPUSTAKAAN
1. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, 2006
2. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
3. Brownlee M, Tugas-Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 2. Hakekat Gereja
3. Sub Pokok Bahasan : 2.2. Gereja yang Kudus, Am dan Rasuli
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kel.19:6; Ef.2:19-22; Gal.3:26-29; Kis.1:8
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x pertemuan (100 menit disajikan bersama SPB 2.1)
6. S e m e s t e r : 1 ( Ganjil )
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah hakekat gereja yang kudus, am, dan rasuli
2. Berikanlah contoh dan bukti tentang hakekat gereja (Kudus, Am dan Rasuli)
3. Refleksikanlah hakekat gereja dalam hidup hidup sesehari
VI. KEPUSTAKAAN
1. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, 2006
2. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
3. Brownlee M, Tugas-Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
VII. KETERANGAN
Katekisan diberi tugas secara kelompok untuk mencari tahu informasi tentang gereja lain yang ada di
tempatnya, antara lain meliputi: sejarahnya, pokok pengajaran dan ibadahnya.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 2. Hakekat Gereja
3. Sub Pokok Bahasan : 2.3. Relasi Gereja dengan Tuhan dan Dunia ( Memahami aliran-aliran Teologis di
Kalangan Gereja-Gereja dalam Menyikapi hubung-an dengan Tuhan dan
Dunia)
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mat. 22:15-22; Kol.1:15-23; I Tim. 3:14-16
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x pertemuan (100 menit)
6. S e m e s t e r : 1 ( Ganjil )
atau gereja serta denominasi manapun, sepanjang agama, gereja dan denominasi tersebut memiliki komitmen
untuk bersama-sama menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah berupa kasih, keadilan, kesejahteraan dan
perdamaian.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Sehubungan dengan pandangan atau sikap gereja-gereja dalam hubungannya dengan Tuhan dan dunia,
nampaknya pandangan teolog-filosof Nicholas Wolterstorff patut disimak, ketika ia mengatakan bahwa ada
tiga ragam utama yang menonjol dalam sikap agama, termasuk gereja dan aliran-aliran teologi tertentu,
terhadap Tuhan dan dunia. Ketiga sikap tersebut adalah:
a) Agama yang cenderung menghindari dunia (world-avertive religion),
b) Agama yang cenderung membangun dunia (world-formative religion),
c) Agama yang cenderung menghasilkan kaum triumfalis (the triumfalists).
Adapun agama (termasuk gereja dan aliran tertentu) yang cenderung memandang dunia tidak penting,
sesungguhnya dilatari dengan pandangan bahwa dunia bukanlah tempat tinggal kita. Pandangan yang
sedemikian, menimbulkan sikap menghindar atau cenderung melarikan diri dari kenyataan hidup ini
(eskapisme). Mereka lebih suka mengasingkan diri dalam komunitas tertentu, lebih sering bertapa, bahkan ada
yang menyiksa dirinya. Sebab seluruh fokus diarahkan ke ”dunia seberang sana”, yang dipandang sebagai
taman eden yang bebas dari segala tangisan dan kertak gigi. Menurut Wolterstorff, agama (atau gereja) yang
demikian, hanya cenderung mengharapkan penyelamatan dari kematian akibat dosa. Kehidupan di dunia ini
dipandang tidak penting, sebab semata-mata hanya kehidupan fana.
Sementara itu, kecenderungan agama dan teologi yang membangun dunia, justru melihat dunia sebagai
arena yang dikaruniakan Tuhan, yang patut disyukuri, sehingga harus diperbaiki dari segala kecemaran dan
akibat dosa. Dengan kata lain, kasih karunia Allah itu ditanggapi oleh umat yang dikaruniakan Tuhan, yang
patut disyukuri, sehingga harus diperbaiki dari segala kecemaran dan akibat dosa. Dengan kata lain, kasih
karunia Allah itu ditanggapi oleh umat yang membangun dunia dengan berusaha keras meningkatkan
kualitas kehidupan manusia seutuhnya di dunia, dan menaati perintahNya untuk mengasihi.
Bagi agama atau gereja yang cenderung menghasilkan kaum triumfalist, menempatkan suatu pemahaman
bahwa umat Allah adalah umat yang istimewa dan eksklusif, yang secara total berbeda dari yang lain. Mereka
ini, dalam aspek teologi maupun ideologi, merasa lebih di atas yang lain, merasa paling unggul, dan paling
diberkati. Ungkapan yang sering muncul adalah, aku anak Raja, siapakah yang dapat melawan kita ?
Kecenderungan yang lebih ekstrim lagi adalah, kaum triumfalist ini, dalam konteks tertentu tidak jarang
memberikan semacam ”kewajiban” dari umatnya untuk memerangi pihak lain/ agama lain, yang dipandang
sebagai musuh-musuh Allah, dan mereka sendiri adalah pahlawan pembela Tuhan. Pada dasarnya kaum
triumfalist ini memiliki pendekatan yang tidak terlalu berbeda dengan kelompok yang pertama, yang
cenderung menghindari dunia.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian relasi gereja dengan Tuhan dan dunia
2. Jelaskanlah tiga pandangan utama aliran-aliran teologis/denominasi gereja-gereja dalam menyikapi
hubungan dengan Tuhan dan dunia
3. Identifikasikanlah tiga pandangan tersebut di atas yang menggejala dalam kehidupan gereja setempat
(internal) maupun gereja atau denominasi lainnya.
VI. KEPUSTAKAAN
1. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, tahun 2006
2. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
3. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
4. Hardjowasito, Kadarmanto, Pendidikan Kristiani dalam Konteks Indonesia yang Majemuk, makalah tidak
diterbitkan disampaikan dalam kegiatan Studi Banding PAK-KATEKISASI GPM tahun 2008.
36
VII. KETERANGAN
Para katekisan dibagi dalam kelompok, lalu diminta mendiskusikan, antara lain: (1) gejala apa sajakah yang
dapat diidentifikasikan, dari ketiga kecenderungan beragama dengan konteks bergereja setempat (mana
yang sama, mana yang berbeda); (2) makna apakah yang dipetik dari kecenderungan sedemikian, khususnya
selaku umat yang beragama pula.
1. IDENTITAS
2. Program Sajian : GEREJA
3. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
4. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Gereja yang Universal dan Multiversal
5. Bahan Bacaan Alkitab : Maz. 35:18; I Kor.12:12-27; Rm. 16:1-16
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 3.2)
7. Semester : I (Ganjil)
VIII. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian GPM selaku gereja yang universal
2. Jelaskanlah pengertian GPM selaku gereja yang multiversal
3. Diskusikanlah corak kegerejaan yang universal dan multiversal dengan segala karakteristiknya.
37
IX. PUSTAKA ACUAN
1. Alkitab dan Konkordansi
2. BPH SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, tahun 2006
3. ---------------------------, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
4. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.2. Presbiterial Sinodal
4. Bahan Bacaan Alkitab : Luk.24:15; Efesus 4:1-16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 3.1)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
3. Merefleksikan makna sistem presbiterial-sinodal dalam konteks panggilan gereja yang diutus ke dalam dunia
IV. EVALUASI
1. Menjelaskan pengertian presbiterial-sinodal dalam perbandingannya dengan sistem lainnya
2. Mengidentifikasikan praktek presbiterial-sinodal dalam konteks GPM
3. Merefleksikan makna sistem presbiterial-sinodal dalam konteks panggilan gereja yang diutus ke dalam dunia
38
V. KEPUSTAKAAN
1. Abineno, J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3.1. Amanat dan Pola Pelayanan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mrk 1:5; Luk.4:18-20, Ef.2:21; 4:16
5. JWaktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
3. Adapun bangunan GPM tersebut ditata menurut beberapa pilar bergereja berdasarkan Yesus Kristus selaku
dasar yang disaksikan oleh Alkitab. Pilar aturan (konsititusi) hukum bergereja ditata dalam hirarkis keputusan,
yakni:
3.1. TATA GEREJA - GEREJA PROTESTAN MALUKU
3.2. PERATURAN POKOK
3.3. PERATURAN ORGANIK
3.4. TATA PELAYANAN (bagi Anak-Remaja dan Katekisasi; Perempuan, Laki-Laki, dan Lanjut Usia).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Sedangkan kebijakan dan arah program pelayanan dikembangkan berdasarkan pola sentralisasi visi dan
desentralisasi prakarsa dengan merujuk pada:
a. PIP/RIPP (Pola Induk Pelayanan / Rencana Induk Pengembangan Pelayanan) atau Renstra (Rencana
Strategis) Pelayanan Gereja
b. Keputusan dan atau rekomendasi yang ditetapkan dalam persidangan gerejawi di aras Sinode
(persidangan Sinode setiap 5 tahun sekali; persidangan Badan Pekerja Lengkap Sinode setiap 1 tahun
sekali, Persidangan KLasis dan Jemaat yang diselenggarakan setiap tahun sekali)
c. Rapat-rapat BPHS (Badan Pekerja Harian Sinode) selaku mandataris persidangan Sinode, Rapat BPK
(Badan Pekerja Klasis) dan Rapat PHMJ (Pimpinan Harian Majelis Jemaat). Sedangkan setiap wadah
pelayanan (anak-remaja, perempuan, laki-laki, unit dan sektor) dan organisasi gerejawi (Angkatan Muda
GPM) menatalayani kegiatan pelayanan, kesaksian, persekutuan dan pemberdayaan dengan mengacu
pada visi sentral GPM dan diaplikasikan secara kontekstual sesuai dengan kebutuhan masing-masing, dan
berlangsung secara sinergis (terpadu) pula.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian amanat dan pola pelayanan gereja
2. Identifikasikanlah amanat dan pola pelayanan gereja
3. Apa makna amanat dan pola pelayanan gereja dalam peranan katekisan sebagai warga gereja
VI. KEPUSTAKAAN
1. Abineno J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
40
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3.2. Uraian Tugas Pelayanan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mrk 1:5; Luk.4:18-20, Ef.2:21; 4:16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
2. Dalam konteks organisatoris, seluruh perangkat dan lembaga gerejawi dibagi dan diatur peran dan
fungsinya, antara lain sebagai berikut:
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
3. Dalam konteks tugas pelayan khusus (Pendeta/Penginjil, Penatua dan Diaken), diatur pembagian tugasnya
sebagai berikut: 42
3.1. Pendeta / Penginjil, antara lain bertugas (1) memimpin serta bertanggung jawab atas ibadah,
pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, (2) melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi
semua pelayan dan anggota jemaat, (3) bersama penatua dan diaken bertanggungjawab atas
penyelenggaraan katekisasi, pembinaan umat, pendidikan agama Kristen di sekolah, pekabaran Injil,
pelayanan kasih dan keadilan, (4) membina serta mendorong semua warga jemaat untuk
menggunakan potensi dan karunia yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab, (5) melakukan
fungsi organisasi dalam GPM sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja lainnya yang
berlaku.
3.2. Penatua, antara lain bertugas (1) bersama pendeta dan atau penginjil dan diaken, bertanggung jawab
atas penyelenggaraan Ibadah, pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, (2) bersama pendeta
dan atau penginjil dan diaken, melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi semua anggota
jemaat, (3) melaksanakan pembinaan umat secara kategorial, fungsional, professional maupun sektoral
(4) membina kehidupan warga jemaat yang tertib dan teratur, di mana Persekutuan orang-orang
Percaya terpelihara sebagai basis bagi pelaksanaan pelayanan gereja dalam arti yang luas. (5) bersama
pendeta dan atau penginjil dan diaken, bertanggung jawab atas pelaksanaan katekisasi, pembinaan
umat, pendidikan agama Kristen di Sekolah, PI, Pelayanan Kasih dan Keadilan, (5) melakukan fungsi
organisasi dalam GPM sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja lainnya yang
berlaku.
3.3.2. Bersama pendeta dan atau penginjil dan penatua, melaksanakan pelayanan penggembalaan
bagi semua anggota jemaat.
3.3.3. Membina potensi dan karunia yang diberikan Tuhan bagi anggota jemaat agar dimanfaatkan
secara baik dan bertanggungjawab dalam memenuhi Amanat Pelayanan Gereja.
3.3.4. Bertanggung jawab atas Pelayanan Kasih dan Keadilan serta Perdamaian dalam arti yang seluas-
luasnya
3.3.5. Bersama pendeta dan atau penginjil dan penatua, bertanggung jawab atas pelaksanaan
katekisasi, pembinaan umat, pemberitaan Injil dan pendidikan agama Kristen di Sekolah
3.3.6. Melakukan fungsi organisasi dalam GPM sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan
Gereja lainnya yang berlaku.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah uraian tugas pelayanan gereja, khususnya dalam lingkup GPM
2. Sebutkanlah garis besar uraian tugas pelayanan gereja
3. Diskusikanlah uraian tugas pelayanan gereja yang nampak dalam praktek jemaat setempat
VI. KEPUSTAKAAN
1. Abineno J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.3.3. Pola Pelayanan Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Mrk 1:5; Luk.4:18-20, Ef.2:21; 4:16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
3. Dalam kerangka PIP/RIPP yang dimiliki oleh GPM kini, termuat beberapa pergeseran titik-tolak yang
dikembangkan dalam pola pelayanan selama dasawarsa 2005-2015, yakni antara lain:
3.1. Penguatan Karakter manusia, pemberdayaan serta pembangunan jemaat dan masyarakat yang lebih
ditekankan daripada penguatan kelembagaan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
3.2. Penguatan Eklesiologi yang tidak hanya sebatas pola parochial dan territorial
3.3. Pluralisme Masyarakat dan keberadaan agama-agama mendapat porsi yang lebih memadai, sebagai
konteks berteologi gereja yang riil
3.4. Krisis multidimensional (kasus Maluku) yang mengisyaratkan panggilan gereja untuk mewujudkan tatanan
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang baru, demi terbangunnya Maluku yang lebih bersatu,
berkeadilan, berkesejahteraan, berkedamaian, serta menjunjung tegaknya harkat dan martabat
manusia
3.5. Penguatan kesejahteraan dan keadilan di tengah umat dan masyarakat, dengan antara lain gereja
berjuang membebaskan rakyat dari struktur yang menindas dan memiskinkan
3.6. Penguatan kepedulian etik dan moral yang memengaruhi kehidupan bergereja, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4. Seluruh kerangka dan scenario pembinaan dan pelayanan gereja ini, selanjutnya diimplementasikan dalam
konteks wilayah ( KLasis) maupun jemaat-jemaat, melalui keputusan persidangan masing-masing jemaat,
bahkan di aras pergumulan organisasi dan wadah-wadah pelayanan, antara lain: Anak-Remaja-Katekisai;
Angkatan Muda GPM (yang walaupun memiliki kemandirian, namun tetapi membangun sinergisitas dan
singkronisasi dengan seluruh tatanan pelayanan GPM); Wadah Pelayanan Perempuan dan Laki-Laki; Unit,
Sektor dan lainnya.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pola pelayanan gereja dalam konteks Gereja Protestan Maluku
2. Identifikasikanlah kandungan pola pelayanan gereja (GPM)
3. Diskusikanlah pergeseran pola pelayanan gereja (GPM) yang baru
VI. KEPUSTAKAAN
1. Abineno J.L.Ch., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet.ke-8, 2006.
2. BPH Sinode GPM, Buku Himpunan Peraturan GEREJA PROTESTAN MALUKU, Ambon: 2007
I. IDENTITASI
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.4. Ibadah dan Musik Gereja
3.4.1. Arti dan Tujuan Ibadah dan Musik Gereja
4. Bahan Bacaan Alkitab : Rm. 12:1-8; Mzr. 150; Kol. 3:12-17; 1 Kor 14:23-26
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x Tatap-Muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
Thomson menyatakan, bahwa kosa kata ibadah dalam Alkitab sangat luas, tapi konsep asasinya baik dalam
PL maupun PB ialah pelayanan. Kata Ibrani avoda dan kata Yunani latreia pada mulanya menyatakan
pekerjaan budak atau hamba upahan. Dan dalam rangka mempersembahkan ibadah ini kepada Allah,
maka para hamba-Nya harus mempersiapkan ibadah sebagai pengungkapan rasa takut penuh hormat,
kekaguman dan ketakjuban penuh puja.
Dalam Perjanjian Baru, isitilah ibadah yang digunakan merupakan terjemahan dari tiga istilah Yunani, yaitu
istilah leitourgia (Kisah Para Rasut 13 : 2, beribadah kepada Allah), lateria (Roma 12 : 1, mempersembahkan
seluruh tubuh atau hidup kepada Allah), dan therskeia (Yakobus 1 : 26 - 27, pelayanan kepada janda-janda
dan anak yatim piatu dalam kesusahan mereka).
Menurut Abineno, ibadah jemaat adalah tempat di mana Allah bertemu dengan jemaat dan jemaat
bertemu dengan Allah. Pertemuan itu juga berlangsung di tempat-tempat lain, di rumah, sekolah, kantor, di
tempat pekerjaan anggota jemaat masing-masing pada hari kerja. Ibadah jemaat adalah suatu peristiwa
dinamis karena dialog antara Allah dengan jemaat. Selain Abineno, ada juga beberapa pandangan
tentang pengertian ibadah yang perlu diperhatikan. John E. Burkhart menyatakan bahwa ibadah adalah
suatu respons yang dirayakan terhadap apa yang telah dan sedang Allah lakukan, dan yang Allah janji
untuk melakukannya; Lydia N. Niguidula menyatakan bahwa ibadah adalah respons manusia kepada Allah.
Respons yang dilakukan dapat diwujudkan dalam bentuk puji-pujian dan pengucapan syukur,
mengucapkan perasaan dosa yang mendalam, atau dalam komitmen pribadi kepada orang yang
disembah; Austin C. Lovelace dan William C. Rice menyatakan bahwa Ibadah adalah lebih dari suatu
tindakan dan interaksi antara manusia dengan Allah dan harus berlangsung dalam tindakan yang sopan.
Bertolak dari beberapa hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa ibadah adalah suatu pertemuan
dialogis yang hidup dan dinamis antara Allah dan manusia, manusia dengan Tuhan Allah dalam suatu
perayaan sebagai suatu respon manusia terhadap apa yang telah, sedang, dan yang akan lakukan.
Respons yang dilakukan terjadi dalam berbagai cara, misalnya puji-pujian dan pengucapan syukur,
mengucapkan perasaan dosa yang mendalam serta komitmen pribadi kepada Allah. Resopns yang
dilakukan merupakan suatu tindakan dan interaksi yang sopan dan penuh rasa hormat.
2. Bertolak dari pengertian ibadah, sebagaimana dijelaskan di atas maka nampak di sana bahwa yang
menjadi tujuan dari ibadah adalah memuji dan memuliakan Allah. Hal tersebut tidak terbatas pada ruang
dan waktu. Kapan dan di mana saja orang-orang Kristen beribadah, menyerahkan seluruh kehidupanya
kepada Allah. Hal memuji dan memuliakan Allah tidak hanya terjadi pada hari Minggu saja, tetapi juga
berlangsung di tempat-tempat lain, di rumah, sekolah, kantor, di tempat pekerjaan anggota jemaat masing-
masing pada hari kerja.
3. Musik Gereja (sering juga disebut dengan musik liturgi atau musik ibadah) adalah suatu cetusan ekspresi isi
hati orang Kristen yang diungkapkan dalam bunyi-bunyian yang bernada dan berirama secara harmonis,
antara lain dalam bentuk nyanyian dan alat-alat musik. Musik Gereja adalah juga musik yang dihasilkan oleh
orang-orang Kristen untuk mengekspresikan iman kepada Allah.
Musik Gereja merupakan suatu penggunaan atau pemanfaatan musik secara khusus oleh gereja di dalam
peribadahan. Perlu diingat bahwa di dalam musik gereja terdapat juga unsur-unsur musik yang berlaku
secara umum, yakni: ritme/irama, melodi, harmoni, struktur/bentuk, tempo, dinamika, dan warna suara. Akan
tetapi ada beberapa hal yang membedakan musik gereja dengan musik non gereja yakni fungsi, isi, bentuk,
dan tempat. Dari segi fungsi, jelas bahwa musik gereja difungsikan di dalam peribadahan jemaat; dari segi
isi, musik gereja mengekspresikan iman Kristen; dari segi bentuk, ada musik gereja primer (nyanyian jemaat)
dan musik gereja sekunder (musik pengiring dan para biduan: misalnya solo, duet, trio, kwartet, vokal grup,
paduan suara termasuk di dalam para biduan ini adalah prokantor).
4. Tujuan dari penggunaan Musik Gereja adalah bagi kegiatan persekutuan, pelayanan, dan kesaksian Gereja.
Hal tersebut berdimensi vertikal 45
(dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama).
V. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian Ibadah!
2. Jelaskan tujuan dari Ibadah!
3. Jelaskan pengertian musik gereja!
2. Jelaskan tujuan dari musik gereja!
VI. KEPUSTAKAAN
Alkitab, Ensiklopedia Alkitab, Kamus Alkitab, Pengantar Perjanjian Baru, Tafsiran Roma, Liturgi dan Komunikasi,
Ibadah Jemaat, Penghayatan Agama, The Worship Maze, Pengantar Ibadah Jemaat, Cermin Injil, Christian
Worship, A Life Style of Worship.Gereft yang Bemyanyi, Musik Gereja, Leadership Handbook of Preaching and
Worship, Handbook for Liturgical Studies, Liturgy and The Arts, The Worshiping Church, Called to Create, Cermin
Injil, Asas-asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan, Unsur-unsur Liturgia, Church Music, The Ministry of Music in the
Church, Pengantar Ibadah Kristen.
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 3. Eklesiologi GPM
3. Sub Pokok Bahasan : 3.4. Ibadah dan Musik Gereja
3.4.2. Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
4. Bahan Bacaan Alkitab : Roma 12:1-8, Mazmur 150, Kol 3:12-17; 1 Kor 14:23-26
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x (100 menit)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu" (2 Tim 1:2) atau "Kasih karunia Tuhan kita Yesus kristus, dan kasih
Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian" (2 Kor 13:13). Introitus. Ada juga gereja yang
memulai ibadah mereka dengan masuknya para pelayan ke dalam ruang ibadah dengan diringi oleh
nyanyian. Hal ini biasanya disebut dengan introitus (bahasa Latin; masuk). Dalam perkembangannya,
nyanyian yang dinyanyikan biasanya dihubungkan dengan Tahun Gerejawi (Adven, Natal, Usbu Sengsara,
Kematian, Paskah, Kenaikan, Pentakosta) dan tidak dinyanyikan pada permulaan ibadah atau pada saat
masuknya para pelayan ibadah ke dalam ruang ibadah. Dengan demikian, arti introitus makin tidak jelas.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Arti introitus semakin tidak jelas lagi ketika Gereja Lutheran di Jerman dalam abad ke-19 menggantikan
introitus dengan nas pendahuluan, yang erat dihubungkan dengan Tahun Gerejawi. Nas pendahuluan itu
diucapkan oleh pemimpin ibadah (pengkhotbah) dan dijawab oleh jemaat dengan nyanyian Gloria Kecil
(Hormat bagi Bapa serta Anak dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang ini dan selama-larnanya.
Amin). Cara tersebut kemudian diambilalih oleh Gereja-gereja di Belanda dan dari sanalah ia (nas
pendahuluan) dimasukkan ke dalam tata ibadah dari kebanyakan Gereja di Indonesia. Fungsi nas
pendahuluan, yang erat hubungannya dengan Tahun Gerejawi, ialah menempatkan ibadah dalam periode
tertentu dari sejarah penyelamatan. Nas pendahuluan hendak mengatakan kepada kita dalam periode
apa jemaat berada dalam ibadah yang dilakukan: Adven, Natal, Usbu Sengsara, Kematian, Paskah,
Kenaikan, Pentakosta. Selain Gloria Kecil, ada juga gereja-gereja di Indonesia menyanyikan juga kidung-
kidung atau mazmur-mazmur sebagai jawaban jemaat atas apa yang diucapkan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah). Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa merupakan suatu unsur yang sangat tua dalam ibadah.
Ibadah Yahudi telah mengenalnya, juga ibadah Gereja Lama dalam nyanyian-nyanyian dan doa-doanya.
Namun, kemudian pengakuan dosa difokuskan pada pengakuan dosa pribadi dalam ibadah. Pada waktu
reformasi, pengakuan dosa bersama (oleh jemaat) mulai digunakan dalam ibadah jemaat. Biasanya,
pengakuan dosa diawali dengan suatu ajakan, misalnya: "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, kita
menipu diri sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Karena itu, marilah kita merendahkan diri di
hadapan Allah dan mengaku dosa-dosa kita kepadaNya." Salah satu contoh rumusan pengakuan dosa
adalah: "Ya Allah yang Mahakuasa dan yang kekal, kami mengaku kepadaMu bahwa kami adalah orang-
orang berdosa, yang selalu berbuat jahat dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Kami mohon
kepadaMu, ya Bapa yang Pengasih dan Penyayang, janganlah memurkai dan menghukum kami dalam
kepanasan amarahMu, tetapi kasihanilah kami orang-orang yang berdosa ini, yang datang kepadaMu
dengan menyesali dosa-dosa kami. Berilah Roh Kudus bekerja di dalam hati kami, supaya kami mengenal
dosa-dosa kami, menyesalinya dan bertobat kepadaMu serta hidup sesuai dengan kehendakMu, oleh Yesus
Kristus Tuhan kami!" Pengakuan dosa, biasa diaminkan oleh jemaat dengan suatu nyanyian.
Pemberitaan Anugerah. Sebagaimana pengakuan dosa, pemberitaan anugerah juga adalah unsur ibadah
yang sangat tua dan telah lama dikenal oleh Gereja Lama dalam nyanyian-nyanyian dan doa-doanya.
Pada waktu reformasi, pemberitaan anugerah (yang diucapkan oleh pemimpin ibadah/pengkhotbah),
dimasukkan bersama-sama dengan pengakuan dosa ke dalam ibadah. Salah satu alasannya ialah: kalau
Allah tidak mengampuni dosa jemaat yang berkumpul dalam ibadah, pemimpin ibadah (pengkhotbah)
sebentar tidak dapat memberitakan Firman. Salah satu rumusan pemberitaan anugerah yang biasa dipakai
dalam ibadah adalah:
"Sebagai hamba Yesus Kristus, kami memberitakan pengampunan dosa kepada tiap-tiap orang yang
dengan jujur mengaku dosanya di hadapan Allah". Rumusan ini dilanjutkan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah) dengan mengutip suatu bagian (ayat atau beberapa ayat).
Puji-pujian. Sama seperti pengakuan dosa dan pemberitaan anugerah, puji-pujian juga telah lama dikenal
oleh Gereja lama. Akan tetapi, baru pada waktu reformasi puji-pujian dihubungkan dengan pengakuan
dosa dan pemberitaan anugerah dalam ibadah. Sebagai jawaban atas pengampunan Allah, jemaat
mengucapkan syukur kepada Allah dengan menyanyikan suatu kidung puji-pujian.
Doa Pembacaan Alkitab (Epiklese). Doa pembacaan Alkitab (Epiklese) yaitu doa untuk memohon pimpinan
Roh Kudus supaya jemaat dapat mengerti Firman yang dibacakan dan disampaikan kepadanya. Salah satu
contoh epiklese adalah: "Ya Tuhan, kami berdoa kepadaMu, pimpinlah kami oleh RohMu yang Kudus dalam
segala kebenaran dan tolonglah kami dengan kemurahanMu, supaya kami beroleh terang dari FirmanMu
yang Kudus, oleh Yesus Kristus, Tuhan kami!". Contoh lain, "Kami berdoa kepadaMu, ya Tuhan, kiranya RohMu
yang Kudus menolong kami, menyucikan hati kami dan memelihara kami dari jalan yang sesat, oleh Yesus
Kristus, Tuhan kami". 47
Pembacaan Alkitab. Pembacaan Alkitab merupakan suatu unsur tetap dari Ibadah Jemaat. Ada Gereja-
gereja yang berpendapat, bahwa pembacaan Alkitab mempunyai tempat yang tersendiri dalam ibadah
sehingga harus diatur menurut Tahun Gerejawi dan tidak perlu dihubungkan dengan nats khotbah. Ada juga
yang berpendapat, bahwa maksud pembacaan Alkitab ialah agar Firman yang dibacakan itu
diterangkan/dijelaskan kepada jemaat dalam ibadah. Oleh karena itu, bagian Alkitab yang dibacakan harus
erat berhubungan dengan nats khotbah. Hubungan yang erat antara bagian Alkitab yang dibacakan
dengan nats khotbah yang diberikan, sangat kuat ditekankan oleh para reformator (Luther, Calvin).
Khotbah (Pemberitaan Firman). Sama halnya dengan pembacaan Alkitab, khotbah (pemberitaan Firman)
adalah juga suatu unsur tetap dari Ibadah Jemaat. Perlu dipahami, bahwa khotbah bukanlah pidato atau
ceramah agama. Khotbah adalah sarana yang Tuhan pakai untuk menyampaikan FirmanNya kepada
Jemaat yang berkumpul dalam ibadah. Oleh karena itu, khotbah janganlah disampaikan dalam bahasa
yang sulit dipahami oleh anggota-anggota jemaat, tetapi semestinya disampaikan dengan
mempergunakan bahasa yang dapat dipahami oleh jemaat. Pengakuan Iman. Semula, pengakuan iman
merupakan pengakuan iman pribadi, namun kemudian menjadi pengakuan iman jemaat secara bersama-
sama. Beberapa rumusan pengakuan yang umumnya dipakai (khususnya di GPM) adalah Pengakuan Iman
Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius. Hampir semua Gereja di
Indonesia memakai pengakuan iman dalam ibadahnya. Suatu tantangan bagi gereja-gereja di Indonesia,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu pengakuan iman Kristen yang kontekstual (konteks
Indonesia, konteks jemaat). Doa Syafaat. Doa syafaat adalah permohonan jemaat kepada Allah agar
segala sesuatu yang rusak, yang bobrok, yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, ditempatkan kembali di
tempatnya yang semula, sehingga keadilan tidak diinjak-injak lagi, kebenaran tidak diperkosa lagi,
kekuasaan tidak disalahgunakan lagi, dll. Oleh karena itu, doa syafaat tidak bersifat umum, tetapi kongkrit.
Dalam doa syafaat, jemaat memohon kepada Allah supaya semua penderitaan dan kejahatan, yang
manusia tanggung dalam hidupnya (seperti kemiskinan, penyakit, kelaparan, penindasan, penyalahgunaan
kekuasaan, dan sebagainya) Allah tiadakan dari dunia ini. Jadi, doa syafaat harus dipersiapkan dengan baik
agar jemaat yang hadir dalam ibadah dapat mengerti dan dapat berpartisipasi di dalamnya, Dalam
kenyataannya, hal tersebut di atas tidak selalu terjadi. Doa syafaat seringkali menyerupai suatu pidato atau
suatu puisi atau suatu rangkuman dari khotbah yang telah disampaikan kepada jemaat. Dalam Gereja
Lama, hal-hal yang disampaikan dalam doa syafaat pertama-tama tentang para pejabat (uskup-uskup,
presbiter-presbiter, diaken-diaken, dan para pejabat lain), sesudah itu anggota-anggota jemaat (yang baru
dibaptis, yang sedang mengikuti pengajaran katekisasi, yang sakit, yang menderita, dll.), dan akhirnya dunia
(perdamaian dan penyelamatannya). Doa syafaat dalam Gereja Lama diawali dengan suatu ajakan oleh
pemimpin ibadah (pengkhotbah). Sesudah mengajak, ia menyebutkan orang-orang dan hal-hal yang harus
didoakan. Tiap-tiap doa diselingi (dijawab) oleh jemaat dengan: "Tuhan, kasihanilah kami!" Dalam hubungan
dengan hal ini, menurut Abineno, doa syafaat harus dipersiapkan dengan baik. Abineno juga berpendapat,
bahwa dengan menyebut orang-orang atau hal-hal yang harus didoakan, tiap-tiap kali perhatian jemaat
ditujukan kepada "obyek" yang tertentu itu, sehingga dengan mudah mereka dapat mengikuti dan dapat
berpartisipasi dalam doa syafaat itu. Di beberapa Gereja di Indonesia, doa syafaat diakhiri dengan Doa
Bapa Kami. Kenyataan memperlihatkan, bahwa banyak sekali pemimpin ibadah (pengkhotbah) dan
anggota jemaat yang tidak tahu mengapa sampai doa syafaat dalam ibadah-ibadah mereka diakhiri
dengan doa Bapa Kami. Karena itu, tak heran jika ada anggota jemaat (bahkan ada pula pendeta atau
majelis) yang menyangka secara keliru, bahwa fungsi doa Bapa Kami sesudah doa syafaat adalah untuk
"menyempurnakan" doa syafaat sehingga doa syafaat yang diucapkan oleh pemimpin ibadah
(pengkhotbah) tidak mereka ikuti dan turut mendoakannya karena yang penting adalah Doa Bapa Kami
yang mengakhiri doa syafaat. Kenyataan juga memperlihatkan, bahwa ada juga pemimpin-pemimpin
ibadah (pengkhotbah) yang berpendapat demikian sehingga mreka tidak mempersiapkan doa syafaatnya
dengan baik.
Nyanyian Jemaat. Sejak dahulu, nyanyian jemaat telah mendapat tempat yang penting dalam Ibadah
Jemaat. Dalam abad-abad sebelum reformasi, nyanyian jemaat diserahkan oleh gereja kepada paduan
suara yang terdiri dari para imam. Akan tetapi, pada waktu reformasi, para reformator (terutama Luther dan
Calvin) mengembalikannya kepada Jemaat. Persembahan Jemaat. Semula, persembahan jemaat
diberikan dalam bentuk hasil bumi. Persembahan dalam bentuk uang baru dimulai pada abad ke-11. Dalam
abad pertama, sejarah perkembangan gereja, persembahan jemaat menempati kedudukan yang penting
dalam pelayanan diakonal jemaat. la bukan saja dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin, janda-janda,
anak-anak yatim piatu dan orang-orang hukuman, tetapi juga kepada orang-orang asing di dalam jemaat.
Dalam hubungan dengan kenyataan yang berlangsung di gereja-gereja di Indonesia, Abineno sangat
menyayangkan, bahwa unsur diakonal dari persembahan jemaat tersebut tidak mendapat perhatian yang
besar lagi. Persembahan jemaat harus dimanfaatkan demi pembangunan, pembinaan, pengembangan
jemaat dalam persekutuan, pelayanan dan kesaksian di bumi ini. Oleh karena itu, persembahan jemaat
harus dikelola secara baik dan benar.
Berkat. Tentang berkat, gereja-gereja belum mempunyai pendapat yang sama. Ada gereja yang
berpendapat bahwa berkat adalah permohonan dalam bentuk doa yang disampaikan oleh pelayan
(pemimpin ibadah/pengkhotbah) 48 kepada Tuhan agar la mengaruniakan berkatNya kepada Jemaat.
