Anda di halaman 1dari 18

Controversial Public Issues Related

with Stories Visualized in Films

Film Dua Garis Biru: Isu Tabu yang Dikemas Manis Untuk Mendobrak

Stigma Masyarakat Indonesia

UAS Komunikasi Publik 2019

Aisya Irdo Anwar

19/446105/SP/29190

Abstract

Films always have its unique way to portray our society or even to sublime a

message that they want us to acknowledge. On this case there are certain issues that

are considered taboo in the eyes of Indonesians— impregnated before marriage or

marriage by accident (MBA). Rina S. Noer newest movie ‘Dua Garis Biru’ or two

blue stripes (indicating someone’s test pack result that came out pregnant)

portrayed that exact taboo issue and serving it warm to Indonesia’s unprepared

minds. There are also certain stigmas that has been held in this country for way too

long and this film is hinting all those with scenes written and displayed effortlessly.

Once the trailer first peaks its nose, people are demanding endlessly and tirelessly

for it to not be out in movie theaters based on a reason that it would ruin juvenile’s

mind and future, that it would interpret MBA as tolerable and fitting in this society

of ours that has so many cultural and social norms. This paper is presented to dig

deeper into why the taboo issue was chosen and the important message the movie

is trying to tell.

Keyword: Film, stigma, taboo issue, sex education,

1
PENDAHULUAN

Film telah hadir dan sudah mengelilingi dunia media dan hiburan di masyarakat

luas untuk kurun waktu yang dapat terbilang lama yaitu sejak tahun 1926 saat film pertama

di Indonesia disiarkan (Matanasi, 2016). Berawal dari titik kecil hingga sekarang yang

menjadi masif dengan keberagaman pesan dan isinya, film masih memiliki tujuan yang

sama. Tujuannya adalah untuk menghibur dan menyampaikan pesan yang telah

direncanakan sebelumnya (Kurniawati, 2014).

Mengaitkan dengan teori komunikasi, film dapat dimasukkan ke dalam

komunikasi massa atau publik karena komunikasi massa adalah proses penggunaan sebuah

medium (massa) untuk mengirim pesan kepada audiensi yang luas dengan tujuan untuk

memberikan informasi, menghibur atau membujuk dengan ciri yang memiliki kemampuan

untuk menjangkau ribuan bahkan jutaan orang secara bersamaan (Vivian, 2008). Hal

tersebut berkesinambungan dengan film yang memiliki artian sebagai media komunikasi

yang bersifat audio visual yang memiliki tujuan untuk menyampaikan suatu pesan kepada

sekelompok orang yang secara kolektif berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy,

1986). Kemudian film bisa berkembang dari imajinasi seseorang ataupun gambaran

tentang apa yang ada di masyarakat luas. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat, yang di mana kemudian diproyeksikan ke atas

layar (Irawanto, 1999). Penginterpretasian film juga dapat dilakukan oleh setiap

penikmatnya, karena para penonton diberi kebebasan untuk antara melanjutkan alur dan

imajinasi pemilik film atau merekonstruksikan kembali apa yang telah ditonton.

Dewasa ini industri perfilman di negara berkode +62 telah jauh berkembang dari

apa yang ditawarkan pada masa lampau, sudah banyak representasi yang diikutsertakan

sebagai peran kecil maupun besar di sebuah film. Representasi di sini merupakan bagian

2
yang penting dalam proses di mana sebuah arti dibentuk dan dibenturkan dengan budaya.

Hal ini meliputi penggunaan bahasa, tanda–tanda, dan gambar yang mewakili untuk

merepresentasikan suatu hal (Hall, 2012).

Perkembangan film yang tercakup sebagai salah satu media komunikasi massa di

Indonesia mengalami pasang surut yang cukup berarti, namun media film di Indonesia

tercatat mampu memberikan efek yang cukup besar dan signifikan dalam proses

penyampaian pesan (Rivers & Jensen, 2003).

