Bab 1
Bab 1
PENDAHULUAN
Isu terkait kelompok difabel merupakan salah satu isu penting yang kurang
masyarakat Indonesia yang memaknai difabel sebagai sesuatu kekurangan, aib, aneh
dan cenderung akan dijauhi (Couser, dalam Widiniarsih 2019: 127-142). Isu pada
kelompok difabel mental ini sendiri berkaitan erat dengan karakter dalam diri seorang
percintaan menjadi terhambat. Oleh karena itu, fokus dari penelitian ini berkaitan
Difabel berawal dari kata different ability yang memiliki arti seseorang yang
mempunyai kemampuan berbeda atau berkebutuhan khusus baik secara fisik maupun
mental dan dapat mengganggu hingga menghambat mereka dalam beraktifitas secara
sosial. Istilah ini digunakan untuk menggantikan kata ‘disabilitas’ yang berarti
1
fisik, difabel mental, dan difabel karakteristik sosial. Pada kali ini, kategori yang
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah difabel mental. Difabel mental merupakan
membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mampu berpikir secara kritis, dan logis
dan memenuhi hak dari kelompok difabel. Selain itu, Indonesia juga mencetuskan
kebijakan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai
kesempatan diberbagai aspek kehidupan, serta fasilitas dan aksesibilitas yang layak
seperti pusat rehabilitasi, dan sebagainya. Kebijakan ini bertujuan agar kelompok
dalam Cahyono & Probokusumo 2016: 94). Kedua, pada penelitian terkait pemaknaan
khalayak mengenai isu difabel dalam Film Wonder, diketahui film ini masih
2
menampilkan dan menggunakan karakteristik ‘disabled’ pada karakter difabelnya. Hal
ini membuat informan difabel cenderung untuk tidak menyetujui teks media tersebut,
difabel dengan masyarakat pada umumnya. Sedangkan dari sisi informan non-difabel,
diketahui masih kesulitan memaknai karakter difabel pada film karena adanya stereotip
dan representasi yang merugikan kelompok difabel (Siregar, R.A., 2019: 127-142).
Gambar 1. 1
Data Stigmatisasi Negatif Difabel Mental Pada Media Sosial Twitter di
Indonesia
Sumber: Twitter.com
Ketiga, merujuk pada survei yang dilakukan oleh Sesty Arum terkait difabel
penyandang down syndrome adalah anak yang idot. Pada penelitian yang sama, peneliti
dari laman tersebut melakukan survei lain yang melibatkan 123 mahasiswa, dan
3
menghasilkan sebesar 15 persen dari responden tersebut masih mengidentikkan kondisi
gangguan kejiwaan mental seperti down syndrome dan autisme dengan menyebut
sebagai ‘idiot’ (Arum, 2018: n.p). Keempat, pada tanggal 7 Juli 2022 pukul 12.41 WIB
dari akun @milk_y94 dan @Boby_M5091 yang juga mengomentari suatu konten yang
kesehatan jiwa bipolar disorder. Dalam kicauan tersebut, kedua akun tadi mengatakan
bahwa Marshanda akan menjadi gila karena terlalu berhalusinasi dan dikatakan sudah
Dari beberapa data diatas, menunjukan bahwa masih terdapat film yang
merugikan kelompok difabel. Selain itu, pemaknaan khalayak terutama dari kelompok
istilah ‘idiot’ pada penyandang autisme dan downsyndrom, serta adanya kesulitan
kelompok non-difabel dalam memaknai karakter difabel pada film tanpa adanya
umumnya, maka akan dianggap dan diperlakukan seperti seseorang yang tidak
diinginkan dan tidak diterima (Couser & Rothman, dalam Widinarsih 2019: 128).
4
Sehingga, muncul pandangan masyarakat bahwa kelompok difabel itu adalah
seseorang yang lemah dan merugikan masyarakat. Munculnya stereotip pada difabel
mental ini, salah satunya disebabkan oleh representasi media yang menggambarkan
perception and vision affects knowledge. Through film viewers may confront their own
socially mediated perceptions of disability in other culture, and they may potentially
The vehicle for this engagement with disability on film is the notion of representations
Artinya, representasi isu difabel pada media film ini dapat membentuk suatu
difabel mental yang ditampilkan melalui serial drama It’s Okay to Not be Okay ini, juga
beberapa kali tidak sesuai dan cenderung terlihat mengeksploitasi. Dilansir dari laman
PLD UIN Sunan Kalijaga, diketahui bahwa media tak jarang membingkai narasi terkait
difabel dengan stereotip yang ada yaitu difabel menjadi objek candaan, beban sosial,
digambarkan sebagai seseorang yang lemah dan patut dikasihani, dipandang akseksual,
5
dan sebagai sumber inspirasi (Raisa, 2020: n.p). Pada poin terakhir, hal ini cukup sering
terjadi dalam media dan dikenal dengan “Inspiration Porn”, difabel dinarasikan
sebagai sesosok yang inspiratif atas keterbatasannya atau kekurangannya. Hal tersebut
sebenarnya dapat pula dilihat sebagai suatu hal positif, yaitu merupakan salah satu
bentuk atau cara dalam mengapresiasi atas prestasi dari kelompok difabel di media.
