Anda di halaman 1dari 46

2.

1 RESPON METABOLIK TERHADAP TRAUMA

2.1.1 Definisi trauma

Luka yang terjadi pada tubuh selalu diiringi oleh efek lokal dan sistemik.
Stress akan memulai respon metabolik terhadap trauma. Mengikuti trauma, respon
tubuh lokal yang terjadi adalah dengan berupa inflamasi, dengan cara-cara yang
protektif, dan menjaga cairan dan energy untuk proses perbaikan. Resusitasi yang
tepat dapat mendukung respon tetapi tidak akan mengakhirinya.

Respon ditandai dengan reaksi katabolic akut, yang mendahului proses


metabolik dari pemulihan dan perbaikan. Respon metabolik terhadap trauma ini
dibagi menjadi fase pasang (flow) dan surut (ebb) oleh Cuthbertson pada 1932.1 Fase
surut adalah fase yang singkat pada saat periode syok berat ditandai dengan
penurunan aktivitas enzimatik dan konsumsi oksigen. Setelah resusitasi efektif telah
tercapai dengan adanya transport oksigen yang adekuat, fase pasang dimulai. Fase
pasang atau flow ini dapat dibagi menjadi:

- Fase katabolic dengan mobilisasi protein dan lemak yang berkaitan dengan
peningkatan eksresi nitrogen urin dan penurunan berat badan.
- Fase anabolic dengan restorasi simpanan lemak dan protein, dan penambahan
berat badan

Fase pasang ditandai dengan kadar glukosa darah yang normal atau sedikit
meningkat, peningkatan produksi glukosa, peningkatan kadar asam lemak bebas,
peningkatan konsentrasi insulin, peningkatan kadar katekolamin dan glukagon, kadar
laktat darah normal, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan kardiak output, dan
peningkatan suhu inti tubuh. Semua respon ini tampak oleh perubahan sirkulasi yang
hiperdinamik, tanda-tanda inflamasi, intoleransi glukosa dan muscle wasting.

2.1.2 Faktor inisiasi


Besarnya respon metabolik tergantung pada derajat trauma dan faktor
pendukung yang mengiringi seperti infeksi, nekrosis jaringan, dan adanya penyakit
sistemik yang sudah ada. Respon akan bergantung juga pada usia dan jenis kelamin,
status nutrisi, waktu terapi dan efektivitasnya. Secara umum, semakin berat trauma,
respon metabolik akan semakin hebat.

Respon metabolik tampaknya menjadi kurang begitu agresif pada pasien


anak-anak dan usia lanjut, dan wanita premenopaus. Penurunan nutrisi dan kurangnya
asupan makanan juga akan memengaruhi respon. Pasien dengan status nutrisi atau
imunologi yang buruk memiliki respon metabolik yang rendah, di mana luka bakar
menjadi penyebab respon metabolik yang lebih besar dibanding trauma lain/

Bila memungkinkan, usaha harus dibuat untuk menurunkan besarnya


kerusakan karena hal tersebut dapat menurunkan perubahan metabolik. Maka,
resusitasi agresif, kontrol nyeri dan suhu, debridement jaringan yang adekuat,
pemberian produk darah yang hati-hati, dan pemberian nutrisi yang tepat merupakan
hal-hal yang sangat penting. Faktor-faktor presipitasi dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori berikut.

2.1.2.1 Hipovolemia

- Penurunan volume darah sirkulasi


- Peningkatan kehilangan cairan
- Kehilangan volume interstitial
- Pergeseran cairan ekstraseluler

2.1.2.2 Impuls afferent

- Somatik
- Autonomik
- Peningkatan impuls simpatis
- Penurunan impuls kolinergik
2.1.2.3 Faktor luka: inflamatorik dan seluler

- Neutrofil – superoksida, elastase


- Trombosit
- Makrofag
- Sel endotel
- Sitokin – IL-2, IL-6, IL-8, TNF, PGE2
- Eikosanoid – Leukotrien B4 dan C4, thromboxane A2
- Damage-associated molecular patterns (DAMPs).

2.1.2.4 Toksin/Sepsis

- Endotoksin
- Eksotoksin

2.1.2.5 Radikal bebas: superoksida dan derivatnya.

2.1.2.6 Hipovolemia

Hipovolemia, terutama hipoperfusi jaringan, adalah presipitator paling besar


dari respon metabolik. Hipovolemia dapat juga akibat kehilangan cairan eksternal,
pergeseran cairan ekstraseluler, dan perubahan dalam osmolalitas plasma. Tetapi,
penyebab utama adalah kehilangan darah. Hipovolemia akan menstimulasi
katekolamin yang akan memicu respon neuroendokrin. Hal ini memainkan peran
penting dalam konservasi elektrolit dan katabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.

2.1.2.7 Impuls afferent

Respon hormonal diinisiasi oleh nyeri dan kecemasan. Respon metabolik


dapat dimodifikasi dengan pemberian analgesik yang adekuat. Blok somatic dapat
dibutuhkan bersama dengan blok autonomic, untuk meminimalisir respon metabolik.

2.1.2.8 Faktor luka


Faktor endogenik dapat memperpanjang atau bahkan memicu kembali suatu
trauma, meskipun penyebab primer sudah dilakukan dengan baik. Kerusakan jaringan
mengaktifkan respon yang luas via Toll-like receptors (TLRs) melalui dua jalur:

- Jalur inflamasi
- Jalur seluler

Aktivasi mediator inflamasi endogen yang tidak terkontrol dapat


menyebabkan sindroma ini. Baik produk humoral atau derivate sel memainkan peran
dalam patofisiologi disfungsi organ.2 Penting untuk memonitor abnormalitas
biokimia dan imunologi paska trauma.

2.1.3 Respon Imun

Respon imun adalah hal kompleks dan terdiri dari peningkatan kerja sistem
imun bawaan dan penurunan kerja sistem imun bawaan. Besarnya respon ini dapat
berbeda-beda menurut kedalaman dan durasi dari trauma.

2.1.3.1 Jalur inflamatorik

Mediator inflamasi pada kasus trauma telah diketahui berimplikasi pada


induksi disfungsi membrane. Neutrofil diketahui memicu proses inflamasi selama
lebih dari 100 tahun, tetapi kini kita mengetahui bahwa respon awal melibatkan
trombosit, makrofag, endotel dan epithelium.

Sitokin

Istilah ‘sitokin’ mengacu pada kelompok luas polipeptida dan glikoprotein


yang merupakan mediator penting inflamasi. Mereka diproduksi oleh berbagai jenis
sel tetapi sebagian besar oleh leukosit. Sitokin secara umum terbagi menjadi sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi, tetapi beberapa seperti IL-6 memiliki kedua efek.
Diskusi terkait sitokin lebih jauh dipersulit dengan nomenklatur yang
membingungkan. Banya sitokin ditemukan pada penamaan yang berbeda seperti
tumour necrosis factor (TNF), yang awalnya diberi nama cachectin. Nomenklatur
terkini menganut sistem yang lebih konsisten. Istilah ‘interleukin’ digunakan bersama
dengan angka, contoh IL-6.

Sitokin proinflamasi

Beberapa sitokin, terutama TNF, IL-1, dan IL-8 menyebabkan respon


inflamasi dengan meningkatkan regulasi ekspresi gen yang menghasilkan mediator
proinflamasi. Sitokin proinflamasi juga memediasi inflamasi dengan mengaktifkan
neutrofil, endotel, dan epitel – yang semuanya mengarah pada kerusakan jaringan.
Sitokin ini juga menstimulasi sel endotel untuk menghasilkan substansi lain yang
disebut kemokin (contoh IL-8) yang menyebabkan migrasi leukosit ke jaringan dan
produksi IL-1. Seperti TNF, IL-1 merupakan responder primer dari kaskade
inflamatorik, dan aksinya serupa dengan TNF tetapi tidak dapat menyebabkan
apoptosis.

Interferon gamma diproduksi sebagai respon terhadap antigen, dipicu oleh IL-
12. Sitokin ini mengaktifkan makrofag. IL-12 diproduksi oleh fagosit mononuklear
dan sel dendritik sebagai respon terhadap mikroba intraseluler. Interleukin-6
diproduksi oleh fagosit mononuklear, sel endotel, dan fibroblast, berperan dalam
proses proinflamasi dengan menyediakan rangsangan poten untuk sintesis protein
fase akut oleh hepatosit.

Tidak seperti sitokin di atas, yang menunjukkan keterlibatannya dalam


inflamasi via sistem imun bawaan, IL-12 memiliki efek mediasi imunitas didapat dan
memiliki fungsi imunomodulator juga.

Sitokin antiinflamasi

Sitokin antiinflamasi memiliki efek berupa inhibisi produksi sitokin


preinflamatorik atau dengan menghambat aksinya. Sitokin ini menurunkan ekspresi
gen dan mencegah efek inflamasi. Interleukin-10 penting dalam mengontrol imunitas
bawaan. Sitokin ini dapat mencegah demam, pelepasan sitokin proinflamasi, dan
menghentikan aktivasi kaskade selama terjadi pelepasan endotoksin. Modulator
antiinflamasi poten lainnya adalah IL-4, IL-13, dan transforming growth factor-beta.

Modulasi aktivitas sitokin pada sepsis, systemic inflammatory respon syndrome


(SIRS), dan SIRS terkompensasi.

Aktivitas inflamasi sistemik, yang dapat terjadi sebagai respon rangsangan


infeksi atau non-infeksi, adalah fenomena fundamental, yang mana SIRS terjadi
sebagai respon terhadap sebuah rangsangan, dan respon inflamatorik seluruh tubuh
dapat menyebabkan sindrom gagal organ multipel, yang erat kaitannya dengan
mortalitas yang lebih dari 50%. Awalnya diduga SIRS dan sepsis merupakan suatu
kondisi yang menyebabkan respon imun proinflamasi yang berlebih, diperantarai oleh
TNF dan sitokin-sitokin lain. Sekarang terdapat pandangan lain yang mengatakan
bahwa tubuh juga menghasilkan suatu sitokin antiinflamasi kompensasi sehingga
menyebabkan SIRS terkompensasi atau compensatory antiinflamatory response
syndrome (CARS). Jelas bahwa peran sitokin pada sepsis sangat kompleks, dengan
faktor proinflamasi dan antiinflamasi memainkan peran dan menentukan outcome
klinis.

