Dislokasi Sendi Bahu
Dislokasi Sendi Bahu
BAB I
PENDAHULUAN
Dislokasi sendi dapat terjadi spontan karena gerakan tidak spontan, dan karena kekerasan. Dislokasi
sering disertai dengan kerusakan simpai sendi atau ligamen sendi. Bila kerusakan tersebut tidak
sembuh kembali dengan baik, luksasi mudah terulang lagi yang disebut luksasi habitual.
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar anamnesis yang khas dan tanda klinisnya. Umumnya
deformitas dapat dilihat berupa perubahan posisi anggota gerak dan perubahan kontur persendian
yang bersangkutan. Pada pemeriksaan tidak ada gejala dan tanda patah tulang, sedangkan gerakan
di dalam sendi yang terluksasi terbatas sekali, bahkan sama sekali tidak mungkin.
Reposisi diadakan dengan gerakan atau perasat yang berlawanan dengan gaya trauma dan kontraksi
atau tonus otot. Reposisi tidak boleh dilakukan dengan kekuatan atau kekerasan karena mungkin
sekali mengakibatkan patah tulang. Untuk mengendurkan kontraksi dan spasme otot, perlu
diberikan anestesia setempat atau umum. Kekenduran otot memudahkan reposisi.
BAB II
ANATOMI BAHU
Anatomi bahu secara unik disesuaikan untuk memungkinkan gerakan yang bebas dan jangkauan
maksimum bagi tangan. Lima artikulasio terlibat:
(1) sendi glenohumerus yang sebenarnya (sinovial),
(2) sendi semu antara humerus dan arkus korakoakromial,
(3) sendi sternoklavikular,
(4) sendi akromioklavikular dan
(5) artikulasi skapulotoraks.
Artikulasi glenohumerus yang dangkal pada dasarnya hanya mempunyai sedikit stabilitas karena
daerah permukaan glenoid hanya seperempat daerah permukaan sendi humerus. Tingkat
kedalaman sendi yang disebabkan oleh labrum mungkin tampak sepele, tetapi ini tentu bermakna
karena robekan labrum akan menyebabkan dislokasi. Stabilitas tergantung pada pengendalian otot.
Tendon subskapularis di depan, rotator subskapularis pendek di atas, infraspinatus dan teres minor
di belakang bergabung dengan simpai bahu akan membentuk cuff rotator. Selama abduksi otot
menarik kaput humerus dengan kuat ke dalam sendinya sedangkan deltoid mengangkat lengan.
Ketika mulai abduksi, rotator luar memutar lengan sehingga tuberositas mayor bebas dari akromion
yang menonjol, dan gerakan skapulotoraks memungkinkan jangkauan yang lebih jauh hingga 180
derajat. Sebenarnya, abduksi pada sendi glenohumerus tidak dapat melebihi 90 derajat karena tidak
ada lagi permukaan sendi pada kaput humerus; tetapi rotasi luar pada humerus membebaskan lebih
banyak permukaan dan memungkinkan abduksi penuh, dengan peran serta artikulasi skapulototaks.
Sendi skapulotoraks dan glenohumerus bergerak secara sinkron, meskipun dalam 30 derajat abduksi
pertama tak banyak gerakan skapulotoraks yang kelihatan; pada 150 derajat abduksi sisanya, sekitar
90 derajat terjadi pada sendi glenohumerus. Sendi sternoklavikular ikut serta dalam gerakan yang
dekat dengan tubuh (misalnya mengangkat atau menahan bahu); sendi akromioklavikular bergerak
dalam 60 derajat abduksi terakhir.
BAB III
DISLOKASI SENDI BAHU
Di antara sendi-sendi besar, bahu adalah salah satu yang paling sering berdislokasi. Ini akibat
beberapa faktor: dangkalnya mangkuk sendi glenoid; besarnya rentang gerakan; keadaan yang
mendasari misalnya ligamentosa yang longgar atau dysplasia glenoid; dan mudahnya sendi itu
terserang selama aktivitas yang penuh tekanan pada tungkai atas.
Kestabilan sendi bahu terutama terletak pada simpai sendi dan otot di sekitarnya karena kavitas
artikulare sendi bahu dangkal. Oleh karena itu, sering terjadi dislokasi, baik akibat trauma maupun
pada saat serangan epilepsi.
Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa tetapi jarang pada anak-anak.
I. KLASIFIKASI
1.1.4. PENATALAKSANAAN
Banyak metode reduksi telah diuraikan, beberapa diantaranya sekarang hanya tercatat sebagai
sejarah.
Pada pasien yang dulu pernah mengalami dislokasi, traksi sederhana pada lengan dapat berhasil.