Sementara ada gereja-gereja yang berpendapat bahwa berkat adalah pemberian Tuhan yang benar-
benar nyata dikaruniakan kepada Jemaat oleh pelayanan pelayan. Ada juga gereja-gereja yang
menganut kedua pendapat tersebut di atas. Rumusan berkat yang biasa dipakai antara lain sebagaimana
tertulis di dalam 2 Korintus 13:13 atau Bilangan 6:24-26. Jemaat menerima berkat sambil berdiri. Sebagai
jawaban atas berkat, jemaat mengucapkan Amin! (dan ada juga yang kemudian jemaat melanjutkannya
dengan menyanyikan nyanyian permohonan berkat).
2. Musik memiliki peranan yang penting di dalam Ibadah Jemaat. Oleh karena itu, penataan musik (primer dan
sekunder) dalam Ibadah Jemaat merupakan suatu hal yang tidak boleh dilakukan secara asal-asalan, tapi
harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak yang terkait agar peranan musik untuk melayani
ibadah dapat berlangsung dengan baik.
Musik Gereja Primer: Nyanyian Jemaat.
Nyanyian jemaat dapat dinyanyikan secara unisono atau pun secara spontan dengan membagi suara
oleh para pengibadah. Selain itu, beberapa variasi menyanyikan nyanyian jemaat berikut ini dapat
dikembangkan juga di dalam peribadahan:
Responsoris: menyanyikan nyanyian secara berbalas-balasan antara pemimpin dan umat (seorang
solis dengan orang banyak)
Antifonal: menyanyikan nyanyian secara berbalasa-balasan antara dua kelompok atau lebih, misalnya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
bagian kiri dan kanan jemaat, atau kiri dan kanan paduan suara, atau kiri dan kanan jemaat + paduan
suara.
Antifonal dengan Respons (nyanyian-nyanyian dengan refrein/koor).
Alternatim: menyanyikan bait-bait nyanyian secara bergantian. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk menyanyikan sejumlah bait nyanyian jemaat secara bergantian, yakni:
Jemaat laki-laki (satu/dua/tiga/empat suara) — perempuan (satu/dua/tiga/empat suara) atau
sebaliknya.
Jemaat bagian kiri (satu/dua/tiga/empat suara) — kanan (satu/dua/tiga/empat suara) atau
sebaliknya
Jemaat orang dewasa (satu/dua/tiga/empat suara) — anak-anak (satu/dua/tiga suara) atau
sebaliknya
Jemaat di balkon (satu/dua/tiga/empat suara) — di bawah (satu/dua/tiga/empat suara) atau
sebaliknya
Jemaat (satu/dua/tiga/empat suara) — paduan suara (saty/dua/tiga/empat suara) atau sebaliknya
Solis atau vocal group/duet/trio/kwartet, jemaat (satu/dua/tiga/empat suara) — musik instrumental
Instrumental — J'emaat (satu/dua/tiga/empat suara) — paduan suara (satu/dua/tiga/empat
suara)— Jemaat (satu/dua/tiga/empat suara) — solo — instrumental
Variasi nyanyian-nyanyian: Salam, Amin, Haleluya, Hosiana, Maranatha, Berkat
Menyanyikan bagian kitab Mazmur secara variatif
Menyanyikan unsur-unsur liturgi lainnya seperti Pengakuan Iman, Doa Bapa Kami secara variatif
Kanon (menyanyikan melodi yang sama, namun saat memulai diatur sedemikian rupa sehingga
harmoni tetap terjamin)
Resitatif: setengah bernyanyi
Pengembangan variasi yang lain yang dapat dipertanggungjawabkan
Nyanyian dikidungkan oleh jemaat dengan tempo yang lambat sekali sehingga menjemukan, atau
dengan tempo yang cepat sekali seolah suatu perlombaan kecepatan. Oleh karena itu, alangkah
baiknya gereja-gereja memberikan perhatian yang besar bagi pengadaan dan pembinaan prokantor
dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Kehadiran seorang prokantor sebagai pemimpin kegiatan
pelayanan musik dalam suatu ibadah jemaat, dalam pelaksanaannya akan menggunakan seluruh
talenta yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, sehingga fungsi musik dalam kehidupan bergereja
berlangsung dengan baik dan benar.
Beberapa tugas seorang prokantor antara lain: mengkoordinasikan dan mempersiapkan nyanyian
untuk ibadah minggu (dengan bimbingan dari pendeta jemaat/pendeta bertugas), melatih nyanyian
baru atau memperbaiki nyanyian yang keliru dinyanyikan dengan atau tanpa bantuan para biduan
dan/atau musik pengiring, menata cara menyanyikan nyanyian jemaat, menata iringan nyanyian
jemaat, menata latihan persiapan pelayanan musik untuk ibadah jemaat pada hari Minggu,
memimpin nyanyian jemaat dengan atau tanpa para biduan/musik pengiring, dll. Membirama
(1,2,3,4,6, 9,12 ketuk, dll.) merupakan suatu hal yang periu diperhatikan dari seorang prokantor.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Para Biduan: Solis, Duet, Trio, Kwartet, Kwintet, Sextet, Septet, Vokal Grup, Paduan Suara, dll.
Beberapa variasi menyanyi dengan atau tanpa musik pengiring yang dapat dilakukan oleh para
biduan di dalam peribadahan jemaat, antara lain:
Unisono
Dua Suara (harmoni terikat/bebas/feeling harmony) bersama/tidak bersama jemaat
Tiga Suara (harmoni terikat/bebas/feeling harmony) bersama/tidak bersama jemaat
Empat Suara (harmoni terikat/bebas/feeling harmony) bersama/tidak bersama jemaat
Laki-laki menyanyikan melodi bersama/tidak bersama jemaat
Perempuan menyanyikan melodi bersama/tidak bersama Jemaat
Kwartet, Trio, Duet, Solo bersama/tidak bersama jemaat
Solo atau Satu Kelompok bersama/tidak bersama jemaat menyanyikan melodi dengan variasi
harmonisasi oleh musik pengiring
Pengembangan variasi yang lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kehadiran musik pengiring dalam suatu ibadah jemaat semestinya dapat membantu jemaat untuk
menyanyikan nyanyian jemaat dengan baik. Proses pengiringan dapat dibagi dalam dua atau tiga
fase:
Fase Introduksi: Jemaat dapat bernyanyi dengan baik (saat memulai, tempo, nada dasar yang
sama, nada yang tepat)
Fase Iringan: Jemaat bernyanyi pada pitch (tinggi-rendah nada) yang tepat
Fase Penutup.
Pengiringan yang dilakukan dapat berupa iringan yang terikat pada partitur maupun iringan yang tidak
terikat, dimana model iringan (aransemen) dibuat sedemikian rupa sehingga Jemaat dapat
menyanyikan Nyanyian Jemaat dengan baik. Selain mengiringi nyanyian jemaat, para pemain musik
pengiring dapat juga memainkan lagu-lagu khusus (jika diminta atau telah dipersiapkan oleh
prokantor) untuk waktu-waktu tertentu.
Pemain musik pengiring semestinya melakukan latihan secara teratur, sehingga kemampuan untuk
mengiringi nyanyian jemaat dapat mengalami peningkatan.
3. Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi perlu memperhatikan teks dan konteks. Pengembangan
Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi merupakan pengembangan ide-ide sehingga Ibadah dan pelayanan
Musik tidaklah monoton, tetapi dinamis sehingga tidak membosankan. Pengembangan Ibadah dan Musik
Kreatif Gerejawi juga semestinya kontekstual dan mampu melakukan pembaruan nilai yang tertanggung
jawab secara iman Kristen. Selain beberapa pengembangan ide kreatif atau ide variasi dari musik gereja di
dalam ibadah sebagaimana dijelaskan di atas, beberapa ide kreatif pegembangan ibadah yang dapat
juga dikembangkan adalah dengan memanfaatkan berbagai seni (drama, puisi, musik, tari, lukis, dll.)
sebagai media atau sarana bagi peribadahan jemaat.
Pada hakikatnya, setiap manusia dianugerahi oleh Tuhan potensi dasar dalam berkreasi seni. Hanya saja
tingkat kepekaan setiap orang berbeda-beda. Menurut Diah Latifah dan Harry Sulastianto, kreativitas berarti
kemampuan untuk menemukan, membuat, merancang ulang, serta memadukan hal atau gagasan baru
maupun lama menjadi kombinasi baru. Terkait dengan kreativitas, Noel Richard mencoba mengemukakan
beberapa ide yang dapat dikembangkan di dalam peribadahan, antara lain: pembacaan Alkitab diiringi
oleh musik dan/atau dramatisasi (main peran) oleh beberapa orang, drama-drama, tari-tarian, puisi,
memainkan alat musik untuk mengiringi ibadah, penataan ruang, membaca doa secara bersama, berdoa
di dalam kelompok untuk suatu pokok. Selain hal tersebut, kita dapat juga mengembangkan berbagai
kreativitas yang telah diberikan Allah bagi kita sehingga ibadah yang kita lakukan akan semakin dinamis dan
kreatif.
50
V. EVALUASI
1. Jelaskan Unsur-unsur Tata Ibadah!
2. Jelaskan Bentuk Musik di dalam Ibadah!
2. Jelaskan Pengembangan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi!
3. Demonstrasikan Ibadah dan Musik Kreatif Gerejawi!
VI. KEPUSTAKAAN
Alkitab, Ensiklopedia Alkitab, Kamus Alkitab, Pengantar Perjanjian Baru, Tafsiran Roma, Liturgi dan Komunikasi,
Ibadah Jemaat, Penghayatan Agama, The Worship Maze, Pengantar Ibadah Jemaat, Cermin Injil, Christian
Worship, A Life Style of Worship,Gere\a yang Bernyanyi, Musik Gereja, Leadership Handbook of Preaching and
Worship, Handbook for Liturgical Studies, Liturgy and The Arts, The Worshiping Church, Called to Create, Asas-
asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan, Unsur-unsur Litrugia, Church Music, The Ministry of Music in the Church,
Pengantar Ibadah Kristen.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebudayaan
3. Sub Pokok Bahasan : 2.1. Pandangan Iman Kristen tentang keluarga
4. Bahan bacaan Alkitab : Kej. 2:2-45; Yos. 24:19; Efs. 2:19; I Tim. 3:15
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Pernikahan Kemitraan mendasarkan relasi suami isteri pada nilai-nilai dakhil (internal), misainya seperti cinta,
kepribadian dan lain-lain, dari pada tekanan pada peraturan-peraturan lahiriah. la lebih inovatif dari pada
statis dalam hal relasi pernikahan. Menekankan pada kebahagiaan pribadi dari pada menjalankan peran
dan tugas. Pengutaraan diri dari pada subordinasi. Konflik dilalui dengan negosiasi dari pada akomodasi,
keputusan diambil bersama-sama. Sekali lagi, hubungan pribadi lebih diutamakan dari pada peranan.
Dalam pernikahan kemitraan, masing-masing mitra pernikahan itu, SETARA. ldealnya, kepemimpinan
rumah-tangga dibagi secara merata di antara mereka. Kemitraan dalam pernikahan yang komplementer
bisa saling memperkuat dalam keputusan-keputusan di bidang pengertian dan keterampilan yang berbeda.
Kekuasaan akan seimbang jika mitra pernikahan merasa bebas untuk setuju atau tidak setuju, atau negosiasi
dalam proses pengambilan keputusan. Cara sepasang suami isteri menyelesaikan pertengkaran mengenai
keuangan, mertua, liburan, prakarsa seksual, mendisiplin anak-anak adalah suatu hasil keputusan bersama
suami isteri.
Keluarga adalah yang paling utama, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi, sistem yang paling kuat yang
manusia pernah alami. Dalam kerangka ini, "keluarga" terdiri dari seluruh jaringan kekerabatan/kekeluargaan
dari paling sedikit tiga generasi, baik yang sekarang ada dan yang pernah ada.
Fungsi fisikal, sosial dan emosional dari anggota keluarga secara mendalam interdependen, dengan
perubahan dari satu bagian sistem itu akan menggetarkan/menggaungkan bagian-bagian lain dari sistem
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
itu. Selanjutnya, interaksi dan relasi dalam keluarga condong sangat bersifat timbal-balik, terpola dan
berulang. Karena pola yang redundant/kelebihan inilah yang membolehkan kita untuk membuat prediksi
tentatif dari genogram.
Suatu asumsi dasar bisa dibuat di sini adalah bahwa masalah dan gejala merefleksikan suatu adaptasi sistem
terhadap konteks totalnya dalam suatu waktu tertentu. Usaha adaptasi dari anggota keluarga dari suatu
sistem akan bergema keseluruh tingkat sistem itu dari biologis sampai intrapsychic sampai kepada
interpersonal. i.e. keluarga inti, batih, komunitas, kebudayaan dan lebih dari itu. Juga tingkah laku keluarga,
termasuk masalah, gejala memperoleh lebih lanjut makna emosional dan normatif dalam relasinya baik
sosiokultural dan konteks historis dari keluarga. Jadi, perspektif sistemik melibatkan pengertian masalah
sebanyak tingkat mungkin.
Manusia diorganisasikan dalam sistem keluarga menurut generasi, umur dan seks, untuk menyebut beberapa
yang merupakan faktor yang lazim Di mana anda ada dalam struktur keluarga bisa mempengaruhi
berfungsinya anda, pola-pola relasi anda, dan jenis keluarga yang anda bentuk untuk generasi mendatang.
Walter Toman (1976) telah menekankan pentingnya seks dan urutan kelahiran dalam membentuk relasi dan
kharakteristik saudara kandung.
Keluarga sebetulnya mengalami suatu pengulangan dari keberadaan mereka sendiri. Apa yang terjadi
dalarn satu generasi sering akan terulang sendiri di generasi berikutnya, i.e. isu-isu yang sama condong
dimainkan ulang dari satu generasi ke generasi yang berikut, meskipun tingkah laku yang sesungguhnya bisa
mengambil bentuk-bentuk yang bervariasi (the multigenerational transmission of family patterns. Bowen)
Hipotesanya adalah bahwa pola-pola relasi dalam generasi sebelumnya bisa memberi secara implisit model
bagi berfungsinya keluarga untuk generasi berikut. Pada genogram kita mencari pola berfungsi, berrelasi
dan struktur yang berkelanjutan atau alternatif dari satu generasi ke generasi berikut.
Dan dalam ayat 21 kata itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “rendahkanlah dirimu" (dalam
terjemahan bahasa Inggris "be subject" atau "submit"), yang merupakan kata yang sulit untuk dipahami oleh
kita. Namun, sebenarnya kata itu berkaitan erat dengan "kepenuhan Roh" yang dibicarakan oleh Paulus
dalam ayat 18. Rupa-rupanya salah satu buah dari kepenuhan Roh itu adalah Tunduk (submission), yang
artinya lebih kepada "give in" --"pasrah." Tidak memenangkan pendapatnya sendiri, tetapi dengan senang
hati menyilakan pendapat orang lain untuk ditonjolkan. Jadi "tunduk" adalah disiplin spiritual yang akan
memungkinkan terciptanya keluarga yang bebas dari pertengkaran dan dominasi sepihak. (I Petrus 3: 1 ).
Marthen Luther katakan, A Christian is a perfectly free lord of all, subject to none. A Christian is a perfectly
dutiful servant of all, subject to all.
Kata "tunduk" ini rasanya sangat tidak menguntungkan bagi peranan seorang isteri. Namun, kalau hal ini kita
pahami dalam konteks "saling tunduk" sebagai buah Roh, maka kata "tunduk" justru memberi arti baru
berkaitan dengan hubungan antara suami isteri dalam Kristus. Dengan hati-hati sekali Paulus memilih kata
yang paling cocok untuk hubungan suami isteri. Dia tidak menggunakan kata "taat, patuh" yang dipakai
oleh Paulus dalam kaitannya dengan peraturan hubungan antara anak-anak dengan orang-tua mereka,
atau budak kepada tuannya, atau juga tentara dengan pimpinannya. Mereka tunduk karena represif di
bawah perintah. Kata 'Tunduk" dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Tentunya manusia
"tunduk" kepada Tuhan bukan karena dipaksa, atau ketakutan atau sifat represif yang lain. Manusia tunduk
kepada Tuhan dengan sukarela, dan disertai dengan "kepercayaan penuh" (full-trust) kepada Tuhan yang
mampu dan perkasa. Dengan demikian istilah"tunduk" tidak perlu diragukan sebagai ungkapan penindasan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
lagi, karena artinya memang tersirat dalam Kristus sebagai kepala jemaat. Tunduk memang memiliki arti
"kesetiaan, kesucian dan kejujuran" yang harus dimiliki oleh seorang isteri terhadap suami, seperti hubungan
Kristus dengan jemaatNya.
Selanjutnya Paulus tidak hanya memberikan petunjuk tentang peran isteri saja, dia juga dengan apik
memberikan peran kepada suami untuk "mengasihi" isteri. Efesus 5:25-30. Pada ayat 25 Paulus menunjukkan
bahwa ayat 22 bukanlah ayat penindasan kepada perempuan. Tunduk itu bukan tindakan sepihak saja,
tetapi merupakan hubungan atau perbuatan timbal balik. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus
telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya... Kasih--merupakan kata yang khas bagi
seluruh rencana Allah untuk keselamatan dunia ini. Paling sedikit ada empat kata dalam bahasa Gerika
(Yunani) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--kasih. Kata-kata itu adalah: Yang pertama eros
berarti kasih seksual, kasih filea berarti kasih persaudaraan (kasih karena relasi pertemanan), keempat storge
yakni kasih dalam relasi hubungan darah/keluarga dan yang keempat adalah agape berarti kasih ilahi,
kasih tanpa syarat atau tanpa kondisi apapun. Dia adalah kasih sejati yang rela berkorban bagi yang
dikasihinya.
Justru yang menarik adalah bahwa Paulus, ketika dia memberi nasihat berkaitan dengan hubungan suami
isteri, dia tidak menggunakan istilah kasih yang pertama-eros, tetapi justru kasih ketiga--agape. Kasih yang
tak ada hentinya (enduring love). Tujuan Paulus menggunakan istilah kasih agape adalah untuk
menunjukkan agar semua orang tahu bahwa "tunduk" itu bukan sepihak, tetapi timbal balik, terbukti dari
kata berikutnya, "menyerahkan diriNya baginya." Kasihnya bukan sekedar pemuasan egois
pribadinya--tetapi justru dia harus rela menderita bagi kepentingan pihak lain. Kasih itu tidak hanya sekedar
ekspresi kasih Tuhan, tetapi juga suatu contoh bagaimana seorang suami seharusnya memberikan dirinya
sendiri demi kebaikan dan kesejahteraan isterinya. Memberikan dirinya sampai mati demi kekasihnya adalah
pernyataan yang ekstrim--pemujaan kekasih. Panggilan atau peran suami rupanya malahan lebih berat
dibanding dengan peran isteri.
Demikian seorang suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: siapa yang mengasihi
isterinya ia mengasihi dirinya sendiri. Ungkapan bijak kaum Rabinis, The man is restless while he misses his rib
that was taken out of his side; and the women is restless till she gets under the man's arm, from whence she
was taken.
Perbedaan jenis kelamin memang bisa menimbulkan perbedaan besar dalam kehidupan, dan persatuan
mengakibatkan pembentukan relasi yang sangat unik. Tak ada seorang lelaki, bagaimanapun
sempurnanya, bisa merasakan, mengetahui, atau berkehendak persis sama seperti seorang perempuan
tertentu. Dan kalau keduanya bersatu, maka mereka akan membentuk kehidupan yang saling mengisi dan
menguatkan--bersatu dalam kepelbagaian. Itulah apa yang dimaksudkan oleh Tuhan dengan "penolong
sepadan" (helping-mate).
Dengan demikian keluarga meletakkan motif-motif hidup, sikap dan harapan anggota-anggota keluarga
terutama bagi anak-anaknya. Keluarga bagi seorang anak merupakan wadah terjadinya proses belajar
mengajar untuk mengembangkan jati dirinya serta mewujudkan fungsi-fungsi sosialnya. Selain itu keluarga
juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam membentuk sikap hidup untuk berbakti kepada Tuhan
sebagai perwujudan dan nilai-nilai hidupnya dan orang lain di tengah masyarakat, hanyalah bila keluarga
itu dibangun dengan Yesus Kristus sebagai dasar dan firmanNya menjadi standar hidupnya sendiri.
Keluarga merupakan sakramen kehadiran cinta kasih Kristus yang terwujud dalam pertobatan sebagai
konsekuensi perkawinan yang menjadi gambaran kesatuan Kristus dengan gereja-Nya dan juga merupakan
kemurnian sebagai perwujudan dari cinta kasih yang unik penuh kesetiaan dan kesuburan, cinta kasih
sebagai buah usaha mengikuti hidup Kristus dan pembangunan gereja. Keluarga adalah merupakan sarana,
bukan tujuan di mana tiap anggota keluarga menjadi saksi-saksi. Oleh karena itu orang tua menjadi
pengantara dan pembuka jalan bagi hidup anaknya. Ini berarti bahwa anak harus dicintai demi
pertumbuhan dan kedewasaannya.
Spiritualitas keluarga Kristen merupakan suatu panggilan dan juga merupakan suatu perjalanan yang diawali
dengan pernikahan di mana pernikahan itu merupakan hal yang sakral yang diberikan Allah kepada
manusia dan dikehendaki oleh Allah malah dibentuk oleh Allah sendiri. Karena itu, pernikahan harus
dilaksanakan dengan dasar, penuh kesungguhan. Kesungguhan ini diwujudkan dalam melakukan
kewajiban-kewajiban yang layak dilakukan oleh sepasang suami-istri yang beriman. Hendaknya suami dan
istri senantiasa hidup dalam, persekutuan abadi. Hindarilah pertengkaran-pertengkaran yang sia-sia, yang
dapat membawa keretakan-keretakan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, suami-istri harus saling
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
menghormati dan menghargai dalam kelemahan dan kekurangan masing-masing serta saling menegor
dalam cinta kasih.
V. EVALUASI
1. Jelaskan fungsi keluarga
2. Jelaskan keluarga menurut Alkitab
2. Jelaskan makna Kristus sebagai dasar hidup keluarga Kristen
VI. KETERANGAN
Metode : Ceramah, Tanya-jawab, diskusi.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebudayaan
3. Sub Pokok Bahasan : 2.2. Pandangan Iman Kristen tentang Masyarakat dan Kebudayaan
4. Bahan bacaan Alkitab : I Raja-raja 6:1-38
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama PBU 2.3.)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
54
55
Semua peraturan, cara hukum dan berbagai kewajiban yang tersimpan dalam adat dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan tradisi yang diturunkan dari generasi sejak dan yang merupakan warisan
kepercayaan telah dimiliki oleh seseorang adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepribadian semua
anak Maluku. Adat serta tradisi merupakan budaya manusia dan justru menjadi pendukung di mana
alamiah manusia Maluku terus dipelihara dan terbina.
ungkapan-ungkapan, alat-alat bantu, atau hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi biologis, psikologis
dan sosial, melainkan merupakan prasyarat untuk sebuah eksistensi. Tanpa manusia, tentu saja tak ada
kebudayaan, tapi sama juga dan malah paling penting lagi, tanpa kebudayaan tak ada manusia.
Berbagai kompleksitas kebudayaan itu dimiliki oleh semua masyarakat. kompleksitas kebudayaan itu
sebagai cultur universal yaitu unsur-unsur budaya yang sama dalam masyarakat di manapun. Unsur-unsur itu
adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem sosial dalam masyarakat, peralatan hidup dan teknologi, sistem
pendidikan, sistem mata pencaharian hidup, religi, dan kesenian. Bahwa hanya berbeda pada tataran yang
lebih kecil sebagai cara yang khas dari masing-masing masyarakat berbudaya (orang-orang setempat).
Bertolak dari pemahaman di atas salah satu unsur kebudayaan itu adalah sistem sosial masyarakat, di mana
hidup bersosialisasi dalam masyarakat adalah sesuatu hal yang paling penting dalam hidup. Tanpa manusia
bersosialisasi maka manusia itu tidak akan menciptakan rasa kebersamaan dalam masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
3. Pertumbuhan Iman Kristen Melalui Budaya
Dalam upaya memperhadapkan iman dan budaya, maka Richard Neibuhr mengemukakan lima sikap
terhadap budaya yakni :
1. Sikap radikal, Sikap ini sama sekali tidak mengakui hubungan iman Kristen dengan budaya. Iman datang
dari atas, dari Tuhan, sedangkan budaya datang dari bawah, dari manusia. Iman selalu menghakimi
kebudayaan karena kebudayaan selalu jahat. Sikap seperti ini sangat membuat adat selalu ditekan
bahkan kehilangan identitasnya. Padahal nilai-nilai adat selalu dipergunakan Yesus dalam pelaksanaan
misi Injil-Nya, seperti makan perjamuan paskah, puasa dan sebagainya yang merupakan tradisi Yahudi.
2. Sikap akomodatif- Sikap ini merupakan kebalikan dari sikap radikal. Di sini tidak ada pertentangan antara
iman dan kebudayaan. Nilai-nilai yang menjadi dambaan masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang
juga dikejar dalam penghayatan iman Kristen. Para misionaris radikal terhadap budaya populer religius
China, seperti adat kematian dan pemujaan nenek moyang, tetapi akomodatif terhadap "Hao” yang
dengan tenang diidentikkan dengan menghormati orang tua, di dalam kesepuluh perintah Tuhan dan
terhadap nilai-nilai dasar budaya Cina lainnya yang terwujud dalam ajaran Khong Hu Cu. Kenyataan
tersebut menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada dalam suatu kebudayaan atau adat istiadat sangatlah
penting untuk diangkat sebagai bagian dalam iman Kristen.
3. Sikap Sintetik, Sebenarnya merupakan bagian dari sikap kedua di atas. Dalam sikap ini, baik Injil maupun
adat diterima dalarn kesatuan yang saling mengisi. Gereja Roma Katolik biasanya mengambil sikap ketiga
ini. Manusia mempunyai kodratnya sebagai manusia. Dalam rangka kodratnya ini, manusia membangun
dan mengembangkan budayanya, termasuk adat istiadatnya. Selain itu juga, manusia mengenal yang
adi kodrati. Injil membawa hal yang demikian untuk melengkapi dan.menyempurnakan yang kodrati.
Tetapi yang kodrati ini juga dapat melengkapi yang adi kodrati, dalam arti iman tidak pernah bisa tanpa
wujud yang konkret, baik berupa lembaga gereja yang kuat maupun dalam bentuk tatanan masyarakat
yang tetap dan mantap.
4. Sikap dualistik, Sikap ini merupakan sikap tradisional yang diambil oleh gereja-gereja Lutheran. Sikap ini
merupakan variasi dari sikap kedua, namun kebalikan dari sikap ketiga. Dalam konteks ini, orang
mengakui dan hidup dalam dua dunia, seperti binatang ampibi yang bisa hidup di darat dan juga di air.
Dunia yang pertama adalah kerajaan Allah, sedangkan dunia yang kedua adalah masyarakat. Manusia
adalah warga masyarakat tetapi sekaligus warga kerajaan Allah.
5. Sikap Transformatif ; Sikap ini merupakan sikap yang biasanya dianggap khas tradisi Calvinis. Meskipun
Calvinis sangat memiliki sikap radikal terhadap adat istiadat atau kebudayaan, tetapi perlu disadari juga
bahwa radikalisme adalah bagian dari warisan misionaris yang kebanyakan lebih pietis dari pada Calvinis
atau kritis terhadap budaya pribumi, padahal akomodatif terhadap budaya sendiri. Persoalan yang
muncul adalah bukan masalah 56 menolak atau menerima kebudayaan, tetapi menerima bagian yang
mana dari budaya dan menolak bagian yang mana dari budaya.
6. Dalam kelima konsep sikap tersebut, maka Neibuhr menganjurkan untuk para teolog memakai sikap yang
terakhir. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai budaya juga tidak mengalami penurunan atau kehilangan
akibat radikalistis Injil. Transformasi sendiri merupakan perubahan dan pembaruan. Perubahan yang
dimaksudkan adalah merubah bentuk yang lama ke bentuk yang baru, sedangkan pembaruan selalu
membawa kepada yang baik. Transformasi kebudayaan adalah suatu usaha mengangkat kebudayaan
ke tingkat kebudayaan (pola hidup) yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah untuk manusia
yang terus-menerus dikembangkan dan dihayati dalam hubungan dengan Allah.
V. EVALUASI
1. Jelaskan apa itu masyarakat dan kebudayaan
2. Jelaskan hubungan masyarakat dan kebudayaan
3. Diskusikanlah pertumbuhan iman Kristen melalui budaya
VI. KETERANGAN
Metode: Ceramah, Tanyajawab, diskusi.
I.IDENTITAS
A. Materi Sajian : KONTEKS
B. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebuda-yaan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
C. Sub Pokok Bahasan : 2.3. Tanggung jawab gereja dalam mengembangkan masyarakat dan kebudayaan
lokal
D. Bahan bacaan Alkitab : Kisah Para Rasul 17: 22-34
E. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama PBU 2.2.)
F. S e m e s t e r : I (Ganjil)
4. URAIAN MATERI
1. Tugas Gereja dalam Pengembangan Masyarakat dan Kebudayaan Lokal
Dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah bagi dunia, Yesus tidak menghindar atau tidak melakukan
penyimpangan terhadap budaya yang tumbuh dalam masyarakat Yahudi. Yesus memakai kebudayaan
Yahudi sebagai pintu masuk untuk melaksanakan pemberitaan tentang Kerajaan Allah. Budaya masyarakat
Yahudi, Helenistik dan sebagainya, dijadikan sebagai lahan subur untuk penaburan Injil. Nilai-nilai budaya
semakin kuat dan lebih dipertajam maknanya dalam kehidupan umat dan bukan disingkirkan. Kenyataan
ini mengakibatkan kebudayaan semakin mendapat tempat dalam masyarakat, ketika nilai-nilai budaya itu
semakin jelas.
Taurat yang begitu luas, dintepretasikan Yesus dalam bentuk yang sederhana dan singkat, agar dapat
dimengerti oleh umat. Intepretasi tersebut terlihat dari sekian banyak aturan dari Taurat hanya dirangkumkan
dalam dua, hukum, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Kedua hukum tersebut tersirat
keseluruhan hukum Taurat di dalamnya. Taurat pada dasarnya dipercayakan pelaksanaannya kepada ahli
Taurat. Ahli Taurat adalah ahli dalam mempelajari hukum Musa (Taurat), semula jabatan ini dipangku oleh
para imam (Mat. 26-7). Ahli Taurat dengan segala kekuasaan hukumnya telah mengembangkan sikap
formalisme lahiriah sehingga nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi dipedulikan. Sikap formalistik lahiriah itu terlihat
dari tindakan-tindakan penganiayaan yang diberikan kepada pengikut Kristus (Stefanus, Petrus clan
Yohanes). Sikap formalisme lahiriah ini ditentang oleh Yesus sehingga dengan sendirinya timbul pertentangan
antara Yesus dengan ahli Taurat (Mat. 21:15). Yesus dalam pelaksanaan misi Kerajaan Allah memakai Taurat
sebagai pintu masuk dan bukan meniadakan Taurat tersebut. Hal ini terlihat dalam Matius 5:17, Jangan kamu
menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat alau kitab para nabi. Aku datang bukan
untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.
Intepretasi yang dilakukan Yesus terhadap adat terlihat dalam hukum-hukum mengenai hari Sabat,
tahun Sabat, tahun kebebasan dan sebagainya. Hari Sabat bagi masyarakat Yahudi maupun Farisi
merupakan hari yang memiliki kandungan sakralitas dan sangat dihormati. Orang tidak boleh mengerjakan
apa pun juga pada hari Sabat. Kandungan nilai berdasarkan pemahaman Yahudi ditolak oleh Yesus, seperti
dalam Matius 12:1-14; Markus 2:23-28; Lukas 6:1-11. Penolakan tersebut didasarkan pada adanya kesalah
pahaman mengenai perintah-perintah Perjanjian Lama. Tidak salah, makan pada hari Sabat, sekalipun
makanan itu harus didapati dengan memetik gandum di ladang. Juga tidak salah berbuat baik di hari Sabat.
Menyembuhkan adalah perbuatan belas kasihan Tuhan di hari Sabat, (lih. Yoh 5:1-18; Luk 13:10-17; 14:1-6). Di
sinilah Yesus menunjukkan sisi kemanusiaan yang harus diutamakan dan bukan pada pemahaman yang
sempit tentang suatu aturan. Dengan
57 melakukan peraturan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Israel,
itu berarti adanya penekanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kehidupan sekarang ini juga gereja harus berperan dalam mengembangkan kehidupan
bermasyarakat dan mengedepankan budaya-budaya lokal Maluku. Hal ini karena masyarakat Maluku
memahami budaya itu dalarn totalitas yang utuh dari apa yang disebut adat. Adat oleh masyarakat Maluku
mencakup sernua yang ada dalam cakupan kebudayaan tadi, dan tidak terbatas pada tradisi dan
kebiasaankebiasaan, hal itu memperlihatkan mengapa masyarakat Maluku sangat kuat berpegang pada
adatnya, baik dalam dimensi ritus/upacara manapun pada tataran nilai. Kebudayaan dan eksistensinya
dapat dilihat dalam komunitas masyarakat adat yang ada di negeri-negeri adat di Maluku. Sampai saat ini
masih kuat berpegang dan mempraktekan tata aturan adatisnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan masyarakat merupakan suatu kekuatan dalam rangka menciptakan keseimbangan-
keseimbangan hidup antara manusia dengan alam maupun manusia yang satu dengan manusia lainnya.
Kebudayaan juga mengajarkan orang untuk dapat berbuat yang baik atau melakukan hal-hal yang
berguna bagi orang lain.
Dari ketujuh hokum tersebut bagian 6 tentang perkawinan yang berinclikasi pada perkawinan menurut
adat merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan yaitu: kelompok Yanur dan kelompok mangohoi
yang ikut menemukan dalam fungsi penyelenggaraan dari perkawinan.
Kelompok Yanur ialah marga laki-laki, sedangkan kelompok mangohoi ialah kelompok marga
pengantin perempuan. Antara kedua kelompok tersebut terjalin hubungan hukum yang tetap diakui dan
dipertahankan oleh kedua kelompok, tidak hanya terbatas pada saat terjadinya perkawinan kedua
pengantin itu. Akan tetapi merupakan hubungan yang dijalankan serta dipatuhi oleh turun-temurun kedua
marga tersebut. Dijelaskan di sini bahwa kewajiban dari marga pengantin laki-laki (kelompok yanur) ialah
harus membayar harta kawin kepada pihak marga pengantin wanita (kelompok mangohoi) dan sebaliknya
kelompok mangohoi mempunyai kewajiban memberi makan dan pakai kepada sang pengantin wanita di
saat hendak melangsungkan perkawinan kedua pengantin.
Walaupun segala kewajiban tersebut telah dilaksanakan oleh kedua kelompok yanur dan mangohoi,
namun tanggung jawab dari keduanya tetap dijalankan oleh generasi penerusnya di saat salah satu pihak
mengalami sesuatu kesulitan. Kesulitan trersebut misalnya di saat seorang saudara laki-laki dari pengantin
perempuan menikah dengan wanita dari lain marga. Dalam perkawinan yang terakhir itu, pihak marga dari
pengantin laki-laki selalu membawa harta menambah harta dari pihak laki-laki dalam perkawinan kedua.
