Anda di halaman 1dari 13

Hak Pilih dalam Transaksi.

Ustadz Khalid Syamhudi

Tidak disangsikan lagi, ajaran Islam yang adil selalu memperhatikan hubungan antar manusia,
khususnya bila menyangkut permasalahan harta dan proses perpindahannya. Terkadang muncul rasa
sesal karena tergesa-gesa dalam melakukan transaksi atau membatalkannya. Apalagi pada akad
permanen seperti jual beli yang kapan terjadi dengan sempurna rukun dan syaratnya tidak
diperbolehkan adanya penggagalan kecuali dengan keridhaan dari kedua belah pihak dan kadang tidak
terjadi keridhaan tersebut, sehingga membuat orang sangat kesulitan sebagai akibat dari ketidak
cermatan dan terburu-buru dalam menyempurnakan transaksinya atau kadang disifatkan barang
tersebut tidak sesuai hakikatnya kemudian terbukti adanya aib yang tida diketahui ketika transaksi

Untuk mengatasi timbulnya penyesalan atau menghilangkan kesulitan dan ketidak relaan yang kadang
mnyertai para transaktor dalam akadnya, syariat Islam memberlakukan hak pilih antara menggagalkan
atau melangsungkan transaksi akad permanen setelah sempurnanya Inilah yang dikenal dalam fikis
islam dengan al-khiyâr.

Definisi al-khiyâr (hak pilih)


Secara Etimologi, al-khiyâr bermakna memilih, menyisihkan dan mengayak. Secara umum, al-
khiyâr bermakna menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Dijelaskan dalam Mukhtaar ash-Shihah hlm 491 (huruf Kha’ dan Ya): al-Khiyaar dengan
dikasrohkan lawan kata buruk dan ia juga isim dari al-Ikhtiyaar. Perkataan ( ‫وخيره بيريابشيئري يا‬
)
artinya diserahkan padanya pilihan. ‫ببب‬
Karena jenis dan ragam al-Khiyâr begitu banyak, para ulama fikih memiliki definisi yang beragam
tentang al-Khiyâr ini. Namun, definisi yang dipandang mewakili seluruhnya adalah hak yang dimiliki
oleh orang yang bertransaksi untuk memilih antara dua hal yang disukainya, antara meneruskan
transaksi atau membatalkannya, karena ada alasan syar’i atau konsekuensi kesepakatan transaksi.1

Hikmah Pensyariatan.2
Ada beberapa hikmah yang disampaikan ulama fikih dalam pensyariatan al-khiyâr, di antaranya :
1. Membuktikan dan mempertegas kerelaan dari kedua belah pihak. Oleh sebab itu, syariat
hanya menetapkan al-khiyâr dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang
bertransaksi menegaskannya sebagai persyaratan.
2. Memperkecil kelemahan transaksi dipermulaan, karena informasi yang tidak lengkap atau ada
keraguan atau sejenisnya yang dikhawatirkan bisa menyebabkan kerugian bagi para transaktor
(pelaku transaksi).
3. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk meninjau ulang transaksinya agar
bisa mendapatkan kebaikan dan bisa mencapai tujuannya dalam jual beli.
4. Memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dan berfikir ulang dengan memberikan
kesempatan untuk berkonsultasi dengan para ahli yang ia percayai tentang kesesuaian harga
dan barang. Sehingga ia tidak merasa dibohongi atau dirugikan.
5. Memberikan kemudahan kepada pemilik harta dan menutup kesempatan orang yang rakus,
sehingga tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Yaitu dengan memberi kesempatan untuk melihat
dan memeriksa barang, serta menimbang-nimbang kesesuaian harga dengan barangnya, agar
para pelaku transaksi benar-benar tahu dengan jelas, sehingga tidak menyesal setelah
melakukan transaksi tersebut.
6. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk membatalkan transaksi apabila
terjadi kesalahan atau karena pihak penjual tidak bersedia memperbaiki cacat pada barangnya.
Demikian beberapa hikmah dari al-khiyâr yang disampaikan para ulama, dengan tetap meyakini
bahwa Allah pasti memiliki hikmah yang agung dalam setiap syari'atNya. Diantara hikmah-hikmah ini
ada yang diketahui manusia dan sebagiannya lagi tidak diketahui dan menjadi rahasia Allah .
Seyogyanya, ini semakin menjadikan para hamba-Nya tunduk kepada-Nya.

Macam-macam al-Khiyâr (Hak Pilih)

1
Al-Fiqhul-Muyassar, Prof. DR. `Abdullâh ath-Thayâr hlm. 63
2
Lihat Al-Fiqhul-Muyassar hlm. 93-94 dan Buku Pegangan Materi (Master Text Book GFIQ 5173) Fikih Mu’amalat, Madinah
Internasional University (MEDIU), Fakultas Syari’at. Hlm. 28-29
Al-Khiyaar ini ada yang disebutkan dalam nash secara khusus seperti Khiyaar Syarth dan khiyaar
Ru’yah, ada juga yang ditetapkan secara tuntutan kaedah-kaedah umum seperti khiyar ‘Aib dan tadlis
dan ada juga yang ditetapkan secara qiyaas (analogi) seperti khiyaar Naqd dan Khiyaar Ta’yiin.
Oleh karena itu ulama fikih tidak bersepakat kecuali pada sebagian jenis khiyaar saja dan sisanya
masuk dalam zone ijtihad.
Sisi lainnya didapatkan sebagian dari hak khiyaar ini ditetapkan dengan kewajiban syar’I walaupun
kedua transaktor tidak mensyaratkannya seperti khiyaar Ru’yah dan khiyaar aib, ada juga yang
bergantung kepada kesepakatan keduanya sehingga tidak ada tanpa adanya syarat baik dari sdalah satu
atau dari keduanya seperti khiyar syarath dan ta’yiin. Demikian juga penggagalan kadang bisa terjadi
dengan keinginan pemilik khiyaar tanpa harus melalui keputusan peradilan seperti dalam khiyaar syarat
dan ru’yah dan kadang harus dengan keputusan peradilan seperti pada khiyar ‘aib karena aib yang
menjadikan sebab penggagalan butuh kepada ukuran khusus yang tidak cukup hanya melihat
pandangan para transaktor semata.
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi al-khiyâr menjadi tujuh jenis3 ditambah 3
khiyaar lainnya sehingga berjumlah 10, yaitu:
1. Khiyâr al-majlis
2. Khiyâr asy-syarat
3. Khiyâr al-‘aib
4. Khiyâr at-tadlîs
5. Khiyâr al-ghabn
6. Khiyâr fî al-bai’ bi takhyîrits tsaman
7. Khiyâr li lkhtilâfil mutabâyi’ain
8. Khiyaar at-Ta’yiin
9. Khiyaar ar-ru’yah
10. Khiyaar an-Naqd.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:


1. Hak Pilih di Lokasi Transaksi (Khiyâr al-Majlis)
Khiyâr al-majlis berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata al-khiyâr dan al-majlis. Kata al-majlis
secara etimologi bahasa Arab bermakna tempat duduk 4. Yang dimaksud di sini adalah tempat transaksi
berlangsung, walaupun transaksinya tidak terjadi pada posisi di atas tempat duduk. Pengertian majlis di
sini tidak sekedar menyangkut lokasi atau waktu, akan tetapi juga menyangkut keadaan pelaku
transaksi. Selama pembicaraan tentang transaksi jual beli tersebut bersambung, maka di situ juga masih
dikatakan berada di majlis. Dengan demikian pengertian majlis disini mencakup tiga hal; tempat, waktu
dan tema pembicaraan.5
Sedangkan para ulama fikih mendefinisikan khiyâr al-majlis sebagai semacam hak pilih bagi
kedua belah pihak yang bertransaksi untuk membatalkan transaksi atau melanjutkannya sejak terjadi
akad sampai berpisah atau terjadi penawaran pilihan (at-Takhâyur).6
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
‫يقع شيبيع جائزشب ويكل ما شيمتبايعيا شيخيار في فسخه مادشما مجتمعيا مايم يتفهقا‬
Jual beli belum permanen dan setiap dari penjual dan pembeli memiliki hak pilih (khiyar) dalam
menggagalkannya selama berkumpul belum berpisah (al-Mughni 4/6).
Dengan demikian khiyâr al-majlis adalah hak yang diberikan syariat kepada pelaku transaksi untuk
menggagalkan akad transaksi atau melanjutkannya selama masih berada di majlis (lokasi).
Dengan dasar ini, transaksi tidak dianggap sempurna sampai pelaku berpisah atau beranjak dari
lokasi transaksi. Khiyâr al-majlis ini juga dinamakan sebagian ulama dengan khiyâr al-mutabâyi’ain .

