Anda di halaman 1dari 2

Jejak Sejarah dan Memori Kolektif

Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh


Dr. Sadiah Boonstra
Oleh:
Syarah Nurul Fazri
19/449423/PSA/08692

Di masa lalu, sejarah meninggalkan jejak. Dokumen, artefak, hingga mentalitas adalah
sebuah bukti bahwa masa sebelumnya pernah terjadi. Apa yang dtinggalkan orang di masa lalu saat
ini dapat kita bayangkan sebagai sebuah “heritage” atau warisan. Persoalan warisan dan sejarah
sangat menarik yang mana keduanya di satu sisi bisa menjadi “kawan main”, namun dapat pula
menghasilkan bias tertentu. David Lowenthal dalam bukunya The Heritage of Crusade and The
Spoils of History mengkaji studi atas mengapa warisan sejarah saat ini tumbuh menjadi industri
populer, apa yang diharapkan dari perusahaan-perusahaan “pengkomodifikasi” warisan itu sudah
mencapai keinginan atau kesesuaian dengan sejarah, dan mengapa persaingan diantara mereka,
menundukkan kemampuan kita (sejarawan dan seniman) untuk peduli pada warisan global.
Berdasarkan tujuan dari kajian buku tersebut, hal ini sangat penting bagi kita untuk menelisik lebih
jauh kiranya apakah komodifikasi warisan masa lalu berhubungan dengan maraknya industri
pariwisata sejarah? Bagaimana hal tersebut membangkitkan refleksi seseorang terhadap
pemahaman sejarah mereka? Sejauh mana penggunaan warisan sejarah membangun memori
kolektif sebuah bangsa, yang kemudian tumbuh menjadi akar dari “nasionalisme atau chauvinisme”?
Berbicara mengenai pembuktian sejarah tentunya adalah hal yang selalu diperdebatkan
bahkan di kalangan sejarawan. Sejarah yang dihadirkan sejarawan adalah pada dasarnya
merupakan subjektivitas tertentu, atau pemaknaan atas peristiwa masa lalu. Namun, sejarah
sebagai peristiwa adalah fakta-fakta tertentu yang dialami oleh orang-orang tertentu. Meskipun
demikian, sejarawan berusaha menghadirkan fakta-fakta yang mendekati pada objektivitas yang
dibantu dengan konstruk metodologinya. “Pekerjaan” sejarawan sarat dengan tingkat “kreativitas”
tertentu dalam penyajian sebuah historiografi. Representasi atas masa lalu dihadirkan kembali oleh
sejarawan sebagai pemaknaan bahwa hal tersebut pernah ada, pernah terjadi, bahkan bisa pernah
mempengaruhi. Makna representasi ini selalu dikaitkan dengan kehadiran akan sesuatu dari yang
sebelumnya abstrak menjadi berwujud. Perwujudan atas pemaknaan sejarah dapat dikembangkan
melalui penghadiran kembali material-material di masa kini, untuk menghadirkan masa lalu.
Perjalanan pada studi lapangan dalam mata kuliah “History of the Performing Art” yang
dilakukan dengan mengunjungi Jogja Biennale di Museum Nasional Jogja, yang diselenggarakan
pada Kamis, 21 September 2019 membuka wawasan tentang bagaimana sejarah dapat
direpresentasikan melalui seni pertunjukkan, atau pameran-pameran yang bertemakan khusus.
Berdasarkan pengamatan atas studi lapangan tersebut, pameran yang diwujudkan
merepresentasikan sebuah karya seniman yang berasal dari ide-ide “liar” mereka. Ide keliaran itu
biasanya diwujudkan dari “pemahaman seniman” atas realitas kehidupan baik di masa lalu maupun
masa sekarang, atau bahkan dapat merepresentasikan pilihan-pilihan di masa depan. Salah satu
karya yang bisa dikatakan menyejarah adalah tugu pameran marsinah. Tugu ini dibuat untuk
memperingati jerih payah Marsinah, seorang pejuang buruh di masa Orde Baru, yang mati tragis
dibunuh oleh “tangan-tangan Tuhan” masa orde baru. Upaya penghadiran tugu marsinah ini adalah
untuk memperingati perjuangan kelas buruh sekaligus menghadirkan “kekejaman orde baru”.
Masa orde baru di Indonesia adalah masa pembangunan sekaligus pemberangusan.
Representasi atas orde baru juga dialami oleh memori kolektif masyarakat, baik itu ada yang
kemudian menjadi “pemuja” orde baru, namun ada juga yang menafikkan hal-hal pembangunan
yang sama dengan kekejaman. Memori kolektif bekerja berdasarkan apa yang budaya material yang
dibawa di satu masa tertentu, dalam hal ini di masa orde baru. Dokumen, peristiwa, artefak
material orde baru telah terpatri di dalam memori kolektif Indonesia. Pemaknaan setiap orang akan
hal itu mungkin dapat berbeda, namun pewarisan-pewarisan orde baru berasal dari satu sumbu
utama, yaitu politik memori orde baru. Penekanan masa orde baru yang bersifat agresif sekaligus
persuasif, sejarah nasional dihadirkan dengan upaya pemahaman nasionalisme yang mengakar.
Bahkan beberapa peristiwa sengaja ditutup untuk menutup topeng “pembangunan”. Alih-alih
demikian, sejarah, pewarisan, representasi, serta budaya material membawa pengaruh penting
terhadap memori kolektif masyarakat, sehingga upaya tersebut terus menerus dilakukan dari masa
ke masa.

Anda mungkin juga menyukai