Pada saat itu pula pihak mangohoi dari perkawinan pertama itu tetap melakukan kewajiban memberi
makan kepada pihak yanur yang memberi harta dalam perkawinan tersebut. Hal semacam itu berlangsung
terus-menerus. Hubungan serta kewajiban timbal balik itu tidak hanya terbatas pada urusan perkawinan saja,
akan tetapi berlaku juga dalam hal-hal yang lain pula antara lain:
- Dalam urusan membangun rumah
- Mengerjakan kebun
- Dalam urusan kernatian dan lainnya.
Akibat hukum perkawinan menimbulkan kewajiban yang diharuskan kepada generasi ke generasi itu,
lebih memperkokoh kesadaran hamaren/maren yang sudah dimiliki oleh masyarakat suku Kei sampai
sekarang. Ada juga kelompok-kelompok lainnya seperti kelompok tolong-menolong dan kelompok
persahabatan. Kelompok tolong-menolong terbagi atas dua bagian yakni kelompok maduan (tuan/pemilik)
dan kelompok Koi (penerima bantuan/yang ditolong). Bentuk kelompok maduan dan koi itu hampir sama
dengan kelompok yanur dan mangohoi. Kelompok maduan dan koi terjadi akibat tolong-menolong pada
saat seseorang mendapat malapetaka, atau musibah. Hanya kelompok Koi yang punya kewajiban
sedangkan kelompok maduan tidak ada kewajiban.
Untuk kelompok persahabatan biasa disebut Tea Bel. Tea Bel itu terjadi akibat suatu perjanjian
persahabatan antara satu kampung dengan kampung lain. Dalam perjanjian Tea Bel dilarang terjadi
perkawinan antara orang-orang dari kampung yang terikat oleh perjanjian itu. Hal ini disebabkan karena
perjanjian Tea Bel telah menjadikan orang-orang dari kampung-kampung itu sebagai saudara satu terhadap
yang lain. Ikatan persaudaraan itu jelas terungkap dalam kata Tea Bel itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa
kekerabatan Tea Bel merupakan satu lambang pergaulan sosial "sedarah" seperti kekerabatan marga. Untuk
itu kampung-kampung yang terlibat dalam satu perjanjian Tea Bel merasa bersatu melayani dan tamu-tamu
secara sukarela.
Ada juga budaya-budaya lainnya yang dapat dijadikan sebagai sarana keutuhan hidup manusia
seperti pela, gandong, masohi dan sebagainya (dijelaskan berdasarkan konteks budaya masing-masing
daerah)
58
terjemahan para misionaris, teolog, liturgis, penerjemah Alkitab menemukan suatu analisis budaya sampai
pada batas tertentu, tetapi setelah itu selesai. Begitu pula dengan pandekatan penerjemahan. Pada
dasarnya pendekatan ini mengasumsikan bahwa pernyataan kewibawaan terjadi dalam suatu bidang
perujukan, atau penyataan kewibawaan terjadi dalam suatu bidang supra budaya yang mempunyai
kedudlukan lebih tinggi, yang memungkinkan penerjemahan langsung ke dalam budaya mana pun. Dalam
hubungan tersebut, maka Roberth J. Schreiter menyatakan bahwa "Yang ideal untuk suatu teologi yang
sungguh-sungguh kontekstual, ialah bahwa proses teologis harus mulai dengan membuka budaya atau
adat, usaha dalam jangka panjang dan dengan hati-hati untuk mandengarkan nilai-nilai utamanya,
kebutuhan, minat, arah clan lambang-lambangnya. Hanya dengan cara ini konfigurasi suatu budaya
menjadi jelas sendiri, tanpa semata-mata menjawab pada jenis-jenis kebutuhan lain yang tidak pokok bagi
budaya itu.
5. EVALUASI
1. Jelaskan tugas gereja dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan lokal
2. Sebutkan salah satu kebudayaan lokal Maluku
3. Jelaskan kepentingannya budaya lokal
6. KETERANGAN
Metode Ceramah, Tanya-jawab, diskusi.
59
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 2. Keluarga, Masyarakat dan Kebuda-yaan
3. Sub Pokok Bahasan : 2.4. Muatan lokal pengembangan masyarakat dan kebudayaan setempat
4. Bahan bacaan Alkitab : Kejadian 24:10-15
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah kepentingan muatan lokal dalam pengembangan masyarakat berdasarkan potensi yang ada
2. Identifikasikan langkah-langkah pengembangan masyarakat dan kebudayaan setempat
3. Rancangkanlah suatu muatan lokal bagi pengembangan budaya masyarakat sebagai upaya transformasi
nilai-nilai Injili
VI. KETERANGAN
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Katekisan ditugaskan secara kelompok untuk mencari salah satu contoh, model pengembangan masyarakat
dan kebudayaan setempat, yang dapat diwarnai dengan nilai-nilai Injili (Misalnya, alat-alat musik dan tarian
untuk kepentingan Ibadah; budaya masohi atau kontrad di Porto, yang dapat dikembangkan untuk suatu
hubungan kerjasama dalam membantu suatu pembangunan atau usaha tertentu. Atau bagaimana
kesetaraan gender dibangun dalam masyarakat Maluku yang paternalis).
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 4. Allah Yang Membebaskan
3. Sub Pokok Bahasan : 4.1. Keluaran dari Mesir
4. Bahan Bacaan Alkitab : Keluaran 14:15-31
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
2. Cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir sampai Memasuki Tanah Kanaan
Allah telah berjanji menjadikan keturunan Abraham-Ishak-Yakub (orang Israel) sebagai alat
keselamatan bagi seluruh bumi dan segenap alam ciptaanNYA. Oleh karena itu, Allah memelihara mereka
dengan berbagai cara dan bentuk, antara lain menyelamatkan mereka ke tanah Mesir dari bahaya
kelaparan di Kanaan, tetapi terlebih dahulu Allah mempersiapkan Yusuf di Mesir. Iman Yusuf yang teguh
menyebabkan Allah merubah jalan hidupnya dari seorang budak dirumah Potifar, seorang yang terpenjara
karena fitnahan, menjadi penguasa nomor dua dalam Kerajaan Mesir. Demikianlah Allah bertindak
menyelamatkan Yakub dan keturunannya. Ketika mereka mengalami penderitaan di Mesir, Allah bertindak
membebaskan dan membawa mereka kembali ke tanah Kanaan.
Cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir sampai memasuki Tanah Kanaan :
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
a. Mengutus Musa, memberi hikmat dan kemampuan baginya untuk berbicara pada tua-tua Israel serta
Raja Mesir tentang kehendak Allah membebaskan Israel (Kel. 3-4)
b. Menghukum Mesir dengan 10 tulah untuk menunjukan rencana Allah tak dapat dihalangi manusia (Kel.
7-11)
c. Allah menuntun dan memelihara Israel dalam perjalanan dengan mujizat-mujizat (Kel. 14-17)
d. Memberikan hukum Taurat agar Israel tetap berada dijalur kehendak Allah (Kel. 20 s/d kitab Ulangan)
e. Allah mengeringkan air sungai Yordan ditempat penyeberangan memasuki tanah Kanaan (Yosua pasal
3)
f. Allah memampukan Israel mengalahkan suku-suku pribumi Kanaan dan membagi-bagikan tanah itu
kepada Israel sesuai janjiNYA kepada Abraham, Ishak, Yakub (Yosua 7-14)
3. Makna reflektif keluaran dari Mesir bagi kehidupan Katekisan masa kini
Catatan bagi Kateket : Makna reflektif ini dicatat oleh Katekit melalui metode diskusi kelompok
V. EVALUASI
1. Jelaskan latar belakang dan keadaan Israel di Mesir
2. Jelaskan cara Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir samapai memasuki tanah Kanaan
3. Buatlah refleksi mengenai makna keluaran dari Mesir bagi kehidupan katekisan pada masa kini
VI. KEPUSTAKAAN
Referensi rujukan, antara lain: Theologia PL 1-2-3 (Chr Baath), Sejarah Kerajaan Allah, dan
Di sini Kutemukan (W. Wahono).
VII. KETERANGAN
Katekit : menguraikan materi dan member kesempatan bagi katekisan untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, serta memberi arahan diskusi kelompok.
Katekisan : mencatat, mengajukan pertanyaan, serta berdiskusi secara kelompok.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 4. Allah Yang Membebaskan
3. Sub Pokok Bahasan : 4.2. Manusia Yang Dimerdekakan
4. Bahan Bacaan Alkitab : Galatia 5:1-5, 13; Titus 2:11-15
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
Perhambaan inilah yang terjadi pada masyarakat Timur Tengah dimasa Perjanjian Lama (PL). Tetapi
keadaan itu diterima sebagai suatu hal yang biasa, dengan kata lain perhambaan sudah menjadi bahagian
dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada masa itu, seorang bekerja sebagai hamba karena beberapa factor antaralain : oleh karena ia tak
dapat melunaskan hutangnya pada orang yang kemudian terpaksa menjadi Tuan/majikannya (Amsal 22:7),
atau karena seorang menjadi orang asing dirantau tanpa jaminan hidup serta perlindungan dari siapapun.
Akibatnya ia dipekerjakan sebagai hamba oleh orang lain. Hagar misalnya, ia seorang perempuan asal Mesir
yang bekerja sebagai hamba pada keluarga Abraham di Kanaan (Kej. 16:1). Para hamba kadang
diperjualbelikan sebagai tenaga budak. Yusuf misalnya, sebelum menjadi penguasa yang sukses di Mesir, ia
dijual kepada orang-orang Ismael(orang-orang Midian yang menemukannya dalam sebuah sumur
kering)untuk dijadikan budak di Mesir (Kej. 37:12-36). Sisa-sisa perhambaan seperti ini masih ditemukan
dimasa Perjanjian Baru (I Tim 6:1)
Seperti dikatakan diatas, hidup seorang hamba adalah milik tuannya. Hidup dan matinya berada di tangan
tuannya itu. Hidup seorang hamba berada dalam cengkeraman tuannya. Dalam pengertian ini, seorang
dapat disebut hamba uang/harta, kalau hidupnya hanya demi uang/harta belaka. Uang/harta menguasai
hidupnya sedemikian rupa sampai ia mengabaikan Tuhan dan sesamanya.
Seorang juga disebut hamba dosa kalau tutur kata, sikap dan perilakunya mencerminkan dosa yang
menguasai, yang mencengkram hidupnya. Demikian juga seorang disebut hamba miras, judi, narkoba, sex
bebas kalau hidupnya telaj dikuasai miras dan lain-lain itu. Atau seorang disebut hamba IPTEK kalau ia
percaya bahwa hasil-hasil IPTEK adalah jalan keselamatan yang baru baginya diluar Tuhan.
Perhambaan bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sederajat satu
sama lain, yang memiliki kebebasan, hak-hak asasi serta martabat sejak lahirnya kedalam dunia ini. Karena
itu sejak masa PL sampai PB hingga pada masa kini, Allah selalu bertindak memerdekakan manusia dari rupa-
rupa perhambaan ini.
Bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa PL dan PB hingga masa kini.
Pada masa PL :
Perbudakan ; Kel. 21:2,7,20
Penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan ; Kej. 16:1-7
Hamba dosa karena mengabaikan Tuhan, yang menyebabkan ketidakadilan, pemerasan, suap,
pelecehan ; Amos 2:7,… 3:10,… 4:1,… 5:7,11,… Amzal 15: 27
Pada masa PB :
Perbudakan ; I Tim 6:1
Hamba uang/harta ; Mat 6:19-24, I Tim 3:2
Hamba dosa ; Roma 3:9-18
Pada masa kini :
Hamba uang/harta (sifat matrealistis)
Hamba miras, judi, narkoba, sex bebas
Hamba IPTEK
2. Perbedaan cara Allah & cara manusia memerdekakan manusia pada masa PL & PB hingga pada masa kini
Cara manusia memerdekakan manusia pada masa PL :
Tindakan pengusiran seorang hamba dari rumah tuannya; Kej. 16:6
Melaksanakan ketentuan-ketentuan taurat secara konsekuen; Ezra. 9-10, II Raja-Raja. 22:1-20
Cara manusia memerdekakan manusia pada masa PB :
Dengan menerima/memperlakukan
63 seorang hamba sebagai sesame orang beriman; Filemon 1
Melaksanakan Hukum Taurat secara konsekuen; Mat. 5:17-48, Roma psl. 4-5, Tetapi hal ini tidak dapat
menyelesaikan dosa manusia.Kemerdekaan dari dosa hanya dikerjakan oleh Yesus Kristus; Galatia 5:1
Cara manusia memerdekakan manusia pada masa kini :
Merazia tempat judi, miras, narkoba, dan hotel/penginapan yang digunakan untuk melakukan
perbutanan sex bebas
Menyita miras, narkoba
Menyeret para pelaku ke meja hijau serta menjatuhkan hukuman bagi para pelaku sesuai ketentuan yang
berlaku
Berusaha menghilangkan/mengatasi dampak negative IPTEK
Segala upaya manusia memerdekakan manusia sejak masa PL dan PB hingga masa kini tak menyelesaikan
masalah perhambaan secara tuntas, oleh karena berpusat pada usaha manusia sendiri, masalah
perhambaan hanya dapat dihapuskan dengan campur tangan kuasa Allah, hal ini nyata sejak pada
masa PL, PB hingga masa kini.
Cara Allah memerdekakan manusia pada masa PL dan PB hingga gereja pada masa kini.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Pada masa PL :
Memerintahkan menerima & melindungi orang asing, karena orang Israel dahulupun adalah orang asing
di Mesir ; Imamat 19:34, Ulangan 10:19
Salah satu akar dari perhambaan ialah hutang piutang. Allah memerintahkan penghapusan hutang
dalam Ulangan 15:11
Member peranan kepada perempuan dalam karya penyelamatanNYA : Debora, Hakim-Hakim 4-5
Menjanjikan kedatangan Mesias, Juruselamat yang menghapus akan perhambaan dosa ; Yesaya 7:1-3,
serta untuk memberlakukan keadilan, kebenaran dan damai sejahtera (Yesaya 61:1-2)
Pada masa PB:
Menggenapi janji tentang kedatangan Mesias Juruselamat melalui para nabi untuk menghapus dosa
manusia serta membebaskan manusia dari rupa-rupa belenggu/perhambaan; Yesaya 7:1-3, Matius 1:23,
Lukas 4:18-19
Selama berada di dunia ini, Yesus Kristus mengampuni dosa manusia, memerdekakan manusia dari rupa
penyakit, dari ancaman kelaparan, dari kuasa iblis, dari belenggu kuasa uang/harta (Matius 9:9-13)
Pada masa PB Allah memberi peran bagi kaum perempuan dalam rangka karya penyelamatanNYA :
Maria Ibu Yesus ; Matius 1: 18-25, Lidya; Kisah Para Rasul 16:13-15
Setelah Yesus Kristus naik ke surge, Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya meneruskan karya
penyelamatan Allah untuk memerdekakan manusia dari rupa-rupa perhambaan melalui pelayanan
diaconal, partisipasi gereja dalam pembangunan, termasuk dalam bidang pendidikan, gereja turut serta
memperjuangkan HAM (Hak Asasi MAnusia). Semua itu untuk memenuhi amanat agung PI (Mat. 28:18-20)
3. Pendapat Katekisan sendiri terhadap bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa kini
Catatan : melalui diskusi kelompok
4. Sikap katekisan sendiri sebagai orang Kristen yang dimerdekakan oleh Allah pada masa kini
Catatan : melalui diskusi kelompok
V. EVALUASI
1. Identifikasikan bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada masa PL & PB hingga masa kini
2. Buatlah perbedaan cara Allah & cara Manusia memerdekakan manusiapada masa PL & PB hingga gereja
pada masa kini
3. Kemukakanlah pendapatmu sendiri terhadap bentuk-bentuk perhambaan yang dialami manusia pada
masa kini
4. Tentukanlah sikapmu sendiri sebagai orang Kristen yang dimerdekakan oleh Allah pada masa kini
VI. KETERANGAN
Katekeit : menguraikan materi, mempersiapkan dan mengarahkan diskusi
Katekisan : mencatat, berdiskusi
I. IDENTITAS 64
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 5. Allah Yang Menyertai
3. Sub Pokok Bahasan : 5.1. Penyertaan Allah di Padang Gurun
4. Bahan Bacaan Alkitab : Keluaran 13:17 - 22
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
Allah telah membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir untuk kembali ke Tanah Kanaan yang telah dijanjikan
sebagai milik pusaka Israel melalui Abraham, Ishak dan Yakub, leluhur mereka. Perjalanan menuju tanaha
KAnaan bukanlah hal yang mudah, karena perjalanan itu harus melalui padang gurun Sinai yang tandus dan
gersang, padahal perjalanan itu membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Selain itu jumlah orang Israel
yang keluar dari Mesir begitu banyaknya (6000 orang laki-laki, belum termasuk Mesir karena berbgai alasana.
Hal ini menimbulkan persoalan kesehatan, suplai makanan dan air minum dan lain-lain. Bagaimana Allah
bekerja untuik menyatakan penyertaannya dalam perjalanan yang sukar ini?
V. EVALUASI
1. Identifikasikanlah berbagai tantangan yang dihadapi Israel di padang gurun
2. Jelaskan cara Allah menyertai Israel menghadapi tantangan di padang gurun
3. Ceritakanlah pengalaman penyertaan Allah terhadap hidup Katekisan berada dalam mengahadapi
tantangan kehidupan.
VI. KETERANGAN
Katekeit : menguraikan materi, mengajukan
65 pertanyaan-pertanyaan, mengarahkan diskusi kelompok
Katekisan : mencatat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdiskusi dalam kelompok
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 5. Allah Yang Menyertai
3. Sub Pokok Bahasan : 5.2. Penyertaan Allah Dalam Pembuangan
4. Bahan Bacaan Alkitab : Daniel 4:1-37
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
V. E V A L U A S I
1. Jelaskanlah latar-belakang Israel mengalami pembuangan di Babel ?
2. Jelaskanlah makna mimpi raja Nebukadnezar dan perwujudannya sebagai cara Allah menunjukkan
penyertaanNya bagi Israel ?
VI. KETERANGAN
Katekit : Menguaraikan materi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
Katekisan : Mencatat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
1. IDENTITAS
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
5. URAIAN MATERI
1. Penyertaan Allah dalam Kehidupan Manusia melalui Yesus Kristus sebagai Imanuel
Imanuel artinya Allah menyertai kita (Mat.1:23). Melalui ayat ini, malaikat Tuhan berbicara kepada Yusuf,
mengulangi janji Tuhan tentang kedatangan Mesias, Juruselamat yang telah disampaikan melalui para nabi
ribuan tahun lampau (Yes.7:14). Jadi dengan kelahiran Yesus Kristus, Allah mewujudkan janji penyertaanNya
bagi manusia. Karena itu, Yesus Kristus dinamakan Imanuel.
Memang Allah kita adalah Allah yang menyertai. Seluruh PL menunjukkan bagaimana penyertaan Allah
itu diwujudkan dalam berbagai cara dan bentuk (Penyertaan Allah di Padang Gurun, Penyertaan Allah
dalam pembuangan di Babel, dll.). Penyertaan Allah tidak diwjudkan sebagas Israel saja, sebab
keselamatan yang disediakan Allah bersifat universal. Cerita tentang Yunus dalam PL menunjukkan
bagaimana Allah bekerja bagi keselamatan Niniwe, yaitu orang-orang yang bukan Israel.
Tetapi manusia tidak dapat menempatkan diri dalam kuasa penyertaan Allah. Kesalahan pokok
manusia ialah, meninggalkan Allah. Oleh karena itu, dengan mudahnya manusia menyembah kuasa-kuasa
lain (dewa-i) serta melakukan tindakan kekerasan, ketidakbenaran, ketidakadilan, penindasan, pelecehan,
dll.
Jadi sebetulnya kesalahan pokok manusia ialah dosanya. Ini menyebabkan hidup manusia terancam
hancur dan binasa. Tetapi Allah tidak meninggalkan manusia. Penyertaan Allah diwujudkan dalam
anugerah pengam[unan dosa melalui Yesus Kristus. Oleh karena itu, Yesus Kristus dinamakan Imanuel.
7. KETERANGAN
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. BAHAN PELAJARAN
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
3. Sub Pokok Bahasan : 3.1. Pandangan Iman Kristen tentang Waktu
4. Bahan Bacaan Alkitab : Pengkhotbah 3:1; 12:1-8
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
f. Waktu sebagai kairos atau anugerah yang memaknakan hidup menjadi momen-momen kehidupan yang
berarti, tidak perna akan pernah mundur tetapi terus maju. Karena itu, waktu tidak mengenal kata sabar,
tunggu, malas atau masa bodoh. Waktu menggambarkan sebuah konsistensi, karena itu yang sudah akan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
akan terus berlalu dengan segala kesan dan maknanya, serta terus bergerak mencetakkan kesan dan
pemaknaan seiring dengan proses kehidupan yang terus bergerak maju dan tidak pernah akan kembali.
g. Untuk lebih mendalami pemahaman serta sikap iman kristiani atas waktu itu sendiri, Anda diminta untuk
merefleksikannya dalam proses-proses waktu yang Anda telah alami. Apakah ada yang bermakna bagi
kehidupan kristiani Anda ataukah ada yang kosong dan tanpa makna apa pun? Caranya, dengan
mendiskusikan dan mengisi ruang-ruang pemaknaan pada table di bawah.
Tabel No.1
Ruang Pemaknaan hidup (Waktu hidup).
Masa
2. Waktu sebagai pemaknaan
Masa Remaja Dewasa
Ruang
Masa kanak-
(mungkin se (sesudah
Kesimpulan proses kehidupan yang terus mengalir,
kanak Anda: memiliki beberapa fungsi:
(Space) waktu SMP- SMA-
(TK-SD) a. Mengingatkan. Waktu berfungsi
SMA) Perguruan
Tinggi) sebagai “tanda peringatan” bagi
Waktu 1. Belajar me- 1. Belajar me- 1. Memba- 1. Memper- manusia untuk selalu terjaga (siap siaga)
(time) ngenal ngenal pri- ngun pe- oleh per- dalam mengerjakan serta mencetakkan
orang tua badi sesa- ngalaman tumbuhan kesan dan makna atas kehidupannya
kerabat ma dan berorgani- hidup yg yang terus bergerak maju. Waktu
keluarga, memba- sasi, Angka baik, me- mengingatkan manusia untuk (menatati
dan teman ngun per- tan Muda ngesankan dan memuliakan) Tuhan dalam
sekolah; gaulan se- Gereja, Ka dan me- hidupnya dengan tindakan-tindakan
cara men- rang Taru- nyenang- yang bermakna, ibadah, kesaksian,
dalam; na, dll; kan; pelayanan, dan persekutuan sejati
2. Menda- 2. memiliki 2. Belajar 2.Mendapat dengan Tuhan dan sesama. Sekaligus
patkan teman menjadi kan pe- waktu sebagai tanda peringatan bagi
ceritera- yang pemim-pin ningkatan manusia untuk mengabdi dan berkarya
ceritera paling pengeta- secara tepat dan produktif (efektif dan
keagaman akrab; huan dan efisien) bagi tugas kemanusiaan secara
yg paling ketrampi- luas dalam menghadirkan syalom damai
indah dari lan dalam sejahtera Allah di bumi;
pengasuh, memba- b. Mendorong. Waktu sebagai
kakek- ngun “lonceng kesadaran” yang
nenek, dan hidup; menggetarkan suara hati kesadaran
guru serta menumbuhkan motivasi
agama; (dorongan), kegairahan hidup, dan
tanggungjawab sejati dalam diri
3. ………….. 3. ………… 3. ………… 3. ………… manusia. “Lonceng kesadaran” selalu
…..……… ………… ………… ………… menggetar memenuhi ruang kesadaran
………… ………… ………… ………… dan keinsafan manusia, baik secara
pribadi maupun bersama untuk
4. ………… 4. ………… 4. ………… 4. ………… membangun diri, dengan berpacu diri,
………… ………… ………… ………… mengasah ketajaman bathin dan budi
………… ………… ………… ………… untuk membangun prestasi seiring
dengan pergeseran waktu yang terus
memberikan makna yang tiada 69 berhenti bagaikan air yang terus mengalir. Baginya, pemaknaan hidup
adalah tugas hakiki yang tidak dapat ditahan atau disumbat oleh sikap masa bodoh dan kemalasan.
c. Mengatur roda perputaran hidup. Waktu yang terus bergerak dan berputar maju tanpa pernah bergerak
mundur, berfungsi mengantarkan manusia bergulat dengan realitas dinamika hidup yang terus berputar;
siang - malam, atas – bawah, kiri-kanan, susah-senang. Manusia, dengan itu, diajar untuk teguh dan kokoh
menjalani perputaran hidup dengan yakin (optimis), kesigapan, dan kearifan yang tinggi untuk
menghadapi badai realitas agar tidak tergilas menjadi korban kesia-siaan bagi tantangan kehidupan itu
sendiri.
d. Sebagai soko guru yang mendisiplinkan hidup. Waktu sebagai ruang pemaknaan hidup, berfungsi
sebagai soko guru yang membimbing manusia dalam sebuah kurikulum kehidupan (pedoman
pembelajaran). Waktu yang tetap begerak bagaikan nadi kehidupan, mendorong sebuah proses
pembelajaran untuk membangun dan memaknakan kehidupan secara bertahap atau berjenjang
menuju kesempurnaan abadi. Maksudnya, waktu berfungsi sebagai sebuah strategi kehidupan untuk
melatih, mendidik, membimbing,mengarahkan, dan mendorong pada momen-momen kehidupan yang
tepat sehingga memungkinkan adanya pembaharuan diri dengan cara, tindakan, atau perilaku
kehidupan yang bermakna, guna mendorong pertumbuhan hidup secara terarah dan bermakna;
e. Membangun atmosfir kehidupan. Waktu berfungsi membangun atau menciptakan sebuah atmosfir
(suasana dan kinerja) kehidupan yang memadai. Waktu mengantar manusia terus bergerak maju
mencapai dan terus melewati stasiun-stasiun realitas dengan mempertajam ketahanan moral, kepekaan
bathin, ketajaman nalar, mata bathin dan kearifan hidup dalam sebuah regulasi (keteraturan) yang stabil
dan mantap. Siapa yang tidak menghargai waktu akan ketinggalan kereta dan tersesat dalam
kemelaratan hidup.
a. efektif dan efisiensi waktu. Efektif, artinya; waktu harus digunakan secara tepatguna. Waktu untuk belajar
hendaklah digunakan untuk belajar, bukan untuk bermain. Waktu untuk bekerja, hendaklah digunakan
untuk bekerja, bukan untuk mersenang-senang. Demikian pula halnya, waktu untuk beribadah harus
digunakan untuk beribadah, bukan untuk bejudi. Semuanya harus diatur dan diisi sesuai dengan jatah
waktunya masing-masing. Di sisi lain, penggunaan waktu secara efisien mengandung arti bahwa waktu
harus digunakan sedemikian rupa untuk menghasilkan hal-hal yang berguna atau bermanfaat, bukan
mempermainkan atau memboroskan waktu yang telah ditentukan untuk hal-hal yang tidak relevan
dengan peruntukannya sehingga tidak membawa hasil maksimal dan tidak membawa kegunaan yang
banyak.
b. inefisiensi waktu. Berbeda dengan penggunaan waktu asecara efekti dan efisien, banyak dijumpai
adanya cara penggunan waktu yang tidak berdaya guna dan berhasil guna (inefisien). Inefisiensi waktu,
selalu muncul dalam dua ciri; yaitu; inefiesiensi aktif dan inefisiensi pasif.
c. Pertama; Inefisiensi aktif adalah cara memboroskan dan menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang memperlemah dan melumpuhkan ketahanan diri, seperti begadang bemalam-malam
suntuk sampai mengurangi darah dan menahan angin dan dingin malam. Hal tersebut berdampak
jangka panjang terhadap kesehatan tubuh. Bentuk Inefisiensi aktif lain yang juga sering ditemui adalah
menggunakan waktu secara aktif, sebagai kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan,
seperti: pencurian, perselingkuhan, penjarahan, korupsi, dan manipulasi untuk mengejar kenikmatan yang
sia-sia (dosa).
d. Kedua; inefisiensi pasif, adalah bentuk kelalaian dan kemalasan memanfaatkan waktu, yang dalam
kehidupan beriman dicelaah sebagai sikap menyia-nyiakan waktu sebagai anugerah. Misalnya, waktu
hanya digunakan untuk memelihara kemalasan, kebodohan, dan kemiskinan. Ada pula banyak waktu
kerja digunakan untuk istirahat atau bersenang senang sehingga, meskipun berhari dan berbulan bekerja
namun tidak ada kemajuan dalam pekerjaan dan juga tidak membawa kegunaan yang besar bagi
kehidupan. Cara pemborosan atau penyimpangan waktu (inefisiensi aktif) atau kelalaian dan penyia-
nyiaan waktu (inefisiensi pasif) yang demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan dan
“korupsi waktu”.
e. Jelaslah, penggunaan waktu secara efektif dan efisien mengandung arti menggunakan waktu secara
tepatguna dan berhasil guna, sehingga bisa membuat hidupnya menjadi hidup yang saart kasan dan
sarat makna kehidupan. Hidup demikian, di samping membahagiakan diri, keluarga, dan lingkungannya,
juga menjadi menjadi mutiara kesaksian yang selalu dihargai dan dikenang dalam sejarah budaya dan
masyarakat.
f. Dewasa ini, orang bisa dibayar atau digaji dengan upah yang besar karena mampu menggunakan waktu
secara efektif dan efisien. Orang yang tidak menggunakan waktu secara efektif dan efisien, meskipun
memiliki kepintaran (berijasa pendidikan tinggi), namun tidak akan pernah dihargai dalam persaingan
dunia (pasar) kerja. Orang lupa bahwa waktu sebagai anugerah Allah memiliki nilai-nilai keluhuran dan
kesucian, sehingga sikap inefisiensi aktif atau inefisiensi pasif dalam penggunaan waktu adalah perbuatan
dosa terhadap waktu itu sendiri. Alkitab secara jelas menunjukkan bahwa orang menggunakan waktu
untuk menabur (bekerja) dengan keringat akan menuai dengan sukacita, sebaliknya orang yang
menabur dengan malas dan bersungut-sungut akan pulang dengan air mata (bd. Mat. 13:1-23 & Mat. 25:
14-30).
g. Tahu mengkuduskan dan menyucikan waktu. Bila waktu, yang dipahami secara filosofis-teologis sebagai
pemaknaan ruang hidup atau proses kehidupan maka penggunaan waktu itu sendiri harus dikhususkan
(dikuduskan) atau disucikan (dibersihkan) dari berbagai kecenderungan hidup yang jahat. Pengudusan
dan penyucian waktu benar-benar memberikan kesan dan pemaknaan-pemaknaan yang memadai
serta abadi bagi kehidupan70itu sendiri. Waktu, pada dirinya, memiliki keluhuran dan kebebasan atau
kedaulatan diri, karenanya ia (sang waktu) itu akan tampil sebagai hakim, entah itu siang atau malam,
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, untuk meminta pertanggungjawaban dan menarik waktu itu
kembali dari manusia. Manusia bukan pemilik atau penguasa waktu, tetapi sesungguhnya bergantung
sepenuhnya pada waktu itu sendiri. Manusia akan lahir, tumbuh dewasa, dan mati, tetapi waktu dengan
segala ruang pemaknaannya akan tetap hidup sebagai saksi putih atau hitam, terang atau kelabu.
Manusia dengan segala kepintaran atau kekuasaannya, tidak akan pernah mampu dan diberi hak oleh
sang waktu untuk menyulap atau memanipulasi data-data kehidupannya yang dimaknakan oleh waktu
itu sendiri dengan segala warna-warni tinta atau coretannya.
h. Menguduskan dan menyucikan waktu mengandung makna bahwa orang harus taat dan setia dalam
menggunakan waktu secara bermakna, sehingga mengesankan sebuah nilai kesaksian hidup bagi Tuhan.
Menguduskan dan menyucikan waktu, menjadi titik dasar atau fondasi kokoh bagi bangunan hidup yang
dijalani, sehingga orang tidak akan takut dan gentar menjalani hidup hari esoknya, karena hari esok
menjajikan berkat bagi orang yang tahu menghargai aserta menyucikan waktu kehidupan itu sendiri.
i. Sebaliknya, menodai dan menyia-nyiakan waktu, akan tersesat dalam kepalsuan, kecemasan, ketakutan
dan kekuatiran mekar, sehingga ia kehilangan dasar (fondasi) kehidupan yang kokoh dalam menjalani
hari esok yang terbuka. Misalnya, orang yang tahu menguduskan dan menyucikan waktu masa
mudahnya, akan menemukan sebuah dasar yang kokoh bagi kehidupan masa depannya yang terbuka.
Di sisi lain, orang yang memboroskan atau menyia-nyiakan kesucian waktu masa muda akan
menjebakkan atau menyesatkan diri dalam jurang hidup yang padam cahaya. Ia, karena itu, telah
menyeret jalan hidup masa depannya dalam “hantu-hantu” kepalsuan, kemunafikan, kekuatiran,
kecemasan, dan ketakutan mekar yang terus menggerogoti diri dan hidupnya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
j. Cerdas dan bijaksana mengatur waktu. Kisah gadis yang bijaksana dan gadis yang bodoh dalam alkitab
(Mat. 25:1-13), menyaksikan bagaimana para pemuda (gadis muda) yang bijaksana mengatur atau
mengelola waktu hidupnya sehingga mampu bertindak secara tepat mengisi dan memkanakan hidup.
Di sisi lain, dikisahkan pula gadis-gadis bodoh yang begitu tidak berdaya mengatur dan mengelola waktu
hidupnya sehingga, bukan saja terlambat dan gagal meraih sukses dalam kehidupan, bahkan gagal
mendapat penobatan sebagai gadis pelihan yang pantas. Mereka, lebih daripada itu, terbuang dalam
sebuah realitas yang perjuangan yang penuh kesia-siaan. Para gadis yang cerdas dan bijak sana
mengatur waktu, begitu telaten (setia dan taat) menguduskan atau menyucikan waktu masa mudanya
dengan kesan dan makna kehidupan yang mempengaruhi atau menentukan masa depan yang kelak
dijalaninya. Kelompok gadis bijaksana (menggambarkan hidup pemudi atau pemuda) yang bijaksana.