Tetapi, hal ini juga tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beragam pandangan positif
maupun negatif dari masyarakat terkait “Inspiration Porn” sering dijumpai diacara-
acara talkshow televisi di Indonesia, seperti Hitam Putih ataupun Kick Andy. Oleh
karena itu, timbulnya berbagai pandangan positif maupun negatif terkait bentuk
representasi dari apresiasi kelompok difabel atau “Inspiration Porn” ini, membuktikan
Topik menganai isu kesehatan mental sering kali diangkat melalui media film
ataupun televisi. Namun, dalam pembahasan isu tersebut, tidak banyak media film
sosial dari kelompok difabel mental. Mengingat masih melekatnya stigma dan tindakan
diskriminasi sosial yang didapatkan oleh kelompok difabel mental, maka topik terkait
pembinaan dan pengelolaan sosial pada difabel mental menjadi cukup penting untuk
6
Gambar 1. 2
Poster serial Drama Korea It’s Okay to Not be Okay
Sumber: Netflix.com
Kendati demikian, terdapat salah satu media televisi yang menayangkan suatu
serial drama Korea yang membahas mengenai mental health issue dan cukup populer
di Indonesia pada tahun 2020. Drama tersebut adalah “It’s Okay to Not be Okay” yang
ditayangkan oleh stasiun televisi Korea tvN dan Netflix dengan rating 8.535 persen
secara global pada episode terakhirnya. Drama ini cukup populer di Indonesia dengan
2021 pada kategori TV/Mini-Series. Meskipun sudah tayang di tahun 2020, serial
drama It’s Okay to Not be Okay sampai saat ini masih diputar oleh Netflix dan masih
ditonton oleh banyak masyarakat hingga menjadi salah satu drama yang trending dalam
7
Drama Korea It’s Okay to Not be Okay adalah mini-series yang bertemakan
self-healing dari berbagai karakter difabel mental yang dibalut dengan genre romantic
comedy. Serial ini menceritakan terkait bagaimana para difabel mental berjuang untuk
diskiriminasi yang dialaminya. Selain itu, drama ini juga membahas mengenai proses
pembinaan dan pengelolaan hubungan sosial dari berbagai karakter difabel mental
maupun dari difabel mental dengan masyarakat non-difabel. Kelebihan dari serial ini
yaitu mencoba menampilkan secara nyata bagaimana kisah para difabel mental melalui
penggunaan latar tempat di Rumah Sakit Jiwa OK dan penggunaan berbagai variasi
karakter difabel mental. Adapun beberapa karakter difabel mental yang kisahnya cukup
orang lain. Umumnya gangguan ini terjadi pada anak-anak sebelum usia 15
8
tahun hingga orang dewasa dan disebababkan karena adanya trauma
karisma yang kuat, tampak tenang dan dapat diandalkan, namun sebenarnya
rasional. Salah satu ciri individu ASPD yaitu tidak memiliki rasa penyesalan
mengontrol diri dan berempati pada perasaan orang lain. Rendahnya toleransi
pada orang lain, membuat individu dengan ASPD sulit membangun dan
Pada serial drama It’s Okay to Not be Okay, gangguan kepribadian ASPD
buku dongeng yang memiliki trauma pada pengalamannya masa kecil. Trauma
yang dialami oleh Ko Moon Young disebabkan oleh pola asuh yang ketat dari
kedua orang tuanya dan juga pengalaman buruknya saat melihat percobaan
pembunuhan yang dilakukan oleh Ayahnya kepada Ibu dan dirinya. Hal
ASPD dan cenderung menganggap dirinya sebagai seorang monster yang tidak
9
2. Autisme Spectrum Disorder (Moon Sang Tae),
untuk menyakiti diri, cenderung untuk suka menutup diri dari orang lain.
Autisme Spectrum Disorder disebebkan oleh faktor genetik maupun faktor dari
lingkungan (Dewi, 2021: 27-35). Adapun beberapa ciri-ciri dari individu yang
memiliki kondisi ASD, yaitu (1) terdapat gangguan pada komunikasi verbal
maupun nonverbal, (2) gangguan dalam interaksi sosial, (3) gangguan dalam
berperilaku, (4) kesulitan untuk memahami perasaan & emosi, (5) gangguan
Dalam drama It’s Okay to Not be Okay, gangguan ASD digambarkan melalui
tokoh Moon Sang Tae. Karakter Moon Sang Tae digambarkan sebagai
informasi, emosi, dan memiliki selera yang unik. Individu dengan ASD
umumnya, serta mempunyai minat yang cukup terbatas dan perilaku yang
berulang. Hal ini dapat dilihat pada tokoh Moon Sang Tae yang terlihat selalu
berbicara dengan tidak menatap mata lawan bicaranya, memiliki minat pada
10
mengucapkan kata-kata atau kalimat yang sama berulang kali, seperti berada
Maniac disorder merupakan salah satu kondisi gejala yang dialami oleh
perubahan suasana hati menjadi penuh energi dan euforia. Gejala pada difabel
Kwon Ki Do adalah salah satu tokoh pasien di Rumah Sakit Jiwa OK pada
serial It’s Okay to Not be Okay, yang memiliki gangguan maniak. Dalam drama
banyak tekanan dari keluarga untuk menjadi sukses seperti saudaranya yang
lain. Akibatnya, perasaan sedih dan kurang diperhatikan dari keluarga itu
11
mendorong dirinya untuk mencari perhatian lebih dengan cara memperlihatkan
Gangguan kecemasan dan depresi adalah suatu gangguan pada suasana hati
yang ditandai dengan adanya perasaan sedih terlalu mendalam, merasa putus
asa, khawatir, takut dan gelisah. Gangguan ini dapat menyebabkan hubungan
sosial maupun pekerjaan tidak berjalan dengan baik apabila terjadi dalam
jangka waktu yang cukup panjang yaitu lebih dari dua minggu (Halim, 2021:
n.p).