Dasar Pensayriatannya.
Al-Khiyâr jenis ini disyariatkan dengan dasar sabda Rasulullâh n :
‫ركرلَ بيَ رَ َمرابفِّريبيَ ْي ِّع َِّ َمراب‬
ِّ ‫ابويَيَََّرابير‬ َ ‫انبيِّا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهقَابأ َ ْوب َحتَّىبيَتَفَ َّهقَرابفَر ِّن ْنب‬
َ َ‫صر ََق‬ ِّ َ‫ش ْيبَيِّع‬
‫ابو َكذَ َياب رم ِّحقَتْ ب َي َهكَةرب َي ْي ِّع َِّ َما‬
َ ‫َو ِّإ ْنب َكت َ َم‬
Jual beli itu dengan al-khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau hingga keduanya berpisah.
Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (aib barang dagangannya-red) maka jual beli mereka

3
Asy-Syarhul-Mumti’ , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn 7/261
4
Syarhul-Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al’Utsaimîn t 8/262
5
Master Texs book GFIQ 5173, MEDIU hlm 28
6
Al-Fiqhul-Muyassar hlm. 65
mendapatkan barakah dan bila keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli
mereka dihapus. 7
Juga sabda beliau n :
‫ابوكَانَاب َج ِّميعابأ َ ْوبير َخ ِّي ررهبأ َ َحر رَ رم َماب‬
َ َ‫ٍبم َْ رَ َماب ِّيا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهق‬
‫شحَ ِّب‬ ِّ ‫بو‬ َ ‫نبفَ رك ُّل‬
‫لَ ِّب‬ َّ ‫ِّإذَشبتَبَايَ َع‬
‫بشيه رج ب‬
‫شحررَبب‬ َ ‫بو ِّإ ْنبتَفَ َّهقَررابيَ ْعرََبأ َ ْنبيَتَبَايَعَر‬
َ ‫رابويَر ْمبيَتْر رره ْل‬
ِّ ‫بو‬ َ ‫ْبو َجر َ بش ْيبَ ْير رع‬َ َ‫ىذَررىبذَ ِّيررَْ بفَقَر‬ َ ‫ْشْل َخر َرهبفَتَبَايَعَرراب‬
‫ْبو َج َ بش ْيبَ ْي ربع‬َ ََ‫ِّم َْ رَ َمابش ْيبَ ْي َعبفَق‬
Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih (al-khiyâr)
selama belum berpisah atau salah seorang telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika
keduanya bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli ini sudah sempurna.
Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang darinya tidak menggagalkan jual beli maka
akad jual beli ini juga sudah sempurna.8
Dalam hadits yang mulia ini Rasulullâh telah menetapkan dengan gamblang hak pilih antara
melanjutkan atau menggagalkan transaksi selama belum berpisah.

Ketentuan Khiyâr al-Majlis.


Khiyâr al-majlis diberlakukan pada ketentuan sebagai berikut:
1. Khiyâr al-majlis berlaku pada transaksi yang bertujuan mencari keuntungan (akad al-
mu’âwadhah) seperti jual beli, perdamaian dalam jual beli dan ijârah (sewa menyewa) dan
yang sejenisnya.
2. Waktu berlakunya dimulai setelah ada ijab dan qabûl dan berakhir dengan perpisahan.
3. Waktu maksimalnya tidak dapat diatasi oleh satu waktu tertentu, sebab ini berpijak pada
kehendak para pelaku. Waktunya bisa jadi lama, jika pelaku ingin memberikan kesempatan
yang panjang. Bila ingin mempercepat, maka salah seorang pelaku bisa memberikan pilihan
kepada yang lainnya untuk segera menentukan atau keduanya segera berpisah dari majlis
tersebut.

Batas Akhir Khiyâr al-Majlis.


Khiyâr al-majlis berakhir dengan salah satu dari tiga hal:
1. Berpisah badan atau ada tanda yang menunjukkan perpisahan dari majlis transaksi. Ini telah
disepakati oleh para ulama fikih yang mengakui khiyâr al-majlis. Karena jika telah berpisah
berarti keduanya telah menuntaskan transaksi sesuai kesepakatan, jadi atau tidak.
2. Saling menawarkan pilihan dalam majlis transaksi. Misalnya, salah seorang mengatakan
kepada yang lainnya, “Apakah Anda memilih menggagalkan transaksi atau melanjutkannya ?”
Apabila memilih melanjutkan, berarti teransaksi itu terjadi dan selesai, namun bila memilih
gagal, maka transaksi itu gagal dan masa Khiyâr al-majlis telah berakhir.
3. Salah seorang dari pelaku transaksi membatalkan atau membiarkan transaksi tersebut hingga
berpisah.
Ketiga hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi:
‫ابوكَانَاب َج ِّميعابأ َ ْوبير َخ ِّي ررهبأ َ َحر رَ رم َماب‬ َ َ‫ٍبم َْ رَ َماب ِّيا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهق‬
ِّ َ‫شح‬ ِّ ‫بو‬ َ ‫لَ ِّنبفَ رك ُّل‬ َّ ‫إِّذَشببت َبَايَ َع‬
‫بشيه رج ب‬
‫شحررَبب‬ َ ‫بو ِّإ ْنبتَفَ َّهقَرراب َي ْعرََبأ َ ْنب َيت َ َبا َي َعر‬
َ ‫رابويَر ْمب َيتْر رره ْل‬
ِّ ‫بو‬ َ َ‫ىذَررىبذَ ِّيررَْ بفَقَر‬
َ ‫ْبو َجر َ بش ْي َب ْير رع‬ َ ‫ْشْل َخر َرهبفَت َ َبا َي َعرراب‬
‫ْبو َج َ بش ْيبَ ْي ربع‬َ ََ‫ِّم َْ رَ َمابش ْيبَ ْي َعبفَق‬
Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih (al-khiyâr)
selama belum berpisah atau salah seorang telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika
keduanya bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli ini sudah sempurna.
Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang darinya tidak menggagalkan jual beli maka
akad jual beli ini juga sudah sempurna. 9

2. Hak Pilih dalam Persyaratan (Khiyâr Asy-Syarth)


Khiyâr asy-syarth adalah hak pilih karena persyaratan yang diminta oleh salah satu dari dua pihak
yang bertransaksi, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain agar
diberikan hak memilih antara melanjutkan atau menggagalkan transaksi dalam jangka waktu tertentu.