Mereka bukan saja taat, tekun, dan setia dalam mengatur, mengelola, serta membimbing hidupnya
sedemikian rupa pada masa mudanya sehingga benar-benar diakui kecerdasannya. Justru, lebih
daripada itu, mereka berusaha mengisi, menjaga, dan merawat kesucian masa mudanya sehingga tetap
bercahaya, tidak kabur, pucat, dan padam menyambut masa depannya. Alkitab menegaskan bahwa
mereka itulah, cerdas karena telah menguduskan dan menyucikan waktu mudanya sebagai dasar
(fondasi yang kokoh) bagi bangunan hidup masa depannya. Artinya; mereka telah memaknakan hidup
masa mudanya dengan nilai-nilai kesucian dan kekudusan yang meletakkan dasar keluhuran yang kokoh
untuk menjalani masa depannya yang penuh tantangan sekalipun. Mereka, kerana itu, pantas
menyambut masa depannya dengan cahaya sukacita. Sebaliknya, gadis-gadis yang bodoh
menggambarkan hidup masa muda yang hanya aktif memboroskan waktu kemudaan untuk
mengosongkan minyak kesegaran, kecantikan, dan keindahan tubuh demi kesenangan dan kenikmatan.
Akibatnya, cahaya tubuh dan jiwanya menjadi padam dan muram durja dalam kepalsuan dan
kebohongan, sehingga hidup masa depannya hanya menjadi masa kegelapan dan penyesalan yang
ditemani “hantu-hantu” kepalsuan, kemunafikan, kekuatiran, kecemasan, dan ketakutan mekar yang
terus menggerogoti diri dan hidupnya.
4. Mengevaluasi berbagai cara penggunaan waktu yang terjadi dalam kehidupan orang percaya
Meskipun Alkitab secara tegas telah menyaksikan dan terus mengajarkan orang percaya tentang hal
penggunaan waktu sebagai anugerah Tuhan, yang harus digunakan secara baik, masih saja dujumpai
berbagai perilaku hidup orang percaya, baik yang positif maupun negatif. Orang percaya, kecil-besar, tua-
muda, kerena itu perlu dibimbing untuk bisa menilai atau mengevaluasi cara penggunaan waktu-waktu
hidupnya. Apakan waktu hidupnya telah digunakan secara positif atau negatif. Bagian ini bermaksud
bagaimana membina diri kepribadian keristen itu sedemikian rupa sehingga berani mengevaluasi
penggunaan waktu-waktu kehidupannya, guna dapat melakukan peningkatan bagi yang telah
menggunakan waktunya secara positif, dan berani melakukan koreksi perbaikan atau penyempurnaan bila
lalai, salah, atau keliru dalam memaknakan waktu hidupnya. Diagaram di bawah, sengaja dirancang untuk
membantu Anda, menayangkan berbagai bentuk penggunaan waktu yang Anda alami atau amati dalam
lingkungan kehristenan Anda. Seterusnya Anda diminta melakukan penilaian kritis untuk menentukan apakah
cara demikian baik atau tidak baik (berikan tanda cek pada kolom pilihan anda), dan kemudian Anda
diminta untuk memberi komentar atau saran rekomandasi bagi diri dan lingkungan kristiani Anda itu sendiri,
dalam hal melakukan peningkatan atau perbaikan waktu (kualitas) hidup.
71
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Tabel No.2
Bentuk Penggunaan waktu.
Penilaian Komentar dan Saran Anda
Bentuk Penggunaan waktu Tidak
Baik
baik
1. Melakukan ibadah √ Beribadahlah secara be-
dengan taat dan nar, taat, dan teratur wak
dengan segenap hati; tu, karena mengandung
berkat bagi kehidupan;
2. Membantu sesama
yang mengalami
kesusahan pada saat
dibutuhkan;
3. Belajar dengan tekun
sepanjang hari;
4. Bersenang-senang
sepanjang hari;
5. Beristirahat sepanjang
hari;
6. Bekerja dengan tekun
sepanjang hari;
7. Melayani sepenjang
hari;
8. Cemas/mengeluh
sepanjang hari.
V. EVALUASI:
1. Jelaskan tiga alasan pokok; mengapa iman kristiani memahami waktu sebagai pemaknaan hidup?
2. Jelaskan minimal 3 (tiga) fungsi waktu dalam membangun ciri hidup kristiani;
3. Tunjukkan 2 (dua) perbedaan bentuk pengguna an waktu yang baik dan yang tidak baik.
4. Kemukakan evaluasi kritis anda terhadap berbagai cara penggunaan waktu yang terjadi dalam kehidupa
orang percaya.
VI. KEPUSTAKAAN
1. Soedarmo. R., 2000; Iktisar Dogmatika, BPK-GM. Jakarta, hal: 162- 168.
2. Banawiratma, J.B. 1988; Aspek-Aspek Teologi Sosial; Kanisius-BPK, hal: 25-35; 117-180.
I. BAHAN PELAJARAN
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
3. Sub Pokok Bahasan : 3.2. Pandangan Iman Kristen tentang Hidup
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yoh.7:37-39; 10:1-10
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
b. Manusia adalah tipe insan yang berkepentingan dengan hidup, bukan saja karena faktanya, ia ada dan
terbelenggu dalam “kapsul kehidupan” itu sendiri, serta bergantung penuh atasnya. Justru, lebih daripada
itu, manusia ingin mengakseskan supremasinya sebagai satu-satunya makhluk yang mendapat mandat,
selaku mandataris Tuhan Sang pemilik hidup itu sendiri untuk membudayakan hidup itu sendiri dan
menyiasati serta memaknakannya sedemikian rupa menjadi bermakna, agar hidup itu sendiri lebih
beradab, bermartabat, dan menjanjikan bagi kelansungan hidupnya dan generasi manusia itu sendiri.
c. Manusia adalah tipe makhluk yang tidak hanya menikmati hidup sebagai beban (kuk) dan menjalinya
seperti makhluk lainnya. Justru, manusia secara optimis, dengan penuh keyakikan dan keteguhan bathin,
selalu menjalani hidup dalam berbagai bentuk penyiasatan, strategi, dan kebijaksanaan, serta medan
pembelajaran (life discourse), dengan itu, ia mampu menyiasati dan mengembangkan hidup sebagai
berkat (bukan beban).
d. Hidup tidak statis tapi dinamis dan progresif (bergerak maju). Maka yang dipentingkan dari manusia
dalam memaknakan hidupnya secara efektif dan efisien, adalah; kreatifitas, tanggungjawab,
kedisiplinan, pengembangan diri, dan ketaatan serta kesetiaan dalam menjalani hidup itu sendiri. Allah
karena itu bukan hanya menciptakan manusia, tetapi lebih daripada itu mempercayakan kepada
manusia itu berbagai potensi dalam membangun kehidupan itu sendiri, yaitu potensi pemikiran
(intelektual), fisik, kejiwaan, dan karsa (inisyaitf).
3. Perbedaan ciri hidup yang pro life dan contrary life dalam praktik hidup orang Kristen.
Di dalam kehidupan kekristenan itu sendiri, banyak ditemui adanya ciri atau sikap hidup yang begitu
memihak atau pro terhadap kehidupan (pro life) dan anti hidup (contrary life).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
a. Sikap Pro life. Inti dari sikap hidup kekristenan itu sendiri adalah pembawa syalom damai sejahtera bagi
kehidupan secara luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang percaya, kecil-besar, tua-muda,
terpanggil dan terutus dalam berbagai lingkungan dan pengalaman hidupnya yang nyata untuk
mengerjakan tanda-tanda syalom damai sejehtara itu sendiri. Melalui itu, ia mampu menghadirkan
kesaksian hidup kristiani secara sempurna bagi dunia. Intinya, setiap orang percaya harus merasa
terpanggil untuk menghadirkan damai di tengah kebencian dan permusuhan, menghadirkan suka cita di
tengah kecemasan, menghadirkan kebenaran di tengah kepalsuan dan kebohongan, menghadirkan
keadilan di tengah acaman egoisme, ketamakan, dan keangkuhan. Proses hidup yang demikian, tidak
mudah karena harus disertai dengan sikap kerendahan hati, ketulusan, dan keiklasan. Sikap Pro life bukan
saja menunjuk pada sikap tolerasi dalam membangun kerukunan dan kebersamaan hidup yang stabil,
mantap, dan langgeng, tetapi lebih daripada itu, membangun dan mengembangkan kerjasama secara
lintas personal (pribadi), komunal (masyarakat) maupun institusional (kelembagaan). Pengembangan
mana bersifat saling menguntungkan dalam memperkuat kamandirian dan otonomi (kebebasan) hidup
masing-masing secara kriitis dan konstruktif (membangun), sehingga akan terbangun sebuah struktur
kehidupan yang saling mengasah, saling mengasuh, dan saling mengasih.
Guna memperdalam pemahaman dan sikap Anda terhadap sikap Pro life atas hidup itu sendiri, Anda
diminta mendiskusikan dan mengisi diagram di bawah:
Tabel No. 3
Sikap Pro life
Pola Sikap
No Ekspresi tindakan Sikap Anda
(Pro life)
1 Keterbukaan a. Mengakui perbeda a. Perbedaan adalah
. terhadap per- an-perbedaan da- fakta anugerah
bedaan (ke- lam hidup sebagai Tuhan yang tidak
majemukan) anugera Tuhan; dapat ditolak, teta-
b. Tidak menaru pra- pi harus dikelola un-
sangka buruk atau tuk membangun ke
curiga buruk terha- baikan bersama;
dap sesama yang b. Perbedaan mem-
berbeda latar bela- buat saya menge-
kang; agama, baha- nal diri, lebih sportif,
sa, tradisi, dan status dan dewasa dalam
social, ekonomi; bergaul hidup da-
c. Mengakui setiap per- lam lingkungan;
bedaan sebagai ke-
kayaan bersama un-
tuk membangun ke-
hidupan demi kebai-
kan bersama di bumi;
b. Sikap Anti hidup (contrary life). Sikap anti hidup (contrary life), merupakan kebalikan atau pertentangan
dari sikap pro hidup (pro life). Kenyataan semacam itu masih saja dijumpai di dalam kehidupan
keagamaan Kristen sendiri, di mana adanya sikap saling benci, curiga, dan dendam diantara kerbagai
kelompok denominasi, antara jemaat, dan antara organisasi dalam gereja. Bahkan, sikap demikian
secara luas ditunjukkan pula dalam menghadapi sesama agama atau kepercayaan lain.
c. Adanya kecenderungan mementingkan diri dan melebih-lebihkan atau menyombongkan kesalehan diri
(kesombongan rohani). Hidup, keselamatan, atau kebenaran ilahi seolah-olah hanya dimiliki oleh dirinya,
keluarganya, gerejanya, denominasinya, kelompok keagamaannya, atau sukunya sendiri. Sikap
demikian, seolah-olah tidak rela (terbeban) melihat kehidupan sesama gereja, deniminasi, atau kelompok
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
keagamaan yang lain dalam ketenangan atau kemajuan. Bahkan, adanya kecenderungan dan rasa
kecurigaan yang tinggi dalam berkomunikasi atau berhubungan dengan sesama yang lain. Sikap anti
kehidupan, seolah–olah dilandasi pada sikap; egoisme, kebencian dan permusuhan terhadap sesama
yang lain (out sider).
Guna memperdalam pemahaman serta sikap anda terhadap sikap anti hidup (contrary life), Anda diminta
mendiskusikan dan mengisi diagram di bawah:
Tabel No. 4.
Sikap Contrary life
Pola Sikap
No Ekspresi tindakan Sikap Anda
(contrary life)
1. Egoisme a. Menganggap diri a. Egoisme adalah
lebih benar dan hantu ancaman
lebih baik dari bagi diri dan
sesama yang lain; sesama;
b. Suka mencela dan b. Egoisme adalah
menghina sesama musuh diri dan mu
yang lain; suh sesama dalam
c. Mau menang sen- masyarakat;
diri dan tidak ingin c. Egoisme tidak per
melihat kebaikan nah akan mengha
serta kelebihan se- dirkan ketenang-
sama yang lain; an dan kedamian
d. Ingin menjatuhkan serta kesukacitaan
sesama yang lain, dalam diri dan hi-
karena melihat se dup secara luas.
sama sebagai an-
caman bagi diri
sendiri.
2. Kecurigaan a. ……………………… a. ……………………
b. ……………………… b. ……………………
c. ……………………… c. ……………………
3. Permusuhan a. ……………………… a. ……………………
b. ……………………… b. ……………………
c. ……………………… c. ……………………
V. EVALUASI
1. Jelaskan arti hidup dari sisi iman Kristen;
2. Tunjukkan beberapa nilai hidup etika kristen dalam membangun hidup;
3. Jelaskan arti sikap pro life dan contrary life;
4. Tunjukkan perbedaan sikap prolife dan contrary life dalam praktek hidup orang kristenan.
1. BAHAN PELAJARAN
2. Materi Sajian : KONTEKS
3. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
4. Sub Pokok Bahasan : 3.3. Pandangan Iman Kristen tentang Karya dan Pengembangan IPTEKS
5. Bahan Bacaan Alkitab : Amsal 18:9; 22:7; 26:13-16
6. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
7. Semester : 1 (Ganjil)
c. Jujur. Jujur menggambarkan ciri moralitas dalam menjunjung, mempertahankan, dan memperjuangkan
nilai-nilai kebenaran yang perlu diberlakukan dalam dunia kerja yang dilakukan. Sikap jujur
menggambarkan keteguhan bathin seseorang dalam berkarya sehingga tidak berbohong, berdusta,
berkhianat, korupsi, manipulasi, nepotis, atau pilih bulu dalam melaksanakan tugas. Sikap jujur dalam
berkarya menggambarkan pula sikap yang menyindir pada godaan dan kecenderungan yang ingin
melacurkan kerja, jabatan, serta kekuasaan untuk kenikmatan dan penghasilan yang sementara.
d. Tanggung jawab. Menggambarkan sebuah prinsip hidup yang rela menanggung atau memikul serta
memberi respons terbaik dengan penuh keiklasan diri, baik itu secara langsung atau tidak langsung,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
diminta atau tidak diminta, di saat sulit atau senang, menguntungkan diri atau tidak. Tanggungjawab,
karena itu, menunjuk pada ciri kematangan dan martabat diri seorang yang teguh berdiri dalam
mengambil keputusan serta mengawal tindakan-tindakan yang tepat dalam merealisasikan keputusan
guna membangun dunia kerjanya. Tanggung jawab juga menunjukkan adanya keteguhan diri untuk
tetap berdiri tegak di belakang (tidak mencuci tangan atau melarikan diri) atas setiap tindakan atau
akibat-akibat (positif atau negatif) yang harus di pikul (ditanggung) dari berbagai kebijakan atau
keputusan yang diambil, sesuai kewenangan tugas dan jabatannya.
e. Penguasaan diri. Sikap penguasan diri adalah sebuah gambaran kepribadian yang tidak labil (goyang),
tidak termakan issue atau godaan untuk melakukan hal-hal yang tercela yang mencemarkan atau
merusakkan dunia kerja serta jabatan atau mengorbankan sesama serta lingkungannya. Sikap
penguasaan diri bertumpuh kemantapan mental sebagai kemampuan kejiwaan yang membimbing,
mengarahkan, menggembalakan, dan menasihati diri atau mendisiplinkan sendiri sehingga tidak
menyelewengkan tugas, jabatan, atau kewenangan yang dimiliki. Penguasaan diri menunjukkan pula
kemampuan atau kecerdasan diri dalam mengola perasaan, keinginan, serta pikiran sedemikian rupa
sehingga tetap berpikir dan bertindak secara jernih dalam bekerja.
f. Hemat dalam memanfaaatkan hasil kerja. Sikap hemat menunjuk pula pada sebuah kecerdasan hidup
dalam mengelola pendapatan dengan alokasi (jatah)nya sesuai kebutuhan (bukan keinginan). Hemat
mengatur atau mengendalikan (mendisiplinkan) kebutuhan hidup secara baik sehingga dapat terpenuhi
dan tidak menghabiskan atau memboroskan serta menghambur-hamburkan pendapatan (upah) untuk
keinginan-keinginan yang tidak berguna. Sikap hemat yang demikian, bukan sekedar strategi penyiksaan
diri, tetapi menahan diri dari berbagai keinginan, supaya ada yang perlu disisakan sebagai modal untuk
membangun kehidupan.
Guna menggali dan memperdalam pemahaman serta penilaian dan sikap Anda terhadap sikap-sikap
etis yang baik dalam membangun karya hidup yang dijalani; Anda diminta untuk mendiskusikan
(kemudian berikan tanda cek pada kolom penilaian). Selanjutnya, Anda diminta untuk merumuskan
pemahaman serta komentar dan saran tindak Anda pada kolom tebel berikutnya.
Tabel No.5
SIKAP ETIS DALAM MEMBANGUN KARYA
Penilaian
Bentuk sikap Tidak Komentar dan Saran Anda
Baik
baik
1. Tekun √ Orang yang tekun bekerja akan
memperoleh kemajuan dalam
membangun keahlian (profesio-
nalitas) serta penghasilan yang
baik;
2. Jujur
3. Setia
4. Rasional
5. Kerja keras
6. Penguasa-
an diri
7. Boros
8. Hemat 77
9. Memasung
3. Arti IPTEKS.
a. Kata IPTEKS merupakan perpanjangan dari kata Ilmu, Pengetahuan, Teknologi dan Seni. IPTEKS merupakan
hasil usaha atau karya manusia, di bawah bimbingan Tuhan yang sangat tinggi nilainya dalam
membangun kehidupan itu sendiri. IPTEKS memudahkan manusia untuk menyingkap berbagai rahasi atau
misteri alam kehidupannya serta menata dan mengelolanya secara tepatguna dan berhasilguna untuk
kesejahteraan hidup serta keberlangsungan alam kehidupan alam itu sendiri. Melalui IPTEKS maka
manusia bukan saja mendapat kemudahan untuk menangani dan mengelola alamnya, seperti kayu
dikelola menjadi kursi, daun dikelola menjadi bahan obat, dan penemuan spektakuler lain, tetapi lebih
daripada itu, makin memahami alamnya dalam sebuah hubungan kesalingtergantungan antara manusia
dengan alam. Sehingga manusia tidak serakah dalam mengeksploitasi atau menguras dan memeras
alamnya, tetapi makin bertanggungjawab dalam menjaga serta memelihara kelansungan kehidupan
alam itu sendiri dalam sebuah silkus kehidupan yang tetap stabil dan mantap.
b. Dewasa ini IPTEKS bukan lagi merupakan sebuah pilihan, tetapi kebutuhan. Dunia kini makin ditandai oleh
adanya persaingan ilmu, teknologi, budaya, politik, ekonomi, dan seni yang cukup tinggi. Bahkan, bangsa
yang satu bisa menjajah bangsa yang lain karena keunggulannya dalam penguasaan IPTEKS itu sendiri.
Perang, kedamaian, dan martabat hidup suatu bangsa, masyarakat, atau manusia kini makin ditentukan
oleh tingkat penguasaan IPTEKS. Kini, kemajuan IPTEKS telah menciptakan pula citraan dunia masyarakat
baru yang disebut masyarakat maya, masyarakat virtual dan sebagainya. Masyaraakat maya atau
masyarakat virtual adalah masyarakat yang melampaui kamar-kamar pribadi dan ruang personal sebuah
keluarga, kerabat, atau tradisi budaya. Penemuan-penemuan IPTEKS, melalui teknologi, media
informatika, dan sebagainya telah mengatur selera pribadi, gaya berbusana, keintiman hidup, serta
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
mengganggu stabilitas dan kemapanan tradisi serta keyakinan pribadi, rumah tangga, dan masyarakat.
Akibatnya, siapa yang tidak menguasai IPTEKS akan menjadi korban bulan-bulanan dari keangkuhan
IPTEKS itu sendiri. IPTEKS dengan begitu mudah menaklukkan diri manusia atau masyarakat sebagai pasar
yang hanya menerima tawaran kenikmatan IPTEKS tanpa bersikap kritis sedikit pun atasnya. IPTEKS
ternyata telah banyak berhasil memperdaya masyarakat, menumbuhkan kegairahan hidup, kenikmatan,
dan komoditas tubuh. Konsekuensinya, banyak generasi mudah yang terpaksa menyaksikan kehormatan
dan kemuliaan diri dalam tawanan media dan selera kenikmatan “bunuh diri” (self destroying). Bahkan,
etika di dalam IPTEKS itu sendiri telah banyak terjebak dalam etika Hedonisme yang menyeret banyak
manusia dalam mengejar kenikmatan dan kesenangan lahiriah.
Tabel No. 6.
Dampak IPTEKS
Komentar dan
Aspek Danpak positif Danpak negatif
saran
1. Manusia 1. Manusia makin 1. Manusia ma- 1. Manusia harus
mudah me- kin menggan- mengembang
nguasai alam. tungkan diri kan IPTEKS de-
2. Manusia makin pada IPTEKS. ngan kritis su-
maju dan sejah 2. Manusia sema paya ia tetap
tera. kin mendewa- menjadi tuan,
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Penilaian kritis etika Kristen terhadap IPTEKS dengan segala dampaknya di atas, telah melahirkan kesadaran
luas tentang pentingnyaperanan Etika dalam pengembangan IPTEKS. Kesadaran mana telah mendorong
adanya koreksi kritis dan pembaharuan terhadap IPTEKS dengan menambah variable Etika dalam IPTEKS
menjadi IPTEKES (Ilmu Pengetahuan, Etika, dan Seni). Artinya, pengembangan IPTEKS harus berlandas
(bersumber, dikontrol, dikendalikan, dan disempurnakan) berdasarkan nilai-nilai etika, untuk kebaikan dan
keselamatan manusia dan lingkungannya.
Perubahan IPTEKS menjadi IPTEKES memiliki 3 (tiga) tujuan strategis, yaitu:
1. mengembalikan IPTEKS pada pangkuan nilai-nilai kemanusiaan dan alam lingkungannya, sehingga IPTEKS
tidak mengancam martabat manusia serta kelansungan hidup manusia dan alam itu sendiri. Melalui
pengembangan IPTEKS ke IPTEKES, manusia makin disadarkan untuk memantapkan posisi serta peranannya
selaku agen pengembangan ilmu pengetahuan dan seni, dan sekaligus sebagai tuan (pemilik dan
penguasa) bagi IPTEKS. Jadi, manusia sekaligus mendapat keuntungan dari IPTEKS itu sendiri dalam
membangun kehidupannya. Artinya, di satu sisi, dengan mengembangan ilmu pengetahuan dan seni
(IPTEKS) maka manusia makin memantapkan dirinya pada istana kemanusiaannya, sementara pada sisi
lainnya, manusia tidak sekali-kali menggadai atau menggusur diri dan nilai-nilai kehidupannya dari istana
kemanusiaannya dengan IPTEKS79itu sendiri, sehingga menjadi “budak” bagi IPTEKS itu sendiri.
2. menumbuhkan nilai – nilai tanggung jawab di dalam IPTEKS maupun dalam diri pengembang IPTEKS itu
sendiri. Ilmuwan, teknokrat, seniman atau budayawan adalah orang-orang yang bukan saja bertanggung
jawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni itu sendiri (IPTEKS), tetapi lebih
daripada itu, bertanggung jawab terhadap segala akibat atau dampak positif maupun negatif yang
dihasilkan oleh IPTEKS itu sendiri. Ilmuwan, teknokrat, dan seniman atau budayawan adalah orang-orang
yang bukan saja bertanggung jawab pada dunia keilmuan, teknologi, atau seninya, tetapi bertanggung
jawab kepada kemahakuasaan dan kemahadaulatan Tuhan penguasa abadi, agar IPTEKS itu sendiri tidak
menjadi beban (kuk) dan kutuk, tetapi menjadi berkat bagi kehidupan.
3. meletakkan IPTEKS sebagai alat (bukan tujuan) dalam rangka transformasi dan pengebangan tradisi,
budaya, serta alam kehidupan yang terasa membelit dan membelenggu kemanusian. Sekaligus dengannya
ada jaminan terhadap penguatan nilai-nilai kemanusiaan dalam sebuah konsistensi sejarah yang terus
merubah dan bergejolak. Tanggungjawab dalam IPTEKS, dalam hal ini, menandai 2 (dua) pola kekebasan
atau pembebasan yang penting bagi manusia, yaitu: kebebasan dari… dan kebebasan untuk… Pertama;
membebaskan manusia dari segala, kuasa: kebudohan, kemiskinan, kemelaratan, dan kejahatan dosa,
tradisi, adat, budaya, dan kebiasaan hidup yang melilit dan membelenggu, memeras, dan
memperbudakbta. Kedua; kekebasan untuk melakukan tindakan kebaikan dan pratasi luhur dalam
menghadirkan karya damai sejahtera.
IV. EVALUASI
1. Jelaskan arti dan hakikat karya;
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. BAHAN PELAJARAN
1. Materi Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 3. Waktu, Hidup dan Karya
3. Sub Pokok Bahasan : 3.4.Tanggung jawab kristiani dalam pengembangan olahraga dan seni
4. Bahan Bacaan Alkitab : I Kor.6:13b,20; 9:27; 3 Yoh.2; Maz.150
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : 1 (Ganjil)
b. Alkitab (I Kor.6:13b, 20, 9:27), di sisi lain, menyaksikan pula bahwa tubuh secara rohani adalah anggota
Kristus yang harus dipelihara dan dikembangkan dengan nilai-nilai seni dan sportifitas yang mulia, dalam
tatanan norma moral dan mental yang baik untuk menghadirkan damai sejehtara dan kesukacitaan bagi
kemuliaan Tuhan. Keindahan tubuh yang cantik, tampan, dan tegar mesti dipelihara dan dilatih dengan
kedisiplinan yang tinggi agar berkualitas, baik secara fisik maupun spiritual (jiwa) untuk memuliakan Tuhan.
c. Olaraga yang, semulanya bertumbuh dalam budaya masyarakat Romawi (Sparta) untuk mempersiapkan
prajurit-prajurit yang cakap dalam membela Negara, terus berkembang dalam kehidupan dunia dan
keagamaan secara luas. Sejarah gereja menyaksikan bahwa tradisi olah raga Romawi tersebut dibawa
masuk juga dalam gereja pada saat bapa-bapa ferormasi, seperti Ignatius de Loyolla. Tujuannya,
mempersiapkan prajurit-prajurit gereja yang militan (pemberani) dan cakap dalam membela gereja
(Militia Christy). Ternyata, upaya tersebut telah banyak membawa masalah dalam sejarah gereja, karena
selain faktor egoisme dan keangkuhan yang menghasilkan kejahatan atas nama gereja, juga telah
memperburuk citra luhur gereja yang ingin mengatasi kejahatan itu sendiri. Kini banyak lembaga agama
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
harus kritis dan berani membersihkan diri serta elemen-elemannya (misalnya sekolah-sekolah agama) dari
berbagai ogoisme dan upaya mempersenjatai para muridnya dengan ketrampilan olah raga fisik
maupun “tenaga dalam” apa pun) untuk memusuhi sesama yang lain. Kenyataan seperti itu, di satu sisi,
bertentangan dengan hakikat olah raga itu sendiri, sementara di sisi lain bertentangan pula dengan
hakikat agama itu sendiri. Olah raga berfunggsi melatih dan menanamkan jiwa mental, dan pemikiran
yang sportif, ceriah, dan bebas dari hawa nafsu kejahatan. Melalui olah raga, orang dibina (ditempah)
dalam suasana hidup kedisiplinan yang tinggi sehingga tidak mencemarkan diri, pikiran, jiwa, dan mental
terhadap tindakan-tindakan yang jahat.
d. Olahraga, dalam hal ini, merupakan jalur pelatihan, pembelajaran, dan pengolahan jiwa-raga secara
efektif guna menghasilkan kualitas tubuh dan jiwa (tubuh dan jiwa yang sehat), yang memungkinkan
manusia memperoleh kebebasan, kedamaian, dan suka cita. Dengan demikian, cacat tubuh bukanlah
penghalang untuk membangun sebuah kualitas tubuh dan jiwa. Justru, cacat tubuh harus menjadi
kekuatan untuk menumbuh-kembangkan berbagai potensi raga dan jiwa yang dimiliki, melalui kegiatan
olah raga yang baik dan efektif. Desawa ini, olah raga telah mengantarkan manusia yang miskin, cacat,
dan terkebelakang untuk menjadi manusia yang terdepan, mendunia, dan hidup berkesejahteraan.
e. Olahraga membimbing orang untuk melihat tubuh dan jiwa sebagai totalitas kekuatan yang harus diolah,
dalam arti; dibina dan dilatih dengan prosedur (cara) dan tindakan – tindakan (aksi strategis) yang penuh
kedisiplinan (kesetiaan, ketaatan, dan tanggung jawab) agar orang terhindar dari bahaya penganiayaan
dan pemanjaan tubuh dengan permainan selera yang murahan atau tindakan-tindakan murahan yang
memperbudak diri untuk kenikmatan kejahatan dan dosa.
f. Hidup keKristenan, karena itu terpanggil dan terdorong untuk mengembangkan olahraga secara
tertanggungjawab. Caranya dengan memberikan pemahaman dan pendasaran iman kristiani yang baik
bagi setiap orang percaya maupun para penggiat olahraga untuk terus mendorong dan
mengembangkan (memasyarakatkan) olahraga secara baik.
Tabel No. 7
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
3. Setia
4. Kritis
5. Kerja Keras
6. Penguasa-
an Diri
7. Boros
8. Malas
9. Sombong
10. Bernasa
Bodoh
11. Ingin ber
prestasi
12. Ingin
memuji diri
V. EVALUASI
1. jelaskanlah 2 (dua) makna hakiki olah raga dari sisi iman Kristen;
2. menjelaskan hakikat seni dari sisi iman Kristen;
3. jelaskan arti sikap etis dalam membangun olah raga dan seni;
4. berikanlah penilaian Anda terhadap sikap yang baik (etis) dan tidak baik dalam rangka pengembangan
olah raga dan seni.
82
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)
3. Sub Pokok Bahasan : 4.1. Pelembagaan dan Kemandirian (Pra-1935, 1935-1950).
4. Bahan Bacaan Alkitab : 1 Korintus 3:6-8.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.2)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Sejak tahun 1935, GPM selaku gereja berdiri sendiri. Sejarah GPM sebelum 1935, meliputi dua setengah
abad adalah fase “prasejarah” dari GPM. Dalam masa ini proses pembinaan dan pendewasaan jemaat-
jemaat di Maluku tidak berjalan dengan baik. Banyak jemaat yang tidak ditangani dengan baik dan
bercampur dengan pengaruh-pengaruh kepercayaan agama sebelum masuknya kekristenan. Selama kurun
waktu 1801-1815, tidak ada satupun pendeta di Maluku. Barulah tahun 1816 datang Joseph Kam (yang disebut
pula sebagai RASUL MALUKU), yang memulai lagi pembinaan jemaat-jemaat untuk seluruh Indonesia Timur. Ini
adalah bukti ketidakseriusan pemerintah VOC untuk menangani jemaat-jemaat di Maluku. Pekerjaan
pengembangan gereja di Maluku juga dipengaruhi masalah politik VOC pada saat itu. Hal-hal ini
mengakibatkan macetnya pekerjaan PI di Maluku. Barulah pada masa Joseph Kam pemulihan jemaat-jemaat
dilakukan, mulai dari pulau Ambon, Tanimbar, Kei dan Buru.
Pemulihan itu dilakukan melalui
83 kunjungan-kunjungan Kam dan pembaptisan serta pelayanan sakramen
di wilayah tersebut. Pada tahun 1864, perlahan-lahan kelembagaan gereja menjadi rampung. Ambon
dijadikan sebagai pusat gereja untuk wilayah sekitarnya. Mulai ditetapkan secara resmi para pendeta
pembantu dan guru Injil yang bertugas melakukan pembinaan terhadap jemaat-jemaat yang telah terbentuk.
Pelembagaan gereja dilakukan termasuk pendirian sekolah guru Injil (STOVIL: School toot Opleiding van Inlandse
Leeraren) yang pertama di Ambon pada tahun 1885 [berikutnya di Tomohon tahun 1886 dan pulau Roti 1902].
Pelembagaan gereja kemudian juga dilanjutkan dengan ditetapkannya Tata gereja bagi Gereja di Maluku
tahun 1935.
Setelah berdiri pada tanggal 6 September tahun 1935, maka pengesahannya dilakukan pada tahun 1936,
bersama-sama dengan Tata Gereja. Pada masa ini pengaruh pendeta dan penginjil sangat kuat dalam gereja
sehingga GPM pada masa itu dikenal sebagai “gereja pendeta”. Hal itu terlihat dari struktur Badan Pekerja
Sinode yang beranggotakan 10 orang, 7 di antaranya adalah pendeta. Sesudah itu dibentuk 7 klasis yaitu
Ambon, Lease, Seram Barat, Seram Timur, Banda, Ternate serta jemaat Ambon-Kota yang mendapat tingkat
istimewa. Selain itu terdapat beberapa wilayah yang dianggap menjadi bagian dari GPM yaitu pulau Aru, pulau
Kei, pulau Tanimbar, Babar, Kisar dan Irian Barat. Selanjutnya kelima wilayah pertama menjadi klasis sedangkan
Irian Barat kemudian menjadi Sinode tersendiri.
V. EVALUASI
1. Ceritakanlah dengan ringkas Tonggak sejarah Pelembagaan dan Kemandirian GPM
2. Gambarkanlah situasi yang melatari proses pelembagaan dan kemandirian GPM beserta tokoh yang
berperan
3. Refleksikanlah pandangan sebagai seorang “anak gereja” terhadap sejarah gerejanya (GPM), khususnya
pada masa pelembagaan dan kemandirian.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
VI. KETERANGAN
Katekisan dibagi kelompok dan ditugaskan untuk membuat catatan sejarah tentang masuknya Injil di gereja
setempat.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)
3. Sub Pokok Bahasan : 4.2. Pemantapan Kemandirian (1950-1960)
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kisah Para Rasul 16: 4-12
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.1)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah upaya yang dilakukan gereja dalam proses pemantapan kemandirian di tahun 1950-60 an
2. Gambarkanlah situasi internal-eksternal yang turut mewarnai perjuangan kemandirian gereja di thn 1950-
60an tersebut
3. Refleksikanlah makna pemantapan kemandirian gereja di tengah tantangan zamannya.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 4. Potret GPM (Dulu, Kini dan Esok)
3. Sub Pokok Bahasan : 4.3. Pesan Tobat dan Implikasinya (1960-1983; 1983-2000)
4. Bahan Bacaan Alkitab : 2 Korintus 5: 16-19.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan, disajikan bersama SPB 4.4)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah secara singkat pergumulan GPM (pelayan dan umat) menjelang lahirnya Pesan Tobat
2. Sebutkanlah salah satu isi dari Pesan Tobat GPM tersebut dan kemukakan maknanya menurut pandangan
masing-masing
3. Refleksikanlah makna pergumulan GPM dalam proses pembaruan diri di tengah sejarah
VI. KETERANGAN
Para katekisan diberi tugas untuk mencari (melalui pelbagai sumber dan cara) isi Pesan Tobat GPM Tahun 1960,
dan membuatnya menjadi pajangan atau karya kreatif untuk ditempatkan di gereja atau di rumah.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Perspektif tersebut, antara lain menyatakan, “….Kami (baca GPM) mengakui… bahwa ada abad baru
yang optimistik sebagai tonggak-tonggak sejarah baru bagi hidup, peradaban dan pengharapan manusia.
