Anda di halaman 1dari 6

Edukasi Seksual Film Drama Remaja

(Analisis Semiotika dalam Film Dua Garis Biru karya Gina S. Noer)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Ilmu Komunikasi

Disusun oleh:
Amelia Eka Ramadhanty
201610040311156

Dosen Pembimbing:
Rahadi M.Si

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagaikan kanvas kosong, sebuah film dapat memuat topik apapun sesuai dengan
keinginan sutradara. Seorang sutradara perlu memikirkan dengan matang topik apa yang
ingin ditampilkan dalam filmnya. Entah mengikuti tren belaka, ataupun mengangkat topik
yang benar-benar baru. Pihak pembuat film tentu ingin meraih keuntungan sebanyak-
banyaknya, sehingga mengikuti tren merupakan tindakan yang masuk akal. Namun,
mengangkat topik baru menunjukkan kreativitas dan keberanian untuk keluar dari ranah yang
itu-itu saja.
Jika sebelumnya film lokal hanya berkutat di ranah horor yang menjual seksualitas
belaka, kini genre film yang tersedia sudah meluas. Genre horor jelas masih menjadi
langganan para pembuat film. Hal ini terbukti dari film-film horor yang menjamur setiap
tahunnya. Namun, sekarang kita juga bisa menyaksikan film genre komedi, action, romance,
dan sebagainya. Penonton tak lagi harus berkutat dengan genre film yang itu-itu saja.
Industri perfilman di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
ditandai dari jumlah produksi film di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data dari Film Indonesia, tercatat ada sejumlah 528 film lokal yang dirilis sejak
tahun 2011 (Tirto, 2019). Namun, film tersebut akan menjadi sia-sia jika tidak ada yang
menontonnya. Kabar baiknya, penonton film lokal juga mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Berdasarkan pernyataan Jusuf Kalla (2019), di tahun 2015 hanya ada sekitar 16
juta penonton. Kemudian, di tahun 2016 ada 34 juta dan di tahun 2017 melebihi 40 juta.
Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia, Ricky Pesik (2019) menambahkan
bahwa pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia dalam kurun waktu lima tahun
terakhir mencapai 230 persen.
Meskipun masih belum bisa menandingi film luar baik dari segi kualitas dan jumlah
penontonnya, industri film di Indonesia dinilai menjanjikan. Beberapa film Indonesia meraih
penghargaan di tingkat nasional, bahkan ada yang sempat eksis di festival film internasional.
Contohnya saja film milik Joko Anwar berjudul Gundala yang bersaing dengan film
Hollywood bergengsi lainnya seperti Joker di Toronto International Film Festival. Selain itu,
Pengabdi Setan berhasil mendapat kategori film terseram di Popcorn Frights Film Festival
2018 di Florida, Amerika Serikat.
Melihat prestasi dari industri perfilman Indonesia yang luar biasa, harapan bahwa film
lokal dapat menyaingi film luar bukan angan-angan semata. Pasalnya, sutradara lokal
semakin berani mengangkat beragam tema untuk diangkat ke layar lebar. Topik-topik yang
sebelumnya dianggap tabu pun diangkat tanpa ragu. Edukasi seksual ialah salah satunya.
Salah satu film yang berani mengangkat isu tentang edukasi seksual untuk remaja ialah
Dua Garis Biru yang disutradarai oleh Gina S. Noer dan diproduksi oleh Starvision. Film
yang dirilis pada 11 Juli 2019 ini mengangkat kisah dua pasangan remaja yang harus
memikul beban dari kehamilan pranikah akibat seks bebas. Mengambil tema yang berani,
film ini menjadi buah bibir di masyarakat.
Kabar tentang film ini mendatangkan berbagai komentar. Sejak perilisan trailer-nya
saja, “Dua Garis Biru” sudah mengundang kontroversi. Dianggap sebagai film yang tidak
pantas untuk ditayangkan, seorang warganet membuat petisi di platform change.org untuk
mencekal film ini. Ia berpendapat bahwa film tersebut akan menjerumuskan generasi muda
dengan mewajarkan pacaran dan hamil di luar nikah.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, “Dua Garis Biru” akhirnya bisa lulus
sensor dan tampil di layar kaca. Meskipun awalnya sempat tersandung kontroversi, film ini
terbukti sukses. Bahkan, penayangannya mencapai sekitar lebih dari 500 ribu penonton di
hari ketiga (POPBELA.com, 2019). Dalam 15 hari penayangan, penontonnya menembus dua
juta penonton (Tirto, 2019). Para warganet beserta sineas dalam negeri turut memberikan
komentar positif atas ditayangkannya film ini. Padahal, Gina sebagai sutradara tidak pernah
menyangka akan mendapat respon yang antusias.
Film Dua Garis Biru sendiri diperankan oleh Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga
Yunanda). Bima dan Dara adalah sepasang kekasih yang masih duduk di bangku SMA.
Mereka saling melengkapi dengan perjalanan cinta penuh tawa hingga pada akhirnya mereka
