Tidak disangsikan lagi, ajaran Islam yang adil selalu memperhatikan hubungan antar manusia,
khususnya bila menyangkut permasalahan harta dan proses perpindahannya. Terkadang muncul rasa
sesal karena tergesa-gesa dalam melakukan transaksi atau membatalkannya. Apalagi pada akad
permanen seperti jual beli yang kapan terjadi dengan sempurna rukun dan syaratnya tidak
diperbolehkan adanya penggagalan kecuali dengan keridhaan dari kedua belah pihak dan kadang tidak
terjadi keridhaan tersebut, sehingga membuat orang sangat kesulitan sebagai akibat dari ketidak
cermatan dan terburu-buru dalam menyempurnakan transaksinya atau kadang disifatkan barang
tersebut tidak sesuai hakikatnya kemudian terbukti adanya aib yang tida diketahui ketika transaksi
Untuk mengatasi timbulnya penyesalan atau menghilangkan kesulitan dan ketidak relaan yang kadang
mnyertai para transaktor dalam akadnya, syariat Islam memberlakukan hak pilih antara menggagalkan
atau melangsungkan transaksi akad permanen setelah sempurnanya Inilah yang dikenal dalam fikis
islam dengan al-khiyâr.
Hikmah Pensyariatan.2
Ada beberapa hikmah yang disampaikan ulama fikih dalam pensyariatan al-khiyâr, di antaranya :
1. Membuktikan dan mempertegas kerelaan dari kedua belah pihak. Oleh sebab itu, syariat
hanya menetapkan al-khiyâr dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang
bertransaksi menegaskannya sebagai persyaratan.
2. Memperkecil kelemahan transaksi dipermulaan, karena informasi yang tidak lengkap atau ada
keraguan atau sejenisnya yang dikhawatirkan bisa menyebabkan kerugian bagi para transaktor
(pelaku transaksi).
3. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk meninjau ulang transaksinya agar
bisa mendapatkan kebaikan dan bisa mencapai tujuannya dalam jual beli.
4. Memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dan berfikir ulang dengan memberikan
kesempatan untuk berkonsultasi dengan para ahli yang ia percayai tentang kesesuaian harga
dan barang. Sehingga ia tidak merasa dibohongi atau dirugikan.
5. Memberikan kemudahan kepada pemilik harta dan menutup kesempatan orang yang rakus,
sehingga tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Yaitu dengan memberi kesempatan untuk melihat
dan memeriksa barang, serta menimbang-nimbang kesesuaian harga dengan barangnya, agar
para pelaku transaksi benar-benar tahu dengan jelas, sehingga tidak menyesal setelah
melakukan transaksi tersebut.
6. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk membatalkan transaksi apabila
terjadi kesalahan atau karena pihak penjual tidak bersedia memperbaiki cacat pada barangnya.
Demikian beberapa hikmah dari al-khiyâr yang disampaikan para ulama, dengan tetap meyakini
bahwa Allah pasti memiliki hikmah yang agung dalam setiap syari'atNya. Diantara hikmah-hikmah ini
ada yang diketahui manusia dan sebagiannya lagi tidak diketahui dan menjadi rahasia Allah .
Seyogyanya, ini semakin menjadikan para hamba-Nya tunduk kepada-Nya.
1
Al-Fiqhul-Muyassar, Prof. DR. `Abdullâh ath-Thayâr hlm. 63
2
Lihat Al-Fiqhul-Muyassar hlm. 93-94 dan Buku Pegangan Materi (Master Text Book GFIQ 5173) Fikih Mu’amalat, Madinah
Internasional University (MEDIU), Fakultas Syari’at. Hlm. 28-29
Al-Khiyaar ini ada yang disebutkan dalam nash secara khusus seperti Khiyaar Syarth dan khiyaar
Ru’yah, ada juga yang ditetapkan secara tuntutan kaedah-kaedah umum seperti khiyar ‘Aib dan tadlis
dan ada juga yang ditetapkan secara qiyaas (analogi) seperti khiyaar Naqd dan Khiyaar Ta’yiin.
Oleh karena itu ulama fikih tidak bersepakat kecuali pada sebagian jenis khiyaar saja dan sisanya
masuk dalam zone ijtihad.