7
HR al-Bukhâri no. 1737
8
HR al-Bukhâri no. 1970
9
HR al-Bukhâri no. 1970
Sebagai contoh, seorang penjual berkata kepada pembeli, “Saya akan menjual mobil saya dengan
US$ 100.000;”. Lalu pembeli menjawab, “Saya setuju dengan syarat diberi hak pilih selama dua hari”.
Syarat yang diajukan pembeli di sini untuk minta kesempatan berfikir dan memilih-milih selama waktu
tertentu itu. Ini dinamakan Khiyâr asy-syarth.10
Dengan demikian Khiyâr asy-syarth ada menjadi hak salah satu transaktor atau kedua-duanya atau
orang yang menjadi perwakilan dari keduanya dalam menyempurnakan transaksi (akad) atau
menggagalkannya dengan persyaratan yang ada dalam akad. Apabila penjual berkata kepada pembeli
misalnya: Saya jual rumah ini dengan harga 1 milyar rupiah dengan syarat saya diberi hak khiyâr atau
kamu punya hak khiyâr selama tiga hari dan pembeli menerimanya. Maka penjual memiliki hak untuk
menggagalkan akad dalam masa tersebut dan demikian juga pembeli. Apabila berlalu masa yang
disyaratkan tersebut tanpa ada yang menyatakan sikap dari penjual atau pembeli atau dari keduanya,
maka hak khiyârnya gugur dan akad menjadi sempurna secara otomatis.
Khiyar ini tidak ada kecuali disebabkan karena adanya syarat sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Namun menurut madzhab Malikiyah khiyar ini berlaku dengan sebab syarat dan juga dengan adat
kebiasaan. 11

Dasar Pensyariatannya

Dasar syari'at hak pilih jenis ini adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang
berbunyi:
‫ي ِّبصرذىبهللابىذيرهبوسرذمبأَنَّر بهربير ْخر ََ رببفِّريبش ْيبرير ْرك بِّبفَقَرا َببإِّذَشبيَايَ ْعرتَببفَقرر ْبلب‬
‫نب َر رجلببذَك َبَهب ِّيذََّبِّ ب‬ ‫أ َ َّب‬
َ‫الَ ِّخلَيَ بة‬
Seorang menyampaikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia tertipu dalam jual beli.
Maka beliau menjawab, "Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah: "Tidak ada hak merampas.”

Demikian juga keumuman firman Allah Ta’ala :


‫ِّياب َءش َمَركشبأ َ ْوفركشب ِّيا ْيعرقرك ِّدب‬
‫َياأَيُّ ََابشيَّذ َب‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (Qs al-Mâidah/5:1)
dan Sabda Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam :
‫نب ِّى َْ َبَبش رره ْو ِّط َِّ ْمب‬ ْ ‫ش ْي رم‬
‫س ِّذ رم ْك َب‬
Kaum Muslimin ada pada syarat-syarat mereka.
Dari sisi lain, terkadang hak pilih semacam ini memang amat dibutuhkan, terutama ketika belum
memiliki pengalaman niaga yang cukup dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena
alasan lainnya.
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata: Adapun kebolehan khiyar syarat adalah pendapat mayoritas ulama
kecuiali an-Nawawi, Ibnu Abi Syubrumah dan sejumlah ulama Zhahiriyah. Dasar argumentasi
mayoritas ulama adalah hadits Hibaan bin Munqidz daan ada redaksi “ ” (kamu ‫ويرْبشيخيراربثلثراب‬
mendapatkan hak khiyaar tiga hari). Juga hadits yang diriwayatkan dari ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu :
‫شيبيعانبيايخياربمايمبيفتهقابإالبييعبشيخيار‬
Jual beli dengan khiyaatr selama belum berpisah kecuali jual beli khiyaar (khiyar syarat). (muttafaqun
‘alaihi)
Sedangkan dasar argumentasi yang melarangnyaadalah hal itu termasuk gharar dan pada asalnya jual
beli adalah akad lazim (permanen) kecuali ada dalil yang menunjukkan kebolehan jual beli dengan
khiyar ini dari al-Qur`an atau sunnah atau ijma’. Mereka menyatakan bahwa hadits Hibban bisa jadi
tidak shahih atau itu khusus pada permasalahan yang diadukan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bahw ia tertipu dalam jual belinya. Mereka juga menyatakan bahwa hadits ibnu Umar dan
tambahan ( ‫ )إالبييرعبشيخيرار‬telah ditafsirkan pengertiannya yang diinginkan dan itu yang ada dalam
redaksi lainnya :
‫أنبيقك بأحَممابيصاحبهبشخته‬
Salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya: Pilih!. 12

10
Master text book hlm 52
11
Syarh ar-Risaalah karya an-Nafraawi 2/352.
12
Bidaayatul Mujtahid 2/271
Ketentuan Khiyâr asy-Syarth.

Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan khiyâr ini adalah:
1. Para Ulama berbeda pendapat tentang masa tenggang untuk memutuskan pilihan tersebut. Di
antara ulama ada yang membatasi tiga hari saja, sementara ada juga yang menyatakan boleh
lebih dari itu, tergantung kebutuhan. Yang râjih dalam masalah masa tenggang ini diserahkan
kepada kedua pihak yang bertransaksi tanpa ada batasan waktu tertentu. Namun, tentunya
jangan sampai terlalu lama melebihi kebiasaan yang telah berlaku.
2. Sah melakukan persyaratan minta tenggang waktu tertentu walaupun lama.
3. Waktu berlakunya khiyar asy-syarth dimulai sejak transaksi hingga selesai masa tenggang
yang disepakati. Apabila telah berlalu masa tenggang tersebut dan belum ada penggagalan
transaksi maka transaksi dianggap sempurna dan telah terjadi. Apabila di masa tenggang
tersebut salah satu pihak menggagalkan transaksi, maka itu boleh, karena itu adalah hak kedua
belah pihak.
4. Harus ada pembatasan khiyâr dalam waktu tertentu yang baku dan dapat dipastikan.
5. Tidak diperbolehkan memberikan persyaratan masa tenggang melebihi masa kadaluarsa
barang, karena akan merugikan salah satu pihak. Misalnya meminta tenggang waktu
pembelian buah-buahan yang hanya bertahan sepekan dengan persyaratan minta tenggang
waktu 10 hari
6. Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai transaksi permanen yang bisa dibatalkan.

Masa Khiyâr asy-Syarth Berakhir.

Masa khiyâr asy-syarth berakhir dengan beberapa sebab di antaranya:


1. Keputusan melanjutkan transaksi atau membatalkannya dimasa khiyaar baik dengan lafazh
yang jelasa atau isyarat.
2. Masa tenggang telah habis tanpa ada keputusan untuk membatalkan transaksi
3. Barang yang ditransaksikan hilang atau rusak. Apabila barang rusak atau hilang ditangan
pembeli setelah menerimanya apabila ia yang memiliki hak khiyaar. Hal itu karena
pembatalan akad setelah serah terima mengharuskan pengembalian barang yang diterima dan
setelah hilang tidak mungkin mengembalikannya dan bila rusak tidak bisa dikembalikan juga.
Katika itu tidak ada gunanya mempertahankan khiyaar. Rusak dan hilangnya ini sama saja
baik karena perbuatan yang memiliki hak khiyar atau perbuatan orang lain atau karena
bencana alam.
4. Pertambahan barang setelah serah terima baik yang langsung yang tidak terpisah seperti
bertambah berat badan hewan atau bangunan dan pepohonan atau pertambahan yang terpisah
yang dihasilkan dari barang tersebut seperti lahir anak hewan atau muncul buah-buahan
dikebun tersebut.
5. Kematian orang yang memiliki hak Khiyar menurut pendapat madzhab hanafiyah dan
Hambaliyah; karena khiyaar syarth tidak diwariskan menurut mereka. Sedangkan Malikiyah
dan Syafi’iyyah memandang sebaliknya, mereka memandang ahli waris memarisi hak Khiyar
ini, karena ia adalah hak yang berhubungan d3engan harta dan menjadi konsekwensi akad dan
bukan termasuk hak pribadi. Sehingga Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahidin 2/481 berkata:
Hukum asal menurut Malikiyah dan Syafi’iyah adalah hak diwariskan seperti harta kecuali
ada dalil yang memisahkan hak tersebut dari pengertian harta. Sedangkan hukum asal menurut
Hanafiyah adalah harta diwariskan dan hak tidak diwariskan kecuali ada dalil yang menyeret
hak kepada harta, sehingga letak perselisihannya adalah pada apakah pada asalnya hak
diwariskan seperti harta atau tidak.
Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di merojihkan pendapat Malikyah dan Syafi’iyah
dalam khiyar syarath ini, beliau berkata: Yang Shahih, Khiyar Syarth dan ketetapn Syuf’ah
tidak batal dengan kematian, baik dituntut oleh yang punya hak atau tidak dituntut. Sehingga
ahli warisnya menggantikannya dalam hal ini; karena ia termasuk hak-hak maliyah.
Warisanadalah semua yang ditinggalkan mayyit berupa barang dan hak-hak. Ini (hak khiyaar)
termasuk hak-hak yang ada untuk orang yang setelahnya seperti ada padanya sendiri. Maka
apa saja yang mengeluarkannya dari hukum asal ini? ini sebuah hal yang jelas walilahilhamd.
13