Lalu dalam penyampaian pesan, tidak selalu pesan yang disampaikan adalah pesan

yang ingin didengar atau siap didengarkan secara terang-terangan oleh masyarakat. Banyak

hal atau isu yang dianggap sebagai tabu di masyarakat. Tabu adalah yang dianggap suci

(tidak boleh disentuh, diucapkan, dan sebagainya), sebuah pantangan dan atau larangan

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2019). Isu tabu seperti sex education,

yaitu pengenalan mengenai edukasi tentang seks dalam artian hubungan antara dua orang

yaitu lelaki dan perempuan.

Edukasi tentang seks masih sangat jarang ditemui di khalayak karena seks itu

sendiri masih dianggap sangat tabu sehingga orang tua di rumah pun enggan membahasnya.

Paling-paling mereka hanya memasang tameng waswas dan melarang anaknya untuk

berhubungan seks sebelum nikah dengan cara yang tergolong canggung. Yang salah adalah

mereka tidak pernah mengajak anak-anak mereka untuk bicara secara terbuka dan bebas

tentang seks, padahal pembahasan tersebut seharusnya berawal di orang-orang terdekat dan

terintim yang pertama yaitu dari keluarga (Suparman, 2015).

Lalu ketika berbicara tentang hubungan seks yang terlalu dini, dosa selalu

mengiringi percakapan tersebut. Dosa yang kemudian dijadikan topik sebagai akibat dari

3
perlakuan yang sebenarnya masih banyak hal yang lebih penting untuk dibahas mengenai

seks itu sendiri. Kemudian selain itu, para remaja akan ditakut-takuti dengan stigma

masyarakat. "Kalau sudah kejadian, ngga akan ada lagi lelaki yang mau sama kamu" atau

"Tidak ada masa depan yang cerah untuk perempuan yang sudah tidak perawan". Tapi tidak

ada pembahasan yang naik mengenai realitas bahwa seks sebelum nikah dan yang terjadi

terlalu dini dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Aborsi itu ilegal di

Indonesia, sehingga banyak perempuan akhirnya terpaksa melahirkan anak dengan kondisi

belum cukup umur dan kekurangan edukasi mengenai apa saja pilihan yang ia miliki

dengan kondisi seperti itu (Suparman, 2015).

Selain di rumah dan di kehidupan bermasyarakat, pelajaran tentang seks di sekolah

juga hanya dianggap sebagai formalitas yang dilakukan secara singkat padat dan dalam

bentuk diskusi tertutup tanpa adanya celah untuk feedback dari para pelajar. Materi yang

diberikan pun hanyalah mengenai pembuatan bayi dan sistem reproduksi manusia yang

berbasis teori biologi saja. Tidak ada ataupun minim sekali ditemukan guru-guru yang

betul-betul berusaha untuk berbicara dengan siswa secara pribadi dan mencari tahu apakah

mungkin dari ada satu dari mereka yang sudah telanjur melakukannya agar bisa diberikan

arahan. Jarang sekali juga guru menjadi seorang teman bagi pelajar dalam membahas

mengenai kehidupan seksnya ataupun pendekatannya dengan lawan jenis (Suparman,

2015).

Dari sekian banyaknya catatan untuk perkembangan mengenai edukasi seks di

Indonesia, masih harus ada stigma yang harus muncul dan menghancurkan hubungan

masyarakat dengan generasi muda mengenai hal tabu di atas. Stigma adalah ciri negatif

yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya atau bisa juga

sebuah tanda menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2019). Ada pula menurut

Surgeon General Satcher’s menyatakan stigma adalah kejadian atau fenomena yang

4
menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, juga mengurangi seseorang untuk

memperoleh peluang dan interaksi sosial. Link dan Phelan juga menjelaskan bahwa stigma

adalah pikiran dan kepercayaan yang salah (Link & Phelan, 2010). Dari beberapa definisi

dari stigma tersebut, inti dari definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah

serta fenomena yang terjadi ketika individu menerima labeling, stereotip, separation atau

separasi dan mengalami diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara

keseluruhan.

Dari isu-isu tabu dan stigma yang menempel dan melekat di adat dan budaya

Indonesia, terobosan mulai dilakukan oleh anak bangsa yang menyadari kecacatan di

masyarakat. Salah satunya adalah Gina S. Noer yang telah menulis skrip film Dua Garis

Biru lebih dari sembilan tahun yang lalu namun baru bisa naik ke layar lebar pada awal

tahun ini (Womantalk, 2019). Retna Ginatri S. Noer atau yang kerap dipanggil Gina S.

