Anda di halaman 1dari 12

1.

1 Resusitasi di Instalasi Gawat Darurat


Pasien dengan kondisi cidera yang mengancam jiwa jumlahnya sekitar 10-15% dari seluruh pasin
cidera yang di rawat inap. Beberapa penulis mendefinisikan trauma berat dengan menggunakan
Injury Severity Score lebih dari 15. Untuk keperluan triage, perlu diketahui informasi sebelum
masuk ke rumah sakit dan primary survey.
Agar sesuai standard, dapat mempergunakan singkatan ‘MIST’

Cidera yang destruktif dan menyebabkan deformitas dapat dengan jelas terlihat, namun sebagai
ahli bedah maupun tenaga medis harus memeriksa pasien secara sistematis agar apabila ada
cidera major yang tidak kasat mata dapat ditangani secara optimal.

1.2 Manajemen Trauma Major


Prisnip dari penanganan pasien dengan trauma major yaitu:
 Asessmen dan resusitasi secara simultan
 Pemeriksaan fisik lengkap
 Menentukan diagnosis apabila kondisi hemodinamik pasien stabil
 Melakukan tindakan operasi life-saving

Tenaga medis melakukan resusitasi berpacu dengan waktu: 62% dari seluruh pasien trauma yang
meninggal di rumah sakit meninggal pada 4 jam pertama hospitalisasi. Kebanyakan dari pasien
tersebut meninggal karena perdarahan ataupun karena cedera primer atau sekunder dari sistem
syaraf pusat. Dalam rangka mengurangi mortalitas tersebut, para ahli bedah harus berupaya
mengembalikan oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat, mengidentifikasi dan mengontrol
perdarahan, mendiagnosis dan mengevakuasi lesi ataupun massa intracranial, dan melakukan terapi
pada edema cerebral. Petugas medis yang melakukan terapi pertama kali pada pasien dengan
cedera berat harus memulai resusitasi dengan segera dan mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin. Sebagai tambahan untuk gejala pasien, informasi penting tentang mekanisme cedera dan
apakah ada kondisi medis sebelumnya yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

Sayangnya, mengumpulkan berbagai informasi tersebut membutuhkan waktu. Sedangkan tidak


cukup banyak waktu yang tersedia, dan penanganan pasien cidera yang kritis seringnya harus segera
dilakukan. Sehingga dalam rangka memaksimalkan usaha resusitasi dan menghindari terlewatnya
penanganan cidera yang mengancam nyawa, berbagai macam protokol untuk resusitasi telah dibuat,
seperti Advanced Trauma Life Support Course (ATLS). Kami menggunakan ATLS sebagai sebuah
pedoman untuk melakukan asessment, resusitasi dan bagaimana memprioritaskan pasien cidera.

Panduan untuk lamanya pasien berada di Instalasi Gawat Darurat sebagai berikut:

 Untuk pasien tidak stabil, waktu di IGD harus tidak lebih dari 15 menit
 Pasien tidak stabil harus berada di ruang operasi atau intensive care unit (ICU) dalam 15
menit
 Untuk pasien stabil, waktu di IGD tidak lebih dari 30 menit
 Pasien stabil harus sudah berada di CT Scan atau ICU dalam waktu 30 menit
1.2.1 Resusitasi
Resusitasi terbagi dalam dua komponen:
 Primary survey dan resusitasi awal
 Secondary survey dan resusitasi lanjutan

Seluruh pasien dilakukan primary survey untuk jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Hanya pasien
dengan hemodinamik stabil yang akan dilanjutkan dengan secondary survey, yang fokus terhadap
pemeriksaan fisik lengkap yang akan langsung mengarah ke penegakan diagnosis. Kebanyakan
pasien yang kondisi hemodinamiknya tidak stabil membutuhkan intervensi pembedahan segera.

1.2.1.1 Primary Survey


Prioritas dari primary survey adalah:
 Memastikan jalan napas yang paten serta kontrol dari cervical spine
 Ventilasi adekuat
 Menjaga kondisi sirkulasi (termasuk fungsi jantung dan volume intravaskular)
 Menilai keseluruhan fungsi neurologis

Jalan Napas

Pasien dengan trauma berat yang tidak sadar dan dalam keadaan shock dapat segera dilakukan
intubasi endotracheal. Untuk mencegah cidera tulang belakang, tulang belakang cervical tidak boleh
terlalu ekstensi ataupun fleksi pada saat proses pemasangan intubasi. Intubasi endotracheal oral
pada umumnya berhasil dilakukan pada pasien. Namun pada beberapa pasien harus dilakukan
intubasi nasotracheal yang dilakukan oleh tenaga medis terlatih. Selama intubasi, sedikit kompresi
pada kartilago cricoid melawan cervical spine akan menutup esofagus sehingga mencegah terjadinya
aspirasi ketika pasien muntah. Pada beberapa kasus, perdarahan, deformitas atau edema dari
cidera maxillofacial akan membutuhkan cricotiroidektomi darurat atau trakeostomi elektif. Pasien
yang biasanya membutuhkan intervensi pembedahan jalan napas diantaranya dengan fraktur laring
dan dengan adanya cidera tusukan pada leher atau tenggorokan. Tindakan yang prioritas dalam
penanganan jalan napas adalah memastikan jalan napas bagian atas untuk mefasilitasi aliran udara
beroksigen tinggi pada penanganan awal dengan bag mask, dan untuk selanjutnya kebanyakan
dapat segera dilakukan intubasi endotracheal, atau pada sebagian kecil kasus dilakukan intervensi
pembedahan jalan napas.