Khiyâr ‘Aib

13
Al-Mukhtaraat al-jaliyah hlm 102
Diantara hak pilih yang ditetapkan masing-masing dari dua pihak yang bertransaksi adalah
khiyâr aib. Dimana salah satu transaktor dapat menggagalkan transaksi bila tersingkap adanya cacat
pada objek transaksi yang sebelumnya tidak diketahui.
Ulama pakar fikih mendefiniskannya dengan hak syar’I yang ditetapkan dengan segala
konsekwensinya untuk pembeli dalam menyempurnakan atau menggagalkan transaksi apabila
mendapatkan barang memiliki aib dan rusak yang belum diketahui sebelumnya ketika waktu
transaksi.14
Syeikh Shalih bin fauzan alifauzaan lebih jelas menyatakan: Khiyâr aib adalah hak pilih yang
ditetapkan untuk pembeli dengan sebab adanya aib atau cacat pada barang yang tidak diberitahukan
oleh penjual atau penjual belum mengetahuinya, namun nampak keberadaannya pada barang sebelum
dijual.15

Hikmah Pensyariatannya.
Hikmah disyariatkannya hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena kerelaan pada
berlangsungnya transaksi juga didasari keberadaan objek transaksi yang tidak ada cacatnya. Adanya
cacat yang tersingkap menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih
terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang
di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang
berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada
sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang bertransaksi tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan
ini sudah dapat dimaklumi secara aksiomatik.
Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang bertransaksi untuk
melanjutkan transaksi atau membatalkannya. Yakni apabila pembatalan transaksi itu memungkinkan.
Tetapi kalau transaksi itu tidak mungkin dibatalkan karena objek transaksi bertambah atau berkurang
sebelum diketahui cacatnya, pihak yang dirugikan hanya berhak mendapatkan kompensasi atau ganti
rugi, yakni dengan menerima sejumlah uang sesuai dengan pengurangan harga karena adanya cacat
tersebut.
Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada
indikasi ke arah hal itu, hak pilih itu dengan sendirinya gugur.

Hukum Pensyariatannya
Para pakar ahli fikih sepakat tidak bolehnya seorang penjual apabila mengetahui barangnya ada
cacatnya untuk menjual dengan menutupi hal tersebut. Ini yang sudah lazim ada dimasyarakat; seorang
yang membeli barang akan memilih barang yang tidak cacat dan penjual harus menjelaskan cacat
tersebut apabila ada pada barangnya. Apabila terbukti adanya cacat dalam barang tersebut maka syariat
memberikan hak pilih (khiyâr) kepada pembeli untuk mengembalikan barangnya dan menggagalkan
transaksinya. Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Diantaranya:
1. Firman Allah ta’ala:
‫ببب ب‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (Qs. An-
Nisaa`/4:29). Dalam ayat ini Allah mensyaratkan sahnya jual beli dengan suka sama suka dari kedua
transaktor. Ketika barang yang selamat dari cacat adaah yang diinginkan pembeli, yang tentunya tidak
membeli barang yang cacat. Lalu nampak cacat pada barang tersebut setelah membelinya, maka
tentunya hal inipun akan merusak sikap suka sama suka tersebut.
2. Hadits Nabi n yang diriwayatkan ibnu Majaah dari sahabat ‘Aisyah:
ْ ‫بَّللابإِّنَّهرب بقََْبش‬
‫ستَغَ َّلب‬ ِّ َّ َ ‫سك‬ َ َ‫ى ْيباب َف َه َّد ربفَقَا َ بي‬
‫ابر ر‬ َ ‫بو َجََب ِّي ِّهب‬ ْ ‫ى ْبَشبفَا‬
َ ‫ستَغَذَّهربث ر َّم‬ َ ‫شت َ َهىب‬ َ ‫أ َ َّن‬
ْ ‫بر رجلبش‬
‫ان‬ َّ ‫سذَّ َمبش ْي َخ َهشجربيِّاي‬
‫ض َم ِّب‬ َ ‫بو‬ َ ‫ىذَ ْي ِّه‬ َّ َّ‫صذ‬
َ ‫ىبَّللارب‬ َ ‫بَّللاِّب‬
َّ ‫سك ر‬ َ َ ‫غ َل ِّميبفَقَا‬
‫بر ر‬ ‫ر‬
Seorang membeli seorang budak lalu menggunakannya, kemudian mendapatkan adanya aib pada
budak tersebut, lalu ia kembalikan. Maka penjual berkata: Wahai Rasulullah sungguh ia telah

14
Master text book hlm 67
15
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
mempergunakan budakku tersebut. Lalu Rasulullah n menjawab: Maanfaat berbanding dengan
resiko.16
3. Hadits lainnya dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir , beliau berkata:
ْ ‫س ِّذ رم بأ َ رخكبش ْي رم‬
ْ ‫س ِّذ ِّم َبال بيَ ِّح ُّل ب ِّي رم‬
‫س ِّذ ٍم بيَا َب‬ ْ ‫سذَّ َم بيَقرك رب بش ْي رم‬ َ ‫ى َذ ْي ِّه‬
َ ‫بو‬ َّ َّ‫صذ‬
َ ‫ىبَّللارب‬ َ ‫بَّللاِّ ب‬
َّ َ ‫سك‬ ‫بر ر‬ َ ‫س ِّمعْتر‬ َ
َ ‫ِّم ْابأ َ ِّخي ِّهب َي ْيعاب ِّفي ِّهب‬
‫ى ْي ب ِّإ َّالب َييَََّهربيَ بهر‬
Aku telah mendengar Rasululloh n bersabda: Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak
diperbolehkan seorang muslim menjual kepada saudaranya barang yang cacat kecuali telah
menjelaskannya.17
Demikianlah sebagian dari dasar ditetapkannya khiyâr aib, namun apakah setiap aib atau cacat
diberlakukan padanya khiyâr ini?

Kriteria aib atau cacat dalam barang.


Tidak semua kerusakan atau aib diberlakukan hak pilih ini, lalu para ulama memberikan
penjelasan tentang kriteria aib (cacat) ini dengan ungkapan semua cacat yang mengurangi barang
tersebut dari keinginan sah pembeli atau mengurangi nilai barang atau umumnya jenis barang tersebut
tidak memiliki cacat seperti itu. 18
Prof.DR. Syeikh Shalih bin Fauzan Alifauzaan –Hafizhahullahu ta’ala- menyatakan: kriteria aib yang
dapat menetapkan khiyâr adalah semua yang menyebabkan berkurang nilai barang secara adat
kebiasaan atau mengurangi dzat barang tersebut. Untuk mengetahuinya harus kembali kepada
kebiasaan para pedagang yang sudah mu’tabar. Semua yang mereka anggap aib maka ada padanya
khiyâr dan yang tidak dianggap mereka aib yang mengurangi nilai atau dzat barang tersebut maka tidak
dianggap.19

Bila Terjadi Aib dalam Jual Beli


Apabila seorang membeli barang yang ada aibnya, maka tidak lepas dari keadaan dibawah ini:
a. Penjual menjelaskan kepada pembeli aib tersebut dan mensyaratkan tdk ada khiyar ‘Aib maka
penjual tidak terkena apa-apa. Hal ini ada penukilan ijma’ ulamanya20. contohnya, apabila
aibnya tampak terlihat oleh pembeli lalu ridha melakukan akad, maka ridha nya pembeli
melakukan transaksi adalh ridha dengan aibnya sehingga hal ini menggugurkan hak khiyaar.
b. Penjual tidak menejelaskan aib yang ia ketahui dan mengajukan syarat bebas aib, maka
pembeli punya hak khiyar dan syarat penjual tidak bermanfaat.
c. Penjual tidak mengetahui adanya aib dan menjualnya dan terjadi jual beli. Dalam masalah ini
ada dua keadaan:
1. penjual mensyaratkan tidak ada khiyar, maka yang rojih adalah penjual lepas diri dan
pembeli tidak punya hak khiyar. Inilah pendapat Utsman, satu pendapatbdalam madzhab
Syafi’iyah, masdzhab Malikiyah dan sebuah riwayat dalam madzhab Hanabilah dan
dirojihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 21
2. penjual tidak mensyaratkannya maka pembeli memiliki hak khiyar.

