Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Isu terkait kelompok difabel merupakan salah satu isu penting yang kurang

mendapatkan perhatian oleh masyarakat Indonesia. Di mana masih terdapat banyak

masyarakat Indonesia yang memaknai difabel sebagai sesuatu kekurangan, aib, aneh

dan cenderung akan dijauhi (Couser, dalam Widiniarsih 2019: 127-142). Isu pada

kelompok difabel mental ini sendiri berkaitan erat dengan karakter dalam diri seorang

individu yang memiliki permasalahan dalam pengendalian diri, akibat ketidakstabilan

secara emosional (Yazfinedi, 2018: 101-110). Hal ini tentunya mengakibatkan

komunikasi dalam pembinaan hubungan sosial seperti hubungan pertemanan maupun

percintaan menjadi terhambat. Oleh karena itu, fokus dari penelitian ini berkaitan

dengan isu pembinaan hubungan sosial dari kelompok difabel mental.

Difabel berawal dari kata different ability yang memiliki arti seseorang yang

mempunyai kemampuan berbeda atau berkebutuhan khusus baik secara fisik maupun

mental dan dapat mengganggu hingga menghambat mereka dalam beraktifitas secara

sosial. Istilah ini digunakan untuk menggantikan kata ‘disabilitas’ yang berarti

penyandang cacat. Kelompok difabel diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu difabel

1
fisik, difabel mental, dan difabel karakteristik sosial. Pada kali ini, kategori yang

menjadi fokus dalam penelitian ini adalah difabel mental. Difabel mental merupakan

seseorang yang memiliki kemampuan emosional yang berbeda, di mana mereka

membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mampu berpikir secara kritis, dan logis

saat menanggapi realitas di sekitarnya (Afriyandi, 2020: 80-88).

Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kelompok difabel,

Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang

Penetapan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of

Persons with Disabilities), sebagai bentuk kesungguhan Indonesia dalam melindungi

dan memenuhi hak dari kelompok difabel. Selain itu, Indonesia juga mencetuskan

kebijakan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai

Penyandang Disabilitas (UUPD) yang berisi perlindungan, penghormatan, persamaan

kesempatan diberbagai aspek kehidupan, serta fasilitas dan aksesibilitas yang layak

seperti pusat rehabilitasi, dan sebagainya. Kebijakan ini bertujuan agar kelompok

difabel tidak mendapatkan perilaku eksploitasi, diskriminasi, serta guna meningkatkan

kesejahteraan dari kelompok difabel (Sholihah, 2016: 166-172).

Tetapi, beberapa data di lapangan justru menunjukan bahwa kelompok difabel

mental di Indonesia masih mendapatkan diskriminasi secara sosial, yaitu: Pertama,

terdapat sekitar 80 persen difabel pernah mendapatkan perilaku diskriminasi (Hanifa,

dalam Cahyono & Probokusumo 2016: 94). Kedua, pada penelitian terkait pemaknaan

khalayak mengenai isu difabel dalam Film Wonder, diketahui film ini masih

2
menampilkan dan menggunakan karakteristik ‘disabled’ pada karakter difabelnya. Hal

ini membuat informan difabel cenderung untuk tidak menyetujui teks media tersebut,

karena dapat menimbulkan dan menguatkan stereotip terkait keberbedaan kelompok

difabel dengan masyarakat pada umumnya. Sedangkan dari sisi informan non-difabel,

diketahui masih kesulitan memaknai karakter difabel pada film karena adanya stereotip

dan representasi yang merugikan kelompok difabel (Siregar, R.A., 2019: 127-142).

Gambar 1. 1
Data Stigmatisasi Negatif Difabel Mental Pada Media Sosial Twitter di

Indonesia

Sumber: Twitter.com

Ketiga, merujuk pada survei yang dilakukan oleh Sesty Arum terkait difabel

mental pada media sosial diketahui sebesar 56 persen responden menganggap

penyandang down syndrome adalah anak yang idot. Pada penelitian yang sama, peneliti

dari laman tersebut melakukan survei lain yang melibatkan 123 mahasiswa, dan

3
menghasilkan sebesar 15 persen dari responden tersebut masih mengidentikkan kondisi

gangguan kejiwaan mental seperti down syndrome dan autisme dengan menyebut

sebagai ‘idiot’ (Arum, 2018: n.p). Keempat, pada tanggal 7 Juli 2022 pukul 12.41 WIB

dari akun @milk_y94 dan @Boby_M5091 yang juga mengomentari suatu konten yang

diunggah dari TV One News mengenai artis Marshanda. Diketahui Marshanda

merupakan seorang penyandang difabel mental yang memiliki riwayat gangguan

kesehatan jiwa bipolar disorder. Dalam kicauan tersebut, kedua akun tadi mengatakan

bahwa Marshanda akan menjadi gila karena terlalu berhalusinasi dan dikatakan sudah

pernah gila juga.

Dari beberapa data diatas, menunjukan bahwa masih terdapat film yang

menampilkan karakter difabel dengan karakteristik ‘disabled’ yang tentunya

merugikan kelompok difabel. Selain itu, pemaknaan khalayak terutama dari kelompok

non-difabel ini juga masih menunjukan adanya mis-intepretasi, seperti penggunaan

istilah ‘idiot’ pada penyandang autisme dan downsyndrom, serta adanya kesulitan

kelompok non-difabel dalam memaknai karakter difabel pada film tanpa adanya

indoktrinisasi terkait stereotip negatif pada kelompok difabel.

Timbulnya pemahaman negatif tersebut, disebabkan karena adanya pola pikir

masyarakat mengenai konsep normalitas yang memperlihatkan bahwa ketika seseorang

memiliki penampilan/tubuh/sikap dipandang “berbeda” dengan masyarakat pada

umumnya, maka akan dianggap dan diperlakukan seperti seseorang yang tidak

diinginkan dan tidak diterima (Couser & Rothman, dalam Widinarsih 2019: 128).

4
Sehingga, muncul pandangan masyarakat bahwa kelompok difabel itu adalah

seseorang yang lemah dan merugikan masyarakat. Munculnya stereotip pada difabel

mental ini, salah satunya disebabkan oleh representasi media yang menggambarkan

kelompok difabel secara keliru.

“It is to recognize that, whether in art or in ‘real life’, thought influence

perception and vision affects knowledge. Through film viewers may confront their own

socially mediated perceptions of disability in other culture, and they may potentially

form knowledge of how concepts of disability are embedded in social environments.

The vehicle for this engagement with disability on film is the notion of representations

as a presence,” (Fraser, 2016: 8)

Artinya, representasi isu difabel pada media film ini dapat membentuk suatu

pandangan dan pengetahuan mengenai kelompok difabel. Representasi dari kelompok

difabel mental yang ditampilkan melalui serial drama It’s Okay to Not be Okay ini, juga

dapat membentuk suatu intepretasi dari khalayak terkait bagaimana pembinaan

hubungan dengan kelompok difabel mental.

Namun, realitasnya representasi media terkait kelompok difabel ini justru

beberapa kali tidak sesuai dan cenderung terlihat mengeksploitasi. Dilansir dari laman

PLD UIN Sunan Kalijaga, diketahui bahwa media tak jarang membingkai narasi terkait

difabel dengan stereotip yang ada yaitu difabel menjadi objek candaan, beban sosial,

digambarkan sebagai seseorang yang lemah dan patut dikasihani, dipandang akseksual,

5
dan sebagai sumber inspirasi (Raisa, 2020: n.p). Pada poin terakhir, hal ini cukup sering

terjadi dalam media dan dikenal dengan “Inspiration Porn”, difabel dinarasikan

sebagai sesosok yang inspiratif atas keterbatasannya atau kekurangannya. Hal tersebut

sebenarnya dapat pula dilihat sebagai suatu hal positif, yaitu merupakan salah satu

bentuk atau cara dalam mengapresiasi atas prestasi dari kelompok difabel di media.

Tetapi, hal ini juga tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beragam pandangan positif

maupun negatif dari masyarakat terkait “Inspiration Porn” sering dijumpai diacara-

acara talkshow televisi di Indonesia, seperti Hitam Putih ataupun Kick Andy. Oleh

karena itu, timbulnya berbagai pandangan positif maupun negatif terkait bentuk

representasi dari apresiasi kelompok difabel atau “Inspiration Porn” ini, membuktikan

bahwa khalayak memiliki perspektif dan pemaknaan yang beragam.

