Anda di halaman 1dari 19

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH

BANGSA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

KICKY ADDIEN PRASETIAWAN 1901010045

MUHAMMAD KHOIRUL ARIFIN 1901000147

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Pancasila Dalam
Kajian Sejarah Bangsa Indonesia.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan pada kesempatan
ini pula kami sampaikan haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pengajar
yang telah membimbing kami, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi isi materi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang Pancasila Dalam Kajian Sejarah
Bangsa Indonesia ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mendiang presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah mengatakan , “Jangan sekali-


kali melupakan sejarah!” Dari perkataan tersebut dapat dimaknai, bahwa sejarah mempunyai
fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna“sejarah
memberikan kearifan”.Sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan
suatu konsepsi dan cita-cita.

Pancasila sendiri memiliki sejarah yang panjang mulai dari perumusan hingga
implementasinya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini masih banyak dikaji berbagai
pihak mulai dari para akademisi hingga para ahli. Kajian tentang Pancasila tak ada habisnya
hingga saat ini.

Meski-pun Pancasila sudah diterima secara luas sebagai dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesai, namun masih banyak sekali perbedaan penafsiran yang tak berkesudahan hingga saat
ini. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi esensi Pancasilasebagai dasar Negara yang
mempunyai arti yaitu mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan pancasila sebagai
dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut;

1. Pengertian Pancasila
2. Pancasila pada era pra-kemerdekaan
3. Pancasila pada era pasca kemerdekaan
4. Pancasila pada era Orde Lama
5. Pancasila pada era Orde Baru
6. Pancasila pada era Orde baru

Tujuan

Tujuan dari dirulisnya makalah ini adalah sebagai berikut;

1. Memahami pengertian Pancasila


2. Membahas Pancasila pada era pra-kemerdekaan
3. Membahas Pancasila pada era pasca kemerdekaan
4. Membahas Pancasila pada era Orde Lama
5. Membahas Pancasila pada era Orde Baru
6. Membahas Pancasila pada era Orde baru
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pancasila

Pancasila adalah deologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Lima sendi utama penyusun Pancasila seperti yang tercantum pada paragraf ke-4
Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945 adalah;

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang
berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945,
tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
2. Pancasila pada Era Pra Kemerdekaan

2.1. Pembentukan BPUPKI

Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial
pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang
pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad(dari bahasa
Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa
penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang
berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri
(masa persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan baru dimulai
pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan
tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat
negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Badan ini bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan


Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
Dokuriti Zyunbi Tioosakai. Pada hari itu juga di umumkan nama-nama Ketua, Wakil
ketua serta para anggota sebagai berikut :
Ketua : Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat
Ketua Muda : Itibangase ( Seorang anggota luar biasa)
Ketua Muda : R.P. Soeroso ( merangkap kepala)

Nama para anggota Iin menurut nomor tempat duduknya dalam sidang adalah
sebagai berikut :
1. Ir. Soekarno
2. Mr. Muh Yamin
3. Dr. R. Kusuma Atmaja
4. R. AbdulrahimPratalykrama
5. R. Aris
6. K. H. Dewantara dan masih banyak lagi yang lainnya
2.2. Sidang BPUPKI I

Sidang BPUPKI Pertama dilakukan untuk menentukan dasar Negara Indonesia.


Sidang berlangsung selama empat hari, berturut-turut yang tampil untuk berpidato
menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut:

1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato
mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik
Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4.
Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan
gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang
beliau namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2.
Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan
"Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri
Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan
Yang Maha Esa”.

Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang
dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila",
masih menurut beliau bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini
dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2.
Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan masih menurut Ir.
Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas kembali dinamakannya sebagai
"Ekasila" (Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”, ini adalah merupakan
upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai rumusan
dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada dalam
kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Masa persidangan
BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan
tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
2.3. Piagam Jakarta

Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum
ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik
Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di
atas guna menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah
dikemukakan oleh para anggota BPUPKI itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia
Sembilan" ini adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno (ketua)

2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)

3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)

4. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)

5. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)

6. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)

7. Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)

8. Haji Agus Salim (anggota)

9. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum
kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"),
maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali bertemu dan menghasilkan
rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam
Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah
"Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir.
Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota
BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut
dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-


pemeluknya,

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3. Persatuan Indonesia,

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan,

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.4.Sidang BPUPKI II

Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10


Juli 1945 hingga tanggal 17 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas
tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia,
rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta
pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI
dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain
adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno),
Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan
Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).
Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang
diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang
tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7
orang yaitu sebagai berikut:

1. Prof. Mr. Dr. Soepomo (ketua panitia kecil)

2. Mr. KRMT Wongsonegoro (anggota)

3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)

4. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)

5. Mr. Raden Panji Singgih (anggota)

6. Haji Agus Salim (anggota)

7. Dr. Soekiman Wirjosandjojo (anggota)

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang
diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang
tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7
orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan


panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya
sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-
Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu:

1. Pernyataan tentang Indonesia Merdeka

2. Pembukaan Undang-Undang Dasar

3. Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai


"Undang-Undang Dasar 1945", yang isinya meliputi:
 Wilayah negara Indonesia adalah sama dengan bekas
wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah
dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah
wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta
wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-
Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor Leste), dan
pulau-pulau di sekitarnya,
 Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
 Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik,
 Bendera nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
 Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.

Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun


dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep Undang-
Undang Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta".
Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai
penerapan aturan Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta"
atau "Jakarta Charter" pada akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit
berbeda.