Pernapasan

Pasien dengan gangguan respirasi tidak selalu mudah untuk dideteksi. Parameter sederhana, seperti
laju respirasi dan pernapasan adekuat yang dapat dinilai sederhana, harus dilakukan pada menit
pertama pasien datang. Salah satu yang paling penting adalah untuk mendeteksi adanya tension
pneumothorax, sehingga diperlukan tindakan drainase dengan needle thoracostomy dilanjutkan
dengan insersi chest tube. Keadaan yang mengancam nyawa seperti tension pneumothorax,
hematothorax masif, flail chest dan contusio pulmonal, tamponade jantung, dan cidera tracheo-
bronchial harus segera diidentifikasi dan di tatalaksana dalam hitungan menit sejak pasien datang.
Diagnosis klinis pada kondisi tersebut lebih sulit dilakukan dibandingkan secara teoritis, dan
ketersediaan X-ray thorax secara cepat sangatlah vital.

Sirkulasi

Penilaian derajat shock pada pasien dilakukan secara simultan dengan manajemen jalan napas.
Shock merupakan diagnosis klinis dan harus dapat ditegakkan segera. Cara tercepat yang pertama
kali dapat dilakukan adalah dengan palpasi ekstremitas. Apabila pasien menderita shock,
ekstremitasnya akan dingin dan pucat, pengisian vena yang berkurang dan capillary refill time yang
melambat. Denyut akan terasa lemah dan kesadaran akan menurun. Pada saat yang sama, status
vena leher harus diperiksa. Pasien yang shock dengan vena leher yang datar di diagnosis mengalami
shock hipovolemik sampai terbukti bukan. Namun apabila vena leher distensi, kemungkinan
penyebab tersering diantaranya:

 Tension pneumothorax
 Tamponade pericardial
 Kontusio miokard (shock kardiogenik)
 Infark Miokarf (shock kardiogenik)
 Emboli udara

Pitfall

Catatan bahwa tidak adanya vena leher yang distensi tidak berarti mengeksklusi diagnosis tersebut
karena volume sirkulasi bisa jadi sangat berkurang sehingga sirkulasi menjadi terlalu kosong.

Tension pneumothorax selalu menjadi diagnosis nomor satu untuk pertimbangan diagnosis banding
pasien shock karena tension pneumothorax merupakan keadaan yang mengancam nyawa namun
penanganannya paling mudah dilakukan di IGD. Manajemen definitifnya berupa tube thoracostomy
sederhana.

Tamponade pericardial kebanyakan terkena pada pasien dengan luka tusuk dibagian batang tubuh.
Sekitar 25% dari pasien dengan trauma yang mengenai jantung sampai di IGD dengan selamat.
Diagnosis biasanya cukup jelas. Pasien akan mengalami distensi vena dan penurunan perfusi perifer,
dan beberap pasien mengalami pulsus paradoxus. Pada beberapa pasien yang gejalanya kurang jelas
dapat dibantu dengan ultrasonography. Pericardiocentesis dapat menjadi tindakan diagnostik
maupun terapetik yang berguna. Terapi yang harus segera dilakukan yaitu thoracotomy, yang
sebaiknya dilakukan di ruang operasi, walaupun bisa juga dilakukan di IGD dalam rangka life-saving.

Kontusio miokard meruapakan kasus yang jarang menyebabkan gagal jantung pada pasien trauma.

Infark miokard dari oklusi koroner tidak jarang terjadi pada lansia.

Emboli udara, merupakan sebuah sindrom yang akhir-akhir ini dianggap penting untuk diketahui
pada pasien cidera; emboli udara menggambarkan adanya udara pada sirkulasi sistemik yang
disebabkan oleh fistul vena bronkopulmoner. Emboli udara muncul pada 4% dari seluruh cidera
toraks berat. Sebanyak 35% diantaranya disebabkan oleh trauma tumpul, biasanya laserasi dari
parenkim paru karena fraktur tulang rusuk. Pada 65% pasien disebabkan oleh luka tembak atau luka
tusuk. Ahli bedah harus waspada ketika pasien mengalami cidera pulmonal. Pasien yang tidak
diketahui mengalami cidera kepala yang jelas namun mengalami lateralisasi ataupun defisit
neurologis fokal mungkin mengalami sumbatan pada sirkulasi cerebral akibat gelembung udara.
Observasi adanya udara pada pembuluh darah retina dengan pemeriksaan funduskopi akan
mengkonfirmasi adanya emboli udara di cerebral.