Sisi lainnya didapatkan sebagian dari hak khiyaar ini ditetapkan dengan kewajiban syar’I walaupun
kedua transaktor tidak mensyaratkannya seperti khiyaar Ru’yah dan khiyaar aib, ada juga yang
bergantung kepada kesepakatan keduanya sehingga tidak ada tanpa adanya syarat baik dari sdalah satu
atau dari keduanya seperti khiyar syarath dan ta’yiin. Demikian juga penggagalan kadang bisa terjadi
dengan keinginan pemilik khiyaar tanpa harus melalui keputusan peradilan seperti dalam khiyaar syarat
dan ru’yah dan kadang harus dengan keputusan peradilan seperti pada khiyar ‘aib karena aib yang
menjadikan sebab penggagalan butuh kepada ukuran khusus yang tidak cukup hanya melihat
pandangan para transaktor semata.
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi al-khiyâr menjadi tujuh jenis3 ditambah 3
khiyaar lainnya sehingga berjumlah 10, yaitu:
1. Khiyâr al-majlis
2. Khiyâr asy-syarat
3. Khiyâr al-‘aib
4. Khiyâr at-tadlîs
5. Khiyâr al-ghabn
6. Khiyâr fî al-bai’ bi takhyîrits tsaman
7. Khiyâr li lkhtilâfil mutabâyi’ain
8. Khiyaar at-Ta’yiin
9. Khiyaar ar-ru’yah
10. Khiyaar an-Naqd.
Dasar Pensayriatannya.
Al-Khiyâr jenis ini disyariatkan dengan dasar sabda Rasulullâh n :
ركرلَ بيَ رَ َمرابفِّريبيَ ْي ِّع َِّ َمراب
ِّ ابويَيَََّرابير َ انبيِّا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهقَابأ َ ْوب َحتَّىبيَتَفَ َّهقَرابفَر ِّن ْنب
َ َصر ََق ِّ َش ْيبَيِّع
ابو َكذَ َياب رم ِّحقَتْ ب َي َهكَةرب َي ْي ِّع َِّ َما
َ َو ِّإ ْنب َكت َ َم
Jual beli itu dengan al-khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau hingga keduanya berpisah.
Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (aib barang dagangannya-red) maka jual beli mereka
3
Asy-Syarhul-Mumti’ , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn 7/261
4
Syarhul-Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al’Utsaimîn t 8/262
5
Master Texs book GFIQ 5173, MEDIU hlm 28
6
Al-Fiqhul-Muyassar hlm. 65
mendapatkan barakah dan bila keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli
mereka dihapus. 7
Juga sabda beliau n :
ابوكَانَاب َج ِّميعابأ َ ْوبير َخ ِّي ررهبأ َ َحر رَ رم َماب
َ ٍَبم َْ رَ َماب ِّيا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهق
شحَ ِّب ِّ بو َ نبفَ رك ُّل
لَ ِّب َّ ِّإذَشبتَبَايَ َع
بشيه رج ب
شحررَبب َ بو ِّإ ْنبتَفَ َّهقَررابيَ ْعرََبأ َ ْنبيَتَبَايَعَر
َ رابويَر ْمبيَتْر رره ْل
ِّ بو َ ْبو َجر َ بش ْيبَ ْير رعَ َىذَررىبذَ ِّيررَْ بفَقَر َ ْشْل َخر َرهبفَتَبَايَعَرراب
ْبو َج َ بش ْيبَ ْي ربعَ ََِّم َْ رَ َمابش ْيبَ ْي َعبفَق
Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih (al-khiyâr)
selama belum berpisah atau salah seorang telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika
keduanya bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli ini sudah sempurna.
Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang darinya tidak menggagalkan jual beli maka
akad jual beli ini juga sudah sempurna.8
Dalam hadits yang mulia ini Rasulullâh telah menetapkan dengan gamblang hak pilih antara
melanjutkan atau menggagalkan transaksi selama belum berpisah.
7
HR al-Bukhâri no. 1737
8
HR al-Bukhâri no. 1970
9
HR al-Bukhâri no. 1970
Sebagai contoh, seorang penjual berkata kepada pembeli, “Saya akan menjual mobil saya dengan
US$ 100.000;”. Lalu pembeli menjawab, “Saya setuju dengan syarat diberi hak pilih selama dua hari”.