Protein C teraktivasi (Xigris)

Faktor proinflamasi memiliki peran dalam memicu kaskade koagulasi dengan


cara merangsang pelepasan tissue factor dari monosit dan endotel vaskular,
menyebabkan pembentukan thrombin dan clot fibrin. Pada saat yang sama, thrombin
merangsang banyak jalur inflamasi dan menurunkan respon antikoagulan alami
dengan mengaktifkan inhibitor fibrinolisis. Prokoagulan ini menyebabkan thrombosis
mikrovaskuler dan berkaitan dengan kegagalan organ multipel dengan sepsis. Di sisi
lain, ikatan thrombin dengan thrombomodulin endotel membentuk protein C, yang
merupakan antikoagulan endogen.
Eicosanoid

Senyawa ini merupaka derivate asam lemak eicosapolienoik. Mereka terbagi


menjadi prostanoid (precursor dari prostaglandin/PG) dan leukotrien (LT).
Eikosanoid disintesis dari asam arakidonat (AA), yang berasal dari membrane sel
fosfolipid oleh aksi fosfolipase A2. Cyclo-oxygenase mengubah AA menjadi
prostanoid, prostacyclin (PGIs) dan TXs. Istilahh ‘prostaglandin’ digunakan untuk
menyebut semua prostanoid. LT diproduksi oleh aksi 5’-lipoxygenase pada AA
dengan produk hasil dari LTA4 dan LTC4 sintase. Eicosanoid memodulasi aliran
darah ke organ dan jaringan dengan mengganggu keseimbangan lokal antara produksi
komponen vasodilator dan vasokonstriktor, dan secara langsung merangsang berbagai
sel imun.

Prostanoid (PG seri E dan F), PGI2 dan TX tidak hanya menyebabkan
vasokonstriktor (TXA2 dan PGF1), tetapi juga vasodilatasi (PGI2, PGE1 dan PGE2).
TXA2 mengaktifkan dan mengaggregasi trombosit dan sel darah putih, dan PGI2 dan
PGE1 menginhibisi sel darah putih dan trombosit. LTB4 adalah kemoatraktan dan
aktivator sel PMN yang sangat poten, sementara LTC4 menyebabkan vasokonstriktor,
peningkatan permeabilitas kapiler dan bronkokonstriksi.

2.1.3.2 Jalur Seluler

Jalur klasik dari aktivasi komplemen melibatkan interaksi antara antibody


inisial dan komponen komplemen C1, C4, dan C2. Pada jalur klasik, interaksi ini
akan membelah produk komplemen C3 dan C5, via proteolisis, dan menghasilkan
faktor kemotaktik kuat C3a dan C5a.

Jalur alternative yang terkenal tampaknya menjadi rute utama yang terjadi
setelah trauma. Diaktivasi oleh protein D atau B, untuk mengaktifkan C3 convertase,
yang membentuk anaphylatoxin C3a dan C5a. Aktivasi ini muncul sebagai pemicu
paling awal untuk mengaktifkan sistem seluler dan bertanggungjawab untuk agregasi
neutrofil dan aktivasi basofil, sel mast, dan platelet untuk mensekresi histamine dan
serotonin, yang mengganggu permeabilitas vaskular dan sangat vasoaktif. Pada
pasien trauma, kadar serum C3 berbanding terbalik dengan Injury Severity Score. 3
Pengukuran C3a sangat berguna karena produk lain dieliminasi dari sirkulasi
secaracepat.

Fragment short-lived dari kaskade komplemen, C3a dan C5a, menstimulasi


makrofag untuk mensekresikan IL-1 dan produk proteolysis-inducing factor (PIF).
Hal ini menyebabkan proteolysis dan lipolisis dengan demam. IL-1 mengaktifka sel
T4 helper untuk memproduksi IL-2, yang meningkatkan imunitas dimediasi sel. IL-1
dan PIF adalah mediator poten yang menstimulasi sel liver, sumsum tulang, lien, dan
nodus limfatikus untuk memproduksi protein fase aku yang mencakup komplemen,
fibrinogen, macroglobulin alpha2 dan protein lain untuk mekanisme pertahanan.

Aktivasi faktor XII (Hageman factor A) menstimulasi kallikrein untuk


memproduksi bradykinin dari bradykininogen, yang juga memengaruhi permeabilitas
kapiler dan vasoaktifitas. Kombinasi kedua reaksi ini menyebabkan respon inflamasi.

2.1.3.3 Toksin

Endotoksin adalah komponen lipopolisakarida dari dinding sel bakteri.


Endotoksin menyebabkan marginasi vaskular dan sekuestrasi leukosit, terutama di
kapiler. Pada dosis tinggi, tampak destruksi granulosit. Endotoksin dikenal dapat
mengaktifkan banyak sel imun via reseptor TLR4 dan terutama pada tingkat
hepatosit, dan berperan untuk membebaskan TNF di makrofag.

2.1.3.4 Pola molekuler terkait-patogen dan pola molekuler terkait-jejas

Jejas menyebabkan klinis SIRS yang menyerupai sepsis. Hewan multiseluler


mendeteksi pathogen via reseptor pola pengenalan yang mengenali pola molekuler
terkait pathogen (PAMPs), yang nantinya akan mengaktifkan imunosit bawaan. Bukti
yang terkumpul menyebutkan bahwa trauma dan kerusakan jaringan yang terkait
dikenali pada level sel via deteksi yang dimediasi oleh reseptor dari protein seluler
yang dilepaskan oleh sel yang mati. Istilah ‘alarmin’ telah diusulkan untuk
mengkategorikan molekul endogen yang memberikan sinyal kerusakan sel dan
jaringan.4

Alarmin endogen dan PAMPs eksogen memiliki pesan serupa dan respon
yang mirip. Mereka dapat dianggap sebagai satu subgroup dari bagian besar molekul
yang menyebabkan kerusakan dari sel host yang rusak atau mati. Pelepasan ‘musuh’
mitokondria tersebut merupakan kunci antara trauma, inflamasi, dan SIRS.5

2.1.3.5. Radikal bebas

Pembentukan radikal oksigen (O2-) oleh sel darah putih adalah mekanisme
pertahanan host yang normal. Perubahan setelah trauma dapat menyebabkan produksi
berlebihan dari radikal bebas oksigen, dilepaskan oleh neutrofil dan makrofag,
dengan efek yang merusak fungsi organ. Nitrit oksida (NO) juga dilepaskan oleh
makrofag, menyebabkan vasodilatasi dan penurunah resistensi vaskular sistemik. NO
bergabung bersama O2- untuk membentuk agen oksidan kuat yg dapat mengoksidasi
cincin katekolamin. Hydroxyl ion (OH-) dan hydrogen peroxide juga meningkat
setelah jejas atau sepsis.

2.1.4. Mediator hormonal

Sebagai respon dari trauma, banyak hormone sirkulasi yang terganggu. Kadar
adrenaline (epinefin), noradrenaline (norepinefrin), kortisol dan glukagon meningkat,
sementara hormone lainnya menurun. Aksis simpatetik-adrenal mungkin adalah
sistem utama dari respon tubuh terhadap suatu jejas.

2.1.4.1 Hipofisis

Hipotalamus adalah tingkat tertinggi dari integrasi respon stress. Jalur efferent
mayor hipotalamus adalah endokrin via hipofisis dan sistem parasimpatis dan
simpatis efferent. Sistem kolinergik sekarang dikenal memiliki berbagai efek
antiinflamasi.

Kelenjar hipofisis berespon terhadap trauma dengan dua pola sekretorik.


Hormon adrenokortikotropik (ACTH), prolaktin, dan kadar hormone pertumbuhan
meningkat. Sisa hormon secara relatif tidak berubah.

Reseptor nyeri, osmoreseptor, baroreseptor, dan kemoreseptor menstimulasi


atau menginhibisi ganglia di hipotalamus untuk merangsang aktivitas saraf simpatis.
Neural end-plates dan medulla adrenal mensekresi katekolamin. Stimuli nnyeri via
reseptor nyeri juga menstimulasi sekresi opiate endogen, beta-endorphin and pro-
opiomelanocortin (precursor molekul ACTH), yang memodifikasi respon terhadap
nyeri dan membantu efek katekolamin. Beta endorphin memiliki efek yang kecil
tetapi berperan sebagai marker untuk sekresi hipofisis anterior.

Hipotensi, hipovolemi dalam bentuk penurunan tekanan ventrikel kiri, dan


hiponatremi menstimulasi sekresi vasopressin, hormone antidiuretik (ADH) dari
nuklei supraoptik di hipotalamus anterior, aldosterone dari korteks adrenal, dan renin
dari apparatus juxtaglomerular dari ginjal. Peningkatan sekresi aldosteron
menghasilkan perubahan natrium dan air. Seiring peningkatan osmolalitas, sekresi
ADH dan lebih banyak air yang direabsorbsi, oleh karena itu akan menurunkan
osmolalitas (via feedback negatif).

Hipovolemia memicu reseptor di atrium kanan, dan hipotensi menstimulasi


reseptor di arteri karotis. Hal ini menghasilkan aktivasi nuklei paraventrikular
hipotalamik, yang mensekresi hormone pelepasan-hipofisis dari eminensia mediana
ke kapiler; hal ini menstimulasi hipofisis anterior untuk mengeluarkan ACTH. ACTH
menstimulasi korteks adrenal dan melepaskan kortisol dan aldosteron. Perubahan
pada konsentrasi glukosa memengaruhi pelepasan insulin dari sel beta pancreas, dan
kadar asam amino tinggi, pelepasan glukagon dari sel alfa.
2.1.4.2. Hormon adrenal

Kortisol plasma dan glukagon meningkat setelah trauma. Derajat ini terkait
dengan keparahan jejas. Fungsi sekresi glukokortikoid pada respon metabolisme awal
masih belum jelas, karena hromon memiliki aksi langusng yang kecil. Dengan pasase
menuju fase lanjut dari trauma, sejumlah efek metabolik terjadi. Glukokortikoid
memulai efek katabolic seperti glukoneogenesis, lipolisis, dan pemecahan asam
amino dari otot. Katekolamin juga berpartisipasi pada efek ini dengan mediasi insulin
dan glukosa.

2.1.4.3 Hormon pankreatik

Terdapat peningkatan kadar glukosa darah setelah trauma . Respon insulin


terhadap glukosa dituurnkan dengan stimulasi alfa-adrenergik dan mempercepat
stimulasi beta-adrenergik.

2.1.4.4 Hormon renal

Sekresi aldosteron meningkat oleh beberapa mekanisme. Mekanisme renin-


angiotensin adalah yang paling penting. Ketika tekanan arteriol glomerular turn,
apparatus juxtaglomerularis mensekresi renin, yang berperan bersama
angiotensinogen membentuk angiotensin I. Kemudian dikonverikan menjadi
angiotensin II, substansi yang menstimulasi produksi aldosteron melalui korteks
adrenal. Penurunan pada konsentrasi natrium menstimulasi macula densa, untuk
mengaktifkan pelepasan renin. Peningkatan konsentrasi kalium plasma juga
menstimulasi pelepasan aldosteron. Penurunan volume menstimulasi pelepasan
ACTH via reseptor di atrium kanan dan arteri karotis.