Karena itu,….memberanikan manusia melakukan tindakan-tindakan yang bertanggung jawab terhadap
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
manusia, bumi dan lingkungan hidup, demi masa depan generasi manusia dan bumi ciptaan Allah.” (BPH
SINODE GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, tahun 2006, hal.67-68)
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah yang dimaksudkan dengan pergeseran dan pembaruan teologi di GPM
2. Jelaskanlah pengertian sejarah GPM sebagai suatu lintasan pergumulan iman di waktu lampau, kini,
menyongsong masa depan (hari esok) !
3. Buatlah penilaian kritis tentang ada-tidaknya pergeseran di GPM (bisa dengan contoh di jemaat setempat)
dari aspek-aspek penguatan institusi dan pemberdayaan jemaat.
VI. KETERANGAN
Katekisan dibagi dalam beberapa kelompok, dan ditugaskan untuk membuat atau mengisi perayaan HUT GPM
melalui suatu pementasan atau ekspresi apapun (bisa dengan menggelar diskusi interaktif tentang kristik-diri
GPM, yang diorganisir oleh para siswa katekisasi, didampingi oleh Kateket atau Majelis Jemaat.
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 6. Allah Yang memberi Perintah
3. Sub Pokok Bahasan : 6.1. Pemberian Hukum dan Maknanya
4. Bahan bacaan Alkitab : Keluaran 20 : I – 17
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 kali pertemuan)
6. Semester : I (satu)
Selanjutnya dalam hukum ini pula memuat 6 (enam) tuntutan yang kena mengena dengan hubungan
antar sesama manusia. Ke enam perintah ini memusatkan perhatiaannya pada sifat dan tingkah laku setiap
orang kepada Allah. Ke 6 (enam) perintah ini tertuju kepada keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran
ini menjadi pokok utama pemberitaan para Nabi. Dengan demikian sikap kita sebagai para Katekisan adalah
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
tetap menyatakan sikap hidup yang benar, baik antara sesama kita manusia bahkan antara kita dengan Allah.
Kita ada di dunia tetapi tidak menjadi serupa dengan dunia. Itu berarti apa yang menjadi aturan atau
ketetapan-ketetapan Tuhan, haruslah kita mematuhinya.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah tujuan Allah memberikan hukum Taurat bagi Israel
2. Jelaskanlah isi hukum taurat
3. Kemukakanlah pandangan tentang makna pemberian hukum taurat bagi kelangsungan hidup umat.
I. IDENTITAS
1. Program sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 6. Allah yang memberi Perintah
3. Sub Pokok Bahasan : 6.2. Yesus dan Hukum Kasih
4. Bahan bacaan Alkitab : Mat. 22:34-40; Rm. 13:8-10; I Yoh 3:11-18
5. Waktu Tatap-Muka : 100 Menit (1 x pertemuan)
6. Semester : I (Ganjil)
Ajaran Tuhan Yesus tentang kasih ini adalah sebuah pendidikan pendamaian. Pendamaian antara Allah
dengan manusia dan pendamaian antara manusia dengan manusia. Untuk membuat pendamaian diperlukan
manusia-manusia yang berjiwa besar. Ajaran Tuhan Yesus tentang kasih hendak mengajarkan agar manusia
tidak tenggelam dalam paham Chauvinis, yakni suatu paham yang menyatakan bahwa sesama manusia
berarti sesama bangsa dan sesama agama. Ajaran kasih mengandung makna bahwa mengasihi orang lain
juga walaupun mereka berbeda bangsa suku maupun agama dengan kita. Karena tidak semua orang
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
berbangsa lain bersuku lain dan beragama lain selalu jahat ( Bad guys); mereka pun juga adalah good guys
yang harus kita kasihi.
Perbuatan Yang Berisikan Nilai Kasih Dengan Yang Tidak Bernilai Kasih
Dalam I Yoh 3 : 11-18 terdapat penjelasan tengtang apa itu kasih. Tersirat bahwa perbuatan bernilai kasih
antara lain : rela berkorban bagi sesama, mau berbagi/membantu sesama yang berkekurangan / mohon
bantuan (lewat aksii nyata). Sedangkan perbuatan yang tidak bernilai kasih seperti : membenci sesama,
membunuh (bukan saja membunuh secara fisik tetapi bisa juga membunuh karakter / mengucilkan membatasi
peluang sesama untuk hidup lebih baik ). Pada ayat ke 18 tertulis “... marilah kita mengasihi bukan dengan
perkataan atau dengan lidah tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”. Artinya, kasih bukan sekadar
perasaan melainkan perbuatan. Kasih bukan pasif melainkan aktif. Kasih dipraktikan sehari-hari oleh Tuhan Yesus
dalam kebenaran. Berarti mengasihi sesama dengan kasih yang benar yang tidak menyesatkan; tidak
mengelabui/berpura-pura. Mengasihi dalam "kebenaran" berarti : mengasihi sesuai dengan apa yang
dikehendaki Tuhan. Di mana manusia menaati kehendak Tuhan, di situ ada perilaku hidup yang ditandai oleh
kebenaran .
V. EVALUASI
1. Jelaskan kaitan hukum kasih dengan 10 hukum taurat
2. Uraikanlah makna ajaran Yesus tentang kasih
3. Jelaskanlah pengertian mengasihi
89 diri sendiri
4. Jelaskanlah alasan kita mengasihi sesama manusia
2. Diskusikanlah perbuatan yang berisikan nilai kasih dengan yang tidak bernilai kasih.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 5. Misi Gereja: Panggilan dan Tantangannya
3. Sub Pokok Bahasan : 5.1. Pengertian, Dasar dan Panggilan Misioner
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kis.6:1-7
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
5. Sikap dan keteladanan Yesus dalam misiNya, tercermin dalam dua aspek proklamasi misiNya, yakni yang
terdapat dalam Markus 1:15 (seruan pertobatan dan pembaruan hidup) dan Lukas 4:18-20 (pernyataan misi
syalom yang dihadirkan, melalui kasih, keadilan, kebenaran, pembebasan, perdamaian, kemanusiaan dan
kesejahteraan).
6. Setiap orang percaya, tidak dapat menghindari diri dari panggilan memberitakan Injil. Artinya, bagi gereja
Tuhan, misi atau PI bukanlah suatu ajakan atau undangan, melainkan suatu perintah. Bila itu suatu
undangan, maka pilihannya bersifat sukarela, tanpa paksa; namun bila itu perintah, maka tidak ada tawar-
menawar. Misi atau PI ibarat jantung gereja itu sendiri. Bila jantung berhenti berdenyut, maka kematian
menjadi bagian yang harus dihadapi gereja. Paulus katakan dalam I Korintus 9:16c, Celakalah aku, jika aku
tidak memberiakan Injil. Memang, bila dipandang dari sudut kemampuan Allah, sesungguhnya, Allah dapat
saja tidak memakai kita (sebab sebetulnya kita ini tidak ada apa-apanya).
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Namun bila dipandang dari sudut kemauan Allah, maka kita yang lemah dan berdosa ini, dapat
dimampukan Allah untuk melakukan tugas misioner. Oleh sebab itu, bagi setiap orang yang mau ber-misi,
ucapan Yesaya menjadi kata-kata penting, ”Ini aku, utuslah aku Tuhan !” (Yes.6:8c).
V. EVALUASI
1. Jelaskan secara singkat pengertian misi kristiani
2. Jelaskan dasar, sasaran dan hakekat misi kristiani
3. Diskusikanlah perbedaan misi gereja yang kristiani dan yang tidak (dengan contoh-contohnya)
4. Refleksikanlah makna panggilan misioner dari kita selaku gereja masa kini
IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 5. Misi Gereja: Panggilan dan Tantangannya
3. Sub Pokok Bahasan : 5.2. Problematika Konteks Misi GPM
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kis.7: 54 – 8:3
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. Semester : I (Ganjil)
4. Pembaruan teologi dan sikap keberagamaan yang lebih terbuka, tidak arogan (merasa lebih unggul dan
benar sendiri), merupakan salah satu ”pintu masuk” dalam rangka menghadirkan wajah gereja yang lebih
damai dan bersahabat. Tentunya warna tersebut lahir bukan sebagai suatu perilaku yang dibuat-buat dan
berstandar-ganda (di lingkungan internal bersikap begini, di lingkup ekstenal bertindak begitu), melainkan
lahir dari kesadaran yang tulus dan sungguh-sungguh, untuk melihat orang dan agama lain pula sebagai
sebuah realitas sosial yang terpanggil untuk bersama-sama membangun kehidupan, di tengah masyarakat,
bangsa, dan kemanusiaan.
IV. EVALUASI
1. Jelaskanlah apa yang saudara pahami dengan konteks misi GPM dan problematikanya ?
2. Identifikasikanlah problematika yang dihadapi GPM dalam misinya ?
3. Refleksikanlah sikap yang kristiani dalam menghadapi tantangan problematika tersebut !
V. SUMBER KEPUSTAKAAN
1. Himpunan Ketetapan Sinode ke-35 GPM tahun 2005
2. Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1999
3. Cooley,Frank L., Mimbar dan Takhta, Jakarta: BPK-GM, 1987
4. Dokumen Pemahaman Iman, Ibadah dan Jabatan Gerejawi dalam GPI, Jakarta: BPH GPI, 2005.
5. Rahabeat R & Abidin Wakano (ed.), pluralismo Berwajah Humanis – Sketsa Pemikiran DR John Ruhulessin,
Yogyakarta: Galang Press & LESMMU Ambon.
6. Tanamal Piet, Pengabdian dan Perjuangan, Ambon, 1985
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 5. Misi Gereja: Panggilan dan Tantangannya
3. Sub Pokok Bahasan : 5.3. Cara-cara Ber-misi di GPM
4. Bahan Bacaan Alkitab : 2 Tim 4:1-5
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Allah
Gereja
Rakyat
c. Paradigma misi Reformasi Protestan, mulai menghadirkan corak gerakan PI yang baru, sejak Luther
memprakarsai gerakan reformasi, dengan membangun pendekatan misi dalam perspektif Roma 1:16-17
(aspek pembenaran oleh iman menjadi titik tolak teologi). Paradigma misi reformasi ini menekankan
dimensi subyektif keselamatan (persoalan keselamatan menjadi penting bagi pribadi). Dengan begitu,
faktor pengalaman individu menjadi faktor yang mendapat tempat dalam paradigma ini. Oleh karena
itu, tidak heran bila pada masa ini, bertumbuh subur gerakan pietis dan puritanisme tekanan pada
kesalehan individual.
d. Paradigma misi di awal era pencerahan hingga abad kedua puluh, dilatari dengan paradigma berpikir
(penalaran), cogito ergo sum (ucapan Descares yang artinya: saya berpikir, oleh karena itu saya ada),
yang menempatkan kekristisan untuk mencermati kembali seluruh tatanan teologi dan beriman kalangan
masyarakat umum terhadap agama itu sendiri. Hal mana faktor individualitas dan kebebasan berpikir
(termasuk berteologi) mulai mendapat ruang. Paradigma misi mulai terbuka luas menjangkau pelbagai
kalangan, termasuk kalangan sekuler. Gerakan-gerakan misi mulai menjalar pada upaya mewarnai
tatanan masyarakat (Band. Harvey Cox dengan The Secular City-nya). Pada konteks ini pendekatan misi
bergerak antara lain: pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 penekanannya pada kasih Kristus.
Belakangan lagi penekanannya pada keselamatan orang-orang kafir yang sedang menuju
kehancurannya dan pada awal abad ke-20 tekanannya pada Injil sosial.
e. Paradigma misi pasca-modern, nampaknya tetap diharapkan menjadi paradigma misi yang relevan
dengan zamannya. Paradigma misi ini lebih menekankan aspek jejaring, sebagai kesadaran pada
kelanggengan (keberlangsungan hidup) bukan berdasarkan paradigma Survival of the fittest, melainkan,
Survival of the most mutual-simbiotic (yang paling unggul adalah yang paling dapat membangun
jaringan saling membutuhkan dan menguntungkan). Singkatnya hubungan saling ketergantungan,
merupakan pilihan sikap dan paradigma misi yang relevan dengan abad kontemporer ini.
3. Sebagai gereja yang berasaskan Calvinisme, GPM tetap berkomitmen untuk memberitakan Injil ke segala
makhluk (Markus 16:15), tanpa membedakan siapapun; dengan meyakini akan janji firmanNya, bahwa
barangsiapa yang percaya tidak akan binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal (Yoh.3:16). Dalam
sejarah PI GPM, tentunya tak dapat disangkali adanya pewarisan pola dan bentuk PI dari gereja ”induknya”
(yang dibawa oleh para misionaris) dengan mengembangkan hampir ketiga paradigma pertama tersebut
di atas. Pola tersebut nampak melalui pola pendekatan misi ke dalam (inner mission) dan misi ke luar (outer
mission). Secara ke dalam, pewarisan misi nampak dalam metode ”penghafalan” yang dikembangkan
terhadap rumusan-rumusan pengajaran gereja (seperti: 12 perkara iman, Doa Bapa Kami, Dasa Titah).
Pendekatan pembinaan umat yang lebih cenderung mengikuti pola ”gereja induk” (Belanda),
mengakibatkan sikap penguasaan kekristenan hanya pada tingkat pengetahuan dan ritualistik-formalistik.
Akibatnya umat cenderung memiliki kedangkalan dalam penghayatan iman, kekristenan bersifat sinkretistis
dan magis. Wujudnya nampak dalam 93 sikap mereka terhadap benda-benda yang berkaitan dengan gereja
(Mis. Alkitab, Roti Perjamuan, Air Baptisan, gedung Gereja, dan sebagainya). Sementara itu, dalam konteks
PI ke luar, fakta sejarah membuktikan bahwa para utusan Injil GPM pun mendapat kesempatan dan
kepercayaan untuk ber-misi ke bagian Selatan Irian (kini melahirkan GPI Papua), ke bagian Timor Kupang,
Sulawesi Tengah dan Utara (Sangihe Talaud), dan bahkan dalam kerjasama, kemitraan, utusan atau pekerja
gereja dikirim ke Nias, hingga ke Negeri Belanda pula.
4. Perkembangan paradigma misi GPM, terkait pula dengan fenomena kedua paradigma terakhir yang
dikemukakan di atas. Pendekatan yang dikembangkan secara global hingga nasional (dalam lingkup
Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia, Asia, maupun PGI), secara tidak langsung ikut mewarnai pendekatan PI-
nya GPM, antara lain melalui gerakan KPKc (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), gerakan anti
kekerasan selama 10 tahun (decade of non violence), gerakan kesetaraan gender dan penegakkan HAM.
5. Pola pendekatan dialog dalam misi, nampaknya menjadi pola yang lebih relevan dalam konteks
persinggungan kemajemukan saat ini. Adapun pengertian dialog merujuk pada rumusan DGD, yang
memahami dialog sebagai panduan yang dipakai untuk menghubungkan diri dengan orang beriman dan
berideologi tertentu. Pendekatan dialog tersebut, diharapkan dapat dikembangkan melalui bentuk:
=> Dialog Kehidupan : Perjumpaan yg tulus berlangsung dlm kehidupan sehari-hari, menanggapi bersama
keprihatinan bersama;
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
=> Dialog Kerja Sosial : Issue-issue sosial yg lebih makro , semisal kemiskinan, menjadi konteks perjum-paan
sekaligus arah sumbangan masing-masing agama;
=> Dialog Monastis : Terjadi pertukaran pengalaman religius, misalnya melalui meditasi & hidup dalam
asrama bersama-sama
=> Dialog Doa : Semua agama berdoa bersama demi perdamaian yg lebih sejati & meluas
=> Dialog Teologis : Terjadi pertukaran informasi mengenai kepercayaan & akidah, sambil melihat titik
temu ataupun perbedaan.
6. Pada akhirnya, haruslah dipahami bahwa cara bermisi tetaplah cara dan bukanlah (dan tidak boleh
pernah) menjadi tujuan; ataupun sebaliknya, tujuan lalu dihalalkan dengan cara-cara yang tidak sesuai pula
dengan hakekat misi itu sendiri. Kita terjadi kekeliruan antara cara dan tujuan, maka misi itu sendiri lalu
kehilangan roh dan orientasi.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah secara singkat paradigma atau cara ber-misi dalam sejarah gereja dengan masing-
2. masing pola dan pendekatannya ?
3. Jelaskanlah sejarah singkat misi GPM ?
4. Kemukakanlah pendapat saudara tentang kekuatan dan kelemahan dalam misi GPM ?
5. Refleksikanlah sikap yang kristiani dalam menghadapi tantangan problematika tersebut !
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.1. Pandangan Iman Kristen Tentang Politik
4. Bahan Bacaan Alkitab : Daniel 1:1-21; Matius 22:21.
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Selain itu, Ramlan Surbakti merumuskan 5 (lima) pandangannya mengenai politik, yakni: Pertama,
politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan
bersama; Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
pemerintahan. Ketiga, politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat; Keempat, politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan perumusan
dan pelaksanaan kebijaksanaan umum; Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Jelasnya, menurut Surbakti, politk adalah kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat mengenai kebaikan bersama dalam suatu wilayah
pemerintahan. Bila demikian, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kepentingan publik perlu
diakomodir, sehingga setiap warga masyarakat sebagai insan politik turut berperanserta dalam setiap
pengambilan keputusan (decesion making). Tegasnya, dalam suatu sistem pemerintahan, dibutuhkan
adanya karjasama dan partisipasi pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk merumuskan dan
mengimplementasikan kepentingan-kepentingan politik berdasarkan tujuan-tujuan yang disepakati
bersama. Karenanya, politik dianggap sebagai sarana untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara.
Yesus memiliki komitmen terhadap rakyat kecil dan mengantarNya untuk berhadapan dengan para
penguasa. Ia adalah seorang pemimpin rakyat yang memiliki sense of politics yang sangat baik. Apa yang
dipilih Yesus adalah suatu resiko yang dijalaniNya. KevokalanNya terhadap masalah-masalah sosial dan
agama diakhiri dengan penyaliban. PembelaanNya bagi orang tertindas dan marginal dibayar dengan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
kematian di Golgota. Salib telah menjadi momen dimana Yesus menyatukan ragaNya dengan perjuangan
yang dilakukanNya.
Pada perspektif ini, orang percaya mesti belajar dan meneladani perjuangan politk Yesus. Kekuasaan
yang kita peroleh jangan digunakan untuk pengabdi kembali kepada kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan
dipakai sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, menegakkan keadilan dan kebenaran yang
semakin menjauh dari harapan kita bersama. Kekuasaan digunakan untuk membebaskan manusia dari
segala bentuk penderitaan, tekanan, ketakutan, ketidak-berdayaan, kemiskinan, keterbelakangan, dan
lain-lain.
Tegasnya, kekuasaan difungsikan untuk melayani, memberdayakan, memulihkan hak-hak rakyat,
menghidupkan dan membebaskan, tanpa pamrih. Oleh karena itu, persepsi yang negatif bahwa Gereja
harus menjauhkan diri dari pentas politik, justeru akan semakin melemahkan keberpihakannya terhadap
masalah-masalah kemanusiaan. Dengan demikian, keterlibatan politik dalam arti yang luas harus menjadi
orientasi dan pergumulan setiap warga Gereja. Warga Gereja, baik secara personal, maupun komunal,
melalui pentas politik, menyatakan peransertanya sebagai warga negara (polis); sekaligus menyatakan
sense of calling and sense of belonging-nya terhadap masalah kemanusiaan yang tidak pernah tuntas.
Karenanya, Gereja memiliki tugas untuk memberikan penguatan iman dan memperlengkapi warganya
dengan norma-norma dan etika, sehingga warganya semakin peka, tanggap, kritis, selektif dalam
menentukan pilihan. Bahkan, segala sesuatu yang diperjuangankan demi kemanusiaan sejati dapat
dipertanggung jawabkan secara iman dan berhasil guna.
4. Nilai-nilai yang Perlu Diacuh Oleh Umat Kristen Dalam Melaksanakan Tanggung Jawabnya di Bidang Politik.
Beberapa nilai-nilai kristiani yang perlu mewarnai sikap dan tanggung jawab orang percaya dalam politik,
antara lain:
a. Kasih
- Mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri
- Mengakui bahwa semua manusia adalah orang bersaudara yang diciptakan Tuhan sesuai dengan
citraNya (Imago Dei).
b. Keadilan
- Mengusahakan agar setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan memberlakukan
keadilan.
- Berusaha untuk berlaku adil kepada semua orang.
- Mewujudkan keadilan dengan memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang.
c. Kebenaran
- Kebenaran konsensus, yakni hasil kesepakatan nasional bangsa Indosnesia
- Kebenaran Tuhan yang bersifat abadi dan universal.
d. Kerendahan hati
- Tidak menyombomgkan diri
- Tidak meremehkan orang lain
- Bersedia melayani sesama demi kesejahteraan bersama.
e. Ketulusan
- Bersedia menerima kenyataan, termasuk kekalahan
- Konsisten dalam perkataan dan perbuatan
f. Kejujuran
- Mengatakan yang benar untuk hal yang benar dan salah untuk hal yang salah
- Bersikap obyektif dan berani mengakui kekurangan
g. Kepeloporan 96
Kesiapan mengambil prakarsa untuk meningkatkan prestasi demi kepentingan bersama dan bersikap pro-
aktif.
h. Kebangsaan
Merasa senasib sepenanggungan dengan kelompok masyarakat yang lemah dan tertindas.
i. Kesamaan
- Semua orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama
- Semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
j. Kebebasan
- Kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat.
- Kebebasan beragama dan berkeyakinan
- Kebebasan untuk memilih pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan
k. Kemerdekaan
- Merdeka dari rasa takut
- Merdeka dari penindasan dan cengkeraman dari pihak lain
l. Kesetiaan
- Setia menjalankan tugas yang dipercayakan
- Setia kepada bangsa dan negara
m. Kesetiakawanan
- Bersikap empati terhadap kesuksesan dan kegagalan sesama
- Setia kepada kawan, tetangga dan masyarakat, terutama ketika mereka menderita.
dengan warga negara lainnya serta memiliki hak dan kewajiban untuk turut menentukan kehidupan politik
di Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik, antara lain:
a. Mendorong terjadinya emansipasi politik masyarakat yang setara maknanya dengan pembebasan atau
pemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap esensi politik
sebagai usaha bersama untuk melakukan tindakan-tindakan pembebasan terhadap berbagai macam
penderitaan yang dialami oleh masyarakat.
b. Mendorong proses terwujudnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia. Masyarakat sipil adalah suatu
kenyataan hidup masyarakat yang menghargai hak-hak kemanusiaan. Karenanya, umat Kristen harus
mampu membangun keseimbangan dengan kekuasaan negara, agar kekuasaan yang ada digunakan
bagi kepentingan banyak orang.
c. Umat Kristen harus menjadi bagian dari kekuatan sosial bangsa Indonesia untuk menolak munculnya
gagasan-gagasan federalisme, pemekaran provinsi/kabupaten/kota, dengan semangat egoisme dan
primordialisme. Umat Kristen harus memberikan kontribusi pemikiran sebagai hasil refleksi teologinya
terhadap persoalan etnisitas yang makin marak. Hanya dengan berbuat seperti itu, umat Kristen
menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam membangun kehidupan masyarakat yang
menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang abadi, absulut dan universal.
d. Umat Kristen harus memberikan perhatian kepada kaum perempuan di bidang politik. Politik Yesus
memberikan kepada Gereja suatu keteladanan untuk membangun kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, ketika Yesus merombak tatanan tradisi bangsa Yahudi yang tidak menghargai perempuan.
Kritik Yesus terhadap tradisi Yahudi yang tidak berpihak pada kesetaraan dan menganggap rendah
perempuan merupakan gambaran dari kritik Yesus yang tidak hanya berorientasi pada nilai (value),
tetapi juga pada kekuasaan (power) yang ada pada laki-laki, yang bersembunyi di dalam tradisi Yahudi.
Pada konteks yang demikian, Yesus bermaksud merubah pandangan yang salah dan memberikan
perspektif baru terhadap peranan gender dalam pentas sosial politik masyarakat.
e. Tanggung jawab politik umat Kristen juga berorientasi pada tugas untuk menghadirkan tanda-tanda
syaloom Allah bagi manusia dan dunia sejagad. Tanda-tanda syaloom Allah harus dinyatakan di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang jauh dari kesejahteraan, jauh dari rasa keadilan, jauh dari
kebenaran, jauh dari kedamian dan lain-lain. Gereja, dengan menghadirkan tanda-tanda syaloom Allah,
menyatakan kemuliaan Allah bagi masyarakat luas. Walaupun sebagai Gereja, ada kesadaran bahwa
gagasan-gagasan tentang terwujudnya tanda-tanda syaloom Allah bersifat eskatologis. Artinya, secara
otomatis tidak akan pernah terwujud dalam dunia yang nyata saat ini, tetapi ia memiliki pengharapan
bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sesuatu yang benar.
f. Umat Kristen harus menolak sikap yang menjauhi kehidupan politik hanya karena alasan bahwa politik itu
kotor, penuh intrik, perseteruan, kepentingan kelompok dan sebagainya. Gereja harus belajar dari Yesus
bahwa sikap netral adalah sesuatu yang tidak selamanya baik. Bahkan, netralitas pun pada saat tertentu
adalah sesuatu yang buruk. Sikap untuk tidak berpihak adalah tindakan yang tidak bijaksana karena sikap
semacam itu sama saja dengan memberikan legitimasi atau justifikasi terhadap praktek-praktek yang jauh
dari syaloom Allah. Konteks masyarakat Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah, justeru
memberikan peluang bagi Gereja untuk menyatakan keberpihakannya. Keberpihakan Gereja yang
diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang miskin, terlantar, diperlakukan secara tidak adil dan
benar, dan sebagainya, adalah wujud Gereja yang memahami panggilannya (sense of calling) dan
merasakan penderitaan sesama (sense of belonging).
g. Gereja selaku institusi harus memberikan pelayanan kepada warganya agar dapat terlibat secara aktif
dalam bidang politik dan menyalurkan aspirasi-aspirasi politiknya secara bertanggung jawab. Misalnya,
dalam pemilihan Presiden dan 97Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota,
Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Desa dan anggota legislatif. Warga Gereja pada momen seperti ini tidak
hanya menyalurkan hak suaranya, tetapi juga ikut mengkritisi proses penyelenggaraannya, jika ternyata
terjadi penyelewengan-penyelewengan yang cukup signifikan bagi demokrasi. Selain itu, Gereja perlu
melaksanakan pelayanan pastoral, jika terbukti ada warga Gereja melakukan suatu kesalahan.
Pelayanan pastoral dimaksud, dipandang sebagai aksi penyadaran dan penguatan bagi proses politik
selanjutnya.
h. Memperjuangkan terwujudnya kestabilan kehidupan sosial politik sesuai tujuan nasional seperti dirumuskan
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian politik
2. Kemukakanlah tujuan perjuangan politik di Indonesia
3. Kemukakanlah visi Kristiani mengenai politik
4. Kemukakanlah nilai-nilai yang perlu diacu oleh umat Kristen dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang
politik
5. Rumuskanlah bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik di Indonesia
VI. KEPUSTAKAAN
1. Budiardjo, Miriam; Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
2. Duverger, Maurice; Sosiologi Politik (Terj.), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.2. Tanggung Jawab Mengembang-kan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yeremia 29 : 1-9
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Kedua, setiap anggota atau kelompok masyarakat diharapkan dapat berinteraksi, berinteraksi,
beradaptasi dan hidup atau bertingkah laku sesuai norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, maupun
di dalam dunia keagamaan. Kesesuaian perilaku atau pola hidup masyarakat dengan norma-norma
tersebut, diharapkan dapat tercipta suatu kondisi hidup masyarakat yang berkeadaban. Karenanya,
masyarakat yang tidak hanya menerima, menghargai dan menjunjung tinggi norma-norma itu sebagai
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
pengarah perilaku hidup mereka, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai pilihan hidup (choice of
existence). Pilihan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan yang membangun masyarakat yang
berkeadaban. Pilihan tersebut, sekaligus mematikan kecenderungan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang mengarah kepada kebiadaban atau perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.
Tegasnya, inti membangun masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah pro-norma-norma hidup
dan menjadikannya sebagai pilihan hidup (choice of existence) dan gaya hidup (life style). Hidup yang tidak
berkeadaban (biadab) adalah hidup yang menjauh dari pengaktualisasian norma-norma hidup. Hidup yang
menjauh dari norma-norma hidup akan menimbulkan berbagai persoalan sosial dan merusak citra
keagungan kehidupan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini dapat mengakibatkan kesengsaraan yang
tiada habisnya karena ia bukan pilihan hidup yang membahagiakan.
4. Tanggung Jawab Orang Kristen Dalam Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeabadan,
antara lain:
a. Menghidupkan, memelihara, melestarikan dan meneruskan nilai-nilai budaya lokal masyarakat setempat
secara regenerasi. Biasanya, oleh masyarakat, nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena berfaedah untuk
membangun kehidupan bersama. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal selalu dijadikan sebagai acuan norma
dalam berperilaku. Karenanya, masyarakat pemiliknya selalu diharapkan untuk berperilaku sesuai nilai-
nilai budaya lokalnya. Bila demikian, setiap orang Kristen dipanggil untuk ikut menghidupkan, melestarikan
dan menjadikan nilai-nilai budaya lokalnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
personal dan komunitasnya.
b. Menanamkan dan mewariskan nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang bersumber pada Alkitab dalam
rangka pembentukan kepribadian (personality) warga gereja. Karenanya, tugas Gereja adalah menggali
kembali nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang terdapat dalam Alkitab dan menjadikannya sebagai
sumber pewartaan bagi pendewasaan kehidupan umat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan
masyarakat yang berkeadaban tidak cukup hanya dengan mengandalkan nilai-nilai budaya lokal
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
masyarakat, tetapi juga didasari pada nilai-nilai keagamaan. Jadi, nilai budaya dan nilai keagamaan
(kekristenan) memiliki pertautan yang saling mengisi dan saling melengkapi bagi pengembangan
masyarakat yang berkeadaban. Keduanya (budaya dan agama) memiliki kandungan sumber nilai-nilai
kehidupan yang baik untuk memanusiakan manusia.
c. Mengembangkan dan memprakarsai dialog lintas agama dan budaya dalam upaya menemukan solusi
bersama untuk mengembangkan masyarakat yang berkeadaban. Dialog tersebut dibuat karena di
dalam setiap agama dan budaya pasti ditemukan sesuatu yang baik, spesifik dan berguna untuk
dikembangkan. Jelasnya, dialog dimaksudkan untuk memahami bagaimana agama-agama dan
pemilik budaya-budaya lain mengembangkan masyarakat dengan nilai-nilai agama serta budayanya
yang baik dan khas itu. Melalui dialog itu pula masing-masing pihak terbuka untuk saling belajar melalui
proses take and give untuk saling mengisi dan memperkaya yang satu dengan yang lain. Walaupun
demikian, sikap kritis dan selektif dibutuhkan, sehingga masing-masing pihak tidak serta- merta
mengadopsi nilai-nilai itu begitu saja. Alasannya, belum tentu semua nilai yang ditawarkan dalam proses
take and give itu berguna dan relevan. Karenanya, dibutuhkan pengkajian kembali terhadap nilai-nilai
yang diterima secara arif dan bijaksana disertai kejernihan dalam berpikir, sehingga tidak berapriori
negatif terhadap nilai-nilai dimaksud.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian masyarakat majemuk yang berkeada-ban
2. Kemukakanlah ciri-ciri masyarakat majemuk yang berke-adaban
3. Identifikasikanlah sifat-sifat masyarakat majemuk yang ber-keadaban
4. Rumuskanlah tanggung jawab orang Kristen dalam mengembangkan masyarakat majemuk yang
berkeadaban.
VI. KEPUSTAKAAN
1. Andayana, Leonard Y; The World of Maluku. Eastern Indonesia In The Early Modern Period, University of
Huwae Press, USA, 1993.
2. BPH Sinode GPM; Pokok-pokok Pengakuan Iman GPM, Ambon, 2006
3. Brownlee, M; Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
4. Cooley, Fr; Mimbar dan Tahta, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
5. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 2002
6. Haviland, William A; Antropologi Jilid I, Air Langga, Jakarta.
7. Hikam, Muhamad AS; Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, 1996
8. Kariyanto; Konsep Agama Sipil Menurut Jean Jacques Rousseau Dalam Perkembangan Konsep Masyarakat
Sipil, Tesis, Program Pascasarjana UKSW Salatiga, 2006
9. Suwondo, Kutut; Civil Society Di Aras Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005
10. Tanamal, P; Pengabdian dan Perjuangan, Ofsset PNRI, Ambon, 1985.
11. Ubra, Luis Th; Hamaren. Studi Antropologi Terhadap Sistem Kerja Tolong Menolong di Kalangan Masyarakat
Kei, Maluku Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana UKSW, Salatiga, 2005.
12. Wattloly, Aholiab; Maluku Baru:Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Kanisius, Yogyakarta, 2005
I. IDENTITAS 100
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4.Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.3. Kehidupan Bermasyarakat, Ber-bangsa dan Bernegara
4. Bahan Bacaan Alkitab : Filipi 2 : 12 - 18
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Internalisasi adalah proses menjadikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, khususnya
adat-istiadat (customs) sebagai bagian integral bagi kehidupan seseorang atau sekelompok warga
masyarakat. Melalui proses dimaksud, norma-norma yang berlaku dapat mendarah daging dan menjiwai
lakon hidup mereka. Hal ini akan membuat mereka (terutama generasi tua) cenderung mempertahankan
atau sulit merubah norma-norma yang sudah meresap di dalam kepribadiannya. Karenanya, masyarakat
tidak mudah untuk menerima norma-norma baru yang ditawarkan kepadanya. Bahkan, norma-norma
baru yang ditawarkan sering ditolak karena tidak sesuai dengan norma-norma yang telah diyakini
kebenarannya. Oleh sebab itu, seseorang atau sekelompok warga masyarakat, hendaknya melalui proses
internalisasi, dapat mempelajari dan mengambil norma-norma yang baik, yang berfaedah untuk
kehidupan pribadi dan masyarakat luas sebagai upaya pengembangan masyarakat berkeadaban.
b. Eksternalisasi (externalized)
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus kedalam dunia, baik
secara fisis, maupun mentalnya. Manusia secara empiris, tidak dapat dibayangkan terpisah dari dunia
yang ditempatinya. Manusia juga tidak dapat tinggal diam di dalam kediriannya. Sebaliknya, ia selalu
bergerak ke luar untuk mengekspresikan dan merealisasikan kehidupannya bagi proses pembentukan
kehidupannya. Penyebabnya adalah keadaan organisme manusia ketika lahir belum lengkap (jika
dibandingkan dengan binatang) dan berada dalam proses “menjadi manusia”. Oleh sebab itu, manusia
berusaha untuk membentuk dunianya sendiri (kebudayaan) dengan aktifitas-aktifitasnya. Manusia,
dengan akalnya menciptakan berbagai jenis peralatan dan digunakan untuk mengubah lingkungan
fisisnya dan mengubah alam menurut keinginannya. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat manusia yang
disebut sebagai homo faber dapat membuktikan dirinya sebagai potensi kultural yang mampu membuat
alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidupnya. Kemampuan menciptakan berbagai jenis peralatan
dimungkinkan oleh adanya daya pengetahuan yang khas manusiawi. Selain itu, manusia juga
menciptakan bagi dirinya, bahasa dan digunakan untuk mengembangkan diri dan daya berpikirnya, baik
secara sederhana, maupun secara abstrak dan kompleks melalui simbol-simbol yang meresapi seluruh
kehidupannya. Manusia menciptakan bahasa, supaya melaluinya manusia merealisasikan eksistensinya
yang bermakna bagi dunia. Manusia juga menciptakan bagi dirinya, nilai-nilai (values) supaya nilai-nilai
itu menuntun, mengarahkan dan mengendalikan perilakunya menjadi lebih beradab. Kesemuanya ini
menunjukkan bahwa secara eksternal, manusia bertanggung jawab untuk membangun diri dan dunianya
menjadi lebih baik, beradab dengan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya.
c. Proses sosialisasi (socialization)
Sosialisasi adalah proses dimana seorang anggota masyarakat yang baru (semisal, seorang bayi)
mulai mempelajari norma-norma dan kebudayaan di lingkungan masyarakatnya. Sosialisasi juga
dimaksudkan sebagai proses mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku yang sesuai dengan
perilaku kelompok masyarakatnya. Secara sosiologis, proses ini dimulai sejak seseorang dilahirkan.