Untuk reduksi dislokasi yang terjadi pertama kali, pasien harus banyak diberi sedasi atau di anestesi
dan dalam posisi telentang. Traksi ditingkatkan perlahan-lahan pada lengan dengan bahu yang
sedikit berabduksi, sementara itu asisten melakukan traksi-lawan yang kuat pada tubuh (handuk
yang dililitkan sekitar dada pasien, di bawah aksila, bermanfaat). Kalau anestesi merupakan
kontraindikasi, posisi tengkurap dengan lengan tergantung, dapat memudahkan reduksi.
Metode Kocher kadang-kadang digunakan. Siku ditekuk 90 derajat dan dipertahankan dekat dengan
tubuh; traksi tidak boleh diterapkan. Lengan perlahan-lahan diputar sampai 75 derajat ke lateral,
kemudian ujung siku itu diangkat ke depan, dan akhirnya lengan diputar ke medial.
Sinar-X dilakukan untuk memastikan reduksi tidak menyebabkan fraktur. Bila pasien sepenuhnya
sadar, abduksi aktif dengan pelan-pelan diuji untuk menyingkirkan suatu cedera saraf aksila.
Lengan diistirahatkan dalam kain gendong selama satu atau dua minggu dan gerakan aktif kemudian
dimulai, tetapi kombinasi abduksi dan rotasi lateral harus dihindari sekurang-kurangnya selama 3
minggu. Selama periode ini, gerakan siku dan jari dipraktekkan setiap hari.
a. Dengan pembiusan umum
• Metode Hippocrates
Penderita dibaringkan di lantai, anggota gerak ditarik ke atas dan kaput humerus ditekan dengan
kaki agar kembali ke tempatnya.
• Metode Kocher
Penderita berbaring di tempat tidur dan ahli bedah berdiri di samping penderita.
Tahap-tahap reposisi menurut Kocher:
- Sendi siku dalam posisi fleksi 90o dan dilakukan traksi sesuai garis humerus
- Lakukan rotasi ke arah lateral
- Lengan di adduksi dan sendi siku dibawa mendekati tubuh ke arah garis tengah
- Lengan dirotasi ke medial sehingga tangan jatuh di daerah dada
1.1.5. KOMPLIKASI
DINI
a. Kerusakan nervus aksilaris
Nervus aksilaris dapat cedera; pasien tak dapat mengerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat
daerah kecil yang mati rasa pada otot itu. Ini biasanya suatu neurapraksia yang sembuh spontan
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan.
Kadang-kadang korda posterior pleksus brakialis cedera. Ini sedikit mengkhawatirkan, tetapi
untungnya sering sembuh sejalan dengan waktu.
Nervus aksilaris berjalan melingkari leher humerus dan dapat mengalami paresis atau paralisis.
Sebelum dilakukan reposisi sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada saraf ini. Apabila terdapat paresis
atau paralisis, dilakukan pemeriksaan EMG setiap 3 minggu.
b. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat traksi sewaktu reposisi
atau karena tekanan kaput humerus.
c. Fraktur-dislokasi
Kalau juga terdapat fraktur pada bagian proksimal humerus, mungkin diperlukan reduksi terbuka
dan fiksasi internal.
Tuberositas mayor dapat terlepas selama dislokasi. Ini biasanya masuk ke tempatnya selama reduksi,
sehingga tidak dibutuhkan terapi khusus. Kalau tuberositas ini tetap bergeser, dapat dilaksanakan
penempelan kembali dengan operasi.
BELAKANGAN
a. Kaku sendi
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan bahu, terutama pada pasien yang berumur
lebih dari 40 tahun. Terjadi kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
Latihan aktif biasanya akan melonggarkan sendi. Latihan ini perlu dilakukan dengan bersemangat;
perlu diingat bahwa abduksi penuh tidak dapat dilakukan sebelum rotasi lateral diperoleh kembali.
Manipulasi di bawah anestesi hanya dianjurkan kalau progresi telah berhenti dan sekurang-
kurangnya sudah lewat 6 bulan sejak terjadi cedera. Rotasi lateral harus dipulihkan sebelum abduksi,
dan manipulasi harus dilakukan pelan-pelan dan berulang-ulang dan tidak dipaksakan.
Kaku sendi yang terjadi pasca reposisi perlu dilakukan fisioterapi yang intensif.
b. Dislokasi yang tak direduksi
Secara mengherankan, dislokasi bahu kadang-kadang tetap tidak terdiagnosis. Kemungkinan besar
ini terjadi kalau pasien (1) tidak sadar atau (2) sangat tua. Reduksi tertutup perlu diusahakan sampai
6 minggu setelah cedera; manipulasi yang dilakukan setelah masa itu dapat menyebabkan fraktur
pada tulang atau robeknya pembuluh atau saraf.