2.1.4.5 Hormon lain

Faktor natriuretik atrial atau atriopeptin adalah hormone yang diproduksi oleh
atrium, terutama kanan, dan berespon terhadap penignkatan volume vaskular.
Atriopeptin memproduksi peningkatan GFR dan menghasilkan natriuresis dan
dieresis. Juga memproduksi inhibisi sekresi aldosteron yang meminimalisir kaliuresis
dan menyebabkan supresi pelepasan ADH. Atriopeptin juga menegaskan jantung
sebagai organ endokrin.

2.1.5 Efek berbagai mediator

2.1.5.1 Keadaan hiperdinamik

Setelah penyakit atau jejas, respon inflamasi sistemik terjadi, yang mana
terjadi peningkatan aktivitas sistem kardiovaskular, yang muncul sebagai takikardia,
perluasan tekanan nadi dan kardiak output yang lebih besar. Terdapat peningkatan
kecepatan metabolik, dengan peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan
katabolisme protein dan hiperglikemia.

Indeks kardiak dapat melebihi 4,5L/m2 per menit setelah trauma berat pada
pasien yang berespon adekuat. Penurunan resistensi vaskular dengan hal ini
meningkatkan kardiak output. Keadaan hiperdinamik ini meningkatkan pengeluaran
energi saat istirahat lebih dari 20 persen di atas normal. Pada respon yang tidak
adekuat dengan indeks kardiak kurang dari 2,5L/m2 per menit, konsumsi oksigen
dapat jatuh ke nilai kurang dari 100ml/m2 per menit (normal= 120-160 ml/m2 per
menit). Endotoksin dan anoksia dapat menyebabkan kerusakan sel dan membatasi
kemampuan mereka untuk mengaktivasi oksigen untuk fosfolirasi oksidatif.

Jumlah ATP yang disintesis oleh orang dewasa cukup banyak. Tetapi, tidak
terdapat reservoir ATP atau kreatinin fosfat, dan maka kerusakan seluler dan
kerusakan oksigen menyebabkan penurunan yang cepat dari proses yang
membutuhkan energi dan laktat diproduksi. Karena glikolis anaerob, hanya 2 ATP
alih-alih 34 yang ekuivalent diproduksi dari 1 mol glukosa dalam siklus krebs.

Laktat diproduksi dari piruvate, yang merupakan proudk akhir dari glikolisis.
Normalnya dikonversi kembali ke glukosa pada siklus Cori di liver. Tetapi, pada
syok, reaksi redox menurun, dan konversi piruvat menjadi asetil co-enzym A untuk
masuk ke dalam siklus krebs terhambat. Oleh arena itu, laktat berakumulasi karena
gangguan glukoneogenesis hepatic, menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis laktat
setelah jejas berhubungan dengan Injury Severity Score dan kehilangan darah akut.
Laktat asidosis persisten prediktif untuk perkembangan kegagalan organ multipel dan
ARDS.8

2.1.5.2 Retensi air dan garam

Sekresi ADH dari nuklei supraoptik hipotalamus anterior distimulasi oleh


penurunan volume dan peningkatan osmolalitas sirkulasi. Reseptor volume berlokasi
di atrium dan arteri pulmoner, dan osmoreseptor bertempat di neuron ADH di
hipotalamus. ADH berperan pada tubulus di ginjal, juga tubulus distal untuk memicu
reabsorpsi air.

Aldosteron berperan pada tubulus distal renal untuk menjalankan fungsi


reabsorpsi natirum dan bikarbonat, dan peningkatan ekskresi kalium dan ion
hydrogen. Aldosteron juga memodifikasi efek dari natrium dan kalium di semua sel
membrane. Pelepasan kuantitas kalium intraseluler ke ekstraseluler dapat
menyebabkan peningkatan kalium serum, terutama jika fungsi renal terganggu.
Retensi natrium dan bikarbonat dapat menyebabkan alkalosis metabolik dengan
gangguan transport oksigen ke jaringan. Setelah trauma, eksresi natrium urin dapat
jatuh ke 10-25mmol per 24 jam, dan ekskresi kalium dapat meningkat 100-
200mmol/24 jam.

2.1.5.3 Efek pada metabolisme substrat.

Karbohidrat

Pasien penyakit kritis menyebabkan intoleransi glukosa yang mirip dengan


pasien diabetes. Hal ni terjadi sebagai hasil dari baik peningkatan mobilisasi dan
penurunan uptake glukosa oleh jaringan. Penggunaan glukosa meningkat dan kadar
serum glukosa menjadi lebih tinggi dari normal.

Glukosa dimobilisasi dari dalam bentuk glikogen di liver oleh katekolamin,


glukokortikoid, dan glukagon. Cadangan glikogen terbatas dan glukosa dapat
diderivat dari glikogen hanya selama 12-18 jam. Sebelumnya, kadar insulin darah
diturunkan (biasanya lebih rendah dari 8U/ml) oleh efek akrivitas adrenergic
degranulasi sel beta pancreas. Setelah itu, glukoneogenesis distimulasi oleh
kortikosteroid dan glukagon. Supresi insulin menyebabkan pelepasan asam amino
dari otot yang kemudian menjadi sumber glukoneogenesis. Hormon pertumbuhan
mencegah efek insulin pada metabolisme glukosa.

Seiring peningkatan glukosa darah selama fase glukoneogenesis hepatic,


konsentrasi insulin meningkat, kadang mencapai kadar yang sangat tinggi.
Mengetahui fakta bahwa sirkulasi liver terjaga, glukoneogenesi tidak akan disupresi
oleh hiperinsulinemia atau hiperglikemia, karena angka percepatan dari produksi
glukosa di liver dibutuhkan untuk klirens laktat dan asam amino, yang tidak
digunakan sintesis protein. Periode breakdown protein otot ini untuk glukoneogenesis
dan hiperglikemia ditandai dengan fase katabolic dari respon metabolik terhadap
trauma.

Kadar glukosa setelah trauma harus dimonitor secara hati-hati di ICU. Kadar
glukosa darah optimal tetap masih kontroversi, tetapi kadar maksimal sebaiknya
10mmol/L. Kontrol gula darah terbaik dicapai dengan titrasi insulin intravena
berdasarkan sliding scale. Tetapi, karena derajat resistensi insulin berkaitan dengan
trauma, kuantitas yang dibutuhkan mungkin lebih tinggi dari normal.

Nutrisi parenteral dibutuhkan, dan hal ini akan mengeksaserbasi masalah.


Tetapi, glukosa tetap merupakan substrat energy paling aman pada trauma mayor: 60-
75% kebutuhan kalori sebaiknya disuplai oleh glukosa, dengan sisanya disuplai oleh
lemak.
Lemak

Sumber energy mayor setelah trauma adalah jaringan lemak. Lemak disimpan
sebagai trigliserida di jaringan adipose dan dimobilisasi ketika insulin jatuh di bawah
25U/ml. Karena supresi insulin dilepas oleh katekolamin setelah trauma, sebanyak
200-500g lemak dapat digunakan setiap harinya.9 TNF dan IL-1 memainkan peran
dalam mobilisasi penyimpanan lemak.

Katekolamin dan glukagon mengaktifkan adenylcyclase di sel lemak untuk


memproduksi cyclic AMP. Hal ini mengaktifkan lipase, yang menghidrolisis
trigliserid untuk melepaskan gliserol dan asam lemak. GH dan kortisol memainkan
peran minor pada proses ini. Gliserol menyediakan substrat untuk glukoneogenesis di
liver yang menggunakan energy oleh asam lemak beta-oksidasi, sebuah proses yang
diinhibisi oleh hiperinsulinemia.

Asam lemak bebas menyediakan energy untuk semua jaringan dan untuk
glukoneogenesis hepatic. Karnitine, disintesis oleh liver, dibutuhkan untuk
transportasi asam lemak ke dalam sel.

Asam amino

Intake protein oleh dewasa sehat antara 80-120g protein: 1-2 g


protein/kg/hari. Hal ini ekuivalen dengan 13-20g nitrogen perhari. Dengan tidak
adanya sumber protein eksogen, asam amino diturunkan dari pemecahan protein otot
skeletan. Pada trauma atau sepsis, angka pelepasan asam amino meningkat 3-4kali.

Kortisol, glukagon, dan katekolamin memainkan peran dalam reaksi ini.


Asam amino yang dimobilisasi diutilisasi untuk glukoneogenesis atau oksidasi di
liver dan jaringan lain, dan juga untuk sintesis protein fase akut untuk
imunokompeten, pembekuan darah, penyembuhan luka, dan menjaga fungsi seluler.
Asam amino tertentu seperti glutamate, asparagin, dan aspartat dapat
dioksidasi menjadi piruvat, membentuk alanin atau alfa-ketoglutarat, menyebabkan
glutamine. Di liver, asam amino dideaminasi tercapai oleh transaminasi dari asam
amino rantai cabang. Setelah trauma berat atau sepsis, sebanyak 20g per hari dari
nitrogen urea diekskresikan di urin. Karena 1g urea nitrogen diturunkan dari 6,25g
asam amino, pembuangan protein dapat mencapai 125g perhari.

Satu gram protein otot mencerminkan 5g masa otot basah. Pasien pada contoh
ini akan kehilangan 625g masa otot perhari. Kehilangan 40% protein tubuh dapat
menjadi fatal karena kegagalan imunokompeten menyebabkan infeksi yang
berlebihan. Ekskresi nitrogen biasanya memuncak dalam beberapa hari setelah
trauma, menjadi normal dalam beberapa minggu. Ini merupakan tanda khas dari
respon metabolik terhadap penyakit.

Untuk mengukur kecepatan transfer dan utilisasi asam amino dari otot atau
infuse ke dalam sirkulasi, pengukuran klirens plasma central dari asam amino masih
dikembangkan. Menggunakan metode ini, peningkatan besar di produksi perifer dan
uptake sentral asam amino ke dalam liver tampak pasien yang memiliki jejas,
terutama jika sepsis juga terjadi. Pasien dengan penurunan protein daoat membaik
secara dramatis dengan pemberian parenteral atau enteral jika fungsi liver adekuat.
Infus asam amino pada pasien yang terminal dapat menyebabkan konsentrasi plasma
asam amino meningkat sangat tinggi dengan hanya peningkatan klirens plasma asam
amino central yang sedikit.

Sistem pencernaan

Mukosa intestine menunjukkan sintesis cepat dari asam amino. Penurunan


asam amino menunjukkan atrofi mukosa, menyebabkan kegagalan barier mukosa.
Hal ini menyebabkan translokasi bakteri dari pencernaan ke sistem portal. Perluasan
translokasi bakteri pada trauma belum dijelaskan dengan baik. Adanya makanan di
lumen pencernaan merupakan stimulus mayor untuk pertumbuhan sel mukosa. Intake
makanan seringkali terganggu setelah trauma mayor, dan suplai dari glutamine dapat
sangat kurang terutama untuk pertumbuhan sel mukosa. Nutrisi awal (dalam 24-48
jam), dan feeding enteral yang awal dapat mencegah kejadian ini.