Topik menganai isu kesehatan mental sering kali diangkat melalui media film

ataupun televisi. Namun, dalam pembahasan isu tersebut, tidak banyak media film

yang menceritakan mengenai bagaimana proses pembinaan dan pengelolaan hubungan

sosial dari kelompok difabel mental. Mengingat masih melekatnya stigma dan tindakan

diskriminasi sosial yang didapatkan oleh kelompok difabel mental, maka topik terkait

pembinaan dan pengelolaan sosial pada difabel mental menjadi cukup penting untuk

ditampilkan pada media.

6
Gambar 1. 2
Poster serial Drama Korea It’s Okay to Not be Okay

Sumber: Netflix.com

Kendati demikian, terdapat salah satu media televisi yang menayangkan suatu

serial drama Korea yang membahas mengenai mental health issue dan cukup populer

di Indonesia pada tahun 2020. Drama tersebut adalah “It’s Okay to Not be Okay” yang

ditayangkan oleh stasiun televisi Korea tvN dan Netflix dengan rating 8.535 persen

secara global pada episode terakhirnya. Drama ini cukup populer di Indonesia dengan

menjadi trending topik nomer 1 di Twitter Indonesia dalam di setiap penayangan

episodenya, dan menjadi nominasi di ajang penghargan International Emmy Awards

2021 pada kategori TV/Mini-Series. Meskipun sudah tayang di tahun 2020, serial

drama It’s Okay to Not be Okay sampai saat ini masih diputar oleh Netflix dan masih

ditonton oleh banyak masyarakat hingga menjadi salah satu drama yang trending dalam

kategori Asian Movies pada aplikasi Netflix.

7
Drama Korea It’s Okay to Not be Okay adalah mini-series yang bertemakan

self-healing dari berbagai karakter difabel mental yang dibalut dengan genre romantic

comedy. Serial ini menceritakan terkait bagaimana para difabel mental berjuang untuk

mengatasi rasa trauma yang dimilikinya, di tengah ketidakstabilan mental dan

diskiriminasi yang dialaminya. Selain itu, drama ini juga membahas mengenai proses

pembinaan dan pengelolaan hubungan sosial dari berbagai karakter difabel mental

yang ditampilkan. Hubungan tersebut dapat meliputi hubungan pertemanan,

percintaan, kekeluargaan ataupun pekerjaan, baik antar kelompok difabel mental,

maupun dari difabel mental dengan masyarakat non-difabel. Kelebihan dari serial ini

yaitu mencoba menampilkan secara nyata bagaimana kisah para difabel mental melalui

penggunaan latar tempat di Rumah Sakit Jiwa OK dan penggunaan berbagai variasi

karakter difabel mental. Adapun beberapa karakter difabel mental yang kisahnya cukup

diangkat dalam series ini, yaitu:

1. Antisocial Personality Disorder (Koo Moon Young)

Antisocial Personality Disorder (ASPD) adalah suatu gangguan kepribadian

pada pola perilaku individu yang ditunjukan dengan adanya tindakan

ketidakpedulian dan cenderung untuk melanggar hak-hak orang lain guna

mendapatkan kesenangan pribadi (Pertiwi, Wardana, & Alfinuha, 2022: 11-21).

Individu dengan ASPD ini seringkali berperilaku menyimpang seperti seperti

impulsif, kasar, manipulatif dan kurang memiliki toleransi dengan kebutuhan

orang lain. Umumnya gangguan ini terjadi pada anak-anak sebelum usia 15

8
tahun hingga orang dewasa dan disebababkan karena adanya trauma

fisik/psikologis pada masa kecil. Kondisi ASPD terlihat seperti memiliki

karisma yang kuat, tampak tenang dan dapat diandalkan, namun sebenarnya

individu dengan kondisi ASPD memiliki kesulitan untuk berpikir secara

rasional. Salah satu ciri individu ASPD yaitu tidak memiliki rasa penyesalan

atas perbuatan agresif/impulsif-nya karena mereka memiliki kekurangan untuk

mengontrol diri dan berempati pada perasaan orang lain. Rendahnya toleransi

pada orang lain, membuat individu dengan ASPD sulit membangun dan

mempertahankan hubungan interpersonal dengan orang lain meskipun tidak

ada hambatan (Kusuma & Sativ, 2020: 33-36).

Pada serial drama It’s Okay to Not be Okay, gangguan kepribadian ASPD

ditampilkan melalui karakter utamanya yaitu Ko Moon Young sebagai penulis

buku dongeng yang memiliki trauma pada pengalamannya masa kecil. Trauma

yang dialami oleh Ko Moon Young disebabkan oleh pola asuh yang ketat dari

kedua orang tuanya dan juga pengalaman buruknya saat melihat percobaan

pembunuhan yang dilakukan oleh Ayahnya kepada Ibu dan dirinya. Hal

tersebut membuat Ko Moon Young tumbuh sebagai individu dengan gangguan

ASPD dan cenderung menganggap dirinya sebagai seorang monster yang tidak

bisa berteman dengan siapapun (Margaretha, 2020: n.p).

9
2. Autisme Spectrum Disorder (Moon Sang Tae),

Autisme Spectrum Disorder (ASD) adalah sebuah gangguan yang

menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan

berinteraksi dalam kehidupan sosial. Seseorang yang dengan ASD, umumnya

sering mengalami gejala seperti bertindak agresif, hiperaktif, sering bertindak

untuk menyakiti diri, cenderung untuk suka menutup diri dari orang lain.

Autisme Spectrum Disorder disebebkan oleh faktor genetik maupun faktor dari

lingkungan (Dewi, 2021: 27-35). Adapun beberapa ciri-ciri dari individu yang

memiliki kondisi ASD, yaitu (1) terdapat gangguan pada komunikasi verbal

maupun nonverbal, (2) gangguan dalam interaksi sosial, (3) gangguan dalam

berperilaku, (4) kesulitan untuk memahami perasaan & emosi, (5) gangguan

pada persepsi sensoris (Nurfadhillah, et al., 2021: 459-465).

Dalam drama It’s Okay to Not be Okay, gangguan ASD digambarkan melalui

tokoh Moon Sang Tae. Karakter Moon Sang Tae digambarkan sebagai

seseorang pria dewasa yang memiliki kesulitan untuk memproses suatu

informasi, emosi, dan memiliki selera yang unik. Individu dengan ASD

memiliki cara berkomunikasi yang cenderung berbeda dengan orang pada

umumnya, serta mempunyai minat yang cukup terbatas dan perilaku yang

berulang. Hal ini dapat dilihat pada tokoh Moon Sang Tae yang terlihat selalu

berbicara dengan tidak menatap mata lawan bicaranya, memiliki minat pada

pernak-pernik yang berhubungan dengan binatang dinosaurus, dan sering sekali

10
mengucapkan kata-kata atau kalimat yang sama berulang kali, seperti berada

pada dunianya sendiri (Wakidah, 2020: n.p).

3. Maniac disorder (Kwon Gi-Do),

Maniac disorder merupakan salah satu kondisi gejala yang dialami oleh

seseorang yang memiliki riwayat bipolar disorder, yang mana ia mengalami

perubahan suasana hati menjadi penuh energi dan euforia. Gejala pada difabel

mental maniac disorder ini dapat menyebabkan seseorang kehilangan kontrol

diri dan membahayakan apabila tidak ditangani dengan baik. Kondisi

perubahan suasana hati yang cukup parah membuat pengidapnya kesulitan

untuk beraktifitas di lingkungan sosial ataupun menjalin hubungan dengan

orang lain (Farhah, 2020: n.p).

Kwon Ki Do adalah salah satu tokoh pasien di Rumah Sakit Jiwa OK pada

serial It’s Okay to Not be Okay, yang memiliki gangguan maniak. Dalam drama

tersebut, diperlihatkan beberapa adegan yang menunjukan kambuhnya

gangguan maniak dari Kwon Ki Do, seperti ia berlarian di RS Jiwa Ok dan

berhalusinasi dengan mengganggap bahwa ia sedang berada di club malam.