Syarat yang diajukan pembeli di sini untuk minta kesempatan berfikir dan memilih-milih selama waktu
tertentu itu. Ini dinamakan Khiyâr asy-syarth.10
Dengan demikian Khiyâr asy-syarth ada menjadi hak salah satu transaktor atau kedua-duanya atau
orang yang menjadi perwakilan dari keduanya dalam menyempurnakan transaksi (akad) atau
menggagalkannya dengan persyaratan yang ada dalam akad. Apabila penjual berkata kepada pembeli
misalnya: Saya jual rumah ini dengan harga 1 milyar rupiah dengan syarat saya diberi hak khiyâr atau
kamu punya hak khiyâr selama tiga hari dan pembeli menerimanya. Maka penjual memiliki hak untuk
menggagalkan akad dalam masa tersebut dan demikian juga pembeli. Apabila berlalu masa yang
disyaratkan tersebut tanpa ada yang menyatakan sikap dari penjual atau pembeli atau dari keduanya,
maka hak khiyârnya gugur dan akad menjadi sempurna secara otomatis.
Khiyar ini tidak ada kecuali disebabkan karena adanya syarat sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Namun menurut madzhab Malikiyah khiyar ini berlaku dengan sebab syarat dan juga dengan adat
kebiasaan. 11
Dasar Pensyariatannya
Dasar syari'at hak pilih jenis ini adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang
berbunyi:
ي ِّبصرذىبهللابىذيرهبوسرذمبأَنَّر بهربير ْخر ََ رببفِّريبش ْيبرير ْرك بِّبفَقَرا َببإِّذَشبيَايَ ْعرتَببفَقرر ْبلب
نب َر رجلببذَك َبَهب ِّيذََّبِّ ب أ َ َّب
َالَ ِّخلَيَ بة
Seorang menyampaikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia tertipu dalam jual beli.
Maka beliau menjawab, "Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah: "Tidak ada hak merampas.”
10
Master text book hlm 52
11
Syarh ar-Risaalah karya an-Nafraawi 2/352.
12
Bidaayatul Mujtahid 2/271
Ketentuan Khiyâr asy-Syarth.
Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan khiyâr ini adalah:
1. Para Ulama berbeda pendapat tentang masa tenggang untuk memutuskan pilihan tersebut. Di
antara ulama ada yang membatasi tiga hari saja, sementara ada juga yang menyatakan boleh
lebih dari itu, tergantung kebutuhan. Yang râjih dalam masalah masa tenggang ini diserahkan
kepada kedua pihak yang bertransaksi tanpa ada batasan waktu tertentu. Namun, tentunya
jangan sampai terlalu lama melebihi kebiasaan yang telah berlaku.
2. Sah melakukan persyaratan minta tenggang waktu tertentu walaupun lama.
3. Waktu berlakunya khiyar asy-syarth dimulai sejak transaksi hingga selesai masa tenggang
yang disepakati. Apabila telah berlalu masa tenggang tersebut dan belum ada penggagalan
transaksi maka transaksi dianggap sempurna dan telah terjadi. Apabila di masa tenggang
tersebut salah satu pihak menggagalkan transaksi, maka itu boleh, karena itu adalah hak kedua
belah pihak.
4. Harus ada pembatasan khiyâr dalam waktu tertentu yang baku dan dapat dipastikan.
5. Tidak diperbolehkan memberikan persyaratan masa tenggang melebihi masa kadaluarsa
barang, karena akan merugikan salah satu pihak. Misalnya meminta tenggang waktu
pembelian buah-buahan yang hanya bertahan sepekan dengan persyaratan minta tenggang
waktu 10 hari
6. Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai transaksi permanen yang bisa dibatalkan.
Khiyâr ‘Aib
13
Al-Mukhtaraat al-jaliyah hlm 102
Diantara hak pilih yang ditetapkan masing-masing dari dua pihak yang bertransaksi adalah
khiyâr aib. Dimana salah satu transaktor dapat menggagalkan transaksi bila tersingkap adanya cacat
pada objek transaksi yang sebelumnya tidak diketahui.
Ulama pakar fikih mendefiniskannya dengan hak syar’I yang ditetapkan dengan segala
konsekwensinya untuk pembeli dalam menyempurnakan atau menggagalkan transaksi apabila
mendapatkan barang memiliki aib dan rusak yang belum diketahui sebelumnya ketika waktu
transaksi.14
Syeikh Shalih bin fauzan alifauzaan lebih jelas menyatakan: Khiyâr aib adalah hak pilih yang
ditetapkan untuk pembeli dengan sebab adanya aib atau cacat pada barang yang tidak diberitahukan
oleh penjual atau penjual belum mengetahuinya, namun nampak keberadaannya pada barang sebelum
dijual.15
Hikmah Pensyariatannya.