2.1.6. Fase anabolik

Selama fase ini, pasien berada dalam keseimbangan nitrogen positif,


mendapatkan kembali berat dan deposit lemak. Hormon yang berperan dalam
anabolisme adalah growth hormon, androgen, dan 17-beta-ketosteroid. Penggunaan
growth hormone dan juga insulin-like growth factor-1, dalam membalikkan
katabolisme setelah trauma sangat penting dan bergantung pada intake kalori.

2.1.7 Relevansi klinis dan terapeutik

Pertahanan setelah trauma bergantung dari keseimbangan luasnya kerusakan


seluler, efikasi respon metabolisme dan efektivitas treatment.

Kerusakan jaringan, hipoksia, nyeri, dan toksin dari infeksi yang berat
menambah faktor inisiator dari hipovolemia. Derajat di mana tubuh dapat
mengkompensasi jejas sangat memukau, meskipun mekanisme kompensasi dapat
menyebabkan pasien pada keadaan yang buruk. Resusitasi adekuat untuk
menghentikan rangsangan hipovolemik juga penting. Sekali perubahan hormonal
telah dimulai, efek dari hormone tidak akan berhenti karena sekresi hormone telah
dihentikan dengan penggantian volume darah.

Mobilisasi dan penyimpanan bahan bakar energy, karbohidrat, lemak dan


protein, diregulasi oleh insulin, diseimbangkan dengan kortisol dan glukagon.

Resusitasi cepat, maintenans transfer oksigen ke jaringan, pengeluaran


jaringan mati atau pus, dan kontrol infeksi adalah hal yang penting. Terapi metabolik
terbaik adalah perawatan bedah yang sempurna.
2.2. SYOK

2.2.1. Definisi syok

Syok didefinisikan sebagai sirkulasi inadekuat dari darah yang teroksigenasi


ke jaringan, menyebabkan hipoksia seluler. Jika proses ini berat dapat terjadi
kerusakan seluler irreversible. Mekanisme pasti yang berperan dalam transisi dari
kerusakan reversibel ke irreversible dan kematian sel masih belum jelas, meskipun
sekuensi biokimia/morfologi dalam progresi kerusakan seluler telah banyak
dijelaskan.

2.2.2. Klasifikasi syok

Klasifikasi syok menjadi praktis penting jika patofisiologinya dipahami


karena membuat perbedaan fundamental dalam terapinya. Meskipun definisi syok
dasar ‘aliran nutrient yang tidak adekuat’ tetap masuk akal, terdapat 6 tipe syok yang
didasarkan tidak hanya pada patofisiologi tetapi juga manjemen:

- Hipovolemi
- Kardiogenik
- Kompresif kardiak (tamponade jantung)
- Inflamatorik (septic syok)
- Neurogenik
- Obstruktif (kompresi mediastinal)
Prinsipnya, dasar fisiologis syok didasarkan pada hubungan ini:
Cardiac output = stroke volume x heart rate
Tekanan darah = cardiac output x total resistensi perifer

Stroke volume terbagi ke dalam preload, kontraktilitas miokard, dan afterload.

2.2.2.1 Syok hipovolemik


Syok hipovolemik disebabkan karena penurunan volume intravaskular. Hal
ini menyebabkan degenerasi signifikan baik tekanan dan aliran. Hal ini ditandai
dengan penurunan tekanan isi, dengan penurunan yang bermakna dari stroke volume.
Kardiak output secara temporer dijaga oleh takikardia kompensatorik. Dengan
berlanjutnya hipovolemi, tekanan darah dijaga oleh peningkatan refleks pada
resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas miokardial dimediasi oleh mekanisme
neurohumoral.

Syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Kelas syok hipovolemik

Tanda klinis

Tanda klasik dari syok hipovolemik adalah hipotensi, takikardia, palor karena
vasokonstriksi, berkeringat, sianosis, hiperventilasi, kebingungan dan oliguria. Fungsi
kardiak dapat menurun tanpa manifestasi klinis hemodinamik. Hipotensi arteri
sistemik meningkatkan iskemia koroner, menyebabkan gangguan ritme dan
penurunan performa miokardium. Seiring kegagalan jantung, tekanan ventrikel kiri
end-diastolik meningkat, menyebabkan edema pulmoner.

Hiperventilasi menjaga teknaan parsial oksigen (PaO2) pada tingkat


mendekati normal tetapi tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) jatuh pada tekanan
20-30mmHg (2,7-4,0 kPa). Kemudian, insufisiensi pulmoner dapat terjadi dari kolaps
alveolar dan edema pulmoner, hasil dari kerusakan kapiler pulmoner, gagal jantung
atau terapi cairan yang tidak tepat.

Fungsi ginjal juga penting bergantung pada perfusi ginjal. Oliguria merupakan
tanda yang tak terelakkan dari hipovolemia. Selama kehilangan volume, aliran darah
renal turun seiring tekanan darah. Anuria terjadi jika tekanan darah sistolik sebesar 50
mmHg. Urin output adalah indikator baik untuk perfusi perifer.

2.2.2.2 Syok kardiogenik

Ketika jantung gagal memproduksi output yang baik, meskipun volume end
diastolik normal, syok kardiogenik dapat terjadi. Fungsi kardiak terganggu pada
pasien syok bahkan jika kerusakan miokard bukan penyebab primer. Penurunan
fungsi miokard pada syok mencakup disritmia, iskemia miokard dari hipertensi
sistemik, variasi dalam aliran darahm dan lesi miokardium dari kadar katekolamin
bersirkulasi yang tinggi, angiotensin dan faktor depressant miokardiak. Penurunan
kardiak output dapat merupakan hasil dari:

- Penurunan stroke volume


- Gangguan kontraktilitas miokard akibat iskemia, infark, kardiomiopati atau
trauma
- Gangguan volume ejeksi
- Embolisme udara koroner
- Komplikasi mekanik dari infark miokard akut
- Aritmia
- Gangguan sistem konduksi (ritme)

Bentuk lain dari syok kardiogenik mencakup contoh klinis yang mana pasien
memiliki normal kardiak output saat istirahat tetapi tidak dapat menaikkan kardiak
out dalam kondisi stress karena miokardium yang sudah buruk atau ketidakmampuan
untuk menggerakan miokardium karena blok beta-adrenergik secara farmakologi
Tanda klinis

Klinis bergantung dari penyebab yang mendasari. Tanda klinis vasokonstriksi


perifer sangat menonjol, kongesti pulmo frekuen, dan oliguria juga terjadi. Edema
pulmoner dapat menyebabkan dispnea berat, sianosis sentral dan krepitasi.

Tanda dari pemeriksaan jantung bergantung juga pada penyebab yang


mendasari. Bising sistolik setelah infark miokard menandakan regurgitasi mitral atau
perforasi septal.

Penemuan hemodinamik terdiri dari tekanan sistolik kurang dari 90mmHg,


penurunan kardiak output, biasanya kurang dari 1,8L/m2 per menit, dan tekanan arteri
pulmoner lebih dari 20mmHg. Terkadang syok kardiogenik terjadi tanpa tekanan ini
yang meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena terapi diuretik atau penurunan
volume plasma akibat kehilangan cairan yang lolos ke paru. Pasien dengan
hipovolemi relatif di bawah kadar di mana terdapat resiko edema pulmo dan,
akhirnya, pasien dengan infark ventrikel kanan yang signifikan dan gagal jantung
kanan juga tidak mengalami peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Pasien ini,
meskipun syoknya kardiogenik, akan berespon berlebihan terhadap ekspansi volume
plasma dan akan memburuk jika diuretic diberikan.

2.2.2.3 Syok kardiogenik kompresif

Parofisiolog dari syok kardiogenik kompresif sangat berbeda dari syok


kardiogenik. Dorongan dari eksternal mengkompres ruang jantung berdinding tipis
(atrium dan ventrikel kanan), vena besar (vena sistemik atau pulmoner), arteri besar
(sistemik atau pulmoner) atau kombinasi dari semua ini. Gangguan pengisian
diastolik terjadi. Kondisi klinis dapat meyebabkan syok kompresif antara lain
tamponade jantung, pneumothoraks tension, ventilasi tekanan positif dengan volume
tidal besar atau tekanan jalan napas yang tinggi (terutama pada pasien hipovolemi),
elevasi diafragma (seperti kehamilan), rupture diafragma, dan sindrom kompartemen
abdomen (asites, distensi abdomen, dll). Konsekuensi dari kompresi ini adalah
peningkatan pada tekanan atrium kanan tanpa adanya peningkatan volume,
mengganggu venous return dan menyebabkan hipotensi.

Tanda klinis

Tamponade jantung yang mengikuti trauma tumpul atau tajam dan sebagai
hasil adanya darah di sakus pericardium, atrium terkompresi dan tidak dapat mengisi
secara adekuat. Tekanan darah sistolik kurang dari 90mmHg, dan terdapat tekanan
nadi yang menyempit dan pulsus paradoksus yang lebih dari 10mmHg. Vena juguler
yang distensi dapat terjadi, kecuali pasien hipovolemik. Suara jantung juga dapat
terganggu. Komplians dari sakus pericardium yang terbatas menandakan bahwa
sedikit saja darah (<25ml darah) yang mengisi pericardium, dapat menyebabkan
dekompensasi yang bermakna.

2.2.2.4 Syok inflamatorik (distributive)

Dilatasi dari kapasitas reservoir di tubuh terjadi dengan syok endotoksik atau
syok hipovolemik yang berlanjut. Endotoksin dapat memiliki efek mayor dari berupa
pooling perifer, dan meskipun volume darah normal, distribusi dari volume tersebut
berubah sehingga tidak tercapai aliran nutrient yang cukup di mana metabolisme
aerobic dibutuhkan.

Dalam suatu analisis, semua syok mengarah pada defek syok seluler.
Metabolisme aerobic terjadi di sistem sitokrom di crista mitokondria. Fosfolirasi
oksidatif pada sistem sitokrom memproduksi ikatan fosfat energy tinggi melalui
coupling oksigen dan glukosa, membentuk produk karbon dioksida dan air. Beberapa
racun memicu fosforilasi oksidatif, tetapi yang paling umum terjadi pada seting klinis
adalah endotoksin. Sepsis sering terjadi di pasien rawat inap, dan syok endotoksik
sering terjadi. Terdapat demam, takikardia, dan tekanan darah rata-rata di bawah
60mmHg, tetapi kardiak output bervariasi antara 3-6L/m2 per menit. Keadaan
hemodinamik ini indikatif terhadap resistensi vaskular perifer. Di samping rendahnya
resistensi perifer sebagai kausa hipotensi dari syok septic, terdapat penyebab lain
yaitu:

- Hipovolemia akibat translokasi cairan dari darah ke cairan interstitial


- Peningkatan resistensi vaskular pulmoner akibat ARDS
- Depresi bioventrikel miokardial oleh karena penurunan kontraktilitas dan
kegagalan peningkatan stroke-work.