Awalnya, seseorang mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara
mengadakan relasi dengan orang tua, saudara-saudara di rumah, kemudian dengan masyarakat yang
lebih luas. Melaluinya, seorang anak akan memperoleh petunjuk-petunjuk mengenai perbuatan mana
yang baik dan perbuatan mana yang tidak baik. Perbuatan mana yang perlu dilakukan dan perbuatan
mana yang tidak perlu dilakukan. Pada perspektif yang demikian, secara bertahap, seorang anak akan
mendapatkan gambaran tentang dirinya sendiri dalam perjumpaan perilakunya dengan perilaku orang
lain. Perbuatannya yang baik akan disukai orang dan perbuatan yang tidak baik akan ditegur. Walaupun
dalam masyarakat terdapat juga perilaku yang menyimpang (deviant behavior), tetapi yang membatasi
perilaku seorang anak adalah kepribadiannya.
d. Proses imitasi (imitation)
Imitasi adalah proses meniru
101 tingkah laku yang baik dari orang lain dan dijadikan sebagai bagian dari
tingkah lakunya. Biasanya, proses ini berlangsung dalam relasi seseorang dengan orang lain yang
dianggapnya sebagai Tokoh, Idola, dimana melaluinya perilaku dari Tokoh, Idola itu ditransformasikan
menjadi perilakunya.
e. Proses conformity
Conformity adalah proses penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan cara mengindahkan
kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Biasanya, conformity menghasilkan ketaatan atau kepatuhan.
Dengan demikian, bila ada perilaku yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai (values)
masyarakat akan mengakibatkan celaan-celaan. Misalnya, cara berpakaian yang kurang sopan dengan
memperlihatkan organ-organ tubuh tertentu, mengucapkan kata-kata yang tidak etis, dan lain-lain.
kebiasaan yang salah dalam masyarakat yang perlu ditinggalkan. Baginya, kebiasaan-kebiasaan
dimaksud merupakan pelanggaran berat dan tidak mencerminkan masyarakat yang berkeadaban,
seperti: mengorek-ngorek telinga atau mata dengan jari, mengupil sambil makan, menggerogoti tulang
dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam piring, mengambil makanan dengan tangan dan
menyuapnya dengan tangan, mengaduk kuah dengan jari, kentut dikeluarkan dengan bunyi, dan
sebagainya.
2. Faktor-faktor yang Dapat Menghambat Pengembangan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban, yakni:
a. Kebijakan politik
Kebijakan-kebijakan politik dalam suatu bangsa atau negara biasanya dituangkan melalui
perundang-undangan atau hukum. Oleh sebab itu, sangat penting untuk melihat sejauhmana
perundang-undangan itu memberikan ruang psikologis bagi masyarakat untuk mengambil bagian dalam
membangun peradaban (civilization) bangsa. Sejauhmana pula suatu produk perundang-undangan
memberikan kebebasan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan budaya
bangsa. Seperti diketahui bahwa sering kali produk perundang-undangan atau hukum lahir dari sebuah
penyelesaian konflik politik, sehingga tidak memberikan ruang psikologi untuk membangun peradaban
dan budaya bangsa. Dengan kata lain, produk perundang-undangan dan hukum sering memberikan
dampak negatif bagi warganya sendiri.
b. Eksklusifisme dan fundamentalisme agama
Eksklusifisme agama merupakan sikap yang tidak menerima dan membenarkan pandangan-
pandangan agama lain. Eksklusifisme mengklaim kebenaran yang ada padanya, karena ia berasal dari
wahyu Tuhan. Sementara itu, pandangan-pandangan kebenaran di luar agamanya adalah buatan
manusia belaka. Karenanya, ia harus disingkirkan dan bila perlu dimatikan. Akibatnya, sikap seperti ini
dapat memunculkan fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama adalah suatu sikap hidup
beragama yang militan, yang juga tidak menghendaki idiologi-idiologi lain hidup di sampingnya karena
nilai-nilai kebenaran hanya ada pada dirinya. Fundamentalisme agama muncul akibat cara menafsirkan
teks-teks kitab suci secara literer (harafiah), tanpa hermeneutic, sehingga segala sesuatu yang tertulis
dalam kitab suci itu dianggap turun dari Tuhan. Tugas manusia adalah menerima begitu saja dan
melaksanakannya (taken for granted). Jelasnya, ekskusifisme dan fundamentalisme agama tidak
menerima dan menghargai pandangan-pandangan atau idiologi-idiologi lain, tidak menghargai sesama
manusia karena berbeda agama atau pandangan. Sikap demikian akan menghambat terciptanya
sebuah masyarakat majemuk yang berkeadaban. Dikatakan demikian karena salah satu syarat
keberadaan masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah menghargai rasionalitas, kebebasan dan
kesetaraan manusia, apa pun latar belakang agama atau idiologinya.
c. Identitas primordialisme
Konsepsi identitas primordial hendak menyatakan bahwa akulah yang lebih berharga, yang baik,
hebat dan paling benar. Manusia adalah aku dan di luar aku adalah orang asing. Identitas primordial
mengejawantah di dalam suku-suku, etnis dan kelompok-kelompok keagamaan. Siapa yang berasal dan
masuk dalam suku, etnis dan kelompok agama tertentu, mereka adalah keluarga dan saudara. Di luar itu
adalah musuh, sehingga tidak perlu dibantu, diperhatikan, malahan bila perlu dihancurkan. Konsep
seperti ini tidak relevan dengan konteks hidup bersama-sama (living together) dalam masyarakat
majemuk yang menuntut adanya solidaritas, demokratisasi, persamaan, persaudaraan, kebebasan,
keadilan dan peluang yang sama untuk memperjuangkan kehidupan yang baik. Dengan demikian,
identitas primordialisme telah merusak tatanan keadaban humanis dan itu berati pula akan menghambat
pengembangan masyarakat majemuk yang berkeadaban.
d. Kemiskinan 102
Apabila suatu masyarakat memiliki ekonomi yang cukup baik, ia dapat memperkembangkan atau
memberikan penguatan bagi terlaksananya masyarakat majemuk yang berkeadaban. Faktor kemiskinan
telah membuat masyarakat tidak berdaya, tidak dapat berdikari dan menjadikannya bergantung pada
orang lain. Sebelum masalah kemiskinan ini diatasi dengan baik, sangat sulit diharapkan terwujudnya
masyarakat yang berkeadaban.
e. Irasionalisme
Irasionalisme merupakan faham yang melihat kosmos sebagai tempat yang magis, ilahi dan karena
itu manusia harus tinduk dan taat kepadanya, kalau manusia ingin hidup baik dan bahagia. Manusia
dipercayai sebagai bagian dari kosmos yang sifatnya lemah dan tidak berdaya. Oleh karena itu, tugas
manusia adalah patuh dan tunduk kepada kosmos dan dengan berbagai cara manusia menjaga
hubungan baik dengannya karena tanpa kosmos, manusia tidak akan bahagia. Irasionalisme
memandang manusia sebagai “yang dikuasai” oleh emosi-emosi dan nafsu, ketimbang rasio tanpa
bersikap kritis terhadap kosmosnya. Dengan begitu, irasionalisme dapat menghambat terciptnya
masyarakat majemuk yang berkeadaban. Alasannya, salah satu faktor yang turut memperkembangkan
terwujudnya masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah wacana yang rasional, sikap bernalar kritis,
dimana dinamika berpikir dikembangkan dan didayakan.
b. Melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap tingkah laku anggota keluarga. Misalnya,
menegur anak-anaknya, ketika ia melihat perbuatan mereka tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku. Hal ini sering dilakukan oleh orang tua, walaupun ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah
melakukan suatu social control. Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan cara-cara tanpa
kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coecive).
V. EVALUASI
1. Uraikanlah cara-cara mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban
2. Kemukakanlah faktor-faktor yang menghambat pengembangan masyarakat majemuk yang
3. berkeadaban
4. Rumuskanlah fungsi-fungsi lembaga kemasyarakatan dalam mengembangkan masyarakat majemuk
yang berkeadaban
VI. KEPUSTAKAAN
1. Berger, Peter, L; Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991
2. Cooley, Fr; Mimbar dan Tahta, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
3. Kariyanto; Konsep Agama Sipil Menurut Jean Jacques Rousseau Dalam Perkembangan Konsep Masyarakat
Sipil, Tesis, Program Pascasarjana UKSW Salatiga, 2006
4. Popper, Karl R; Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
5. Ritzer George- Goodman D.J; Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2004
6. Soekanto, Soerjono; Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
7. Titaley, John A; Negara, Agama dan Hak Azasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusifisme Agama,Wisma Kinasih
Bogor, 2004
8. Watloly, Aholiab; Tanggung Jawab Pengetahuan. Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural,
Kanisius, Yogyakarta, 2001.
9. Wibowo, Eddi dan Hassel Nogi S. Tangkilisan; Kebijakan Publik Pro Civil Society, Yogyakarta, YPAPI, 2004
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.4. Pemberdayaan Masyarakat
4. Bahan Bacaan Alkitab : Pkh. 11:1-6; Rom. 12:1-2.
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. Semester : I (Ganjil)
dan usaha (band. Filipi 2: 12-13 dan Roma 6: 13). Ia harus diawali dengan suatu komitmen yang sungguh-
sungguh dan dilanjutkan dengan usaha atau kerja keras. Tanpa komitmen dan usaha, pemberdayaan
hanya menjadi sesuatu yang bersifat verbalistik dan kehilangan makna yang fundamental. Ia juga dapat
menjadi suatu slogan yang kehilangan spiritnya. Ketika itu, ia hanya seperti sebuah lagu yang hanya
sebatas kata-kata untuk dinyanyikan atau didengungkan, sehingga dapat meninah-bobokan
masyarakat.
b. Pemberdayaan masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat praktis
Pemberdayaan masyarakat menjadi faktual, ketika masyarakat mempraktikannya dalam bentuk
usaha-usaha yang bersifat praktis dan bermanfaat. Usaha-usaha pemberdayaan masyarakat dimaksud,
juga harus menjadi suatu kebiasaan (habitus) dan gaya hidup (life style), yang dilakukan secara terus-
menerus dan berkelanjutan. Karenanya, masyarakat perlu mendisiplinkan diri untuk melakukannya,
sehingga ia menjadi kebiasaan. Dengan begitu, melaluinya karekater usaha masyarakat juga dapat
terbentuk.
c. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang membutuhkan waktu
Pemberdayaan masyarakat tidak berlangsung dalam tempo waktu yang singkat. Sebaliknya, ia
membutuhkan rentangan waktu yang cukup lama. Ia merupakan suatu proses yang panjang dan tidak
akan berhenti karena waktu (band. Ulangan 7 : 22). Pada rentangan waktu itu, masyarakat dapat
mengalami proses trial and error dari seluruh usahanya. Melaluinya, masyarakat akan menemukan
kegagalan dan keberhasilan. Masyarakat juga berupaya untuk mensiasati berbagai kegagalan yang
ditemukan dan menjadikan kegagalan itu sebagai peluang untuk meraih sukses yang lebih besar.
Karenanya, proses pemberdayaan masyarakat tidak pernah mencapai titik final, sebab di dalamnya ada
kehidupan yang saling menghidupkan secara berkesinambungan.
d. Pemberdayaan masyarakat lebih banyak ditunjukkan melalui perilaku dari pada kepercayaan.
Pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya dengan mengandalkan kepercayaan. Sebab tidak
mungkin hanya dengan memiliki kepercayaan, pemberdayaan itu dapat terjadi dengan sendirinya.
Karenanya, pemberdayaan membutuhkan pula perilaku atau perbuatan, sehingga pemberdayaan
masyarakat terealisir dengan baik (band. Yakobus 2 : 18).
e. Pemberdayaan masyarakat membutuhkan relasi dengan orang lain.
Relasi dengan orang lain merupakan perekat sosial yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk
membangun hubungan kerjasama. Pada pemberdayaan masyarakat, hal ini menjadi semakin penting
untuk diperhatikan. Manusia adalah makluk individu dan sekaligus makluk sosial. Karenanya, manusia
saling membutuhkan bantuan orang lain dalam mengaktualisasikan pemberdayaan dirinya, maupun
komunalnya (band. I Yoh. 1 : 7).
3. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, antara lain:
a. Potensi diri individu dan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sangat membutuhkan potensi diri individu dan masyarakat. Potensi itu
dapat berupa tenaga, pikiran, keterampilan, semangat kerja atau usaha yang tinggi, pengalaman, dan
lain-lain. Potensi-potensi diri tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dan hendaknya dijadikan
sebagai sumber kekuatan utama dalam proses pemberdayaan. Melalui proses pemberdayaan
masyarakat, potensi-potensi diri individu dan masyarakat dimaksud, dapat berkembang dengan baik dan
semakin berfaedah. Tanpa mendayagunakan potensi-potensi diri sebagai karunia Tuhan, pemberdayaan
akan mandek, pincang dan gagal.
b. Motivasi, keinginan dan minat
Motivasi, keinginan dan minat turut mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihannya
terhadap bidang usaha apa yang akan ingin dikembangkan. Selain itu, berpengaruh pula terhadap
keinginan seseorang untuk terlibat
104 atau tidak terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Karena
itu, ketiga aspek ini perlu dipertimbangkan secara baik.
c. Kemampuan (abilities)
Kemampuan merupakan talenta alamiah yang dimiliki oleh seseorang ketika dilahirkan. Setiap
orang memiliki kemampuan yang berbeda, tetapi kemampuan yang berbeda itu mesti digunakan untuk
membangun hidup bersama (band. Keluaran 31 : 3). Pemberdayaan masyarakat membutuhkan
kemampuan yang bervariatif, tetapi juga selektif terkait dengan aspek-aspek yang dikembangkan melalui
pemberdayaan. Artinya, tidak semua kemampuan dalam waktu yang bersamaan dan untuk satu jenis
usaha diperlukan sekaligus. Karenanya, seleksi terhadap aneka kemampuan dibutuhkan. Hal ini
dimaksudkan agar proses pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung secara efektif, efisien dan
sukses.
d. Kepribadian (personality)
Setiap individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat memiliki kepribadian yang
berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain. Perbedaan kepribadian tersebut merupakan hal
yang unik dan dibutuhkan untuk memberikan keseimbangan terhadap setiap pekerjaan. Namun
demikian, kepribadian juga dapat berpotensi sebagai sumber konflik dan turut mempengaruhi tujuan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
pemberdayaan masyarakat. Karenanya, perlu ada pengenalan terhadap setiap kepribadian manusia
yang terlibat di dalamnya.
e. Pengalaman (experience)
Pengalaman seseorang juga perlu dipertimbangkan dalam pemberdayaan masyarakat.
Pengalaman dimaksud dapat berupa pengalaman pendidikan, pengalaman pekerjaan, dan lain-lain.
Ketika hal ini kurang dipedulikan, akan mengganggu proses pemberdayaan masyarakat.
IV. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian pemberdayaan masyarakat
2. Uraikankanlah prinsip-prinsip dasar bagi pemberdayaan masyarakat
3. Kemukakanlah faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat
V. KEPUSTAKAAN
1. Andaya, Leonard Y; The World of Maluku. Eastern Indonesia In The Early Modern Period, University of Hawai
Press, USA, 1993
2. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 2002
3. Koentjaraningrat; Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta, 2003
4. Suwae, Habel M; Suara Hati Yang Memberdayakan, Pustaka Refleksi, Makassar, 2006
5. Warren, Rick; Pertumbuhan Gereja Masa Kini: Gereja yang Mempunyai Visi-Tujuan, Gandum Mas, Bandung,
2003
6. Wuwungan, O.E.Ch; Bina Warga. Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004
105
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 4. Kehidupan Bermasyarakat, Berbang-sa dan Bernegara
3. Sub Pokok Bahasan : 4.5. Muatan Lokal Mengenai Usaha-usaha Pemberdayaan Masyarakat Setempat
4. Bahan Bacaan Alkitab : Lukas 13 : 6 - 9.
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali tatap-muka (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
V. EVALUASI
1. Identifikasikanlah bentuk-bentuk usaha pemberdayaan masyarakat di daerah saudara
2. Diskusikanlah kelebihan dan kekurangan bentuk usaha pemberdayaan masyarakat yang telah ada
VI. KEPUSTAKAAN
1. Andaya, Leonard Y; The World of Maluku. Eastern Indonesia In The Early Modern Period, University of Hawai
Press, USA, 1993.
2. Cooley, Fr; Mimbar dan Tahta; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
3. Tanamal, P; Pengabdian dan Perjuangan, Offset PNRI, 1985.
4. Ubra, Luis Th; Hamaren. Studi Antropologi Terhadap Sistem Kerja Tolong Menolong di Kalangan Masyarakat
Kei, Maluku Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana UKSW, Salatiga, 2005.
5. Watloly, Aholiab; Maluku Baru:Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Kanisius, Yogyakarta, 2005.
107
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 5. Reproduksi Sehat
3. Sub Pokok Bahasan : 5.1. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Reproduksi Sehat pandangan iman Kristen
tentang Reproduksi Sehat
5.1.Pandangan iman Kristen tentang Reproduksi Sehat
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej.1:28; 2:24 (untuk SPB 5.1) dan Rom.13:12-14; Ibr.13:4 (untuk SPB 5.2)
5. Waktu Tatap-Muka : 1 x tatap-muka (100 menit), SPB 5.1 dan SPB 5.2 disajikan bersama
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Akibat-akibat perubahan masa puber pada sikap dan perilaku, antara lain:
- Ingin menyendiri
- Bosan
- Inkoordinasi, yaitu pertumbuhan pesat dan tidak seimbang mempengaruhi pola
koordinasi/pengaturan gerakan
- Antagonisme sosial, yaitu seringkali tidak mau bekerjasama, sering membantah dan menentang
- Emosi yang meningkat, yaitu kemurungan, merajuk, ledakan amarah; hilangnya kepercayaan diri,
yaitu takut akan kegagalan karena daya tahan tubuh menurun
- Konformitas, yaitu ingin selalu tampil sama dengan kelompoknya (konformitas).
Bila seoarang perempuan berusia kurang dari 20 tahun sudah hamil, maka ada beerapa faktor resiko
yang mengancam, antara lain: resiko keguguran, bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
2500 gram), bayi lahir prematur/kurang dari 9 bulan, kesulitan dalam proses kelahiran (seperti kemacetan
pada jalan lahir dan pendarahan) yang dapat mengakibatkan kematian calon bayi.
Resiko lain dari kehamilan yang tidak diinginkan antara lain berakibat pada :
a. Gangguan kejiwaan seperti ketakutan yang berlebihan, sedih, merasa dikucilkan, terkadang timbul
keinginan untuk bunuh diri karena telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama.
b. Bagi anak sekolah, ada resiko putus sekolah (drop out) karena sekolah tidak bersedia mengajar siswa
yang hamil.
c. Resiko tindakan pengguguran kandungan (aborsi) yang bertentangan dengan iman Kristiani.
Disamping itu abosri jika yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sangat tidak aman, bisa
mengakibatkan pendarahan dan berujung pada kematian.
d. Dari sisi iman Kristiani, kehamilan diluar nikah adalah perbuatan bertentangan dengan kebenaran.
Firman Tuhan (Rm. 13: 12-1 4; lbr. 13:4).
110
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
112
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Ektoparasit
NAMA IMS PENYEBAB GEJALA AWAL
(d) Disebabkan oleh Ektoparasit
Pedukulasis Pthitrus pubis Ada kutu atau telornya pada
pubis (kutu) rarribut kernaluan disertai rasa
gatal. Menular secara kontak
langsung pada waktu hubungan
seksual atau kontak badan biasa.
Gejala utama: gatal dikulit
Skabies Sarcoptes Masa Selain menular melalui hubungan
inkubasi : 2 - 4 kelamin banyak pula yang menular
minggu melalui sentuhan langsung atau
melalui pakaian
Gejala utama : gatal dikulit.
Mengawali bahasan pada bagian ini, perlu dikemukakan kesimpulan sementara bahwa, jika setiap
orang yang ingin memiliki kehidupan yang layak dalam arti bahwa tidak mengalami gangguan kesehatan,
terutama kesehatan reproduksi, maka orang tersebut harus hidup kudus di hadapan Allah. Kesehatan
reproduksi berhubungan dengan masalah-masalah seksual, karena organ reproduksi disebut juga organ
seksual.
Di dalam Alkitab tidak ada ayat-ayat tertentu yang secara eksplisit mengemukakan tentang
kesehatan reproduksi. Namun jika dipahami secara mendalam bahwa untuk mengalami kesehatan
reproduksi maka, setiap orang harus hidup secara benar dan kudus di hadapan Allah. Hal ini berarti,
terdapat ayat-ayat alkitab yang memberikan petunjuk bagi orang percaya tentang bagaimana hidup
kudus dan benar di hadapan Allah, terutarna yang berhubungan dengan memiliki prilaku yang sehat dalam
reproduksi. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan beberapa bagian alkitab yang secara implisit
berhubungan dengan kesehatan reproduksi :
1. Kolose 3 : 5 - 6; "Kerena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan,
kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan yang sama dengan penyembahan berhala,
semuanya itu mendatangkan murka Allah [atas orang-orang durhaka]
2. Roma 13 : 12 - 14; "Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan
perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! Marilah kita hidup
dengan sopan seperti pada siang hari, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam
perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan
janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya".
3. lbrani 13 : 4; " Hendaklah kamu semua penuh dengan hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu
mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan akan dihakimi Allah". Masih banyak ayat
alkitab lain yang bisa dipakai atau dikutip untuk memperkaya bagian ini. Silahkan para pembina
katekesasi dapat mencari bagian-bagian alkitab tambahan dan kemudian memberikan pemahaman
tentang makna ayat-ayat alkitab tersebut dalam kaitan dengan kesehatan reproduksi.
V. EVALUASI
1. Jelaskan pengertian kesehatan reproduksi pada manusia!
2. Jelaskan bentuk-bentuk kesehatan reproduksi pada manusia!
2. Deskripsikan faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam kesehatan reproduksi!
3. 4 Deskripsikan ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi!
4. Jelaskan pandangan iman Kristen 114 tentang kesehatan reproduksi!
V. KEPUSTAKAAN
1. Anonim. 2006. Informasi Dasar Kesehatan Reproduksi Manusia lnfeksi Menular Seksual (IMS), HIV / AIDS dan
Narkoba. Unicef Ambon, LPPM, Diskes Prov. Maluku, GMKI Cab. Ambon, PMKRI Cab. Ambon, HMI, dan
Gerakan Pramuka. Kwarda Maluku.
2. Elizabeth Reid, 1995. HIV & AIDS Interkoneksi Global. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
3. G. Riemer. 1998. Ajarlah Mereka, Pedoman 11mu Katekese. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF. A. Let en
Suprapto No. 28 Jakarta.
VI. KETERANGAN
1. Untuk uraian materi 6.1 sampai dengan 6.3 merupakan uraian materi untuk materi pokok 5.1 Pengertian dan
Bentuk-bentuk Kesehatan Reproduksi pada Manusia), sedangkan uraian materi 6.4 sampai dengan 6.5.
adalah untuk materi pokok 5.2 (Pandangan Iman Kristen tentang Kesehatan Reproduksi).
2. Materi ini termasuk cukup luas dan perlu pendalaman yang lebih bagi para pembina, oleh karena itu perlu
pendampingan darl para medis untuk menjelaskan materi-materi yang sekiranya sulit untuk dijelaskan. Di
samping itu, waktu satu kali pertemuan juga sangat sedikit dibanding luasan materi ini, untuk itu perlu ada
waktu tambahan yang bisa diatur sendiri oleh para pembina katekisasi.
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Hak asasi manusia bersifat universal karena setiap orang terlahir dengan hal yang sama, tanpa
memandang dimana mereka tinggal, jenis kelamin atau ras, agama, latar belakang budaya atau etnisnya.
Tak bisa dicabut karena hak-hak setiap orang itu tidak akan pernah bisa ditanggalkan dan direbut. Saling
bergantung satu sama lain dan tak dapat dipisah-pisahkan, karena semua hak –baik
sipil,politik,sosial,eknomi, maupun budaya- kedudukannya setara dan tidak akan bisa dinikmati sepenuhnya
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
tanpa ada pemenuhan hak-hak yang lainnya. Setiap orang diperlakukan secara setara dan diberi hak pula
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada hidupnya. Mereka
menegakkannya dengan peraturan hukum dan dikuatkan dengan adanya jaminan penenuntutan
terhadap para pengemban tanggung jawab (negara) untuk mempertanggungjawabkannya dengan
standar hukum internasional dan nasional.
Selain prinsip-prinsip HAM yang menjadi standar minimum pelaksanaan HAM, ada juga hukum HAM.
Dalam ketentuan hukum HAM, negara adalah pihak yang terikat kontrak. Oleh karena itu, negara
meratifikasi perjanjian HAM internasional, negara berjanji untuk mengakui, menghormati, melindungi,
memenuhi, dan menegakkan HAM sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian HAM
internasional tersebut.
Dalam hal ini, hubungan antara individu (warga negara) dengan negara bersifat kontraktual, di mana warga
negara telah menyerahkan mandat kepada negara untuk mengelola dan menyelenggarakan
pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, negara bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi,
memenuhi, dan menegakkan HAM individu warga negara. Dengan begitu, pihak negara adalah pemangku
kewajiban, sedangkan individu (warga negara) adalah pemegang hak. Negara tidak mempunyai hak asasi,
karena hak asasi manusia hanya diberikan kepada individu-individu. Kewajiban yang dimiliki oleh individu
dalam persoalan HAM hanya satu, yaitu menghormati hak asasi orang lain. Jika individu tidak melakukan
kewajibannya yaitu menghormati hak asasi orang lain, maka dikatakan melakukan pelanggaran HAM.
Begitu juga negara, apabila tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah dijanjikannya,
maka negara bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM. Namun, apa sesungguhnya yang menjadi
dasar untuk mengatakan bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran HAM. Apa bedanya
pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum? Seseorang bisa dikatakan telah melanggar hukum jika dia
terbukti melakukan tindakan melawan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku ini acuannya jelas,
misalnya, acuan hukum di Indonesia adalah pasal-pasal yang termuat di dalam KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana). Namun, seseorang yang melakukan pelanggaran HAM belum tentu bisa dikatakan
telah melakukan pelanggaran hukum.
Contohnya:
Seseorang yang dengan diam-diam memilih untuk mempekerjakan segolongan orang hanya dari suku atau
agama tertentu dan menolak orang-orang dari suku atau agama lainnya, telah melakukan tindakan
diskriminasi yang merupakan pelanggaran HAM, tetapi belum tentu merupakan pelanggaran hukum.
Berkaitan dengan batasan pelanggaran HAM, Pasal 1 ayat 6 UU No.39/Tahun 1999 tentang HAM
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi , menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Kesejahteraan di dalam berbagai bentuknya termasuk penindasan terhadap hak-hak manusia terjadi,
setelah manusia jatuh ke dalam dosa, setelah manusia melanggar perintah Allah. Kejahatan pertama
adalah pembunuhan di dalam keluarga, Kain membunuh Habel (Kej.4). Sejak itu, berbagai bentuk kejahatan
terjadi di dalam kehidupan masyarakat manusia. Salah satu bentuk kejahatan yang mendapat sorotan kritis
di dalam Alkitab adalah penindasan yang dilakukan oleh penguasa dan orang-orang yang lebih kuat
terhadap rakyat atau orang miskin (baca pengalaman Firaun dalam Keluaran 1). Contoh, penindasan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
terhadap orang Israel di Mesir oleh Firaun. Penindasan yang dialami bangsa Israel di Mesir, mendorong Allah
untuk bertindak membebaskan mereka (Kel.3:7-8). Peristiwa pembebasan inilah yang menjadi latar
belakang pemberian Hukum Taurat (Kel.20 dan Ulangan 5). Kesepuluh perintah Allah ini mencakup perintah
tentang peribadahan, kewajiban terhadap sesama manusia yang dimulai dari penghormatan terhadap
orang tua; dan diikuti dengan serangkaian perintah: jangan membunhu, jangan berzinah, jangan mencuri,
jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesama, dan terakhir: jangan menginginkan apapun yang
menjadi milik orang lain. Mencermati isinya yang singkat dan padat, hukum taurat dapat disebut sebagai “
piagam kebebasan manusia”. Allah membebaskan orang tertindas, dengan catatan bahwa penindasan
tidak boleh terulang lagi. Hukum taurat diberikan agar manusia memperoleh acuan yang jelas untuk
membangun masyarakat yang adil, yang menjamin hak-hak asasi manusia. Juga menjadi acuan bagi para
nabi Israel untuk mengkritisi keadaan masyarakat, penguasa dan orang-orang kalangan atas, seperti
diingatkan oleh kitab Pengkhotbah tentang kecenderungan umum orang-orang yang berkuasa, melakukan
penindasan.
Secara spesifik Alkitab tidak menyebutkan istilah HAM, namun demikian, penjelasan di atas
menggambarkan tentang substansi HAM. Bahwa kehidupan sejati dan utuh tidak akan terpenuhi apabila
hak-hak dasar setiap orang dilanggar atau diabaikan. Secara kongkrit, pemazmur mengungkapkan: “Berilah
keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang yang sengsara dan orang
yang kekurangan (Mazmur 82:3). Kitab Amsal menyerukan:”Bukalah mulutmu untuk orang bisu, untuk hak
semua orang yang merana” (31:8). Para raja (pemerintah) diharapkan untuk menegakkan keadilan dan
membela orang-orang tertindas, menyelamatkan orang miskin dari penindasan (Mazmur 72:2-4, 12-14). Iman
Kristen menyakini bahwa Allah membela dan berpihak pada orang-orang lemah dan sengsara.
V. EVALUASI
1. Sebutkan prinsip-prinsip HAM !
2. Jelaskan prinsip-prinsip tersebut dalam rangka penegakan HAM!
3. Apakah Alkitab membicarakan tentang persoalan HAM? Tunjukan contoh dan beri penjelasan.
4. Buatlah kliping tentang keadaan/contoh kongkrit tentang isu penindasan manusia. Bisa menggunakan
gambar atau berita dari majalah/koran/buku dan yang lainnya. Dan berilah komentar!
VI. KEPUSTAKAAN
1. Komnas HAM, Panduan Faislitator Pendidikan Hak Asasi Manusia,Komnas HAM: Jakarta, 2006
2. Komnas HAM, Pendidikan Hak Asasi Manusia Bagi Rohaniawan, Komnas HAM:Jakarta, 2002
3. UU No.39/ Tahun 1999 tentang HAM
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 6. Hak Azasi Manusia (HAM)
3. Sub Pokok Bahasan : 6.2. Gender
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 1 dan 2, dan beberapa teks lain-nya dalam uraian materi
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali (100
117 Menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Sedangkan gender, adalah istilah yang secara etimologis, digunakan untuk menandai perbedaan segala
sesuatu berdasarkan pada jenis kelamin, yang kemudian dirumuskan dalam kategori feminin dan maskulin.
Secara sosial, makna gender mengacu pada pemahaman, keyakinan, harapan, nilai dan norma
masyarakat tentang peran, perilaku, watak, dan posisi sosial perempuan dan laki-laki. (Komnas Perempuan:
Pedoman Pendokumentasiaan KTP sebagai Pelanggaran HAM, 2004). Pemahaman, nilai dan norma
dimaksud, secara turun temurun diwariskan dalam praktek hidup. Sehingga, telah diterima dan dibakukan
oleh masyarakat sebagai suatu keharusan. Beberapa pernyataan berikut ini memperlihatkan adanya
pemahaman yang dapat dikategorikan ke dalam makna gender.
Anak perempuan memiliki sifat lemah lembut, anak laki-laki berjiwa keras dan suka berpetualang.
Aktifitas masak-memasak adalah wilayah kerja perempuan, sedangkan bidang kerja otomotif adalah
dunianya laki-laki.
Perempuan berkewajiban untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak di rumah dan laki-laki bertugas
untuk mencari nafkah.
Seorang Presiden tidak boleh perempuan
Pernyataan di atas, memperlihatkan bahwa pandangan masyarakat telah mengkapling-kapling sifat,
aktifitas, jabatan dan kerja berdasarkan jenis kelamin. Masyarakat yang menentukan apa yang pantas dan
tidak pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki; atau apa yang diharapkan untuk menjadi perempuan
dan laki-laki sejati. Segala bentuk pembedaan, pengucilan dan pembatasan atas dasar jenis kelamin
dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.9 Kerap, pemahaman yang demikian dijadikan
pertimbangan dalam promosi jabatan, pendelegasian tugas dan pilihan sekolah atau karier seseorang. Mari
kita lihat salah satu implikasi pandangan gender terhadap partisipasi sekolah dan pilihan kerja anak
perempuan. Berangkat dari pandangan masyarakat bahwa tanggung jawab laki-laki adalah pencari
nafkah, sedangkan perempuan mengasuh anak. Maka, dalam kebanyakan prkateknya, dorongan untuk
anak laki-laki bersekolah diutamakan tanpa membatasi bidang studi tertentu. Sedangkan anak perempuan,
tidak usah sekolah tinggi cukup tahu baca, masak dan jahit. Sekarang ini, pencari nafkah bisa perempuan
dan laki-laki. Dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isteri menjadi sasaran kekerasan fisik
dan psikis, apabila anak bandel atau gagal sekolah. Isteri dianggap tidak becus menjalankan tugasnya
membina anak. Padahal, tanggung jawab pembinaan dibebankan kepada orang tua (ayah dan ibu).