Setiap pasien dengan intubasi dengan ventilasi tekanan positif yang tiba-tiba mengalami kolaps
kardiovaskular dianggap terkena tension pneumothorax atau emboli udara pada sirkulasi koroner.
Pengamatan pada arteri menggunakan doppler dapat berguna untuk mendeteksi adanya emboli
udara. Terapi definitif membutuhkan thoracotomy segara dilanjutkan menjepit hilus yang terkena
untuk menghindari emboli yang lebih parah, kemudian dilakukan ekspansi dari volume intravaskular.
Memu pijat jantung, adrenaline intravena (epinefrin) dan melubangi jantung kiri dan aorta dengan
jarum untuk membuang sisa udara mungik diperlukan. Terapi definitif cidera pulmonal dilakukan
dengan menjahit laserasi atau mereseksi lobus yang terkena.

Apabila penyebab pasien mengalami shock adalah kehilangan darah, maka yang dilakukan adalah
menghentikan perdarahan. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan, prioritasnya adalah:

 Meningkatkan akses ke sirkulasi


 Mendapatkan sampel darah pasien
 Memastikan sumber penyebab kehilangan darah
 Memberikan cairan resusitasi
 Mencegah dan mengatasi koagulopati
 Mencegah hipotermia

Akses yang dibuat sebaiknya sentral, melalui rute subklavian (dengan introducer 8 French
Gauge [FG]), atau yang lebih umum digunakan untuk melakukan pemasangan kateter arteri
pulmonal juga dapat digunakan), bisa juga melalui kanulasi perkutan dari vena femoralis
dengan kateter besar atau dengan 8 FG introducer (dapat juga dilakukan setinggi siku).
Alternatif lainnya untuk meningkatkan akses ke sirkulasi adalah dengan melakukan
pembedahan pada vena saphenous di ankle.
Segera setelah akses intravena telah terpasang, pemeriksaan darah sebagai baseline
dilakukan, diantaranya hematokrit, toksikologi, golongan darah dan crossmatch, dan juga
pemeriksaan tambahan lain apabila pasien sudah lansia ataupun memiliki penyakit
komorbid sebelumnya. Analisa gas darah harus dilakukan lebih awal yaitu saat resusitasi.
Prioritas ketiga adalah memastikan apakah pasien mungkin kehilangan darah yang tidak jelas
terlihat. Tiga sumber perdarahan yang tersembunyi adalah kavitas pleura, yang dapat
dieliminasi sebagai diagnosis menggunakan X-ray thorax, paha dan abdomen, termasuk
retroperineum dan pelvis. Fraktur femur biasanya secara klinis cukup jelas. Namun, penilaian
abdomen dengan hanya melihat tanda-tanda klinis dapat menyebabkan kesalahan diagnosis.
Sebanyak 50% pasien dengan hemoperitoneum tidak memunculkan gejala klinis. Logikanya
apabila hasil X-ray thoraks pasien normal dan tidak terdapat fraktur femur namun masih
mengalami shock, maka bisa diduga bahwa pasien mengalami perdarahan di abdomen atau
pelvis. Kebanyakan pasien tersebut membutuhkan tindakan laparotomy untuk menghindari
kematian akibat kehilangan darah. Hal yang paling penting adalah tidak menunda intervensi
terapetik untuk melakukan prosedur diagnostik yang tidak penting.
Prioritas ke empat bagi tenaga medis yang melakukan resusitasi adalah mengaktifkan
protokol perdarahan masif dengan memberikan cairan resusitasi, dimulai dengan kristaloid
kemudian menambah whole blood berdasarkan golongan darah atau komponen darah
sesegera mungkin.
Jenis cairan yang digunakan pada pasien hipotensi tergantung dari respon pasien terhadap
pemberian cairan. Apabila responnya cepat mungkin tidak diperlukan cairan selain kristaloid
untuk menggantikan defisit volume. Namun yang responnya lambat mungkin akan
membutuhkan koloid atau darah. Satu-satunya cara untuk menilai tekanan arteri di IGD atau
di ruang operasi adalah dengan menggunakan tekanan vena sentral. Pada pasien lansia
dengan cidera yang luas, pengawasan cardiac flow di awal cukup membantu. Resusitasi
harus dilakukan untuk mencapai konsumi oksigen dan transfer oksigen yang adekuat.
Kristaloid, koloid sintetik seperti gelatin dan dextrans, dan juga darah dapat menggantikan
volume intravaskuler pada pasien hipotensi. Jelas bahwa pasien yang dilakukan transfusi
masif membutuhkan kapasitas pengangkutan oksigen dari sel darah merah. Berdasarkan
data yang ditemukan bahwa trauma menyebabkan kebocoran sel di kapiler pulmonal, dan
penggunaan koloid akan membuat pasien tersebut lebih berisiko lagi. Penggunaan cairan
yang pekat pada pasien perdarahan memiliki efek negatif pada sistem koagulasi.
Bickel dan kawan kawan menemukan bahwa pasien yang bertahan hidup dengan trauma
tusuk pada batang tubuh akan membaik apabila penggantian cairan ditunda. Dia
mengatakan bahwa penggantian volume yang dilakukan segera akan mengganggu proses
blood clot yang sudah menutup sumber perdarahan.
Penelitian berikutnya menggunakan hemoglobin pembawa oksigen sama efektifnya sebagai
substitusi untuk darah.
Walaupun whole blood masih menjadi pilihan, namun biasanya sulit untuk mendapatkan
whole blood dari bank darah yang modern, yang biasanya lebih menyarankan penggunaan
komponen darah. Kehilangan lebih dari dua unit darah harus mulai mempertimbangkan
protokol perdarahan masif yang sudah dilakukan ( protokol transfusi masif terkini memiliki
panduan rasio packed red cells:fresh frozen plasma:platelets mimicking whole blood) dan
dipantau dengan tes koagulasi, tes laboratorium konvensional (hitung trombosit, INR, PT,
APTT, dan fibrinogen) dan tes fungsional apabila tersedia (TEG or RoTEM).
Kriteria yang menunjukkan transfusi sudah adekuat sangat sederhana dan jelas:
 Pertahankan pengisian arteri pada level normal
 Berikan cairan yang cukup untuk mencapai urin output yang adekuat (0,5 mL/kg per jam
pada dewasa, 1.0mL/kg per jam pada anak)
 Mempertahankan perfusi perifer