Penyebab utama kematian pada syok septic adalah kegagalan produksi energy
pada level seluler, seperti yang dicerminkan melalui penurunan konsumsi oksigen.
Tidak hanya insufisiensi sirkulatorik yang bertanggungjawab atas ini tetapi juga
gangguan fosforilasi oksifatif seluler oleh endoteksin atau superoksida yang dibentuk
secara endogen. Terdapat penyempitan dari perbedaan oksigen arteri-vena.
Glikogenolisis anaerobic dan asidosis metabolik berat akibat lactacidemia terjadi.

2.2.2.5 Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan sindrom hipotensi di mana terjadi hilangnya


tonus alfa-adrenergik dan dilatasi dari arteri dan vena. Kardiak output normal, atau
dapat meningkat, tetapi karena resisten perifer total menurun, pasien menjadi
hipotensif. Konsekuensi yang terjadi adalah adanya penurunan tekanan perfusi.
Contoh sederhana dari syok jenis ini adalah sinkop (sinkop vasovagal). Tidak
terdapat darah yang hilang, tetapi terdapat peningkatan mendadak jumlah darah yang
terperangkap di satu bagian sirkulasi sehingga tidak dapat lagi diperfusikan ke
kompartemen yang membutuhkan metabolisme aerobic glikolitik.

Tanda klinis

Pasien biasanya memiliki pulsus perifer yang lemah, ekstremitas hangat dan
pengisian kapiler yang memanjang, dan dapat cemas. Tekanan nadi luas, dengan
tekanan darah sistol diastol menjadi rendah. Heart rate di bawah 100 kali per menit
dan bahkan dapat terjadi bradikardia. Diagnosis syok neurogenik hanya dapat dibuat
ketika penyebab syok lain telah disingkirkan.

2.2.2.6 Syok obstruktif

Syok obstruktif intravaskular terjadi ketika obstruksi intravaskular, pergeseran


berlebih dari dinding arteri atau obstruksi mikrovaskular menyebabkan beban
terhadap jantung. Karena penurunan aliran balik vena, pengisian arteri menjadi turun,
dengan konsekuensi hipotensi. Penyebab antara lain adalah emboli pulmo, emboli
udara, ARDS, stenosis aorta, kalsifikasi arteri sistemik besar, dll. Tekanan darah pada
arteri pulmoner atau aorta dapat tinggi tetapi kardiak output rendah.

Tanda klinis

Pada pasien dengan hipotensi masalah biasanya teridentifikasi segera setelah


pemeriksaan suara nafas dasar yang melemah, hiperresonansi pada sisi yang terkena,
dan pergeseran trakea ke kontralateral. Vena leher dapat distensi.

2.2.3. Pengukuran pada syok

Dalam fisika, aliran dipengaruhi oleh tekanan dan berbanding terbalik dengan
resistensi. Rumus aliran universal ini tidak bergantung pada jenis cairan dan
diaplikasikan terhadap aliran elektron. Dalam kelitrikan, diekspresikan sebagai
hukum ohm. Hukum aliran ini adalah sebagai berikut:

Aliran = tekanan / resistensi perifer

Dari hukum ini, dapat disimpulkan bahwa syok merupakan suatu keadaan
peningkatan resistensi perifer dan suatu keadaan tekenan darah yang rendah. Tetapi
fokus harus tetap pada aliran darah karena banyak obat yang membuat peningkatan
tekanan disebabkan oleh peningkatan resistensi, yang akan menurunkan aliran.

2.2.3.1 Output kardiak


Aliran darah bergantung pada cardiac output. Tiga faktor yang memengaruhi:

- Preload atau volume yang masuk ke jantung


- Kontraktilitas
- Afterload atau resistensi

Tiga faktor ini saling berinteraksi untuk memproduksi ejeksi sistolik dari
jantung. Semakin besar preload semakin besar kardiak output. Seiring fiber miokard
teregang oleh preload, kontraktilitas meningkat menurut prinsip Frank-Starling.
Meskipun, peningkatan preload yang berlebihan menyebabkan simtom kongesti vena
pulmoner/sistemik tanpa perbaikan lebih jauh dalam performa kardiak. Preload
adalah faktor positif dalam performa kardiak tapi tidak melebihi poin dalam
dekompensasi jantung.

Kontraktilitas jantung meningkat dengan agen inotropik. Produk stroke


volume dan heart rate sama dengan kardiak output. Kardiak output berperan terhadap
resistensi perifer dan menghasilkan tekanan darah. Turunnya kardiak output pada
psien dengan kegagalan pompa jantung berkaitan dengan penurunan tekanan darah.
Untuk menjaga aliran darah koroner dan kranial terdapat refleks peningkatan
resistensi vaskular sistemik untuk meningkatkan tekanan darah. Peningkatan
resistensi yang berlebih akan menyebabkan penurunan fungsi jantung melalui
peningkatan afterload.

2.2.3.2 Pengukuran aliran darah tidak langsung

Pada banyak pasien syok, hanya dengan meletakkan tangan di ekstremitas


mereka kita akan dapat menentukan bagaimana perfusi, di mana akral dingin
mencerminkan suatu hipoperfusi. Tetapi, observasi klinis paling penting untuk
menentukan perfusi adekuat adalah dengan menggunakan urin output.

Ginjal berespon terhadap penurunan perfusi dengan beberapa perubahan


kompensatorik untuk melindungi perfusinya sendiri. Dari rentang tekanan darah,
ginjal menjaga aliran darah yang konstan. Jika tekanan darah menurun, autoregulasi
dari ginjal akan menghasilkan dilatasi dari kapiler. Jika tekanan darah terus menurun
dan terdapat penurunan nyata perfusi melalui glomerulus, mekanisme renin-
angiotensin dimulai yang akan menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan
volume plasma.

Maka, ginjal memiliki tiga metode untuk melindungi perfusinya: autoregulasi,


sekresi pressor, dan ekspansi volume. Ketika semua mekanisme kompensasi gagal,
terdapat penurunan kualitas dan kuantitas urin sebagai fungsi perfusi nutrient
terhadap organ ini.

Perfusi vital lain yang mencerminkan adekuasi dari perfusi adalah otak di
mana kesadaran dapat digunakan untuk mengevaluasi adekuat atau tidaknya perfusi
nutrient ke otak pasien yang jatuh dalam kondisi syok.

2.2.3.3 Pengukuran langsung

Tekanan vena sentral

Di jantung, vena tidak memiliki katup apapun, sehingga pengukuran tekanan


pada sistem vena besar di daerah jantung akan mencerminkan tekanan di atrium
kanan, dengan kata lain tekanan pengisian jantung.

Peletakkan jalur vena sentral yang akan memberikan pengukuran akurat dari
tekanan hidrostatik atrium kanan setelah pemberian cairan bolus dapat membantu
membedakan berbagai tahap syok. Nilai normal 4-12cmH2O, di bawah 4
mengindikasikan sistem vena kosong, di atas 12 berarti sistem vena berlebih atau
terdapat adanya kegagalan pompa (contoh, syok kardiogenik akibat tension
pneumotoraks, tamponade jantung, kontusio cordis).
Jika pasien syok memiliki hipotensi arteri sistemik dan vena sentral, syok
adalah akibat dari penurunan volume. Di sisi lain, jika tekanan vena sentral tinggi
meskipun tekanan arteri rendah, maka syok kemungkinan karena kegagalan pompa.

Kanulasi sistem vena sentrl secara umum dicapai melalui rute subclavia,
jugular, atau femoral. Rute subclavia lebih dipilih pada pasien trauma karena aman
jika status spinal masih belum jelas. Teknik yang paling aman adalah yang
direkomendasikan oleh program ATLS.

Rute jugular interna atau eksterna adalah salah satu yang paling umum
digunakan oleh anesthesiologist, sering dengan panduan ultrasound. Tetapi terdapat
beberapa bahaya pada pasien trauma, terutama jika segmen servikal belum jelas, dan
rute lain lebih dipilih. Kemampuan untuk menutup lokasi jugular, terutama pada
pasien sadar di ICU lebih terbatas dan tidak nyaman bagi pasien.

Teknik insersi jalur subklavia:

1. Letakkan pasien dalam posisi supinasi, kepala turun 15 derajat untuk


mendistensi vena leher mencegah emboli udara. Jangan gerakkan kepala
pasien.
2. Bersihkan kulit dan lokasi insersi
3. Gunakan lidokain 1% untuk anestesi lokal.
4. Masukkan jarum caliber besar yang menempel pada spuit 10cc dengan 1cc
salin di dalamnya, 1 cm di bawah pertemuan antara pertengahan dan 1/3
medial klavikula.
5. Setelah jarum dimasukkan dengan bevel jarum menghadap ke atas, keluarkan
plug kulit yang menutup jarum.
6. Pertahankan jarum dan spuit parallel terhadap sisi frontal
7. Arahkan jarum ke medial, agak ke arah cephal dan posterior, di belakang
klavikula, mengarah ke sudut posterosuperior klavikula ke sisi sternal dari
klavikula (arahkan kepada jari yang diletakkan di incisura suprasternal)
8. Masukkan jarum perlahan seraya dengan lembut menarik plunger dari spuit.
9. Ketika darah muncul di spuit, putar bevel sehingga menghadap ke kaudal dan
lepaskan spuit. Tutup jarum untuk menghindari kemungkinan emboli udara.
10. Persiapkan guidewire sambil memonitor EKG
11. Masukkan kateter menyelubungi guidewire untuk mengukur panjang. Ujung
kateter sebaiknya berada pada pintu masuk ke atrium kanan. Pada dewasa,
jaraknya sekitar 18cm.
12. Hubungkan kateter ke tube intravena
13. Rekatkan ke kulit dan tutup dengan dressing oklusif
14. Lakukan x-ray untuk memastikan ketepatan lokasi

Teknik inseri jalur femoral

Jalur femoral mudah diakses, terutama ketika jalur ini dibuat untuk transfuse
intravena. Tetapi, insiden thrombosis tinggi dan rute ini sebaiknya tidak dibiarkan
lebih dari 48 jam karena risiko infeksi.

1. Letakkan pasien pada posisi supinasi


2. Bersihkan kulit
3. Temukan lokasi vena femoralis yang berada di medial arteri femoralis.
4. Anestesi lidokain !%
5. Masukkan jarum caliber besar, yang menempel terhadap 10ml spuit yang
beirisi 1cc salin. Jarum yang dihadapkan ke kepala pasien harus memasuki
kulit langsung ke vena femoral
6. Pertahankan jarum dan spuit parallel bidang frontal
7. Arahkan jarum ke cephalad dan posterior pada 45 derajat dari kulit, dan
perlahan masukkan jarum sambil menarik plunger dari spuit.
8. Ketika darah muncul di spuit, lepaskan spuit, tutup jarum untuk mencegah
emboli udara.
9. Masukkan kateter mengelilingi guidewire untuk menghitung panjang. . Ujung
kateter sebaiknya berada pada pintu masuk ke atrium kanan. Pada dewasa,
jaraknya sekitar 130m.
10. Hubungkan kateter ke tube intravena
11. Lekatkan pada kulit dan tutup dengan oklusif dressing
12. X-ray untuk memastikan presisi lokasi.