Syarat dan Penghalang Pengembalian Barang Cacat.22


Disyaratkan dalam memberlakukan khiyâr aib ini beberapa syarat, diantaranya:
1. Adanya cacat dalam barang tersebut ketika jual beli atau setelah akad sebelum sempurna serah
terima. Apabila cacat atau aib itu terjadi setelah serah terima barang maka khiyâr ini tidak
berlaku. Seorang yang membeli barang kemudian nampak padanya aib sebelum sempurna
serah terima maka pembeli memiliki hak khiyâr ini baik cacat tersebut terjadi sebelum
transaksi atau sesudahnya. Apabila cacat tersebut terjadi setelah ada ditangan pembeli maka
pembeli tidak memiliki khiyâr aib ini.

16
HR Abu Daud no. 3510 dan Ibnu Majâh 2243 dihukumi sebagai hadits hasan oleh al-Albani dalam
al-Irwa’ no. 1315 .
17
HR Ibnu Majâh 2237 dan dihukumi sebagai hadits shahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no 1321
18
Master textbook hlm 78-79.
19
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
20
al-Muhalla 9/43 dan Nawaadir al-Guqaha hlm 244
21
lihat al-Mughni 4/279, al-Ikhtiyaraat hlm 124, I’lam al-Muwaqqi’in 3/405 dan asy-Syarhul Mumti’
8/265
22
Diadaptasi dari Master Texs book GFIQ 5173, MEDIU hlm 80-95 dan Al-Fiqh al-Muyassar hlm 70
2. Cacat atau aib tersebut mempengaruhi nilai barang tersebut. Ketentuan ini tentunya
berdasarkan kebiasaan para pedagang yang ada.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya cacat pada barang tersebut ketika akad atau ketika serah
terima barang. Apabila pembeli telah mengetahui cacat atau aib tersebut sebelumnya dan tetap
melakukan transaksi maka dianggap ridho dengan keadaan tersebut sehingga khiyâr aib ini
tidak berlaku lagi.
4. Tidak mungkin menghilangkan cacat tersebut kecuali dengan susah sekali.
5. Cacat masih ada ketika penggagalan transaksi tersebut. Misalnya seorang membeli kambing
kemudian ketahuan kambing tersebut sakit. Namun ketika menggagalkan transaksi ini ternyata
kambing tersebut sehat lagi. Apabila demikian maka tidak diberlakukan khiyâr aib.
Dari sini dapat diketahui adanya penghalang pengembalian barang cacat, yaitu:
1. Keridhoan pembeli menerima barang cacat tersebut setelah mengetahuinya.
2. Pembeli menggugurkan hak pilih (khiyâr) ini
3. Hilang dan lenyapnya barang yang cacat tersebut.
4. Pertambahan barang setelah berada ditangan pembeli yang terpisah dari barang itu sendiri. Hal
ini dapat dijelaskan dengan contoh: seorang membeli kambing lalu nampak adanya cacat
padanya. Namun sebelum dikembalikan kambing tersebut melahirkan anaknya. Anak
kambing tersebut adalah tambahan yang terpisah dari induknya yang menjadi barang yang
diperjual belikan. Pada keadaan seperti ini tidak diberlakukan khiyâr aib.

Waktu Khiyâr Aib


Para ulama pakar fikih sepakat pengembalian barang cacat tidak memiliki waktu tertentu.
Karena tentunya cacat pada barang tersebut tersembunyi, maka kapan saja terbukti dan nampak jelas
cacat tersebut boleh mengembalikannya atau menggagalkannya.23

Bagaimana cara pembatalan transaksi akibat berlakunya khiyâr aib.


Seorang pembeli bila mendapatkan cacat dalam barangnya –sesuai dengan syarat-syarat
diatas- dapat menggunakan hak pilih (khiyâr) ini dengan tiga pilihan:
1. Mengembalikan barangnya dan mengambil kembali uang yang telah dibayarkannya
2. Menyempurnakan transaksi dengan tidak mengembalikan barangnya
3. Meminta kompensasi (Arsy al-‘Aib) dengan cara menilai harga barang yang utuh tanpa cacat
kemudian dibandingkan dengan nilai harga bila cacat dan diambil selisihnya.
Syeikh Shalih bin fauzan alifauzaan –hafizhahullah- menjelaskan: Apabila pembeli mengetahui aib
atau cacat setelah transaksi, maka ia memiliki khiyâr (memilih) melanjutkan transaksi dan mengambil
ganti rugi cacat barang, yaitu senilai selisih antara nilai barang tanpa aib dengan yang ada aibnya
tersebut. Boleh juga menggagalkan transaksi dan mengembalikan barangnya dengan meminta kembali
uang yang telah dia bayarkan.24
Dalam masalah pengembalian barang yang cacat para ulama pakar fikih (Fuqahaa`) memisahkan
permasalahan ini dalam dua keadaan:
1. Apabila diketahui cacat tersebut oleh pembeli sebelum serah terima, maka para ulama pakar
fikih (al-Fuqahaa`) sepakat pembatalan transaksi cukup dengan ucapan pembeli, tanpa
menunggu keputusan pengadilan atau saling suka sama suka (Taradhi) kedua belah pihak.
2. Apabila diketahuinya setelah sempurna serah terima barang, maka para ulama pakar fikih
berselisih pendapat dalam dua madzhab. Namun yang rojih –Wallahu a’lam- tidak boleh ada
pegembalian barang kecuali setelah adanya keputusan peradilan atau adanya suka sama suka
(taradhi).

Bila Terjadi Perselisihan Antara Pembeli dengan Penjual.


Bila terjadi perbedaan antara penjual dengan pembeli tentang terjadinya cacat pada barang
apakah terjadi sebelum dibeli ataukah terjadi akibat kesalahan pembeli, seperti seorang membeli
kambing dan setelah sehari kemudian pembeli mengklaim kambingnya pincang dan tidak diketahui
kapan cacat tersebut terjadi. Maka para ulama pakar fikih memenangkan penjual dengan disertai
sumpahnya atau keduanya berdamai menggagalkan transaksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah n :

ِّ ‫شيس ْذعَ ِّبةبأ َ ْبوب َيتَ َهشد‬


‫َّشنب‬ ِّ ‫اح ربب‬ َ ‫سبيَ ْيََ رَ َمابيَ ِّيََةببفَا ْيقَ ْك ربب َماب َيقرك ربب‬
ِّ ‫ص‬ ‫فبش ْيبَيِّعَ ِّب‬
‫انب َويَ ْي َب‬ ْ ‫إِّذَشب‬
‫شختَذَ َب‬

23
Master textbook hlm 84
24
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
Apabila dua orang yang bertransaksi jual beli dan tidak ada bukti (yang memenangkan salah satu
pihak) maka yang dimenangkan adalah pernyataan penjual (pemilik barang) atau saling menggagalkan.
25

4. Khiyâr Ghabn (Manipulasi Harga Barang)


Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi yaitu kehidupan pasar dewasa ini yang
penuh dengan berbagai slogan yang intinya mengambil untung sebanyak-banyaknya walau dengan
sumpah palsu. Untuk merealisasikan tujuan ini, segala cara ditempuh supaya bisa membeli dengan
harga terendah lalu menjualnya dengan harga selangit, tanpa peduli apakah prilakunya itu menzhalimi
orang lain atau tidak. Islam sebagai agama yang datang untuk menebar rahmat melarang semua bentuk
tindakan yang akan merugikan orang lain tanpa didukung alasan yang dibenarkan syari'at. Termasuk
diantara yang dilarang adalah prilaku para pelaku bisnis diatas. Bila sudah terlanjur terjadi, maka
khiyâr al-ghabn bisa dijadikan solusi untuk menghindari kerugian lebih besar.