Noer adalah ibu dari dua anak yang lahir di Balikpapan 24 Agustus, 1985. Ia dikenal

sebagai penulis skenario film dan televisi dengan film-film yang mengangkat namanya

seperti Ayat- Ayat Cinta (2008) dan Habibie & Ainun (2012) (Yudantama, 2019).

Gina S. Noer walaupun terhalang dengan kekhawatirannya mengenai apa yang

akan ia bawa ke masyarakat luas lewat filmnya, akhirnya memberanikan untuk

membeberkan Isu-isu nyata yang dahulu dianggap tabu pun sudah mulai berani

dimunculkan di layar lebar yang walaupun awalnya menuai perdebatan dari sebagian

kelompok yang masih tidak mau membuka matanya kepada realitas sosial yang ada.

Contoh dari apa yang sudah ada adalah isu-isu seperti hamil di luar nikah dalam film Dua

Garis Biru.

Isu tersebut adalah hal yang cukup panas didengar oleh kalangan ibu-ibu di

Indonesia. Saat trailer pertama dari film tersebut dirilis, banyak sumber yang mengecamnya

sebagai contoh yang buruk dan tidak mendidik tanpa melakukan literasi yang menyeluruh.

5
Hal seperti inilah mengapa saya berminat untuk membuat studi kasus demi mendalami

kekurangan budaya literasi di balik makna film Dua Garis Biru dan meneliti per adegan

yang dianggap masyarakat luas sebagai hal yang kontroversial.

Rumusan Masalah:

1. Bagaimana film Dua Garis Biru memunculkan isu tabu dan stigma di dalam

adegan-adegan filmnya.

KERANGKA TEORI

Analisis Paradigmatis

Analisis paradigmatis perlu digunakan untuk mengetahui kedalaman makna dari suatu

tanda serta untuk membedah lebih lanjut kode-kode tersembunyi di balik berbagai macam

tanda dalam sebuah teks maupun gambar. Analisis paradigmatis adalah analisa yang

berusaha mengetahui makna terdalam dari teks film dengan melihat hubungan eksternal

pada suatu tanda dengan tanda lain. Perbedaan mendasar antara analisis paradigmatis dan

sintagmatis adalah jika analisis sintagmatis mencoba untuk menemukan makna

denotasinya, maka analisis paradigmatis berusaha untuk menemukan makna konotasi dari

teks ataupun visualnya (Chandler, 2002).

Semiotika

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang

berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,

pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Semiotik

mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-

tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006).

6
Film

Artian film menurut Effendi (1986:239) Sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian.

Sebagai komunikasi massa / publik merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti

fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa, seni teater sastra, arsitektur dan seni

musik. Sobur (2004:127) Film merupakan rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke layar. Yang kemudian akan

menimbulkan adanya posibilitas dari golongan tertentu untuk menyelipkan pemikiran atau

pesannya mengenai suatu realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. McQuail (1996)

mengemukakan bahwa film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau

sekian banyak orang dalam waktu singkat dan mampu memanipulasi kenyataan tanpa

kehilangan kredibilitas. Film mampu mengonstruksi dan menghadirkan kembali realitas

yang terdapat dalam masyarakat melalui sistem kode, konvensi, mitos dan ideologi budaya

masyarakat secara spesifik (Turner, 1999:152) Sebuah film dapat berpengaruh terhadap

perilaku sosial dalam masyarakat dari para penikmatnya sesuai dengan pesan apa yang di

dapat dari sebuah film yang mereka nikmati. Film sebagai media komunikasi massa

memiliki peran yang cukup penting yaitu sebagai alat untuk menyalurkan pesan-pesan

kepada penontonnya. Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta: Homerian Pustaka,

2008)