Hikmah disyariatkannya hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena kerelaan pada
berlangsungnya transaksi juga didasari keberadaan objek transaksi yang tidak ada cacatnya. Adanya
cacat yang tersingkap menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih
terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang
di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang
berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada
sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang bertransaksi tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan
ini sudah dapat dimaklumi secara aksiomatik.
Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang bertransaksi untuk
melanjutkan transaksi atau membatalkannya. Yakni apabila pembatalan transaksi itu memungkinkan.
Tetapi kalau transaksi itu tidak mungkin dibatalkan karena objek transaksi bertambah atau berkurang
sebelum diketahui cacatnya, pihak yang dirugikan hanya berhak mendapatkan kompensasi atau ganti
rugi, yakni dengan menerima sejumlah uang sesuai dengan pengurangan harga karena adanya cacat
tersebut.
Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada
indikasi ke arah hal itu, hak pilih itu dengan sendirinya gugur.
Hukum Pensyariatannya
Para pakar ahli fikih sepakat tidak bolehnya seorang penjual apabila mengetahui barangnya ada
cacatnya untuk menjual dengan menutupi hal tersebut. Ini yang sudah lazim ada dimasyarakat; seorang
yang membeli barang akan memilih barang yang tidak cacat dan penjual harus menjelaskan cacat
tersebut apabila ada pada barangnya. Apabila terbukti adanya cacat dalam barang tersebut maka syariat
memberikan hak pilih (khiyâr) kepada pembeli untuk mengembalikan barangnya dan menggagalkan
transaksinya. Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Diantaranya:
1. Firman Allah ta’ala:
ببب ب
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (Qs. An-
Nisaa`/4:29). Dalam ayat ini Allah mensyaratkan sahnya jual beli dengan suka sama suka dari kedua
transaktor. Ketika barang yang selamat dari cacat adaah yang diinginkan pembeli, yang tentunya tidak
membeli barang yang cacat. Lalu nampak cacat pada barang tersebut setelah membelinya, maka
tentunya hal inipun akan merusak sikap suka sama suka tersebut.
2. Hadits Nabi n yang diriwayatkan ibnu Majaah dari sahabat ‘Aisyah:
ْ بَّللابإِّنَّهرب بقََْبش
ستَغَ َّلب ِّ َّ َ سك َ َى ْيباب َف َه َّد ربفَقَا َ بي
ابر ر َ بو َجََب ِّي ِّهب ْ ى ْبَشبفَا
َ ستَغَذَّهربث ر َّم َ شت َ َهىب َ أ َ َّن
ْ بر رجلبش
ان َّ سذَّ َمبش ْي َخ َهشجربيِّاي
ض َم ِّب َ بو َ ىذَ ْي ِّه َّ َّصذ
َ ىبَّللارب َ بَّللاِّب
َّ سك ر َ َ غ َل ِّميبفَقَا
بر ر ر
Seorang membeli seorang budak lalu menggunakannya, kemudian mendapatkan adanya aib pada
budak tersebut, lalu ia kembalikan. Maka penjual berkata: Wahai Rasulullah sungguh ia telah
14
Master text book hlm 67
15
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
mempergunakan budakku tersebut. Lalu Rasulullah n menjawab: Maanfaat berbanding dengan
resiko.16
3. Hadits lainnya dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir , beliau berkata:
ْ س ِّذ رم بأ َ رخكبش ْي رم
ْ س ِّذ ِّم َبال بيَ ِّح ُّل ب ِّي رم
س ِّذ ٍم بيَا َب ْ سذَّ َم بيَقرك رب بش ْي رم َ ى َذ ْي ِّه
َ بو َّ َّصذ
َ ىبَّللارب َ بَّللاِّ ب
َّ َ سك بر ر َ س ِّمعْتر َ
َ ِّم ْابأ َ ِّخي ِّهب َي ْيعاب ِّفي ِّهب
ى ْي ب ِّإ َّالب َييَََّهربيَ بهر
Aku telah mendengar Rasululloh n bersabda: Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak
diperbolehkan seorang muslim menjual kepada saudaranya barang yang cacat kecuali telah
menjelaskannya.17
Demikianlah sebagian dari dasar ditetapkannya khiyâr aib, namun apakah setiap aib atau cacat
diberlakukan padanya khiyâr ini?