Satu-satunya cara untuk menilai tekanan pengisian arteri di IGD dan di ruang operasi secara
cepat adalah dengan CVP. Pada pasien lansia dengan cedera luas, memasang kateter arteri
pulmonal atau menggunakan komputer cardio lebih baik apabila dilakukan karena dapat
digunakan nantinya sebagai sambungan ke alat-alat resusitasi yang lebih canggih di ruang
operasi atau di ICU. Resusitasi harus dilakukan untuk mencapai aliran dan konsumsi oksigen
yang adekuat. Hal yang terpenting adalah untuk tidak menunda intervensi terapi yang
penting hanya untuk melakukan prosedur diagnostik yang tidak penting.

Status Neurologis (disabilitas)


Prioritas selanjutnya saat melakukan primary survey adalah menilai dengan cepat status
neurologis dan memulai melakukan diagnosis dan menentukan prioritas terapi. Komponen
kunci untuk melakukan evaluasi neurologis secara cepat adalah:
 Menilai derajat kesadaran
 Menilai ukuran dan reaktivitas pupil
 Menilai pergerakan bola mata dan respon okulovestibular
 Mendokumentasikan respon motorik otot skeletal
 Menilai tipe pernafasan
 Melakukan pemeriksaan sensoris perifer

Penurunan derajat kesadaran merupakan indikator tunggal yang bisa diajadikan acuan bahwa pasien
mungkin mengalami cidera kepala yang serius atau akibat sekunder (biasanya hipoksia atau
hipotensi) yang dialami otak. Kesadaran memiliki dua komponen: kesiagaan dan respon. Kesiagaan
di manifestasikan dengan perilaku yang terarah dan bertujuan. Penggunaan bahasa merupakan
indikasi berfungsinya hemisfer cerebral. Apabila pasien berusaha melindungi dirinya dari nyeri, hal
ini juga menandakan fungsi kortikal. Sedangkan, aspek fungsi merespon merupakan kesadaran
sederhana. Membuka mata, baik spontan maupun dengan stimulus, merupakan indikasi
berfungsinya batang otak. Koma merupakan keadaan patologis ketika kedua komponen kesadaran
tersebut sudah tidak berfungsi. Pasien tidak membuka mata, tidak bisa berbicara secara
komprehensif, dan pergerakan ekstremitas dengan perintah ataupun dengan stimulus tidak dapat
dilakukan.

Dengan menilai keenam komponen dan 4 refleks (ankle, lutuu, biceps dan triceps) serta mengulang
pemeriksaan tersebut dalam interval yang sering, maka akan memudahkan melakukan diagnosis
sekaligus memonitor status neurologis di IGD. Perbaikan status neurologis mendukung kesimpulan
bahwa resusitasi yang dilakukan oleh tenaga medis memperbaika aliran darah otak. Deteriorasi
neurologis merupakan sebuah bukti kuat untuk dugaan adanya lesi massa atau adanya cidera
neurologis yang signifikan. CT Scan kepala merupakan pemeriksaan definitif untuk cidera kepala dan
harus dilakukan sesegera mungkin.

Lingkungan

Pakaian harus dilepas untuk memeriksa keseluruhan tubuh pasien. Log-roll perlu dipertimbangkan,
khususnya pada luka tembus, dalam rangka mengidentifikasi keseluruhan luka. Pasien dalam kondisi
mengalami risiko hipotermia sehingga harus dilakukan penghangatan secepatnya.

Suhu tubuh pasien traumu menurun dengan cepat, dan apabila sudah terjebak dalam keadaan
hipotermi maka pasien akan masuk ke ruang resusitasi dengan kondisi hipotermi tersebut.
Kemudian akan diperparah dengan pemberian cairan yang suhunya dingin, adanya luka di perut dan
dada, serta baju yang sudah dilepas. Kebanyakan pasien akan mengalami penurunan suhu sebanyak
20celcius apabila tidak dilakukan penanganan hipotermi segera. Seluruh cairan harus sesuai dengan
suhu tubuh atau diatasnya, dan alat yang menghangatkan cairan pada aliran tinggi tersedia dalam
infusan. Pasien dapat diposisikan pada matras yang hangat, dan lingkungannya harus dibuat tetap
hangat dengan diselimuti udara hangat. Penilaian awal suhu inti tubuh penting dilakukan untuk
menghindari kehilangan panas yang akan menjadi presdiposisi terjadinya masalah koagulasi.
Hipotermia akan merubah kurva disosiasi oksigen ke arah kiri, menurunkan aliran oksigen,
menurunkan kemampuan liver untuk memetabolisme sitrat dan asam laktat sehingga dapat
menyebabkan aritmia.