Nilai

Nilai secara umum merupakan ukuran baik dan buruk terhadap suatu hal. Hal ini

terlihat dalam penjelasan yang dikemukakan oleh Setiadi sebagai berikut : “Nilai adalah

sesuatu yang dianggap, diyakini, dan dipeluk seseorang sebagai sesuatu yang baik, sebagai

sesuatu yang berharga. Nilai dapat diungkapkan dengan berbagai kata, misalnya bagus,

jelek, jujur, sehat, tidak enak. Kata- kata penilaian yang lazim digunakan adalah baik dan

buruk. Penilaian tidak pernah mutlak; selalu ada sederet tingkatan dari yang rendah sampai

yang tinggi”. (Setiadi dkk,2011:128)

7
Pesan

Film merupakan salah satu upaya komunikator dalam menyampaikan pesan dalam

komunikasi massa. Pesan itu sendiri yang nantinya akan mempengaruhi pemikiran

masyarakat dalam komunikasi massa. Semiotika memandang pesan bukan hanya sebagai

transmisi proses komunikasi namun juga konstruksi dari tanda-tanda, seperti yang

diungkapkan oleh Fiske : "Pesan adalah sebuah konstruksi dari tanda-tanda, yang akan

memproduksi makna melalui interaksi dengan audiensi/penerima. Pengirim, yang di

definisikan sebagai transmiter dari pesan mengalami penurunan peranan/tingkat

kepentingan. Penekanan berpindah ke teks dan bagaimana teks ‘dibaca’. Pembacaan adalah

proses menemukan makna-makna yang terjadi ketika

pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks. Negosiasi terjadi ketika pembaca

membawa aspek-aspek dari pengalaman budayanya untuk menjelajahi tanda dan kode yang

membangun teks”. (Fiske, 2012:5)

Representasi

Dasar Teori Representasi dengan pendekatan konstruksionis milik Stuart Hall (Hall,

Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, 1997) menjelaskan

bahwa representasi adalah bagian terpenting dari sebuah proses di mana arti produksi dapat

digantikan antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan. Representasi

menghubungkan antara konsep dalam benak kita dengan menggunakan bahasa yang

memungkinkan kita untuk menjelaskan benda, orang atau kejadian yang nyata, dunia

imajinasi dari obyek, orang, benda dan kejadian yang tidak nyata. Representasi dibutuhkan

untuk mengakui keberadaan dari suatu golongan atau kelompok di masyarakat yang tidak

sering didengar ataupun diakui eksistensinya.

Stigma

8
Menurut Scheid dan Brown, pengertian Stigma adalah suatu fenomena yang terjadi pada

saat seseorang diberi suatu labeling, stereotip, separation, serta mengalami diskriminasi.

Simanjuntak (dalam Hermawati, 2005:19) proses pemberian stigma yang

dilakukan masyarakat terjadi melalui tiga tahap yaitu:

1. Proses interpretasi, pelanggaran norma yang terjadi dalam masyarakat

tidak semuanya akan mendapatkan stigma dari masyarakat, tetapi hanya

pelanggaran norma yang dapat interpretasikan oleh masyarakat sebagai

suatu penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan stigma.

2. Proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang,

setelah pada tahap pertama dilakukan di mana terjadinya interpretasi

terhadap perilaku yang menyimpang, maka selanjutnya adalah proses

pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang oleh

masyarakat.

3. Perilaku diskriminasi, tahapan selanjutnya setelah proses kedua dilakukan,

adalah masyarakat memberikan perlakuan yang bersifat membedakan daripada biasanya.

Film bertema Coming Of Age

Coming of age—atau yang kerap disebut pula sebagai bildungsroman—adalah genre yang

menitikberatkan cerita pada perjalanan pribadi tokoh-tokohnya dalam melalui peralihan

masa muda menuju kedewasaan. Istilah bildungsroman berakar dari bahasa Jerman dan

pertama kali diperkenalkan oleh Karl Mongenstern. Berasal dari kata bildung yang berarti

pendidikan, suatu karya sastra dapat dikategorikan sebagai bildungsroman bila terdapat

narasi edukasional dalam cerita yang mendorong pembaca untuk menuju peningkatan

moral dan psikologis sampai pada titik kesempurnaan tertentu.