Gangguan maniac disorder dari karakter ini disebebkan karena adanya

gangguan psikologis, di mana Kwon Ki Do di ceritakan bahwa ia memiliki

banyak tekanan dari keluarga untuk menjadi sukses seperti saudaranya yang

lain. Akibatnya, perasaan sedih dan kurang diperhatikan dari keluarga itu

11
mendorong dirinya untuk mencari perhatian lebih dengan cara memperlihatkan

alat vitalnya ke orang lain. Sehingga, pada akhirnya Kwon Ki Do dianggap

sebagai aib keluarga yang harus ditutupi dengan cara mengirimkannya ke

Rumah Sakit Jiwa OK (Farhah, 2020: n.p).

4. Gangguan Kecemasan dan Depresi (Le Ah Reum)

Gangguan kecemasan dan depresi adalah suatu gangguan pada suasana hati

yang ditandai dengan adanya perasaan sedih terlalu mendalam, merasa putus

asa, khawatir, takut dan gelisah. Gangguan ini dapat menyebabkan hubungan

sosial maupun pekerjaan tidak berjalan dengan baik apabila terjadi dalam

jangka waktu yang cukup panjang yaitu lebih dari dua minggu (Halim, 2021:

n.p).

Gangguan kecemasan dan depresi ditampilkan pada drama It’s Okay to Not be

Okay melalui karakter Le Ah Reum. Ah Reum adalah seorang pasien di Rumah

Sakit Jiwa OK, yang terus merasa selalu sedih hingga putus asa dikarenakan

hal-hal yang tidak terlalu serius. Kondisi ini terjadi dikarenakan Ah Reum

memiliki masa lalu yang menyakitkan pada kehidupan rumah tangganya yaitu

adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh mantan

suaminya (Nurfadilah, 2020: n.p).

12
5. Dissociative Identity Disorder (Yoo Sun Hae).

Dissociative Identity Disorder (DID) atau dikenal dengan kepribadian ganda

adalah kondisi gangguan pada integrasi identitas, memori, emosi, dan perilaku

yang memungkinkan timbulnya dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Pada

setiap identitas kepribadian yang muncul ini memiliki memiliki nama, gesture,

hingga perilaku yang bertolak belakang namun berada di satu tubuh yang sama

dan hidup secara berdampingan. DID terjadi dikarenakan terdapat suatu

peristiwa traumatis seperti kekerasan, pelecehan, kecelakaan, ataupun kejadian

besar lainnya saat kondisi individu berada di masa anak-anak. Ciri utama dari

individu dengan DID adalah kondisi amnesia berulang yang membuat

kepribadian alternatifnya mengambil alih kepribadian inti dan seketika individu

tersebut tidak mampu untuk mengingat apa yang terjadi ketika kepribadian

lainnya sedang muncul (Afifah, 2022: n.p).

Kondisi individu dengan gengguan identitas disosiatif juga ditampilkan pada

serial It’s Okay to Not be Okay melalui karakter Yoo Sun Hae. Sun Hae adalah

seorang pasien di Rumah Sakit Jiwa OK yang digambarkan sebagai wanita

dewasa dan berperilaku seperti dukun peramal padahal ia tidak memiliki

kekuatan supranatural. Kondisi DID pada Yoo Sun Hae terjadi karena ia

mendapatkan kekerasan fisik dari Ibunya saat ia masih kanak-kanak dan

Ayahnya juga pernah menjual Sun Hae kepada seorang dukun. Hal tersebut

membuat tokoh Yoo Sun Hae memiliki dua kepribadian yaitu kepribadian

13
sebagai seorang dukun dan kepribadian sebagai seorang anak kecil yang

ketakutan akan kekerasan (Nurfadilah, 2020: n.p).

6. PTSD atau Post-traumatic Stress Disorder (Kang Pil Wong),

Post-traumatic Stres Disorder (PTSD) atau gangguan strss pascatrauma adalah

gangguan stress pada individu akibat adanya suatu peristiwa traumatik dalam

kurun waktu tertentu setelah bencana berlalu. Gangguan stress ini dapat terjadi

pada siapapun, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Di tingkat keparahan

tertentu, gangguan ini dapat menimbulkan terjadinya disfungsi pada akademik,

personal, kehidupan sosial maupun karir dari seseorang. Adapun beberapa

gejala gangguan PTSD yang meliputi intrusi memori, gejala untuk

menghindari, adanya perubahan negatif dalam kondisi dan mood, serta

memiliki reaktivitas yang berlebihan (Rahmadian, Furqon, Yusuf L.N, &

Rusmana, 2016: 1-17).

Salah satu karakter difabel mental yang ada pada drama It’s Okay to Not be

Okay adalah tokoh Kang Pil Wong yang merupakan seorang pasien PTSD di

Rumah Sakit Jiwa OK. Gangguan stress pascatrauma dari Kang Pil Wong

terjadi karena ia memiliki kondisi trauma di masa lalu yaitu ketika menjadi

tantara perang dan terpaksa untuk menembak orang-orang yang tidak bersalah

karena mendapatkan suatu perintah. Akibat kondisi tersebut, Kang Pil Wong

14
mengalami serangan panik ketika mendengar bunyi yang mirip dengan suara

pistol (Nurfadilah, 2020: n.p).

Representasi terkait isu difabel mental pada drama Korea It’s Okay to Not be

Okay menuai beragam respon positif hingga negatif dari masyarakat. Mengutip dari

laman Quora (2020), terdapat beberapa pendapat masyarakat terkait review dari drama

It’s Okay to Not be Okay. Berikut beberapa contoh komentar positif dan negatif terkait

drama tersebut, yaitu:

1. “Saya jadi bisa tau pendapat dari setiap sudut pandang yang berbeda.

Karena drama ini relate dengan keluarga saya, dan saya sudah tonton

drama ini 3 kali diulang” – @mercy

2. “Banyak kok mba pasien2 yang kehidupannya diceritakan dan punya peran

penting disini. Menurutku mereka menghadirkan makna tersendiri di

drakor ini.” – @manusiabiasa

3. “Menurut saya drama ini sangat istimewa. Drama ini telah banyak

merengkuh hati, memberikan perasaan healing dan tidak membosankan

walaupun beberapa kali di-rewatch.” – @audretazara

4. “Tentang plothole, itu sangat tidak realistis dan tidak adanya penjelasan

alias absurd banget.” – @desiarfisi

15
5. “Awalnya excited karena happening banget dramanya. Trus bawa isu

mental health. Pas ta tonton, lho mana mental health nya? Cuma sekilas2

doang. Isi drama ini cuna bucin 2 tokoh utama itu. Malah saya lebih suka

karakter Sang Tae yang autis dan gimana ngatasin tantrumnya. – @aiko

6. “Menurut saya tidak berkesan. Di drama ini yang katanya mengangkat isu

mental health, karakter per tenaga medis nggak diperkenalkan lebih dalam,

treatment pasien pun nggak terlalu banyak ditunjukkan dan dijelaskan.

Padahal justru itu yang saya nantikan, fokus ke sisi kemanusiaan atau

masalah per pasien. Malah banyak adegan romance dan bucin-bucinan

yang nggak ngefek banyak dalam cerita.” – @anindyarahadi (Rahadi,

2021: n.p).

Dari beberapa contoh komentar positif maupun negatif diatas, menunjukan

bahwa masyarakat memiliki keberagaman pemaknaan dalam melihat isu sosial yang

direpresentasikan melalui media film. Hal tersebut juga membuktikan bahwa khalayak

aktif dapat memberikan makna terkait isu difabel mental secara subjektif setelah

menonton serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay. Peran khalayak aktif dalam

memaknai pesan dalam media memiliki posisi yang cukup penting. Di mana intepretasi

mereka mengenai isu difabel mental tersebut juga dapat memungkinkan untuk mereka

dapat memaknai konstruksi sosial dari pembinaan dan pengelolaan hubungan pada

kelompok difabel mental, berdasarkan perbedaan budaya, latar belakang, ataupun

pengalaman pribadi.