16
HR Abu Daud no. 3510 dan Ibnu Majâh 2243 dihukumi sebagai hadits hasan oleh al-Albani dalam
al-Irwa’ no. 1315 .
17
HR Ibnu Majâh 2237 dan dihukumi sebagai hadits shahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no 1321
18
Master textbook hlm 78-79.
19
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
20
al-Muhalla 9/43 dan Nawaadir al-Guqaha hlm 244
21
lihat al-Mughni 4/279, al-Ikhtiyaraat hlm 124, I’lam al-Muwaqqi’in 3/405 dan asy-Syarhul Mumti’
8/265
22
Diadaptasi dari Master Texs book GFIQ 5173, MEDIU hlm 80-95 dan Al-Fiqh al-Muyassar hlm 70
2. Cacat atau aib tersebut mempengaruhi nilai barang tersebut. Ketentuan ini tentunya
berdasarkan kebiasaan para pedagang yang ada.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya cacat pada barang tersebut ketika akad atau ketika serah
terima barang. Apabila pembeli telah mengetahui cacat atau aib tersebut sebelumnya dan tetap
melakukan transaksi maka dianggap ridho dengan keadaan tersebut sehingga khiyâr aib ini
tidak berlaku lagi.
4. Tidak mungkin menghilangkan cacat tersebut kecuali dengan susah sekali.
5. Cacat masih ada ketika penggagalan transaksi tersebut. Misalnya seorang membeli kambing
kemudian ketahuan kambing tersebut sakit. Namun ketika menggagalkan transaksi ini ternyata
kambing tersebut sehat lagi. Apabila demikian maka tidak diberlakukan khiyâr aib.
Dari sini dapat diketahui adanya penghalang pengembalian barang cacat, yaitu:
1. Keridhoan pembeli menerima barang cacat tersebut setelah mengetahuinya.
2. Pembeli menggugurkan hak pilih (khiyâr) ini
3. Hilang dan lenyapnya barang yang cacat tersebut.
4. Pertambahan barang setelah berada ditangan pembeli yang terpisah dari barang itu sendiri. Hal
ini dapat dijelaskan dengan contoh: seorang membeli kambing lalu nampak adanya cacat
padanya. Namun sebelum dikembalikan kambing tersebut melahirkan anaknya. Anak
kambing tersebut adalah tambahan yang terpisah dari induknya yang menjadi barang yang
diperjual belikan. Pada keadaan seperti ini tidak diberlakukan khiyâr aib.
23
Master textbook hlm 84
24
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
Apabila dua orang yang bertransaksi jual beli dan tidak ada bukti (yang memenangkan salah satu
pihak) maka yang dimenangkan adalah pernyataan penjual (pemilik barang) atau saling menggagalkan.
25
Definisi
Kata al-ghabn diambil dari bahasa Arab dari kata ( َ ب-غ َب َاب–ب َي ْغ ِّبارب
غ ْبَرا َ
). Secara etimologi,
al-ghabn memiliki makna yang sama dengan an-naqs yaitu pengurangan, al-ghalab (mengalahkan) dan
al-khidâ' (menipu).26
Sementara dalam terminologi ilmu fikih, al-ghabn artinya adalah kekurangan pada salah satu alat
pembayaran (akibat manipulasi). Dengan demikian al-Ghabn dapat didefiniskan sebagai kekurangan
pada harga saat menjual dan membeli (akibat manipulasi). Kekurangan ini bisa dialami pihak pembeli
dan penjual :
1. Bila dialami pihak pembeli, maka kekurangan harga ini maksudnya harga yang dibayar tidak
setara atau tidak sesuai dengan nilai barang yang diterima. Dengan kata lain, harganya terlalu
tinggi menurut pakar dibidang tersebut.
2. Bila ditinjau dari pihak penjual, maka maksudnya harga yang diterima tidak sebanding dengan
nilai barangnya yang sebenarnya.27
Dari sini dapat diketahui bahwa al-maghbûn (pihak yang terkena manipulasi ini harga ini) bisa pembeli
atau bisa juga penjual. Pelaku manipulasi harga ini bila ia seorang pedagang, berarti ia menjual barang
dengan harga lebih tinggi dari harga sebenarnya. Sebaliknya, bila pedagang yang menjadi korban,
berarti ia menjual barangnya dengan harga jauh lebih rendah dari harga yang sebenarnya akibat ulah
pembeli atau orang ketiga.