Coming of age adalah ketika tidak ada satu pun hal yang berjalan dengan benar. Kita benci

memiliki keluarga yang kacau dan tak peduli, namun kita juga tak suka dengan orangtua

9
yang tiap harinya mengadakan sesi bicara. Coming of age adalah ketika tidak ada satu pun

hal yang tepat. Beberapa hal dari diri kita tampak menyedihkan karena terlalu berlebihan,

sedangkan hal lainnya tak layak dibanggakan karena memiliki beragam kekurangan.

Coming of age adalah genre yang signifikan karena ia menampilkan cerita yang realistis

dan representasi yang dekat dengan keseharian. Semua orang pasti pernah dan akan

mengalami proses pendewasaan—terlepas dari bagaimana detail proses tersebut berjalan.

Problematika coming of age adalah isu yang universal sekaligus juga personal. Jika dibaca

oleh mereka yang memang tengah mengalami pergulatan batin serupa, karya coming of age

yang tepat tentu bisa menjadi sebuah panduan alih-alih fiksi belaka. Contoh-contoh film

coming of age yang bisa dijajarkan dengan Dua Garis Biru: Lady Bird (2017), The Perks

of Being a Wallflower (2012), In This Corner of the World (2016), The Tree of Life (2011),

Dead Poets Society (1989), dan Wonder (2017).

Film Dua Garis Biru

Produser: Chand Parwez Servia, Fiaz Servia

Sutradara: Gina S Noer

Penulis: Gina S Noer

Pemeran:

· Angga Aldi Yunanda (Angga Yunanda) sebagai Bima

· Adhisty Zara (Zara JKT48) sebagai Dara Yunika

· Lulu Tobing sebagai Rika, ibu Dara

· Dwi Sasono sebagai David Farhadi, ayah Dara

· Cut Mini Theo (Cut Mini) sebagai Yuni, ibu Bima

· Arswendi Nasution (Arswendy Bening Swara) sebagai ayah Bima

· Rachel Amanda sebagai Dewi, kakak Bima

· Maisha Kanna sebagai Putri alias Puput, adik Dara

· Shakira Jasmine sebagai Vini

10
· Ariella Calista Ichwan (Ariel JKT48) sebagai Melly

· Cindy Hapsari Maharani Pujiantoro Putri (Cindy JKT48) sebagai Lika

· Irgy Ahmad Fahrezy (Irgi Fahrezi) sebagai Om Adi

· Rahma Alia sebagai Tante Lia

· Ligwina Hananto sebagai dr. Fiza Hatta

· Asri Welas sebagai ibu hamil

Tanggal Edar: Kamis, 11 Juli 2019

Durasi: 113 menit

Sinopsis: Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) melanggar batas tanpa tahu

konsekuensinya. Mereka berusaha menjalani tanggung jawab atas pilihan mereka. Mereka

pikir mereka siap jadi dewasa untuk menghadapi segala konsekuensinya. Keluguan mereka

langsung diuji saat keluarga yang amat mencintai mereka tahu, lalu memaksa masuk dalam

perjalanan pilihan mereka.

METODE

Literature Review

Tinjauan literatur adalah analisis kritis terhadap sumber yang diterbitkan, atau literatur,

pada topik tertentu. Ini adalah penilaian literatur dan memberikan ringkasan, klasifikasi,

perbandingan dan evaluasi. Pada tingkat literatur ulasan pascasarjana dapat dimasukkan ke

dalam artikel, laporan penelitian atau tesis. Pada tingkat literatur, ulasan literatur dapat

menjadi penilaian tersendiri yang terpisah.

Tinjauan literatur umumnya dalam format esai standar yang terdiri dari tiga komponen:

pengantar, badan dan kesimpulan. Ini bukan daftar seperti bibliografi beranotasi di mana

ringkasan masing-masing sumber terdaftar satu per satu.

11
Mixed method

Penelitian metode campuran adalah metodologi untuk melakukan penelitian yang

melibatkan pengumpulan, analisis, dan pengintegrasian penelitian kuantitatif (contoh:

Eksperimen) dan kualitatif (contoh: Kelompok fokus, wawancara). Pendekatan penelitian

ini digunakan ketika integrasi ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang masalah

penelitian daripada masing-masing dari masing-masing saja.