16
1.2 Rumusan Masalah

Secara ideal, dengan dicetuskannya kebijakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2016 mengenai hak dan perlindungan dari kelompok difabel, seharusnya difabel di

Indonesia tidak mendapatkan stigmatisasi negatif ataupun diskriminasi. Namun,

realitanya masih terdapat diskriminasi pada difabel dan mis-interpretasi dari

masyarakat mengenai kelompok difabel mental yang dapat dilihat melalui beberapa

data berikut: Pertama, terdapat penelitian terkait diskriminasi difabel yang menunjukan

bahwa 80 persen difabel pernah mengalami diskriminasi; Kedua, terdapat representasi

karakteristik ‘disabled’ pada karakter difabel dalam Film Wonder, dan adanya

kesulitan kelompok non-difabel dalam memaknai karakter difabel tanpa adanya

stereotip yang merugikan difabel; Ketiga, adanya penggunaan istilah ‘idiot’ pada

penyandang difabel autisme dan downsyndrome; Keempat, terdapat kicauan di sosial

media Twitter yang mengatakan bahwa aktris Marshanda sebagai difabel mental

bipolar disorder, ini akan menjadi gila akibat terlalu berhalusinasi dan dikatakan pula

kalau pernah menjadi gila. Dari beberapa data tersebut menunjukan bahwa kelompok

difabel masih di maknai dengan istilah negatif, mendapatkan diskriminasi, dan timbul

jarak sosial antara difabel dengan masyarakat karena adanya ketakutan untuk menjalin

hubungan dengan difabilitas mental menjadi suatu permasalahan.

17
Gambar 1. 3
Adegan pada K-Drama It’s Okay to Not be Okay Yang Dinilai

Mengandung Pelecehan Seksual Dan Menuai Kritik dari Masyarakat

Sumber: intipseleb.com

Representasi positif dari kelompok difabel mental yang coba ditampilkan pada

serial It’s Okay to Not be Okay ini menjadi pro dan kontra di masyarakat karena adanya

kecurigaan pada teks media yang seolah-olah dinaturalisasikan untuk membela difabel

mental. Adapun beberapa hal yang menjadi indikasi peneliti terkait adanya

ketidaksesuaian tujuan dari film tersebut dalam memberi penguatan atau pembelaan

pada kelompok difabel, yaitu: Pertama, penggunaan romantisme yang terlalu kuat yang

justru dapat mengesampingkan isu pembinaan hubungan sosial dari kelompok difabel

mental itu sendiri. Kedua, peneliti melihat minimnya tokoh non-difabel yang tidak

memiliki keterkaitan dengan tokoh yang berada di area rumah sakit, membuat

kemampuan pembinaan yang ditunjukan oleh kelompok difabel ini juga patut untuk

dilihat dan dikaji lebih dalam lagi. Ketiga, dilihat melalui poster dari film ini, peneliti

mencurigai adanya eksploitasi pada tokoh utama karakter difabel mental anti-social

18
disorder (Koo Moon Young) yang ditampilkan sebagai sosok yang kuat, tangguh dan

menginspirasi banyak orang. Keempat, adanya penggunaan tokoh difabel yang

ditampilkan dengan penggunaan tokoh-tokoh utama yang terlalu ideal dan menonjol

dalam drama seperti tokoh Ko Moon Young. Kelima, mengutip dari laman Intip Seleb

(2020), serial ini menuai kritik dari masyarakat karena terdapat sejumlah adegan yang

dinilai melecehkan kelompok difabel seperti adegan karakter difabel Koo Moon Young

yang masuk ke ruang ganti perawat & menyentuh tubuh perawat tanpa izin, serta

adegan Koo Moon Young yang melihat karakter difabel mental Kwon Gi Do yang

telanjang dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai alat vital oleh

kedua difabel tersebut (Margaretha, 2020: n.p).

Tingginya antusiasme masyarakat dalam menyambut drama It’s Okay to Not be

Okay, membuat serial drama ini terus berada di jajaran trending Netflix meski sudah

tayang dari tahun 2020. Tindakan khalayak untuk menonton atau mengonsumsi serial

drama It’s Okay to Not be Okay pastinya mendorong masyarakat untuk memberikan

intepretasinya melalui komentar. Beragam komentar positif maupun negatif pada

drama tersebut menunujukan bahwa khalayak memiliki kekuatan dalam memberikan

makna pada konstruksi isu difabel mental terutama dalam membina hubungan sosial

secara subjektif berdasarkan latar belakang dan pengalaman pribadi. Sehingga, atas

dasar permasalahan realitas maupun film, peneliti ingin mengkaji secara lebih

mendalam untuk mengetahui bagaimana posisi khayalak dalam memaknai konstruksi

19
isu difabel mental terutama pada aspek pembinaan dan pengelolaan hubungan sosial di

serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari adanya penelitian ini adalah guna mengetahui pemaknaan khalayak

terhadap isu difabel mental yang ditampilkan pada serial drama Korea It’s Okay to Not

be Okay. Adapun sub tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Penelitian ini memiliki bertujuan untuk melihat representasi makna dominan

(preferred reading) yang ditampilkan oleh teks pada media terkait isu difabel

mental.

b. Penelitian ini memiliki tujuan dalam mengetahui dan memaknai terkait

keberagaman pemaknaan khalayak aktif dalam melihat dan memahami isu

difabel mental yang ditampilkan pada media.

c. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk melihat bagaimana posisi khalayak

aktif dalam mengkonstruksi makna dominan (preferred reading) terkait isu

difabel dalam teks media.

20
1.4 Signifikansi Penelitian

1.4.1 Signifikansi Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambahkan penjelasan mengenai teori

encoding-decoding, terutama ketika digunakan dalam konteks ketika individu

mengkonstruksi makna terkait kelompok minoritas (difabel mental).

1.4.2 Signifikansi Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat penonton dari serial drama

Korea tersebut untuk lebih memahami dan lebih kritis terkait isu difabel mental yang

telah di konstruksikan secara negatif oleh kalangan masyarakat pada umumnya.

1.4.3 Signifikansi Sosial

Hasil dari penelitian ini secara sosial diharapkan dapat memberikan wawasan

dan pemahaman kepada masyarakat terkait isu difabel mental, terutama dalam

berkomunikasi dan membina hubungan komunikasi dengan penyandang difabel

mental.

1.5 Kerangka Pemikiran Teoritis

1.5.1 State of The Art

Penelitian terdahulu yang menjadi rujukan peneliti adalah penelitian yang

ditulis oleh Giselle Vincentia dan Lusia Savitri Setyo Utami dengan judul “Pemaknaan

21
Khalayak terhadap Kesenjangan Sosial pada film Parasite” di tahun 2020. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengkaji pemaknaan khalayak mengenai kesenjangan

sosial antara keluarga kaya dan keluarga miskin yang ditampilkan pada film

“Parasite”. Peneliti menggunakan metode analisis resepsi dari Stuart Hall yang

mengklasifikasikan tiga pemaknaan yaitu dominan, negosiasi dan oposisi. Hasil dari

penelitian tersebut menunjukan bahwa resepsi audiens di beberapa episode yang

menunjukan kesenjangan sosial dalam film “Parasite” ini telah sesuai dengan kondisi

realita masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Pada penelitian ini, terdapat

kemiripan terhadap penelitian yang saya lakukan yaitu sama-sama membahas

mengenai resepsi film yang menampilkan kesenjangan isu sosial. Namun, kesenjangan

sosial yang dikaji berada di sub topik yang berbeda di mana pada kajian penelitian

Parasite lebih membahas mengenai kesenjangan sosial yang disebabkan bidang

ekonomi, sedangkan penelitian yang saya kaji berkaitan dengan kesenjangan sosial

yang diakibatkan perbedaan fisik. Oleh karena itu, penelitian mengenai serial drama

Korea It’s Okay to Not be Okay dapat melengkapi kajian mengenai tema kesenjangan

sosial.

Selanjutnya, peneliti mengacu pada penelitian yang berjudul “Pemaknaan Body

Positivity dalam Film Imperfect Pada Kalangan Remaja di Jakarta” pada tahun 2021,

ditulis oleh Ayu Reni Aisa dan Septia Winduwati. Penelitian tersebut dilakukan dengan

tujuan untuk mengkaji resepsi remaja di Jakarta mengenai body positivity dalam film

Imperfect. Penelitian ini menggunakan teori resepsi dan teori encoding decoding dari

22
Stuart Hall dengan metode penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian,

ditemukan bahwa mayoritas informan memaknai alur cerita dan karakter yang

ditunjukan pada film Imperfect mengandung nilai “body positivity”, kecuali di

beberapa segmen dalam film tersebut. Penelitian yang membahas body positivity pada

film Imperfect memiliki kesamaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu

kesamaan terkait pemaknaan khalayak pada film yang menunjukan isu sosial dan

karakter yang ditampilkan juga mendapatkan tindakan diskriminasi oleh masyarakat

sekitar karena keberadaannya. Walaupun sama-sama membahas tentang diskriminasi

terhadap subjek yang berbeda, penelitian mengenai serial It's Okay Not to be Okay

lebih membahas mengenai ketidakstabilan mental sedangkan penelitian pada film

Imperfect lebih menunjukan diskriminasi karena bentuk fisik. Sehingga, penelitian

yang saya lakukan dapat menyempurnakan kajian sebelumnya.