Gangguan kecemasan dan depresi ditampilkan pada drama It’s Okay to Not be
Sakit Jiwa OK, yang terus merasa selalu sedih hingga putus asa dikarenakan
hal-hal yang tidak terlalu serius. Kondisi ini terjadi dikarenakan Ah Reum
memiliki masa lalu yang menyakitkan pada kehidupan rumah tangganya yaitu
adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh mantan
12
5. Dissociative Identity Disorder (Yoo Sun Hae).
adalah kondisi gangguan pada integrasi identitas, memori, emosi, dan perilaku
yang memungkinkan timbulnya dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Pada
setiap identitas kepribadian yang muncul ini memiliki memiliki nama, gesture,
hingga perilaku yang bertolak belakang namun berada di satu tubuh yang sama
besar lainnya saat kondisi individu berada di masa anak-anak. Ciri utama dari
tersebut tidak mampu untuk mengingat apa yang terjadi ketika kepribadian
serial It’s Okay to Not be Okay melalui karakter Yoo Sun Hae. Sun Hae adalah
kekuatan supranatural. Kondisi DID pada Yoo Sun Hae terjadi karena ia
Ayahnya juga pernah menjual Sun Hae kepada seorang dukun. Hal tersebut
membuat tokoh Yoo Sun Hae memiliki dua kepribadian yaitu kepribadian
13
sebagai seorang dukun dan kepribadian sebagai seorang anak kecil yang
gangguan stress pada individu akibat adanya suatu peristiwa traumatik dalam
kurun waktu tertentu setelah bencana berlalu. Gangguan stress ini dapat terjadi
pada siapapun, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Di tingkat keparahan
Salah satu karakter difabel mental yang ada pada drama It’s Okay to Not be
Okay adalah tokoh Kang Pil Wong yang merupakan seorang pasien PTSD di
Rumah Sakit Jiwa OK. Gangguan stress pascatrauma dari Kang Pil Wong
terjadi karena ia memiliki kondisi trauma di masa lalu yaitu ketika menjadi
tantara perang dan terpaksa untuk menembak orang-orang yang tidak bersalah
karena mendapatkan suatu perintah. Akibat kondisi tersebut, Kang Pil Wong
14
mengalami serangan panik ketika mendengar bunyi yang mirip dengan suara
Representasi terkait isu difabel mental pada drama Korea It’s Okay to Not be
Okay menuai beragam respon positif hingga negatif dari masyarakat. Mengutip dari
laman Quora (2020), terdapat beberapa pendapat masyarakat terkait review dari drama
It’s Okay to Not be Okay. Berikut beberapa contoh komentar positif dan negatif terkait
1. “Saya jadi bisa tau pendapat dari setiap sudut pandang yang berbeda.
Karena drama ini relate dengan keluarga saya, dan saya sudah tonton
2. “Banyak kok mba pasien2 yang kehidupannya diceritakan dan punya peran
3. “Menurut saya drama ini sangat istimewa. Drama ini telah banyak
4. “Tentang plothole, itu sangat tidak realistis dan tidak adanya penjelasan
15
5. “Awalnya excited karena happening banget dramanya. Trus bawa isu
mental health. Pas ta tonton, lho mana mental health nya? Cuma sekilas2
doang. Isi drama ini cuna bucin 2 tokoh utama itu. Malah saya lebih suka
karakter Sang Tae yang autis dan gimana ngatasin tantrumnya. – @aiko
6. “Menurut saya tidak berkesan. Di drama ini yang katanya mengangkat isu
mental health, karakter per tenaga medis nggak diperkenalkan lebih dalam,
Padahal justru itu yang saya nantikan, fokus ke sisi kemanusiaan atau
2021: n.p).
bahwa masyarakat memiliki keberagaman pemaknaan dalam melihat isu sosial yang
direpresentasikan melalui media film. Hal tersebut juga membuktikan bahwa khalayak
aktif dapat memberikan makna terkait isu difabel mental secara subjektif setelah
menonton serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay. Peran khalayak aktif dalam
memaknai pesan dalam media memiliki posisi yang cukup penting. Di mana intepretasi
mereka mengenai isu difabel mental tersebut juga dapat memungkinkan untuk mereka
dapat memaknai konstruksi sosial dari pembinaan dan pengelolaan hubungan pada
pengalaman pribadi.