Prosedur diagnosis yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
setelah dilakukan primary survey diantaranya:

 X ray dada
 Foto polos pelvis
FAST juga dapat membantu dalam hal:
 Menilai apakah ada darah dalam rongga dada dan abdomen
 Untuk mengeliminasi tamponade jantung

Perlu ditekankan bahwa tindakan resusitasi tidak boleh dihentikan selama melakukan prosedur
diagnostik tersebut, dan tim resusitasi harus memakai pelindung apron. Sebaiknya, fasilitas X-ray
tersedia di IGD, dan X ray dasar dapat dilakukan dengan mesin portable.

1.2.1.2 Secondary Survey


Akhirnya, apabila pasien sudah stabil, dilakukan prosedur diagnostik dan secondary survey.
Namun, apabila kondisi pasien masih tidak stabil, maka perlu segera dibawa ke ruang
operasi untuk mendapatkan hemostasis melalui pembedahan, atau ke ICU bedah.
Pasien harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh dari ‘top-to-toe’ dan ‘front-to back’.
Apabila hemodinamik pasien masih tidak stabil, letak perdarahannya biasanya :
‘Darah di lantai, dan empat lainnya’
 Perdarahan eksternal (‘blood on the floor’)... dan empat lainnya
 Perdarahan ke dalam rongga dada (eliminasi menggunakan X-ray dada)
 Perdarahan ke dalam kavum abdomen
 Perdarahan ke dalam kavum pelvis (eliminasi dengan pemeriksaan klinis dan X-ray
pelvis)
 Perdarahan ke dalam ekstremitas (eliminasi dengan pemeriksaan klinis dan X-ray
tulang panjang)

Investigasi dan penilaian abdomen dapat dilakukan berdasarkan tiga kelompok:


 Pasien dengan norma abdomen
 Kelompok yang memerlukan investigasi lebih lanjut
 Pasien yang jelas memiliki cidera di abdomen

Pasien dengan hemodinamik normal

Terdapat waktu yang cukup banyak untuk melakukan evaluasi pada pasien, dan dapat dilakukan
keputusan untuk melakukan pembedahan atau manajemen non operatif. CT scan masih menjadi
modalitas pilihan

Pasien dengan hemodinamik stabil

Pasien stabil, yang hemodinamiknya tidak normal, namun masih dapat mempertahankan tekanan
darah, dan parameter lainnya dengan resusitasi, dapat dikatakan berada dalam kondisi:

 Antara pasien mengalami perdarahan ke kavum abdomen


 Atau perdarahannya telah berhenti
Maka dari itu, investigasi serial sejumlah parameter kuantitatif akan dapat membantu
penilaian kondisi pasien tersebut. CT scan masih menjadi modalitas pilihan karena bisa
mendukung kewaspadaan apabila pasien memiliki kemungkinan menjadi tidak stabil.
Pasien dengan hemodinamik tidak stabil
Usaha yang dilakukan harus dapat menentukan letak perdarahan, contohnya rongga dada,
pelvid atau kavum abdomen. Hasil X ray dada dan pelvis yang normal akan semakin
mendukung sumber perdarahan berada di kavum abdomen.
Modalitas diagnostik yang tersedia sangat terbatas. FAST merupakan modalitas yang dapat
mendeteksi adanya cairan bebas di abdomen dan perikardium, namun akurasinya
tergantung pada operator, namun apabila tidak ditemukan perdarahan pada pemeriksaan
FAST bukan berarti dapat mengeliminasi perdarahan intraabdomen. Diagnostic peritoneal
lavage (DPL) masih menjadi modalitas yang paling sensitif, murahm dan tersedia untuk
mengkonfirmasi keberadaan darah di kavum abdomen. Yang paling penting, DPL dan FAST
dapat dilakukan tanpa harus memindahkan pasien dari area resusitasi, mengingat pasien
yang tidak stabil belum dapat dilakukan CT scan, bahkan apabila telah tersedia.
Selama resusitasi, panduan standard ATLS harus diikuti. Diantaranya:
 Nasogastric tube atau orogastric tube
 Kateter urin

1.2.2 Manajemen luka tembus

Banyak kekuatan yang dapat menyebabkan cidera pada batang tubuh yang dapat mengenai lapisan
luar tubuh yang didalamnya terdapat organ visera. Luka tembus paling sering diakibatkan oleh pisau,
peluru dan tusukan. Luka pisau dan tusukan biasanya mengakibatkan luka tusuk yang tipis, dan
kematian biasanya berhubungan dengan organ yang terkena. Efek sekunder seperti infeksi biasanya
disebabkan sifat senjata dan material (sepert pakaian dan material asing lainnya) yang terbawa oleh
peluru kedalam organ tubuh. Infeksi juga dipengaruhi oleh sisa material yang terkena luka ke organ
berongga. Sebagai pembanding, luka peluru akan menyebabkan kerusakan yang lebih luas
sehubungan dengan energi kinetik yang dijelaskan:

KE=1/2MV2

Dimana M=massa, dan V=kecepatan

Mungkin yang lebih tepat adalah konsep ‘wounding energy’ (WE), seperti yang dijabarkan:

WE=1/2M(VEN-VEX)2

Dimana M=massa, VEN= kecepatan saat masuk, dan VEX=kecepatan saat keluar

Kecepatan penting untuk menentukan energy kinetik akhir. Apabila kecepatan keluar tinggi, cidera
yang dialami jaringan sangat sedikit. Dengan demikian, peluru dibuat agar misil menyebar dan
menumpahkan seluruh energi pada jaringan yang terkena. Karakteristik lainnya dari misil adalah
kontribusinya dalam destruksi jaringan, termasuk melepuh, terbakar, dan terkoyak. Telah disebutkan
bahwa jaringan yang rusak biasanya disebabkan senjata dengan kecepatan yang lebih tinggi
(>800m/s). Tembakan dari shotgun mungkin menjadi yang paling merusak mengingat seluruh energi
dikenakan ke dalam jaringan.

Komponen yang sama pentingnya dari pemeriksaan fisik yaitu mendeskripsikan luka tembus. Ahli
bedah tidak perlu menandari luka masuk dan keluar kecuali diharuskan. Sebagai contoh pada pasien
dengan luka tembak tunggal tanpa adanya luka keluar. Namun, pada umumnya, lebih baik
mendeskripsikan apakah luka berbentuk circular atau ovoid dan apakah ada kelim jelaga atau kelim
lecet bekas dari mulut senjata api. Sama dengan luka tusuk harus dideskripsikan sebagai
longitudinal, bentuk segitiga atau circular tergantung dari instrumen yang digunakan. Pengalaman
menunjukkan bahwa ahli bedah yang mendeskripsikan luka masuk atau keluar mengalami kesalahan
sebanyak 50%. Pengalaman dari patologi forensik diperlukan untuk lebih akurat.

Langkah yang baik untuk meletakkan objek metal seperti paper clip pada kulit yang menunjukkan
berbagai macam luka pada dinding dada sehingga membantu ahli bedah untuk melacak jalur misil.
Hal ini juga berguna untuk luka tusuk. Melacak misil akan membantu ahli bedah untuk mengetahui
organ visera mana yang terkena cidera, apakah ada kemungkinan terjadi pergeseran diaphragma
dan atau mediastinum. Direkomendasikan untuk meletakkan paper clip yang tidak dilipat pada sisi
anterior luka tembus dan yang dilipat pada sisi posterior.

1.3 Operasi di IGD


Management kegawatdaruratan pada pasien trauma yang kritis masih menjadi substansi yang
menantang. Penting untuk memiliki rencana yang sederhana dan efektif agar dapat memenuhi
tantangan meresusitasi pasien yang sekarat. Sepanjang prinsip ATLS tetap dilakukan.
Sebagai dasar pertimbangan, untuk semua kasus trauma major dengan tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg, terdapat 50% kemungkinan mengalami kematian, yang dalam satu
pertiga kasus, akan terjadi pada 30 menit selanjutnya. Apabila kematian terjadi pada 5 menit
berikutnya, penting untuk menentukan rongga tubuh yang mana yang akan menyebabkan
kematian, sebagaimana satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan mengontrol
perdarahan dengan segera.
Apabila kematian terjadi di jam berikutnya, masih ada waktu untuk memproses dengan
investigasi dengan radiologi ataupun alat diagnosis lain, untuk menentukan organ mana yang
terkena dengan akurat, dan juga mempengaruhi rencana operatif untuk manajemen keadaan
yang mengancam nyawa.

1.3.1 Cidera Craniofacial


Merupakan hal yang jarang namun mungkin untuk mengalami perdarahan masif dari laserasi
kulit kepala yang luas. Untuk alasan ini, penting untuk meningkatkan kontrol pada laserasi
kulit kepala dengan secepatnya memasang klip operasi atau tekanan primer dengan
melakukan penjahitan segera.
Kebanyakan penyebab kematian adalah lesi intracranial. Ekstradural hematom dan
hematom subdural dapat menyebabkan kematian dengan cepat. Diagnosis yang cepat
dengan melihat dilatasi pupil ipsilateral dengan plegi kontralateral cukup untuk mengetahui
adanya peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan. Waktu bisa digunakan untuk
melakukan hiperventilasi untuk menimbulkan hypocarbia dan vasokonstriksi.
Perhatian harus difokuskan untuk memonitoring karbon dioksida sebagai indiikator PaCO2,
yang tidak boleh dibawah 30mmHg (5kPa). Hal ini seharusnya mengurangi volume
intrakranial dan akhirnya berkurangnya tekanan intrakranial. Sehingga harus adanya efek
positif segera yang biasanya bertahan cukup lama untuk melakukan CT scan guna
mengetahui letak spesifik dari lesi dan tipe hematoma. Hal ini akan membantu ahli bedah
untuk mengetahui lokasi kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.
Manitol intravena harus diberikan melalui injeksi bolus dengan dosis 0.5-1.0g/kg. Pemberian
tidak boleh ditunda dengan prosedur diagnostik ataupun terapetik lain.
Pada kasus cidera wajah yang berat (dan biasanya berhubungan dengan cedera leher berat),
kontrol pembedahan jalan napas penting dilakukan sesuai dengan teknik yang dijelaskan
ATLS.