Pada kebanyakan kasus, perempuan menjadi sasaran kekerasan atau diskriminasi pada saat mereka
memenuhi peran gendernya sesuai dengan nilai dan harapan masyarakat.
Dalam konteks ini, kita mengakui bahwa telah terjadi ketidakadilan gender terhadap perempuan, dan
terbangun suatu relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki.
9
Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pris dan wanita, UU No.7/1984,pasal 1
10
Kamla Bhasin, Memahami Gender diterjemahkan dari Understanding Gender, Jakarta:TePLOK Press, 2001, hal.4
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Gereja Protestan Maluku berkewajiban untuk turut membangun
budaya hidup yang demokratis, di mana warga gereja menghargai dan berkomitmen untuk menjunjung
prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender, dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat.
Tuntutan ini terutama, untuk menyatakan sikap iman terhadap fenomena diskrimimansi dan kekerasan
terhadap perempuan.
V. EVALUASI
1. Sebutkan ciri biologis yang membedakan perempuan dan laki-laki?
2. Uraikanlah makna gender sebagai sebuah konstruksi sosial-budaya!
3. Sebutkanlah bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan gereja.
4. Uraikanlah prinsip-prinsip dasar tentang kesetaraan dan keadilan gender berdasarkan Alkitab!
5. Apa gagasan anda untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan?
VI. KEPUSTAKAAN
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 6. Hak Azasi Manusia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.3.Perlindungan Hak Anak
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 17:7; Mat. 19:13-15; Mks. 9:42
5. Waktu Tatap-Muka : 1 kali (100 menit)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Materi utama untuk pokok bahasan ini adalah UU RI, No.23/Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.
Pendalaman materi utama ini akan diproseskan sesuai petunjuk berikut:
1. Pada pertemuan katekesasi sebelumnya, kepada katekisan diberikan UU No.23 Tahun 2002.
2. Katekisan diminta membaca dan membuat laporan tertulis berdasarkan pertanyaan dibawa ini:
a. Apa saja hak dan kewajiban anak menurut UU tersebut?
b. Apa saja kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah untuk melindungi anak?Termasuk juga
kewajiban dan tanggung jawab untuk penyelenggaraan perlindungan anak.
c. Apa saja kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam hal perlindungan anak?
d. Apa saja peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak?
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
3. Dalam pertemuan katekisasi, apabila jumlah katekisan memungkinkan, maka dibagi ke dalam 4 kelompok
sesuai empat pertanyaan di atas untuk didiskusikan. Bila tidak memungkinkan, diproseskan sesuai kondisi
yang ada, memilih beberapa orang untuk presentasi dan membahas langsung secara bersama.
4. Kelompok presentasi dan kemudia, pengajar menyimpulkan.
5. Pengajar mempersiapkan beberapa informasi tentang persoalan anak di lokasi setempat dan berdasarkan
masalah tersebut mempertanyakan apa yang harus dilakukan oleh anak-anak, orang tua, pemerintah
setempat dan gereja.
V. EVALUASI
1. Sebutkan definisi anak menurut UU No.23 Tahun 2002
2. Jelaskan pengertian perlindungan anak menurut UU No.23 Tahun 2002.
3. Jelaskan hak dan kewajiban anak menurut UU No.23 Tahun 2002.
4. Jelaskan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk memberi perlindungan bagi
anak.
VI. KEPUSTAKAAN
1. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia: Lembar Fakta
I. IDENTITAS
1. Prograrn Saiian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 7. Allah Yang Memberkati
3. Sub Pokok Bahasan : 7.1. Pemberian Berkat: "Allah menjadi Allah bagi umat Israel, Keturunan dan
tanah”
4. Bahan Bacaan Alkitab : Kej. 17:I-8; Bil. 6:24; Ul. 7:12-16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 Menit (1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
2. Tanah :
Menduduki tanah Kanaan sebagai tanah perjanjian. Hak untuk memiliki tanah tersebut Allah berikan untuk
selama-lamanya, dan tanah itu diberkati sehingga berkelimpahan untuk dinikmati.
Di dalam Bilangan 6 : 24 Allah memberikan berkat imamat yakni memberkati, melindungi, memberikan kaisih
karunia dan damai sejahtera. Selain itu, didalam Ulangan 7 : 12 - 16 Allah mengasihi umat-Nya, Allah
memberkati buah kandungan mereka, Allah memberkati hasil bumi (tanaman). juga menghindarkan
penyakit dan Allah membuat umat-Nya bahagia sekarang dan seterusnya.
Berbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang ini yakni berdasarkan I Korintus 12 : 9 ; I Korintus 13:13.
dikatakan Allah memberikan iman untuk memiliki kekuatan secara pribadi juga demi pelayanan dan
kesaksian. Allah memberikan karunia untuk menyembuhkan orang sakit (kesehatan), maupun yang berwujud
stress atau frustrasi.
Setiap orang dilengkapi dengan iman, pengharapan dan kasih untuk terus berkarya demi kelangsungan
hidup orang percaya.
Berdasarkan I Raja-raja 3 : 12 - 13, I Korintus 12 : 7 bcrbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang im
diwujudkan kepada kita dengan hati yang penuh hikmat. diberikan kekayaan dan kemuliaan, dilengkapi
dengan penyataan roh dan memperjelas keperbedaan orang percaya schingga dapat membuat orang
lain percaya. Sikap hidup yang benar sebagai jawaban atas berkat Tuhan dalam hidup kita adalah
mengasihi Allah dengan cara taat pada perintah Allah dan setia melayani. Percaya pada janji-janji Allah
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
yakni tidak mudah putus asa/stress/frustrasi, sabar menanti jawaban Allah dalam satu permohonan doa.
terus mengimani Allah didalam Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tidak menyimpang pada
kepercayaan sia-sia atau kekuatan-kekuatan dunia yang bermuara pada kenikmatan dunia, serta
memperlabakan berkat-berkat yang dimiliki melalui bakat/talenta, belajar mengucap syukur, dan rela
berbagi dengan sesama yang menderita atau memerlukan pertolongan.
V. EVALUASI :
1. Sebutkanlah bentuk berkat Allah dalam konteks kehidupan Abraham.
2. Identifikasikanlah berbagai bentuk berkat Tuhan bagi kita sekarang.
2. Diskusikan dan rumuskanlah sikap hidup yang benar sebagai jawaban berkat Tuhan atas hidup kita.
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 7. Allah Yang Memberkati
3. Sub Pokok Bahasan : 7.2. Anugerah Iman
7.2. Berkat Hikmat dan Kasih Karunia
4. Bahan bacaan Alkitab : Untuk 7.1. = I Kor. 12:9; 13:13;
Untuk 7.2. = I Raj. 3:12-13; I Kor. 12:7-14; 25
5. Waktu Tatap-Muka : 100 Menit ( SPB 7.2 dan 7.3 disajikan dalam 1 X Pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
b. Rahab :
Dia dibenarkan karena perbuatannya vaitu menolong orang yang disuruh Yosua untuk mengintai kota,
Yerikho sehingga mereka bebas dari pengejaran dan dan pengepungan musuh (ayat 25). Wujud berkat
Allah bagi manusia menurut Alkitab adalah Allah memberikan karunia yang berbeda-beda seperti Roh untuk
memberikan iman dan karunia untuk menyembuhkan. Disamping itu Allah menganugerahkan iman untuk
memperteguh kepercayaan seseorang. pengharapan untak menyanggupkan seseorang, terus bergantung
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
pada Tuhan dan kasih (sebagai yang utama) yang menghubungkan relasi antara Allah dengan manusia
berdosa dan juga antar manusia sehingga manusia didamaikan dengan Allah dan juga dengan sesamanya.
Hikmat dan kasih karunia mengantarkan manusia untuk memiliki hikmat agar manusia mengerti kehendak
Allah, manusia dapat membedakan kehendak Allah, yaitu yang benar dan mendatangkan kebaikan.
mengantar manusia untuk menemukan maksud-maksud Tuhan serta mengisyaratkan sikap takut.Tuhan.
Contoh sikap hidup berhikmat dalam hidup manusia. adalah takut akan Tuhan. dapat dipercaya. membuat
keputusan yang berimbang, tidak memihak/bijaksana, tidak membeda-bedakan/menghargai perbedaan
dan memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera.
V. EVALUASI :
1. Jelaskanlah pengertian Iman.
2. Jelaskanlah pengertian Iman sebagai anugerah
3. Kemukakanlah pandangan yang menghubungkan iman dan perbuatan nyata.
4. Bagaimanakah wujud berkat Allah bagi manusia menurut Alkitab.
5. Jelaskanlah pengertian hikmat dan kasih karunia bagi kita.
6. Berikanlah contoh sikap hidup berhikmat dalam hidup manusia.
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 8.Allah Yang Berkorban dan Melayani
3. Sub Pokok Bahasan : 8.1. Allah Mengorbankan Kemuliaan Sorgawi dan Menjadi Manusia
4. Bahan bacaan Alkitab : Mat.1:21; Fil.2:5-11; Ibr. 9: 26 – 28.
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Perjanjian Baru mengangkat pokok pikiran korban untuk menjelaskan “kematian Kristus, yakni Kristus yang
mati untuk menebus dosa-dosa kita” (1 Kor.15:3). Oleh karena itu, Yesus disebut sebagai Anak Domba Allah
yang menebus dosa dunia (Yoh.1:29,36). Pengorbanan Yesus adalah wujud dari Anak Domba Allah yang
berkorban untuk menebus manusia dari hukuman dosa dan maut.
2. Dalam sistem atau konsep keagamaan lain, umat percaya bahwa Allah tidak bisa menderita. Tak ada Allah
ataupun ilah-ilah yang pernah menderita untuk kita. Apa yang diyakini sebagai ilah itu sesuatu yang terlalu
besar, atau terlalu impersonal (tidak berujud manusia), atau terlalu jauh, atau terlalu tidak peduli. Allah tidak
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
menderita bagi umat. Demikianlah asumsi yang tidak bisa dibantah dari agama-agama dan sistem filosofis
lainnya.
Namun dalam Yesus yang berkorban dan disalibkan, umat manusia diperhadapkan dengan revolusi
dramatis dalam pemahaman kita tentang Allah. Kejutan Injil Kristen adalah ini: Allah telah memilih untuk
menderita karena dosa dan pemberontakan umat manusia. Dengan kedua tangan yang terentang, dipaku
di kayu salib, Yesus menoleh kepada para serdadu yang angkuh dan kerumunan orang yang berteriak
“salibkanlah dia, bebaskanlah Barabas”, Yesus berucap dengan kasis yang amat dalam, “Ya, Bapa,
ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” (Lukas 23-24).
Adapun wujud dari pengorbanan Allah di dalam Yesus sesungguhnya telah berawal dari wujud kedatangan
Yesus yang menjadi manusia melalui kelahiran seorang bayi malaf. Di wajah bayi Yesus sesungguhnya Allah
mengosongkan dirinya (bahasa Yunani: kenosis), laksana mahkota kemuliaan raja yang di kepalaNya
ditanggalkan, dibuka, dikosongkan, sehingga Ia sungguh-sungguh menjadi rendah, bahkan lebih rendah
dari manusia (bandingkan Filipi 2:7-8). Sebab mahkota kemuliaan raja itu, kini diganti dengan mahkota duri
bagi seorang yang disalibkan dengan tulisan “Inilah Yesus orang Nazareth, Raja orang Yahudi !” Dengan
kata lain, melalui kenosis, Yesus dengan rela meninggalkan kemuliaanNya bersama sang Bapa dan memilih
untuk hidup dan mati sebagai (dan demi) manusia !
3. Apa yang dinyatakan Allah melalui pengorbanan dan kasihNya yang tuntas (bandingkan ucapan Yesus di
salib: “Sudah Selesai !”), sesungguhnya menuntut jawaban atau pilihan sikap dan keputusan manusia yang
percaya kepadaNya. Yesus yang telah mati dan bangkit itu, menampakkan diri di tasik Tiberias dan bertanya
kepada Petrus yang pernah menyangkalinya sebanyak tiga kali, “Apakah engkau mengasihi aku lebih dari
mereka ini ? “ Pertanyaan yang diulangi sebanyak tiga kali, dijawab pula oleh Petrus sebanyak tiga kali, “
Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Lalu Yesuspun berkata (memerintah) kepada Simon
Petrus untuk “Gembalakanlah domba-dombaKu !”
Dengan kata lain, Yesus tidak menuntut banyak dari apa yang harus kita lakukan untuk menyatakan cinta
kasih kita kepadaNya demi merespons kasih dan pengorbananNya itu bagi kita, selain tantangan
pengutusan ini: “gembalakanlah domba-dombaKu”. Dengan kata lain Yesus menghendaki adanya
kesungguhan dari tugas dan pengabdian kita untuk berkarya bagi Tuhan dan sesama yang menjadi bagian
dari tanggung jawab kita pula (domba-domba yang patut kita gembalakan).
Di salib itu, Yesus seakan merentangkan tanganNya dan bertanya: INILAH YANG AKU BUAT BAGIMU, APAKAH
YANG ENGKAU BUAT BAGI-KU ?
Lagu rohani popular, S’PERTI YANG KAU INGINI, nampaknya menjadi penting untuk menempatkan seluruh
sikap dan penghayatan kita sebagai seorang murid terhadap kasih dan pengorbanan Tuhan kita dan
respons kita terhadapnya (Bandingkan 1 Pet.1:18-20). Syair lagu itu demikian :
Bukan dengan barang fana,
Kau membayar dosaku,
Dengan darah yang mahal,
Tiada noda dan cela
Bukan dengan emas perak
Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih
Dan pengorbananMu
Reef. Kutelah mati dan tinggalkan
Cara hidupku yang lama
Semuanya sia-sia dan tak berarti lagi
124
Hidup ini kuletakkan
Pada mezbahMu ya Tuhan
Jadilah padaku seperti yang Kau ingini.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah pengertian pengorbanan Allah dalam konteks pengosongan diri Yesus untuk menjadi manusia
2. Jelaskanlah makna pengorbanan Allah
3. Diskusi dan refleksikanlah pengorbanan Allah dan sikap manusia berdasarkan lagu “S’perti yang Kau Ingini”
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : FIRMAN
2. Pokok Bahasan : 8. Allah Yang Berkorban dan Melayani
3. Sub Pokok Bahasan : 8.2. Pelayanan Yesus
4. Bahan Bacaan Alkitab : Yohanes 13:1-20; Mat.20:28; Mrk.10:45
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Dalam PB, Yesus juga disebut sebagai pelayan (Roma 15:8). Seluruh kehidupan Yesus adalah pelayanan
itu sendiri. Oleh karena itu, selama 33 tahun masa hidup Yesus semuanya ditandai dengan jiwa melayani tanpa
pamrih dan tanpa batasan ruang125 dan waktu. Tujuan hidup Yesus bukanlah untuk mendapatkan pelayanan
melainkan untuk memberikan pelayanan (Bandingkan ucapanNya, “Aku datang bukan untuk dilayani
melainkan untuk melayani”, Mat. 20”28; Mark.10:45).
Alkitab menggambarkan Yesus bukan sebagai Tuhan yang berjaya atau berkuasa di singgasana,
melainkan sebagai Tuhan yang melayani dan menghamba. Yesus adalah diakonos (pelayan), bahkan doulos
(budak).
Jiwa Kristus adalah jiwa yang melayani atau menghamba.. Maka demikian juga sepatutnya jiwa para
pengikutNya adalah jiwa yang melayani. Siapapun yang bersedia berjalan di belakang Yesus seharusnya
adalah orang yang rela melayani dan menghamba.
Memang harus diakui bahwa dalam realisasinya pelayanan itu sendiri sangatlah tidak mudah, karena
diperhadapkan dengan pelbagai resikonya. Sebab hakikat dari melayani bukanlah berarti kita bersibuk ini dan
itu atau sekadar memberi ini dan itu. Pelayanan yang sejati adalah ketika kita mengosongkan diri dan
menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain. Sementara
kecenderungan orang banyak justru bertentangan: kita lebih suka untuk mengutamakan kepentingan diri
sendiri. Dengan demikian sikap hidup yang melayani terkadang membuat kita laksana hidup “,melawan arus”.
Namun itulah jalan kemuliaan bagi setiap orang yang mau menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Walaupun Allah di pihak yang benar dan manusia di pihak yang salah, namun Allah mendamaikan diriNya
melalui Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran kita (2 Kor.5:18-19). Dan inilah berita yang paling
sentral dalam Alkitab, yakni kita diajak untuk berdamai dengan Allah (2 Kor.5: .20). Lalu sebagai kelanjutannya
pula kita diminta untuk menjadi pelayan pendamaian bagi dunia. Inilah pelayanan gereja yang paling sentral,
yakni memberitakan karya pendamaian Yesus, menerima tiap orang sebagaimana adanya dan mendamaikan
dia dengan Tuhan, mendamaikan orang atau golongan yang saling memembenci, memulihkan keluarga yang
retak, mendamaikan negara yang bermusuhan. Gereja ada agen pendamaian Tuhan. Untuk itu di dalam
gereja sendiri haruslah ada pendamaian. Kisah Anak bungsu yang hilang lalu bertobat dan kembali kepada
bapanya yang justru membuka tangan dan berlari menyambut anaknya, sebagaimana yang
diperumpamakan Yesus dalam Lukas 15, sesungguhnya memperlihatkan wujud dari Bapa sang Pelayan
Pendamaian yang sesungguhnya. Sikap Bapa yang berlari menyambut si anak (sesuatu yang tidak lazim dalam
budaya Israel), sikap Bapa yang merangkul dan mencium si anak tanpa menunggu sang anak meminta
ampun terlebih dulu, sikap Bapa yang tidak menuntut ganti rugi dari si anak atas apa yang telah diperbuatnya,
sesungguhnya memperlihatkan sikap Bapa sorgawi yang sungguh-sungguh penuh kasih dan mengulurkan
selalu tangan pendamaian bagi siapapun yang menginginkannya. Itulah Allah yang digambarkan melalui
Yesus, yaitu Allah yang mau berdamai. Kalau Yesus saja yang adalah Tuhan tidak menolak orang berdosa yang
datang kepadaNya, maka apakah hak kita untuk menolak siapapun yang berbeda, dan termasuk yang
membenci kita ? Bukankah seperti yang dinarasikan oleh Fransiskus dari Assisi dalam doanya, demikianlah pula
hidup kita:
Ya Tuhan…..Jadikanlah kami alat-alat pendamaianMu
Biarlah kami mengasihi di mana ada kebencian;
Memaafkan di mana ada dendam;
Mempersatukan di mana ada perpecahan;
Menimbulkan pengharapan di mana ada keputusasaan;
Memberi iman di mana ada kebimbangan;
Membawa terang di mana ada kegelapan;
Memberi kegembiraan di mana ada kesedihan;
Biarlah kami jangan mencari untuk dihibur, melainkan menghibur;
untuk dipahami, melainkan memahami;
untuk dicintai, melainkan mencintai.
Sebab di dalam memberi kami menerima,
di dalam mengampuni, kami diampuni;
di dalam kematian, kami dilahirkan dalam hidup yang sejati.
Di dalam PuteraMu yang diberkati, Yesus Kristus Tuhan kami, Amin.
V. EVALUASI
1. Jelaskanlah arti pelayanan dalam konsepsi Alkitab
2. Jelaskanlah makna pelayanan Yesus dalam konteks pelayanan pendamaian
3. Diskusi dan refleksikanlah pengorbanan Allah dan sikap manusia berdasarkan puisi Fransiskus dari Asisi
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 6. Pertumbuhan Gereja dan Teologi di Indonesia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.1. Sistem Pembinaan Teologi Umat di GPM
4. Bahan bacaan Alkitab : I Korintus 14 : 10 - 17
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Merefleksikan ulang dan mengembangkan sistem pertumbuhan gereja dan perkembangan teologi di
Indonesia
Memahami sistem pembinaan teologi umat di GPM sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan memahami
perkembangan pendidikan teologi (protestan) itu sendiri di Indonesia, yang antara lain dapat dikemukakan
secara singkat sebagai berikut::
(a) Periode Abad ke-19
Abad ke-19 ini dapat menjadi titik awal perkembangan (pendidikan) teologi di Indonesia, sekalipun belum
dalam bentuk yang formal. Misalnya, pada tahun 1821, melalui kehadiran dan peranan Yoseph Kam yang
disebut pula sebagai rasul Maluku dan kemudian oleh Roskott pada tahun 1835-1864 dengan
menyelenggarakan suatu pendidikan untuk guru injil (semacam wakil pendeta) di Ambon (lokasinya di Batu
Merah).Prakarsa pribadi ini selanjutnya diambil alih oleh pemerintah Belanda dengan kebijakan pemerintah
tentang jabatan pendeta pribumi (Inlandsch Leerar) tahun 1867 dan dipublikasikan tahun 1870. Kebijakan
pemerintah ini yang mendorong didirikannya STOVIL (School tot Opleiding van Indlandsche Leeraren) di
Ambon (1885) dan di Tomohon (1886), sebagai lembaga pendidikan formal teologi. Di wilayah Sumatera
Utara, Rheinische Mission dari Lutheran – Jerman menyelenggarakan sekolah guru yang mengajarkan
“teologi” pada tahun 1868 – 1879.
Muatan pendidikan teologi pada masa tersebut sangatlah bibliosentris (artinya: menempatkan Alkitab
sebagai sentrum atau pusat studi) dan eklesiosentris (menempatkan gereja sebagai pusat studi). Di luar kelas
formal, usaha-usaha berteologi berkembang ke arah yang berbeda. Pergumulan jemaat-jemaat setempat
telah mendorong beberapa orang untuk memperhatikan masalah-masalah teologis setempat. Tercatat
misalnya, bagaimana Paulus Tosari dan Kyai Sadrach Surapranata di Jawa Tengah, S. Kruyt di Poso dan
Henoch Lumbantobing dan Nommensen di Batak mendiskusikan hubungan Injil Yesus Kristus dengan nilai-
nilai budaya setempat. Dengan kata lain, pada masa itu, orang-orang Kristen di Indonesia, sudah mulai
berteologi dengan metode induktif, yakni metode yang memperhatikan hal-hal yang khusus dalam
kehidupan sehari-hari jemaat setempat untuk dapat mencapai suatu kesimpulan teologis.
(b) Periode Abad ke-20
Pada tahun 1902, STOVIL dibuka di Kupang, kemudian disusul pendidikan teologi di Yogyakarta tahun 1906,
pendidikan teologi Bale Wijata di Malang tahun 1927, HTS (atau STT Jakarta) tahun 1934 dan Sekolah
Pendeta Makassar di SoE Timor tahun 1948, yang kemudian pada tahun 1954 dipindahkan ke Makassar,
yang kini menjadi STT INTIM Makassar.
Memasuki tahun 1960-an, banyak sekolah teologi didirikan di Indonesia. Hampir setiap sinode gereja di
Indonesia memiliki sekolah teologinya sendiri. Kini sekolah-sekolah teologi tersebut terhimpun dalam sebuah
wadah pendidikan teologi nasional: PERSETIA (Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia) yang
didirikan pada 27 Oktober 1963. Namun, masih banyak pula lembaga pendidikan teologi di luar PERSETIA
tersebut. Misalnya, ATA (Asia Theological Association) yang bersifat Injili, juga berkembang di Indonesia.
Pada tahun 1981, didirikan PASTI (Persekutuan Antar Sekolah Theologia Injili), yang menjadi wadah
berkumpulnya sekolah Alkitab dan seminari injili.
Bila dilihat dari aspek isi dan metode
127 berteologi, maka selama periode abad ke-20 ini Nampak jauh lebih
rumit dibandingkan abad sebelumnya. Banyak masalah dalam periode ini sangat mempengaruhi isi teologi
di Indonesia, seperti munculnya kesadaran kebangsaan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia, konflik
antara daerah dan pusat serta masalah pembangunan nasional. Karena itu, periode abad ke-20 ini dapat
dibagi lagi menjadi subperiode 1 (tahun 1900-1960) dan subperiode 2 (tahun 1960-2000).
(b.1.) Subperiode 1 Abad ke-20 (1900 – 1960):
Ada dua konteks sosial-politik yang dominan dalam subperiode 1 ini, yakni (1) bangkitnya perasaan
kebangsaan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia; dan (2) munculnya konflik ideologi yang
mendapat bentuk dalam Nasakom (Nasionalisme-Agama/Islam-Komunisme) serta konflik pemerintah
pusat dan daerah melalui peristiwa Permesta dan DI/TII yang berlangsung sekitar tahun 1950-an
hingga 1960-an.
ditulis oleh R.Soedarmo, sekaligus sebagai orang Indonesia I yang menyusun karangan tentang
keseluruhan dogmatika. Walaupun patut diakui bahwa buku tersebut sangat bercorak teosentris
(Allah sebagai pusatnya) dan Calvinistis. Konteks, misalnya agama-agama lain, hanya mendapat
sedikit perhatian.
Dalam subperiode ini pula ada usaha penerjemahan Nyanyian Rohani (terbit 1949) yang dilakukan
oleh I.S.Kijne yang bekerja sama dengan beberapa teolog Indonesia, seperti J.L.Ch.Abineno. Pada
tahun 1955 isi lagu buku tersebut diperluas menjadi Mazmur dan Nyanyian Rohani. Sehubungan
dengan penyebaran Alkitab, pada tahun 1954, didirikan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang
sampai sekarang berperan dalam penerjemahan, penerbitan dan penyebaran Alkitab.
(b.2.) Subperiode 2 Abad ke-20 (1960 – 2000):
Dalam periode ini, pendidikan teologi secara kontekstual mulai dipikirkan secara serius. Dialog dengan
pandangan hidup budaya lokal dan agama-agama lain lebih diperhatikan. Contohnya dengan buku
dogmatika Iman Kristen (1973) karangan Harun Hadiwijono. Selama periode ini, dilaksanakan empat
kali konsultasi teologi, yakni tahun 1970, 1979, 1982 dan 1994, yang secara umum dibingkai dalam tema
“pembangunan nasional”.
Konsultasi I yang berlangsung di awal-awal pemerintahan ORBA, menghasilkan konsep tentang
pergumulan rangkap (gereja di Indonesia pada satu pihak bergumul dengan firman Allah dan
sekaligus pada pihak lainnya bergumul dengan masyarakat Indonesia yang memulai pembangunan
nasionalnya). Dari konteks tersebut mengalir pula dalam konteks gereja-gereja di Indonesia (DGI)
tentang 4 sikap gereja di Indonesia dalam kaitannya dengan pergumulan rangkap tersebut, yakni: (1)
positif, (2) kreatif, (3) realistis, dan (4) kritis.
Masalah yang menonjol pada periode ini adalah masalah Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam
konteks sosial-politik saat itu, maka gereja-gereja di Indonesia lebih bersifat akomodatif. Karena itu,
muncul ungkapan: “Partisipasi gereja dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila”. Tanpa disadari, sesungguhnya teologi telah bergeser menjadi ideologi atau menjadi alat
pembenaran kegiatan pembangunan yang dalam prosesnya telah pula melahirkan sikap-sikap
negatif seperti korupsi dan ketidakadilan. Kandungan teologi selama dasawarsa ini adalah terlalu
dominasinya konteks, terutama masalah ideologi Pancasila sebagai asas tunggal.
Pada tahun 1990-an, ada lima perkembangan penting, yakni:
(1) Munculnya kesadaran kritis terhadap kehidupan dan praktik gereja serta masyarakat luas.
Konsultasi PERSETIA tahun 1994 yang mengambil tema “Memahami dan Menguji Roh-roh Zaman”
dan Konsultasi PERSETIA tahun 1999 tentang Evaluasi Kristis terhadap PGI dalam memasuki Milenium
III, sesungguhnya merupakan dua contoh tentang kesadaran kritis tersebut.
(2) Wacana tentang teologi feminis dan peranan perempuan dalam pendidikan teologi dan gereja
semakin mendapat perhatian yang serius. Munculnya organisasi PERWATI (kini menjadi PERUATI)
sebagai Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia yang lahir tahun 1995,
merupakan indikasi fenomena tersebut.
(3) Masalah-masalah seperti HAM (Hak Asasi Manusia) dan lingkungan hidup mulai dipandang
sebagai masalah teologis, seiring dengan berbagai kebijakan politik yang melanggar HAM dan
kebijakan ekonomi pembangunan yang merusak lingkungan hidup.
(4) Kesadaran untuk membedakan teologi sebagai ilmu dengan teologi sebagai ajaran resmi geerja.
Berteologi tidaklah harus selalu menganut suatu keyakinan teologis tertentu. Konsekuensinya,
peserta didik di sekolah-sekolah teologi bisa mencakup mereka yang tidak berkeyakinan Kristen.
(5) Tekanan pada aspek berteologi sebagai suatu kegiatan yang bersifat eksperimental dan bukan
dalam rangka perumusan ajaran gereja.
Dengan demikian dapat 128 disimpulkan bahwa metode berteologi yang dominan berlaku pada
dasawarsa 1990-an ini adalah metode induktif dengan pencermatan yang kritis dan luas terhadap
masalah-masalah konteks (dampak pembangunan, perempuan, HAM dan lingkungan).
(c) Periode Abad ke-21 (tahun 2001 hingga kini)
Memang belum dapat dirumuskan secara tegas tentang arah dan perkembangan teologi di abad
kontemporer ini. Namun dengan mencermati beberapa indikasi, maka dapat diprediksikan bahwa
agenda-agenda teologis yang muncul, antara lain: kemiskinan (sebagai dampak ekonomi global/pasar
bebas, perubahan iklim dan bencana alam, demokratisasi (wacana tentang civil society), spiritualitas,
ideologi, budaya lokal, kebangkitan agama-agama non Kristen dan hubungan antar-penganut agama-
agama yang plural, serta pengaruh dari teologi pentakostal dan evangelical dan bahkan fenomena post-
modernisme.
Di GPM sendiri, sistem pembinaan teologi umat dikembangkan, paling kurang melalui 4 (empat) jalur. Jalur
tersebut adalah:
(1) Jalur konstitusional.
Jalur ini mengisyaratkan tentang sejumlah arah dan ketentuan teologi yang dirumuskan melalui perangkat
konstitusional gerejawi seperti TATA-GAREJA, PIP/RIPP yang merupakan Renstra (Rencana Strategis
Pelayanan GPM) untuk 10 tahun), Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM yang ditetapkan sejak Persidangan
ke-35 Sinode GPM tahun 2005, Peraturan Organik, dan pelbagai ketentuan gerejawi yang ditetapkan
melalui lembaga persidangan di aras Sinode, Klasis, hingga jemaat. Sehubungan dengan itu pula, patut
dikemukakan bahwa inspirasi Tema dan Sub Tema gerejawi yang ditetapkan secara resmi melalui jenjang
gerejawi tertinggi dan selanjutnya diimplementasikan di aras klasis maupun jemaat sesungguhnya
ditempatkan, sebagai arah, visi dan misi gereja secara sinodal, klasikal maupun di jemaat-jemaat. Dengan
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
begitu akan memungkinkan adanya sentralisasi visi dan desentralisasi prakarsa, sesuai dengan konteks
gumul masing-masing.
(2) Jalur institusional.
Pembinaan teologi umat di GPM dikembangkan pula secara kelembagaan, antara lain melalui (a)
lembaga pendidikan yang dimiliki gereja, seperti Persekolahan YPPK Dr.J.B.Sitanala, maupun UKIM,
khususnya Fakutas Teologi UKIM, (b) Lembaga Pembinaan Jemaat GPM (LPJ-GPM). Selain itu wadah-wadah
pembinaan dan organisasi gerejawi dari SMTPI/Katekisasi, AMGPM, Wadah Pelayanan Perempuan, Laki-laki,
Unit/Sektor, dengan forum-forum pengambilan keputusan gerejawi di aras jemaat, seperti persidangan
jemaat, sesungguhnya merupakan jalur-jalur pembinaan teologi umat yang telah ditata sedemikian rupa
sehingga umat dapat mengamali proses belajar dan doing teologi secara institusional. Penataan
kelembagaan jemaat, baik secara territorial maupun kategorial, turut menempatkan karakteristik jemaat
dalam pengembangan teologinya.
Dalam konteks ini, kendati belum terlalu optimal perlu dikemukakan bahwa sarana Percetakan GPM (masih
dalam tahap pemantapan setelah mengalami kebakaran) juga merupakan sarana yang turut menunjang
proses pembinaan teologi umat melalui penyediaan materi-materi pembinaan umat. Selain itu pula
pengembangan media PIKOM, yakni ASSAU merupakan media komunikasi-informasi yang turut
mengembangkan teologi umat. Bahkan dalam konteks keterkaitan GPM sebagai bagian (anggota) dari
WCC (Dewan Gereja-gereja se Dunia), WARC (Aliansi Gereja-Gereja Reformasi Se-dunia), CCA (Gereja-
gereja se-Asia), maupun PGI dan GPI (Gereja Protestan di Indonesia), GPM terpanggil pula melakukan
pembinaan teologi umat melalui pengembangan kesadaran oikoumenis dan ekologis sebagai perwujudan
gereja Tuhan yang universal dan multiversal (kontekstual). Dengan begitu, isu-isu global pergumulan gereja
yang diisyaratkan melalui gereja-gereja se-dunia, se-Asia maupun se-Indonesia, seperti KPKc (Keadilan,
Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), Dekade Anti-Kekerasan (non-violence decade), menjadi perhatian
dan diimplementasikan pada aras praksis bergereja di tingkat sinodal, klasikal, hingga di jemaat-jemaat.
(3) Jalur liturgi-pastoralia.
Pengembangan liturgi dan pastoralia merupakan sarana pembinaan teologi umat, yang antara lain
diimplementasikan melalui bentuk,verbal, simbol, ekspresi dalam ibadah, pemberitaan firman, doa, musik
gereja, nyanyian dan jenis-jenis liturgi (dengan kebutuhan ibadah, seperti ibadah Minggu, ibadah non
Minggu, dan sebagainya). Pembinaan tersebut merespons pula realita problematika umat yang
membutuhkan pendampingan pastoralia dan diakonal.
(4) Jalur komunal-personal.
Seluruh jalur-jalur pembinaan teologi umat pada akhirnya bermuara pada kepentingan umat, baik secara
personal maupun komunal. Dengan demikian ruang peran dan partisipasi umat secara pribadi maupun
persekutuan (keluarga, jemaat dan sebagainya) dibuka sedemikian rupa, sehingga memungkinkan umat
sendiri berada pada proses aksi-refleksi-aksi terhadap seluruh dinamika konteks, problematika dan
harapannya. Pengembangan spiritualitas umat melalui doa, firman dan praksis hidup di tengah kerja dan
pergumulan sesehari, baik di rumah maupun tempat kerja, merupakan aktualisasi dari pembinaan teologi
umat yang berlangsung secara personal maupun komunal.