Dasar Pensyariatannya
Pensyariatan khiyâr al-ghabn ini masih diperselisihkan oleh para Ulamâ serta tidak ada satu
dalil syar’i pun yang shahih dan tegas dalam hal ini. Namun yang râjih –menurut pendapat kami-
adalah khiyâr ini berlaku, dengan dasar :
1. Secara umum, seorang pembeli apabila hendak membeli –khususnya barang-barang yang
bernilai tinggi- tidak akan sepakat dengan penjual kecuali jika dia merasa bahwa uang yang
akan dibayarkankan sesuai dengan nilai barang yang dibeli. Apabila ia merasa tidak
sebanding, maka ia tidak akan melakukan transaksi. Komitmen ini walaupun tidak terucap
dan tidak dijelaskan dalam transaksi namun ia termasuk komintmen yang terbaca dari banyak
indikasi. Bukti kongkritnya adalah ada upaya tawar menawar dan bertanya kepada beberapa
tempat yang menjual barang tersebut.
2. Kaedah dalam agama yang melarang segala yang merugikan orang lain seperti dalam sabda
Rasûlullâh n :
شر ب ِّ َبوال
بض َه َب َ الَب
َ ض َه َر
Tidak boleh ada kerugian dan merugikan.28
Larangan dalam hadits ini bersifat umum. Artinya larangan terhadap semua yang berpotensi
menimbulkan kerugian bagi diri sendiri atau orang lain, termasuk larangan memanipulasi
harga. jual beli yang mengandung unsur manipulasi (pemalsuan) harga apabila disahkan tanpa
25
HR Ahmad 4214
26
Mausû’atul Fiqhiyah, cetakan ke-4 tahun 2007/1428, cetakan Wizâratul Auqâf wa Asy-Syu`ûnil Islâmiyah al-
Kuwaitiyah, 31/138 dan lihat asy-Syarhul Mumti’
27
Lihat Mausû’atul Fiqhiyah, 20/148 dan al Fiqhul Muyassar, hlm. 72
28
HR Ibnu Mâjah dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 896
ada khiyâr (hak pilih) untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi merupakan madharat
(kerugian) dan merugikan orang lain.
Syarat-Syaratnya
Hak pilih (khiyâr al-ghabn) ini dapat diterapkan apabila memenuhi dua syarat :
1. Korban penipuan memang tidak mengetahui adanya manipulasi harga pada saat transaksi.
Apabila ia sudah tahu saat transaksi namun tetap bersikukuh meneruskan transaksinya maka
hak pilih ini hilang.
2. Manipulasinya berat (al-ghabn al-fâhisy).
29
HR Abu Dâud no. 2980 dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâud.
30
Lihat asy-Syarhul Mumti’ ; al-Fiqhul Muyassar, hlm. 73 dan al-Mausû’atul Fiqhiyah, 20/149-150
31
al-Fiqhul Muyassar, hlm. 73
32 al-Mulakhashul Fiqhi 2/23
33
Diambil dari al-Fiqhul Muyassar, hlm. 73 dan al-Mausû’atul Fiqhiyah, 20/150-151
1. Talaqqi rukbân (mencegat penjual). ar-Rukbân adalah orang yang datang membawa barang
dagangan dari luar kota. Apabila orang ini dihadang dan barang bawaannya dibeli sebelum
sampai ke kota maka inilah yang dinamakan talaqqi rukbân. Praktek bisnis seperti ini
dilarang oleh Rasûlullâh n dan beliau n memberikan khiyâr kepada penjual yang dari datang
dari luar kota ini apabila terjadi penipuan (manipulasi) harga. Rasûlullâh n :
سكقَ بفَ رَ َكبيِّا ْي ِّخ َي ِّب
ار ب َ ىبم َْهربفَ ِّنذَشبأَتَىب
ُّ سيِّ رَ ربشي ْ َالبتَذَقَّ ْكشبش ْي َج َذ َ بفَ َم ْابت َ َذقَّا ربفَا
ِّ شت َ َه
Janganlah kalian mencegat orang yang datang membawa barang dagangan dari luar kota
(al-Jalab). Barangsiapa yangmenghadangnya lalu membeli barangnya, maka bila pemilik
barang tersebut sampai di pasar maka ia memiliki hak khiyâr.34
Dalam hadits ini Nabi n melarang para pelaku bisnis menghadang penjual barang diluar
pasar, tempat transaksi biasa berlangsung. Bila ini terjadi, si pedagang memiliki hak khiyâr