16
1.2 Rumusan Masalah
2016 mengenai hak dan perlindungan dari kelompok difabel, seharusnya difabel di
masyarakat mengenai kelompok difabel mental yang dapat dilihat melalui beberapa
data berikut: Pertama, terdapat penelitian terkait diskriminasi difabel yang menunjukan
karakteristik ‘disabled’ pada karakter difabel dalam Film Wonder, dan adanya
stereotip yang merugikan difabel; Ketiga, adanya penggunaan istilah ‘idiot’ pada
media Twitter yang mengatakan bahwa aktris Marshanda sebagai difabel mental
bipolar disorder, ini akan menjadi gila akibat terlalu berhalusinasi dan dikatakan pula
kalau pernah menjadi gila. Dari beberapa data tersebut menunjukan bahwa kelompok
difabel masih di maknai dengan istilah negatif, mendapatkan diskriminasi, dan timbul
jarak sosial antara difabel dengan masyarakat karena adanya ketakutan untuk menjalin
17
Gambar 1. 3
Adegan pada K-Drama It’s Okay to Not be Okay Yang Dinilai
Sumber: intipseleb.com
Representasi positif dari kelompok difabel mental yang coba ditampilkan pada
serial It’s Okay to Not be Okay ini menjadi pro dan kontra di masyarakat karena adanya
kecurigaan pada teks media yang seolah-olah dinaturalisasikan untuk membela difabel
mental. Adapun beberapa hal yang menjadi indikasi peneliti terkait adanya
ketidaksesuaian tujuan dari film tersebut dalam memberi penguatan atau pembelaan
pada kelompok difabel, yaitu: Pertama, penggunaan romantisme yang terlalu kuat yang
justru dapat mengesampingkan isu pembinaan hubungan sosial dari kelompok difabel
mental itu sendiri. Kedua, peneliti melihat minimnya tokoh non-difabel yang tidak
memiliki keterkaitan dengan tokoh yang berada di area rumah sakit, membuat
kemampuan pembinaan yang ditunjukan oleh kelompok difabel ini juga patut untuk
dilihat dan dikaji lebih dalam lagi. Ketiga, dilihat melalui poster dari film ini, peneliti
mencurigai adanya eksploitasi pada tokoh utama karakter difabel mental anti-social
18
disorder (Koo Moon Young) yang ditampilkan sebagai sosok yang kuat, tangguh dan
ditampilkan dengan penggunaan tokoh-tokoh utama yang terlalu ideal dan menonjol
dalam drama seperti tokoh Ko Moon Young. Kelima, mengutip dari laman Intip Seleb
(2020), serial ini menuai kritik dari masyarakat karena terdapat sejumlah adegan yang
dinilai melecehkan kelompok difabel seperti adegan karakter difabel Koo Moon Young
yang masuk ke ruang ganti perawat & menyentuh tubuh perawat tanpa izin, serta
adegan Koo Moon Young yang melihat karakter difabel mental Kwon Gi Do yang
telanjang dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai alat vital oleh
Okay, membuat serial drama ini terus berada di jajaran trending Netflix meski sudah
tayang dari tahun 2020. Tindakan khalayak untuk menonton atau mengonsumsi serial
drama It’s Okay to Not be Okay pastinya mendorong masyarakat untuk memberikan
makna pada konstruksi isu difabel mental terutama dalam membina hubungan sosial
secara subjektif berdasarkan latar belakang dan pengalaman pribadi. Sehingga, atas
dasar permasalahan realitas maupun film, peneliti ingin mengkaji secara lebih
19
isu difabel mental terutama pada aspek pembinaan dan pengelolaan hubungan sosial di
Tujuan dari adanya penelitian ini adalah guna mengetahui pemaknaan khalayak
terhadap isu difabel mental yang ditampilkan pada serial drama Korea It’s Okay to Not
(preferred reading) yang ditampilkan oleh teks pada media terkait isu difabel
mental.
c. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk melihat bagaimana posisi khalayak
20
1.4 Signifikansi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambahkan penjelasan mengenai teori
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat penonton dari serial drama
Korea tersebut untuk lebih memahami dan lebih kritis terkait isu difabel mental yang
Hasil dari penelitian ini secara sosial diharapkan dapat memberikan wawasan
dan pemahaman kepada masyarakat terkait isu difabel mental, terutama dalam
mental.
ditulis oleh Giselle Vincentia dan Lusia Savitri Setyo Utami dengan judul “Pemaknaan
21
Khalayak terhadap Kesenjangan Sosial pada film Parasite” di tahun 2020. Tujuan dari
sosial antara keluarga kaya dan keluarga miskin yang ditampilkan pada film
“Parasite”. Peneliti menggunakan metode analisis resepsi dari Stuart Hall yang
mengklasifikasikan tiga pemaknaan yaitu dominan, negosiasi dan oposisi. Hasil dari
menunjukan kesenjangan sosial dalam film “Parasite” ini telah sesuai dengan kondisi
mengenai resepsi film yang menampilkan kesenjangan isu sosial. Namun, kesenjangan
sosial yang dikaji berada di sub topik yang berbeda di mana pada kajian penelitian
ekonomi, sedangkan penelitian yang saya kaji berkaitan dengan kesenjangan sosial
yang diakibatkan perbedaan fisik. Oleh karena itu, penelitian mengenai serial drama
Korea It’s Okay to Not be Okay dapat melengkapi kajian mengenai tema kesenjangan
sosial.