Kemudian, penelitian ketiga yang menjadi refrensi peneliti adalah penelitian

yang dilakukan oleh Revi Andrean Siregar dari Universitas Diponegoro pada tahun

2019 yang berjudul “Resepsi Khalayak terhadap Karakter Difabel dalam Film

Wonder.” Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan resepsi khalayak aktif

pada karakter difabel yang ditampilkan dalam film Wonder. Pendekatan yang

digunakan oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif deskriptif dan metode analisis

resepsi dengan teknik semiotika televisi dari John Fiske dan analisis data resepsi oleh

Stuart Hall. Subjek dari penelitian tersebut adalah kelompok difabel dan kelompok

non-difabel. Penelitian ini yang mengkaji mengenai resepsi khalayak pada film Wonder

23
memiliki kemiripan dengan kajian penelitian yang saya lakukan yaitu sama-sama

membahas mengenai pemaknaan khalayak dari film mengenai kelompok difabel yang

mendapatkan stigma dan perilaku diskriminasi oleh masyarakat. Walaupun sama-sama

membahas tentang isu difabel, penelitian mengenai serial It's Okay Not to be Okay

lebih secara spesifik membahas mengenai difabel mental yang mana subjeknya adalah

khalayak aktif baik dari kelompok difabel maupun yang bukan. Sedangkan film

Wonder lebih menunjukan keberbedaan kelompok difabel dalam bentuk fisik yang

mana subjek penelitiannya adalah penyandang difabilitas dan non-difabilitas. Dengan

adanya penelitian mengenai isu difabel mental yang saya lakukan dapat melengkapi

dan menyempurnakan kembali kajian penelitian mengenai isu difabel yang telah ada

sebelumnya.

1.5.2 Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan suatu cara dasar dalam memandang realitas atas dasar

tertentu. Mengutip dari Neuman (dalam Manzilati, 2017: 1) memberikan penjelasan

bahwa paradigma juga merupakan cara berpikir secara general terkait teori dan realitas

yang berisi asumsi dasar, isu dan desain penelitian yang digunakan untuk mengetahui

jawaban dari research question. Selain itu, paradigma penelitian juga berfungsi bagi

peneliti untuk memahami permasalahan, kriteria dalam percobaan, serta sebagai dasar

untuk menghasilkan jawaban dari masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1988: 89-115

dalam Ridha Nikmatur, 2017: 67).

24
Pada penelitian ini, dasar kerangka berpikir yang digunakan untuk menjawab

permasalahan penelitian adalah paradigma interpretif. Paradigma interpretif adalah

paradigma yang berusaha untuk mempelajari mengenai perilaku manusia (Sarantakos

dalam Manzilati 2017: 4). Adapun beberapa ciri mengenai paradigma interpretif yang

dijelaskan oleh Manzilati (2017), yaitu fenomena sosial yang dilihat sebagai hal yang

subjektif, manusia sebagai pembentuk dunianya dengan pemberian makna, ilmu

pengetahuan yang hanya bersifat ‘common sense’, serta tujuan penelitian berdasarkan

penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari dan menafsirkan realitas. Sehingga

paradigma interpretif merupakan sebuah kerangka berpikir yang menekankan pada

pemaknaan dan penafsiran dari perilaku sosial.

1.5.3 Teori Representasi Kelompok Difabel dalam Film

Representasi timbul karena dilatarbelakangi oleh suatu budaya. Hall (dalam

Fatimatunzzahra & Setiansah, 2021: 18), menyebutkan bahwa representasi merupakan

hubungan antara makna (meaning) dan bahasa (language) dengan budaya. Pendekatan

teori representasi menampilkan proses produksi makna melalui penggunaan bahasa

yang dipertukarkan antar anggota kelompok ke dalam suatu budaya. Adapun tiga

metode dalam melakukan pendekatan representasi, yaitu: (1) reflektif, yang

menjelaskan bahwa produksi makna yang dilakukan manusia didapatkan melalui

pengalaman, objek media, dan ide yang muncul; (2) intensional, bahwa manusia

sebagai penutur bahasa secara lisan dan tulisan memaknai dengan unik pada setiap hasil

karya; (3) konstruksionis, menjelaskan bahwa orator dan penulis dalam memproduksi

25
makna dapat memilih dan menentukan meaning (makna) yang terkandung dalam suatu

pesan. Dari berbagai metode pendekatan yang dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan

bahwa representasi merupakan proses konstruksi makna yang didasari oleh

seperangkat ide, dan pengalaman yang kemudian ditetapkan oleh manusia melalui

bahasa dan menjadi sebuah pemaknaan dominan dari masyarakat atau preferred

reading. Sebagai sarana informasi, media juga memiliki peran dalam

merepresentasikan suatu isu-isu yang ada dalam masyarakat. Salah satu isu yang cukup

kompleks yang di representasikan oleh media adalah isu difabel mental.

Representasi media yang dikaji oleh peneliti adalah representasi mengenai isu

difabel mental yang berkaitan dengan aspek pemeliharaan hubungan sosial pada

penyandang difabel mental. Guna melihat bentuk dari representasi media pada isu

difabel mental, peneliti akan melihat difabel mental sebagai bagian dari kelompok

minoritas. Oliver, Barnes, dan Abberley, menjelaskan bahwa difabilitas merupakan

bagian dari kelompok minoritas. Dengan asumsi bahwa isu dari kelompok difabel

terjadi karena adanya kegagalan masyarakat dalam menampung kebutuhan dan suara

dari para difabel. Adanya perbedaan karakteristik yang ditampilkan oleh kelompok

minoritas sering kali di stigmatisasi negatif oleh kelompok mayoritas. Sehingga dalam

stratifikasi sosial, kelompok minoritas selalu berada satu tingkat dibawah kelompok

mayoritas atau dominan (Ro’fah, 2015: 148).

Sebagai bagian kelompok minoritas, kelompok difabel mental dalam memiliki

kesulitan dalam membangun hubungan komunikasi yang baik dengan orang lain. Hal

26
ini dikarenakan adanya beberapa isu yang melekat dan berkaitan dengan difabel

mental, seperti gila, tidak stabil secara emosi, hingga banyak masyarakat yang

menghindari untuk membangun hubungan sosial dengan mereka. Oleh karena itu,

difabel mental sebagai representasi dari kelompok minoritas, selanjutnya akan dilihat

pula dalam aspek pemeliharaan hubungan sosialnya. Menurut Ayres, pemeliharaan

hubungan dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan hubungan sosial tersebut agar

dapat mengalami peningkatan dan tidak mengalami penurunan (Widya, 2014: 2-3).

Sebagai bentuk representasi dari pemeliharaan hubungan, adapun beberapa elemen

yang nantinya digunakan peneliti untuk memilih scene-scene terkait pembinaan

hubungan sosial dari kelompok difabel, yang mana elemen tersebut akan dijelaskan

pada bagian operasionalisasi konsep.

Artinya, pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan Teori Representasi dari

Stuart Hall untuk mengetahui bagaimana representasi dari difabel mental pada drama

Korea It’s Okay to Not be Okay dalam konteks pemeliharaan hubungan sosial, dan

untuk melihat makna dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media.

Selain itu, peneliti juga menggunakan Teori Social Model of Disability miliki Oliver,

Barnes, and Abberly untuk mengetahui bagaimana konstruksi isu difabel mental yang

ada dalam drama Korea It’s Okay to Not be Okay. Selanjutnya, representasi difabel

mental sebagai bagian dari kelompok minoritas dan bagaimana mereka membina

hubungan sosial, serta dilihat preferred reading-nya melalui 2 hal yaitu karakter dan

pola hubungan komunikasi yang terbentuk. Hal ini dikarenakan karakter difabilitas

27
dapat dijumpai dalam keseharian masyarakat, dan juga pola hubungan interaksi sosial

yang terbentuk sebagai gambaran dari relasi sosial yang dimiliki oleh difabel mental.