Reduksi dengan operasi setelah 6 minggu hanya diindikasikan untuk kaum muda, karena sukar,
berbahaya dan menyebabkan kekakuan yang lama. Pendekatan anterior digunakan, dan pembuluh
serta saraf dikenali dengan cermat sebelum dislokasi direduksi. Secara aktif dibiarkan meringkaskan
terapi untuk dislokasi yang tak tereduksi pada orang lanjut usia. Dislokasi dibiarkan dan dianjurkan
melakukan gerakan aktif pelan-pelan. Pengembalian fungsi yang cukup baik sering dapat dicapai.
c. Dislokasi rekuren
Dislokasi rekuren dapat bersifat anterior (lebih sering) atau posterior. Dislokasi rekuren anterior
terjadi karena pengobatan awal (imobilisasi) yang tidak adekuat sehingga terjadi dislokasi. Dislokasi
terjadi karena adanya titik lemah pada selaput sendi di sebelah depan dan terjadi karena trauma
yang ringan. Dislokasi rekuren dapat dengan mudah terjadi apabila lengan dalam keadaan abduksi,
ekstensi dan rotasi lateral.
Kalau dislokasi anterior merobek kapsul bahu, perbaikan terjadi secara spontan dan dislokasi tidak
berulang; tetapi kalau labrum glenoid robek, atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid,
kemungkinan besar perbaikan tak terjadi dan dislokasi sering berulang. Pembalutan lengan pada sisi
tersebut setelah mereduksi dislokasi akut, tampaknya tidak mempengaruhi hasil; pelepasan labrum
terutama terjadi pada pasien muda, dan kalau saat cedera terjadi cacat tulang yang menembus
keluar pada aspek posterolateral kaput humerus, kemungkinan besar terjadi perulangan.
Riwayat merupakan tanda diagnostik. Pasien mengeluh bahwa bahu mengalami dislokasi hanya
dengan kerja sehari-hari yang relatif ringan. Dia sering dapat mereduksi sendiri dislokasi itu. Setiap
keraguan mengenai diagnosis dengan cepat dapat diatasi dengan uji aprehensi: kalau lengan pasien
ditempatkan secara pasif di belakang bidang korona pada posisi abduksi dan rotasi lateral, resistensi
yang timbul segera dan kecemasannya bersifat patognomonik.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
Pengobatan
Dislokasi rekuren dengan frekuensi yang tinggi, memerlukan tindakan operasi seperti operasi
menurut Putti-Platt, Bristow dan Bankart.
I.2.4. PENATALAKSANAAN
Dislokasi akut direduksi (biasanya di bawah anestesi umum) dengan menarik lengan sementara bahu
pada posisi abduksi; biarkan beberapa menit agar kaput humerus lepas dan kemudian lengan
dengan pelan-pelan diputar ke lateral sementara kaput humerus didorong ke depan. Kalau reduksi
terasa stabil, lengan diimobilisasi dalam kain gendongan; kalau tidak, bahu dipertahankan
berabduksi lebar-lebar dan dirotasi ke lateral dalam spika gips selama 3 minggu. Gerakan bahu
diperoleh kembali melalui latihan aktif.
I.2.5. KOMPLIKASI
a. Dislokasi yang tak direduksi
Sekurang-kurangnya setengah dari pasien dengan dislokasi posterior tak mendapat reduksi ketika
pertama ditemukan. Kadang-kadang sudah terlewat beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Secara khas pasien mempertahankan lengan berotasi internal; dia tidak dapat
mengabduksi lengan lebih dari 70 – 80 derajat, dan kalau mengangkat lengan yang terentang ke
depan, dia tidak dapat memutar telapak tangan ke atas.
Kalau pasien itu muda, atau merasa tak nyaman dan dislokasi belum lama terjadi (katakanlah baru 8
minggu), reduksi terbuka diindikasikan. Melalui pendekatan posterior, dilakukan perbaikan dan
pemendekan kapsul.
Dislokasi belakangan, terutama pada manula, terbaik dibiarkan, tetapi dianjurkan melakukan
gerakan.
1.3.1. PENATALAKSANAAN
Dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior dan bila tidak berhasil dapat dilakukan reposisi
terbuka dengan operasi.
Penatalaksanaan
Dislokasi atraumatik harus sangat diwaspadai. Beberapa anak-anak ini mempunyai masalah perilaku
dan di sinilah terapi harus ditujukan. Program latihan yang lama juga dapat membantu. Kalau anak
benar-benar terganggu oleh kelainan itu, dengan syarat faktor-faktor psikologis telah disingkirkan,
kita dapat mempertimbangkan operasi rekonstriktif – biasanya dengan prosedur pemendekan yang
sangat teliti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, A. Graham. Ortopedi Dan fraktur Sistem Apley. Edisi Ketujuh. Jakarta: Widya Medika. 1995.
2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone. 2007.
3. Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua. Jakarta: EGC. 2004. h 859-
60.
4. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Bedah RSCM. Jakarta. 2005