Tekanan arteri sistemik

Mencerminkan resistensi perifer dan kardiak output. Pengukuran dapat


langsugn atau tidak langsung. Pengukuran tidak langsung mencakup penggunaan
tensimeter dengan auskultasi untuk menentukan tekanan darah. Cara langsung adalah
dengan pemasangan kateter ke lumen arteri.

Doppler arteri dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah arteri. Hanya
pengukuran sistolik yang memungkinkan, tetapi hasil Doppler berkorelasi baik
dengan pengukuran langsung.

Arteri radial adalah tempat utama dari kanulasi arteri. Mudah dan aman
digunakan, menyediakan perfusi kolateral di ulnar yang baik. Pentng untuk
melakukan test Allen, mengkompresi semua arteri radial dan ulnaris dan melepaskan
arteri ulnar untuk mengecek adanya perfusi kolateral. Trombosis arteri radial cukup
umum, meskipun iskemia di tangan jarang akibat kolateral dari arteri ulnaris. Arteri
femoral cukup aman untuk situasi emergensi.

Tekanan arteri pulmoner

Sirkulasi sisi kanan adalah sistem tanpa katup yang mana aliran dari kardiak
output masuk ke sisi kanan jantung. Kateterisasi dapat dilakukan denganm udah dan
cepat saat bedsite, menggunakan kateter berujung balon, termodilusi terkait-aliran.
Dari perjalanannya di vena cava melalui atrium kanan, kemudian ke ventrikel kanan
pada saat kontraksi miokard, ujung balon memasuki katup pulmoner persis seperti
emboli pulmo sampai kateter berujung balon ini melekat pada arteri pulmoner.
Lubang tambahan tersedia di kateter ini dan dapat membantu pengukuran tekanan di
setiap ruang sisi kanan dari jantung. Ujung kateter diletakkan di arteri pulmoner dan
balon oklusif dikembangkan. Tekanan ditransmisikan via kateter yang mencerminkan
tekanan vena pulomner, dan dengan kata lain tekanan atrium kiri. Selain untuk
mengukur tekanan, kateter arteri pulmoner juga dapat:

- Mengukur cardiac output dengan thermodilusi


- Pengambilan sampel darah arteri (tercampur vena) pulmoner.

Teknik insersi kateter arteri pulmonaris melalui rute juguler interna

Peralatan:

- Lignocaine
- Set kateter Swan-Ganz
- Transduser tekanan yang tervalidasi dengan flush heparin kontinyu dan
tabung penghubung.
- Layar oskikoloskop yang menunjukkan EKG dan pelacak tekanan
- Asisten yang baik

Teknik

1. Persiapan
2. Kalibrasi transduser pada tekanan 0-50mmHg
3. Ambil bantal dan hadapkan kepala pasien ke kiri
4. Pastikan jalan napas dan pernapasan terjaga
5. Posisikan kepala untuk dapat mendistensi vena juguler
6. Persiapkan kulit yang dapat memberikan akses dari bawah klavikula ke
prosesus mastoid.
7. Cari lokasi karotis kanan, berikan anestesi pada puncak segitiga antara sternal
dan kepala clavicula m. sternocleidomastoideus
8. Masukkan jarum 16G di bawah batas anterior sternomastoid, mengarah ke
mamae kanan untuk meletakkan jarum di belakang klavikula, dan untuk
masuk ke vena juguler interna;
9. Pasang J-wire di jarum dan masukkan sampai melewati vena
10. Cabut jarum dan perluas lokasi kulit dengan blade 11, diikuti dilator
11. Berikan cairan intravena dan jahit kulit
12. Hubungkan dan dorong kateter untuk membersihkan udara.
13. Masukkan kateter ke introducer
14. Kembangkan balon
15. Terus masukkan kateter ke ventrikel kanan menutup posisi tekanan. Pada
dewasa 45-55cm
16. Kempiskan balon. Gelombang arteri pulmoner tampak dan dengan
pengembangan lambat, gelombang oklusi akan kembali. Jika tidak terjadi,
cabut kateter perlahan
17. Lekatkan pelindung dengan introducer
18. Berikan dressing steril
19. Konfirmasi pemasangan dengan x-ray.

Cardiac output

Dapat diukur dengan teknik thermodilui. Thermodilusi kateter arteri pulmoner


memiliki thermitor pada ujung distal. Ketika volume larutan lebih sejuk dari suhu
tubuh, maka terjadi penurunan sementara dari suhu. Kurva shu dibuat untuk analisis
dan angka perfusi yang melalui thermistor (contoh cardiac output) dapat diuur.
Dengan mengestimasi saturasi oksigen di arteri pulmonalis ekstraksi oksigen darah
dapat ditentukan.

2.2.4 Titik akhir resusitasi syok

Pengukuran paling penting dalam impact dari syok terjadi pada level seluler.
Pengukuran yang paling umum adalah pemeriksaan gas darah. Pengukuran PaO2 ,
PaCO2, PH, laktat arteri akan mensuplai informasi dari transfer oksigen. Kedua
tekanan parsial ini terdapat di darah arteri. Jika PaCO2 normal terdapat ventilasi
alveolar yang adekuat. CO2 juga salah satu gas yang dengan mudah didifusikan dan
tidak overproduksi. Konsekuensinya, tekanan parsial darah diukur dari ekskresinya
melalui paru yang berasal dari ventilasi alveolar langsung. PaO2 serupa dengan
konsentrasi, tetapi merupakan tekanan parsial oksigen di darah dan bukan konten
oksigen. Pengukuran konsentrasi di darah tidak memberitahu kita tentang kecepatan
delivery oksigen ke jaringan per unit waktu tanpa mengetahui suatu aliran darah yang
membawa konsentrasi ini.

Pada syok, terdapat pergeseran fundamental pada metabolisme. Ketika


terdapat perfusi nutrient adekuat, glukosa dan oksigen ditingatkan untuk
memproduksi ikatan fosfat energy tinggi untuk pertukaran kebutuhan yang
dibutuhkan. Proses metabolime aerobic ini juga menghasilkan 2 produk difussable
seperti CO2 dan air, yang semuanya diekskresikan lewat paru dan ginjal.

Ketika terdapat perfusi yang tidak adekuat, seperti saat syok, sel bergeser ke
metabolisme anaerob dalam 3-5 menit. Terdapat konsekuensi metabolisme anaerobic
sebagai tambahan dari energy. Dengan tidak adanya metabolisme aerob, ekstraksi
energy terjadi pada akumulasi ion hidorgen, laktat dan piruvate, yang memiliki efek
toksik pada fisiologi normal. Asidosis memiliki konsekuensi signifikan dalam
kompensasi fisiologi. Pada contoh pertama, oxyhaemoglobin terdisosiasi
lebih mudah sebagai konsentrasi ion hidrogen meningkat. Namun, ada toksisitas
hidrogen yang signifikan ion juga Meskipun efek bermanfaat pada oxyhaemoglobin
Disosiasi, ion hidrogen memiliki efek negatif pada pengiriman oksigen. Katekolamin
mempercepat jantung menilai dan meningkatkan kekuatan kontraktilnya, dan produk
dari Efek inotropik dan chronotropik ini meningkat curah jantung. Katekolamin,
bagaimanapun, bersifat fisiologis efektif pada pH basa atau netral. Karena itu, asam
pH menginaktivasi metode kompensasi katekolamin ini untukmenurunkan aliran
hara. Misalnya, jika katekolamin seperti isoproterenol diberikan kepada pasien dalam
keadaan shock, ini meningkatkan kontraktilitas miokard dan detak jantung dan juga
melebar pinggiran untuk meningkatkan aliran nutrisi ke sirkulasi iskemik ini
daerah. Namun, daerah iskemik telah bergeser untuk metabolisme anaerob,
mengumpulkan ion hidrogen, laktat dan piruvat. Saat sirkulasi melebar, ini
penyerapan hutang oksigen dibuang ke sirkulasi pusat,dan penurunan pH
menginaktivasi katekolamin perbaikan peredaran seefektif jika infusagen telah
terganggu,

2.2.5 Post syok dan sindrom gagal organ multipel

Meskipun konsekuensi sepsis setelah trauma dan syok, perkembangan


kegagalan organ multipel, didiskusikan di bagian lain dari buku ini, penting untuk
mengetahui urutan kejadian yang mengikuti syok untuk membuka diskusi logis
tentang manajemennya.

Penyebab utama dari kematian dalam syok adalah kegagalan produksi energy
yang dicerminkan dari penurunan konsumsi oksigen kurang dari 100mL/m2 per
menit. Insufisiensi sirkulatorik berperan dalam hilangnya energy, diperbanyak oleh
gangguan fosforilasi oksidatif seluler oleh endotoksin dan substansi yang disebut
superoksida.

Apakah hipovolemik atau septik, produksi energi tidak mencukupi untuk


memenuhi persyaratan. Dalam adanya kekurangan oksigen dan cedera sel,
konversi piruvat menjadi asetil-CoA untuk masuk ke dalam Siklus Krebs terhambat.
Asam laktat terakumulasi, dan potensi reduksi oksidasi turun, meski laktat biasanya
digunakan oleh hati melalui siklus Cori untuk mensintesis glukosa. Glukoneogenesis
hati mungkin gagal dalam hipovolemik atau syok septik karena cedera hepatosit dan
sirkulasi yang tidak memadai. Laktacidaemia tidak bisa dikoreksi oleh perbaikan
sirkulasi dan oksigen dan menyebabkan sel-sel rusak parah. Dalam keadaan shock
output rendah, konsentrasi plasma asam lemak bebas dan trigliserida naik ke tingkat
tinggi karena produksi keton oleh beta-oksidasi lemak asam-asam di hati berkurang
dan menekan rasio asetoasetat : betahydroxybutarat dalam plasma. Sekuel post-
shock dari aliran nutrisi yang tidak adekuat, menyebabkan hilangnya fungsi secara
progresif. Tingkat kehilangan ini tergantung pada kemampuan sel
beralih metabolisme untuk mengubah bahan bakar alternatif menjadi energi, pada
peningkatan ekstraksi oksigen dari hemoglobin dan pada kolaborasi kompensasi dari
sel dan organ yang mengalami kerusakan dimana nutrisi bisa digunakan secara
selektif ke sistem yang lebih kritis. Tidak semua sel sama-sama sensitif terhadap
kerusakan atau tahan terhadap restorasi fungsi bila terdapat cukup nutrient ketika
aliran dipulihkan. Seiring sel kehilangan fungsi, cadangan dari organ yang terdiri dari
sel-sel tersebut habis sampai terdapat gangguan fungsi. Terjadi kegagaln fungsi organ
dan berdampak pada 'kegagalan sistem'. Kegagalan beberapa sistem terjadi secara
berurutan menyebabkan matinya organisme.