Dalam PIP/RIPP GPM dasawarsa ke-2 telah diisyaratkan adanya realitas kewilayahan dari GPM. Realitas
kewilayahan tersebut menjadi konteks pergumulan teologi umat GPM dengan menyadari adanya 5 (lima)
kondisi kewilayahahn GPM, yakni:
(a) Keragaman Budaya, dengan pelbagai sub-sub kultur (di Maluku Tengah, Tenggara, Utara dan
sebagainya). Keragaman budaya tersebut mengisyaratkan berbagai pranata, simbol budaya,
worldview (carapandang umat tentang hidup, Tuhan, dan alam semesta), bahasa, adat dan
pembauran antar-etnik yang 129 berbeda;
(b) Keunikan Sistem Sosial. Berbagai pranata sosial budaya seperti pela-gandong, kaka-wait, larvul-ngabal
ataupun yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan lingkungan dan keutuhan ciptaan seperti sasi,
masohi, maaren, babalu, sosoki, merupakan keunikan system sosial di kalangan masyarakat yang di
dalamnya umat GPM berada. Demikian pun dengan kearifan lokal seperti persekutuan/persaudaraan
soa, mata-rumah, tiga batu tungku, yang mengandung nilai-nilai kebersamaan yang penting;
(c) Tipikal komunitas. Keberadaan jemaat di pulau-pulau, dengan tipikal masyarakat/jemaat
pengunungan, pesisir, pedesaan, perkotaan, merupakan aspek lainnya yang patut dipertimbangkan
dalam konteks pengembangan teologi dan karakter berjemaat;
(d) Solidaritas Antarwilayah. Perspektif teologi “Keluarga Allah” menjadi penting dikembangkan dengan
realitas ketersebaran jemaat-jemaat, baik para pelayan maupun umat (Data tahun 2010: terdapat 26
Klasis, 754 jemaat, dengan total 524.403 jiwa, dan 1.012 pendeta dan Penginjil serta 259 pegawai organik
non pendeta). Dengan begitu kecenderungan polarisasi dan diskriminasi yang merujuk pada orientasi
jemaat-sentris atau klasis-sentris dapat diminimalisir.
(e) Kemajemukan Sosial. GPM yang berada di tengah konteks keragaman wilayah, budaya, agama dan
sebagainya, terpanggil untuk mengembangkan relasi dan interaksi dengan komunitas lainnya. Termasuk
pula dengan gereja atau denominasi lainnya serta seluruh stakeholders yang ada di masyarakat.
Terkait dengan itu, pergulatan GPM pasca konflik, dengan menempatkan visi rekonsiliasi dan rekonstruksi
sebagai bagian dari peace building dan trust building, baik secara fisik maupun non-fisik (mind-set atau
kerangka pikir/cara pandang), khususnya dalam hubungan Islam-Kristen atau Salam-Sarane,
merupakan konteks berteologi dalam bingkai kemajemukan dan hubungan antar umat beragama.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Seluruh upaya pembinaan teologi umat di GPM pada gilirannya bermuara pada perwujudan visi dan misi
gereja, sebagaimana yang dirumuskan dalam PIP/RIPP GPM, yakni:
Visi : Menjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan semua
umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Misi : Mengembangkan kapasitas gereja secara integral untuk memenuhi amanat panggilan sebagai gereja
Kristus yang hidup di kepulauan Maluku dalam konteks pelayanan di Indonesia dan dunia.
IV. EVALUASI
V. SUMBER KEPUSTAKAAN :
8. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
9. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
10. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
11. B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi ? – Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi.
12. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
13. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
14. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 6. Pertumbuhan Gereja dan Teologi di Indonesia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.2. Peran Warga Gereja dalam Mengembangkan Teologi
4. Bahan bacaan Alkitab : Efesus 2 : 11 - 16
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Siapakah saya dan mengapa saya di sini ? Apakah tujuan hidup saya ? Apa itu nyata, benar, baik ? Jika Allah
ada, apakah Ia lelaki, perempuan atau benda ? dan bagaimana saya mengetahuinya ? Apakah Allah
berhubungan dengan saya, dan bagaima Ia membertahukan hal itu kepada saya ? Mengapa orang-orang
menderita dan mati, dan apakah yang terjadi kemudian setelah itu ? dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan beberapa contoh dari isu-isu teologis yang berkelana dalam benak pikir seseorang.
Orang-orang sering berpikir bahwa teologi itu membosankan. Padahal setiap orang pada hakikatnya adalah
“teolog alami”. Artinya seseorang (atau manusia) pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu. Keingintahuan
tersebut bermuara pada upaya untuk mempertanyakan jawaban-jawaban dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan “besar”; dan hal tersebut pada dirinya telah mengisyaratkan bahwa seseorang itu telah
mewujudkan hidupnya sebagai seorang teolog (alami).
Teologi mengajarkan kepada kita tentang apa yang kekristenan percayai dan bagaimana menghayatinya.
Dengan mengetahui dan menerapkan teologi, kita membuat keputusan bijaksana dan melakukan sesuatu
yang baik. Teologi menjelaskan “mengapa” di balik perintah-perintah Allah dan larangan-laranganNya. Oleh
sebab itu, kehidupan kita sesehari dan pertumbuhan kerohanian kita berhubungan dengan pembelajaran dan
hidup berteologi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Yesus memasukkan akal budi di dalam amanat
agung tengan hal mengasihi Allah. Artinya, berteologi adalah wujud dari mengasihi Tuhan Allah dengan
segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi (Mat.22:37). Dengan kata lain, tidak
menggunakan akal budi yang diberikan Tuhan untuk mempelajari teologi berarti sama halnya dengan tidak
menaati perintah (mengasihi) Allah. Sebaliknya, menaati perintah Allah dengan menerapkan akal budi kita
mengenai kebenaranNya adalah merupakan hal yang menyenangkan Allah.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Tanpa jawaban-jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan-pertanyaan besar kita, maka hidup terasa
tidak masuk akal. Jika pertanyaan kita biarkan tidak terjawab, maka ada hal yang terasa tidak pas dalam hidup
kita, termasuk dalam pemikiran kita. Segalanya akan tidak mengakar. Olehnya itu, tanpa teologi hidup
mengarah pada keputusasaan. Dengan demikian, teologi merupakan fondasi dari seluruh relevansi.
Kata Teologi berasal dari bahasa Yunani: Theos yang berarti Allah dan Logos yang memiliki pengertian sebagai
sabda / wacana / pemikiran / refleksi. Secara sederhana Teologi dapat diartikan sebagai pemikiran tentang
dan mewacanakan Allah serta subyek-subyek yang berhubungan dengan Allah seperti alkitab, iman, Yesus,
dan pertanyaan-pertanyaan besar lainnya tentang hidup, kebenaran dan kenyataan. Filsuf Yunani kuno,
Aristoteles, menganggap teologi sebagai ilmu terbesar karena obyek studinya adalah Allah, yang adalah
realitas tertinggi. Bahkan hingga Abad Pertengahan, teologi dikenal sebagai “Ratunya Ilmu Pengetahuan” (The
Queen of the Sciences). Istilah teologi sendiri telah dipakai oleh orang Yunani jauh sebelum munculnya gereja
Kristen, yakni untuk menunjuk pada ilmu mengenai hal-hal ilahi. Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula hanya
membahas ajaran mengenai Allah, kemudian artinya menjadi lebih luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran
dan praktik Kristen.
Ketika wacana tentang peran warga gereja dalam berteologi, maka terbuka kemungkinan warga gereja pun
untuk secara mandiri, kritis dan kreatif mengembangkan pemahaman dan penghayatan teologinya tentang
Allah yang diimaninya di tengah konteks gumulannya, hic et nunc (di sini dan kini). Adapun peran warga gereja
dalam pengembangan teologi tersebut bukanlah tanpa arah dan wawasan, melainkan sebagai bagian dari
gereja Tuhan, warga gereja memiliki keterikatan untuk memiliki wawasan eklesiologi, yang melaluinya peran
dan partisipasinya dalam mengembangkan teologi diwujudkan.
V. EVALUASI
15. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
16. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
17. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
18. B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi ? – Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi.
19. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
20. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
21. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
22. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Materi Sajian : GEREJA
2. Pokok Bahasan : 6. Pertumbuhan Gereja dan Teologi di Indonesia
3. Sub Pokok Bahasan : 6.3. Cara-cara Berteologi yang Relevan
4. Bahan bacaan Alkitab : Matius 16 : 13 - 20
5. Waktu Tatap-Muka : 100 menit ( 1 x pertemuan)
6. S e m e s t e r : I (Ganjil)
Bevans dalam bukunya Model-Model Teologi Kontekstual mengisyaratkan bahwa teologi itu sepatutnya
memiliki relevansi dengan konteks. Dalam sebutan lainnya dipakai istilah teologi kontekstual, yang pada
dasawarsa 70-an mulai menjadi minat, ketika realita konteks menjadi pertimbangan dan fokus dari
pengembangan teologi. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kebanyakan gereja (gereja pribumi/lokal)
merupakan gereja-gereja yang memiliki warisan teologi dari gereja (ibu) asuhnya di luar negeri. Kalau dalam
bahasa Bevans, dikemukakan adanya 2 (dua) alasan mengapa pentingnya teologi itu dikembangkan secara
kontekstual (relevan dengan konteks), yakni:
(1) Adanya faktor-faktor eksternal. Artinya perkembangan di negara dunia pertama maupun dunia ketiga
mengindikasikan adanya kekecewaan terhadap teologi “import” yang lebih ke-baratbaratan (karena latar
penulis/teolog dengan budayanya)
(2) Faktor internal.Tak dapat dipungkiri bahwa inkarnasi Allah di tengah konteks telah berdampak pula
terhadap penghayatan internal orang percaya di konteks masing-masing. Karena itu wajar bila muncul
ungkapan –ungkapan Kristologi seperti Yesus Afrika (yang hitam), Yesus Jawa (yang pakai blankon dan
keris), Yesus Bali (yang menari). Bahkan di Maluku sendiri kita kenal istilah Tete Manis yang cenderung
ditujukan kepada Yesus.
Bevans sendiri mengemukakan adanya 5 (lima) model menyangkut saling pengaruh antara Injil dan
kebudayaan, yakni model terjemahan, model antropologis, model praksis, model sintesis, dan model
transcendental. Model apapun, menurut Bevans pada dasarnya teologi saat ini tidak bisa mengabaikan aspek
konteks. Dengan demikian aspek konteks pengalaman masa lampau dan sekarang menjadi titik tolak pula
ketika dilakukan refleksi berdasarkan
132 tradisi (baik Alkitab maupun budaya) yang dimiliki.
Dalam pendekatan yang lebih sederhana, Bruce Demarest dan Gordon Lewis merekomendasikan 6 langkah
berteologi secara praktis, yakni:
(1) Definisikan masalah atau topiknya.
Penting untuk merumuskan, isu apakah yang sedang diteliti.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Sehubungan dengan itu, realita problematika konteks menjadi penting dalam pengembangan teologi yang
relevan. Dalam konteks GPM, PIP/RIPP GPM dasawarsa kedua telah merumuskan realita problematika konteks
yang sekaligus pula menjadi titik fokus kita dalam mengembangkan teologi yang relevan.
Adapun realita tersebut teridentifikasi dalam 19 problematika, yakni
(1) Kemiskinan
(2) Pluralisme dan Dialog Antaragama
(3) Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia)
(4) Kemitraan Laki-Laki – Perempuan / Gender
(5) Relasi Gereja dan Negara
(6) Krisis Lingkungan Hidup
(7) Masalah Kesehatan, HIV/AIDS dan Narkoba
(8) Sumber Daya Manusia (Pendidikan)
(9) Masalah Kapasitas Gereja (Umat, Pelayan dan Kelembagaaan)
(10) Peran Politik Gereja
(11) Gereja dan Kebudayaan
(12) Perdamaian dan Rasa Saling Percaya (Trust)
(13) Gereja dan Media Massa
(14) Gereja dan Gerakan Oikoumene (Pentakostalisme dan Denominasi)
(15) Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah
(16) Gereja dan Kemandirian (Teologi,
133 Daya dan Dana)
(17) Komunikasi dan Transportasi
(18) Aset-aset Gereja
(19) Gereja dan Keluarga.
Sebagai warga gereja, siapapun kita, kapan dan di manapun kita berada, maka hendaknya kita menyadari
bahwa melakukan refleksi teologi itu merupakan suatu panggilan dan tanggung jawab setiap orang.
Melaluinya kita terus-menerus mengemban peran untuk membarui, membangun dan memberdayakan gereja
sebagai bangunan Tubuh Kristus yang rapi tersusun sesuai dengan kasih karunia yang dimiliki ( 1 Kor.12). Gereja
adalah persekutuan orang percaya yang bertumbuh, dan karena itu, kita tidak mungkin hanya tinggal seperti
bayi yang menyusu (Ibr.5:12).
Dengan demikian, Kesadaran akan tanggung jawab berteologi yang relevan bukan hanya menjadi peran dari
pihak pendeta atau kalangan akademik (teologi) melainkan tanggung jawab melekat dari setiap warga
gereja.
V. EVALUASI
23. Referensi Dogmatika: Pedoman Dogmatika (Dieter Becker); Doktrin Alkitab (William W. Mensies & Stanley M.
Horton); Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong); Iman Kristen (Harun Hadiwijono); Mengenali Kebenaran (Bruce
Milne).
24. Konkordansi Alkitab (D.F. Walker).
25. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (J.D. Douglas).
26. B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi ? – Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi.
27. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan – Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen
dalam Masyarakat.
28. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010 - 2015
29. Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM.
30. Ilah-Ilah Global – Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern (David W. Shenk)
31. Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual.
134
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
I. IDENTITAS
1. Program Sajian : KONTEKS
2. Pokok Bahasan : 7. Kemiskinan, Kekayaan & Kecukupan
3. Sub Pokok Bahasan : 7.1. Pengertian tentang Kemiskinan dan Penyebabnya
7.2. Pandangan Iman Kristen tentang Kemiskinan, Harta dan Kekayaan
7.3. Pandangan Iman Kristen tentang Hidup yang Berkecukupan
7.4. Problematika Kemiskinan dan Kekayaan
7.5. Tantang-jawab Gereja dalam Mengentaskan Kemiskinan
7.6. Kiat Mewujudkan Hidup yang Berkecukupan
4. Pembacaan Alkitab : a. Untuk SPB 7.1 =I Sam 2:7; Amsal 10:4;13:18;20:13;Mat 5:3
b. Untuk SPB 7.2 = Maz.112:1-10;Amsal 3:9; Luk.12:34
c. Untuk SPB 7.3 = Mat.6:11;Luk 3:14; 2 Kor.8:13-15
d. Untuk SPB 7.4 = Amsal 30:7-14; Amos 5:7-13
e. Untuk SPB 7.5 = Kel.23:10-13; Ul.15:7-11; Luk.4:18-19
f. Untuk SPB 7.6 = Amsal 3:25; 25:28;Pengkh.3:6;Ibr.13:5
5. Jumlah Tatap Muka : 3 kali tatap-muka (300 menit), dengan rincian
a. SPB 7.1, 7.2 dan 7.3 disajikan dalam 1 kali pertemuan
b. SPB 7.4 dan 7.5 disajikan dalam 1 kali pertemuan
c. SPB 7.6 disajikan dalam 1 kali pertemuan.
6. Semester : 1 (GANJIL)
Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah bahwa mereka yang tergolong berada di kalangan
masyarakat yang tingkat kemajuan ekonominya belum begitu berkembang mungkin saja akan tergolong
miskin dilihat dari ukuran yang berlaku di lingkungan masyarakat yang lebih berkembang. Oleh karena
itu perlu berhati-hati memperbandingkan tingkat kesejahteraan dari kelompok berpendapatan tertentu
di antara masyarakat yang berbeda tingkat kemajuan ekonominya. Berdasarkan Definisi-definisi kemiskinan
yang telah dinyatakan terdahulu maka kemiskinan dalam hal ini adalah keadaan seseorang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan minimum hidupnya karena kegagalan suatu sistem masyarakat
mengalokasikan sumber daya secara adil kepada seluruh anggota masyarakat.
Terkait dengan kemiskinan ini, perlu ditambahkan pula tentang beberapa faktor penyebabnya. Bila
diringkaskan dari pandangan beberapa ahli (antara lain: Ginanjar ,1996 : 240; Salim,1994:40; Hadiwegono
dan Pakpahan,1993:25), maka faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut, antara lain:
a. Rendahnya taraf pendidikan.
b. Rendahnya taraf kesehatan.
c. Terbatasnya lapangan kerja.
d. Kondisi keterisolasian.
e. Tidak adanya asset produksi
f. Sumber daya manusia yang rendah
g. Sumber daya alam yang terbatas.
h. Teknologi dan unsur penduduknya yang rendah.
i. Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan dan system yang belum baik.
Rendahnya beberapa faktor di atas menyebabkan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat
dilakukan oleh masyarakat. Dengan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan berakibat pada
rendahnya produktivitas dan pendapatan yang diterima yang pada gilirannya pendapatan tersebut tidak
mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan.
Berikut disajikan pandangan Teolog Indonesia Pdt. Dr. S.A.E. Nababan~ tentang kemiskinan : Beliau
berpendapat bahwa tidak boleh cepat-cepat kemiskinan dihubungkan bahwa dengan kehendak Allah,
sebagaimana teologi pietisme dan doktrin yang berlebihan tentang pemeliharaan Allah. Terdapat
penafsiran yang keliru dan harafiah terhadap ayat-ayat Alkitab yang dianggap sebagai dasar bagi
pandangan bahwa Allah menginginkan manusia miskin, misalnya 1 Samuel 2:7a, Ayub 1:21 dan Amsal 22:2.
Nababan menafsirkan bahwa 1 Samuel 2:7a tidak mengatakan bahwa Allah menjadikan orang kaya atau
miskin, sehingga kemiskinan selalu dan hanya disebabkan oleh Allah. Sebaliknya di situ dikatakan bahwa
Allah dapat membuat manusia kaya atau miskin. Kata dapat menunjuk kepada kuasa Allah, bukan suatu
derajat kesewenang-wenangan Allah, yang menjadikan orang kaya atau miskin.
Dengan kata lain, tanggungjawab untuk menjadi kaya terletak pada manusia sendiri. Kitab Ayub 1:21,
menurutnya bukanlah suatu sikap menyerah kepada nasib melainkan suatu pengakuan iman dan Amsal
22:2 bukanlah suatu pernyataan yang mengatur status ekonomi manusia, melainkan suatu pernyataan yang
secarajelas mengungkapkan bahvva Allah adalah Khalik manusia, baik kaya maupun miskin. Karena itu,
Allah tidak menciptakan orang kaya dan miskin, melainkan orang-orang yang kaya dan miskin.
Penekanannya harus diletakkan pada manusia, dan bukan pada status ekonomi manusia. Adalah hak
istimewa Allahjika orang miskin dapat dipakai sebagai alatNya yang unik di tanganNya. Nababan dengan
yakin melihat bahwa penyebab kemiskinan terletak dalam kemalasan dan usia tua (Am. 6:9-11; bnd 24:30;
19:15), kemabukan dan kerakusan (Am 21:17; 23:20-21), eksploitasi jahat terhadap sesama (2 Sam 11-12),
yang berpengaruh langsung bagi kehidupan sosial ekonomi. Kemiskinan dapat juga diakibatkan oleh
dominasi kolonial (Kel 1) dan bencana alam (Kel 10:4-5). Kemiskinan tidak boleh secara otomatis disamakan
dengan kesalehan, meskipun dalam kesalehan Yahudi terdapat orang miskin yang disebut "adil, benar dan
saleh". Mereka disebut demikian karena mereka telah miskin dan membuat dirinya sepenuhnya tergantung
kepada Allah.
Jadi, kemiskinan tidak dapat dilihat sebagai suatu kebajikan Kristen, meskipun misalnya didasarkan
ucapan Yesus dalam khotbah di Bukit. Kata Yunani ptokhos yang dipakai dalam KhotbahNya mengacu
pada tindakan menggali lubang, yang berarti bekerja keras untuk diri sendiri. Ini berarti kata ptokhos
berusaha menggambarkan orang-orang miskin dan menderita akibat keadaan-keadaan mereka, namun
yang dalam kemiskinannya membuat dirinya bergantung kepada Allah. Mereka inilah yang dalam
pengharapannya ditujukan kepada Allah, disebut "berbahagia". Karena itu Yesus tidak setuju dengan
kemiskinan, ketika la menyebut orang miskin "berbahagia". Sebaliknya, jelas sekali bahwa Yesus tidak
mengagungkan kemiskinan. Allah mengalahkan kemiskinan (Mat. 11:4) Jadi pandangan yang memahami
kemiskinan sebagai suatu kebajikan harus ditolak. Cerita tentang orang muda yang kaya dalam Markus 10:21
tidak boleh ditafsirkan sebagai satu di antara banyak kemungkinan yang dapat dipilih manusia untuk
mencapai kesempurnan dalam hidup, atau salah satu keputusan moral, melainkan suatu panggilan untuk
mengambil keputusan, yakni ketaatan atau pemberontakan terhadap Allah.
Mengenai soal keadilan, Nababan berpendapat bahwa kaum miskin harus dihargai harkat dan
martabatnya baik dalam prinsip maupun praktek hidup. TegasnyaJurang antara yang miskin dan yang kaya
harus dihapuskan, sebab jika tidak, masyarakat akan menghadapi bahaya besar. Kemalasan pun harus
dihapuskan. Kemiskinan tidak dapat dianggap sebagai hukuman atas dosa, walaupun kenyataannya
kemiskinan jelas merupakan hasil dan konsekuensi kuasa dosa dalam dunia ini.
Selanjutnya, berkaitan dengan harta dan kekayaan, pandangan Kristen terhadapnya sangat
berlainan sekali dengan pandangan dunia. Pandangan dunia mengatakan bahwa harta dan kekayaan
merupakan sesuatu yang diperoleh karena usaha manusia sendiri, karena nasib baik, atau karena
kemujuran. Harta dan kekayaan adalah untuk manusia pakai dan demi kepuasan manusia. Pandangan
Kristen tentang harta dan kekayaan yaitu bahwa harta dan kekayaan yang dimiliki manusia haruslah bisa
digunakan dengan cara-cara137 yang mendatangkan kemuliaan bagi Allah. Harta dan kekayaan bukan
sesuatu yang atasnya manusia mempunyai kekuasaan penuh; manusia hanyalah pengelola kekayaan
Allah. llustrasi yang baik tentang prinsip ini terdapat dalam perumpamaan tentang talenta, yang
menunjukkan bahwa harta dan kekayaan yang manusia peroleh karena kerja sekalipun bukan merupakan
milik manusia sebab Allah-lah yang sebenarnya memberikan manusia kesempatan untuk memperolehnya.
Harta dan kekayaan oleh sebagian orang hanya untuk dinikmati sendiri, padahal seharusnya tidak
demikian. Allah sebenarnya berencana agar umatNya saling melengkapi, termasuk di dalamnya, dengan
kekayaan yang mereka miliki. Perhatikan rencana Allah yang dinyatakan kepada Abraham, yang berlaku
juga atas semua umat Allah: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati
engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-
orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:2-3). Ayat tersebut dengan tegas menyatakan
bahwa Allah tidak hanya ingin umatNya mendapatkan berkat bagi kepentingan diri mereka saja; Allah ingin
umatNya menjadi berkat. Allah ingin membuat umatNya sebagai saluran berkat semua bangsa.
Sebagai manusia yang diberi kepercayaan untuk mengelola harta dan kekayaan milik Allah, maka
manusia harus bertanggungjawab atasnya. Kisah tentang Ananias dan Safira dalam Kisah Para Rasul 5
merupakan pelajaran yang baik. Petrus berkata kepada Ananias. "Selama tanah itu tidak dijual, bukankah
itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu?" Dengan kata lain,
Ananias bertanggung jawab atas penggunaan harta dan kekayaannya. la dihukum karena ia
mengemukakan hal yang tidak benar dan menyalahgunakan kekayaannya. Allah memberi kepada
manusia secara melimpah untuk dinikmati dan kisah tentang orang-orang kaya dalam Alkitab merupakan
gambaran yang baik tentang prinsip tersebut. Tetapi haruslah orang-orang yang mempunyai kekayaan perlu
memandang denganjelas tuntutan dan kebutuhan lingkungannya. dengan tetap berusaha memberikan
respon positif terhadap tuntutan dan kebutuhan lingkungan dimana orang kaya itu berada.
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
Rasul Paulus dalam Efesus 4:28 menjelaskan : "Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi
baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat
membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan." Kenikmatan dari pemberian yang indah dari
Tuhan harus di imbangi dengan memenuhi kebutuhan mereka yang kekurangan, terutama mereka yang
seiman dengan kita. Pasal 12, 16, dan 18 dalam Injil Lukas semuanya memberikan peringatan tentang
kekayaan (harta). Pada pasal 12, dalam cerita mengenai orang kaya yang bodoh, kita melihat bahwa
kekayaan (harta) jangan sampai menjadi tempat berlindung orang Kristen. Pada pasal 16, dalam kisah
mengenai orang kaya dan Lazarus, dapat dilihat bahwa manusia bisa begitu dikuasai oleh kekayaan (harta)
sehingga mereka mengabaikan Alkitab. Pada pasal 18, dalam cerita mengenai percakapan Yesus dengan
seorang pemimpin muda yang kaya, dapat dilihat bagaimana kekayaan (harta) dapat memperlemah iman
kepada Tuhan Allah.
Jadi sikap Yesus sendiri terhadap kemiskinan, harta dan kekayaan, Ia sama sekali tidak anti kekayaan
ataupun mengagungkan kemiskinan, melainkan Yesus menghendaki agar apapun yang dimiliki oleh orang
percaya, ia harus memperlabakannya untuk menjadi berkat bagi orang lain dan memuliakan nama Tuhan.
Beberapa waktu belakangan ini, pemerintah sibuk menggalakkan program pengentasan masyarakat
dari kemiskinan. Beberapa langkah yang ditempuh di antaranya dengan mengadakan subsidi beras,
menyediakan fasilitas pengobatan gratis (Askeskin), subsidi minyak tanah, dan berbagai subsidi lain yang
bertujuan meringankan beban rakyat miskin. Pertanyaanya adalah apakah program-program ini berhasil?
Jawabnya belum bisa dilihat dan dipastikan, karena angka-angka statistik BPS menunjukkan
peningkatanjumlah penduduk miskin.
Kemiskinan yang dihadapi oleh seseorang belum tentu disebabkan oleh kemalasan mereka, sebab
bisa jadi mereka miskin sebagai akibat ketidakadilan atau kesewenang-wenangan pihak tertentu. Oleh
sebab itu sebagai gereja, kita perlu untuk mencermati hal-hal apa saja yang menjadi sebab kemiskinan
dan bagaimana peran gereja dalam mengentaskan orang miskin.
Alkitab berkata, "Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu, sebab sungguh TUHAN akan
memberkati engkau di negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk menjadi milik pusaka, asal
saja engkau mendengarkan baik-baik suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segenap
perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini" (Ul. 15:4-5).
Untuk persoalan kemiskinan saja, sejak tahun 1998, terjadi peningkatan penduduk miskin; yang pada
tahun 1995 berjumlah 26 juta jiwa, meningkat pada bulan Agustus 1998 mencapai 80 juta jiwa, atau 38 % dari
total jumlah penduduk di Indonesia. Nampaknya prosentasi kemiskinan seperti ini tidak terlalu mengalami
perubahan, terlebih lagi ketika terjadi krisis ekonomi di Negara kita, sejak tahun 1998, yang berdampak
hingga tahun 2008 ini. Di Maluku sendiri, sejak konflik social tahun 1999, kita seakan memasuki fase
penderitaan dan kemiskinan yang baru, setelah sebelumnya kita pun terkena dampak krisis ekonomi tahun
1998, akibat sistem monopoli dan totaliter yang dikembangkan oleh Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
Persoalan kita di Maluku adalah, walaupun dari sisi potensi sumber daya alam, kita memiliki kekayaan
yang sangat besar, baik di darat terlebih di laut. Namun realitas memperlihatkan fakta kemiskinan yang masih
saja mewarnai populasi masyarakat Maluku. Kalau sebagai bandingan, bahwa di tahun 1996, tingkat
kemiskinan di 32 Kabupaten di Maluku, rata-rata di atas 50 %, sekaligus menduduki posisi teratas dalam
kategori wilayah miskin di Indonesia. Sementara di tahun 1999, jumlah penduduk miskin di Maluku ada
1.013.900 jiwa atau 46,14 %. Singkatnya bahwa problematika kemiskinan di Maluku, selain disebabkan oleh
sejumlah factor seperti keterbatasan dan keterisolasian, terbatasnya fasilitas transportasi darat-laut-udara
dibandingkan dengan luasnya wilayah kepulauan Maluku, namun faktor keamanan dan kerawanan social
yang pernah merundung kita selama kurang lebih 4-5 tahun, turut berpengaruh terhadap meningkatnya
angka kemiskinan.
Sementara itu, pada sisi lainnya, realitas pasca konflik sosial, juga memperlihatkan begitu gamangnya
pelbagai pihak, baik secara individual ataupun kelompok, untuk melakukan praktek-praktek eksploitasi, KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme), dan manipulasi proyek serta asset-aset ekonomi rakyat secara membabi-buta.
Belum lagi, ruang otonomisasi, yang diikuti dengan pemekaran wilayah-wilayah tertentu, justru melahirkan
perilaku “raja-ratu” kecil dan munculnya sikap orang luar-orang dalam secara diskriminatif (sebagaimana
yang muncul dengan desakan atau tuntutan yang menggunakan istilah anak atau putra daerah).
Kenyataan ini, justru melahirkan problematika kekayaan dan kemiskinan yang baru di wilayah Maluku.
Jadi, tanggungjawab dari gereja terhadap kaum miskin ialah sebagai berikut.
1. Mengasihi orang-orang tertindas dengan: "... membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan
tali-tali kuk, ... memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, ... memecah-mecah
BUKU AJAR KATEKISASI Umur 16 th ke atas
rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang, ... engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan
diri terhadap saudaramu sendiri!" (Yes. 58:6-7).
2. Kasih terhadap orang tertindas menyebabkan perubahan kemiskinan menjadi produktivitas melalui
setiap cara yang ada pada kita.
3. Mengasihi orang-orang malas: termasuk nasihat, teguran (2Tes. 3:15; Ams. 13:18), dan orientasi ulang
terhadap kenyataan melalui pemberitaan Injil (Yoh. 8:32). Respons yang penuh kasih dan belas kasihan
terhadap orang-orang malas bertujuan untuk memberikan peringatan kepada mereka. Selain itu,
melengkapi dan menyanggupkan mereka melangkah melewati ketergantungannya pada orang lain.
Gereja memunyai tanggung jawab yang tak dapat dielakkan untuk melakukan kedua jenis kasih ini
dengan rajin dan penuh semangat.
Gereja dapat terlibat dalam pelayanan terhadap orang-orang miskin dan memengaruhi perubahan sosial
masyarakat antara lain melalui upaya
1. Pelayanan 'penginjilan yang utuh (spiritual-material)’; teristimewa dalam rangka memberikan
pencerahan dan merobah pola berpikir lama seperti “biar kurang harta dunia, asal Tuhan bagianku”.
2. Pemberian pelayanan dan pendidikan serta pelatihan bagi orang-orang miskin agar mereka dapat
menolong diri sendiri.
3. Kelompok kerja dalam gereja. Kelompok ini memimpin jemaat untuk menolong pemerintah dengan
memberikan informasi dan keprihatinan mereka terhadap orang-orang miskin.
4. Membangun jaringan pemberdayaan dengan pelbagai pihak, seperti Pemerintah, LSM, Agama-agama,
Kalangan Perbankan atau Pemodal/Swasta dan kelompok pemberdayaan manapun; yang penting
secara tertanggung jawab dan bermakna bagi kepentingan orang banyak (umat dan masyarakat).
6. Kiat Mewujudkan Hidup yang Berkecukupan
Seorang teolog yang bernama Samuel Doctorian menyatakan bahwa ada tiga hal yang dapat
membuat seseorang memiliki kekuatan untuk menjalani kehidupan ini, yakni (1) Belajar untuk mengucap
syukur dalam segala hal; (2) Memuji-muji Tuhan atau mempermuliakan nama Tuhan dalam seluruh aktifitas
hidupnya; dan (3) selalu merasa cukup atas apapun yang dialami atau diterimanya.
Sesungguhnya, isyarat hidup berkecukupan ini merupakan spiritualitas hidup orang percaya,
sehingga memungkinkannya untuk membangun kehidupan yang, antara lain:
a. Tidak boros, tetapi hemat
b. Tidak mementingkan diri sendiri
c. Tidak terlalu ambisius untuk menjadi gila harta, gila hormat, gila jabatan, dstnya.
d. Tidak sombong dan merasa arogan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki
e. Selalu bersyukur dan berserah kepada kasih karunia Allah
f. Tidak mudah putus asa.
Orang yang memiliki pola hidup berkecukupan, akan selalu melihat kerja dan tanggung jawabnya
bukan sebagai beban melainkan sebagai berkat bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain. Orang tersebut
akan menghindari kecenderungan merampas apa yang bukan menjadi haknya. Ia pun akan belajar untuk
mengakui kekurangannya dan terbuka untuk mengakui keunggulan orang lain.
Dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan kita untuk berdoa, Berikanlah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya. Pengajaran Yesus ini mengisyaratkan suatu panggilan dan pengutusan
bagi gereja untuk setia membangun hidup yang berkecukupan, sebagai gereja yang hadir untuk orang lain,
dan juga dengan orang lain. Mahatmah Gandhi sendiri telah mengingatkan dunia yang cenderung kapitalis
dan serakah, dengan ungkapannya yang bijak, “Dunia ini sebetulnya cukup untuk melayani kebutuhan
semua orang yang merasa cukup, namun tidak akan pernah cukup untuk melayani kebutuhan satu orang
yang tidak pernah merasa cukup 140!”
V. EVALUASI
1. Jelaskan Pengertian Kemiskinan dan Faktor Penyebabnya
2. Jelaskan Tentang Kemiskinan, Harta dan Kekayaan Menurut Pandangan Iman Kristen
3. Jelaska Makna Hidup yang Berkecukupan Dalam Pandangan Iman Kristen
4. Diskusikanlah Masalah Kemiskinan di konteks masing-masing
5. Rumuskanlah Solusi Gereja setempat dalam Mengatasi Masalah Kemiskinan dan Kekayaan
6. Refleksikanlah pandangan kelompok tentang hidup berkecukupan dan kiat mewujudkannya
VI. KEPUSTAKAAN
1. Banawiratma, J.B. (ed), Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
2. Banawiratma, J. B. dan Muller, J. Berteologi Sosial Lintas llmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
3. Brownlee M, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, JakartaLBPK Gunung Mulia, 1993.
4. Herlianto, Teologi Sukses. Antara Allah dan Mamon, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
5. Mardiyanto. W, Kemiskinan di Indoensia, Surabaya : Airlangga University Press, 2002
6. Nababan, S.A.E., Realisme yang Berpengharapan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1988.
7. Yewangoe, A.A., Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan orang . Kristen Asia mengenai
penderitaan dalam kemiskinan dan keberagamaan di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
8. Situs Internet wvvw.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf
9. Situs Internet http: //www.sabda.org/pub1ikasi/e-konse1/O66.