Positivity dalam Film Imperfect Pada Kalangan Remaja di Jakarta” pada tahun 2021,
ditulis oleh Ayu Reni Aisa dan Septia Winduwati. Penelitian tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk mengkaji resepsi remaja di Jakarta mengenai body positivity dalam film
Imperfect. Penelitian ini menggunakan teori resepsi dan teori encoding decoding dari
22
Stuart Hall dengan metode penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian,
ditemukan bahwa mayoritas informan memaknai alur cerita dan karakter yang
beberapa segmen dalam film tersebut. Penelitian yang membahas body positivity pada
film Imperfect memiliki kesamaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu
kesamaan terkait pemaknaan khalayak pada film yang menunjukan isu sosial dan
terhadap subjek yang berbeda, penelitian mengenai serial It's Okay Not to be Okay
yang dilakukan oleh Revi Andrean Siregar dari Universitas Diponegoro pada tahun
2019 yang berjudul “Resepsi Khalayak terhadap Karakter Difabel dalam Film
pada karakter difabel yang ditampilkan dalam film Wonder. Pendekatan yang
digunakan oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif deskriptif dan metode analisis
resepsi dengan teknik semiotika televisi dari John Fiske dan analisis data resepsi oleh
Stuart Hall. Subjek dari penelitian tersebut adalah kelompok difabel dan kelompok
non-difabel. Penelitian ini yang mengkaji mengenai resepsi khalayak pada film Wonder
23
memiliki kemiripan dengan kajian penelitian yang saya lakukan yaitu sama-sama
membahas mengenai pemaknaan khalayak dari film mengenai kelompok difabel yang
membahas tentang isu difabel, penelitian mengenai serial It's Okay Not to be Okay
lebih secara spesifik membahas mengenai difabel mental yang mana subjeknya adalah
khalayak aktif baik dari kelompok difabel maupun yang bukan. Sedangkan film
Wonder lebih menunjukan keberbedaan kelompok difabel dalam bentuk fisik yang
adanya penelitian mengenai isu difabel mental yang saya lakukan dapat melengkapi
dan menyempurnakan kembali kajian penelitian mengenai isu difabel yang telah ada
sebelumnya.
Paradigma merupakan suatu cara dasar dalam memandang realitas atas dasar
bahwa paradigma juga merupakan cara berpikir secara general terkait teori dan realitas
yang berisi asumsi dasar, isu dan desain penelitian yang digunakan untuk mengetahui
jawaban dari research question. Selain itu, paradigma penelitian juga berfungsi bagi
peneliti untuk memahami permasalahan, kriteria dalam percobaan, serta sebagai dasar
untuk menghasilkan jawaban dari masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1988: 89-115
24
Pada penelitian ini, dasar kerangka berpikir yang digunakan untuk menjawab
dalam Manzilati 2017: 4). Adapun beberapa ciri mengenai paradigma interpretif yang
dijelaskan oleh Manzilati (2017), yaitu fenomena sosial yang dilihat sebagai hal yang
pengetahuan yang hanya bersifat ‘common sense’, serta tujuan penelitian berdasarkan
hubungan antara makna (meaning) dan bahasa (language) dengan budaya. Pendekatan
yang dipertukarkan antar anggota kelompok ke dalam suatu budaya. Adapun tiga
pengalaman, objek media, dan ide yang muncul; (2) intensional, bahwa manusia
sebagai penutur bahasa secara lisan dan tulisan memaknai dengan unik pada setiap hasil
karya; (3) konstruksionis, menjelaskan bahwa orator dan penulis dalam memproduksi
25
makna dapat memilih dan menentukan meaning (makna) yang terkandung dalam suatu
pesan. Dari berbagai metode pendekatan yang dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan
seperangkat ide, dan pengalaman yang kemudian ditetapkan oleh manusia melalui
bahasa dan menjadi sebuah pemaknaan dominan dari masyarakat atau preferred
merepresentasikan suatu isu-isu yang ada dalam masyarakat. Salah satu isu yang cukup
Representasi media yang dikaji oleh peneliti adalah representasi mengenai isu
difabel mental yang berkaitan dengan aspek pemeliharaan hubungan sosial pada
penyandang difabel mental. Guna melihat bentuk dari representasi media pada isu
difabel mental, peneliti akan melihat difabel mental sebagai bagian dari kelompok
bagian dari kelompok minoritas. Dengan asumsi bahwa isu dari kelompok difabel
terjadi karena adanya kegagalan masyarakat dalam menampung kebutuhan dan suara
dari para difabel. Adanya perbedaan karakteristik yang ditampilkan oleh kelompok
minoritas sering kali di stigmatisasi negatif oleh kelompok mayoritas. Sehingga dalam
stratifikasi sosial, kelompok minoritas selalu berada satu tingkat dibawah kelompok
kesulitan dalam membangun hubungan komunikasi yang baik dengan orang lain. Hal
26
ini dikarenakan adanya beberapa isu yang melekat dan berkaitan dengan difabel
mental, seperti gila, tidak stabil secara emosi, hingga banyak masyarakat yang
menghindari untuk membangun hubungan sosial dengan mereka. Oleh karena itu,
difabel mental sebagai representasi dari kelompok minoritas, selanjutnya akan dilihat
hubungan dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan hubungan sosial tersebut agar
dapat mengalami peningkatan dan tidak mengalami penurunan (Widya, 2014: 2-3).