PEMBAHASAN

Film Dua Garis Biru yang awalnya menuai kontroversi karena trailernya yang

menunjukkan dua anak di bawah umur berpacaran yang dilanjutkan oleh mereka

tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya ataupun orang di rumahnya, melakukan

hubungan seks. Petisi dibuat agar film tersebut tidak jadi ditayangkan ke publik

karena takut membawa pesan yang salah kepada masyarakat terutama remaja yang

sebaya dengan aktor-aktor di film tersebut. Tidak lama kemudian, petisi lainnya

muncul dengan alasan terbalik yaitu untuk tetap melanjutkan penayangan film Dua

Garis Biru karena titik kosong di publik mengenai hal tabu seperti yang di film

tayangkan yang butuh dihadirkan segera agar semua orang dapat teredukasi

darinya. Pada akhirnya film tersebut tetap naik ke layar lebar dan tidak sedikit

nominasi dan penghargaan yang diraih oleh para penggarap dari keberhasilan

penayangan tersebut. Hal tersebut dianggap sebagai tamparan bagi kelompok-

kelompok yang awalnya melihat film Dua Garis Biru sebagai hal yang negatif dan

hanya membawa pesan buruk ke masyarakat. Keberhasilannya juga telah membuat

publik untuk lebih membuka mata terhadap realitas sosial ini.

12
Dalam film Dua Garis Biru ditampilkan sejumlah kritik sosial atau stigma-stigma

yang telah dipegang oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Di mulai dari adegan di

mana Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) sudah melakukan hubungan

seks di luar nikah dan kedua orang tua mereka sudah mengetahui hal tersebut. Dari

sana ibu dari Bima telah memperingatkan bahwa tetangga tidak akan tinggal diam

melihat fenomena sosial yang tidak awam baginya— terlebih nyinyiran tetangga

adalah hal yang tidak bisa dipungkiri di Indonesia. Dalam salah satu adegan

memperlihatkan ketika keluarga Bima dan Dara pulang ke rumah, di jembatan

menuju kampungnya, ibu Bima yang diperankan oleh Cut Mini mengucap

“Bismillah”. Dengan wajah tegar, ibu Bima siap menghadapi segala nyinyiran

tetangga tentang apa yang telah terjadi kepada keluarga kecilnya itu. Dari adegan

tersebut dapat diperluas bahwa stigma masyarakat mengenai hubungan seks di luar

nikah adalah hal yang tabu dan tidak akan tanggung-tanggung bagi mereka (orang

yang melihat dari luar) untuk memojokkan orang-orang yang telah melakukannya.

Di mana seharusnya masyarakat lebih menjadi edukasional bagi mereka terutama

mereka adalah minor (berumur di bawah 21 tahun) yang seharusnya tidak dihakimi

sepenuhnya oleh orang-orang yang tidak mengenal mereka secara intim.

Berpindah ke adegan kedua di mana keputusan sekolah adalah untuk mengeluarkan

Dara dari sekolah atau drop out (DO) sementara Bima tidak dikeluarkan. Dalam

adegan ini terlihat jelas ketimpangan sosial dan stigma buruk bahwa perempuan

13
akan terlihat lebih rendah derajat dan hakikatnya daripada Bima, seorang lelaki.

Padahal hubungan seks adalah hubungan dengan konsensus dua orang, lelaki dan

perempuan. Mengapa di negara berkebudayaan beragam ini masih mengelukan

stigma di mana perempuan yang lebih ‘kotor’ daripada lelaki di hubungan sakral

ini. Pendidikan seharusnya tidak diberhentikan di saat murid melakukan kesalahan,

seharusnya itu tetap menjadi hak mereka, dan selebihnya mereka membutuhkan

pendidikan lebih lagi. Sebuah kekecewaan bagi kedua orang tua Dara saat

mengetahui anaknya diperlakukan berbeda di dalam situasi yang mengaitkan dua

orang itu.

KESIMPULAN

Film Dua Garis Biru karya Gina S. Noer telah membuka mata masyarakat terhadap

isu tabu yang selama ini dipendam, yaitu hubungan seks di luar nikah. Film bisa

memberikan representasi mengenai hal seperti di atas dan telah berhasil

ditampilkan dengan bakat akting yang hebat oleh para aktor-aktornya.