1.3.2 Trauma dada


Trauma lethal pada dada termasuk tension pneumothorax dan tamponade jantung dan
transeksi aorta.
Tension pneumothorax didiagnosis secara klinis dengan sisi lesi yang hipertimpani dan
berkurangnya suara napas pada sisi yang terkena. Biasanya terdapat peningkatan JVP pada
vena leher. Hal tersebut merupakan diagnosis klinis, yang apabila sudah dibuat maka
dilakukan segera needle thoracostomy atau tube thoracostomy. Selang kemudian harus
diletakkan dibawah air.
Diagnosis tamponade jantung biasanya sulit untuk ditegakkan. Biasanya dihubungkan
dengan hipotensi dan peningkatan JVP. Terdapat adanya bunyi jantung yan menjauh, namun
hal ini sulit untuk didengar pada keadaan ruang resusitasi yang berisik. Memasang akses
vena sentral dengan tekanan vena yang tinggi dapat mengkonfirmasi diagnosis tersebut.
Apabila tersedia USG dapat dilakukan untuk mebantu menentukan diagnosis. Sekali
diagnosis ditegakkan, tamponade perlu tindakan segera apabila pasien hipotensi. Pada kasus
luka tembus ke jantung atau luka tumpul yang menyebabkan robekan jantung, biasanya
terdapat adanya sumbatan substansial di pericardium. Needle Pericardiocentesis mungkin
dapat mengaspirasi beberapa mililiter darah serta dilakukan resusiatasi volume yang cepat
dengan meningkatkan preload dapat memberikan cukup waktu utnuk memindahkan ke
ruang operasi.
Jauh lebih baik untuk melakukan thoracotomy di ruang operasi, apakah dengan metode
anterolateral atau dengan sternotomy median, dengan cahaya yang baik dan asisten yang
memadai dimungkinkan untuk dilakukan autotransfusi dan bypass, dibandingkan
melakukannya di ruang resusitasi. Namun, apabila ekstremitas pasien dengan tekanan darah
kurang dari 40mmHg atau lebih rendah padahal sudah dilakukan resusitasi, maka tidak ada
pilihan lain untuk melakukan thoracotomy anterior kiri dengan segera untuk tatalaksana
tamponade dan mengontrol cidera pada jantung. Apabila ada tanda jelas luka tembus
jantung apakah di ventrikel kanan atau kiri, kateter Foley dapat dimasukkan kedalam lubang
kemudian balon dikembangkan untuk membuat tampon. Pada akhirnya kateter foley harus
di klem. Perawatan yang baik harus dilakukan untuk meminimalisit traksi pada folley hanya
cukup untuk mengunci. Traksi yang belebihan akan menarik kateter dan memperlebar luka
dengan merobek otot. Apabila perdarahan sudah terkontrol, luka akan dengan mudah dapat
dijahit.
Transeksi aorta biasanya didiagnosis dengan mediastinum yang melebar dan dikonfirmasi
dengan arteriogram atau dengan CT scan. Sekali diagnosis ditegakkan maka penting untuk
melakukan repair aorta di ruang operasi sesegera mungkin. Pada umumnya, perlu dilakukan
kontrol tekanan darah pada 100mmHg supaya tidak mempercepat ruptur dari transeksi.
NB: cidera abdomen umunya lebih diutamakan dibanding cidera aorta
Perdarahan masif dari pembuluh darah intercostal sekunder karena patah tulang iga
biasanya berhenti tanpa perlu intervensi operatif. Hal ini juga terjadi pada perdarahan di
sistem pulmonal. Penting untuk mengumpulkan darah dari hemithoraks pasien ke alat
autotransfusi agar darah tersebut bisa dikembalikan ke pasien.