antara meneruskan transaksi atau menggagalkannya, bila ia sampai ke pasar dan mengetahui
harga sebenarnya dari barang yang dibawa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan, "Nabi n menetapkan bahwa pedagang yang
membawa barang dari luar kota (ar-rukbân) memiliki khiyâr apabila dibeli sebelum masuk ke
pasar. Karena bisnis seperti ini mengandung semacam tadlîs (nutupi-nutupi) dan ghisy
(pembohongan). 35
Imam Ibnul Qayyim t menyatakan, "Nabi n melarangnya, karena mengandung unsur penipuan
terhadap penjual disebabkan ketidaktahuannya terhadap harga sebenarnya. Sehingga pembeli
bisa membeli barangnya dengan harga lebih murah dari harga sebenarnya. Oleh karena itu,
Nabi n menetapkan khiyâr untuknya apabila telah masuk pasar. Para Ulama tidak berselisih
pendapat dalam menetapkan hak khiyâr untuk sang penjual apabila transaksi itu mengandung
unsur al-ghabn (penipuan harga). Karena seorang pedagang yang datang dari luar kota jika
tidak tahu harga sebenarnya maka itu berarti dia tidak tahu harga standar sehingga pembeli
leluasa membohonginya. Demikian juga penjual apabila ia menjual sesuatu kepada para
pendatang ini, lalu ketika mereka sampai ke pasar dan tahu bahwa mereka telah ditipu maka
mereka memiliki Khiyâr, jika tipuan ini berat. 36
2. Manipulasi harga yang disebabkan an-Nâjisy. an-Nâjisy adalah orang yang meninggikan
harga barang padahal ia tidak berniat membelinya, tujuannya hanya untuk menipu. Ia hanya
ingin meninggikan harga barang sehingga orang yang menginginkan barang tersebut harus
merogok saku lebih dalam alias dengan harga mahal. Praktek an-nâjisy ini dilarang dalam
Islam sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh n dalam sabdanya :
ىذَىبيَ ْي ِّعبأ َ ِّخي ِّبه ب
َ ركشبوالَبيَبِّ ِّعبش ْي َم ْه رءب
َ الَبتَََا َجئ
Janganlah saling berbuat an-nâjsy dan janganlah seorang menjual sesuatu atas jualan
saudaranya.37
Biasanya antara penjual dan an Nâjisy sudah ada ikatan perjanjian atau bahkan satu
komplotan. Pada saat temannya berjualan dia pura-pura datang sebagai pembeli lalu memuji
kwalitas barang dagangan temannya serta menawarnya dengan harga tinggi atau berbohong
dengan mengatakan, "Saya kemarin membeli barang seperti ini dengan harga sekian." Ini
memberikan image bahwa barang itu memang mahal. Padahal itu hanya sandiwara yang sudah
diatur. Jika ada orang yang tertipu lalu membeli barang tersebut dengan harga tinggi, maka dia
memiliki hak khiyâr untuk melanjutkan transaksi tersebut atau membatalkannya, ketika dia
mengetahui harga sebenarnya.
Contoh lain, pernyataan dusta penjual yang mengatakan, "Saya beli barang ini dengan harga
sekian.", padahal dia membelinya dengan harga lebih murah. Dia mengatakan untuk menipu.
Ini juga termasuk praktek najsy yang diharamkan.
3. Bai’ul Mustarsil. al-Mustarsil adalah seorang yang tidak mengetahui harga dan tidak bisa
tawar menawar barang. Jadi bai’ul mustarsi adalah traksaksi jual beli yang dilakukan oleh
orang tidak tahu harga suatu barang dan tidak bisa tawar menawar. Dia hanya bersandar pada
kejujuran penjual. Jika orang seperti ini tertipu, misalnya membeli dengan harga sangat mahal,
maka dia memiliki hak khiyâr. 38
34
HR Muslim no. 3802
35
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/ 22-23
36
Pernyataan beliau ini dinukil dari Hasyiyah ar-raudh al-Murbi` 4/434
37
HR Muslim no. 3445.
