Anda di halaman 1dari 3

Muhammad Wafi

07031381621101
Etika Komunikasi

Kontroversi Livi Zheng dan Peran Ratting Dalam Media

Nama Livi Zheng saat ini tengah jadi sorotan di dunia maya. Sutradara asal Indonesia

dengan filmnya ‘Brush with Danger’ mengklaim dirinya masuk dalam jajaran nominasi Oscar.

Livi Zheng makin berulah dengan membelokkan pemberitaan luar negeri dalam karyanya.

Dalam promo Bali: Beast of Paradise misalnya, Livi mengutip ulasan dari Los Angeles Times

yang menyebut film dokumenter itu 'It’s entertaning’. Livi memotong statement utuh dari

Kimber Myers, dan menarik kata yang dirasa menguntungkan baginya. Padahal, dalam ulasan

yang ditulis oleh Kimber Myers justru lebih banyak kritik ketimbang memuji. “It’s

entertaining but slight, particularly as it bulks up with the post-credits inclusion the video”

(“Film ini sesungguhnya punya sedikit hiburan. Tapi hal itu pun tidak jadi maksimal karena

sutradara memutuskan mengakhiri film dengan menayangkan video klip garapannya”). Fakta

lainnya, Livi Zheng juga menyetarkan klipping berita dari portal online manapun tanpa

memedulikan kredibilitas media tersebut. Zimbabwe News misalnya, yang bahkan bukan

portal media sungguhan.

Seakan latah dalam pemberitaan, media-media besar di Indonesia, sebut saja salah

satunya detik.com memberitakan livi zheng dengan headline ‘Mengenal Livi Zheng, gadis

Blitar yang jadi produser di Hollywod’. Tak kalah menarik, detik.com membuat sebuah narasi

‘Salah satu film karyanya juga masuk sebagai nominasi Oscar berjudul Brush with Danger.

Penulis beranggapan, cara detik.com membangun sebuah narasi terkesan hiperbola dan minim

riset. Dalam tayangan Acara Q and A – Belaga Hollywood yang tayang di metro TV edisi 1

September 2019 sutradara kawaka nasal Indonesia, Joko Anwar memberikan gambaran bahwa

terdapat perbedaan signifikan antara karya yang masuk nominasi Oscar dan baru di daftarkan
ke Oscar. Cara lolos administrasi Oscar tidak sulit, seperti persyaratan administrasi masuk

Festival Film Indonesia, hanya perlu menayangkan film tersebut, tapi di amerika tentunya.

Penayangan film di bioskop Amerika juga tidak sesulit yang kita bayangkan, biayanya tidak

begitu mahal, Ungkap Joko Anwar. Selain tayangan Q and A, penulis juga mendapati fakta

bahwa film brush with danger hanya lolos seleksi administratif. Bahkan Situs rotten Tomatoes,

situs review film yang dijadikan rujukan oleh penggemar film di seluruh dunia hanya memberi

skor 20%. Dilain sisi Imdb hanya memberi angka 4,8.

Penulis beranggapan sikap percaya diri Livi Zheng mencapai angka 9 dari 10.

Bagaimana tidak, terlihat jelas dalam tayangan Q and A yang tayang di Metro TV, Livi tetap

bersikeras mempertahankan argumentasinya walau jawabannya selalu dipatahkan dengan fakta

oleh sutradara kawakan di Indonesia, sebut saja Joko Anwar salah satunya. Tapi sayangnya

sikap percaya diri yang dimiliki Livi Zheng tidak diiringi dengan fakta dilapangan. Disisi lain

muncul anggapan bahawa Livi Zheng lupa, sedang berbicara dengan siapa dia kala itu. Joko

Anwar dengan film “A Copy of My Mind” dan “Gundala” masuk dalam salah satu festival film

bergengsi dunia, “Toronto International Film Festival” sedangkan John de Rantau dengan film

“Denias Senandung di Atas Awan” pernah didaftarkan dalam kategori “Best Foreign” di Oscar.

Dari kasus Livi Zheng penulis memilih kontra dengan sikap percaya diri berlebih atau

lebih tepatnya “halu” yang dilakukan Livi Zheng. Namun, penulis melihat terdapat hal menarik

yang bisa dijadikan pelajaran. Media Indonesia ternyata gandrung akan berita dengan unsur

‘Karya anak bangsa’ dan ‘Go International’. Jelas terlihat bagaimana narasi yang dibangun

oleh media baik lokal maupun nasional seakan latah memberitakan Livi Zheng dan

Hollywoodnya. Semua itu dilakukan teman-teman media demi mengejar traffic yang berujung

pada naiknya ratting. Panji Pragiwaksono dalam pertunjukan Juru Bicara stand up comedy

world tour menyatakan ratting dalam media dapat mematikan inovasi. Ketika ada satu media

yang sukses dengan satu formula, maka media lain akan berbondong-bondong meniru formula
yang sama. Akhirnya semua media akan jadi membosankan, dan mengakibatkan minimnya

kemajemukan berita. Kita kembalikan pada kasus Livi Zheng, ketika detik.com meledak

dengan headline hiperbola dan narasi minim riset yang memberitakan Livi Zheng. Media-

media lain turut andil dalam mengaminkan formula yang sama, sehingga fakta yang sebenarnya

menjadi kabur di masyarakat. Beruntung ada tirto.id dan alinea.id yang penulis nilai kredibel

dalam memberitakan Livi Zheng. Tirto.id melalui tulisan berjudul omong kosong citra

‘Hollywood’ Livi Zheng dan Alinea.id melalui tulisan Livi Zheng dan kredibilitas media,

mencoba mengulik lebih dalam secara faktual tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Dapat kita Tarik kesimpulan bahwa media yang seharusnya memberikan sebuah

informasi faktual yang didasari riset terpercaya, dewasa kini mengalami pergeseran prioritas.

Media lebih memilih menunggu formula yang sudah meledak di masyarakat lalu mengadopsi

formulanya, dalam kasus Livi Zheng ini formula yang sukses adalah kata ‘Karya Anak Bangsa’

dan ‘Go Internasional’. Dilain sisi publik juga sudah saatnya untuk melek dan tidak menelan

mentah mentah berita yang beredar luas. da baiknya ditelaah lebih dalam dan jangan sampai

menilai sesuatu hanya dari satu media saja.

Sumber:

1. https://www.alinea.id/gaya-hidup/livi-zheng-dan-kredibilitas-media-b1Xll9mOk

2. https://tirto.id/omong-kosong-citra-hollywood-livi-zheng-eg6x

3. https://news.detik.com/berita/2990331/mengenal-livi-zheng-gadis-blitar-yang-

jadi-produser-di-hollywood

4. https://www.kompasiana.com/dewi_puspa/5d6f6ea20d823001f372eef2/pelajaran-

dari-acara-persidangan-livi-zheng?page=all

Anda mungkin juga menyukai