Makna dominan yang ditawarkan oleh teks media ini, belum tentu dimaknai belum

tentu dimaknai dengan sama, karena khalayak yang secara aktif memaknai isi teks dari

media (Jihad, 2020: 12-22).

1.5.4 Pemaknaan Aktif Khalayak terhadap Teks dalam Film

Mengutip dari Schroder, khalayak merupakan sekumpulan orang yang

memperhatikan pesan komunikasi yang dikirim oleh sender, yang kemudian dimaknai

dan direspons dengan cara tertentu. Secara terminologi, Nightingale menjelaskan

bahwa khalayak bukan hanya sebagai receiver atau penerima pesan aja, namun juga

memberikan timbal balik dengan mempertimbangkan berbagai aspek (psikologi,

sosial, politik, dsb) dalam proses pemahamannya (Nasrullah, 2019: 6-7). Dalam proses

mengkonsumsi teks media, partisipasi aktif dari khalayak memungkinkan untuk

difasilitas, dibatasi oleh terpaan dan kepuasan dalam menggunakan media.

Blumer berpendapat bahwa aktivitas khalayak dalam mengkonsumsi media terjadi

ketika: Pertama, audiens menempatkan media atas kegunaannya; Kedua, terdapat

intensi khalayak untuk memahami isi pesan; Ketiga, adanya proses seleksi pesan

berdasarkan preferensi audiens; Keempat, khalayak membentuk makna atas pesan pada

media yang kemudian memotivasi pemikiran dan tindakan yang akan dilakukan

(Suherman 2008: 107-108). Atas dasar hal tersebut, muncul teori khalayak aktif yang

28
berasumsi bahwa khalayak aktif memiliki kekuatan dalam menginterpretasikan dan

memanfaatkan isi dari pesan media yang bersifat multitafsir. Adanya teori khalayak

aktif ini juga menegaskan bahwa suatu teks dapat memiliki makna setelah

diinterpretasikan oleh khalayak aktif. Sehingga, suatu teks dapat dikatakan memiliki

makna jika teks tersebut dimaknai oleh audiens.

Sebagai pelopor akan pendekatan resepsi, Stuart Hall (dalam Mcquail and

Windahl 1993: 146-147) mengembangkan model komunikasi (encoding-decoding)

dan menekankan bahwa pada setiap tahap dari transformasi pesan di media melalui

proses dari penerimaan hingga interpretasi. Selanjutnya, Hall menegaskan jika

komunikasi yang berasal dari institusi media membentuk makna berulang yang

memungkinkan timbulnya makna dominan atau preferred reading. Pengkodean ini

sering kali membentuk suatu genre konten yang memiliki makna dan dibentuk sebagai

pedoman penafsiran audiens, seperti penayangan program televisi dalam bentuk berita,

film, dan serial drama. Tetapi, kompleksitas budaya pada media televisi yang

mencakup berbagai wacana, membuat isi teks yang ditawarkan oleh media ditafsirkan

oleh khalayak aktif dengan struktur makna yang berasal dari ide dan pengalaman

pribadi.

29
Gambar 1. 4
Model Pengkodean Encoding-Decoding dari Stuart Hall

Sumber: Ebook from McQuail, Sven Windahl & Denis ‘A model of decoding’

Berdasarkan implikasi secara umum, pesan yang dikodekan tidak selalu sesuai

dengan makna yang dikodekan, dan hasil dari dekode juga dapat sangat berbeda dari

yang dimaksudkan. Artinya, model komunikasi (encoding-decoding) dari Hall,

menciptakan beberapa prinsip seperti keberagaman makna (multiplicity of meaning),

eksistensi dari komunitas ‘interpretatif’ dan keutamaan khalayak aktif dalam

menentukan makna yang telah dikodekan. Sehingga, dalam menerima pesan khalayak

tidak memiliki kewajiban untuk menafsirkan kode sesuai dengan teks media yang

didapat. Namun, khalayak juga dapat menolak dengan memahami teks secara berbeda

sebagai oposisi berdasarkan pengalaman dan opini pribadi. Intinya, dalam pemaknaan

khalayak dalam suatu film yang ditampilkan pada media, terjadi karena adanya proses

pengkodean (encoding-decoding) secara aktif. Sehingga suatu tayangan pada media

film dikatakan memiliki makna apabila terdapat peran aktif dari khalayak dalam

30
menginterpretasikan dan memaknai isi teks dari film tersebut. Namun adanya

keberagaman latarbelakang, dan pengalaman, juga dapat membuat posisi dari

pemahaman setiap khalayak aktif menjadi berbeda-beda.

Artinya, pada penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Khalayak Aktif dan Teori

Encoding-Decoding dari Stuart Hall untuk mengetahui seperti apa pemaknaan

khalayak mengenai preferred reading pada serial It’s Okay to Not be Okay, dalam

konteks memahami penyandang difabilitas mental dan bagaimana mereka membina

hubungan sosial. Dengan adanya keberagaman pemaknaan khalayak yang muncul,

maka peneliti dapat mengetahui bagaimana posisi audiens dalam memaknai kelompok

difabilitas mental (termasuk dalam pemeliharaan hubungan sosial) yang ditampilkan

pada media.

1.6 Operasionalisasi Konsep

1.6.1 Pemaknaan Khalayak terhadap Isu Difabel Mental dalam Film

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pemaknaan khalayak terkait isu difabel

mental, maka secara operasional akan dimulai dengan melihat representasi dari difabel

mental pada serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay. Penelitian ini diawali dengan

memahami makna dominan (preferred reading) dari representasi terkait difabel mental

sebagai bagian dari kelompok minoritas dan pemeliharaan hubungan sosialnya. Guna

memahami hal tersebut, peneliti melihat pemaknaan khalayak melalui dua hal yaitu

karakter dan bagaimana pemeliharaan hubungan sosial dari difabel mental. Preferred

31
Reading dapat diketahui dengan melakukan analisis makna dominan terkait scene-

scene yang menunjukan bahwa penyandang difabilitas mental sebagai bagian dari

kelompok minoritas, termasuk bagaimana mereka dalam membina hubungan sosial.

Untuk melihat karakter Difabel Mental yang merupakan bentuk dari representasi

kelompok minoritas, peneliti melihat elemen berikut sebagai pedoman dalam

menyeleksi scene, yaitu: (1) bahwa kelompok minoritas cenderung tidak berkuasa; (2)

adanya tampilan karakteristik yang berbeda (fisik, psikologis, sosial dan budaya) yang

jelas dengan kelompok dominan; (3) selalu dipandang negatif atau di stigmatisasi; (4)

kelompok minoritas cenderung diperlakukan secara diskriminatif oleh masyarakat

pada umumnya (Louise Wirth, dalam Liliweri, 2005: 106).

Kemudian, untuk mengetahui preferred reading dari representasi Difabel

Mental dalam konteks pemeliharaan hubungan sosial, peneliti melakukan analisis

dengan melihat scene-scene yang mengandung elemen berikut: (1) positivity (bersikap

baik/positif); (2) openness (keterbukaan diri); (3) assurance (komitmen); (4) sharing

task (melakukan pekerjaan bersama); (5) social networks (membangun relasi lebih

luas); (6) join activities (menghabiskan waktu bersama/bonding); (7) mediated

communication (berkomunikasi melalui media); (8) avoidance (menjauhkan diri untuk

hal tertentu); (9) anti-social (bertindak kasar dengan orang lain); (10) humor

(mencairkan suasana dengan hal lucu yang menyenangkan) (Canary, dalam Widya P.,

2014: 2-3).