38
Lihat Hâsyiyah ar-Raudhil Murbi’ 4/438, al-Mulakhashul Fiqhi 2/25 dan al-Fiqhul Muyassarah, hlm. 73
Syaikh Shâlih bin Fauzân al Fauzân –Hafizhahullâhu Ta’âlâ- membawakan contoh praktek
kontemporer dalam masalah al-ghabn ini. Beliau mengatakan, "Diantara praktek haram yang terjadi di
sebagian pasar kaum Muslimin adalah ketika ada pendatang yang membawa barang dagangannya ke
pasar lalu para pedagang pasar sepakat untuk tidak menawar atau membelinya. Mereka menyuruh salah
seorang dari mereka untuk menawarnya (dengan harga rendah). Apabila pendatang ini tidak mendapati
seorangpun yang menawar dengan harga yang lebih tinggi darinya maka ia terpaksa menjualnya
dengan harga sangat rendah. Kemudian setelah itu, para pedagang di pasar tersebut membagi barang-
barang ini. Ini merupakan sebentuk praktek al-ghabn dan kezhaliman yang diharamkan. Jika kemudian
pemilik barang mengetahui tipu muslihat ini, maka dia memiliki hak khiyâr dan berhak menarik
kembali barangnya. Bagi orang yang melakukan penipuan seperti ini, dia wajib segera untuk
meninggalkannya dan bertaubat. Sedangkan bagi pihak yang mengetahuinya, wajib mengingkarinya
dan melaporkannya kepada pihak berwajib (otoritas) untuk mencegah mereka dari hal tersebut."39
Bentuk Pemalsuan.
Bentuk pemalsuan pada barang sangat banyak sekali, khususnya di zaman ini. Syaikh
Abdullâh bin Abdirrahmân aliBasâm t menyatakan, “Amat disayangkan, mayoritas transaksi yang
dilakukan masyarakat di zaman sekarang berlangsung diatas asas ini (yaitu penipuan dan pemalsuan
(red)). Mereka menganggapnya sebagai satu hal yang biasa dan tidak merasa takut dengan akibat negatif
perbuatan mereka. Ini menjadi sebab tertahannya hujan dan terjadinya kekeringan serta menghilangkan
barakah.40
Bila dilihat dari pandangan jenis tadlîs (pemalsuan) ini tidak lepas dari dua hal :
1. Menutupi aib atau kekurangan yang ada pada barang
2. Memperindah dan memoles barang tersebut dengan sesuatu yang dapat mendongkrak harga. 41
39
al-Mulakhashul Fiqhi 2/25
40
Taudhîhul Ahkâm Syarhu Bulughil Marâm, Syaikh Abdullâh bin Abdurrahmân alibasâm, 4/337
41
al-Mulakhashul Fiqhi 2/26
42
HR al-Bukhori no. 2148
Dalam hadits yang mulia ini Rasûlullâh melarang at-tashriyah yang mengandung unsur tadlîs
dan beliau menyatakan at-tashriyah sebagai sebab khiyâr. Ini menunjukkan syariat khiyâr bila ada
tadlîs (pemalsuan) dalam suatu transaksi.
Demikianlah, tadlîs dalam jual beli diharamkan. Syariat membolehkan pembeli untuk mengembalikan
barang dan meminta uangnya. Karena ia membeli barang berdasarkan sifat dan keadaan barang yang
ditampilkan penjual dan seandainya mengetahui barang tersebut tidak sesuai dengan tampilan tersebut
tentu ia tidak ingin membelinya.
Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim untuk jujur dan menjelaskan hakekat barangnya. Rasûlullâh
bersabda :
ركرلَ بيَ رَ َمرابفِّريبيَ ْي ِّبع َِّ َمراب
ِّ ابويَيَََّرابير َ انب ِّيا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهقَابأ َ ْوب َحتَّىبيَتَفَ َّهقَرابفَر ِّن ْنب
َ َصر ََق ِّ َش ْيبَ ِّيع
ابو َكذَيَاب رم ِّحقَتْ بيَ َهكَةربيَ ْي ِّع َِّ َما
َ َوإِّ ْنب َكت َ َم
Jual beli itu dengan khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau hingga keduanya berpisah. Apabila
keduanya jujur dan menjelaskan maka keduanya diberi barakah dalam jual beli mereka dan bila
keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli mereka dihapus (HR al-Bukhâri
no. 1737)
Dalam hadits ini Rasûlullâh mengajarkan umatnya agar berlaku jujur dalam jual beli dan beliau
menjelaskan bahwa kejujuran itu bisa mengundang barakah harta dan kedustaan menjadi sebab
terhapusnya barakah harta.
Wabillahi taufiq