Definisi
Kata al-ghabn diambil dari bahasa Arab dari kata ( َ ‫ب‬-‫غ َب َاب–ب َي ْغ ِّبارب‬
‫غ ْبَرا‬ َ
). Secara etimologi,
al-ghabn memiliki makna yang sama dengan an-naqs yaitu pengurangan, al-ghalab (mengalahkan) dan
al-khidâ' (menipu).26
Sementara dalam terminologi ilmu fikih, al-ghabn artinya adalah kekurangan pada salah satu alat
pembayaran (akibat manipulasi). Dengan demikian al-Ghabn dapat didefiniskan sebagai kekurangan
pada harga saat menjual dan membeli (akibat manipulasi). Kekurangan ini bisa dialami pihak pembeli
dan penjual :
1. Bila dialami pihak pembeli, maka kekurangan harga ini maksudnya harga yang dibayar tidak
setara atau tidak sesuai dengan nilai barang yang diterima. Dengan kata lain, harganya terlalu
tinggi menurut pakar dibidang tersebut.
2. Bila ditinjau dari pihak penjual, maka maksudnya harga yang diterima tidak sebanding dengan
nilai barangnya yang sebenarnya.27

Dari sini dapat diketahui bahwa al-maghbûn (pihak yang terkena manipulasi ini harga ini) bisa pembeli
atau bisa juga penjual. Pelaku manipulasi harga ini bila ia seorang pedagang, berarti ia menjual barang
dengan harga lebih tinggi dari harga sebenarnya. Sebaliknya, bila pedagang yang menjadi korban,
berarti ia menjual barangnya dengan harga jauh lebih rendah dari harga yang sebenarnya akibat ulah
pembeli atau orang ketiga.

Dasar Pensyariatannya
Pensyariatan khiyâr al-ghabn ini masih diperselisihkan oleh para Ulamâ serta tidak ada satu
dalil syar’i pun yang shahih dan tegas dalam hal ini. Namun yang râjih –menurut pendapat kami-
adalah khiyâr ini berlaku, dengan dasar :
1. Secara umum, seorang pembeli apabila hendak membeli –khususnya barang-barang yang
bernilai tinggi- tidak akan sepakat dengan penjual kecuali jika dia merasa bahwa uang yang
akan dibayarkankan sesuai dengan nilai barang yang dibeli. Apabila ia merasa tidak
sebanding, maka ia tidak akan melakukan transaksi. Komitmen ini walaupun tidak terucap
dan tidak dijelaskan dalam transaksi namun ia termasuk komintmen yang terbaca dari banyak
indikasi. Bukti kongkritnya adalah ada upaya tawar menawar dan bertanya kepada beberapa
tempat yang menjual barang tersebut.
2. Kaedah dalam agama yang melarang segala yang merugikan orang lain seperti dalam sabda
Rasûlullâh n :
‫شر ب‬ ِّ َ‫بوال‬
‫بض َه َب‬ َ ‫الَب‬
َ ‫ض َه َر‬
Tidak boleh ada kerugian dan merugikan.28
Larangan dalam hadits ini bersifat umum. Artinya larangan terhadap semua yang berpotensi
menimbulkan kerugian bagi diri sendiri atau orang lain, termasuk larangan memanipulasi
harga. jual beli yang mengandung unsur manipulasi (pemalsuan) harga apabila disahkan tanpa

25
HR Ahmad 4214
26
Mausû’atul Fiqhiyah, cetakan ke-4 tahun 2007/1428, cetakan Wizâratul Auqâf wa Asy-Syu`ûnil Islâmiyah al-
Kuwaitiyah, 31/138 dan lihat asy-Syarhul Mumti’
27
Lihat Mausû’atul Fiqhiyah, 20/148 dan al Fiqhul Muyassar, hlm. 72
28
HR Ibnu Mâjah dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 896
ada khiyâr (hak pilih) untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi merupakan madharat
(kerugian) dan merugikan orang lain.

3. Hadits Abu Hurairah z yang berbunyi :


‫ئت َ ٍهب‬ ٍ ‫سذَّ َمبنَ ََىبى َْابتَذَ ِّقيبش ْي َج َذ ِّبفَ ِّن ْنبتَذَقَّا رب رمت َ َذ‬
ْ ‫قب رم‬ َ ‫بو‬ َ ‫ىذَ ْي ِّه‬ َّ َّ‫صذ‬
َ ‫ىبَّللارب‬ َ ‫أ َ َّنبشيََّبِّ َّيب‬
‫سكقَب ب‬ ُّ ‫شبو َردَتْ بشي‬ َ َ‫بشيس ْذ َع ِّةب ِّيا ْي ِّخ َي ِّارب ِّإذ‬
ِّ ‫اح ر‬ َ َ‫شت َ َهش ربف‬
ِّ ‫ص‬ ْ ‫فَا‬
Sesungguhnya Nabi n melarang (umatnya) mencegat orang yang membawa barang dagangan
(dari luar kota, seperti makelar). Apabila yang melakukan pencegatan itu sekaligus pembeli,
lalu ia membeli barang (yang dibawa oleh orang yang dicegat) itu, maka pemilik barang
(penjual) memiliki hak pilih (al-khiyâr) apabila sampai pasar. 29
Wallâhu a’lam

Apakah Semua Manipulasi Menimbulkan al-Khiyâr?


Ulamâ ahli Fikih membagi perbuatan memanipulasi harga barang (al-ghabn) itu dalam dua
macam yaitu manipulasi yang berat (al-ghabnul fâhisy) dan manipulasi yang ringan (al-ghabnul yasîr).
a. Manipulasi ringan yakni manipulasi pada harga barang yang tidak terlalu jauh dari harga
pasar, masih pada batas kewajaran. Harga pasar maksudnya harga yang diperkirakan oleh
orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan. Kegiatan pasar hampir tidak bisa
lepas dari manipulasi ringan seperti ini. Dalam semua jenis transaksi, manipulasi harga barang
semacam ini dapat dimaklumi, tidak ada pengaruh apa-apa.
b. Manipulasi berat yakni manipulasi harga yang terlalu jauh dari harga pasar, diluar batas
kewajaran, sehingga dianggap sebagai sebuah penipuan.
Barometer untuk menilai sebuah manipulasi itu termasuk berat atau ringan adalah kebiasaan.
Karena tidak ada penjelasan dalam nash-nash syari’at dan tidak juga dalam pengertian bahasa Arab
tentang batasan paten dalam persoalan ini.
Dari definisi khiyâr ghabn yang dibawakan para Ulama fikih diatas, dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa tidak semua al-ghabn (manipulasi) menyebabkan khiyâr (hak pilih antara
melanjutkan atau membatalkan transaksi) bagi yang merasa tertipu. Hanya manipulasi berat saja yang
berkonsekuensi munculnya khiyâr. Dan yang dijadikan sandaran dalam menentukan berat atau
ringannya adalah kebiasaan para pedagang yang ahli.30 Karena mereka ini juga menjadi standar dalam
menentukan aib dan perkara lainnya yang menuntut keahlian dalam hal ini.31 Oleh karena yang menjadi
barometer adalah kebiasaan para pedagang, maka tentu kadar dan ukuran al-ghabn al-fâhisy
(manipulasi berat) berbeda-beda tergantung masyarakat, tempat dan zamannya.
Prof. DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân – hafizhahullâh – mengatakan, "Apabila al-Ghabn
(manipulasi harga) itu ringan dan sudah biasa terjadi di tengah masyarakat maka tidak ada khiyâr.32

Syarat-Syaratnya
Hak pilih (khiyâr al-ghabn) ini dapat diterapkan apabila memenuhi dua syarat :
1. Korban penipuan memang tidak mengetahui adanya manipulasi harga pada saat transaksi.
Apabila ia sudah tahu saat transaksi namun tetap bersikukuh meneruskan transaksinya maka
hak pilih ini hilang.
2. Manipulasinya berat (al-ghabn al-fâhisy).