Film berdurasi 113 menit ini diharapkan bisa memberikan pencerahan dan

penyegaran mata terhadap masyarakat luas khususnya para remaja dan orang

tuanya. Diharapkan para remaja bisa menyadari bahwa setiap tindakan memiliki

porsi tanggung jawabnya masing-masing dan edukasi mengenai seks di umur yang

pantas adalah hal yang sangat penting dan perlu dimengerti sepenuhnya.

Untuk orang tua yang menonton film karya Gina S. Noer diharapkan untuk bisa

menyadari betapa pentingnya edukasi seks untuk anak-anaknya tanpa menutup-

14
nutupi apa yang seharusnya mereka ketahui. Menerima pertanyaan-pertanyaan

yang mungkin akan diajukan oleh anak tanpa mengabaikannya adalah hal yang juga

penting karena seperti Dara dan Bima yang tidak mengerti apa yang seharusnya

mereka lakukan dan yang tidak.

Stigma yang ada di masyarakat mungkin tidak akan pernah musnah dari masyarakat

namun menguranginya step by step atau perlahan-lahan merupakan hal yang sangat

dianjurkan agar tidak ada orang yang merasa dikeluarkan dari kehidupan sosial.

Berawal dari merubah mindset atau pola pikir kita dari yang masih suka

berkomentar mengenai hal-hal di luar kewajiban dan urusan kita.

15
DAFTAR PUSTAKA

Matanasi, P. (2016, May 16). Sejarah Film Indonesia. Retrieved December 10,

2019, from Tirto.id web site: https://tirto.id/sejarah-film-indonesia-8Wh

vivian, j. (2019).

Vivian, J. (2008). Teori Komunikasi Edisi Kedelapan. Jakarta: Prenanda Media

Grup.

Kurniawati, V. (2014, February 10). Untuk Apa Membuat Film? Retrieved

December 11, 2019, from Kompasiana web site:

https://www.kompasiana.com/black_rabbit13/551f4d72813311706c9df7

4e/untuk-apa-membuat-film

Effendy, O. U. (1986). Dimensi Dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni.

Irawanto, B. (1999). Film Ideologi dan Militer Hegemoni Militer Dalam Sinema

Indonesia. Yogyakarta: Media Persindo.

Rivers, W. L., & Jensen, T. P. (2003). Media Massa dan Masyarakat Modern. (H.

Munandar, & R. Priatna, Trans.) Jakarta Timur: Prenada Media.

Hall, S. (2012). Representation : Cultural Representation and Signifying Practises.

Suparman, R. M. (2015, December 9). 16 Kesalahan Fatal Dalam Sex Education di

Indonesia. Retrieved December 11, 2019, from IDN Times web site:

16
https://www.idntimes.com/health/sex/raden/10-kesalahan-fatal-dalam-

sex-education-di-indonesia/full

KBBI. (2019). Terjemahan Kata Tabu. Retrieved December 11, 2019, from Kamus

Besar Bahasa Indonesia web site: https://www.kbbi.web.id/tabu

KBBI. (2019). Arti Kata Stigma. Retrieved December 11, 2019, from Kamus Besar

Bahasa Indonesia web site: https://www.kbbi.web.id/stigma

Link, B. G., & Phelan, J. C. (2010). A Handbook for The Study of mental health:

Social contexts, theories, and systems. Brown: Cambridge University

Press.

Womantalk. (2019, July 5). Fakta di Balik Kontroversi Film Dua Garis Biru -

AutoKeNa #2. Retrieved December 11, 2019, from Youtube:

https://www.youtube.com/watch?v=CnwbwHAKD8o

Yudantama, P. (2019, November 14). Profil Gina S Noer - Penulis Skenario

Kenamaan Indonesia. (R. Setiawan, Editor) Retrieved December 11, 2019,

from Tribun News web site:

https://video.tribunnews.com/view/104764/profil-gina-s-noer-penulis-

skenario-kenamaan-indonesia

Chandler, D. (2002). Semiotics: The Basic. New York, USA: Routhledge.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.

London: Sage Publications.

Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

17
18

Anda mungkin juga menyukai