melanggar batas yang menyebabkan Dara hamil. Pada akhirnya, Bima dan Dara harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka perbuat. Perlahan, masalah mulai muncul,
tak hanya antara Dara dan Bima namun juga antar keluarga mereka. Dalam hal ini, film Dua
Garis Biru ditulis sekaligus disutradarai oleh Gina S. Noer. Gina menegaskan bahwa film ini
memiliki pesan seputar pendidikan seks. Ia merasa perlu adanya edukasi yang positif untuk
para remaja di Indonesia. Film ini tidak hanya mencoba menggambarkan konsekuensi dari
tindakan ceroboh yang dialami para remaja namun juga menyentil para orangtua untuk
mendampingi anak-anak mereka.
Pemikiran tersebut tentu tidak tanpa alasan. Meski masyarakat Indonesia semakin
terbuka seiring dengan perkembangan zaman, seksualitas ataupun edukasi seksual masih
menjadi topik yang tabu dan bahkan kontroversial di masyarakat. Stigma mengenai
seksualitas masih menyelimuti masyarakat. Sebisa mungkin seseorang menghindari topik
tersebut sebagai bahan pembicaraan. Hasil Survei Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia (SKRRI) tahun 2012 menyebutkan perilaku seks pranikah pada remaja dilaporkan
sebanyak 4,5% pada laki-laki dan 0,7% pada perempuan usia 15-19 tahun. Sedangkan
perilaku seks pranikah usia 20-24 tahun sebanyak 14,6% pada laki-laki dan 1,8% pada
perempuan.(2019, Miftakhul Huda dkk).
Hal ini sangatlah disayangkan, sebab pengetahuan seksual sangatlah penting dimiliki
oleh setiap orang, bahkan untuk mereka yang masih berusia dini. Edukasi seksual yang
diajarkan dikelas tidak sepenuhnya menjelaskan tentang apa yang kita perlu ketahui. Di
sekolah memang diajarkan reproduksi seksual, namun tidak diajarkan lebih lanjut tentang
kehamilan, terlebih lagi kehamilan dini. Meski tidak begitu disadari, kehamilan dini
merupakan isu yang serius di Indonesia.
Menurut Lawrence Green, salah satu faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan
adalah tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan.(2012,Notoatmodjo) Hal ini
dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2007) di Purwokerto yang
menyebutkan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Rohmatika (2011) di Surakarta juga memberikan hasil yang
sama. Namun, pengetahuan bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi perilaku seksual
remaja. Penelitian lain menyebutkan bahwa perilaku seksual remaja dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya adalah sikap, peran keluarga, paparan media informasi, lingkungan tempat
tinggal serta teman sebaya. Banyaknya faktor yang memengaruhi perilaku seksual remaja
menjadikan penelitian kuantitatif saja tidak cukup untuk menentukan faktor yang paling
dominan, akan tetapi perlu untuk dikombinasikan dengan penelitian kualitatif untuk
memperdalam informasi yang didapatkan. Penelitian metode kombinasi kuantitatif dan
kualitatif tersebut dinamakan mix method research.
Dengan adanya film yang mengangkat tema edukasi seksual, diharapkan masyarakat
terutama remaja sadar akan pentingnya hal tersebut. Edukasi seksual bukanlah suatu hal yang
opsional untuk dipelajari, namun semua orang harus mengerti betul tentang hal tersebut.
Dengan cerita yang menarik serta pemain yang handal, edukasi seksual dapat dicerna dengan
lebih mudah sehingga insiden seperti kehamilan pranikah dapat dicegah.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang terkait fenomena yang ingin peneliti jelaskan diatas, maka

dirumuskan sebuah masalah sebagai berikut:

1. Apa ungkapan-ungkapan negatif dalam film Dua Garis Biru ?

2. Apa pesan-pesan negatif dalam film Dua Garis Biru ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:

1. Untuk mendiskripsikan ungkapan-ungkapan negatif dalam film Dua Garis Biru.

2. Untuk mendiskripsikan pesan-pesan negatif dalam film Dua Garis Biru.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :

1.4.1 Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan

dengan komunikasi penyiaran film edukasi, memperluas cakrawala pengetahuan tentang

film dan perilaku sosial dalam film.

1.4.2 Secara Praktis

Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan para

masyarakat untuk tidak mempunyai sikap-sikap seperti yang ditampilkan dalam film Dua

Garis Biru.

Bagi anak dan orang tua, penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan bahwa tidak

selamanya film aman dari perilaku-perilaku negatif yang bisa mempengaruhi pola pikir

anak.

Bagi produser, penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan dalam

membuat tayangan film yang berkualitas dan tepat sasaran. Sedangkan bagi Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI) penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan kontrol sosial terhadap tayangan film yang

ditayangkan di indonesia.

Anda mungkin juga menyukai