1.3.3 Trauma Abdomen


Perdarahan intraperitoneum atau retroperineum yang signifikan dapat menjadi alasan untuk
segera masuk ke ruang operasi. Abdomen bisa distensi dan pekak pada perkusi. Diagnosis
defintif dapat memakai DPL, USG atau CT scan. Keputusan untuk mealkukan operasi untuk
perdarahan berdasarkan dari status hemodinamik.
FAST juga berguna karena spesifik untuk darah diperitoneum, namun tergantung pada
operator. Sensitivitas untuk hemoperitoneum bervariasi pada literatur terbaru. FAST yang
positif pada pasien yang tidak stabil merupakan indikasi laparotomy. Sebaliknya, hasil yang
negatif tidak mengeliminasi perdarahan intraabdomen, dan pengulangan FAST atau
pemeriksaan lainnya perlu dipertimbangkan.
DPL mudah dilakukan dan memberikan hasil yang sensitif namun tidak spesifik. Sebanyak
10mL darah pada aspirasi awal kateter DPL merupakan hasil positif, atau hitung sel lebih dari
105 sel darah merah per milimeter kubik mengindikasikan tindakan laparotomy segera pada
pasien yang hemodinamik tidak stabil. Karena tingginya sensitivitas, maka hasil negatif dari
DPL mengeliminasi adanya darah lebih dari 20mL di kavum abdomen.
CT scan memiliki sensitivitas lebih tinggi dan sangat spesifik untuk tipe, karakter, dan
keparahan cidera. Namun, pasien yang kondisinya tidak stabil tidak boleh dilakukan CT scan.
Manajemen non operatif merupakan terapi pilihan pada pasien dengan hemodinamik stabil
dengan cidera lien dan hepar tanpa memperdulikan derajat cidera .

1.3.4 Trauma Pelvis


Fraktur pelvis dapat menyebabkan perdarahan yang signifkan dan kematian. Penting untuk
mengembalikan pelvis kedalam konfigurasi aslinya sesegera mungkin. Sebagai prosedur
emergensi, pengikat pelvis atau alat fiksasi lainnya dapat digunakan. Ada juga fiksasi
eksternal seperti C-clamp dan eksternal fiksator, yang dapat dipasang di ruang resusitasi,
yang akan mengembalikan anatomi pelvis menjadi normal dengan cepat. Namun, fiksasinya
akan memakan banyak waktu, membutuhkan skill dan tidak memiliki keuntungan dibanding
fiksator non invasif untuk manajemen awal. Dengan kembali normalnya pelvis maka akan
menekan hematom di pelvis. Semenjak 85% perdarahan pelvis merupakan perdarahan vena
maka penekanan hematom biasanya cukup untuk menghentikan perdarahan pelvis.
Apabila pasien masih hipotensi, resusitasi perlu dilanjutkan, dan perlu dipertimbangkan
angiogram sehingga dapat melihat adanya perdarahan arteri di perlvis yang signifikan.
Apabila tidak ada perdarahan di pelvis, maka arteriogram organ padat di abdomen dapat
dilakukan untuk menilai adanya potensi embolisasi. Apabila pasien kehabisan darah karena
cidera pelvis atau hemodinamiknya tidak satbail, maka pembedahan perlu dilakukan dengan
packing ekstraperitoneal dari pelvis dikombinasikan dengan laparotomy sebelum
angiography.

1.3.5 Fraktur tulang panjang


Fraktur tulang panjang khususnya femur dapat mengalami perdarahan yang signifikan.
Kontrol kerusakannya biasanya dengan fiksasi eksternal. Terapi segera untuk pasien dengan
hipotensi dari fraktur femur adalah dengan memasang traksi pada distal dari kaki, menarik
femur sesuai dengan anatominya. Hal ini bukan hanya meluruskan tulang namun juga
merekonfigurasi cylindrical nature dari paha. Juga memberikan efek tampon dengan segera
pada otot paha. Pelu dilakukan perawatan traksi dengan Thomas atau Hare splint traksi.
Perhatian harus difokuskan pada denyut nadi distal untuk meyakinkan bahwa masih ada
aliran arteri. Apabila denyut tidak ditemukan, maka perlu dilakukan arteriogram untuk
menilai adanya cidera pada struktur pembuluh darah major. Selanjutnya diputuskan waktu
untuk repair arteri sekaligus fiksasi tulang. Mengembalikan perfusi ke kaki lebih prioritas
dibanding terapi fraktur.

1.3.6 Cidera vaskular perifer


Cidera vaskular perifer bukan hal yang mengancam nyawa apabila perdarahannya
terkontrol. Namun, penting untuk menilai adanya iskemi dan keutuhan vaskular terjaga,
mengingat hal tersebut akan mempengaruhi rencana berikutnya.
Setiap IGD harus memiliki akses monitor Doppler untuk menilai tekanan dan aliran. Apabila
ada keraguan bahwa pembuluh darah paten atau tidak, maka ABI harus dinilai; apabila
kurang dari 0.9, arteriogram perlu dilakukan. Waktu dan ketersediaan tempat akan
memutuskan apakah pasien akan dioindahkan ke ruang angiography atau melakukan
angiogram hanya di IGD atau di ruang operasi. Walaupun lebih baik melakukan di ruang
angiography, namun tidak selalu memungkinkan dan biasanya alat-alat yang penting tidak
tersedia. Apabil ada keraguan, maka selalu dipertimbangkan menggunakan angiogram di IGD

1.4 Rangkuman
Keputusan untuk melakukan operasi di IGD ataupun di ruang operasi harus melalui overview dari
kegawatan dan hasil yang diharapkan.
Perlu untuk memiliki rencana yang matang untuk menghadapi pasien trauma yang sekarat agar
diagnosis klinis dan investigasi yang relevan dapat dilakukan segera dan terapi operatif dan non
operatif dapat diimplementasikan. Tidak ada gunanya apabila hanya mengubah tempat
kematian.

Anda mungkin juga menyukai