2. Pancasila pada Era Pasca Kemerdekaan

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang
Dasar bagi negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya "Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi
Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa


Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua
adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak
pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala
sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.

Anggota "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan


nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di
wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang
asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang
asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai
wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr.
Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota "PPKI" ditambah lagi
sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman
Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan
kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak
kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut
ajaran kebatinan, yang kemudian diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis")
guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna
dihapuskannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan
membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik
tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan(bahasa Belanda:
"preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut
dengan hanya UUD '45 adalah:

 Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti
dengan kata “Pembukaan”.

 Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang


Dasar 1945, diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan
beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-
kata “dan beragama Islam”.

 Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula
berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi:
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun
kelompok muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga buatan pihak
pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta
jasa badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan.
Anggota "PPKI" telah menjalankan tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-
baiknya, hingga pada akhirnya "PPKI" dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang
kuat bagi negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

3. Pancasila pada Era Orde Lama

Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah
dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada
akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api pancasila
sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang diawali oleh kahendak
seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada persatuan dan kesatuan.
Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang terpusat, agar
dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan
melawan penjajah (nekolim, neokolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari
penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia dengan manusia.

Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa itu berlaku demokrasi
terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno
meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi
khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna yang
terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh
kepentingan-kepentingan tertetu.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila
dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada
kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap
kebijakan-kebijakan.

Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari
situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan
keselamatan bangsa dan Negara.

Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI


memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya
keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.

4. Pancasila pada Era Orde Baru

Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari
pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari pancasila serta UUD 1945. Akan
tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa
orde lama, yaitu pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar, rezim, otoritarian di
bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga pancasila
oleh rezim orde baru ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat
otoritarianisme Negara. Makadari itu, Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin
komperehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala
tindakan pemerintah yang berkuasa dalam diri masyarakat Indonesia.

Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia


yang sangat plural kemudian diseragamkan. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapat
tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai puncaknya, pada tahun 1985 seluruh
organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya
dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila
atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai
pengkhianat atau penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa orde baru tidak hanya
monopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran.

Pada era orde baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila,
pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO.
II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4) disekolah dan
masyarakat. Tujuan dari P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan
menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga
disampaikan pemahaman terhadap UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

5. Pancasila pada Era Reformasi

Pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila pada masa orde lama dan orde baru telah
terjadi deviasi oleh oknum-oknum penyelenggara Pemerintah, sehingga mendorong
terjadinya reformasi oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh bangsa. Sehingga negara ini telah
dilanda kritis, baik krisis dibidang ekonomi, politik maupun kepemimpinan. Reformasi lahir
dengan tujuan untuk memperbaiki krisis yang berkepanjangan serta menata kearah yang
lebih baik.

Memahami peran Pancasila di era reformasi, Pancasila sebagai paradigma


ketatanegaraan artinya Pancasila menjadi kerangka berpikir bangsa Indonesia, khususnya
sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
kaitannya dengan pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya
hukum yang dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti


bahwa Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka diimplementasikan sebagai
berikut:

1. Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

2. Mementingkan kepentingan rakyat/demokrasi dalam mengambil keputusan.

3. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep


mempertahankan kesatuan.

4. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan


yang adil dan beradab.

5. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan toleransi bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa.

Pancasila sebagai paradigma nasional di bidang ekonomi mengandung pengertian


bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan
nyata. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung
pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana kebudayaan sebagai
sarana pengikat persatuan dalam budaya majemuk. Pancasila sebagai paradigma dalam
pembangunan nasional bidang hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan
untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri
dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat
ilmu pengetahuan yang diletakkan di atas Pancasila perlu dipahami sebagai dasar dan arah
penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu
bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari kebenaran dan kenyataan. Epistimologis, yaitu bahwa Pancasila
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti
dijadikan dasar dan arah dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Aksiologis, yaitu bahwa
dengan epistimologis tersebut, pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan
seacar negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau
mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pancasila adalah 5 butir nilai yang menjadi deologi dasar dalam kehidupan bagi negara
Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik
Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yaitu pemerintah, wilayah, dan rakyat.
Pancasila dalam kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh
kehidupan negara Republik Indonesia.

Pancasila hingga saat ini mempunyai sejarah yang sangat panjang mulai dari masa pra-
kemerdekaan hingga saat ini. Dalam setiap masanya, Pancasila kerap mengalami pasang surut
baik dalam hal pemahaman mau pun implementasinya terhadap negara.

Saran

Sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesai, kita sepatutnya menanamkan nilai-
nilai pancasila pada pribadi kita masing-masing demi mewujudnkan cita-cita luhur para
pendahulu kita. Dan sebagai generasi muda, sudah sepatutnya kita memperjuangkan nilai
Pancasila, sebab masa depan Indonesia ada di tangan kita.
DAFTAR PUSTAKA

Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI periode 2014-2019. 2017. Empat Pilar MPR RI.
Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha-
usaha_Persiapan_Kemerdekaan_Indonesia

https://alexandramahandita.wordpress.com/2014/11/03/pancasila-dalam-kajian-sejarah/

https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

https://www.academia.edu/37512047/PANCASILA_DALAM_KAJIAN_SEJARAH_BANGSA
_INDONESIA

https://www.academia.edu/29016296/MAKALAH_PANCASILA_Pancasila_dalam_kajian_sejar
ah_bangsa_indonesia_pada_era_orde_baru_dan_reformasi_

Anda mungkin juga menyukai