32
Setelah menemukan dan memahami preferred reading, selanjutnya peneliti melihat

bagaimana pemaknaan khalayak terkait makna dominan (preferred reading) yang

dimunculkan. Dari keberagaman pemaknaan khalayak yang muncul, peneliti melihat

dan mengkategorikan pemaknaan tersebut berdasarkan 3 bentuk atau posisi

khalayak dalam memahami teks media, yaitu:

(1) Dominan-Hegemonic (Posisi Dominan),

Posisi ini merupakan kondisi di mana media menghegemoni dengan menggunakan

kode yang telah diinterpretasikan oleh masyarakat dominan. Hal ini terjadi karena kode

yang disampaikan oleh produsen (media) diterima oleh pembaca pesan (khalayak aktif)

dengan penafsiran dan makna yang sama. Artinya, pertukaran pesan dan kode dari

media tersampaikan secara komprehensif kepada khalayak, di mana khalayak mengerti

dan memahami maksud dari isi pesan yang disampaikan oleh media tanpa adanya

proses menolakan ataupun mempertanyakan teks dari media.

(2) Negotiated Code (Posisi Negosiasi),

Di posisi negosiasi, media dalam mengkomunikasikan pesan melalui teks dimaknai

oleh khalayak dengan mempertanyakan pesan tersebut. Maksudnya, khalayak sebagai

pencipta makna dalam memahami teks, mereka memproses pesan yang disampaikan

media tidak secara penuh menerimanya namun juga menelaah pesan tersebut

menggunakan kepercayaan maupun idelogi mereka dan kemudian

33
mengkompromikannya dengan kode-kode yang diberikan oleh produsen pesan pada

media.

(3) Oppositional Code (Posisi Oposisi),

Pada posisi ini menjelaskan bahwa pesan yang disampaikan oleh media diterima

dengan mengkritisi pesan tersebut. Artinya, khalayak menolak dan memiliki pemikiran

tersendiri akan pesan yang disampaikan oleh media, yang kemudian menciptakan

makna yang berbeda dengan sebagaimana yang disampaikan oleh produsen pesan atau

media (Hall dalam Verdiana, 2021: 14-15)

Dengan melihat posisi-posisi tersebut, hal ini dapat membantu peneliti untuk

mengetahui bagaimana posisi khalayak dalam memaknai isi teks media yang berkaitan

dengan kelompok difabel mental yang terkandung dalam serial K-Drama It’s Okay to

Not be Okay.

1.7 Argumen Penelitian

Representasi media terkait isu difabel mental mental seringkali dikonstruksikan

sesuai dengan streotipe yang telah melekat pada kelompok difabel. Pada media film

sendiri, tidak banyak media yang mengusung topik terkait isu difabel mental yang

berkaitan dengan proses pembinaan dan pengelolaan hubungan sosialnya. Akan tetapi,

terdapat suatu serial drama yang cukup populer, di mana drama tersebut memiliki

tujuan untuk memberikan penguatan (empowerment) kapada kelompok difabel mental

34
dalam membangun hubungan sosial, yaitu It’s Okay to Not be Okay. Penguatan pada

difabel mental pada drama tersebut dikonstruksikan melalui latar tempat di Rumah

Sakit Jiwa, dan beberapa karakter difabilitas mental seperti gangguan kepribadian anti-

sosial (Ko Moon Young), autisme (Moon Sang Tae), PTSD atau Post Traumatic Stress

Disorder (Kang Pil Wong), Manic Disorder (Kwon Gi Dong), gangguan kecemasan

dan depresi (Le Ah Reum), serta gangguan kejiwaan multiple personality disorder

(Yoo Sun Hae).

Dengan membawa isu yang cukup kompleks terkait difabel mental, drama ini

menarik perhatian masyarakat hingga menuai pro dan kontra. Tindakan khalayak aktif

dalam mengonsumsi drama ini, menunjukan bahwa khalayak memiliki kekuatan dalam

memilih konten media sesuai dengan keinginannya,

menerima/menegosiasikan/menolak isi pesan teks dari media, hingga

mengintepretasikan nya berdasarkan latarbelakang atau pengalaman pribadinya

masing-masing.

Sehingga argumentasi dari penelitian ini yaitu untuk melihat bahwa terdapat

konstruksi sosial pada teks media yang dinaturalisasikan sebagai upaya memberi

penguatan kepada difabel mental pada drama It’s Okay to Not be Okay. Adanya

kesadaran khalayak dalam mengintepretasikan isu ini, memperlihatkan bahwa

khalayak aktif memiliki kemampuan dalam memaknai pesan dalam media. Peran

khayalak dalam mengintepretasikan isi pesan dalam media ini cukup penting karena

dapat memungkinkan mereka untuk dapat memaknai konstruksi sosial dari pembinaan

35
dan pengelolaan hubungan pada kelompok difabel mental, berdasarkan perbedaan

budaya, latar belakang, ataupun pengalaman pribadi.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah pada penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Di mana penelitian kualitatif ini bersifat faktual dengan memaparkan dan

menggambarkan situasi atas suatu fenomena secara mendalam. Selain itu, penjabaran

secara deskriptif dilakukan oleh peneliti dengan membuat deskripsi atas fakta dan sifat

dari populasi maupun objek secara sistematis, faktual dan akurat. Sehingga penelitian

ini pada akhirnya mencoba untuk menjelaskan suatu fenomena yang terjadi dalam

kehidupan sosial secara mendalam (Kriyantono dalam Tunshorin, 2016: 74). Desain

penelitian dengan pendekatan analisis resepsi di penelitian kualitatif didasarkan pada

cara pemahaman subjek terharap objek yang diteliti. Menurut Billy 2014, melalui

analisis resepsi, peneliti dapat mengetahui alasan dan cara pandang khalayak dalam

memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor yang mempengaruhi serta dampak

sosial apa saja yang akan muncul (Tunshorin, 2016: 74). Oleh karena itu, pada

penelitan ini peneliti mengkaji secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis

resepsi untuk menjabarkan suatu fenomena isu difabel mental yang ditayangkan pada

serial K-Drama It’s Okay to Not be Okay dengan menganalisis pemahaman dan cara

pandang subjek atas isu tersebut.

36
1.8.2 Subjek Penelitian

Dalam suatu penelitian, subjek penelitian merupakan salah satu hal yang

kedudukannya cukup penting sebelum pengumpulan data dilakukan. Subjek dalam

penelitian umumnya adalah manusia atau sesuatu yang dilakukan oleh manusia

(Arikunto, 2007: 152). Selain itu, subjek pada penelitian ini diambil dengan

menggunakan teknik purposive sampling, yang mana informan dipilih berdasarkan

beberapa kriteria tertentu dari peneliti agar sesuai dengan tujuan penelitian

(Kriyantono, 2007: 154).

Sehingga, informan dipenelitian ini diseleksi berdasarkan kriteria seperti, usia,

penonton aktif dari drama tersebut, seseorang yang tergolong dalam kelompok difabel

ataupun non-difabel, dan juga seseorang yang memiliki pengetahuan (concern)

terhadap kelompok difabel mental. Intinya, subjek penelitian ini adalah khalayak aktif

yang telah menonton serial K-Drama Its Okay to Not be Okay sebanyak minimal dua

kali, dengan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan diatas usia 18 tahun dan

merupakan seseorang yang tergolong kelompok difabel ataupun non-difabel, serta

orang yang memiliki pengetahuan atau kedekatan dengan kelompok difabilitas mental

maupun yang tidak memiliki kedekatan. Proses pemilihan informan ini dilakukan

dengan melakukan analisis responden yang dilihat melalui track record dari responden

terkait.

37
1.8.3 Jenis dan Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer pada penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan

melakukan wawancara mendalam (Tunshorin, 2016: 74). Dalam penelitian ini

data primer yang didapatkan melalui proses wawancara mendalam kepada

sejumlah responden atau informan yang diseleksi berdasarkan kriteria yang

telah ditentukan.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian kualitatif didapatkan melalui

observasi dan studi pustaka. Observasi dalam hal ini diartikan sebagai suatu

proses pengamatan mengenai informasi yang diperlukan dari sumber seperti

buku, jurnal maupun portal berita. Sedangkan studi pustaka merupakan suatu

kegiatan peneliti dalam memperoleh informasi yang sejenis dan berkaitan

dengan penelitian yang dilakukan (Tunshorin, 2016: 74).

Pada penelitian ini sumber data sekunder yang digunakan, diperoleh

dengan studi pustaka dan observasi informasi terkait melalui buku, jurnal,

maupun berita di yang telah dipublish dalam suatu portal media.