hubungan sosial dari kelompok difabel, yang mana elemen tersebut akan dijelaskan
Artinya, pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan Teori Representasi dari
Stuart Hall untuk mengetahui bagaimana representasi dari difabel mental pada drama
Korea It’s Okay to Not be Okay dalam konteks pemeliharaan hubungan sosial, dan
untuk melihat makna dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media.
Selain itu, peneliti juga menggunakan Teori Social Model of Disability miliki Oliver,
Barnes, and Abberly untuk mengetahui bagaimana konstruksi isu difabel mental yang
ada dalam drama Korea It’s Okay to Not be Okay. Selanjutnya, representasi difabel
mental sebagai bagian dari kelompok minoritas dan bagaimana mereka membina
hubungan sosial, serta dilihat preferred reading-nya melalui 2 hal yaitu karakter dan
pola hubungan komunikasi yang terbentuk. Hal ini dikarenakan karakter difabilitas
27
dapat dijumpai dalam keseharian masyarakat, dan juga pola hubungan interaksi sosial
yang terbentuk sebagai gambaran dari relasi sosial yang dimiliki oleh difabel mental.
Makna dominan yang ditawarkan oleh teks media ini, belum tentu dimaknai belum
tentu dimaknai dengan sama, karena khalayak yang secara aktif memaknai isi teks dari
memperhatikan pesan komunikasi yang dikirim oleh sender, yang kemudian dimaknai
bahwa khalayak bukan hanya sebagai receiver atau penerima pesan aja, namun juga
sosial, politik, dsb) dalam proses pemahamannya (Nasrullah, 2019: 6-7). Dalam proses
intensi khalayak untuk memahami isi pesan; Ketiga, adanya proses seleksi pesan
berdasarkan preferensi audiens; Keempat, khalayak membentuk makna atas pesan pada
media yang kemudian memotivasi pemikiran dan tindakan yang akan dilakukan
(Suherman 2008: 107-108). Atas dasar hal tersebut, muncul teori khalayak aktif yang
28
berasumsi bahwa khalayak aktif memiliki kekuatan dalam menginterpretasikan dan
memanfaatkan isi dari pesan media yang bersifat multitafsir. Adanya teori khalayak
aktif ini juga menegaskan bahwa suatu teks dapat memiliki makna setelah
diinterpretasikan oleh khalayak aktif. Sehingga, suatu teks dapat dikatakan memiliki
Sebagai pelopor akan pendekatan resepsi, Stuart Hall (dalam Mcquail and
dan menekankan bahwa pada setiap tahap dari transformasi pesan di media melalui
komunikasi yang berasal dari institusi media membentuk makna berulang yang
sering kali membentuk suatu genre konten yang memiliki makna dan dibentuk sebagai
pedoman penafsiran audiens, seperti penayangan program televisi dalam bentuk berita,
film, dan serial drama. Tetapi, kompleksitas budaya pada media televisi yang
mencakup berbagai wacana, membuat isi teks yang ditawarkan oleh media ditafsirkan
oleh khalayak aktif dengan struktur makna yang berasal dari ide dan pengalaman
pribadi.