Hal-Hal yang Menggugurkan Khiyâr al-Ghabn33


Khiyâr al-ghabn ini dapat gugur apabila ada hal-hal berikut :
1. Barang hancur, telah dikonsumsi, berubah atau hilang. Apabila demikian keadaannya maka
gugurlah khiyâr al-ghabn.
2. Diam, tidak mengambil tindakan apapun serta tetap beraktifitas dengan barang tersebut
setelah mengetahui adanya al-ghabn.
3. Korban yang memiliki hak pilih ini meninggal.

Bentuk-Bentuk Jual Beli Yang Dikenakan Khiyâr Al-Ghabn.


Diantara bentuk jual beli yang dikenakan Khiyâr ini adalah :

29
HR Abu Dâud no. 2980 dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâud.
30
Lihat asy-Syarhul Mumti’ ; al-Fiqhul Muyassar, hlm. 73 dan al-Mausû’atul Fiqhiyah, 20/149-150
31
al-Fiqhul Muyassar, hlm. 73
32 al-Mulakhashul Fiqhi 2/23
33
Diambil dari al-Fiqhul Muyassar, hlm. 73 dan al-Mausû’atul Fiqhiyah, 20/150-151
1. Talaqqi rukbân (mencegat penjual). ar-Rukbân adalah orang yang datang membawa barang
dagangan dari luar kota. Apabila orang ini dihadang dan barang bawaannya dibeli sebelum
sampai ke kota maka inilah yang dinamakan talaqqi rukbân. Praktek bisnis seperti ini
dilarang oleh Rasûlullâh n dan beliau n memberikan khiyâr kepada penjual yang dari datang
dari luar kota ini apabila terjadi penipuan (manipulasi) harga. Rasûlullâh n :
‫سكقَ بفَ رَ َكبيِّا ْي ِّخ َي ِّب‬
‫ار ب‬ َ ‫ىبم َْهربفَ ِّنذَشبأَتَىب‬
ُّ ‫سيِّ رَ ربشي‬ ْ ‫َالبتَذَقَّ ْكشبش ْي َج َذ َ بفَ َم ْابت َ َذقَّا ربفَا‬
ِّ ‫شت َ َه‬
Janganlah kalian mencegat orang yang datang membawa barang dagangan dari luar kota
(al-Jalab). Barangsiapa yangmenghadangnya lalu membeli barangnya, maka bila pemilik
barang tersebut sampai di pasar maka ia memiliki hak khiyâr.34
Dalam hadits ini Nabi n melarang para pelaku bisnis menghadang penjual barang diluar
pasar, tempat transaksi biasa berlangsung. Bila ini terjadi, si pedagang memiliki hak khiyâr
antara meneruskan transaksi atau menggagalkannya, bila ia sampai ke pasar dan mengetahui
harga sebenarnya dari barang yang dibawa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan, "Nabi n menetapkan bahwa pedagang yang
membawa barang dari luar kota (ar-rukbân) memiliki khiyâr apabila dibeli sebelum masuk ke
pasar. Karena bisnis seperti ini mengandung semacam tadlîs (nutupi-nutupi) dan ghisy
(pembohongan). 35
Imam Ibnul Qayyim t menyatakan, "Nabi n melarangnya, karena mengandung unsur penipuan
terhadap penjual disebabkan ketidaktahuannya terhadap harga sebenarnya. Sehingga pembeli
bisa membeli barangnya dengan harga lebih murah dari harga sebenarnya. Oleh karena itu,
Nabi n menetapkan khiyâr untuknya apabila telah masuk pasar. Para Ulama tidak berselisih
pendapat dalam menetapkan hak khiyâr untuk sang penjual apabila transaksi itu mengandung
unsur al-ghabn (penipuan harga). Karena seorang pedagang yang datang dari luar kota jika
tidak tahu harga sebenarnya maka itu berarti dia tidak tahu harga standar sehingga pembeli
leluasa membohonginya. Demikian juga penjual apabila ia menjual sesuatu kepada para
pendatang ini, lalu ketika mereka sampai ke pasar dan tahu bahwa mereka telah ditipu maka
mereka memiliki Khiyâr, jika tipuan ini berat. 36

2. Manipulasi harga yang disebabkan an-Nâjisy. an-Nâjisy adalah orang yang meninggikan
harga barang padahal ia tidak berniat membelinya, tujuannya hanya untuk menipu. Ia hanya
ingin meninggikan harga barang sehingga orang yang menginginkan barang tersebut harus
merogok saku lebih dalam alias dengan harga mahal. Praktek an-nâjisy ini dilarang dalam
Islam sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh n dalam sabdanya :
‫ىذَىبيَ ْي ِّعبأ َ ِّخي ِّبه ب‬
َ ‫ركشبوالَبيَبِّ ِّعبش ْي َم ْه رءب‬
َ ‫الَبتَََا َجئ‬
Janganlah saling berbuat an-nâjsy dan janganlah seorang menjual sesuatu atas jualan
saudaranya.37
Biasanya antara penjual dan an Nâjisy sudah ada ikatan perjanjian atau bahkan satu
komplotan. Pada saat temannya berjualan dia pura-pura datang sebagai pembeli lalu memuji
kwalitas barang dagangan temannya serta menawarnya dengan harga tinggi atau berbohong
dengan mengatakan, "Saya kemarin membeli barang seperti ini dengan harga sekian." Ini
memberikan image bahwa barang itu memang mahal. Padahal itu hanya sandiwara yang sudah
diatur. Jika ada orang yang tertipu lalu membeli barang tersebut dengan harga tinggi, maka dia
memiliki hak khiyâr untuk melanjutkan transaksi tersebut atau membatalkannya, ketika dia
mengetahui harga sebenarnya.
Contoh lain, pernyataan dusta penjual yang mengatakan, "Saya beli barang ini dengan harga
sekian.", padahal dia membelinya dengan harga lebih murah. Dia mengatakan untuk menipu.
Ini juga termasuk praktek najsy yang diharamkan.