38
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Salah satu teknik dalam mengumpulkan data pada penelitian kualitatif adalah

dengan wawancara mendalam. Melalui wawancara mendalam, peneliti dapat

memperoleh suatu informasi terkait alasan responden dalam mengambil suatu

keputusan dengan meminta informan untuk menceritakan kembali mengenai teks yang

telah dikonsumsinya (Ardianto, dalam Tunshorin, 2016: 74).

Oleh karena itu, pada penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan

cara wawancara mendalam (in-depth interview). Dengan menggunakan wawancara

mendalam, peneliti dapat mengumpulkan data berupa informasi pendapat, pengetahuan

dan pengalaman dari responden mengenai pembinaan hubungan sosial kelompok

difabel dalam serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay yang diteliti.

1.8.5 Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis teks media dan analisis

resepsi sebagai teknik analisis data:

a) Analisis Preferred Reading

Dalam tahap ini, teks yang terkandung dalam tayangan serial drama maupun

film di analisis secara tekstual untuk menemukan preferred reading dengan

menggunakan analisis the the codes of television dari John Fiske (Fiske, 1987:

2-3). Preferred reading atau makna dominan yang muncul dalam teks

39
merupakan kombinasi dari seperangkat tanda (gambar, suara, kata-kata,

gerakan nonverbal dan istilah tertentu) yang membentuk suatu makna. Dalam

menentukan preferred reading pada teks media, peneliti melakukan analisis

dari setiap level realitas, level representasi, dan level ideologi dari beberapa

elemen terkait representasi dari kelompok minoritas (difabel mental) dan

representasi dari pembinaan hubungan yang telah dijelaskan pada bagian

definisi operasional. Adapun Langkah-langkah dalam melakukan analisis

preferred reading pada level representasi dalam film (Triyono, Hariwibowo, &

Putra, 2016: 216-232), yaitu:

Teknik Pengambilan Gambar (Tipe Shot):

1) Extreme Close Up: pengambilan gambar dengan jarak yang sangat

deket, biasanya dilakukan pada mata, hidung, dan bibir obyek ini

berfungsi untuk memperlihatkan detail suatu obyek secara jelas.

2) Big Close Up: pengambilan gambar yang menampilkan keseluruhan

wajah dengan jarak yang cukup dekat dengan obyek yang digunakan

untuk menunjukan kedalaman emosi melalui pandangan mata atau raut

wajah dari obyek.

3) Close Up: pengambilan gambar dengan jarak yang pas dari atas kepala

hingga dibawah leher berdungsi untuk memberikan gambaran obyek

atau menunjukan identifikasi psikis obyek secara jelas.

40
4) Medium Close Up: pengambilan gambar dengan menampilkan potret

setengah badan yang dilakukan untuk memperlihatkan profil dari obyek

tersebut.

5) Medium Shot: pengambilan gambar dari ujung kepala hingga pinggang

dari obyek untuk menampilkan detail gambaran tubuh dan karakter dari

subjek yang direkam.

6) Medium Long Shot: pengambilan gambar dari atas hingga sebatas lutut

yang untuk menunjukan gesture secara jelas dan digunakan untuk

mempertegas karakter subjek.

7) Long Shot: pengambilan gambar yang menampilkan keseluruhan tubuh

dari subjek dengan jarak yang cukup jaruh untuk menunjukan latar

tempat, dan keterkaitan antara posisi subjek dengan hal lain

disekitarnya.

8) Extreme Long Shot: pengambilan gambar dengan jarak pandang yang

sangat jauh dan luas untuk menunjukan keseluruhan latar tempat

lingkungan objek dan mempertegas imajinasi ruang cerita dari peristiwa

pada penonton.

41
Teknik Pergerakan Kamera, (fisipol, 2022: n.p):

1) Zoom: gerakan kamera mendekati dan menjauhi obyek dengan cara

memperbesar dan memperkecil lensa kamera yang berfungsi untuk

memperjelas poin yang penting dalam suatu peristiwa.

2) Dolly: gerakan kamera yang mendatar secara stabil diatas alat tripot dan

kemudian bergerak mendekati ataupun menjauhi objek. Pergerakan

kamera ini seolah-olah mewakili keterlibatan perasaan pentonton dalam

adegan sehingga bergerak sebagai mata penonton.

3) Panning: posisi kamera diam ditempat dan bergerak dengan cara

menoleh ke kanan dan ke kiri yang bisa berfungsi sebagai transisi

adegan mauupun mencoptakan hubungan subyek dengan

lingkungannya.

4) Crab: gerakan kamera yang mendatar secara stabil bergerak

menyamping sejajar dengan subjek yang berjalan.

5) Tilt: gerakan kamera dengan posisi diam dengan cara mendongak keatas

dan kebawah yang berfungsi untuk menggiring mata penotnon untuk

fokus pada kegiatan, gesture, maupun ekspresi dari subjek.

6) Pedestal: gerakan kamera yang mendatar secara stabil bergerak ke atas

dan ke bawah atau kamera dinaikan dan diturunkan dengan

menggunakan alat bernama portal-jip traveller.

42
7) Follow: gerakan kamera yang mengikuti pergerakan obyek untuk

membuat kambar terlihat lebih dinamis dan sangat memungkinkan

menggunakan berbagai kombinasi dari teknik pegerakan kamera lain.

8) Handheld: gerakan kamera yang dinamis, dilakukan dengan

mengoperasikan kamera menggunakan tangan dan menciptakan gambar

yang sedikit bergetar untuk menampilkan kesan nyata pada adegan

(Zain Arifin Rochmat, 2018: 119).

b) Mengumpulkan data

Pada tahap ini, aktivitas pengumpulan data selajutnya adalah dengan cara

wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi untuk mengetahui

bagaimana pemaknaan dan persepsi responden terkait isu difabel mental yang

ditampilkan pada serial drama tersebut. Kemudian, guna menambah data

penelitian, dan juga dapat dilakukan dengan studi pustaka.

c) Menganalisis Data

Di tahap ini, pengolahan data penelitian dilakukan dengan membuat transkrip

dari hasil wawancara dengan informan untuk memaknai pemahaman dari

informan tersebut, terkait isu pembinaan hubungan sosial kelompok difabel

pada serial It’s Okay to Not be Okay. Setelah itu, proses analisis olah data

dilanjutkan dengan membandingkan antara hasil wawancara dari informan

43
dengan preferred reading yang muncul pada tahap awal analisis studi dokumen

yang telah ditentukan sebelumnya.

d) Mengelompokan posisi khalayak

Di tahap ini, peneliti mengkategorikan hasil analisis data yang telah terbentuk

dan kemudian membandingkan dan mengkategori khalayak berdasarkan tiga

posisi kelompok yaitu posisi dominan, negosiasi dan oposisi.

e) Menarik Kesimpulan

Di tahap akhir, peneliti menarik kesimpulan atas tahap analisis data yang telah

dilakukan yaitu berupa posisi khalayak aktif dalam memaknai isu difabel

mental (posisi dominan, negosiasi dan oposisi) (Tunshorin, 2016: 71-79).

1.8.6 Keterbatasan Penelitian

Topik dari penelitian ini terbatas, di mana peneliti berfokus untuk

meneliti bagaimana pemaknaan khalayak aktif dalam memaknai isu difabel

mental yang disampaikan melalui karakter, alur cerita, dan konsep difabel

mental yang terkandung pada serial K-Drama It’s Okay to Not be Okay saja.

1.8.7 Kualitas Penelitian

Dalam mengukur keabsahan suatu penelitian, dibutuhkan spesifikasi standar

tertentu guna menjamin kualitas dari penelitian tersebut. Lincoln dan Guba,

menerangkan bahwa dalam model penelitian kualitatif terdapat beberapa

44
elemen khusus yang menjadi standar dalam memastikan kualitas penelitian

kualitatif, diantaranya yaitu:

1. Kredibilitas

Dalam mencapai standar pada elamen ini, peneliti dapat

memperpanjang durasi dalam proses pengamatan dan

pengumpulan data di lapangan guna mendapatkan data yang

valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Konfirmabilitas

Elemen di tahap ini berkaitan dengan kepastian dari hasil

penelitian, di mana objektifitas penelitian didapatkan dengan

meminta informan untuk memeriksa transkrip penelitian.

(Suyata, 2002: 238-243).

45

Anda mungkin juga menyukai