29
Gambar 1. 4
Model Pengkodean Encoding-Decoding dari Stuart Hall
Sumber: Ebook from McQuail, Sven Windahl & Denis ‘A model of decoding’
Berdasarkan implikasi secara umum, pesan yang dikodekan tidak selalu sesuai
dengan makna yang dikodekan, dan hasil dari dekode juga dapat sangat berbeda dari
menentukan makna yang telah dikodekan. Sehingga, dalam menerima pesan khalayak
tidak memiliki kewajiban untuk menafsirkan kode sesuai dengan teks media yang
didapat. Namun, khalayak juga dapat menolak dengan memahami teks secara berbeda
sebagai oposisi berdasarkan pengalaman dan opini pribadi. Intinya, dalam pemaknaan
khalayak dalam suatu film yang ditampilkan pada media, terjadi karena adanya proses
film dikatakan memiliki makna apabila terdapat peran aktif dari khalayak dalam
30
menginterpretasikan dan memaknai isi teks dari film tersebut. Namun adanya
Artinya, pada penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Khalayak Aktif dan Teori
khalayak mengenai preferred reading pada serial It’s Okay to Not be Okay, dalam
maka peneliti dapat mengetahui bagaimana posisi audiens dalam memaknai kelompok
pada media.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami pemaknaan khalayak terkait isu difabel
mental, maka secara operasional akan dimulai dengan melihat representasi dari difabel
mental pada serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay. Penelitian ini diawali dengan
memahami makna dominan (preferred reading) dari representasi terkait difabel mental
sebagai bagian dari kelompok minoritas dan pemeliharaan hubungan sosialnya. Guna
memahami hal tersebut, peneliti melihat pemaknaan khalayak melalui dua hal yaitu
karakter dan bagaimana pemeliharaan hubungan sosial dari difabel mental. Preferred
31
Reading dapat diketahui dengan melakukan analisis makna dominan terkait scene-
scene yang menunjukan bahwa penyandang difabilitas mental sebagai bagian dari
Untuk melihat karakter Difabel Mental yang merupakan bentuk dari representasi
menyeleksi scene, yaitu: (1) bahwa kelompok minoritas cenderung tidak berkuasa; (2)
adanya tampilan karakteristik yang berbeda (fisik, psikologis, sosial dan budaya) yang
jelas dengan kelompok dominan; (3) selalu dipandang negatif atau di stigmatisasi; (4)
dengan melihat scene-scene yang mengandung elemen berikut: (1) positivity (bersikap
baik/positif); (2) openness (keterbukaan diri); (3) assurance (komitmen); (4) sharing
task (melakukan pekerjaan bersama); (5) social networks (membangun relasi lebih
hal tertentu); (9) anti-social (bertindak kasar dengan orang lain); (10) humor
(mencairkan suasana dengan hal lucu yang menyenangkan) (Canary, dalam Widya P.,
2014: 2-3).
32
Setelah menemukan dan memahami preferred reading, selanjutnya peneliti melihat
kode yang telah diinterpretasikan oleh masyarakat dominan. Hal ini terjadi karena kode
yang disampaikan oleh produsen (media) diterima oleh pembaca pesan (khalayak aktif)
dengan penafsiran dan makna yang sama. Artinya, pertukaran pesan dan kode dari
dan memahami maksud dari isi pesan yang disampaikan oleh media tanpa adanya
pencipta makna dalam memahami teks, mereka memproses pesan yang disampaikan
media tidak secara penuh menerimanya namun juga menelaah pesan tersebut
33
mengkompromikannya dengan kode-kode yang diberikan oleh produsen pesan pada
media.
Pada posisi ini menjelaskan bahwa pesan yang disampaikan oleh media diterima
dengan mengkritisi pesan tersebut. Artinya, khalayak menolak dan memiliki pemikiran
tersendiri akan pesan yang disampaikan oleh media, yang kemudian menciptakan
makna yang berbeda dengan sebagaimana yang disampaikan oleh produsen pesan atau
Dengan melihat posisi-posisi tersebut, hal ini dapat membantu peneliti untuk
mengetahui bagaimana posisi khalayak dalam memaknai isi teks media yang berkaitan
dengan kelompok difabel mental yang terkandung dalam serial K-Drama It’s Okay to
Not be Okay.
sesuai dengan streotipe yang telah melekat pada kelompok difabel. Pada media film
sendiri, tidak banyak media yang mengusung topik terkait isu difabel mental yang
berkaitan dengan proses pembinaan dan pengelolaan hubungan sosialnya. Akan tetapi,
terdapat suatu serial drama yang cukup populer, di mana drama tersebut memiliki
34
dalam membangun hubungan sosial, yaitu It’s Okay to Not be Okay. Penguatan pada
difabel mental pada drama tersebut dikonstruksikan melalui latar tempat di Rumah
Sakit Jiwa, dan beberapa karakter difabilitas mental seperti gangguan kepribadian anti-
sosial (Ko Moon Young), autisme (Moon Sang Tae), PTSD atau Post Traumatic Stress
Disorder (Kang Pil Wong), Manic Disorder (Kwon Gi Dong), gangguan kecemasan
dan depresi (Le Ah Reum), serta gangguan kejiwaan multiple personality disorder
Dengan membawa isu yang cukup kompleks terkait difabel mental, drama ini
menarik perhatian masyarakat hingga menuai pro dan kontra. Tindakan khalayak aktif
dalam mengonsumsi drama ini, menunjukan bahwa khalayak memiliki kekuatan dalam
masing-masing.