3. Bai’ul Mustarsil. al-Mustarsil adalah seorang yang tidak mengetahui harga dan tidak bisa
tawar menawar barang. Jadi bai’ul mustarsi adalah traksaksi jual beli yang dilakukan oleh
orang tidak tahu harga suatu barang dan tidak bisa tawar menawar. Dia hanya bersandar pada
kejujuran penjual. Jika orang seperti ini tertipu, misalnya membeli dengan harga sangat mahal,
maka dia memiliki hak khiyâr. 38

34
HR Muslim no. 3802
35
Al-Mulakhash al-Fiqh 2/ 22-23
36
Pernyataan beliau ini dinukil dari Hasyiyah ar-raudh al-Murbi` 4/434
37
HR Muslim no. 3445.
38
Lihat Hâsyiyah ar-Raudhil Murbi’ 4/438, al-Mulakhashul Fiqhi 2/25 dan al-Fiqhul Muyassarah, hlm. 73
Syaikh Shâlih bin Fauzân al Fauzân –Hafizhahullâhu Ta’âlâ- membawakan contoh praktek
kontemporer dalam masalah al-ghabn ini. Beliau mengatakan, "Diantara praktek haram yang terjadi di
sebagian pasar kaum Muslimin adalah ketika ada pendatang yang membawa barang dagangannya ke
pasar lalu para pedagang pasar sepakat untuk tidak menawar atau membelinya. Mereka menyuruh salah
seorang dari mereka untuk menawarnya (dengan harga rendah). Apabila pendatang ini tidak mendapati
seorangpun yang menawar dengan harga yang lebih tinggi darinya maka ia terpaksa menjualnya
dengan harga sangat rendah. Kemudian setelah itu, para pedagang di pasar tersebut membagi barang-
barang ini. Ini merupakan sebentuk praktek al-ghabn dan kezhaliman yang diharamkan. Jika kemudian
pemilik barang mengetahui tipu muslihat ini, maka dia memiliki hak khiyâr dan berhak menarik
kembali barangnya. Bagi orang yang melakukan penipuan seperti ini, dia wajib segera untuk
meninggalkannya dan bertaubat. Sedangkan bagi pihak yang mengetahuinya, wajib mengingkarinya
dan melaporkannya kepada pihak berwajib (otoritas) untuk mencegah mereka dari hal tersebut."39

5. Khiyâr Tadlîs (Kamuflase Barang)


Tidak dipungkiri lagi semua orang ingin menjual barangnya dengan harga tinggi. Sehingga
terkadang ini mendorong mereka melakukan perbuatan tercela, seperti berbohong, menutupi
kekurangan barangnya serta memolesnya supaya kelihatan lebih bagus dan menarik. Upaya-upaya ini
terkadang menyeret pedagang berbuat tadlîs yang dilarang Islam karena mengandung unsur dusta (al-
ghisy) dan membohongi orang lain (at-taghrîr).

Definisi Khiyâr Tadlîs


Kata tadlîs berasal dari bahasa Arab dari kata ( َ ‫شي ََّ ْي‬
‫سة‬
) yang berarti gelap; seakan penjual
mengantar pembeli kedalam kegelapan dengan sebab tadlîsnya sehingga ia tidak sempurna melihat
keadaan barang tersebut. Jadi, tadlîs adalah upaya menampakkan barang dalam bentuk yang tidak
sesuai dengan kenyataannya. Contohnya seorang yang menjual sapi perah untuk diambil susunya.
Penjual ini sengaja tidak memerahnya dalam waktu tertentu agar pembeli menyangka sapi tersebut
memiliki air susu yang banyak dan menyangka sapi ini memang senantiasa banyak susunya. Setelah
sapi itu berpindah kepemilikan ke tangan pembeli, baru tampak aslinya yang tidak sesuai dengan yang
diduga.

Bentuk Pemalsuan.
Bentuk pemalsuan pada barang sangat banyak sekali, khususnya di zaman ini. Syaikh
Abdullâh bin Abdirrahmân aliBasâm t menyatakan, “Amat disayangkan, mayoritas transaksi yang
dilakukan masyarakat di zaman sekarang berlangsung diatas asas ini (yaitu penipuan dan pemalsuan
(red)). Mereka menganggapnya sebagai satu hal yang biasa dan tidak merasa takut dengan akibat negatif
perbuatan mereka. Ini menjadi sebab tertahannya hujan dan terjadinya kekeringan serta menghilangkan
barakah.40
Bila dilihat dari pandangan jenis tadlîs (pemalsuan) ini tidak lepas dari dua hal :
1. Menutupi aib atau kekurangan yang ada pada barang
2. Memperindah dan memoles barang tersebut dengan sesuatu yang dapat mendongkrak harga. 41

Dasar Pensyariatan Khiyâr Tadlîs


Pembeli yang tertipu dengan tadlîs seperti diatas memiliki hak khiyâr untuk menggagalkan
atau ridha dengan yang ada. Hal ini didasarkan kepada hadits Abu Hurairah yang berbunyi :
‫ى ََاب َي ْعَربفَب ِّننَّهرب‬ َ ‫بوش ْيغَََ َمبفَ َم ْابش ْيتَا‬ َ ‫الَبت ر‬:‫سذَّ َمب َيقر ْك رب‬
ِّ ْ ‫ص ُّه‬
َ ‫وشبشْل ِّي َل‬ َ ‫بو‬ َ ‫ىذَ ْي ِّه‬ َّ َّ‫صذ‬
َ ‫ىبَّللارب‬ َ ‫أ َ َّنبشيََّ ِّبيِّب‬
‫صا َبت َ ْم ٍبه ب‬َ ‫ابو‬َ ‫بر َّد َم‬َ ‫بوإِّ ْنبشَا َء‬ َ َْ‫س‬َ ‫ظ َه ْي ِّابيَ ْعََبأ َ ْنبيَحْ ت َ ِّذبَ ََابإِّ ْنبشَا َءبأ َ ْم‬
َ ََّ‫ِّي َخ ْي ِّهبشيب‬
Sesungguhnya Nabi bersabda, “Janganlah kalian melakukan at-tashriyah (menahan air susu tanpa
diperas) pada onta dan kambing. Siapa yang membelinya (sapi atau kambing dalam keadaan sudah
ditahan susunya-red), maka ia boleh memilih satu diantara dua (melanjutkan transaksi atau
menggagalkannya) setelah memeras susunya; apabila ia ingin maka ia menahannya (artinya
melanjutkan transaksinya-red) dan bila ingin, ia boleh juga mengembalikannya dengan tambahan satu
sha’ kurma. 42

39
al-Mulakhashul Fiqhi 2/25
40
Taudhîhul Ahkâm Syarhu Bulughil Marâm, Syaikh Abdullâh bin Abdurrahmân alibasâm, 4/337
41
al-Mulakhashul Fiqhi 2/26
42
HR al-Bukhori no. 2148
Dalam hadits yang mulia ini Rasûlullâh melarang at-tashriyah yang mengandung unsur tadlîs
dan beliau menyatakan at-tashriyah sebagai sebab khiyâr. Ini menunjukkan syariat khiyâr bila ada
tadlîs (pemalsuan) dalam suatu transaksi.
Demikianlah, tadlîs dalam jual beli diharamkan. Syariat membolehkan pembeli untuk mengembalikan
barang dan meminta uangnya. Karena ia membeli barang berdasarkan sifat dan keadaan barang yang
ditampilkan penjual dan seandainya mengetahui barang tersebut tidak sesuai dengan tampilan tersebut
tentu ia tidak ingin membelinya.

Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim untuk jujur dan menjelaskan hakekat barangnya. Rasûlullâh
bersabda :
‫ركرلَ بيَ رَ َمرابفِّريبيَ ْي ِّبع َِّ َمراب‬
ِّ ‫ابويَيَََّرابير‬ َ ‫انب ِّيا ْي ِّخيَ ِّارب َمابيَ ْمبيَتَفَ َّهقَابأ َ ْوب َحتَّىبيَتَفَ َّهقَرابفَر ِّن ْنب‬
َ َ‫صر ََق‬ ِّ َ‫ش ْيبَ ِّيع‬
‫ابو َكذَيَاب رم ِّحقَتْ بيَ َهكَةربيَ ْي ِّع َِّ َما‬
َ ‫َوإِّ ْنب َكت َ َم‬
Jual beli itu dengan khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau hingga keduanya berpisah. Apabila
keduanya jujur dan menjelaskan maka keduanya diberi barakah dalam jual beli mereka dan bila
keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli mereka dihapus (HR al-Bukhâri
no. 1737)
Dalam hadits ini Rasûlullâh mengajarkan umatnya agar berlaku jujur dalam jual beli dan beliau
menjelaskan bahwa kejujuran itu bisa mengundang barakah harta dan kedustaan menjadi sebab
terhapusnya barakah harta.
Wabillahi taufiq

Anda mungkin juga menyukai