2.2.6 Manajemen pasien syok

Tujuan primer dari resusitasi syok adalah pengantaran oksigen yang adekuat
(DO2). Variabel DO2 terukur adalah produk dari kardiak output dan konten oksigen
arterial (CaO2).

Kardiak output diindekskan terhadap luas permukaan tubuh dan disebut


sebagai indeks kardiak (CI) dan ketika dikalikan dengan CaO2 didapatkan indeks
hantaran oksigen (DO2I). DO2I normal sebesar 450L/m2 per menit. CaO2 dan DO2I
dihitung sebagai berikut:

Cao2 (mL O2/dL = [Hb](g/dL) × 1.38 mL O2/g Hb ×


Sao2 (%) + [Pao2 (mmHg) × 0.003 mL O2 /mmHg]
Do2I (L/m2 per minute) = CI (L/m2 per minute) ×
Cao2 (mL/dL) × 10 dL/L

Di mana Hb adalah hemoglobin, SaO2 adalah saturasi oksigen, PaO2 tekanan oksigen
arterial dan 0,003 adalah solubilitas oksigen di darah.
Penelitian awal menunjukkan bahwa respon terhadap stress traumatic adalah
dengan menjadi hiperdinamik. Resusitasi supranormal berdasarkan paad DO2I
kemudian diajukan. Uji randomisasi terkontrol telah gagal menunjukkan
perbaikan outcome dengan terapi supranormal dan strategi ini justru
membahayakan. Studi Glue Giant untuk resusitasi syok menjelaskan bahwa
menggunakan CI lebih dari 3,8L/m2 per menit sebagai tujuan resusitasi.

Tujuan untuk membedakan mekanisme patofisiologis dari syok menjadi


penting ketika treatment dimulai. Tujuan dari terapi adalah untuk
mengembalikan metabolisme seluler aerob. Hal ini membutuhkan restorasi
dari aliran darah teroksigenasi yang lancer dan metabolisme seluler aerob.

Pengembalian volume darah sirkulasi optimal meningkatkan cardiac


output melalui penggunaan agen inotropik atau vasopressor, koreksi gangguan
asam basa dan defisit metabolit, dan melawan sepsis, semuanya penting untuk
manajemen pasien syok.

2.2.6.1 Oksigenasi

Pasien trauma, hipovolemi atau sepsis memiliki kebutuhan oksigen


yang sering lebih dari normal jika ini tidak tercapai, terjadi kegagalan napas
dan diikuti oleh asidosis laktat oleh karena hipoksemia jaringan. Pada beberapa
pasien masker oksigen dapat cukup untuk menjaga penghantaran oksigen yang
efektif ke paru. Pada kasus yang lebih parah intubasi endotrakeal dan bantuan
ventilator dapat dibutuhkan. Penting untuk membedakan kebutuhan intubasi
dan ventilasi.

Indikasi jalan napas untuk intubasi:

- Obstruksi jalan napas


- Gag refleks tidak adekuat

Indikasi breathing untuk intubasi:

- Ketidakmampuan bernapas
- Volume tidal kurang dari 5ml/kg

Indikasi breathing untuk ventilasi:

- Ketidakmampuan untuk oksigenasi secara adekuat


- PaO2 kurang dari 60mmHg atau 40% oksigen udara
- SpO2 kurang dari 90% oksigen
- Laju pernapasan lebih dari 30 per menit
- Usaha ventilasi yang berlebih
- PaCO2 lebih dari 45mmHg dengan asidosis metabolik, atau lebih dari
50mmHg dengan kadar bikarbonat normal.

Indikasi sirkulasi untuk intubasi:

- Tekanan darah sistolik kurang dari 75mmHg meskipun sudah resusitasi

Indikasi disabilitas untuk intubasi:

- Trauma spinal yang menyebabkan ketidakmampuan napas


- Coma (GCS <8)

Indikasi environmental untuk intubasi

- Suhu inti kurang dari 320C

Jika dukungan ventilator diberikan, tujuannya cukup spesifik.


Laju pernapasan harus dipertahankan supaya menjaga PaCO2 di antara
35-40mmHg. Hal ini akan mencegah terjadinya alkalosis respiratorik dan
pergeseran konsekuensional dari kurva disosiasi oxyhemoglobim ke kiri, yang
menghasilkan peningkatan afinitas dari hemoglobin untuk oksigen dan
menurunkan availabilitas oksigen ke jaringan yang akan membutuhkan
peningkatan kardiak output untuk menjaga oksigenasi jaringan. PaO2 harus
dijaga antara 80-100mmHg.

2.2.6.2 Terapi cairan untuk ekspansi volume

Adanya kontroversi tentang jenis cairan yang harus diberikan untuk


ekspansi volume pada syok hipovolemik terus dipertimbangkan. Bukti yang
ada mencari kemungkinan regimen cairan yang spesifik. Larutan garam
seimbang adalah ekspander volume yang baik untuk resusitasi awal bagi
pasien yang syok. Untuk sebagian besar pasien, ringer laktat adalah kristaloid
yang dipilih. Laktat berperan sebagai buffer dan dimetabolisme menjadi
karbon dioksida dan air. Tetapi pasien sepsis dengan gangguan hepatic tidak
memetabolisme laktat dengan baik dan oleh karena ini perlu dipertimbangkan
cairan lain.

Pada syok hipovolemik, volume larutan yang lebih banyak dari volume
yang hilang biasanya dibutuhkan. Prinsipnya 3x volume larutan garam
diberikan perunit darah yang hilang. Dosis bolus 2000ml larutan garam
diberikan pada orang dewasa dan respon terkait nadi, tekanan darah, dan
output urin harus dimonitor. Jika hal ini gagal memperbaiki hemodinamik,
larutan kristaloid dan darah menjadi indikasi, karena kristaloid dalam jumlah
besar akan menyebabkan efek dilusi yang menurunkan kapasitas darah yang
dapat mengangkut oksigen. Benar bahwa volume vaskular yang dikembalikan
akan meningkatkan kardiak output dan menjaga oksigenasi jaringan.
Peningkatan ini dapat dijaga terus-menerus oleh jantung yang sehat tetapi pada
pasien tua atau sakit jantung, lebih aman untuk memberikan darah lebih awal
untuk mencegah kemungkinan gagal jantung.

Kristaloid or koloid?

Kristaloid murah dengan lebih sedikit efek samping. Koloid lebih mahal dan
memiliki lebih banyak efek samping. Namun tingkat ekskresi mereka jauh lebih
lambat daripada kristaloid, sehingga volume tetap dalam sirkulasi untuk
lebih lama. Larutan garam yang seimbang dikatakan memiliki waktu paruh dalam
sirkulasi 20 menit, sedangkan koloid, seperti Gelofusine, memiliki waktu paruh 4-6
jam. Namun, tambahan pertimbangan berhubungan dengan tingkat infus, dan
masalah dengan kebanyakan kasus syok hipovolemik adalah
volume cairan resusitasi yang tidak memadai diinfuskan dalam
waktu yang tersedia Dengan demikian, ada keuntungan menggunakan cairan
kristaloid yaitu tidak meninggalkan sirkulasi dengan cepat. Namun,
sebuah Cochrane Review terbaru dari data percobaan yang tersedia membandingkan
kristaloid dan koloid untuk resusitasi setelahnya trauma menunjukkan tidak ada
perbaikan dalam bertahan hidup dengan koloid, dan karena itu penggunaannya tidak
dapat didukung saat ini.19 Ringer Laktat adalah kristaloid yang saat ini disukai.
Belum ada keuntungan yang ditunjukkan untuk penggunaan formulasi baru
memanfaatkan piruvat atau asetat. Pada tahun 1994, Bickell et al.20 menyimpulkan
bahwa pasien dengan trauma penetrasi dan syok hipovolemik yang tidak
diberikan cairan intravena selama transportasi dan keadaan darurat
memiliki peluang bertahan lebih baik dibanding mereka yang mendapat perawatan
konvensional. Namun, satu-satunya perbedaan dalam bertahan hidup adalah di
subkelompok dengan tamponade perikardial. Dalam penelitian hewan,
cairan intravena telah terbukti menghambat trombosit
agregasi, faktor pembekuan encer, modulasi fisik sifat trombus dan menyebabkan
kenaikan tekanan darah yang bisa mengganggu koagulasi darah secara mekanis.21 Ini
terjadi mungkin karena berkurangnya tekanan darah sehingga berkurang pula
jumlah pendarahan yang terjadi. Tekanan darah sistolik optimal untuk pasien dengan
perdarahan yang tidak terkontrol tampaknya berada di 90 dan 100 mmHg tapi ini
masih kontroversial.22,23 Larutan garam hipertonik mengandung hingga 7,5 persen
natrium klorida (dibandingkan dengan 0,9 persen untuk normal saline) menunjukkani
untuk resusitasi pasien dalam situasi dimana resusitasi volume besar dengan larutan
isotonik tidak mungkin (misalnya pertempuran, peristiwa yang melibatkan massa
korban jiwa dan perawatan trauma pra-rumah sakit). Larutan hipertonik
memberikan ekspansi volume darah jauh lebih banyak daripada solusi isotonik dan
menghasilkan edema seluler berkurang. Beberapa uji coba terkontrol secara acak
telah mengevaluasi penggunaan garam hipertonik dalam resusitasi hipovolemia.
Dalam semua percobaan, pasien diresusitasi dengan garam bertahan lebih lama dari
yang diresusitasi secara konvensional. Dalam semua percobaan, pasien melakukan
yang terbaik saat salin hipertonik diberikan sebagai terapi awal, dan
pasien yang paling mungkin mendapatkan keuntungan adalah mereka yang memiliki
cedera kepala. Garam hipertonik mungkin lebih efektif bila
dicampur dengan sejumlah kecil molekul aktif oncotic seperti dekstran. Namun, tidak
cukup banyak percobaan sampai saat ini yang telah menunjukkan manfaat, dan
mengingat biaya, solusi ini tidak bisa direkomendasikan.

Pengganti darah

Substitusi darah, termasuk sediaan berbasis hemoglobin dan perfluorokarbon,


memiliki beberapa keuntungan. Tidak diperlukan crossmatching, tidak ada transmisi
penyakit, dan masa penyimpanan yang panjang. Beberapa pengganti hemoglobin
sedang dievaluasi, tapi pada saat ini tetap eksperimental dan umumnya tidak
disetujui untuk penggunaan manusia dalam trauma.
2.2.6.3 Rute pemberian

Prinsipnya dengan semua jalur intravena, aliran yang makin cepat akan dicapai pada
jalur yang pendek dengan diameter kanul yang lebih lebar.