Sehingga argumentasi dari penelitian ini yaitu untuk melihat bahwa terdapat
konstruksi sosial pada teks media yang dinaturalisasikan sebagai upaya memberi
penguatan kepada difabel mental pada drama It’s Okay to Not be Okay. Adanya
khalayak aktif memiliki kemampuan dalam memaknai pesan dalam media. Peran
khayalak dalam mengintepretasikan isi pesan dalam media ini cukup penting karena
dapat memungkinkan mereka untuk dapat memaknai konstruksi sosial dari pembinaan
35
dan pengelolaan hubungan pada kelompok difabel mental, berdasarkan perbedaan
Tipe penelitian yang digunakan adalah pada penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Di mana penelitian kualitatif ini bersifat faktual dengan memaparkan dan
menggambarkan situasi atas suatu fenomena secara mendalam. Selain itu, penjabaran
secara deskriptif dilakukan oleh peneliti dengan membuat deskripsi atas fakta dan sifat
dari populasi maupun objek secara sistematis, faktual dan akurat. Sehingga penelitian
ini pada akhirnya mencoba untuk menjelaskan suatu fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sosial secara mendalam (Kriyantono dalam Tunshorin, 2016: 74). Desain
cara pemahaman subjek terharap objek yang diteliti. Menurut Billy 2014, melalui
analisis resepsi, peneliti dapat mengetahui alasan dan cara pandang khalayak dalam
sosial apa saja yang akan muncul (Tunshorin, 2016: 74). Oleh karena itu, pada
penelitan ini peneliti mengkaji secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis
resepsi untuk menjabarkan suatu fenomena isu difabel mental yang ditayangkan pada
serial K-Drama It’s Okay to Not be Okay dengan menganalisis pemahaman dan cara
36
1.8.2 Subjek Penelitian
Dalam suatu penelitian, subjek penelitian merupakan salah satu hal yang
penelitian umumnya adalah manusia atau sesuatu yang dilakukan oleh manusia
(Arikunto, 2007: 152). Selain itu, subjek pada penelitian ini diambil dengan
beberapa kriteria tertentu dari peneliti agar sesuai dengan tujuan penelitian
penonton aktif dari drama tersebut, seseorang yang tergolong dalam kelompok difabel
terhadap kelompok difabel mental. Intinya, subjek penelitian ini adalah khalayak aktif
yang telah menonton serial K-Drama Its Okay to Not be Okay sebanyak minimal dua
kali, dengan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan diatas usia 18 tahun dan
orang yang memiliki pengetahuan atau kedekatan dengan kelompok difabilitas mental
maupun yang tidak memiliki kedekatan. Proses pemilihan informan ini dilakukan
dengan melakukan analisis responden yang dilihat melalui track record dari responden
terkait.
37
1.8.3 Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer
telah ditentukan.
b. Data Sekunder
observasi dan studi pustaka. Observasi dalam hal ini diartikan sebagai suatu
buku, jurnal maupun portal berita. Sedangkan studi pustaka merupakan suatu
dengan studi pustaka dan observasi informasi terkait melalui buku, jurnal,
38
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Salah satu teknik dalam mengumpulkan data pada penelitian kualitatif adalah
keputusan dengan meminta informan untuk menceritakan kembali mengenai teks yang
Oleh karena itu, pada penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan
difabel dalam serial drama Korea It’s Okay to Not be Okay yang diteliti.
Pada penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis teks media dan analisis
Dalam tahap ini, teks yang terkandung dalam tayangan serial drama maupun
menggunakan analisis the the codes of television dari John Fiske (Fiske, 1987:
2-3). Preferred reading atau makna dominan yang muncul dalam teks
39
merupakan kombinasi dari seperangkat tanda (gambar, suara, kata-kata,
gerakan nonverbal dan istilah tertentu) yang membentuk suatu makna. Dalam
dari setiap level realitas, level representasi, dan level ideologi dari beberapa
preferred reading pada level representasi dalam film (Triyono, Hariwibowo, &
deket, biasanya dilakukan pada mata, hidung, dan bibir obyek ini
wajah dengan jarak yang cukup dekat dengan obyek yang digunakan
3) Close Up: pengambilan gambar dengan jarak yang pas dari atas kepala
40
4) Medium Close Up: pengambilan gambar dengan menampilkan potret
tersebut.
dari obyek untuk menampilkan detail gambaran tubuh dan karakter dari
6) Medium Long Shot: pengambilan gambar dari atas hingga sebatas lutut
dari subjek dengan jarak yang cukup jaruh untuk menunjukan latar
disekitarnya.
pada penonton.
41
Teknik Pergerakan Kamera, (fisipol, 2022: n.p):
2) Dolly: gerakan kamera yang mendatar secara stabil diatas alat tripot dan
lingkungannya.
5) Tilt: gerakan kamera dengan posisi diam dengan cara mendongak keatas
42
7) Follow: gerakan kamera yang mengikuti pergerakan obyek untuk
b) Mengumpulkan data
Pada tahap ini, aktivitas pengumpulan data selajutnya adalah dengan cara
bagaimana pemaknaan dan persepsi responden terkait isu difabel mental yang
c) Menganalisis Data
pada serial It’s Okay to Not be Okay. Setelah itu, proses analisis olah data
43
dengan preferred reading yang muncul pada tahap awal analisis studi dokumen
Di tahap ini, peneliti mengkategorikan hasil analisis data yang telah terbentuk
e) Menarik Kesimpulan
Di tahap akhir, peneliti menarik kesimpulan atas tahap analisis data yang telah
dilakukan yaitu berupa posisi khalayak aktif dalam memaknai isu difabel
mental yang disampaikan melalui karakter, alur cerita, dan konsep difabel
mental yang terkandung pada serial K-Drama It’s Okay to Not be Okay saja.
tertentu guna menjamin kualitas dari penelitian tersebut. Lincoln dan Guba,
44
elemen khusus yang menjadi standar dalam memastikan kualitas penelitian
1. Kredibilitas
2. Konfirmabilitas
45