- 14G via kanul perifer – aliran full


- 14G via 30cm jalur sentral – aliran mengalami penurunan 33%
- 14G via 70cm jalur sentral – aliran mengalami penurunan 50%

Jalur sentral sangat berguna untuk monitoring tetapi dapat juga digunakan
untuk transfuse. Jalur monitoring harus akses vena sentral, dimasukkan via subklavia,
jugular atau femoral. Pada politrauma tumpul, rute subklavia dipilih.

2.2.6.4 Dukungan farmakologi untuk tekanan darah

Volume stroke dikendalikan oleh preload ventrikel, afterload dan


contractilitas. Preload terutama dipengaruhi dengan volume darah beredar, tapi
afterload dan kontraktilitas dapat ditingkatkan oleh agen farmakologis. Mengurangi
resistansi vaskular sistemik dengan vasodilator. Bisa menjadi sarana yang sangat
efektif untuk memperbaiki kardiak output saat tekanan sistemik atau tekanan
pengisian jantung normal atau tinggi, tapi saat ini tidak direkomendasikan
untuk trauma akut.

Noradrenalin

Noradrenalin adalah agen inotropik yang lebih disukai untuk trauma akut.
Noradrenalin adalah neurotransmitter simpatik dengan efek inotropik yang potent. Ini
mengaktifkan miokard reseptor alfa-adrenergik beta-adrenergik dan pembuluh darah.
Hal ini digunakan dalam pengobatan shock dan hipotensi ditandai dengan resistensi
vaskular sistemik rendah yaitu tidak responsif terhadap resusitasi cairan.
Adrenalin

Adrenalin adalah katekolamin alami dengan alpha dan beta-adrenergik. Farmakologis


Tindakan itu rumit, dan bisa menghasilkan hal-hal terkait kardiovaskular:
- Peningkatan resistensi vaskular sistemik.
- Peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
- Peningkatan aktivitas listrik di miokardium
- Peningkatan aliran darah koroner dan serebral
- Peningkatan kekuatan kontraksi miokard
- Meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.

Efek menguntungkan utama adrenalin adalah vasokonstriksi perifer, dengan


perbaikan koroner dan serebral aliran darah. Bekerja sebagai agen chronotropic dan
inotropic. Dosis awal adalah 0,03 μg / kg per menit, dititrasi ke atas sampai efek yang
diinginkan tercapai. Dalam trauma, sering digunakan bersamaan dengan dobutamin.

Dopamin

Dopamin hidroklorida adalah prekursor kimiawi noradrenalin yang merangsang


dopaminergik, beta1-adrenergik dan reseptor alfa-adrenergik dalam dosis tergantung
mode. Dopamin dosis rendah (<3 μg / kg per menit) menghasilkan vasodilatasi
serebral, ginjal dan vena yang meningkat. Keluaran urin meningkat, tapi tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa ini adalah cara untuk melindungi ginjal. Pada dosis
di atas 10 μg / kg per menit, bagaimanapun, efek alfa-adrenergik mendominasi. Ini
ditandai peningkatan resistensi vaskular sistemik dan pulmonal dan kenaikan preload
karena ditandai penyempitan arteri dan vena. Dopamin meningkatkan tekanan darah
sistolik tanpa peningkatan tekanan darah diastolik atau denyut jantung. Dopamin
digunakan untuk hemodinamik khususnya hipotensi dengan tidak adanya
hipovolemia.

Dobutamin

Dobutamin adalah amin simpatomimetik sintetis yang memiliki efek inotropik yang
kuat dengan menstimulasi beta1- dan reseptor alpha1-adrenergik di miokardium. Ada
hanya respon vasodilatasi ringan. Dobutamine dimediasi peningkatan curah jantung
juga menyebabkan penurunan esistensi pembuluh darah perifer. Dengan dosis 10 μg /
kg per menit, dobutamine cenderung menyebabkan takikardia
daripada adrenalin atau isoproterenol. Dosis yang lebih tinggi mungkin
menghasilkan takikardia. Dobutamin dalam dosis rendah juga
telah digunakan sebagai agen pelindung ginjal. Ada sedikit bukti
untuk mendukung penggunaannya sendiri, tapi mungkin bisa membantu
dalam memperbaiki perfusi ginjal sebagai tambahan pada administrasi
adrenalin dosis tinggi. Dobutamin meningkatkan curah jantung, dan kekurangannya
adalah menginduksi pelepasan noradrenalin berarti akan ada efek minimal pada
kebutuhan oksigen miokard. Dobutamin dan dopamin telah digunakan bersamaan.
Kombinasi dosis sedang (7,5 μg / kg permenit) dapat mempertahankan tekanan arteri
dengan sedikit peningkatan tekanan paru dibandingkan penggunaan dopamin saja.

Isoproterenol

Isoproterenol hidroklorida adalah simpatomimetik sintetis


amina dengan chronotropik yang sangat kuat. Obat inotropika yang lebih baru, seperti
dobutamine, membuat isoproterenol tergantikan di kebanyakan setting.
Nitroprusside

Sodium nitroprusside adalah vasodilator perifer yang baik dengan efek pada otot
polos vena dan arteri, dan memiliki efek vasodilatasi seimbang pada kedua sirkulasi,
sehingga meminimalkan efek buruk pada tekanan darah arteri. Obat ini memiliki
waktu paruh yang sangat singkat.

Digoxin

Digoxin meningkatkan kontraktilitas jantung, namun penggunaannya terbatas karena


butuh banyak waktu untuk bekerja. Dalam situasi perawatan intensif, digoxin
biasanya digunakan untuk pengobatan atrial flutter dan supraventricular
takikardi.

Kortisol
Peran insufisiensi adrenal relatif dalam manajemen dari pasien yang cedera kritis
tetap kontroversial.

2.2.6.5 Manipulasi metabolik23


Endoplasion opiat endogen tampaknya terlibat dalam hipotensi dan gangguan perfusi
jaringan yang terjadi pada syok hipovolemik dan septik, karena elevasi dalam zat ini
dapat ditunjukkan pada saat perubahan fisiologis terjadi. Nalokson, antagonis opiat,
telah ditunjukkan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung, dan secara
signifikan, dan meningkatkan ketahanan hidup pada model syok septik dan
hemoragik. Hasil awal pada pasien shock telah mendukung temuan ini. Prostaglandin
juga telah terlibat shock. Mereka mungkin berperan dalam patofisiologi
shock oleh vasodilatasi atau vasokonstriksi dari mikrosirkulasi dengan shunting
darah. Ada bukti eksperimental bahwa penghambat siklooksigenase, seperti
indometasin (indometasin) dan ibuprofen, bisa membaik keadaan hemodinamik
dalam model eksperimental.

2.2.7 Prognosis pada syok


Prognosis pasien yang shock tergantung pada durasi kejutan, penyebab yang
mendasari dan fungsi organ vital yang sudah ada sebelumnya. Prognosisnya paling
baik bila durasinya dijaga dan koreksi gangguan peredaran darah, dan kapan
penyebab yang mendasari diketahui dan dikoreksi. Penyebab yang dapat diperbaiki
ini meliputi:
- Kebutuhan volume yang kurang dengan cairan yang tidak memadai
dan kegagalan untuk menilai respons terhadap challenge cairan
- Anggapan keliru tentang kelebihan beban saat penyakit jantung juga ada
- Hipoksia yang disebabkan oleh ventilasi yang tidak adekuat, barotrauma ke
paru-paru, pneumotoraks atau tamponade jantung
- Sepsis yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati
- Kelainan asam basa atau elektrolit yang tidak dikoreksi
- Gagal endokrin, seperti insufisiensi adrenal atau hipotiroidisme
- Toksisitas obat.

2.2.8 Protokol yang direkomendasikan untuk syok

2.2.8.1 Pengalaman militer

Pengalaman militer baru-baru ini dari perang Irak telah menunjukkan


nilai 'resusitasi.24,25 Hal ini menyiratkan bahwa teknik pengendalian traumadigunakan
sejak saat jejas, meminimalkan waktu antara cedera dan perawatan, mengendalikan
perdarahan dan kontaminasi, melalui penggunaan minimal cairan jernih, darah segar,
resusitasi awal dan operasi pengendalian trauma awal. Penggunaan whole blood pada
militer secara keseluruhan telah meminimalkan beberapa komponen risiko
terapi, dan juga menunjukkan bahwa kelangsungan hidup membaik. Dari filosofi ini
telah terjadi perubahan protokol praktek sipil terhadap meminimalkan resiko
kristaloid atau cairan resusitasi (resusitasi hipotensi), dan terhadap
Penggunaan awal produk darah dan darah untuk mempertahankan
Profil koagulasi normal sebanyak mungkin.

2.2.8.2 Resusitasi nitrat


- Pasien trauma utama mengalami syok (tekanan darah sistolik <90 mmHg
dan/atau detak jantung> 130kali per menit) dikelola menggunakan protokol
ATLS.
- Pasien trauma torso mayor yang membutuhkan
resusitasi yang terus-menerus sehingga harus memiliki akses vena sentral
yang ditempatkan di gawat darurat.
- Tekanan vena sentral awal lebih besar dari 15 mmHg (sebelum pemberian
volume ekspander)
- Tekanan vena sentral kurang dari 10 mmHg
meskipun loading volume menunjukkan perdarahan yang terus berlanjut. Saat
ini yang rasional adalah resusitasi hipotensi (sistolik
tekanan darah> 90 mmHg dan denyut jantung <130 denyut
per menit) dengan pemuatan volume sedang sampai perdarahan telah
terkontrol.
- Bolus ringer laktat harus dilanjutkan, dan bila jumlahnya melebihi 30 mL /
kg, seharusnya darah diberikan.
- Protokol untuk transfusi masif seharusnya dilakukan

2.2.8. Resusitasi ICU


- Pada saat kedatangan, keputusan dibuat terus berlanjut
dengan pengawasan menggunakan tanda vital serial.
- Untuk pasien yang tidak respon terhadap resusitasi atau transfuse pemantauan
output jantung atau kateterisasi arteri pulmonalis dapat dibenarkan.
- Intubasi harus dipertimbangkan jika belum dilakukan
- Jika CI lebih dari 3,8 L / m2 per menit, pasien harus dipantau secara tepat.
- Tingkat hemoglobin harus dipertahankan di antara 8 dan 10 g / dL
- Tekanan baji kapiler paru lebih besar dari 15 mmHg dapat meningkatkan
kinerja jantung.
- Setelah mendapatkan tekanan baji kapiler paru yang optimal, jika CI berada
di bawah 3,8 L / m2 per menit, infus dari agen inotropik vasodilatasi harus
dipertimbangkan.
Dobutamin direkomendasikan sebagai agen pilihan, dimulai pada dosis 5 μg /
kg per menit. Jika pasien tidak mentolerir vasodilatasi, agen
seperti dopamine harus dipertimbangkan.
- Kadang-kadang, agen inotropik dengan efek vasokonstriksi, seperti
noradrenalin atau adrenalin, dapat diberikan.

Anda mungkin juga menyukai